bab ii 1199158 -...
TRANSCRIPT
19
BAB II
ETIKA, AKHLAK DAN DAKWAH
2.I Pengertian Moral, Akhlak dan Etika
2.1.1 Moral
Agar tidak terjadi kerancuan antara pengertian etika dan moral,
akhlak maka harus dibedakan terlebih dulu antara pengertian Etika,
Moral dan Akhlak. Karena ketiga kata itu sesungguhnya memiliki
perbedaan makna yang sangat mendasar.
Secara etimologi, menurut pendapat ahli, moral bermakna sebagai
berikut :
- Menurut K Bertens, secara etimologi, moral berasal dari bahasa Latin
mos (jamak : mores) yang berarti : kebiasaan, adat. Dalam bahasa
Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama
dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998) kata mores
masih dipakai dalam arti yang sama dengan etika. Jadi, etimologi kata
“etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal
dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda :
etika berasal dari bahasa Yunani dan moral berasal dari bahasa Latin.1
- Namun menurut Zahrudin AR dan Hasanuddin Sinaga, dalam bahasa
Indonesia moral sering diartikan sebagai ‘susila’. Secara terminologi,
1 K Bertens, 1993, Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.5
20
moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan wajar.2
Secara terminologi adalah sebagai berikut :
- Haidar Bagir mengungkapkan secara singkat moral lebih condong
kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan
manusia”.3
- Burhanuddin Salam menyatakan bahwa Moralitas merupakan sistem
nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia.
Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah,
nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang
diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan
tertentu. Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau
kebudayaan, tentang perilaku baik dan buruk. Sehingga moralitas
memberi manusia aturan atau petunjuk kongkrit tentang bagaimana ia
harus hidup dan bertindak secara baik dan dapat menghindari
perilaku-perilaku yang tidak baik..4
Jadi, moral adalah sistem nilai tentang baik atau buruknya
perbuatan manusia.
2 Zahruddin AR dan Hasannudin Sinaga, 2004, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta, PT Raja
Grafindo, hlm. 46. 3 Haidar Bagir, 2002, Etika Barat, Etika Islam, kata pengantar dalam M Amin Abdullah,
Filsafat Etika Islam, Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung, Mizan, hlm.15. 4 Burhanuddin Salam, 1997, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,
Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 3.
21
2.1.2 Akhlak
Mengenai pengertian akhlak, akan dipaparkan pendapat beberapa
ahli sebagai berikut;
- Menurut HA Musthofa seperti dikutip Zahruddin AR dan
Hasanuddin Sinaga bahwa secara etimologi, kata akhlak adalah
jamak dari kata Khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku atau tabiat. Bentukan definisi akhlak muncul sebagai mediator
yang menjembatani komunikasi antara Khaliq (Pencipta) dan
makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang kemudian
disebut hablum minallah dan pola hubungan antara sesama manusia
dan mahluk lainnya yang disebut hablum minannas.5
- Suwito mengungkapkan akhlak disebut juga ilmu tingkah
laku/perangai ('ilm al-suluk), atau tahzib al-akhlak (filsafat akhlak),
atau al-hikmat al-'amaliyat, atau al-hikmat al-khuluqiyat. Yang
dimaksudkan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-
keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan
pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa utuk mensucikannya.6
- Menurut para ahli masa lalu (al-qudama) mengartikan akhlak
sebagai kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara
spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang
5 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op,Cit, hlm.1 6 Suwito, 2004, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawih, Yogyakarta, Belukar, hlm.32
22
dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan
jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.7
- Ahmad Amin mengungkapkan bahwa sebagian orang mengartikan
akhlak ialah “kebiasaan kehendak”. Berarti bahwa kehendak itu
membiasakan sesuatu, maka kebiasaanya itu disebut akhlak. Dekat
dari pengertian diatas, akhlak ialah menangnya keinginan dari
beberapa keinginan manusia dengan langsung dan berturut-turut.
Sebagai contoh, seorang dermawan ialah orang yang menguasai
keinginan memberi, dan keadaan ini selalu ada padanya bila terdapat
keadaan yang menariknya kecuali didalam keadaan yang luar biasa,
dan orang kikir adalah orang yang dikuasai oleh suka harta, dan
mengutamakannya lebih dari membelanjakannya.8
- Menurut Al-Ghazali dalam Ihya-Ulumiddin seperti dikutip Rachmat
Djatnika, yakni ;
����������� ������������ ������ ����������������� !��"#�#�$%��& ��'(�)*��+�$�"#,�
Artinya : khuluq ; perangai ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa,
yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak membutuhkan pikiran.9
- Menurut Ibnu Miskawih, akhlak merupakan keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan pikiran lebih dulu.10
7 Ibid, hlm. 31 8 Ahmad Amin, Ethika : Ilmu Akhlak, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 74 9 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, Februari 1996, hlm.27
23
- Ja’ad Maulana mendefinisikan akhlak dalam 2 pengertian, yakni;
(1) Ilmu yang menyelidiki perjalanan hidup manusia di muka bumi
ini dan mempergunakan sebagai norma atau ukuran untuk
mempertimbangkan perbuatan, perkataan dan hal ihwal manusia
dalam hidup mereka dan menjelaskan bagi mereka, bagaimana
kewajiban mereka dalam hidup, bukan bagaimana meraka hidup.
(2) Ilmu yang menyelidiki gerak jiwa manusia, apa yang dibiasakan
mereka dari perbuatandan perkataan yang menyingkap hakikat
baik dan buruk.11
- Dalam Ensiklopedi Islam, akhlak dimaknai sebagai suatu keadaan
yang melekat pada jiwa manusia, yang daripadanya lahir perbuatan-
perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran,
pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan
perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syarak
(hukum Islam), disebut akhlak yang baik. Sedangkan jika perbuatan-
perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk.
Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat didalam
jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak, jika memenuhi
beberapa syarat; (1) perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Kalau
perbuatan dilakukan sekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak.
Misalnya, pada suatu saat, orang-orang yang jarang berderma tiba-
tiba memberikan uang kepada orang lain karena alasan tertentu.
10 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op Cit, hlm.4 11 Ibid, hlm.6
24
Dengan tindakan ini, ia tidak dapat disebut murah hati atau
berakhlak dermawan karena hal itu tidak melekat dalam jiwanya. (2)
perbuatan itu harus timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau
diteliti lebih dahulu, sehingga ia benar-benar merupakan suatu
kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah
dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang, maka tidak dapat
disebut akhlak.12
- Ali Saifuddin mengungkapkan bahwa dalam Islam, akhlak
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, karena akhlak
merupakan sesuatu yang membedakan antara manusia dengan
makhkluk lainnya. Menurut Ali Saifudin, akhlak merupakan mustika
hidup yang membedakan antara manusia dengan mahluk lainnya,
karena manusia adalah manusia yang paling mulia dan sebaik-sebaik
ciptaan Allah SWT..13 Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat
At-Tin ayat 4 :
-�.����( ���/�01 ��. 2��.��
Artinya : Sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Qs : At-Tin ayat 4)
- Pentingnya akhlak ini dipertegas oleh Jasadi, menurutnya dalam
agama Islam, akhlak dipandang sebagai asas kehidupan yang sangat
penting. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW dalam sebuah hadits :
12 Penyusun Ensiklopedi Islam, 1993, Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 102.
13 Ali Saifudin, Etika Islam Sebagai Modal Kebahagiaan, dalam Jurnal Theologia, Juni 1999, Semarang, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, no 28, hlm. 19
25
“Sesungguhnya saya hanyalah diutus untuk memperbaiki akhlak
manusia” (HR Bukhari, Al Hakim dan Al Baihaqi).14
- Definisi secara lebih operasional diungkapkan oleh Sidi Gazalba.
Yakni akhlak merupakan sikap kepribadian yang melahirkan laku
perbuatan manusia terhadap Tuhan, manusia, diri sendiri dan
mahluk lain sesuai dengan perintah dan larangan serta petunjuk Al-
Qur’an dan Al-Hadits. 15
Dengan mencermati pendapat para ahli, yang dimaksud akhlak
adalah perbuatan baik atau buruk kepada Tuhan, alam dan manusia lain
yang dilakukan secara berulang-ulang, yang perbuatan itu timbul dari
dalam jiwa dan telah menjadi kebiasaan, sehingga tidak memerlukan
pemikiran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
2.1.3 Etika
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata
Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat
tinggal yang biasa : padang rumput, kandang : kebiasaan, adat : akhlak,
watak : perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (la etha)
artinya : adat kebiasaan.16
Makna etika secara terminologi adalah sebagai berikut :
- Dalam kamus filsafat, diungkapkan ethics (berasal dari bahasa
Yunani, ethikos dari ethos, berarti penggunaan, karakter, kebiasaan,
14 H Jasadi, Beberapa Ajaran Akhlak Rasulullah SAW Didalam Kitab Maulid Al Barzanji,
dalam Jurnal Theologia, Semarang, Fakultas Usuluddin IAIN Walisongo, Ibid, hlm. 78 15 Ibid, hlm. 79 16 K Bertens, Opcit, hlm 3.
26
kecenderungan, sikap). Ada 3 makna, yakni, pertama, analisis
konsep-konsep seperti harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral,
benar, salah, wajib, dll. Kedua, pencarian ke dalam watak moralitas
atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencarian kehidupan yang
baik secara moral.17
- Menurut K Bertens latar belakang terbentuknya istilah etika yang
oleh filsuf besar Yunani Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika membatasi pada asal-
usul kata ini, maka etika berarti : ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.18 Meski demikian,
menelusuri makna etika hanya dari segi etimologis, tentu saja tidak
cukup. Menurut K Bertens, merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ada 3 arti etika yang kemudian perumusannya dipertajam
lagi. Pertama, kata “etika bisa dipakai dalam arti : nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika
berbicara tentang etika suku-suku Indian, etika agama Budha dsb.
Etika disini tidak dimaksudkan sebagai ilmu, melainkan secara
singkat dapat diartikan sebagai “sistem nilai”. Sistem nilai itu bisa
berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf
sosial. Kedua, etika berarti juga : kumpulan asas atau nilai moral,
yang dimaksud disini adalah kode etik. Misalnya pada beberapa
17 Tim Penulis Rosda (penyusun), Kamus Filsafat, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
1995, hlm. 100 18 K Bertens, Op.Cit, hlm. 4
27
tahun lalu, Departemen Kesehatan RI menerbitkan kode etik untuk
rumah sakit yang diberi judul : “Etika Rumah Sakit Indonesia”
(1986) disngkat ERSI. Disini jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga,
etika juga mempunyai arti : ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika
baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas
dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu
saja diterima dalam suatu masyarakat-seringkali tanpa disadari-
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika disini sama artinya dengan filsafat moral.19
- Menurut Robert C Soimon seperti dikutip M Amin Syukur, etika
merupakan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai hidup manusia
yang sesungguhnya dan hukum tingkah laku. Dengan demikian,
menurut Amin Syukur, etika adalah ilmu yang berisi kaidah baik dan
buruk suatu perbuatan dan aktivitas.20 Seperti diungkapkan oleh
Poedjowijatna, sebagai sebuah ilmu, obyek materia etika adalah
manusia, sedang obyek formanya adalah tindakan manusia yang
dilakukan secara sengaja.21
- Menurut Haidar Bagir, Etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang
baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori
dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al-akhlaq) dan moral
19 ibid, hlm. 6 20 M Amin Syukur, Etika Keilmuan, dalam Jurnal Theologia, Semarang, Fakultas
Ushuludin IAIN Walisongo, Edisi No 28, Juni Tahun 1999, hlm. 2 21 Poedjawijatna, 1990, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, PT Rineka Cipta, Maret, Cet VII,
hlm. 15.
28
(akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika
disamakan dengan filasfat moral.22
- Menurut Ahmad Amin, etika merupakan suatu ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.23
- M Amin Abdullah mengungkapkan bahwa etika harus dipahami
tidak semata-mata dari pengertian tradisional yang mencoba
mempertahankan aspek normatifnya dan mengabaikan aspek-aspek
lain yang terlibat dalam pembentukan suatu sikap dan tindakan.
Wacana etika sesungguhnya merupakan suatu bentuk diskursus
praktis secara umum. Pendeknya, mengungkapkan sikap, keputusan
tentang prinsip atau pernyataan tentang apa yang menjadi perhatian
adalah juga pokok-masalah penting dari etika.24 Dari perspektif yang
lebih luas, M Amin Abdullah mengklaim bahwa etika terkait erat
dengan “cara berpikir” (way of thought) manusia pada umumnya.
Jika cara berpikir seseorang berbeda, keseluruhan pengalaman
hidupnya akan berbeda. Ia tidak saja akan berperilaku berbeda, tetapi
juga memiliki pikiran, perasaan, sikap dan keinginan yang berbeda.
Oleh karena pertimbangan utama inilah, “tindakan etis” manusia
tidak dapat dipisahkan dari “cara berpikirnya”-nya. Terdapat
22 Haidar Bagir, Op.Cit. hlm. 15 23 Ahmad Amin, 1973, Ethika : Ilmu Akhlak, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 15 24 M Amin Abdullah, Op.Cit hlm. 37
29
semacam hubungan timbal balik antara keduanya. “Cara berpikir”
dapat dijelaskan dan digambarkan dari pemikiran etika manusia, dan
“tindakan etis” merepresentasikan atau merefleksikan cara berfikir
manusia.25
Dalam rangka menjernihkan istilah, juga perlu disimak perbedaan
antara etika dan etiket. Kerapkali keduanya dicampur adukkan, padahal
perbedaan antara keduanya sangat hakiki. Jika ‘etika’ disini berarti
‘moral’ sementara ‘etiket’ berarti ‘sopan santun’. Jika dilihat dari asal
usulnya, sebenarnya tidak ada hubungan antara kedua istilah ini. Hal itu
menjadi jelas, jika dibandingkan bentuk kata dalam bahasa Inggris,
yakni ethics dan etiquette.26 Jika etiket menyangkut cara suatu
perbuatan manusia harus dilakukan manusia. Artinya cara yang
diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu. Misalnya jika
menyerahkan sesuatu kepada atasan maka harus menggunakan tangan
kanan. Dianggap melanggar etiket jika menggunakan tangan kiri.
Sedangkan etika tidak terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan;
etika memberi norma pada perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut
masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Apakah
mencuri menggunakan tangan kanan atau kiri, disini sama sekali tidak
relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan, melainkan
menyangkut perbuatan itu sendiri.27
25 ibid, hlm. 38 26 K Bertens, Op.Cit, hlm. 8 27 ibid, hlm. 9
30
Menurut Hans Kung, perbedaan antara etik dan etika yakni, etik
berarti sikap moral manusia yang mendasar, sedang etika menunjuk
pada teori sikap, nilai dan norma moral secara filosofis atau teologis.
Sayangnya, memang tidak selalu mudah untuk membedakan variasi kata
tersebut. Karena kata Yunani ‘ethos’ tidaklah selalu digunakan dalam
banyak bahasa. Dalam bahasa Indonesia, dipilih kata etik. Dengan
menterjemahkan ‘etik’ untuk bahasa Inggris ‘ethic’; etika untuk istilah
bahasa Inggris ‘ethics’ dan etis kata Inggris ‘ethical’.28
Melihat uraian diatas, nampaknya bisa dipahami jika sering
ditemukan penyamaan arti antara kata; moral, akhlak, etiket dan etika.
Meski demikian, sebenarnya ada perbedaan arti yang sangat mendasar
antara empat kata tersebut. Pendapat beberapa ahli mengenai perbedaan
4 kata tersebut, yakni;
- Menurut Suwito, pengertian yang berbeda akan ditemukan bila
menyangkut perilaku lahir dan batin manusia. Hanya kata akhlaq
dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut baik
dan buruknya perbuatan lahir dan batin manusia. Kata moral dan
etiket cenderung dimaksudkan sebagai perilaku lahiriah semata.29
- Namun menurut Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, bahwa
antara akhlak dan etika memiliki sisi kesamaan dan juga perbedaan
yang mendasar, yakni; sisi kesamaannya adalah pada objek antara
akhlak dan etika, yaitu sama-sama membahas tentang baik dan
28 Hans Kung, Sejarah, Signifikansi, dan Metode Deklarasi Menuju Etik Global, dalam
Hans Kung dan Karl Josef Kuschel, Op.Cit., hlm. 77 29 Suwito, Op.Cit, hlm 35
31
buruknya perbuatan manusia. Sementara sisi perbedaanya terletak
pada sumber norma, etika bersumber dari rasio, sedang akhlak
bersumber dari alqur’an dan hadits.30
Dalam skripsi ini, sesuai pendapat Hans Kung, penulis
menggunakan kata etik (ethic) yang berarti sikap moral manusia yang
mendasar. Sikap moral yang mendasar ini salah satunya tertuang dalam
etik global yang kemudian akan penulis bahas lebih lanjut dalam bab
berikutnya.
2.2. Ruang Lingkup Akhlak
Dalam bahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai pengertian
akhlak dan perbedaanya dengan etika dan moral. Mengenai pembahasan
akhlak, menurut Haidar Bagir didalam sejarah Islam, upaya perumusan etika
dilakukan oleh berbagai pemikir dari berbagai cabang pemikiran-termasuk
didalamnya ulama hukum (syariat atau eksoteris), para teolog, mistikus dan
para filsof. Paling tidak Haidar Bagir mengungkapkan bahwa peta pemikiran
etika dalam Islam dapat dijelaskan dalam 5 hal :
(1) Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya semua manusia pada hakikatnya-baik itu muslim ataupun bukan-mengetahui pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Disinilah letak bertemunya filsafat Islam dengan pandangan filsafat Yunani era Socrates dan Plato, serta Kant dari masa modern. Tampaknya, para pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakat mengenai hal ini. Namun sebagian diantaranya-yakni kaum Mu’tazilah (kaum teolog rasional) dan para filosof pada umumnya percaya bahwa manusia-manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang etika yang benar dari pemikiran rasional mereka. Sementara itu, kaum Asy’ariyyah (teolog tradisional), para ulama hukum dan kaum mistikus (ortodoks) lebih menekankan pada peran
30 Zahrussin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 45
32
wahyu sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan etik manusia-meskipun barangkali “hanya” sebagai sarana untuk mengudar potensi etis yang sebenarnya sudah merupakan bawaan dalam diri manusia.
(2) Moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Disini tampak kesejalanannya dengan teori Aristoteles tentang moderasi (hadd al-wasatth). Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan itu sendiri. Mencuri misalnya bisa bernilai terlarang, tetapi bisa juga bernilai sunnah, bahkan wajib. Disini kaum tradisonalis memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, tindakan etis adalah yang sejalan dengan wahyu, sebagaimana direkam dalam tradisi.
(3) Tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan.
(4) Tindakan etis bersifat rasional. Kaum rasionalis muslim tidak bisa sependapat dengan anggapan-sebagaimana dilontarkan oleh Immanual Kant, meskipun dalam banyak masalah kefitrian dorongan etis pendapatnya justru sejalan dengan Islam-bahwa menggunakan nalar dalam merumuskan etika akan mengakibatkan perselisihan pendapat yang tak pernah bisa dipersatukan. Justru, menurut mereka, Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagai alat dalam mendapatkan kebenaran. Disinilah Kant bersesuaian dengan Al-Ghazali, keduanya lebih menekankan pada faktor kewajiban (deon)-yang berdasarkan nalar praktis, sedangkan yang lain berdasarkan wahyu-sebagai sumber tindakan etis, keduanya pun sepakat bahwa etika lebih primer daripada metafisika. Bukan hanya itu, bahwa sesungguhnya metafiska yang dibangun atas landasan nalar murni sesungguhnya amat rapuh dan karena itu, tidak dapat dijadikan landasan sebagai dasar perumusan etika. Hanya saja, Kant mendekati etika secara lebih rasional dan analitis (ilmiah) sementara Al-Ghazali lebih dogmatis.31
Menurut Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, melacak pemikiran
etika (akhlak) dalam Islam adalah melalui 4 fase perkembangan, yakni; etika
fase Yunani, Akhlak fase Arab Pra Islam, Akhlak Fase Islam hingga Akhlak
Fase Abad Pertengahan dan Modern.32
Pada Akhlak fase Islam, bisa dikatakan sedikit sekali pemikir yang
mempelajari tentang akhlak, karena kalangan bangsa Arab merasa cukup
mengambil ajaran akhlak dari agama. Oleh karena itu, agama menjadi motif
31 Haidar Bagir, Op.Cit, hlm. 18-20 32 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 19-36
33
bagi para pemikir Islam untuk mengulas tentang akhlak. Diantaranya dapat
dilihat dalam Al-Ihya karya Al-Ghazali dan Adabuddunya Waddin oleh
Mawardy. Kemudian pembahasan akhlak secara ilmiah diantaranya dilakukan
oleh; Abu Nashr Al Faraby dan Abu Alin Bin Sina, serta pembahas akhlak
yang terbesar dari kalangan Arab adalah Ibnu Miskawih dalam bukunya yang
termasyhur; Tadzibul Akhlak wa- Tathhirul ‘Araq.33
2.2.1. Sumber Akhlak
Menurut Yunahar Ilyas, bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruk
atau mulia dan tercela adalah Al-Qur’an dan Sunnah.34 Jadi apakah suatu
perbuatan misalnya jujur, pemurah, penyabar dinilai baik, itu karena syara’
menilainya baik. Begitu juga sebaliknya, misalnya perbuatan dendam, kikir
dan dusta dinilai buruk karena syara’ menilainya demikian
2.2.2. Prinsip-Prinsip Akhlak
Secara teoritis, Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga memetakan
tentang prinsip-prinsip akhlak, yakni,
(1) Moral Force dengan iman sebagai internal power atau motor penggerak
dan memotivasi terbentuknya kehendak untuk direfleksikan dalam tata
rasa, tata karsa, tata karya dan tata cipta yang konkret.
(2) Landasan Pijakan adalah Iman, Islam dan Ihsan.
(3) Disiplin Moral; siapa yang berbuat maka harus bertanggung jawab
menjadi Prinsip Akhlak Islam. Seperti termaktub dalam Al-Qur’an Surat
Al-Zalzalah ayat 7-8.
33 Ibid, hlm. 28-30 34 Yunahar Ilyas, 2004, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, LPPI bekerjasama Pustaka pelajar,
Cet.VII, hlm.4-5 atau lih. Sholihan, Op.Cit, hlm. 71-72
34
(4) Akhlak Terhadap Alam; ini berdasarkan kajian ihsan yang tidak hanya
terbatas akhlak kepada sesama manusia, namun juga kepada mahluk
lain.
(5) Akhlak Terhadap Sesama; yakni, terhadap suami/istri, orang tua dan
masyarakat.
(6) Agama; dengan akalnya manusia mampu berbudaya, mencari jalan
kebahagiaan baik materiil maupun spirituil. Namun karena keterbatasan
kemampuan manusia, maka dibutuhkan peran agama. Dalam teologi
Islam, unsur-unsur agama adalah Iman (Akidah, Tauhid), Islam (Ibadah,
amal saleh) dan Ihsan (akhlak).35
Secara lebih sistematis, Musa Asy’ari memetakan pemikiran etika Islam
sebagai berikut;
(1) Etika Sosial, yang meliputi; prinsip persamaan dan kebersamaan,
keadilan sosial, serta keterbukaan dan musyawarah.
(2) Etika Ekonomi, yakni etika kaitannya dengan kegiatan atau usaha
memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia.
(3) Etika Politik, yakni etika kaitannya dengan kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh dan merebut kekuasaan.
(4) Etika Kebudayaan, etika kaitannya dengan kebudayaan sebagai proses.
35 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 63-83
35
(5) Etika Agama, yang meliputi; etika hubungan manusia dengan Tuhannya,
etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia
dengan alam dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya.36
Yunahar Ilyas membagi ruang lingkup prinsip akhlak menjadi 6; yakni;
(1) Akhlak terhadap Allah SWT yang diimplementasikan melalui; takwa,
cinta dan ridla, ikhlas, khauf (takut) dan raja’ (harap) yang seimbang,
tawakal, syukur, muraqabah (pengawasan) dan taubat.
(2) Akhlak terhadap Rasulullah SAW melalui; mencintai dan memuliakan
Rasul, mengikuti dan menaati Rasul, serta mengucapkan shalawat dan
salam.
(3) Akhlak pribadi, yakni; shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya),
istiqomah (teguh pendirian dan konsekuen), iffah (menjaga kehormatan
diri), mujahadah (mencurahkan segala kemampuan), syajaah (berani),
tawadhu’ (rendah hati), malu, sabar dan pemaaf.
(4) Akhlak dalam keluarga, yakni; berbakti kepada orang tua (birrul
walidain), hak, kewajiban dan kasih sayang suami istri, kasih sayang dan
tanggung jawab terhadap anak, silaturrahim dengan karib kerbat.
(5) Akhlak bermasyarakat, yakni; akhlak bertamu dan menerima tamu,
hubungan baik dengan tetangga, hubungan baik dengan masyarakat,
pergaulan muda-mudi dan ukhuwah Islamiyah.
36 Musa Asy’arie, 2002, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, Yogyakarta, Lesfi,
Cet 3, hlm. 94-125.
36
(6) Akhlak bernegara, yakni; musyawarah, menegakkan keadilan, amar
ma’ruf nahi munkar dan akhlak hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin.37
Secara lebih praktis, TM Hasbi as-Shiddieqy mengungkapkan
beberapa prinsip akhlakul karimah melalui landasan mahabbah (cinta),
dengan runtutan sebagai berikut;38
(1) Cinta kepada Allah SWT; yakni dengan mentaati-Nya, mendahulukan
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya. Seorang Muslim baru benar-benar
dikatakan mencintai Allah, jika benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-
Nya.
(2) Cnta dan benci karena Allah SWT, yakni mencintai seseorang lantaran
orang itu melaksanakan segala kewajiban agama dan membenci
seseorang lantaran orang itu tidak memenuhi kewajibannya terhadap
Allah dan rasul-Nya. Cinta dan benci karena Allah merupakan sendi
akhlak Islam dan sendi hidup bahagia.
(3) Cinta, Ta’dhim (membesarkan) dan mentaati Rasul, yakni mengikuti
segala petunjuk, ajaran dan perintah Rasul dan berpegang teguh kepada
agama yang dibawa oleh Rasul SAW.
(4) Ikhlas, yakni melaksanakan suatu amal semata-mata karena Allah SWT.
Maka ibadah yang dipandang sah oleh allah adalah ialah ibadah yang
dikerjakan karena dan untuk Allah semata dan tidak dicemari oleh suatu
tujuan lainnya. Kebalikan dari akhlak ini adalah riya’ (memperlihatkan
37 Yunahasr Ilyas, Op.Cit, hlm.6 38 TM Hasbi As-Shiddieqy, 1998, Al-Islam I, Semarang, Pustaka Rizki Putra, hlm.415-
581
37
amalan kebajikan kepada orang lain supaya mendapat pujian), kemudian
Nifaq (mengerjakan sesuatu amal kebajikan di muka khalayak supaya
khalayak mengatakan bahwa si pembuat amalan itu masuk kedalam
orang-orang yang membenarkan kebajikan), dan Sum’ah (menceritakan
dan memperdengarkan amal perbuatan kepada orang lain untuk mendapat
simpati dan mendapatkan keistimewaan).
(5) Taubat, yakni menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah dilakukan,
keluar dari kemungkaran, membersihkan kemungkaran pada diri lalu
melaksanakan amal saleh. Atau dalam arti lain, taubat adalah berpindah
dari keadaan yang dibenci dan dikutuk Allah kepada keadaan yang
diridlai dan dicintai Allah. Hubungan taubat dengan budi pekerti adalah
taubat membukakan pintu keluar bagi orang-orang yang durhakadan
memindahkan mereka dari keadaan hina dan tidak disukai, ke keadaan
mulia dan dicintai. Mengenai dosa besar, banyak ulama’ mengungkapkan
beragam pendapat. Namun dosa-dosa besar itu antara lain; menyekutukan
Allah dan riya dalam amal dan perbuatan, menghilangkan nyawa
seseorang yang diharamkan Allah, mengamalkan sihir, meninggalkan
shalat, enggan mengeluarkan zakat, sengaja berbuka di hari bulan
Ramadlan, tidak menunaikan haji padahal memiliki kesanggupan,
durhaka kepada orang tua, memutuskan hubungan silaturrahim, berzina,
homoseksualitas, makan riba, makan harta anak yatim, berdusta terhadap
Allah dan Rasul-Nya, pemimpin yang menipu dan menganiaya rakyatnya,
takabur/sombong/’ujub/bermegah-megah, menjadi saksi palsu, mabuk-
38
mabukan, berjudi, menuduh perempuan baik-baik berzina, korupsi,
mencuri, merampok, sumpah palsu, berbohong, menipu, berkhianat,
menganiaya suatu golongan dll.
(6) Takut kepada Allah SWT, yakni perasaan takut ditimpa azab dan siksa
Allah karena suatu kesalahan atau dosa yang telah diperbuat.
(7) Harap kepada Allah, yakni, mempunyai pengharapan bahwa Allah akan
mengampuni segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan
dengan tidak berputus asa.
(8) Syukur (penghargaan atas nikmat), yakni mempergunakan seluruh bagian
anggota badan menurut kesanggupan dan tempatnya masing-masing yang
ditentukan oleh SWT. Artinya, mensyukuri nikmat Allah dengan
menjauhkan anggota badan dari perbuatan maksiat. Sementara nikmat
yang sebenarnya dalam Islam adalah kebahagiaan yang diperoleh di
akhirat.
(9) Menepati janji, yakni; menyempurnakan segala yang telah dijanjikan,
baik berupa kontrak tertulis maupun lisan atau dalam bentuk lainnya.
(10) Tawadhu’ ialah sikap menundukkan kepala karena kesadaran bahwa
semua manusia mempunyai asal yang sama, tidak ada lebihnya seseorang
dari yang lain, kecuali ketakwaan kepada Allah SWT. Apabila sifat ini
telah melekat pada jiwa, maka hilanglah sifat ujub dan takabur. Malu,
yakni; perasaan surut apabila ada sesuatu yang mengakibatkan tercacat.
Seseorang yang memiliki rasa malu, akan taat kepada segala perintah dan
menghindar dari larangan Allah SWT. Muru’ah ialah memelihara
39
keutamaan kemanusiaan, terjauh dari yang dipandang buruk dan dari
yang mendatangkan cacat.
(11) Sabar, yakni; tahan menderita atas yang tidak disenangi dengan rela dan
menyerahkan diri kepada Allah SWT. Jenis-jenis sabar yakni, pertama,
menahan diri dari berbuat jahat dan menuruti hawa nafsu yang angkara
murka, dan dari melakukan segala perbuatan yang dapat menghinakan
diri atau mencemarkan nama baik. Kedua, menahan kesusahan, kepedihan
dan kesengsaraan dalam menjalankan suatu kewajiban. Ketiga, menahan
diri dari surut kebelakang ditempat-tempat yang tidak patut dan tidak
layak kita mengundurkan diri, seperti dikala menegakkan kebenaran,
meyebarkan kemaslahatan dll. Sabar yang ketiga inilah yang disebut
Syaja’ah (berani). Kebalikan dari sifat ini adalah penakut/pengecut.
(12) Rahmat dan Syafakat ialah perasaan halus dan belas kasihan didalam hati
yang membawa kepada berbuat amalan utama, memberi maaf dan berlaku
ihsan. Sifat ini merupakan suatu keutamaan dan ketinggian budi yang
menjadikan hati mencurahkan belas kasihan kepada semua hamba Allah.
Ihsan ialah melaksanakan sesuatu dengan sebagus-bagusnya dan sebaik-
baiknya. Rifq ialah melaksanakan sesuatu dengan lemah lembut dengan
cara yang sangat menyenangkan orang yang menerimanya.
(13) Tawakal, ialah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh
kepada-Nya. Syara’ membagi tawakal menjadi 2, yakni; meyerahkan diri
kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab dan ‘illat,
dan menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak
40
mempunyai sebab dan ‘illat. Artinya mengusahakan sebab-sebab itu dan
mewujudkan ‘illat-illatnya, setelah itu menyerahkan diri kepada Allah
pada sebab yang tidak nyata atau pada kemungkinan datangnya halangan-
halangan. Implementasinya, dalam mencari rezeki yang halal, umat Islam
diwajibkan berusaha dan bekerja guna memperoleh harta kekayaan
dengan jalur yang diridlai Allah SWT. Sebaliknya, Islam membenci sifat
berpangku tangan dan tawakkal buta.
(14) Ridla akan qada Allah, ialah menerima segala kejadian yang menimpa
diri dengan tabah dan dada yang lapang. Ini merupakan penawar dari rasa
kecewa apabila sesuatu yang diinginkan tidak diperoleh. Ridla qada ini,
misalnya terhadap bencana-bencana yang menimpa dan terhadap
ketetapan-ketetapan agama, baik berupa perintah maupun larangan.
(15) ‘Ujub, ialah merasa bahwa segala nikmat, kejayaan dan kemuliaan yang
diperoleh adalah semata-mata dari hasil usahanya atau kesungguhannya
sendiri. Akhirnya, ‘ujub ialah merasa diri cakap, pandai, tangkas, cerdas
berkemampuan dsb. Merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah hasil
dari kecerdasannya semata-mata. Salah satu akibat dari ‘ujub ialah
Takabur, yakni; seseorang yang menganggap derajat orang lain lebih
rendah dari derajatnya, dan merasa kedudukannya diatas dan lebih tinggi
dari kedudukan orang lain.
(16) Hasad (dengki), ialah berusaha menghilangkan nikmat yang telah
diperoleh seseorang, agar nimat itu jatuh kepadanya, atau supaya nikmat
terlepas hilang dari orang yang didengkikan itu. Hasut dan fitnah,
41
merupakan salah satu akibat dari sifat dengki. Dan orang-orang yang
memiliki sifat-sifat ini ialah jauh dari keridlaan Allah SWT.
(17) Hiqid (dendam), ialah mengandung rasa permusuhan didalam hati dan
menanti waktu yang terbaik untuk membalas sakit hati dengan
mencelakakan orang yang dimusuhi itu. Apabila dendam itu timbul
lantaran seseorang mencegah kita dari bebuat kesalahan, maka dendam
yang seperti ini adalah dosa besar dan haram hukumnya. Sedangkan
dendam yang timbul karena suatu penganiayaan, walaupun tidak
diharamkan, namun sangat dianjurkan untuk menyerahkan urusan itu
kepada Allah SWT.
(18) Ghadab (marah), ialah jiwa bergolak apabila tertimpa suatu bencana
yang tidak disukai, ini adalah nafsu yang sukar ditundukkan oleh
manusia. Sepenting-penting kewajiban yang harus dipegang adalah
mensucikan dari nafsu marah dan dari tanda-tanda panas hati. Orang yang
memlihara nafsu amarah sama keadaanya dengan membiarkan ular
bekeliaran di dalam rumah, pasti bencana segera muncul. Hilm, ialah
dapat mengekang rasa marah atau menderita gangguan dari orang lain
dengan tenang dan tidak terlihat rasa marah. Hilm, menghasilkan
kebajikan kepada diri sendiri dan masyarakat.
(19) Kicuh dan tipu, ialah tidak jujur atau membaguskan sesuatu yang tidak
bagus baik melalui perbuatan maupun perkataan guna menipu orang lain.
Islam melarang perbuatan menipu karena merupakan perbuatan aniaya
42
dan curang. Karena menipu adalah merusakkan kewajiban tanggung
jawab dan kepercayaan serta membiasakan diri memakai yang haram.
Demikian luasnya prinsip-prinsip akhlak Islam yang dipaparkan oleh
para ahli, namun secara lebih sederhana Muhammad Daud Ali memetakan
prinsip akhlak dengan landasan Ihsan adalah sebagai berikut;
(1) Akhlak terhadap Khalik melalui Tasawuf dalam bentuk tarekat-tarekat.
(2) Akhlak terhadap makhluk,
- Akhlak terhadap makhluk hidup, yakni kepada manusia, baik kepada
diri sendiri, keluarga, tetangga dan masyarakat. Akhlak kepada
mahluk hidup bukan manusia, yakni; nabati, hewani, bumi, air dsb.
- Akhlak terhadap mahluk mati.39
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dalam skripsi ini
penulis akan mencoba membahas tentang prinsip-prinsip akhlak manusia
terhadap mahluk lainnya, baik sesama manusia maupun akhlak kepada alam
dan lingkungan hidup guna menganalisa prinsip-prinsip etik global yang
digagas oleh Hans Kung yang akan dikaji dalam bahasan selanjutnya.
2.3.�DAKWAH
2.3.1 Pengertian Dakwah
Dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari bahasa Arab
���� yang berarti panggilan, ajakan dan seruan. Dalam Ilmu Tata
Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim masdar. Kata ini
berasal dari fi'il (kata kerja) � ��������� artinya, memanggil, mengajak,
39 Muhammad Daud Ali, 2002, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo, Cet
4, hlm. 345- 361
43
atau menyeru.40 Tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau
menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh)
atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah mubaligh yaitu
orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan
(message) kepada pihak komunikan.41
Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan tabligh
itu merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang
berupa ajakan atau seruan.
Sedangkan dakwah menurut istilah terdapat perbedaan diantara
para ahli. Hal tersebut tergantung pada sudut pandang mereka,
diantaranya yaitu :
a) Menurut Dr. H. Hamzah Ya'qub, dakwah dalam Islam adalah
mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk
mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya.42 Dengan kata lain dakwah
merupakan usaha dan perjuangan merubah situasi yang tidak diridlai
oleh Allah kepada situasi yang diridlai oleh-Nya. Tegasnya merubah
keadaan yang buruk kepada yang baik, mencegah yang munkar dan
menegakkan yang ma’ruf.
b) Menurut Asmuni Syukir, dakwah itu dapat diartikan dalam dua segi
atau dua sudut pandang, yakni pengertian dakwah yang bersifat
pembinaan dan pengertian dakwah yang bersifat pengembangan.
40 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.17. 41 Toto Tasmara, 1987, Komunikasi Dakwah, Jakarta, CV Gaya Media Pratama, hlm.31. 42 Hamzah Ya’qub, 1992, Publistik Islam : Teknik Da’wah dan Leadership, Bandung, CV
Diponegoro, hlm. 13.
44
Pembinaan artinya suatu kegiatan untuk mempertahankan dan
menyempurnakan sesuatu hal yang telah ada sebelumnya.
Sedangkan pengembangan berarti suatu kegiatan yang mengarah
kepada pembaharuan atau mengadakan sesuatu hal yang belum
ada.43
c) Menurut Muhammad Al-Bahy seperti dikutip Muhammad Sulthon,
dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan
dalam tingkah laku pribadi-pribadi didalam hubungan antar manusia
dan sikap perilaku antar manusia.44
Dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah
laku pribadi-pribadi didalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku
antar manusia, maupun antara manusia dengan alam, adalah menjadi
pembahasan dalam skripsi ini.
2.3.2 Dasar dan Tujuan Dakwah
a)� Dasar Dakwah
Pada dasarnya setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia
secara sadar, tentu mempunyai landasan dasar dari apa yang
dilakukannya. Demikian juga dengan dakwah. Dakwah sebagai
suatu proses penyebaran agama Islam tentu mempunyai dasar atau
landasan yang kuat agar tercapainya proses yang diinginkan.
Dalam surat An-Nahl ayat 125, Allah berfirman :
43 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm. 20. 44 Muhammad Sulthon, Op.Cit, hlm. 8
45
345��4567�5��89:�;�5<3'3#�5�3�3�3=;� �5�>?5�8�3@;� 3#�5�3@;%5=;�5��3A B�3��5C�5�3��D>�5E�:F8< ��3�"5�368�:@;�5��:9> 8�>G�3�:�3#�5H5 �5�3��8�3��7C3I �8�3@5��:9> 8�>G�3�:��3A J�3��7/5E�:�3�8(>G
K�C=�� ���L�Artinya : �Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang slebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk� (QS. An-Nahl : 125)45
b) Tujuan Dakwah
Bagi proses dakwah, tujuan adalah merupakan salah satu faktor yang
paling penting dan sentral. Pada tujuan itulah dilandaskan segenap
tindakan dalam rangka usaha kerjasama dakwah tersebut. Tujuan tersebut
oleh Asmuni Syukir (1987:51-57) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :46
1) Tujuan umum dakwah (major objective).
Tujuan umum dakwah adalah mengajak umat manusia (meliputi
orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik) kepada jalan yang
benar yang diridlai Allah SWT, agar dapat hidup bahagia dan
sejahtera di dunia maupun di akherat. Tujuan ini masih bersifat umum,
karena tujuan dakwah yang utama adalah menunjukkan pengertian
kepada seluruh umat, baik yang sudah memeluk agama maupun yang
masih dalam keadaan kafir atau musyrik.
2) Tujuan khusus dakwah (minor objective).
Adapun tujuan khusus dakwah merupakan perumusan dari
perincian tujuan umum, sehingga seluruh pelaksanaan kegiatan
45 Yayasan Penyelenggaran Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV Thoha putra, hlm. 421.
46 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.51-57.
46
dakwah dapat diketahui dengan jelas arahnya. Tujuan ini terbagi
dalam beberapa tujuan yang khusus lagi yaitu :
(a) Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk
lebih meningkatkan taqwanya kepada Allah SWT, artinya mereka
diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah dan
selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarang-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang
berbunyi :
� �M.J� 3#�5/ 3#8�:;� 3#�59;N5O;� �D> 3�� �:03#33��>�3#�P3�;.J6� 3#�B$5�;� �D> 3�� �:03#33�3#�5Q >.5;� �:�"5�3R�3H7 � �7/5E�3H7 � K����ST �L�
Artinya : �Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelangggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya berat siksaannya (bagi orang yang tolong menolong dalam kejahatan)�. (QS. Al-Maidah :2)47
(b) Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih muallaf.
Muallaf artinya bagi mereka yang masih menghawatirkan tentang
keIslaman dan keimanannya (baru beriman).
(c) Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman
kepada Allah (memeluk agama Islam). Tujuan ini berdasarkan
firman Allah yang berbunyi :
47 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Op.Cit.,
hlm.156-157.
47
���89M%7 3>��89M%5 8�>U�8�5+�3�"5V7� 3#�89M%>.> 32�W5V7� �:9M%J�3�� #:�:�8� �:X J�� �3�Y">G3"�>/�M.J63�K�Z$.�� ���L�
Artinya : �Hai sekalian manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa kepada Allah. (QS. Al-Baqarah : 21)48
Dengan demikian, dakwah juga bertujuan untuk memproses
masyarakat agar bertindak sesuai syari'at Islam seperti yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Sehingga mereka mempunyai keyakinan yang
tinggi, karena nilai-nilai agama yang dipeluknya sudah sesuai dengan hati
nurani kemanusiaan. Jadi, sudah menjadi tujuan dan proses kegiatan
dakwah untuk menjadikan manusia supaya mampu menyebarluaskan
Islam, dari yang mula-mula apatis terhadap Islam ditingkatkan untuk mau
menerimanya sebagai kawan dan menjadi petunjuk dalam hidupnya.
2.3.3 Unsur-unsur Dakwah
a) Subyek Dakwah
Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah, yaitu
orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT, baik secara individu
maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai
pemberi informasi dan missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau
muslimat berkewajiban berdakwah, melakukan amar ma'ruf nahi
48 Ibid., hlm.11.
48
mungkar. Jadi, mustinya setiap muslim itu hendaknya pula menjadi
da'i karena sudah menjadi kewajiban baginya.
Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidaklah semua
muslim dapat berdakwah dengan baik dan sempurna, karena
pengetahuan dan kesanggupan mereka berbeda-beda pula. Namun
bagaimanapun, mereka wajib berdakwah menurut ukuran
kesanggupan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Oleh karena itu, menurut Toto Tasmara, yang berperan
sebagai mubaligh dalam berdakwah dibagi menjadi dua yaitu :49
1) Secara umum : adalah setiap muslim / muslimat yang mukallaf
(dewasa), dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan
suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai
penganut Islam
2) Secara khusus : adalah mereka yang mengambil keahlian khusus
(mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan
panggilan ulama.
Drs. H. M. Hafi Anshari memberi syarat-syarat bagi mubaligh
sebagai berikut :50
1) Persyaratan jasmani atau fisik Seorang da'i atau mubaligh adalah orang yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat dan selalu berhubungan secara dekat dengan anggota masyarakat. Oleh sebab itu kesehatan jasmani menjadi faktor yang berperan dalam memperlancar tugas dakwah, disamping itu pula kondisi jasmani dan penampilan
49 Toto Tasmara, Op.Cit., hlm.41-42. 50 Hafi Anshari, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya, Al-Ikhlas,
hlm.105-107.
49
fisik seorang da'i akan menjadi kebanggaan para jamaah atau mad'u. Persyaratan jasmaniyah yang dimaksud adalah berupa kesehatan jasmani secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh mengenai cacat atau tidak. Namun persyaratan jasmani ini tidaklah mutlak karena ternyata pengabdian demi tegaknya agama Allah melalui dakwah tidak memandang siapapun juga. Dimaksudkan dengan persyaratan jasmani itu sekedar untuk mengurangi akibat-akibat yang kurang baik terhadap orang lain dan dirinya sendiri, lebih-lebih kalau da'i mengidap suatu penyakit berbahaya atau menular.
2) Persyaratan ilmu pengetahuan. Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman da'i terhadap keseluruhan unsur-unsur dakwah yang ada, sebagai berikut : (a) Tentang obyek dakwah, yakni pemahaman bahwa orang
yang dihadapi beraneka ragam dalam segala seginya, baik dalam segi jumlah, sosial ekonomi, tingkat umur, tingkat pendidikan dan lain sebagainya.
(b) Tentang dasar dakwah, yakni pemahaman terhadap latar belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah. Baik landasan yang bersifat agamis maupun landasan yang berbentuk undang-undang, peraturan-peraturan atau norma-norma lainnya.
(c) Tentang tujuan dakwah, yakni pemahaman terhadap apa yang akan dicapai dalam usaha dakwah, apakah tujuannya bersifat sementara, tujuan insidental, tujuan khusus dan sebagainya, yang semua itu dalam rangka mencapai tujuan akhir dakwah.
(d) Tentang materi dakwah, yakni pemahaman terhadap pesan atau informasi tentang ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara benar dan baik.
(e) Tentang metode dakwah, yakni pemahaman terhadap cara-cara yang akan dipakai dalam aktifitas dakwah, manakah yang lebih sesuai dengan kemampuan dirinya dengan materi yang diberikan sesuai dengan kondisi dan yang lebih relevan dengan obyek dakwah yang dihadapi.
(f) Tentang alat dakwah, yakni pemahaman terhadap alat-alat yang perlu digunakan untuk melancarkan usaha dakwah terutama dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
3) Persyaratan kepribadian. Persyaratan ini menyangkut masalah keseluruhan untuk batin atau rohaniah manusia yang tercermin dalam sikap, sifat dan tingkah laku yang kesemuanya itu dihiasi oleh akhlakul karimah atau budi pekerti yang luhur. Persyaratan ini penting, karena ada kaitannya dengan subyek itu sendiri disamping sebagai
50
penyampai missi keagamaan dia juga sebagai panutan ummat dan juga dia sebagai manusia teladan.
Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan sudah barang
tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan itu
terwujud antara lain ditentukan oleh faktor kemapanan subyek untuk
memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan keteladanan.
Suksesnya usaha dakwah tergantung juga kepada kepribadian yang
menarik, jika dia tidak memiliki kepribadian yang baik, maka tidak
akan mempunyai daya tarik dan usahanya akan mengalami
kegagalan.
b) Obyek Dakwah
Manusia sebagai obyek dakwah atau sasaran dakwah adalah
salah satu unsur yang penting dalam berdakwah, yang tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain.
Oleh sebab itu, masalah obyek dakwah harusnya dipelajari secara
sebaik-baiknya sebelm melangkah ke aktivitas dakwah yang
sesungguhnya. Maka dari itu, sebagai bekal bagi seorang da’i,
hendaknya melengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan
pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah obyek dakwah
ini. Misalnya, Sosiologi, Ekologi, Psikologi, Ilmu Sejarah, Ilmu
Politik, Ilmu Hukum, Antropologi, Ilmu Ekonomi, Georafi dan
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yangbertalian erat dengan
masyarakat.51
51 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.65-66.
51
Prof. H. M. Arifin M.Ed. membagi obyek dakwah ke dalam
delapan golongan yakni :52
1) Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan. kota besar, kota kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
2) Sasaran dakwah yang menyangkut golongan masyarakat pemerintah dan keluarga.
3) Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial kultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri.
4) Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
5) Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dari segi okuposional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri atau administrator.
6) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomis, berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
7) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin (seks) berupa golongan wanita dan pria.
8) Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus berupa golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, nara pidana dan sebagainya.
Bila dilihat dari psikologi masing-masing golongan,
masyarakat tersebut diatas memiliki ciri-ciri khusus yang menuntut
kepada sistem dan metode pendekatan dakwah atau penerangan
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
c) Metode Dakwah
Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh
seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu Al-Islam
atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.53
52 Arifin, Op.Cit., hlm.3-4. 53 Wardi Bachtiar, 1997, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Logos, Jakarta, hlm. 34.
52
Berhasil atau tidaknya usaha dakwah tidak hanya tergantung
dari macam-macam metode dan efisiensinya, akan tetepi tergantung
pula pada orang yang melaksanakan metode tersebut (the man
behind the gun / orang yang ada dibelakang senjata). Selain
ditentukan orang yang melaksanakan metode itu, ditentukan pula
oleh peranan cara memilih metode itu sendiri. Dalam setiap usaha
dakwah da’i harus memilih dan menentukan macam metode yang
akan dipakai. Seorang da’i harus sadar bahwa metode dimanapun
selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Dan
harus diinsafi bahwa metode dakwah yang tidak tepat
penggunaannya, tidak hanya membuang tenaga yang percuma saja,
tetapi juga menambah jauhnya obyek dakwah terhadap da’i
tersebut.54
Penggunaan metode ini sudah tersirat dalam AlQur'an surat
An-Nahl ayat 125, yang oleh Asmuni Syukir diterangkan sebagai
berikut :55
1) Metode ceramah ; yaitu suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh karakteristik bicara oleh da'i (mubaligh) pada suatu aktifitas dakwah. Metode ini digunakan ketika sasaran atau obyek dakwah berjumlah banyak.
2) Metode tanya jawab ; yaitu penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyatakan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti dan da'i (mubaligh) nya sebagai penjawabnya.
3) Metode debat (mujadalah) ; yaitu mempertahankan pendapat dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui kebenaran dan kehebatannya oleh musuh. Metode ini akan efektif apabila digunakan pada mereka yang membantah akan kebenaran Islam.
54 Dzikron Abdullah, 1992, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Waliongo
Semarang, Semarang, hlm.51. 55 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.104-157.
53
4) Metode percakapan antar pribadi (percakapan bebas) ; yaitu percakapan bebas antara seorang da’i dengan individu-individu sebagai sasaran dakwahnya. Percakapan pribadi bertujuan untuk menggunakan kesempatan yang baik di dalam percakapan atau mengobrol untuk aktivitas dakwah.
5) Metode demonstrasi ; yaitu metode dakwah dengan cara memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda, perbuatan dan sebagainya. Metode ini bertujuan agar sasaran dapat mengerjakan dan mengamalkan suatu pekerjaan dengan benar dan bermanfaat.
6) Metode pendidikan dan pengajaran agama ; metode ini pada dasarnya adalah membina dan (melestarikan) fitrah anak yang dibawa sejak lahir, yakni fitrah beragama (perasaan ber-Tuhan).
7) Metode mengunjungi rumah (silaturrahmi / home visit) ; metode ini efektif dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat Islam.
Dengan adanya beberapa metode dakwah di atas, para da'i
(mubaligh) dituntut untuk bijaksana dalam menggunakan dan
menerapkannya sesuai dengan keadaan dan lingkungan daerah
dimana Islam disebarkan.
d) Media Dakwah
Yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat obyektif
yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu
elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah.
Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat bantu
dakwah, atau yang popular di dalam proses belajar mengajar disebut
dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media dakwah
memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya
tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya media masih dapat
mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.56
56 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.164.
54
Hamzah Ya’qub mengklasifikasikan media dakwah dalam
beberapa bentuk, yaitu :57
1) Lisan; termasuk dalam bentuk ini ialah khutbah, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah, nasihat, pidato-pidato radio, ramah tamah dan anjang sana, obrolan secara bebas setiap ada kesempatan, yang kesemuanya dilakukan dengan lidah atau bersuara.
2) Tulisan; yaitu dakwah yang dilakukan dengan perantaraan tulisan umpamanya, buku-buku, majalah-majalah, surat-surat kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamplet, pengumuman-pengumuman tertulis, spanduk-spanduk dan sebagainya. Da'i yang spesial dibidang ini harus menguasai jurnalistik yakni ketrampilan mengarang dan menulis.
3) Lukisan; yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan lain sebagainya. Bentuk terlukis ini banyak menarik perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan suatu maksud ajaran yang ingin disampaikan kepada orang lain, termasuk umpamanya komik-komik bergambar yang dewasa ini sangat disenangi anak-anak.
4) Audio visual; yaitu suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk itu dilaksanakan dalam televisi, sandiwara, ketoprak wayang dan lain sebagainya.
5) Akhlak ; yaitu suatu cara penyampaian langsung ditunjukkan dalam bentuk perbuatan yang nyata, umpamanya, menziarahi orang sakit, kunjungan ke rumah bersilaturrahmi, pembangunan masjid dan sekolah, poliklinik, kebersihan, pertanian, peternakan dan lain sebagainya.
Asmuni Syukir (1983:168-180) menambahkan, disamping
media-media tersebut di atas, terdapat pula beberapa media,
diantaranya yaitu :58
1) Lembaga-lembaga Pendidikan Formal ; artinya lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin dan sebagainya. Seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan sebagainya.
2) Lingkungan Keluarga ; keluarga adalah kesatuan social yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau kesatuan social yang terdiri
57 Hamzah Ya’qub, Op. Cit., hlm.47. 58 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.168 –180.
55
dari beberapa keluarga (famili) yang masih ada hubungan darah. Keuarga memiliki kepala keluarga yang berkuasa atas segalanya di dalam keluarga. Ada juga keluarga (yang besar) memiliki salah satu anggota keluarga yang paling disegani (berwibawa)
3) Organisasi-organisasi Islam ; Organisasi Islam sudah barang tentu segala gerak organisasinya berazaskan Islam. Apalagi tujuan organisasinya, sedikit banyak menyinggung Ukhuwah Islamiyah, Dakwah Islamiyah dan sebagainya.
4) Hari-hari Besar Islam ; Tradisi umat Islam Indonesia setiap peringatan hari besarnya secara seksama mengadakan upacara-upacara. Upacara perigatan hari besar Islam dilaksanakan di berbagai tempat, di istana negara, kantor-kantor sampai di daerah-daerah pelosok / pedesaan.
5) Media Massa ; Media massa di negara kita pada umumnya beruparadio, elevisi, surat kabar / majalah. Media massa ini tepat sekali dipergunakan sebagai media dakwah, baik melalui rubrik /acara khusus agama ataupun yang lain. Seperti sandiwara, membaca puisi, lagu-lagu dan sebagainya
6) Seni Budaya ; Beberapa group kesenian maupun kebudayaan akhir-akhir ini nampak sekali peranannya dalam usaha penyebaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar). Seperti group qosidah, dangdut, band, sandiwara, wayang kulit dan sebagainya.
Dengan demikian untuk megoptimalkan keberhasilan
dakwah, seharusnya secara teoritis semua metode maupun media
dakwah harus dipergunakan dan diterapkan secara terpadu sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, dan sesuai pula
dengan kondisi mad'u.
e) Materi Dakwah
Materi dakwah dan kadang-kadang pula disebut ideologi
dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal
pada dua pokok ajaran yaitu Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Oleh karena itu, seorang da'i tidak boleh menyimpang dari
kedua pokok yang menjadi materi dakwah ini. Rasulullah SAW
56
dalam berdakwah menjadikan Al Qur'an (wahyu Allah) itu srbagai
materi inti. Setiap Rasulullah berdakwah selalu membawakan firman
Allah dan menyampaikan pula penjelasannya. Segala kata-kata dan
perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan dari Al
Qur'an dipandang sebagai sunnah (hadits).59]
Menurut Asmuni Syukir, materi dakwah dapat
diklasifikasikan dalam tiga hal pokok, yaitu : 60
1) Masalah keimanan (aqidah)
2) Masalah keIslaman (syariah)
3) Masalah budi pekerti (akhlaqul karimah)
Sedangkan penjelasan dari ketiga materi tersebut diterangkan
oleh H.M. Hafi Anshari, yaitu :61
1) Aqidah, yaitu yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah SWT. Dan ini menjadi landasan yang fundamental bagi seluruh aktivitas seorang muslim.
2) Syariah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan, dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang mubah dan sebagainya. Dan ini menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.
3) Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horisontal dengan sesama manusia dan makhluk-makhluk Allah
Berdasarkan paparan diatas, bahwa materi dakwah yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah dalam bidang akhlakul karimah
kepada sesama manusia dan makhluk lainnya, yakni alam dan
59 Hamzah Ya'qub, Op.Cit., hlm.29. 60 Asmuni Syukir, Op. cit., hlm. 60. 61 Hafi Anshari, Op.Cit., hlm.146.
57
lingkungan hidup. Mengenai pembahasan akhlak telah penulis
paparkan dalam bahasan sebelumnya.