bab iv 1198011 -...
TRANSCRIPT
63
BAB IV
ANALISIS DO’A, ZIKIR DAN TERAPI MEDIK-PSIKIATRIK
A. Analisis Hubungan Antara Do’a dan Zikir dengan terapi Medik-Psikiatrik
Terapi terpadu Dadang Hawari (2002:26) dibangun atas empat dimensi
yaitu pertama, terapi fisik/biologik, yaitu dengan obat-obatan psikofarmaka.
Kedua, terapi psikologik, yaitu dengan pendekatan konseling/psikiatrik. Ketiga,
terapi psikososial, yaitu terapi re-adaptasi. Keempat, terapi psikospiritual atau
psikoreligius, yaitu terapi keimanan dengan menggunakan do’a dan zikir.
Berbeda dengan terapi tersebut WF. Maramis (1990:450) membangun
terapi holistik atas tiga golongan besar ; Pertama, somatoterapi, yaitu terapi
dengan cara farmakoterapi dan fisioterapi. Kedua, psikoterapi yaitu terapi
psikologis dengan cara psikoterapi suportif dan psikoterapi genetik-dinamik (atau
psikoterapi wawasan / pengertian). Ketiga, manipulasi lingkungan (environmental
manipulation) dan sosioterapi.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa somatoterapi secara langsung
digunakan untuk mempengaruhi badan (soma) dengan harapan agar manusia
sebagai keseluruhan dapat ditolong yaitu dengan cara pemberian obat
(farmakoterapi) atau dengan fisioterapi (masasi latihan, UKG, Xray dan
sebagainya). Demikian halnya psikoterapi yang merupakan usaha untuk langsung
mempengaruhi jiwa manusia supaya secara keseluruhan pasien itu dapat ditolong
(W.F. Maramis,1990:452)
64
Sementara itu, manipulasi lingkungan (yang tidak sakit) merupakan usaha
dokter untuk secara langsung mempengaruhi lingkungan penderita, yaitu
lingkungan fisiknya (perumahan, cara berpakaian, makanan, pekerjaan dan
sebagainya). Pembagian ini menurutnya hanya artifisial saja, sebab pengobatan
holistik manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial tidak dapat dipisah-pisahkan
(W.F. Maramis,1990:452).
Pendapat diatas berbeda dengan pendapatnya Dadang Hawari yang
melihat manusia secara keseluruhan sebagai makluk bio-psiko-sosio-spiritual,
karena itu selain terapi-terapi sebagaimana yang diberikan WF. Maramis di atas,
perlu kiranya memberikan terapi psikoreligius yaitu dengan terapi do’a dan zikir.
Hal ini menurutnya merupakan kebutuhan untuk efektifitas terapi medik-
psikiatrik (Dadang Hawari,2002:37)
Pendapat Dadang Hawari tersebut, menunjukkan adanya hubungan antara
spiritualitas dan ilmu kedokteran jiwa. Kowalski J.A (1998) telah lama
menganjurkan agama dan psikiatri bekerja sama sebagai mitra dalam
permasalahan kesehatan jiwa individual maupun keluarga. Menurut dia konselor
agama maupun konselor psikiatri hendaknya bahu-membahu dalam meningkatkan
derajat kesehatan individual keluarga maupun masyarakat. Karena itu dari pihak
konselor agama hendaknya memahami dasar-dasar psikiatri, demikian pula
sebaliknya dari pihak konselor psikiatri hendaknya memahami prinsip-prinsip
dasar agama (Dadang Hawari,2002:62). Prosedur terapi medik-psikiatrik Dadang
Hawari tampaknya terpengaruh oleh pendapat tersebut.
65
Terapi medik-psikiatrik Dadang Hawari (2004) mempunyai prosedur.
Pertama,memberikan terapi medik dengan cara pasien diberikan obat-obatan
yang ditujukan pada kondisi fisik pasien, disebut juga sebagai terapi somatik.
Kemudian dilanjutkan langkah kedua, memberikan terapi psikiatrik dengan cara
pemberian obat-obatan yang ditujukan pada kondisi psikologik pasien, yaitu
dengan jenis obat-obatan yang disebut psikofarmaka; misalnya obat anti-cemas,
anti-depresi, anti-psikotik (skizofrenia) dan lain sebagainya. Selain dengan obat-
obatan jenis psikofarmaka juga diberikan psikoterapi dengan cara membantu
pasien untuk mengeluarkan semua gangguan jiwa yang ada dalam diri pasien,
termasuk psikoreligius terapi dengan menggunakan do’a dan zikir.
Sepintas prosedur terapi yang diberikan Dadang Hawari dianggap tepat
guna. Namun, apabila dilihat dari prosedur penyembuhan ilmu kedokteran akan
terasa ada kekurangannya. Prosedur penyembuhan menurut ilmu kedokteran
disamping memberikan terapi yang dilakukan oleh Dadang Hawari (jika tidak ada
terapi do’a dan zikir), juga memberikan (1) Terapi untuk melakukan kebiasaan
hidup sehat seperti makan, tidur, olah raga dan penyaluran hobi secara teratur.
(2) Melakukan re-edukasi yaitu mengubah pendapat-pendapat pasien yang salah
atau kurang tepat dan memberi pengertian tentang sebab-sebab penyakit yang
diderita. (3) Pengobatan pendukung berupa pengobatan sosio-kultural, menolong
menunjukkan jalan keluar masalah yang dialami pasien, dengan saran dan
pandangan yang sesuai kemampuan pasien, serta meningkatkan kemampuan
penyesuaian diri terhadap lingkungan. (4) Memberikan pengertian kepada
66
keluarga pasien untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi kesembuhan
pasien, karena tidak jarang yang menjadi sebab terjadinya keluhan adalah orang-
orang di sekitar pasien (Mudjaddid, 2000:70).
Dengan demikian prosedur terapi medik-psikiatrik Dadang Hawari kurang
memperhatikan pada aspek terapi re-adaptasi lingkungan sosial pasien. Hal ini
terjadi karena dia lebih menitik beratkan pada aspek spiritual pasien dengan
memberikan terapi do’a dan zikir.
Terapi do’a dan zikir, menurut Dadang Hawari tidaklah dalam sebuah
bentuk ritual yang harus dijalani, namun terapi do’a dan zikir menurutnya,
merupakan bacaan yang diucapkan secara lisan dan dalam hati yang berisikan
permohonan kepada Allah swt dengan selalu mengingat nama-Nya dan sifat-Nya.
Hal inilah yang menyebabkan terapi do’a dan zikir Dadang Hawari tampak biasa
saja. Karena terapi do’a dan zikir yang dibaca tidak disertai dengan olah
pernafasan maupun meditasi (Konsep Agama (Islam) Menanggulangi HIV/AIDS,
2002 : 112)
Walaupun demikian, do’a dan zikir sebagai alat terapi Dadang Hawari,
mempunyai korelasi positif dengan kesehatan, semakin sering berdo’a, maka
kesehatan semakin baik. Memuja, menyaksikan, bersyukur, mencari kedekatan,
menginginkan, memanggil atau berbicara kepada Tuhan adalah beberapa cara
orang berdo’a. Do’a adalah soal hati dan dapat dikomunikasikan tanpa kata-kata,
dalam keheningan, dalam lagu, tari atau perasaan kasih dan apresiasi.
Memusatkan energi melalui berdo’a adalah cara yang kuat agar dapat mencapai
67
kesehatan, penyembuhan dan keselarasan dalam kehidupan duniawi maupun
ukhrowi (Linda O’ Riordian, 2002:192-193).
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa do’a dan zikir (psikoreligius terapi)
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.
Menurut Dadang Hawari (2002:40) hal itu dikarenakan do’a dan zikir
mengandung unsur spiritual (kerohanian, keagamaan serta ketuhanan) yang dapat
membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) pada diri
seseorang yang sedang sakit; yang pada gilirannya kekebalan imunitas tubuh
meningkat sehingga mempercepat proses penyembuhan.
Menurut Herbert Benson (1991:10) mantra-mantra atau dalam Islam
disebut do’a dan zikir mempunyai efek menyembuhkan berbagai penyakit,
khususnya tekanan darah tinggi dan jantung. Fenomena yang paling populer
untuk menjelaskan hal ini menurutnya adalah fenomena plasebo. Plasebo adalah
pil bohong-bohongan, tepung biasa yang dibentuk seperti pil yang sebenarnya tapi
tidak mempunyai khasiat tertentu. Ternyata ketika diberikan kepada orang yang
sakit, pil ini mempunyai efek menyembuhkan yang sama dengan pil yang
sebenarnya. Bahkan terbukti bahwa misalnya plasebo yang lebih besar punya efek
menyembuhkan yang lebih besar dibandingkan plasebo yang lebih kecil.
Fenomena diatas dapat terjadi, karena pasien yakin bahwa obat (pil
bohong-bohongan) yang diberikan pada mereka dapat menolong. Di lain pihak,
ketika pasien diberi tahu bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat membantu maka
akan muncul gejala negatif atau efek nosebo. Komponen nosebo dan plasebo ini
68
ada dalam semua bentuk interaksi terapeutik. Kata-kata, harapan dan sistem
keyakinan serta respon penyembuhan merupakan faktor yang mempengaruhi
pemulihan pasien atau kematiannya (Linda O’Riordan R.N,2002:54).
Fenomena ini di dalam dunia kedokteran, sering dikonfirmasikan dalam
perbincangan populer sebagai sugesti. Ia menjelaskan, orang yang sedang sakit
apabila berhasil mensugesti dirinya atau disugesti bisa sembuh, cenderung akan
benar-benar sembuh. Bahkan, sering terjadi orang bisa sembuh dari penyakit-
penyakit yang dianggap tidak tersembuhkan hanya karena dia mempunyai
semangat untuk sembuh. Orang lain yang berpenyakit sama dengan semangat
sembuhnya yang kecil, peluang sembuhnya juga kecil. Bahkan kadang-kadang
orang yang tidak sakit tapi memiliki sikap was-was mengidap penyakit tertentu,
bisa menjadi sungguh-sungguh sakit (Haidar Baqir 2000: 12).
Dalam karya-karya Dadang Hawari penulis tidak menemukan penjelasan
bahwa do’a dan zikir merupakan efek plasebo sebagaimana pendapat Herbert
Benson di atas. Hal ini, dikarenakan mengandaikan do’a dan zikir sebagai plasebo
berarti meniadakan pengaruh dari do’a dan zikir terhadap kesembuhan pasien.
Meniadakan pengaruh do’a dan zikir tentu bertentangan dengan firman Allah
dalam surat Al-Mukmin ayat : 60
��������������������������������� ���������������������������������������������������� !�"��#��$� %�&�������������'�������(�)�*�����+�',���-./���0123
Artinya : “Dan Tuhanmu berfirman: Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
69
Jahannam dalam keadaan hina dina”.(QS. al-Mukmin : 60) (Depag RI, 2000:767).
Dalam ayat di atas, Allah akan memperkenankan do’a hamba-Nya bila ia
mau berdo’a secara khusyuk, penuh kepasrahan dan menyerahkan diri. Namun,
Allah Yang Maha mengetahui dan yang kasih sayang-Nya tiada tara, ternyata
lebih sering memberikan kepada umat manusia apa yang mereka butuhkan, bukan
apa yang mereka minta. Hal ini menurut penulis bisa dianalogikan pada seorang
anak kecil berumur lima tahun yang menginginkan sepeda motor, tetapi atas dasar
kasih sayang orang tuanya (yang tentu saja dengan berbagai pertimbangan), maka
ia hanya diberikan sebuah sepeda kecil. Bagi orang yang sakit bila ia masih
membutuhkan untuk sembuh, lalu ia berdo’a agar diberi kesembuhan maka
peluang untuk sembuh lebih besar.
Karena itu, bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya bahwa do’a
merupakan obat ampuh dalam menyembuhkan suatu penyakit dan dapat
menghilangkan malapetaka, demikian halnya berzikir, membaca (ayat-ayat al-
Qur'an), merupakan cara yang ampuh untuk menyembuhkan suatu penyakit
( Muhammad Mahmud Abdullah, 1990:19).
Bila kenyataannya menunjukkan bahwa do’a dan zikir secara keseluruhan
tidak seampuh seperti yang diharapkan oleh orang yang berdo’a, maka harus
dilihat dari sudut pandang tertentu. Menurut Rahman Sani (2002:IV), bagi
penyembuh yang secara rutin menggunakan do’a dan zikir sebagai sarananya,
70
mereka berpendapat bahwa do’a dan zikir hanya berpengaruh pada penyakit
tertentu saja.
Selanjutnya dia menjelaskan tentang hal diatas dengan menggunakan
analogi pada pinisilin yang merupakan obat ajaib untuk radang tenggorokkan
yang disebabkan bakteri streptokokkus, ternyata sama sekali tidak bisa mengobati
tuberkulosis. Apabila kemajuan pinisilin diukur dari keefektifannya dalam
memberantas semua infeksi yang diketahui, tentunya kemampuan obat itu tidak
akan mencapai 20%. Namun, menurut dia penilaian pinisilin seperti ini tidak adil.
Karena penilaian suatu terapi itu idealnya dipandang dari efek yang dihasilkan
dalam kondisi-kondisi di mana suatu terapi tersebut berhasil. Dengan demikian,
efek do’a dan zikir idealnya juga dilihat sebagai model terapi yang berhasil
( Rahman Sani, 2002:VI-VII).
Menggunakan analogi do’a dan zikir dengan mengacu pada pinisilin
mungkin benar akan tetapi kurang bijak. Menurut penulis, apabila do’a dan zikir
merupakan kekuatan yang berasal dari Allah sebagai Yang Mutlak, maka
seharusnya do’a dan zikir itu manjur untuk semua masalah termasuk sembuh dari
penyakit. Namun, bila dicermati ternyata do’a dan zikir itu tidak hanya
menyangkut kekuatan Yang Maha Kuasa saja, tetapi do’a dan zikir itu juga
digerakkan oleh manusia yang merupakan mata rantai terlemah. Jadi, bila
kenyataanya do’a dan zikir tidak seampuh seperti yang diharapkan,
kekurangannya justru ada pada orang yang berdo’a , bukan pada do’a dan
zikirnya.
71
Sebagai seorang psikiater Dadang Hawari tampaknya tidak mau terjebak
dalam penjelasan secara normatif saja. Menurut dia, do’a dan zikir bagi
kesembuhan pasien bisa dijelaskan melalui teori psiko-neuro-imunologi. Ia
menjelaskan bahwa do’a dan zikir yang diucapkan pasien mempengaruhi pusat
syaraf dan diteruskan melalui serabut syaraf, ke kelenjar hormon (endokrin),
sehingga kekebalan tubuh manusia (imunitas) meningkat. Dengan meningkatnya
kekebalan tubuh itu berbagai penyakit dengan cepat dapat disembuhkan (Dadang
Hawari :2004).
Senada dengan pendapat di atas, Hembing Wijayakusuma Mawardi el
Shulthoni (2002 : 11) menjelaskan bahwa kondisi syaraf pusat yang menjadi
seimbang (balance) setelah berdo’a dan berzikir menstimulasi optimalisasi aksi
dan reaksi neurologis tubuh dalam meningkatkan kemampuan tubuh untuk
menyembuhkan diri sendiri (self healing). Efeknya bukan hanya membuat tubuh
seseorang mampu menangkal serangan penyakit, namun tubuh juga memiliki
kemampuan untuk meningkatkan kinerja bioelektrik dan neurotransmitter yang
dalam hal ini menjadi kunci sehat atau tidaknya tubuh.
Lebih lanjut dia menjelaskan, sebagai kesatuan mata rantai, efek
ketenangan berdo’a dan berzikir mampu meningkatkan proses regenerasi sel
syaraf ketika terjadinya perbaikan kondisi sistem syaraf pusat dan spinal cord.
Selanjutnya, proses pada cerebral cortex diperlancar, yang kesemua ini bereaksi
terhadap keseimbangan bio-kimia tubuh. Di samping itu, dengan berdo’a dan
berzikir secara khusyuk akan menyeimbangkan kondisi bio-elektrik pasien. Bio-
72
elektrik dan neurotransmitter menjadi seimbang yang selanjutnya berefek pada
optimalisasi kinerja organ tubuh secara keseluruhan dan menciptakan kemampuan
tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri (Hembing Wijayakusuma Mawardi el
Shulthoni, 2002:14).
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa do’a dan zikir
mempunyai peran yang sangat penting terhadap terapi medik-psikiatrik. Karena
do’a dan zikir itu dapat di fungsikan sebagai terapi psikorelegius bagi pasien.
Bahkan keduanya mempunyai kedudukan yang setingkat lebih tinggi
dibandingkan dengan psikoterapi umum. Peranan do’a dan zikir yang dimaksud
tidak hanya dapat dibuktikan dengan penjelasan secara normatif saja tetapi juga
dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan adanya terapi do’a dan zikir akan
mendukung kelengkapan terapi medik-psikiatrik. Namun agar lebih efektif terapi
do’a dan zikir terhadap pasien ini juga harus dipadukan denganterapi medik-
psikiatrik. Dengan demikian, terapi medik saja tanpa disertai do’a dan zikir
tidaklah lengkap, sebaliknya do’a dan zikir saja tanpa disertai terapi medik
tidaklah efektif.
B. Do’a dan Zikir Sebagai Faktor Esensial Terapi Medik-Psikiatrik dalam
Perspektif Bimbingan dan Konseling Islami
Terapi terpadu Dadang Hawari mempunyai prosedur. Pertama,
memberikan terapi medik untuk mengobati kondisi fisik pasien dengan pemberian
obat-obatan. Kemudian dilanjutkan langkah kedua, memberikan terapi psikiatrik
73
untuk mengobati kondisi psikis pasien dengan pendekatan konseling atau
psikoterapi, baru ditambah terapi psikoreligius untuk membangkitkan rasa
percaya diri pasien dengan menggunakan do’a dan zikir. Dengan demikian
menurut dia kondisi fisik diobati terlebih dahulu, baru kondisi psikologis pasien.
Menurut Thohari Musnamar (1992:38) Bimbingan dan konseling
Islami, mempunyai fungsi kuratif atau korektif untuk membantu individu
memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialami satu individu. Fungsi itu
dalam kegiatanya dijalankan dengan membantu individu untuk menemukan
alternatif pemecahan masalahnya. Karena dalam Bimbingan dan Konseling
Islami, pembimbing atau konselor, tidak memecahkan masalah, tidak menentukan
jalan pemecahan masalah tertentu , melainkan sekedar menunjukan alternatif
pemecahan yang disesuaikan dengan kadar intelektual masing-masing individu.
Menurut dia secara Islami, terapi umum bagi pemecahan masalah individu
seperti yang dianjurkan al Qur’an adalah berlaku sabar, membaca dan memahami
al Qur’an serta berzikir atau mengingat Allah.
Lebih lanjut, dia menjelaskan tentang berlaku sabar dengan mengutip al
Qur’an surat al-Baqarah ayat 155-157 sebagai berikut :
���������������4�5��6��� ��#���-�6������-�78 9��� ��:������ ��;��<������-�7=��>�!���������+��(��� �������!��?�����@>�!� ��A����/�B��� �,CDD3�������������$�EF��&�?�-���)��!��G�����H�����������������I�*��"� �J&����� ������ � �J�+��� �����,CD13�� ��)&�+�� �K�L�� �������)@!�"� ��-� EA����+�G
������ �%��)�/������M��K�L�� ��� �EF�/N�"� ,CDO3
74
Artinya :”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buhan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “inna lillahi wainna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan-Nya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Baqarah : 155-157) (Depag RI., 2000:39).
Menurut Hamdani Bakran adz Dzaky (2002:40), berlaku sabar adalah
sikap yang harus dianjurkan konselor pada kliennya dalam menghadapi persoalan
dan musibah yang menimpanya. Anjuran bersikap sabar itu menurut dia, dapat
ditempuh dengan cara pemberian nasehat pada klien untuk mengembalikan
seluruh persoalan kepada Allah, dengan jalan bertawakkal, berdo’a dan selalu
mendekatkan diri kepada-Nya. Konselor harus meyakinkan klien bahwa sikap
sabar adalah puncak sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya sikap. Karena dengan
sikap sabar itulah akan lahir perbaikan-perbaikan bagi klien, yaitu kebenaran
dengan kesejahteraan, rahmad dan hidayah-Nya, sesuai dengan maksud dari ayat
diatas.
Ayat diatas menjelaskan bahwa sebagai orang yang beriman, harus
mempercayai bahwa dibalik segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Karena sesungguhnya semua yang di alami dalam hidup ini adalah cobaan dari
Allah supaya manusia dapat membuktikan sikapnya dalam menghadapi segala
macam ujian; untuk mengetahui seberapa jauh iman manusia dapat
mengendalikan dirinya (K.H Ali Yafie et al.1996:5).
75
Apabila seorang hamba mendapatkan ujian dari Allah maka yang dituntut
adalah agar dia bersabar dan berusaha menghibur diri (Ibnul Qoyyim Al Jauziah,
2003:3). Dengan tetap bersikap sabar seseorang diharapkan mampu menyadari
bahwa apa yang menjadi pilihan Allah bagi dia niscaya lebih baik dari pada
pilihannya sendiri (H.M.H. Al Hamid Al Husaini,1999:97).
Dengan demikian, menurut al-Qur'an yang diobati pertama-tama dan
terutama adalah mental, yaitu hati diberi kekuatan dan kepercayaan setelah itu
baru segi fisiologis dan lainya. Hal ini berbeda dengan prosedur terapi Dadang
yang mengobati masalah fisik pasien baru masalah mental atau kondisi sosial dan
psikologisnya .
Sehubungan dengan arti berlaku sabar di atas Dadang Hawari
mengimplementasikan dalam resep terapi pada pasien, dengan membaca ayat
sebagai berikut :
��>������)�P��QR���-���H��� ����&�5 Artinya : dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) Yang menyembuhkan aku
(Q.S. Asy-Syu’ara : 80) (Departemen Agama RI, 2000:579)
Hal itu menurut dia, dikarenakan seseorang yang sedang menderita suatu
penyakit, mempunyai kecenderungan untuk berkeluh kesah, tidak sabar dan
sering kali berburuk sangka (syu’udhan) kepada Allah, seperti mengatakan bahwa
Allah tidak adil. Oleh karena itu selain berusaha berobat pada dokter, hendaknya
pikiran atau perasaan buruk sangka terhadap Allah dihindari dengan membaca
dengan membaca dan memahami ayat di atas.
76
Pemecahan masalah dalam bimbingan dan konseling Islami yang kedua
yaitu dengan membaca atau tadarus Al Qur’an. Membaca atau tadarus Al Qur’an
yang dimaksud adalah membaca, memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran yang terkandung didalamnya (M.Arifin Ilham,2003:59). Menurut Thohari
Musnamar, (1992:39) hal itu dikarenakan Al Qur’an, selain merupakan petunjuk
hidup merupakan penawar bagi hati yang sedang tidak menentu. Sebagaimana
firman-Nya dalam surat al-Fusilat ayat : 44
������E=��5�S� �TU%�M����(�-��=�������+������M�V�$
Artinya :”Katakanlah, al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Fusilat : 44) (Depag RI., 2000:779).
Sementara itu Dadang Hawari dalam terapi psikorelegiusnya juga
memberikan resep dengan memberikan bacaan ayat Al Qur’an. Misalnya ketika
dia mendapati pasien yang sakit berkepanjangan, seringkali diliputi oleh rasa was-
was, bimbang dan ragu terhadap terapi medik-psikiatrik yang diberikan oleh
dokter (psikiater). Dalam kondisi yang demikian ini pasien mudah tersugesti oleh
anjuran orang lain untuk berobat ke dukun, paranormal dan sejenisnya; yang pada
gilirannya dapat memperparah penyakitnya. Untuk menghindari hal tersebut perlu
dipulihkan rasa percaya diri dengan membaca ayat berikut ini :
������W��(���@X���!� �H����� V�$ ,C3 ���W��(��� �K�+�-,Y3����W��(��� �J���� ,Z3 ���@��S� ��-�����W��(�<��� �W�������� ,[3 ��������W��(��� �" �%�G���P��W��������\����� ,D3 �����-
����W��(��� ��F�(���� ,13 Artinya : Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan
menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari
77
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia (Q.S. an Nas : 1-6). (Departemen Agama RI, 2000:1121).
Pemberian ayat-ayat al-Qur’an untuk dijadikan do’a bagi pasien,
terkadang terasa tidak sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien. Seperti
bacaan berikut ini :
1. Pasien yang diliputi kecemasan diminta untuk membaca do’a yang diambil
dari al-Qur’an Surat al-An’am ayat 48.
����������������]�+G��� ����-��=���/�P�����"��(�-� ������@>���-��̂ �����&�+����/����V��������-� �����������_̀ �����M��̂ � ���)&�+��E;��'��a�P
Artinya : Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi speringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-An’am : 48) (Departemen Agama RI, 2000:194).
Kandungan ayat di atas, apabila dibaca akan terasa tidak sesuai dengan
kondisi kecemasan yang dialami oleh pasien. Kecemasan yang dialami oleh
pasien adalah kecemasan atas penyakit yang dideritanya. Sedangkan ayat di
atas, kecemasan (bersedih hati) yang dimaksud adalah cemas atas azab,
karena tidak beriman kepada Allah (Hamka, 1983: 267). Walaupun demikian,
bisa jadi bacaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan sugesti kepada
pasien agar memperdalam keimanan kepada Allah, serta tetap bersikap tenang
atas penyakit yang sedang di deritanya.
78
2. Pasien yang seringkali merasa dirinya diliputi perasaan bersalah, dianjurkan
untuk membaca do’a :
��������U/&�N�"��U"��5�b�����c��J�+���������J�+������5d����� Artinya : Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa’ : 106) (Departemen Agama RI, 2000:139)
Bacaan di atas juga akan terasa sangat janggal bila dibaca pasien yang
merasa dirinya berdosa. Bacaan di atas, merupakan perintah untuk meminta
ampun kepada Allah, bukan bacaan untuk meminta ampun. Sedangkan bacaan
yang biasa dibaca untuk seseorang yang merasa berdosa adalah
memperbanyak bacaan ���&eI���f��5d�� (aku mohon ampun kepada Allah
yang Maha Agung).
Selain kejanggalan di atas, bacaan do’a dan zikir yang diberikan Dadang
Hawari akan menjadi kendala bagi pasien yang awam (tidak bisa mengaji). Hal
ini sangat dimungkinkan terjadi, karena tidak semua pasien bisa mengaji atau
bahkan membaca huruf Arab. Alangkah sulitnya bagi pasien yang tidak bisa
mengaji diharapkan untuk selalu berdo’a dengan bacaan-bacaan yang cukup
panjang. Merasakan sakit yang diderita, sudah merupakan sesuatu yang sulit bagi
pasien, apalagi ditambah masalah untuk membaca do’a yang bagi dia dirasakan
sulit. Dengan demikian Dadang Hawari dirasa perlu untuk memberikan do’a yang
praktis bagi pasien.
Kegiatan pemecahan masalah dalam Bimbingan dan Konseling Islami
yang ketiga adalah melalui zikir atau mengingat Allah, dikarenakan dengan zikir
79
atau mengingat Allah maka hati menjadi tenang (Thohari Musnamar,1992:39).
Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Al-Ra’d ayat 28 :
�������c���!� ��)�!��+�$� ��L�/g��� � ���(�-��=� ��������������� ��L�/g��� �J�+��� ��c���!� ������ �J�+����X��+�9��,Yh3
Artinya :”Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”. (QS. Al-Ra’d : 28) (Depag RI., 2000:373).
Menurut Toto Tasmara (1999:149) pada hakekatnya , orang yang berzikir
itu sedang mendemonstrasikan gairahnya yang merindu, melangit, mengharap dan
menampilkan suasana batin berupa kesadaran makhluk dihadapan khaliknya.
Sehingga, membangkitkan panggilan hati nurani untuk melaksanakan kewajiban
dan rasa tanggung jawab dalam sorotan iradah Allah semata-mata (Toto Tasmara,
1999:149). Apabila seseorang dalam keadaan mengingat yang sesungguhnya,
tentu perenungan dan kegembiraan serta kebahagian hati juga menjadi keadaan
batinnya (Syekh Fadhalla Haeri, 2004:350).
Sementara itu Hembing Wijayakusuma dan Mawardi el Shulthoni
(2002:11) menjelaskan, bahwa ketenangan dan kestabilan yang dicapai dari
proses berdo’a dan berzikir merupakan salah satu bentuk etos kerja yang ditandai
dengan sikap ikhlas dan syukur sehingga mendatangkan keseimbangan mental-
spiritual yang terindikasi dalam prilaku sehari-hari.
Dengan demikian, orang yang senantiasa berzikir akan tetap gembira dan
bahagia meskipun sedang mendapat (ujian) masalah. Karena dia selalu mengingat
80
secara sadar, bahwa setiap masalah itu ada jalan pemecahannya dengan tetap ihlas
dan syukur. Dia juga sadar akan fitrahnya sebagai ciptaan Allah yang mempunyai
kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya. Sehingga selain akan memperoleh
kebahagiaan di dunia juga berharap mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.
Dengan terapi zikir ini maka tujuan bimbingan dan konseling Islami untuk
membantu individu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat diharapkan dapat
dicapai oleh klien.
Di dalamTerapi psikorelegius Dadang Hawari juga memberikan resep
zikir bagi pasiennya. Bahkan, terhadap pasien yang di rawat inap di bantu oleh
ustaz dan ustazah kegiatan berdo’a dan berzikir pasien selalu di pantau
(Wawancara:2004).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemberian do’a dan zikir sebagai
terapi yang digunakan dalam terapi psikorelegius oleh Dadang Hawari, sekilas
merupakan fungsi kuratif atau korektif dari Bimbingan dan Konseling Islami
dalam kaitanya membantu individu untuk memecahkan masalahnya.
Terhadap pasien rawat jalan fungsi konseling tersebut sangat mungkin
terjadi. Karena dengan rawat jalan berarti pasien sudah tidak dianggap sebagai
orang yang sakit. Dalam hal lainnya Dadang Hawari mempunyai nilai-nilai resep
tentang do’a dan zikir, tetapi tidak bisa memaksakan (mengontrol) pasien agar
mengamalkan do’a dan zikirnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dia bekerja
sama dengan individu yang normal, meskipun sedang menghadapi masalah, tetapi
81
masalahnya masih dalam batas yang normal juga (Hamdani Bakran adz Dzaky,
2002:222).
Namun, resep do’a dan zikir yang diberikan kepada pasien rawat inap,
termasuk dalam psikoterapi Islam. Karena dalam prosesnya psikiater berusaha
memaksakan do’a dan zikir dengan pengawasan yang ketat dibantu oleh ustadz
dan ustadzahnya. Perlunya rawat inap menunjukkan bahwa pasien masih
dianggap sebagai orang yang sakit. (Hamdani Bakran adz Dzaky, 2002:222).
Dari keseluruhan uraian tentang hubungan do’a dan zikir terhadap terapi
medik-psikiatrik, ada beberapa hal yang patut dicermati sebagai masukan bagi
Bimbingan dan Konseling Islami.
Pertama, terapi psikoreligius Dadang Hawari, apabila dicermati
menggunakan pendekatan psikologi transpersonal. Dalam psikologi transpersonal,
manusia dianggap mempunyai sebuah kesadaran ego dari jiwa rahasia.Dengan
jiwa rahasia inilah seseorang selalu mengingat Tuhan (Robert Frager, 2002:154).
Kesadaran tersebut dibutuhkan untuk mencapai kedamaian dan untuk mencari
makna positif dari kehidupan. Taraf kesadaran ini dapat dicapai melalui do’a dan
zikir secara khusyuk (Allen E. Ivey dan Lynn Simek Dowing, 1980:327).
Kedua, ruang lingkup bahasan bimbingan dan konseling Islami terbagi
menjadi beberapa kelompok, seperti pernikahan dan keluarga, pendidikan, Sosial
(kemasyarakatan), pekerjaan dan keagamaan (Thohari Musnamar, 1992:41-42).
Dengan demikian ruang lingkup bimbingan dan konseling Islami terlihat
berorientasi pada masalah psikis dan sosial. Berbeda dengan terapi psikoreligius
82
Dadang Hawari yang terlihat berorientasi pada permasalahan kesehatan fisik,
psikis dan sosial. Sehingga perlu dikembangkan dalam keilmuan Bimbingan dan
Konseling Islami yang dihadapkan kepada penderita penyakit jasmani yang juga
sekaligus membutuhkan dorongan psikologis. Hal ini dapat diimplementasikan
dengan memberikan Bimbingan dan Konseling Islami terhadap pasien di rumah
sakit.
Ketiga, langkah-langkah terapi psiksoreligius Dadang Hawari sangat
kental dengan nuansa Bimbingan dan Konseling Islami, yaitu :
a. Berusaha menyadarkan kepada pasien bahwa hidup harus seimbang antara
duniawi dan ukhrawi, baik dalam keadaan sehat atau sakit (Aunur Rahim
Faqih, 2001:26). Sehingga pasien diharapkan tidak hanya berikhtiar dalam
berobat, namun juga diiringi dengan berdo’a kepada Allah untuk memohon
kesembuhan.
b. Memberikan pengertian kepada pasien bahwa dalam melakukan ikhtiar
sesuatu yang diinginkan harus diiringi dengan kesabaran, tidak boleh putus
asa dan harus berbaik sangka (husn al-dhan). Dalam bimbingan dan konseling
Islami membenahi mental seseorang merupakan sesuatu yang harus dilakukan
pertama kali, setelah itu baru segi-segi yang lain.(Thohari Musnamar, 1992:
38).
c. Terapi psikoreligius Dadang Hawari, juga menggali kondisi psikologi yang
menjadi penyebab pasien menderita sakit fisik, seperti difitnah, karena
perasaan berdosa atau dizalimi oleh orang lain. Begitu juga dengan bimbingan