bab ii 3100188 -...
TRANSCRIPT
19
BAB II
PENDIDIKAN TERPADU A. Pengertian Pendidikan Terpadu
Ada beberapa pengertian pendidikan terpadu yang dikemukakan oleh
para ahli, pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ollin dan Dixon
Sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Faisal, Ollin dan Dixon
menjelaskan bahwa “Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang
terjadi ketika suatu peristiwa yang otentik atau pembahasan suatu topik
merupakan penggerak utama dalam kurikulum. Melalui partisipasi secara
aktif dalam pembahasan topik atau peristiwa, siswa dapat mempelajari
baik proses maupun isi yang berkaitan dari berbagai bidang studi dalam
waktu yang sama”.1
2. Menurut Frazee dan Rose
Dikutip pula oleh Muh. Faisal, Frazee dan Rose memberikan
definisi bahwa “Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang
dilaksanakan dengan menggabungkan sejumlah disiplin keilmuan melalui
penentuan isi (content), kemampuan, dan tujuan afektif.”2
3. Menurut Muhammad Numan Soemantri
“Pendidikan terpadu adalah “keseluruhan mata pelajaran yang diharapkan dapat tumbuh secara simbiostik saling mempengaruhi dan memperkaya.3 Dalam artian adanya keterkaitan satu sama lain, sehingga masing-masing konsep selalu akan memberi kemudahan dan berakses luas terhadap upaya memperkuat cara berpikir intelektual sejalan dengan proses internalisasi nilai agama dan kebudayaan”.4
1 Muh. Faisal, Pembelajaran Terpadu, dalam Ekspose Penelitian Hukum dan Pendidikan,
Jurnal STAIN Watampone, ISSN: 1412:2715, hlm.58.
2 Ibid
3 Muhammad Numan Soemantri, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 128.
4 Ibid, hlm. 122.
20
4. Menurut Oemar Hamalik
Pengajaran terpadu yaitu “pengajaran yang bersifat menyeluruh, yang memadukan berbagai disiplin pelajaran yang berpusat pada suatu masalah atau topik proyek, baik teoritis maupun praktis dan memadukan kelembagaan sekolah dan luar sekolah yang mengembangkan program terpadu berdasarkan kebutuhan siswa, kebutuhan masyarakat dan yang memadukan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengembangan kepribadian siswa yang terintegrasi.”5
5. Menurut Moh. Kasiram
Pendidikan Terpadu adalah pendidikan yang utuh antara sains dan agama, keduanya diharapkan dapat berjalan secara berdampingan dan seimbang.6
Keterpaduan yang dimaksud oleh penulis dalam skripsi ini adalah
terpadu dalam pendidikan agama dan umum7 atau dapat disebut pula sebagai
perpaduan antara pendidikan tradisional dan pendidikan sekuler yang
merupakan salah satu sistem pendidikan alternatif untuk menghilangkan
dikotomi dalam sistem pendidikan yang dikemukakan para cendekiawan
Islam sejak abad delapan belas dan awal abad sembilan belasan dan
mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sampai sekarang.
5 Oemar Hamalik, Pendekatan Baru Srategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA
op.cit., hlm. 145.
6 Moh. Kasiram, Pendidikan Sains Terpadu Sebagai Akselelator Kebangkitan Sains Islam, op.cit., hlm. 22.
7 Yang dimaksud ilmu-ilmu agama dalam penelitian ini adalah ilmu-ilmu yang telah tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam, Fazlur Rahman menyebut kelompok tersebut dengan terma sains agama (Ulum Syari’ah) atau sains tradisional (Ulum Naqliyah) sedangkan Nurcholis Madjid menyebutnya dengan “disiplin keilmuan tradisional Islam”. (lihat dalam Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 201.) Adapun yang dimaksud ilmu-ilmu nonagama adalah ilmu-ilmu yang tidak secara langsung menjadikan ajaran agama Islam baik sebagai objek formalnya maupun objek materialnya. Fazlur Rahman menyebut kelompok ilmu ini dengan terma sains-sains rasional (Ulum Aqliyah/Ulmu Syari’yah)(lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsi Muhammad),(Bandung: Pustaka, 2000),, hlm.39). Yang termasuk dalam ilmu-ilmu nonagama ini antara lain adalah ilmu-ilmu rasional selain filsafat Islam dan ilmu kalam-ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain yang tidak termasuk kategori ilmu-ilmu keagamaan. Objek material dari kelompok ilmu-ilmu bukan keagamaan ini terutama adalah fenomena empiris, sementara objek formalnya sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan sangat beragam. (lihat Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Yayasan Insan Kamil, 2003) cet.III, hlm. 19.
21
Sistem ini dirumuskan dengan tujuan untuk menggabungkan
keutamaan-keutamaan yang ada pada kedua sistem pendidikan yang sudah
berlaku di kalangan kaum muslimin guna meningkatkan kualitas mereka di
segala aspek kehidupan, khususnya kualitas intelektualitas yang menjadi
sumber penggerak kemajuan.8
Penggabungan ini pada hakikatnya berangkat dari asumsi bahwa
sistem pendidikan tradisional telah terbukti melahirkan para cendekiawan
yang memahami Islam dengan baik dan konsisten dalam melaksanakannya,
namun kelemahan mereka tidak menguasai sains-sains modern dengan
metode ilmiahnya, sementara sistem sekuler terbukti telah melahirkan para
cendekiawan yang ulung dalam menguasai sains-sains modern dengan
metodologinya, namun tidak memahami Islam dengan baik, bahkan
cenderung tidak konsisten terhadap ajaran Islam akibat bias faham
sekulerisme yang netral dari melahirkan model cendekiawan Muslim yang
memahami ajaran Islam dengan baik serta konsisten dalam melaksanakannya
sekaligus menguasai pengetahuan modern dengan metodeloginya
sebagaimana cendekiawan Barat, dan mereka akan menjadi penggerak
kemajuan kaum Muslimin dengan penguasaan sains-teknologi modern dan
sekaligus mengembangkan sains-sains baru yang berlandaskan semangat
Islam.
Oleh karena itu, para sarjana muslim harus bersatu menciptakan
ajaran-ajaran mereka sendiri guna mengembangkan ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan lainnya. Di samping itu para pemikir muslim harus mampu
menantang ilmuan Barat yang pikiran-pikirannya dipenuhi hipotesis-hipotesis
materialistik, yang menolak berlakunya kehendak Allah di muka bumi ini.
Sebab bila tidak maka umat Islam akan sama permisifnya dengan masyarakat
Barat. Sebaliknya bila umat Islam berani melangkah, maka secara optimis
8 Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin,
(Jakarta: Universitas Islam Azzahro Press, 2000), hlm. 34.
22
dikatakan umat Islam akan kembali menemukan sistem pendidikan Islam
dalam bentuk utuhnya.9
Umumnya para cendekiawan muslim yang menyerukan pembaharuan
sistem pendidikan dengan menggabungkan kedua sistem ini memiliki
asumsi-asumsi dasar yang mereka jadikan sebagai landasan teorinya,
sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman:10
1) Bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran Muslim, di mana sistem kepercayaan Islam Tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.
2) Bahwa kaum muslimin tanpa takut boleh dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tapi juga intelektualnya, karena tidak ada satu jenis pengetahuan pun yang merugikan dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran-pemikiran murni dulu telah dengan giat dikembangkan kaum Muslimin pada awal abad-abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh Eropa Sendiri.
Fazlur Rahman membagi proses pembaharuan yang akan
menggabungkan kedua sistem pendidikan ini, yang diistilahkannya sebagai
modernisasi, menjadi dua fase, yaitu: 1). Modernisasi Klasik (Classical
modernism), 2). Modernisasi Kontemporer (Contemporary Modernism).11
Pada fase modernisasi klasik ditandai dengan munculnya cendekiawan
muslim yang ingin memperbaharui (memodernisasikan) sistem tradisional
yang diterapkan lembaga pendidikan tradisional sejak abad pertengahan lalu
dengan memasukkan sains-sains modern yang diadopsi dari Barat ke dalam
kurikulum yang sudah ada. Pada fase ini dinyatakan gagal karena tidak
9 Ikhrom, Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam, dalam Ismail SM (eds), Paradigma
Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 91.
10 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tantangan Transformasi Intelektual, op.cit., hlm. 54.
11Baca Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tantangan Transformasi Intelektual,op.cit.,hlm.54-60.
23
adanya tenaga pengajar profesional yang memahami benar orientasi sistem
gabungan ini, namun masih tetap diadakan penyempurnaan-penyempurnaan.
Fase modernisasi kontemporer sudah berada di alam kemedekaan, di
mana kaum Muslimin sudah memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya sendiri, sistem apakah yang akan dipergunakan dalam
pendidikannya tanpa harus ditekan dan didekte penjajah yang memiliki
budaya yang berbeda.
Sistem pendidikan gabungan ini terus menerus diadakan
penyempurnaan. Demikian pula halnya dengan universitas-universitas
tradisional seperti Al-Azhar berlomba-lomba mengadakan pembaharuan
dalam metode dan sistem pendidikan agar tidak ketinggalan zaman.12
Namun sampai sejauh ini para cendekiawan muslim belum berhasil
merumuskan sistem pendidikan Islam secara terperinci dan sistematis dalam
pedoman pelaksanaan, kecuali masih dalam taraf pengujian teori-teori yang
lalu ataupun yang baru dikemukakan para cendekiawan muslim. Dan harus
diakui, penyempurnaan dan pengembangan sistem pendidikan memerlukan
waktu yang panjang, ia harus melalui tahap-tahap pengujian teori dan praktik
di lapangan sehingga menjadi sebuah sistem yang sempurna dan unggul yang
akan mengobati ummah dari keterbelakangannya yang sudah diwarisinya,
turun-temurun sejak beberapa abad silam.
Dalam pendidikan ini siswa tidak hanya diajarkan ilmu dunia tetapi
selalu dikaitkan dengan keagungan Ilahi. Dengan sistem ini siswa akan
mampu memadukan aktivitas sehari-hari dengan pengajaran di sekolah.
Siswa tidak hanya memiliki pengetahuan dengan prestasi yang baik tetapi
sekaligus mampu hidup bermasyarakat, dan yang utama mampu menjawab
tantangan zaman.
Oleh karena itu, manusia harus didekati dari perspektif persenyawaan
antara antroposentris dan teocentris. Artinya proses perkembangan manusia
itu didasari nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan
12 Hilmy Bakar Almascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, op.cit., hlm. 38.
24
dinamika sosial dan tuntutan pengembangan fitrah, lebih cenderung kepada
pola hidup yang harmonis antara kepentingan dunia dan ukhrawi serta
kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan
penghambaan.13 Hal ini seirama dengan pendidikan agama Islam yang
bersifat teosentris dengan konsep antroposentris yang mempunyai bagian
esensial dari konsep teosentris.14
Perpaduan inilah yang hendak dicapai dengan pendidikan ini.
Keterpaduan di sini sesuai dengan prinsip pendidikan Islam yang tidak
mengenal pemisahan antara sains dan agama (prinsip integral dan terpadu).
Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntutan akidah Islam.15
Islam adalah religion of nature, segala bentuk dikotomi antara agama
dan sains harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Ilahi
yang menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan
mendalami sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis
yang dalam filsafat Islam disebut transendence.16
Iman tidak bertentangan dengan sains karena iman dan sains
sesungguhnya hanya merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai,
yakni konservatif dengan progresif. Kelompok pertama bersifat tertutup,
sedangkan yang kedua terbuka. Yang pertama sering memformalkan dan
mendogmakan, sedangkan yang kedua mendeformalkan dan
mendedogmakan.17
13 Maragustam, Revitalisasi Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menapaki
Abad Modern, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Vol. 2. No. I, Juli 2001:108-119, hlm. 111.
14 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet II, hlm. 19.
15 Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet.II, hlm.11.
16 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 44.
17 Ibid
25
Dengan demikian semua cabang ilmu termasuk ilmu agama yang
merupakan studi kedua jenis ayat-ayat Allah itu sebenarnya adalah ilmu-ilmu
Islami, asalkan disadari dan dilakukan dalam rangka pengembangan
pemahaman ilmu pengetahuan, nantinya terdapat ayat-ayat Allah.
Pendidikan Islam tentu harus mengacu pada ajaran dasar Islam itu
sendiri yang tidak memilah-milah antara dunia dan akhirat. Addunya
limazra’atil akhirah’ dunia adalah ladang penanaman untuk persiapan
akhirat, siapa yang menanam akan mendapat, adalah ajaran populer Islam.
Doa sapu jagat yang intinya memohon kebahagiaan dunia akhirat juga
diucapkan setiap muslim di seluruh dunia.18
Wahyu dan akal tidak dibenarkan terdikotomi dalam pendidikan Islam,
dengan kata lain, wahyu dan akal atau reason and revelation tidak perlu
dipertentangkan dalam Islam, oleh karena itu pendidikan Islam tidak
dibenarkan adanya dikotomi pendidikan yaitu antara pendidikan agama dan
sains.
Peserta didik harus dapat memahami Islam sebagai a total way of life
yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kalau dikotomi itu
tidak dapat dihindari, minimal seorang pendidik harus dapat melakukan
perubahan orientasi mengenal konsep “ilmu” yang secara langsung dikaitkan
dengan dalil-dalil keagamaan, atau sebaliknya ajaran agama dikorelasikan
dengan ilmu pengetahuan sehingga wawasan anak didik menyatu dalam
agama dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu kepada setiap muslim perlu diajarkan ilmu secara
utuh,19 baik mereka yang mengikuti jalur pendidikan formal `dalam madrasah
atau jalur nonformal dalam pondok pesantren. Intensitas dan ketinggian
tingkat ilmu usul dan kauniah yang diberikan sudah barang tentu bergantung
18 Abdurrahman Mas’ud, op.cit., hlm.44.
19 Pendidikan ilmu secara utuh di sini ialah pendidikan yang memadukan ilmu dan wahyu, pendidikan semacam ini kemudian dikenal dengan sebutan pendidikan sains terpadu yang diharapkan akan muncul SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus kuat imannya (lihat H. Moh. Kasiram, Pendidikan Sains Terpadu sebagai Akselerator Kebangkitan Sains Islam, Jurnal STAIN Malang, No.6, Tahun 1999 ISSN: 1410-0592, hlm. 22.)
26
pada tingkat kemampuan siswa atau murid dan spesialisasi atau kekhususan
yang dikehendaki penunutut ilmu yang mempunyai sasaran hilangnya sikap
dikotomis pada umat dan terbinanya manusia yang utuh.
Tiap individu paling sedikit harus diajak untuk beribadah sebagai
orang Islam dan mengatasi hal-hal yang esensial dalam agamanya serta
dididik untuk berakhlak sebagai muslim yang baik, kecuali itu paling sedikit
ia harus mengetahui peranan umat dalam pengembangan ilmu kauniah dan
metodologinya seperti yang diperintahkan dalam al-Qur’an serta mempunyai
gambaran mengenai keadaan ilmu kauniah masa kini dan penerapannya
dalam berbagai bidang.20
Berbicara tentang keterpaduan wawasan agama dan ilmu kiranya akan
lebih tepat kalau meminjam konsep Islamisasi Ilmu dari Al-Faruqi yaitu
tentang teori kesatuan kebenaran yang melandasi semua pengetahuan Islam.
Menurut Al-Faruqi, teori ini terdiri dari tiga prinsip: Pertama berdasarkan
wahyu kita tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan realita.
Kedua, tidak ada kontradiksi antara nalar dan wahyu. Ketiga, penelitian dan
pengamatan terhadap alam semesta tidak mengenal batas akhir. Dengan
ketiga prinsip itulah landasan epistemologi Islam dibangun.21
Dengan bertolak dari epistemologi Islam yang pada prinsipnya
menghargai kebenaran indrawi, akal dan wahyu, maka ilmu apa pun yang
dikembangkan dan diajarkan dalam pendidikan Islam, tidak hanya
pendidikan agama tetapi juga pendidikan sains dan teknologi, semuanya
diarahkan untuk menuju kepada penyadaran akan kebesaran Allah.
Dengan demikian tanggung jawab pembinaan Imtaq jangan hanya
diklaim oleh atau dibebankan pada pendidikan agama karena pada dasarnya
yang mengantar pada manusia pada kesadaran dan kebesaran Tuhan bukan
20 Achmad Baiquni, Al-Qur’an ilmu pengetahuan dan teknologi, (Yogyakarta :PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm.152.
21 Achmadi, Reformasi Sistem Pendidikan Agama Islam Dalam Era Reformasi (Telaah filsafat Pendidikan), dalam Ismail SM (eds), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet I, hlm. 161.
27
hanya melalui pendidikan agama, tetapi juga melalui ilmu-ilmu yang lain.
Dengan asumsi ini wawasan agama perlu dilibatkan dalam pengajaran sains,
sebaliknya dalam pendidikan agama tidak boleh meninggalkan wawasan ilmu
yang sifatnya empirik obyektif dan logik.22
Melihat dampak dan ilmpilkasi negatif dari dikotomi ilmu agama dan
umum maka sudah saatnya bagi kaum Muslimn khususnya bagi lembaga-
lembaga pendidikan Islam untuk melakukan reintegrasi ilmu-ilmu. Dalam
kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai suatu kesatuan, yang setara
hierarkinya, yang dari perspektif Islam sama-sama mendapat pahala jika
menuntut dan menekuninya.23
Sains (science) di sini diartikan sebagai ilmu pengetahuan dalam
cakupan yang luas. Bukan dalam batasan satu nilai atau satu bidang
kebutuhan manusia. Arti lebih luas akan mencakup struktur kehidupan dan
kebutuhan manusia. Baik dalam pola bermasyarakat maupun dalam
kehidupan individu.24
Apabila difahami secara mendasar, ilmu pengetahuan menempati
posisi yang sangat penting dalam tatanan Islam. Posisi utama tersebut
diberikan, karena ilmu adalah sarana yang paling penting dan tepat untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dasar dan nilai-nilai science ini telah jelas digariskan oleh Allah dan
Rasul-Nya baik secara eksplisit maupun implisit.
Posisi ilmu pengetahuan dalam tatanan Islam menurut Sahal Mahfudh
memiliki dua standar pokok. Yaitu standar ketuhanan dan kemanusiaan.
Segala penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu, berada dalam skema
dua standar pokok tersebut.25
22 Ibid
23Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi Dan Demokratisasi, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara, 2002), hlm. 109.
24 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994), cet I, hlm. 291.
25 Ibid, hlm. 292.
28
Standar ketuhanan menyeleksi ilmu pengetahuan dengan ketentuan,
sejauh mana ia mampu secara mantap dan sempurna memenuhi kebutuhan
pemahaman hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungannya
dengan sesama makhluk dalam kaitannya dengan nilai keagamaan, etika dan
tata hubungan bermasyarakat.
Standar kemanusiaan menelaah kualitas ilmu pengetahuan dalam tata
peradaban dan kemanusiaan, sehingga menyangkut pola komunikasi dan pola
manusiawi dalam kehidupan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa timbul
dikotomi dalam kedua standar tersebut. Hanya saja skala prioritas yang
berlaku, lebih menekankan pada pendalaman ilmu pengetahuan yang masuk
dalam standar yang pertama, misalnya.
Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam tatanan Islam memiliki
dimensi bathiniyah (esoteris) yang mempunyai kaitan yang bersifat ukhrawi,
atau untuk mencapai kebahagiaan di alam akhirat nanti. Begitu juga harus
mempunyai kaitan manfaat dengan kehidupan duniawi yang banyak
memberikan kemudahan dan keadilan bagi kehidupan manusia. Agar dengan
demikian tidak timbul asumsi, Islam adalah agama keakhiratan belaka.26
Pendidikan terpadu yang sudah dirintis oleh cendekiawan Muslim
sejak dulu ini berusaha untuk memadukan antara pendidikan tradisional dan
pendidikan sekuler dengan harapan mampu memunculkan sesosok
cendekiawan yang menguasai sains-sains modern dan ahli serta konsisten
dalam bidang agama.
Yang menarik dari sejarah perkembangan ilmu dalam Islam adalah
hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan nonagama.
Kedua disiplin ilmu itu ternyata saling melengkapi. Ilmu-ilmu agama
berkembang terlebih dahulu dan seolah-olah mengisyaratkan bahwa manusia
dan peradabannya harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan
keimanan yang kokoh sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Itulah
26 Ibid, hlm. 294.
29
yang menjadi kunci kehebatan dari perkembangan Islam di dunia Islam
zaman dulu.27
Disiplin lain yang tidak boleh dilupakan adalah filsafat yang
merupakan sumber ilmu. Filsafat inilah yang kemudian memicu ilmu-ilmu
lain semacam fisika, kimia, dan matematika dalam Islam. Di abad ke-3 Islam,
kita sudah diperkenalkan oleh filsuf sejati al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina.28
Dalam buku yang berjudul Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam
Terpadu dijelaskan bahwa ada tiga kategori terpadu yaitu: a) Terpadu dalam
proses, b) Terpadu dalam materi, dan 3) Terpadu dalam Penyelenggara.29
a. Terpadu dalam Proses
Keterpaduan dalam proses berarti dalam pelaksanaan pendidikan
meliputi tiga komponen yang saling melengkapi yaitu keluarga,
masyarakat dan sekolah.
1). Keluarga
Keluarga adalah bentuk terkecil dari masyarakat. Dengan
demikian cara suatu masyarakat tergambar pula dalam keluarga. Di
dalam keluarga ada aturan, norma yang tidak tertulis namun ditaati
melalui pembinaan, contoh, tauladan, pengalaman, kasih sayang,
pujian, larangan dan hukuman.29
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan
pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua.
Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati.30 Mereka pendidik
bagi anak-anaknya karena secara kodrat mereka diberikan anugrah
27 Abdurrahman Mas’ud, op.cit., hlm. 81.
28 Ibid
29 Departemen Agama Republik Indonesia, Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam Terpadu, op.cit., hlm. 03.
29 Ibid, hlm. 05.
30 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2001), cet. V, hlm. 218.
30
oleh Tuhan pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri itu timbul
rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga
secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk
memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan
mereka.31
Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak ini
berlangsung terus sampai akhir hayat. Semakin matang usia anak,
peran orang tua semakin menyempit. Sebagai gambaran, tanggung
jawab orang tua dapat dilihat pada tabel berikut:32
TABEL I
Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui bahwa tanggung
jawab keluarga terhadap pendidikan anak berangsur-angsur mengecil
setelah anak mencapai kematangan dan kedewasaan, namun tanggung
jawab ini tidak akan lepas sama sekali.
2). Masyarakat
Dalam masyarakat pendidikan dapat dilakukan pada lembaga
luar sekolah yang biasa disebut dengan Pendidikan Luar Sekolah
(PALS).
31 Ibid
32 HM. Chabib Thoha, Kapita selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet I, hlm. 105.
keluarga
31
Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang
diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar
yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.33 Pada jalur
pendidikan luar sekolah itulah masyarakat mendirikan lembaga
pendidikan agama yang khusus memberikan pengetahuan dan
ketrampilan agama. Pendidikan seperti ini dapat berupa pengajian di
rumah-rumah, masjid, madrasah diniyah, pesantren kilat dan lain-lain.
3). Lembaga Pendidikan (sekolah)
Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah pelanjut dari
pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik
anak-anak mereka, maka mereka diserahkan kepada sekolah-sekolah.
Hubungan sekolah, orang tua dan masyarakat pada hakikatnya
merupakan sarana yang sangat berperan dalam membina dan
mengembangkan pertumbuhan peserta didik di sekolah. Dalam hal ini
sekolah sebagai system social merupakan bagian integral dari system
social yang besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat
memiliki hubangan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah
atau pendidikan secara efektif dan efisien.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut banyak cara yang bisa
dilaksanakan oleh sekolah dalam menarik simpati masyarakat
terhadap sekolah dan menjalin hubungan yang harmonis antara
sekolah, orang tua dan masyarakat. Hal tersebut antara lain dapat
dilakukan dengan memberitahu masyarakat mengenai program-
program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang
dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan, sehingga masyarakat
mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.
33 Departemen Agama Republik Indonesia, Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam
Terpadu, op.cit., hlm. 23.
32
Dalam MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) pelibatan
masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memehami, membantu
dan mengontrol pengelolaan pendidikan.34
Melalui dewan sekolah (School Council) orang tua dan
mayarakat dapat berpartisipasi dalam pembuataan berbagai
keputusan. Dengan demikian masyarakat dapat lebih memahami serta
mengawasi dan membantu sekolah dalam pengeloaan termasuk
kegiatan belajar mengajar.
b. Terpadu dalam materi
Keterpaduan Pendidikan tidak hanya antara lingkungan pendidikan
keluarga, sekolah dan masyarakat tetapi juga keterpaduan dalam materi
yang mencakup aspek (ranah), ilmu pengetahuan serta lingkungan
hidup.35
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Benyamin S. Bloom bahwa
tujuan pendidikan harus mengandung tiga ranah yang saling melengkapi
yaitu:36
1. Kognitif atau penalaran ilmu
2. Afektif atau pembentukan sikap dan prilaku
3. Psikomotor atau ketrampilan dan pengalaman
Jika dilihat dari organisasi kurikulum, ada tiga tipe atau bentuk
kurikulum, yakni:37
34 Mulyasa, Manajemen Berbasisi Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2003), cet.V, hlm.24.
35 Departemen Agama Republik Indonesia, Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam Terpadu, op.cit., hlm. 49.
36 Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001), cet.I, hlm. 36.
37 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan implementasi kurikulum, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 34
33
1. Separated Subject Curriculum
Pada bentuk ini, bahan dikelompokkan pada mata pelajaran
yang sempit, di mana antara mata pelajaran yang satu dengan yang
lainnya menjadi terpisah-pisah, terlepas dan tidak mempunyai kaitan
sama sekali, sehingga banyak jenis mata pelajaran menjadi sempit
ruang lingkupnya.
2. Correlated Curriculum
Correlated Curriculum adalah suatu bentuk kurikulum yang
menunjukkan adanya suatu hubungan antara satu mata pelajaran
dengan mata pelajaran lainnya, tetapi tetap mempertahankan cirri atau
karakteristik tiap bidang studi tersebut.
3. Integrated Curriculum
Pelajaran dipusatkan pada suatu masalah atau topik tertentu.
Dari tipe atau bentuk kurikulum tersebut dapat dilihat bahwa
pendidikan terpadu yang merupakan perpaduan antara sains dan
agama adalah termasuk dalam kategori correlated curriculum karena
menghubungkan antara pendidikan agama dan sains.
Perpaduan tersebut bersifat induktifikasi yaitu asumsi-asumsi
dari teori ilmiah yang didukung dengan penemuan-penemuan empiris
dilanjutkan secara teoritik abstrak ke arah metafisik (gaib) kemudian
dihubungkan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an.38
c. Terpadu dalam Penyelenggara
Terpadu di sini meliputi keserasian antara kegiatan pengajaran,
bimbingan dan latihan, serta keterpaduan di antara unsur ketenagaan
dalam sekolah yaitu, guru, agama, Kepala sekolah, guru bidang studi lain,
dan tenaga administrasi dalam pembinaan agama.39
38 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,1993), hlm.100.
39 Muhaimin, op.cit, hlm. 109.
34
Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan
yang dilakukan oleh departemen, yaitu departemen pendidikan nasional
(Depdiknas) dan departemen agama (Depag).40 Oleh karena itu
diusahakan adanya keterpaduan antar keduanya dalam kurikulum yang
dibuatnya, maka sistem pendidikan ini cocok diterapkan pada lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan dua macam kurikulum yaitu
kurikulum Depag dan Depdikbud.
B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Terpadu
1. Dasar-dasar Pendidikan Terpadu
a). Landasan Normatif-Teologis
Wahyu pertama yang dating dari Rasulullah Saw.
Memerintahkan untuk membaca (QS. Al-Alaq:1-5)
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu itu maha Pemurah yang telah mengajarkan dengan pena. Ia telah mengajarkan kepada menusia apa-apa yang belum diketahuinya.”(QS. Al-Alaq:1-5).41
Inspirasi pertama yang turun dari Allah ini menjadi sebuah
catatan yang sangat besar pada perjalanan hidup Muhammad.
Ternyata Beliau mendapatkan wahyu dari Allah yang pertama kali
dengan perintah membaca. Sehingga membaca adalah materi pertama
dalam dustur (undang-undang, system ajaran) Islam yang sarat
dengan makna, bimbingan dan pengarahan. Hanya saja bimbingan
dan pengarahannya tidak terwujud dalam redaksi kata-kata semata,
tetapi juga dari isi secara umum.
40 Darmu’in, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah Terhadap Pesantren
dan Madrasah dalam PBM – PAI di sekolah,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 74.
41 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 1079.
35
Materi ini termuat dalam awal kata wahyu pertama “Bacalah”.
Ayat ini mengandung perintah untuk membaca, sebuah perbuatan
yang merupakan sarana terpenting untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Kehebatan Islam adalah karena singkat dan cepatnya
masa perkembangan serta kata pertama dari wahyu pertama yang
sarat mengandung ilmu pengetahuan. Kemudian turunlah ayat ayat al-
Qur’an menjelaskan dan memperkuat sehinnga menjadi cirri utama
kemuliaan Islam.42
Jika ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di malam yang penuh
berkah itu memerintahkan untuk membaca sampai dua kali
menyebutkan permasalahan ilmu pengetahuan sebanyak tiga kali,
juga menyebutkan tentang “pena”.43 Jadi sejak awal diturunkannya
Islam telah memulai ajarannya dengan menyerukan proses pendidikan
sesuai dengan keperluan masyarakat waktu itu, jika pendidikan
diartikan sebagai proses pembangunan dan mengembangkan
sumberdaya manusia.
Dapat diartikan secara luas bahwa membaca adalah salah satu
proses terpenting dalam sistem pendidikan. Tidak ada umat yang
mencapai kemajuan dan kebesaran tanpa proses membaca. Membaca
pengetahuan teknologi, membaca diri, membaca lingkungan,
membaca alam raya dan membaca apapun yang dapat
membangkitkan peradaban manusia. Dengan perintah membaca itu,
sejak awal Islam telah menempatkan dirinya sebagai agama yang
hendak merangsang fitrah manusia, mendorong para pengikutnya agar
menjadi manusia yang berilmu.
42 M. Fetullah Gulen, Versi Teladan Kehidupan Rasul Allah: Muhammad Saw,(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,2000), hlm. 5.
43 Abdul Halim Mahmud, Tadarus Kehidupan di Bulan Al-Qur’an, (Yogyakarta, Madani Pustaka Hikmah, 2000), hlm. 11.
36
Jika diamati objek membaca pada ayat-ayat yang menggunakan
kata qara’a ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan
yang bersumber dari Tuhan (al-Qur’an dan kitab sebelumnya), dan
terkandung juga obyeknya adalah suatu kitab yang merupakan
himpunana karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari
Allah.
Di lain segi dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata
dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya, maka obye
yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh kata tersebut.44 Dari sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa karena kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah,
menyampaikan dan sebagainya. Dan karena obyeknya tidak disebut
sehingga bersifat umum, maka obyek kata ytersebut mencakup segala
yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan
maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya,
masyarakat, diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, Koran dan
sebagainya.
Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun dan
sebagainya dikaitkan dengan Bi Ismi Rabbika (dengan nama
Tuhanmu) pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si
pembaca bukan sekedar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga
antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya
kepada hal-hal yang bertentangan dengan “nama Allah” itu.45
Doktrin Islam juga mengajarkan kepada pemeluknya untuk
memasuki Islam secara Kaffah (menyeluruh). Islam yang kaffah
menggaris bawahi terwadahinya berbagai aspek kehidupan dalam
44 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1997), cet. XIV, hlm. 169
45 Ibid
37
Islam.46 Hal ini dapat dilihat pada firman Allah surat al-Baqarah ayat
208:
���������������� ��������������������������������������
������ !��"��#$%�&'()���*+,-.�
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu”.47
Di samping itu, Islam juga mengajarkan agar umatnya mampu
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, sebagai mana
firman Allah surat al-Qashas ayat 77:
�������$ ������/��0$�1�����'(��2� ���3��4�����5���6 7���
�&�8 0)��*99.�
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi.” (QS AL-Qashas: 77). 48
b). Landasan Filosofis
Secara filosofis, ada dua prinsip penting yang perlu diperhatikan
dalam penyelenggaraan pembelajaran, yaitu prinsip progresivisme
dan prinsip humanisme.49
Prinsip progresivisme berisi wawasan bahwa pwndekatan
pembelajaran harus berpusat pada siswa dan dihadapkan pada
46 Muhaimin, Wacana Pengemabangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan PSAPM, 2003), cet I,hlm. 247.
47 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 50.
48 Ibid, hlm. 633.
49 Muh. Faisal, Pembelajaran Terpadu,op.cit., hlm. 60.
38
persoalan problem solving.50 Sedangkan prinsip humanisme adalah
prinsip yang memposisikan manusia sebagai manusia.51
Paradigma pendidikan Islam jika dipandang dari aspek filosofis
adalah sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami yang
diwujudkan dalam sikap hidup dan dimanivestasikan dalam
kehidupan sehari-hari.52
Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
akan bertolak dari konsep teosentris di mana konsep antroposentris
merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Maka proses dan
produk pencarian, penemuan iptek lewat studi, penelitian dan
eksperimen, serta pemanfaatannya dalam kehidupan merupakan
realisasi dari misi kekhalifahan dan pengabdianya kepada Allah.
Dengan demikian prinsip progresivisme dan humanisme akan
terwujud bila dikembangkan sistem pendidikan yang terpadu.
c). Landasan Historis
Sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: periode
klasik, periode pertengahan dan periode modern. Pada periode klasik
umat Islam mengalami kejayaan, maka pemikiran Islam begitu
berkembang sehingga melahirkan kemajuan dunia Islam baik di
bidang ekonomi, pertanian, sains maupun ilmu-ilmu agama.53
Sedangkan pada masa pertengahan dan modern umat Islam
mengalami masa kemunduran. Bertolak dari situ untuk mengejar
ketertinggalannya dari Barat, ulama dan para pemikir Islam berusaha
untuk mencapai kemajuan Islam kembali melalui ide-ide
cemerlangnya. Sebagai implikasinya sistem pendidikan Islam yang
50 Ibid
51 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan nondikotomik, Op cit, hlm. 93.
52 Muhaimin, op.cit., hlm. 147.
53 Ibid, hlm. 250.
39
dibangun lewat lembaga pendidikan menggunakan system terpadu
antara materi agama dan umum.
d). Landasan Teoritis
(1). Teori kontruktivitas
Konstruktivis adalah sebuah teori pembelajaran yang
beranggapan bahwa setiap orang harus membangun atau
menyusun pengetahuan sendiri. Pengalaman langsung siswa
adalah merupaka kunci pembelajaran yang bermakna.54
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut, maka proses belajar
harus disikapi sebagai kreatifitas dalam menata serta
menghubungkan pengalaman dan pengetahuan hingga
membentuk keutuhan.55
(2). Teori Perkembangan Kognitif
Dalam perkembangan teori kognitif dikemukakan bahwa
perubahan tingkah laku yang terjadi dalam proses perkembangan
adalah hasil dari perubahan dalam kemampuan perpikir
seseorang dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.54
(3). Teori Pembelajaran
Dalam teori belajar, kita akan ingat pada teori Gestalt yang
menekankan pada pentingnya keseluruhan.55 Dari sini dapat
diketahui letak pentingnya mempelajari sesuatu secara
menyeluruh (holistic) sehingga pemahaman siswa menjadi utuh.
e). Landasan Edukatif
Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia, dalam
arti upaya untuk mengembangkan kemampuan atau potensi individu
54 Muh. Faisal, Pembelajaran Terpadu,op. cit., hlm. 59.
55 Ibid, hlm. 60.
54 Ibid
55 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. VIII, hlm. 274.
40
sehingga bisa hidup optimal baik sebagai anggota masyarakat serta
memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya.56
Untuk itulah perlu dikembangkan pendidikan yang berwawasan
iptek dan imtaq agar pribadi yang sempurna dapat diwujudkan.
f). Landasan Praktis
Memadukan sesuatu yang terdiri atas beberapa bagian yang
saling terpisah, selain menghemat waktu tentu juga akan menghemat
tenaga. Begitu pula halnya dengan pemaduan beberapa mata pelajaran
dalam satu kegiatan pembelajaran tentu akan lebih afektif dan lebih
afesien dari pada mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara
terpisah-pisah.57
2. Tujuan Pendidikan Terpadu
Menurut Hasan Langgulung dalam salah satu bab pada buku yang
berjudul Manusia dan Pendidikan suatu Analisis Psikologi dan
Pendidikan, beliau memaparkan tentang pemaduan kandungan kurikulum
di mana tujuan dari pemaduan kandungan kurikulum tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Secara falsafah tujuan dari pemaduan tersebut ialah akan keluar
manusia-manusia yang mempunyai pengamatan yang terpadu
mengenai realitas.58 Sebab inti pengetahuan adalah kebenaran atau
realitas, bagaimanapun perbedaan pendapat ahli-ahli tentang sifat-sifat
kebenaran yang menjelma dalam pengetahuan itu.
Dengan kata lain kalau kebenaran itu hanya satu tentulah pengetahuan
sebagai penjelmanya juga satu, walaupun muncul dalam berbagai
bentuk. Jadi adalah wajar, bahwa pengetahuan dalam bentuk disiplin
dan subjek itu harus dipadukan dalam kurikulum, dengan tujuan
56 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di sekolah, (Bandung: Sinar
baru Algensindo, 1996), cet. III, hlm. 02.
57 Muh. Faisal, Pembelajaran Terpadu,op.cit., hlm. 61
58 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986), hlm. 193.
41
menghasilkan manusia-manusia yang mempunyai pengamatan terpadu
mengenai realitas.
b. Pandangan psikologi. Ahli-ahli berpendapat bahwa pemaduan
kandungan kurikulum menghasilkan manusia yang memiliki
personaliti yang terpadu (Integrated Personality).
Maksud dari Integrated Personality adalah orang yang perkembangan
personalitynya dari segi spiritual, Intelektual, emosional, dan fisikal,
seimbang.59
Integrated Personality tersebut sesuai dengan pendapat Mohammad
Ali yang menjelaskan bahwa dengan pendidikan terpadu pembinaan
Imtaq dan Iptek diharapkan bisa dilakukan, supaya tujuan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup lahiriah dan
batiniah dapat tercapai.60
c. Ketiga dilihat dari segi kebudayaan, menurut kacamata sosiologi. Bila
sosiologi berbicara tentang perpaduan, yang dimaksudkan adalah
penyatuan sekelompok atau beberapa kelompok manusia dalam suatu
kawasan yang berdasarkan atas ikatan-ikatan budaya, agama, adat
istiadat dan lain-lain, menuju sesuatu atau berbagai tujuan tertentu.61
Hal ini senada dengan dasar pendidikan Islam tentang nilai-nilai sosial
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-
Qur’an dan sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan
menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Dengan dasar ini, maka
pendidikan Islam dapat diletakkan dalam kerangka sosiologis, selain
59 Hasan Laggulung, Integrated personalityadn Integrated Education: A Psycho-Socio-
Spiritual Approach,at Ghazali (ed), An Integrated education System in a Multi faith-Cultural Country,(Kuala Lumpur: Syarikat Alat Tulis Soorama, 1991), hlm. 56.
60 Mohammad Ali, Reorientasi Makna Pendidikan: Urgensi Pendidikan Terpadu, dalam Said Aqiel Siradj, Pesanren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Trasformasi Pesantren,( Bandung: Pustaka Hidayah, !999), cet. I, hlm.180.
61 Ibid, hlm. 194.
42
menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya yang
positif bagi kehidupan manusia.62
Menurut Drs. Mansur Isna, MA, pengintegrasian ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia dan mengatasi kesenjangan yang telah
terjadi antara Islam dan ilmu pengetahuan.63
C. Fungsi Pendidikan Terpadu
Dilihat dari pengertian, dasar dan tujuan prndidikan terpadu
sebagaimana tersebut di atas maka dapat dikemukakan beberapa fungsi
pendidikan terpadu, di antara fungsi pendidikan terpadu dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Menghindari pemisahan-pemisahan (fragmentasi) pengetahuan, sehingga
apa yang diperoleh siswa dalam pembelajaran terpadu lebih relevan
dengan kehidupan mereka.64
2. Memberikan kemungkinan bagi guru dan siswa untuk memanfaatkan
waktu secara efisien dan efektif karena siswa dan guru bekerjasama penuh
dan bermakna.65
3. Memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan tiga ranah sasaran
pendidikan secara bersamaan. Ketiga ranah tersebut adalah kognitif,
afektif dan psikomotorik.66
4. Memudahkan siswa untuk menghubungkan dan mengorganisasikan ide-
ide, konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang sedang diajarkan
sehingga akan terjadi transfer pemahaman dari suatu konteks ke konteks
63 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Transisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 09.
64 M. Faisal, Pembelajaran Terpadu,op.cit., hlm. 62.
65 Oemar Hamalik, Pendekatan Baru Srategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA, op.cit., hlm. 147.
66 Ujang Sukandi, Belajar Aktif dan Terpadu, Apa, Mengapa dan bagaimana, (Surabaya: Duta Graha Pustaka, 2003), hlm. 111.
43
yang lainnya.67 Hal ini berhubungan dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki oleh siswa. Siswa baru dapat membangun gagasan/pengetahuan
baru kalau pengetahuan yang disajikan selalu berkaitan dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Oleh karena itu pengajaran terpadu
akan mempermudah siswa ketika membangun gagasan/pengetahuan baru
karena materi yang disajikan selalu kait mengait satu sama lain.68
Pengetahuan yang dimiliki siswa bukan hanya untuk diketahui,
dikembangkan melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui
dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam
mengetahui sesuatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan
pengalamannya secara kongkrit.69
D. Langkah-langkah Pendidikan Terpadu
Yang dimaksud langkah-langkah pembelajaran adalah tahap
pelaksanaan pengajaran yang membuat perencanaan pengajaran dan
menetapkan metode dan teknik belajar mengajar yang paling tepat.70
Dalam hal perencanaan ada empat hal penting yang harus diperhatikan
yaitu: tujuan pembelajaran, bahan atau materi yang biasa mengacu pada buku
pelajaran yang sudah ditentukan, metode dan evaluasi.71
Menurut Ujang Sukandi, langkah-langkah pendidikan terpadu adalah
sebagi berikut: 72
1. Menentukan jenis mata pelajaran yang akan dipadu, misalnya
Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia. Anda dapat pula
67 Muh. Faisal, Pembelajran Terpadu, op.cit., hlm. 62.
68 Ujang Sukandi, op.cit., hlm.111.
69 Azyumardi Azra, op.cit., hlm.10.
70 Djamaluddin Darwis, Strategi Belajar Mengajar, dalam PBM – PAI di sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.50.
71 Ibid, hlm. 51.
72 Ujang Sukandi, op.cit., hlm. 115.
44
memadukan beberapa mata pelajaran yang lain diluar keempat mata
pelajaran ini. Sewaktu anda menetapkan beberapa mata pelajaran yang
yang akan dipadukan, anda sebaiknya sudah memiliki alasan/rasional
yang berkaitan dengan keberhasilan dan kebermaknaan siswa belajar.
2. Menyusun daftar konsep/pokok bahasan/sub pokok
bahasan/pembelajaran masing-masing mata pelajaran yang diambil dari
kuikulum (Garis-garis Besar Program Pengajaran/GBPP) yang berlaku.
Perumusan pokok bahasan dapat disingkat dengan satu atau dua kata atau
beberapa kata.
3. Membaca sambil mengkaji uraian BP/SPB/Konsep/pembelajaran
masing-masing mata pelajaran untuk mempertimbangkan PB/SPB mana
yang dapat dikaitkan/dipadu.
4. Memberi tanda pada PB/SPB yang dianggap dapat dikaitkan dan
kemudian menghubungkannya. Misalnya dengan cara menggaris bawahi
PB/SPB tersebut dan menghubungkannya dengan garis.
5. Menentukan team pemersatu mata pelajaran yang dipadukan. Tema dapat
diambil dari salah satu PB/SPB GBPP Bahasa Indonesia, atau dari luar
GBPP asalkan bersifat mutakhir dan dekat/dikenal.
6. Mengurai lebih lanjut PB/SPB yang dikaitkan menjadi kegiatan nyata
yang akan dilakukan siswa. Rumusan kegiatan harus mengandung
kemampuan yang dipelajari dan berkaitan dengan tema yang dipilih.
Uraian harus mengacu pada uraian masing-masing PB/SPB dalam GBPP.
7. Membuat satuan pelajaran atau rencana masing-masing pelajaran.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
45
TABEL II
LANGKAH-LANGKAH PENDIDIKAN TERPADU
Menurut Muh. Faisal tahap-tahap pembelajaran Terpadu berlangsung
sebagai berikut:73
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan pembelajaran terpadu ada empat kegiatan
penting yang perlu dilakukan, yaitu:
a. Pemilihan tema dan unit-unit tema/topik.
b. Pemilihan sumber belajar.
c. Pemilihan kegiatan atau aktivitas, dan
d. Perencanaan evaluasi.
73 Muh. Faisal, op.cit., hlm. 65.
Menentukan jenis mata pelajaran yang akan dipadukan
Memberi tanda PB/SPB yang dipadukan dan menghubungkannya
Menentukan tema pemersatu
Mengurai lebih lanjut PB/SPB yang dipadukan
Membaca dan mengkaji uraian PB/SPB
Menyusun daftar PB/SPB mata pelajaran yang dipadukan
Membuat satuan pelajaran/rencana masing-masing mata pelajaran
46
Kegiatan-kegiatan tersebut bukan merupakan langkah yang terpisah-
pisah, tetapi merupakan sebuah proses yang dinamis. Perubahan dalam
satu aspek dalam perencanaan itu akan berakibat berubahnya pula aspek-
aspek yang lain.
2. Pelaksanaan.
3. Evaluasi (Assesmen).
Demikian gambaran sekilas tentang langkah-langkah pengajaran terpadu.