internalisasi karakter

21
Membangun Karakter kuat anak melalui jiwa Entrepreneurship March 10, 2008 at 9:25 am (Uncategorized) PENGEMBANGAN JIWA ENTREPRENEURSHIP BAGI ANAK: Kapan dan Bagaimana memulainya? Sylvi DewajaniFakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Berbagai sumber menyatakan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi dari karakter yang dimiliki dibandingkan kecerdasan intelektualnya. Mitshubisi Research Institute (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang 40% bergantung pada soft skills yang dimilikinya, 30% tergantung pada kemampuan networking dan 20% tergantung pada kecerdasannya, baru 10% diantaranya ditentukan dari uang yang dimilikinya. Selain itu, sebagian besar keberhasilan seseorang dalam mencari pekerjaan bukan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, melainkan kemampuan seseorang di dalam mengelola diri. Sebagian besar direktur SDM dari perusahaan besar di Indonesia, maupun perusahaan multinasional akan sepakat dengan pernyataan di atas. Oleh karena kesuksesan seseorang yang nyata-nyata dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengelola diri, maka sekolah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya menghasilkan lulusan didik yang cerdas intelektual saja. Pada dasarnya pendidikan dimulai semenjak janin mulai terbentuk di dalam rahim sang ibu. Orang tua adalah “primary educator”, pendidik pertama dan yang utama bagi anak-anaknya. Namun demikian, di dalam perkembangannya, pendidikan perlu dibantu oleh satu lembaga yang dapat secara intensif memberikan stimulasi yang terstruktur dalam usaha

Upload: zafirakanara

Post on 14-Jun-2015

1.237 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: INTERNALISASI KARAKTER

Membangun Karakter kuat anak melalui jiwa Entrepreneurship

March 10, 2008 at 9:25 am (Uncategorized)

PENGEMBANGAN JIWA ENTREPRENEURSHIP BAGI ANAK: Kapan dan Bagaimana memulainya? Sylvi DewajaniFakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Berbagai sumber menyatakan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi dari karakter yang dimiliki dibandingkan kecerdasan intelektualnya. Mitshubisi Research Institute (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang 40% bergantung pada soft skills yang dimilikinya, 30% tergantung pada kemampuan networking dan 20% tergantung pada kecerdasannya, baru 10% diantaranya ditentukan dari uang yang dimilikinya. Selain itu, sebagian besar keberhasilan seseorang dalam mencari pekerjaan bukan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, melainkan kemampuan seseorang di dalam mengelola diri. Sebagian besar direktur SDM dari perusahaan besar di Indonesia, maupun perusahaan multinasional akan sepakat dengan pernyataan di atas. Oleh karena kesuksesan seseorang yang nyata-nyata dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengelola diri, maka sekolah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya menghasilkan lulusan didik yang cerdas intelektual saja.

Pada dasarnya pendidikan dimulai semenjak janin mulai terbentuk di dalam rahim sang ibu. Orang tua adalah “primary educator”, pendidik pertama dan yang utama bagi anak-anaknya. Namun demikian, di dalam perkembangannya, pendidikan perlu dibantu oleh satu lembaga yang dapat secara intensif memberikan stimulasi yang terstruktur dalam usaha menguasai suatu kompetensi tertentu, sebagai modal di masa depannya. Lembaga tersebut kemudian dikenal dengan nama “sekolah”. Jika ditilik dari tujuannya, maka sekolah semestinya memiliki tujuan untuk baik mencerdaskan sisi intelektual, maupun karakter anak. Untuk itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan semestinya tidak hanya mengarahkan kurikulumnya pada tujuan kecerdasan intelektual, namun terlebih dari itu mengembangkan karakter anak didiknya.

Page 2: INTERNALISASI KARAKTER

Pada saat ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya lembaga pendidikan semenjak usia dini. Bahkan dikenal dengan pendidikan di masa “golden age”, karena di dalam konsep perkembangannya, usia 2-5 tahun adalah usia ideal pembentukan “pribadi” anak, sebagai investasi psikologis masa depannya. Pendidian Anak Usia Dini, seharusnya lebih banyak menekankan pada aspek “karakter” dibandingkan aspek kecerdasan intelektualnya. Kurikulum yang dikembangkan selayaknya berkisar pada pendidikan karakter.

Melalui konsep pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991; 1997); Berkowitz (1995; 1998; 2004) dan Lee In-Jan (2001) teradapat beberapa hal yang dapat dipelajari di dalam usaha mewujudkan karakter. Hal pertama adalah bahwa pendidikan karakter harus terintegrasi di dalam suatu kurikulum. Di dalam usaha pengembangan karakter, tidak dapat hanya dilakukan melalui satu ranah saja, terutama ranah kognitif. Pengalaman program P4 merupakan satu hal yang sangat baik untuk dipelajari. Bahwa pengembangan karakter harus dilakukan secara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler.

Hal kedua yang dipelajari adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata ajaran tidak akan dapat menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan.

Ketiga adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik. Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh

Page 3: INTERNALISASI KARAKTER

karena itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat menciptakan ’teachable moment’ bagi karakter yang akan dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan karakter.

Pada masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih adalah jiwa entrepreuner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih? Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship sendiri menurut ahli pendidik entrepreneurship, Hindle and Anghern (1998) adalah jiwa yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi, selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif, serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Karakter entrepreneurship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entepreneurship, bukan berarti menciptakan pedagang atau wira usaha, namun terlebih dari itu, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan bangsa.

Dengan menggunakan prinsip pendidikan karakter di atas, sikap dan karakter entrepreneurship akan dapat dikembangkan dengan baik. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter ’entrepreneurship adalah sebagai berikut:1) Menetapkan karakter ’entrepreunership’ sebagai satu visi lembaga pendidikan kita, dan melakukan persamaan persepsi tentang deskripsi operasional tersebut. 2) Mensosialisasikan sikap dan nilai ’entrepreneurship’ kepada seluruh sivitas akademika sekolah, termasuk orang tua dan stakeholder3) Menurukan visi ’entrepreneurship’ ke dalam praktik kehidupan sehari-hari di sekolah, melalui: (a) penetapan aturan berserta sanksi yang berkait dengan karakter entrepreneurship dan diterapkan pada setiap anggota sekolah kita; (b) mengembangkan poster, banner dan berbagai atribut yang dapat mengingatkan anggota sekolah akan karakter entrepreneurship; (c) mengembangkan aktivitas sekolah yang mengandung nilai ’entrepreneurship’, baik dalam aktivitas protokoler maupun kegiatan penunjang lainnya4) Mengembangkan ’role model’ dari karakter entrepreneurship dimulai dari Kepala Sekolah dan Manajer Sekolah lain, Guru dan Pegawai administrasi. Role model harus selalu mempraktekkannya pada setiap kesempatan, sehingga dapat terlihat dan dimaknai oleh siswa.5) Mendesain proses pembelajaran dan penugasan yang memiliki kandungan nilai dan karakter entrepreneurship. Setelah tugas dikumpulkan, disediakan sesi refleksi untuk menginternalisasikan proses yang telah terjadi.6) Mengembangkan aktivitas yang melibatkan orang tua siswa dalam proses peningkatan nilai dan karakter entrepreneurship.

Page 4: INTERNALISASI KARAKTER

Perlahan namun pasti, proses peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pun akan terwujud, dimulai dari pendidikan yang paling dini. Tentu saja di akhir paper ini, masihlah perlu disampaikan bahwa kualitas generasi suatu bangsa, sangat bergantung pada keterpaduan 3 institusi, yaitu institusi keluarga, sekolah (pendidikan) dan masyarakat. Dengan demikian, optimisme ke arah Indonesia yang lebih aman, nyaman, damai dan sejahtera dapat terwujud, karena memiliki SDM yang handal.

Leave a Comment

Mendidik Anak Menghormati Orang Lain: modal perdamaian bangsa

March 10, 2008 at 9:09 am (Uncategorized)

MENDIDIK ANAK MENGHORMATI ORANG LAIN (the heart of peaceful world): BAGAIMANA DAN KAPAN MEMULAINYA? Sylvi Dewajani*)Faculty of PsychologyGadjah Mada University

Menghormati orang lain adalah inti nilai hidup yang dapat membentuk dunia yang aman dan damai, jauh dari peperangan dan kebencian. Menghormati orang lain adalah karakter yang perlu dikembangkan kepada anak. Makalah ini akan membahas kapan waktu terbaik memulai mengembangkan karakter dan bagaimana cara mengembangkannya. Dengan mengadakan beberapa studi literatur pada beberapa konsep mengenai pengembangan karakter, paper ini diharapkan dapat menyumbangkan satu alternatif bagi bangsa lembaga pendidikan, keluarga maupun masyarakat Indonesia, strategi untuk mengembangkan karakter.

Karakter manusia tidak hanya dilahirkan, namun dikembangkan. Karakter dikembangkan melalui proses pengenalan ”nilai hidup” dan budaya melalui tiga lembaga utama, yaitu (1) keluarga; (2) lembaga pendidikan dan (3) masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang akan bertanggung jawab akan terbentuknya karakter generasi suatu bangsa. Karakter merupakan satu penanda mengenai siapa diri kita sesungguhnya, bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku. Karakter sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kita katakan, dan kita yakini (Boyatzis, et.al. 1995). Karakter dapat ditunjukkan dari tingkah laku kita saat tidak ada seorangpun yang melihat. Lebih jauh, pakar pendidikan karakter, Lickona (1991) mendefinisikan bahwa karakter yang positif terdiri atas bagaimana seseorang dapat mengetahu kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan juga melakukan hal-hal yang baik. Menurut Lickona (1991) terdapat beberapa karakter yang penting di dalam kehidupan kita, yaitu: tanggung jawab, kejujuran, menghormati orang lain, berlaku adil, kerjasama, toleransi, dan lain-lain. Bagi bangsa

Page 5: INTERNALISASI KARAKTER

Indonesia yang terdiri dari multikultur dan multi religi, maka karakter ”menghormati orang lain” akan sangat penting. Karakter ”menghormati orang lain” perlu untuk dimiliki sebagai dasar perilaku dan sikap hidup bangsa Indonesia. Karakter mulai berkembang semenjak bayi dilahirkan, atau bahkan lebih awal sebelum itu saat pre-natal. Pada setahun pertama kehidupan bayi, telah berkembang kemampuan untuk memahami orang lain. Bayi pada masa tersebut telah dapat mengembangkan rasa empathy yang sederhana (Damon, 1998). Kemampuan empathy ini merupakan modal dasar bagi pengembangan karakter ”menghormati orang lain”. Menurut Damon (1998), kemampuan empathy ini sangat dipengaruhi oleh kelekatan anak dengan orang tua atau figur lekat yang lain, yang dapat memenuhi tugas perkembangan membentuk ”basic trust” yaitu kepercayaan bahwa dunia di luar dirinya aman dan bermafaat untuk dirinya (Erickson, 1968). Selanjutnya pada masa kanak-kanak sekolah, anak akan mengembangkan ketrampilan untuk melakukan ”perspective taking” (Berkowitz, 1998). Dan akhirnya pada masa remaja telah dimulai perkembangan moral reasoning dan moral identity. Sebagaimana disebutkan di dalam paragraf di atas, sekolah merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab akan pengembangan karakter generasi bangsa. Apakah hal ini juga dapat diartikan bahwa sekolah harus mengajarkan karakter ”menghormati orang lain” melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler? Ataukah melalui pendidikan moral yang diajarkan di kelas, karakter telah dapat terbentuk? Atau diperlukan cara lain untuk mengembangkan karakter anak. Secara khusus pada konvensi UNESCO tahun 1999 menetapkan bahwa pendidikan harus mengarah kepada pendidikan yang paripurna. UNESCO (1999) menetapkan 4 pilar pendidikan yang terdiri atas: (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together. Aspek pertama dan kedua di dalam keputusan konvensi UNESCO (1999) ini sarat dengan domain kognitif dan ketrampilan. Namun pada aspek ke tiga dan keempat lebih mengarah kepada domain afeksi yang mengarah pada pembentukan karakter. Di Indonesia, tahun 2003 ditetapkan UU SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa visi pendidikan Indonesia adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(dikutip dari UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS INDONESIA halaman 25) Dengan kedua dasar hukum tersebut, sekolah dirasa perlu untuk mengembangkan model pendidikan yang dapat mengarah pada lulusan yang berkarakter. Tidak hanya memiliki kecerdasan secara kognitif saja. Pada tingkat Perguruan Tinggi, yang dituangkan di dalam Higher Education Long Term Strategy (2003 – 2010) dinyatakan secara tegas bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk Insan Cerdas dan Kompetitif. Maksud dari dari kalimat tersebut adalah bahwa selain mengembangkan lulusan yang

Page 6: INTERNALISASI KARAKTER

cerdas, juga membentuk kepribadian kuat yang mampu berkompetisi di lingkup di lingkup internasional. Perlu dipikirkan, model pendidikan yang mampu mewujudkan visi dan tujuan pendidikan Indonesia tersebut. Pada intinya, menurut Lickona (1998) anak akan dapat mengembangkan pemahaman mengenai karakter, dengan cara mempelajari dan mendiskusikan karakter tersebut, mengamati perilaku model yang memiliki karakter positif dan memecahkan permasalahan yang memiliki kandungan moral dan karakter yang cukup tinggi. Pada saat anak berusaha belajar untuk memiliki karakter menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih karakter tersebut di dalam aktivitas nyata. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki karakter tersebut, secara lebih intensif. Peran dan pengaruh orang tua melalui pola asuh yang dipilih, peran sekolah dalam membentuk insan yang cerdas dan berkepribadian, serta peran masyarakat dalam menyaring dan menyediakan model karakter akan dibahas secara detail dan bertahap di dalam makalah ini. Daftar Pustaka:

Berkowitz, M. & Bier, M. (2004). What works in character education: A research driven guide for teachers. Washington DC: Character Education Partnership

Boyatzis, R.E; Cowen, S.S; Kolb, D.A; and Associates; 1995 Innovation in Professional Education: Step on a Journey from Teaching to Learning; San Fransisco : Jossey-Bass Publishers Erickson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books

Lickona, T., (1997). Educating for Character: The School’s Highest Calling. Georgia Humanities Council. Atlanta, Georgia

Jum'at, 1 Januari 2010

Pendidikan Berbasis Karakter

Page 7: INTERNALISASI KARAKTER

Senin, 14 Desember 2009 00:01 WIB  Berbagai fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi. Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada keadilan. Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah teredusir menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya. Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah. Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal, kekerasan, terorisme dan lain-lain. Oleh karena itu, pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modern. Menurut M Dawam Raharjo, peradaban modern dibangun dalam empat pilar utama, yakni induk budaya (mother culture) agama yang kuat, sistem pendidikan yang maju, sistem ekonomi yang berkeadilan serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang humanis. Sebenarnya keempat pilar tersebut sudah dimiliki Indonesia, tinggal bagaimana keempat hal tersebut berjalan secara fungsional melalui pendidikan.

Mengembangkan karakter Salah satu poin penting dari tugas pendidikan adalah membangun karakter (character building) anak didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara berbeda. Indonesia Heritage Foundation merumuskan beberapa bentuk karakter yang harus ada dalam setiap individu bangsa Indonesia di antaranya; cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik

Page 8: INTERNALISASI KARAKTER

dan rendah hati, dan toleransi, cinta damai dan persatuan. Sementara itu, character counts di Amerika mengidentifikasikan bahwa karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness), peduli (caring), kewarganegaraan (citizenship), ketulusan (honesty), berani (courage), tekun (diligence) dan integritas. Pada intinya bentuk karakter apa pun yang dirumuskan tetap harus berlandaskan pada nilai-nilai universal. Oleh karena itu, pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus. Hal itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah, masyarakat dan negara untuk mengisi pola pikir dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas, dan disiplin diri. Hal itu memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika dan akademis yang merupakan concern dan sekaligus kekhawatiran yang terus meningkat di dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan tersebut seharusnya menjadi dasar dari kurikulum sekolah yang bertujuan mengembangkan secara berkesinambungan dan sistematis karakter siswa. Kurikulum yang menekankan pada penyatuan pengembangan kognitif dengan pengembangan karakter melalui pengambilan perspektif, pertimbangan moral, pembuatan keputusan yang matang, dan pengetahuan diri tentang moral. Di samping nilai tersebut diintegrasikan dalam kurikulum, juga yang tidak kalah penting adalah adanya role model yang baik dalam masyarakat untuk memberikan contoh dan mendorong sifat baik tertentu atau ciri-ciri karakter yang diinginkan, seperti kejujuran, kesopanan, keberanian, ketekunan, kesetiaan, pengendalian diri, simpati, toleransi, keadilan, menghormati harga diri individu, tanggung jawab untuk kebaikan umum dan lain-lain. Lebih spesifiknya, menurut Dr Thomas Lickona, pendidikan yang mengambangkan karakter adalah upaya yang dilakukan pendidikan untuk membantu anak didik supaya mengerti, memedulikan, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika. Anak didik bisa menilai mana yang benar, sangat memedulikan tentang yang benar, dan melakukan apa yang mereka yakini sebagai yang benar--walaupun ada tekanan dari luar dan godaan dari dalam.

Peranan lingkungan Sementara itu, upaya pendidikan yang dilakukan di sekolah oleh para guru seperti membuat 'istana pasir di tepi pantai'. Sekolah dengan sekuat tenaga membangun istana yang cantik, tetapi begitu anak keluar dari lingkungan sekolah, ombak besar meluluhlantakkan istana yang telah dibangun di sekolah. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang komprehensif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mengembangkan karakter anak didik yang kuat, baik, dan positif secara konsisten. Lingkungan masyarakat, para pemimpin, pembuat kebijakan, pemegang otoritas di masyarakat, orang tua harus menjadi role model yang baik dalam menanamkan karakter yang baik kepada anaknya. Berbagai prilaku ambigu dan inkonsistensi yang diperlihatkan dalam masyarakat akan memberi kontribusi yang buruk yang secara signifikan dapat melemahkan karakter siswa. Banyak kebijakan dalam pendidikan yang justru kontraproduktif terhadap pengembangan karakter siswa. Sebut saja misalnya kebijakan ujian nasional (UN) yang dipercaya dapat menggenjot motivasi siswa untuk belajar supaya lulus UN. Kebijakan tersebut justru mengarah pada praksis pendidikan yang melahirkan peraturan dan sistem yang berbasis pada model reward and punishment. Model seperti itu hanya akan menghasilkan perubahan tingkah laku yang

Page 9: INTERNALISASI KARAKTER

bersifat sementara dan terbatas, tapi hanya sedikit bahkan tidak memberikan pengaruh pada pembentukan karakter anak untuk jangka panjang. Bahkan kalau kita amati pada tataran pelaksanaan UN di lapangan, begitu banyak praktik penyelewengan dan kecurangan yang bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri. Hal itu justru yang akan merusak karakter anak didik yang sudah sekian lama diusahakan dibangun dalam lingkungan sekolah. Hilangnya nilai-nilai kejujuran, integritas, dapat dipercaya adalah harga yang harus dibayar dalam praksis pendidikan yang menegasikan karakter positif anak didik. Saya sepakat dengan character education quality standards yang merekomendasikan bahwa pendidikan akan secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama.

http://mathedu-unila.blogspot.com/2009/11/membangun-karakter.html

Membangun karakter

Kita tidak perlu mengingkari bahwa rusaknya karakter bangsa mungkin secara tidak langsung disebabkan oleh krisis, tetapi bahwa akar permasalahannya ada pada diri manusia Indonesia itu sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dari "hilang"-nya jati diri dan rusaknya karakter bangsa. Apabila kita cermati, ternyata sejak 60 tahun terakhir, di Indonesia tidak lagi dilakukan apa yang disebut membangun karakter, bahkan cenderung diabaikan.

Ada suatu premis di dalam character building yang mengatakan bahwa character building is a never ending process, yang artinya bahwa pembangunan karakter dilakukan sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Oleh karena itu, pembangunan karakter dalam kehidupan kita dapat dibagi dalam tiga tahapan pembangunan karakter, yaitu pada usia dini (tahap pembentukan), usia remaja (tahap pengembangan), dan saat dewasa (tahap pemantapan).

Pembentukan karakter pada usia dini sangat krusial dan berarti sangat fundamental karena di sinilah paling tidak ada empat koridor yang perlu dilakukan, yaitu menanam tata nilai, menanam yang "boleh dan tidak boleh" (the does and the don’t), menanam kebiasaan, serta memberi teladan.

Keempat koridor ini dimaksudkan untuk mentransformasikan tata nilai dan membentuk karakter anak pada usia dini sehingga tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang pembantu. Ironisnya, dalam kehidupan modern ini, pembantu justru menjadi lingkungan (pengaruh) terdekat selama paling tidak 12 jam sehari dan lima hari seminggu. Maka, kita tidak perlu sakit hati bila muncul cibiran yang mengatakan bahwa karakter anak-anak kita justru lebih mirip dengan karakter pembantu.

Kondisi pendidikan formal di negeri juga tak kalah runyamnya. Anak didik kita lebih sebagai "kelinci

Page 10: INTERNALISASI KARAKTER

percobaan" bagi berbagai eksperimen kebijakan ketimbang sebagai anak bangsa yang harus dikembangkan karakternya.

Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat keempat koridor tadi.

Koridor tata nilai: berubahnya orientasi tata dari idealisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonistis.

Dalam koridor the does and the don’t belum terdapat adanya good governance dan good coorporate governance serta law enforcement yang memadai sehingga terdapat cukup banyak celah yang masih dimungkinkan untuk tidak menuju pembentukan karakter yang diharapkan. Dalam koridor kebiasaan, masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah, seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor memberi teladan, ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan.

Lemahnya kondisi sosial masyarakat yang mendukung tahap pengembangan menyebabkan terganggunya tahap pemantapan. Apa yang akan dimantapkan jika dalam tahap pembentukan dan pengembangan yang tumbuh adalah low trust society (masyarakat yang saling tidak memercayai, tidak ada saling menghargai) yang menunjukkan tidak terbangunnya karakter secara baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Perlu diingat, sebuah bangsa akan maju dan jaya bukan disebabkan oleh kekayaan alam, kompetensi, ataupun teknologi canggihnya, tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya. Dalam hal ini contohnya antara lain di Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan sebentar lagi di Vietnam. Atau, dapat disimpulkan bahwa bangsa yang didorong oleh karakter bangsanya akan menjadi bangsa yang maju dan jaya. Sementara bangsa yang kehilangan karakter bangsanya akan sirna dari muka bumi.

SWISS: Internalisasi Karakter Melalui PendidikanPosted by: cindellinastory on: August 20, 2009

In: Etcetera Comment!

Ini adalah tulisan saya saat harus membuat paper untuk mata kuliah perkembangan karakter satu tahun yang lalu…

Page 11: INTERNALISASI KARAKTER

Setiap bangsa memiliki karakternya masing-masing yang membedakannya dengan bangsa lain. Kesuksesan dan kemajuan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh luas tidaknya atau melimpah tidaknya sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Banyak negara-negara di dunia dengan kekayaan alam melimpah dan jumlah penduduk yang besar seperti Filipina, Indonesia, dan negara-negara di Amerika Selatan yang terpuruk secara ekonomi, politik, maupun sosial. Sedangkan Swiss, salah satu negara terkecil di dunia dengan luas wilayah hanya 41.285 km2 atau sebesar provinsi Jawa Barat dan Banten, dengan populasi penduduknya 7.581.520 jiwa (tahun 2008) memiliki akreditasi yang sangat baik di mata dunia. Hal ini tentunya tidak lepas dari karakter yang telah dimiliki bangsa Swiss sejak lama yang membuat dunia mengenal Swiss sebagai bangsa yang netral, terpercaya, nasionalis, integritas, menghargai perbedaan agama dan ras penduduknya, mengutamakan pendidikan warganya serta menjunjung tinggi demokrasi. Karakter inilah yang kemudian membawa bangsa Swiss sebagai negara paling makmur dan aman di dunia dengan tingkat kriminalitas paling rendah dan tingkat buta huruf hampir 0%. Internalisasi karakter yang sedang dan telah dilalui bangsa Swiss bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah. Proses internalisasi ini membutuhkan waktu yang panjang dan konsistensi sehingga dapat mengakar pada setiap warganya. Salah satu media internalisasi karakter yang paling efektif yang telah dipilih oleh bangsa Swiss adalah melalui pendidikan.

Karakter Bangsa Swiss

Swiss adalah negara kecil dengan luas wilayah 41.285 km2 atau sebesar provinsi Jawa Barat dan Banten, dengan populasi penduduknya 7.581.520 jiwa (tahun 2008). Ibukota negara ini adalah Bern. Sebagian besar wilayah Swiss ditutupi oleh pegunungan Alpen. Swiss diapit oleh negara-negara besar di Eropa, yaitu Perancis di bagian barat, Jerman di utara, Austria di sebelah timur, dan Italia di bagian selatan. Letak Swiss yang diapit oleh berbagai negara tersebut membuat Swiss menjadi bangsa yang majemuk dengan ¾ warganya adalah asli Swiss sementara ¼ warga negaranya adalah pendatang yang sebagian besar berasal dari negara-negara Eropa di sekitarnya. Swiss memiliki empat bahasa resmi, yakni bahasa jerman yang digunakan oleh 64% penduduknya, bahasa perancis (19%), bahasa italia (8%), dan bahasa roman (kurang dari 1%) (Heatwole 2008). Kemajemukan ini tidak membuat bangsa Swiss terpecah belah. Isu rasial pernah meneror sebagian besar warga asli Swiss dengan kampanye politik yang dilakukan oleh Christoph Blocher, pemimpin Partai Rakyat Swiss. Blocher gencar menyebarkan isu-isu anti-imigran, anti-islam, anti orang-orang asing, yang dianggapnya sebagai faktor penyebab utama meningkatnya masalah kriminalitas dan sosial di Swiss. Bahkan, Blocher memasang poster bergambarkan domba hitam yang sedang ditendang oleh domba putih di perbatasan Swiss. Tetapi saat hasil akhir pemilu Swiss, Blocher kalah dengan hanya perolehan suara 29%. Meskipun sempat resah dengan isu yang disebarkan, warga Swiss lebih resah akan kehilangan kekeluargaan dan keharmonisan yang telah mereka bangun selama ini. Swiss sangat melindungi keutuhan tetap terjaga dalam keragaman mereka.

Penghormatan terhadap keberagaman bangsa Swiss juga tercermin dalam politik negara yang terkenal sebagai negara paling demokratis itu. Setiap petunjuk atau pengarahan di parlemen selalu disediakan dalam empat bahasa. Tidak ada keberpihakan terhadap kaum mayoritas atau minoritas tertentu. Semua bahasa dipakai demi tersampaikannya setiap aspirasi. Penentuan keputusan atau penyelesaian masalah dilakukan melalui musyawarah untuk mendapatkan kata sepakat. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak mutlak sebagai

Page 12: INTERNALISASI KARAKTER

pengambil keputusan utama. Seluruh keputusan diambil secara demokratis dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung. Swiss telah menjalankan demokrasi yang seutuhnya: rakyat adalah negara, dan negara adalah rakyat. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dibuktikan oleh negara yang memiliki indek anti-KKN terendah di dunia ini.

Demokrasi pun tetap berjalan saat Swiss harus menentukan keberpihakannya pada Jerman atau Perancis ketika perang dunia II.  Sebagian berpikir agar Swiss berpihak pada Jerman. Sebagian lain yang berbahasa Perancis, Italia, dan Roman menginginkan agar Swiss tidak berpihak pada negara manapun. Tetapi pada akhirnya diputuskan Swiss tidak berpihak pada Jerman ataupun Perancis. Swiss memutuskan untuk netral. Sejak 1815, Swiss tidak pernah terlibat dalam perang dengan pemerintahan asing lain. Kenetralan Swiss membuat banyak organisasi internasional membangun markasnya di Swiss, seperti WHO, ILO, dan UNHCR yang bermarkas di Jenewa. Bahkan, PBB membangun sebagian besar kantornya di negara ini meskipun pusat PBB berada di New York.

Swiss bukan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Penduduk Swiss memiliki kesempatan mengolah tanahnya hanya selama enam bulan sekali dan sisanya mereka habiskan di dalam rumah karena cuaca dingin yang membeku. Waktu enam bulan ini disiapkan pula untuk persediaan selama satu tahun.Tetapi, Swiss mampu menjadi negara yang paling makmur di Eropa dan dunia dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia, yaitu $ 50.781 (2006) (Heatwole 2008). Swiss yang tidak memiliki kekayaan hasil bumi mengandalkan sektor perbankan dan pariwisata untuk memajukan perekonomiannya. Integritas, loyalitas, kejujuran, dan tanggung jawab ditawarkan oleh bank-bank di Swiss. Stabilitas politik dan ekonomi selalu terjaga dengan tingkat inflasi rendah  dan hukum perbankan yang jelas. Hasilnya, bank-bank di Swiss menjadi tempat yang paling dipercaya oleh orang-orang dari berbagai negara untuk menyimpan uangnya. Swiss juga dipercaya sebagai pusat finansial dunia. Keberhasilan Swiss di bidang ekonomi didukung pula oleh sektor pariwisatanya.

Pegunungan Alpen yang indah yang menutupi sebagian besar wilayah Swiss dan sering disebut sebagai surga dunia dijadikan sebagai daya tarik di sektor pariwisata. Pariwisata menjadi penting di Swiss sejak masa enlightenment saat para penulis, seniman, dan ilmuwan menemukan inspirasinya di pegunungan Alpen. Kota-kota di tepi danau Picturesque, termasuk di dalamnya Interlaken, Lausanne, Lucerne, Montreux, dan Vevey, adalah pusat pariwisata di Swiss. Sektor ini mulai tumbuh sejak berakhirnya Perang Dunia II. Ada sekitar sepuluh juta turis setiap tahunnya yang mengunjungi Swiss. Daya dukung dari keberhasilan di sektor pariwisata ini juga berasal dari warga Swiss yang memiliki sifat ramah, berpikiran terbuka, jujur, dan selalu menghindari konflik.

Swiss menjamin setiap bidang kehidupan yang baik bagi warganya, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, teknologi, transportasi, dan pendidikan. Pendidikan selalu menjadi prioritas utama pemerintah Swiss.

Pendidikan di Swiss

Swiss sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan. Sistem pendidikan modern Swiss menjadi yang terbaik di dunia. Angka buta huruf di Swiss adalah 0%. Pendidikan di Swiss banyak

Page 13: INTERNALISASI KARAKTER

dipengaruhi oleh sejarahnya. Pendidikan agama yang diterapkan di Swiss dipengaruhi oleh John Calvin yang datang ke negara ini tahun 1536. Pendidikan Swiss yang mengutamakan ekspresi individu (individual self expression) murid-muridnya dipengaruhi oleh seorang filsuf ternama di Swiss pada abad pertengahan 18, Jean Jacques Rousseau. Johann Pestalozzi, seorang yang merupakan pejuang pendidikan, turut memberikan pengaruh besar bagi sistem pendidikan Swiss. Johann Pestalozzi menekankan bahwa anak-anak sebaiknya belajar dari pengalaman mereka sendiri. Seorang psikolog Swiss, Jean Piaget, turut berperan dalam menerapkan konsep kemampuan belajar dan kebiasaan anak-anak dalam sistem pendidikan di Swiss.

Pemerintah Swiss sangat mengutamakan pendidikan warganya. Jika ada enam orang warganya yang mengajukan untuk sekolah, pemerintah Swiss akan membangun sekolah dan menyediakan guru untuk mereka beserta fasilitas lengkap. Hal ini berlaku bagi setiap warga negaranya, tidak peduli ras atau agama mereka. Sekolah-sekolah negara di Swiss tidak dikenakan biaya. Setiap sekolah di masing-masing canton (wilayah bagian negara) menggunakan bahasa resmi yang biasa digunakan warga setempat. Siswa juga diwajibkan mempelajari bahasa negara kedua untuk meningkatkan rasa kebangsaan mereka.

Peran Pendidikan dalam Internalisasi Karakter

Swiss berhasil menjadi sebuah bangsa yang berkarakter. Swiss sedang dan telah menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi, tidak hanya kecerdasan otak kiri semata. Hasilnya adalah manusia-manusia berkarakter yang diakui dunia.

Karakter dibentuk tidak melalui suatu proses yang singkat dan mudah. Karakter dibentuk melalui proses panjang yang membutuhkan konsistensi dan kesinambungan, yang didukung oleh aspek internal dan eksternal (keluarga, sekolah, dan lingkungan). Sekolah yang merupakan bagian utama dari sistem pendidikan dijadikan Swiss sebagai media utama untuk menanamkan nilai-nilai kepada warganya. Proses penanaman nilai-nilai ke dalam individu ini disebut sebagai internalisasi. Swiss dengan jeli memanfaatkan usia emas anak, yaitu antara 0-5 tahun, untuk memulai enkulturasi (pengenalan nilai-nilai), internalisasi, dan sosialisasi (penerapan) nilai-nilai kehidupan. Pengaruh pendidikan pada masa ini sangat besar sehingga enkulturasi, internalisasi, dan sosialisasi yang dilakukan pada masa ini akan mempermudah dan membuka jalan yang lebar bagi pembentukan karakter anak di fase-fase kehidupan selanjutnya.

Internalisasi nilai-nilai dan etika yang berhasil adalah ketika terjadi perubahan. Perubahan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku individu tersebut yang akan menghasilkan individu yang berkarakter. Perubahan  dimulai dengan suatu proses pembelajaran. Konsep pembelajaran yang diterapkan pada sistem pendidikan bangsa Swiss adalah konsep pengalaman. Sekolah tidak hanya mengajarkan teori-teori tentang nilai-nilai atau etika kepada murid-muridnya, tetapi juga aplikasi dari nilai-nilai itu ke dalam kehidupan sehari-hari.

”Character cannot be developed in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”

(Hellen Keller)

Page 14: INTERNALISASI KARAKTER

Karakter hanya akan terbentuk melalui pengalaman. Sekolah-sekolah di Swiss mengajarkan murid-muridnya tidak hanya sekadar mengetahui hal-hal baik (knowing the good) tetapi juga merasakan dan menerapkannya pada perilaku di kehidupan (feeling and acting the good). Ada sebuah peribahasa yang mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik. Ilmu dan pengetahuan yang diimplementasikan ke dalam sebuah bentuk pengalaman akan sangat membekas pada individu tersebut dan akan mengena ke alam bawah sadarnya. Pendidikan karakter yang diperoleh siswa di sekolah dibantu oleh pengalamannya di lingkungan tempat tinggal dan keluarga. Peran keluarga dan lingkungan sangat penting dalam membangun karakter seorang individu.

Proses pembelajaran melalui pengalaman secara konsisten akan membentuk pribadi yang berkarakter. Setelah melalui proses internalisasi karakter yang panjang dan sulit, Swiss membuktikan keberhasilan hasil pendidikannya pada dunia sebagai bangsa yang berkarakter. Karakter bangsa Swiss telah membawa Swiss sebagai negara makmur, aman, dan tentram. Hal ini membuktikan bahwa betapa pendidikan memiliki peran yang besar dalam internalisasi karakter.

Swiss telah menunjukkan bahwa sebuah negara yang terdiri atas individu-individu yang berkarakter dapat membentuk sebuah bangsa yang berkarakter. Dunia yang terdiri atas bangsa-bangsa yang berkarakter akan menciptakan tempat tinggal dan kehidupan yang jauh lebih baik.

Daftar Pustaka

Heatwole, Charles. 2008. Encarta Encyclopedia: Switzerland. Redmond, WA: Microsoft Corporation

Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Depok: Indonesia Heritage Foundation