bab i new

41
1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hati berperan penting dalam memelihara homeostasis metabolik. karena itu tidak mengherankan bahwa perkembangan penyakit hati ya secara klinis disertai dengan bermacam manifestasi metabolisme yang terga Walau beberapa fungsi lebih peka dari pada lainnya, hati sungguh mempunyai kapasitas cadangan, sehingga cedera sel yang minimal at mungkin tidak ditunjukkan dengan perubahan metabolik yang dapatdiukur. Namun, berbagai cacat mungkin tampak, tergantung pada sifat dan awal. (Corwin J. 2000) Abses Hati merupakan kumpulan pus yang terlokalisasi,yang bia disebabkan oleh kolangitis yang terjadi sekunder akibat obstruksi saluran Abses hati juga dapat terjadi setelah inflamasi supuratif pada daerah por didrainase pada piaemia porta. Penyebab lainnya dapat berkembang dari pen usus inflamasi, divertikulitis, appendisitis, atau viskus yang mengalami (Patel R Pradip, 2007) Penyakit yang disebabkan oleh protozoa (jenis mikroba) dan cacing (j cacing) parasit adalah salah satu penyebab utama kematian dan penyakit di tropis dan subtropis di dunia. Upaya untuk mengendalikan vektor penyakit ini seringkali sulit karenaresistensi pestisida, keluhanmengenai kerusakan lingkungan, dan kurangnya dukungan yang memadai untuk menerapka metode pengendalian vektor yang ada (Sjamsuhidajat, 2009). Obat hepatotoksik adalah obat yang dapat menyebabkan kelainan hepar. Saat ini tercatat ± 63.000 bahan yang dipakai sebagai obat, 11.500 antaranya dipakai dalam campuran makanan ( Wong et al, 2006 )

Upload: robby-nur-zam-zam

Post on 21-Jul-2015

206 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hati berperan penting dalam memelihara homeostasis metabolik. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perkembangan penyakit hati yang penting secara klinis disertai dengan bermacam manifestasi metabolisme yang terganggu. Walau beberapa fungsi lebih peka dari pada lainnya, hati sungguh-sungguh mempunyai kapasitas cadangan, sehingga cedera sel yang minimal atau bahkan mungkin tidak ditunjukkan dengan perubahan metabolik yang dapat diukur. Namun, berbagai cacat mungkin tampak, tergantung pada sifat dan luas akibat awal. (Corwin J. 2000) Abses Hati merupakan kumpulan pus yang terlokalisasi,yang biasanya disebabkan oleh kolangitis yang terjadi sekunder akibat obstruksi saluran bilier. Abses hati juga dapat terjadi setelah inflamasi supuratif pada daerah porta yang didrainase pada piaemia porta. Penyebab lainnya dapat berkembang dari penyakit usus inflamasi, divertikulitis, appendisitis, atau viskus yang mengalami perforasi (Patel R Pradip, 2007) Penyakit yang disebabkan oleh protozoa (jenis mikroba) dan cacing (jenis cacing) parasit adalah salah satu penyebab utama kematian dan penyakit di daerah tropis dan subtropis di dunia. Upaya untuk mengendalikan vektor (pembawa) penyakit ini seringkali sulit karena resistensi pestisida, keluhan mengenai kerusakan lingkungan, dan kurangnya dukungan yang memadai untuk menerapkan metode pengendalian vektor yang ada (Sjamsuhidajat, 2009). Obat hepatotoksik adalah obat yang dapat menyebabkan kelainan pada hepar. Saat ini tercatat 63.000 bahan yang dipakai sebagai obat, 11.500 bahan di antaranya dipakai dalam campuran makanan ( Wong et al, 2006 )

2

A. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil beberapa tujuan dan manfaat yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Tujuan dan manfaat yang didapat diantaranya : Tujuan : 1. Untuk mengetahui dan memahami tentang Penyakit lain pada hati. Manfaat : 1. Mahasiswa lebih memahami tentang Penyakit lain pada hati. 2. Penulis memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis mengenai Penyakit lain pada hati.

3

BAB II PEMBAHASAN II.I Metabolic disease Fungsi biokimiawi hati yang berperanan penting termasuk (1) metabolisme intermedia asam amino dan karbohidrat, (2). Sintesis dan degradasi protein dan glikoprotein, (3) metabolisisme dan degradasi obat dan hormon, dan (4) regulasi metabolisme lipid dan kolesterol. Kekacauan fungsi ini dibahas berhubungan kejadiannya dalam berbagai bentuk penyakit hati parenkim. Perubahan bilirubin, garam empedu, dan metabolisme porfirin dibahas di lain tempat. (Corwin J. 2000) Kekacauan metabolik paling jelas pada pasien dengan penyakit hati lanjut, dan manifestasi tersebut sama tanpa menghiraukan akibat etiologi awal. Terhadap berbagai tingkat, kelainan yang sama tampak pada pasien dengan hepatitis kronik yang berat, sirosis mikronoduler dan sirosis pascanekrotik. Karena fungsi hati yang banyak mungkin dipengaruhi berbagai tingkat pasien perseorangan, tidak ada uji tunggal yang mengukur semua keadaan fungsi hati secara efektif. (Corwin J. 2000) II.I.1 Gangguan metabolisme karbohidrat pada hati Setelah makan, hati menerima konsumsi glokusa nett mis., untuk membentuk glikogen dan zat-zat antar metabolic melalui glikolisis dan siklus asam trikat boksilat). Hal ini terjadi akibat penggabungan beberapa efek. Pertama, kadar subtract seperti glukosa meningkat kedua, kadar hormone yang mempengaruhi jumlah data aktivitas enzim-enzim metabolik berubah. Jadi , ketika glukosa darah meningkat, rasio insulin terhadap glukagon dalam aliran darah meningkat. Efek akhirnya adalah meningkatnya pemakaian glukosa olh hati. (Ganong. 2007)

4

GAMBAR 2.1 Pertukaran karbohidrat-protein antara otot dan hati. Setelah berpuasa semalaman terdapat pelepasan bersih asam amino oleh otot (terutama alanin dan glutamin). Hal ini berasal dari transaminasi piruvat, asam amino diturunkan, dan glukosa. Asam amino rantai-cabang (BCAA) sangat penting sebagai sumber nitrogen untuk sintesis alanin. Alanin digunakan untuk glukoneogenesis oleh hati, dan urea dibentuk sebagai hasil tambahan. Tempat utama ambilan glutamin adalah ganjal dan usus, yang secara berurutan digunakan untuk produksi amonia dan sebagai sumber energi. Pencernaan protein makanan selanjutnya, otot lurik masuk ke dalam fase anabolik; terdapat pelepasan hati dan ambilan otot dari BCAA makanan yang selektif, penurunan curah alanin dan glutamin otot, dan penurunan kecepatan glukoneogenesis hati. Protein jaringan hati juga masuk ke dalam fase anabolik mengikuti pencernaan protein. (Dimodifikasi dengan izin dari AS Tavill in Wright et al). (Isselbacher. 2000) Kelainan homeostasis glukosa sering terjadi pada sirosis (Tabel 2.1). Hiperglikemia dan intoleransi glukosa adalah yang paling sering tampak. Intoleransi glukosa karena kadar insulin plasma yang normal atau meningkat

5

(kecuali pada pasien dengan hemo-kromatosis), mengesankan bahwa resistensi insulin lebih mungkin bertanggung jawab dibanding defisiensi insulin. Salah satu faktor yang mungkin memainkan peranan dalam resistensi insulin yang nyata adalah penurunan absolut pada kemampuan hati untuk me-metabolisis beban glukosa karena penurunan dalam memfungsikan massa hepatoseluler. Terdapat juga bukti bahwa respons terhadap insulin dikurangi karena cacat reseptor dan pascareseptor dalam hepatosit pasien dengan sirosis. Selain itu, hiperinsulinemia dan hiperglukagonemia mungkin terdapat karena penurunan bersihan hepatik dari hormon ini yang diakibatkan dari pintas portal-sistemik. Namun, pada pasien dengan hemokromatosis, kadar insulin mungkin rendah karena endapan besi dan kadang bersamaan dengan diabetes melitus. Pasien dengan sirosis mungkin juga memiliki kadar laktat serum yang meningkat, menunjukkan penurunan kapasitas hati terhadap penggunaan laktat untuk glukoneogenesis. (Isselbacher. 2000) Hipoglikemia, walau lebih sering pada hepatitis fulminan akut, mungkin juga tampak bersama sirosis stadium-akhir. Glikogen dalam ati bertanggung jawab atas 5 sampai 7 persen berat jaringan yang normal. Karena kapasitas hati untuk menyimpan gikogen terbatas (kira-kira 70 g) dan kebutuhan glukosa tetap pada kecepatan konstan (kira-kira 150 g/hari), cadangan glikogen hepatik dihabiskan sesudah puasa 1 hari. Hipoglikemia pada sirosis stadium-akhir mungkin karena penurunan cadangan glikogen hepatik, kehabisan responsi-vitas glukagon, atau penurunan kapasitas untuk mensintesis glikogen karena destruksi parenkim yang luas. (Isselbacher. 2000) Tabel 2.1 Perubhan metabolisme glukosa pada sirosis Faktor yang menyebabkan hiperglikemia Penurunan ambilan glukosa hati Penurunana sintesis glikogen hati Resistensi hati terhadap insulin Pintas glukosa portal-sistemik Kealainan hormonal (serum) Glukagon Kortisol Insulin (hemokromatosit ) Faktor yang menyebabkan hipoglikemia Penurunan glukoneogenesis Penurunan kandung glikogen hati

6

Resistensi hati terhadap glukagon Masukan oral yang buruk Hiperinsulinemia sekunder terhadap pintas portal-sistemik

II.I.2 Gangguan metabolisme asam amino dan amonia Asam amino merupakan komponen pembentuk protein. Penyakit keturunan pada pengolahan asam amino dapat menyebabkan gangguan penguraian asam amino maupun pemindahan asam amino ke dalam sel. (Ganong. 2007) Amonia yang dibentuk dari deminasi asam-asam amino dimetabolisme di dalam hepatosit menjadi zat yang jauh dan kurang toksik, yaitu urea. Hilangnya fungsi ini menyebabkan gangguan status mental, suatu manifestasi umum penyakit hati berat atau tahap akhir. (Ganong. 2007)

GAMBAR 2.2 (1) Bila terdapat bahan nitrogen berlebih dalam usus (dari perdarahan atau protein makanan), kelebihan jumlah NH3 akan dibentuk melalui deaminasi asam amino oleh bakteri. Bila motilitas usus menurun, yang ditandai oleh konsti-pasi, produksi amonia oleh bakteri akan meningkat karena waktu yang memanjang untuk degradasi potein dan asam amino luminal. (2)Bila fungsi ginjal menurun (seperti pada sindroma hepatorenal), nitrogen urea darah meningkat, menyebabkan peningkatan difusi urea ke dalam lumen usus, tempat urease bakteri berubah menjadi NH3. (3) Bila fungsi hati menurun secara berarti, penurunan

7

sintesis urea mungkin terjadi dengan akibat penurunan dalam pengeluaran NH3. (4) Bila alkalosis (sering karena hiperventilasi sentral) dan hipokalemia yang menyertai dekompensasi hati, mungkin terdapat penurunan ketersediaan ion H+ ginjal; akibatnya, NH3 yang diproduksi dari glutamin oleh kerja glutaminase ginjal dapat memasuki vena renalis (dibanding yang diekskresi sebagai NH4+), menyebabkan peningkatan kadar NH3 darah perifer. Selain itu, hipokalemia itu sendiri menyebabkan.peningkatan.produksi.NH3.ginjal..(5).Bila.terdapat hipertensi portal dan terdapat anastomosis antara vena porta dan saluran vena sistemik, pintas portal-sistemik ini akan menyebabkan NH3 dari usus memintasi detoksifikasi hati, menyebabkan peningkatan kadar NH3 darah. Dengan demikian, bersama pintas portal-sistemik darah, peningkatan kadar NH3 darah mungkin berkembang bersama disfungsi hepatoselulersedangsecararelatif. Tidak jelas apa yang mempengaruhi faktor yang sama ini mungkin memakai senyawa lain yang memainkan peranan dalam perkembangan ensefalopati hati. (Isselbacher. 2000) Setiap gangguan metabolisme protein di hati dapat menimbulkan simdrom gangguan status mental dan kekacauan berpikir yang dikenal sebagai eneselopati hepatik. Seperti pada metabolisme karbohidrat, gangguan metabolisme protein dapat terjadi akibat kegagalan hepatosit atau pirau portal ke sistemik, dengan efek akibat berupa peningkatan konsentrasi toksin-toksin yang mempengaruhi susunan saraf pusat dalam darah, termasuk maonia yang dibentuk oleh metabolism asam amino. (Ganong. 2007)

II.I.3 Gangguan sintesis dan degradasi protein pada hati Hati membentuk dan mengeluarkan banyak protein yang terdapat plasma, termasuk albumin, beberapa faktor pembekuan darah, sejumlah protein pengikat, dan bahkan hormone dan precursor hormone tertentu. Karena kerja protein protein ini hati memiliki peran penting dalam mempertahankan tekanan onkotik plasma (albumin serum), koagulasi (sintesis dan modifikasi factor pembekuan), tekanan darah (angiotensinogen), pertumbuhan (factor pertumbuhan yang mirip-

8

insulin 1), dan metabolism (protein pengikat hormone tiroid dan steroid). (Ganong. 2007) Salah satu kekacauan yang paling penting secara klinis dalam metabolisme protein adalah timbulnya hipoalbuminemia, yang sebagian besar diakibatkan dari penurunan aktivitas sintesis. Penurunan sintesis mungkin disebabkan oleh penurunan dalam jumlah dan fungsi hepatosit. Penurunan suplai asam amino makanan juga dapat menyebabkan kekurangan sintesis. Untuk beberapa tingkat tubuh berusaha untuk kompensasi terhadap penurunan sintesis albumin dengan menurunkan kecepatan degradasi. Usaha untuk meningkatkan kadar albumin serum dengan infus intravena sering sia-sia karena mekanisme kompensasi ini dapat ditumpulkan dan penurunan degradasi albumin mungkin tidak terjadi. Penurunan degradasi albumin bukan fenomena umum pada penyakit hati kronik karena protein lain seperti fibrinogen didegradasi lebih cepat dari normal. Pada pasien dengan asites, derajat hipoalbuminemia diperburuk oleh kehilangan jumlah besar albumin tubuh ke dalam cairan asites. Bila terdapat peningkatan tekanan vena hepatika (seperti pada pascasinusoid atau penghambatan aliran vena hepatika), mungkin terdapat peningkatan produksi limfe hati dengan ekstravasasi ke dalam rongga peritoneum. Berbeda dengan limfe usus, kandungan protein limfe hati timbul secara relatif tidak dipengaruhi oleh tekanan onkotik asites, sebagian besar cenderung menunjukkan ketiadaan hubungan erat antara sel endotel sinusoid. (Isselbacher. 2000) Protein lain yang diproduksi oleh hati termasuk banyak faktor pembekuandarah: fibrinogen (faktor I), protrombin (faktor II), dan faktor V, VII, IX, dan X, seperti penghambat koagulasi dan fibrinolisis. Faktor II, VII, IX, dan X responsifvitamin K dan tergantung pada absorpsi lemak usus yang normal. Vitamin K mengaktivasi sistem enzim dalam retikulum endoplasma hati yang mengkatalisis karboksilasi y dari residu glutamil terpilih dalam prekursor faktor pembekuan. Karboksilasi y meningkatkan Ca2+ dan kapasitas pengikatan-fosfolipid dari protrombin dan mempermudah konversi cepatnya menjadi trombin dalam keberadaan faktor V dan X. (Isselbacher. 2000)

9

Hati terlibat dalam proses hemostasis melalui fungsi anabolik dan katabolik. Seperti yang diharapkan, penyakit hati yang berat menyebabkan penurunan sintesis protrombin, faktor pembekuan ter-gantung-vitamin K. Adanya malnutrisi, penggunaan antibiotik spektrum luas, atau kekacauan absorpsi lemak yang bersamaan karena penurunan konsentrasi garam empedu usus (misalnya, kolestasis) mungkin mengutamakan hipoprotrombinemia dengan mengurangi jumlah vitamin K yang dapat diabsorbsi dari usus. Pada situasi ini, kadar protrombin mungkin paling sedikit dikoreksi secara parsial oleh pemberian vitamin K parenteral. Namun, bila koagulopati yang diakibatkan dari kekacauan fungsi hepatoseluler dan bukan kolestasis atau faktor usus, vitamin K eksogen tidak mungkin mengoreksi atau memperbaiki sintesis protrombin. Protein pembekuan tergantung-vitamin K mempunyai waktu-paruh serum yang jauh lebih singkat daripada albumin; oleh karena itu, hipoprotrombinemia biasanya mendahului perkembangan hipoalbuminemia, khususnya pada pasien dengan penyakit hepatoseluler akut. Pada sirosis, koagulopati mungkin lebih diperburuk oleh trombositopenia yang diakibatkan dari hipersplenisme. (Isselbacher. 2000) Karena hati juga merupakan tempat produksi faktor pembekuan tergantung-nonvitamin K, cedera penyakit hati yang berat mungkin menyebabkan penurunan konsentrasi faktor V plasma di samping faktor II, VII, IX, dan X. Tidak lazin untuk fibrinogen diturunkan secara berarti, kecuali terdapat koagulasi intravaskuler diseminata [disseminated intravascular coagulation (DIC)] yang terkait. Untuk alasan yang tidak jelas, kerusakan hati akhirnya mungkin menyebabkan peningkatan jumlah fibrinogen seperti protein lainnya secara bersama yang ditandai reaktan fase-akut (protein C-reaktif, haptoglobin, seruloplasmin, dan transferin). Transferin diproduksi dalam respons terhadap cedera hati (misalnya, hepatitis kronik aktif yang parah) dan berhubungan dengan penyakit sistemik seperti kanker, rematoid artritis, infeksi bakteri, luka bakar, dan infark miokard. Sitokin, termasuk interleukin 1 dan 6, tampak sebagai rangsangan sintesis reaktan fase-akut hati yang utama. Namun, sementara hati yang berpenyakit mungkin memproduksi jumlah fibrinogen yang normal atau meningkat, molekul itu sendiri mungkin abnormal secara kualitatif (misalnya, secara struktural dan secara fungsional), menunjukkan kekacauan yang lebih tidak

10

kentara dalam sintesis protein. Molekul fibrinogen yang abnormal secara fungsional mungkin menyebabkan perubahan hemostasis yang sering ditemukan pada pasien dengan penyakit hati kronik. (Isselbacher. 2000) II.I.4 Gangguan mekanisme detofikasi pada hati Sebagian besar enzim yang mengatalisis proses metabolik yang diperlukan untuk detofikasi dan eksresi obat dan zat lain terletak di retikulum endoplasma hepatosit. Jalur ini digunakan tidak saja untuk metabolisme obat eksogen tapi juga untuk banyak zat endogen yang, tanpa metabolisme ini, akan sukar dieksekresikan dari sel (mis., bilirubin dan kolesterol). Pada kebanyakan kasus, metabolisme ini berupa perubahan zat lipofilik (hidrofobik) (yang sulit dieksekresikan dari sel karena cenderung melekat pada membran sel) menjadi zat yag lebih hidrofilik. Proses-proses ini melibatkan katalis modifikasi kovalen agar substansi menjadi lebih bermuatan sehingga substansi tersebut lebih mudah memisahkan diri ke dalam medium air atau paling tidak cukup larut dalam empedu. Akibat proses ini, yang secara keseluruhan disebut biotransformasi, sebagian zat yang tadinya tertahan di membran sel kemudian diekskresikan langsung di urine atau diangkut. (Ganong. 2007) Biotransformasi umumnya berlangsung dalam dua fase. Reaksi fase I melibatkan oksidasi-reduksi dengan penambahan gugus-gugus fungsional yang mengandung oksigen pada subtrat yang akan diekskresikan. Meskipun tidak harus menimbulkan dampak besar pada kelarutan dalam air, oksidasi itu sendiri itu biasanya memperkenalkan suatu pegangan reaktif ke obat, yang membuat obat atau substansi menjadi larut air. Reaksi fase II ini biasanya berupa perlekatan secara kovalen obat pada suatu molekul pembawa larut air seperti gula asam glukronat atau peptida glutation. Sayangnya, dengan memebuat substansi menjadi lebih aktif secara kimiawi, reaksi oksidasi fase I sering mengubah oobat yang selama bersifat toksik ringan menjadi zat antara yang lebih toksik. Jika konjugasi oleh enzim-enzim fase II terganggu oleh suatu hal, zat antara reaktif kadangkadang dapat bereaksi dengan, dan merusak, struktur sel lain. Sifat detoksifikasi obat semacam ini memiliki dampak klinis yang penting.

11

Perubahan Morfologis Utama Kolestasis

Golongan Agen Steroid anabolic Antitiroid Antibiotik Kontrasepsi oral Hipoglemik oral Tranquilizer Onkoterapeutik

Contoh-contoh Metiltestosteron Metimazol Eritromisin estolat Nitrofurantoin Norentinodel dengan mestranol Klorporpamid Klorpromazin Steroid anabolik Busulfan Tamoksifen Siklosporin Karbamazepin Diltiazem Nifedifin Verapamil Kaptopril Enalapril Tarzadon Tetrasiklin Natrium valporat Amiodaron Asparaginase Metotreksat Halotan Feniton Karbamazepin Lamotrigin Felbamat Metildopa Kaptopril Enalapril Isoniazid Rifampisin Nitrofurantion Klorotiazid Oksifenisatin Amitriptilin Imipramin Nefazodon Venlafaksin Ibuprofen Indometasin Ketokonazol Flukonazol

Imunosupresif Antikejang Penyekat kanal kalsium

Inhibitor.enzim.pengoversi angiosteron Antidepresan Antiibiotik Antikejang Antiaritmia Onkoterapeutik Anestetik Antikejang

Perlemakan hati

Hepatitis

Antihipertensi

Antibiotik

Diuretik Pencahar Antidepresan

Anti-inflamasi Antijamur

12

Ritonavir Efavirenz Nevirapin Zidovudi Diedokdi-inoksin Penyekat kanal kalsium Nifedipin Verapamil Diltiazem Antagonis.reseptor.leukotrien Zafirlukast Antipsikotik Klozapin Campuran hepatitis Imunosupresif Aziotropin dan kolestasis Penurun lemak Asam nikotinat Lovastatin, atorvastain, inhibitor.HMG-koa reduktase lainya Toksik (nekrosis) Hidrokarbon Karbon tetraklorida Logam Fosfor kuning Jamur Amanita phaloides Analgesik Asetaminofen Pelarut Dimetilformamida Granuloma Anti-inflamsi Fenilbutazon Antibiotik Sulfonamid Inhibitor xantin oksidase Alopurinol Antiaritmia Kuinidin Antikejang Karbamazepin

Antivirus

II.I.5 Gangguan metabolisme hormon Pada keadaan normal, hati mengeluarkan sebagian hormon steroid yang tidak terikat pada globulin pengikat-hormon steroid dari darah. Setelah diserap oleh hepatosit, steroid-steroid ini mengalami okisdasi, konjugasi, dan

diekskresikan ke dalam empedu, tempat sebagian diantranya mengalami sirkulasi enterohepatik. Pada penyakit hati yang disertai oleh pirau portal ke sistemikyang signifikan, bersihan hormon steroid berkurang, ekstraksi fraksi yang yang menjalani sirkulasi enterohepatik terganggu, dan perubahan enzimatik androgen menjadi estrogen (aromatisasi perifer). Efek akhirnya adalah peningkatan kadar esterogen darah, yang pada giliranya mengubah sintesis dan sekresi protein dan sebagian P450 mikrosom hepatosit. Sintesis sebagian protein hati meningkat, sementara sintesis yang lain berkurang. Aktivitas P450 meningkat karena hati berupaya mengompensasi secara parsial peningkatan kadar esterogen darah

13

dengan meningkatkan metabolismenya. Jadi, pasien pria dengan penyakit hati mengalami penekanan gonad dan hipofisis serta feminisasi. (Ganong. 2007)

II.I.6 Gangguan metabolisme lipid: asam lemak dan trgliserida pada hati Hati merupakan pusat metabolism lipid. Hati membentuk hamper 80% kolesterol yang disintesis di tubuh dari astIL-K0A melalui suatu jalur yang menghubungkan metabolisme karbohidrat dengan metabolism lipid selain itu hati dapat membentuk menyimpan,dan mengekspor trigliserida hati juga merupakan tempat pembentukan asam keto melalui jalur oksidasi asam lemak yang menghubungkan katabolisme lipid dengan akitivitas siklus asam trikarboksilat. (Ganong. 2007) Pada proses pengaturan kadar kolestrol dan trigili serida tubuh, hati menyusun, menyekresikan dan menyerap berbagai partikel lipoprotein sebagian ini (very low densy lipoproteinsVLDL), lipoprotein berdensitas sangat rendah) berfungsi mendistribusikan lipid ke jaringan lain untuk segera digunakan. Dalam proses ini, struktur partikel VLDL dimodifikasi melalui pengurangan komponen lipid dan protein. Partikel low density lipoprotein (LDL, Lipoprotein berdensitas rendah) yang berbentuk kemudian dikembalikan ke hati berkat afinitas partikel ini terdapat di permukaan berbagai sel tubuh, termasuk hepatosit. Partikel lipoprotein berdensitas tinggi) dibentuk dan disekresikan dari hati. Partikel ini membersihkan kelebihan kolestrol dan trigliserida dari jaringan lain dan dari aliran darah yang mengembalikannya ke hati tempat partikel-partikel tersebut diekresikan. Karena itu, sekresi HDL dan pembersihan LDL adalah mekanisme kebutuhan berbagai jaringan dari aliran darah . (Ganong. 2007)

14

Gambar 2.3 Faktor yang berperan dalam ambilan dan esterifikasi asam lemak menjadi trigliserida, termasuk pembentukan dan pelepasan trigliserida menjadi Iipoprotein. Tiap nomor merujuk pada langkah, yang bila berubah dapat meningkatkan trigliserida hati (misalnya, perlemakan hati). (Isselbacher. 2000) Peningkatan influks asam lemak yang dimobilisasi dari jaringan adiposa karena obat (misalnya, etanol atau glukokortikoid) atau sekunder terhadap ketosis diabetes mungkin menyebabkan perlemakan hati. Demikian pula, peningkatan kadar asam lemak dalam hati, baik dari peningkatan sintesis asam lemak atau dari penurunan oksidasi asam lemak, mungkin menyebabkan peningkatan

pembentukan trigliserida. Pada beberapa keadaan (misalnya, kelebihan etanol) mungkin terdapat juga peningkatan kekuatan karbohidrat, a-gliserofosfat, yang terlibat dalam esterifikasi asam lemak menjadi trigliserida. Karena pelepasan trigliserida melibatkan pembentukan lipoprotein, penumpukan lipid mungkin terjadi karena penurunan sintesis apoprotein. Hal ini muncul pada kasus perlemakan hati yang tampak pada pasien dengan malnutrisi protein-kalori (kwashiorkor) dan karena toksin seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau etionin, dan juga menyertai kelebihan dosis antibiotik seperti tetrasiklin yang dapat menghambat sintesis protein. Akhirnya, mungkin terdapat gangguan sekresi lipoprotein dari hati. Perubahan berbeda yang mengganggu metabolisme lemak hati mungkin menyebabkan pola yang berbeda dari penumpukan lemak yang dirancang makrovesikuler (paling sering) dan mikrovesikuler. Alkohol mungkin

15

merupakan agen tersering yang menyebabkan perlemakan hati, tetapi mekanisme bagaimana alkohol menyebabkan peningkatan trigliserida hati tidak jelas. Tergantung pada faktor seperti dosis atau durasi, pencernaan alkohol mungkin mempengaruhi apa saja dari tujuh langkah yang diperlihatkan dalam Gbr. 2.3; namun, faktor utama untuk produksi perlemakan hati akibat-alkohol tetap harus ditentukan. Perubahan dalam keadaan redoks (reduksi-oksidasi) karena kelebihan penumpukan NADH akibat dari oksidasi alkohol mungkin juga mempengaruhi. (Isselbacher. 2000) Selain perubahan yang menyebabkan perlemakan hati, terdapat banyak perubahan metabolik yang mungkin ditemukan dalam darah pasien yang menyertai pencemaan jumlah besar alkohol. Hal ini termasuk, antara lain, peningkatan kadar laktat, prolin, urat, dan trigliserida plasma dan penurunan kadar glukosa, magnesium, fosfat, dan triiodotironin (T3) plasma.

II.I.7 Gangguan metabolisme kolesterol pada hati Sintesis kolesterol dan garam empedu terutama dikeluarkan oleh hati. Sintesis kolesterol berlaku untuk sejumlah kontrol metabolik, sebagian besar diperantarai melalui biosintesis kecepatan-terbatas enzim 3-hidroksi-3-

metilglutaril ko-enzim A reduktase (HMG-CoA reduktase). Kolesterol terdapat bebas atau bergabung dengan asam lemak dalam bentuk ester kolesterol; dalam plasma, keduanya terutama ditemukan dalam gabungan dengan /S-lipoprotein. Plasma dan hati juga mengandung lesitin-kolesterol asiltrasferase (LCAT), enzim yang terlibat dalam konversi kolesterol bebas menjadi bentuk teresterifikasi. Karena terdapat pertukaran kolesterol bebas antara jaringan, perubahan kadar kolesterol plasma menunjukkan perubahan kolesterol total tubuh. Namun, penurunan ester kolesterol plasma mungkin menunjukkan kerusakan dan gangguan esterifikasi kolesterol hati. (Isselbacher. 2000)

Cedera hati yang berat sering menyebabkan penurunan kadar kolesterol serum total, termasuk fraksi bebas maupun teresterifikasi. Hal ini mungkin karena

16

penurunan sintesis kolesterol dan ester kolesterol, penurunan sintesis apoprotein, atau keduanya. Pada kolestasis (baik intrahepatik maupun ekstrahepatik), kolesterol serum total sering meningkat secara mencolok. Penyakit kolestasis berhubungan dengan kelainan metabolisme Iipoprotein yang nyata. Pada sirosis empedu primer terdapat peningkatan yang nyata dalam kolesterol bebas dan LDL serum; sebaliknya HDL serum diturunkan dan mungkin menghilang dari serum pada pasien dengan penyakit yang sudah berjalan lama. Perubahan yang sama tetapi kurang nyata tampak pada kondisi kolestasis lainnya. (Isselbacher. 2000) Peningkatan kolesterol bebas serum (dan fosfolipid) dan penurunan yang seiringan dalam kolesterol teresterifikasi pada kolestasis mungkin berhubungan dengan penurunan produksi LCAT hati. Penurunan kadar LCAT juga berhubungan dengan penampilan LDL yang abnormal, disebut sebagai Iipoprotein X (LP-X). Walaupun LP-X, yang mempunyai kandungan kolesterol bebas dan trigliserida . yang tinggi, semula dianggap sebagai indikator obstruksi saluran empedu yang spesifik, jelas bahwa hal ini tampak pada kondisi kolestasis. Sementara penurunan produksi LCAT hati mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan kandungan lipid dan komposisi Iipoprotein, faktor yang menyebabkan peningkatan kolesterol serum total yang menyeluruh adalah tidak jelas. Pada binatang percobaan, ligasi duktus biliaris mengakibatkan peningkatan netto dalam sintesis kolesterol hati, dan dalam "regurgitasi" garam empedu, kolesterol, dan LPX ke dalam radikal vena. Namun, sulit untuk mewujudkan temuan eksperimen ini ke pasien dengan sirosis biliaris primer kecuali penurunan sel yang membatasi kanalikuli dan duktulus biliaris dapat mengganggu keseimbangan sintesis dan penyingkiran lipid yang sulit. (Isselbacher. 2000) Perubahan kolesterol dan zat yang:|erkait yang diakibatkan oleh penyakit hati mungkin menyebabkan perubahan komposisi membran eritrosit yang nyata. Perubahan dalam komposisi seperti itu menyebabkan perubahan morfologi dengan perkembangan bentuk sel taji (spur) dan bur (burr). Adanya eritrosit yang berubah ini biasanya merupakan tanda penyakit hati lanjut yang tidak menyenangkan. (Isselbacher. 2000)

17

II.II Abses Hati Abses Hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis yang bersumber dari sistem gastrointestinal. (Sudoyo W, Setiyohadi B, 2009).

II.II.1 Epidemiologi Di negara-negara yang sedang berkembang AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan dengan AHP. AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan higienitas dan sanitasi yang kurang. (Sudoyo W, Setiyohadi B, 2009).

II.II.2 Etiologi AHA dari (E. Hystolitica) sedangkan AHP adalah enterobacteriae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus milleri, candida albikans, aspergillus, actynomyces, eikenella corodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melintensis dan fungal. (Sudoyo W, Setiyohadi B, 2009).

Gambar 1.0 Gambaran abses hari (Parker Steve, 2007)

Abses hati piogenik Masa inkubasi Demam 1-16 minggu Tinggi, hektik

Abses hati amoebik 1-12 minggu Derajat rendah

18

Toksisitas Hati Nyeri tekan

Dapat terlihat jelas

Minimal atau tidak ada

Biasa

Bervariasi, mungkin interkostal

Pembengkakan Ikterus Jari tabuh Kejadian sebelumnya

Tidak sering 25 % Bila kronik Infeksi/pembedahan intraabdomen

Sering 5% Tidak pernah ada Disentri pada 20 %

Mikroskopis tinja

Normal

Kista/trofozoit E. hystolitica pada 15 %

Kultur darah Aspirat abses Gram Kultur Trofozoit Serologi amoebik Jumlah abses

Positif pada 34 %

Negative

Positif Positif Negative Negative Multipel pada 35 %

Negative Negative Kadang-kadang positive Positive Jarang multipel

Tabel 1.0 Manifestasi yang membedakan abses hati (Mandal B K, Wilkins E G L, Dunbar E M, 2007) II.II.3 Gejala dan Tanda Gejala Demam Nyeri Menggigil Mual dan muntah Berat badan menurun Tanda Hepatomegali Nyeri Tekan Ikterus Efusi Pleura (Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, 1996) 80 % 50 % 40 % 35 % 30 % 50 % 50 % 25 % 20 %

19

Gambar 1.1 Gambaran klinis amuba hati (Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, 1996)

Gambar 1.2 Gambaran klinis perforasi amuba (Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, 1996)

II.II.4 Gambaran Klinis AHP biasanya lebih berat daripada AHA. Dicurigai adanya AHP apabila ada nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakkan di lokasi nyerinya. Demam dan panas merupakan gambaran yang paling utama, gambaran yang lainnya ialah adanya nyeri kuadran kanan atas abdomen dan disertai dengan keadaan syok. Gejala lainnya adalah rasa mual, muntah, nafsu makan berkurang, terjadi penurunan berat badan yang unilateral, kelemahan badan, ikterus, feces berwarna seperti kapur dan air seni berwarna gelap. (Sudoyo W, Setiyohadi B, 2009).

II.II.5 Terapi Abses hati piogenik Aspirasi/drainase perkutan dibawah tuntutan ultrasonografi (ultrasound scan, USS). Antibiotik metronidazole (untuk anaerob), ampisilin (untuk

20

streptokokus, enterokokus) dan setofaksim (untuk koliform, S. aureus) atau koamoksiklav, antibiotic mungkin memerlukan modifikasi setelah hasil kultur tersedia. Pembedahan formal. (Mandal B K, Wilkins E G L, Dunbar E M, 2007). Abses hati amoebik Metronidazol yang bersifat amubisid jaringan dosisnya 50mg/kg BB/hari diberikan selama 10 hari. Aspirasi/drainase perkutan dibawah tuntutan (ultrasound scan, USS), jika abses membesar lobus kiri sebesar titik, serologi amoebik negatif, etiologi amoebik meragukan. Antiamoebisida luminal diloksanid furoat. (Mandal B K, Wilkins E G L, Dunbar E M, 2007).

II.II.6 Diagnosis Banding Kolestitis akut, hepatitis virus akut, dan karsinoma hati primer tipe febril. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, pungsi dan percobaan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per eksklusionem. (Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, 1996).

II.II.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk liver abses ialah : 1. Hitung darah lengkap (sering terjadi anemia), hitung sel leukosit (meningkat) dan LED (meningkat): 2. Profil biokimia (tes fungsi hati, albumin, ureum/kreatinin), peningkatan fosfatase alkali sering ditemukkan 3. Rontgen thoraks peninggian hemidiafraghma kea rah anterior efusi pleura/epiema, kolaps basal gas/cairan pada abses hati, efusi pericardium terjadi setelah abses lobus kiri) 4. Rontgen abdomen (klasifikasi pada kandung empedu atau kista hidatid, gas/cairan level pada abses) 5. Pencitraan : ultrasonografi, pemindahan isotop (technetium/gallium), CT scan 6. Kultur darah (positif pada abses piogenik) 7. Aspirat abses : mikroskopi (untuk trofozoit/sel), pewarnaan gram kultur sitologi (keganasan menyerupai abses 8. Serologi untuk E. Hystolitica

21

9. Mikroskopi tinja untuk (trofozoit/kista amoebik (Mandal B K, Wilkins E G L, Dunbar E M, 2007)

Gambar 1.3. CT Scan hati (Patel R Pradip, 2007)

Gambar 1.4 Foto Rontgen (Corr Peter, 2011) II.II.8 Prognosis Mortilitas AHP yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bacterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16%. Prognosis yang buruk apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan bacterial penyebab multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminea, efusi pleura atau adanya penyakit lain. (Sudoyo W, Setiyohadi B, 2009).

II. III. Parasitic infection of the liver II. III. 1. Pengertian Parasit Parasit adalah tanaman atau hewan yang hidup pada atau di dalam organisme hidup lain yang memberikan beberapa keuntungan baginya (Dorland, 2002).

22

II. III. 2. Klasifikasi Parast Pada dasarnya parasit dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Cacing Berdasarkan taksonomi, helmin dibagi menjadi : a. Nemathelminthes (cacing gilik; nema = benang) Stadium dewasa cacing yang termasuk Nemathelminthes (Kelas Nematoda) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing tersebut mempunyai alat kelamin terpisah. Dalam parasitologi kedokteran nematode dibagi menjadi nematode usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh. b. Platyhelminthes (cacing pipih) Cacing dewasa yang termasuk platyhelminthes mempunyai badan pipih, tidak mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat hemofrodit. Plathyhelminthes dibagi menjadi Kelas Trematoda (cacing daun) dan Kelas Cestoda (cacing pita). Cacing trematoda berbentuk daun, batangnya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan. Cacing cestoda mempunyai badan berbentuk pita dan terdiri atas skoleks, leher dan badan (strobila) bersegmen (proglotid). Makanan diserap melalui kulit (kutikulum) badan. 2. Protozoa Protozoa adalah hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk koloni (proto (J) = pertama; zoon = hewan). Tiap protozoa merupakan kasatuan lengkap yang sanggup melakukan semua fungsi kehidupan yang pada jasad lebih besar dilakukan oleh sel khusus. Sebagian besar protozoa hidup di alam bebas, tetapi beberapa jenis hidup sebagai parasit pada manusia dan binatang. Protozoa yang merupakan parasit pada manusia dibagi dalam empat kelas : a. Rhizopoda rhiz (J) = akar, podim = kaki)

23

b. Mastighopora = Flagellata (mastrix (J) = cambuk; phoros = mengandung) c. Ciliophora = Ciliata d. Sporozoa

II. III. 3. Parasit yang menginfeksi hati 1. Clonorchis sinensis Sejarah Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connel tahun 1874 di saluran empedu seorang Cina di Kalkuta. Hospes dan Nama Penyakit Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut klonorkiasis. Distribusi Geografik Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autokon. Morfologi dan Daur hidup Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan di saluran pancreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 x 16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu. Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air (Bulinus, Semisulcospira). Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia, lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II, yaitu ikan (Famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria. Perkembangan larva keong air sebagai berikut: MSRSK Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskitasi terjadi di duodenum. Kemudian larva

24

masuk ke duktus koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan. Patologi dan Gejala Klinis Sejak larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. Gejala dapat dibagi menjadi tiga stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri atas pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat

menimbulkankeganasan dalam hati. Diagnosis Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum. Pengobatan Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel. Epidemiologi Kebiasan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar makan ikan yang sudah dimasak dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. 2. Opistorchis felineus Hospes dan Nama Penyakit

25

Kucing, anjing, manusia merupakan hospes penyakit ini. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut opistorkiasis Penyebaran Geografik Parasit ini ditemukan di Eropa Tengah, Selatan dan Timur, Asia, Vietnam dan India. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan pankreas. Cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut dan basil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Telur Opistorchis mirip telur C. sinensis, hanya bentuknya lebih langsing. Infeksi terjadi dengan makan ikan yang menagndung metaserkaria dan dimasak kurang matang. Patologi dan Gejala Klinis Kelainan yang ditimbulkan cacing ini sama dengan yang ditimbulkan C. sinensis. 3. Opistorchis vivierrini Daerah epidemi ditemukan di Muangthai. Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip Opistorchis felineus. infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria. Di Daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis. Hal ini diduga karena ada peradangan kronik saluran empedu. Selain itu berhubungan juga dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara O. viverrini. 4. Fasciola hepatica Hospes dan Nama Penyakit Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. kadang-kadang parasit ini dapat ditemukan pada manusia. Penyakit yang ditimbulkan disebut fasioliasis. Penyebaran Geografik Di Amerika Latin, perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasiolasis pada manusia. Morfologi dan Daur Hidup

26

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya 30 x 13 mm. bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada bagian puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya 1 mm,sedangkan pada bagian basal kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya 1,6 mm. saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga berabang-cabang. Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Dalam keong air terjadi perkembangan : MSR1R2SK Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II. Yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi metaserkaria. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan lapisan sel epitel saluran empedu. Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria.

Patologi dan Gejala Klinis Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Selama migrasi (fase akut) dapat tidak bergejala atau menimbulkan gejala seperti demam, nyeri pada bagian kanan atas abdomen, hepatomegali, malaise, urtikaria, eosinofilia. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan, sehingga menimbulkan sirosispewriportal. Sekresi prolin oleh cacing dewasa diduga menjadi penyebab penebalan dinding saluran empedu. Migrasi cacing dewasa muda dapat terjadi di luar hati (ektopik) seperti pada mata, kulit, paru, otak. Gejala yang timbul bergantung pada organ tempat migrasi larva.

27

Di daerah Timur Tengah terdapat kebiasaan memakan hati kambing atau domba menttah yang dapat menimbulkan penyakit Halzounm yaitu faringitis dan edema laring karena penempelan cacing dewasa pada mukosa faring posterior.

Diagnosis Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum atau cairan empedu. Reaksi serologi (ELISA) sangat membantu untuk menegakan diagnosis. Imunodiagnosis yang lebih sensitif dan spesiesspesifik telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori yang dikeluarkan parasit. Ultrasonografi digunakan untuk menegakan diagnosis fasioliasis bilier. Pengobatan Albendazol dan praziquantel merupakan obat pilihan. 5. Entamoeba histolytica Sejarah Amebiasis sebagai penyakit disentri yang dapat menyebabkan kematian dikenal sejak 460 tahun sebelum masehi oleh Hippocrates. Parasitnya, yaitu Entamoeba histolytica pertama kali ditemukan oleh Losch (tahun 1875) dari tinja disentri seorang penderita di Leningrad, Rusia. Pada autopsy, Losh menemukan E. histolytica stadium trofozoid dalam ulkus usus besar, tetapi ia tidak mengetahui hubungan kausal antara parasit dengan kelainan ulkus tersebut (Sutanto et al, 2008). Pada tahun 1893 Quinche dan Roos menemukan E. histolytica stadium kista, sedangkan Schaudinn 1903) memberi nama spesies ntamoeba histolytica dan membedakannya dengan ameba yang juga hidup dalam usus besar yaitu Entamoeba coli (Sutanto et al, 2008). Sepuluh tahun kemudian Walker dan Sellads di Filipina membuktikan dengan ekperimen pada sukarelawan. Bahw E. histolytica merupakan penyebab colitis amebic dan E. coli merupakan parasit komensal dalam usus besar (Sutanto et al, 2008).

28

Pada tahun 1979, Brumpt menyatakan bahwa walaupun E. histolytica dan E. dispar tidak dapat dibedakan secara morfologi, hanya E. histolytica yang bersifat sebagai pathogen. Kedua spesies ini berbeda dalam hal isoenzim, sifat antigen dan genetikanya. Sejak tahun 1993 kedua spesies tersebut secara resmi dibedakan sebagai pathogen (E. histolytica) dan apatogen (E. dispar). Untuk membuktikannya E. histolytica sebagai penyebab diare, sekarang digunakan teknik diagnosis dengan mendeteksi antigen antau DNA/RNA parasitnya (Sutanto et al, 2008).

Hospes dan Nama Penyakit Manusia merupakan satu-satunya hospes penyakit ini. Penyakit yang disebabkan disebut amebiasis (Sutanto et al, 2008).

Distribusi Geografik Terdapat diseluruh dunia (kosmopolit) terutama di daerah tropik dan daerah beriklim sedang (Sutanto et al, 2008).

Morfologi dan Daur Hidup Dalam daur hidupnya, E. histolytica mempunyai 2 stadium, yaitu: trofozoit dan kista. Bila kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaan utuh karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi eksitasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk ke rongga usu besar. Dari satu kista yang mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoid berukuran 10-60 mikron (sel darah merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogeny terdapat di bagian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu ara (linier). Endoplasma berbutir halus, biasanya mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut erythrophagocytosis yang merupakan tanda patognomonik infeksi E. histolytica (Sutanto et al, 2008).

29

Stadium trofozoit dapat bersifat patoen dan menginfasi jaringan usus besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama spesiesnya E. histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur). Stadium trofozoid berkembangbiak secara belah pasang. Secara morfologi stadium trofozoit E. histolytica tidak dapat dibedakan dengan E. dispar, kecuali ditemukan sel darah merah dalam endoplasma. Walaupun pada entamoeba yang apatogen ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pada tinja segar, pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat (Sutanto et al, 2008). Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoid yang beradad di rongga usus besar. Di dalam rongga usus besar stadium trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst yang berinti satu (enkistasi), kemudian membelah menjadi berinti dua, dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran tinja 10-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong, mempnyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam tinja stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat benda kromatid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda kromatid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda (Sutanto et al, 2008). Pada kista matang, benda kromatid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium kista tidak pathogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia (Sutanto et al, 2008). Patologi Cara penularan secara feko-oral, melalui makanan atau minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan kesehatan yang jelek. Sesudah kista masuk ke lambung, kista akan pecah menjadi trofozoid. Akibat enzim proteolitik pada trofozoid akan dapat menembus mukosa, terbawa aliran porta yang kemudian mungkin tersangkut pada venule portal interhepatik, sehingga terjadi reaksi inflamasi dan selanjutnya terbentuk abses hati (Sulaiman et al, 2007).

30

Gejala Klinis Nyeri, terutama pada perut kanan atas. Nyeri menetap dan menjalar ke daerah scapula dan bahu kanan dan nyeri meningkat bila penderita batuk. Demam berkisar antara 38-40C yang berlangsung beberapa hari disertai anoreksia, berat badan menurun, mual, muntah dan pada hampir 1/3 penderita mengalami batuk. Kadang-kadang terjadi cegukan (hiccup), sementara diare ditemukan sekitar 20% walaupun tidak ditemukan kolitis amuba. Kegagalan hati jarang ditemukan (Sulaiman et al, 2007). Diagnosis Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan

ultrasonografi dan pemeriksaan CT-Scan (Sulaiman et al, 2007). Pengobatan Metronidazole 1 gram per hari selama 5-10 hari, perkutan drainase abses dilakukan bila abses besar dan ada ancaman rupture. Dapat dilakukan dengan tuntunan USG dan tindakan bedah (Sulaiman et al, 2007). 6. Leshmania donovani Hospes dan Nama Penyakit Manusia merupakan hospes difinitif parasit ini dan parasit ini dapat menyebabkan leismaniasis visceral, yang disebut juga kala azar atau tropical splenomegali atau dum-dum fever. Hospes reservoarnya adalah anjing. Di beberapa daerah, penyakit ini dapat merupakan penyakit pada anjing yang sewaktu-waktu dapat ditularkan kepada manusia. Lalat Phlebotomus merupakan hospes perantara atau vektornya. Pada leismaniasis visceral atau kala azar didapatkan lima tipe kala azar yang disesuaikan dengan letak geografik dan strain vektornya. Kelima macam penyakit kala azar tersebut adalah: 1) tipe India yang menyerang orang dewasa muda. Tipe ini adalah tipe kala azar klasik dan tidak ditemukan pada hospes reservoir (anjing); 2) tipe Mediterania, yang menghinggapi anak balita dan menghinggapi reservoir anjing atau binatnag buas; 3) tipe Cina yang biasanya menyerang anak balita tetapi dapat menyerang orang dewasa; 4) tipe Sudan, yang menghinggapi anak remaja dan orang dewasa muda. Juga tidak ditemukan pada anjing, tetapi

31

mungkin mempunyai hospes reservoir binatang buas; 5) tipe Amerika Selatan, penyakit ini jarang terjadi (sporadis) dan dapat menyerang semua umur (Sutanto et al, 2008).

Distribusi Geografik Daaerah endemik penyakit ini sangat luas, yaitu berbagai negara di Asia (India), Afrika, Eropa (sekitar Laut Tengah), Amerika Tengan dan Selatan. Di Indonesia penyakit ini belum pernah ditemukan (Sutanto et al, 2008).

Morfologi dan Daur Hidup Pada manusia, parasit ini hidup intra selular dalam darah, yaitu dalam sel retikulo-endotel (RE) sebagai stadium amastigot yang disebut benda Leishman-Donovan. Parasir ini berkembangbiak secara belah pasang dan berukuran kira-kira 2 mikron. Sel RE dapat terisi penuh oleh parasit,

sehingga sel itu pecah. Stadium amastigot sementara berada dalam peredaran darah tepi, kemudian masuk atau mencari sel RE yang lain, sehingga stadium ini dapat ditemukan dalam sel RE hati, limfa, sumsum tulang belakang dan kelenjar limfe visceral. Di lambung Phlebotomus, stadium amstigot ini berubah menjadi stadium promastigot yang kemudia bermigrasi ke probosis (Sutanto et al, 2008). Infeksi terjadi dengan tusukan lalat Phlebotomus yang memasukan stadium promastigot melalui probosisnya ke dalam badan manusia (Sutanto et al, 2008).

Patologi dan Gejala Klinis Oleh karena banyak sel RE yang rusak, maka tubuh berusaha untuk membentuk sel-sel baru, sehingga terjadi hiperplasi dan hipertrofi sel RE. Akibatnya terjadi pembesaran limfa (splenomegali), pembesaran hati (hepatomegali), pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati) dan anemia oleh karena pembentukan sel darah terdesak. Masa tuntas penyakit ini belum pasti, biasanya berkisar antara 2-4 bulan. Setelah masa tuntas, timbul demam yang berlangsung 2-4 minggu; mula-mula tidak teratur, kemudian intermten.

32

Kadang-kadang demam menunjukan dua puncak sehari (double rise). Demam lalu hilang, tetapi dapat kambuh lagi. Lambat laun timbul splenomegali dan hepatomegali. Kelenjar limfe di usus dapat diserang parasit ini; pada infeksi berat di usus dapat terjadi diare dan disentri. Anemia dan leucopenia terjadi sebagai akibat diserangnya sumsum tulang. Kemudian timbul anoreksia (tidak nafsu makan) dan terjadi kakeksia (kurus kering), sehingga penderita menjadi lemah sekali. Daya tahan tubuh menurun, sehingg amudah terjadi infeksi sekunder. Sebagai penyulit dapat terjadi kankrum oris dan noma. Penyakit kala azar biasanya bersifat menahun. Sesudah gejala kala azar surut dapat timbul Leismanoid dermal, yaitu kelainan kulit yang disebut juga leismaniasis pasca kala azar (Sutanto et al, 2008).

Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, yang kemudian ditegakan dengan: 1) menemukan parasit dalam sediaan darah lagsung, biopsi hati, limpa, kelenjar limfe dan pungsi sumsum tulang penderita; 2) pembiakan dalam medium NNN; 3)inokulasi bahan pada binatang percobaan; 4) reaksi imunologi, yaitu (Sutanto et al, 2008): 1. Uji aglutinasi langsung (Direct Agglutination Test) 2. ELISA untuk mendeteksi zat anti. Untuk mengidentifikasi parasit secara cepat dikembangkan zat anti monoclonal yang spesifik, yang dapat juga digunakan untuk mendeteksi antigen guna keperluan diagnostik. 3. Western blot untuk mendeteksi antigen yang timbul selama infeksi. 4. Polymerase Chain Reaction untuk mendiagnosis leismaniasis di lapangan dan leismaniasis pada penderita dengan infeksi HIV karena uji serologi untuk mendeteksi zat anti tidak berguna banyak pada kasus ini.

Pengobatan Natrium antimonium glukonat, etilsibamin, diamidin, pentamidin, amfoterisin B dan stilbamidin merupakan obat toksik tetapi sangat efektif untuk pengobatan penyakit ini. Penderita memerlukan istirahat total selama menderita penyakit akut; juga banyak memerlukan makanan yang banyak

33

mengandung kadar protein tinggi dan vitamin. Transfusi darah diberikan pada penderita dengan anemia berat, atau perdarahan pada selaput mukosa (Sutanto et al, 2008). Sebagai usaha penanggulangan leismaniasis maka dilakukan

pengembangan vaksin antara lain vaksin yang terbuat dari leismania mati ataupun vaksin yang terbaut dari rekayasa genetika (Sutanto et al, 2008).

II.IV Penyakit tersebut gangguan dari pengaruh obat obatan dalam jangka panjang Hepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu. .( Gastroenterology 2006 ) Metabolisme obat dalam hepar ada 2 tahap. Pada tahap I, terjadi reduksi hidrolisa dan terutama oksidasi. Pada tahap ini belum terjadi proses detoksikasi, karenanya kadang-kadang terbentuk suatu bahan metabolit yang justru bersifat toksik. Pada tahap ke II, terjadi reaksi konyugasi dengan asam glukoronat, sulfat glisin dan lain - lain, sehingga terbentuk bahan yang kurang toxic, mudah larut dalam air dan secara biologis kurang aktif. Metabolisme ini terjadi dalam mikrosom sel hati, dan yang berperan: NADPH C Reduktase dan Sitokromp 450.( Gastroenterology 2006 )

II.IV.1 kalsifikasi obat hepatotoksik A. Secara garis besar dibagi 2 grup 1. Kelompok yang dikenal Hepatotoksik (predictable) dengan sifat : Dose dependent, besarnya dosis menentukan Sering disertai gangguan organ lain : ginjal,

gastrointestinal, susunan syaraf pusat dan lain-lain. Dapat dibuktikan dengan binatang percobaan. yang tidak dikenal sebagai Hepatotoksik

2. Kelompok

(unpredictable) idiosyncratic, dengan sifat: Dose - independent Lebih sering pada dewasa

34

-

Sering bersifat hypersensitive.

B. Menurut cara dalam menimbulkan gangguan pada Hepar I. Direct hepatotoxicity, dapat menimbulkan langsung gangguan hepar. Contohnya : Tetrasiklin. II. Metabolite - Related - Hepatotoxicity, menimbulkan gangguan hepar melalui bahan metabolitnya. Misalnya : Isoniazid, Parasetamol, karbon tetra klorida, metildopa, metotreksat, halotan. III. Hypersensitivities. Misalnya: fenotiazin, Sulfonamida, nitro furantion, eritromisin estolat, obat anti tiroid, difenilhidantoin, fenilbutazon. C. Menurut perubahan Histopathology yang ditimbulkan, Misalnya : Gambaran PA - Nekrotik zonal - Hepatitis nonspesifik. - Viral hepatitis like lesion - Hepatitis kronlk. - Kolestasis. - anabolik steroid, estrogen. - Perlemakan hati - Lesi vaskular - agents, anabolic steroid. Kortikosteroid, etanol, tetrasiklin. Kontraseptif oral, anti tumor Obat penyebab - Asetaminofen, karbon tetra kiorida. - Aspirin, oksasilin. - Isoniazide, metildopa. - Nitrofurantion, metildopa. - Klorpromazine, eritromisin estolat,

II.IV.2 direct drug hepatoxicity Yaitu obat yang tanpa memerlukan perubahan, "Biotransformasi" dapat menyebabkan hepatotoksik. Gangguannya berupa gangguan pada sintesa protein, dapat menimbulkan perlemakan hati karena penumpukan trigliserida dalam sel hepar akibat kekurangan bahan pengangkutnya (lipoprotein). Intoksikasi tetrasiklin adalah suatu contoh yang tepat. Kerusakan yang ditimbulkan meningkat bila pemberian dosis yang lebih tinggi, dan menjadi lebih hebat bila ada gangguan ekskresi urin. Pemberian

35

tetrasiklin sering menyebabkan gangguan pada kehamilan trimester terakhir, keadaan malnutrisi atau infeksi saluran air seni.( Arena JM, et al 2000 )

II.IV.3 Metabolisme realted hepatoxicity Sebagian besar obat menimbulkan Hepatotoksis melalui jalan ini. Kerusakan sering berupa nekrosis Centrizonal dengan sedikit sel infiltrat. Kadangkadang gangguan hepar timbul beberapa waktu kemudian setelah pemberian obat dosis kecil berulang, dengan gambaran histopatologik mirip hepatitis. Bahan metabolit yang toksis terbentuk setelah enzim mikrosom merubah dari bentuk asal. Proses nekrosis hepar dapat timbul akibat ikatan langsung antara bahan metabolit dengan protein, atau melalui proses imunologik, di mana bahan metabolit tersebut menjadi suatu antigen. Pada umumnya berat ringan kerusakan Enzym Inducers hepat yang

ditentukan pula oleh pola genetik serta ada tidaknya

merangsang aktivitas enzim mikrosom. ( Miller, J, 2001 )

II.IV.4 Parasetamol / Asetaminofen Pada umumnya efek hepatotoksik terjadi bila minum obat ini secara

berlebih (15 gram/ hari). Namun, sudah ada laporan tentang intoksikasi pada pemakaian yang lama dengan dosis pengobatan biasa, dan nampaknya di sini ikut berpengaruh pemakaian obat-obat lain (Enzym inducer), alkohol serta status gizi penderita. Dalam hepar secara enzimatis obat ini dirubah menjadi bahan toksik oleh enzim sitokrom P450. Bahan toksik ini dalam keadaan normal dinetralisir melalui proses konyugasi dengan glutation. Kerusakan hepar terjadi kalau terdapat Kekurangan glutation akibat pembentukan bahan metabolit yang terlalu banyak. Tetapi pemberian glutation dari luar tidak bermanfaat, karena tidak dapat memasuki sel hepar. Yang dapat dikerjakan ialah pemberian Precursor glutation seperti sisteamin. Gejala klinis dapat timbul beberapa jam setelah pemberian obat. Penderita menjadi anoreksia, mual dan muntah. ( Miller, J, 2001 ) Ikterus timbul setelah haid kedua, dapat berlanjut dengan gangguan kesadaran, koma, dan akhirnya meninggal. Pada kasus yang berat angka kematian tinggi. Dalam perjalanan penyakitnya, serum transaminase meningkat sangat tinggi, dan oleh beberapa ahli dianggap mempunyai nilai prognostik. Pengobatan

36

selain segera mengeliminasi obat serta memberi obat suportif/ simtomatis dapat diberikan Masetil sistein. ( Miller, J, 2001 )

II.IV.5 Aspirin / asam asetil Salisilat Dikenal sebagai obat hepatotoksik yang tergantung pada besarnya dosis (Predictable). Gejala hepatotoksik timbul bila kadar salisilat serum lebih dari 25 mg/ dl (dosis : 3 - 5 g/hari), tapi ada laporan terjadinya hepatotoksik pada dosis biasa dengan kadar serum l lmg/dl. Keadaan ini nampaknya sangat karena bentuk salisilat

erat hubungannya dengan kadar albumin darah,

yang bebas inilah dapat merusak hepar. .( Arena JM, et al 2000 )

II.IV.6 Isoniazid (INH) Isoniazid mengalami inaktivasi di hepar melalui prosesetilasi menjadi ase til Isoniazid yang kemudian di hidrolisis menjadi Free Acetyl Hydrozine dan oleh enzim sitokrom P450

dirubah menjadi bahan metabolit yang toksis. Pada.penderita yang.termasuk kelom pok proses asetilasi cepat, yang lebih besar. Efek Enzym Inducer mempunyai hepatotoksik risiko juga terjadinya efek meningkat dengan hepatotoksik pemberian prifam-Pisin

secara

bersamaan,

misalnya :

luminal,

atau alkohol. .( Arena JM, et al 2000 ) Pengaruh hepatotoksik sangat jarang terjadi pada pemakaian kombinasi dengan PAS : dikatakan karena PAS dapat memblokir proses asetilasi.

II.IV.7 Rifampisin Kerusakan hepar oleh obat ini melalui 3 jalur : 1) Telah dikenal (predictable), tergantung besarnya dosis, dapat menyebabkan gangguan Hepatic uptake terhadap bilirubin, sulfobromoftalein dan asam empedu. Efek ini reversibel. 2) Rifmpisin dapat menjadi Microsomal enzym inducers sehingga dapat meningkatkan efek hepatotoksik obat-obat yang tergolong metabolite related hepatotoxicity terutama isoniazid. 3) Rimfapisin dapat menimbulkan Viral like hepatitis

37

II.IV.8 Metil dopa (Aldomet, Dopamet) Dilaporkan adanya kasus fatal (massive Hepatic Necrosis) tetapi ada juga yang asimtomatis (6 - 35%) Patogenesis terjadinya kelainan hepar melalui : Proses hipersensitivitas. Penghambatan fungsi Supressor T Cell. Proses pembentukan bahan metabolit - hepatotoksik. Karena itu, faktor - faktor genetik, status gizi dan keadaan lingkungan mempengaruhi terjadinya proses hepatotoksik ini. Ikterus nampak setelah 3 16 minggu sampai 8 bulan setelah pemberian obat. Pada umumnya keadaan ini akan segera membaik bila obat segera dihentikan.

Gambaran histopatologiknya sering kolestatik. .( Arena JM, et al 2000 )

II.IV.9 Haloten Banyak penulis mengatakan terjadinya karena proses hipertensitivitas, karena tidak bisa dibuktikan pada binatang percobaan, dan sering terjadi setelah pemberian ulang. Bahan metabolit yang hepatotoksik adalah : asam tri- fluoroasetat, ion bromida dan klorida. Perubahan histologisnya sulit dibedakan dengan Hepatitis virus. Klinis sering ditandai dengan panas pasca bedah, yang timbul 8 13 hari setelah operasi disertai kelemahan umum dan gejala gastrointestinal. Ikut terus timbul setelah 10 2 hari pemakaian pertama atau 3 17 hari

pada pemakaian ulang. Angka kematian yang terus cukup tinggi, 20%..( Gastroenterology 2006 )

Hipersensitivitas Obat hepatotoksik melalui proses hipersensitivitas secara Minis sering ditandai adanya panas, rash, artralgia dan adanya lasniofilia. Keadaan ini jarang pada anak, timbulnya tergantung. Dosis serta umumnya terjadi setelah pemberian berulang kira-kira 1 minggu setelah pemberian obat. Kelainan pada hepar dapat berbeda tergantung obat yang diberikan, misalnya eritromisin estolat bersifat

38

hepatoselular, promazin menyebabkan kolestasis, fenilbutazon pembentukan granuloma. .( Gastroenterology 2006 )

II.IV.10 Pemberian obat pada Penderita penyakit hepar. Ada 2 aspek yang harus kita pikirkan, yaitu aspek farmakolog obat serta efek toksik obat terutama pada hepar. Akibat gangguan hepar, profil faimakokinetik obat dapat berubah. Sayang pengetahuan tentang hal ini sampai sekarang masih terbatas. Pada dasarnya, perubahan-perubahan aliran darah, ikatan protein, kemampuan intrinsik hepar mempengaruhi eliminasi obat dari tubuh. Pengaruh ini bervariasi dan bergantung pula pada rasio ekstraksi obat. .(

Gastroenterology 2006 ) Hal-hal yang.perlu diperhatikan pada pemakaian obat pada penyakit hepar antara lain : 1. Pertimbangan secara benar keuntungan dan risiko pemakai - an. 2. Pergunakan obat yang tidak bersifat hepatotoksik. 3. Pengobatan dimulai dengan dosis kecil. 4. Monitoring yang baik, bila perlu pengukuran kadar obat dalam plasma.

39

BAB III PENUTUP

III.A. Kesimpulan Kelainan metabolisme seringkali disebabkan oleh kelainan genetik yang mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang diperlukan untuk merangsang suatu proses metabolisme. Jika enzim yang diperlukan tidak ada, maka gula akan tertimbun dan menimbulkan masalah kesehatan. Piruvat terbentuk dalam proses pengolahan karbohidrat,.lemak.dan.protein. Piruvat merupakan sumber energi untuk mitokondria (komponen.sel.yang.menghasilkan.energi). Penyakit keturunan pada pengolahan asam amino dapat menyebabkan gangguan pada penguraian asam amino maupun pemindahan asam amino ke dalam sel. Salah satu kekacauan yang paling penting secara klinis dalam metabolisme protein adalah timbulnya hipoalbuminemia, yang sebagian besar diakibatkan dari penurunan aktivitas sintesis. Sebagian besar enzim yang mengatalisis proses metabolik yang diperlukan untuk detofikasi dan eksresi obat dan zat lain terletak di retikulum endoplasma hepatosit. Jalur ini digunakan tidak saja untuk metabolisme obat eksogen tapi juga untuk banyak zat endogen yang, tanpa metabolisme ini, akan sukar dieksekresikan dari sel (mis., bilirubin dan kolesterol). Selain peranannya dalam metabolisme bermacam agen farmakologik, hati juga bertanggung jawab terhadap inaktivasi atau modifikasi beberapa hormon endogen; oleh karena itu, penyakit hati kronik mungkin disertai dengan tanda keseimbangan hormonal yang nyata. Alkohol mungkin merupakan agen tersering yang menyebabkan perlemakan hati, tetapi mekanisme bagaimana alkohol menyebabkan peningkatan trigliserida hati tidak jelas. penurunan ester kolesterol plasma mungkin menunjukkan kerusakan dan gangguan esterifikasi kolesterol hati.

Abses Hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis yang bersumber dari sistem gastrointestinal. Abses hati dibagi menjadi dua yakni AHP dan AHA.

40

Infeski parasit diperantarai oleh suatu hospes sebelum masuk ke organ tubuh manusia dan dapat menginfeksi suatu organ tubuh tertentu.

Hepatitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus menyebakan peradangan pada hati. Hepatitis selain disebakan oleh virus disebabkan juga alcohol dan juga obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Hepatitis pada anak-anak sebagian besar disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang terkandung dalam snack. Selain itu juga anak-anak kurang memperhatikan akan kebersihan sehingga memudahkan virus untuk masuk ke dalam tubuh.

III.B.SARAN Kenali tanda-tanda pertama yang memungkinkan mengarah ke abses hati Jagalah kebersihan. Agar kita terhindar dari abses hati Parasit menginfeksi manusia biasanya melalui hospes perantara, oleh karena itu kita harus memutuskan daur infeksi parasit ke manusia dengan cara hidup bersih dan sehat.

41

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1996 Sjamsuhidajat R, Jong De Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2011 Sudoyo W, Setiyohadi B, Buku Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid 1, Interna Publishing, Jakarta, 2009 Jawetz, Melnick, Adelberg, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23, EGC, Jakarta, 2008. Patel R Pradip, Lecture Notes Radiologi, Edisi II, EMS, Jakarta, 2007 Mandal B K, Wilkins E G L, Dunbar E M, Lecture Notes Penyakit Infeksi, Edisi VI, EMS, Jakarta, 2007 Parker Steve, Ensiklopedia Tubuh Manusia, Erlangga, Jakarta, 2007. Corr Peter, Mengenali Foto-Foto Diagnostik, EGC, Jakarta, 2011 Sutanto, Inge., et al. Buku Ajar Ilmu Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fkui. Jakarta.2008 Gorman TO, et at : Salicylate Hepatitis, Gastroenterology, 2006. Miller, J, et al : Acut Isoniazid Poisoning in Child hood, Am J Dis Child 2001. Arena JM, et al : Acetaminophen : Report of an Unusual Poisoning, Pediatrics 2000 Wong P at el : Acute rifampin overdose Aphamakokinetic Study,J. Pediart 2006 Sulaiman, H.A. et al. Buku Ajar Ilmu Penykit Hati Edisi Pertama. Jakarta. FKUI. 2007