bab i kasus new new

37
BAB I KASUS 1.1 Isi Kasus Sumber: http://www.jejaknews.com/nusantara/pabrik-kosmetik-palsu- dibongkar-polres-bandung 1.2 Analisa Kasus Pada penentuan inti kasus dilakukan dengan analisa 5 W+1 H yang meliputi Apa permasalahan yang terjadi (What), Dimana

Upload: krisnantara7

Post on 31-Jan-2016

297 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

BAB 1

TRANSCRIPT

BAB I

KASUS

1.1 Isi Kasus

Sumber:

http://www.jejaknews.com/nusantara/pabrik-kosmetik-palsu-dibongkar-polres-bandung

1.2 Analisa Kasus

Pada penentuan inti kasus dilakukan dengan analisa 5 W+1 H yang meliputi Apa

permasalahan yang terjadi (What), Dimana kasus tersebut terjadi (Where), Kapan

permasalahan tersebut terjadi (When), Siapa saja pihak yang terlibat (Who), Mengapa

permasalah tersebut dapat terjadi (Why), dan Bagaimana penjelasan terkait kasus tersebut

(How). Berikut adalah hasil analisa 5 W + 1 H:

1) Permasalahan yang terjadi (What)

- Adanya pabrik kosmetik yang diduga ilegal karena memproduksi produk sabun

muka, handbody serta minyak urut tanpa izin produksi dan izin edar.

- Pabrik kosmetika belum memiliki izin produksi produk kosmetika.

- Produk kosmetik yang diproduksi belum memiliki izin edar

2) Dimana permasalahan tersebut terjadi (Where)

Pabrik Kosmetik Rumahan di daerah Kelurahan Margaasih, Kecamatan Buah Batu,

Kota Bandung, Jawa Barat.

3) Kapan permasalahan tersebut terjadi (When)

Tanggal 19 Juni 2015.

4) Pihak yang terlibat (Who)

Pemilik Pabrik Kosmetika dan Apoteker Penanggung Jawab di Pabrik Kosmetika

tersebut.

5) Mengapa permasalahan tersebut dapat terjadi (Why)

- Pabrik kosmetika rumahan memproduksi kosmetik secara illegal.

- Pabrik kosmetika belum mengantongi ijin produksi untuk proses produksi

kosmetika.

- Pabrik kosmetika belum mengantongi ijin edar untuk produk yang telah

diproduksi.

- Apoteker tidak menjalankan tugas dalam proses perencanaan suatu industri dalam

memenuhi persyaratan izin produksi kosmetika.

- Apoteker tidak menjalankan tugas dalam proses perencanaan suatu industri dalam

memenuhi persyaratan izin edar kosmetika dalam bentuk notifikasi.

6) Bagaimana kasus tersebut bisa terjadi (How)

- Pemilik Pabrik melakukan pembiaran terhadap proses perijinan produksi dan

perijinan edar dari kosmetik yang diproduksi.

- Apoteker tidak memahami bahwa produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan

harus memenuhi persyasratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

- Apoteker tidak menjalankan tupoksinya pada perencanaan industri dan unit

produksi dalam hal memenuhi persyaratan ijin produksi dan ijin edar kosmetika.

- Apoteker lalai atau tidak mengetahui hukum yang berlaku dalam mengatur ijin

produksi kosmetika dan ijin edar kosmetik berupa notifikasi.

- Apoteker tidak melakukan follow up terhadap permohonan ijin yang diajukan ke

pihak terkait sehingga menyebabkan belum keluarnya ijin produksi dan ijin edar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TUPOKSI APOTEKER DI UNIT PRODUKSI

KOSMETIK DARI PERENCANAAN SUATU INDUSTRI HINGGA BERJALANNYA

PRODUKSI

2.1 Tanggung Jawab Apoteker di Unit Produksi Industri Kosmetik dari Perencanaan

Suatu Industri Hingga Berjalannya Produksi

Apoteker dalam produksi Kosmetik khususnya pada bagian perencanaan industri hingga

berjalannya produksi berperan sebagai penanggung jawab. Hal ini tercantum pada beberapa

peraturan yaitu:

1. PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 7 ayat (1) yang

menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus

memiliki Apoteker penanggung jawab.

2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin

Produksi Kosmetika Pasal 8 Ayat (1) a, (2) a menyatakan bahwa industri kosmetik

golongan A memiliki apoteker sebagai penanggungjawab dan untuk industri kosmetik

golongan B memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai

penanggung jawab

2.2 Tugas Pokok dan Fungsi Apoteker di Unit Produksi Industri Kosmetik dari

Perencanaan Suatu Industri Hingga Berjalannya Produksi

2.2.1 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Bangunan Pabrik Kosmetika

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang bangunan

pabrik kosmetik memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai tempatnya bekerja. Dalam

bidang tersebut apoteker memiliki tupoksi seperti berikut:

1. Melakukan pemilihan lahan dan kawasan tempat dibangunnya pabrik kosmetika

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kawasan industri.

2. Menyiapkan dan mengajukan segala perijinan terkait pembangunan pabrik kosmetika

hingga siap dilakukan proses produksi.

3. Menyiapkan dan mengajukan permohonan perizinan prinsip dari suatu bentuk usaha

yang akan dibuat.

4. Menyiapkan dan mengajukan akte badan usaha dan badan hukum usaha yang

merupakan persyaratan bagi penanaman modal dan dapat melanjutkan proses

pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya

untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi/usaha di wilayah hukum Indonesia

5. Menyiapkan dan mengajukan Izin Usaha Industri (IUI) dengan melengkapi berkas-

berkas yang telah dipersyaratkan.

6. Membuat rancangan bangunan dan situasi bangunan pabrik kosmetika.

7. Menyiapkan dan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan pabrik

kosmetika dengan melengkapi berkas-berkas yang telah dipersyaratkan.

8. Melakukan pengawasan sekaligus menjadi penyelia dalam proses pembangunan

pabrik kosmetika

9. Memastikan seluruh bangunan dan aspek-aspeknya sudah sesuai dengan peraturan

yang berlaku pada CPKB (Cara Produksi Kosmetika yang Baik)

10.Menyiapkan fasilitas pendukung di dalam pabrik kosmetika sesuai dengan produksi

yang akan dilakukan.

2.2.2 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Produksi Kosmetika

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang produksi

kosmetika harus menetapkan terlebih dahulu golongan izin produksi yang akan diajukan.

Ijin produksi kosmetika digolongkan menjadi 2 berdasarkan bentuk dan jenis sediaan

kosmetika yang dibuat, yaitu golongan A dan golongan B. Masing-masing ijin produksi

tersebut memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar produksi dapat

dilaksanakan.

Untuk industri kosmetik golongan A dipersyaratkan seorang apoteker yang telah

memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Izin Kerja (SIK) dan

industri kosmetik golongan B dipersyaratkan minimal seorang tenaga teknis kefarmasian

sebagai penanggung jawab. Masing-masing apoteker atau penanggung jawab harus

mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam hal perijinan produksi agar

proses produksi kosmetika industri tersebut dapat berjalan dengan semestinya. Adapun

tugas pokok dan fungsi apoteker atau penanggung jawab pada proses perijinan produksi

kosmetika adalah:

1. Memastikan bahwa pada pabrik kosmetika tersebut terdapat fasilitas produksi (untuk

golongan A) atau fasilitas produksi dengan teknologi sederhana (untuk golongan B)

sesuai dengan produk yang akan dibuat.

2. Memastikan bawah pada pabrik kosmetika terdapat fasilitas laboratorium (untuk

golongan A)

3. Menjamin proses produksi yang berjalan telah menerapkan seluruh aspek CPKB

(Cara Produksi Kosmetika yang Baik) (untuk golongan A) atau aspek higiene

sanitasi dan dokumentasi (untuk golongan B)

4. Menyiapkan dan mengajukan permohonan ijin produksi dengan melengkapi berkas-

berkas yang telah dipersyaratkan.

5. Mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan

kepada Kepala Badan, Kepala Dinas, dan Kepala Balai/Balai Besar setempat dengan

menggunakan formulir pendaftaran industri.

6. Melakukan tindak lanjut (follow up) terhadap permohonan izin produksi yang telah

diajukan.

7. Mengajukan surat pernyataan siap berproduksi apabila dalam 30 (tiga puluh) hari

kerja setelah tembusan surat permohonan diterima oleh Kepala Balai/Balai Besar dan

Kepala Dinas setempat, tidak dilakukan pemeriksaan/evaluasi.

2.2.3 Tupoksi Apoteker dalam Perencanaan dan Perijinan Peredaran Kosmetika

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang notifikasi

kosmetika harus memastikan produk kosmetika yang diproduksi telah memenuhi

persyaratan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses berikutnya yitu peredaran

kosmetika dapat dilakukan. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker atau penanggung

jawab pada proses perijinan peredaran atau notifikasi kosmetika adalah:

1. Memastikan bahwa pabrik kosmetika telah mendapatkan ijin produksi kosmetika

agar kosmetika yang diproduksi telah memiliki hukum yang tetap.

2. Memastikan bahwa kosmetika yang diproduksi telah memenuhi ketentuan peraturan

yang berlaku dan CPKB.

3. Melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai

produsen atau penyedia kosmetika.

4. Melakukan pengajuan pendaftaran ulang apabila terdapat perubahan data yang

dimiliki oleh pemohon notifikasi.

5. Melakukan permohonan notifikasi terhadap kosmetika yang diproduksi setelah

melakukan pendaftaran pemohon notifikasi.

6. Memastikan proses notifikasi kosmetika berjalan dengan baik hingga mendapatkan

ID produk untuk produk kosmetika tersebut.

BAB III

PENYELESAIAN KASUS

3.1 Apa yang Sebaiknya Dilakukan ?

3.1.1 Apoteker hendaknya memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang

mendasari pekerjaan di bagian perencanaan industri dan produksi kosmetika.

Dalam melakukan pekerjaan di bagian perencanaan suatu industri hingga

berjalannya produksi kosmetika apoteker hendaknya memperhatikan dan melaksanakan

peraturan perundang-undangan yang terkait agar nantinya produk yang dihasilkan

memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

Peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh apoteker dalam perencanaan

suatu industri kosmetika yaitu:

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Industri

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1995 Tentang Izin

Usaha Industri

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1992 tentang Prosedur Pemberian

Izin IMB

d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin

Produksi Kosmetika

Peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh apoteker dalam produksi

kosmetika yaitu:

a. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a,

Pasal 4b, Pasal 7d, Pasal 8(1) a.

b. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik

c. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.42.06.10.4556 Tahun 2010 tentang

Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik

d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1176/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika

e. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Pengajuan

Notifikasi Kosmetika

3.1.2 Apoteker hendaknya mengetahui tugas pokok dan fungsinya ketika bekerja atau berada

di bagian perencanaan suatu industri kosmetik, di bagian perencanaan dan penyiapan

izin produksi dan pada bagian penyipan izin edar produk kosmetika.

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang bangunan pabrik

kosmetik memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai tempatnya bekerja. Dalam bidang tersebut

apoteker memiliki tupoksi seperti berikut:

1. Melakukan pemilihan lahan dan kawasan tempat dibangunnya pabrik kosmetika

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kawasan industri.

2. Menyiapkan dan mengajukan segala perijinan terkait pembangunan pabrik kosmetika

hingga siap dilakukan proses produksi.

3. Menyiapkan dan mengajukan permohonan perizinan prinsip dari suatu bentuk usaha

yang akan dibuat.

4. Menyiapkan dan mengajukan akte badan usaha dan badan hukum usaha yang

merupakan persyaratan bagi penanaman modal dan dapat melanjutkan proses

pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya

untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi/usaha di wilayah hukum Indonesia

5. Menyiapkan dan mengajukan Izin Usaha Industri (IUI) dengan melengkapi berkas-

berkas yang telah dipersyaratkan.

6. Membuat rancangan bangunan dan situasi bangunan pabrik kosmetika.

7. Menyiapkan dan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk bangunan pabrik

kosmetika dengan melengkapi berkas-berkas yang telah dipersyaratkan.

8. Melakukan pengawasan sekaligus menjadi penyelia dalam proses pembangunan

pabrik kosmetika

9. Memastikan seluruh bangunan dan aspek-aspeknya sudah sesuai dengan peraturan

yang berlaku pada CPKB (Cara Produksi Kosmetika yang Baik)

10. Menyiapkan fasilitas pendukung di dalam pabrik kosmetika sesuai dengan produksi

yang akan dilakukan.

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang produksi

kosmetika harus mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam hal perijinan

produksi agar proses produksi kosmetika industri tersebut dapat berjalan dengan

semestinya. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker pada proses perijinan produksi

kosmetika golongan B adalah:

1. Memastikan bahwa pada pabrik kosmetika tersebut terdapat fasilitas produksi

dengan teknologi sederhana sesuai dengan produk yang akan dibuat.

2. Menjamin proses produksi yang berjalan telah menerapkan aspek higiene sanitasi

dan dokumentasi sesuai CPKB.

3. Menyiapkan dan mengajukan permohonan ijin produksi dengan melengkapi berkas-

berkas yang telah dipersyaratkan.

4. Mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan

kepada Kepala Badan, Kepala Dinas, dan Kepala Balai/Balai Besar setempat dengan

menggunakan formulir pendaftaran industri.

5. Melakukan tindak lanjut (follow up) terhadap permohonan izin produksi yang telah

diajukan.

6. Mengajukan surat pernyataan siap berproduksi apabila dalam 30 (tiga puluh) hari

kerja setelah tembusan surat permohonan diterima oleh Kepala Balai/Balai Besar dan

Kepala Dinas setempat, tidak dilakukan pemeriksaan/evaluasi.

Apoteker yang bekerja di bagian perencanaan dan perijinan tentang notifikasi

kosmetika harus memastikan produk kosmetika yang diproduksi telah memenuhi

persyaratan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses berikutnya yaitu

peredaran kosmetika dapat dilakukan. Adapun tugas pokok dan fungsi apoteker atau

penanggung jawab pada proses perijinan peredaran atau notifikasi kosmetika adalah:

1. Memastikan bahwa pabrik kosmetika telah mendapatkan ijin produksi kosmetika

agar kosmetika yang diproduksi telah memiliki hukum yang tetap.

2. Memastikan bahwa kosmetika yang diproduksi telah memenuhi ketentuan peraturan

yang berlaku dan CPKB.

3. Melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai

produsen atau penyedia kosmetika.

4. Melakukan pengajuan pendaftaran ulang apabila terdapat perubahan data yang

dimiliki oleh pemohon notifikasi.

5. Melakukan permohonan notifikasi terhadap kosmetika yang diproduksi setelah

melakukan pendaftaran pemohon notifikasi.

6. Memastikan proses notifikasi kosmetika berjalan dengan baik hingga mendapatkan

ID produk untuk produk kosmetika tersebut.

3.1.3 Apoteker hendaknya memastikan persyaratan proses produksi berjalan sesuai peraturan

agar proses produksi dapat diberi ijin produksi

Berdasarkan Permenkes No. 1175 Tahun 2010 tentang Ijin Produksi Kosmetika

mengatakan bahwa indsutri kosmetika yang akan memproduksi kosmetika harus memiliki

ijin produksi. Ijin produksi dapat dikeluarkan apabila pabrik kosmetika telah memenuhi

segala persyaratan yang diundangkan. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Persyaratan ijin produksi kosmetika golongan A:

a. memiliki apoteker sebagai penanggungjawab;

b. memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat;

c. memiliki fasilitas laboratorium; dan

d. wajib menerapkan CPKB.

2. Persyaratan ijin produksi kosmetika golongan B:

a. memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung

jawab;

b. memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan

dibuat; dan

c. mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.

Telah dipaparkan diatas, bahwa pabrik kosmetika dalam proses produksinya harus

menerapkan CPKB (untuk golongan A) atau menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi

sesuai CPKB. Selain itu, pabrik juga harus memenuhi persyaratan fasilitas produksi sesuai

golongan. Untuk golongan A diharuskan memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk

yang akan dibuat dan laboratorium, dna untuk golongan B diharuskan memiliki fasilitas

produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan dibuat

3.1.4 Apoteker hendaknya memastikan produk telah diproduksi memenuhi syarat yang

berlaku agar memperoleh ijin edar berupa notifikasi.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1176/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika menyebutkan bahwa setiap

kosmetika yang beredar wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu apoteker yang

bekerja di industri kosmetika tersebut wajib memenuhi peraturan tersebut agar nanti ijin edar

dapat diperoleh. Syarat produk kosmetika yang dinotifikasi dibuat dengan menerapkan CPKB

dan memenuhi persyaratan teknis. Pada industri kosmetik golongan B produk yang diproduksi

harus mampu menerapkan higine sanitasi sesuai dengan CPKB. Persyaratan teknis yang

dimaksud antara lain :

a. keamanan yang dinilai dari bahan kosmetika yang digunakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kosmetika yang dihasilkan tidak mengganggu atau

membahayakan kesehatan manusia, baik digunakan secara normal maupun pada

kondisi penggunaan yang telah diperkirakan;

b. kemanfaatan yang dinilai dari kesesuaian dengan tujuan penggunaan dan klaim yang

dicantumkan;

c. mutu yang dinilai dari pemenuhan persyaratan sesuai CPKB dan bahan kosmetika yang

digunakan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia, standar lain yang diakui, dan

ketentuan peraturan perundangundangan; dan

d. penandaan yang berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan. Penandaan

kosmetika harus memuat beberapa informasi agar masyarakat dapat mengetahui

kejelasan tentang kosmetika tersebut. Informasi yang harus terdapat dalam kosmetik

adalah:

i. keterangan kegunaan;

ii. cara penggunaan; dan

iii. peringatan dan keterangan lain yang dipersyaratkan.

3.1.5 Apoteker Hendaknya Mengurus Segala Perijinan Produksi Dan Ijin Edar Sesuai Alur

Perijinan Yang Berlaku.

Agar suatu produk kosmetika yang diproduksi dapat beredar dan dapat digunakan oleh

masyarakat, suatu industri kosmetika wajib mematuhi dan memunuhi persyaratan yang

berlaku dimulai dari persyaratan perencenaan industri kemudian persyaratan izin produksi

hingga persyaratan izin edar kosmetika.

Sebelum apoteker mengajukan permohonan izin produksi kosmetika, apoteker terlebih

dahulu melakukan perencanaan dan penyiapan suatu pabrik kosmetika. Secara garis besar,

perencanaan dan penyiapan suatu pabrik kosmetika tipe B dapat dilihat pada gambar 1.

Permohonan Izin Usaha Industri kepada Kepala

Daerah Tingkat I

Pembangunan dan tata letak Pabrik Kosmetika

tipe B

Permohonan izin untuk mendapatkan

Izin Mendirikan Bangunan

Rancangan tata letak bangunan pabrik

kosmetika berkonsultasi dengan

BPOM

Permohonan Izin Bentuk suatu usaha

disahkan Kementerian Hukum dan HAM.

Permohonan izin Lahan di Kawasan Industri kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Gambar 1. Alur Perencanaan dan Penyiapan Industri Kosmetika Golongan B

Apoteker terlebih dahulu melakukan pemilihan lahan yang akan dibangun pabrik

kosmetika. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009

Tentang Kawasan Industri, lahan tersebut hendaknya tidak berada dalam lingkungan hijau

atau pendidikan dan harus berada pada kawasan industri. Kawasan peruntukan industri adalah

bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang

wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa

daerah mewajibkan penanam modal memiliki dokumen atau izin yang terkait dengan

kelayakan untuk melakukan kegiatan investasi disuatu lokasi sesuai dengan tata ruang dan

atau rencana kota di daerah tersebut. Dokumen ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah. 

Salah satu persyaratan untuk memperoleh izin produksi adalah memiliki Nomor

Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain merupakan persyaratan untuk memperoleh izin produksi,

NPWP juga digunakan untuk persyaratan dalam pembuatan akte badan usaha dan badan

hukum usaha. NPWP diajukan dan diurus di Kantor Pelayanan Pajak di setiap daerah. Setelah

mendapatkan NPWP, diwajibkan bagi industri/usaha untuk mendapatkan status badan usaha

(berbentuk PT, CV, FA, perorangan, Koperasi, Yayasan) yang sah sebelum mendapatkan izin

penanaman modal dan perizinan lain dalam rangka operasional usaha. Akte Badan Usaha

dikeluarkan oleh notaris dan harus mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan

HAM. Status badan hukum yang sah menjadi persyaratan untuk dapat melanjutkan proses

pengurusan izin penanaman modal dan pengoperasian usaha pada tahap berikutnya.

Setelah perusahaan berbentuk badan hukum, kemudian apoteker menyiapkan izin

prinsip pendirian usaha. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah,

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, izin

prinsip dibutuhkan dalam rangka mendirikan perusahaan baru atau dalam rangka memulai

usaha baik sebagai penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri

(PMDN) atau dalam rangka perpindahan lokasi proyek PMA atau PMDN. Formulir perizinan

prinsip dapat dilihat pada lampiran 1.

Setelah memiliki perizinan usaha yang dibutuhkan, kemudian apoteker penanggung

jawab melakukan rancangan bangunan untuk pabrik kosmetika yang akan dibangun.

Konsultasi dan pengesahan rancang bangun dilakukan oleh bagian sertifikasi dan layanan

informasi Balai POM setempat. Pada industri kosmetika B bangunan dan fasilitas mampu

menerapkan CPKB dan sanitasi higine. Namun berbeda dengan bangunan kosmetika

golongan A, pada bangunan kosmetika golongan B tidak diwajibkan memiliki laboratorium.

Setelah mendapatkan persetujuan denah ruangan pabrik kosmetika, apoteker penanggung

jawab melakukan permohonan izin untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1992 tentang Prosedur

Pemberian Izin IMB, pengusaha kawasan industri mengajukan permohonan tertulis kepada

Kepala Daerah tingkat II, dengan melengkapi persyaratan-persyaratan seperti berikut:

1. Akta Pendirian perusahaan

2. Fotocopy sertifikat tanah

3. Surat perjanjian/ pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah apabila bangunan

didirikan diatas tanah orang lain

4 . Peta situasi

5. Gambar rencana bangunan dan situasi bangunan dengan skala 1:50; 1:100; 1:200

6. Perhitungan konstruksi dan instalasi yang ditetapkan untuk bangunan tertentu.

7. Surat pernyataan persetujuan tetangga (bermaterai cukup).

Izin untuk mendirikan bangunan akan dikeluarkan setelah 14 hari dilakukan

peninjauan.

Setelah mendapatkan IMB, apoteker penanggung jawab kemudian melengkapi izin

usaha industri. Kemudian dilakukan permohonan pengajuan Izin Usaha Industri (IUI).

Permohonan IUI Besar diajukan kepada pejabat penerbit izin yaitu Kepala Daerah Tingkat I

dengan melampirkan formulir pada lampiran 2 dan paling sedikit:

1. fotokopi identitas diri pemohon;

2. fotokopi NPWP;

3. fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan/atau perubahannya yang telah

disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

4. fotokopi Izin Prinsip Industri;

5. fotokopi Izin Lingkungan.

Apabila telah memenuhi persyaratan administratif, apoteker penanggung jawab

melakukan pendaftaran izin produksi kosmetika. Berdasarkan Permenkes No. 1175 Tahun

2010, Permohonan izin produksi industri kosmetika golongan B diajukan dengan

kelengkapan sebagai berikut:

a. Surat permohonan;

b. Fotokopi izin usaha industri atau tanda daftar industri yang telah dilegalisir;

c. Nama direktur/pengurus;

d. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) direksi perusahaan/pengurus;

e. Susunan direksi/pengurus ;

f. Surat pernyataan direksi/pengurus tidak terlibat dalam pelanggaran peraturan

perundang-undangan di bidang farmasi;

g. Fotokopi akta notaris pendirian perusahaan yang telah disahkan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan sepanjang pemohon berbentuk badan usaha;

h. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

i. Denah bangunan yang disahkah oleh Kepala Badan;

j. Bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang dibuat;

k. Daftar peralatan yang tersedia;

l. Surat pernyataan kesediaan bekerja penanggung jawab; dan

m. Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi penanggung jawab yang telah dilegalisir.

Secara garis besar pengajuan persyaratan diatas dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Alur Tata Cara Memperoleh Izin Produksi Kosmetika

Apoteker mengajukan permohonan izin produksi kepada Direktur Jenderal Bina

Kefarmasi dan Alat kesehatan dan dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas

Kesehatan stempat, dan Kepala Balai/ Balai Besar POM setempat setempat dengan

menggunakan formulir 1 (Lampiran 3). Paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima

tembusan, Kepala Dinas setempat melakukan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan

administratif dan Kepala Balai/ Balai Besar setempat melakukan pemeriksaan terhadap

kesiapan/ pemenuhan CPKB untuk izin produksi industri kosmetika Golongan A dan

kesiapan pemenuhan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB untuk izin produksi

industri kosmetika Golongan B.

Paling lama 14 (empat belas) hari setelah melakukan evaluasi terhadap pemenuhan

persyaratan administratif dan persyaratan tersebut dinyatakan lengkap, Kepala Dinas setempat

wajib menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan

POM dengan menggunakan formulir 2(Lampiran 4). Apabila Kepala Balai telah selesai

melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan/pemenuhan CPKB, Kepala Balai setempat wajib

menyampaikan analisis hasil pemeriksaan kepada Kepala Badan dengan tembusan kepada

Kepala Dinas dan Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir 3 (Lampiran 5).

Setelah kelengkapan persyaratan administratif dan pemenuhan CPKB telah dinyatakan

lengkap, Kepala Badan memberikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal dengan

menggunakan formulir 4 (Lampiran 6). Hal ini dilakukan paling lama 7 (Tujuh) hari setelah

menerima analisis hasil pemeriksaan. Setelah rekomendasi diterima darit direktur Kepala

Badan, Direktur jendral kemudian memutuskan untuk menyetujui, menunda atau menolak

izin produksi kosmetika pemohon. Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tembusan

surat permohonan diterima oleh Kepala Balai / Balai Besar dan Kepala Dinas setempat, tidak

dilakukan pemeriksaan/evaluasi, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap berproduksi

kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas setempat dan

Kepala Balai / Balai Besar setempat dengan menggunakan formulir 5 (Lampiran 7).

Setelah izin produksi diperoleh (Lampiran 8), tugas apoteker selanjutnya adalah

melakukan pengajuan pendaftaran pemohon notifikasi agar terdaftar sebagai produsen atau

penyedia kosmetika. Pemohon yang akan mengajukan permohonan notifikasi harus

mendaftarkan diri kepada Kepala Badan. Dalam hal ini, yang dikatakan pemohon notifikasi

kosmetika adalah:

a. industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang telah memiliki izin produksi;

b. importir yang bergerak dibidang kosmetika sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; atau

c. usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri

kosmetika yang telah memiliki izin produksi.

Tata cara pendaftaran pemohon notifikasi adalah dengan cara mengisi template

melalui sistem elektronik yang disampaikan ke website Badan Pengawas Obat dan Makanan

dengan alamat http://www.pom.go.id. Setelah dilakukan verifikasi data, pemohon notifikasi

akan mendapatkan User ID dan Password. Contoh template pendaftaran pemohon notifikasi

yang dilakukan secara online dapat dilihat pada lampiran 9

Pendaftaran sebagai pemohon hanya dilakukan 1 kali, sepanjang tidak terjadi

perubahan data oleh pemohon. Apabila hal tersebut dilakukan, pemohon harus

menyampaikan pemberitahuan perubahan data pemohon notifikasi atau mengajukan

pendaftaran kembali jika terjadi perubahan data pemohon. Pemberitahuan perubahan data

pemohon notifikasi harus disertai dengan data pendukung dan disampaikan kepada Kepala

Badan melalui email ke alamat [email protected].

Setelah pemohon notifikasi terdaftar dalam sistem notifikasi BPOM maka apoteker

dapat mengajukan permohonan izin edar terhadap kosmetika yang diproduksi.. Izin edar

kosmetika ini berupa notifikasi. Kosmetika tersebut harus mendapatkan izin edar dari BPOM

agar kosmetika yang diedarkan dapat terjamin dan memenuhi persyaratan. Persyaratan yang

dimaksud antara lain:

a. keamanan yang dinilai dari bahan kosmetika yang digunakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kosmetika yang dihasilkan tidak mengganggu atau

membahayakan kesehatan manusia, baik digunakan secara normal maupun pada

kondisi penggunaan yang telah diperkirakan;

b. kemanfaatan yang dinilai dari kesesuaian dengan tujuan penggunaan dan klaim yang

dicantumkan;

c. mutu yang dinilai dari pemenuhan persyaratan sesuai CPKB dan bahan kosmetika yang

digunakan sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia, standar lain yang diakui, dan

ketentuan peraturan perundangundangan; dan

d. penandaan yang berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak menyesatkan. Penandaan

kosmetika harus memuat beberapa informasi agar masyarakat dapat mengetahui

kejelasan tentang kosmetika tersebut. Informasi yang harus terdapat dalam kosmetik

adalah:

i. keterangan kegunaan;

ii. cara penggunaan; dan

iii. peringatan dan keterangan lain yang dipersyaratkan.

Tata cara permohonan notifikasi dilakukan dengan cara yang sama seperti saat

melakukan permohonan pemohon notifikasi.

1. Permohonan notifikasi diajukan dengan mengisi Template Notifikasi secara elektronik

yang dapat diunduh dari website Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan alamat

http://www.pom.go.id.

2. Template Notifikasi yang sudah diisi lengkap dapat disimpan (save) dan/atau dikirim

(submit) secara elektronik.

3. Pemohon yang telah berhasil mengirim (submit) Template Notifikasi akan menerima Surat

Perintah Bayar secara elektronik melalui email pemohon.

4. Pemohon mencetak Surat Perintah Bayar dan melakukan pembayaran melalui Bank yang

ditunjuk.

5. Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal Surat Perintah Bayar, pemohon harus

menyerahkan asli bukti pembayaran melalui Bank kepada Badan Pengawas Obat dan

Makanan atau Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat dan

Makanan.

6. Penyerahan asli bukti pembayaran disampaikan ke loket notifikasi kosmetika.

7. Apabila dalam waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal perintah bayar Badan Pengawas

Obat dan Makanan atau Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat

dan Makanan belum menerima asli bukti pembayaran, permohonan notifikasi kosmetika

dianggap ditolak.

8. Asli bukti pembayaran yang diterima Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan/Balai Pengawas Obat dan Makanan akan diverifikasi

kebenarannya.

9. Jika asli bukti pembayaran yang diterima benar, pemohon menerima tanda pengenal

produk (ID produk) sebagai tanda terima pengajuan permohonan notifikasi.

10. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diperoleh tanda terima

pengajuan permohonan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Kepala

Badan tidak mengeluarkan surat penolakan, terhadap kosmetika yang dinotifikasi

dianggap disetujui dan dapat beredar di wilayah Indonesia.

Berdasarkan alur tata cara pengajuan notifikasi, maka akan diperoleh ID produk untuk setiap

produk yang didaftarkan. ID produk tersebut akan menjadi identitas dan sebagai bukti bahwa

produk telah terdaftar secara resmi.

Lampiran 1

Lampiran 2 : Formulir Permintaan Izin Industri

Lampiran 3: Formulir Pemohonan Izin Produksi Kosmetika

Lampiran 4

Lampiran 5

Lampiran 6

Lampiran 7: Surat pernyataan Siap Produksi

Lampiran 8: Surat Keputusan Pemberian Izin Produksi Kosmetika

Lampiran 10: Contoh template pendaftaran pemohon notifikasi yang dilakukan secara online

Lampiran 10: Contoh template notifikasi