bab i gadar

27

Click here to load reader

Upload: yustisi-windy-s

Post on 06-Aug-2015

63 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Gadar

BAB I

ILUSTRASI KASUS

JAKARTA--MICOM:- Lutfie Hakim, salah satu penasihat hukum kelima

terdakwa kasus pembunuhan nasabah Citibank, Irzen Octa mengatakan bahwa

ada rekayasa dari hasil otopsi tubuh Irzen Octa yang dilakukan oleh ahli forensik

Abdul Mun'im Idris. Penegasan itu disampaikan oleh Lutfie ketika ditemui di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10). Ia mengatakan bahwa ada

perbedaan antara hasil otopsi yang dilakukan oleh Mun'im Idris dengan Ade

Firmansyah Sugiharto yang merupakan dokter spesialis forensik Departemen

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RS Cipto Mangunkusumo. "Jelas

otopsi yang dilakukan oleh Mun'im Idris setelah 22 hari pasca meninggalnya

Irzen Octa adalah hasil otopsi yang tidak orisinil lagi. Itu merupakan hasil

rekayasa," tegasnya. Lebih lanjut, Ia menjelaskan hasil otopsi dari Dokter Ade

Firmansyah yang dilakukan pada tanggal 29 Maret 2011 sudah memberikan hasil

otopsi yang jelas. "Dalam otopsi itu sudah jelas disebutkan bahwa kematian

saudara Irzen Octa adalah akibat pecahnya pembuluh darah di bagian bawah

batang otak, bukan karena kekerasan baik oleh benda tumpul maupun benda

tajam seperti yang dikatakan oleh Mun'im Idris," tegasnya.

Dikutip dari :http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/31/272541/38/5/Pengacara-Tuding-Otopsi-Dokter-Munim-Direkayasa

Page 2: BAB I Gadar

BAB II

FAKTA BIOMEDIS

Selaras berkembangnya ilmu kedokteran dengan perkembangan

masyarakat dan norma yang menatanya. Pelaksanaan praktek kedokteran berkat

ketekunan kerja para ahli dalam mengenali penyakit dan pengobatannya

mendorong masyarakat untuk mengetahui juga penyakit yang dideritanya dan

sanak saudaranya salah satunya dalam bidang ilmu otopsi. Otopsi secara medis

adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat

atau jenazah untuk mengetahui secara pasti kelainan atau penyakit yang menjadi

penyebab kematian dan untuk menilai hasil usaha pemulihan kesehatan.

Pelaksanaan otopsi membawa manfaat bagi keluarga, institusi pelayan

ksehatan, individu serta masyarakat luas. Dari segi keluarga dapat memperoleh

manfaat otopsi dari segi :

1. informasi mengenai adanya kemungkinan kelainan genetik atau kelainan

sifat yang diturunkan generasi berikutnya dalam garis keturunan

keluarga.

2. Memastikan sebab kematian dan untuk memantau kelainan medik dalam

peayanan kesehatan.

3. Partisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran.

Bagi institusi penyeleggara kesehatan memperleh manfaat otopsi dari segi

(1) Memastikan diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan, (2) Untuk

mengetahui asal dan perjalanan penyakit yang diderita oleh pasien, (3) mendidik

dokter dan perawat yang pada akhirnya meningkatkan pelayanan kesehatan (5)

merancang obat dan pengobatan yang efektif, dan (6) Untuk mengetahui

berbagai akibat dari pengobatan. Bagi masyarakat manfaat yang diperoleh adalah

(1) mengevaluasi teknoogi kedokteranyang baru, (2) menilai efektifitas

pengobatan yang diberikan kepada pasien (3) mengetahui adanya penyakit terkait

kondisi lingkungan kerja atau lingkungan tempat tinggal.

Otopsi klinis hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melaukan hal itu dengan

memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan harus

Page 3: BAB I Gadar

dilakukan di rumah sakit yang disiapkan untuk melakukan aoutopsi. Otopsi klinis

harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan otopsi dengan membuka

rongga kepala dada dan perut serta melakukan pemeriksaan penunujang untuk

memastikan sebab kematian. Pada otopsi klinis sebagian organ diambil jika

dipandang prlu untuk melakukan pemeriksaan penunjang. Tidak lengkapnya

pelaknsanaan otopsi menyebabkan tidak dapat ditentukannya sebab kematian.

Otopsi klinis dilaksanakan setelah ada permintaan dan persetujuan secara

tertulis dari pasien sendiri sebelum meninggal atau keluarga terdekat atau yang

mewakilinya secara hukum. Otopsi klinis juga dapat diajukan oleh institusi

pelayanan kesehatan, institusi pendidikan dan penelitian atau otorita kesehatan

RI dengan persetujuan pasien sendiri atau luarga dekatnya yang mewakili secara

hukum.

Hasil otopsi dicatat dalam sebuah laporan otopsi (otopsi report) yang

dimasukan dalam rekam medis dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak

pemita dengan memperhatkan batasan rekam medis yang diatur dalam

permenkes 269/menkes/per/ 2008 tentag rekam medis.

FAKTA BIOETIKA

Bioetika berasal dari bahasa yunani bios yang artinya kehidupan dan

ethos yang artinya norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika ialah studi

interdisipliner terkait masalah yang timbul akibat perkembangan dalam bidang

biologi serta ilmu kedokteran baik secara skala mikro maupun makro, saat ini

dan di masa yang datang. isu-isu sosial, agama, ekonomi, dan hukum bahkan

politik itu semua tercakup dalam bioetik. Bioetika membicarakan bidang medis,

seperti abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan

rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang

berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas

penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya termasuk

otopsi didalamnya.

A.    Prinsip-prinsip Dasar Bioetika

Page 4: BAB I Gadar

Prinsip-prinsip dasar etika ialah suatu aksioma yang mempermudah

penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus dibersamakan dengan prinsip-prinsip

lainnya atau yang disebut spesifik. Tetapi pada beberapa kasus, kerana kondisi

berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan

mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan Prima Facie.

Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat,

menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4

kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau

bioetika, antara lain: Beneficence, Non-malficence, Justice dan Autonomy.

Beneficence

Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati

martabat manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya

dirawat dalam keadaan kesehatan. Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa

perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien. Beneficence membawa arti

menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah

positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Ciri-ciri

prinsip ini, yaitu; (1) Mengutamakan Alturisme, (2) Memandang pasien atau

keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya menguntungkan seorang dokter,

(3) Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan

dengan suatu keburukannya (4) Menjamin kehidupan baik-minimal manusia (5)

Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan (6) Meenerapkan Golden

Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang orang lain inginkan

(6) Memberi suatu resep.

Non-malficence

Non-malficence yaitu suatu prinsip dimana seorang dokter tidak

melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang

terkecil resikonya bagi diri pasien. Pernyataan "Fist, do no harm" tetap berlaku

dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai beberapa ciri: (1) menolong

pasien yang dalam keadaan emergensi, (2) mengobati pasien yang sedang

terluka, (3) tidak membunuh pasien, (4) tidak memandang pasien sebagai objek,

(5) melindungi pasien dari serangan (6) manfaat pasien lebih banyak daripada

Page 5: BAB I Gadar

kerugian yang dialami dokter (7) tidak membahayakan pasien karena kelalaian

(8) tidak melakukan White Collar Crime

Justice

Keadilan (Justice) merupakan prinsip dimana seorang dokter

memperlakukan sama pasien rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan

kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan status ekonomi, pandangan terhadap

politik, agama yang dianut, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan

kewarganegaraan tidak mengubah sikap seorang dokter terhadap pasiennya.

Justice mempunyai ciri-ciri : (1) memberlakukan segala sesuatu hal secara

universal (2) mengambil porsi terakhir dari proses pembagian yang telah ia

lakukan (3) menghargai hak sehat pasien (4) menghargai hak hukum pasien

Autonomy

Pada prinsip otonomi seorang dokter menghormati martabat manusia.

Setiap individu diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak menentukan

nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan

menentukan keputusan yang akan diambil sendiri. Autonomy bertujuan

menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien

demi dirinya sendiri. Autonomy memiliki ciri-ciri: (1) menghargai hak

menentukan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri, (2) berterus terang dan

menghargai privasi (3) menjaga rahasia pasien (4) melakukan Informed Consent.

Aspek etik pada kasus otopsi yaitu berdasarkan prinsip Beneficence

dimana dokter melakukan otpsi untuk suatu kemaslahatan dan prinsip autonomy

dimana keputusan otopsi dilakukan atas izin pasien sendiri ketika masih hidup

atau keluarga yang mewakilinya secara hukum.

Beberapa jenis penelitian pada orang yang baru saja meninggal yang

diperbolehkan  dalam prinsip  kebutuhan jika  penelitian tersebut menghasilkan 

pengobatan yang lebih baik  yan gmemenuhi tujuan hukum kedua,  menjaga

kesehatan, ahli patologi forensic   melakukan  penelitian untuk mempelajari

Page 6: BAB I Gadar

proses  pembusukan tubuh. Mereka dapat menggunakan  informasi  itu untuk 

memperkirakan  waktu dalam kasus pembunuhan.

FAKTA HUKUM

Pelaksanaan praktek ilmu kedokteran dan kepetingan masyarakat yang

terkait dengannnya mendorong aturan hokum yang mengatur hak dan kewajiban

keduanya saat berinteraksi, yang salah satunya adalah aturan hokum bedah mayat

(otopsi).

Menurut PPRI No.18 Tahun 1981 Bab 2, Bedah Mayat Klinis Pasal 2:

1. Otopsi diperbolehkan bila ada surat permintaan dari kepolisian dengan

persetujuan tertulis pasien atau keluarganya yang terdekat setelah

penderita meninggal dunia, apabila sebab kematian belum dapat

ditentukan secara pasti.

2. Otopsi diperbolehkan jika dalam 2x24 jam tidak ada keluarga korban

yang datang ke rumah sakit

3. Otopsi diperbolehkan jika jenazah menderita penyakit yang berbahaya

bagi masyarakat (menular).

Berbeda dengan otopsi forensic yang bersifat suatu keharusan untuk

dilaksanakan demi undang-undang.

Pelaksanaan otopsi klinis dalam praktek kedokteran secara hukum

berpijak pada landasan

1. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.

2. Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 tentang

Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta Transplantasi alat

dan atau jaringan tubuh manusia

4. Peraturan pemerintah nomor 39 tahun 1995 tentang penelitian dan

pengembangan kesehatan.

FAKTA HUKUM ISLAM

Dalam Islam diperbolehkan melakukan otopsi jenazah seorang muslim,

jika tujuannya dalam rangka penyelidikan kasus kriminalitas, atau investigasi

Page 7: BAB I Gadar

penyakit menular, karena hal itu memiliki mashlahat (kemanfaatan) pada

keamanan dan keadilan serta menjaga masyarakat dari penyakit berbahaya yang

menular. Jika otopsi dilakukan untuk tujuan pembelajaran, maka seorang muslim

harus dimuliakan hidup dan matinya. Cukuplah dengan mengotopsi mayat non

muslim, kecuali jika terpaksa dengan syarat-syarat yang syar'i.

Secara garis besar ada dua pendapat terkait otpsi.

1. Semua jenis otopsi hukumnya haram.

Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW

bersabda: “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan

mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu

Majah)

2. Otopsi itu hukumnya mubah (boleh).

Dikarenakan tujuan otopsi anatomis dan klinis sesuai dengan prinsip yang

ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa seorang

Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus

berobat?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya hamba Allah. Berobatlah kamu,

sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan)

obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud,

Tirmidzi, dan Ahmad).

Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari berbagai penyakit, yang

artinya secara tersirat kita sebagai muslim diperintahkan melakukan penelitian

untuk menentukan jenis-jenis penyakit serta pengobatannya.

Otopsi anatomis dan klinis adalah salah satu media atau perangkat

penelitian dalam rangka pengembangan keahlian di bidang pengobatan. Tujuan

daripada otopsi forensik selaras dengan prisip ajaran Islam untuk menegakkan

kebenaran dan keadilan dalam penetapan suatu hukum, sebagaimana firman

Allah dalam (QS. An-Nisa 4:58), “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil…”

Page 8: BAB I Gadar

Seorang hakim wajib memutuskan perkara hukum dengan benar dan adil.

Dan untuk dapat menentukan hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti

yang sah dan akurat. Otopsi forensik adalah salah satu wasilah, cara atau media

untuk menemukan bukti. Melihat beberapa alasan yang telah dikemukakan di

atas, dapat disimpulkan bahwa otopsi anatomis, klinis dan forensik hukumnya

adalah mubah (boleh) karena mempunyai tujuan yang tidak bertentangan dengan

prinsip ajaran Islam. Adapun otopsi yang dilakukan dengan tujuan yang tidak

benar, itu diharamkan sebagaimana yang telah dijelaskan keterangannya oleh

pendapat yang pertama.

Penggunaan mayat sebagai objek penelitian termasuk hal yang baru yang

jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran nul Karim dan hadis

Rasulullah (nash). Padanan eksplisit (Qiyas) dalam hadist juga tidak ditemukan.

Sehingga tidak bisa menggunakan metode qiyas (analogi). Kasus seperti ini

dalam ilmu fikih, solusinya dicari dengan menggunakan metode takhrij. Yaitu

mencari analogi pada aturan norma hukum yang dihasilkan melalui ijtihad karena

tidak dipaparkan langsung dalam hadist Rasulullah (Nash).

Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat. Pertama,

pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek

demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad

Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan:

mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan

menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian,

katanya, tidak boleh (la yajuuz).

Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama

klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil

permata yang tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus

mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat

boleh bila almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan harta yang dapat

dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah.

Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat

dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki.

Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil

Page 9: BAB I Gadar

janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan

mazhab Maliki dan Hanbali melarang.

Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada

penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari

kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang

yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih

hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan

sanad yang sahih.

Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman

hadist itu secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang

membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah,

berkomentar terhadap hadist tadi. Menurutnya, hadis itu berlaku bila tidak ada

kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih

krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, maka termasuk

pengecualian.

Fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa

penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai

penyelidikan, mayat itu wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu

sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.

Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul:

Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia

itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi

hak-hak jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.

Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas

(muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan

keilmuan dan mendatangkan maslahat lebih besar: memberikan perlindungan

jiwa. Bukan untuk praktek semata.

Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya

dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus

dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah

selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Page 10: BAB I Gadar

Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan

mekanismenya.

Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas'udi dari Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai

ada dalil yang menyatakan terlarang.

Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena

terkait dengan jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia

setelah meninggal, karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah

untuk menyelamatkan jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai amal

jariah.

Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik tubuh saat masih

hidup atau izin keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak

teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.

Hal senada dikemukan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu

ada kekhawatiran jika mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap

saat menghadap Tuhan.

"Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk

menghadap Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan

untuk riset dan pendidikan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan

mendapat pahala," ujarnya.

Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter

Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, MSi, Indonesia telah memiliki

peraturan dan fatwa mengenai bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis

Pertimbangan Kesehatan dan Syara' Kementerian Kesehatan No 4/1955, yang

menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan dan tidak

dihalalkan).

Dalam Fatwa No 7/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk

kepentingan pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981

tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat

dan atau Jaringan Tubuh Manusia. (ATK).

Page 11: BAB I Gadar

BAB III

PEMBAHASAN

Definisi otopsi atau nekropsi digunakan  untuk  mengacu pada

pembedahana (DISSECTION) dan pemeriksaan  mayat  utnuk menentuka

penyebab kematian.  Hal ini dilakukan untuk tujuan hukum atau pendidikan.

Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (otopsi) dapat bagi dalam tiga

kelompok, yaitu:

Otopsi Anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan

teori yang diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya

sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi).

Otopsi Klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di

rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.

Pembedahan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat

perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih

dahulu serta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit yang belum diketahui

secara sempurna selama ia sakit.

Otopsi Forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan

mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaan

pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan lain-lain. Pembedahan seperti ini

biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk

memastikan sebab kematian seseorang. Hail visum dokter (visum et repertum)

ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan suatu perkara. 

Tujuan  otopsi : pemeriksaan setelah kematian  mempunyai bebrapa

tujuan. Hal ini  bisa dilakukan untuk tujuan  riset ilmiah untuk memahami sejarah

alam, komplikasi dan  pengobatan penyakit. Hal ini dapat dilakukan  untuk 

pendidikan dokter dan murit  kedokteran  khususnya ketiaka mereka

membedakan diagnosa klinis dengan bukti dari otopsi  suatu proses yang

biasanya  disebut sebagai  korelasi   patologi klinik. Pelajaran  yang didapat  akan

meningkatkan  kemampuan  diagnosa dan pengobatan mereka dimasa depan  dan

mengurangi insiden  kesalahan  klinis.  Post mortems juga  dilakukan untuk 

tujuan forensic  untuk  memberikan bukti waktu,cara dan penyebab kematian. 

Page 12: BAB I Gadar

Secara legal ,pengadilan bisa meminta  bukti ilmiah dari penyebab kematian 

untuk  membuat keputusan  menyangkut berbagai  tanggungjawab hukum.

 Prosedur otopsi: langkah awal dari otopsi adalah pemeriksaan bagian

luar tubuh. Kemudian  lubang tubuh (cavity) dibuka untuk memerikasai organ

dalam. Organ bisa diambil untuk pemeriksaan  atau  di perisksa in situ. Setelah

pemeriksaan  organ yan   dikembalikan dan  insisi dalam dijahit  untuk

mengembalikan  bentuk  hamper seperti semula. Selama pemeriksan, jaringan

dan cairan diambil  untuk pemeriksaan lebih lanjut  yang isa mencakup 

prosedur  histology, mikrobiologi  atau serologi.

Diperbolehkannya otopsi  untuk  tujuan pendidikan  degan prinsip 

kebutuhan,’qa idat dharurat: analisa cadaver  diperbolehkan karena prinsip

kebutuhan, dharuurat alasannya adalah hal in i memungkan dokter dimasa depan

untuk dapat dilatih mengobati pasien untuk memenuhi  tujuan hukum yang kedua

, menyelamatkan nyawa  atauhifdh al nafs. Situasi  kebutuhan yang dijelaskan

diatas  memerlukan standar pertimbangan melanggar martabat manusia dengan

……. Tetapi hal ini hanya bisa dilakukan  jika ada persetujuan dari  hukum.

Sebisa mungkin, . tetepi martabat manusai tidak boleh dilanggar  lebih dari

kebutuhan. Tubuh harus  diperlakukan dengan hormat dan pertimbangan. Semua 

jaringan yan g dipotong harus dikubur dengan baik dan tulang yang tersisa hrus

juga dikubur dengan hormat.

 Cara alternative  menncapai  tujuan pendidikan  tanpa otopsi; argument

berikut  meragukan  tingkat  kebutuhan  analisa cadaver dalam pendidikan

kedokteran. Cadaver  telah diawetkan  sebelum dianalisa  dan tidak  mewakili

bentuk  atau tampilan  jaringan  manusia hidup. Kedua  dengan adanya computer

grafis dan model anatomi, mahasiswa kedokteran dapat belajar anatomi manusia

dengan  nyaman dan  efisien.  Kebutuhan  otopsi  untuk pendidikan dapat

diturunkan  dengan  endoskpis dan teknologi pencitraan yang dapat  melihat pada

stuktur dalam dari mayat tanpa membuat sayatan  untuk melihat jaringan dalam. 

Jika tujuan pendidikan  bisa sepenuhnya dicapai dengan menggunakan teknologi

semacam itu maka  dasar pemikiran dari kebutuhan itu  hilamg dan otopsi untuk

pendidikan  akan dianggap  REPUGNAT secara hukum.

 

Page 13: BAB I Gadar

Masalah  hukum etika otopsi  untuk tujuan forensic

Kebutuhan  forensic  post mortem didasrkan  pada paradikma  hukum

islam  untuk memastikan keadilan. Jika satu satunya cara  bukti  kejahatan anya

dengan  otopsi maka  otopsi  menjadi kebutuhan (keharusan) untuk dilakukan. 

Forensik atau otopsi  hukum etik lebih  mendetail  dalam arti forensic  mencobab

mencari petunjuk  motif dan bagaimana kematian terjadi. Sangat penting  juga

untuk mencatat penenmuan negative. Kematian harus  diidentidikasi secara

akurat.  Dokumentasi  harus dilakukan secara menyeluruh. Waktu kematian 

harus diperkirakan.  Catatan post mortem  adalah dokumen hukuk  yang tidak

dapat dicetak kulang dalam persidangan.

Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran

Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Alloh telah menetapkan

beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman

Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah

“Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling

banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di

lakukan yang paling ringan mafsadahnya”

(Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)

Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini,

karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap

tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular

sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan

oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar

banyak mengandung manfaat untuk ummat.

Semua ini kalau bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat,

maka harus dilihat mana yang lebih kuat masalahatnya sehingga bisa dihukumi

boleh ataukah tidak ?

Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup

manusia maka prektek bedah semacam ini diperbolehkan. Wallahu A’lam

Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?

Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan

organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam

Page 14: BAB I Gadar

belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas

kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa

Kibarul Ulama’ hal :48-67)

Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah

yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang

keharaman membongkar kuburan muslim :

“Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas

kedokteran yaitu : “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan

bahan penelitian kedokteran ?

Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh

terhadap lainnya.

(Ahkamul Janaiz hal : 299)

Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal

20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan

mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.

Jawab :

Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu :

Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas

Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil

tindakan preventif secara dini

Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran

Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan

sebagai berikut :

Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya

untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan

tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan

mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya

yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan

otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.

Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis,

maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta

memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah

Page 15: BAB I Gadar

dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling

besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena

pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan

ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk

membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati

seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh

Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh

bersabda :

“Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”

Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim,

padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum,

maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap

mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum.

Wallahul Muwaffiq.

Faedah :

Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah

:

Hukum membongkar kuburan muslim

Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang

muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam

Al Albani hal : 298)

Berkata Imam Nawawi :

“Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syar’I. Dan

dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu

sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh

mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun

bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu.

Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.”

(Al Majmu’ :5/303)

Berkata Syaikh Al Albani :

Page 16: BAB I Gadar

“Dengan ini dapat diketahui haramnya perbuatan yang dilakukan sebagian

pemerintah muslim yang mana mereka membongkar kuburan muslim untuk

dijadikan perumahan atau lainnya.”

(Ahkamul Janaiz hal : 198)

Namun jika kuburan itu kuburan orang-orang kafir maka sama sekali tidak

dilarang membongkar kuburan mereka, karena mereka sama sekali tidak punya

kehormatan, berdasarkan mafhum mukholafah dari hadits Aisyah tersebut diatas.

Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik yang sangat panjang yang intinya :

“Tatkala Rosululloh datang ke kota madinah, beliau memerintahakn untk

membangun masjid dan beliau mendapatkan tanah wakaf dari Bani Najjar yang

didalamnya ada kuburan orang-orang musyrik maka Rosululloh memerintahkan

untuk membongkar kuburan itu dan meratakannya.”

(HR. Bukhori Muslim)

Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar :

“Dalam hadits ini terdapat hukum dibolehkannya mengelola tanah kuburan yang

didapat lewat hibah atau jual beli, juga boleh membongkar kuburan tua apabila

tidak ada kehormatannya juga dibolehkan sholat di bekas kuburan orang-orang

musyrik setelah dibongkar dan dikeluarkan isinya juga dibolehkan membangun

masjid ditanah tersebut.”

Page 17: BAB I Gadar

DAFTAR PUSTAKA

At-Tuwaijri, S. Muhammad. 2009. Ringkasan Fiqih Islam (3). Terjemah Eko

Haryanto Abu Ziyad & Muzaffar Sahidu. Islamhouse.com

Bertens, K. 2005. Etika. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Guwandi, J. 2007. Hukum dan Kedokteran. Sagung Seto : Jakarta.

Hastuti, Dyah., Nasution, Khoirudin. 2011. Otopsi – Aspek Hukum Islam.

Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga.

Idries, Abdul M. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi

Praktisi Hukum. Sagung Seto : Jakarta.

Kasule, Omar Hasan. 2008. Islamic Medical Education Resources-05:Masalah

Etika Kedokteranhukum-Fiqh: Sebuah Perspektik Islam. Islamic Input In

The Medical Curriculum. Universitas Sultan Agung.

Mawardi, A. 2008. Hukum Operasi dan Bedah Mayat Menurut Islam. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Media Indonesia.

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/31/272541/38/5/

Pengacara-Tuding-Otopsi-Dokter-Munim-Direkayasa

Yusuf, Ahmad SA. 2009. Hukum Bedah dan Otopsi Jenazah Muslim.

http://ahmadsabiq.com/2009/12/28/otopsi-bedah/