bab 9 jadi
TRANSCRIPT
ABORSI : PENDAHULUAN
Kata aborsi berasal dari bahasa Latin aboriri―keguguran. Menurut Kamus New
Shorter Oxford (2002), aborsi adalah kelahiran prematur sebelum kelahiran hidup
memungkinkan, dan dalam hal ini sinonim dengan keguguran. Hal ini juga berarti
terminasi kehamilan yang diinduksi untuk menghancurkan fetus. Walaupun kedua
istilah digunakan secara bergantian dalam konteks medis, kegunaan populer kata
aborsi oleh orang awam mengimplikasikan terminasi kehamilan yang disengaja.
Oleh karena itu, banyak yang lebih suka keguguran untuk mengacu pada
kehilangan fetus secara spontan sebelum viabilitas. Untuk menambah
kebingungan, penggunaan yang luas sonografi dan pengukuran kadar serum
chorionic gonadotropin manusia memberi kesempatan untuk identifikasi
kehamilan yang sangat awal bersama dengan istilah untuk menjelaskan hal ini.
Beberapa contoh adalah kehilangan kehamilan awal atau kegagalan kehamilan
awal. Di seluruh buku ini, kami menggunakan semua istilah ini pada satu saat dan
saat lainnya.
Durasi kehamilan juga digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan
aborsi untuk tujuan statistik dan legal (lihat Bab , Definisi). Sebagai contoh, Pusat
Statistik Kesehatan Nasional, Pusat Pencegahan dan Pengontrolan Penyakit, dan
World Health Organization mendefinisikan aborsi sebagai terminasi kehamilan
sebelum kehamilan 20 minggu atau dengan kelahiran fetus dengan berat kurang
dari 500 g. Meskipun demikian, definisi bervariasi luas sesuai dengan hukum
negara bagian.
ABORSI SPONTAN
Lebih dari 80 persen aborsi spontan terjadi dalam 12 minggu pertama. Seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 9-1, setidaknya setengahnya berasal dari anomali
kromosom. Juga terdapat rasio jenis kelamin 1,5 pria:wanita dalam abortus awal
(Benirschke and Kaufmann, 2000). Setelah trimester pertama, baik angka aborsi
maupun insidensi anomali kromosom menurun.
Perdarahan ke decidua basalis, dengan nekrosis jaringan di sekitarnya, biasanya
menyertai keguguran awal. Dalam kasus ini, ovum terlepas, dan hal ini
menstimulasi kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi. Ketika kantong
gestasional terbuka, cairan pada umumnya ditemukan mengelilingi fetus yang
termaserasi kecil, atau kalau tidak, tidak ada fetus―yang disebut blighted ovum.
Gambar 9-1. Frekuensi anomali kromosom dalam abortus dan lahir mati pada
tiap trimester. Perkiraan persentase untuk tiap kelompok ditunjukkan dalam
gambar. (Data dari Eiben, 1990; Fantel, 1980; Warburton, 1980, dan semua rekan
mereka.)
Insidensi
Prevalensi aborsi spontan bervariasi menurut cara yang digunakan untuk
identifikasinya. Sebagai contoh, Wilcox dan rekan – rekan (1988) meneliti 221
wanita sehat sepanjang 707 siklus menstruasi. Mereka menemukan bahwa 31
persen kehamilan hilang setelah implantasi. Yang penting, dengan penggunaan
assay yang sangat spesifik untuk konsentrasi menit maternal serum β-human
chorionic gonadotropin (β-hCG), dua per tiga dari kehilangan ini ditandai sebagai
secara klinis tidak tampak (clinically silent).
Sejumlah faktor mempengaruhi angka aborsi spontan, namun tidak diketahui pada
saat ini jika kasus – kasus yang secara klinis tidak tampak juga dipengaruhi oleh
beberapa dari faktor – faktor ini. Sebagai contoh, keguguran yang tampak secara
klinis meningkat dengan peningkatan paritas serta usia maternal dan paternal
(Gracia, 2005; Warburton, 1964; Wilson, 1986, dan rekan – rekan mereka).
Frekuensi menjadi dua kali lipat dari 12 persen pada wanita yang berusia kurang
dari 20 tahun hingga 26 persen pada mereka yang berusia lebih dari 40 tahun.
Untuk perbandingan yang sama pada usia paternal, frekuensi meningkat dari 12
hingga 20 persen. Namun, tidak diketahui jika keguguran yang tidak tampak
secara klinis juga terpengaruhi oleh usia dan paritas yang sama.
Faktor Fetus
Aborsi spontan awal secara umum menampilkan abnormalitas perkembangan
zigot, embrio, fetus, atau terkadang, plasenta. Dari 1000 aborsi spontan yang
dianalisa oleh Hertig dan Sheldon (1943), setengahnya mengalami embrio yang
berdegenerasi atau tidak ada embrio―blighted ovum dijelaskan sebelumnya.
Dalam 50 hingga 60 persen embrio dan fetus muda yang teraborsi spontan,
abnormalitas dalam jumlah kromosom bertanggung jawab terhadap sebagian
besar kejadian (Tabel 9-1). Kesalahan kromosom menjadi kurang umum dengan
kehamilan yang semakin berkembang dan ditemukan pada sekitar sepertiga dari
keguguran pada trimester kedua namun hanya pada 5 persen dari lahir mati pada
trimester-ketiga (lihat Bab 29, Kematian Fetus).
Tabel 9-1. Penemuan Kromosomal dalam Abortus
Insidensi dalam Persen
Penelitian
Kromosomal
Kajii et al. (1980) Eiben et al.
(1990)
Simpson (1980)
Normal (euploid)
46,XY dan 46,XX 46 51 54
Abnormal (aneuploid)
Autosomal
trisomy
31 31 22
Monosomy X
(45,X)
10 5 9
Tetraploidy 7 6 8
Triploidy 2 4 3
Anomali structural 2 2 2
Double atau triple
trisomy
2 0,9 0,7
ABORSI ANEUPLOID
Sekitar 95 persen dari abnormalitas kromosomal disebabkan oleh kesalahan
gametogenesis maternal, sedangkan 5 persen disebabkan oleh kesalahan paternal.
(Jacobs dan Hassold, 1980). Penemuan yang paling umum dalam abortus tersebut
ditulis dalam Tabel 9-1.
Autosomal trisomy merupakan anomali kromosom yang paling sering
diidentifikasi dalam keguguran trimester-pertama. Walaupun sebagian besar
trisomy menyebabkan isolated nondisjunction, pengaturan ulang kromosom yang
seimbang hadir dalam satu pasangan dalam 2 hingga 4 persen pasangan dengan
keguguran rekuren (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001).
Autosomal trisomy pada seluruhnya kecuali kromosom nomor 1 telah
diidentifikasi dalam abortus, dan mereka dengan autosom 13, 16, 18, 21, dan 22
adalah yang paling umum. Bianco dan rekan – rekan (2006) baru – baru ini
menjelaskan bahwa kegagalan sebelumnya meningkatkan resiko aneuploidy fetus
berikutnya dari resiko dasar 1,39 persen hingga 1,67 persen pada hampir 47000
wanita. Dua atau tiga keguguran sebelumnya meningkatkan hal ini menjadi 1,84
dan 2,18 persen, secara berurutan.
Monosomy X (45,X) merupakan abnormalitas kromosomal spesifik yang umum.
Hal ini menyebabkan sidroma Turner, yang biasanya menyebabkan aborsi dan
yang kurang sering adalah kelahiran hidup bayi perempuan (Bab 12,
Abnormalitas Kromosom Sex). Sebaliknya, autosomal monosomy jarang dan
tidak kompatibel dengan kehidupan.
Triploidy seringkali diasosiasikan dengan degenerasi hidropik plasenta (molar)
(Bab 11, Mola Hydatidiform Partial). Mola hydatidiform incomplete (partial)
dapat triploid atau trisomy hanya untuk kromosom 16. Walaupun fetus – fetus ini
seringkali mengalami keguguran awal, beberapa yang bertahan lebih lama
mengalami malformasi yang sangat jelas. Usia maternal dan paternal yang
meningkat tidak meningkatkan insidensi triploidy.
Tetraploid abortus jarang lahir hidup dan paling sering teraborsi awal pada
gestasi.
Abonormalitas kromosomal struktural jarang menyebabkan abnormalitas.
Beberapa bayi yang lahir hidup dengan translokasi yang seimbang dapat tampak
normal seperti yang didiskusikan dalam Abnormalitas Kromosomal Parental.
ABORSI EUPLOID
Fetus yang kromosomnya normal cenderung untuk mengalami aborsi dalam
gestasi nantinya daripada mereka dengan aneuploidy. Sebagai contoh, walaupun
75 persen aborsi aneuploid timbul sebelum 8 minggu, aborsi euploid memuncak
pada sekitar 13 minggu (Kajii, 1980). Insidensi aborsi euploid meningkat drastis
setelah usia meternal melebihi 35 tahun (Stein and rekan kerja, 1980).
Faktor Maternal
Penyebab aborsi euploid tidak begitu dimengerti, walaupun beragam kelainan
medis, kondisi lingkungan, dan abnormalitas perkembangan telah diimplikasikan.
Pengaruh usia meternal yang terkenal didiskusikan di atas.
INFEKSI
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2001), infeksi
merupakan penyebab tidak umum dari aborsi awal. Bahkan dalam penelitian
mereka mengenai wanita diabetes yang dependen insulin―tampaknya lebih
rentan terhadap infeksi―Simpson dan rekan kerja (1996) tidak menemukan
adanya bukti keguguran yang diinduksi infeksi.
Sejumlah infeksi spesifik telah diteliti. Sebagai contoh, walaupun Brucella
abortus dan Campylobacter fetus menyebabkan aborsi pada sapi, mereka tidak
menyebabkan hal tersebut pada manusia (Sauerwein dan rekan – rekan, 1993).
Juga tidak terdapat bukti bahwa Listeria monocytogenes atau Chlamydia
trachomatis menstimulasi aborsi pada manusia (Feist, 1999; Osser, 1996; Paukku,
1999, dan semua rekan – rekannya). Dalam penelitian prospektif, infeksi dengan
virus herpes simplex dalam kehamilan awal juga tidak meningkatkan insidensi
(Brown dan rekan kerja, 1997). Bukti bahwa Toxoplasma gondii menyebabkan
aborsi dalam manusia tetap tidak konklusif.
Data mengenai hubungan antara beberapa infeksi dan peningkatan aborsi
bertentangan. Sebagai contoh, Quinn dan rekan kerja (1983a, b) menyediakan
bukti serologis yang mendukung peran untuk Mycoplasma hominis dan
Ureaplasma urealyticum. Sebaliknya, Temmerman dan rekan – rekan (1992)
tidak menemukan hubungan antara genital mycoplasma dan abortus spontan.
Mereka menemukan bahwa aborsi secara independen berhubungan dengan bukti
serologis syphilis dan infeksi HIV-1, dan dengan kolonisasi vagina oleh group B
streptococci. Sebaliknya, van Benthem dan rekan – rekan (2000) melaporkan
bahwa wanita memiliki resiko yang sama untuk aborsi spontan sebelum dan
setelah mereka mengalami infeksi HIV. Oakeshott dan rekan – rekan (2002)
melaporkan hubungan antara keguguran trimester-kedua, namun tidak trimester-
pertama dan bacterial vaginosis (lihat Bab 59, Bacterial Vaginosis).
PENYAKIT KRONIK YANG MELEMAHKAN
Aborsi yang awal, jarang merupakan sekunder dari penyakit kronik yang
melemahkan seperti tuberculosis atau carcinomatosis. Namun, celiac sprue telah
dilaporkan untuk menyebabkan infertilitas baik pada wanita dan pria dan aborsi
rekuren (Sher dan rekan – rekan, 1994).
ABNORMALITAS ENDOKRIN
Hypothyroidisme
Defisiensi iodine yang berat dapat berasosiasi dengan keguguran (Castañeda dan
rekan kerja, 2002). Defisiensi hormon thyroid umum pada wanita, hal tersebut
biasanya disebabkan oleh kelainan autoimun, namun pengaruh lain
hypothyroidisme dalam kehilangan kehamilan awal belum diteliti secara adekuat.
Hanya autoantibody thyroid telah diasosiasikan dengan peningkatan insidensi
keguguran (Abramson dan Stagnaro-Green, 2001; Poppe dan colleagues, 2008).
Seperti yang didiskusikan dalam Hypothyroidisme, data kurang meyakinkan
bahwa wanita dengan keguguran yang rekuren memiliki insidensi yang lebih
besar terhadap antibodi antithyroid daripada kontrol normal.
DIABETES MELLITUS
Angka aborsi spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita
dengan insulin-dependent diabetes. Resiko tampaknya berhubungan dengan
tingkat kontrol metabolisme dalam kehamilan awal. Dalam penelitian prospektif,
Mills dan rekan – rekan (1988) melaporkan bahwa kontrol glukosa yang
sempurna dalam 21 hari konsepsi menyebabkan angka keguguran yang
menyerupai dengan kontrol non-diabetik. Namun, kontrol glukosa yang buruk
menyebabkan angka aborsi yang meningkat dengan jelas. Diabetes merupakan
penyebab kehilangan kehamilan yang rekuren, dan Craig dan rekan kerja (2002)
telah melaporkan insidensi yang lebih tinggi mengenai resistensi insulin pada
wanita – wanita ini. Hal ini didiskusikan lebih jauh dalam Diabetes Mellitus.
NUTRISI
Diet yang defisiensi pada salah satu nutrisi atau defisiensi yang sedang dari semua
nutrisi tampaknya bukan penyebab penting dari aborsi. Bahkan pada ekstrim,
hyperemesis gravidarum dengan hilangnya berat badan yang signifikan jarang
disertai dengan keguguran. Dalam satu penelitian, Maconochie dan rekan – rekan
(2007) menemukan berkurangnya resiko pada wanita yang makan buah dan
sayuran segar setiap hari.
PENGGUNAAN OBAT DAN FAKTOR LINGKUNGAN
Variasi agen – agen yang berbeda telah dilaporkan berasosiasi dengan
peningkatan insidensi aborsi.
Tobacco
Merokok telah dihubungkan dengan peningkatan resiko untuk aborsi euploid
(Kline dan rekan kerja, 1980). Dua penelitian memberi kesan bahwa resiko aborsi
meningkat secara linear dengan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari
(Armstrong dan rekan – rekan, 1992; Chatenoud dan rekan – rekan, 1998).
Namun, penelitian berikutnya gagal mendukung asosiasi ini (Maconochie, 2007;
Rasch, 2003; Wisborg, 2003, dan semua rekan kerja mereka).
Alkohol
Baik aborsi spontan dan anomali fetus dapat disebabkan dari penggunaan alkohol
yang sering selama 8 minggu pertama kehamilan (Floyd dan rekan kerja, 1999).
Resiko tersebut tampaknya terkait baik dengan frekuensi dan dosis (Armstrong
dan rekan – rekan, 1992). Konsumsi alkohol yang rendah selama kehamilan tidak
berasosiasi dengan resiko aborsi yang signifikan (Kesmodel dan rekan – rekan,
2002; Maconochie dan rekan kerja, 2007).
Kafein
Armstrong dan rekan – rekan (1992) melaporkan bahwa wanita yang
mengkonsumsi setidaknya lima cangkir kopi per hari memiliki resiko aborsi yang
agak meningkat, dan bahwa di atas batas ini, resiko berkorelasi secara linier.
Demikian pula, Cnattingius dan rekan – rekan (2000) mengobservasi peningkatan
resiko aborsi yang meningkat secara signifikan hanya pada wanita yang
mengkonsumsi setidaknya 500 mg kafein per hari ― yang secara kasar sama
dengan lima cangkir kopi. Klebanoff dan rekan – rekan (1999)melaporkan bahwa
wanita hamil yang mana kadar metabolit kafein paraxanthine sangat meningkat
memiliki resiko untuk keguguran dua kali lipat. Mereka menyimpulkan bahwa
konsumsi kafein yang sedang tidak mungkin menyebabkan aborsi spontan.
Radiasi
Dalam dosis terapeutik yang diberikan untuk menangani keganasan, radiasi
pastinya merupakan abortifacient (agen yang menyebabkan aborsi) (lihat Bab 41,
Radiasi Ionisasi). Walaupun dosis yang lebih rendah lebih tidak toksik, dosis
manusia untuk mempengaruhi aborsi tidak diketahui dengan tepat. Menurut Brent
(1999), paparan kurang dari lima rads tidak meningkatkan resiko untuk
keguguran.
Kontrasepsi
Kontrasepsi oral atau agen – agen spermicidal digunakan dalam krim dan jeli
kontrasepsi tidak berasosiasi dengan peningkatan angka keguguran. Namun,
ketika alat intrauterus gagal mencegah kehamilan, resiko aborsi, dan terutama
aborsi septic, meningkat banyak (lihat Bab 32, Pengaruh yang Tidak Diinginkan).
Toksin Lingkungan
Menilai hubungan secara akurat antara paparan lingkungan dan keguguran
merupakan tantangan. Terdapat kesulitan dalam pengukuran intensitas dan durasi
paparan, dan terdapat sedikit informasi untuk menuduh atau membebaskan secara
konklusif agen spesifik. Beberapa penelitian termasuk yang dilakukan oleh
Barlow dand Sullivan (1982), yang menemukan bahwa arsenic, timah,
formaldehyde, benzene, dan ethylene oxide mungkin menyebabkan keguguran.
Video display terminal (Sebuah terminal komputer yang memiliki tampilan video
yang menggunakan tabung sinar katoda) dan lapangan elektromagnetik yang
menyertainya tidak mempengaruhi angka keguguran (Schnorr dan rekan – rekan,
1991). Demikian pula, tidak adanya pengaruh yang ditemukan terhadap paparan
okupasional ultrasound (Taskinen dan rekan – rekan, 1990). Meningkatnya resiko
keguguran telah dijelaskan untuk asisten dokter gigi yang terpapar nitrous oxide 3
jam atau lebih per hari di kantor yang tanpa alat pengolahan gas (Rowland dan
rekan kerja, 1995). Sebelum penggunaan alat tersebut, Boivin (1997)
menyimpulkan bahwa wanita yang pada pekerjaannya terpapar dengan gas
anestesi memiliki resiko keguguran yang meningkat. Dalam meta-analisis lainnya,
Dranitsaris dan rekan - rekan (2005) mengidentifikasi peningkatan resiko untuk
aborsi spontan pada pekerja wanita yang bekerja dengan obat – obat kemoterapi
yang sitotoksik.
FAKTOR IMUNOLOGIS
Sejumlah kelainan yang dimediasi oleh imun berasosiasi dengan keguguran pada
awal kehamilan. Banyak yang cenderung berulang, dan mereka dipertimbangkan
sebagai keguguran rekuren (lihat Faktor Imunologis).
THROMBOPHILIA YANG DIWARISKAN
Beberapa kelainan genetik dari koagulasi darah dapat meningkatkan resiko
thrombosis arteri dan vena. Thrombophilia yang diteliti lebih baik disebabkan
oleh mutasi gen untuk faktor V Leiden, prothrombin, antithrombin, protein C dan
S, dan methylene tetrahydrofolate reductase (hyperhomocysteinemia). Karena hal
ini merupakan yang paling umum diasosiasikan dengan keguguran yang rekuren,
mereka dipertimbangkan dalam Thrombophilia yang Diwariskan.
OPERASI MATERNAL
Operasi abdomen atau pelvis yang tidak terkomplikasi yang dilakukan pada
kehamilan awal tampaknya tidak meningkatkan resiko aborsi. Tumor ovarium
pada umumnya diangkat tanpa mengganggu kehamilan (lihat Bab 40,
Abnormalitas Ovarium). Pengecualian yang penting melibatkan pengangkatan
yang awal corpus luteum atau ovarium yang mana terdapat corpus luteum. Jika
dilakukan sebelum 10 minggu gestasi, suplemen progesterone diindikasikan. Jika
di antara 8 dan 10 minggu, maka hanya satu injeksi 17-hydroxyprogesterone
caproate, 150 mg, intramuscular, diperlukan segera setelah operasi. Jika corpus
luteum dieksisi antara 6 hingga 8 minggu, makan dua dosis tambahan sebaiknya
diberikan satu dan dua minggu setelah dosis pertama.
TRAUMA
Barangkali, trauma abdomen mayor dapat menimbulkan aborsi, namun, hal ini
tidak biasa. Pengaruh lain dari trauma minor sulit untuk dipastikan. Secara umum,
trauma berkontribusi secara minimal terhadap insidensi aborsi (lihat Bab 42,
Trauma).
DEFEK UTERUS
Defek Uterus yang Didapat
Leiomyoma uterus yang besar dan multipel merupakan hal yang umum, dan hal
tersebut dapat menyebabkan keguguran, Pada banyak kejadian, lokasi leiomyoma
lebih penting daripada ukuran mereka (lihat Bab 40, Leiomyoma Uterus).
Synechiae uterus―sindroma Asherman―biasanya disebabkan dari destruksi area
yang luas pada endometrium oleh kuretase. Hysterosalpingogram dapat
menunjukkan defek pengisian multipel yang khas, namun hysteroscopy lebih
akurat untuk diagnosis. Dengan kehamilan berikutnya, jumlah endometrium yang
tersisa dapat tidak mencukupi untuk mendukung kehamilan, dan aborsi dapat
terjadi kemudian.
Defek Perkembangan Uterus
Formasi ductus müllerian yang abnormal atau defek penyatuan dapat berkembang
secara spontan atau dapat mengikuti paparan in utero terhadap diethylstilbestrol
(DES) (lihat Bab 40, Abnormalitas Traktus Reproduksi yang Diinduksi
Diethylstilbestrol). Walaupun mereka dapat menyebabkan kegagalan pada
pertengahan kehamilan dan kelahiran preterm lainnya dan komplikasi kehamilan,
merupakan kontroversi apakah defek uterus menyebabkan keguguran. Seperti
yang didiskusikan dalam Penanganan, prosedur korektif untuk mencegah aborsi,
jika dilakukan, sebaiknya dilakukan sebagai cara akhir dan dengan pemahaman
penuh bahwa prosedur tersebut dapat tidak efektif (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2001).
INKOMPETENSI CERVIX
Hal ini menjelaskan bentuk obstetric yang lain yang dikarakteristik oleh dilatasi
cervix yang tidak nyeri pada trimester kedua. Hal ini dapat diikuti dengan prolaps
dan pengembangan membran ke vagina, dan pada akhirnya, ekspulsi fetus yang
imatur. Apabila tidak ditangani dengan efektif, urutan kejadian ini dapat berulang
pada kehamilan mendatang.
Sayangnya, wanita – wanita dengan kehamilan yang gugur pada trimester kedua
seringkali memiliki riwayat dan penemuan klinis yang membuatnya sulit untuk
membedakan inkompetensi cervix yang sesungguhnya dari penyebab – penyebab
lain keguguran midtrimester. MacNaughton dan rekan – rekan (1993) meneliti
hampir 1300 wanita dengan riwayat inkompetensi cervix non-klasik. Dalam
penelitian randomisasi dengan hasil primer persalinan sebelum 33 minggu,
cerclage ditemukan menguntungkan, meskipun sedikit. Secara khusus, 13 persen
wanita dalam kelompok cerclage melahirkan sebelum 33 minggu dibandingkan
dengan 17 persen dalam kelompok non-cerclage. Dengan istilah lain, untuk setiap
25 prosedur cerclage, satu kelahiran sebelum 33 minggu dicegah.
Baru – baru ini, ketertarikan difokuskan pada penggunaan transvaginal
sonography untuk mengidentifikasi inkompetensi cervical. Beberapa
bentuk―terutama panjang cervix―ketika diukur pada tengah kehamilan, dapat
memprediksi kelahiran preterm. Yang lain diistilahkan
penyaluran/funneling―pengembangan membran ke os internal yang berdilatasi,
namun dengan os external yang tertutup (Owen dan rekan – rekan, 2003).
Relevansi klinis dari perubahan – perubahan klinis ini tidak sepenuhnya jelas.
Tiga percobaan randomisasi cerclage yang meneliti wanita – wanita tersebut
melaporkan hasil yang bertentangan. Rust dan rekan – rekan (2001)
merandomisasi 113 wanita dengan panjang cervix kurang dari 25 mm atau dengan
penyaluran yang substansif untuk menjalani baik cerclage atau manajemen
kehamilan. Insidensi kelahiran preterm 35 persen dalam kelompok cerclage dan
36 persen dalam kelompok kontrol. Dalam penelitian kedua, To dan rekan – rekan
(2004) secara acak menentukan 253 wanita untuk penempatan cerclage dan
melaporkan bahwa resiko kelahiran preterm tidak berkurang secara signifikan.
Penelitian ketiga oleh Althuisius dan rekan – rekan (2001) merandomisasi hanya
35 wanita, namun hasilnya memberikan kesan bahwa cerclage dapat
menguntungkan. Setidaknya saat ini, penggunaan sonography untuk mendiagnosis
inkomptensi cervix tidak direkomendasikan.
Etiologi
Walaupun penyebab inkompetensi cervix tidak jelas, trauma cervix sebelumnya
sepeti dilatasi dan kuretase, konisasi, kauterisasi, atau amputasi telah
diimplikasikan. Dalam penelitian kohort berdasarkan populasi orang Norwegia
pada lebih dari 15000 wanita yang menjalani konisasi cervix, Albrechtsen dan
rekan – rekan (2008) melaporkan resiko keguguran empat kali lebih besar
sebelum 24 minggu. Chasen dan rekan – rekan (2005) melaporkan bahwa baik
sebelum dilatasi dan evakuasi (D&E) atau dilatasi dan ekstraksi (D&X) setelah 20
minggu meningkatkan kemungkinan inkompetensi cervix. Pada situasi lain,
perkembangan cervix yang abnormal, termasuk yang setelah paparan terhadap
DES in utero, dapat memainkan peran (lihat Bab 40, Abnormalitas Traktus
Reproduksi yang Diinduksi Diethylstilbestrol).
Evaluasi dan Penanganan
Setelah dikonfirmasi, inkompetensi cervix klasik ditangani dengan cerclage, yang
secara pembedahan memperkuat cervix yang lemah dengan sejenis penjahitan
purse-string. Perdarahan, kontraksi uterus, atau ruptur membran biasanya
merupakan kontraindikasi cerclage. Sonography dilakukan untuk mengkonfirmasi
fetus yang hidup dan untuk mengeksklusi anomali fetus mayor. Spesimen cervix
diuji untuk infeksi gonorrhea dan Chlamydia, dan hal - hal ini dan infeksi cervix
yang lainnya ditangani. Untuk setidaknya seminggu sebelum dan setelah operasi,
hubungan seksual dilarang.
Cerclage idealnya dilakukan sebagai profilaksis sebelum dilatasi cervix. Pada
beberapa kasus, ini tidak mungkin, dan cerclage penyelamatan dilakukan secara
darurat setelah cervix ditemukan berdilatasi atau terhapus. Cerclage yang efektif
pada umumnya dilakukan antara 12 hingga 16 minggu, namun terdapat
perdebatan mengenai setelat apakah cerclage darurat dilakukan. Teka – tekinya
adalah bahwa semakin berkembangnya kehamilan, semakin besar resiko
intervensi pembedahan akan menstimulasi persalinan preterm atau ruptur
membran. Walaupun hal ini tidak berdasarkan bukti, kami biasanya tidak
melakukan cerclage setelah kurang lebih 23 minggu, namun, yang lainnya
merekomendasikan penempatan bahkan setelahnya (Caruso dan rekan – rekan,
2000; Terkildsen dan rekan – rekan, 2003).
Dalam 10 tahun ulasan dari 75 wanita yang menjalani prosedur cerclage darurat,
Chasen dan Silverman (1998) melaporkan bahwa 65 persen melahirkan pada 28
minggu atau setelahnya, dan setengahnya melahirkan setelah 36 minggu. Hal yang
penting, hanya 44 persen dari mereka dengan membran yang menonjol pada saat
cerclage mencapai 28 minggu. Caruso dan rekan – rekan (2000) melaporkan
pengalaman mereka dengan cerclage darurat pada 23 wanita dari 17 hingga 27
minggu yang mengalami cervix yang berdilatasi dan membran yang menonjol.
Karena hasilnya hanya 11 bayi yang lahir hidup, mereka menyimpulkan bahwa
keberhasilannya tidak dapat diprediksi. Berdasarkan 20 tahun pengalaman dengan
116 wanita, Terkildsen dan rekan – rekan (2003) melaporkan bahwa nullipara dan
mereka dengan membran yang menonjol secara signifikan lebih memungkinkan
untuk melahirkan sebelum 28 minggu. Namun, cerclage setelah 22 minggu,
berasosiasi dengan kemungkinan yang lebih baik mengenai kelahiran setelah 28
minggu.
Jika indikasi klinis untuk cerclage dipertanyakan, wanita – wanita ini dapat
disarankan untuk menurunkan aktivitas fisik mereka dan abstain dari hubungan
seksual. Sebagian besar melakukan pemeriksaan cervix setiap minggu atau setiap
2 minggu untuk menilai penipisan dan dilatasi. Sayangnya, penipisan yang cepat
dan dilatasi dapat terjadi walaupun dengan kewaspadaan tersebut (Witter, 1984).
Prosedur Cerclage
Dua jenis operasi vagina pada umumnya digunakan selama kehamilan. Prosedur
yang lebih sederhana dikembangkan oleh McDonald (1963) ditunjukkan dalam
Gambar 9-2. Operasi yang lebih rumit merupakan modifikasi dari prosedur asli
yang dijelaskan oleh Shirodkar (1955) dan ditunjukkan dalam Gambar 9-3.
Dibandingkan dengan kontrol dahulu, wanita dengan riwayat klasik inkompetensi
cervix memiliki angka keberhasilan mencapai 85 hingga 90 persen ketika salah
satu dari kedua tekhnik dilakukan untuk profilaksis (Caspi dan rekan – rekan,
1990; Kuhn dan Pepperell, 1977). Untuk alasan – alasan ini, sebagian besar
praktisi menunda prosedur Shirodkar yang dimodifikasi untuk wanita – wanita
dengan kegagalan sebelumnya dengan McDonald cerclage atau mereka dengan
abnormalitas struktur cervix.
Gambar 9-2. Prosedur cerclage McDonald untuk inkompetensi cervix. A. Mulai
prosedur cerclage dengan benang monofilament nomor 2 ditempatkan pada badan
cervix sangat dekat tingkat internal os. B. Lanjutan dari penempatan jahitan pada
badan cervix sehingga mengitari os. C. Penyelesaian pengitaran os. D. Jahitan
dikencangkan di sekitar canalis cervix secukupnya untuk mengurangi diameter
canal menjadi 5 hingga 10 mm, dan jahitan kemudian diikat. Pengaruh dari
penempatan jahitan pada canalis cervix tampak jelas. Jahitan kedua yang
ditempatkan agak lebih tinggi mungkin berguna jika jahitan pertama tidak dalam
jarak dekat dengan internal os.
Gambar 9-3. Cerclage yang dimodifikasi untuk inkompetensi cervix. A. Insisi
transversal dibuat pada mukosa anterior cervix, dan kandung kemih didorong ke
arah ke arah kepala. B. Pita Mersiline 5-mm pada jarum Mayo melintas dari
anterior ke posterior. C. Pita kemudian diarahkan dari posterior ke anterior pada
sisi lain cervix. Clamp Allis yang ditempatkan pada sejumlah jaringan cervix
untuk menghilangkan jarak yang harus dilalui jarum secara submukosa
memfasilitasi penempatan pita. D. Pita diikat dengan pas di anterior, setelah
memastikan bahwa semua kelonggaran telah ditangani. Mukosa cervix kemudian
ditutup dengan jahitan yang kontinyu dengan benang kromik untuk menutupi
simpul anterior.
Selama cerclage darurat, menempatkan kantong amnion yang prolaps kembali ke
uterus biasanya akan membantu penempatan jahitan (Locatelli dan rekan – rekan,
1999). Memiringkan meja operasi dengan kepala di bawah dapat menguntungkan.
Dan mengisi kandung kemih dengan 600 mL saline melalui kateter Foley dalam
tubuh biasanya akan membantu mengurangi membran yang prolaps. Sayangnya,
manuver ini juga dapat menyebabkan cervis cephalad, menjauhi lapangan operasi.
Beberapa menganjurkan menempatkan kateter Foley dengan 30 mL balon melalui
cervix dan mengembangkan balon untuk membelokkan kantung amnion yang
cephalad. Balon kemudian dikempiskan secara betahap ketika jahitan cerclage
dikencangkan.
Transabdominal cerclage dengan jahitan yang ditempatkan pada isthmus uterus
digunakan pada beberapa kasus defek anatomis yang berat pada cervix atau kasus
– kasus kegagalan cerclage transvaginal sebelumnya (Cammarano dan rekan –
rekan, 1995; Gibb dan Salaria, 1995). Dalam ulasan dari 14 laporan retrospektif,
Zaveri dan rekan – rekan (2002) menyimpulkan bahwa ketika cerclage
transvaginal sebelumnya gagal untuk mencegah kelahiran preterm, resiko
kematian perinatal atau kelahiran sebelum 24 minggu setelah transabdominal
cerclage (6 persen) hanya sedikit lebih rendah dari resiko yang mengikuti cerclage
transvaginal yang berulang (13 persen). Yang penting, 3 persen dari wanita yang
menjalani transabdominal cerclage mengalami komplikasi yang serius, sedangkan
tidak ada yang mengalaminya pada kelompok transvaginal. Walaupun
transabdominal cerclage telah dilakukan melalui laparoscope, pada umumnya hal
tersebut membutuhkan laparatomy untuk penempatan jahitan awal dan laparatomy
berikutnya untuk pengangkatan jahitan, untuk kelahiran fetus, atau keduanya.
Komplikasi
Charles dan Edward (1981) mengidentifikasi komplikasi, terutama infeksi,
menjadi lebih jarang ketika cerclage elektif dilakukan pada 18 minggu. Dalam
percobaan oleh MacNaughton dan rekan – rekan (1993), ruptur membran hanya
terjadi pada 1 dari lebih dari 600 prosedur yang dilakukan sebelum 19 minggu.
Cerclage diasosiasikan dengan angka perawatan di rumah sakit dan tocolysis yang
lebih tinggi, serta menggandakan insiden demam puerperal―6 persen versus 3
persen. Thomason dan rekan kerja (1982) menemukan bahwa profilaksis
antimikroba perioperatif gagal mencegah sebagian besar infeksi, dan tocolytic
gagal mencegah sebagian besar persalinan. Dengan infeksi klinis, jahitan
sebaiknya dipotong, dan persalinan diinduksi atau di-augmentasi jika diperlukan.
Demikian pula, jika tanda – tanda dari aborsi imminent atau kelahiran terjadi,
jahitan sebaiknya dilepas segera. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat
menyebabkan kontraksi uterus yang kuat menyobek uterus atau cervix.
Ruptur membran selama penempatan jahitan atau dalam 48 jam pertama setelah
operasi dipertimbangkan oleh beberapa sebagai indikasi untuk pengangkatan
cerclage. Kuhn dan Pepperell (1977) melaporkan bahwa ruptur dalam ketiadaan
persalinan meningkatkan kemungkinan infeksi fetal atau maternal yang serius jika
jahitan ditinggalkan in situ dan kelahiran ditunda. Walaupun demikian, pilihan
rentang manajemen meliputi observasi, pengangkatan cerclage dan observasi, atau
pengangkatan cerclage dan induksi persalinan (Barth, 1995). Data yang tidak
mencukupi membatasi rekomendasi yang pasti, dan manajemen yang optimal
(O’Connor dan rekan – rekan, 1999).
Setelah operasi Shirodkar yang dimodifikasi, jahitan dapat ditinggalkan di
tempatnya, dan dilakukan persalinan cesarean. Sebaliknya, jahitan dapat diangkat,
dan persalinan vaginal dapat dilakukan.
FAKTOR PATERNAL
Sedikit yang diketahui mengenai faktor paternal dalam kejadian keguguran.
Pastinya, abnormalitas kromosom dalam sperma telah diasosiasikan dengan aborsi
(Carrell dan rekan kerja, 2003).
Klasifikasi Klinis Aborsi Spontan
Aborsi spontan dapat diklasifikasikan secara klinis dengan sejumlah cara. Pada
umumnya menggunakan subkelompok termasuk threatened, inevitable,
incomplete dan missed abortion. Aborsi septic merupakan kondisi ketika produk
konsepsi dan uterus terinfeksi. Pada akhirnya, keguguran yang rekuren―juga
diistilahkan kehilangan kehamilan rekuren―menjelaskan kehilangan awal yang
konsekutif dengan etiologi yang diimplikasikan menyerupai.
THREATENED ABORTION
Diagnosis klinis threatened abortion diduga ketika keluarn darah dari vagina atau
tampak perdarahan melalui os cervix yang tertutup selama pertengahan pertama
kehamilan. Hal ini terjadi pada 20 hingga 25 persen wanita selama kehamilan
awal dan dapat bertahan selama berhari – hari atau beberapa minggu. Sekitar
setengah dari kehamilan akan gugur, walaupun resikonya lebih rendah jika
aktivitas jantung fetus divisualisasi (Tongsong dan rekan – rekan, 1995).
Eddleman dan rekan – rekan (2006) membuat model penilaian resiko yang
diindividualisasi untuk keguguran spontan pada lebih dari 35000 kehamilan.
Sejauh ini, perdarahan selama kehamilan saat ini merupakan faktor resiko yang
paling prediktif untuk keguguran. Bahkan jika aborsi tidak mengikuti perdarahan
awal, fetus ini berada pada peningkatan resiko untuk persalinan preterm, berat
badan lahir rendah, dan kematian perinatal (Johns dan Jauniaux, 2006; Weiss dan
rekan – rekan, 2002). Untungnya, resiko malformasi pada bayi yang bertahan
tampaknya tidak meningkat. Resiko maternal termasuk perdarahan antepartum.
penegeluaran plasenta manual, dan persalinan cesarean (Wijesiriwardana dan
rekan, kerja, 2006).
Satu penyebab fisiologis dari perdarahan yang timbul dekat waktu
menstruasi―perdarahan implantasi. Lesi cervix umumnya berdarah pada
kehamilan awal, terutama setelah hubungan seksual. Polip cervix dan rekasi
desisua juga cenderung untuk berdarah pada kehamilan awal. Perdarahan dari
penyebab yang jinak ini tidak disertai dengan nyeri abdomen bawah dan nyeri
punggung bawah.
Pada keguguran, perdarahan biasanya pertama mulai, dan nyeri kolik abdomen
terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelahnya. Nyeri dapat timbul sebagai
nyeri kolik di anterior dan ritmik; sebagai nyeri punggung bawah yang persisten,
yang berasosiasi dengan rasa tekanan pada pelvis; atau sebagai ketidaknyamanan
suprapubik yang tumpul, midline. Bentuk apapun nyerinya, kombinasi perdarahan
dan nyeri memprediksi prognosis yang buruk untuk kelanjutan kehamilan.
Karena kehamilan ektopik, torsi ovarium, dan jenis – jenis aborsi lain dapat
menyerupai threatened abortion, wanita dengan perdarahan pada awal kehamilan
dan nyeri sebaiknya dievaluasi. Dengan perdarahan yang persisten atau berat,
hematocrit dilakukan, dan jika terdapat anemia yang signifikan atau hypovolemia,
maka evakuasi kehamilan biasanya diindikasikan.
Tidak ada terapi yang efektif untuk threatened abortion. Istirahat di tempat tidur,
walaupun sering disarankan, tidak mengubah perjalanannya. Analgesia
berdasarkan acetaminophen dapat diberikan untuk rasa tidak nyaman. Biasanya,
transvaginal sonography, serial serum kuantitatif human chorionic gonadotropin
(hCG), dan kadar serum progesteron, dapat digunakan sendiri atau dalam
kombinasi, dianaliasa untuk memastikan jika fetus hidup dan dalam uterus.
Karena mereka tidak 100 persen akurat untuk mengkonfirmasi kematian fetus,
evaluasi ulang dapat diperlukan.
Kehamilan ektopik sebaiknya selalu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding dari threatened abortion.
Dalam satu laporan, Condous dan rekan – rekan (2005) menjelaskan 152 wanita
dengan perdarahan berat yang didagnosis mengalami aborsi komplit dan
penebalan endometrium < 15 mm. Hampir 6 persen dari wanita – wanita ini
ditemukan mengalami kehamilan ektopik pada evaluasi selanjutnya.
Sangat penting untuk mengenali kehamilan ektopik awal sebelum ruptur tuba
terjadi. Oleh karenanya, untuk wanita dengan perdarahan atau nyeri pelvis yang
abnormal yang memiliki kadar serum β-hCG yang rendah, kehamilan ekstrauterin
harus dibedakan dari kehamilan uterus normal atau keguguran awal (Bab 10,
Diagnosis Multimodalitas). Barnhart dan rekan – rekan (2004a) telah
menyediakan data mengenai hilangnya kurva campuran serum β-hCG pada wanita
dengan keguguran awal (Gambar 9-4). Mereka memberikan data yang
menyerupai untuk wanita simtomatik dengan kehamilan awal yang normal
(Barnhart dan rekan – rekan, 2004b).
Gambar 9-4. Kurva campuran yang menjelaskan penurunan nilai serial serum β-
hCG pada kadar 2000 mIU/mL setelah keguguran spontan awal. Garis dengan
titik kuning adalah individu pasien. Garis biru adalah kurva prediksi berdasarkan
ringkasan seluruh data, dan dua garis putus – putus merah menggambarkan 95-
persen interval kepercayaan. (Dari Barnhart, 2004a, dengan ijin).
ANTI-D IMMUNOGLOBULIN
Wanita D-negatif diberikan anti-D immunoglobulin setelah keguguran karena
sebanyak 5 persen menjadi isoimmunized tanpanya. Praktek ini bertentangan
dengan threatened abortion karena kurangnya dukungan bukti (American College
of Obstetricians and Gynecologists, 1999; Weissman dan rekan – rekan, 2002).
INEVITABLE ABORTION
Ruptur membran, yang dibuktikan dengan keluarnya cairan amnion dengan
adanya dilatasi cervix, hampir pasti memberi sinyal aborsi. Pada umumnya, entah
kontraksi uterus yang mulai dengan cepat yang menyebabkan keguguran, atau
terjadi infeksi. Jarang, pengeluaran cairan vagina yang banyak selama
pertengahan pertama kehamilan tanpa konsekuensi yang serius. Jika tidak berasal
dari kandung kemih, cairan dapat terkumpul sebelumnya antara amnion dan
chorion. Karena kemungkinan ini, jika terdapat pengeluaran cairan pada awal
kehamilan timbul sebelum nyeri, demam, atau perdarahan, maka aktivitas yang
berkurang dengan observasi adalah wajar. Setelah 48 jam, jika tidak ada cairan
amnion yang keluar dan jika tidak ada perdarahan, nyeri, atau demam, maka
wanita tersebut dapat melanjutkan aktivitasnya seperti biasa kecuali berbagai
bentuk penetrasi vagina. Namun, jika pengeluaran cairan yang banyak disertai
dengan atau diikuti dengan perdarahan, nyeri, atau demam, aborsi sebaiknya
dipertimbangkan tidak dapat dihindari, dan uterus dikosongkan.
ABORSI INKOMPLIT
Perdarahan terjadi ketika plasenta, seluruh atau sebagian, terlepas dari uterus.
Selama aborsi inkomplit, internal os cervis terbuka dan memberi kesempatan
darah mengalir. Fetus dan plasenta dapat tetap berada in utero atau sebagian dapat
keluar melalui os yang dilatasi. Sebelum 10 minggu, fetus dan palsenta umumnya
dikeluarkan bersama, namun setelahnya mereka keluar terpisah. Pada beberapa
wanita, tambahan dilarasi cervis diperlukan sebelum kuretase dilakukan. Pada
banyak kasus, jaringan plasenta yang bertahan hanya terletak dengan bebas pada
canalis cervicalis, memberikan kesempatan untuk ekstraksi yang mudah dari
external os yang tak terlindungi dengan ring forceps. Suction kuretase, seperti
yang dijelaskan nanti, dengan efektif mengevakuasi uterus. Pada wanita – wanita
yang secara klinis stabil, manajemen kehamilan pada aborsi inkomplit juga dapat
merupakan pilihan yang wajar (Blohm dan rekan – rekan, 2003).
Perdarahan dari aborsi inkomplit pada kehamilan yang lebih tua terkadang berat
namun jarang fatal. Oleh karenanya, wanita dengan kehamilan yang telah
berkembang atau dengan perdarahan yang berat, evakuasi segera dilakukan. Jika
terdapat demam, anitbiotik yang sesuai diberikan sebelum kuretase.
MISSED ABORTION―KEHAMILAN MUDA YANG GAGAL
Istilah missed abortion tidak tepat saat ini karena istilah tersebut didefinisikan
beberapa dekade sebelum adanya tes immunologis kehamilan dan sonography.
Istilah ini digunakan untuk menjelaskan produk mati konsepsi yang bertahan
selama beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan di uterus dengan os cervix yang
tertutup. Karena keguguran spontan selalu didahului oleh kematian embryofetal,
sebagian besar menyebutnya “missed.” Pada situasi biasa, awal kehamilan
tampaknya normal, dengan amenorrhea, mual dan muntah, perubahan payudara,
dan pertumbuhan uterus. Setelah kematian embrio, dapat terjadi atau tidak adanya
perdarahan vagina atau gejala – gejala lain dari threatened abortion.
Dengan sonography, konfirmasi gestasi anembryonic atau fetus atau kematian
embryo mungkin (Gambar 9-5). Banyak wanita memilih terminasi medis atau
pembedahan pada saat diagnosis. Jika kehamilan tidak diterminasi dan jika
keguguran tidak terjadi setelah beberapa hari atau minggu, ukuran uterus tetap
tidak berubah, dan kemudian menjadi lebih kecil secara bertahap. Perubahan
payudara biasanya berupa regresi, dan wanita terkadang kehilangan beberapa pon.
Banyak wanita yang tidak memiliki gejala selama periode ini kecuali amenorrhea
yang persisten. Jika missed abortion diterminasi secara spontan, dan sebagian
besar terjadi, proses ekspulsi sama seperti aborsi lain.
Gambar 9-5. Transvaginal sonography menampilkan gestasi anembryonic.
(Digunakan dengan ijin dari Dr. Elysia Moschos.)
ABORSI SEPTIC
Kematian maternal diasosiasikan dengan aborsi kriminalis septic jarang terjadi di
Amerika Serikat. Namun, terkadang, keguguran dan aborsi elektif dapat
terkomplikasi oleh infeksi berat (Barrett dan rekan kerja, 2002; Fjerstad dan rekan
– rekan, 2009). Endomyometritis merupakan manifestasi yang paling umum dari
infeksi postabortal, namun parametritis, peritonitis, septicemia, dan bahkan
endocarditis terkadang terjadi (Vartiam dan Septimus, 1991). Pengobatan untuk
infeksi termasuk administrasi yang cepat antibiotik spektrum luas secara intravena
diikuti dengan evakuasi uterus. Dengan sindroma sepsis berat, sindroma respirasi
akut atau disseminated intravascular coagulopathy dapat terjadi, dan perawatan
suportif penting (lihat Bab 42, Sindroma Sepsis).
Pada masa lalu, aborsi kriminalis dan aborsi inkomplit yang dibiarkan menjadi
terinfeksi oleh yang dalam keadaan lain adalah bakteri komensal vagina yang non-
virulen seperti Clostridium perfringens. Hal ini hampir menghilang setelah aborsi
dilegalisasi. Namun, pada tahun 2005, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit
melaporkan empat kematian yang berkaitan dengan aborsi medis yang diakibatkan
toxic shock syndrome yang disebabkan infeksi Clostridium sordellii. Fischer dan
rekan – rekan (2005) menjelaskan dengan rinci infeksi ini dan menjelaskan
manifestasi klinis yang dimulai dalam 1 minggu setelah aborsi yang diinduksi
secara medis. Penandanya adalah cedera endotel yang berat dengan kebocoran
kapiler dan hemokonsentrasi, hipotensi, dan leukositosis dalam jumlah besar.
Sejak saat itu, Cohen dan rekan – rekan (2007) melaporkan empat kasus
lainnya―dua dengan C. sordellii dan dua dengan C. perfringens—yang terjadi
setelah aborsi spontan atau yang diinduksi. Dua fatal. Daif dan rekan – rekan
(2009) menjelaskan sebuah kasus tentang necrotizing fasciitis dan toxic shock
syndrome yang disebabkan oleh infeksi streptococcus grup A setelah aborsi medis
elektif.
Manajemen
Dengan kematian embryofetal saat ini mudah untuk dipastikan dengan tekhnologi
sonography saat ini, manajemen dapat lebih diindividualisasi. Manajemen
kehamilan, medis, dan pembedahan semuanya merupakan pilihan yang masuk
akal kecuali terdapat perdarahan berat atau infeksi. Penanganan pembedahan
definitif dan diprediksi, namun merupakan prosedur yang invasif dan tidak
diperlukan pada semua wanita. Manajemen kehamilan dan medis dapat
menghindarkan kuretase, namun berasosiasi dengan perdarahan yang tidak dapat
diprediksi, dan beberapa wanita akan membutuhkan pembedahan mendadak.
Sebagai contoh, dalam penelitian observasional oleh Luise dan rekan – rekan
(2002), 81 persen dari hampir 1100 wanita dengan dicurigai keguguran pada
trimester pertama melaporkan resolusi spontan.
Sejumlah penelitian randomisasi telah dilakukan untuk mengevaluasi metode –
metode ini. Namun, pada banyak kasus, penelitian tersebut tidak dapat
dibandingkan karena kriteria yang berbeda digunakan untuk inklusi, dan berbagai
protokol dilakukan. Sebagai contoh, pengosongan uterus dengan terapi medis
untuk kegagalan kehamilan awal memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi
pada mereka dengan perdarahan vagina dibandingkan dengan wanita dengan
gestasi yang lebih “utuh” (Creinin dan rekan – rekan, 2006). Dari penelitian yang
ditulis dalam Tabel 9-2, beberapa generalisasi dapat dibuat:
1. Sukses bergantung pada jenis kegagalan kehamilan awal.
2. Dengan aborsi inkomplit spontan, manajemen kehamilan menyebabkan
penyelesaian spontan pada sekitar setengah kasus.
3. Untuk kegagalan kehamilan awal, yang tidak ditetapkan lebih lanjut,
PGE1 diberikan secara oral atau melalui vagina efektif pada sekitar 85
persen untuk aborsi komplit dalam 7 hari.
4. Kuretase merupakan resolusi cepat yang hampir berhasil 100-persen dalam
menyelesaikan kegagalan kehamilan awal.
Tabel 9-2. Beberapa Penelitian Randomisasi Terkontrol untuk Manajemen Kehilangan
Kehamilan Awal.
Penelitian Jenis Aborsi Treatment Arms Hasil
Blohm et al
(2005)
“Tanda – tanda
keguguran” (n
= 126)
1. Placebo
2. PGE1, 400 μg
per vaginam
54% selesai dalam 7 hari
81% selesai dalam 7
hari; lebih nyeri, lebih
banyak analgesik
Trinder et al
(2006)
SAB inkomplit
atau missed (n
= 1200)
1. Expectant
2. PGE1, 800 μg
per vaginam ± 200
mg mifepristone
3. Suction
50% kuretase
2% transfusi
38% kuretase
1% transfusi
5% kuretase ulang
curettage
Zhang et al
(2005)
Kegagalan
kehamilana (n
= 652)
1. PGE1, 800 μg
per vaginam
2. Aspirasi
vacuum
71% selesai dalam 3
hari; 84% dalam 8 hari;
16% gagal
97% berhasil
Weeks et al
(2005)
SAB inkomplit
(n = 312)
1. PGE1, 600 μg
per vaginam
2. Aspirasi
vacuum
96% berhasil; 1%
komplikasi
92% berhasil; 10%
komplikasi
Dao et al
(2007)
SAB inkomplit
(n = 447)
1. PGE1, 600 μg
per oral
2. Aspirasi
vacuum
95% selesai
99% selesai
Shwekerela
et al (2007)
SAB inkomplit
(n = 300)
1. PGE1, 600 μg
per oral
2. Aspirasi
vacuum
99% selesai
100% selesai
a Termasuk gestasi anembryonic, kematian embryonic atau fetus, atau SAB
inkomplit atau inevitable SAB. PGE1 = Prostaglandin E1; SAB = Abortus
spontan
Oleh karena itu, terdapat beberapa pilihan manajemen yang dapat dipilih oleh
wanita dan ahli ginekologinya. Tentu saja, dengan perdarahan yang berbahaya
atau infeksi, penyelesaian aborsi yang sempurna―baik secara medis maupun atau
pembedahan―dibutuhkan.
KEGUGURAN REKUREN
Ini juga disebut sebagai aborsi spontan rekuren dan kehilangan kehamilan
rekuren. Secara klasik hal ini didefinisikan sebagai tiga atau lebih kehilangan
kehamilan pada 20 minggu atau kurang atau dengan berat fetus kurang dari 500
gram. Sebagian besar wanita dengan keguguran rekuren mengalami hilangnya
embryonic atau fetus awal, dan minoritas dari kehilangan ini adalah setelah 14
minggu. Walaupun definisi termasuk tiga atau lebih keguguran, banyak yang
setuju bahwa evaluasi setidaknya harus dipertimbangkan setelah dua kehilangan
berturut – turut. Hal ini dikarenakan resiko kehilangan berikutnya setelah dua
keguguran yang berurutan serupa dengan yang mengikuti tiga keguguran―sekitar
30 persen (Harger dan rekan – rekan, 1983). Sesungguhnya, kesempatan untuk
kehamilan yang berhasil dapat mencapai 50 persen bahkan setelah enam
keguguran (Poland dan rekan kerja, 1977; Warburton dan Fraser, 1964).
Keguguran berulang sebaiknya dibedakan dari kehilangan kehamilan yang
sporadic yang dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Kehilangan yang sporadic
mengimplikasikan bahwa kehamilan yang diintervensi telah menghasilkan bayi
yang sehat. Yang lain membedakan keguguran rekuren primer―tidak ada
kehamilan yang berhasil―dari keguguran rekuren sekunder―satu lahir hidup
sebelumnya―karena kelompok yang terakhir tidak mencapai resiko kehilangan
berikutnya 32 persen hingga setelah tiga keguguran. Oleh karena itu, beralasan
untuk menunda evaluasi kehilangan rekuren sekunder hingga tiga kehilangan
berurutan (Poland dan rekan kerja, 1977).
Penyebab keguguran rekuren parallel dengan penyebab keguguran sporadic,
walaupun insidensi relatif berbeda di antara dua kategori. Sebagai contoh,
kehilangan trimester-pertama dengan keguguran rekuren memiliki insidensi
anomali genetik yang secara signifikan lebih rendah (Sullivan dan rekan – rekan,
2004). Dalam satu seri, karyotypes diidentifikasi dalam setengah dari keguguran
berulang namun hanya seperempat pada kehilangan sporadic. Waktu kehilangan
kehamilan dapat menyediakan petunjuk penyebabnya, sedangkan abnormalitas
autoimun atau anatomis lebih mungkin untuk menyebabkan kehilangan dalam
trimester-kedua (Schust dan Hill, 2002).
Abnormalitas Kromosom Orangtua
Walaupun hal ini bertanggung jawab hanya pada 2 hingga 4 persen dari
keguguran rekuren, evaluasi karyotypic pada kedua orang tua tetap merupakan
bagian penting evaluasi. Therapel dan rekan – rekan (1985) meringkas data dari
79 penelitian terhadap pasangan dengan dua atau lebih keguguran. Hal ini
termasuk 8208 wanita dan 7834 pria, dan abnormalitas kromosom dideteksi pada
2,9 persen―insidensi yang lima kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Rasio abnormalitas wanita-terhadap-pria diperkirakan 2:1. Translokasi timbal –
balik yang seimbang bertanggung jawab untuk 50 persen dari abnormalitas yang
diidentifikasi; translokasi Robertsonian untuk 24 persen; mosaicism kromosom X
seperti 47,XXY―Klinefelter syndrome―untuk 12 persen; dan inversi dan
berbagai anomali lainnya menduduki sisanya. Sebaliknya, Hogge dan rekan –
rekan (2007) melaporkan bahwa kehilangan kehamilan rekuren tidak
diasosiasikan dengan inaktivasi-X yang tidak simetris―penghilangan transkripsi.
Pewarisan sindroma translokasi didiskusikan dengan rinci dalam Bab 12,
Translokasi Kromosom. Secara singkat, jika satu orangtua membawa translokasi
yang seimbang, hasil karyotype kehamilan dapat normal, translokasi seimbang
yang sama, atau translokasi yang tidak seimbang. Translokasi yang seimbang
tampaknya menyebabkan keguguran rekuren selanjutnya pada keturunannya.
Translokasi yang tidak seimbang dapat menghasilkan keguguran, anomali fetus,
atau lahir mati. Namun, secara keseluruhan, prognosis bagus. Franssen dan rekan
– rekan (2006) meneliti 247 pasangan dengan translokasi yang seimbang dan
melaporkan bahwa hampir 85 persen setidaknya memiliki satu bayi yang sehat.
Dengan demikian, riwayat keguguran trimester-kedua atau anomali fetus
sebaiknya menimbulkan kecurigaan bahwa pola kromosom yang abnormal ada
pada salah satu orangtua. Pasangan dengan karyotype yang abnormal sebaiknya
ditawarkan konsultasi genetik pre-implantasi (Bab 13, Diagnosis Genetik Pre-
Implantasi).
Faktor Anatomi
Sejumlah abnormalitas anatomis traktus genital telah diimplikasikan dalam
keguguran rekuren. Menurut Devi Wold dan rekan – rekan (2006), 15 persen
wanita dengan tiga atau lebih keguguran konsekutif memiliki anomali uterus
kongenital atau didapat. Pada intinya hal ini sama dengan yang diasosiasikan
dengan seluruh keguguran dan didiskusikan dalam Defek Uterus. Mereka juga
didiskusikan secara rinci dalam Bab 40. Mereka termasuk abnormalitas uterus
yang didapat seperti synechiae intrauterin―sindroma Asherman, leiomyoma, dan
inkompetensi cervix. Defek perkembangan termasuk septa, bicornuate, dan
unicornuate uterus serta uterus didelphy. Juga termasuk adalah abnormalitas yang
berasosiasi dengan paparan DES in utero.
Frekuensi anomali – anomali ini pada wanita dengan keguguran rekuren
bervariasi luas tergantung pada dalamnya evaluasi dan kriteria yang ditetapkan
untuk abnormalitas. Salim dan rekan – rekan (2003) menjelaskan hampir 2500
wanita yang disaring untuk anomali perkembangan uterus menggunakan
sonography tiga dimensi. Anomali diidentifikasi dalam 24 persen wanita dengan
keguguran rekuren, namun hanya pada 5 persen kontrol normal. Dalam penelitian
lain pada wanita dengan keguguran rekuren, prevalensi anomali uterus telah
diperkirakan hanya sekitar 7 hingga 15 persen (Ashton dan rekan kerja, 1988;
Makino dan rekan – rekan, 1992).
PENANGANAN
Seperti yang didiskusikan dalam Defek Uterus, bukti tidak kuat untuk
mengkaitkan anomali anatomis ini dengan kehilangan kehamilan awal. Oleh
karena itu sulit untuk membuktikan bahwa koreksi terhadap anomali tersebut
meningkatkan hasil kehamilan (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2001). Terdapat penelitian retrospektif untuk mendukung koreksi
pada beberapa anomali. Saygili-Yilmaz dan rekan – rekan (2003) mengulas hasil
kehamilan setelah hysteroscopic metroplasty pada wanita – wanita yang memiliki
septate uterus dan lebih dari dua keguguran sebelumnya. Pada 59 wanita seperti
tersebut, insidensi keguguran menurun dari 96 menjadi 10 persen setelah operasi,
dan isitilah kehamilan meningkat dari tidak ada menjadi 70 persen (Saygili-
Yilmaz dan rekan – rekan, 2002).
Untuk synechiae uterus, hysteroscopic lysis lebih dipilih dibandingkan kuretase.
Katz dan rekan – rekan (1996) melaporkan 90 wanita dengan synechiae yang
setidaknya mengalami dua keguguran sebelumnya atau kematian perinatal
preterm atau keduanya. Dengan adhesiolysis, angka keguguran menurun dari 79
menjadi 22 persen, dan istilah kehamilan meningkat dari 18 hingga 69 persen.
Penelitian – penelitian lain telah melaporkan hasil yang serupa (Al-Inany, 2001;
Goldenberg dan rekan – rekan, 1995).
Seperti yang didiskusikan dalam Bab 40, Pengaruh Myoma pada Kehamilan,
merupakan pertentangan apakah myoma submukosa menyebabkan keguguran
rekuren lebih dari jarang. Jika simtomatik, sebagian besar setuju bahwa fibroid
submukosa dan intracavitas sebaiknya dieksisi. Pada penelitian – penelitian pada
wanita yang menjalani fertilisasi in vitro, hasil kehamilan sangat dipengaruhi oleh
myoma submukosa, namun tidak oleh myoma subserosa atau intramural dan
kurang dari 5 hingga 7 cm (Jun dan rekan kerja, 2001; Ramzy dan rekan – rekan,
1998).
Faktor Imunologis
Dalam analisa dari penelitian – penelitian yang dipublikasikan, Yetman dan
Kutteh (1996) menetapkan bahwa 15 persen dari lebih dari 1000 wanita dengan
keguguran rekuren memiliki faktor – faktor autoimun yang dikenali. Dua model
patofisiologis primer adalah teori autoimun―imunitas yang melawan diri sendiri,
dan teori alloimun―imunitas terhadap orang lain.
FAKTOR AUTOIMUN
Keguguran lebih umum pada wanita – wanita dengan systemic lupus
erythematosus (Warren and Silver, 2004). Beberapa dari wanita ini memiliki
antibodi antiphospholipid, yang mana merupakan keluarga autoantibody yang
berikatan ke phospholipid yang bermuatan negatif, protein pengikat phospholipid,
atau kombinasi dari keduanya (Branch and Khamashta, 2003; Carp dan rekan –
rekan, 2008). Mereka juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang, pada
hingga 5 persen dari wanita hamil normal, lupus anticoagulant (LAC) dan
anticardiolipin antibody (ACA) telah dikaitkan dengan kehamilan terbuang yang
berlebih. Alih – alih menyebabkan keguguran, mereka lebih mungkin ditemukan
pada kematian fetus setelah pertengahan kehamilan. Karena hal ini, kematian
fetus merupakan satu keriteria untuk diagnosis antiphospholipid syndrome
(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2005a). Hal ini
didiskusikan dalam Bab 47, Antibodi Antiphospholipid dan ditulis dalam Tabel
47-3. Ini merupakan satu – satunya kondisi autoimun yang dapat berkorelasi
dengan hasil kehamilan yang buruk. Wanita dengan riwayat kehilangan fetus awal
dan kadar antibodi yang tinggi dapat memiliki angka keguguran rekuren 70-
persen (Dudley dan Branch, 1991). Antibodi terhadap β2-glikoprotein dapat
terutama bermasalah, namun tidak untuk phosphatidyl serine (Alijotas-Reig dan
rekan – rekan, 2008, 2009).
Dalam penelitian retrospektif dari 860 wanita yang disaring untuk antibodi
anticardiolipin pada trimester pertama, Yasuda dan rekan – rekan (1995)
melaporkan bahwa 7 persen memiliki hasil positif. Keguguran terjadi pada 25
persen dari kelompok antibodi-positif, dibandingkan dengan hanya 10 persen dari
kelompok negatif. Namun, pada penelitian lain, Simpson dan rekan – rekan
(1998) tidak menemukan asosiasi antara kehilangan kehamilan awal dan
keberadaan baik antibodi anticardiolipin atau lupus anticoagulant.
Penanganan
Terdapat regimen pengobatan untuk sindroma antiphospholipid yang
meningkatkan angka kelahiran hidup. Kutteh (1996) merandomisasi 50 wanita
yang terkena untuk menerima aspirin dosis rendah saja atau aspirin dosis rendah
serta heparin. Wanita yang menerima baik aspirin dan heparin memiliki
persentase bayi yang viabel yang secara signifikan lebih besar―80 versus 44
persen, secara berurutan. Rai dan rekan – rekan (1997) melaporkan angka 77-
persen kelahiran hidup pada wanita yang dirandomisasi untuk diberikan terapi
aspirin dosis rendah disertai heparin yang tidak difraksinasi dosis rendah―5000
unit dua kali sehari―versus 42 persen dengan aspirin saja. Sebaliknya,
Farquharson dan rekan – rekan (2002) melaporkan angka 72-persen kelahiran
hidup hanya menggunakan aspirin dosis rendah saja, yang serupa dengan 78-
persen pada wanita yang diberikan aspirin dosis rendah disertai heparin dengan
berat molekul rendah dosis rendah.
Seperti yang ditekankan oleh Branch dan Khamashta (2003), laporan – laporan
yang tidak sesuai membingungkan, dan petunjuk terapeutik tidak jelas. American
College of Obstetricians and Gynecologists (2005a) merekomendasikan aspirin
dosis rendah―81 mg secara oral per hari, bersama dengan heparin yang tidak
difraksinasi―5000 unit secara subcutaneous, dua kali sehari. Terapi ini, dimulai
ketika kehamilan didiagnosa, dilanjutkan hingga persalinan. Walaupun
penanganan ini dapat meningkatkan keberhasilan keseluruhan kehamilan, para
wanita ini tetap berada dalam resiko tinggi untuk terjadinya persalinan preterm,
ruptur membran yang prematur, restriksi pertumbuhan fetus, preeclampsia, dan
abruptio placentae (Backos dan colleagues, 1999; Rai dan rekan kerja, 1997).
Sebagai tambahan terhadap antibodi IgG dan IgM anticardiolipin, terdapat
antibodi idiotypes yang diarahkan pada sejumlah besar lipid (Bick dan Baker,
2006). Pengukuran mereka mahal, seringkali tidak terkontrol dengan baik, dan
tidak memiliki relevansi yang pasti dalam diagnosis keguguran rekuren. Hasilnya
juga tidak konklusif mengenai pengujian antibodi lain termasuk faktor
rheumatoid, antibodi antinuclear, dan antibodi antithyroid.
FAKTOR ALLOIMUN
Terdapat kesan bahwa kehamilan normal membutuhkan formasi faktor – faktor
yang penangkal yang mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus
yang berasal dari paternal. Seorang wanita tidak akan memproduksi serum faktor
penangkal ini jika dia memiliki human leukocyte antigens (HLAs) yang
menyerupai antigen suaminya. Kelainan alloimun lainnya telah dikemukakan
menyebabkan keguguran rekuren, termasuk aktivitas sel natural killer (NK) yang
berubah dan peningkatan antibodi lymphocytotoxic. Sejumlah terapi untuk
memperbaiki kelainan – kelainan ini telah disarankan, termasuk penggunaan
imunisasi sel-paternal, leukosit donor pihak ketiga, infus membran trophoblast,
dan immunoglobulin intravena. Sebagian besar dari terapi ini tidak bertahan
terhadap pengawasan yang ketat, beberapa berpotensi berbahaya, dan oleh
karenanya kami setuju dengan Scott (2003) bahwa immunotherapy tidak
direkomendasikan. Satu kemungkinan perkecualian adalah terapi immunoglobulin
intravena untuk keguguran rekuren sekunder―wanita dengan kehilangan
kehamilan awal rekuren setelah kelahiran yang berhasil sebelumnya (Hutton dan
rekan – rekan, 2007).
Thrombophilia yang Diwariskan
Ini merupakan faktor pembekuan abnormal yang ditentukan secara genetik yang
dapat menyebabkan thrombosis patologis dari ketidakseimbangan antara jalur
pembekuan dan antikoagulasi. Hal ini didiskusikan dengan rinci dalam Bab 47,
dan aksi mereka ditunjukkan dalam Gambar 47-1. Yang paling diteliti secara luas
termasuk resistensi terhadap protein C yang teraktivasi (aPC) yang disebabkan
oleh mutasi faktor V Leiden atau lainnya; penurunan atau ketiadaan aktivitas
antithrombin III; mutasi gen prothrombin; dan mutasi dalam gen untuk methylene
tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan peningkatan kadar
serum homocysteine—hyperhomocysteinemia.
Carp dan rekan – rekan (2002) dan Adelberg dan Kuller (2002) memberikan
keraguan mengenai pentingnya thrombophilia yang diwariskan dalam keguguran
awal. Seperti perfusi plasenta minimal dalam kehamilan yang sangat muda,
thrombophilia dapat memiliki implikasi klinis yang lebih besar nantinya dalam
kehamilan. Dalam meta-analisis dari 31 penelitian oleh Rey dan rekan – rekan
(2003), keguguran rekuren paling dekat diasosiasikan dengan faktor V Leiden dan
mutasi gen prothrombin. Subyek tersebut baru – baru ini diulas oleh Kutteh dan
Triplett (2006) serta Bick dan Baker (2006). Setelah ulasan Cochrane Database
mereka, Kaandorp dan rekan kerja (2009) menyimpulkan bahwa wanita – wanita
dengan keguguran rekuren dan thrombophilia tidak mengalami keuntungan dari
terapi aspirin atau heparin.
Faktor Endokrin
Penelitian yang mengevaluasi hubungan antara abnormalitas berbagai
endokrinologis tidak konsisten dan secara umum tidak berkekuatan (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2001). Menurut Arredondo dan
Noble (2006), 8 hingga 12 persen dari 8 keguguran rekuren adalah hasil dari
faktor endokrin.
DEFISIENSI PROGESTERON
Juga disebut defek fase luteal, sekresi progesteron yang tidak mencukupi oleh
corpus luteum atau plasenta telah dikemukakan menyebabkan keguguran. Namun,
defisiensi produksi progesteron, dapat merupakan konsekuensi daripada penyebab
dari kegagalan kehamilan awal (Salem dan rekan – rekan, 1984). Kriteria
diagnostik dan keberhasilan terapi untuk kelainan yang diajukan ini membutuhkan
validasi (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001). Jika
corpus luterum diangkat dengan operasi, seperti tumor ovarium, penggantian
progesteron diindikasikan dalam kehamilan – kehamilan kurang dari 8 hingga 10
minggu (lihat Pembedahan Maternal).
SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Karena oligo- atau anovulasi, wanita – wanita ini subfertil. Ketika hamil. juga
terdapat peningkatan resiko untuk keguguran, namun ini kontroversial
(Cocksedge dan rekan – rekan, 2008). Dua kemungkinan mekanisme yang telah
diajukan adalah elevasi dalam hormon luteinizing (LH) dan pengaruh langsung
hyperinsulinemia pada fungsi ovarium. Jika konsentrasi LH yang meningkat
menyebabkan keguguran, maka inhibisi hormon ini selama siklus induksi ovulasi
gonadotropin dapat menurunkan angka keguguran. Namun, dalam percobaan yang
terkontrol oleh Clifford dan rekan kerja (1996), hal ini tidak memperbaiki hasil
kehamilan. Data yang mengimplikasikan hyperinsulinemia dalam kehilangan
kehamilan agak lebih kuat. Dalam dua penelitian, angka keguguran menurun
dengan pengobatan metformin sebelum dan selama kehamilan (Glueck dan rekan
– rekan, 2002; Jakubowicz dan rekan – rekan, 2002). Melanjutkan metformin
selama kehamilan telah ditunjukkan juga mengurangi insidensi diabetes
gestasional yang membutuhkan insulin serta restriksi pertumbuhan fetus secara
signifikan.
DIABETES MELLITUS
Angka aborsi spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita –
wanita dengan diabetes dependen-insulin (lihat Bab 7, Diabetes Mellitus). Resiko
ini juga berkaitan dengan tingkat kontrol metabolik dalam awal kehamilan.
Menyerupai dengan wanita dengan sindroma polikistik ovarium, beberapa wanita
dengan keguguran rekuren telah dilaporkan meningkatkan resistensi insulin (Craig
dan rekan – rekan, 2002). Kehilangan kehamilan akibat diabetes yang tidak
terkontrol dengan baik berkurang secara substansial dengan kontrol metabolik
yang optimal (lihat Bab 52, Persalinan Preterm).
HYPOTHYROIDISME
Beberapa defisiensi iodine diasosiasikan dengan kehilangan awal kehamilan yang
berlebih (lihat Hypothyroidisme). Defisiensi hormon thyroid dari penyebab
autoimun umum pada wanita, namun pengaruhnya dalam keguguran belum
dipelajari dengan adekuat. Dan walaupun autoantibody thyroid diasosiasikan
dengan peningkatan insidensi aborsi spontan, pengaruh mereka dalam keguguran
rekuren kurang meyakinkan (Abramson dan Stagnaro-Green, 2001; Lakasing dan
Williamson, 2005). Dalam penelitian pada 870 wanita dengan keguguran rekuren,
Rushworth dan rekan – rekan (2000) melaporkan bahwa mereka dengan antibodi
antithyroid juga mungkin untuk memperoleh kelahiran hidup seperti yang tanpa
antibodi.
Karena tidak jelas apakah penyakit thyroid menyebabkan keguguran yang
rekuren, American College of Obstetricians and Gynecologists (2001)
menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi untuk penyaringan wanita asimtomatik.
Sebaliknya, hypothyroidisme yang jelas dapat sulit untuk mendeteksi secara
klinis, pengujian tidak mahal, dan pengobatan sangat efektif. Oleh karena itu,
kami merekomendasikan penyaringan thyroid-stimulating hormone (TSH) untuk
wanita – wanita dengan keguguran rekuren.
Infeksi
Sangat sedikit infeksi dibuktikan dengan kuat menyebabkan kehilangan awal
kehamilan (lihat Infeksi). Lebih jauh lagi, jika salah satu infeksi tersebut
diasosiasikan dengan keguguran, mereka bahkan kurang mungkin menyebabkan
keguguran rekuren karena anitbodi maternal biasanya berkembang dengan infeksi
primer.
Evaluasi dan Manajemen
Waktu dan tingkatan evaluasi wanita – wanita dengan keguguran rekuren
berdasarkan pada usia maternal, infertilitas yang menyertai, gejala, dan tingkat
kegelisahan. Dengan temuan yang dinyatakan normal, kami melakukan sedikit tes
untuk memasukkan parental karyotyping, evaluasi cavitas uterus, dan pengujian
untuk sindroma antibodi antiphospholipid. Diperkirakan setengah pasangan
dengan keguguran rekuren akan menemukan tidak adanya penjelasan. Meskipun
demikian, prognosis mereka masuk akal. Meta-analisis oleh Jeng dan rekan –
rekan (1995) dari penelitian randomisasi, prospektif dari pasangan – pasangan
dengan keguguran rekuren yang tidak dapat dijelaskan menetapkan bahwa 60
hingga 70 persen memiliki kehamilan berikutnya yang berhasil dengan tanpa
penanganan.
ABORSI YANG DIINDUKSI
Aborsi yang diinduksi adalah terminasi kehamilan medis atau pembedahan
sebelum waktu viabilitas fetus. Pada tahun 2005, sejumlah 1,22 juta aborsi legal
dilaporkan ke Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (Gamble dan rekan –
rekan, 2008). Total telah menurun setiap tahunnya sejak 2002, namun ini
setidaknya sebagian disebabkan oleh klinik – klinik yang tidak konsisten
melaporkan aborsi yang diinduksi secara medis (Strauss dan rekan – rekan, 2007).
Rasio aborsi adalah 238 aborsi per 1000 lahir hidup, dan angka aborsi adalah 16
per 1000 wanita berusia 15 hingga 44 tahun. Setengah dari wanita ini adalah 24
tahun atau lebih muda, 80 persen tidak menikah, dan 53 persen adalah Caucasia.
Diperkirakan 60 persen aborsi dilakukan selama 8 minggu pertama, dan 88 persen
selama 12 minggu pertama kehamilan.
Klasifikasi
ABORSI TERAPEUTIK
Terdapat sejumlah kelainan medis dan pembedahan yang merupakan indikasi
untuk terminasi kehamilan. Contoh termasuk dekompesasi cardiac persisten,
terutama dengan hipertensi pulmoner yang terfiksir, penyakit vaskular hipertensi
yang berkembang atau diabetes, dan keganasan. Dalam kasus – kasus
pemerkosaan atau incest, sebagian besar mempertimbangkan terminasi wajar.
Indikasi yang paling umum adalah untuk mencegah kelahiran fetus dengan
deformitas anatomis, metabolik, atau mental yang signifikan. Keseriusan
deformitas fetus memiliki rentang yang luas dan seringkali melanggar klasifikasi
social, legal, atau politik.
ABORSI ELEKTIF (VOLUNTER)
Interupsi kehamilan sebelum viabilitas berdasarkan permintaan wanita, namun
tidak untuk alasan medis, biasanya diistilahkan aborsi elektif atau volunter.
Prosedur ini merupakan sebagian besar dari aborsi yang dilakukan saat ini, dan
menurut Laporan Statistik Vital Nasional. diperkirakan satu kehamilan
diterminasi elektif untuk setiap empat kelahiran hidup di Amerika Serikat
(Ventura dan rekan – rekan, 2008). Dewan Eksekutif American College of
Obstetricians and Gynecologists (2004) mendukung hak legal wanita untuk
memperoleh aborsi sebelum viabilitas fetus dan memperimbangkan ini sebagai
masalah medis anatara wanita dan dokternya.
Aborsi di Amerika Serikat
Pada tahun 1973, Pengadilan Tertinggi Amerika Serikat melegalisasi aborsi.
Hingga saat itu, hanya aborsi terpeutik yang dapat dilakukan secara legal pada
sebagian besar negara bagian. Definisi paling umum dari aborsi terapeutik hingga
saat itu adalah terminasi kehamilan sebelum viabilitas fetus yang bertujuan
menyelamatkan nyawa ibu. Beberapa negara bagian mengembangkan hukumnya
menjadi “untuk mencegah cedera tubuh yang serius atau permanen terhadap ibu”
atau “untuk menjaga kehidupan atau kesehatan wanita.” Beberapa negara bagian
mengijinkan aborsi jika kehamilan tampaknya menyebabkan kelahiran bayi
dengan malformasi yang berat.
Legalitas aborsi elektif ditetapkan oleh Pengadilan Tertinggi dalam kasus Roe v.
Wade. Pengadilan mendefinisikan jangkauan hingga mana negara bagian dapat
mengatur aborsi:
1. Untuk tahap sebelum kira – kira akhir trimester pertama, keputusan aborsi
dan prosedur harus diserahkan pada keputusan medis oleh dokter yang
merawat.
2. Untuk tahap setelah kira – kira akhir trimester pertama, Negara Bagian,
dalam mempromosikan kepeduliannya terhadap kesehatan ibu, dapat, jika
memutuskan, mengatur prosedur aborsi dalam cara yang cukup terkait
dengan kesehatan ibu.
3. Untuk tahap selanjutnya untuk kelangsungan hidup, Negara Bagian, dalam
mempromosikan kepeduliannya dalam potensi kehidupan manusia, dapat
jika memutuskan, dalam keputusan medis yang sesuai, untuk
menyelamatkan kehidupan atau kesehatan ibu.
Sejak 1973, beberapa keputusan Pengadilan Tertinggi patut dikutip. Borgmann
dan Jones (2000) telah mengulas secara ekstensif masalah hukum ini. Kasus
banding ini berawal dari undang – undang, baik negara bagian maupun nasional,
yang diperkenalkan atau ditetapkan untuk mengatur atau melepaskan tiga
ketetapan di atas. Secara umum, percobaan – percobaan ini tidak berhasil hingga
1989. Pada saat itu, Pengadilan Tertinggi menyetujui kasus Webster v. Pelayanan
Kesehatan Reproduksi bahwa negara bagian dapat menempatkan restriksi yang
menghalangi ketentuan pelayanan aborsi dalam hal – hal berikut seperti periode
menunggu, syarat spesifik informed consent, notifikasi parental/pasangan, dan
kebutuhan rumah sakit. Berdasarkan keputusan ini, sekarang terdapat pembatasan
individu yang membatasi pilihan dan akses ke pelayanan aborsi. Dalam satu
contoh, keputusan untuk menegakkan pemberitahuan ke orang tua di Texas pada
2000 diasosiasikan dengan penurunan angka aborsi namun secara bersamaan
meningkatkan kelahiran yang tidak diinginkan di antara usia 17 tahun (Joyce dan
rekan – rekan, 2006).
Keputusan yang membatasi pilihan lainnya saat ini adalah keputusan federal yang
melarang aborsi lahir parsial yang tidak ditetapkan dengan baik. Hukum ini
berada di bawah tantangan dari beberapa pihak. Pengadilan Tertinggi pada 2007
melakukan voting 5 berbanding 4 untuk menegakkan Keputusan Larangan Aborsi
Lahir Parsial 2003 dalam ulasannnya mengenai Gonzales v. Carhart dari
Nebraska. Hal ini diikuti oleh editorial di New England Journal of Medicine yang
menyesali lebih banyaknya gangguan dari pemerintah dalam praktek medis serta
“memotong hak wanita” yang dijelaskan oleh Justice Ginsburg dalam opini tidak
setujunya (Charo, 2007; Greene, 2007). Opini mereka sejalan dengan American
College of Obstetricians and Gynecologists (2004) yang menyatakan: Intervensi
badan – badan legislatif dalam pembuatan keputusan medis tidak pantas, tidak
disarankan, dan berbahaya.
Konseling Sebelum Aborsi Elektif
Tiga pilihan tersedia untuk wanita yang mempertimbangkan aborsi termasuk
melanjutkan kehamilan dengan resiko – resikonya dan tanggung jawab orang tua;
melanjutkan kehamilan dengan resiko – resikonya dan tanggung jawab pengaturan
adopsi; atau pilihan aborsi dengan resiko – resikonya. Konsulen yang
berpengetahuan luas dan berbelas kasih sebaiknya menjelaskan dengan obyektif
dan memberikan informasi mengenai pilihan – pilihan ini sehingga wanita atau
pasangan dapat membuat keputusan.
Tekhnik untuk Aborsi Awal
Aborsi dapat dilakukan baik secara medis maupun pembedahan dengan beberapa
tekhnik yang ditunjukkan dalam Tabel 9-3. Bentuk klinis yang berbeda dari tiap
tekhnik ditunjukkan dalam Tabel 9-4. Paul dan rekan – rekan (1999) meringkas
dengan rinci beberapa tekhnik aborsi. Kehamilan trimester pertama dapat diangkat
melalui pembedahan dengan kuretase uterus atau dengan sejumlah regimen medis.
Tabel 9-3. Tekhnik Aborsi
Tekhnik Bedah
Dilatasi cervix yang diikuti dengan evakuasi uterus
Kuretase
Aspirasi vacuum (suction curettage)
Dilatasi dan evakuasi (D&E)
Dilatasi dan ekstraksi (D&X)
Aspirasi menstruasi
Laparotomy
Hysterotomy
Hysterectomy
Tekhnik Medis
Oxytocin intravena
Cairan hyperosmotik intra-amnion
20-persen saline
30-persen urea
Prostaglandins E2, F2β, E1, dan analognya
Injeksi intra-amnion
Injeksi extraovular
Insersi vagina
Injeksi parenteral
Ditelan secara oral
Antiprogesterone—RU 486 (mifepristone) dan epostane
Methotrexate—intramuscular dan oral
Berbagai kombinasi di atas
Tabel 9-4. Bentuk Aborsi Medis dan Pembedahan
Aborsi Medis Aborsi Pembedahan
Biasanya menghindari prosedur invasif Melibatkan prosedur invasif
Biasanya menghindari anestesi Memberi kesempatan penggunaan
sedasi jika diinginkan
Membutuhkan dua atau lebih
kunjungan
Biasanya membutuhkan satu kunjungan
Beberapa hari atau minggu untuk
selesai
Selesai dalam periode waktu yang dapat
diprediksi
Tersedia selama kehamilan awal Tersedia selama kehamilan awal
Angka kesuksesan tinggi (~95 persen) Angka kesuksesan tinggi (~99 persen)
Perdarahan moderat hingga berat untuk
waktu yang pendek
Perdarahan umumnya dirasakan ringan
Membutuhkan follow-up untuk
memastikan selesainya aborsi
Tidak membutuhkan follow-up pada
seluruh kasus
Membutuhkan partisipasi pasien
sepanjang proses yang terdiri dari
beberapa langkah
Partisipasi pasien dalam proses tunggal
Dicetak ulang, dengan ijin, dari American College of Obstetricians and
Gynecologists. Medical management of abortion. ACOG Practice Bulletin 67.
Washington, DC: ACOG; 2005
PELATIHAN RESIDENSI DALAM TEKHNIK ABORSI
Karena aspek kontroversialnya yang melekat, pelatihan aborsi untuk residen
dalam obstetri dan ginekologi telah diperjuangkan dan ditentang. American
College of Obstetricians and Gynecologists (2009) mendukung pelatihan aborsi
untuk residen. Dalam beberapa program, seperti Universitas California di San
Fransisko, pelatihan spesial aborsi 6 minggu elektif untuk staff diimplementasikan
pada tahun 1980. Dari 1998 hingga 2003, 40 residen menyelesaikan pelatihan dan
tidak ada yang dikeluarkan dari rotasi (Steinauer dan rekan – rekan, 2005b).
Program – program lain, seperti milik kami di Rumah Sakit Parkland Memorial,
mengajarkan para residen aspek tekhnik aborsi dengan manajemen awal missed
abortion serta interupsi kehamilan untuk kematian fetus, anomali fetus berat, dan
kelainan medis atau bedah maternal. Menurut Eastwood dan rekan – rekan (2006),
hanya 10 persen program yang tidak menyediakan pelatihan dalam aborsi elektif.
Karena perbedaan – perbedaan ini, dipengaruhi oleh keyakinan moral dan politik,
American College of Obstetricians and Gynecologists (2004) menghormati
kebutuhan dan tanggung jawab penyedia pelayanan kesehatan untuk menetukan
posisi individu mereka berdasarkan kepercayaan perorangan. Pastinya, dokter
yang terlatih untuk merawat wanita harusnya akrab dengan berbagai tekhnik
aborsi sehingga komplikasi dapat ditangani atau rujukan dapat dibuat untuk
perawatan yang sesuai (Steinauer dan rekan – rekan, 2005a).
Aborsi Pembedahan
Kehamilan dapat diangkat melalaui operasi melalui cervix yang didilatasi dengan
tepat atau secara transbdominal baik dengan hysterotomy atau hysterectomy.
Tidak adanya penyakit sistemik maternal, prosedur aborsi tidak membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Ketika aborsi dilakukan di luar rumah sakit,
kemampuan untuk resusitasi kardiopulmoner dan untuk pemindahan segera ke
rumah sakit harus tersedia.
DILATASI DAN KURETASE (D&C)
Pendekatan transcervical untuk aborsi pembedahan pertama membutuhkan
pendilatasian cervix dan kemudian mengevakuasi kehamilan dengan mengikis isi
secara mekanik―kuretase tajam, dengan melakukan suction keluar isi―kuretase
suction, atau keduanya. Aspirasi vacuum, bentuk paling umum dari kuretase,
membutuhkan kanula rigid yang menempel ke sumber vacuum bertenaga listrik
(MacIsaac dan Darney, 2000; Masch dan Roman, 2005). Cara lain, aspirasi
vacuum manual menggunakan kanula yang serupa yang menempel pada syringe
yang digenggam untuk sumber vacuumnya (Goldberg dan rekan – rekan, 2004).
Kemungkinan komplikasi meningkat setelah trimester pertama. Ini termasuk
perforasi uterus, laserasi cervix, perdarahan, pengangkatan fetus dan plasenta
yang tidak sempurna, dan infeksi. Oleh karena itu, kuretase tajam atau suction
sebaiknya dilakukan sebelum 14 atau 15 minggu.
Bukti mendukung bahwa profilaksis antimikroba sebaiknya disediakan untuk
semua wanita yang menjalani aborsi pembedahan transcervical. Berdasarkan
ulasan mereka dari 11 penelitian randomisasi, Sawaya dan rekan – rekan (1996)
menyimpulkan bahwa antimikroba menurunkan resiko infeksi sekitar 40 persen.
Tidak ada satu pun regimen yang tampaknya superior. Satu regimen yang sesuai,
tidak mahal, dan efektif adalah doxycycline, 100 mg per oral dua kali sehari
selama 7 hari (Fjerstad dan rekan – rekan, 2009).
DILATASI DAN EVAKUASI (D&E)
Dimulai pada 16 minggu, ukuran dan struktur fetus memutuskan penggunaan
tekhnik ini. Dilatasi cervix mekanik yang luas, diperoleh dengan dilator metal atau
hygroscopic, mendahului penghancuran dan evakuasi mekanik bagian – bagian
fetus. Dengan pengangkatan sempurna fetus, kuret vacuum berlubang besar
digunakan untuk mengangkat plasenta dan jaringan sisanya.
DILATASI DAN EKSTRAKSI (D&X)
Hal ini serupa dengan dilatasi dan evakuasi kecuali bahwa evakuasi suction isi
intracranial setelah pengeluaran badan fetus melalui cervix yang dilatasi
membantu ekstraksi dan meminimalkan cedera cervix atau uterus akibat
instrumen atau tulang – tulang fetus. Dalam bahasa politik, prosedur ini
diistilahkan aborsi kelahiran parsial, didiskusikan dalam Aborsi di Amerika
Serikat.
Hygroscopic Dilator
Trauma akibat dilatasi mekanik dapat diminimalkan dengan menggunakan alat –
alat yang mendilatasi cervix dengan perlahan (Gambar 9-6). Alat – alat ini,
disebut hygroscopic dilator, menarik air dari jaringan cervix dan membesar,
secara bertahap mendilatasi cervix. Satu jenis hygroscopic dilator berasal dari
batang Laminaria digitata atau Laminaria japonica, rumput laut coklat. Batang
dipotong, dikupas, dibentuk, dikeringkan, disterilisasi, dan dikemas menurut
ukuran kecil, diameter 3 – 5 mm; medium, 6 – 8 mm; dan besar, 8 – 10 mm.
Laminaria yang sangat hygroscopic tampaknya bekerja dengan menarik air dari
kompleks proteoglikan, menyebabkan kompleks berdisosiasi, dan dengan
demikian memberi kesempatan cervix untuk melunak dan berdilatasi.
Gambar 9-6. Insersi laminaria sebelum dilatasi dan kuretase. A. Laminaria segera
setelah ditempatkan dengan sesuai dengan ujung atasnya melalui os internal. B.
Beberapa jam kemudian laminaria sekarang membesar, dan cervix berdilatasi dan
melunak. C. Laminaria dimasukkan terlalu jauh melalui os internal; laminaria
dapat menyebabkan ruptur membran.
Hygroscopic dilator sintetik, seperti Lamicel dan Dilapan-S, juga tersedia.
Lamicel adalah sponge polyvinyl acetal berbentuk batang yang dilengkapi dengan
anhydrous magnesium sulfat. Dilapan-S adalah batang hydrogel acrylic. Pada
tahun 1995, Dilapan dibuang dari pasar A.S. karena pertimbangan mengenai
fragmentasi alat. Dilapan kemudian diperkenalkan lagi setelah persetujuan Food
and Drug Administration terhadap desain alat yang baru (Food and Drug
Administration, 2008).
Untuk memasukkan hygroscopic dilator, cervix dibersihkan dengan larutan
povidone-iodine dan digenggam di anterior dengan tenaculum. Hygroscopic
dilator yang berukuran sesuai kemudian dimasukkan menggunakan forcep yang
terbungkus uterus sehingga ujung dilator terletak setinggi os internal (lihat
Gambar 9-6). Setelah 4 hingga 6 jam, lamina akan membesar dan mendilatasi
cervix cukup untuk memudahkan pendilatasian mekanik dan kuretase. Nyeri kolik
seringkali menyertai laminaria.
Dilema yang menarik dihadirkan oleh wanita yang mengalami hygroscopic dilator
yang ditempatkan semalaman sebagai persiapan untuk aborsi elektif, namun
kemudian mengubah pikirannya. Schneider dan rekan – rekan (1991) menjelaskan
ini dalam kehamilan trimester pertama dan 14 kehamilan trimester kedua. Empat
pasien kembali ke keputusan pertama mereka dan menggugurkan kandungan
mereka. Dari sisa 17, terdapat 14 persalinan pada waktunya, dua persalinan
preterm, dan satu aborsi spontan 2 minggu kemudian. Tidak ada di antara wanita
tersebut yang mengalami morbiditas infeksi, termasuk tiga wanita yang tidak
ditangani yang memiliki kultur cervix positif untuk Chlamydia. Meskipun dengan
laporan yang umumnya meyakinkan ini, sikap yang tidak dapat dibatalkan ini
sehubungan dengan penempatan dilator dan aborsi tampaknya bijaksana.
Prostaglandin
Sebagai alternatif untuk hygroscopic dilator, berbagai preparat prostaglandin
dapat ditempatkan pada fornix posterior vagina untuk membantu dilatasi
selanjutnya. MacIsaac dan rekan – rekan (1999) merandomisasi wanita untuk
menerima 400 μg misoprostol yang ditempatkan pada vagina 4 jam sebelum
aborsi trimester pertama versus penempatan laminaria. Misoprostol memberikan
pengaruh dilatasi yang sama atau lebih besar, lebih tidak menyebabkan nyeri pada
pemasangan, dan menghasilkan efek samping yang mirip. Penting untuk
menekankan bahwa dosis 400 μg ini sangat melebihi dosis oral atau vagina untuk
induksi persalinan (lihat Bab 22, Prostaglandin E1).
TEKHNIK UNTUK DILATASI DAN KURETASE
Setelah pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan ukuran dan orientasi
uterus, speculum dimasukkan, dan cervix di-swab dengan larutan povidone-iodine
atau larutan yang sama. Tepi anterior cervix digenggam dengan tenaculum
bergigi. Cervix, vagina, dan uterus disuplai saraf oleh plexus Frankenhäuser, yang
terletak dalam jaringan konektif lateral dari ligamen uterosacral. Dengan
demikian, injeksi paracervical yang paling efektif jika ditempatkan tepat di lateral
insersi ligamen uterosacral ke uterus. Anestetik lokal, seperti lodocaine 1 atau 2-
persen 5 mL, dapat diinjeksi pada jam 4 dan 8 dari dasar cervix. Mankowski dan
rekan – rekan (2009) melaporkan bahwa nlok intracervical dengan 5 mL aliquot
lidocaine 1-persen yang diinjeksi pada jam 12, 3, 6, dan 9 juga sama efektifnya.
Vasopresin yang diencerkan dapat ditambahkan ke anestesi lokal untuk
menurunkan kehilangan darah (Keder, 2003).
Jika dibutuhkan, cervix didilatasi lagi dengan Hegar, Hank, atau Pratt dilator
hingga kanula suction dengan diameter yang sesuai dapat dimasukkan. Pemilihan
kanula yang berukuran paling sesuai menyeimbangkan faktor – faktor yang
bertentangan: kanula kecil beresiko tertahannya jaringan intrauterus post-operasi,
sedangkan kanula besar beresiko cedera cervix dan lebih tidak nyaman. Jari
keempat dan kelima dari tangan yang menggenggam dilator sebaiknya diletakkan
pada perineum dan bokong ketika dilator didorong melalui os internal (Gambar 9-
7). Tekhnik ini meminimalkan dilatasi yang berlebih dan memberikan
perlindungan terhadap perforasi uterus. Uterine sounding mengukur kedalaman
dan inklinasi cavum uterus sebelum insersi kanula. Kanula suction didorong
menuju fundus dan kemudian kembali ke os dan diputar secara sirkumferensial
untuk menutupi seluruh permukaan cavum uterus (Gambar 9-8). Keitka tidak ada
jaringan yang diaspirasi, kuretase tajam yang lembut sebaiknya mengikuti untuk
membuang bagian plasenta atau fetus yang tersisa (Gambar 9-9).
Gambar 9-7. Dilatasi cervix dengan Hegar dilator. Perhatikan bahwa jari
keempat dan kelima diletakkan pada perineum dan bokong, lateral dari vagina.
Manuver ini penting sebagai tindakan keamanan karena jika cervix relaksasi
dengan tiba – tiba, jari – jari ini mencegah dorongan dilator yang mendadak dan
tidak terkontrol, penyebab umum perforasi uterus.
Gambar 9-8. Kuretase suction didorong ke fundus uterus dan kemudian kembali
ke os internal. Selama insersi dan retraksi, kuretase secara bersamaan dirotasi
3600 beberapa kali untuk mengangkat jaringan secara sirkumferensial dari
dinding uterus.
Gambar 9-9. Pemasukan kuretase tajam. Kuretse dipegang dengan ibu jari dan
jari telunjuk. Pada gerakan ke atas kuret, hanya kekuatan dari dua jari ini yang
digunakan.
Karena uterus khasnya mengalami perforasi pada insersi instrument apapun,
manipulasi sebaiknya dilakukan hanya dengan ibu jari dan jari telunuk (Gambar
9-7). Jika melebihi kehamilan 16 minggu, fetus diekstraksi, biasanya sebagian –
sebagian, menggunakan Sopher forcep dan instrument destruktif lainnya. Resiko
termasuk perforasi uterus, laserasi cervical, dan perdarahan uterus karena fetus
dan plasenta yang lebih besar dan dinding uterus yang menipis. Morbiditas dapat
diminimalkan jika: (1) cervix didilatasi dengan adekuat sebelum mencoba untuk
mengangkat produk konsepsi, (2) instrument dimasukkan ke uterus dan
dimanipulasi tanpa kekuatan, dan (3) semua jaringan diangkat.
Komplikasi
Insidensi perforasi uterus diasosiasikan dengan dilatasi dan kuretase untuk aborsi
elektif bervariasi. Dua penentu penting adalah kemampuan klinisi dan posisi
uterus. Kemungkinan perforasi lebih besar jika uterus retroversi. Perforasi uterus
yang tidak disengaja biasanya dikenali dengan mudah ketika instrument lewat
tanpa resisten ke dalam pelvis. Observasi dapat mencukupi jika perforasi kecil,
seperti ketika dihasilkan oleh uterine sound atau dilator yang kecil.
Walaupn mungkin, Chen dan rekan – rekan (2008) melaporkan tidak ada separasi
jaringan parut uterus pada 78 wanita dengan persalinan cesarian sebelumnya atau
myomectomy yang kemudian menjalani aborsi medis atau pembedahan untuk
kegagalan kehamilan awal.
Kerusakan intra-abdomen yang banyak dapat disebabkan oleh instrument,
terutama suction dan kuret tajam, yang melalui defek uterus ke cavum peritoneum
(Keegan dan Forkowitz, 1982). Dalam kondisi ini, laparotomy untuk memeriksa
isi abdomen sering merupakan tindakan yang paling aman. Tergantung situasinya,
laparoscopy dapat digantikan. Cedera perut yang tidak dikenali dapat
menyebabkan peritonitis yang berat dan sepsis (Kambiss dan rekan – rekan,
2000).
Beberapa wanita juga mengalami inkompetensi cervix atau synechiae uterus
setelah dilatasi dan kuretase. Jarang, aborsi yang dilakukan dengan kuretase pada
kehamilan yang lebih tua dapat menginduksi koagulopati yang mendadak,
konsumtif berat, yang terbukti fatal. Mereka yang mempertimbangkan aborsi
sebaiknya mengerti potensi dari komplikasi yang jarang namun serius ini.
Jika antimikroba profilaksis diberikan seperti yang dijelaskan dalam Dilatasi dan
Kuretase (D&C), sepsis pelvis menurun 40 hingga 90 persen, tergantung apakah
prosedur adalah pembedahan atau medis. Sebagian besar infeksi yang
berkembang segera berespon terhadap pengobatan antimikroba (lihat Bab 31,
Bakteriologi). Jarang, infeksi seperti endocarditis bakteri akan terjadi, namun
mereka dapat fatal (Jeppson dan rekan – rekan, 2008).
ASPIRASI MENSTRUASI
Aspirasi cavum endometrium dapat diselesaikan menggunakan kanul Karman 5
atau 6 mm yang menempel pada syringe. Ketika diselesaikan dalam 1 hingga 3
minggu setelah satu periode menstruasi terlewati, ini telah dianggap sebagai
ekstraksi menstruasi, induksi menstrasi, periode instan, aborsi traumatik, dan
aborsi-mini. Pada tahap awal kehamilan ini, kehamilan dapat salah diagnosis,
zigot yang terimplantasi dapat terlewati oleh kuretase, kehamilan ektopik dapat
tidak dikenali, atau jarang, uterus dapat perforasi. Walaupun demikian, Paul dan
rekan – rekan (2002) melaporkan angka keberhasilan 98-persen pada lebih dari
1000 wanita yang menjalani prosedur ini. Tes kehamilan yang positif akan
mengeliminasi prosedur yang tidak dibutuhkan pada wanita tidak hamil yang
periodenya tertunda karena sebab lain.
Untuk mengidentifikasi plasenta dalam hasil aspirasi, MacIsaac dan Darney
(2000) merekomendasikan bahwa isi syringe dapat dibilas dalam saringan untuk
menyingkirkan darah, kemudian ditempatkan dalam kontainer plastik yang
transparan dengan saline, dan diperiksa dengan lampu di belakang. Jaringan
plasenta secara makroskopik tampak lembut, halus, dan berbulu. Kaca pembesar,
colposcope, atau mikroskop juga dapat membantu visualisasi.
ASPIRASI VACUUM MANUAL
Prosedur kantor ini menyerupai dengan aspirasi menstruasi namun digunakan
pada kegagalan kehamilan awal serta terminasi elektif hingga 12 minggu. Masch
dan Roman (2005) merekomendasikan bahwa terminasi kehamilan di kantor
dengan metode ini terbatas pada hingga 10 minggu atau kurang. Pastinya,
kehilangan darah meningkat dengan tajam antara 10 dan 12 minggu (Westdall dan
rekan – rekan, 1998).
Prosedur ini menggunakan syringe 60 mL yang dioperasikan tangan dan kanula.
Sebuah vacuum diciptakan dalam syringe dan ditempelkan ke kanul, yang
kemudian dimasukkan transcervical ke uterus. Vacuum diaktivasi dan
menghasilkan hingga 60 mmHg suction. Walaupun komplikasi serupa dengan
metode pembedahan lain, komplikasi tidak meningkat (Goldberg dan rekan –
rekan, 2004).
Dengan kehamilan kurang dari 8 minggu, tidak ada persiapan cervix yang
diperlukan. Setelah saat ini, beberapa merekomendasikan osmotic dilator yang
ditempatkan sehari sebelumnya atau misoprostol yang diberikan 2 hingga 4 jam
sebelum prosedur. Blok paracervical, dengan atau tanpa sedasi intravena, atau
sedasi sadar digunakan dalam anesthesia.
LAPAROTOMY
Dalam beberapa kondisi, hysterotomy abdomen atau hysterectomy untuk aborsi
lebih dipilih untuk kuretase atau induksi medis. Jika penyakit uterus yang
signifikan hadir, hysterectomy dapat memberikan penanganan yang ideal. Baik
hysterotomy dengan ligasi tuba atau terkadang, hysterectomy dapat diindikasikan
untuk wanita – wanita yang menginginkan terminasi kehamilan dan sterilisai.
Terkadang, induksi medis yang gagal selama trimester kedua dapat mewajibkan
hysterotomy atau hysterectomy.
Aborsi Medis
Sepanjang sejarah, banyak substansi – substansi alamiah telah dicoba sebagai
abortifacient. Pada banyak kasus, penyakit sistemik yang serius atau bahkan
kematian telah terjadi daripada aborsi. Bahkan saat ini, hanya beberapa obat
abortifacient yang efektif, dan aman yang digunakan.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2005b), aborsi
medis pasien rawat jalan merupakan alternatif yang dapat diterima daripada aborsi
pembedahan pada wanita - wanita yang dipilih dengan benar dengan usia
kehamilan kurang dari 49 hari menstruasi. Melebihi titik ini, data yang tersedia,
walaupun kurang kuat, mendukung aborsi pembedahan sebagai metode yang
dipilih untuk aborsi awal.
Tiga obat untuk aborsi medis awal yang telah dipelajari dengan luas dan
digunakan: antiprogestin mifepristone; antimetabolit methotrexate; dan
prostaglandin misoprostol. Agen – agen ini menyebabkan aborsi dengan
menyebabkan peningkatan kontraktilitas uterus baik dengan membalikkan inhibisi
kontraksi yang diinduksi progesteron―mifepristone dan methotrexate atau
dengan menstimulasi langsung myometrium —misoprostol. Sebagai tambahan,
mifepristone menyebabkan degradasi kolagen cervix, mungkin karena
peningkatan ekspresi matrix metalloproteinase-2 (Clark dan rekan – rekan, 2006).
Variasi rencana pemberian dosis yang telah dibuktikan efektif ditunjukkan dalam
Tabel 9-5. Mifepristone atau methotrexate diberikan awalnya, dan diikuti setelah
waktu spesifik oleh misoprostol. Guest dan rekan – rekan (2007) merandomisasi
450 wanita untuk diberikan 200 mg mifepristone per oral diikuti dengan 800 μg
misoprostol per vaginam, baik 6 jam kemudian atau 36 hingga 48 jam kemudian.
Keitka diberikan pada 36 hingga 48 jam, angka keberhasilan 96 persen
dibandingkan dengan 89 persen untuk kelompok 6 jam (p <.05). Seperti yang
didiskusikan dalam Manajemen, setidaknya untuk “kegagalan kehamilan”—
gestasi anembryonic, embryonic, atau kematian fetus, dan aborsi inkomplit atau
inevitable—800 μg misoprostol per vaginam sebagai agen tunggal efektif dalam
menyebabkan ekspulsi komplit pada hari ke-8 dalam 84-persen wanita yang
diterapi (Zhang dan rekan – rekan, 2005). Baru – baru ini, Fjerstad dan rekan –
rekan (2009) membandingkan komplikasi sepsis pada lebih dari 225000 wanita
yang menjalani aborsi medis. Setelah perubahan rute administrasi dari vagina ke
buccal misoprostol, bersama dengan penyediaan 7-hari post-prosedur profilaksis
doxycycline, mereka mendokumentasikan 93-persen penurunan angka infeksi
serius—dari 0,93 per 1000 menjadi 0,06 per 1000. Pada akhirnya, baik
methotrexate dan misoprostol adalah teratogen, dan penggunaan mereka
membutuhkan komitmen dari wanita tersebut dan pemberi pelayanan untuk
menyelesaikan aborsi.
Tabel 9-5. Regimen untuk Terminasi Medis Awal Kehamilan
Mifepristone/Misoprostol
aMifepristone, 100-600 mg per oral diikuti dengan:
bMisoprostol, 200-600 μg per oral atau 800 μg per vaginam dalam dosis
meultipel selama 6 – 72 jam.
Methotrexate/Misoprostol
cMethotrexate, 50 mg/m2 intramuscular atau per oral diikuti dengan:
dMisoprostol, 800 μg per vaginam dalam 3 – 7 hari. Diulang jika dibutuhkan 1
minggu setelah methotrexate awalnya diberikan
Hanya Misoprostol
800 μg per vaginam, diulang hingga tiga dosis.
a Dosis 200 versus 600 mg sama efektif.
b Rute oral dapat kurang efektif dan dengan lebih mual dan diare. Dapat diberikan
secara sublingual atau buccal. Infeksi pelvis post-prosedur secara signifikan lebih
tinggi dengan rute vagina versus oral.
c Keberhasilan serupa untuk rute – rute administrasi
d Keberhasilan yang sama ketika diberikan dalam hari 3 versus hari 5.
Data dari American College of Obstetricians and Gynecologists (2005); Borgatta
(2001); Bracken (2007); Chen (2008); Creinin (2001, 2007); Fjerstad (2009);
Guest (2007); Hamoda (2005); Schaff (2000); Shannon (2006); von Hertzen
(2007); Wiebe (1999, 2002); Winikoff (2008), dan semua rekan mereka.
Kontraindikasi untuk aborsi medis telah berevolusi dari kriteria eksklusi berbagai
percobaan aborsi medis. Sebagai tambahan allergi spesifik terhadap obat – obatan,
mereka telah memasukkan alat intrauterine in situ, anemia berat, koagulopati atau
penggunaan antikoagulan, dan kondisi medis yang signifikan seperti penyakit
hepar yang aktif, penyakit kardiovaskular, dan kelainan kejang yang tidak
terkontrol. Sebagai tambahan, karena misoprostol dapat menurunkan aktivitas
glukokortikoid, wanita – wanita dengan penyakit adrenal atau dengan kelainan
yang membutuhkan terapi glukokortikoid sebaiknya diekskusi (American College
of Obstetricians and Gynecologists, 2005b). Dosis methotrexate yang
dimodifikasi sebaiknya diberikan dengan kehati – hatian ―jika sama
sekali―pada wanita – wanita dengan insufisiensi renal (Kelly dan rekan – rekan,
2006). Wanita yang mempertimbangkan aborsi medis seharusnya mendapatkan
konseling yang menyeluruh mengenai pendekatan medis dan pembedahan.
Dengan regimen mifepristone, menurut label paket, misoprostol menjadi penyedia
yang diberikan. Setelahnya wanita biasanya tetap dalam ruangan selama 4 jam,
dan jika kehamilan tampaknya telah dikeluarkan, pasien diperiksa utnuk
mengkonfirmasi ekspulsi. Jika selama observasi, kehamilan tidak tampak keluar,
pemeriksaan pelvis dilakukan sebelum mengijinkan pasien keluar, dan wanita
tersebut membuat pertemuan ulang untuk 1 hingga 2 minggu. Pada pertemuan
selanjutnya ini, jika pemeriksaan klinis atau evaluasi sonography gagal
mengkonfirmasi aborsi yang selesai, prosedur suction biasanya dilakukan.
Pada regimen yang menggunakan methotrexate, wanita biasanya diperiksa
setidaknya 24 jam setelah misoprostol, dan sekitar 7 hari setelah pemberian
methotrexate, waktu dimana dilakukan pemeriksaan sonography. Jika kehamilan
bertahan, dosis lain misoprostol diberikan, dan wanita tersebut diperiksakan lagi
dalam 1 minggu jika aktivitas jantung fetus ada atau dalam 4 minggu jika tidak
ada aktivitas jantung fetus. Jika pada kunjungan kedua, aborsi belum terjadi,
biasanya hal ini diselesaikan dengan kuretase suction.
Perdarahan dan kolik dengan terminasi medis dapat lebih buruk secara signifikan
daripada gejala – gejala yang dirasakan ketika mens. Obat nyeri yang adekuat,
biasanya termasuk narkotik, sebaiknya disediakan. Menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (2005b), mengganti dua pembalut atau lebih per
jam selama setidaknya 2 jam merupakan batas dimana wanita sebaiknya
diinstruksikan untuk menguhubungi dokternyam yang dapat menentukan apakah
dia dapat diperiksa.
Aborsi medis awal sangat efektif—90 hingga 98 persen wanita tidak akan
membutuhkan intervensi pembedahan (Kahn dan rekan kerja, 2000). Menurut
Hausknecht (2003), hanya terdapat 139 komplikasi yang dilaporkan ke produsen
dengan mifepristone ketika diberikan dengan misoprostol pada 80000 wanita
untuk aborsi medis.
Intervensi pembedahan yang tidak perlu pada wanita – wanita yang menjalani
aborsi medis dapat dihindari jika hasil sonography diinterpretasikan dengan
sesuai. Secara spesifik, jika kantong gestasional ada, tidak ada perdarahan berat,
intervensi pada sebagian besar wanita tidak diperlukan. Hal ini benar bahkan,
ketika, seperti yang umum, uterus mengandung debris yang terbukti melalui
sonography.
Aborsi Trimester-Kedua
Cara invasif aborsi medis trimester-kedua telah tersedia lama, dan beberapa ditulis
dalam Tabel 9-3. Namun, dalam 25 tahun terakhir, kemampuan untuk
memperoleh aborsi trimester kedua dengan aman dan efektif telah sangat
berevolusi. Prinsip di antara metode – metode non-invasif ini adalah oxytocin
intravena dosis tinggi dan administrasi prostaglandin per vaginam, termasuk
prostaglandin E2 suppositoria dan pil prostaglandin E1 (misoprostol. Tanpa
memandang metode, penempatan hygroscopic dilator yang ditunjukkan dalam
Gambar 9-6 akan memperpendek durasi (Goldberg dan rekan – rekan, 2005).
OXYTOCIN
Diberikan sebagai agen tunggal dalam dosis tinggi, oxytocin akan mempengaruhi
aborsi trimester kedua pada 80 hingga 90 persen kasus. Selama lebih dari 15
tahun, regimen yang ditunjukkan dalam Tabel 9-6 telah digunakan dengan tingkat
keamanan dan keefektifan yang tinggi pada Universitas Alabama. Dengan
mencampurkan oxytocin dalam larutan isotonic seperti saline normal, dan
menghindari administrasi yang berlebih larutan intravena yang diencerkan, kami
belum mengamati hyponatremia atau intoksikasi air.
Tabel 9-6. Protokol Konsentrasi Oxytocin untuk Aborsi Mid-Trimester
50 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
100 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
150 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
200 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
250 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
300 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam
dieresis (tidak ada oxytocin)
Dimodifikasi dari Ramsey and Owen (2000), dengan ijin.
PROSTAGLANDIN E2
20 mg prostaglandin E2 suppositoria ditempatkan pada fornix posterior vagina
merupakan cara yang sederhana dan efektif untuk mempengaruhi aborsi trimester
kedua. Metode ini tidak lebih efektif daripada oxytocin dosis tinggi, dan
menyebabkan efek samping yang lebih sering seperti mual, muntah, demam, dan
diare (Owen dan rekan – rekan, 1992). Jika prostaglandin E2 digunakan,
entiemetic seperti metoclopramide, antipyretic seperti acetaminophen, dan
antidiare seperti diphenoxylate/atropine diberikan baik untuk mencegah maupun
mengobati gejala.
PROSTAGLANDIN E1
Misoprostol dapat digunakan dengan mudah dan tidak mahal sebagai agen tunggal
untuk terminasi kehamilan trimester kedua. Dalam percobaan randomisasi
mereka, Ramsey dan rekan kerjanya (2004) memberikan misoprostol, 600 μg per
vaginam yang diikuti dengan 400 μg setiap 4 jam. Mereka melaporkan bahwa
aborsi yang diakibatkan ini secara signifikan lebih cepat daripada oxytocin yang
terkonsentrasi yang diberikan dalam kombinasi dengan prostaglandin E2 – waktu
median untuk aborsi 12 versus 17 jam, secara berurutan. Misoprostol memperoleh
aborsi dalam 24 jam pada 95 persen wanita dibandingkan dengan 85 persen pada
kelompok lain. Yang penting, hanya 2 persen wanita pada kelompok misoprostol
yang membutuhkan kuretase untuk plasenta yang tertahan dibandingkan dengan
15 persen pada kelompok oxytocin/prostaglandin E2. Kapp dan rekan kerja
(2007) melaporkan bahwa mifepristone, 200 mg diberikan 1 hari sebelum
misoprostol, mengurangi waktu median ekspulsi dari 18 menjadi 10 jam
dibandingkan dengan kelompok placebo.
Hasil aborsi trimester kedua yang diinduksi secara medis setelah persalinan
cesarean sebelumnya telah menjadi subyek beberapa laporan. Walaupun beberapa
laporan awal tidak mendukung, bukti terbaru tidak terlalu pesimistik. Ulasan
sistematik oleh Berghella dan rekan – rekan (2009) serta Goyal (2009)
menemukan bahwa resiko ruptur uterus pada wanita – wanita yang diberikan
misoprostol hanya sekitar 0,3 hingga 0,4 persen.
Konsekuensi Aborsi Elektif
MORTALITAS MATERNAL
Aborsi legal yang diinduksi, dilakukan oelh ahli ginekologi yang terlatih, terutama
ketika dilakukan saat 2 bulan pertama kehamilan, memiliki angka mortalitas
kurang dari 1 per 100000 prosedur (Grimes, 2006; Strauss dan rekan – rekan,
2007). Aborsi awal lebih aman, dan resiko relatif kematian sebagai konsekuensi
aborsi diperkirakan berlipat ganda setiap 2 minggu setelah 8 minggu kehamilan.
Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit mencatat tujuh kematian yang berkaitan
dengan aborsi legal pada 2004 (Gamble dan rekan – rekan, 2008). Menurut Horon
(2005), kematian seperti itu kurang dilaporkan.
PENGARUH TERHADAP KEHAMILAN MENDATANG
Dalam ulasan ilmiah pengaruh aborsi elektif terhadap hasil kehamilan berikutnya,
Hogue (1986) meringkas data dari lebih dari 200 publikasi. Data yang berkaitan
dengan aborsi terhadap hasil kehamilan adalah observasional dan oleh karenanya
dipengaruhi bias dan faktor pembingung yang tidak terkontrol. Semua penelitian
dalam topic ini harus diinterpretasikan dengan mengingat keterbatasan ini.
Dikatakan, fertilitas tidak menghilang akibat aborsi elektif. Selain itu, sebagian
besar penelitian mengindikasikan bahwa aspirasi vacuum tidak meningkatkan
insidensi aborsi spontan trimester-kedua berikutnya atau persalinan preterm.
Namun, penelitian case-control Prancis EPIPAGE, menemukan peningkatan
insidensi 1,5 kali pada persalinan preterm – 22 hingga 32 minggu – pada wanita
dengan riwayat aborsi induksi (Moreau dan rekan – rekan, 2005). Kehamilan
ektopik selanjutnya tidak meningkat. Prosedur aborsi kuretase tajam multipel
dapat meningkatkan resiko plasenta previa berikutnya, sedangkan prosedur
aspirasi vacuum tampaknya tidak (Johnson dan rekan – rekan, 2003). Dalam
sistem ulasan mereka yang teliti dan terbaru, Swingle dan rekan kerja (2009)
menemukan peningkatan signifikan resiko persalinan preterm – OR 1,32 – setelah
aborsi spontan atau induksi.
Penelitian populasi yang besar dari Denmark mengindikasikan bahwa hasil
kehamilan berikutnya menyerupai metode medis dan pembedahan aborsi yang
diinduksi. Menggunakan Daftar Aborsi Denmark yang terdiri dari 30349 prosedur
yang telah dilakukan dari 1999 sampai 2004, Virk dan rekan – rekan (2007)
menyediakan data dari 16883 wanita yang menjalani kehamilan berikutnya pada
2005. Hasil ditulis dalam Tabel 9-7 di bawah menunjukkan hasil kehamilan yang
sangat menyerupai
Tabel 9-7. Hasil pada Kehamilan Selanjutnya pada 16883 Wanita yang Menjalani Aborsi
Trimester-Pertama secara Medis atau Pembedahan
Hasil Kehamilan Insidensi (Persen)a
Pembedahan Medis
Kehamilan ektopik 2,3 2,4
Keguguran 12,7 12,2
Persalinan preterm 6,7 5,4
Berat lahir <2500 g 5,1 4,0a Semua perbandingan p > .05.
Data dari Virk dan rekan – rekan (2007).
KONTRASEPSI SETELAH KEGUGURAN ATAU ABORSI
Ovulasi dapat terjadi dalam 2 minggu setelah dilakukan terminasi kehamilan awal,
baik secara spontan ataupun induksi. Lahteenmaki dan Luukkainen (1978)
mendeteksi puncak luteinizing hormone (LH) 16 hingga 22 hari setelah aborsi
pada 15 dari 18 wanita yang diteliti. Kadar progesteron plasma, yang menurun
setelah aborsi, meningkat segera setelah puncak LH. Peristiwa hormonal ini
selaras dengan perubahan histologis yang diobservasi pada biopsi endometrium
(Boyd dan Holmstrom, 1972). Oleh karenanya, jika kehamilan ingin dicegah,
kontrasepsi yang efektif sebaiknya dimulai segera setelah aborsi. Reeves dan
rekan – rekan (2007) telah menghitung jumlah kehamilan yang tidak disengaja
yang lebih rendah pada wanita yang mengingingkan alat intrauterine jika alat
tersebut dipasang pada saat terminasi kehamilan. Madden dan Westhoff (2009)
telah menunjukkan keuntungan yang serupa dengan depot medroxyprogesterone
acetate (DMPA). Pilihan untuk kontrasepsi didiskusikan dalam Bab 32.