bab 9 jadi

89
ABORSI : PENDAHULUAN Kata aborsi berasal dari bahasa Latin aboriri―keguguran. Menurut Kamus New Shorter Oxford (2002), aborsi adalah kelahiran prematur sebelum kelahiran hidup memungkinkan, dan dalam hal ini sinonim dengan keguguran. Hal ini juga berarti terminasi kehamilan yang diinduksi untuk menghancurkan fetus. Walaupun kedua istilah digunakan secara bergantian dalam konteks medis, kegunaan populer kata aborsi oleh orang awam mengimplikasikan terminasi kehamilan yang disengaja. Oleh karena itu, banyak yang lebih suka keguguran untuk mengacu pada kehilangan fetus secara spontan sebelum viabilitas. Untuk menambah kebingungan, penggunaan yang luas sonografi dan pengukuran kadar serum chorionic gonadotropin manusia memberi kesempatan untuk identifikasi kehamilan yang sangat awal bersama dengan istilah untuk menjelaskan hal ini. Beberapa contoh adalah kehilangan kehamilan awal atau kegagalan kehamilan awal. Di seluruh buku ini, kami menggunakan semua istilah ini pada satu saat dan saat lainnya. Durasi kehamilan juga digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan aborsi untuk tujuan statistik dan legal (lihat Bab , Definisi). Sebagai contoh, Pusat Statistik Kesehatan Nasional, Pusat Pencegahan dan Pengontrolan Penyakit, dan World Health Organization

Upload: rizkyferrianferdiansyah

Post on 02-Aug-2015

93 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 9 jadi

ABORSI : PENDAHULUAN

Kata aborsi berasal dari bahasa Latin aboriri―keguguran. Menurut Kamus New

Shorter Oxford (2002), aborsi adalah kelahiran prematur sebelum kelahiran hidup

memungkinkan, dan dalam hal ini sinonim dengan keguguran. Hal ini juga berarti

terminasi kehamilan yang diinduksi untuk menghancurkan fetus. Walaupun kedua

istilah digunakan secara bergantian dalam konteks medis, kegunaan populer kata

aborsi oleh orang awam mengimplikasikan terminasi kehamilan yang disengaja.

Oleh karena itu, banyak yang lebih suka keguguran untuk mengacu pada

kehilangan fetus secara spontan sebelum viabilitas. Untuk menambah

kebingungan, penggunaan yang luas sonografi dan pengukuran kadar serum

chorionic gonadotropin manusia memberi kesempatan untuk identifikasi

kehamilan yang sangat awal bersama dengan istilah untuk menjelaskan hal ini.

Beberapa contoh adalah kehilangan kehamilan awal atau kegagalan kehamilan

awal. Di seluruh buku ini, kami menggunakan semua istilah ini pada satu saat dan

saat lainnya.

Durasi kehamilan juga digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan

aborsi untuk tujuan statistik dan legal (lihat Bab , Definisi). Sebagai contoh, Pusat

Statistik Kesehatan Nasional, Pusat Pencegahan dan Pengontrolan Penyakit, dan

World Health Organization mendefinisikan aborsi sebagai terminasi kehamilan

sebelum kehamilan 20 minggu atau dengan kelahiran fetus dengan berat kurang

dari 500 g. Meskipun demikian, definisi bervariasi luas sesuai dengan hukum

negara bagian.

ABORSI SPONTAN

Lebih dari 80 persen aborsi spontan terjadi dalam 12 minggu pertama. Seperti

yang ditunjukkan dalam Gambar 9-1, setidaknya setengahnya berasal dari anomali

kromosom. Juga terdapat rasio jenis kelamin 1,5 pria:wanita dalam abortus awal

(Benirschke and Kaufmann, 2000). Setelah trimester pertama, baik angka aborsi

maupun insidensi anomali kromosom menurun.

Page 2: BAB 9 jadi

Perdarahan ke decidua basalis, dengan nekrosis jaringan di sekitarnya, biasanya

menyertai keguguran awal. Dalam kasus ini, ovum terlepas, dan hal ini

menstimulasi kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi. Ketika kantong

gestasional terbuka, cairan pada umumnya ditemukan mengelilingi fetus yang

termaserasi kecil, atau kalau tidak, tidak ada fetus―yang disebut blighted ovum.

Gambar 9-1. Frekuensi anomali kromosom dalam abortus dan lahir mati pada

tiap trimester. Perkiraan persentase untuk tiap kelompok ditunjukkan dalam

gambar. (Data dari Eiben, 1990; Fantel, 1980; Warburton, 1980, dan semua rekan

mereka.)

Insidensi

Prevalensi aborsi spontan bervariasi menurut cara yang digunakan untuk

identifikasinya. Sebagai contoh, Wilcox dan rekan – rekan (1988) meneliti 221

wanita sehat sepanjang 707 siklus menstruasi. Mereka menemukan bahwa 31

persen kehamilan hilang setelah implantasi. Yang penting, dengan penggunaan

assay yang sangat spesifik untuk konsentrasi menit maternal serum β-human

chorionic gonadotropin (β-hCG), dua per tiga dari kehilangan ini ditandai sebagai

secara klinis tidak tampak (clinically silent).

Sejumlah faktor mempengaruhi angka aborsi spontan, namun tidak diketahui pada

saat ini jika kasus – kasus yang secara klinis tidak tampak juga dipengaruhi oleh

beberapa dari faktor – faktor ini. Sebagai contoh, keguguran yang tampak secara

klinis meningkat dengan peningkatan paritas serta usia maternal dan paternal

(Gracia, 2005; Warburton, 1964; Wilson, 1986, dan rekan – rekan mereka).

Frekuensi menjadi dua kali lipat dari 12 persen pada wanita yang berusia kurang

dari 20 tahun hingga 26 persen pada mereka yang berusia lebih dari 40 tahun.

Untuk perbandingan yang sama pada usia paternal, frekuensi meningkat dari 12

hingga 20 persen. Namun, tidak diketahui jika keguguran yang tidak tampak

secara klinis juga terpengaruhi oleh usia dan paritas yang sama.

Faktor Fetus

Page 3: BAB 9 jadi

Aborsi spontan awal secara umum menampilkan abnormalitas perkembangan

zigot, embrio, fetus, atau terkadang, plasenta. Dari 1000 aborsi spontan yang

dianalisa oleh Hertig dan Sheldon (1943), setengahnya mengalami embrio yang

berdegenerasi atau tidak ada embrio―blighted ovum dijelaskan sebelumnya.

Dalam 50 hingga 60 persen embrio dan fetus muda yang teraborsi spontan,

abnormalitas dalam jumlah kromosom bertanggung jawab terhadap sebagian

besar kejadian (Tabel 9-1). Kesalahan kromosom menjadi kurang umum dengan

kehamilan yang semakin berkembang dan ditemukan pada sekitar sepertiga dari

keguguran pada trimester kedua namun hanya pada 5 persen dari lahir mati pada

trimester-ketiga (lihat Bab 29, Kematian Fetus).

Tabel 9-1. Penemuan Kromosomal dalam Abortus

Insidensi dalam Persen

Penelitian

Kromosomal

Kajii et al. (1980) Eiben et al.

(1990)

Simpson (1980)

Normal (euploid)

46,XY dan 46,XX 46 51 54

Abnormal (aneuploid)

Autosomal

trisomy

31 31 22

Monosomy X

(45,X)

10 5 9

Tetraploidy 7 6 8

Triploidy 2 4 3

Anomali structural 2 2 2

Double atau triple

trisomy

2 0,9 0,7

ABORSI ANEUPLOID

Sekitar 95 persen dari abnormalitas kromosomal disebabkan oleh kesalahan

gametogenesis maternal, sedangkan 5 persen disebabkan oleh kesalahan paternal.

Page 4: BAB 9 jadi

(Jacobs dan Hassold, 1980). Penemuan yang paling umum dalam abortus tersebut

ditulis dalam Tabel 9-1.

Autosomal trisomy merupakan anomali kromosom yang paling sering

diidentifikasi dalam keguguran trimester-pertama. Walaupun sebagian besar

trisomy menyebabkan isolated nondisjunction, pengaturan ulang kromosom yang

seimbang hadir dalam satu pasangan dalam 2 hingga 4 persen pasangan dengan

keguguran rekuren (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001).

Autosomal trisomy pada seluruhnya kecuali kromosom nomor 1 telah

diidentifikasi dalam abortus, dan mereka dengan autosom 13, 16, 18, 21, dan 22

adalah yang paling umum. Bianco dan rekan – rekan (2006) baru – baru ini

menjelaskan bahwa kegagalan sebelumnya meningkatkan resiko aneuploidy fetus

berikutnya dari resiko dasar 1,39 persen hingga 1,67 persen pada hampir 47000

wanita. Dua atau tiga keguguran sebelumnya meningkatkan hal ini menjadi 1,84

dan 2,18 persen, secara berurutan.

Monosomy X (45,X) merupakan abnormalitas kromosomal spesifik yang umum.

Hal ini menyebabkan sidroma Turner, yang biasanya menyebabkan aborsi dan

yang kurang sering adalah kelahiran hidup bayi perempuan (Bab 12,

Abnormalitas Kromosom Sex). Sebaliknya, autosomal monosomy jarang dan

tidak kompatibel dengan kehidupan.

Triploidy seringkali diasosiasikan dengan degenerasi hidropik plasenta (molar)

(Bab 11, Mola Hydatidiform Partial). Mola hydatidiform incomplete (partial)

dapat triploid atau trisomy hanya untuk kromosom 16. Walaupun fetus – fetus ini

seringkali mengalami keguguran awal, beberapa yang bertahan lebih lama

mengalami malformasi yang sangat jelas. Usia maternal dan paternal yang

meningkat tidak meningkatkan insidensi triploidy.

Tetraploid abortus jarang lahir hidup dan paling sering teraborsi awal pada

gestasi.

Abonormalitas kromosomal struktural jarang menyebabkan abnormalitas.

Beberapa bayi yang lahir hidup dengan translokasi yang seimbang dapat tampak

normal seperti yang didiskusikan dalam Abnormalitas Kromosomal Parental.

Page 5: BAB 9 jadi

ABORSI EUPLOID

Fetus yang kromosomnya normal cenderung untuk mengalami aborsi dalam

gestasi nantinya daripada mereka dengan aneuploidy. Sebagai contoh, walaupun

75 persen aborsi aneuploid timbul sebelum 8 minggu, aborsi euploid memuncak

pada sekitar 13 minggu (Kajii, 1980). Insidensi aborsi euploid meningkat drastis

setelah usia meternal melebihi 35 tahun (Stein and rekan kerja, 1980).

Faktor Maternal

Penyebab aborsi euploid tidak begitu dimengerti, walaupun beragam kelainan

medis, kondisi lingkungan, dan abnormalitas perkembangan telah diimplikasikan.

Pengaruh usia meternal yang terkenal didiskusikan di atas.

INFEKSI

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2001), infeksi

merupakan penyebab tidak umum dari aborsi awal. Bahkan dalam penelitian

mereka mengenai wanita diabetes yang dependen insulin―tampaknya lebih

rentan terhadap infeksi―Simpson dan rekan kerja (1996) tidak menemukan

adanya bukti keguguran yang diinduksi infeksi.

Sejumlah infeksi spesifik telah diteliti. Sebagai contoh, walaupun Brucella

abortus dan Campylobacter fetus menyebabkan aborsi pada sapi, mereka tidak

menyebabkan hal tersebut pada manusia (Sauerwein dan rekan – rekan, 1993).

Juga tidak terdapat bukti bahwa Listeria monocytogenes atau Chlamydia

trachomatis menstimulasi aborsi pada manusia (Feist, 1999; Osser, 1996; Paukku,

1999, dan semua rekan – rekannya). Dalam penelitian prospektif, infeksi dengan

virus herpes simplex dalam kehamilan awal juga tidak meningkatkan insidensi

(Brown dan rekan kerja, 1997). Bukti bahwa Toxoplasma gondii menyebabkan

aborsi dalam manusia tetap tidak konklusif.

Data mengenai hubungan antara beberapa infeksi dan peningkatan aborsi

bertentangan. Sebagai contoh, Quinn dan rekan kerja (1983a, b) menyediakan

bukti serologis yang mendukung peran untuk Mycoplasma hominis dan

Ureaplasma urealyticum. Sebaliknya, Temmerman dan rekan – rekan (1992)

Page 6: BAB 9 jadi

tidak menemukan hubungan antara genital mycoplasma dan abortus spontan.

Mereka menemukan bahwa aborsi secara independen berhubungan dengan bukti

serologis syphilis dan infeksi HIV-1, dan dengan kolonisasi vagina oleh group B

streptococci. Sebaliknya, van Benthem dan rekan – rekan (2000) melaporkan

bahwa wanita memiliki resiko yang sama untuk aborsi spontan sebelum dan

setelah mereka mengalami infeksi HIV. Oakeshott dan rekan – rekan (2002)

melaporkan hubungan antara keguguran trimester-kedua, namun tidak trimester-

pertama dan bacterial vaginosis (lihat Bab 59, Bacterial Vaginosis).

PENYAKIT KRONIK YANG MELEMAHKAN

Aborsi yang awal, jarang merupakan sekunder dari penyakit kronik yang

melemahkan seperti tuberculosis atau carcinomatosis. Namun, celiac sprue telah

dilaporkan untuk menyebabkan infertilitas baik pada wanita dan pria dan aborsi

rekuren (Sher dan rekan – rekan, 1994).

ABNORMALITAS ENDOKRIN

Hypothyroidisme

Defisiensi iodine yang berat dapat berasosiasi dengan keguguran (Castañeda dan

rekan kerja, 2002). Defisiensi hormon thyroid umum pada wanita, hal tersebut

biasanya disebabkan oleh kelainan autoimun, namun pengaruh lain

hypothyroidisme dalam kehilangan kehamilan awal belum diteliti secara adekuat.

Hanya autoantibody thyroid telah diasosiasikan dengan peningkatan insidensi

keguguran (Abramson dan Stagnaro-Green, 2001; Poppe dan colleagues, 2008).

Seperti yang didiskusikan dalam Hypothyroidisme, data kurang meyakinkan

bahwa wanita dengan keguguran yang rekuren memiliki insidensi yang lebih

besar terhadap antibodi antithyroid daripada kontrol normal.

DIABETES MELLITUS

Angka aborsi spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita

dengan insulin-dependent diabetes. Resiko tampaknya berhubungan dengan

tingkat kontrol metabolisme dalam kehamilan awal. Dalam penelitian prospektif,

Page 7: BAB 9 jadi

Mills dan rekan – rekan (1988) melaporkan bahwa kontrol glukosa yang

sempurna dalam 21 hari konsepsi menyebabkan angka keguguran yang

menyerupai dengan kontrol non-diabetik. Namun, kontrol glukosa yang buruk

menyebabkan angka aborsi yang meningkat dengan jelas. Diabetes merupakan

penyebab kehilangan kehamilan yang rekuren, dan Craig dan rekan kerja (2002)

telah melaporkan insidensi yang lebih tinggi mengenai resistensi insulin pada

wanita – wanita ini. Hal ini didiskusikan lebih jauh dalam Diabetes Mellitus.

NUTRISI

Diet yang defisiensi pada salah satu nutrisi atau defisiensi yang sedang dari semua

nutrisi tampaknya bukan penyebab penting dari aborsi. Bahkan pada ekstrim,

hyperemesis gravidarum dengan hilangnya berat badan yang signifikan jarang

disertai dengan keguguran. Dalam satu penelitian, Maconochie dan rekan – rekan

(2007) menemukan berkurangnya resiko pada wanita yang makan buah dan

sayuran segar setiap hari.

PENGGUNAAN OBAT DAN FAKTOR LINGKUNGAN

Variasi agen – agen yang berbeda telah dilaporkan berasosiasi dengan

peningkatan insidensi aborsi.

Tobacco

Merokok telah dihubungkan dengan peningkatan resiko untuk aborsi euploid

(Kline dan rekan kerja, 1980). Dua penelitian memberi kesan bahwa resiko aborsi

meningkat secara linear dengan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari

(Armstrong dan rekan – rekan, 1992; Chatenoud dan rekan – rekan, 1998).

Namun, penelitian berikutnya gagal mendukung asosiasi ini (Maconochie, 2007;

Rasch, 2003; Wisborg, 2003, dan semua rekan kerja mereka).

Alkohol

Baik aborsi spontan dan anomali fetus dapat disebabkan dari penggunaan alkohol

yang sering selama 8 minggu pertama kehamilan (Floyd dan rekan kerja, 1999).

Page 8: BAB 9 jadi

Resiko tersebut tampaknya terkait baik dengan frekuensi dan dosis (Armstrong

dan rekan – rekan, 1992). Konsumsi alkohol yang rendah selama kehamilan tidak

berasosiasi dengan resiko aborsi yang signifikan (Kesmodel dan rekan – rekan,

2002; Maconochie dan rekan kerja, 2007).

Kafein

Armstrong dan rekan – rekan (1992) melaporkan bahwa wanita yang

mengkonsumsi setidaknya lima cangkir kopi per hari memiliki resiko aborsi yang

agak meningkat, dan bahwa di atas batas ini, resiko berkorelasi secara linier.

Demikian pula, Cnattingius dan rekan – rekan (2000) mengobservasi peningkatan

resiko aborsi yang meningkat secara signifikan hanya pada wanita yang

mengkonsumsi setidaknya 500 mg kafein per hari ― yang secara kasar sama

dengan lima cangkir kopi. Klebanoff dan rekan – rekan (1999)melaporkan bahwa

wanita hamil yang mana kadar metabolit kafein paraxanthine sangat meningkat

memiliki resiko untuk keguguran dua kali lipat. Mereka menyimpulkan bahwa

konsumsi kafein yang sedang tidak mungkin menyebabkan aborsi spontan.

Radiasi

Dalam dosis terapeutik yang diberikan untuk menangani keganasan, radiasi

pastinya merupakan abortifacient (agen yang menyebabkan aborsi) (lihat Bab 41,

Radiasi Ionisasi). Walaupun dosis yang lebih rendah lebih tidak toksik, dosis

manusia untuk mempengaruhi aborsi tidak diketahui dengan tepat. Menurut Brent

(1999), paparan kurang dari lima rads tidak meningkatkan resiko untuk

keguguran.

Kontrasepsi

Kontrasepsi oral atau agen – agen spermicidal digunakan dalam krim dan jeli

kontrasepsi tidak berasosiasi dengan peningkatan angka keguguran. Namun,

ketika alat intrauterus gagal mencegah kehamilan, resiko aborsi, dan terutama

aborsi septic, meningkat banyak (lihat Bab 32, Pengaruh yang Tidak Diinginkan).

Page 9: BAB 9 jadi

Toksin Lingkungan

Menilai hubungan secara akurat antara paparan lingkungan dan keguguran

merupakan tantangan. Terdapat kesulitan dalam pengukuran intensitas dan durasi

paparan, dan terdapat sedikit informasi untuk menuduh atau membebaskan secara

konklusif agen spesifik. Beberapa penelitian termasuk yang dilakukan oleh

Barlow dand Sullivan (1982), yang menemukan bahwa arsenic, timah,

formaldehyde, benzene, dan ethylene oxide mungkin menyebabkan keguguran.

Video display terminal (Sebuah terminal komputer yang memiliki tampilan video

yang menggunakan tabung sinar katoda) dan lapangan elektromagnetik yang

menyertainya tidak mempengaruhi angka keguguran (Schnorr dan rekan – rekan,

1991). Demikian pula, tidak adanya pengaruh yang ditemukan terhadap paparan

okupasional ultrasound (Taskinen dan rekan – rekan, 1990). Meningkatnya resiko

keguguran telah dijelaskan untuk asisten dokter gigi yang terpapar nitrous oxide 3

jam atau lebih per hari di kantor yang tanpa alat pengolahan gas (Rowland dan

rekan kerja, 1995). Sebelum penggunaan alat tersebut, Boivin (1997)

menyimpulkan bahwa wanita yang pada pekerjaannya terpapar dengan gas

anestesi memiliki resiko keguguran yang meningkat. Dalam meta-analisis lainnya,

Dranitsaris dan rekan - rekan (2005) mengidentifikasi peningkatan resiko untuk

aborsi spontan pada pekerja wanita yang bekerja dengan obat – obat kemoterapi

yang sitotoksik.

FAKTOR IMUNOLOGIS

Sejumlah kelainan yang dimediasi oleh imun berasosiasi dengan keguguran pada

awal kehamilan. Banyak yang cenderung berulang, dan mereka dipertimbangkan

sebagai keguguran rekuren (lihat Faktor Imunologis).

THROMBOPHILIA YANG DIWARISKAN

Beberapa kelainan genetik dari koagulasi darah dapat meningkatkan resiko

thrombosis arteri dan vena. Thrombophilia yang diteliti lebih baik disebabkan

oleh mutasi gen untuk faktor V Leiden, prothrombin, antithrombin, protein C dan

S, dan methylene tetrahydrofolate reductase (hyperhomocysteinemia). Karena hal

Page 10: BAB 9 jadi

ini merupakan yang paling umum diasosiasikan dengan keguguran yang rekuren,

mereka dipertimbangkan dalam Thrombophilia yang Diwariskan.

OPERASI MATERNAL

Operasi abdomen atau pelvis yang tidak terkomplikasi yang dilakukan pada

kehamilan awal tampaknya tidak meningkatkan resiko aborsi. Tumor ovarium

pada umumnya diangkat tanpa mengganggu kehamilan (lihat Bab 40,

Abnormalitas Ovarium). Pengecualian yang penting melibatkan pengangkatan

yang awal corpus luteum atau ovarium yang mana terdapat corpus luteum. Jika

dilakukan sebelum 10 minggu gestasi, suplemen progesterone diindikasikan. Jika

di antara 8 dan 10 minggu, maka hanya satu injeksi 17-hydroxyprogesterone

caproate, 150 mg, intramuscular, diperlukan segera setelah operasi. Jika corpus

luteum dieksisi antara 6 hingga 8 minggu, makan dua dosis tambahan sebaiknya

diberikan satu dan dua minggu setelah dosis pertama.

TRAUMA

Barangkali, trauma abdomen mayor dapat menimbulkan aborsi, namun, hal ini

tidak biasa. Pengaruh lain dari trauma minor sulit untuk dipastikan. Secara umum,

trauma berkontribusi secara minimal terhadap insidensi aborsi (lihat Bab 42,

Trauma).

DEFEK UTERUS

Defek Uterus yang Didapat

Leiomyoma uterus yang besar dan multipel merupakan hal yang umum, dan hal

tersebut dapat menyebabkan keguguran, Pada banyak kejadian, lokasi leiomyoma

lebih penting daripada ukuran mereka (lihat Bab 40, Leiomyoma Uterus).

Synechiae uterus―sindroma Asherman―biasanya disebabkan dari destruksi area

yang luas pada endometrium oleh kuretase. Hysterosalpingogram dapat

menunjukkan defek pengisian multipel yang khas, namun hysteroscopy lebih

akurat untuk diagnosis. Dengan kehamilan berikutnya, jumlah endometrium yang

Page 11: BAB 9 jadi

tersisa dapat tidak mencukupi untuk mendukung kehamilan, dan aborsi dapat

terjadi kemudian.

Defek Perkembangan Uterus

Formasi ductus müllerian yang abnormal atau defek penyatuan dapat berkembang

secara spontan atau dapat mengikuti paparan in utero terhadap diethylstilbestrol

(DES) (lihat Bab 40, Abnormalitas Traktus Reproduksi yang Diinduksi

Diethylstilbestrol). Walaupun mereka dapat menyebabkan kegagalan pada

pertengahan kehamilan dan kelahiran preterm lainnya dan komplikasi kehamilan,

merupakan kontroversi apakah defek uterus menyebabkan keguguran. Seperti

yang didiskusikan dalam Penanganan, prosedur korektif untuk mencegah aborsi,

jika dilakukan, sebaiknya dilakukan sebagai cara akhir dan dengan pemahaman

penuh bahwa prosedur tersebut dapat tidak efektif (American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2001).

INKOMPETENSI CERVIX

Hal ini menjelaskan bentuk obstetric yang lain yang dikarakteristik oleh dilatasi

cervix yang tidak nyeri pada trimester kedua. Hal ini dapat diikuti dengan prolaps

dan pengembangan membran ke vagina, dan pada akhirnya, ekspulsi fetus yang

imatur. Apabila tidak ditangani dengan efektif, urutan kejadian ini dapat berulang

pada kehamilan mendatang.

Sayangnya, wanita – wanita dengan kehamilan yang gugur pada trimester kedua

seringkali memiliki riwayat dan penemuan klinis yang membuatnya sulit untuk

membedakan inkompetensi cervix yang sesungguhnya dari penyebab – penyebab

lain keguguran midtrimester. MacNaughton dan rekan – rekan (1993) meneliti

hampir 1300 wanita dengan riwayat inkompetensi cervix non-klasik. Dalam

penelitian randomisasi dengan hasil primer persalinan sebelum 33 minggu,

cerclage ditemukan menguntungkan, meskipun sedikit. Secara khusus, 13 persen

wanita dalam kelompok cerclage melahirkan sebelum 33 minggu dibandingkan

dengan 17 persen dalam kelompok non-cerclage. Dengan istilah lain, untuk setiap

25 prosedur cerclage, satu kelahiran sebelum 33 minggu dicegah.

Page 12: BAB 9 jadi

Baru – baru ini, ketertarikan difokuskan pada penggunaan transvaginal

sonography untuk mengidentifikasi inkompetensi cervical. Beberapa

bentuk―terutama panjang cervix―ketika diukur pada tengah kehamilan, dapat

memprediksi kelahiran preterm. Yang lain diistilahkan

penyaluran/funneling―pengembangan membran ke os internal yang berdilatasi,

namun dengan os external yang tertutup (Owen dan rekan – rekan, 2003).

Relevansi klinis dari perubahan – perubahan klinis ini tidak sepenuhnya jelas.

Tiga percobaan randomisasi cerclage yang meneliti wanita – wanita tersebut

melaporkan hasil yang bertentangan. Rust dan rekan – rekan (2001)

merandomisasi 113 wanita dengan panjang cervix kurang dari 25 mm atau dengan

penyaluran yang substansif untuk menjalani baik cerclage atau manajemen

kehamilan. Insidensi kelahiran preterm 35 persen dalam kelompok cerclage dan

36 persen dalam kelompok kontrol. Dalam penelitian kedua, To dan rekan – rekan

(2004) secara acak menentukan 253 wanita untuk penempatan cerclage dan

melaporkan bahwa resiko kelahiran preterm tidak berkurang secara signifikan.

Penelitian ketiga oleh Althuisius dan rekan – rekan (2001) merandomisasi hanya

35 wanita, namun hasilnya memberikan kesan bahwa cerclage dapat

menguntungkan. Setidaknya saat ini, penggunaan sonography untuk mendiagnosis

inkomptensi cervix tidak direkomendasikan.

Etiologi

Walaupun penyebab inkompetensi cervix tidak jelas, trauma cervix sebelumnya

sepeti dilatasi dan kuretase, konisasi, kauterisasi, atau amputasi telah

diimplikasikan. Dalam penelitian kohort berdasarkan populasi orang Norwegia

pada lebih dari 15000 wanita yang menjalani konisasi cervix, Albrechtsen dan

rekan – rekan (2008) melaporkan resiko keguguran empat kali lebih besar

sebelum 24 minggu. Chasen dan rekan – rekan (2005) melaporkan bahwa baik

sebelum dilatasi dan evakuasi (D&E) atau dilatasi dan ekstraksi (D&X) setelah 20

minggu meningkatkan kemungkinan inkompetensi cervix. Pada situasi lain,

perkembangan cervix yang abnormal, termasuk yang setelah paparan terhadap

Page 13: BAB 9 jadi

DES in utero, dapat memainkan peran (lihat Bab 40, Abnormalitas Traktus

Reproduksi yang Diinduksi Diethylstilbestrol).

Evaluasi dan Penanganan

Setelah dikonfirmasi, inkompetensi cervix klasik ditangani dengan cerclage, yang

secara pembedahan memperkuat cervix yang lemah dengan sejenis penjahitan

purse-string. Perdarahan, kontraksi uterus, atau ruptur membran biasanya

merupakan kontraindikasi cerclage. Sonography dilakukan untuk mengkonfirmasi

fetus yang hidup dan untuk mengeksklusi anomali fetus mayor. Spesimen cervix

diuji untuk infeksi gonorrhea dan Chlamydia, dan hal - hal ini dan infeksi cervix

yang lainnya ditangani. Untuk setidaknya seminggu sebelum dan setelah operasi,

hubungan seksual dilarang.

Cerclage idealnya dilakukan sebagai profilaksis sebelum dilatasi cervix. Pada

beberapa kasus, ini tidak mungkin, dan cerclage penyelamatan dilakukan secara

darurat setelah cervix ditemukan berdilatasi atau terhapus. Cerclage yang efektif

pada umumnya dilakukan antara 12 hingga 16 minggu, namun terdapat

perdebatan mengenai setelat apakah cerclage darurat dilakukan. Teka – tekinya

adalah bahwa semakin berkembangnya kehamilan, semakin besar resiko

intervensi pembedahan akan menstimulasi persalinan preterm atau ruptur

membran. Walaupun hal ini tidak berdasarkan bukti, kami biasanya tidak

melakukan cerclage setelah kurang lebih 23 minggu, namun, yang lainnya

merekomendasikan penempatan bahkan setelahnya (Caruso dan rekan – rekan,

2000; Terkildsen dan rekan – rekan, 2003).

Dalam 10 tahun ulasan dari 75 wanita yang menjalani prosedur cerclage darurat,

Chasen dan Silverman (1998) melaporkan bahwa 65 persen melahirkan pada 28

minggu atau setelahnya, dan setengahnya melahirkan setelah 36 minggu. Hal yang

penting, hanya 44 persen dari mereka dengan membran yang menonjol pada saat

cerclage mencapai 28 minggu. Caruso dan rekan – rekan (2000) melaporkan

pengalaman mereka dengan cerclage darurat pada 23 wanita dari 17 hingga 27

minggu yang mengalami cervix yang berdilatasi dan membran yang menonjol.

Karena hasilnya hanya 11 bayi yang lahir hidup, mereka menyimpulkan bahwa

Page 14: BAB 9 jadi

keberhasilannya tidak dapat diprediksi. Berdasarkan 20 tahun pengalaman dengan

116 wanita, Terkildsen dan rekan – rekan (2003) melaporkan bahwa nullipara dan

mereka dengan membran yang menonjol secara signifikan lebih memungkinkan

untuk melahirkan sebelum 28 minggu. Namun, cerclage setelah 22 minggu,

berasosiasi dengan kemungkinan yang lebih baik mengenai kelahiran setelah 28

minggu.

Jika indikasi klinis untuk cerclage dipertanyakan, wanita – wanita ini dapat

disarankan untuk menurunkan aktivitas fisik mereka dan abstain dari hubungan

seksual. Sebagian besar melakukan pemeriksaan cervix setiap minggu atau setiap

2 minggu untuk menilai penipisan dan dilatasi. Sayangnya, penipisan yang cepat

dan dilatasi dapat terjadi walaupun dengan kewaspadaan tersebut (Witter, 1984).

Prosedur Cerclage

Dua jenis operasi vagina pada umumnya digunakan selama kehamilan. Prosedur

yang lebih sederhana dikembangkan oleh McDonald (1963) ditunjukkan dalam

Gambar 9-2. Operasi yang lebih rumit merupakan modifikasi dari prosedur asli

yang dijelaskan oleh Shirodkar (1955) dan ditunjukkan dalam Gambar 9-3.

Dibandingkan dengan kontrol dahulu, wanita dengan riwayat klasik inkompetensi

cervix memiliki angka keberhasilan mencapai 85 hingga 90 persen ketika salah

satu dari kedua tekhnik dilakukan untuk profilaksis (Caspi dan rekan – rekan,

1990; Kuhn dan Pepperell, 1977). Untuk alasan – alasan ini, sebagian besar

praktisi menunda prosedur Shirodkar yang dimodifikasi untuk wanita – wanita

dengan kegagalan sebelumnya dengan McDonald cerclage atau mereka dengan

abnormalitas struktur cervix.

Gambar 9-2. Prosedur cerclage McDonald untuk inkompetensi cervix. A. Mulai

prosedur cerclage dengan benang monofilament nomor 2 ditempatkan pada badan

cervix sangat dekat tingkat internal os. B. Lanjutan dari penempatan jahitan pada

badan cervix sehingga mengitari os. C. Penyelesaian pengitaran os. D. Jahitan

dikencangkan di sekitar canalis cervix secukupnya untuk mengurangi diameter

canal menjadi 5 hingga 10 mm, dan jahitan kemudian diikat. Pengaruh dari

Page 15: BAB 9 jadi

penempatan jahitan pada canalis cervix tampak jelas. Jahitan kedua yang

ditempatkan agak lebih tinggi mungkin berguna jika jahitan pertama tidak dalam

jarak dekat dengan internal os.

Gambar 9-3. Cerclage yang dimodifikasi untuk inkompetensi cervix. A. Insisi

transversal dibuat pada mukosa anterior cervix, dan kandung kemih didorong ke

arah ke arah kepala. B. Pita Mersiline 5-mm pada jarum Mayo melintas dari

anterior ke posterior. C. Pita kemudian diarahkan dari posterior ke anterior pada

sisi lain cervix. Clamp Allis yang ditempatkan pada sejumlah jaringan cervix

untuk menghilangkan jarak yang harus dilalui jarum secara submukosa

memfasilitasi penempatan pita. D. Pita diikat dengan pas di anterior, setelah

memastikan bahwa semua kelonggaran telah ditangani. Mukosa cervix kemudian

ditutup dengan jahitan yang kontinyu dengan benang kromik untuk menutupi

simpul anterior.

Selama cerclage darurat, menempatkan kantong amnion yang prolaps kembali ke

uterus biasanya akan membantu penempatan jahitan (Locatelli dan rekan – rekan,

1999). Memiringkan meja operasi dengan kepala di bawah dapat menguntungkan.

Dan mengisi kandung kemih dengan 600 mL saline melalui kateter Foley dalam

tubuh biasanya akan membantu mengurangi membran yang prolaps. Sayangnya,

manuver ini juga dapat menyebabkan cervis cephalad, menjauhi lapangan operasi.

Beberapa menganjurkan menempatkan kateter Foley dengan 30 mL balon melalui

cervix dan mengembangkan balon untuk membelokkan kantung amnion yang

cephalad. Balon kemudian dikempiskan secara betahap ketika jahitan cerclage

dikencangkan.

Transabdominal cerclage dengan jahitan yang ditempatkan pada isthmus uterus

digunakan pada beberapa kasus defek anatomis yang berat pada cervix atau kasus

– kasus kegagalan cerclage transvaginal sebelumnya (Cammarano dan rekan –

rekan, 1995; Gibb dan Salaria, 1995). Dalam ulasan dari 14 laporan retrospektif,

Zaveri dan rekan – rekan (2002) menyimpulkan bahwa ketika cerclage

transvaginal sebelumnya gagal untuk mencegah kelahiran preterm, resiko

Page 16: BAB 9 jadi

kematian perinatal atau kelahiran sebelum 24 minggu setelah transabdominal

cerclage (6 persen) hanya sedikit lebih rendah dari resiko yang mengikuti cerclage

transvaginal yang berulang (13 persen). Yang penting, 3 persen dari wanita yang

menjalani transabdominal cerclage mengalami komplikasi yang serius, sedangkan

tidak ada yang mengalaminya pada kelompok transvaginal. Walaupun

transabdominal cerclage telah dilakukan melalui laparoscope, pada umumnya hal

tersebut membutuhkan laparatomy untuk penempatan jahitan awal dan laparatomy

berikutnya untuk pengangkatan jahitan, untuk kelahiran fetus, atau keduanya.

Komplikasi

Charles dan Edward (1981) mengidentifikasi komplikasi, terutama infeksi,

menjadi lebih jarang ketika cerclage elektif dilakukan pada 18 minggu. Dalam

percobaan oleh MacNaughton dan rekan – rekan (1993), ruptur membran hanya

terjadi pada 1 dari lebih dari 600 prosedur yang dilakukan sebelum 19 minggu.

Cerclage diasosiasikan dengan angka perawatan di rumah sakit dan tocolysis yang

lebih tinggi, serta menggandakan insiden demam puerperal―6 persen versus 3

persen. Thomason dan rekan kerja (1982) menemukan bahwa profilaksis

antimikroba perioperatif gagal mencegah sebagian besar infeksi, dan tocolytic

gagal mencegah sebagian besar persalinan. Dengan infeksi klinis, jahitan

sebaiknya dipotong, dan persalinan diinduksi atau di-augmentasi jika diperlukan.

Demikian pula, jika tanda – tanda dari aborsi imminent atau kelahiran terjadi,

jahitan sebaiknya dilepas segera. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat

menyebabkan kontraksi uterus yang kuat menyobek uterus atau cervix.

Ruptur membran selama penempatan jahitan atau dalam 48 jam pertama setelah

operasi dipertimbangkan oleh beberapa sebagai indikasi untuk pengangkatan

cerclage. Kuhn dan Pepperell (1977) melaporkan bahwa ruptur dalam ketiadaan

persalinan meningkatkan kemungkinan infeksi fetal atau maternal yang serius jika

jahitan ditinggalkan in situ dan kelahiran ditunda. Walaupun demikian, pilihan

rentang manajemen meliputi observasi, pengangkatan cerclage dan observasi, atau

pengangkatan cerclage dan induksi persalinan (Barth, 1995). Data yang tidak

Page 17: BAB 9 jadi

mencukupi membatasi rekomendasi yang pasti, dan manajemen yang optimal

(O’Connor dan rekan – rekan, 1999).

Setelah operasi Shirodkar yang dimodifikasi, jahitan dapat ditinggalkan di

tempatnya, dan dilakukan persalinan cesarean. Sebaliknya, jahitan dapat diangkat,

dan persalinan vaginal dapat dilakukan.

FAKTOR PATERNAL

Sedikit yang diketahui mengenai faktor paternal dalam kejadian keguguran.

Pastinya, abnormalitas kromosom dalam sperma telah diasosiasikan dengan aborsi

(Carrell dan rekan kerja, 2003).

Klasifikasi Klinis Aborsi Spontan

Aborsi spontan dapat diklasifikasikan secara klinis dengan sejumlah cara. Pada

umumnya menggunakan subkelompok termasuk threatened, inevitable,

incomplete dan missed abortion. Aborsi septic merupakan kondisi ketika produk

konsepsi dan uterus terinfeksi. Pada akhirnya, keguguran yang rekuren―juga

diistilahkan kehilangan kehamilan rekuren―menjelaskan kehilangan awal yang

konsekutif dengan etiologi yang diimplikasikan menyerupai.

THREATENED ABORTION

Diagnosis klinis threatened abortion diduga ketika keluarn darah dari vagina atau

tampak perdarahan melalui os cervix yang tertutup selama pertengahan pertama

kehamilan. Hal ini terjadi pada 20 hingga 25 persen wanita selama kehamilan

awal dan dapat bertahan selama berhari – hari atau beberapa minggu. Sekitar

setengah dari kehamilan akan gugur, walaupun resikonya lebih rendah jika

aktivitas jantung fetus divisualisasi (Tongsong dan rekan – rekan, 1995).

Eddleman dan rekan – rekan (2006) membuat model penilaian resiko yang

diindividualisasi untuk keguguran spontan pada lebih dari 35000 kehamilan.

Sejauh ini, perdarahan selama kehamilan saat ini merupakan faktor resiko yang

paling prediktif untuk keguguran. Bahkan jika aborsi tidak mengikuti perdarahan

awal, fetus ini berada pada peningkatan resiko untuk persalinan preterm, berat

Page 18: BAB 9 jadi

badan lahir rendah, dan kematian perinatal (Johns dan Jauniaux, 2006; Weiss dan

rekan – rekan, 2002). Untungnya, resiko malformasi pada bayi yang bertahan

tampaknya tidak meningkat. Resiko maternal termasuk perdarahan antepartum.

penegeluaran plasenta manual, dan persalinan cesarean (Wijesiriwardana dan

rekan, kerja, 2006).

Satu penyebab fisiologis dari perdarahan yang timbul dekat waktu

menstruasi―perdarahan implantasi. Lesi cervix umumnya berdarah pada

kehamilan awal, terutama setelah hubungan seksual. Polip cervix dan rekasi

desisua juga cenderung untuk berdarah pada kehamilan awal. Perdarahan dari

penyebab yang jinak ini tidak disertai dengan nyeri abdomen bawah dan nyeri

punggung bawah.

Pada keguguran, perdarahan biasanya pertama mulai, dan nyeri kolik abdomen

terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelahnya. Nyeri dapat timbul sebagai

nyeri kolik di anterior dan ritmik; sebagai nyeri punggung bawah yang persisten,

yang berasosiasi dengan rasa tekanan pada pelvis; atau sebagai ketidaknyamanan

suprapubik yang tumpul, midline. Bentuk apapun nyerinya, kombinasi perdarahan

dan nyeri memprediksi prognosis yang buruk untuk kelanjutan kehamilan.

Karena kehamilan ektopik, torsi ovarium, dan jenis – jenis aborsi lain dapat

menyerupai threatened abortion, wanita dengan perdarahan pada awal kehamilan

dan nyeri sebaiknya dievaluasi. Dengan perdarahan yang persisten atau berat,

hematocrit dilakukan, dan jika terdapat anemia yang signifikan atau hypovolemia,

maka evakuasi kehamilan biasanya diindikasikan.

Tidak ada terapi yang efektif untuk threatened abortion. Istirahat di tempat tidur,

walaupun sering disarankan, tidak mengubah perjalanannya. Analgesia

berdasarkan acetaminophen dapat diberikan untuk rasa tidak nyaman. Biasanya,

transvaginal sonography, serial serum kuantitatif human chorionic gonadotropin

(hCG), dan kadar serum progesteron, dapat digunakan sendiri atau dalam

kombinasi, dianaliasa untuk memastikan jika fetus hidup dan dalam uterus.

Karena mereka tidak 100 persen akurat untuk mengkonfirmasi kematian fetus,

evaluasi ulang dapat diperlukan.

Page 19: BAB 9 jadi

Kehamilan ektopik sebaiknya selalu dipertimbangkan dalam diagnosis

banding dari threatened abortion.

Dalam satu laporan, Condous dan rekan – rekan (2005) menjelaskan 152 wanita

dengan perdarahan berat yang didagnosis mengalami aborsi komplit dan

penebalan endometrium < 15 mm. Hampir 6 persen dari wanita – wanita ini

ditemukan mengalami kehamilan ektopik pada evaluasi selanjutnya.

Sangat penting untuk mengenali kehamilan ektopik awal sebelum ruptur tuba

terjadi. Oleh karenanya, untuk wanita dengan perdarahan atau nyeri pelvis yang

abnormal yang memiliki kadar serum β-hCG yang rendah, kehamilan ekstrauterin

harus dibedakan dari kehamilan uterus normal atau keguguran awal (Bab 10,

Diagnosis Multimodalitas). Barnhart dan rekan – rekan (2004a) telah

menyediakan data mengenai hilangnya kurva campuran serum β-hCG pada wanita

dengan keguguran awal (Gambar 9-4). Mereka memberikan data yang

menyerupai untuk wanita simtomatik dengan kehamilan awal yang normal

(Barnhart dan rekan – rekan, 2004b).

Gambar 9-4. Kurva campuran yang menjelaskan penurunan nilai serial serum β-

hCG pada kadar 2000 mIU/mL setelah keguguran spontan awal. Garis dengan

titik kuning adalah individu pasien. Garis biru adalah kurva prediksi berdasarkan

ringkasan seluruh data, dan dua garis putus – putus merah menggambarkan 95-

persen interval kepercayaan. (Dari Barnhart, 2004a, dengan ijin).

ANTI-D IMMUNOGLOBULIN

Wanita D-negatif diberikan anti-D immunoglobulin setelah keguguran karena

sebanyak 5 persen menjadi isoimmunized tanpanya. Praktek ini bertentangan

dengan threatened abortion karena kurangnya dukungan bukti (American College

of Obstetricians and Gynecologists, 1999; Weissman dan rekan – rekan, 2002).

INEVITABLE ABORTION

Ruptur membran, yang dibuktikan dengan keluarnya cairan amnion dengan

adanya dilatasi cervix, hampir pasti memberi sinyal aborsi. Pada umumnya, entah

Page 20: BAB 9 jadi

kontraksi uterus yang mulai dengan cepat yang menyebabkan keguguran, atau

terjadi infeksi. Jarang, pengeluaran cairan vagina yang banyak selama

pertengahan pertama kehamilan tanpa konsekuensi yang serius. Jika tidak berasal

dari kandung kemih, cairan dapat terkumpul sebelumnya antara amnion dan

chorion. Karena kemungkinan ini, jika terdapat pengeluaran cairan pada awal

kehamilan timbul sebelum nyeri, demam, atau perdarahan, maka aktivitas yang

berkurang dengan observasi adalah wajar. Setelah 48 jam, jika tidak ada cairan

amnion yang keluar dan jika tidak ada perdarahan, nyeri, atau demam, maka

wanita tersebut dapat melanjutkan aktivitasnya seperti biasa kecuali berbagai

bentuk penetrasi vagina. Namun, jika pengeluaran cairan yang banyak disertai

dengan atau diikuti dengan perdarahan, nyeri, atau demam, aborsi sebaiknya

dipertimbangkan tidak dapat dihindari, dan uterus dikosongkan.

ABORSI INKOMPLIT

Perdarahan terjadi ketika plasenta, seluruh atau sebagian, terlepas dari uterus.

Selama aborsi inkomplit, internal os cervis terbuka dan memberi kesempatan

darah mengalir. Fetus dan plasenta dapat tetap berada in utero atau sebagian dapat

keluar melalui os yang dilatasi. Sebelum 10 minggu, fetus dan palsenta umumnya

dikeluarkan bersama, namun setelahnya mereka keluar terpisah. Pada beberapa

wanita, tambahan dilarasi cervis diperlukan sebelum kuretase dilakukan. Pada

banyak kasus, jaringan plasenta yang bertahan hanya terletak dengan bebas pada

canalis cervicalis, memberikan kesempatan untuk ekstraksi yang mudah dari

external os yang tak terlindungi dengan ring forceps. Suction kuretase, seperti

yang dijelaskan nanti, dengan efektif mengevakuasi uterus. Pada wanita – wanita

yang secara klinis stabil, manajemen kehamilan pada aborsi inkomplit juga dapat

merupakan pilihan yang wajar (Blohm dan rekan – rekan, 2003).

Perdarahan dari aborsi inkomplit pada kehamilan yang lebih tua terkadang berat

namun jarang fatal. Oleh karenanya, wanita dengan kehamilan yang telah

berkembang atau dengan perdarahan yang berat, evakuasi segera dilakukan. Jika

terdapat demam, anitbiotik yang sesuai diberikan sebelum kuretase.

Page 21: BAB 9 jadi

MISSED ABORTION―KEHAMILAN MUDA YANG GAGAL

Istilah missed abortion tidak tepat saat ini karena istilah tersebut didefinisikan

beberapa dekade sebelum adanya tes immunologis kehamilan dan sonography.

Istilah ini digunakan untuk menjelaskan produk mati konsepsi yang bertahan

selama beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan di uterus dengan os cervix yang

tertutup. Karena keguguran spontan selalu didahului oleh kematian embryofetal,

sebagian besar menyebutnya “missed.” Pada situasi biasa, awal kehamilan

tampaknya normal, dengan amenorrhea, mual dan muntah, perubahan payudara,

dan pertumbuhan uterus. Setelah kematian embrio, dapat terjadi atau tidak adanya

perdarahan vagina atau gejala – gejala lain dari threatened abortion.

Dengan sonography, konfirmasi gestasi anembryonic atau fetus atau kematian

embryo mungkin (Gambar 9-5). Banyak wanita memilih terminasi medis atau

pembedahan pada saat diagnosis. Jika kehamilan tidak diterminasi dan jika

keguguran tidak terjadi setelah beberapa hari atau minggu, ukuran uterus tetap

tidak berubah, dan kemudian menjadi lebih kecil secara bertahap. Perubahan

payudara biasanya berupa regresi, dan wanita terkadang kehilangan beberapa pon.

Banyak wanita yang tidak memiliki gejala selama periode ini kecuali amenorrhea

yang persisten. Jika missed abortion diterminasi secara spontan, dan sebagian

besar terjadi, proses ekspulsi sama seperti aborsi lain.

Gambar 9-5. Transvaginal sonography menampilkan gestasi anembryonic.

(Digunakan dengan ijin dari Dr. Elysia Moschos.)

ABORSI SEPTIC

Kematian maternal diasosiasikan dengan aborsi kriminalis septic jarang terjadi di

Amerika Serikat. Namun, terkadang, keguguran dan aborsi elektif dapat

terkomplikasi oleh infeksi berat (Barrett dan rekan kerja, 2002; Fjerstad dan rekan

– rekan, 2009). Endomyometritis merupakan manifestasi yang paling umum dari

infeksi postabortal, namun parametritis, peritonitis, septicemia, dan bahkan

endocarditis terkadang terjadi (Vartiam dan Septimus, 1991). Pengobatan untuk

infeksi termasuk administrasi yang cepat antibiotik spektrum luas secara intravena

Page 22: BAB 9 jadi

diikuti dengan evakuasi uterus. Dengan sindroma sepsis berat, sindroma respirasi

akut atau disseminated intravascular coagulopathy dapat terjadi, dan perawatan

suportif penting (lihat Bab 42, Sindroma Sepsis).

Pada masa lalu, aborsi kriminalis dan aborsi inkomplit yang dibiarkan menjadi

terinfeksi oleh yang dalam keadaan lain adalah bakteri komensal vagina yang non-

virulen seperti Clostridium perfringens. Hal ini hampir menghilang setelah aborsi

dilegalisasi. Namun, pada tahun 2005, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit

melaporkan empat kematian yang berkaitan dengan aborsi medis yang diakibatkan

toxic shock syndrome yang disebabkan infeksi Clostridium sordellii. Fischer dan

rekan – rekan (2005) menjelaskan dengan rinci infeksi ini dan menjelaskan

manifestasi klinis yang dimulai dalam 1 minggu setelah aborsi yang diinduksi

secara medis. Penandanya adalah cedera endotel yang berat dengan kebocoran

kapiler dan hemokonsentrasi, hipotensi, dan leukositosis dalam jumlah besar.

Sejak saat itu, Cohen dan rekan – rekan (2007) melaporkan empat kasus

lainnya―dua dengan C. sordellii dan dua dengan C. perfringens—yang terjadi

setelah aborsi spontan atau yang diinduksi. Dua fatal. Daif dan rekan – rekan

(2009) menjelaskan sebuah kasus tentang necrotizing fasciitis dan toxic shock

syndrome yang disebabkan oleh infeksi streptococcus grup A setelah aborsi medis

elektif.

Manajemen

Dengan kematian embryofetal saat ini mudah untuk dipastikan dengan tekhnologi

sonography saat ini, manajemen dapat lebih diindividualisasi. Manajemen

kehamilan, medis, dan pembedahan semuanya merupakan pilihan yang masuk

akal kecuali terdapat perdarahan berat atau infeksi. Penanganan pembedahan

definitif dan diprediksi, namun merupakan prosedur yang invasif dan tidak

diperlukan pada semua wanita. Manajemen kehamilan dan medis dapat

menghindarkan kuretase, namun berasosiasi dengan perdarahan yang tidak dapat

diprediksi, dan beberapa wanita akan membutuhkan pembedahan mendadak.

Sebagai contoh, dalam penelitian observasional oleh Luise dan rekan – rekan

Page 23: BAB 9 jadi

(2002), 81 persen dari hampir 1100 wanita dengan dicurigai keguguran pada

trimester pertama melaporkan resolusi spontan.

Sejumlah penelitian randomisasi telah dilakukan untuk mengevaluasi metode –

metode ini. Namun, pada banyak kasus, penelitian tersebut tidak dapat

dibandingkan karena kriteria yang berbeda digunakan untuk inklusi, dan berbagai

protokol dilakukan. Sebagai contoh, pengosongan uterus dengan terapi medis

untuk kegagalan kehamilan awal memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi

pada mereka dengan perdarahan vagina dibandingkan dengan wanita dengan

gestasi yang lebih “utuh” (Creinin dan rekan – rekan, 2006). Dari penelitian yang

ditulis dalam Tabel 9-2, beberapa generalisasi dapat dibuat:

1. Sukses bergantung pada jenis kegagalan kehamilan awal.

2. Dengan aborsi inkomplit spontan, manajemen kehamilan menyebabkan

penyelesaian spontan pada sekitar setengah kasus.

3. Untuk kegagalan kehamilan awal, yang tidak ditetapkan lebih lanjut,

PGE1 diberikan secara oral atau melalui vagina efektif pada sekitar 85

persen untuk aborsi komplit dalam 7 hari.

4. Kuretase merupakan resolusi cepat yang hampir berhasil 100-persen dalam

menyelesaikan kegagalan kehamilan awal.

Tabel 9-2. Beberapa Penelitian Randomisasi Terkontrol untuk Manajemen Kehilangan

Kehamilan Awal.

Penelitian Jenis Aborsi Treatment Arms Hasil

Blohm et al

(2005)

“Tanda – tanda

keguguran” (n

= 126)

1. Placebo

2. PGE1, 400 μg

per vaginam

54% selesai dalam 7 hari

81% selesai dalam 7

hari; lebih nyeri, lebih

banyak analgesik

Trinder et al

(2006)

SAB inkomplit

atau missed (n

= 1200)

1. Expectant

2. PGE1, 800 μg

per vaginam ± 200

mg mifepristone

3. Suction

50% kuretase

2% transfusi

38% kuretase

1% transfusi

5% kuretase ulang

Page 24: BAB 9 jadi

curettage

Zhang et al

(2005)

Kegagalan

kehamilana (n

= 652)

1. PGE1, 800 μg

per vaginam

2. Aspirasi

vacuum

71% selesai dalam 3

hari; 84% dalam 8 hari;

16% gagal

97% berhasil

Weeks et al

(2005)

SAB inkomplit

(n = 312)

1. PGE1, 600 μg

per vaginam

2. Aspirasi

vacuum

96% berhasil; 1%

komplikasi

92% berhasil; 10%

komplikasi

Dao et al

(2007)

SAB inkomplit

(n = 447)

1. PGE1, 600 μg

per oral

2. Aspirasi

vacuum

95% selesai

99% selesai

Shwekerela

et al (2007)

SAB inkomplit

(n = 300)

1. PGE1, 600 μg

per oral

2. Aspirasi

vacuum

99% selesai

100% selesai

a Termasuk gestasi anembryonic, kematian embryonic atau fetus, atau SAB

inkomplit atau inevitable SAB. PGE1 = Prostaglandin E1; SAB = Abortus

spontan

Oleh karena itu, terdapat beberapa pilihan manajemen yang dapat dipilih oleh

wanita dan ahli ginekologinya. Tentu saja, dengan perdarahan yang berbahaya

atau infeksi, penyelesaian aborsi yang sempurna―baik secara medis maupun atau

pembedahan―dibutuhkan.

KEGUGURAN REKUREN

Ini juga disebut sebagai aborsi spontan rekuren dan kehilangan kehamilan

rekuren. Secara klasik hal ini didefinisikan sebagai tiga atau lebih kehilangan

kehamilan pada 20 minggu atau kurang atau dengan berat fetus kurang dari 500

gram. Sebagian besar wanita dengan keguguran rekuren mengalami hilangnya

Page 25: BAB 9 jadi

embryonic atau fetus awal, dan minoritas dari kehilangan ini adalah setelah 14

minggu. Walaupun definisi termasuk tiga atau lebih keguguran, banyak yang

setuju bahwa evaluasi setidaknya harus dipertimbangkan setelah dua kehilangan

berturut – turut. Hal ini dikarenakan resiko kehilangan berikutnya setelah dua

keguguran yang berurutan serupa dengan yang mengikuti tiga keguguran―sekitar

30 persen (Harger dan rekan – rekan, 1983). Sesungguhnya, kesempatan untuk

kehamilan yang berhasil dapat mencapai 50 persen bahkan setelah enam

keguguran (Poland dan rekan kerja, 1977; Warburton dan Fraser, 1964).

Keguguran berulang sebaiknya dibedakan dari kehilangan kehamilan yang

sporadic yang dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Kehilangan yang sporadic

mengimplikasikan bahwa kehamilan yang diintervensi telah menghasilkan bayi

yang sehat. Yang lain membedakan keguguran rekuren primer―tidak ada

kehamilan yang berhasil―dari keguguran rekuren sekunder―satu lahir hidup

sebelumnya―karena kelompok yang terakhir tidak mencapai resiko kehilangan

berikutnya 32 persen hingga setelah tiga keguguran. Oleh karena itu, beralasan

untuk menunda evaluasi kehilangan rekuren sekunder hingga tiga kehilangan

berurutan (Poland dan rekan kerja, 1977).

Penyebab keguguran rekuren parallel dengan penyebab keguguran sporadic,

walaupun insidensi relatif berbeda di antara dua kategori. Sebagai contoh,

kehilangan trimester-pertama dengan keguguran rekuren memiliki insidensi

anomali genetik yang secara signifikan lebih rendah (Sullivan dan rekan – rekan,

2004). Dalam satu seri, karyotypes diidentifikasi dalam setengah dari keguguran

berulang namun hanya seperempat pada kehilangan sporadic. Waktu kehilangan

kehamilan dapat menyediakan petunjuk penyebabnya, sedangkan abnormalitas

autoimun atau anatomis lebih mungkin untuk menyebabkan kehilangan dalam

trimester-kedua (Schust dan Hill, 2002).

Abnormalitas Kromosom Orangtua

Walaupun hal ini bertanggung jawab hanya pada 2 hingga 4 persen dari

keguguran rekuren, evaluasi karyotypic pada kedua orang tua tetap merupakan

bagian penting evaluasi. Therapel dan rekan – rekan (1985) meringkas data dari

Page 26: BAB 9 jadi

79 penelitian terhadap pasangan dengan dua atau lebih keguguran. Hal ini

termasuk 8208 wanita dan 7834 pria, dan abnormalitas kromosom dideteksi pada

2,9 persen―insidensi yang lima kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.

Rasio abnormalitas wanita-terhadap-pria diperkirakan 2:1. Translokasi timbal –

balik yang seimbang bertanggung jawab untuk 50 persen dari abnormalitas yang

diidentifikasi; translokasi Robertsonian untuk 24 persen; mosaicism kromosom X

seperti 47,XXY―Klinefelter syndrome―untuk 12 persen; dan inversi dan

berbagai anomali lainnya menduduki sisanya. Sebaliknya, Hogge dan rekan –

rekan (2007) melaporkan bahwa kehilangan kehamilan rekuren tidak

diasosiasikan dengan inaktivasi-X yang tidak simetris―penghilangan transkripsi.

Pewarisan sindroma translokasi didiskusikan dengan rinci dalam Bab 12,

Translokasi Kromosom. Secara singkat, jika satu orangtua membawa translokasi

yang seimbang, hasil karyotype kehamilan dapat normal, translokasi seimbang

yang sama, atau translokasi yang tidak seimbang. Translokasi yang seimbang

tampaknya menyebabkan keguguran rekuren selanjutnya pada keturunannya.

Translokasi yang tidak seimbang dapat menghasilkan keguguran, anomali fetus,

atau lahir mati. Namun, secara keseluruhan, prognosis bagus. Franssen dan rekan

– rekan (2006) meneliti 247 pasangan dengan translokasi yang seimbang dan

melaporkan bahwa hampir 85 persen setidaknya memiliki satu bayi yang sehat.

Dengan demikian, riwayat keguguran trimester-kedua atau anomali fetus

sebaiknya menimbulkan kecurigaan bahwa pola kromosom yang abnormal ada

pada salah satu orangtua. Pasangan dengan karyotype yang abnormal sebaiknya

ditawarkan konsultasi genetik pre-implantasi (Bab 13, Diagnosis Genetik Pre-

Implantasi).

Faktor Anatomi

Sejumlah abnormalitas anatomis traktus genital telah diimplikasikan dalam

keguguran rekuren. Menurut Devi Wold dan rekan – rekan (2006), 15 persen

wanita dengan tiga atau lebih keguguran konsekutif memiliki anomali uterus

kongenital atau didapat. Pada intinya hal ini sama dengan yang diasosiasikan

dengan seluruh keguguran dan didiskusikan dalam Defek Uterus. Mereka juga

Page 27: BAB 9 jadi

didiskusikan secara rinci dalam Bab 40. Mereka termasuk abnormalitas uterus

yang didapat seperti synechiae intrauterin―sindroma Asherman, leiomyoma, dan

inkompetensi cervix. Defek perkembangan termasuk septa, bicornuate, dan

unicornuate uterus serta uterus didelphy. Juga termasuk adalah abnormalitas yang

berasosiasi dengan paparan DES in utero.

Frekuensi anomali – anomali ini pada wanita dengan keguguran rekuren

bervariasi luas tergantung pada dalamnya evaluasi dan kriteria yang ditetapkan

untuk abnormalitas. Salim dan rekan – rekan (2003) menjelaskan hampir 2500

wanita yang disaring untuk anomali perkembangan uterus menggunakan

sonography tiga dimensi. Anomali diidentifikasi dalam 24 persen wanita dengan

keguguran rekuren, namun hanya pada 5 persen kontrol normal. Dalam penelitian

lain pada wanita dengan keguguran rekuren, prevalensi anomali uterus telah

diperkirakan hanya sekitar 7 hingga 15 persen (Ashton dan rekan kerja, 1988;

Makino dan rekan – rekan, 1992).

PENANGANAN

Seperti yang didiskusikan dalam Defek Uterus, bukti tidak kuat untuk

mengkaitkan anomali anatomis ini dengan kehilangan kehamilan awal. Oleh

karena itu sulit untuk membuktikan bahwa koreksi terhadap anomali tersebut

meningkatkan hasil kehamilan (American College of Obstetricians and

Gynecologists, 2001). Terdapat penelitian retrospektif untuk mendukung koreksi

pada beberapa anomali. Saygili-Yilmaz dan rekan – rekan (2003) mengulas hasil

kehamilan setelah hysteroscopic metroplasty pada wanita – wanita yang memiliki

septate uterus dan lebih dari dua keguguran sebelumnya. Pada 59 wanita seperti

tersebut, insidensi keguguran menurun dari 96 menjadi 10 persen setelah operasi,

dan isitilah kehamilan meningkat dari tidak ada menjadi 70 persen (Saygili-

Yilmaz dan rekan – rekan, 2002).

Untuk synechiae uterus, hysteroscopic lysis lebih dipilih dibandingkan kuretase.

Katz dan rekan – rekan (1996) melaporkan 90 wanita dengan synechiae yang

setidaknya mengalami dua keguguran sebelumnya atau kematian perinatal

preterm atau keduanya. Dengan adhesiolysis, angka keguguran menurun dari 79

Page 28: BAB 9 jadi

menjadi 22 persen, dan istilah kehamilan meningkat dari 18 hingga 69 persen.

Penelitian – penelitian lain telah melaporkan hasil yang serupa (Al-Inany, 2001;

Goldenberg dan rekan – rekan, 1995).

Seperti yang didiskusikan dalam Bab 40, Pengaruh Myoma pada Kehamilan,

merupakan pertentangan apakah myoma submukosa menyebabkan keguguran

rekuren lebih dari jarang. Jika simtomatik, sebagian besar setuju bahwa fibroid

submukosa dan intracavitas sebaiknya dieksisi. Pada penelitian – penelitian pada

wanita yang menjalani fertilisasi in vitro, hasil kehamilan sangat dipengaruhi oleh

myoma submukosa, namun tidak oleh myoma subserosa atau intramural dan

kurang dari 5 hingga 7 cm (Jun dan rekan kerja, 2001; Ramzy dan rekan – rekan,

1998).

Faktor Imunologis

Dalam analisa dari penelitian – penelitian yang dipublikasikan, Yetman dan

Kutteh (1996) menetapkan bahwa 15 persen dari lebih dari 1000 wanita dengan

keguguran rekuren memiliki faktor – faktor autoimun yang dikenali. Dua model

patofisiologis primer adalah teori autoimun―imunitas yang melawan diri sendiri,

dan teori alloimun―imunitas terhadap orang lain.

FAKTOR AUTOIMUN

Keguguran lebih umum pada wanita – wanita dengan systemic lupus

erythematosus (Warren and Silver, 2004). Beberapa dari wanita ini memiliki

antibodi antiphospholipid, yang mana merupakan keluarga autoantibody yang

berikatan ke phospholipid yang bermuatan negatif, protein pengikat phospholipid,

atau kombinasi dari keduanya (Branch and Khamashta, 2003; Carp dan rekan –

rekan, 2008). Mereka juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang, pada

hingga 5 persen dari wanita hamil normal, lupus anticoagulant (LAC) dan

anticardiolipin antibody (ACA) telah dikaitkan dengan kehamilan terbuang yang

berlebih. Alih – alih menyebabkan keguguran, mereka lebih mungkin ditemukan

pada kematian fetus setelah pertengahan kehamilan. Karena hal ini, kematian

fetus merupakan satu keriteria untuk diagnosis antiphospholipid syndrome

Page 29: BAB 9 jadi

(American College of Obstetricians and Gynecologists, 2005a). Hal ini

didiskusikan dalam Bab 47, Antibodi Antiphospholipid dan ditulis dalam Tabel

47-3. Ini merupakan satu – satunya kondisi autoimun yang dapat berkorelasi

dengan hasil kehamilan yang buruk. Wanita dengan riwayat kehilangan fetus awal

dan kadar antibodi yang tinggi dapat memiliki angka keguguran rekuren 70-

persen (Dudley dan Branch, 1991). Antibodi terhadap β2-glikoprotein dapat

terutama bermasalah, namun tidak untuk phosphatidyl serine (Alijotas-Reig dan

rekan – rekan, 2008, 2009).

Dalam penelitian retrospektif dari 860 wanita yang disaring untuk antibodi

anticardiolipin pada trimester pertama, Yasuda dan rekan – rekan (1995)

melaporkan bahwa 7 persen memiliki hasil positif. Keguguran terjadi pada 25

persen dari kelompok antibodi-positif, dibandingkan dengan hanya 10 persen dari

kelompok negatif. Namun, pada penelitian lain, Simpson dan rekan – rekan

(1998) tidak menemukan asosiasi antara kehilangan kehamilan awal dan

keberadaan baik antibodi anticardiolipin atau lupus anticoagulant.

Penanganan

Terdapat regimen pengobatan untuk sindroma antiphospholipid yang

meningkatkan angka kelahiran hidup. Kutteh (1996) merandomisasi 50 wanita

yang terkena untuk menerima aspirin dosis rendah saja atau aspirin dosis rendah

serta heparin. Wanita yang menerima baik aspirin dan heparin memiliki

persentase bayi yang viabel yang secara signifikan lebih besar―80 versus 44

persen, secara berurutan. Rai dan rekan – rekan (1997) melaporkan angka 77-

persen kelahiran hidup pada wanita yang dirandomisasi untuk diberikan terapi

aspirin dosis rendah disertai heparin yang tidak difraksinasi dosis rendah―5000

unit dua kali sehari―versus 42 persen dengan aspirin saja. Sebaliknya,

Farquharson dan rekan – rekan (2002) melaporkan angka 72-persen kelahiran

hidup hanya menggunakan aspirin dosis rendah saja, yang serupa dengan 78-

persen pada wanita yang diberikan aspirin dosis rendah disertai heparin dengan

berat molekul rendah dosis rendah.

Page 30: BAB 9 jadi

Seperti yang ditekankan oleh Branch dan Khamashta (2003), laporan – laporan

yang tidak sesuai membingungkan, dan petunjuk terapeutik tidak jelas. American

College of Obstetricians and Gynecologists (2005a) merekomendasikan aspirin

dosis rendah―81 mg secara oral per hari, bersama dengan heparin yang tidak

difraksinasi―5000 unit secara subcutaneous, dua kali sehari. Terapi ini, dimulai

ketika kehamilan didiagnosa, dilanjutkan hingga persalinan. Walaupun

penanganan ini dapat meningkatkan keberhasilan keseluruhan kehamilan, para

wanita ini tetap berada dalam resiko tinggi untuk terjadinya persalinan preterm,

ruptur membran yang prematur, restriksi pertumbuhan fetus, preeclampsia, dan

abruptio placentae (Backos dan colleagues, 1999; Rai dan rekan kerja, 1997).

Sebagai tambahan terhadap antibodi IgG dan IgM anticardiolipin, terdapat

antibodi idiotypes yang diarahkan pada sejumlah besar lipid (Bick dan Baker,

2006). Pengukuran mereka mahal, seringkali tidak terkontrol dengan baik, dan

tidak memiliki relevansi yang pasti dalam diagnosis keguguran rekuren. Hasilnya

juga tidak konklusif mengenai pengujian antibodi lain termasuk faktor

rheumatoid, antibodi antinuclear, dan antibodi antithyroid.

FAKTOR ALLOIMUN

Terdapat kesan bahwa kehamilan normal membutuhkan formasi faktor – faktor

yang penangkal yang mencegah rejeksi maternal terhadap antigen asing fetus

yang berasal dari paternal. Seorang wanita tidak akan memproduksi serum faktor

penangkal ini jika dia memiliki human leukocyte antigens (HLAs) yang

menyerupai antigen suaminya. Kelainan alloimun lainnya telah dikemukakan

menyebabkan keguguran rekuren, termasuk aktivitas sel natural killer (NK) yang

berubah dan peningkatan antibodi lymphocytotoxic. Sejumlah terapi untuk

memperbaiki kelainan – kelainan ini telah disarankan, termasuk penggunaan

imunisasi sel-paternal, leukosit donor pihak ketiga, infus membran trophoblast,

dan immunoglobulin intravena. Sebagian besar dari terapi ini tidak bertahan

terhadap pengawasan yang ketat, beberapa berpotensi berbahaya, dan oleh

karenanya kami setuju dengan Scott (2003) bahwa immunotherapy tidak

direkomendasikan. Satu kemungkinan perkecualian adalah terapi immunoglobulin

Page 31: BAB 9 jadi

intravena untuk keguguran rekuren sekunder―wanita dengan kehilangan

kehamilan awal rekuren setelah kelahiran yang berhasil sebelumnya (Hutton dan

rekan – rekan, 2007).

Thrombophilia yang Diwariskan

Ini merupakan faktor pembekuan abnormal yang ditentukan secara genetik yang

dapat menyebabkan thrombosis patologis dari ketidakseimbangan antara jalur

pembekuan dan antikoagulasi. Hal ini didiskusikan dengan rinci dalam Bab 47,

dan aksi mereka ditunjukkan dalam Gambar 47-1. Yang paling diteliti secara luas

termasuk resistensi terhadap protein C yang teraktivasi (aPC) yang disebabkan

oleh mutasi faktor V Leiden atau lainnya; penurunan atau ketiadaan aktivitas

antithrombin III; mutasi gen prothrombin; dan mutasi dalam gen untuk methylene

tetrahydrofolate reductase yang menyebabkan peningkatan peningkatan kadar

serum homocysteine—hyperhomocysteinemia.

Carp dan rekan – rekan (2002) dan Adelberg dan Kuller (2002) memberikan

keraguan mengenai pentingnya thrombophilia yang diwariskan dalam keguguran

awal. Seperti perfusi plasenta minimal dalam kehamilan yang sangat muda,

thrombophilia dapat memiliki implikasi klinis yang lebih besar nantinya dalam

kehamilan. Dalam meta-analisis dari 31 penelitian oleh Rey dan rekan – rekan

(2003), keguguran rekuren paling dekat diasosiasikan dengan faktor V Leiden dan

mutasi gen prothrombin. Subyek tersebut baru – baru ini diulas oleh Kutteh dan

Triplett (2006) serta Bick dan Baker (2006). Setelah ulasan Cochrane Database

mereka, Kaandorp dan rekan kerja (2009) menyimpulkan bahwa wanita – wanita

dengan keguguran rekuren dan thrombophilia tidak mengalami keuntungan dari

terapi aspirin atau heparin.

Faktor Endokrin

Penelitian yang mengevaluasi hubungan antara abnormalitas berbagai

endokrinologis tidak konsisten dan secara umum tidak berkekuatan (American

College of Obstetricians and Gynecologists, 2001). Menurut Arredondo dan

Page 32: BAB 9 jadi

Noble (2006), 8 hingga 12 persen dari 8 keguguran rekuren adalah hasil dari

faktor endokrin.

DEFISIENSI PROGESTERON

Juga disebut defek fase luteal, sekresi progesteron yang tidak mencukupi oleh

corpus luteum atau plasenta telah dikemukakan menyebabkan keguguran. Namun,

defisiensi produksi progesteron, dapat merupakan konsekuensi daripada penyebab

dari kegagalan kehamilan awal (Salem dan rekan – rekan, 1984). Kriteria

diagnostik dan keberhasilan terapi untuk kelainan yang diajukan ini membutuhkan

validasi (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2001). Jika

corpus luterum diangkat dengan operasi, seperti tumor ovarium, penggantian

progesteron diindikasikan dalam kehamilan – kehamilan kurang dari 8 hingga 10

minggu (lihat Pembedahan Maternal).

SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Karena oligo- atau anovulasi, wanita – wanita ini subfertil. Ketika hamil. juga

terdapat peningkatan resiko untuk keguguran, namun ini kontroversial

(Cocksedge dan rekan – rekan, 2008). Dua kemungkinan mekanisme yang telah

diajukan adalah elevasi dalam hormon luteinizing (LH) dan pengaruh langsung

hyperinsulinemia pada fungsi ovarium. Jika konsentrasi LH yang meningkat

menyebabkan keguguran, maka inhibisi hormon ini selama siklus induksi ovulasi

gonadotropin dapat menurunkan angka keguguran. Namun, dalam percobaan yang

terkontrol oleh Clifford dan rekan kerja (1996), hal ini tidak memperbaiki hasil

kehamilan. Data yang mengimplikasikan hyperinsulinemia dalam kehilangan

kehamilan agak lebih kuat. Dalam dua penelitian, angka keguguran menurun

dengan pengobatan metformin sebelum dan selama kehamilan (Glueck dan rekan

– rekan, 2002; Jakubowicz dan rekan – rekan, 2002). Melanjutkan metformin

selama kehamilan telah ditunjukkan juga mengurangi insidensi diabetes

gestasional yang membutuhkan insulin serta restriksi pertumbuhan fetus secara

signifikan.

Page 33: BAB 9 jadi

DIABETES MELLITUS

Angka aborsi spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita –

wanita dengan diabetes dependen-insulin (lihat Bab 7, Diabetes Mellitus). Resiko

ini juga berkaitan dengan tingkat kontrol metabolik dalam awal kehamilan.

Menyerupai dengan wanita dengan sindroma polikistik ovarium, beberapa wanita

dengan keguguran rekuren telah dilaporkan meningkatkan resistensi insulin (Craig

dan rekan – rekan, 2002). Kehilangan kehamilan akibat diabetes yang tidak

terkontrol dengan baik berkurang secara substansial dengan kontrol metabolik

yang optimal (lihat Bab 52, Persalinan Preterm).

HYPOTHYROIDISME

Beberapa defisiensi iodine diasosiasikan dengan kehilangan awal kehamilan yang

berlebih (lihat Hypothyroidisme). Defisiensi hormon thyroid dari penyebab

autoimun umum pada wanita, namun pengaruhnya dalam keguguran belum

dipelajari dengan adekuat. Dan walaupun autoantibody thyroid diasosiasikan

dengan peningkatan insidensi aborsi spontan, pengaruh mereka dalam keguguran

rekuren kurang meyakinkan (Abramson dan Stagnaro-Green, 2001; Lakasing dan

Williamson, 2005). Dalam penelitian pada 870 wanita dengan keguguran rekuren,

Rushworth dan rekan – rekan (2000) melaporkan bahwa mereka dengan antibodi

antithyroid juga mungkin untuk memperoleh kelahiran hidup seperti yang tanpa

antibodi.

Karena tidak jelas apakah penyakit thyroid menyebabkan keguguran yang

rekuren, American College of Obstetricians and Gynecologists (2001)

menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi untuk penyaringan wanita asimtomatik.

Sebaliknya, hypothyroidisme yang jelas dapat sulit untuk mendeteksi secara

klinis, pengujian tidak mahal, dan pengobatan sangat efektif. Oleh karena itu,

kami merekomendasikan penyaringan thyroid-stimulating hormone (TSH) untuk

wanita – wanita dengan keguguran rekuren.

Infeksi

Page 34: BAB 9 jadi

Sangat sedikit infeksi dibuktikan dengan kuat menyebabkan kehilangan awal

kehamilan (lihat Infeksi). Lebih jauh lagi, jika salah satu infeksi tersebut

diasosiasikan dengan keguguran, mereka bahkan kurang mungkin menyebabkan

keguguran rekuren karena anitbodi maternal biasanya berkembang dengan infeksi

primer.

Evaluasi dan Manajemen

Waktu dan tingkatan evaluasi wanita – wanita dengan keguguran rekuren

berdasarkan pada usia maternal, infertilitas yang menyertai, gejala, dan tingkat

kegelisahan. Dengan temuan yang dinyatakan normal, kami melakukan sedikit tes

untuk memasukkan parental karyotyping, evaluasi cavitas uterus, dan pengujian

untuk sindroma antibodi antiphospholipid. Diperkirakan setengah pasangan

dengan keguguran rekuren akan menemukan tidak adanya penjelasan. Meskipun

demikian, prognosis mereka masuk akal. Meta-analisis oleh Jeng dan rekan –

rekan (1995) dari penelitian randomisasi, prospektif dari pasangan – pasangan

dengan keguguran rekuren yang tidak dapat dijelaskan menetapkan bahwa 60

hingga 70 persen memiliki kehamilan berikutnya yang berhasil dengan tanpa

penanganan.

ABORSI YANG DIINDUKSI

Aborsi yang diinduksi adalah terminasi kehamilan medis atau pembedahan

sebelum waktu viabilitas fetus. Pada tahun 2005, sejumlah 1,22 juta aborsi legal

dilaporkan ke Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (Gamble dan rekan –

rekan, 2008). Total telah menurun setiap tahunnya sejak 2002, namun ini

setidaknya sebagian disebabkan oleh klinik – klinik yang tidak konsisten

melaporkan aborsi yang diinduksi secara medis (Strauss dan rekan – rekan, 2007).

Rasio aborsi adalah 238 aborsi per 1000 lahir hidup, dan angka aborsi adalah 16

per 1000 wanita berusia 15 hingga 44 tahun. Setengah dari wanita ini adalah 24

tahun atau lebih muda, 80 persen tidak menikah, dan 53 persen adalah Caucasia.

Diperkirakan 60 persen aborsi dilakukan selama 8 minggu pertama, dan 88 persen

selama 12 minggu pertama kehamilan.

Page 35: BAB 9 jadi

Klasifikasi

ABORSI TERAPEUTIK

Terdapat sejumlah kelainan medis dan pembedahan yang merupakan indikasi

untuk terminasi kehamilan. Contoh termasuk dekompesasi cardiac persisten,

terutama dengan hipertensi pulmoner yang terfiksir, penyakit vaskular hipertensi

yang berkembang atau diabetes, dan keganasan. Dalam kasus – kasus

pemerkosaan atau incest, sebagian besar mempertimbangkan terminasi wajar.

Indikasi yang paling umum adalah untuk mencegah kelahiran fetus dengan

deformitas anatomis, metabolik, atau mental yang signifikan. Keseriusan

deformitas fetus memiliki rentang yang luas dan seringkali melanggar klasifikasi

social, legal, atau politik.

ABORSI ELEKTIF (VOLUNTER)

Interupsi kehamilan sebelum viabilitas berdasarkan permintaan wanita, namun

tidak untuk alasan medis, biasanya diistilahkan aborsi elektif atau volunter.

Prosedur ini merupakan sebagian besar dari aborsi yang dilakukan saat ini, dan

menurut Laporan Statistik Vital Nasional. diperkirakan satu kehamilan

diterminasi elektif untuk setiap empat kelahiran hidup di Amerika Serikat

(Ventura dan rekan – rekan, 2008). Dewan Eksekutif American College of

Obstetricians and Gynecologists (2004) mendukung hak legal wanita untuk

memperoleh aborsi sebelum viabilitas fetus dan memperimbangkan ini sebagai

masalah medis anatara wanita dan dokternya.

Aborsi di Amerika Serikat

Pada tahun 1973, Pengadilan Tertinggi Amerika Serikat melegalisasi aborsi.

Hingga saat itu, hanya aborsi terpeutik yang dapat dilakukan secara legal pada

sebagian besar negara bagian. Definisi paling umum dari aborsi terapeutik hingga

saat itu adalah terminasi kehamilan sebelum viabilitas fetus yang bertujuan

menyelamatkan nyawa ibu. Beberapa negara bagian mengembangkan hukumnya

menjadi “untuk mencegah cedera tubuh yang serius atau permanen terhadap ibu”

Page 36: BAB 9 jadi

atau “untuk menjaga kehidupan atau kesehatan wanita.” Beberapa negara bagian

mengijinkan aborsi jika kehamilan tampaknya menyebabkan kelahiran bayi

dengan malformasi yang berat.

Legalitas aborsi elektif ditetapkan oleh Pengadilan Tertinggi dalam kasus Roe v.

Wade. Pengadilan mendefinisikan jangkauan hingga mana negara bagian dapat

mengatur aborsi:

1. Untuk tahap sebelum kira – kira akhir trimester pertama, keputusan aborsi

dan prosedur harus diserahkan pada keputusan medis oleh dokter yang

merawat.

2. Untuk tahap setelah kira – kira akhir trimester pertama, Negara Bagian,

dalam mempromosikan kepeduliannya terhadap kesehatan ibu, dapat, jika

memutuskan, mengatur prosedur aborsi dalam cara yang cukup terkait

dengan kesehatan ibu.

3. Untuk tahap selanjutnya untuk kelangsungan hidup, Negara Bagian, dalam

mempromosikan kepeduliannya dalam potensi kehidupan manusia, dapat

jika memutuskan, dalam keputusan medis yang sesuai, untuk

menyelamatkan kehidupan atau kesehatan ibu.

Sejak 1973, beberapa keputusan Pengadilan Tertinggi patut dikutip. Borgmann

dan Jones (2000) telah mengulas secara ekstensif masalah hukum ini. Kasus

banding ini berawal dari undang – undang, baik negara bagian maupun nasional,

yang diperkenalkan atau ditetapkan untuk mengatur atau melepaskan tiga

ketetapan di atas. Secara umum, percobaan – percobaan ini tidak berhasil hingga

1989. Pada saat itu, Pengadilan Tertinggi menyetujui kasus Webster v. Pelayanan

Kesehatan Reproduksi bahwa negara bagian dapat menempatkan restriksi yang

menghalangi ketentuan pelayanan aborsi dalam hal – hal berikut seperti periode

menunggu, syarat spesifik informed consent, notifikasi parental/pasangan, dan

kebutuhan rumah sakit. Berdasarkan keputusan ini, sekarang terdapat pembatasan

individu yang membatasi pilihan dan akses ke pelayanan aborsi. Dalam satu

contoh, keputusan untuk menegakkan pemberitahuan ke orang tua di Texas pada

2000 diasosiasikan dengan penurunan angka aborsi namun secara bersamaan

Page 37: BAB 9 jadi

meningkatkan kelahiran yang tidak diinginkan di antara usia 17 tahun (Joyce dan

rekan – rekan, 2006).

Keputusan yang membatasi pilihan lainnya saat ini adalah keputusan federal yang

melarang aborsi lahir parsial yang tidak ditetapkan dengan baik. Hukum ini

berada di bawah tantangan dari beberapa pihak. Pengadilan Tertinggi pada 2007

melakukan voting 5 berbanding 4 untuk menegakkan Keputusan Larangan Aborsi

Lahir Parsial 2003 dalam ulasannnya mengenai Gonzales v. Carhart dari

Nebraska. Hal ini diikuti oleh editorial di New England Journal of Medicine yang

menyesali lebih banyaknya gangguan dari pemerintah dalam praktek medis serta

“memotong hak wanita” yang dijelaskan oleh Justice Ginsburg dalam opini tidak

setujunya (Charo, 2007; Greene, 2007). Opini mereka sejalan dengan American

College of Obstetricians and Gynecologists (2004) yang menyatakan: Intervensi

badan – badan legislatif dalam pembuatan keputusan medis tidak pantas, tidak

disarankan, dan berbahaya.

Konseling Sebelum Aborsi Elektif

Tiga pilihan tersedia untuk wanita yang mempertimbangkan aborsi termasuk

melanjutkan kehamilan dengan resiko – resikonya dan tanggung jawab orang tua;

melanjutkan kehamilan dengan resiko – resikonya dan tanggung jawab pengaturan

adopsi; atau pilihan aborsi dengan resiko – resikonya. Konsulen yang

berpengetahuan luas dan berbelas kasih sebaiknya menjelaskan dengan obyektif

dan memberikan informasi mengenai pilihan – pilihan ini sehingga wanita atau

pasangan dapat membuat keputusan.

Tekhnik untuk Aborsi Awal

Aborsi dapat dilakukan baik secara medis maupun pembedahan dengan beberapa

tekhnik yang ditunjukkan dalam Tabel 9-3. Bentuk klinis yang berbeda dari tiap

tekhnik ditunjukkan dalam Tabel 9-4. Paul dan rekan – rekan (1999) meringkas

dengan rinci beberapa tekhnik aborsi. Kehamilan trimester pertama dapat diangkat

melalui pembedahan dengan kuretase uterus atau dengan sejumlah regimen medis.

Page 38: BAB 9 jadi

Tabel 9-3. Tekhnik Aborsi

Tekhnik Bedah

Dilatasi cervix yang diikuti dengan evakuasi uterus

Kuretase

Aspirasi vacuum (suction curettage)

Dilatasi dan evakuasi (D&E)

Dilatasi dan ekstraksi (D&X)

Aspirasi menstruasi

Laparotomy

Hysterotomy

Hysterectomy

Tekhnik Medis

Oxytocin intravena

Cairan hyperosmotik intra-amnion

20-persen saline

30-persen urea

Prostaglandins E2, F2β, E1, dan analognya

Injeksi intra-amnion

Injeksi extraovular

Insersi vagina

Injeksi parenteral

Ditelan secara oral

Antiprogesterone—RU 486 (mifepristone) dan epostane

Methotrexate—intramuscular dan oral

Berbagai kombinasi di atas

Tabel 9-4. Bentuk Aborsi Medis dan Pembedahan

Aborsi Medis Aborsi Pembedahan

Biasanya menghindari prosedur invasif Melibatkan prosedur invasif

Biasanya menghindari anestesi Memberi kesempatan penggunaan

Page 39: BAB 9 jadi

sedasi jika diinginkan

Membutuhkan dua atau lebih

kunjungan

Biasanya membutuhkan satu kunjungan

Beberapa hari atau minggu untuk

selesai

Selesai dalam periode waktu yang dapat

diprediksi

Tersedia selama kehamilan awal Tersedia selama kehamilan awal

Angka kesuksesan tinggi (~95 persen) Angka kesuksesan tinggi (~99 persen)

Perdarahan moderat hingga berat untuk

waktu yang pendek

Perdarahan umumnya dirasakan ringan

Membutuhkan follow-up untuk

memastikan selesainya aborsi

Tidak membutuhkan follow-up pada

seluruh kasus

Membutuhkan partisipasi pasien

sepanjang proses yang terdiri dari

beberapa langkah

Partisipasi pasien dalam proses tunggal

Dicetak ulang, dengan ijin, dari American College of Obstetricians and

Gynecologists. Medical management of abortion. ACOG Practice Bulletin 67.

Washington, DC: ACOG; 2005

PELATIHAN RESIDENSI DALAM TEKHNIK ABORSI

Karena aspek kontroversialnya yang melekat, pelatihan aborsi untuk residen

dalam obstetri dan ginekologi telah diperjuangkan dan ditentang. American

College of Obstetricians and Gynecologists (2009) mendukung pelatihan aborsi

untuk residen. Dalam beberapa program, seperti Universitas California di San

Fransisko, pelatihan spesial aborsi 6 minggu elektif untuk staff diimplementasikan

pada tahun 1980. Dari 1998 hingga 2003, 40 residen menyelesaikan pelatihan dan

tidak ada yang dikeluarkan dari rotasi (Steinauer dan rekan – rekan, 2005b).

Program – program lain, seperti milik kami di Rumah Sakit Parkland Memorial,

mengajarkan para residen aspek tekhnik aborsi dengan manajemen awal missed

abortion serta interupsi kehamilan untuk kematian fetus, anomali fetus berat, dan

kelainan medis atau bedah maternal. Menurut Eastwood dan rekan – rekan (2006),

hanya 10 persen program yang tidak menyediakan pelatihan dalam aborsi elektif.

Page 40: BAB 9 jadi

Karena perbedaan – perbedaan ini, dipengaruhi oleh keyakinan moral dan politik,

American College of Obstetricians and Gynecologists (2004) menghormati

kebutuhan dan tanggung jawab penyedia pelayanan kesehatan untuk menetukan

posisi individu mereka berdasarkan kepercayaan perorangan. Pastinya, dokter

yang terlatih untuk merawat wanita harusnya akrab dengan berbagai tekhnik

aborsi sehingga komplikasi dapat ditangani atau rujukan dapat dibuat untuk

perawatan yang sesuai (Steinauer dan rekan – rekan, 2005a).

Aborsi Pembedahan

Kehamilan dapat diangkat melalaui operasi melalui cervix yang didilatasi dengan

tepat atau secara transbdominal baik dengan hysterotomy atau hysterectomy.

Tidak adanya penyakit sistemik maternal, prosedur aborsi tidak membutuhkan

perawatan di rumah sakit. Ketika aborsi dilakukan di luar rumah sakit,

kemampuan untuk resusitasi kardiopulmoner dan untuk pemindahan segera ke

rumah sakit harus tersedia.

DILATASI DAN KURETASE (D&C)

Pendekatan transcervical untuk aborsi pembedahan pertama membutuhkan

pendilatasian cervix dan kemudian mengevakuasi kehamilan dengan mengikis isi

secara mekanik―kuretase tajam, dengan melakukan suction keluar isi―kuretase

suction, atau keduanya. Aspirasi vacuum, bentuk paling umum dari kuretase,

membutuhkan kanula rigid yang menempel ke sumber vacuum bertenaga listrik

(MacIsaac dan Darney, 2000; Masch dan Roman, 2005). Cara lain, aspirasi

vacuum manual menggunakan kanula yang serupa yang menempel pada syringe

yang digenggam untuk sumber vacuumnya (Goldberg dan rekan – rekan, 2004).

Kemungkinan komplikasi meningkat setelah trimester pertama. Ini termasuk

perforasi uterus, laserasi cervix, perdarahan, pengangkatan fetus dan plasenta

yang tidak sempurna, dan infeksi. Oleh karena itu, kuretase tajam atau suction

sebaiknya dilakukan sebelum 14 atau 15 minggu.

Bukti mendukung bahwa profilaksis antimikroba sebaiknya disediakan untuk

semua wanita yang menjalani aborsi pembedahan transcervical. Berdasarkan

Page 41: BAB 9 jadi

ulasan mereka dari 11 penelitian randomisasi, Sawaya dan rekan – rekan (1996)

menyimpulkan bahwa antimikroba menurunkan resiko infeksi sekitar 40 persen.

Tidak ada satu pun regimen yang tampaknya superior. Satu regimen yang sesuai,

tidak mahal, dan efektif adalah doxycycline, 100 mg per oral dua kali sehari

selama 7 hari (Fjerstad dan rekan – rekan, 2009).

DILATASI DAN EVAKUASI (D&E)

Dimulai pada 16 minggu, ukuran dan struktur fetus memutuskan penggunaan

tekhnik ini. Dilatasi cervix mekanik yang luas, diperoleh dengan dilator metal atau

hygroscopic, mendahului penghancuran dan evakuasi mekanik bagian – bagian

fetus. Dengan pengangkatan sempurna fetus, kuret vacuum berlubang besar

digunakan untuk mengangkat plasenta dan jaringan sisanya.

DILATASI DAN EKSTRAKSI (D&X)

Hal ini serupa dengan dilatasi dan evakuasi kecuali bahwa evakuasi suction isi

intracranial setelah pengeluaran badan fetus melalui cervix yang dilatasi

membantu ekstraksi dan meminimalkan cedera cervix atau uterus akibat

instrumen atau tulang – tulang fetus. Dalam bahasa politik, prosedur ini

diistilahkan aborsi kelahiran parsial, didiskusikan dalam Aborsi di Amerika

Serikat.

Hygroscopic Dilator

Trauma akibat dilatasi mekanik dapat diminimalkan dengan menggunakan alat –

alat yang mendilatasi cervix dengan perlahan (Gambar 9-6). Alat – alat ini,

disebut hygroscopic dilator, menarik air dari jaringan cervix dan membesar,

secara bertahap mendilatasi cervix. Satu jenis hygroscopic dilator berasal dari

batang Laminaria digitata atau Laminaria japonica, rumput laut coklat. Batang

dipotong, dikupas, dibentuk, dikeringkan, disterilisasi, dan dikemas menurut

ukuran kecil, diameter 3 – 5 mm; medium, 6 – 8 mm; dan besar, 8 – 10 mm.

Laminaria yang sangat hygroscopic tampaknya bekerja dengan menarik air dari

Page 42: BAB 9 jadi

kompleks proteoglikan, menyebabkan kompleks berdisosiasi, dan dengan

demikian memberi kesempatan cervix untuk melunak dan berdilatasi.

Gambar 9-6. Insersi laminaria sebelum dilatasi dan kuretase. A. Laminaria segera

setelah ditempatkan dengan sesuai dengan ujung atasnya melalui os internal. B.

Beberapa jam kemudian laminaria sekarang membesar, dan cervix berdilatasi dan

melunak. C. Laminaria dimasukkan terlalu jauh melalui os internal; laminaria

dapat menyebabkan ruptur membran.

Hygroscopic dilator sintetik, seperti Lamicel dan Dilapan-S, juga tersedia.

Lamicel adalah sponge polyvinyl acetal berbentuk batang yang dilengkapi dengan

anhydrous magnesium sulfat. Dilapan-S adalah batang hydrogel acrylic. Pada

tahun 1995, Dilapan dibuang dari pasar A.S. karena pertimbangan mengenai

fragmentasi alat. Dilapan kemudian diperkenalkan lagi setelah persetujuan Food

and Drug Administration terhadap desain alat yang baru (Food and Drug

Administration, 2008).

Untuk memasukkan hygroscopic dilator, cervix dibersihkan dengan larutan

povidone-iodine dan digenggam di anterior dengan tenaculum. Hygroscopic

dilator yang berukuran sesuai kemudian dimasukkan menggunakan forcep yang

terbungkus uterus sehingga ujung dilator terletak setinggi os internal (lihat

Gambar 9-6). Setelah 4 hingga 6 jam, lamina akan membesar dan mendilatasi

cervix cukup untuk memudahkan pendilatasian mekanik dan kuretase. Nyeri kolik

seringkali menyertai laminaria.

Dilema yang menarik dihadirkan oleh wanita yang mengalami hygroscopic dilator

yang ditempatkan semalaman sebagai persiapan untuk aborsi elektif, namun

kemudian mengubah pikirannya. Schneider dan rekan – rekan (1991) menjelaskan

ini dalam kehamilan trimester pertama dan 14 kehamilan trimester kedua. Empat

pasien kembali ke keputusan pertama mereka dan menggugurkan kandungan

mereka. Dari sisa 17, terdapat 14 persalinan pada waktunya, dua persalinan

preterm, dan satu aborsi spontan 2 minggu kemudian. Tidak ada di antara wanita

tersebut yang mengalami morbiditas infeksi, termasuk tiga wanita yang tidak

Page 43: BAB 9 jadi

ditangani yang memiliki kultur cervix positif untuk Chlamydia. Meskipun dengan

laporan yang umumnya meyakinkan ini, sikap yang tidak dapat dibatalkan ini

sehubungan dengan penempatan dilator dan aborsi tampaknya bijaksana.

Prostaglandin

Sebagai alternatif untuk hygroscopic dilator, berbagai preparat prostaglandin

dapat ditempatkan pada fornix posterior vagina untuk membantu dilatasi

selanjutnya. MacIsaac dan rekan – rekan (1999) merandomisasi wanita untuk

menerima 400 μg misoprostol yang ditempatkan pada vagina 4 jam sebelum

aborsi trimester pertama versus penempatan laminaria. Misoprostol memberikan

pengaruh dilatasi yang sama atau lebih besar, lebih tidak menyebabkan nyeri pada

pemasangan, dan menghasilkan efek samping yang mirip. Penting untuk

menekankan bahwa dosis 400 μg ini sangat melebihi dosis oral atau vagina untuk

induksi persalinan (lihat Bab 22, Prostaglandin E1).

TEKHNIK UNTUK DILATASI DAN KURETASE

Setelah pemeriksaan bimanual dilakukan untuk menentukan ukuran dan orientasi

uterus, speculum dimasukkan, dan cervix di-swab dengan larutan povidone-iodine

atau larutan yang sama. Tepi anterior cervix digenggam dengan tenaculum

bergigi. Cervix, vagina, dan uterus disuplai saraf oleh plexus Frankenhäuser, yang

terletak dalam jaringan konektif lateral dari ligamen uterosacral. Dengan

demikian, injeksi paracervical yang paling efektif jika ditempatkan tepat di lateral

insersi ligamen uterosacral ke uterus. Anestetik lokal, seperti lodocaine 1 atau 2-

persen 5 mL, dapat diinjeksi pada jam 4 dan 8 dari dasar cervix. Mankowski dan

rekan – rekan (2009) melaporkan bahwa nlok intracervical dengan 5 mL aliquot

lidocaine 1-persen yang diinjeksi pada jam 12, 3, 6, dan 9 juga sama efektifnya.

Vasopresin yang diencerkan dapat ditambahkan ke anestesi lokal untuk

menurunkan kehilangan darah (Keder, 2003).

Jika dibutuhkan, cervix didilatasi lagi dengan Hegar, Hank, atau Pratt dilator

hingga kanula suction dengan diameter yang sesuai dapat dimasukkan. Pemilihan

kanula yang berukuran paling sesuai menyeimbangkan faktor – faktor yang

Page 44: BAB 9 jadi

bertentangan: kanula kecil beresiko tertahannya jaringan intrauterus post-operasi,

sedangkan kanula besar beresiko cedera cervix dan lebih tidak nyaman. Jari

keempat dan kelima dari tangan yang menggenggam dilator sebaiknya diletakkan

pada perineum dan bokong ketika dilator didorong melalui os internal (Gambar 9-

7). Tekhnik ini meminimalkan dilatasi yang berlebih dan memberikan

perlindungan terhadap perforasi uterus. Uterine sounding mengukur kedalaman

dan inklinasi cavum uterus sebelum insersi kanula. Kanula suction didorong

menuju fundus dan kemudian kembali ke os dan diputar secara sirkumferensial

untuk menutupi seluruh permukaan cavum uterus (Gambar 9-8). Keitka tidak ada

jaringan yang diaspirasi, kuretase tajam yang lembut sebaiknya mengikuti untuk

membuang bagian plasenta atau fetus yang tersisa (Gambar 9-9).

Gambar 9-7. Dilatasi cervix dengan Hegar dilator. Perhatikan bahwa jari

keempat dan kelima diletakkan pada perineum dan bokong, lateral dari vagina.

Manuver ini penting sebagai tindakan keamanan karena jika cervix relaksasi

dengan tiba – tiba, jari – jari ini mencegah dorongan dilator yang mendadak dan

tidak terkontrol, penyebab umum perforasi uterus.

Gambar 9-8. Kuretase suction didorong ke fundus uterus dan kemudian kembali

ke os internal. Selama insersi dan retraksi, kuretase secara bersamaan dirotasi

3600 beberapa kali untuk mengangkat jaringan secara sirkumferensial dari

dinding uterus.

Gambar 9-9. Pemasukan kuretase tajam. Kuretse dipegang dengan ibu jari dan

jari telunjuk. Pada gerakan ke atas kuret, hanya kekuatan dari dua jari ini yang

digunakan.

Karena uterus khasnya mengalami perforasi pada insersi instrument apapun,

manipulasi sebaiknya dilakukan hanya dengan ibu jari dan jari telunuk (Gambar

9-7). Jika melebihi kehamilan 16 minggu, fetus diekstraksi, biasanya sebagian –

sebagian, menggunakan Sopher forcep dan instrument destruktif lainnya. Resiko

Page 45: BAB 9 jadi

termasuk perforasi uterus, laserasi cervical, dan perdarahan uterus karena fetus

dan plasenta yang lebih besar dan dinding uterus yang menipis. Morbiditas dapat

diminimalkan jika: (1) cervix didilatasi dengan adekuat sebelum mencoba untuk

mengangkat produk konsepsi, (2) instrument dimasukkan ke uterus dan

dimanipulasi tanpa kekuatan, dan (3) semua jaringan diangkat.

Komplikasi

Insidensi perforasi uterus diasosiasikan dengan dilatasi dan kuretase untuk aborsi

elektif bervariasi. Dua penentu penting adalah kemampuan klinisi dan posisi

uterus. Kemungkinan perforasi lebih besar jika uterus retroversi. Perforasi uterus

yang tidak disengaja biasanya dikenali dengan mudah ketika instrument lewat

tanpa resisten ke dalam pelvis. Observasi dapat mencukupi jika perforasi kecil,

seperti ketika dihasilkan oleh uterine sound atau dilator yang kecil.

Walaupn mungkin, Chen dan rekan – rekan (2008) melaporkan tidak ada separasi

jaringan parut uterus pada 78 wanita dengan persalinan cesarian sebelumnya atau

myomectomy yang kemudian menjalani aborsi medis atau pembedahan untuk

kegagalan kehamilan awal.

Kerusakan intra-abdomen yang banyak dapat disebabkan oleh instrument,

terutama suction dan kuret tajam, yang melalui defek uterus ke cavum peritoneum

(Keegan dan Forkowitz, 1982). Dalam kondisi ini, laparotomy untuk memeriksa

isi abdomen sering merupakan tindakan yang paling aman. Tergantung situasinya,

laparoscopy dapat digantikan. Cedera perut yang tidak dikenali dapat

menyebabkan peritonitis yang berat dan sepsis (Kambiss dan rekan – rekan,

2000).

Beberapa wanita juga mengalami inkompetensi cervix atau synechiae uterus

setelah dilatasi dan kuretase. Jarang, aborsi yang dilakukan dengan kuretase pada

kehamilan yang lebih tua dapat menginduksi koagulopati yang mendadak,

konsumtif berat, yang terbukti fatal. Mereka yang mempertimbangkan aborsi

sebaiknya mengerti potensi dari komplikasi yang jarang namun serius ini.

Jika antimikroba profilaksis diberikan seperti yang dijelaskan dalam Dilatasi dan

Kuretase (D&C), sepsis pelvis menurun 40 hingga 90 persen, tergantung apakah

Page 46: BAB 9 jadi

prosedur adalah pembedahan atau medis. Sebagian besar infeksi yang

berkembang segera berespon terhadap pengobatan antimikroba (lihat Bab 31,

Bakteriologi). Jarang, infeksi seperti endocarditis bakteri akan terjadi, namun

mereka dapat fatal (Jeppson dan rekan – rekan, 2008).

ASPIRASI MENSTRUASI

Aspirasi cavum endometrium dapat diselesaikan menggunakan kanul Karman 5

atau 6 mm yang menempel pada syringe. Ketika diselesaikan dalam 1 hingga 3

minggu setelah satu periode menstruasi terlewati, ini telah dianggap sebagai

ekstraksi menstruasi, induksi menstrasi, periode instan, aborsi traumatik, dan

aborsi-mini. Pada tahap awal kehamilan ini, kehamilan dapat salah diagnosis,

zigot yang terimplantasi dapat terlewati oleh kuretase, kehamilan ektopik dapat

tidak dikenali, atau jarang, uterus dapat perforasi. Walaupun demikian, Paul dan

rekan – rekan (2002) melaporkan angka keberhasilan 98-persen pada lebih dari

1000 wanita yang menjalani prosedur ini. Tes kehamilan yang positif akan

mengeliminasi prosedur yang tidak dibutuhkan pada wanita tidak hamil yang

periodenya tertunda karena sebab lain.

Untuk mengidentifikasi plasenta dalam hasil aspirasi, MacIsaac dan Darney

(2000) merekomendasikan bahwa isi syringe dapat dibilas dalam saringan untuk

menyingkirkan darah, kemudian ditempatkan dalam kontainer plastik yang

transparan dengan saline, dan diperiksa dengan lampu di belakang. Jaringan

plasenta secara makroskopik tampak lembut, halus, dan berbulu. Kaca pembesar,

colposcope, atau mikroskop juga dapat membantu visualisasi.

ASPIRASI VACUUM MANUAL

Prosedur kantor ini menyerupai dengan aspirasi menstruasi namun digunakan

pada kegagalan kehamilan awal serta terminasi elektif hingga 12 minggu. Masch

dan Roman (2005) merekomendasikan bahwa terminasi kehamilan di kantor

dengan metode ini terbatas pada hingga 10 minggu atau kurang. Pastinya,

kehilangan darah meningkat dengan tajam antara 10 dan 12 minggu (Westdall dan

rekan – rekan, 1998).

Page 47: BAB 9 jadi

Prosedur ini menggunakan syringe 60 mL yang dioperasikan tangan dan kanula.

Sebuah vacuum diciptakan dalam syringe dan ditempelkan ke kanul, yang

kemudian dimasukkan transcervical ke uterus. Vacuum diaktivasi dan

menghasilkan hingga 60 mmHg suction. Walaupun komplikasi serupa dengan

metode pembedahan lain, komplikasi tidak meningkat (Goldberg dan rekan –

rekan, 2004).

Dengan kehamilan kurang dari 8 minggu, tidak ada persiapan cervix yang

diperlukan. Setelah saat ini, beberapa merekomendasikan osmotic dilator yang

ditempatkan sehari sebelumnya atau misoprostol yang diberikan 2 hingga 4 jam

sebelum prosedur. Blok paracervical, dengan atau tanpa sedasi intravena, atau

sedasi sadar digunakan dalam anesthesia.

LAPAROTOMY

Dalam beberapa kondisi, hysterotomy abdomen atau hysterectomy untuk aborsi

lebih dipilih untuk kuretase atau induksi medis. Jika penyakit uterus yang

signifikan hadir, hysterectomy dapat memberikan penanganan yang ideal. Baik

hysterotomy dengan ligasi tuba atau terkadang, hysterectomy dapat diindikasikan

untuk wanita – wanita yang menginginkan terminasi kehamilan dan sterilisai.

Terkadang, induksi medis yang gagal selama trimester kedua dapat mewajibkan

hysterotomy atau hysterectomy.

Aborsi Medis

Sepanjang sejarah, banyak substansi – substansi alamiah telah dicoba sebagai

abortifacient. Pada banyak kasus, penyakit sistemik yang serius atau bahkan

kematian telah terjadi daripada aborsi. Bahkan saat ini, hanya beberapa obat

abortifacient yang efektif, dan aman yang digunakan.

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2005b), aborsi

medis pasien rawat jalan merupakan alternatif yang dapat diterima daripada aborsi

pembedahan pada wanita - wanita yang dipilih dengan benar dengan usia

kehamilan kurang dari 49 hari menstruasi. Melebihi titik ini, data yang tersedia,

Page 48: BAB 9 jadi

walaupun kurang kuat, mendukung aborsi pembedahan sebagai metode yang

dipilih untuk aborsi awal.

Tiga obat untuk aborsi medis awal yang telah dipelajari dengan luas dan

digunakan: antiprogestin mifepristone; antimetabolit methotrexate; dan

prostaglandin misoprostol. Agen – agen ini menyebabkan aborsi dengan

menyebabkan peningkatan kontraktilitas uterus baik dengan membalikkan inhibisi

kontraksi yang diinduksi progesteron―mifepristone dan methotrexate atau

dengan menstimulasi langsung myometrium —misoprostol. Sebagai tambahan,

mifepristone menyebabkan degradasi kolagen cervix, mungkin karena

peningkatan ekspresi matrix metalloproteinase-2 (Clark dan rekan – rekan, 2006).

Variasi rencana pemberian dosis yang telah dibuktikan efektif ditunjukkan dalam

Tabel 9-5. Mifepristone atau methotrexate diberikan awalnya, dan diikuti setelah

waktu spesifik oleh misoprostol. Guest dan rekan – rekan (2007) merandomisasi

450 wanita untuk diberikan 200 mg mifepristone per oral diikuti dengan 800 μg

misoprostol per vaginam, baik 6 jam kemudian atau 36 hingga 48 jam kemudian.

Keitka diberikan pada 36 hingga 48 jam, angka keberhasilan 96 persen

dibandingkan dengan 89 persen untuk kelompok 6 jam (p <.05). Seperti yang

didiskusikan dalam Manajemen, setidaknya untuk “kegagalan kehamilan”—

gestasi anembryonic, embryonic, atau kematian fetus, dan aborsi inkomplit atau

inevitable—800 μg misoprostol per vaginam sebagai agen tunggal efektif dalam

menyebabkan ekspulsi komplit pada hari ke-8 dalam 84-persen wanita yang

diterapi (Zhang dan rekan – rekan, 2005). Baru – baru ini, Fjerstad dan rekan –

rekan (2009) membandingkan komplikasi sepsis pada lebih dari 225000 wanita

yang menjalani aborsi medis. Setelah perubahan rute administrasi dari vagina ke

buccal misoprostol, bersama dengan penyediaan 7-hari post-prosedur profilaksis

doxycycline, mereka mendokumentasikan 93-persen penurunan angka infeksi

serius—dari 0,93 per 1000 menjadi 0,06 per 1000. Pada akhirnya, baik

methotrexate dan misoprostol adalah teratogen, dan penggunaan mereka

membutuhkan komitmen dari wanita tersebut dan pemberi pelayanan untuk

menyelesaikan aborsi.

Page 49: BAB 9 jadi

Tabel 9-5. Regimen untuk Terminasi Medis Awal Kehamilan

Mifepristone/Misoprostol

aMifepristone, 100-600 mg per oral diikuti dengan:

bMisoprostol, 200-600 μg per oral atau 800 μg per vaginam dalam dosis

meultipel selama 6 – 72 jam.

Methotrexate/Misoprostol

cMethotrexate, 50 mg/m2 intramuscular atau per oral diikuti dengan:

dMisoprostol, 800 μg per vaginam dalam 3 – 7 hari. Diulang jika dibutuhkan 1

minggu setelah methotrexate awalnya diberikan

Hanya Misoprostol

800 μg per vaginam, diulang hingga tiga dosis.

a Dosis 200 versus 600 mg sama efektif.

b Rute oral dapat kurang efektif dan dengan lebih mual dan diare. Dapat diberikan

secara sublingual atau buccal. Infeksi pelvis post-prosedur secara signifikan lebih

tinggi dengan rute vagina versus oral.

c Keberhasilan serupa untuk rute – rute administrasi

d Keberhasilan yang sama ketika diberikan dalam hari 3 versus hari 5.

Data dari American College of Obstetricians and Gynecologists (2005); Borgatta

(2001); Bracken (2007); Chen (2008); Creinin (2001, 2007); Fjerstad (2009);

Guest (2007); Hamoda (2005); Schaff (2000); Shannon (2006); von Hertzen

(2007); Wiebe (1999, 2002); Winikoff (2008), dan semua rekan mereka.

Kontraindikasi untuk aborsi medis telah berevolusi dari kriteria eksklusi berbagai

percobaan aborsi medis. Sebagai tambahan allergi spesifik terhadap obat – obatan,

mereka telah memasukkan alat intrauterine in situ, anemia berat, koagulopati atau

penggunaan antikoagulan, dan kondisi medis yang signifikan seperti penyakit

hepar yang aktif, penyakit kardiovaskular, dan kelainan kejang yang tidak

terkontrol. Sebagai tambahan, karena misoprostol dapat menurunkan aktivitas

glukokortikoid, wanita – wanita dengan penyakit adrenal atau dengan kelainan

yang membutuhkan terapi glukokortikoid sebaiknya diekskusi (American College

of Obstetricians and Gynecologists, 2005b). Dosis methotrexate yang

Page 50: BAB 9 jadi

dimodifikasi sebaiknya diberikan dengan kehati – hatian ―jika sama

sekali―pada wanita – wanita dengan insufisiensi renal (Kelly dan rekan – rekan,

2006). Wanita yang mempertimbangkan aborsi medis seharusnya mendapatkan

konseling yang menyeluruh mengenai pendekatan medis dan pembedahan.

Dengan regimen mifepristone, menurut label paket, misoprostol menjadi penyedia

yang diberikan. Setelahnya wanita biasanya tetap dalam ruangan selama 4 jam,

dan jika kehamilan tampaknya telah dikeluarkan, pasien diperiksa utnuk

mengkonfirmasi ekspulsi. Jika selama observasi, kehamilan tidak tampak keluar,

pemeriksaan pelvis dilakukan sebelum mengijinkan pasien keluar, dan wanita

tersebut membuat pertemuan ulang untuk 1 hingga 2 minggu. Pada pertemuan

selanjutnya ini, jika pemeriksaan klinis atau evaluasi sonography gagal

mengkonfirmasi aborsi yang selesai, prosedur suction biasanya dilakukan.

Pada regimen yang menggunakan methotrexate, wanita biasanya diperiksa

setidaknya 24 jam setelah misoprostol, dan sekitar 7 hari setelah pemberian

methotrexate, waktu dimana dilakukan pemeriksaan sonography. Jika kehamilan

bertahan, dosis lain misoprostol diberikan, dan wanita tersebut diperiksakan lagi

dalam 1 minggu jika aktivitas jantung fetus ada atau dalam 4 minggu jika tidak

ada aktivitas jantung fetus. Jika pada kunjungan kedua, aborsi belum terjadi,

biasanya hal ini diselesaikan dengan kuretase suction.

Perdarahan dan kolik dengan terminasi medis dapat lebih buruk secara signifikan

daripada gejala – gejala yang dirasakan ketika mens. Obat nyeri yang adekuat,

biasanya termasuk narkotik, sebaiknya disediakan. Menurut American College of

Obstetricians and Gynecologists (2005b), mengganti dua pembalut atau lebih per

jam selama setidaknya 2 jam merupakan batas dimana wanita sebaiknya

diinstruksikan untuk menguhubungi dokternyam yang dapat menentukan apakah

dia dapat diperiksa.

Aborsi medis awal sangat efektif—90 hingga 98 persen wanita tidak akan

membutuhkan intervensi pembedahan (Kahn dan rekan kerja, 2000). Menurut

Hausknecht (2003), hanya terdapat 139 komplikasi yang dilaporkan ke produsen

dengan mifepristone ketika diberikan dengan misoprostol pada 80000 wanita

untuk aborsi medis.

Page 51: BAB 9 jadi

Intervensi pembedahan yang tidak perlu pada wanita – wanita yang menjalani

aborsi medis dapat dihindari jika hasil sonography diinterpretasikan dengan

sesuai. Secara spesifik, jika kantong gestasional ada, tidak ada perdarahan berat,

intervensi pada sebagian besar wanita tidak diperlukan. Hal ini benar bahkan,

ketika, seperti yang umum, uterus mengandung debris yang terbukti melalui

sonography.

Aborsi Trimester-Kedua

Cara invasif aborsi medis trimester-kedua telah tersedia lama, dan beberapa ditulis

dalam Tabel 9-3. Namun, dalam 25 tahun terakhir, kemampuan untuk

memperoleh aborsi trimester kedua dengan aman dan efektif telah sangat

berevolusi. Prinsip di antara metode – metode non-invasif ini adalah oxytocin

intravena dosis tinggi dan administrasi prostaglandin per vaginam, termasuk

prostaglandin E2 suppositoria dan pil prostaglandin E1 (misoprostol. Tanpa

memandang metode, penempatan hygroscopic dilator yang ditunjukkan dalam

Gambar 9-6 akan memperpendek durasi (Goldberg dan rekan – rekan, 2005).

OXYTOCIN

Diberikan sebagai agen tunggal dalam dosis tinggi, oxytocin akan mempengaruhi

aborsi trimester kedua pada 80 hingga 90 persen kasus. Selama lebih dari 15

tahun, regimen yang ditunjukkan dalam Tabel 9-6 telah digunakan dengan tingkat

keamanan dan keefektifan yang tinggi pada Universitas Alabama. Dengan

mencampurkan oxytocin dalam larutan isotonic seperti saline normal, dan

menghindari administrasi yang berlebih larutan intravena yang diencerkan, kami

belum mengamati hyponatremia atau intoksikasi air.

Tabel 9-6. Protokol Konsentrasi Oxytocin untuk Aborsi Mid-Trimester

50 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

100 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

Page 52: BAB 9 jadi

150 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

200 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

250 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

300 unit oxytocin dalam 500 mL saline normal yang diinfus selama 3 jam; 1-jam

dieresis (tidak ada oxytocin)

Dimodifikasi dari Ramsey and Owen (2000), dengan ijin.

PROSTAGLANDIN E2

20 mg prostaglandin E2 suppositoria ditempatkan pada fornix posterior vagina

merupakan cara yang sederhana dan efektif untuk mempengaruhi aborsi trimester

kedua. Metode ini tidak lebih efektif daripada oxytocin dosis tinggi, dan

menyebabkan efek samping yang lebih sering seperti mual, muntah, demam, dan

diare (Owen dan rekan – rekan, 1992). Jika prostaglandin E2 digunakan,

entiemetic seperti metoclopramide, antipyretic seperti acetaminophen, dan

antidiare seperti diphenoxylate/atropine diberikan baik untuk mencegah maupun

mengobati gejala.

PROSTAGLANDIN E1

Misoprostol dapat digunakan dengan mudah dan tidak mahal sebagai agen tunggal

untuk terminasi kehamilan trimester kedua. Dalam percobaan randomisasi

mereka, Ramsey dan rekan kerjanya (2004) memberikan misoprostol, 600 μg per

vaginam yang diikuti dengan 400 μg setiap 4 jam. Mereka melaporkan bahwa

aborsi yang diakibatkan ini secara signifikan lebih cepat daripada oxytocin yang

terkonsentrasi yang diberikan dalam kombinasi dengan prostaglandin E2 – waktu

median untuk aborsi 12 versus 17 jam, secara berurutan. Misoprostol memperoleh

aborsi dalam 24 jam pada 95 persen wanita dibandingkan dengan 85 persen pada

kelompok lain. Yang penting, hanya 2 persen wanita pada kelompok misoprostol

yang membutuhkan kuretase untuk plasenta yang tertahan dibandingkan dengan

Page 53: BAB 9 jadi

15 persen pada kelompok oxytocin/prostaglandin E2. Kapp dan rekan kerja

(2007) melaporkan bahwa mifepristone, 200 mg diberikan 1 hari sebelum

misoprostol, mengurangi waktu median ekspulsi dari 18 menjadi 10 jam

dibandingkan dengan kelompok placebo.

Hasil aborsi trimester kedua yang diinduksi secara medis setelah persalinan

cesarean sebelumnya telah menjadi subyek beberapa laporan. Walaupun beberapa

laporan awal tidak mendukung, bukti terbaru tidak terlalu pesimistik. Ulasan

sistematik oleh Berghella dan rekan – rekan (2009) serta Goyal (2009)

menemukan bahwa resiko ruptur uterus pada wanita – wanita yang diberikan

misoprostol hanya sekitar 0,3 hingga 0,4 persen.

Konsekuensi Aborsi Elektif

MORTALITAS MATERNAL

Aborsi legal yang diinduksi, dilakukan oelh ahli ginekologi yang terlatih, terutama

ketika dilakukan saat 2 bulan pertama kehamilan, memiliki angka mortalitas

kurang dari 1 per 100000 prosedur (Grimes, 2006; Strauss dan rekan – rekan,

2007). Aborsi awal lebih aman, dan resiko relatif kematian sebagai konsekuensi

aborsi diperkirakan berlipat ganda setiap 2 minggu setelah 8 minggu kehamilan.

Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit mencatat tujuh kematian yang berkaitan

dengan aborsi legal pada 2004 (Gamble dan rekan – rekan, 2008). Menurut Horon

(2005), kematian seperti itu kurang dilaporkan.

PENGARUH TERHADAP KEHAMILAN MENDATANG

Dalam ulasan ilmiah pengaruh aborsi elektif terhadap hasil kehamilan berikutnya,

Hogue (1986) meringkas data dari lebih dari 200 publikasi. Data yang berkaitan

dengan aborsi terhadap hasil kehamilan adalah observasional dan oleh karenanya

dipengaruhi bias dan faktor pembingung yang tidak terkontrol. Semua penelitian

dalam topic ini harus diinterpretasikan dengan mengingat keterbatasan ini.

Dikatakan, fertilitas tidak menghilang akibat aborsi elektif. Selain itu, sebagian

besar penelitian mengindikasikan bahwa aspirasi vacuum tidak meningkatkan

insidensi aborsi spontan trimester-kedua berikutnya atau persalinan preterm.

Page 54: BAB 9 jadi

Namun, penelitian case-control Prancis EPIPAGE, menemukan peningkatan

insidensi 1,5 kali pada persalinan preterm – 22 hingga 32 minggu – pada wanita

dengan riwayat aborsi induksi (Moreau dan rekan – rekan, 2005). Kehamilan

ektopik selanjutnya tidak meningkat. Prosedur aborsi kuretase tajam multipel

dapat meningkatkan resiko plasenta previa berikutnya, sedangkan prosedur

aspirasi vacuum tampaknya tidak (Johnson dan rekan – rekan, 2003). Dalam

sistem ulasan mereka yang teliti dan terbaru, Swingle dan rekan kerja (2009)

menemukan peningkatan signifikan resiko persalinan preterm – OR 1,32 – setelah

aborsi spontan atau induksi.

Penelitian populasi yang besar dari Denmark mengindikasikan bahwa hasil

kehamilan berikutnya menyerupai metode medis dan pembedahan aborsi yang

diinduksi. Menggunakan Daftar Aborsi Denmark yang terdiri dari 30349 prosedur

yang telah dilakukan dari 1999 sampai 2004, Virk dan rekan – rekan (2007)

menyediakan data dari 16883 wanita yang menjalani kehamilan berikutnya pada

2005. Hasil ditulis dalam Tabel 9-7 di bawah menunjukkan hasil kehamilan yang

sangat menyerupai

Tabel 9-7. Hasil pada Kehamilan Selanjutnya pada 16883 Wanita yang Menjalani Aborsi

Trimester-Pertama secara Medis atau Pembedahan

Hasil Kehamilan Insidensi (Persen)a

Pembedahan Medis

Kehamilan ektopik 2,3 2,4

Keguguran 12,7 12,2

Persalinan preterm 6,7 5,4

Berat lahir <2500 g 5,1 4,0a Semua perbandingan p > .05.

Data dari Virk dan rekan – rekan (2007).

KONTRASEPSI SETELAH KEGUGURAN ATAU ABORSI

Ovulasi dapat terjadi dalam 2 minggu setelah dilakukan terminasi kehamilan awal,

baik secara spontan ataupun induksi. Lahteenmaki dan Luukkainen (1978)

Page 55: BAB 9 jadi

mendeteksi puncak luteinizing hormone (LH) 16 hingga 22 hari setelah aborsi

pada 15 dari 18 wanita yang diteliti. Kadar progesteron plasma, yang menurun

setelah aborsi, meningkat segera setelah puncak LH. Peristiwa hormonal ini

selaras dengan perubahan histologis yang diobservasi pada biopsi endometrium

(Boyd dan Holmstrom, 1972). Oleh karenanya, jika kehamilan ingin dicegah,

kontrasepsi yang efektif sebaiknya dimulai segera setelah aborsi. Reeves dan

rekan – rekan (2007) telah menghitung jumlah kehamilan yang tidak disengaja

yang lebih rendah pada wanita yang mengingingkan alat intrauterine jika alat

tersebut dipasang pada saat terminasi kehamilan. Madden dan Westhoff (2009)

telah menunjukkan keuntungan yang serupa dengan depot medroxyprogesterone

acetate (DMPA). Pilihan untuk kontrasepsi didiskusikan dalam Bab 32.