artritis reumatoid dan teh hijau

Upload: ronald-james

Post on 01-Mar-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

peran teh hijau dalam menghambat perkembangan penyakit artritis reumatoid

TRANSCRIPT

BAB II

PERAN TEH HIJAU DALAM MENGHAMBAT PERKEMBANGAN PENYAKIT ARTRITIS REUMATOID DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1. Artritis Reumatoid2.1.1. Definisi Artritis ReumatoidArtritis reumatoid (AR) merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Gejala klasik artritis reumatoid adalah poliartritis simetris yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga dapat mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata (Suarjana, 2009).

2.1.2. Epidemiologi Artritis ReumatoidPada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi artritis reumatoid berkisar antara 0,5% - 1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah urban maupun rural (Suarjana, 2009).Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi artritis reumatoid sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun, mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Prevalensi artritis reumatoid lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 3 : 1. Artritis reumatoid juga dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima (Suarjana, 2009).

2.1.3. Etiologi Artritis ReumatoidPenyebab artritis reumatoid tidak diketahui secara pasti, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam perkembangan penyakit artritis reumatoid. Salah satu faktor genetik penyebab artritis reumatoid adalah produk gen dari major histocompatibility complex (MHC) kelas II, HLA-DR4 (Sangha, 2000). Selain itu, hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian artritis reumatoid juga telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-B). Gen ini berperanan penting dalam resorpsi tulang pada AR (Suarjana, 2009).Prevalensi artritis reumatoid lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa nulipara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya artritis reumatoid. Telah didapatkan juga hubungan kehamilan dengan perbaikan penyakit AR dan terjadinya eksaserbasi pada periode post-partum. Selain itu, pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan penyakit artritis reumatoid (Sangha, 2000).Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit AR, dengan menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit (Suarjana, 2009).

2.1.4. Patogenesis Artritis ReumatoidPatogenesis artritis reumatoid dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial ini, antigen tersebut akan diproses oleh antigen presenting cell (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviocite A, sel dendritik, atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang akan diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Proses aktivasi CD4+ dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti A-interferon, tumor necrosis factors (TNF-), IL-3, IL-4, serta mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivasi fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi (gambar 1). Setelah berkaitan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi (Choy, 2001).

Gambar 1. Alur sitokin yang terlibat dalam artritis reumatoid (Choy, 2001)Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen ini merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagosit kompleks imun tersebut, sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan pembebasan radikal oksigen , leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin, dan kolagenase yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi atau kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi (Choy, 2001).

Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid (Choy, 2001)Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblas yang berproliferasi, dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang, sehingga dapat menghancurkan struktur persendian (Robbins dkk, 1997).Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR, kemungkinan disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90% pasien AR (Daud, 2006).

2.1.5. Manifestasi Klinis Artritis ReumatoidGejala artritis sering kali ditandai dengan kekauan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam ringan. Penyakit artritis reumatoid bermanifestasi pada artikular dan ekstraartikular (Suarjana, 2009). Manifestasi ArtikularPenderita artritis reumatoid pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, dan biasanya terjadi pada persendian tangan, kaki, dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga dapat terkena. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi, sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) dapat terjadi pada beberapa sendi, khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Manifestasi EkstraartikularManifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai dan biasanya ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles, atau bursa olekranon. Beberapa manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan sindrom Felty jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.

2.1.6. Diagnosis Artritis ReumatoidDiagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif, perubahan-perubahan pada sendi dapat minor, dan gejala-gejalanya dapat bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja, tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnosis AR berdasarkan skor dari American College of Rheumatology dan The European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 :Tabel 1. Kriteria diagnosis AR berdasarkan skor dari American College of Rheumatology dan The European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010Distribusi Sendi (0-5)

1 sendi besar0

2-10 sendi besar1

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)2

4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)3

> 10 sendi (min. satu sendi kecil)5

Serologi (0-3)

RF negatif dan ACPA negatif0

RF positif rendah atau ACPA positif rendah2

RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi3

Durasi Gejala (0-1)

< 6 minggu0

6 minggu1

Reaktan Fase Akut (0-1)

CRP normal dan LED normal0

CRP abnormal atau LED abnormal1

Jika skor yang didapat 6, maka pasien pasti menderita AR. Sebaliknya, jika skor < 6, pasien mungkin memenuhi kriteria AR secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit).Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin, imunoglobulin (IgM), yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya disebabkan oleh nodul reumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk (Carter, 2005).Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam). Hal ini menunjukkan bahwa LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit (Carter, 2005).Pada artritis reumatoid, cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitung sel leukosit meningkat mencapai 15.000-20.000 /mm3. Hal ini membuat cairan sinovial menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah (Carter, 2005).

2.1.7. Tatalaksana Artritis ReumatoidTujuan utama pengobatan artritis reumatoid adalah menghilangkan nyeri dan inflamasi, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien, serta mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi (Price, 2005).Beberapa cara penatalaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut :1. Terapi MedikamentosaPada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan pendekatan piramid, yaitu pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit (Suarjana, 2009).a. Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator inflamasi. Tepatnya, obat ini menghambat sintesis prostaglandin atau siklooksigenase. Obat standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin, dan semua golongan OAINS lainnya dianggap sama efektif dengan aspirin pada dosis tertentu dari masing-masing obat tersebut.b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs)Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah methotrexate (MTX), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan terapi tunggal. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun.c. SteroidSteroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal, karena beresiko tinggi mengalami efek samping seperti osteoporosis, katarak, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU per hari.d. Agen biologikAntagonis TNF menurunkan konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita artritis reumatoid. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric IgG1 anti-TNF- antibody.

2. Terapi Bedah OrtopediTujuan terapi bedah ini yaitu untuk memperbaiki fungsi, mobilitas, dan mengontrol nyeri. Prosedur dapat berupa tendon repair and transfer, operasi carpal tunnel, total joint replacement, serta stabilisasi sendi servikal yang tidak stabil.3. Terapi OrthoticTerapi orthotic dapat berupa : Penggunaan ortotik dan bidai, untuk mengistirahatkan bagian yang sakit Modalitas fisik : panas superfisial dengan parafin, diatermi ultrasonografi, untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan gerak sendi Latihan sendi : metode blok untuk sendi PIP (proximal interphalangeal) dan DIP (distal interphalangeal), latihan ambil dan genggam (pinch and grip), dan berbagai latihan lainnya Edukasi untuk proteksi sendi : hindari posisi yang menyebabkan deformitas, hindari satu posisi terlalu lama, serta hindari tekanan kuat pada sendi

2.2. Teh HijauTeh hijau yang didapatkan dari tanaman Camellia sinensis, merupakan salah satu minuman yang paling sering dikonsumsi dan telah diketahui memiliki banyak efek bagi kesehatan tubuh. Berdasarkan proses pengolahannya, teh diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu non-fermentasi, semifermentasi, dan fermentasi (gambar 3). Dimana teh hijau termasuk ke dalam teh yang dalam proses pembuatannya tidak mengalami fermentasi. Teh hijau dapat diperoleh melalui pemanasan (udara panas) dan penguapan. Kedua metode itu berguna untuk mencegah terjadinya oksidasi enzimatis katekin. Fermentasi yang belum sempurna, menimbulkan rasa teh yang lebih ringan, dan terkenal pada daerah-daerah Asia tertentu, yang dikenal sebagai teh oolong. Sedangkan proses pengolahan teh hitam membutuhkan fermentasi. Daun teh segar dibiarkan hancur dan layu, sehingga mengalami proses oksidasi secara alami (Singh, 2011).

Gambar 3. Skema proses ekstraksi teh (Singh, 2011)Komposisi senyawa-senyawa dalam teh hijau sangatlah kompleks yaitu protein (15-20%); asam amino (1-4%) seperti teanine, asam aspartat, tirosin, triptofan, glisin, serin, valin, leusin, arginin; karbohidrat (5-7%) seperti selulosa, pectin, glukosa, fruktosa, sukrosa; lemak dalam bentuk asam linoleat dan asam linolenat; sterol dalam bentuk stigmasterol; vitamin B, C, dan E; kafein dan teofilin; pigmen seperti karotenoid dan klorofil; senyawa volatile seperti aldehida, alkohol, lakton, ester, dan hidrokarbon; mineral dan elemen-elemen lain (5%). Teh hijau juga sangat kaya akan kandungan polifenol (20-45%), dimana 60-80% merupakan katekin (Chacko, 2010).Katekin utama yang paling banyak ditemukan dalam teh hijau yaitu epigallocatechin-3-gallate (EGCG), terhitung 50-80% berat kering dari total katekin teh hijau. Epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG), dan epicatechin (EC) juga merupakan komponen katekin yang terkandung di dalam teh hijau (gambar 4). Di antara keempat jenis katekin tersebut, EGCG merupakan senyawa yang paling aktif dan merupakan antioksidan yang lebih potensial dibandingkan dengan vitamin C dan E (Singh, 2011).

Gambar 4. Struktur katekin teh hijau (Singh, 2011)Senyawa katekin pada teh hijau terutama EGCG memiliki banyak dampak positif bagi tubuh, yaitu sebagai antioksidan, menekan proses inflamasi, anti-karsinogenik, anti-bakteri, menurunkan resiko terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner, proteksi terhadap penyakit neurodegeneratif, menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi, dan sebagainya. Tubuh manusia memproduksi molekul tidak stabil atau oksidan seperti radikal bebas, superoksida, peroksinitrit, dan lain-lain. Oksidan mengambil elektron dari senyawa lain untuk menjadi stabil, dan dalam prosesnya terjadi kerusakan protein sel dan material genetik yang kemudian dapat menyebabkan kanker. Beberapa penyakit kronik dan inflamasi merupakan hasil dari stress oksidatif, seperti artritis, penyakit neurodegeneratif, hiperkolesterolemia, dan sebagainya. Katekin pada teh hijau yang berperan sebagai antioksidan, secara selektif menghambat aktivitas enzim spesifik pemicu kanker. Selain itu, struktur kimia polifenol pada teh hijau yaitu grup hidroksil pada cincin aromatik dapat membentuk kompleks dengan radikal bebas dan menetralkannya, sehingga mencegah perkembangan penyakit (Pham-Huy, 2008).Katekin yang diserap yaitu EGCG, ECG, EGC, dan EC yang dimetabolisme secara luas dan diubah menjadi bentuk terkonjugasi (glukoronida dan sulfat) terutama di hati dan ada beberapa yang dimetilasi oleh catechol-O-methyl transferase. Menurut Cooper, agar EGCG dapat memiliki efek terapetik dalam membunuh sel kanker, disarankan bahwa kadar polifenol dalam darah minimal 100 nmol/L (Pham-Huy, 2008).Teh hijau umumnya dianggap aman dan tidak bersifat toksik. Sebuah studi terhadap toksisitas jangka pendek dan akut pada ekstrak teh hijau dengan konsentrasi EGCG yang tinggi melaporkan bahwa tidak ada efek samping yang diamati pada kadar EGCG 500 mg/kg/hari. Namun, dengan adanya kandungan kafein dan polifenol, beberapa efek samping telah dilaporkan terhadap konsumsi teh hijau jangka panjang dan berlebihan, seperti insomnia, anxietas, cepat marah, kehilangan nafsu makan, iritasi lambung, hiperasiditas, muntah, konstipasi atau diare, palpitasi, vertigo, dan sakit kepala. Reaksi alergi terhadap teh hijau dengan gejala seperti kesulitan bernafas, pembengkakan bibir, lidah, atau wajah dapat terjadi meskipun sangat jarang. Selain itu, katekin teh hijau juga dapat mempengaruhi absorpsi besi, sehingga dapat menyebabkan defisiensi besi (Pham-Huy, 2008).Teh hijau sebaiknya tidak dikonsumsi oleh anak, wanita hamil, dan wanita menyusui. Konsumsi teh hijau selama kehamilan dapat meningkatkan resiko malformasi janin, seperti spina bifida, karena teh hijau memiliki aktivitas antifolat yang merupakan salah satu mekanisme anti kanker, sedangkan asam folat sangat dibutuhkan untuk membantu perkembangan janin yang normal (Pham-Huy, 2008).

2.3. Peran Teh Hijau Dalam Menghambat Penyakit Artritis ReumatoidPada penyakit reumatik, kehilangan keseimbangan antara pembentukan dan resorpsi tulang dapat menyebabkan abnormalitas tulang yang mempengaruhi kualitas hidup. IL-6 yang diroduksi oleh sel-sel stroma dan osteoblas dalam menanggapi rangsangan seperti lipopolisakarida, IL-1, dan TNF, menstimulasi resoprsi tulang dan pembentukan osteoklas. Sebuah studi terbaru oleh Kamon menunjukkan bahwa EGCG mengurangi pembentukan osteoklas dengan menghambat diferensiasi osteoblas tanpa mempengaruhi viabilitas dan proliferasinya. Studi terbaru lain yang menangani mekanisme molekuler yang tepat dimana EGCG menghambat diferensiasi osteoblas menunjukkan bahwa EGCG menghasilkan efek anti-osteoklastogenik dengan menghambat aktivasi receptor activator of nuclear factor kappaB ligand (RANKL) yang diinduksi c-Jun-N-terminal kinase dan jalur NF-B, sehingga menekan ekspresi gen c-Fos dan NFATc1 dalam prekursor osteoklas (Ahmed, 2010).Pada kondisi fisiologis normal, fibroblas sinovial membentuk lapisan tipis jaringan sinovial yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa. Lapisan fibroblas sinovial mensekresi cairan sinovial yang bersifat sebagai pelumas dan imunomodulator, dimana hal tersebut meningkatkan fungsi sendi yang normal. Sedangkan, pada penderita artritis reumatoid, fibroblas sinovial dalam membran sinovium menjadi hiperproliferatif dan mensekresi faktor-faktor yang meningkatkan inflamasi, neovaskularisasi, dan degradasi kartilago (Ahmed, 2010).Dalam respon terhadap sitokin yang diproduksi oleh makrofag seperti TNF dan IL-1, fibroblas sinovial pada artritis reumatoid mensekresi enzim pendegradasi matriks seperti matrix metalloproteinases (MMPs), a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motifs (ADAMTs), dan cathepsin. MMP yang dilepaskan dari fibroblas sinovial pada artritis reumatoid dapat memodulasi aktivitas sitokin dan kemokin, melepaskan ligan proapoptotik dari permukaan sel, dan meningkatkan invasi fibroblas ke tulang rawan. Suatu studi menunjukkan bahwa EGCG secara signifikan menghambat aktivitas MMP-2 yang diinduksi oleh regulated on activation, normal T cell expressed and secreted (RANTES), chemokine (C-X-C motif) ligand 1 (CXCL1), dan CXCL5 (Ahmed, 2010).Tulang diserap terutama oleh osteoklas berinti, yang terbentuk dari fusi preosteoklas yang berasal dari stem sel hematopoetik sebagai respon terhadap sitokin seperti macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) dan RANKL. Sitokin ini diekspresikan oleh osteoblas / sel stroma dan memodulasi fungsi dan kelangsungan hidup osteoklas. Sitokin dan sinyal dari integrin juga menginduksi pembentukan struktur sel terpolarisasi dalam osteoklas yang berpartisipasi dalam resorpsi tulang.Green tea polyphenols (GTP) memiliki aktivitas anti-inflamasi, sehingga berguna untuk pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit inflamasi, salah satunya yaitu artritis reumatoid. Secara umum, mediator-mediator proinflamasi seperti TNF-, IL-, -interferon, dan prostaglandin (PG) E2 dapat bertindak secara langsung pada tulang atau secara tidak langsung, untuk meningkatkan osteoklastogenesis, mencegah apoptosis osteoklas, dan/atau menghambat aktivitas osteoblastik. Penekanan produksi TNF- dan IL-6 oleh osteoblas dapat meningkatkan ketahanan osteoblas. Kedua sitokin tersebut dapat memediasi efek dari berbagai stimulator untuk resorpsi tulang (hormon paratiroid dan IL-1). TNF- menghambat pembentukan tulang, sintesis kolagen, dan aktivitas alkaline phosphatase (ALP) dalam osteoblas. IL-6 meningkatkan prekursor osteoklas dan diferensiasi untuk menjadi osteoklas matur. TNF- dan IL-6 dapat mengatur jangka hidup osteoblas melalui apoptosis. Choi dan Hwang melaporkan bahwa katekin dalam teh hijau dapat meningkatkan aktivitas ALP dalam sel osteoblastik MC3T3-E1 dengan menghambat apoptosis osteoblas melalui penurunan produksi TNF- dan IL-6 (Shen, 2009).Beberapa efek teh hijau terhadap tulang yaitu menekan resorpsi tulang dengan menstabilisasi kolagen, meningkatkan apoptosis osteoklas, dan menghambat pembentukan osteoklas. Kolagen merupakan komponen organik utama pada matriks ektraselular tulang. Penghapusan kolagen yang disebabkan oleh kolagenase jaringan dan cystine-proteinase merupakan langkah penting untuk resorpi tulang. Oleh karena itu, peningkatan resistensi kolagen terhadap kolagenase dapat mencegah degradasi kolagen, sehingga dapat menurunkan resorpsi tulang. Delaisse, dkk melaporkan bahwa efek penghambatan dari katekin mungkin karena produk oksidasinya yang terikat pada lapisan tipis dari kolagen yang tidak termineralisasi untuk memisahkan osteoblas yang sedang beristirahat dari matriks yang termineralisasi, sehingga mencegah penghapusannya dari osteoblas pensekresi kolagenase. Hal ini cukup untuk menghambat proses resorpsi tulang dengan mencegah aktivasi osteoklas. Jumlah osteoklas dalam satu organisme tergantung pada osteoklastogenesis dan apoptosis. Apoptosis osteoklas diatur oleh aktivasi caspase. EGCG menstimulasi aktivasi caspase-3 (caspase eksekutor), meningkatkan aktivitas caspase-3, dan pembelahan pro-caspase-3. Aktivasi NF-B dalam sel membuat sel lebih lama bertahan hidup dan melindungi dari aptoptosis, sehingga dengan menghambat aktivitas NF-B dapat mengurangi pertumbuhan sel. Polifenol dalam teh hijau dapat menghambat aktivasi NF-B, yang kemudian dapat menurunkan ekspresi protein Bcl-2 dan meningkatkan Bax, sehingga terjadi perubahan rasio Bax/Bcl-2 yang mendukung apoptosis. Selain itu, GTP juga mengaktivasi caspase 3 dan caspase 8. Temuan ini menunjukkan bahwa GTP menginduksi apoptosis osteoklas dengan melibatkan mekanisme caspase dan down regulation NF-B. Komponen bioaktif teh hijau dapat menekan pembentukan osteoklas dengan menghambat pelepasan MMP oleh osteoblas. Kolagenase (MMP-1 dan MMP-13) dan gelatinase A (MMP-2) dan B (MMP-9) dianggap sebagai MMP utama dalam proses pencernaan kolagen tulang oleh osteoblas (Shen, 2009).

Gambar 5. Target molekular GTP (Sinija, 2008)Terdapat 2 cara GTP dalam memodulasi aktivitas osteoimunologi, yaitu dengan menghambat diferensiasi osteoklas melalui sinyal RANKL dan mengatur produksi sitokin oleh sel imun. Pada artritis, faktor-faktor seperti RANKL dan sitokin inflamasi yang diproduksi oleh sel T, fibroblas sinovial, dan makrofag yang teraktivasi memfasilitasi pembentukan osteoklas. Maka dari itu, dengan menekan perkembangan osteoklas atau menghambat RANKL dan ekspresi M-CSF pada sendi yang mengalami inflamasi, merupakan salah satu pilihan dalam mengurangi erosi tulang pada artritis reumatoid. Marinobu, dkk melaporkan bahwa EGCG mengurangi aktivitas resorpsi tulang dan ekspresi gen spesifik osteoklas tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup sel (Shen, 2009).