karakteristik pada penderita artritis reumatoid

28
Karakteristik pada Penderita Artritis Reumatoid Teriany Widjaya 102012099 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1150 Email : [email protected] Abstrak: Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris, serta merupakan inflamasi kronik yang paling sering ditemukan pada sendi. Gejala khas dari kondisi ini adalah adanya poliartritis yang bersifat simetris dan persisten yang dapat terjadi pada kedua tangan dan kaki, meskipun sendi-sendi lain yang terdapat membrane synovial juga dapat terpengaruh. Dan untuk terapi pada penderita artritis reumatoid ini dapat dilakukan dengan terapi non farmakologik dan farmakologik. Kata kunci : Arthritis rheumatoid, inflamasi, sendi, membrane synovial Abstract: Rheumatoid arthritis is an inflammatory disease of bacterial non-systemic, progressive, tend to be chronic and the joints and connective tissue of the joints symmetrically, as well as a chronic inflammation that is most often found in the joints. The typical symptoms of this condition is the presence of symmetrical polyarthritis and persistent nature

Upload: teriany-wijaya

Post on 30-Sep-2015

39 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

Karakteristik Pada Penderita Artritis Reumatoid

TRANSCRIPT

Karakteristik pada Penderita Artritis Reumatoid Teriany Widjaya 102012099Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1150Email : [email protected] Abstrak:Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris, serta merupakan inflamasi kronik yang paling sering ditemukan pada sendi. Gejala khas dari kondisi ini adalah adanya poliartritis yang bersifat simetris dan persisten yang dapat terjadi pada kedua tangan dan kaki, meskipun sendi-sendi lain yang terdapat membrane synovial juga dapat terpengaruh. Dan untuk terapi pada penderita artritis reumatoid ini dapat dilakukan dengan terapi non farmakologik dan farmakologik.Kata kunci : Arthritis rheumatoid, inflamasi, sendi, membrane synovialAbstract:Rheumatoid arthritis is an inflammatory disease of bacterial non-systemic, progressive, tend to be chronic and the joints and connective tissue of the joints symmetrically, as well as a chronic inflammation that is most often found in the joints. The typical symptoms of this condition is the presence of symmetrical polyarthritis and persistent nature that can occur on both hands and feet, although other joints are synovial membrane may also be affected. And to therapy in patients with rheumatoid arthritis can be done with non-pharmacologic and pharmacologic therapies. Key word: Rheumatoid arthritis, inflammatory, joints, synovial membrane.

Pendahuluan :Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya tidak diketahui. Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris.1,2Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada ntegritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak, artritis reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada penderita yanglain dapat menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan fungsional.1Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tandadari artritis reumatoid adalah homogen, dan pola dari perubahan sendidipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara konsisten lebih sedikit terjadi padaorang Asia dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia.3

Pembahasan AnamnesisAnamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau relasi terdekat (allo-anamnesis). Anamnesis sangat penting dilakukan karena berguna untuk menegakkan diagnosis.4 Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.5Hal-hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu :1. Identitas pasien seperti nama, tempat / tanggal lahir, status perkawinan,pekerjaan, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, dan alamat.

1. Pernyataan dalam bahasa pasien tentang keluhan yang dialami.3.Riwayat penyakit sekarang (RPS): Pasien menjelaskan keluhan berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan keluhan mulai muncul, faktor yang mempengaruhi keluhan, konstan atau tidaknya keluhan, dan sebagainya. Informasi sebaiknya dalam susunan yang kronologis, termasuk obat-obatan yang sebelumnya telah dikonsumsi pasien juga harus ditanyakan. Keluhan sampingan seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, dan sebagainya juga dapat menunjang pemeriksaan. RPS harus ditanyakan sedetail mungkin agar keluhan pasien dapat segera diketahui sumbernya.1. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Pernahkah pasien mengalami nyeri sendi sebelumnya.1. Riwayat keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup / mati), dan penyakit yang ada atau pernah diderita pada anggota keluarga.1. Riwayat sosial: stressor (lingkungan kerja, sekolah, atau tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan, merokok, peminum, dll).5

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu memeriksan tanda vital dengan menukur suhu tubuh, denyut nadi, respirasi rate, berat badan, tekanan darah, tingkat kesadaran. Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selainitu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura,splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah.2

Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs(DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon.6

Pemeriksaan Penunjang Tidak ada test diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR. The America Collage of Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk elevasi abtara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah (LED), atau C-reactive protein (CRP).7 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita RA yang mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis buruk.Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI ( Magnetic Resomance Imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk Ar dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderita AR akan mengalami erosi tulang dalam 2tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi metacarpiphalangeal, metatarsophalangeal dan pergelangan tangan.

Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya erosi lebih awal dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi.

Pemeriksaan LaboratoriumTidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan halyang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukansekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahanusia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memilikifaktro reumatoid dalam titer yang rendah.1,8Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritisreumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/Ldengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis artritisreumatoid.1

Pemeriksaan RadiologiFoto PolosPada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelahsendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendidan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel.8Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun ada kalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembangsekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain,sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.CT Scan Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalammendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalammemperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yangsangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memilikikerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikanletak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.Ultrasonografi (USG)Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusidari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik.

Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi areakavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinyayang tidak rata dan lokasinya yang dalam.Magnetic Resonance Imaging (MRI)Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakankartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid. Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama padaartritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosisawal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edematulang, sinovitis, dan tenosinovitis.

Working DiagnosisRhematoid ArthritisArtritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dengan progresif, dimana sendi merupakan target utama.7

Manifestasi klinik klasik AR adalah poliartriitis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya kormodibitas. Menegakkan diagnosis dimulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progesifitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piraid terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMRAD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Mordibitas dan mortilitas AR berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR.

Epidemiologi Pada kebanyakan populasi didunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%.7 Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, Philipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% didaerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,65 didaerah kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan periode Januari sampai dengan Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

Etiologi Faktor GenetikEtiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen dengan HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azhathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih Ar yang mengekspresikan HLA-DR1 dan HLA-DR4 mempunyai angka kesesuain 80%.7Hormon SexPrevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini.7 Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gelaja Ar selama kehamilan. Perbaikan diduga karena : 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. 2. Adanya perubahan profit hormon. Placental corticotropin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan gen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.

Faktor InfeksiBeberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah re-aktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.7 Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.Protein heat shock (HSP)Protein heat shock (HSP) adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua spesies sebagai respon terhadap stres.7 Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikrobakterium tuberkulosa mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada gen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi immunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).Faktor ResikoFaktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderitaAR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.7 Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan resiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.PatogenesisKerusakan sendi pada AR dimulai dari poliferasi makrofag dan fibrosis sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor petumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan detruksi sendi dan komplikasi sistemik.PatofisiologiArtritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasilreaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi darifibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh tubuh. Orang-orangyang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, prosesinflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan selmesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosityang menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial,mediator ini dapat merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses initerus berlanjut dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringansendi atau terlihat ankilosis pada tulang.Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksiakibat proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendondan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama dengan radikal oksigen danmetabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial.Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yangdiproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melaluikerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi.Disepanjang pinggir panus, terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.8Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1(IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF- dan IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang.

Kriteria Diagnostik Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh krtiteria dari America collage of Rheumatoid. Pada penderita AR stadium awal (early) mungkin sulit menegakkan diagnosa definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.Differential DiagnosisOsteoartritisOsteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai olehadanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. 9

Gout ArtritisGout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu.10Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku.10Artritis SeptikArtritis septik atau disebut juga dengan atritis bakterialis.7 Artritis septik akut yang disebabkan infeksi non-micobakterial merupakan masalah serius, yang dihapadi baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi antara lain secara hematogen, penyebaran langsung dari osteomielitis, penyebaran dari jaringan sekitar sendi yang mengalami infeksi akibat tindakan prosedur diagnostik maupun terapeutik seperti atrosintesis araupun astrokopi dan luka tembus.Pasien dengan atritis septik akut ditandai nyeri sendi hebat, bengkak sendi, kaku, dan gangguan fungsi, di samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain seperti demam dan kelemahan umum.Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.7Etiopatologi dari lupus eritematosus sistemik (SLE) belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predeposisi penyakit ini. Pada kasus lupus eritematosus sistemik (SLE) yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan di duga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.

Manifestasi KlinisAwitan (onset)Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara per;ahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit.7 Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberpa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang sering berlangsung selama satu jam lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.

Manifestasi ArtikularPenderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja.7 Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah pergelangan tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada umunya simetris, meskipun pada persentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (detruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan pertumbuhan tulang pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat.

Manifestasi EkstraartikularWalaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titter faktor reumatoid (RF) serum tinggi.7 Nodul rematoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul rematoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul rematoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor rematoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam rematik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifetasi ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty sundrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.Terapi Detruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit.7 Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosa dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3bulan semenjak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi non farmakologik dan farmakologik.Terapi Non FarmakoligikBeberapa terappi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR.7 Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupunture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakann sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.Terapi Farmakologik Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intaartikular dan DMARD.7 Analgetik lainnya juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone, dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu pemberiam DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian, yaitu : 1.kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, 2.DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin, 3.manfaat DMARD bertambah biladiberikan secara kombinasi, 4.sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek menguntungkan.Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologis normal, bila dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat, maka pemberian leflunomide, azhathioprine atau terapi kombinasi (MTX ditambahsatu DMARD yang terbaru)bisa dipertimbangkan. Kategori obat secara individual akan dibahas dibawah ini.

OAINSOAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.7 Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai resiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10mg perhari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi.7 Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping seperti osteoporosis, katarak, gejala cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500mg dan vitamin D 400-800IU perhari. Bila artritis hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD terbaru saatini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARDPemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, bertanya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta.7 DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infiximab dan etarnecept. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yanga adekuat bila sedanng dalam terapi DMARD, oleh karena DMARD membahayakan fetus.Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2tahun. Antagonis TNF menurunkan konsentrasi TNF-, yang konsentrasinya ditemukan meningkatkan pada cairan sendi penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric IgG1 anti TNF- antibody.

Pemderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga merupakan rekombinan human IgG antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasikan dengan MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infeksi, khususnya reaktivasi tuberkulosis. Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor inteleukin-1. Beberapa uji klinis tersamar anda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan plasebo, baik diberikan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan MTX. Efek sampingnya antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20) menunjukan efek cukup baik. Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis DMARD.

Prognosis Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : aktor fungsional yang rendah, status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakut, ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.7

KesimpulanDari kasus yang ada, dapat disimpulkan bahwa perempuan ini menderita reumatoid artritis (RA/AR). Karena pada perempuan tersebut mengalami hal pada umumnya sendi yang terkena adalah pergelangan tangan, kaki, dan persendian besar lutut juga terkena. Dan pada artritis reumatoid ini merupakan penyakit yang khas pada kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung lama.

Daftar Pustaka0. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, LongoDL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrisons Principlesof Internal Medicine 16thed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76.0. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and DifferentialDiagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. RheumatoidArthritis 1sted. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23.0. Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rded. London: BMJ Books;2004.p.50-5.0. Davey P. At a glance medicine. Edisi pertama. Jakarta: Erlangga; 2009.h.76-8.0. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005.h.45.0. Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2nded. New York: Elsevier Saunders; 2004.p.310-1.1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. edisi 5 jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2495-2513.1. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91.1. Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM,editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-31. Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-617