tugas dr yetty

48
Bagian Ilmu Syaraf Referat Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman BANGKITAN PASCA STROKE Disusun oleh : Rheza Giovanni (1510029012) Pembimbing dr. Yetty Hutaheaen, Sp. S Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik SMF/Laboratorium Ilmu Syaraf 1

Upload: rheza-giovanni

Post on 08-Jul-2016

248 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Dr Yetty

Bagian Ilmu Syaraf Referat

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

BANGKITAN PASCA STROKE

Disusun oleh :

Rheza Giovanni (1510029012)

Pembimbingdr. Yetty Hutaheaen, Sp. S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikSMF/Laboratorium Ilmu SyarafProgram Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2016

1

Page 2: Tugas Dr Yetty

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang didefinisikan sebagai kejadian mendadak berupa terganggunya

kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom yang sifatnya

involunter dan berlangsung secara intermiten. Kejang disebabkan karena cetusan

listrik abnormal, berlebihan,dan hipersinkron dari sekelompok sel-sel saraf kortikal.2

Definisi klasik dari epilepsi mengacu pada kejang terus menerus atau berulang

yang berlangsung lebih dari 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Selama kejang,

aliran darah otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi asam

laktat meningkat. Kejang singkat jarang menghasilkan dampak pada otak. Sedangkan

pada kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik,

hiperkalemia, hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan

kerusakan neurologis permanen.3

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang

demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis,

ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat.4 Meskipun penyebab dari kejang

beragam namun pada fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok

mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal

pada pasien dengan kejang aktif.2

Stroke hingga saat ini termasuk penyebab tersering timbulnya serangan

kejang pada rentang usia lebih tua dari 35 tahun. Stroke muncul sebagai faktor risiko

terbanyak dari kasus yang didiagnosa epilepsy, selain penyebab-penyebab lain berupa

penyakit degenerative, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register pasien

stroke, sekitar 5 – 20% pasien memiliki serangan episode kejang, namun epilepsy

(kejang berulang) hanya terjadi pada sebagian kecil dari kelompok ini. Hampir sekitar

36500 kasus kejang pasca serangan stroke per tahunnya.4

2

Page 3: Tugas Dr Yetty

Stroke adalah sindroma klinis yang awal timbulnya mendadak, progesi cepat,

berupa deficit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih

atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan

peredaran darah otak non traumatik (Arif et al, 2000). Resiko terkena stroke

meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah usia 50 tahun, setiap penambahan usia tiga

tahun meningkatkan resiko stroke sebesar 1120%. Orang berusia lebih dari 65 tahun

memiliki resiko paling tinggi, tetapi hampir 25% dari semua stroke terjadi sebelum

usia tersebut, dan hampir 4% terjadi pada orang berusia antara 15 dan 40 tahun.5

Kurang dari 10% penderita stroke mengalami komplikasi atau gejala sisa

berupa kejang atau epilepsi. Hal ini paling besar kemungkinannya terjadi pada

mereka yang mengalami perdarahan intra serebral (Feigin, 2004). Bekas penderita

stroke dan kecelakaan yang melukai otak bisa terserang epilepsi. Di Indonesia sendiri

jumlah penderita penyakit ini semakin banyak karena pengidap kedua gangguan

tersebut terus bertambah setiap tahunnya. Yang lebih parah lagi, penyandang stroke

justru kini menyerang kelompok usia muda yang sangat produktif.6

Penyakit serebrovaskular (khususnya stroke) merupakan etiologi yg paling

sering diidentifikasi untuk epilepsi dewasa, sekitar 11% dari kasus. Stroke menjadi

semakin banyak menjadi penyebab dari kejang saat memeriksa populasi yang lebih

tua. Sebuah studi berbasis populasi di Swedia menemukan bahwa pada pasien lebih

dari 60 tahun, 45% dari populasi tersebut memiliki penyebab terbanyak episode

kejang pasca serangan stroke, diikuti oleh tumor (11%), dan penyakit Alzheimer

(7%). Stroke dikaitkan dengan peningkatan risiko 23-35 kali lipat mengalami episode

kejang, dan 17 kali lipat risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi epilepsi.

Stroke juga dapat menjadi sumber kejang signifigan pada orang dewasa muda.

Sebuah penelitian prospektif kohort dari 697 pasien 18-50 tahun yang lama menderita

gangguan serebrovaskular ditemukan memiliki risiko kumulatif dari epilepsy pasca

stroke dengan kejang berulang dari 8% setelah mengalami onset stroke lebih dari 10

tahun.7

3

Page 4: Tugas Dr Yetty

Oleh karena kuatnya hubungan antara episode kejang dengan pasien pasca

serangan stroke dibuatlah makalh ini, yang bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang

hubungan antara kejadian kejang pasca serangan stroke.

4

Page 5: Tugas Dr Yetty

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai

dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat

pelepasan aktivitas listrik berlebihan di otak. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi

kejang berulang karena ada proses yang mendasari tanpa provokasi dan biasanya

tidak terduga.8 Intractable seizure adalah kejang dimana penggunaan obat - obatan

tidak cukup kuat untuk menangani kejang. Status epileptikus adalah kejang yang

lebih dari 30 menit atau berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan

kesadaran.9

2.2. Klasifikasi Kejang

Kejang dapat diklasifikasikan menjadi8 :

1. Kejang parsial

Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu

hemisfer serebri (pada daerah yang terbatas dan terlokalisir di korteks). Kejang

parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada seseorang yang mengalami

kejang. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :

a) Kejang parsial simpleks

Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai

dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan

aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap

pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial

simpleks sering ditandai dengan perubahan abnormal dari aktivitas motorik,

perubahan abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis. Biasanya sering pula timbul

gejala atau sensasi awal dari kejang (Aura) yang terdiri dari rasa tidak nyaman pada

epigastrium,ketakutan,dan halusinasi.

5

Page 6: Tugas Dr Yetty

b) Kejang parsial kompleks

Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi

dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang ini diakibatkan

penyebaran cetusan pada jaringan otak secara bilateral,kearah basal pada bagian

frontal dan sistem limbik. 80% kejang ini berasal dari lobus temporal dan sisanya dari

lobus frontal serta occipital. Pada saat kejang, pandangan mata anak tampak linglung,

mulut anak seperti mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan

seringkali disertai mual dan muntah.

c) Kejang parsial dengan kejang umum sekunder

Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan

gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya

menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan

kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum

Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan kedua

hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum

dapat dikelompokkan menjadi :

1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)

Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi.

Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun pada beberapa kasus

kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Aura nya terdiri dari

ansietas,irritabilitas,penurunan konsentrasi dan rasa sakit pada kepala. Pada awal fase

tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot

yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan

inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi

gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada

ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran selama episode kejang berlangsung dan

bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.

6

Page 7: Tugas Dr Yetty

2. Kejang tonik

Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Pada hal

ini tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang

progresif.

3. Kejang klonik

Kejang klonik ditandai dengan gerakan yang menyentak,repetitif,tajam,lambat.

4. Kejang mioklonik

Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan

menyentak,involunter,mendadak,dan cepat. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga

ratusan kali per hari.

5. Kejang atonik

Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba (drop

attack).

6. Kejang absens

Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau

disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal

ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik secara tiba – tiba, kehilangan

kesadaran sementara secara singkat yang disertai dengan tatapan kosong. Sering

tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi

kurang dari 30 detik. Sedangkan pada kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan

seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan

disertai dengan perubahan kesadaran7.

3. Kejang tak terklasifikasi

Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak

dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.6

7

Page 8: Tugas Dr Yetty

2.3. Etiologi dan Faktor resiko10

Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial

dan ekstrakranial.

1. Intrakranial

Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan

sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder

dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti

hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, trauma kepala, dan perdarahan

intracranial.

2. Ekstrakranial

Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme

seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia, hiperproteinemia,

hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga

disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak.

Faktor resiko :

Trauma kepala,stroke, ensefalitis virus, alkohol, Alzheimer,

ketidakseimbangan elektrolit, meningitis, cedera kepala sedang, tumor, gangguan

metabolik, infeksi sistim saraf pusat,anomali kongenital, penyakit serebrovaskular,

penyakit degeneratif.

2.4. Patofisiologi10

a) Kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan

muatan listrik yang berlebihan.

b) Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat

(GABA).

c) Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter asam glutamat dan

aspartat melalui jalur eksitasi berulang. (referat kejang)

8

Page 9: Tugas Dr Yetty

2.5 Hubungan stroke dengan kejadian kejang

Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian

otak tibatiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan

serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan selsel otak.

Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh

jaringan itu.11

Andaikata otak kita anggap sebagai pusat komputer yang secara elektronik

mengendalikan seluruh aktivitas badan kita, serangan kejang pada epilepsy adalah

wujud lepasnya muatan listrik abnormal secara bersamaan dan tidak terprogram dari

sekumpulan selsel otak atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya muatan listrik secara

tidak terkontrol ini adalah kejang-kejang yang bisa dimulai dari lengan atau tungkai

kemudian menyebar ke seluruh tubuh.12

Sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba

melepaskan muatan listriknya ini disebabkan karena ada perubahan baik anatomis

(struktur/bentuk) maupun biokimiawi pada sel-sel itu atau pada lingkungan di

sekitarnya. Perubahan terjadi akibat trauma fisik/benturan/memar pada otak,

berkurangnya aliran darah/zat asam akibat penyempitan pembuluh darah,

pendesakan/rangsangan oleh tumor, dan yang terpenting (dan baru akhir-akhir ini

diketahui) adalah proses sklerosis, yaitu jaringan otak yang mengalam "pengerasan”

akibat dari digantikannya selsel saraf/neuron oleh selsel penyokong/selsel

glia/jaringan parut.12

2.6 Definisi Stroke

Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis

yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun

global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam yang tidak

disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke

9

Page 10: Tugas Dr Yetty

akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatic,

perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarachnoid (PSA).13,14

Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat gangguan di

daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya kelemahan unilateral

akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non fokal/global misalnya adalah

terjadinya gangguan kesadaran sampai koma. Gangguan neurologi non fokal tidak

selalu disebabkan oleh stroke. Ada banyak penyebab lain yang mungkin

menyebabkannya. Oleh karena itu gejala non fokal tidak seharusnya diinterpretasikan

sebagai akibat stroke kecuali bila disertai gangguan neurologis fokal.13

2.7 Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas

gambaran klinik, patologi anatomi, system pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar

klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara

pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa.

Adapun klasifikasi tersebut, antara lain:13,14,15

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

I. Stroke Iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Trombosis serebri

c. Embolia serebri

II. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intra serebral

b. Perdarahan subarachnoid

Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu:

a. Serangan iskemik sepintas/ TIA

Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan

peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam

10

Page 11: Tugas Dr Yetty

b. RIND

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu

lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.

c. Progressing stroke atau stroke in evolution

Gejala neurologik yang makin lama makin berat

c. Completed stroke

Gejala klinis sudah menetap.

2.8 Jenis-jenis Stroke

Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat

diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan stroke hemoragik (perdarahan). Pada

stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah

yang telah menyumbat suatu pembuluh darah. Pada stroke hemoragik, pembuluh

darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke

dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. 16,17

Gambar 4 Jenis-jenis stroke

11

Page 12: Tugas Dr Yetty

1. Stroke Iskemik

Stroke iskemik disebut juga stroke sumbatan atau stroke infark dikarenakan

adanya kejadian yang menyebabkan aliran darah menurun atau bahkan terhenti sama

sekali pada area tertentu di otak, misalnya terjadinya emboli atau trombosis.

Penurunan aliran darah ini menyebabkan neuron berhenti berfungsi. Aliran darah

kurang dari 18 ml/100 mg/menit akan mengakibatkan iskemia neuron yang sifatnya

irreversibel. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis

ini.13

Aliran darah ke otak pada stroke iskemik terhenti karena aterosklerosis

(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau adanya bekuan darah

yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Penyumbatan dapat terjadi di

sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak)

bisa terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran

darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal

memberikan darah ke sebagian besar otak.13

Terjadinya hambatan dalam aliran darah pada otak akan mengakibatkan sel

saraf dan sel lainnya mengalami gangguan dalam suplai oksigen dan glukosa. Bila

gangguan suplai tersebut berlangsung hingga melewati batas toleransi sel, maka akan

terjadi kematian sel. Sedangkan bila aliran darah dapat diperbaiki segera, kerusakan

dapat diminimalisir.13

Gambar 5 Stroke iskemik

12

Page 13: Tugas Dr Yetty

Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dibagi menjadi dua,

yaitu akibat trombosis atau akibat emboli. Diperkirakan dua per tiga stroke iskemik

diakibatkan karena trombosis, dan sepertiganya karena emboli. Akan tetapi untuk

membedakan secara klinis, patogenesis yang terjadi pada sebuah kasus stroke

iskemik tidak mudah, bahkan sering tidak dapat dibedakan sama sekali.13

Trombosis dapat menyebabkan stroke iskemik karena trombosis dalam

pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya oklusi (gerak menutup atau keadaan

tertutup) arteri serebral yang besar, khususnya arteri karotis interna, arteri serebri

media, atau arteri basilaris. Namun, sesungguhnya dapat pula terjadi pada arteri yang

lebih kecil, yaitu misalnya arteri-arteri yang menembus area lakunar dan dapat juga

terjadi pada vena serebralis dan sinus venosus.13

Stroke karena trombosis biasanya didahului oleh serangan TIA (Transient

ischemic attack). Gejala yang terjadi biasanya serupa dengan TIA yang mendahului,

karena area yang mengalami gangguan aliran darah adalah area otak yang sama. TIA

merupakan defisit neurologis yang terjadi pada waktu yang sangat singkat yaitu

berkisar antara 5-20 menit atau dapat pula hingga beberapa jam, dan kemudian

mengalami perbaikan secara komplit. Meskipun tidak menimbulkan keluhan apapun

lagi setelah serangan, terjadinya TIA jelas merupakan hal yang perlu ditanggapi

secara serius karena sekitar sepertiga penderita TIA akan mengalami serangan stroke

dalam 5 tahun. Dalam keadaan lain, defisit neurologis yang telah terjadi selama 24

jam atau lebih dapat juga mengalami pemulihan secara komplit atau hampir komplit

dalam beberapa hari. Keadaan ini kerap diterminologikan sebagai stroke minor atau

reversible ischemic neurological defisit (RIND).13,17

Emboli menyebabkan stroke ketika arteri di otak teroklusi oleh adanya

trombus yang berasal dari jantung, arkus aorta, atau arteri besar lain yang terlepas dan

masuk ke dalam aliran darah di pembuluh darah otak. Emboli pada sirkulasi posterior

umumnya mengenai daerah arteri serebri media atau percabangannya karena 85%

13

Page 14: Tugas Dr Yetty

aliran darah hemisferik berasal darinya. Emboli pada sirkulasi posterior biasanya

terjadi pada bagian apeks arteri basilaris atau pada arteri serebri posterior.17

Stroke karena emboli memberikan karakteristik dimana defisit neurologis

langsung mencapai taraf maksimal sejak awal (onset) gejala muncul. Seandainya

serangan TIA sebelum stroke terjadi karena emboli, gejala yang didapatkan biasanya

bervariasi. Hal ini dikarenakan pada TIA yang terjadi mendahului stroke iskemik

karena emboli, umumnya mengenai area perdarahan yang berbeda dari waktu ke

waktu.17

Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam

darah yang kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis dan arteri

vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah

yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke

semacam ini disebut emboli serebral, yang paling sering terjadi pada penderita yang

baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau

gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli lemak terbentuk jika

lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya

bergabung di dalam sebuah arteri.17

2. Stroke hemoragik13

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial

non traumatik. Pada strok hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat

aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan

merusaknya.

14

Page 15: Tugas Dr Yetty

Gambar 6 Stroke hemoragik

Hampir 70% kasus strok hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke

hemoragik meliputi perdarahan di dalam otak (intracerebral hemorrhage) dan

perdarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan yang melindungi

otak (subarachnoid hemorrhage). Gangguan lain yang meliputi perdarahan di dalam

tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya disebabkan

oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak

dipertimbangkan sebagai stroke. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci mengenai

jenis-jenis stroke hemoragik:

a) Intracerebral hemorrhage (perdarahan intraserebral)

Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya ekstravasasi darah ke dalam

jaringan parenkim yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam. Stroke jenis ini

berjumlah sekitar 10% dari seluruh stroke tetapi memiliki persentase kematian lebih

tinggi dari yang disebabkan stroke lainnya. Di antara orang yang berusia lebih tua

dari 60 tahun, perdarahan intraserebral lebih sering terjadi dibandingkan perdarahan

subarakhnoid.

Perdarahan intraserebral sering terjadi di area vaskularis dalam pada lapisan

hemisfer serebral. Perdarahan yang terjadi kebanyakan pada pembuluh darah

berkaliber kecil dan terdapat lapisan dalam (deep arteries). Perdarahan intraserebral

sangat sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis (hipertensi) melemahkan

arteri kecil, menyebabkannya menjadi pecah. Korelasi hipertensi sebagai kausatif

15

Page 16: Tugas Dr Yetty

perdarahan ini dikuatkan dengan pembesaran vertikel jantung sebelah kiri pada

kebanyakan pasien. Hipertensi yang menahun memberikan resiko terjadinya stroke

hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah otak diakibatkan karena adanya proses

degeneratif pada dinding pembuluh darah.

Beberapa orang yang tua memiliki kadar protein yang tidak normal disebut

amyloid yang menumpuk pada arteri otak. Penumpukan ini (disebut amyloid

angiopathy) melemahkan arteri dan bisa menyebabkan perdarahan. Umumnya

penyebabnya tidak banyak, termasuk ketidaknormalan pembuluh darah yang ada

ketika lahir, luka, tumor, peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis), gangguan

perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Gangguan

perdarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko sekarat dari

perdarahan intraserebral.

Perdarahan intraserebral ini merupakan jenis stroke yang paling berbahaya.

Lebih dari separuh penderita yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam

beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi

otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.

b) Subarachnoid hemorrhage (perdarahan subarakhnoid)

Perdarahan subarakhnoid adalah perdarahan ke dalam ruang (ruang

subarachnoid) diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid

mater) para jaringan yang melindungan otak (meninges). Penyebab yang paling

umum adalah pecahnya tonjolan pada pembuluh (aneurisma). Biasanya, pecah pada

pembuluh menyebabkan tiba-tiba, sakit kepala berat, seringkali diikuti kehilangan

singkat pada kesadaran. Perdarahan subarakhnoid adalah gangguan yang mengancam

nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-

satunya jenis stroke yang lebih umum terjadi pada wanita.

Perdarahan subarakhnoid biasanya dihasilkan dari luka kepala. Meskipun

begitu, perdarahan mengakibatkan luka kepala yang menyebabkan gejala yang

16

Page 17: Tugas Dr Yetty

berbeda dan tidak dipertimbangankan sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid

dipertimbangkan sebagai sebuah stroke hanya ketika hal itu terjadi secara spontan,

yaitu ketika perdarahan tidak diakibatkan dari kekuatan luar, seperti kecelakaan atau

jatuh.

Perdarahan spontan biasanya diakibatkan dari pecahnya secara tiba-tiba

aneurisma di dalam arteri cerebral. Aneurisma menonjol pada daerah yang lemah

pada dinding arteri. Aneurisma biasanya terjadi dimana cabang nadi. Aneurisma

kemungkinan hadir ketika lahir (congenital), atau mereka berkembang kemudian,

setelah tahunan tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan

perdarahan subarakhnoid diakibatkan dari aneurisma sejak lahir.

Perdarahan subarakhnoid terkadang diakibatkan dari pecahnya jaringan tidak

normal antara arteri dengan pembuluh (arteriovenous malformation) di otak atau

sekitarnya. Arteriovenous malformation kemungkinan ada sejak lahir, tetapi hal ini

biasanya diidentifikasikan hanya jika gejala terjadi. Jarang, penggumpalan darah

terbentuk pada klep jantung yang terinfeksi, mengadakan perjalanan (menjadi

embolus) menuju arteri yang mensuplai otak, dan menyebabkan arteri menjadi

meradang. Arteri tersebut bisa kemudian melemah dan pecah.

17

Page 18: Tugas Dr Yetty

POST STROKE SEIZURES

Dewasa ini, Stroke adalah penyebab tersering dari kejang, dan juga kejang

adalah sekuel neurologic tersering dari serangan stroke. Sekitar 10% dari pasien

stroke memiliki episode serangan kejang, mulai dari onset serangan pertama kali

hingga beberapa tahun kemudian.4

2.9 Definisi (jurnal stroke buku)

a) Post stroke seizures

Merupakan suatu episode kejang, dengan frekuensi tunggal ataupun multiple

yang terjadi setelah serangan stroke dan diduga berhubungan dengan adanya

kerusakan otak yang reversible ataupun ireversibel akibat stroke, terlepas dari kapan

onset munculnya episode kejang setelah stroke.

b) Post stroke epilepsi

Kejang berulang yang terjadi setelah serangan stroke diagnosis sebagai

epilepsy. Definisi yang paling umum digunakan adalah Epilepsi pasca-stroke (EPS)

diidefinisikan sebagai dua atau elbih episode kejang spontan tanpa provokasi yang

terjadi ≥ 1 minggu setelah serangan stroke. Secara umum, kejang pasca stroke

diklasifikasikan sebagai early onset seizures dan late onset seizures. Kejang yang

terjadi dalam waktu 24-48 jam, minggu, atau kurang dari 2 minggu. Late onset

seizures didefinsikan sebagai kejang yang terjadi setidaknya dua minggu setelah

serangan stroke.

2.10 Epidemiologi

Stroke hingga saat ini termasuk penyebab tersering timbulnya serangan

kejang pada rentang usia lebih tua dari 35 tahun. Stroke muncul sebagai faktor risiko

terbanyak dari kasus yang didiagnosa epilepsy, selain penyebab-penyebab lain berupa

penyakit degenerative, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register pasien

stroke, sekitar 5 – 20% pasien memiliki serangan episode kejang, namun epilepsy

18

Page 19: Tugas Dr Yetty

(kejang berulang) hanya terjadi pada sebagian kecil dari kelompok ini. Hampir sekitar

36500 kasus kejang pasca serangan stroke per tahunnya.

Prevalensi kejang dibagi berdasarkan jenis kelaminnya. Insidensinya terjadi

0,7% pada laki-laki di atas 65 tahun dan meningkat menjadi 1,5% setelah usia 80

tahun, sedangkan pada wanita adalah 0,5% untuk usia di atas 65 tahun dan ada

peningkatan tiga kali lipat (1,5%) setelah usia 80 tahun. (journal buku) Dari

penelitian lain mengemukakan, insiden kejang pasca stroke adalah 4,7% pada laki-

laki yang lebih tua dari 75 tahun dan 3,7% pada wanita yang lebih tua dari 75 tahun

dan semua kejadian lainnya sekitar 4,4-9,8%. Insiden epilepsi meningkat pada pasien

dengan infark serebral, perdarahan dan faktor risiko vaskular. Early onset seizures

lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan late onset seizures lebih mengarah ke

kejang umum. Status epileptikus jarang terjadi dan lebih sering terjadi pada pasien

dengan cacat berat.

Kejang lebih sering muncul pada kasus serangan stroke hemoragik dari pada

stroke iskemik. Berdasarkan penelitian dari Bladin dkk. didapatkan kasus kejang

muncul sekitar 10,6%, sekitar 265 pasien dengan perdarahan intraserebral.

Dibandingkan dengan 8,6%, sekitar 163 pasien dengan stroke iskemik. Pada

penelitian prospektif lain, didapatkan kejang muncul pada 4,4% dari 1000 pasien,

dimana 15,4% pasien memiliki perdarahan intracerebral luas ataupun perdarahan

intralobularis, 8,5% dengan perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal,

dan 3,7% dengan transient ischemic attack. Kejang muncul pada sekitar 30% dari

1402 pasien dengan perdarahan intracerebral.

19

Page 20: Tugas Dr Yetty

Tabel 1. Data epidemiologi kejang pasca stroke

2.11 Klasfikasi dan patogenesis

Kejang pasca serangan stroke diklasfikasikan menjadi early onset dan late

onset, mengacu kepada onset munculnya serangan kejang setelah terjadi iskemia pada

otak. Batas waktu 2 minggu pasca munculnya serangan stroke telah dijadikan acuan

sebagai pembeda antara kejang late onset atau early onset.

Serangan kejang yang paling awal dari early onset seizure adalah 1 sampai 2

hari pasca serangan akut iskemi. Hampir setengah (43%) dari pasien dengan serangan

kejang pasca stroke terjadi 24 jam pasca serangan stroke. Begitu pula dengan

serangan kejang pasca stroke hemoragik juga lebih banyak terjadi antara 24 jam

pasca serangan.

20

Page 21: Tugas Dr Yetty

Selama terjadinya kerusakan otak akibat iskemia, terjadi penumpukan dari

kadar natrium dan kalsium di intrasel yang menyebabkan terjadinya depolarisasi dari

potensial transmembran dan juga efek-efek yang muncul dipicu oleh peningkatan

kalsium. Terjadinya perpindahan lokal dari ion-ion ini akan menurunkan batas

ambang dari kejang. Mekanisme penyebab paling kuat adalah adanya peningkatan

kadar glutamate akibat kematian sel yang bersifat eksitotoksisitas terhadap ambang

kejang. Obat-obatan antiglutaminergik dapat berperan juga sebagai meuroprotektif,

selain sebagai terapi untuk mengobati kejang.

Semakin besar disfungsi metabolic lokal yang terjadi memiliki hubungan

yang relevan dengan semakin awalnya onset kejang yang muncul. Pada pasien

dengan regio iskemik hipoksia yang luas, terjadi pengeluaran neurotransmitter

eksitotoksik dalam jumlah besar di ekstraseluler. Pada penelitian dengan

menggunakan hewan coba, terjadi peningkatan eksitabilitas potensial transmembran,

yang diasumsikan sebagai penurunan ambang kejang dari hewan tersebut. Jaringan

antara daerah penumbra dan daerah jaringan yang masih viable yeng berdekatan

dengan daerah infark pada stroke iskemik, merupakan jaringan yang iritabel terhadap

impuls listrik dan diduga merupakan suatu titik focus dari aktifitas kejang.

Selain akibat lokal iskemik, global hipoperfusi juga dapat menyebabkan

aktifitas kejang. Hipoksik-iskmeik ensefalopati adalah salah penyebab tersering dari

status epileptikus dan merupakan suatu indikasi prognosis buruk.

Pada late onset seizures. Dilakukan penelitian dengan menggunakan kontras,

terjadi perubahan persisten dari eksitablitas neuron. Penggantian sel parenkim otak

yang sehat dengan neuroglia dan sel imun diduga berperan untuk membentuk

terjadinya sikatriks atau parut pada parenkim otak. Dan perlu digaris bawahi bahwa

adanya lesi permanen ini menjelaskan tingginya frekuensi epilepsy pada pasien

dengan late onset seizures dari pada early onset seizures. Pada pasien dengan stroke

iskemik, epilepsy berkembang pada sekitar 35 % pasien dengan early onset seizures

dan 90 % pasien dengan late onset seizures. Pada pasien dengan stroke hemoragik,

21

Page 22: Tugas Dr Yetty

epilepsy berkembang pada 29 % pasien dengan early onset seizures, dibandingkan

dengan 93% pasien dengan late onset seizures.

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada

kejang pasca serangan stroke. Kejang pasca serangan stroke lebih sering berkembang

pada pasien yang memiliki lesi luas yang melibatkan banyak lobus otak dari pada

yang hanya mengenai satu lobus. Namun bagaimanapun, stroke yang hanya

melibatkan daerah subkortikal sekalipun, kadang-kadang dapat berhubungan dengan

kejang. Dari penelitian terbaru, dengan mengandalkan pada teknik neuroimaging

dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak dapat mendeteksi lesi yang berukuran

kecil yang dapat menyebabkan suatu aktifitas elektrik patologis.

Bila dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lobus

yang terkena dianggap sebagai lokasi sumber epileptogenic pada pasien dengan

perdarahan intraserebral. Dari penelitian serial pada 123 pasien, insiden kejang

tertinggi terjadi pada perdarahan di struktur lobus kortikal (54%). Insiden lebih

rendah terjadi pada perdarahan di basal ganglia (19%). Kejang tidak muncul pada

perdarahan yang terjadi di thalamus. Perdarahan yang terjadi akibat thrombosis

venous cerebral juga dapat menimbulkan gejala kejang. Perdarahan parenkimal

bahkan kortikal yang berasal dari kongestif vena lokal juga sering menyebabkan

aktifitas kejang.

Mekanisme terjadinya kejang yang di inisiasi oleh perdarahan memang tidak

dapat dipungkiri. Produksi hasil metabolisme darah, seperti hemosiderin, dapat

menyebabkan terjadinya iritasi fokal pada cerebri yang dapat menyebabkan kejang.

Penelitian pada hewan menunjukan, penumpukan ion besi pada korteks serebri dapat

menyebabkan epileptic fokal. Pada pasien dengan perdarahan subarachnoid, terjadi

perdarahan yang masuk ke basal sisterna yang secara langsung dapat berkontak

dengan lobus temporal dan frontalis. Pasien dengan perdarahan subarachnoid juga

memiliki kemungkinan adanya perdarahan dalam komponen intraparenkimal (gambar

1)

22

Page 23: Tugas Dr Yetty

Satu-satunya predictor klinis pada pasien kejang pasca stroke iskemik adalah

keparahan dari deficit neurologis yang terjadi pada pasien tersebut. Semakin parah

kerusakan otak ataupun deficit neurologis yang terjadi dapat memprediksikan

kemungkinan terjadinya kejang. Berdasarkan penelitian epidemiologi oleh

Oxfordshire Community Stroke Project, hanya sekitar 3 % dari 225 pasien yang

memiliki onset setelah 1 bulan pasca serangan stroke. Pasien ini menunjukan adanya

suatu deficit neurologis berat dan memiliki stroke luas yang melibatkan kortikal area

yang luas.

Beberapa faktor risiko dari kejang setelah terjadi perdarahan subarachnoid

mencakup aneurisma arteri cerebral media, hematom intraparenkimal, infark cerebri,

riwayat hipertensi, dan ketebalan dari cloting di sisterna.

23

Page 24: Tugas Dr Yetty

Gambar 1. Kejang pasca perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid. Pasien 82 tahun dating dengan keluhan nyeri kepala mendadak, disfasia, dan hemiparesis kanan. Pasien sedang dalam terapi antikoagulan untuk atrial fibrilasi kronik. Hasil dari pemeriksaan CT-Scan (A) Terdapat perdarahan akut intraparenkimal lobus temporal yang berdekatan dengan perdarahan subdural dan subarachnoid. Lesi diakibatkan oleh adanya aneurisma dari arteri cerebri media, yang telah dioperasi. Selama periode postoperative, pasienn memiliki episode kedutan pada wajah sebelah kanan yang berhubungan dengan perburukan sementara dari afasia pasien. CT-Scan postoperative 3 bulan kemudian (B) Memperlihatkan lesi hipodense di lobus midtemporal, di fossa cranial media. Temuan Elektroencepalografi (EEG) menunjukan gelombang paku fokal, konsisten dengan aktifitas kejang, diikuti dengan gelombang epiletiform pada hemisfer kiri.

24

Page 25: Tugas Dr Yetty

Lesi Vascular dapat menyebabkan terjadinya kejang dengan mekanisme yang

berbeda. Kejang yang terjadi akibat arteriovena malformasi dan aneurisma muncul

ketika lesi tersebut rupture. Namun lesi vascular saja dapat menyebabkan kejang

dengan secara langsung mengiritasi jaringan parenkim otak disekitarnya (gambar 2).

Kejang yang muncul pada kasus lesi vascular yang telah dilakukan tindakan

revaskulariasi, paling sering muncul pada tindakan carotid endarterecomy pada kasus

stenosis arteri carotis eksternal yang berat. Hal ini disebut sebagai reperfusion

syndrome. Reperfusion syndrome pertama kali di paparkan oleh sundt dkk, terdiri

dari aktifitas kejang fokal sementara, serangan nyeri kepala migraine atipikal, dan

perdarahan intracranial. Meskipun trias klinis tersebut sering tidak muncul. Onset dari

syndrome ini muncul antara beberapa hari hingga 3 minggu pasca tindakan

revaskularisasi. Dan sering ditandai dengan gejala awal dengan keluhan nyeri kepala

ipsilateral.

25

Page 26: Tugas Dr Yetty

Gambar 2. Lesi massa yang menimbulkan kejang fokal. Seorang wanita berusia 43 tahun datang ke IGD setelah mengalami kejang fokal tipe klonik pada bagian tubuh sebelah kanan, diikuti dengan kehilangan kesadaran. CT-scan ini menunjukan dengan kontras ini menunjukan adanya giant aneurysm pada arteri cerebri media yang berdekatan dengan bagian cerebri yang mengalami edem. Kontras masuk kedalam aneurisma dan sehingga terbentuk batas wilayah yang mengalami thrombus. Pasien dilakukan tindakan craniotomy dengan trombektomi dan aneurysm clipping.

26

Page 27: Tugas Dr Yetty

2.12 Faktor Risiko

Jenis stroke seperti apa yang menyebabkan pasien cenderung untuk

berkembang menjadi epilepsy pasca stroke? Insiden tertinggi adalah pada stroke

dengan lesi hemoragik dan lokasi lesi merupakan faktor penentu penting dari insiden

kejang pasca stroke. Tidak ada pemeriksaan diagnostik tunggal. Menggunakan

kombinasi modalitas diagnostik dapat berguna dalam menentukan penyebabn kejang

dalam banyak kasus.

27

Page 28: Tugas Dr Yetty

Tabel 2. Daftar faktor risiko dari subtype stroke yang memiliki kemungkinan episodic kejang ppasca serangan

2.13 Manifestasi klinik

Mengingat bahwa penyebab paling banyak dari kejang pasca stroke adalah

lesi fokal, maka tipe kejang poststroke yang paling umum muncul adalah tipe kejang

fokal (parsial). Dari penelitian terhadap 90 pasien dengan early onset seizures, tipe

kejang parsial simple adalah yang paling sering muncul (61%), diikuti dengan kejang

umum sekunder (28%). Pada penelitian yang lain juga membagi bahwa pada early

onset seizures, lebih sering terjadi kejang parsial, sedangkan pada late onset seizures

lebih sering terjadi kejang umum sekunder. Kebanyakan kejang berulang yang

muncul adalah dari jenis yang sama seperti episode presentasi, dan cenderung

kambuh dalam kurun waktu rata-rata 1 tahun.

Dalam penelitian dalam jumlah besar pada kasus kejang poststroke, 9 %

memiliki episode status epileptikus. Status epileptikus ini hanya berhubungan dengan

dengan tingkat disabilitas fungsional, namun tidak berhubungan dengan tingkat

kematian, tipe stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal),

ukuran lesi, ataupun dari gelombang EEG.

Gejala kejang pada reperfusi syndrome biasanya muncul diawali dengan

kejang fokal terlebih dahulu laly diikuti dengan kejang generalisata sekunder.

Aktifitas kejang selalu muncul pada daerah vascular ipsilateral yang dilakukan

pembedahan. Kadang-kadang, status epileptikus dapat terjadi kemudian (Gambar 3).

28

Page 29: Tugas Dr Yetty

Gambar 3. Status epileptikus yang terjadi pada reperfusion syndrome. Seorang wanita berusia 66 menjalani tindakan endarterectomy arteri carotis kanan atas indikasi penyakit asimptomatik ekstrakranial artery carotid 3 hari sebelumnya. Pasien bangun dengan keluhan nyeri kepala, diikuti dengan gerakan klonik pada lengan kiri. Kemudian gejala ini berkembang menjadi kejang umum tonik-klonik, yang tidak membaik dengan terapi lorazepam dan fenitoin. Pemeriksaan monitoring EEG menunjukan adanya gelombang lateralized epiletiform discharges, yang muncul setiap 2 sampai 5 menit dan berlangsung selama beberapa detik. (A) Pemeriksaan diffusion-weighted MRI menunjukan thalamic pada sisi kanan (C) fenobarbital telah diberikan, dan menunnjukan adanya penurunan aktiftas dari gelombang kejang.

29

Page 30: Tugas Dr Yetty

2.14 Diagnostik

Holmes menemukan pasien yang memiliki atau mengeluarkan gelombang

periodic lateralizing epiletiform dan bilateral independent periodic lateralizing

epiletifoorm pada pemeriksaan EEG setelah serangan stroke sangat rentan

berkembang menjadi kejang. Pasien yang memiliki gelombang focal spikes juga

memiliki risiko hingga 78% menjadi kejang. Gelombang perlambatan focal,

perlambatan difus, dan temuan normal pada EEG berhubungan dengan risiko rendah

mengalami kejang pasca stroke dengan kemungkinan 20%, 10%, dan 5%.

Pemeriksaan penunjang lain, khususnya neuroanatomical imaging, yang dapat

menemukan adanya keterlibatan kortikal lebih prediktif untuk memprediksi

terjadinya epilepsy dari pada hanya dengan pemeriksaan EEG tunggal.

Gelombang perlambatan fokal pada EEG kemungkinan menggambarkan

adanya suatu daerah jaringan iskemik ataupun infark yang luas disertai dengan

keterlibatan korteks serebri dan territorial subkortikal. Sebagai tambahan

pemeriksaan penunjang, EEG dapat membantu untuk pemeriksaan awal pada pasien

yang memiliki gejala neurologic fokal yang buruk pasca serangan stroke. Pada pasien

tertentu, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi adanya iskemia pada hemisfer otak

dan menyangkal adanya kejang yang sedang berlangsung sebagai penjelasan untuk

sindrom neurologis akut. Gambaran EEG yang normal tidak secara pasti mengekslusi

iskemi cerebral, khususnya di daerah subkortikal atau subtentorial serebri ataupun

aktifitas kejang yang hilang timbul (intermittent).

Kejang pasca stroke ini dapat menggambarkan adanya suatu infark atau

iskemi yang dapat ditemukan dengan pemeriksaan neuroimaging. Penelitian dari

landsberg dkk. menunjukan adanya temuan abnormal dari hasil MRI pada 3 pasien

dengan status epileptikus parsial.

2.15 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari kejang pasca iskemia dapat mengacu ke beberapa

penyebab. Pengobatan, drug therapy withdrawal (contoh: benzodiazepin) dan

gangguan metabolic (contoh: abnormalitas kada glukosa) dapat menyebabkan

30

Page 31: Tugas Dr Yetty

terjadinya kejang umum, kecuali jika sudah ditemukannya lesi yang mendasari

kejang tersebut. Migrain-related focal phenomenon dan transient ischemic attack

dapat menghasilkan gelombang perlambatan fokal pada EEG. Namun walaupun

ditemukan abnormalitas dari gelombang EEG, kelainan metabolism glukosa juga

tidak boleh diabaikan.

2.16 Penatalaksanaan

Saat ini sedikit penelitian yang membandingkan efek dari jenis-jenis obat

antiepilepsi yang berbeda pada pasien kejang pascastroke, namun saat ini monoterapi

dapat digunakan untuk mengontrol kejang pada 88% dari total pasien kejang post

stroke. Karbamazepin yang paling umum digunakan. Lamotrigin baik ditoleransi

pada kasus epilepsi yang baru didiagnosa khusunya pada pasien dengan usia lanjut

dan dapat membuat periode bebas kejang yang lebih lama dari pada Karbamezepin.

Benzodiazepin, khususnya lorazepam, berguna pada saat kejang sedang berlangsung.

Pilihan monoterapi harus disesuaikan dengan setiap pasien dengan

mempertimbangkan rute pemberian, interaksi dengan obat lain dan komorbiditas.

Perlu perhatian lebih pada saat meresepkan obat anti epilepsi pada populasi usia

lanjut karena mereka lebih cenderung untuk mengkonsumsi obat lain, contoh pada

beberapa obat, misalnya. warfarin dan digoxin, sehingga meningkatkan risiko

interaksi obat melalui enzim hati berupa induksi atau penghambatan. Perubahan

fisiologis pada orang tua cenderung memberi efek kepada farmakokinetik obat anti

epilepsi dan mengganggu pengeluaran obat. Pasien dengan gangguan ginjal atau hati

mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Pilihan obat juga dapat dibatasi oleh efek

samping, paling sering sedasi.

Ada beberapa studi yang menunjukkan adanya hubungan antara OAE tertentu

dan gangguan pemulihan pasca stroke dan mereka menyarankan untuk menghindari

penggunaan fenitoin, fenobarbital dan benzodiazepin dalam masa pemulihan pasca

stroke jika memungkinkan.

31

Page 32: Tugas Dr Yetty

Manajemen dengan menggunakan OAE diatur oleh prinsip-prinsip standar

manajemen epilepsi.

• Ketika monoterapi dari OAE lini pertama gagal, diagnosis etiologi harus diperiksa

kembali dan memberikan monoterapi dengan OAE lini kedua.

• Penggantian Obat memerlukan penurunan dosis secara perlahan (tidak diganti

secara langsung) ketika ingin diganti dengan obat regimen yang lain

• Terapi kombinasi mungkin diperlukan tapi kurang disukai karena meningkatkan

risiko efek samping dan interaksi obat.

2.17 Prognosis

Ada bukti yang bertentangan mengenai prognosis pada pasien dengan kejang

pasca stroke. Studi saat ini setuju bahwa keparahan stroke merupakan faktor yang

paling penting dalam menentukan hasil dari pada pasien stroke. Dikatakan bahwa

pasien dengan early onset seizures memiliki hasil yang buruk disertai dengan tingkat

kematian yang tinggi di rumah sakit, sedangkan late onset seizures nerhubungan

dengan tingkat kecacatan yang tinggi dan perburukan kognitif. Hal ini juga

menentukan bahwa epilepsi memiliki dampak negatif pada kualitas hidup terkait

kesehatan.

32

Page 33: Tugas Dr Yetty

DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British

Columbia Medical Association. 2010.

2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines.

NSW Department of Health. 2009.

3. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child

With a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394

4. BIBLIOGRAPHY Poststroke Seizures. Isaac, Silverman E, Lukas, Restrepo and

Mathers, Gregory. s.l. : American Medical Association, 2002, Vol. 59.

5. Feigin, Valery. 2006. Stroke, Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan

Pemulihan Stroke. 2nd ed. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

6. Yastroki. 2007. Stroke Dapat Timbulkan Epilepsi. http://www.yastroki.or.id.

(24 mei 2016)

7. Seizure in Ishemic Stroke. Kim, Benny S. and Sila, Cathy. Burlington :

Springer Science , 2015.

8. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al.

Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition:

McGraw Hill. 2008.

9. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.

2006;53:257-277

10. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical

Care UK Annual Congress. 2013

11. Jauch. 2005. Stroke. http://www.wikipedia.htm. (20 mei 2016)

12. Arif M., Suprohaita., Wahyu I.W & Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi ke3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. pp: 1726.

13. Misbach HJ. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999.

14. Gofir A. Manajemen Stroke: Evidence Based Medicine. Jakarta: Pustaka

Cendekia Press, 2009.

33

Page 34: Tugas Dr Yetty

15. Goldszmidt AJ, Caplan LR. Stroke Essentials. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran, 2009.

16. Brass LM. Stroke. Available at

http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf. Accessed on 10th January

2012.

17. Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s Neurology

in Clinical Medicine. California: University of California, San Framsisco,

2006: 233-271.

34