tugas dr. tri

16
Penghitungan Luas Pneumotoraks Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain : 1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2) . Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus adalah : 8 3 512 ______ = ________ = ± 50 % 10 3 1000 2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2) . 3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks (4) . % luas pneumotoraks A + B + C (cm) = __________________ x 10 3

Upload: ari-sri-wulandari

Post on 15-Sep-2015

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kardiotoraksik, Bedah

TRANSCRIPT

Penghitungan Luas Pneumotoraks

Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :

1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).

Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus adalah :

83 512

______ = ________ = 50 %

103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks (4).

Kurva Disosiasi

Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan difusi. Gerakan tersebut disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat satu ke tempat lain. Oleh karena itu, oksigen berdifusi dari alveolar ke dalam darah kapiler paru karena adanya perbedaan tekanan, yaitu tekanan oksigen di dalam alveolus lebih besar daripada tekanan oksigen di dalam kapiler darah paru. Kemudian darah paru ditranspor melalui sirkulasi ke jaringan perifer. Di sana, PO2 darah arteri lebih tinggi daripada PO2 sel dan menyebabkan oksigen dari dalam darah kapiler berdifusi ke sel melalui cairan intersitiel. (Guyton and Hall, 2001)Kemudian bila oksigen dimetabolisme bersama bahan makanan di dalam sel untuk menghasilkan ATP, maka akan terbentuk karbondioksida. Sehingga tekanan parsial karbondioksida di dalam sel lebih tinggi daripada tekanan parsial di dalam pembuluh darah kapiler. Hal ini menyebabkan karbondioksida di dalam sel berdifusi ke dalam pembuluh darah kapiler lalu melalui sirkulasi dibawa menuju kapiler paru. Di paru, karbondioksida berdifusi dari kapiler menuju alveolar dan akhirnya dibuang melalui udara pernafasan. (Guyton and Hall, 2001)2.1 Difusi oksigen dan karbon dioksida antara alveolus, darah dan sel

2.1.1 Difusi oksigen antara alveolus, darah dan sel

Bagian atas dari gambar 1 melukiskan alveolus paru yang berbatasan dengan kapiler paru, memperlihatkan difusi molekul-molekul oksigen antara udara alveolus dan darah paru. (Guyton and Hall, 2001)

PO2 dalam alveolus rata-rata 104 mmHg, sedangkan PO2 darah vena yang masuk kapiler rata-rata hanya 40 mmHg karena sejumlah besar oksigen dikeluarkan dari darah ini setelah melalui seluruh jaringan perifer. (Guyton and Hall, 2001)

Oleh karena itu, perbedaan tekanan awal yang menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam paru adalah 104 40, atau 64 mmHg. Kurva di bawah kapiler memperlihatkan peningkatan PO2 yang cepat sewaktu darah melewati kapiler, memperlihatkan bahwa PO2 meningkat sebanding dengan peningkatan yang terjadi pada udara alveolus sewaktu darah melewati sepertiga panjang kapiler, menjadi hampir 104 mmHg. (Guyton and Hall, 2001)2.1.2 Difusi Oksigen dari Kapiler ke Cairan Interstitial

Bila darah arteri sampai ke jaringan perifer, PaO2 masih 95 mmHg. Sebaliknya, PO2 dalam cairan interstisial rata-rata hanya 40 mmHg. Dengan demikian, terdapat perbedaan tekanan sekitar 55 mmHg yang menyebabkan oksigen berdifusi sangat cepat dari darah ke dalam jaringan. (Ober et all, 2001)

a. Efek Kecepatan Aliran Darah pada PO2 Cairan InterstisialJika aliran darah melalui jaringan yang utama meningkat, lebih besar jumlah oksigen ditranspor ke dalam jaringan pada suatu waktu, dan PO2 jaringan juga turut meningkat. Peningkatan aliran menjadi 400 persen dari normal akan meningkatkan PO2 dari 40 mmHg menjadi 66 mmHg. Batas atas di mana PO2 dapat meningkat, dengan aliran darah maksimal, adalah 95 mmHg, karena ini adalah tekanan oksigen dalam darah arteri. (Guyton and Hall, 2001)b.Efek Konsentrasi Hemoglobin pada PO2 Cairan Interstisial

Karena hampir 97 % transpor oksigen dalam darah dibawa oleh hemoglobin, penurunan konsentrasi hemoglobin mempunyai efek yang sama terhadap PO2 cairan interstisial seperti penurunan aliran darah. Dengan demikian, penurunan konsentrasi hemoglobin menjadi seperempat dari normal dimana aliran darah normal dapat mengurangi PO2 cairan interstisial menjadi kira-kira 13 mmHg. PO2 jaringan ditentukan oleh keseimbangan antara (a) kecepatan transpor oksigen dalam darah ke jaringan dan (b) kecepatan pemakaian oksigen oleh jaringan. (Ober et all, 2001)2.1.3 Difusi Oksigen Dari Cairan Interstitial Ke Sel

Oksigen selalu dipakai oleh sel. Karena itu, PO2 intraseluler tetap lebih rendah daripada PO2 dalam kapiler. Juga, pada beberapa contoh, ada jarak yang dapat dipertimbangkan antara kapiler dan sel. Oleh karena itu, PO2 intraseluler normal berkisar serendah 5 mmHg sampai setinggi 40 mmHg, rata-rata (dengan pengukuran langsung pada binatang tingkat rendah) 23 mmHg. Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan oksigen sebesar 1 sampai 3 mmHg untuk memenuhi proses kimiawi dalam sel yang menggunakan oksigen, maka kita dapat melihat bahwa PO2 selular yang rendah, yaitu 23 mmHg, lebih dari cukup dan merupakan suatu faktor pengaman yang besar. (Ober et all, 2001)2.1.4 Difusi karbon dioksida antara alveolus, darah dan sel

Ketika oksigen dipakai oleh sel, sebagian besar oksigen ini menjadi karbon dioksida, sehingga PCO2 intraseluler meningkat. Oleh karena itu, karbon dioksida berdifusi dari sel ke dalam kapiler jaringan dan kemudian dibawa oleh darah ke paru. Di paru-paru karbon dioksida berdifusi dari kapiler paru ke dalam alveoli. Dengan demikian, pada tiap-tiap tempat dalam rantai transpor gas, karbon dioksida berdifusi dalam arah yang berlawanan dengan oksigen. Meskipun demikian, terdapat satu perbedaan besar antara difusi karbon dioksida dan oksigen: karbon dioksida dapat berdifusi kira-kira 20 kali lebih cepat dari oksigen. (Guyton and Hall, 2001)

Oleh karena itu, perbedaan tekanan yang menyebabkan karbon dioksida berdifusi pada masing-masing contoh, jauh lebih kecil daripada perbedaan tekanan yang dibutuhkan untuk menimbulkan difusi oksigen. Tekanan ini adalah sebagai berikut : (Guyton and Hall, 2001)1. PCO2 intraseluler, kira-kira 46 mmHg; dengan demikian hanya ada perbedaan tekanan 1 mmHg, seperti yang dilukiskan pada gambar 2.

2. PCO2 darah arteri yang masuk ke jaringan, kira-kira 40 mmHg; PCO2 darah vena yang meninggalkan jaringan, kira-kira 45 mmHg; sebagaimana dilukiskan pada gambar 2, darah kapiler jaringan yang datang hampir sama dengan PCO2 interstitial, juga 45 mmHg.

3. PCO2 darah vena yang masuk kapiler paru, 45 mmHg; PCO2 udara alveolus, 40 mmHg; dengan demikian, perbedaan tekanan yang di butuhkan untuk difusi karbon dioksida dari kapiler paru ke dalam alveoli hanya 5 mmHg. Lagipula seperti yang dilukiskan pada gambar 3, PCO2 darah kapiler paru turun hampir mendekati PCO2 alveolus, 40 mmHg, sebelum darah melewati lebih dari kira-kira sepertiga jarak kapiler. Efek ini sama dengan yang di amati pada permulaan difusi oksigen.

Gambar 3. Difusi karbon dioksida dari darah paru ke dalam alveolus2

Efek dari metabolisme jaringan dan aliran darah terhadap PO2 interstitial. Aliran darah kapiler jaringan dan metabolisme jaringan mempengaruhi PCO2 dalam hal yang tepat berlawanan dengan pengaruh mereka pada PO2 jaringan. Gambar 4 memperlihatkan efek ini sebagai berikut : (Guyton and Hall, 2001)1. Penurunan aliran darah dari titik normal, titik A, ke seperempat dari titik normal, titik B, meningkatkan PCO2 jaringan dari nilai normal, 45 mmHg, menjadi 60 mmHg. Sebaliknya peningkatan aliran darah menjadi enam kali normal, titik C, menurunkan PCO2 dari nilai normal, 45 mmHg menjadi 41 mmHg, turun hampir mendekati PCO2 darah arteri , 40 mmHg yang memasuki kapiler jaringan.

2. Perhatikan juga bahwa bila kecepatan metabolisme meningkat 10 kali lipat, maka peningkatan PCO2 aliran darah akan lebih besar, sedangkan penurunan metabolisme ke seperempat dari normal menyebabkan PCO2 cairan interstitial turun sampai kira-kira 41 mmHg, hampir mendekati PCO2 darah arteri, 40 mmHg.

Gambar 4. Efek aliran darah dan kecepatan metabolisme terhadap PCO2 jaringan2

2.1.5Transpor oksigen dan karbon dioksida dalam darah

Hemoglobin (Hb), merupakan alat pengangkut utama untuk transportasi oksigen dalam darah. Oksigen juga diangkut (terlarut) dalam plasma, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil. Hemoglobin terkandung dalam eritrosit, yang secara umum dikenal sebagai sel darah merah. (Ober et all, 2001)

Dalam kondisi tertentu, oksigen yang terikat pada hemoglobin dilepaskan ke jaringan tubuh, dan pada kondisi lainnya, diserap dari jaringan ke dalam darah. Masing-masing molekul hemoglobin mempunyai kapasitas terbatas untuk membawa molekul oksigen. Jumlah kapasitas yang terisi oleh oksigen yang terikat pada hemoglobin pada setiap waktu disebut dengan kejenuhan oksigen. Diekspresikan dalam persentase, kejenuhan oksigen merupakan perbandingan dari jumlah oksigen terikat pada hemoglobin, terhadap kapasitas hemoglobin membawa oksigen. Kapasitas membawa oksigen ini ditentukan dengan jumlah hemoglobin yang ada dalam darah. Jumlah oksigen yang terikat pada hemoglobin pada suatu waktu tergantung pada, sebagian besar, tekanan parsial dari oksigen pada mana hemoglobin terekspos. (Ober et all, 2001)

Pada paru, pada permukaan dalam alveoli kapiler, tekanan parsial oksigen pada umumnya tinggi, sehingga oksigen mudah terikat pada hemoglobin yang ada. Dengan sirkulasi darah ke jaringan tubuh yang lain dimana tekanan parsial oksigen lebih kecil, hemoglobin melepas oksigen ke jaringan karena hemoglobin tidak dapat mempertahankan kapasitas penuhnya terhadap oksigen dengan tekanan parsial oksigen yang lebih rendah. (Ober et all, 2001) Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan, dimana oksigen dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30 sampai 100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di dalam cairan darah (plasma). (Ober et all, 2001) Dalam sel jaringan, oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar karbon dioksida. Karbon dioksida ini masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbon dioksida, seperti oksigen, juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang meningkatkan transportasi karbon dioksida 15-20 kali lipat. (Ober et all, 2001) Pada dasarnya, transpor oksigen dan karbon dioksida oleh darah bergantung pada difusi keduanya dan aliran darah. Untuk itu perlu dipertimbangkan faktor-faktor kuantitatif yang berperan pada efek ini. (Guyton and Hall, 2001)

Kira-kira 98 persen darah dari paru yang memasuki atrium kiri mengalir melalui kapiler alveolus dan menjadi teroksigenasi sampai PO2 kira-kira 104 mmHg. Dua persennya lagi berjalan langsung dari aorta melalui sirkulasi bronchial, yang terutama mensuplai jaringan dalam pada paru dan tidak terpapar dengan udara paru. Aliran darah ini merupakan aliran pintas, berarti darah yang memintas daerah pertukaran gas. Pada waktu meninggalkan paru, PO2 darah pintas hampir sama dengan darah vena normal, kira-kira 40 mmHg. Darah ini bercampur dalam darah vena paru dengan darah yang teroksigenasi dari kapiler alveolus; campuran darah ini disebut darah vena campuran, dan menyebabkan PO2 darah yang dipompa oleh jantung kiri ke dalam aorta turun sampai sekitar 95 mmHg. (Ober et all, 2001)2.1.6 Transpor Karbon Dioksida dalam darah

Transpor CO2 dari jaringan ke paru-paru melalui tiga cara sebagai berikut: (Brandis, 2006)

1. Secara fisk larut dalam plasma (10 %)

2. Berikatan dengan gugus amino pada Hb dalam sel darah merah (20%)

3. ditransport sebagai bikarbonat plasma (70%)

Karbon dioksida berikatan dengan air dengan reaksi seperti dibawah ini:2

CO2 + H2O = H2CO3 = H+ +HCO3-

Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dari asam bikarbonat-asam karbonik. Hiperventilasi adalah ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme berlebihan menyebabkan alkalosis sebagai akibat eksresi CO2 berlebihan keparu-paru. Hipoventilasi adalah ventilasi alveoli yang tak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme, sebagai akibat dari retensi CO2 oleh paru-paru. (Brandis, 2006)2.2 Oksigen di dalam Darah

Oksigen yang berada di dalam darah dalam kondisi bebas dan tidak terikat disebut oksigen terlarut. Volume gas yang terlarut di dalam suatu cairan tergantung pada koefisien kelarutan gas tersebut pada cairan tertentu. Gas dengan koefisien kelarutan yang tinggi mempunyai volume terlarut yang lebih besar daripada gas dengan koefisien kelarutan yang lebih rendah meskipun keduanya memiliki tekanan parsial yang sama. Koefisien kelarutan oksigen di dalam darah pada suhu 370 C adalah 0,003 ml O2/100 ml darah/mmHg. Sehingga ketika PO2 100 mmHg, maka volume oksigen yang terlarut 0,3 vol%. Terdapat hubungan yang linier antara PO2 dan jumlah oksigen yang terlarut, dimana semakin tinggi PO2 maka jumlah oksigen yang terlarut semakin besar. (Malley, 1990)

Volume oksigen yang terlarut sangat tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan matabolisme tubuh. Namun di dalam darah terdapat hemoglobin yang mampu mengikat oksigen dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan kemudian melepaskannya pada jaringan dengan mudah. Hemoglobin menempati sepertiga dari komponen intraseluler eritrosit. Hemoglobin juga memberikan karakteristik warana merah pada darah. Konsentrasi normal hemoglobin 15 g/100 ml pada laki-laki dan 13-14 g/100 ml pada wanita. Setiap molekul hemoglobin mampu mengikat empat molekul oksigen. Hemoglobin yang telah mengikat oksigen disebut oksihemoglobin. Persentase hemoglobin yang membawa oksigen di dalam pembuluh darah arteri disebut saturasi oksigen (SaO2). (Malley, 1990)2.3 Kurva Disosiasi Oksihemoglobin

Persentase hemoglobin yang membawa oksigen tergantung pada beberapa faktor, namun faktor yang paling penting adalah tekanan parsial oksigen (PaO2). Terdapat hubungan yang langsung namun tidak linier antara PaO2 dan SaO2. Hubungan tersebut tergambar dalam kurva disosiasi oksihemoglobin.

Kurva disosiasi oksihemoglobin terdiri dari dua bagian kurva, yaitu bagian curam (PO2 0-60 mmHg) dan bagian mendatar (PO2 >60 mmHg). Perbedaan dua bagian ini adalah pada bagian kurva curam perubahan kecil pada PO2 menghasilkan perubahan besar pada saturasi oksigen. Sebaliknya, pada bagian kurva yang mendatar, perubahan besar pada PO2 hanya menghasilkan perubahan kecil pada SaO2. Contohnya ketika PO2 meningkat 40 mmHg dari 20mmHg menjadi 60 mmHg, saturaasi meningkat dari 35 % menjadi 90 % (total 55%). Sebaliknya, ketika PO2 meningkat 40 mmHg dari 60 mmHg menjadi 100 mmHg, saturasi meningkat dari 90 % menjadi 97 % (total 7 %). Ternyata prinsip ini juga berlaku ketika PO2 diturunkan. (Malley, 1990)Kurva disosiasi oksihemoglobin juga dibagi menjadi bagian asosiasi dan bagian disosiasi. Penggabungan oksigen dan hemoglobin terjadi di paru dimana PO2 meningkat dari 40 mmHg pada pembuluh darah vena menjadi 100 mmHg. Oleh karena akhir dari proses ini adalah masuknya oksigen ke dalam darah yang terjadi pada fase kurva yang mendatar, maka bagian ini sering disebut juga bagian asosiasi. Sebaliknya, bagian curam kurva ini sering disebut juga bagian disosiasi, karena merupakan kurva bagian akhir pelepasan oksigen yang terjadi ketika PO2 turun dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg pada kapiler sistemik. (Malley, 1990)PO2 pada dewasa kurang lebih 100 mmHg. SaO2 normal sekitar 97-98 %. Pada PO2 normal ketika menghirup udara bebas, hemoglobin hampir 100 % tersaturasi. Hal ini dipandang memiliki manfaat fisiologis karena hemoglobin telah mampu membawa oksigen ke seluruh tubuh dalam kondisi normal. Sebaliknya, bagian kurva asosiasi secara fisiologis dipandang merugikan jika tubuh mencoba untuk menambah jumlah oksigen di dalam darah. Peningkatan PO2 di atas normal hanya menambah oksigen yang relatif sedikit karena hemoglobin telah tersaturasi secara maksimal. Hal yang menarik adalah bahwa PO2 dapat turun 40 mmHg dibawah normal tetapi SaO2 masih 90 %. Hal ini merupakan sistem pertahanan tubuh dimana PO2 mungkin mengalami penurunan yang cukup bermakna namun kombinasi oksigen dan hemoglobin hanya mengalami sedikit penurunan. Penurunan PaO2 mungkin bisa terjadi pada daerah dataran tinggi atau pada proses penuaan, namun hal ini tidak menyebabkan penurunan SaO2 yang berarti selama masih berada pada bagian kurva yang mendatar. Manfaat diagnostik kurva disosiasi adalah untuk mendeteksi dini penyakit paru stadium awal dimana terjadi penurunan PO2 dan hal ini dapat segera ditangani sebelum terjadi penurunan SaO2 yang bermakna. (Malley, 1990)Tekanan parsial oksigen dimana saturasi hemoglobin 50 % adalah sebesar 26.6 mmHg pada orang sehat, dikenal dengan P50. P50 adalah perkiraan konvensional afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Adanya penyakit tertentu yang mengubah afinitas hemoglobin dan mengubah kurva bergerak ke kiri atau kanan maka juga akan mengubah P50. Peningkatan P50 menandakan kurva bergerak ke kanan yang berarti diperlukan tekanan parsial yang besar untuk mempertahankan saturasi oksigen sebesar 50%. Ini menandakan penurunan afinitas. Begitu juga sebaliknya. (Nielufar, 2000)2.3.1 Faktor-faktor yang Menggeser Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin

Efektifitas ikatan hemoglobin dan oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini juga yang kemudian mengubah kurva disosiasi. Pergeseran kurva ke kanan disebabkan oleh peningkatan suhu, peningkatan 2,3-DPG, peningkatan PCO2, atau penurunan pH. Untuk kondisi sebaliknya, kurva bergeser ke kiri. Pergeseran kurva ke kanan menyebabkan penurunan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Sehingga hemoglobin sulit berikatan dengan oksigen (memerlukan tekanan parsial yang tinggi bagi hemoglobin untuk mengikat oksigen). (Nielufar, 2000)

Pergeseran kurva ke kiri dan peningkatan afinitas tampak memberikan manfaat bagi pasien karena hemoglobin dapat mengikat oksigen lebih mudah. Bagaimanapun, hemoglobin telah tersaturasi 97 % dengan afinitas yang normal,sehingga tidak terdapat penambhan oksigen yang cukup bermakna dengan adanya pergeseran kurva ke kiri. Bahkan, peningkatan afinitas Hb-O ini dapat mengganggu pelepasan oksigen ke dalam jaringan dan pada umumnya menimbulkan dampak yang merugikan. (Malley, 1990)

Di sisi lain, penurunan afinitas Hb-O dan pergeseran kurva ke kanan, biasanya meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan dan sering merupakan mekanisme kompensasi yang berharga. Pergeseran kurva ke kanan menyebabkan seseorang dengan PO2 90 mmHg mampu meningkatkan pelepasan oksigen hingga 60 %. Namun, pergeseran ini akan memiliki dampak yang merugikan ketika seseorang memiliki PO2 kurang dari 60 mmHg. Ketika terjadi hipoksemia, pergeseran kurva ke kanan dapat menurunkan masuknya oksigen ke dalam darah dengan cukup bermakna. Kerugian ini sepertinya lebih berat daripada manfaatnya. (Malley, 1990)

DPG normal dalam darah mempertahankan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin sedikit bergeser ke kanan setiap saat. Tetapi, pada keadaan hipoksia yang berlangsung lebih dari beberapa jam, jumlah DPG akan meningkat, dengan demikian, menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin lebih ke kanan. Ini menyebabkan oksigen dilepaskan ke jaringan pada tekanan oksigen 10 mmHg lebih besar daripada keadaan tanpa peningkatan DPG ini. Oleh karena itu, pada beberapa keadaan, hal ini dapat menjadi suatu mekanisme penting untuk menyesuaikan diri terhadap hipoksia, khususnya terhadap hipoksia akibat aliran darah jaringan yang kurang baik. Namun, adanya kelebihan DPG juga akan menyulitkan hemoglobin untuk bergabung dengan oksigen dalam paru bila PO2 alveolus dikurangi, dengan demikian kadang-kadang menimbulkan resiko juga selain manfaat. Oleh karena itu pergeseran kurva disosiasi DPG memberi manfaat pada keadaan tertentu tetapi merugikan pada keadaan lain. (Brandis, 2006)Pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin sebagai respon terhadap perubahan karbon dioksida dan ion hidrogen memberi pengaruh penting dalam meninggikan oksigenasi darah dalam paru serta meningkatkan pelepasan oksigen dari darah dalam jaringan. Ini disebut Efek Bohr, dan dapat dijelaskan sebagai berikut: Ketika darah melalui paru, karbon dioksida berdifusi dari darah ke dalam alveoli.Ini menurunkan PCO2 darah dan konsentrasi ion hidrogen sebagai akibat penurunan asam karbonat darah. Efek dari dua keadaan ini menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri dan ke atas. Oleh karena itu, jumlah oksigen yang berikatan dengan hemoglobin menyebabkan PO2 alveolus meningkat, dengan demikian transpor oksigen ke jaringan lebih besar. Bila darah mencapai jaringan kapiler, terjadi efek yang tepat berlawanan. Karbon dioksida yang memasuki darah dari jaringan menggeser kurva ke kanan, memindahkan oksigen dari hemoglobin ke jaringan dengan PO2 yang lebih tinggi daripada seandainya tidak terjadi demikian. (Brandis, 2006)Faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan pergeseran kurva disosiasi :

Effects of carbon dioxide. Carbon dioxide mempengaruhi kurva dengan 2 cara : pertama, dengan mempengaruhi intracellular pH (the Bohr effect), dan kedua, akumulasi CO2 menyebabkan penggunaan carbamine. Penurunan carbamin akan menggeser kurva ke kiri. (Brandis, 2006)

Carbon Monoxide. Karbon monoksida mengikat hemoglobin 240 kali lebih kuat daripada dengan oksigen, oleh karena itu keberadaan karbon monoksida dapat mempengaruhi ikatan hemoglobin dengan oksigen. Selain dapat menurunkan potensi ikatan hemoglobin dengan oksigen, karbon monoksida juga memiliki efek dengan menggeser kurva ke kiri. Dengan meningkatnya jumlah karbon monoksida, seseorang dapat menderita hipoksemia berat pada saat mempertahankan PO2 normal. (Brandis, 2006)

Effects of Methemoglobinemia (bentuk hemoglobin yang abnormal). Methemoglobinemia menyebabkan pergeseran kurva ke kiri.6

Fetal Hemoglobin. Fetal hemoglobin (HbF) berbeda secara struktur dari normal hemoglobin (Hb). Kurva disosiasi fetal cenderung bergerak ke kiri dibanding dewasa. Umumnya, tekanan oksigen arteri pada fetal rendah, sehingga pengaruh pergeseran ke kiri adalah peningkatan uptake oksigen melalui plasenta.

(Brandis, 2006)

2.3.2 Pergeseran Kurva Disosiasi selama Kerja

Pada waktu kerja, berbagai faktor dapat menggeser kurva disosiasi cukup jauh ke kanan. Otot yang sedang bekerja akan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida, bila ditambah asam yang dilepaskan oleh otot yang sedang bekerja,akan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen dalam darah kapiler otot tersebut. Di samping itu, suhu otot sering kali meningkat sebesar 2 sampai 3C, yang dapat meningkatkan PO2 untuk melepaskan oksigen ke dalam otot sebanyak 15 mmHg. Semua faktor ini bekerja sama menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin dari darah kapiler otot tersebut cukup jauh ke kanan. Pergeseran kurva ke arah kanan kadang-kadang menyebabkan oksigen dilepaskan ke otot pada P2OS sebesar 40 mmHg (sama dengan nilai normal dalam keadaan istirahat) walaupun sebesar 75 sampai 85 persen oksigen dikeluarkan dari hemoglobin. Kemudian, dalam paru terjadi pergeseran ke arah yang berlawanan, dengan demikian, memungkinkan pengambilan oksigen dalam jumlah ekstra dari alveoli. (Nielufar, 2000)2.3.3 Efek Hemoglobin untuk Dapar PO2 Jaringan Meskipun hemoglobin diperlukan untuk transport oksigen ke jaringan, hemoglobin masih melakukan fungsi utama lain untuk kehidupan. Ini adalah fungsi hemoglobin sebagai sistem dapar oksigen jaringan. Dengan ini, hemoglobin dalam darah terutama bertanggung jawab untuk stabilisasi tekanan oksigen dalam jaringan. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (Guyton and Hall, 2001)Peran hemoglobin dalam mempertahankan PO2 konstan dalam jaringan

Pada keadaan basal, jaringan membutukkan kira-kira 5 mililiter oksigen dari setiap desiliter darah yang melalui kapiler jaringan. Pada kurva disosiasi oksigen-hemoglobin, dapat dilihat bahwa untuk setiap 5 mililiter oksigen yang dilepaskan, PO2 harus turun kira-kira 40 mmHg. Oleh karena itu, PO2 jaringan dalam keadaan normal tidak dapat meningkat di atas 40 mmHg, seandainya terjadi demikian, oksigen yang diperlukan jaringan tidak dapat dilepaskan dari hemoglobin. Dengan cara ini, dalam keadaan normal hemoglobin menunjukkan batas atas dari tekanan gas dalam jaringan, yaitu sekitar 40 mmHg. (Guyton and Hall, 2001)

Sebaliknya, pada latihan berat, sejumlah besar oksigen (sebanyak 20 kali normal) harus dilepaskan dari hemoglobin ke jaringan. Tetapi ini dapat dicapai dengan sangat sedikit penurunan PO2 dalam jaringan (turun sampai 15-20 mmHg) karena kemiringan kurva disosiasi yang curam dan akibat peningkatan aliran darah jaringan yang disebabkan oleh penurunan PO2; artinya, sedikit penurunan PO2 meyebabkan sejumlah besar oksigen dilepaskan. (Guyton and Hall, 2001)

Dapat dilihat, bahwa hemoglobin dalam darah secara otomatis melepaskan oksigen ke jaringan pada tekanan sekitar 20 dan 40 mm Hg. (Guyton and Hall, 2001)

Gambar 11. Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglogin

Bila konsentrasi oksigen atmosfer berubah nyata, efek dapar hemoglobin masih dapat mempertahankan PO2 jaringan hampir konstan

PO2 normal dalam alveoli kira-kira 104 mm Hg, tetapi ketika seseorang mendaki gunung atau naik pesawat udara, PO2 mudah turun sampai kurang dari setengah jumlah ini. Atau, bila seseorang memasuki daerah bertekakan udara tinggi, seperti di laut yang dalam atau dalam tabung yang bertekakan tinggi, PO2 jaringan dapat meningkat 10 kali. Walaupun demikian, perubahan PO2 jaringan sangat sedikit. (Guyton and Hall, 2001)

Dapat dilihat pada kurva disosiasi oksigen-hemoglobin di bawah bahwa bila PO2 alveolus diturunkan sampai 60 mmHg, kejenuhan hemoglobin arteri masih 89 persen, hanya 8 persen di bawah kejenuhan normal sebesar 97 persen. Selanjutnya, jaringan masih mengeluarkan kira-kira 5 mililiter oksigen dari setiap desiliter darah yang mengalir melalui jaringan tersebut; untuk mengeluarkan oksigen, PO2 jaringan banyak berubah, walaupun P02 alveolus jelas turun dari 104 menjadi 60 mmHg. (Guyton and Hall, 2001)

Gambar 12. Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin2

Sebaliknya, bila PO 2 alveolus meningkat sampai 500 mmHg, kejenuhan oksigen maksimum dari hemoglobin tidak pernah meningkat di atas 100 persen, yanga 3 persen di atas nilai normal, yaitu 97 persen. Sejumlah kecil oksigen tambahan juga terlarut dalam cairan darah. Lalu, bila darah mengalir melalui kapiler jaringan, darah masih kehilangan beberapa mililiter oksigen ke jaringan, yang secara otomotis mengurangi P02 darah kapiler ke suatu nilai yang hanya beberapa mililiter lebih besar dari normal, yaitu 40 mmHg. (Guyton and Hall, 2001)

Akibatnya, oksigen alveolus menjadi sangat besar (PO2 dari 60 menjadi lebih dari 500 mm Hg) dan PO2 yang masih tersisa dalam jaringan besarnya hanya beberapa mililiter dari nilai normal, menggambarkan fungsi dapar oksigen jaringan dari hemoglobin darah yang baik sekali. (Guyton and Hall, 2001)% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)

= __________________ x 10

3

(L) hemitorak (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)

_______________ x 100 %

AxB

_1270918574.doc