skenario 3 repro

1
SKENARIO 3 ANAK YANG LAMBAN Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, dibawa ibunya ke puskesmas karena menurut guru disekolah, pasien tidak dapat mengikuti pelajaran disekolah. Pasien sering mendapat nilai yang jelek, padahal saat diterangkan oleh gurunya pasien selalu tampak memperhatikan gurunya, pasien belum lancar membaca dan menulis, pasien sudah lancar berbicara, dapat makan, mandi dan berpakaian sendiri. Saat ini pasien masih duduk di kelas 1 SD karena tidak naik kelas. Pasien kemudian dirujuk untuk penilaian intelligence Quotien (IQ) dan didapatkan nilai 55 yang menunjukan pasien terdiagnosa sebagai retardasi mental ringan. Pasien disarankan untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), tetapi orang tua tidak melakukan hal tersebut karena masalah biaya. Pasien berasal dari keluarga dengan tingkat social ekonomi rendah, menempati rumah kontrakan yang sempit, ditempati oleh tujuh anggota keluarga. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, pasien lebih banyak diasuh oleh kakak perempuannya yang paling tua; kedua orang tua bekerja, ayah buruh kasar dan ibu buruh cuci, sehingga pemberian makan pada usia balita tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi. Dengan tekad yang kuat akhirnya keluarga ini mendapat bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak mengelola Zakat-Infak-Shodaqoh (ZIS), akhirnya orang tua pasien memasukan anaknya ke SLB sebagai penanggung jawab dan wujud dari kewajiban orang tua kepada anak untuk mendapatkan pendidikan khusus yang dilanjutkan dengan pendidikan ketrampilan, agar klien dapat hidup mandiri, tidak tergantung dengan orang lain.

Upload: kayla-audivisi

Post on 03-Feb-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 3 Repro

SKENARIO 3

ANAK YANG LAMBAN

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, dibawa ibunya ke puskesmas karena menurut guru disekolah, pasien tidak dapat mengikuti pelajaran disekolah. Pasien sering mendapat nilai yang jelek, padahal saat diterangkan oleh gurunya pasien selalu tampak memperhatikan gurunya, pasien belum lancar membaca dan menulis, pasien sudah lancar berbicara, dapat makan, mandi dan berpakaian sendiri. Saat ini pasien masih duduk di kelas 1 SD karena tidak naik kelas.

Pasien kemudian dirujuk untuk penilaian intelligence Quotien (IQ) dan didapatkan nilai 55 yang menunjukan pasien terdiagnosa sebagai retardasi mental ringan. Pasien disarankan untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), tetapi orang tua tidak melakukan hal tersebut karena masalah biaya.

Pasien berasal dari keluarga dengan tingkat social ekonomi rendah, menempati rumah kontrakan yang sempit, ditempati oleh tujuh anggota keluarga. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, pasien lebih banyak diasuh oleh kakak perempuannya yang paling tua; kedua orang tua bekerja, ayah buruh kasar dan ibu buruh cuci, sehingga pemberian makan pada usia balita tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi.

Dengan tekad yang kuat akhirnya keluarga ini mendapat bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak mengelola Zakat-Infak-Shodaqoh (ZIS), akhirnya orang tua pasien memasukan anaknya ke SLB sebagai penanggung jawab dan wujud dari kewajiban orang tua kepada anak untuk mendapatkan pendidikan khusus yang dilanjutkan dengan pendidikan ketrampilan, agar klien dapat hidup mandiri, tidak tergantung dengan orang lain.