skenario 2 emergency

39
Sasaran Belajar 1. Memahami dan mempelajari trauma kepala. 1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala. 1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala. 1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala. 1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala. 1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala. 1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala. 1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala. 1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala. 2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii 2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii. 2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii. 2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii. 2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii. 2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii. 2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii. 3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial. 3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial. 3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial. 3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial. 3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial. 3.5. Menjelaskan manifestasi perdarahan intrakranial. 3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial. 3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial. 3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial. 4. Memahami dan mempelajari trias cushing. 1

Upload: vivi-vionita

Post on 05-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

sk 2

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 2 Emergency

Sasaran Belajar

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala.

1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.

2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.

2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial.

3.5. Menjelaskan manifestasi perdarahan intrakranial.

3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

4.1. Menjelaskan trias cushing.

1

Page 2: Skenario 2 Emergency

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa

struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional

jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,

tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik

(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul

Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam

Trauma kepala akibat tembakan

Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

Berdasarkan mekanisme terjadinya :

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul.

Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam

rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:

a. Luka pada kepala:

Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit

bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan

ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi

dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

2

Page 3: Skenario 2 Emergency

Luka memar (kontusio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimanapembuluh darah (kapiler)

pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan

berwarna merah kebiruan.

Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi

akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang

kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja

pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat

fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis

Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura

tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan

terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif

Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

Fraktur impresi

Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala.

Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada durameter dan jaringan otak.

Fraktur basis cranii

Berdasarkan tingkat keparahan :

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera

otak. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

3

Page 4: Skenario 2 Emergency

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak

yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi

kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area

benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi

tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear,

bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.

Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.

Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,

countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di

antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi

terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.

Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)

menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam

tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak

yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi

dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami

cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel.

4

Page 5: Skenario 2 Emergency

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

Battle sign (warnabiru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:

Pasientertidurataukesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

Mual atau dan muntah.

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

Perubahan keperibadian diri.

Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:

Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau

meningkat.

Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal

ekstrimitas.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala.

a. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :

• GCS 13-15 : cedera kepala ringan

• GCS 9-12 : cedera kepala sedang

• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

5

Page 6: Skenario 2 Emergency

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, poladanfrekuensirespirasi, pupil (besar,

bentukdanreaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat

dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu

komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

b. Pemeriksaan Penunjang

X-ray tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga

tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CTscan bisa mengidentifikasi

fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak

ada ( State of Colorado Department of

Labor and Employment, 2006).

CT-scan

Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang

cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada

pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau

terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan

kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CTScan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol

baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)menambah dimensi baru pada

MRIdan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus

(CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita

cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CADdi korpus kalosum

6

Page 7: Skenario 2 Emergency

dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala

berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil

dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi

intrakranial

2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

3. Minimalisasi kerusakan sekunder

4. Mengobati simptom akibat trauma otak

5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan

antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup

• Fraktur impresi (depressed fracture)

• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahanlebih dari30mL/44mL

dan/ataupergeserangaristengahlebih dari3mm sertaada perburukankondisipasien

• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm

atau kompresi/obliterasi sisterna basalis

• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka

• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, durameter yang robek

disertai laserasi otak

• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari

• Pneumoencephali

• Corpus alienum

• Luka tembak

7

Page 8: Skenario 2 Emergency

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)

Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekalidan tidak ada defisit

neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka. Pemeriksaan radiologik hanya

atasindikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi

kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk

dan sulit dibangunkan, pasien harus segera

dibawa kembali ke rumah sakit.

Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,

dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kranioserebral

ringan (CKR).

Tatalaksanapasiendenganpenurunan kesadaran

Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)

Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi

bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di

rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,

nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,

refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)

Urutan tindakan:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi(Circulation)

b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika dicurigai

fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah

leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan

c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya

d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.

Cederakepalaberat (SKG 3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera

pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan

8

Page 9: Skenario 2 Emergency

untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan

pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :

1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation

a. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.

Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui

pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral

disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,

hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma

dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.

Tata laksana:

• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten

• Cari dan atasi faktor penyebab

• Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm Hg yang

terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi

kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau

ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata

laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti

darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.

a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi

setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur

impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis

3x100 mg/hari selama 7-10 hari.

9

Page 10: Skenario 2 Emergency

b. Infeksi

Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risikotinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang

terbuka,lukaluar,fraktur basis kranii.Pemberianprofilaksis antibiotik ini masih kontroversial.Bilaada

kecurigaaninfeksimeningeal,diberikanantibiotik dengan dosis meningitis.

c. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi

gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan

kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang

dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas.

Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers

(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

2. Memahamidanmemepelajarifraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung

pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita).Dalam beberapa studi

telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa

akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranialdan dari arah kubah cranial, atau

karena beban inersia oleh kepala.

2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa

longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan

melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan

tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju

cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau

pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-

90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan

labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari

kedua frakturlongitudinal dan transversal.

10

Page 11: Skenario 2 Emergency

fraktur condylar occipital,

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera

rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi

dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi frakturini menjadi displaced dan stable,

yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktursekunderakibatkompresiaksialyang

mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jeniscedera stabil. Tipe II fraktur

yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipitallebih luas, fraktur tipe II

diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar danmembrane tectorial tidak

mengalami kerusakan.Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending.

Hal iniberpotensimenjadifrakturtidakstabil.

Fraktur clivus

Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor.

Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal

memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus

cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur Calvarium

dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.

Beberapa contoh fraktur calvarium

Fraktur Liniair

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang

melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila

fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan

terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.

Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)

Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan  garis – garis frakturnya nya menyebar secara radial.

Fraktur Impressie

Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak.

Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan

11

Page 12: Skenario 2 Emergency

prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi

perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak

Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama

darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak

mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut

Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes

Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)

sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai

hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS

bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)

Fraktur Fossa Media

• Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga telinga

tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).

• Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars

posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior

sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes

Insipidus.

• Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri Carotis

Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena

(disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid –

Cavernous Fistula).

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit  , conjunctiva berwarna merah. Bila

membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air

mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

12

Page 13: Skenario 2 Emergency

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang

terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna merah)

serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,

Fraktur Fossa Posterior.

• Fraktur melintas os petrosum

Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,

menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid sehingga

dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.

• Fraktur melintas Foramen Magnum

di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula

Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada

mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea

dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat

bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian

konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli sementara yang

akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan

edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat

sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga

menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing

loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar

pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma

dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial

nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan

XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral

dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid,

13

Page 14: Skenario 2 Emergency

dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus

cranial IX, X, XI, dan XII.

2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

Pemeriksaan Lanjutan

Studi Imaging

• Radiografi: Padatahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel

memutuskanbahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikanfraktur basis cranii. Foto

xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

• CT scan: CT scan merupakanmodalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull

fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat

dalam menilai skull fraktur. CT scan Helicalsangat membantu dalam

menvisualisasikanfrakturcondylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

• MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakansuatunilaitambahanuntuk kasusyang

dicurigai mengalami cedera pada ligament danvaskular. Cedera pada tulang jauh lebih

baikdivisualisasikan dengan menggunakan CT scan.

Pemeriksaanlainnya

Perdarahandaritelingaatau hidung pada kasus dicurigaiterjadinyakebocoran CSF,

dapatdipastikandengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada

kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,

maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocorandari CSF juga dapat dibuktikan dengan

menganalisa kadar glukosa dandenganmengukur transferrin.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak

memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dankembali

jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus

dilakukanpengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis

pasiendengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa

14

Page 15: Skenario 2 Emergency

antibiotik.Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membran

timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi

ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan

waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejangdianjurkan jika kemungkinan

terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan

antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus ini.Fraktur

condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan

menggunakan collar atau traksi halo.

TerapiBedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open

fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk

mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari

adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan

pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.

Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan

pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain

untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang

membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular

(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.

Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau

jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang

persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum

intervensi bedah dilakukan.

2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea. Facial

palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis craniidibahas di bagian klinis.

Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca traumaadalah akibat sekunder

15

Page 16: Skenario 2 Emergency

untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,dengan prognosis yang

baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya frakturbiasanya akibat

skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada

ujungpertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI

yangterisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena

terjadinyaketegangan pada nervus.

Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylaros oksipital, seperti

yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard(vide supra). Fraktur os

sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga

dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan

pembentukanpseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera

carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,

CT-angiografidianjurkan.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang

mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan intrakranial

dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.

8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang luas. Bila

dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak

mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau

mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi

parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

16

Page 17: Skenario 2 Emergency

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:

- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya lobar.

Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.

- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan amphetamine.

Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral.

Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau

perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh karena

efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau

konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan

hilang dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini.

- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk yang unik dan pada

angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid pada bagian media dan adventitia dengan

ukuran sedang dan kecil dari arteri cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri

cenderung menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena penebalan dasar membran,

fragmentasi dari lamina interna elastik dan hilangnya sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid

pada pembuluh darah. Keadaan ini tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik.

Cerebral amyloid angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya

terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.

- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 6-10%). Yang

paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer ataupun metastase; jarang

pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering

menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan umumnya deep cortical

17

Page 18: Skenario 2 Emergency

seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan

perdarahan yaitu tumor sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.

- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering menyebabkan

perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan pemakaian

antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak menggunakan

obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme

terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.

- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen aktivator (tPA)

yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini

yaitu menghancurkan klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga

sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah

perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati dengan

tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian

infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30%

perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum

diketahui.

- Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark serebri, serta jarang

menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan

adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya

berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala kronis, penurunan

kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya

berupa limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya lobar.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial.

Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula

interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan

kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa

18

Page 19: Skenario 2 Emergency

hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit

kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3

hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat

dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah

trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di

ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot

yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan

membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan

neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik

sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan

hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor

diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis

yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan

gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi

yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam

parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak

dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang

menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau

pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain

adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan

energi dari trauma yang dialami.

Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena

dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai

perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah,

19

Page 20: Skenario 2 Emergency

juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme

pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

Cederaotakdifusmenurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan

translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang

sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti

permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan

inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua

hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya

rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan

deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan

countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur

parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi

kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah

datangnya gaya yang mengenai kepala.

Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak

tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang

mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya

dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti.Kejadian

iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif

pembuluh darah otak.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

20

Page 21: Skenario 2 Emergency

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti

jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada

kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.Pembuluh

darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama

temporal.

Perdarahansubdural :

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi

umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak.

CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan

hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

3.5. Menjelaskan manifestasi klinis perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

- Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang

merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan

adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang

sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya

progresif bila terdapat interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang

minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita

karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.Panjang

dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari

arteri.

- Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada

daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan

pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

- Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan

reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan

tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil

21

Page 22: Skenario 2 Emergency

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi

cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Perdarahan subdural :

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan

kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera

neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan

meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah,

vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit

neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan penunjang

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian

pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.

          Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang

mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan

dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

          Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada

level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan

epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang

berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya

dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.

Pencitraan

Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri

meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90%

kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini

berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan

22

Page 23: Skenario 2 Emergency

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural

akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke

skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau

bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior

yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya

dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu

setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan).

Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda

gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah,

yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum

yang rendah.

o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-

scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam

potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa

dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat

digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi

ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural

23

Page 24: Skenario 2 Emergency

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk

mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.

Terapi Obat-obatan

          Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada

jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang

mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.

          Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2) pengamatan

klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan.Catatan

bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan

perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute

konservatif.

          Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika lesinya

kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan

neurologis berkala cukup masuk akal.

          Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis,

publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”

merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm

tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani

secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran

hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah

dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan

anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri

meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika

pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.

          Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang

mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan

diatas.

 Terapi Bedah

24

Page 25: Skenario 2 Emergency

          Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“, perdarahan

epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS.

Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm

atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan

epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda

lateralisasi.

          Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom temporal,

jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih

cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus

venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas

dibandingkan dengan ruang supratentorial.

          Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,

khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.Saat

ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.

          Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak

mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka

kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi

subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark

serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling

sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang

seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III

kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke

arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista

leptomeningeal atau fraktur bertumbuh.Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan

otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur

membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanyamemperlihatkanmassascalppulsatil.

25

Page 26: Skenario 2 Emergency

4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

4.1. Menjelaskan trias cushing.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan

intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan

Tekananintrakranialpadaumumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,

timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan

tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia yang

timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat

inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme kompensasi

ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak.Akan tetapi,

menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang

membantu menaikkan tekananan intrakranial.

26