skenario 2 emergency

62
LI. 1. Memahami dan Mempelajari Trauma Kepala LO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Kepala Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam Trauma kepala akibat tembakan Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. 1. Mekanisme Cedera Kepala a. Cedera kepala tumpul 1

Upload: nabilahfajriah

Post on 16-Feb-2016

64 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

skenario 2 emergency

TRANSCRIPT

Page 1: skenario 2 emergency

LI. 1. Memahami dan Mempelajari Trauma Kepala

LO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur

kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan

otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan

oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran

yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-

Brown, Thomas, 2006).

LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Kepala

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul

Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam

Trauma kepala akibat tembakan

Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara

praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera, dan

morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan

benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan

otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang

tengkorak.

b. Cedera kepala tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

1

Page 2: skenario 2 emergency

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita

cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi

perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang

keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka

nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan

sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan

nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15

dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic

Brain Injury yaitu :

3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar

tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk

memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak

menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

2

Page 3: skenario 2 emergency

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit

kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak

tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :

Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis

fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,

compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut :

Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit

Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,

distorsi dan ‘splintering’

Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak

Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain

retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a. Calvarium / Konveksitas (kubah/atap tengkorak)

b. Basis cranii (dasar tengkorak)

3. Keadaan luka, dibedakan atas :

a. Terbuka

Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada

duramater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).

b. Tertutup

Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak

atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization

2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat

pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan

tengkorak.

3

Page 4: skenario 2 emergency

4. Luka pada kepala :

Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang

memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,

sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung

pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat

mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

Luka memar (kontusio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana

pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,

kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada

jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung

saraf yang rusak.

Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih

berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah

kecederaan.

b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang

sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin

mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak

karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah

trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau

gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal

istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan

4

Page 5: skenario 2 emergency

prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan

pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di

area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri

meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan

ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan

otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus

temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri

dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral

yang membutuhkan tindakan operasi.

LO 1.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan

otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan

lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang

area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka

lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi

linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi

rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan

secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi

kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah

lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar

saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak

5

Page 6: skenario 2 emergency

(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia

otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder

terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf

mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,

menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

LO 1.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Trauma Kepala

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :

a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

c. Mual atau dan muntah

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun

e. Perubahan keperibadian diri

f. Letargi

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau

meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

6

Page 7: skenario 2 emergency

LO 1.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Trauma Kepala

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale

(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan

mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan

memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :

• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,

tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan

melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang

lebih baik atau lebih buruk.

7

Page 8: skenario 2 emergency

Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)

Respon membuka mata (E) Nilai

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3

Buka mata bila dirangsang nyeri 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Nilai

Mengikuti perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan

diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk

dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang

terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

8

Page 9: skenario 2 emergency

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,

kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

(sumber ; Greaves dan Johnson, 2002)

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi

dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk

menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau

rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa

mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat

digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and Employment,

2006).

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam memperkirakan

prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT

scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat

berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih

baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

9

Page 10: skenario 2 emergency

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal

akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang

lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di

samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya

struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi

seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada

pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau

terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk

pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan

intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru

pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson

Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan

penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di

korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki

prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat

menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita

cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

LO 1.7 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Trauma Kepala

Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD :

Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah

ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai

pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:

Airway

Breathing

Circulasi

Disability

10

Page 11: skenario 2 emergency

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :

Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing

Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi

atauipun rotasi.

Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera

vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.

Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak

usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.

Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya

normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas

buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35

mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya

edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang

berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri

Oksigen masker 8 liter/ menit.

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :

Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.

Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber

perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak

pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka

kematian 2 X

Hentikan perdarahan dari luka terbuka

Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:

Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale

Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung

maupun konsensual./tidak langsung

Periksa adanya hemiparese/plegi

Periksa adanya reflek patologis kanan kiri

Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur

misal adanya aphasia

11

Page 12: skenario 2 emergency

Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara

melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto pelvis,

CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah (pemeriksaan ini

sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-15)

Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila

dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala

hebat.

3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

Klinis :

a. Keadaan penderita sadar

b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya

c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat

Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-

obatan / alkohol.

d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan

Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya

fractur dasar tengkorak meliputi :

a. Ekimosis periorbital

b. Rhinorea

c. Otorea

d. Hemotimpani

e. Battle’s sign

Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :

a. Fractur linear/depresi

b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah

c. Batas udara – air pada sinus-sinus

d. Pneumosefalus

e. Fractur tulang wajah

f. Benda asing

12

Page 13: skenario 2 emergency

Pemeriksaan laboratorium :

a. Darah rutin tidak perlu

b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel

Therapy :

a.Obat anti nyeri non narkotik

b. Toksoid pada luka terbuka

Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)

Pada 10 % kasus :

Masih mampu menuruti perintah sederhana

Tampak bingung atau mengantuk

Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

Pada 10 – 20 % kasus :

Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma

Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.

Tindakan di UGD :

Anamnese singkat

Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis

Pemeriksaan CT. scan

Penderita harus dirawat untuk diobservasi

Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :

Status neulologis membaik

CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan

pembedahan

Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.

Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

13

Page 14: skenario 2 emergency

III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)

Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status

kardiopulmonernya telah distabilkan

CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi

Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan

Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan

secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi

Di UGD ditemukan :

30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )

13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2 kali

lebih banyak dari pada tanpa hypotensi

12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing

Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi

apnoe yang berlangsung lama

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera

kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %

Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara

asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan

penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

2. Sirkulasi

Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi

Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus

multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade

jantung dan tension pneumothorax

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti

cairan yang hilang

14

Page 15: skenario 2 emergency

UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

B. Secondary survey

Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis

Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri

dari :

GCS

Reflek cahaya pupil

Gerakan bola mata

Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf

Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan

sedasi atau paralisis

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV

Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,

bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik

Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita

Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah

Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder

terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap

normovolemik

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih

Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia

yang berakibat buruk pada otak yangn cedera

15

Page 16: skenario 2 emergency

Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia

menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

B. Hyperventilasi

Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan

PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol

Dosis 1 gram/kg BB bolus IV

Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian

terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan

memperberat hypovolemia

D. Furosemid

Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan

meningkatkan diuresis

Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. Steroid

Steroid tidak bermanfaat

Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F. Barbiturat

Bermanfaat untuk menurunkan TIK

Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena

barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

G. Anticonvulasan

Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya

epilepsi pasca trauma

Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

Obat lain diazepam dan lorazepam

16

Page 17: skenario 2 emergency

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepala

Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci

bersih sebelum dilakukan penjahitan

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat

dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan

penjahitan luka

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka

menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf

Lakukan foto teengkorak / CT Scan

Tindakan operatif

B. Fractur depresi tengkorak

Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di

intra kranial atau adanya suatu kontusio

C. Lesi masa Intrakranial

Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa

dan untuk mencegah kematian

Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan

tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,

hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.

17

Page 18: skenario 2 emergency

LO 1.8 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala

Komplikasi trauma kepala :

a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang

terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu

ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis

fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.

b. Infeksi

Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang

terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih

kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis

meningitis.

c. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan

lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini

merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan

patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres

terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral

atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV

selama 5 hari.

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Perdarahan Intrakranial

LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium,

yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan

intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor

otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan

spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH

umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan

edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi

18

Page 19: skenario 2 emergency

neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan

sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Perdarahan Intrakranial

Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan

cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :

o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial

antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat

menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan

kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil

itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan

hemiparesis.

o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi

akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan

korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding

pada perdarahan epidural.

19

Page 20: skenario 2 emergency

o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3

minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah

darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga

akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari

akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan

dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di

ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses

degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang

dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor

diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,

kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic

attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan

motorik dan kejang

o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang

terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan

antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi

dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak

lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala

klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat

penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang

dialami.

o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik

arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang

subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA

menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna

prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan

menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

20

Page 21: skenario 2 emergency

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi

dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim

yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan

inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang

menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan

inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis

ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara inti profunda dengan inti permukaan .

o Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek

gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri

adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya

gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh

tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah

kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang

mengenai kepala.

o Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema

cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat

pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena

episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

o Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau

terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan

karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

21

Page 22: skenario 2 emergency

Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :

1. Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan epidural

yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria

pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural di

daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran

(biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.

2. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya

meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:

a. Perdarahan subdural akut

- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon

yang lambat, serta gelisah.

- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.

- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera

batang otak.

b. Perdarahan subdural subakut

- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan

dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

c. Perdarahan subdural kronis

- Terjadi karena luka ringan.

- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara

pelan-pelan ia meluas.

- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.

- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

3. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang

dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).

22

Page 23: skenario 2 emergency

4. Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan

intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.

5. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi

penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai

counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.

Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan

yang terjadi.

1. Epidural Hematom

Gambar CT-scan epidural hematom

Etiologi

Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :

- Trauma kepala

- Sobekan a/v meningea median

- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum

- Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang

menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak

yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan

dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang

23

Page 24: skenario 2 emergency

terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang

terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal

atau tulang sfenoid.

Klasifikasi

Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :

- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma

- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari

- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

Patofisiologi

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,

seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial

linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau

keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati

lekukan minengeal pada squama temporal.

Gejala klinis

Gejala klinis hematom epidural terdiri dari :

- Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan

perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari

50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari

saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya

jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval

lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini

menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena

trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi

transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan

yang dimungkinkan berasal dari arteri.

- Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran

massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga

menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

24

Page 25: skenario 2 emergency

- Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai

maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun

sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya

kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Terapi

Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,

dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.

Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya

pengumpulan darah yamg baru.

- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom

- Kraniotomi-evakuasi hematom

2. Subdural Hematoma

Gambar CT-scan subdural hematom

Etiologi

- Trauma kepala

- Malformasi arteriovenosa

- Diskrasia darah

- Terapi antikoagulan

25

Page 26: skenario 2 emergency

Klasifikasi

- Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada

cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut pada

pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.Perdarahan dapat

kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.Pada gambaran skening tomografinya,

didapatkan lesi hiperdens.

- Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada

subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .Perdarahan

dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.Pada gambaran

skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan

karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

- Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik

subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah

trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa

mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular

atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati

hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi membesar secara perlahan- lahan

sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula

jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih

belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada

araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini.Kapsula ini mengandung pembuluh

darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.Karena dinding yang tipis ini

protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari

hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang

menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk

cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan

membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma

26

Page 27: skenario 2 emergency

subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran

skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

Patofisiologi

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah

lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral

dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam

exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Gejala klinis

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan

kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera

neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas

dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual,

muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan

defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga

tumor otak.

Terapi

Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya

dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua

dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah

mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi

(diandingkan dengan burr-hole saja).

27

Page 28: skenario 2 emergency

3. Intraserebral Hematom

Gambar CT-scan Intraserebral hematom

Etiologi

Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :

- Trauma kepala.

- Hipertensi.

- Malformasi arteriovenosa.

- Aneurisme

- Terapi antikoagulan

- Diskrasia darah

Klasifikasi

Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;

- Hematom supra tentoral.

- Hematom serbeller.

- Hematom pons-batang otak.

Patofisiologi

Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia

basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

Gejala klinis.

Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom

ekstra aksial lainnya.Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera,

namun dengan adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat ditegakkan lebih

cepat.

28

Page 29: skenario 2 emergency

Kriteria diagnosis hematom supra tentorial

- nyeri kepala mendadak

- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.

- Tanda fokal yang mungkin terjadi ; Hemiparesis / hemiplegi, Hemisensorik, Hemi

anopsia homonym, Parese nervus III.

- Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut, Penurunan kesadaran, Ataksia,

Tanda tanda peninggian tekanan intracranial

- Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma, Tetraparesa,

Respirasi irregular, Pupil pint point, Pireksia, Gerakan mata diskonjugat.

Terapi

Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif.Tekanan darah harus

diawasi.Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi.Intra cerebral hematom yang luas

dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan

intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk

hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi

tekanan intrakranial karena terapi medis

a. Konservatif

- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial

- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar

- Bila perdarahan pons batang otak

b. Pembedahan

- Kraniotomi

- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa

- Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan effek massa

29

Page 30: skenario 2 emergency

LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Perdarahan Intrakranial

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam

penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.

Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang

mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan

dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan

pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,

perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan

kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan

hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level

hematokrit.

PENCITRAAN

Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular

cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin

diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.

Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.

Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa

perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan

epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya

pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus

mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang

besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

30

Page 31: skenario 2 emergency

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom

kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom

menentukan jumlah radiasi yang diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari

waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu

tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4

minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut

mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin

mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin

serum yang rendah.

o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana

konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat

disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.

Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan

mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital

dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial

lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan

hematom intraserebral

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat

untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat

diamati ketika meluas.

LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Perdarahan Intrakranial

Terapi Obat-obatan

Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik

pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak

yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.

Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)

pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang

memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih

31

Page 32: skenario 2 emergency

cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang

sangat ketat jika diambil rute konservatif.

Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika

lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan

pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.

Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian

klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”

merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm

tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani

secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya

ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural

terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien

memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.

Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural,

khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.

Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer

yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah

didiskusikan diatas.

Terapi Bedah

Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,

perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa

mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural

memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.

Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status

kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom

temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan

lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan

sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia

terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.

32

Page 33: skenario 2 emergency

Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,

khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.

Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.

Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial

yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Perdarahan Intrakranial

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka

kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi

subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark

serebral.

Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling

sering di pons.

Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya

membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III

kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata

ke arah medial, atas, dan bawah.

Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau

fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak

mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.

Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

LI. 3. Memahami dan Mempelajari Fraktur Basis Cranii

LO 3.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur Basis Cranii

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang

tengkorak yang tebal.Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur basis

cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio

occipital condylar.Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya

menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

33

Page 34: skenario 2 emergency

LO 3.2 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur

calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK

Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)

bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar mata

tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila

dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes.

Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus

Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman

(hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan

arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).

Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam

rongga telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS bercampur

darah (otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior

dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars

posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan

Diabetes Insipidus.

Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan

Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan

langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus

Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).

34

Page 35: skenario 2 emergency

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.

Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti

air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang

terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna

merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.

Fraktur melintas os petrosum

fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,

menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid

sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.

Fraktur melintas Foramen Magnum

Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak

Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

Jenis fraktur basis cranii :

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari

fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur

temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini. (A)Transverse

temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam

Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa

pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe

fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan

labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada

mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-

35

Page 36: skenario 2 emergency

90%).Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea

dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur

unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi

fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk

fraktur yang melibatkan mastoid air cells.Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus

cranialis.

Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi

aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini

dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative

membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen.

Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus

oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan

langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai

fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami

kerusakan.Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal

ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan

kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam

literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem

vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe

ini.

LO 3.3 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah

dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari

benturan pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala (‘gelombang

tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen

magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya

segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai

36

Page 37: skenario 2 emergency

(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai

dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari

arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering

disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara

sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek

misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada

area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut

kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada

benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau

ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii

akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang

disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para

peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada

mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan

rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow

Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan

ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli

sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena

hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial

numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os. temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga

menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural

hearing loss).

37

Page 38: skenario 2 emergency

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius. Sebagian besar

pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan

koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower

cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX,

X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis

ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,

sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital

dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Fraktur Basis Cranii

Pemeriksaan Lanjutan

Studi Imaging :

o Radiografi

Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan

bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray

skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

o CT scan

CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull

fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,

bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam

menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

o MRI

MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus

yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh

lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat

dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada

kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,

38

Page 39: skenario 2 emergency

maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan

menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

LO 3.6 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Fraktur Basis Cranii

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak

memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan

kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus

dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status

neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara

conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai

rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi

ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan

waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika

kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,

mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan

pada kasus ini.

Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi

leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur

depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi

fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.

Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan

pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi

dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,

cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini

dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.

39

Page 40: skenario 2 emergency

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular

(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.

Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau

jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF

yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran

sebelum intervensi bedah dilakukan.

LO 3.7 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.

Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di

bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah

akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,

dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya

fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung

pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang

terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya

ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur

condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-

Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI

dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan

pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera carotid

diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,

CT-angiografi dianjurkan.

40

Page 41: skenario 2 emergency

LI. 4. Memahami dan Mempelajari Trias Cushing

LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Trias Cushing

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan

intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan

LO 4.2 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trias Cushing

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera

kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum.

Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara

bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat,

Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi

lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu

mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi

Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

41