blok emergency pbl 2

Upload: rizweta-destin

Post on 31-Oct-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PBL

TRANSCRIPT

Rizweta Destin1102009253

1. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Pelvis (buli-buli) dan Trauma Uretra

Trauma Buli-buli

Trauma pelvis (buli-buli) adalah trauma yang sering disebabkan oleh rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine.Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture buli-buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan,hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital.Bila buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan tekanan intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat menyebabkan ruptura intraperitoneal.Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik.

Trauma UretraTrauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :a) Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosab) Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika

Etiologia) Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar.b) Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.c) Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra pars membranasea.d) Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa.e) Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena false route atau salah jalan.

Klasifikasi1) Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.2) Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.

Derajat cedera urtera dibagi dalam 3jenis : Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Pada foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak memanjang. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis. Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga dibawah diafragma urogenital sampai ke perineum.

Patofisiologi Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial. Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun, jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

2. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Trauma Pelvis (buli-buli) dan Trauma Uretra

Trauma Buli-buli

Trauma buli-buli Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat. Nyeri suprapubik Ketegangan otot dinding perut bawah Hematuria Ekstravasasi kontras pada sistogram.

Ruptur buli-buli Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapt menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrome ileus paralitik. Ruptur ekstraperitoneal saluran kemih dapat menimbulkan gejala dan tanda infiltrasi urin retroperitoneal yang mudah menimbulkan septisemia

Trauma Uretra

Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematoma dan nyeri tekan. Bila disertai rupture kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum. Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan ditemukan kandung kemih yang penuh.

3. Mampu Memilih dan Menginterpretasikan Pemeriksaan Penunjang yang DiperlukanTrauma Buli-Bulia. Pemeriksaan pencintraan berupa sistografi, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretrum. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat bulu-buli terisi kontras dalam posisi anterior posterioi (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari bui-buli.Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikel yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang terdapat pada sela-sela usus berarti ada robeka buli-buli intraperitoneal.

b. Di daerah yang jauh dari pusat rujukam dan tidak ada sarana untuk melakukan sistograf dapat diuji coba pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli-buli sebanyak 300ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli.

Trauma Uretra Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena pindah ke cranial. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe uretra.

4. Memahami dan Menjelaskan penatalaksanaan Trauma Pelvis (buli-buli) dan Trauma Uretra

Trauma Buli-Buli

Pada kontusia buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh seteah 7-10 hari Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari dan dilalukan penjahitan luka dengan pemasangan kateter sistostomi.

KomplikasiPada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongaa pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal. Jika tidak segera dilakukan operas, dapat menimbulkanperitonitis akibat dari akstravasisi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh selama 2 bulan.

Trauma Uretra

Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja. Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk manajemen aliran urin. Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen, cukup dilakukan sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir. Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3 minggu. Bila rupture parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.

Komplikasia) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethrab) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia

2. memahami dan Menjelaskna Trauma Tumpul pada mata2. I. DEFINISITrauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.Trauma tumpul biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari ataupun karena olah raga. Biasanya benda-benda yang sering menyebabkan trauma tumpul berupa bola tenis, bola sepak, bola tenis meja, shuttlecock dan lain sebagianya. Trauma tumpul dapat bersifat counter coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horisontal di sisi yang bersebrangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan makula.2. III. PATOFISIOLOGITrauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidralis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali.2.IV. KLASIFIKASITrauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:1. Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata2. Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.

Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan berupa kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan. Menurut Duke-Elder, kontusio dan konkusio bola mata akan memberikan dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai dengan saraf optikus.2.V. GAMBARAN KLINISGejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain: 1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnyaPada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata. 2. Memar pada sekitar mataMemar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii.3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadakPenurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus. 4. Penglihatan gandaPenglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.5. Mata bewarna merahPada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan subkonjungtiva. 6. Nyeri dan rasa menyengat pada mataPada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata. 7. Sakit kepalaPada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit kepala. 8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mataPada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata.9. FotopobiaFotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata.

Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata, terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.

Anatomi mata1 .OrbitaTrauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata terdorong dan menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering merupakan perluasan fraktur dari maksila diklasifikasikan menurut Le Fort, dan fraktur tripod pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita. Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya- gaya penekan dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial yang tipis , disertai dengan prolaps bola mata beserta jaringan lunak ke dalam sinus maksilaris (fraktur blow-out).Mungkin terdapat cedera intraocular terkait, yaitu hifema , penyempitan sudut, dan ablasi retina. Enoftalmos dapat segera terjadi setelah trauma atau terjadi belakangan setelah edema menghilang dan terbentuk sikatrik dan atrofi jaringan lemak.

Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus dan paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis tampak sebagai strabismus . Diplopia dapat disebabkan kerusakan neuromuscular langsung atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi penjepitan otot rektus inferior orbita dan jaringan di sekitarnya. Apabila terjadi penjepitan,maka gerakan pasif mata oleh forseps menjadi terbatas.

2.PalpebraMeskipun bergantung kekuatan trauma , trauma tumpul yang mengenai mata dapat berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi palpebra.Gambaran klinisHematoma palpebra merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauna tumpul kelopak. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini disebut hematoma kacamata. Henatoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.PenatalaksanaanPenanganan pertama dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk memudahkan absorpsidarah dapat dilakukan kompres hangat

3.KonjungtivaDampak trauma pada konjungtiva adalah perdarahan sub-konjungtiva atau khemosis dan edema. Perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak memerlukan terapi karena akan hilang dalam beberapa hari. Pola perdarahan dapat bervariasi, dari ptekie hingga makular. Bila terdapat perdarahan atau edema konjungtiva yang hebat, maka harus diwaspadai adanya fraktur orbita atau ruptur sklera.Gambaran klinisEdema konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtivanya.PenatalaksanaanPada edem konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selapt lendir konjungtiva. Pada edem konjungtiva yang berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

Edema konjungtiva perdarahan sub-konjungtiva

4. SkleraRuptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva (edema pada konjungtiva), hifema total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat rendah, dan pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjad karena trauma langsung mngenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada trauma tak langsung.

5. Koroid dan korpus vitreusKontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan koroid ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra- coup) sehingga dapat menyebabkan edema, perdarahan, dan robekan stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat terjadi di subretindan suprakoroid. Akibat perdarahan dan eksudasi di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari skleraRuptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih berbatas tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering terjadi pada membran Bruch. Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid.

6.KorneaEdema superfisial dan aberasi kornea keadaan dimana epitel dari kornea terlepas)(dapat hilang dalam beberapa jam. Edema interstisial adalah edema yang terjadi di substania propria yang membentuk kekeruhan seperti cincin dengan batas tegas berdiameter 2 3 mm. Lipatan membrana Bowman membentuk membran seperti lattice. Membrana descement bila terkena trauma dapat berlipat atau robek dan akan tampak sebagai kekeruhan yang berbentuk benang. Bila endotel robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke dalam stroma kornea, sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan endotel kornea ini kecil, maka kornea akan jernih kembali dalam beberapa hari tanpa terapi.Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea, disebabkan oleh adanya segmen iris yang terlepas ke depan. Laserasi kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea secara terpisah atau bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi.Gambaran klinisEdema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif.

PenatalaksanaanPengobatan yang diberikan adalah larutan hiertonik seperti NaCL 5% atau larutan garam hipertonik 2 8%, glukosa 40% dan larutan albumin. Bila terjadi peninggian tekanan bola mata maka dapat diberikan asetozolamida. Dapat diberikan lensa kontak lembek untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan.

a. Erosi korneaErosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat mengakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.Gambaran klinisPada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh.Pada kornea akan terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi fuorosein akan berwarna hijau.PenatalaksanaanAnestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati karena dapat menambah kerusakan epitel.Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin, kloramfenikol dan sufasetamid tetes. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida.Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien minimal 24 jam.

b. Erosi kornea rekurenErosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea.PenatalaksanaanPengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea.Pemberian siklopegik bertujuan untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang mungkn timbul.Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder.

Dapat digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea dengan maksud untuk mempertahankan epitel berada ditempatnya7. Iris dan Korpus Siliaris Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali normal bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan segera diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan kacamata.Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa vasokonstriksi yang segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan hiperemia. Eksudasi kadang-kadang hebat sehingga timbul iritis. Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat melalui deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris, akar iris, dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah di kamera okuli anterior, yang disebut hifema. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Tanda dan gejala hifema, antara lain:- Pandangan mata kabur- Penglihatan sangat menurun- Kadang kadang terlihat iridoplegia (kelumpuhan pada otot pupil sehingga midriasis) & iridodialisis (keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk pupil tidak bulat dan pangkal iris terdapat lubang)- Pasien mengeluh sakit atau nyeri- Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme- Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra- Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen- Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan- Pupil tetap dilatasi (midriasis)- Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma.- Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea- Kenaikan TIO (glukoma sekunder )- Sukar melihat dekat- Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil- Anisokor pupil- Penglihatan ganda (iridodialisis)Hifema primer dapat cepat diresorbsi dan dalam 5 hari bilik mata depan sudah bersih. Komplikasi yang ditakutkan adalah hifema sekunder yang sering terjadi pada hari ke-3 dan ke-5, karena viskositas darahnya lebih kental dan volumenya lebih banyak. Hifema sekunder disebabkan lisis dan retraksi bekuan darah yang menempel pada bagian yang robek dan biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih banyak.PenatalaksanaanPenanganan awal pada pasien hifema yaiu dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulansia dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Bila terjadi glaukoma dapat diberikan Asetazolamida.Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terliaht tanda-tanda hifema berkurang.8. LensaKerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah kekeruhan, subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin pigmen yang terdapat pada kapsul anterior karena pelepasan pigmen iris posterior yang disebut cincin Vosslus. Kekeruhan lain adalah kekeruhan punctata, diskreta, lamelar aau difus seluruh massa lensa. Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau posterior. Bila robekan kecil, lesi akan segera tertutup dengan meninggikan kekeruhan yang tidak akan mengganggu penglihatan. Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap, sedangkan pada orang tua dapat progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain, trauma dapat mengaktivasi proses degeneratif lensa.Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-kadang tidak mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan diplopia monokular, bahkan dapat mengakibatkan reaksi fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang interretina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO.

9. RetinaEdema Retina adalah terjadinya sembab pada daerah retina yang bias diakibatkan oleh trauma tumpul.Gambaran klinisEdema retina akan memberikan warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Pada edema retina akibat trauma tumpul mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. Penglihatan pasien akan menurun.PenatalaksanaanPenanganan yaitu dengan menyuruh pasien istirahat. Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

10. Ablasi RetinaYaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Seperti adanya retinitis sanata, miopia dan proses degenerasi retina lainnya.

Gambaran klinisPada pasien akan terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok.PenatalaksanaanAblasi retina ditangani dengan melakukan pembedahan oleh dokter mata.Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan retina terjadi pada mata yang memang telah mengalami degenerasi sebelumnya, sehingga trauma yang ringan sekalipun dapat memicu robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis ora serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal atau nasal atas, berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai dengan ablasio retina. Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat terjadi akibat:- Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat rupture- Perdarahan koroid dan eksudasi- Robekan retina dan koroid- Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.- Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai pencetus.11. Nervus OptikusKontusio dan konkusio dapat menyebabkan edem dan inflamasi di sekitar diskus optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga mengakibatkan nervus optikus terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul.

Gambaran klinisPenderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan.PenatalaksanaanPenderita perlu dirujuk untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya akibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan mata berat.

2.VI. DiagnosisAnamnesaPada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya

Pemeriksaan Fisik dan PenunjangKeadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3 hingga kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental, fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat dimulai dengan:1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik dan defek pupil aferen 2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari defek pada tepi tulang orbita.3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang lain)7. Pemerikasaan oftalmoskopi dan teknik imaging lainnya (USG, CT-scan, x-ray): mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea8. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glukoma.9. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.10. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau meningkat ringan11. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.12. Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes

Pemeriksaan Penunjang- Laboratorium (tes fungsi hati, prothombin, trombosit dan waktu perdarahan) - Pemeriksaan visus- Pemeriksaan lampu celah- Pemeriksaaan goneoskopi (untuk mencari pembuluh darah yang rusak dan resesif sudut)

2.VII. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan Trauma Tumpul Bola MataPrinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas dan pakai pelindung pada mata. Analgetik, antiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata yang cedera harus steril.Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema.Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat penyerapan darah. Pada laserasi kornea , diperbaiki dengan jahitan nilon 10-0 untuk menghasilkan penutupan yang kedap air. Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik. Sisa-sisa lensa dan darah dapat dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau vitrektomi. Luka di sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interrupted yang tidak dapat diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara dilepaskan dari insersinya agar tindakan lebih mudah dilakukan.2.VIII. PROGNOSIS pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut.Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin. Penanganan hifema, yaitu :1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4 -7 hari ) sampai hifema diserap.2.Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60 diberi koagulasi.4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari.10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila:- Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan, apabila terjadi penjepitan- Enoftalmos 2 mm atau lebih- Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita) yang kemungkinan besar akan menyebabkan enoftalmos.Penundaan pembedahan selama 1 2 minggu membantu menilai apakah diplopia dapat menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan lebih lama menurunkan kemungkinan keberhasilan perbaikan enoftalmos dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan secara bedah biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva. Periorbita diinsisi dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial dan dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek ditutup dengan implan.

3. Memahami dan Menjelaskan penurunan Kesadaran3. 1 DEFINISIPenurunan kesadaran merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian.

Dalam menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow.A. Penurunan kesadaran bersifat kualitatifa. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.b. Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.c. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.d. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.e. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.B. Penurunan kesadaran bersifat KuantitatifSecara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

3.II ETIOLOGIA. Menurut Kausa: 1. Kelainan Otak Trauma :komosio (hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur), kontusio (cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi pada subtansi otak. dapat menimbulkan edema cerebral), laserasio, hematoma epidural, hematoma subdural. Gagguan sirkulasi :perdarahan intraserebral, infark otak oleh thrombosis dan emboli Radang :ensefalitis, meningitis Neoplasma :primer, metastatik Epilepsi :status epilepsi2.Kelainan Sistemik Gangguan metabolisme dan elektrolit: hipoglikemia, diabetic keoasidosis, uremia, gangguan hepar, hipokalsemia, hiponetramia Hipoksia: penyakit paru berat, kegagalan jantung berat, anemia berat Toksik: keracunan CO2, logam berat, obat, alkoholB.Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi: Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial Gangguan difus (gangguan metabolik)Benyamin Chandra menggunakan Istilah CEMENTEDC : circulation (gangguan sirkulasi darah)E : ensefalopatiM : metabolismE : elekrolit dan endokrinN : neoplasmaT : trauma kapitisE : epilepsyD :drug intoxication

3.III. PATOFISIOLOGIa. lesi supratentorialdisebabkan adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial sentral dan herniasi unkus.a.Herniasi girus singuliHerniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.b.Herniasi transtentorial/ sentralHerniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon, pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium.c.Herniasi unkusHerniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.

Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang otak. Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma mesensefalon bahkan sindroma ponto-meduler dan deserebrasi. Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.

b.Lesi infratentorialPada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.2) Proses di luar batang otak yang menekan ARASa. Langsung menekan ponsb. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medulla oblongata

c.Gangguan difus (gangguan metabolik)Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomic tertentu pada susunan saraf pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada golongan initerutama akibat kekurangan 02 , kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.

d.Kekurangan 02Otak yang normal memerlukan 3.3 cc 02/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR 02). CMR 02 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang-kejang CMR 02 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR 02 menurun. Pada CMR 02 kurang dari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc 02/100 gram otak/menit terjadi koma

e.GlukosaEnergi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio retikularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian lain. Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.

f.Gangguan sirkulasi darahUntuk mencukupi keperluan 02 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, 02 dan glukosa darah juga akan berkurang.

g.ToksinGangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi

3.IV. DIAGNOSISDiagnosis kesadaran menurun didasarkan atas: AnamnesisDalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis tersebut didapat, biasanya anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang selalu berada bersama penderita. Untuk itu diperlukan riwayat perjalanan penyakit, riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi kunci utama dalam mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun1. Pemeriksaan fisik umumDalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati: Tanda vitalPemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia. Bau nafasPemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit ginjal atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis. Pemeriksaan kulitPada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit. KepalaPerhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur. LeherPerhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka). Toraks/ abdomen dan ekstremitasPerhatikan ada tidaknya fraktur.

Pemeriksaan fisik neurologisPemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2. Umum Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama). Level kesadaranDitentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma) Kuantitatif (menggunakan GCS) PupilDiperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik (-), dicurigai suatu koma metabolik Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal. Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik. Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi. Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global, keracunan barbiturat. Funduskopi Refleks okulosefalik (dolls eye manuevre) Refleks okulo vestibuler Refleks kornea Refleks muntah Respons motorik Refleks fisiologik dan patologik Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal ginjal dan elektrolit. Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung. Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto toraks dan foto kepala.

3.V. DIAGNOSIS BANDINGMenentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah akibat kelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla, pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan metabolik terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasi saraf kranial dan respons motorik terhadap stimuli. Pola pernafasanMengetahui pola pernafasan akan membantu letak lesi dan kadang menentukan jenis gangguan. Respirasi cheyne stokePernafasan ini makin lama makin dalam kemudian mendangkal dan diselingi apnoe. Keadaan seperti ini dijumpai pada disfungsi hemisfer bilateral sedangkan batang otak masih baik. Pernafasan ini dapat merupakan gejala pertama herniasi transtentorial. Selain itu, pola pernafasan ini dapat juga disebabkan gangguan metabolik dan gangguan jantung. Respirasi hiperventilasi neurogen sentralPernafasan cepat dan dalam, frekuensi kira-kira 25 per menit. Dalam hal ini, lesi biasanya pada tegmentum batang otak (antara mesensefalon dan pons). Ambang respirasi rendah, pada pemeriksaan darah ada alkalosis respirasi, PCO2 arterial rendah, pH meningkat dan ada hipoksia ringan. Pemberian O2 tidak akan mengubah pola pernafasan. Biasanya didapatkan pada infark mesensefalon, pontin, anoksia atau hipoglikemia yang melibatkan daerah ini dan kompresi mesensefalon karena herniasi transtentorial. Respirasi apneustikTerdapat inspirasi memanjang diikuti apnoe pada saat ekspirasi dengan frekuensi 1-11/2 per menit kemudian diikuti oleh pernafasan kluster. Respirasi klusterDitandai respirasi berkelompok diikuti apnoe. Biasanya terjadi pada kerusakan pons varolii. Respirasi ataksik (irregular)Ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik dalam atau iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan medulla oblongata dan merupakan keadaan preterminal. Pergerakan spontanPerlu melakukan observasi pasien waktu istirahat. Pergerakan abnormal seperti twitching, mioklonus, tremor merupakan petunjuk gangguan toksik/ metabolik. Apabila tampak pergerakan spontan dengan asimetrik (tungkai bawah rotasi keluar menunjukkan defisit fokal motorik).Komponen brain stem dari ARAS masih baik bila tampak mengunyah, berkedip dan menguap spontan dan dapat membantu lokalisasi penyebab koma. Pemeriksaan saraf kranialJika pada pemeriksaan saraf kranial (saraf okular) tampak asimetrik dicurigai lesi struktural. Umumnya pasien koma dengan reflek brain stem normal maka menunjukkan kegagalan kortikal difus dengan penyebab metabolik. Obat-obatan seperti barbiturat, diphenylhydantion, diazepam, antidepresan trisiklik dan intoksikasi etanol dapat menekan refleks okular tetapi refleks pupil tetap baik. Impending herniasi ditandai oleh pola pernafasan tidak teratur, pupil miosis dan refleks pupil menurun. Repons motorik terhadap stimuliDefisit fokal motorik biasanya menunjukkan kerusakan struktur, sedangkan dekortikasi/deserebrasi dapat terjadi pada kelainan metabolik toksik atau kerusakan struktural. Gerakan-gerakan abnormal seperti tremor dan mioklonus sering terjadi pada gangguan metabolik toksik.

3.VI. TATALAKSANAPrinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama yaitu umum dan khusus.Umum Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang meningkat. Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial, pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan. Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah. Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan elektrokardiogram (EKG). Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg). Khusus Pada herniasi Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30 mmHg. Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam. Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam. Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi. Pengobatan khusus tanpa herniasi Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti. Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan perdarahan subarakhnoid.

Wulandari, Siti. 2011. Referat : Penurunan Kesadaran. Serang. Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.