wrap up sk 2 emergency - a15

57
SKENARIO 2 TRAUMA PADA KEPALA Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu.Ia mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar sekitar setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan. Tanda Vital Airway :terdengar bunyi snoring Breathing : frekuensi nafas 12 x/menit Circulation : tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 50 x/menit Regio Wajah Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi. Status Neurologi GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/-, RCTL +/-, kesan hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+ 1

Upload: annisafadhilah24

Post on 26-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

wrapup

TRANSCRIPT

Page 1: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

SKENARIO 2

TRAUMA PADA KEPALA

Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak

sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu.Ia

mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian

terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat jatuh ia pingsan, kemudian sempat

sadar sekitar setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak

sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan.

Tanda Vital

Airway :terdengar bunyi snoring

Breathing : frekuensi nafas 12 x/menit

Circulation : tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 50 x/menit

Regio Wajah

Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya

cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Status Neurologi

GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/-, RCTL +/-,

kesan hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+

1

Page 2: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Kata Sulit

1. Maloklusi :

Sejenis malposisi dan kontak antar gigi maksilar dan mandibular

sedemikian rupa sehingga mengganggu gerakan menggiling rahang yang

penting untuk prosesmengunyah.

2. Krepitasi :

Bunyi yang terdengar akibat pergesakan antar ujung patahan tulang.

3. Cerebrospinal rhinorrhea :

sekret cairan serebrospinal melalui hidung.

4. Status neurologis:

Pemeriksaan neurologis

5. Anisokor :

Ketidaksamaan diameter pada kedua pupil

6. Refleks patologis babinsky :

Dorsofleksi ibu jari kaki pada stimuli telapak kaki; normal pada bayi

tetapi pada lainnya merupakan tanda lesi pada sistem saraf pusat, terutama

pada traktus piramidalis.

2

Page 3: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Pertanyaan

1. Mengapa terjadi cerebrospinal rhinorrhea ?

2. Apa penyebab pupil anisokor ?

3. Mengapa terjadi muntah disertai darah ?

4. Mengapa pasien sempat mengalami keadaan sadar sesaat ?

5. Mengapa frekuensi napas pasien menurun ?

6. Menapa terjadi hemiparesis sinistra ?

7. Mengapa terjadi perdarahan hidung dan telinga pada sisi kanan ?

8. Mengapa tekanan darah meninggi tetapi denyut nadi menurun ?

9. Mengapa pada jalan napas pasien terdapat snorring ?

10. Mengapa terjadi maloklusi gigi ?

11. Mengapa terjadi refleks babinsky ?

12. Mengapa pada perabaan regio wajah terdapat krepitasi ?

13. Apa arti dari penilaian GCS dengan skor 5 ?

14. Mengapa terjadi perbedaan hasil pemeriksaan RCL dan RCTL pada mata

kanan dan mata kiri?

15. Mengapa di dapatkan mobilitas maxilla ?

Jawab

1. Karena terjadi fraktur kepala yang mengenai lamina cribrosa sehingga

mengakibatkan keluarnya cairan serebrospinal melalui rongga hidung.

2. Adanya penekan pada nervus kranial II (opticus) dan III (occulomotorius)

akibat trauma kepala dan hematoma intrakranial.

3. Karena adanya peningkatan tekanan intrakranial

4. Karena terjadi interval lucid yang merupakan salah satu gejala khas pada

perdarahan epidural.

5. Karena fraktur basis cranii dan perdarahan intrakranial terjadi peningkatan

tekanan intrakranial, sehingga terjadi penekanan batang otak yang

menekan pada cervical 3 dan 4, dimana pada cervical tersebut

mempersarafi otot diaphragma.

6. Adnya trauma kepala pada hemisphere kanan sehingga terjadi hemiparesis

kontralateral yaitu pada hemiparesis sinistra.

3

Page 4: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

7. Karena terjadi frkatur basis cranii, pada perdarahan hidung terjadi frakur

yang mengenai lamina cribrosa dan pada perdarahan telinga terjadi fraktur

yang mengenai os petrosum.

8. Karena terjadi trias cushing akibat dari peningkatan tekanan intrakranial.

9. Adanya hambatan jalan napas karena lidah yang menghalangi.

10. Karena adanya fraktur maksilla.

11. Karena terjadi hemiparesis sinistra.

12. Karena terjadi fraktur pada sepertiga tengah regio wajah.

13. GCS dengan nilai skor 5 menandakan koma dan trauma kepala berat.

14. Adanya penekan pada nervus kranial II (opticus) dan III (occulomotorius)

sehingga pada pemeriksaan terlihat adanya kelainan.

15. Karena terjadi fraktur maksilla.

4

Page 5: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Hipotesis

Trauma kepala Fraktur basis cranii Penurunan GCS

Otorrhea

Cerebrospinal Rhinorrhea

Perdarahan epidural Interval lucid

Anisokor ipsilateral

Peningkatan TIK

Trias Cushing

Hemiparesis kontralateral

refleks babinsky +

Fraktur sepertiga Krepitasi

tengah wajah Maloklusi gigi

Mobilitas maxilla

Trauma kepala dapat menyababkan fraktur basis cranii yang

mengakibatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS), otorrhea karena

fraktur basis cranii yang mengenai os petrosum, cerebrospinal rhinorrhea karena

fraktur basis cranii yang mengenai lamina cribrosa. Selain itu, terjadi perdarahan

intrakranial yaitu perdarahan epidural yang gejalanya adalah adanya interval

lucid, anisokor ipsilateral dan hemiparesis sinistra. Karena terjadi perdarahan

maka timbul peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan terjadinya trias

cushing. Pada trauma kepala terjadi juga fraktur sepertiga tengah wajah yang

mengakibatkan krepitasi pada perbaan, maloklusi gigi dan mobilitas maxilla.

5

Page 6: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Sasaran Belajar

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala.

1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.

2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.

2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial.

3.5. Menjelaskan manifestasi perdarahan intrakranial.

3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

4.1. Menjelaskan trias cushing.

6

Page 7: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa

(trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan

kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak

(Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of

America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul

Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam

Trauma kepala akibat tembakan

Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

Berdasarkan mekanisme terjadinya :

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,

jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan

decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan

melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:

a. Luka pada kepala:

Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat

longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada

fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.

Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat

7

Page 8: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan

perdarahan yang cukup banyak.

Luka memar (kontusio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan

dimanapembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke

jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan

berwarna merah kebiruan.

Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak

sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri

karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian

masih berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial

terlepas setelah kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi

jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar

tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat

fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis

Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang

menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia

dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat

mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif

Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen

dalam satu area fraktur.

Fraktur impresi

8

Page 9: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang

langsung mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan

atau laserasi pada durameter dan jaringan otak.

Fraktur basis cranii

Berdasarkan tingkat keparahan :

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam

deskripsi beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury

Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa

perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan

kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio.

Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di

seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak

terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi

kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi

linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat

trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi

lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara

terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan

rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.

Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di

9

Page 10: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta,

2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan

berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan

densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang

berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr

dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus

pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek

kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari

beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali

jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola

tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel.

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os

mastoid)

Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat

kemudian sembuh.

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

Mual atau dan muntah.

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

10

Page 11: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Perubahan keperibadian diri.

Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:

Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di

otak menurun atau meningkat.

Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi

pernafasan).

Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan

atau posisi abnormal ekstrimitas.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala.

a. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow

Coma Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk

mengkategorikan pasien menjadi :

• GCS 13-15 : cedera kepala ringan

• GCS 9-12 : cedera kepala sedang

• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi

respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera

ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada

hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu komponen, penyebabnya

dicari dan segera diatasi.

11

Page 12: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

b. Pemeriksaan Penunjang

X-ray tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar

tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai

terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya

kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan

tidak ada ( State of Colorado Department of

Labor and Employment, 2006).

CT-scan

Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena

kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan

tulang di sekitarnya.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang

sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita

dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada

pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan

kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan

intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat,

2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah

dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif

untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita

dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera

kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD

di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS

di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan,

tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita

cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

12

Page 13: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah

kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial

2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

3. Minimalisasi kerusakan sekunder

4. Mengobati simptom akibat trauma otak

5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang,

infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup

• Fraktur impresi (depressed fracture)

• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume

perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah

lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien

• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan

pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi

sisterna basalis

• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas

kelainan neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka

• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur

multipel, durameter yang robek disertai laserasi otak

• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari

• Pneumoencephali

• Corpus alienum

• Luka tembak

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)

Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan

tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan

13

Page 14: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh

pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila

dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk

dan sulit dibangunkan, pasien harus segera

dibawa kembali ke rumah sakit.

Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma

kranioserebral,

dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami

cedera kranioserebral ringan (CKR).

Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran

Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)

Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan

mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.

Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma

intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah,

kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi

patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)

Urutan tindakan:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing),

dan sirkulasi (Circulation)

b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera

organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang

ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau

fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan

c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya

d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.

Cedera kepala berat (SKG 3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan

fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada

14

Page 15: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan

sama dengan cedera kranioserebral

sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :

1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C =

Circulation

a. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala

ekstensi.

Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa

muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung

dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau

perifer.Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan

pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.

Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,

atau infeksi.

Tata laksana:

• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten

• Cari dan atasi faktor penyebab

• Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah

sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan

risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor

ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,

trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata

laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi

15

Page 16: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik

NaCl 0,9%.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.

a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure,

dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi

risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah

korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.

b. Infeksi

Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur

tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini

masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik

dengan dosis meningitis.

c. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis

erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan

tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena

berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera

kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini

dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers

(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat

benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,

supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat

disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur

maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau

karena beban inersia oleh kepala.

16

Page 17: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari

fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal

terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os

temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani.

Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior

menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat

foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan

yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari

foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir

pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua

frakturlongitudinal dan transversal.

fraktur condylar occipital,

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral

bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi

menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi

alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan

tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang

mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera

stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur

basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil

karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III

adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini

berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Fraktur clivus

Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan

kendaraann bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah

dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk,

terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI

dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

17

Page 18: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut

Fraktur Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut

Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.

Beberapa contoh fraktur calvarium

Fraktur Liniair

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya

ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang

dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media

maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura

mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.

Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)

Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan  garis – garis frakturnya nya menyebar

secara radial.

Fraktur Impressie

Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan

jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di

bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari

robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak

Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal

(LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari

luar disekitar mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata

disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s

eyes

Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus

Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya

penciuman (hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga

18

Page 19: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar

dari rongga hidung (Rhinorrhoea)

Fraktur Fossa Media

• Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk

kedalam rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga

keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).

• Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars

anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa

terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti

Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes Insipidus.

• Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang

memecahkan Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus

sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt

dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit  , conjunctiva

berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau

pelipis akan terdengar suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang

disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus

Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan

conjunctiva yang terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut

Sinus Cavernosus Syndrome,

Fraktur Fossa Posterior.

• Fraktur melintas os petrosum

Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os

mastoid, menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan

berada diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang

telinga , disebut Battle’s Sign.

• Fraktur melintas Foramen Magnum

19

Page 20: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan

merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan

memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa

anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).

Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada

kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang

pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung

lebih dari 6-7 minggu.tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang

dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa

tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder

dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,

sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran

permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan

serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama

dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang

servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan

hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus

cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi

fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain

sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-

Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus

cranial IX, X, XI, dan XII.

20

Page 21: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

Pemeriksaan Lanjutan

Studi Imaging

• Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada

kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam

menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat

bila tersedianya CT scan.

• CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu

dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-

1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur.

CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur

condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

• MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai

tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan

vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan

menggunakan CT scan.

Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran

CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan

mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran

seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring”

sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar

glukosa dan dengan mengukur transferrin.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan

struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat

dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,

pada bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus

menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan

fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa

21

Page 22: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai

rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada

neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur

depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur

depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih

tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan

antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus

ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif

dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-

anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli

bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih

dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera

adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan

hematom yang mendasarinya.

Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami

kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty

dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis

atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan

kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis

longitudinal pada os temporal.

Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari

3 bulan atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah

terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini

memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

22

Page 23: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan

rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur

basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi

pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari

nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik.

Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya

akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii.

Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion

gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung

dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada

nervus.

Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar

os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom

Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus

cranialis III, IV,dan VI dan juga

dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan

pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan

struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur

berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di

dalam kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral

(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga

akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.

8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan

spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan

subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat

mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi

23

Page 24: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan

substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom

herniasi yang berpotensi fatal.

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:

- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi

perdarahannya lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi

perdarahan biasanya superfisial.

- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan

penggunaan amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra

vena, juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan

kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari

kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip,

periarteritis nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat tersebut. Pada

angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau

konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini

bersifat reversible dan akan hilang dengan berhentinya penyalah gunaan

obat ini.

- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan

bentuk yang unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit

amyloid pada bagian media dan adventitia dengan ukuran sedang dan

kecil dari arteri cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri

cenderung menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena

24

Page 25: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

penebalan dasar membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan

hilangnya sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh

darah. Keadaan ini tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular

sistemik. Cerebral amyloid angiopathy berhubungan dengan dementia

senilis yang progressive. Biasanya terjadi pada usia yang lebih lanjut dan

jarang berhubungan dengan hipertensi.

- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai

sekitar 6-10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor

ganas, baik primer ataupun metastase; jarang pada meningioma atau

oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering

menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan

umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor

metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel

germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.

- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan

warfarin sering menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari

kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral

dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan

paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini

masih belum diketahui.

- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type

plasminogen aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary,

arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu

menghancurkan klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik

hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam pengobatan trombosis

akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan

intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang

diobati dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian

tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam

setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30% perdarahannya

25

Page 26: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya perdarahan ini

masih belum diketahui.

- Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan

infark serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses

radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada

pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang.

Biasanya berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya

sakit kepala kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif,

kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa

limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan

umumnya lobar.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial.

Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan

cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural

yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan

durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan

kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan

kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis

kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang

ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan

hemiparesis.

Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang

subdural yang terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat

robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya

26

Page 27: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh

lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang

subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom

kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit.

Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi

sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat

tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke

dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam

(korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran

tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi

fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi

bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang

dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka

akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran

sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang

dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala,

bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA

(transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit

neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan

konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral

hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak

dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi

dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya

pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak

atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang

ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.

Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan

energi dari trauma yang dialami.

27

Page 28: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah

kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat

trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai

perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan

luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna

prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme

pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan

manifestasi edema cerebri.

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan

deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya

parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.

Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal

yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda

otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan

inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang

menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)

mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan

karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang

disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme

lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya

coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya

gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang

terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu

kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan

jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya

gaya yang mengenai kepala.

28

Page 29: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma

kepala.Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan

parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang

mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena

episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan

hipovolemik.

Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak

berkurang atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama

(kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif

pembuluh darah otak.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu

yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu

berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan

terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.Pembuluh darah

meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal

pada squama temporal.

Perdarahan subdural :

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau

laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan

dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa

dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg

berhubungan dengan trauma otak.

3.5. Menjelaskan manifestasi klinis perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

- Interval lusid (interval bebas)

29

Page 30: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti

dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere

contralateral.Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid,

dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala

yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian

dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.Interval

lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini

menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama

diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena

herniasi transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek

memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

- Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek

pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai

penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral

peduncle pada permukaan tentorial.

- Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan

mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif

akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,

pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil

tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Perdarahan subdural :

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)

sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak

begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa

atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari

peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil

edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit

neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga

tumor otak.

30

Page 31: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan penunjang

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting

dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.

          Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan,

yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika

pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan

pre-operatif dan intra-operatif.

          Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan

yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi,

yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas

dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang

berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik;

karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level

hematokrit.

Pencitraan

Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang

bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur

oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya

perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural

berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini

berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam

mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang

yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura

31

Page 32: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura,

memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus

mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa

posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat

ventrikel keempat.

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena

itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas

hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang

diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan

parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut

memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan).

Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu

menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah

hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-

rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang

berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.

o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area

dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan

epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam

potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi

dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah

disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan

sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada

lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan

lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan

subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

32

Page 33: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang

tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun,

dapat diamati ketika meluas.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.

Terapi Obat-obatan

          Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek

yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan

distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan

intrakranial.

          Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera

dan (2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi

tertunda yang memungkinkan.Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung

meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural,

dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute

konservatif.

          Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah

segera.Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik,

mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.

          Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan

penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of

Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan

33

Page 34: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa

defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif.

Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran

hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya perdarahan epidural

terhambat telah dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat

dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka

pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri meningea media telah

diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan

ekstravasasi angiografis telah diamati.

          Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses

penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip

fundamental yang telah didiskusikan diatas.

 Terapi Bedah

          Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain

Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi

bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika

perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran

dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural

seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan

tanda-tanda lateralisasi.

          Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan

pembedahan.Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah

pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat.Perdarahan epidural pada fossa

posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis,

sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas

dibandingkan dengan ruang supratentorial.

          Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal

yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau

perburukan yang cepat.Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini

jarang dibutuhkan.

          Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

34

Page 35: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi

intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas

hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan

yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak

menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin

tersumbat, menyebabkan infark serebral.Herniasi kebawah batang otak

menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling sering di pons.Herniasi

transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya

membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy

nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan

ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-

anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau

fraktur bertumbuh.Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak

tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas

fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan

massascalp pulsatil.

4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

4.1. Menjelaskan trias cushing.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh

meningkatnya tekanan intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah

cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk

mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg

mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia yang timbul merangsang

35

Page 36: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat

inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi

lambat.Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu

mempertahankan aliran darah otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan

mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu

menaikkan tekananan intrakranial.

36

Page 37: Wrap Up SK 2 Emergency - A15

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United

States of America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:

Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit

buku kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.

Sumatra Utara: USU Press.

37