sken 2 emergency

65
SKENARIO 2 TRAUMA PELVIS Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu-lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan : A,B,C : baik, GCS : 15 St.lokalis : Regio Orbita Dextra : Inspeksi : Visus 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma palpebra ; Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedem kornea, darah di COA/BMD Pupil : bulat, reflex cahaya (+) Fundus : sulit di evaluasi TIO : normal per palpasi Regio pelvis : Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (+), hematoma Penis dan scrotum : ada bercak darah di osteum urethra externum yang sudah mongering. Palpasi : kistik, nyeri tekan daerah suprapubik. 1

Upload: ani-septyaningsih

Post on 25-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sken 2 Emergency

SKENARIO 2

TRAUMA PELVIS

Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu-lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak

pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang

motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan :

A,B,C : baik, GCS : 15 St.lokalis : Regio Orbita Dextra :

Inspeksi : Visus 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma palpebra ;

Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedem kornea, darah di COA/BMD

Pupil : bulat, reflex cahaya (+)

Fundus : sulit di evaluasi

TIO : normal per palpasi

Regio pelvis :

Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (+), hematoma

Penis dan scrotum : ada bercak darah di osteum urethra externum yang sudah

mongering.

Palpasi : kistik, nyeri tekan daerah suprapubik.

1

Page 2: Sken 2 Emergency

Learning objective

1. Memahami dan menjelaskan kasus kegawatdaruratan pada mata

Klasifikasi

Pathogenesis

Diagnosis

Penatalaksanaan

Pencegahan

Prognosis

2. Memahami dan menjelaskan kasus kegawatdaruratan trauma pada pelvis

Klasifikasi

Pathogenesis

Diagnosis

Penatalaksanaan

Pencegahan

Prognosis

3. Memahami dan menjelaskan penilaian gangguan kesadaran

Definisi

Organ yang mengatur kesadaran

Mekanisme pengatur kesadaran

Penilaian kesadaran

2

Page 3: Sken 2 Emergency

Memahami dan menjelaskan kegawat daruratan pada mata

1. Definisi

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.

Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi.

Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan

bahkan kehilangan mata. Pada mata dapat terjadi trauma dalam bentuk-bentuk berikut:

1. Trauma tumpul

2. Trauma tembus bola mata

3. Trauma kimia

Bentuk kelainan pada mata yang terkena trauma (trauma oculi) bisa hanya berupa

kelainan ringan saja sampai kebutaan. Kelainan yang diakibatkan oleh trauma mata

sesuai dengan berat ringannya serta jenis trauma itu sendiri yang dapat menyerang semua

organ struktural mata sehingga menyebabkan gangguan fisiologis yang reversibel

ataupun non-ireversibel. Trauma oculi dapat menyebabkan perdarahan, adanya laserasi,

perforasi, masuknya benda asing ke dalam bola mata, kelumpuhan saraf, ataukah atrofi

dari struktur jaringan bola mata.

Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau menjadi

gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan mata: kelopak,

konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita.

2. Klasifikasi dan patogenesis

A. Tauma tumpul yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:

1. Hematoma Palpebra

Adanya hematoma pada satu mata merupakan keadaan yang ringan, tetapi bila terjadi

pada kedua mata, hati-hati kemungkinan adanya fraktur basis kranii.

3

Page 4: Sken 2 Emergency

2. Hifema

Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh darah iris atau

korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea dan endapan di bawah kornea, hal ini

merupakan suatu keadaan yang serius.

Pembagian hifema:

a. Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.

b. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma. Hifema ringan

tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat akan mempengaruhi visus karena

adanya peningkatan tekanan intra okuler.

Edward Layden:

1. Hyphaema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata.

2. Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata.

3. Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari ½ bilik depan mata.

Gambar tingkatan grade hifema

Rakusin membaginya menurut:

1. Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata.

2. Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata.

3. Hyphaema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata.

4. Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.

Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan.

4

Page 5: Sken 2 Emergency

Komplikasi hifema:

a. Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah pada sudut

kamera okuli anterior.

b. Imhibisi kornea, yaitu masuknya darah yang terurai ke dalam lamel-lamel kornea,

sehingga kornea menjadi berwarna kuning tengguli dan visus sangat menurun.

3. Galaukoma

Di sebabkan oleh karena robekan trabekulum pada sudut kamera okuli anterior, yang

di sebut “traumatic angle” yang menyebabkan gangguan aliran akquos humour.

4. Iridoparese atau irodoplegia

Adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis.

5. Iridodialisis

Ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi tdak bula dan di

sebut dengan pseudopupil.

6. Perdarahan pada badan vitreum

Perdarahan yang terjadi berasal dari korpus siliare, karena banyak terdapat eritrosit

pada korpus siliare, visus akan sangat menurun.

7. Prolaps Iris

Prolaps iris dapat terjadi saat perforasi kornea akibat beberapa sebab, yaitu setelah

trauma, setelah operasi, akibat perforasi ulkus kornea atau corneal melt. Prolaps iris

merupakan kondisi serius yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan infeksi dan

hilangnya bola mata. Jika prolaps iris itu tereksposur,seperti pada laserasi kornea,

tindakan bedah segera diperlukan, karena infeksi dapat menyebar melalui iris menuju

bola mata. Jika prolaps iris tertutupi oleh konjungtiva, misal pada luka post operasi,

maka intervensi bedah segera tidak terlalu diperlukan.Iris merupakan jaringan yang

sensitif pada mata. Jika terjadi prolaps iris maka pasien sering mengeluhkan nyeri. Iris

dapat mengalami prolaps setelah operasi (operasi katarak, transplantasi kornea),

trauma (laserasi kornea, laserasi sklera), akibat perforasi ulkus kornea dan corneal

melt yang berhubungan dengan rheumatoid arthritis. Pada prolaps iris perifer, iris

akan tampak seperti lempengan jaringan berwarna, akibat sinekia parsial perifer

(gambar 1). Saat prolaps terjadi di sentral maka seluruh tepi pupil akan prolaps

5

Page 6: Sken 2 Emergency

sehingga terjadi sinekia anterior total. Pada pasien dengan perforasi kornea, prolaps

iris akan tereksposur. Tampilan iris dapat bermacam-macam tergantung dari lamanya

prolaps. Pada prolaps iris yang baru saja terjadi iris masih viable, namun seiring

berjalannya waktu iris akan mengering dan akan menjadi non viable. Saat prolaps iris

telah keluar dari luka pada sklera maka akan tampak seperti massa berwarna yang

terletak dibawah konjungtiva. Pada kasus ini iris akan tetap viable dalam waktu yang

lama.

Gambar 1. Prolaps iris

Dikutip dari kepustakaan 6 Schlote T. Pocket Atlas of Ophthalmology. Stuttgart.

Georg Thieme Verlag.

2006.125

8. Iridodialisis

Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk

pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita berkontak

dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak mata dan mata

memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling sering terjadi adalah

pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering terlihat seperti

peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer akan robek

pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam tetapi reflek

fundus masih dapat diobservasi

Gambar 2. Iridodialisis

6

Page 7: Sken 2 Emergency

Hal ini mudah terjadi karena bagian iris yang berdekatan dengan badan silier gampang

robek. Lubang pupil pada pangkal iris tersebut merupakan lubang permanen karena

iris tidak mempunyai kemampuan regenerasi.Trauma tumpul dapat mengakibatkan

robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk

pupil maupun perubahan ukuran pupil akibat trauma tumpul tidak banyak

mengganggu tajam penglihatan penderita. Pasien akan melihat ganda dengan satu

matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi

bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien

sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang

terlepas.

9. Ruptur Sklera

Ruptur sklera paling sering mengenai lapisan sklera paling tipis yaitu pada insersi otot

ekstra okular (rektus), limbus dan daerah sekitar N.II. Biasa ditandai dengan

perdarahan periokuler dan intraokuler, ketajaman penglihatan sama atau kurang dari

kemampuan melihat lambaian tangan, tekanan intraokuler < 5 mmHg, kedalaman

COA asimetris dan atau kesulitan menilai fundus, pada pemeriksaan slit lamp

biomicroscopy tampak kekeruhan vitreus pada sisi yang ruptur dan pada pemeriksaan

tambahan dengan Echography akan tampak vitreus yang inkarserata, penebalan atau

pelepasan retina, kontur sklera yang irreguler, penurunan reflex sklera, perdarahan

episkleral. Perbaikan terhadap ruptur sklera harus segera dilakukan begitu ditemukan

dengan menjahit sklera. Kemungkinan untuk mengembalikan penglihatan sangat

kurang pada ruptur sklera posterior yang luas, tetapi dengan instrumentasi bedah dan

7

Page 8: Sken 2 Emergency

pemahaman patofisiologi yang lebih baik, memungkinkan untuk mempertahankan

penglihatan pada derajat tertentu.

10. Katarak Traumatik

Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat

sesudah beberapa hari ataupun tahun. Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh

cedera benda asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Tembakan sering

merupakan penyebab, sedangkan penyebab yang lebih jarang adalah anak panah, batu,

pajanan berlebih terhadap panas, sinar X, dan bahan radioaktif. Pasien mengeluhkan

penglihatan kabur secara mendadak. Mata menjadi merah, lensa opak, dan mungkin

terjadi perdarahan intraokuler. Apabila humour aqueus dan korpus vitreum keluar dari

mata, mata menjadi sangat lunak. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak

subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti

bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin

Vossius.Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil

akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan

terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya

katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata

depan.

Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur

makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis

fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks

lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau

bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching. Pengobatan pada

katarak traumatik adalah dengan memberikan antibiotik

sistemik dan topikal serta kortikosteroid topikal dalam beberapa hari untuk

memperkecil kemungkinan uveitis. Atropin sulfat 1% sebanyak satu tetes tiga kali

dalam sehari dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk mencegah

pembentukan sinekia posterior.9

Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak

sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah

8

Page 9: Sken 2 Emergency

ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Pada

katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata

menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya

maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai

pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada

pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai

perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.

B. Trauma tembus bola mata

Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan berbagai keadaan seperti berikut :

a. Trauma tembus pada palpebra

Mengenai sebagian atau seluruhnya, jika mengenai levator apaneurosis dapat

menyebabkan suatu ptosis yang permanen

Gambar. 3 Laserasi palpebra

b. Trauma tembus pada saluran lakrimalis

Dapat merusak sistem pengaliran air mata dari pungtum lakrimalis sampai ke rongga

hidung. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan air mata

c. Trauma tembus pada Orbita

9

Page 10: Sken 2 Emergency

Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik,

menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga menimbulkan paralisis

dari otot dan diplopia. Selain itu juga bisa menyebabkan infeksi, menimbulkan selulitis

orbita, karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan rongga-

rongga di sekitar orbita.

Gambar. 4 Trauma tembus orbita

d. Trauma tembus pada Kongjungtiva

Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva. Bila robekan konjungtiva ini

kecil atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak perlu dilakukan penjahitan. Bila robekan

lebih dari 1 cm perlu dilakukan penjahitan untuk mencegah granuloma. Pada setiap

robekan conjungtiva perlu diperhatikan juga robekan sklera yang biasa disertai

robekan konjungtiva. Disamping itu, pemberian antibiotik juga perlu diberikan untuk

mencegah infeksi sekunder

10

Page 11: Sken 2 Emergency

Gambar. 5 Trauma tembus subkunjungtiva

e. Trauma tembus pada Sklera

Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekanan bola mata

dan kamera okuli jadi dangkal, luka sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan

bola mata, sehingga bisa menyebabkan infeksi dari bagian dalam bola mata

f. Trauma tembus pada Kornea

Bila luka tembus mengenai kornea dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan

karena fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea

menyebabkan iris prolaps, korpus vitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat

menurunkan visus.

Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di kornea. Tes fluoresia (+).

Jaga jangan sampai terkena infeksi, sehingga menyebabkan timbulnya ulkus atau

herpes pada kornea. Lakukan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika yang

berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea diangkat, setelah diberi

anastesi lokal dengan pantokain. Kalau mulai ada neovaskularisasi dari limbus,

berikanlah kortison lokal atau subkonjungtiva. Tetapi jangan diberikan kortison pada

luka yang baru atau bila ada herpes kornea.

Bila ada perforasi : bila luka kecil, lepaskan konjungtiva di limbus yang berdekatan,

kemudian ditarik supaya menutupi luka kornea tersebut (flap konjungtiva). Bila luka

di kornea luas, maka luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup dengan flap konjingtiva.

Jika luka di kornea itu disertai prolaps iris, iris yang keluar harus dipotong dan sisanya

di repossisi, robekan di kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva. Kalau luka

telah berlangsung beberapa jam, sebaiknya bilik mata depan dibilas terlebih dahulu

dengan larutan penisilin 10.000 U/cc, sebelum kornea dijahit. Sesudah selesai

seluruhnya, berikan antibiotika dengan spektrum luas dan sistemik, juga

subkonjungtiva.

11

Page 12: Sken 2 Emergency

Gambar .6 Laserasi kornea

g. Trauma tembus pada Uvea

Bila terdapat luka pada uvea maka dapat menyebabkan pengaturan banyaknya cahaya

yang masuk sehingga muncul fotofobia atau penglihatan kabur.

h. Trauma tembus pada Lensa

Bila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga menurunkan

daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena daya akomodasi tidak

adekuat

i. Trauma tembus pada Retina

Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada rongga badan

kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang dalam badan kaca.

j. Trauma tembus pada corpus siliar

Luka pada corpus siliar mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar

dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis yang berakhir dengan ptisis bulbi

pada mata yang terkena trauma. Sedangkan pada mata yang sehat dapat timbul

oftalmia simpatika. Oleh karena itu, bila lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola

mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi,

supaya mata yang sehat tetap menjadi baik.

Patogenesis

Benda asing dengan kecepatan tinggi (trauma karena suatu ledakan) akan menembus

seluruh lapisan sclera atau cornea serta jaringan lain dalam bulbus oculi sampai ke

12

Page 13: Sken 2 Emergency

segmen posterior kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat mengenai os orbita.

Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps

(lepasnya) iris, lens, ataupun corpus vitreus. Perdarahan intraocular dapat terjadi

apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema atau henophthalmia.

Trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata,

maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan yang

menurun, laserasi kornea, tekanan bola mata rendah, bilik mata dangkal, bentuk dan

letak pupil yang berubah, terlihat ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan

yang prolaps seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca, atau retina, katarak traumatik,

dan konjungtiva kemosis.

Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna kebiru-biruan,

karena jaringan ikat palpebra halus. Ekimosis yang tampak setelah trauma

menunjukkan bahwa traumanya kuat, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dari

bagian-bagian yang lebih dalam dari mata, juga perlu dibuat foto rontgen kepala.

Perdarahan yang timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktur dari dasar

tengkorak. Sebagian besar cedera tembus menyebabkan penurunan penglihatan yang

mencolok, tetapi cedera akibat partikel kecil berkecepatan tinggi yang dihasilkan oleh

tindakan menggerinda atau memalu mungkin hanya menimbulkan nyeri ringan dan

kekaburan penglihatan. Tanda-tanda lainnya adalah kemosis hemoragik, laserasi

konjungtiva, kamera anterior yang dangkal dengan atau tanpa dilatasi pupil yang

eksentrik, hifema, atau perdarahan korpus vitreus. Tekanan intraokuler mungkin

rendah, normal, atau yang jarang sedikit meninggi.

13

Page 14: Sken 2 Emergency

Gambar. Lokasi cedera mata; tampak depan

Gambar. Lokasi cedera mata; tampak samping

14

Page 15: Sken 2 Emergency

C. Trauma asam

Etiologi

Bahan kimia asam yang sering menyebabkan trauma kimia asam pada mata antara lain :

asam sulfat, sulfurous acid, asam hidroklorida, asam nitrat, asam asetat, asam kromat,dan

asam hidroflorida. Akibat ledakan baterai mobil, yang menyebabkan luka bakar asam

sulfat, mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimiawi pada mata. Asam

Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan penghilang karat, pengkilap

aluminum, dan cairan pembersih yang kuat.

Patogenesis

Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk

kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7.

Beberapa zat asam yang sering mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat,

hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena zat kimia bersifat asam maka akan

terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya tidak berat. Asam akan

menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini

menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung membatasi

penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan basa yang mampu

menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan lebih jauh. Selain

keuntungan, koagulasi juga menyebabkan kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam

masa penyembuhan setelah terkena zat kimia asam akan terjadi perlekatan antara

konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang disebut simblefaron.

Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam

kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah pH, sementara

anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi dan koagulasi. Koagulasi

protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan

tampilan ground glass dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam. Sehingga

trauma pada mata yang disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada

trauma yang diakibatkan oleh zat kimia basa (Randleman & Bansal, 2009). Asam

hidrofluorik adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat melewati membran

sel, seperti alkali. Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan menghambat

15

Page 16: Sken 2 Emergency

enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk insoluble

complexes. Nyeri local yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion

kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium.

Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion fluoride memasuki sistem sirkulasi, dan

memberikan gambaran gejala pada jantung, pernafasan, gastrointestinal, dan neurologic.

Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan

presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan

terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung

terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga

terjadi koagulasi, kadang – kadang seluruh epitel kornea terlepas. Bahan asam tidak

menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di kornea. Bila trauma diakibatkan asam

keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa.

Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel

kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak

tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali biasanya kerusakan hanya

pada bagian superfisial saja. Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan

asam dengan jaringan. Koagulasi protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam.

Gambar 1 Trauma pada Mata Akibat Bahan Kimia Asam

16

Page 17: Sken 2 Emergency

D. Trauma basa

Patogenesis

Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata

apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini

mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi

anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada

trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa

bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Trauma

basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua

sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi sel membran

dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina.

Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan.

Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan persabunan disertai dengan disosiasi

asam lemak membrane sel. Akibat persabunan membrane sel akan mempermudah

penetrasi lebih lanjut dari pada alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan

menghilang dan terjadi penggumapalan sel kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea

akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea akan terdapat serbukan

sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung disertai dengan

masuknya pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat membrane sel basal epitel

kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel yang baru terbentuk

akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen activator.

Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivatir dilepas juga kolagenase yang akan

merusak kolagen kornea. Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan empitel yang

berkelanjutan dengan tukak kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini

mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya terdapat pada hari ke 12-21.

Biasanya tukak pada kornea mulai terbentuk 2 minggu setelah trauma kimia.

Pembentukan tukak berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau vaskularisasi telah

menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke dalam bilik mata depan maka

akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata susunannya akan berubah, yaitu

17

Page 18: Sken 2 Emergency

terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua unsur ini memegang peranan

penting dalam pembentukan jaringan kornea.

Gambar 2 Kekeruhan Kornea Akibat Trauma Basa.11

Gambar 3 Gambaran “Cooked fish eye” Akibat Trauma Alkali. 12

Gambar 4 Kornea Menjadi Keruh Akibat Trauma Alkali.

18

Page 19: Sken 2 Emergency

Klasifikasi

Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:

Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata

Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea

Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya

epitel kornea

Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan

garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit

60 menit setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk

mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma basa, diperlukan untuk

menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh. Penyulit yang dapat

terjadi adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi

kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola mata.

Manifestasi Klinis

1. Kelopak Mata :

a. Trauma alkali akan membentuk jaringan parut pada kelopak.

b. Margo palpebra rusak sehingga mengakibatkan gangguan ada break up time air

mata.

c. Lapisan air pada depan kornea atau tear film menjadi tidak normal.

d. Terjadinya pembentukan jaringan parut pada kelenjar asesori air mata yang

mengakibatkan mata menjadi kering.

2. Konjungtiva :

a. Terjadi kerusakan pada sel goblet.

b. Sekresi musin konjungtiva bulbi berkurang daya basahnya pada setiap kedipan

kelopak. Dapat terjadi simblefaron pada konjungtiva bulbi yang akan menarik

bola mata sehingga pergerakan mata menjadi terbatas.

c. Konjungtiva chemosis

d. Akibat terjadinya simblefaron penyebaran air mata menjadi tidak merata.

e. Terjadi pelepasan kronik daripada epitel kornea.19

Page 20: Sken 2 Emergency

f. Terjadi keratinisasi (pertandukan) epitel kornea akibat berkurangnya mucin.

3. Lensa :

Lensa keruh diakibatkan kerusakan kapsul lensa.

3. Diagnosis dan penatalaksanaan

ANAMNESA

Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,

benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang

mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana

kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang

mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain.

Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu

terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma.

Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat

pertolongan sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua

titik dan defek pupil aferen.

2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari

defek pada tepi tulang orbita.

3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi

4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak

5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan

6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang

lain)

7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.

20

Page 21: Sken 2 Emergency

Pemeriksaan paska-cedera bertujuan menilai ketajaman visus dan sebagai prosedur

diagnostik, antara lain:

1. Kartu mata snellen (tes ketajaman pengelihatan) : mungkin terganggu akibat

kerusakan kornea, aqueus humor, iris dan retina.

2. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,

glukoma.

3. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.

4. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau

meningkat ringan.

5. Pemerikasaan oftalmoskopi dan teknik imaging lainnya (USG, CT-scan, x-ray):

mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea.

6. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.

Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Radilogi

Pemeriksaan radiologi pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis, terutama bila ada benda asing. Pemeriksaan USG dilakukan untuk

menentukan letaknya.

2. Pemeriksaan CT Scan

a. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Bola Mata

Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya

ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat

anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik

topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular

yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas. Analgetik,

aneiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan

dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat

21

Page 22: Sken 2 Emergency

depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola

mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.

Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan

perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam

beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan

menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk

mempercepat penyerapan darah.

b. Penanganan hifema, yaitu :

1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.

2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.

3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.

4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).

5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.

6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang

7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila

ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam

atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.

8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.

9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5

hari.

10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.

11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.

Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila:

- Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan, apabila terjadi

penjepitan

- Enoftalmos 2 mm atau lebih

- Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita) yang kemungkinan besar akan

menyebabkan enoftalmos.

22

Page 23: Sken 2 Emergency

Penundaan pembedahan selama 1 – 2 minggu membantu menilai apakah diplopia dapat

menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan lebih lama menurunkan kemungkinan

keberhasilan perbaikan enoftalmos dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan

secara bedah biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva.

Periorbita diinsisi dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial

dan dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek

ditutup dengan implan.

c. Penatalaksanaan trauma tembus

Diberikan antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim pada dokter mata untuk

dilakukan pembedahan. Diberikan antibiotik sistemik secara oral atau intravena, anti

tetanus profilaktik, analgesik, dan sedatif bila perlu. tidak boleh diberikan steroid local

dan bebat tidak boleh menekan bola mata. Pengeluaran benda asing sebaiknya dilakukan

di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai.

d. Penatalaksaan trauma asam

Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan menggunakan salin

isotonic steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas

indicator di forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7. Trauma asam

pada dasarnya akan kembali normal, namun jika perlu dapat diberikan anastesitopikal,

penetralisir natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik

e. Penatalaksaan trauma basa

Penatalaksanaan yang dilakukan untuk menangani trauma basa pada mata adalah :

1. Bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik

selama mungkin. Irigasi dilakukan sampai pH menjadi normal, paling sedikit 2000 ml

selama 30 menit. Bila dilakukan irigasi lebih lama akan lebih baik.

2. Untuk mengetahui telah terjadi netralisasi basa dapat dilakukan pemeriksaan dengan

kertas lakmus. pH normal air mata 7,3.

3. Bila penyebabnya adalah CaOH, dapat diberi EDTA karena EDTA 0,05 dapat bereaksi

dengan CaOH yang melekat pada jaringan.

23

Page 24: Sken 2 Emergency

4. Pemberian antibiotika dan debridement untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.

5. Pemeberian sikloplegik untuk mengistirahatkan iris mengatasi iritis dan sinekia

posterior.

6. Pemberian Anti glaukoma (beta blocker dan diamox) untuk mencegah terjadinya

glaucoma sekunder.

7. Pemberian Steroid secara berhati-hati karena steroid menghambat penyembuhan.

Steroid diberikan untuk menekan proses peradangan akibat denaturasi kimia dan

kerusakan jaringan kornea dan konjungtiva. Steroid topical ataupun sistemik dapat

diberikan pada 7 hari pertama pasca trauma. Diberikan Dexametason 0,1% setiap 2

jam. Steroid walaupun diberikan dalam dosis tinggi tidak mencegah terbentuknya

fibrin dan membrane siklitik.

8. Kolagenase inhibitor seperti sistein diberikan untuk menghalangi efek kolagenase.

Diberikan satu minggu sesudah trauma karena pada saat ini kolagenase mulai

terbentuk.

9. Pemberian Vitamin C untuk pembentukan jaringan kolagen.

10. Selanjutnya diberikan bebat (verban) pada mata, lensa kontak lembek dan artificial

tear (air mata buatan).

11. Operasi Keratoplasti dilakukan bila kekeruhan kornea sangat mengganggu

penglihatan.

4. Prognosis

Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula,

robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus.

Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut.

Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus

tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5

hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder,

glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin.

24

Page 25: Sken 2 Emergency

Memahami dan menjelaskan gawat darurat trauma pada pelvis

1. Definisi

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan

jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun

terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien

dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik,

yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari

cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien

dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35%

pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

          Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera

tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering

dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan

terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis

berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal,

12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan

cedera pleksus lumbosacralis.

2. Pathogenesis

Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab

kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif

dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan

fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun

25

Page 26: Sken 2 Emergency

demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi

paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil

secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol

perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus

dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera

terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat

terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan

dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.

Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi,

tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American

College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok

hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan

ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb). 

Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS

Kelas Rata-rata Kehilangan Darah (mL)

Volume Darah (%)

Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan Resusitasi

I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah

Tidak ada

II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; sedikit pnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; pengurangan pengurangan output urin (20-30 mL/jam)

Biasanya larutan kristaloid tunggal, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah

III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang jelas, ekstremitas dingin dengan pengisian-kembali kapiler terlambat secara signifikan,menurunnya tekanan darah sistolik, menurunnya

Seringnya membutuhkan transfusi darah

26

Page 27: Sken 2 Emergency

status mental, menurunnya output urin (5-15 mL/jam)

IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan darah sistolik yang menurun secara signifikan, kulit dingin dan pucat, mental status yang menurun dengan hebat, output urin yang tak berarti

Perdarahan yang membahayakan-jiwa membutuhkan transfusi segera

3. Klasifikasi

Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis

berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah

tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk

memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan

masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe

fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan

Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait

dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran

dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.

       Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera

kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan

mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut

disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang

dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan

anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera

“open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya

ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh

darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca

anterior.

27

Page 28: Sken 2 Emergency

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada

sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale,

serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi

pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif

luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi

fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis

mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi

fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan

terpisah.

          Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah

menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan

mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana

meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah

berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210

pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan

transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-

rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera

VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-

rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka

mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan

pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera

pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan

kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang

teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera

kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan

cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini

mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah

tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan

28

Page 29: Sken 2 Emergency

transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan

pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi

agar tidak menjadi perdarahan yang berat.

4. Diagnosis

Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan pada pasien

dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu, termasuk ahli bedah

umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah, seorang ahli intervensi

radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola gambaran cedera sehubungan

dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada evaluasi dan perawatan masalah

jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah

wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan pernafasan.

Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory

Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma

tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik,

septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber

hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada

pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah

terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan.

Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan

dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak

terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus

dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil

secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan

sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for

trauma/FAST.

5. Penatalaksaan

Military Antishock Trousers

29

Page 30: Sken 2 Emergency

Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan

kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui

tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan

untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk

membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan

mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu

dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis,

MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara

komersil.

Pengikat dan Sheet Pelvis

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada

awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi.

Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara

biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah

ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah

studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan

rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC

Fiksasi Eksternal

Fiksasi Eksternal Anterior Standar

          Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi

pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak

stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari

beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan

perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa

pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator

eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open

book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu

30

Page 31: Sken 2 Emergency

tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur

hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

C-Clamp

          Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang

adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi

posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-

clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi

kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati

persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera

iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan

fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah

alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

Angiografi

          Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah

berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan

agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan

embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10%

pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki

Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain,

8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi.

Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis

kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari

46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil,

termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif

(58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas

hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan

31

Page 32: Sken 2 Emergency

arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses

menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus

Resusitasi Cairan

          Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk

menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena

harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan

kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada

dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus

kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa

tersedia

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa

          Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan

sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya,

semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh

frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan

untuk setiap 5 L penggantian volume.

          Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi,

dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk

darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC

merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera.

Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus

diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas

PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.

Memahami dan menjelaskan trauma buli-buli dan urethra 32

Page 33: Sken 2 Emergency

1. Definisi

Trauma buli- buli

Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang

memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat

menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara

anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga

jarang mengalami cedera.

Trauma uretra

Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan

kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).

2. Manifestasi klinis dan diagnosis

Trauma buli- buli

Faktor Resiko:Trauma kandung kemih akibat trauma tumpul pada panggul, tetapi bisa

juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam, dan

cedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan tulang

panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi rupture kandung

kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada panggul atas kandung terisi penuh.

Tenaga mendadak atas massa urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang

menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen pada kandung kemih terdapat pada reseksi

transurethral sistoskopi atau manipulasi dengan peralatan pada kandung kemih

Manifestasi Klinik:

Nyeri supra pubik baik verbal maupun saat palpasi.

Hematuria.

Ketidakmampuan untuk buang air kecil.

Regiditas otot.

Ekstravasase urine.

Suhu tubuh meningkat.

Anemia atau Syok.

Tanda-tanda peritonitis

33

Page 34: Sken 2 Emergency

Pemeriksaan penunjang

Foto pelvis/ foto polos perut terdapat fraktur tulang pelvis

Trauma VU ditegakka dengan Sistogram: untuk mengetahui adanya ruptur VU dan

lokasi ( intra/ ekstra)

Cara: masukan kontras 300- 400 ml ke VU

Foto antero-posterior (AP)

Kosongkan VU kemudian bilas dan foto lagi

Dengan hasil:

a. Tidak ada ekstravasasi merupakan diagnosa dari kontusio buli-buli

b. Ekstravasasi seperti nyala api pada daerah perivesikal menunjukkan ruptur

ekstraperitoneal

c. Kontras masuk rongga abdomen menunjukkan ruptur intraperitoneal

Trauma Uretra

Faktor Resiko: Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna

maupun perineum

Manifestasi Klinik:

Ruptur uretra posterior: patah tulang pelvis

Hematom di daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah

Jejas dan nyeri tekan

Tanda rangsang peritoneum klo ruptur VU

Trias rupture uretra posterior: bloody discharge, retensi urin, floating prostat

Ruptur uretra anterior: hematom/ darah memar pada penis dan skrotum

Ruptur total: gak bisa BAK sejak trauma( raba VU penuh),

nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik

karena kateter: obstruksi oleh edema /bekuan darah

ekstravasasi urin dapat menambah atau mengurangi darah sehingga

dapat meluas juah trgantung fasia yang rusak dan timbul infiltrat:

infiltrat urin menimbulkan infeksi kemudian selulitis dan

septisemia

34

Page 35: Sken 2 Emergency

trias ruptur uretra anterior: bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas

peritoneal/ urin infiltrat

Pemeriksa penunjang

Colok dubur: prostat seperti mengapung karena tida terfiksasi lagi pada diagram

urogenital / tidak teraba sama sekali karen pindah ke kranial

Hati- hati karena fragmen tulang dapat mencederai rektum

Pemeriksaan radiologi: uretrogram retrogad untuk mengetahui letak/ tipe ruptur

Ruptur posterior curiga kalau ada darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang

pelvis

trauma uretra posterior: LAB: anemia, urin gak ada karena retensi

RADIO: fraktur pelvis

3. Patofisiologi

TRAUMA KANDUNG KEMIH

Vesika Urinaria terletak di dalam rongga pelvis, terlindung tulang pelvis jadi jarang

mengalami cedera. Saat vesika urinaria trauma sehingga tulang pelvis juga trauma.

Trauma pelvis adalah keadaan darurat bedah yang harus di tata laksana karena dapat

terjadi komplikasi peritonitis dan sepsis.

Kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja sehingga fragmen patah tulang pelvis

mencederai buli-buli atau ruptur.

Trauma tumpul dengan vesika urinaria penuh atau terdapat kelainan seperti

tuberkolosis, tumor/ obstruksi

Trauma tajam oleh luka tusuk/ tembak( jarang) dan luka melewati daerah

suprapubik ataupun transperineal

TRAUMA URETRA

35

Page 36: Sken 2 Emergency

Trauma uretra ada yang anterior letaknya di distal diafgram urogenital dan trauma uretra

posterior yang letaknya di proksimal

a. Ruptur uretra posterior (hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Fraktur tulang

pelvis dikarenakan robeknya pars membranasea (karena prostat dengan uretra

prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedang uretra

membranasea terikat di diafragma urogenital. Terdapat ruptur total dan Inkomplit,

Ruptur total: uretra terpisah seluruhnya dan ligamen puboprostatika robek

sehingga VU dan prostat lepas ke kranial.

b. Ruptur uretra anterior, akibat cedera kangkang, instrumentasi urologik cth:

pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi

Paling sering pada bulbosa sehingga disebut Straddle Injury ( terjadi robekan

uretra antara ramus infeksi os. Pubis dan benda- benda

4. Penatyalsanaan

TRAUMA KANDUNG KEMIH

Datang syok diberikan resusitasi cairan IV/ darah

Setelah sirkulasi stabil, lakukan reparasi VU dengan prinsip memulihkan ruptur VU:

a. Penyaliran ruang perivesikal

b. Pemulihan dinding, penyaliran VU, dan perivesikal

c. Jaminan arus urin melalui kateter

Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal,

setelah buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum

untuk memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi

rongga peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik

dan juga dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan

langsung membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buli

Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya

cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari

kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-

uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut

36

Page 37: Sken 2 Emergency

bagian bawah (kateter suprapubik).

Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah kandung kemih

mengalami penyembuhan yang sempurna.

TRAUMA URETRA

RUP mengurangi cedera organ intraabdomen/organ lain dilakukan sistostomi

setelah 2-3 hari kemudian reparasi uretra dengan anastomosis ujung ke ujung dan

pemasangan kateter silikon 3 mg. (jika ada cedera organ lain, jangan dilakukan

reparasi 2-3 hari kemudian, tapi kateter langsir)

RUP total langsung pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui

sayatan perineal kemudian pasang kateter silikon 3mg

RUA ruptur parsial lakukan sistosomi dan pemasangan kateter foley di uretra 7-

10 hari sampai epitelisasi uretra yang cedera (cabut kateter sistosomi bila pasien

udah bisa BAK)

Jika penderita dapat kencing dengan mudah cukup observasi saja

Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter

foley sampai buli-buli: hati-hati akan terjadinya kekeliruan yaitu kateter tergulung diantara

buli-buli dan diafragma urogenital setelah kateter masuk buli-buli, tinggalkan selama 14- 20

hari

Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat cukup dibuat

sistosomi untuk menjamin aliran urin.

Pasca bedah; buli-buli dibilas dengan larutan antiseptik (KMnO4 encer) setiap hari. Berikan

antibiotik dosis tinggi (PP 1,5 juta U/hari)

Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan untuk menyambung kembali uretranya

Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secara teratur selama

sekurang-kurangnya 3-4 tahun untuk diagnosa dini striktur uretra

Memahami dan menjelaskan gangguan kesadaran

1. Definisi dan organ kesadaran37

Page 38: Sken 2 Emergency

Kesadaran yang utuh adalah suatu keadaan individu sadara akan dirinya dan lingkungannya

menghadapi stimulasi yang adekuat.

Kesadaran yang utuh tergantung dari integritas dan interaski antara :

- ARAS (Ascending Reticuler Activating System) kumpulan substansia drisea di

bagian sentral batang otak bagian rostral mulai dari mielum samapai di subthalamus,

menentukan tingkat kesadaran

WAKEFULLNESS-ARAOUSEL/KETERJAGAAN (keadaan yg. berhub. dengan

respon E, V dan M.

- Korteks di hemisfer serebri kiri yang utuh, merupakan substract anatomis untuk

kebanyakan komponen psikologik yang khusus, berbahasan, ingatan, intelek dan

tanggapan proses pembelajaran. Dalam mekanismenya digiatkan oleh thalamus,

hipotalamus, mesensefalon, tegmentum pontis bagian rostral.

Fungsi luhur/kortikal luhur/higher cortical function adalah kemampuan otak untuk

berinteraksi dengan sekitarnya.

komponen fungsi luhur :

- Kemampuan berbahasa

- daya ingat

- pengenalan visuospasial

- emosi, dan kepribadian

Bentuk sindroma hemisfer, kanan dan kiri :

38

Page 39: Sken 2 Emergency

KIRI KANAN

Afasia (berbahasa)

Aleksia (membaca)

Agrafia (menulis)

Akalkulasi (menghitung)

Apraksia (gerakan motorik yang

kompleks)

Pengabaian (neglect)

Visuospasial (persepsi)

- pengenalan tempat

- Pengenalan wajah

Visuomotor

- membuat kontruksi

- berpakaian

Afek dan prosodi

Kebingungan/confusion/kesadaran berkabut gangguan kapasitas berfikir, mengerti, dan

berespon dan mengingat kembali respon yang diterimanya, sehingga kehilangna kemampuan

untuk berfikir jernih, gangguan dalam membuat keputusan.

2. Mekanisme gangguan kesadaran

KEADAAN YANG MENYEBABKAN GANGGUAN KESADARAN

Plum F dan Saper CB membagi gangguan kesadaran menjadi 3 bagian :

a. Gangguan tingkat kesadaran

-Lesi distruktif yang mempengaruhi mekanisme kesadaran

Keruskan difus bilateral otak bagian depan

kerusakan disensefalon

kerusakan midbrain atas

39

Page 40: Sken 2 Emergency

-Lesi kompresi yang mempengaruhi mekanisme kesadaran

hidrosefalus

herniasi central

herniasi unkus

herniasi ke atas masa di ensephalon

kompresi pons akibat masa diserebral

b. Gangguan isi kesadaran

- anterograde amnesia

- afasia

- apraksia

-defisit spasial (amorfosintesis)

-gangguan perhatian

c. Gangguan kesadaran umum (general disorders of conciousness)

- encephalopati akut

penyakit multifaktorial

penyakit metabolik difus

- encephalo kronis

retardasi mental

demensia

persistent vegetative state

Lesi Supratentorial

Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan

langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena

proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya.

Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro kaudal

sepanjang batang otak. Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses

tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi.

Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma

meseisefalon bahkan sindroma pontomeduler dan deserebrasi.Oleh kenaikan tekanan

40

Page 41: Sken 2 Emergency

intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi

transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.

Lesi infratentorial

Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS

baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.

Gangguan difus (gangguan metabolik)

Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir

selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu

susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.

3. Penilaian kesadaran

Menurut Sukardi, Boss keadaan bingung dibagi menjadi :

Disoroentasi Permulaan kehilangan kesadran, disorientasi (waktu,. tempat, orang),

gangguan memori

Lethargi Keterabatasan pembicaraan, gerakan motorik spontan, dapat

dibangungkan dengan pembicaran dna perabaan normal, dapat/tidak

disorientasi.

Obtudation Kesadaran yg tumpul, keterbatsan keterjagaan, acuh thd lingkungan,

mudah tertidur, kecuali dirangsangan secara verbal/perabaan, menjawab

pertanyaan dengan seminimal mungkin.

Delirium Ketidaktenangan motorik, halusinasi, disorientasi, delusi/waham.

ketakutan dna mudah terasangsang, kelainan metabolik/toksik, impending

coma.

Stupor Tidur yang dalam, tidak responsif, hanya dapat dinagunkan /jawaban

motorik/verbal dengan rangsangan yang kuat dan berulang, respon

41

Page 42: Sken 2 Emergency

menghindara/memegang rasngangan tersebut.

Koma Hilangnya kesadaran, tampak seperti tidur, tidak berespon terhadap

rangsangan eksternal

Keadaan

Vegetatif

Bernafas spontan, sirkulasi nomral, siklue membukan dan menutup mata

seperti tidur, tapi tidak tanggap lingkungan, sepintas penyembuhan dari

keadaan koma dan menetap sampai akhir kematian.

Kelainan difus bilateral pada korteks serebri dengan BO, trauma kapitis,

hipoksik-eskemia,

secara kualitatif atau masih tetap dipakai untuk penurunan kesadaran

Tabel 1. Glascow Coma Scale

Eye Opening Response (E)Spontan membuka mata 4 Membuka mata dengan rangsang suara 3 Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2

poinTidak ada respon 1

poinRespon Verbal (V)Baik dan tidak ada disorientasi 5 Mampu membentuk kalimat namun ada disorientasi 4

poinMampu membentuk kata namun ada disorientasi 3

poinTidak mampu mengucapkan kata-Lata (erangan) 2 Tidak ada respon 1

poinRespon Motorik (M)Spontan sesuai dengan perintah 6 Reaksi menapis rangsang 5 Reaksi menghindari rangsang 4

poinReaksi fleksi (dekortikasi) 3 Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2

poinTidak ada reaksi 1

poin

42

Page 43: Sken 2 Emergency

Skala dihitung dengan cara penjumlahan semua nilai respon.

E + M + V = 3 sampai dengan 15 merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran

Penjumlahan nilai respon pasien, yang terbagi menjadi:

Ringan : 13 - 15 poin

Moderat: 9 - 12 poin

Berat : 3 - 8 poin

Koma : < 8 poin

Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan terencana. Secara

umum, pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin

lengkap, kadar glukosa darah. elektrolit, fungsi ginjal dan hepar, dan analisa gas darah.

Pada kasus tertentu (meningitis, ensephalitis, perdarahan subarakhnoid) dilakukan

punksi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.

43

Page 44: Sken 2 Emergency

DAFTAR PUSTAKA

Mahar M. Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. 10th ed. Jakarta: Dian Rakyat, 2004: 184-199

Ilyas, Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p. 259-75.

Vaughan D, Asbury T. General ophthalmology. 8th ed. California: Langs Medical Publication;

1977. p. 241-4.

R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta :EGC

Basuki P. Purnomo. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Widya Medika

Purwadianto,agus.2002.Kedaruratan Medik.Jakarta Barat: Binarupa Aksara

44