resusitasi cairan
DESCRIPTION
uTRANSCRIPT
RESUSITASI CAIRAN
1 Manajemen Resusitasi cairan
Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus
sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan
terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa
dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada
fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.
Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang
terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk
perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai.
Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya,
ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila
perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa.
Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik.
Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan
tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera
mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari
hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka
bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.
2 Macam- Macam Jenis Cairan
Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit
dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan
hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang BM nya
tinggi 7,8.
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid terdiri dari:
1. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada dehidrasi
kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan
hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan
ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan. Contohnya
dextrosa 5%
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan
plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang
adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan
ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun relatif lebih
pendek dibanding dengan cairan koloid.
3. Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh
karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam
ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan
natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain mevasodilatasi
pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena
dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah
cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
Beberapa contoh cairan kristaloid :
a. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini
dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam
ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan
fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2
dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau glukosa (20%
dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3.
Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi
elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk
mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan pada
dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok,
dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4
mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir
di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 – 400
mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil
ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase dan mengkonsumsi ion hidrogen
dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian Ringer Laktat.
c. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa
5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria .
d. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida,
yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau
alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan
kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti
asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan luka bakar. Pada anak dan bayi
sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl
0,9% dengan Glukosa 5 %.
Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
a. Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati
dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino.
Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan
onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan
onkotik plasmanya 1/3nya.
2. Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin
eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang
dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang
dimurnikan.
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis.
Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler
mendekati 5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan
tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan
intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi
miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yang
dimurnikan. Hal ini karena faktor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan
disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.8 Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom
3. HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini
mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang sangat
heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan
onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari
hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.8
Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang
cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan
cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan
onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/
hari.
4. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat
molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembang
biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.
Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM 70.000
(25.000-125.000). sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam
garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40.
Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan
pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.
Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam
garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan
dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran
kapiler dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik
kembali ke intravaskuler.
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan
menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen.
Cairan ini digunakan pad penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan
pembekuan darah.
5. Gelatin
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang
dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:
1.Modified Fluid Gelatin (MFG)
2. Urea Bridged Gelatin (UBG)
Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi
anafilaksis.
Cairan Kombinasi
1. KaEn 1 B (GZ 3 : 1)
Larutan yang mengandung Natrium 38,5 mEq/L, Klorida 38,5 mEq/L.
Dextrose 37,5 gr/L. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit
bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.
2. Cairan 2a
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1 :
1 yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat 50 gr/L, Natrium
150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada diare dengan
komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan campuran glukosa
10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada bronkopneumoni
dengan dehidrasi oleh karena intake kurang.
3. Cairan G:B 4:1
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang
merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat 8,4%.
Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit
4. Cairan DG
Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27
mEq/L dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada
diare dengan komplikasi.
5. Cairan Natrium Bicarbonat (Meylon)
Cairan ini mengandung natrium 25 mEq/25ml dan bicarbonat 25 mEq/25ml.
Cairan ini digunakan pada keadaan asidosis akibat defisit bicarbonat.9 Sediaan dalam
bentuk flakon sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 8,4% ( 84 mg/ml)
6. Cairan RLD
Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5% yang
bisa digunakan pada demam berdarah dengue .
7. Cairan G:Z 4:1
Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9%
yang bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.
Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas
resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan
untuk mengganti kehilangan harian.
Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja
( Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi oleh
suhu lingkungan dan C diatasaktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap kenaikan
suhu 1 C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akansuhu tubuh 37
menurun pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan koma dan
keadaan hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12% C dibawah
suhu tubuh normal. Cairanpada setiap penurunan suhu 1 intravena untuk terapi
rumatan ini biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan NaCl 0,9% 4:1 ,
3:1, atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambahkan larutan KCl 2
mEq/kgBB.
2. Terapi deficit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (Previous
Water Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 5-
15% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkan
oleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral dan
asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat dehidrasi dibagi atas
ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan
cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan berkisar 10% atau
lebih BB.
3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung
( Concomitant water losses=CWL).
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah kehilangan
CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk semua umur.
Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian cairan
peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan personde
atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak mencukupi atau
membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra vena dapat diberikan
3 Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan
terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan
darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan
isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman
dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5%
digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat
dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya
laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi
dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
2. Handaya, A yuda, 2010. Infus cairan intravena diambil dari
http://dokteryudabedah.com/infus-cairan-intravena-macam-macam-cairan-infus / diakses
tanggal 17 oktober 2011.
3. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam
Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.
4. Sudoyo, Aru w. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. FKUI. Jakarta.