refer at

34
REFERAT TONSILITIS DIFTERI Oleh Qamara Kalehismaningrat H1A009046 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 2015 1

Upload: putu-anggreni

Post on 21-Dec-2015

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Refer At

REFERAT

TONSILITIS DIFTERI

Oleh

Qamara Kalehismaningrat

H1A009046

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN

TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

MATARAM RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA

TENGGARA BARAT

2015

1

Page 2: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan

atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah

Corynebacterium Diphteriae. Bakteri ini termasuk dalam gram positif dimana manusia

merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring,

laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini

menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin

yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini

antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.1

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera.

Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya

akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi.

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan

anak. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan

ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar

0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah

yang dipakai pada tes Schick.2,3

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak beusia kurang dari 10 tahun dan

frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin

menderita penyakit ini. Penyakit lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi atau

imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat

mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih.2

Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi jalan

nafas membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan

proses peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru –

paru, menyebabkan pneumonia.3

2

Page 3: Refer At

BAB II

EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke

dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil

pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami

invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta.

Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel

permukaan.Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul

pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat

lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah

massa jaringan tonsil.1

Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau

trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa),

folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta

jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium). 4

Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil 4

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kripte-kripte di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yakni tonsila

faringea (adenoid), tonsila palatine (tonsil), dan tonsil lingua, yang ketiganya disebut

cincin waldeyer. Tonsila palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak dalam fossa

3

Page 4: Refer At

tonsil. Kutub bawah tonsil terletak di dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya

beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus, dilapisi oleh epitel

skuamosa stratifikasi. Kripte ini berbentuk tubuler dan saling anastomosis satu dengan

yang lainnya. Di dalam kriptus ini terdapat sel-sel degernerasi seperti leukosit, epitel

yang terlepas, debris seluler, bakteri, dan sisa makanan. Derajat retikulasi (jumlah

limfosit intraepitel) sangat bervariasi dimana hal ini penting dalam inisiasi respon imun

pada tonsila palatine. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering

disebut kapsul tonsil; tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan

diseksi pada tonsilektomi. Sedangkan tonsila lingua terletak di dasar lidah dan dibagi

menjadi dua oleh ligamentum glossoepiglotika.2,4

Gambar 2. Cincin Waldeyer 4

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi

seluruh fossa tonsilaris; daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa

supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring

superior sehingga tertekan setiap kali makan. Batas-batas tonsil adalah sebagai

berikut :2,4

lateral : m. konstriktor faring superior

medial : ruang orofaring

anterior : m. palatoglossus

4

Page 5: Refer At

posterior: m. palatofaringeus

superior: palatum molle

inferior: tonsila lingual

Gambar 3. Tonsil Palatina 4

Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke hipofaring sehingga sering

menyebabkan anak terjaga saat tidur akibat gangguan jalan nafas. Struktur histology

tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi, yakni mengandung tiga unsur

utama : (1) jaringan ikat atau trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah,

saraf, dan limfa; (2) folikel germinativum sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda;

(3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai macam

stadium. Fungsi tonsil adalah sebagai tempat menangkap dan mengumpulkan bahan

asing dan sebagai organ limfatik sekunder untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit

yang sudah disensitisasi.2,4

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang arteri karotis externa :2

arteri maksilaris eksterna (a.fasialis) cabang: a. tonsilaris, berjalan ke atas di

bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan

palatum molle; a. palatine asenden, bercabang melalui m. konstriktor posterior

menuju tonsil

5

Page 6: Refer At

a. maksilaris interna a. palatine desenden, a. lingualis (a. lingualis dorsal naik

ke pangkal lidah menuju tonsil, plika anterior-posterior dan a. faringeal asenden

memberikan cabangnya ke tonsil mlalui bagian luar m. konstriktor superior)

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring.2

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 4

Aliran limfatik dari daerah tonsil menuju rangkaian getah bening servikal

profunda bagian superior di bawah m. sternocleidomastoideus ke kelenjar toraks dan

akhirnya menuju duktus torasikus. Infeksi dapat berjalan ke semua bagian tubuh melalui

penjalaran limfogen. Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui

ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (n. IX) .2,4

Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion

sfenopalatina di bagian atas dan saraf glosofaringeus di bagian bawah. Aliran limfe

eferen berasal dari bagian tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda

bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan

akhirnya menuju duktus torasikus.2,4

6

Page 7: Refer At

Fisiologi Tonsil

Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen

ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit

B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.2,4

Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi

dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama

yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ

utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.2,4

TONSILITIS DIFTERI

Definisi

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

Diphteriae.Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada

kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan

sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh

mikroorganisme pada tempat infeksi.5,6,7

Epidemiologi

Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan

kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada

tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka

mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan

Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM),

Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-

rata sebesar 15%.2

Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan

orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang

menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus

difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia

7

Page 8: Refer At

lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi

ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau

lebih.1  Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional

dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia

15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak

divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali 

ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic. Difteri tetap endemik di

banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika

Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah

terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari

remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster

toksoid difteri. 5,8

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,

Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama

tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang

dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB

difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak

46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera

Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan,

kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus),

meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus

difteri pada tahun 2008. 2

Etiologi

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal

juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh

bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada

tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit

mereka yang disebabkan  pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga

subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan

virulensi dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka untuk

memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan

8

Page 9: Refer At

masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain

intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu

generasi  sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang

lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat

dalam menyerang jaringan.1,8

Morfologi

Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak

berspora, tidak bergerak, terma-suk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph),

memfermentasi glukosa, menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat

anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri

khas C. diphteriae adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang

menghasilkan bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut (sering di

dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula ini di-kenal

dengan nama granula metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan Neisser, tubuh

bakteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet.

Preparat yang dibuat langsung dari spesimen yang baru diambil dari pasien, letak

bakteri seperti  huruf-huruf  L, V, W, atau tangan  yang  jarinya terbuka atau sering

dikenal sebagai susunan sejajar/paralel/palisade/sudut tajam huruf  V, L, Y/tulisan

Cina.1

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram

positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk

spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Organisme

tersebut paling mudah ditemukan

pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan

mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae berwarna

putih kelabu pada medium Loeffler.6

Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan

hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang

yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer

anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah

9

Page 10: Refer At

dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes

Schick.6

Patofisiologi

Setelah terinhalasi, C. diphteriae implantasi di atas mukosa dari saluran nafas

atas dan menghasilkan eksotoksin yang kuat menyebabkan nekrosis dari epitel mukosa

di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang membentuk pseudomembran abu-

abu kotor yang klasik dan superfisial dari difteri. 2,5,6

Kerja dari eksotoksin banyak mengubah sinyal intraseluler atau jalur peraturan.

Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh jembatan

disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan memberikan

subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam sitoplasma, ikatan

disulfida toksin berkurang dan patah, melepaskan fragmen A. enzimatis aktif amino

Dalam kasus racun diptheria subunit A mengkatalisis transfer adenosin difosfat (ADP)-

ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor

elongasi yang sangat penting untuk sintesis polipeptida), sehingga menonaktifkan. Satu

molekul toksin sehingga dapat membunuh sel dengan ADP-ribosylating lebih dari 106

EF-2 molekul. C. diphteriae menguraikan seperti racun untuk menciptakan lapisan sel-

sel mati di tenggorokan, di mana bakteri outgrows kompetisi. Sayangnya, penyebaran

yang lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui

disfungsi saraf dan miokard. 2,5,6

Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan

eksotoksin 62-kd ampuh polipeptida, yang menghambat sintesis protein dan

menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain racun

dari C. diphteriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari C

diphtheriae membawa gen struktural tox ditemukan di corynebacteriophages lisogenik

beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.2,5,6

Strain yang sangat beracun memiliki 2 atau 3 gen + tox dimasukkan ke dalam

genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya

konsentrasi rendah besi, regulator gen dihambat, sehingga produksi toksin meningkat.

Toksin diekskresikan dari sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk membentuk 2

rantai, A dan B, yang diselenggarakan bersama oleh ikatan disulfida merantaikan antara

10

Page 11: Refer At

residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi

toksin, efek toksin melampaui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin

diphtheriae tidak memiliki target organ tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf

yang paling sering terkena. 2,5,6

Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, sebuah koagulum

nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan bentuk, dan menjadi

pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk dipindahkan dan

submukosa membengkak dan berdarah. Kelumpuhan dari langit-langit dan hipofaring

adalah efek awal lokal toksin. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus

ginjfal, trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi saraf. Karena kardiomiopati

dan demielinasi saraf dapat terjadi 2-10 minggu setelah infeksi mukokutan, mekanisme

patofisiologis meruapakan mediasi imunologi pada beberapa pasien. 6

Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi amandel atau faring

di lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah situs yang paling umum berikutnya.

Setelah masa inkubasi rata-rata 2-4, tanda-tanda hari lokal dan gejala peradangan

berkembang. Demam jarang lebih tinggi dari 39° C. 6

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang

berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan

sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran

putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah.

Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan

exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening

yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.

Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditis toksik atau

mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.

Toksin ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat

timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial

dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga

saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa

mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang sering pada bronkopneumoni. 7

11

Page 12: Refer At

Organ-organ tubuh yang tergabung 7

- Kelenjar Getah bening : Jaringan limfoid baik di kelenjar getah bening regional dan

sistemik (seperti dalam limpa) mengalami hiperplasia dengan pengembangan pusat-

pusat germinal yang menonjol dan biasanya nekrotik di bagian tengah

- Jantung: Toksin Difteri sangat beracun ke miokardium. Pada tahap awal, terjadi

edema interstisial, pembengkakan berawan dari serat miokard, dan akumulasi

butiran sitoplasma denda lipid terlihat mikroskopis. Kemudian perubahan ini

menjadi luas dan lebih berat. Serat miokard akhirnya mengalami nekrosis, dan

miokarditis interstisial fokus dengan eksudasi sel mononuklear terjadi. Keterlibatan

jantung, baik secara akut dalam bentuk kolaps kardiovaskuler atau sebagai aritmia

atau lebih kronis dalam bentuk gagal jantung kongestif, adalah ancaman yang

paling umum untuk kehidupan di difteri.

- Ginjal: Sebuah nefritis, nonspesifik interstisial non supuratif adalah sering pada

difteri dan diyakini bertanggung jawab atas proteinuria sering diamati. Lesi ginjal

biasanya sembuh sepenuhnya pada pasien yang sembuh.

- Hati: Hati yang khas diperbesar, hepatosit menunjukkan pembengkakan berawan

dan nekrosis kurang umum fokus.

- Saraf: Toksin Diphtherial memiliki afinitas khusus untuk saraf perifer. Efek racun

yang diwujudkan dalam degenerasi atau bahkan kerusakan selubung mielin.

Silinder Axis mengalami nekrosis pembengkakan dan jarang. Efek lumpuh

neuropati difteri sering tajam terlokalisasi. Kelumpuhan otot-otot sukarela dari

langit-langit mulut dapat menghasilkan kualitas hidung yang aneh dari suara dan

kecenderungan untuk memuntahkan cairan melalui hidung.

- Hipofaring: keterlibatan Hypopharyngeal dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.

- Mata: Keterlibatan otot luar mata dapat menghasilkan diplopia, dan keterlibatan

dari badan siliar dapat mengakibatkan cacat akomodasi visual.

Manifestasi klinis

12

Page 13: Refer At

Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi

membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi

tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang

segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan

masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat

dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat

secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya

tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun

pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.2

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :2

Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh

biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,

serta keluhan nyeri menelan

Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih

kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran

ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus

dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada

dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan

penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan

membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)

atau disebut juga Burgermeester’s hals.

Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan

kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan

albuminuria.

Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran

semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.2

13

Page 14: Refer At

Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody

technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,

diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes

toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain

Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun

pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk

penggunaan secara luas.5,7

Penatalaksanaan

Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus

segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu, kontak

dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus menerima

pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia, yaitu pengobatan

dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan kultur pasca pengobatan untuk

mengkonfirmasi ketiadaan bakteri. Pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap

awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati infeksi, dan mencegah

perjalanan infeksi lebih jauh.1,8

Tatalaksana Umum

Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin

diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah

Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya

2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam

memberikan hasil negatif

Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan

toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu

sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum

molle dan otot-otot faring).

Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau

lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.

Monitoring jantung dan organ-organ vital lain. 5,8

14

Page 15: Refer At

Tatalaksana Medikamentosa

1. Anti Difteri Serum (ADS)

Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat

antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh C.

diphteriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi

dengan suntikan toksin difteri. 7

Anti difteri serum (ads) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan

dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur, dan beratnya penyakit. Antitoksin

difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml (20.000 IU), tiap ml

mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis

untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk

pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran. 2,7,8

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran5,7,8

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena

Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena

Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena

Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena

Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut: 7

Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan

sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

15

Page 16: Refer At

Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk

menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal

diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit ).

Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji kepekaan, yang terdiri dari :

o Tes kulit

Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl

0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap

positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.

o Tes mata

Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10

dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu

tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk

perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap

positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila

terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.

Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus

(single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara

perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl

0,9% dengan dosis sebagai berikut:8

16

Page 17: Refer At

Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah: 5,8

1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau

dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.

2. Serum Sickness   dapat  timbul  7 - 10  hari  setelah suntikan dan dapat berupa

kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi

ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan.

3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara

intravena.

4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum

dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam  24 jam.

2. Antibiotik

Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin,

mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rentan

terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin,

dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah

digunakan secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien dengan alergi penisilin.

Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring.

Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri

harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah

selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.2,8

Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau

bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14 hari.

Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam

4 dosis, diberikan selama 14 hari.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid 1,2 mg per Kg berat badan perhari. 2

17

Page 18: Refer At

4. Simptomatis

Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah

berikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif. pasien harus diisolasi karena

penyakit ini menular dan pasien harus istirahat selama 2-3 minggu. 2

Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif

tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan

adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari

selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. 7,8

Pencegahan

1. Isolasi Penderita

Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan

sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphteriae 1,7

2. Imunisasi

Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya

dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi

vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak

mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak

yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang

diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau

bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga

mengandung perlindungan terhadap pertusis. 10,11

Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan

pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan,

dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang

seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.1,5,7,8

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas

didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun

18

Page 19: Refer At

setelah gejala tonsillitis menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat

tonsillitis sendiri. Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30%

pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular

bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggi. Gagal jantung

juga bisa terjadi.1,2

Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat2.

Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf

cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan

kehilangan akomodasi ocular dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi

nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati

perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati terjadi secara motorik dan

sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi dalam masa

beberapa minggu. 2,8

Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran

yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula

timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat

komplikasi ke ginjal yang menyebabkan nefritis. 2, 8

19

Page 20: Refer At

BAB III

PENUTUP

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

Diphteriae.Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada

kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak

beusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada

orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu : 1) gejala umum, seperti juga

gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak

nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan, 2) gejala lokal,

yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama

makin meluas dan bersatu membentuk semu. Pada perkembangan penyakit ini bila

infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya

sehingga leher menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals, 3)

gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum

dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran

semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.

Anti difteri serum (ads) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan

dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur, dan beratnya penyakit.Antibiotik

penisilin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14

hari. Kortikosteroid 1,2 mg per Kg berat badan perhari. Dapat diberikan antipiretik

untuk menurunkan demam, pasien harus diisolasi karena penyakit ini menular dan

pasien harus istirahat selama 2-3 minggu.

Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan

menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.

20

Page 21: Refer At

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio

kordis.Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta

otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-

otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.

21

Page 22: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Garna Herry, dkk. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.

Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000 ;hal. 173-176

2. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsillitis dan Hipertrofi Adenoid. Dalam :

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :

Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai

Penerbit FK UI.2008; hal 221-222.

3. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar

Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta.

1997; hal .272

4. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 6th

Ed. The McGraw−Hill Companies, New York. 2004.

5. Atkinson W, et al. Diphtheria Epidemiology and Prevention of Vaccine-

Preventable Diseases. Department of Health and Human Services Centers for

Disease Control and Prevention. Edisi 12.2011. p 75-85

6. Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases: The

Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed. WebMD

Corporation; 2007.

7. Demirci CS. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. WebMD

Corporation ; 2014.

8. Tiwari, T. Diphtheria. VPD Surveillance Manual, Edisi 5.2011. p: 1-9

22