refer at
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
REFERAT
TONSILITIS DIFTERI
Oleh
Qamara Kalehismaningrat
H1A009046
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN
TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MATARAM RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA
TENGGARA BARAT
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan
atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah
Corynebacterium Diphteriae. Bakteri ini termasuk dalam gram positif dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring,
laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini
menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin
yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini
antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera.
Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya
akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi.
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan
anak. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar
0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah
yang dipakai pada tes Schick.2,3
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak beusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini. Penyakit lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi atau
imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat
mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih.2
Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi jalan
nafas membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan
proses peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru –
paru, menyebabkan pneumonia.3
2
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke
dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil
pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami
invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta.
Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel
permukaan.Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul
pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat
lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah
massa jaringan tonsil.1
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa),
folikel germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta
jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium). 4
Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil 4
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kripte-kripte di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yakni tonsila
faringea (adenoid), tonsila palatine (tonsil), dan tonsil lingua, yang ketiganya disebut
cincin waldeyer. Tonsila palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak dalam fossa
3
tonsil. Kutub bawah tonsil terletak di dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya
beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus, dilapisi oleh epitel
skuamosa stratifikasi. Kripte ini berbentuk tubuler dan saling anastomosis satu dengan
yang lainnya. Di dalam kriptus ini terdapat sel-sel degernerasi seperti leukosit, epitel
yang terlepas, debris seluler, bakteri, dan sisa makanan. Derajat retikulasi (jumlah
limfosit intraepitel) sangat bervariasi dimana hal ini penting dalam inisiasi respon imun
pada tonsila palatine. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
disebut kapsul tonsil; tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Sedangkan tonsila lingua terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glossoepiglotika.2,4
Gambar 2. Cincin Waldeyer 4
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi
seluruh fossa tonsilaris; daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring
superior sehingga tertekan setiap kali makan. Batas-batas tonsil adalah sebagai
berikut :2,4
lateral : m. konstriktor faring superior
medial : ruang orofaring
anterior : m. palatoglossus
4
posterior: m. palatofaringeus
superior: palatum molle
inferior: tonsila lingual
Gambar 3. Tonsil Palatina 4
Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke hipofaring sehingga sering
menyebabkan anak terjaga saat tidur akibat gangguan jalan nafas. Struktur histology
tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi, yakni mengandung tiga unsur
utama : (1) jaringan ikat atau trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah,
saraf, dan limfa; (2) folikel germinativum sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda;
(3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai macam
stadium. Fungsi tonsil adalah sebagai tempat menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dan sebagai organ limfatik sekunder untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
yang sudah disensitisasi.2,4
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang arteri karotis externa :2
arteri maksilaris eksterna (a.fasialis) cabang: a. tonsilaris, berjalan ke atas di
bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan
palatum molle; a. palatine asenden, bercabang melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil
5
a. maksilaris interna a. palatine desenden, a. lingualis (a. lingualis dorsal naik
ke pangkal lidah menuju tonsil, plika anterior-posterior dan a. faringeal asenden
memberikan cabangnya ke tonsil mlalui bagian luar m. konstriktor superior)
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring.2
Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil 4
Aliran limfatik dari daerah tonsil menuju rangkaian getah bening servikal
profunda bagian superior di bawah m. sternocleidomastoideus ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Infeksi dapat berjalan ke semua bagian tubuh melalui
penjalaran limfogen. Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (n. IX) .2,4
Persarafan tonsil didapat dari serabut saraf trigeminus melalui ganglion
sfenopalatina di bagian atas dan saraf glosofaringeus di bagian bawah. Aliran limfe
eferen berasal dari bagian tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda
bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus.2,4
6
Fisiologi Tonsil
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit
B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.2,4
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ
utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.2,4
TONSILITIS DIFTERI
Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae.Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi.5,6,7
Epidemiologi
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan
kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada
tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka
mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan
Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM),
Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-
rata sebesar 15%.2
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan
orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang
menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus
difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia
7
lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi
ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau
lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional
dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia
15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak
divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali
ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic. Difteri tetap endemik di
banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika
Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah
terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari
remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster
toksoid difteri. 5,8
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,
Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama
tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang
dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB
difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak
46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera
Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan,
kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus),
meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus
difteri pada tahun 2008. 2
Etiologi
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal
juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh
bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada
tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit
mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga
subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan
virulensi dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka untuk
memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan
8
masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain
intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu
generasi sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat
dalam menyerang jaringan.1,8
Morfologi
Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak
berspora, tidak bergerak, terma-suk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph),
memfermentasi glukosa, menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat
anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri
khas C. diphteriae adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang
menghasilkan bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut (sering di
dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula ini di-kenal
dengan nama granula metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan Neisser, tubuh
bakteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet.
Preparat yang dibuat langsung dari spesimen yang baru diambil dari pasien, letak
bakteri seperti huruf-huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering
dikenal sebagai susunan sejajar/paralel/palisade/sudut tajam huruf V, L, Y/tulisan
Cina.1
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram
positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Organisme
tersebut paling mudah ditemukan
pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae berwarna
putih kelabu pada medium Loeffler.6
Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan
hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah
9
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes
Schick.6
Patofisiologi
Setelah terinhalasi, C. diphteriae implantasi di atas mukosa dari saluran nafas
atas dan menghasilkan eksotoksin yang kuat menyebabkan nekrosis dari epitel mukosa
di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang membentuk pseudomembran abu-
abu kotor yang klasik dan superfisial dari difteri. 2,5,6
Kerja dari eksotoksin banyak mengubah sinyal intraseluler atau jalur peraturan.
Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh jembatan
disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan memberikan
subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam sitoplasma, ikatan
disulfida toksin berkurang dan patah, melepaskan fragmen A. enzimatis aktif amino
Dalam kasus racun diptheria subunit A mengkatalisis transfer adenosin difosfat (ADP)-
ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor
elongasi yang sangat penting untuk sintesis polipeptida), sehingga menonaktifkan. Satu
molekul toksin sehingga dapat membunuh sel dengan ADP-ribosylating lebih dari 106
EF-2 molekul. C. diphteriae menguraikan seperti racun untuk menciptakan lapisan sel-
sel mati di tenggorokan, di mana bakteri outgrows kompetisi. Sayangnya, penyebaran
yang lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui
disfungsi saraf dan miokard. 2,5,6
Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan
eksotoksin 62-kd ampuh polipeptida, yang menghambat sintesis protein dan
menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain racun
dari C. diphteriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari C
diphtheriae membawa gen struktural tox ditemukan di corynebacteriophages lisogenik
beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.2,5,6
Strain yang sangat beracun memiliki 2 atau 3 gen + tox dimasukkan ke dalam
genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya
konsentrasi rendah besi, regulator gen dihambat, sehingga produksi toksin meningkat.
Toksin diekskresikan dari sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk membentuk 2
rantai, A dan B, yang diselenggarakan bersama oleh ikatan disulfida merantaikan antara
10
residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi
toksin, efek toksin melampaui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin
diphtheriae tidak memiliki target organ tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf
yang paling sering terkena. 2,5,6
Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, sebuah koagulum
nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan bentuk, dan menjadi
pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk dipindahkan dan
submukosa membengkak dan berdarah. Kelumpuhan dari langit-langit dan hipofaring
adalah efek awal lokal toksin. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus
ginjfal, trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi saraf. Karena kardiomiopati
dan demielinasi saraf dapat terjadi 2-10 minggu setelah infeksi mukokutan, mekanisme
patofisiologis meruapakan mediasi imunologi pada beberapa pasien. 6
Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi amandel atau faring
di lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah situs yang paling umum berikutnya.
Setelah masa inkubasi rata-rata 2-4, tanda-tanda hari lokal dan gejala peradangan
berkembang. Demam jarang lebih tinggi dari 39° C. 6
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan
sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran
putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah.
Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan
exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening
yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditis toksik atau
mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.
Toksin ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat
timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial
dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga
saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa
mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang sering pada bronkopneumoni. 7
11
Organ-organ tubuh yang tergabung 7
- Kelenjar Getah bening : Jaringan limfoid baik di kelenjar getah bening regional dan
sistemik (seperti dalam limpa) mengalami hiperplasia dengan pengembangan pusat-
pusat germinal yang menonjol dan biasanya nekrotik di bagian tengah
- Jantung: Toksin Difteri sangat beracun ke miokardium. Pada tahap awal, terjadi
edema interstisial, pembengkakan berawan dari serat miokard, dan akumulasi
butiran sitoplasma denda lipid terlihat mikroskopis. Kemudian perubahan ini
menjadi luas dan lebih berat. Serat miokard akhirnya mengalami nekrosis, dan
miokarditis interstisial fokus dengan eksudasi sel mononuklear terjadi. Keterlibatan
jantung, baik secara akut dalam bentuk kolaps kardiovaskuler atau sebagai aritmia
atau lebih kronis dalam bentuk gagal jantung kongestif, adalah ancaman yang
paling umum untuk kehidupan di difteri.
- Ginjal: Sebuah nefritis, nonspesifik interstisial non supuratif adalah sering pada
difteri dan diyakini bertanggung jawab atas proteinuria sering diamati. Lesi ginjal
biasanya sembuh sepenuhnya pada pasien yang sembuh.
- Hati: Hati yang khas diperbesar, hepatosit menunjukkan pembengkakan berawan
dan nekrosis kurang umum fokus.
- Saraf: Toksin Diphtherial memiliki afinitas khusus untuk saraf perifer. Efek racun
yang diwujudkan dalam degenerasi atau bahkan kerusakan selubung mielin.
Silinder Axis mengalami nekrosis pembengkakan dan jarang. Efek lumpuh
neuropati difteri sering tajam terlokalisasi. Kelumpuhan otot-otot sukarela dari
langit-langit mulut dapat menghasilkan kualitas hidung yang aneh dari suara dan
kecenderungan untuk memuntahkan cairan melalui hidung.
- Hipofaring: keterlibatan Hypopharyngeal dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.
- Mata: Keterlibatan otot luar mata dapat menghasilkan diplopia, dan keterlibatan
dari badan siliar dapat mengakibatkan cacat akomodasi visual.
Manifestasi klinis
12
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi
membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi
tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang
segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat
dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat
secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya
tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun
pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.2
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :2
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck)
atau disebut juga Burgermeester’s hals.
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran
semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.2
13
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.5,7
Penatalaksanaan
Apabila seseorang diduga menderita difteri oleh dokter, maka pengobatan harus
segera dilakukan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu, kontak
dekat, seperti anggota keluarga, kontak rumah tangga, dan karier harus menerima
pengobatan profilaksis tanpa memandang status imunisasi atau usia, yaitu pengobatan
dengan eritromisin atau penisilin selama 14 hari dan kultur pasca pengobatan untuk
mengkonfirmasi ketiadaan bakteri. Pengobatan yang paling efektif yaitu pada tahap
awal penyakit, untuk mengurangi penularan, mengobati infeksi, dan mencegah
perjalanan infeksi lebih jauh.1,8
Tatalaksana Umum
Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin
diberikan. Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah
Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya
2 kultur berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam
memberikan hasil negatif
Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan
toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu
sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum
molle dan otot-otot faring).
Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau
lakukan tindakan trakeostomi bila diperlukan.
Monitoring jantung dan organ-organ vital lain. 5,8
14
Tatalaksana Medikamentosa
1. Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin bersifat
antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang dibentuk oleh C.
diphteriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma kuda yang sehat, yang telah terimunisasi
dengan suntikan toksin difteri. 7
Anti difteri serum (ads) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur, dan beratnya penyakit. Antitoksin
difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10 ml (20.000 IU), tiap ml
mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol v/v. Untuk pencegahan, dosis
untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU, sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk
pengobatan, dosis tergantung usia, berat gejala, dan lokasi membran. 2,7,8
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran5,7,8
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena
Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut: 7
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan
sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
15
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk
menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal
diulang tiga kali dengan interval 5-15 menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl
0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap
positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu
tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk
perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap
positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila
terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara sekaligus
(single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara
perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20 menit. ADS diencerkan dalam NaCl
0,9% dengan dosis sebagai berikut:8
16
Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah: 5,8
1. Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau
dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum Sickness dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat berupa
kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi
ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan.
3. Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara
intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum
dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
2. Antibiotik
Terapi antimikroba diindikasikan untuk menghentikan produksi toksin,
mengobati infeksi lokal, dan mencegah penularan. C. diphtheriae biasanya rentan
terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin,
dan tetrasiklin. Resistensi terhadap eritromisin sering terjadi karena obat tersebut telah
digunakan secara luas. Eritromisin diberikan pada pasien dengan alergi penisilin.
Eritromisin sedikit lebih unggul dari penisilin untuk pemberantasan infeksi nasofaring.
Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri
harus didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah
selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.2,8
Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif.
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam
4 dosis, diberikan selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg per Kg berat badan perhari. 2
17
4. Simptomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien anak gelisah
berikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif. pasien harus diisolasi karena
penyakit ini menular dan pasien harus istirahat selama 2-3 minggu. 2
Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. 7,8
Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphteriae 1,7
2. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi
vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak
mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang
diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau
bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga
mengandung perlindungan terhadap pertusis. 10,11
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan
pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan,
dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang
seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.1,5,7,8
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas
didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun
18
setelah gejala tonsillitis menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat
tonsillitis sendiri. Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30%
pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular
bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggi. Gagal jantung
juga bisa terjadi.1,2
Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat2.
Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf
cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan
kehilangan akomodasi ocular dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi
nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati
perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati terjadi secara motorik dan
sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi dalam masa
beberapa minggu. 2,8
Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran
yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula
timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat
komplikasi ke ginjal yang menyebabkan nefritis. 2, 8
19
BAB III
PENUTUP
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae.Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
beusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada
orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu : 1) gejala umum, seperti juga
gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan, 2) gejala lokal,
yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan bersatu membentuk semu. Pada perkembangan penyakit ini bila
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga leher menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals, 3)
gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran
semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Anti difteri serum (ads) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur, dan beratnya penyakit.Antibiotik
penisilin atau eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. Kortikosteroid 1,2 mg per Kg berat badan perhari. Dapat diberikan antipiretik
untuk menurunkan demam, pasien harus diisolasi karena penyakit ini menular dan
pasien harus istirahat selama 2-3 minggu.
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
20
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis.Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta
otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-
otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Garna Herry, dkk. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000 ;hal. 173-176
2. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsillitis dan Hipertrofi Adenoid. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :
Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI.2008; hal 221-222.
3. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta.
1997; hal .272
4. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 6th
Ed. The McGraw−Hill Companies, New York. 2004.
5. Atkinson W, et al. Diphtheria Epidemiology and Prevention of Vaccine-
Preventable Diseases. Department of Health and Human Services Centers for
Disease Control and Prevention. Edisi 12.2011. p 75-85
6. Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases: The
Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed. WebMD
Corporation; 2007.
7. Demirci CS. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. WebMD
Corporation ; 2014.
8. Tiwari, T. Diphtheria. VPD Surveillance Manual, Edisi 5.2011. p: 1-9
22