refer at edited

25
BAB I PENDAHULUAN Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi Jika seseorang sensitive terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik. Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang dapat mengancam kehidupan. 1,2 Ditahun 2004, Bohlke et al memperkirakan insidensi anafilaksis yang didiagnosis oleh dokter diantara anak-anak dan dewasa adalah 10,5 episode per 100.000 orang per tahun. Di Indonesia, angka kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaktik pada tahun 2005. 3,4 . Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian mendadak. 5,6 Reaksi hipersensitivitas obat tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan merupakan keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik reaksi alergi terhadap suatu obat bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Diagnosis alergi obat dapat ditegakkan apabila terdapat bukti imunologis yang menunjukkan terjadinya reaksi. Reaksi alergi 1

Upload: dinayanti

Post on 28-Jan-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Refer at Edited

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum

diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi Jika seseorang sensitive terhadap

suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul

reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada

syok anafilaktik. Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang dapat

mengancam kehidupan.1,2

Ditahun 2004, Bohlke et al memperkirakan insidensi anafilaksis yang didiagnosis

oleh dokter diantara anak-anak dan dewasa adalah 10,5 episode per 100.000 orang per

tahun. Di Indonesia, angka kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaktik

pada tahun 2005.3,4 .

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan

serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik.

Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang

akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian mendadak.5,6

Reaksi hipersensitivitas obat tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan merupakan

keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik reaksi alergi terhadap

suatu obat bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Diagnosis alergi obat dapat

ditegakkan apabila terdapat bukti imunologis yang menunjukkan terjadinya reaksi. Reaksi

alergi terhadap suatu obat sering menimbulkan kekhawatiran karena dapat menimbulkan

ancaman jiwa dan sering memerlukan perawatan yang lama di rumah sakit. Oleh karena itu

diperlukan penilaian yang cermat dalam diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat.7

Diagnosis dan tatalaksana syok anafilaksis akan dibahas lebih lanjut dalam referat ini.

1

Page 2: Refer at Edited

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum

diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi. Reaksi alergi merupakan efek

samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan mekanisme imunologis. Efek

samping ini terjadi akibat reaksi toksik dan interaksi obat yang timbul karena sifat

farmakologis obat. Alergi obat merupakan respons abnormal yang timbul terhadap bahan

obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologis berupa hipersensitivitas yang terjadi

selama atau setelah pemakaian obat. Syok anafilaktik merupakan suatu respon

hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang

ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.7,8,9,10

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, si Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat

penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit

pengguanaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan

mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara, di Indonesia, angka kematian dari

kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005.2,4

Di Indonesia, angka kejadian sesungguhnya reaksi alergi obat sulit diketahui

karena manifestasi klinisnya yang sangat bervariasi. Angka kejadian alergi obat obat yang

dilaporkan di rumah sakit pada umumnya mencapai 20-30%, dengan manifestasi terbanyak

pada kulit berupa urtikaria.10

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan

bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda

dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai resiko kira-kira 20 kalki lipat

lebih tinggi dibandingkan laki-laki.4,6

2.3 FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan resiko anafilaksis adalah sifat

alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi dan kesinambungan paparan alergen.

Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-

2

Page 3: Refer at Edited

obatan, sengatan serangga an lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan, kacang-kacangan, biji-

bijian, buah beri, putih telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu

reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang dapat menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik

khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,

vitamin B1, asam folat dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik

dan cuaca juga dapat menyebabkan anafilaksis.5,6,

2.4 PATOFISIOLOGI

Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak

langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat

molekul yang besar. Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan protein karier ini

disebut sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang

bersifat lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan akan

dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.1,2

Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat

imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat

beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik

tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas.13

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan

antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20

hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut

sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori.2

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4

tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme

reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita

atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi

yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka

yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi

adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV

merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE

(non IgE-mediated). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut

secara bersamaan. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV.1,2

3

Page 4: Refer at Edited

Reaksi Mekanisme Manifestasi Waktu Pemeriksaan

4

Page 5: Refer at Edited

klinis ReaksiTipe I Reaksi imunologis yang Urtikaria, angioedema, Beberapa Skin prick testing

diperantarai IgE. Kompleks bronkospasme, menit sampai Intradermal testingIgE-obat berikatan dengan sel anafilaksis beberapa jam Specific IgE testingmast, melepaskan histamin setelah paparan. Tes provokasi obatdan mediator lain

Tipe II Reaksi sitotoksik diperantarai Anemia hemolitik, Bervariasi Coombs testIgG atau IgM. Antibodi IgM neutropeni,atau IgG spesifik terhadap sel trombositopenihapten-obat

Tipe III Reaksi kompleks imun. Deposit Vaskulitis, 1-3 minggu C3, C4, ANA,jaringan dari kompleks antibodi limfadenopati, demam, setelah ANCA-obat dengan aktivasi artropati, ruam, serum paparankomplemen sickess

Tipe IV Reaksi tipe lambat, diperantarai Dermatitis 2-7 hari setelah Patch testoleh selular. Presentasi molekul kontak alergi. paparanobat oleh MHC kepada sel Tdengan pelepasan sitokin

Tabel 1. Mekanisme Hipersensitivitas/Alergi Obat Berdasarkan Mekanisme Imunologis.11

Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE

dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa

urtikaria, edema laring, dan wheezing. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang

diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini

terjadi sebagai respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada

reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode

yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen.

Reaksi biasanya baru timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe

lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen.6,

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase

sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya

oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi

merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai

timbulnya gejala.4,5,6

Alergen yang masuk melalui kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan

ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi limfosit

B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik

untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan

basofil.4,5,6

5

Page 6: Refer at Edited

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan

reaksi pada paparan ulang. Pada kessempatan lain masuk alergen ynag sama ke dalam

tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi

segera, yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan

beberapa bahan vasoaktif dari granula yang disebut dengan istilah perfomed mediator.4,5,6

Ikatan antigen-antibodi merangsang dengradasi asam arakidonat dari membran sel

yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa

waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah

waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas

mastosit atau basofil dengan aktifitas farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin

memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapilaer yang nantinya

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme

dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Berberapa

faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.6,

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan

aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan

darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun

anorexia jaringan yang berimplikasi pada keaadanan

Gambar 1. Reaksi Anafilaktik

2.5 MANIFESTASI KLINIS

6

Page 7: Refer at Edited

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari

reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah

terpapar dengan alergen, reaksi dorman terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar

dengan alergen, serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dedngan

alergen.6

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjai berat tetapi kadang-

kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat

ringan, sedang dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi

hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,

pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair. Awitan gejala-gejala

dimulai dalam 2 jam pertama setelah pajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua

gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan

dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat anxietas dan gatal-gatla juga sering

terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan

yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah

disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edema laring,

dispnea berat dan sianosis. Dapat diiringi gejal disfagia, kram pada abdomen, muntah,

diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat

disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.4,6,12

Tabel 2. Derajat Klinis Reaksi Anafilaksis Menurut Brown

Derajat Organ/Sistem yang Terlibat Manifestasi KlinisRingan Kulit dan jaringan dibawah kulit Edema generalisata, urtikaria, angioedema/

edema periorbita.Sedang Kulit, istem respirasi,

kardiovaskuler dan gastrointestinal.

Sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing, rasa tidak enak ditenggoroka dan dada serta nyeri perut

Berat Kulit, sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal dan neurologii.

Hipoksia, hipotensi, syok, sianosis, penurunan kesadaran, kolaps dan inkontinensia.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada

satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit,

mata, susunan saraf pusat, dan sistem saluran kencing dan sistem yang lain. Keluhan yang

sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata

dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, serak, sesak, mual pusing, lemas dan sakit

perut.4,6,12

7

Page 8: Refer at Edited

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.

Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergig shiner. Yaitu daerah dibawah palpebra inferior

yang menjadi gelap da bengkak. Pemeriksaan hidung bagian liuar dibidang alergi ada

beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengna menggunakan telapak

tangan menggosok ujung hidungnya kearah atas untuk menghilang kan rasa gatal dan

melonggarkan sumbatan. Allergiccrease, gasris melintang akibat lipatan kuliut ujung

hidung, kemudian allergic facies terdiri dari pernapasa mulut, allergic shiner, dan

kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah

dan bentuk sekret, edema, polip hidung dan deviasi septum. Pada kulit trerdapat eritem,

edema, gatal, urtikaria, kuluit terasa hangat dan duingin, lembab/basah dan diaphoresis.4,6,12

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan

saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafasa dan penurunan volume tidal.

Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlihat sehoingga

terjadi stridor. Suara dapat serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus

memburuk. Obstruksi saluran napas komplit adalah penyebab kematian paling sering pada

anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena

bronkospsme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat

serta bersin-bersin.4,6,12

Keadaan binggung dan gelisah dan diikuti oleh penurunan kesadaran sampai terjadi

koma merupakan gangguan pada susunan sistem saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular

terjadi hipotenasi, takikardi, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemik otot jantung

(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema disertai pula dengan

aritmia. Sementara pada ginjal, terjadui hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan

pengeluaran urin akibat penuruna GFR yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya

gagal gibnjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengqn

perubahan elektrolit pada urin.4,6,12

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enxim hati, dan koagulopati. Gejalka yang timbul pada suistenm

gastrointestinal. Merupakan akibat dari edema intestisial akut dan spaasme otot polos,

berupa nyeri abdomen, mulual-muntah atau diare. Terkadang dijumpai perdarahna rectal

yang terjadi akibat iskemik atau infark usus.4,6,12

Depresi sumsum tuilang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosist, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan fungsi

neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi

8

Page 9: Refer at Edited

tiroid dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolism dari

aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat.4,6,12

Tabel 3. Gejala dan Tanda Syok Anafilaktik Pada Organ

SISTEM REAKSI GEJALA TANDA Saluran napas Rinitis Bendungan nasal & gatal Edema mukosa

Sembab laring Dispne Stridor laring Sembab pita suara

Bronkospasme Batuk Batuk Mengi (Wheezing) Mengi Sensasi opresi Ronkhi Retrosternal Gawat napas

Takipne

Sistem Kardiovaskular

Hipotensi Sinkop Hipotensi Takikardia

Aritmia Perubahan EKG : ST nonspesifik Perubahan gelombang T, Ritme nodal, Fibrilasi atrial, tak ada nadi

Henti jantung (cardiac arrest)

Perubahan EKG :

Asistol ventrikular Fibrilasi ventrikular

Kulit Urtikaria Pruritus Lesi Urtikaria tipis Hives

Angioedema Nonpruritik Edema sering asimetris Pembengkakan ekstremitas, perioral, periorbital

Sistem gastro intestinal

Nausea, muntah, nyeri perut, diare

Mata Konjungtivitish Gatal okular, lakrimasi Inflamasi konjungtival

2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis alergi obat seringkali sulit dibuktikan walaupun dugaannya sudah kuat.

Kesulitan terbesar adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara manifestasi

klinis dengan pemberian obat tertentu, dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan

bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri.7,10

2.6.1 Anamnesis

Evaluasi kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit

dan terapi yang diberikan secara terperinci, meliputi nama atau jenis obat, dosis,

indikasi, tanggal pemberian dan lama pemberian. Interval antara waktu pertama

kali minum obat dengan onset reaksi dapat menjadi lebih pendek apabila

sebelumnya penderita pernah tersensitisasi oleh obat yang sama. Dari anamnesis

dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya

9

Page 10: Refer at Edited

gejala gastrointestinal setelah minum antibiotik atau nyeri pada tempat suntikan

obat dapat diperkirakan bukan berdasarkan reaksi imunologis.10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam

jiwa seperti kolaps kardiovaskular, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing

dan hipotensi. Adanya demam, lesi membran mukosa, limfadenopati, nyeri sendi

dan bengkak menandakan reaksi alergi yang berat. Lesi pada kulit harus

diseskripsikan secara akurat mulai dari bentuk, ukuran dan distribusinya.7,10

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis alergi obat meliputi uji

tusuk kulit (skin prick test) dan uji provokasi. Uji tusuk kulit dapat digunakan

untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I yaitu dengan ditemukannya kompleks

antigen-IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang

bersifat imunogenik, yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Uji

provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat tetapi merupakan prosedur

diagnostik yang berbahaya. Uji provokasi tidak dilakukan pada kondisi alergi obat

yang berat seperti anafilaksis atau kelainan hematologis.7

2.7 PENATALAKSANAAN

Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai dan

mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan juga upaya pencegahan

terjadinya alergi obat kembali. Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit

karena biasanya penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua

obat yang diberikan diupayakan dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang

perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan

obat lain.1,13

2.7.1 Tatalaksana Urtikaria dan Angioedema

Manifestasi klinis yang ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan

khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau angioedema dapat diberikan antihistamin

seperti setirizin, CTM atau difenhidramin, serta anti inflamasi non steroid.

Perawatan lokal untuk manifestasi yang timbul pada kulit segera dilakukan melalui

konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian lain (mata, kulit, bedah).2,5

2.7.2 Tatalaksana Anafilaksis

Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi

stabilisasi dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian adrenalin, terapi

10

Page 11: Refer at Edited

cairan,pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai

sebagai pemicu terjadinya alergi harus segera dihentikan. Pasien harus diobservasi

dalam ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter,

monitor tekanan darah non invasif dan EKG digunakan untuk penilaian dan

pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran nafas, bronkospasme

dan syok harus segera dinilai.6,13

2.7.3 Penilaian patensi jalan nafas dan pemberian oksigen

Oksigen dapat diberikan dengan sungkup untuk menjaga saturasi oksigen

pasien diatas 92%. Perlu diwaspadai tanda-tanda ancaman obstruksi jalan nafas

seperti stridor yang memburuk, suara serak, takipnea dan wheezing yang progresif.

Pada keadaan ini tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis sering sulit

dilakukan, dan tindakan intervensi bedah untuk membuka saluran nafas melalui

krikotiroidotomi dapat dipertimbangkan.6,13

2.7.4 Pemberian Cairan

Pada keadaan anafilaksis terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan

dapat terjadi kehilangan lebih dari 35% volume darah dalam 10 menit pertama.

Pemasangan jalur intravena harus segera dilakukan dan apabila tidak

memungkinkan maka harus dibuat akses intraosseus. Pada pasien yang mengalami

syok (takikardi, hipotensi atau waktu pengisian kapiler yang melambat) harus

segera mendapatkan resusitasi cairan dengan kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB.

Bolus cairan dapat diulang sampai 60 ml/kgBB. Apabila keadaan syok belum

teratasi maka pemberian obat-obat inotropik dapat dipertimbangkan.8,

2.7.5 Pemberian Adrenalin

Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis.

Adrenalin diberikan apabila terdapat tanda-tanda edema saluran afas yang

progresif, bronkospasme, atau hipotensi.Adrenalin bekerja pada reseptor α,β1,dan

β2 adrenergik yang dapat memperbaiki vasodilatsi, edema mukosa dan

bronkospasme yang telah terjadi. Adrenalin melaluireseptorβ2 adrenergik dapat

meningkatkan cAMP interselular yang menghambat pelepasan lebih lanjut sel mast

dan basofil, sehingga apabila diberikan dini dapat mengurangi derajat beratnya

reaksi.6

Adrenalin diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg/kgBB,

dengan dosis maksimal 0,5 mg intramuskular. Pemberian intramuskular lebih

disukai karena dapat segera dilakukan sebelum akses intravena diperoleh.

11

Page 12: Refer at Edited

Pemberian adrenalin IM tidak boleh ditunda selama menunggu tersedianya akses

vaskular. Kadar puncak epinefrin dalam plasma lebih cepat tercapai dengan

pemberian intramuskular dibandingkan dengan pemberian intravena. Pemberian

adrenalin intramuskular dapat diulang tiap 5 sampai 15 menit selama diperlukan.

Secara praktis, dosis adrenalin intramuskular pada anak adalah 0,3 mg (0,3 ml

larutan adrenalin 1:1000) untuk anak usia 6-12 tahun, 0,15 mg (0,15 ml larutan

adrenalin 1:1000) untuk usia 6 bulan-6 tahun, dan 0,1 mg (0,1 ml larutan adrenalin

1:1000) untuk bayi usia kurang dari 6 bulan. Pemberian adrenalin intravena

diindikasikan pada kasus syok, obstruksi saluran nafas yang berat, dan

bronkospasme berat. Dosis inisial 0,75-1,5 µg/kgBB dalam 5 menit.

Epinefrinkemudian diberikan dalam infus kontinyudengan dosis 0,1

µg/kgBB/menit sampai 1 µg/kgBB/menit (maksimal 10 µg/menit) hingga tekanan

darah stabil.6,13

2.7.6 Antihistamin H1 dan H2

Antihistamin diberikan terutama untuk meredakan gejala pada kulit seperti

urtikaria, angioedema ringan dan pruritus dan bukan untuk terapi anafilaksis.

Antihistamin golongan H1 seperti setirizin atau difenhidramin dapat diberikan

untuk meredakan gejala pada kulit seperti urtikaria, pruritus dan angioedema.

Antihistamin golongan H1 tidak memiliki efek dalam meredakan gejala

respiratorik, gastrointestinal atau kardiovaskular pada anafilaksis. Setirizin

memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan difenhidramin, tetapi pada

kasus yang disertai dengan muntah, difenhidramin lebih aman untuk digunakan.

Antihistamin golongan H2 seperti ranitidin dapat diberikan dalam kombinasi

dengan antihistamin golongan H1 karene efektifitas dalam meredakan gejala pada

kulit lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan antihistamin golongan H1

saja.6,13,

2.7.7 Kortikosteroid

Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid pada

kasus anafilaksis. Kortikosteroid ini biasanya diberikan pada kasus keterlibatan

saluran nafas dan bronkospasme yang berat. Kortikosteroid seperti prednison dapat

diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB per oral (maksimal 75 mg) atau hidrokortison

1,5-3 mg/kgBB intra vena. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan

metilprednisolon 1 mg/kgBB (maksimal 125mg).6

2.7.8 Obat-obat Inhalasi

12

Page 13: Refer at Edited

Reaksi Anafilaktik?

Jalan nafas, pernapasan, sirkulasi, disabilitas, lingkungan

Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada

anak yang datang dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau anak yang

memiliki riwayat penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5

sampai 10 puffs menggunakan metered dose inhaler(MDI) dan diberikan setiap 20

menit sampai sesak nafas dan wheezing berkurang. Pada bayi yang belum bisa

menggunakan MDI dapat diberikan nebulisasi salbutamol 2,5-5 mg per dosis.

2.7.9 Glukagon

Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan lama dengan beta blocker

dan mengalami syok anafilaksis dapat terjadi hipotensi yang persisten walaupun

telah mendapatkan epinefrin. Pada keadaan ini glukagon dapat diberikan untuk

mengembalikan fungsi kardiovaskular. Glukagon diberikan dengan dosis 20-30

µg/kgBB selama 5 menit (maksimal 1 mg) dilanjutkan dengan infus glukagon

secara kontinyu mulai dari kecepatan 5-15 µg/kgBB/menit.13

Tabel 4. Obat-Obatan Yang Digunakan Dalam Anfilaksis

Obat dan Rute Waktu dan Frekuensi Pemberian Dosis (dosis maksimal)Pemberian

Epinefrin (1:1000) Segera, kemudian tiap 5-15 menit 0,01 mg/kgBB (0,5 mg)IM selama diperlukan

1 kali perhari 6 bulan-2 tahun: 2,5 mgSetirizin (PO) 2-5 tahun: 2,5-5 mg

>5 tahun: 5-10 mgTiap 4-6 jam 1 mg/kgBB/dosis (50 mg)

Difenhidramin IM/IV Tiap 8 jam 1 mg/kgBB/dosis (50 mg)Ranitidin PO/IV Tiap 6 jam 1mg/kgBB PO (75 mg) atauPrednison PO atau 1 mg/kgBB IV (125 mg)Metilprednisolon IV Tiap 20 menit atau selama masih 5-10 puffs dengan MDI atauSalbutamol ada gejala respiratorik (wheezing 2,5-5 mg dengan nebulisasi

atau sesak nafas)Tiap 20 menit s/d 1 jam apabila 2,5-5 ml

Nebulisasi epinefrin masih ada gejala obstruksi salurannafas atas (stridor)Infus kontinyu pada hipotensi 0,1-1 µg/kgBB/menit

Epinefrin IV (10µg/menit)Bolusdiikutidenganinfus 20-30 µg/kgBB bolus (1

Glukagon IV kontinyu mg), lalu infus 5-15µg/kgBB/menit

13

Page 14: Refer at Edited

Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Syok Anafilaktik

14

Page 15: Refer at Edited

Jamin jalan napas bebas RINGAN Keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pajanan.

SEDANG semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat anxietas dan gatal-gatla juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.

BERAT Awitan sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala sedang disertai bronkospasme, edema laring, dispnea berat dan sianosis. Dapat diiringi disfagia, kram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible

Lokasikan tempat yang kena racun

Pasang ikatan proksimal bila tempat tsb suatu ekstremitas

Adrenalin 0,3 – 0,5 ml lar 1 : 1000 lokal ke dalam tempat tsb

Tambahkan oksigen

Adrenalin 0,3 – 0,5 ml lar 1 : 1000 subkutan (ringan) atau intravena (berat)

Aminofilin 5 – 6 mg / kg iv dosis pertama, kemudian : 0,4 – 0,9mg/kg jam iv (untuk bronkospasme yg menetap) Pertahankan kadar serum pada 10-20 mcg/kg

Cairan (gunakan derajat hemokonsentrasi sebagai penutntun)

Pemantauan hemodinamik (tekanan arterial dan pengisian jantung, curah jantung)

Cairan

Pengobatan inotropik positif menurut variabel hemodinamik

Zat vasoaktif

Bantuan hidup dasar dan lanjut sesuai metoda dan pengobatan konvensional Henti Jantung Paru (standar ACLS )

Gambar 3. Tatalaksana Syok Anafilaktik Berdasarkan Derajat

15

Page 16: Refer at Edited

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum

diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi. reaksi hipersensitivitas yang

merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik. Anafilaksis

paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal baru menjadi berat tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat

keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada

satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit,

mata, susunan saraf pusat, dan sistem saluran kencing dan sistem yang lain. Pada pasien

dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar

dengan allergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis, maka American

Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. Kriteria

pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)

dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya dan salah satu dari

respiratory compromise dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan

disfungsi organ sasaran. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala yang terjadi secara

mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut, yaitu keterlibatan

jaringan mukosa kulit, respiratory compromise, penurunan tekanan darah atau gejala yang

berkaitan dengan disfungsi organ sasaran dan gejala gastrointestinal yang persisten.

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang

diketahui beberapa menit hingga beberapa jam.

Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai dan

mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan juga upaya pencegahan

terjadinya alergi obat kembali. Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit

karena biasanya penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua

obat yang diberikan diupayakan dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang

perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan

obat lain.

DAFTAR PUSTAKA16

Page 17: Refer at Edited

1. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007

2. Mangku, G. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan ReanimasiFK UNUD/RSSanglah, Denpasar. 2007.

3. Lane, Roni dan R.G Bolte. Pediatric Anaphylaxis. Pediatric Emergency Care. 2007.4. Anonim, Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 (Diakses tanggal 9 oktober

2015) dari URL: www.emedicine.com.5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ. Vol 316. 1998.6. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergy Immunology

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah: Denpasar. 2003.7. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms of Drug Hypersensitivity (Urticaria,

Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N Am. 2010.8. Rubio M, Bousquet P, Gomes E, Romano A, Demoly P. Results of drug hypersensitivity

evaluations in a large group of children and adults. Clinical & Experimental Allergy. 2011.9. Demoly P, Viola M, Gomes E, Romano A. Epidemiology and Causes of Drug

Hypersensitivity. Karger. 2007.10. Akib A, Takumansang D, Sumadiono, CD S. Alergi obat. Dalam: Akib A, Munasir Z,

Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Edisi 2. Jakarta: BP IDAI; 2008.

11. Mirakian R, Ewan P, Durhamw S, Youltenz L, Dugu P, Friedmannz P, dkk. BSACI Guidelines For The Management of Drug Allergy. Clinical and Experimental Allergy. 2008.

12. Brown A. Current management of anaphylaxis. Emergencias. 2009.13. Longecker, DE.Anaphylactic reaction and Anesthesia dalan \anesthesiology. Chapter8.

2008.

17