mkn vol 40 no 3 september 2007 - copy

91
dari redaksi PENGANTAR REDAKSI Dalam suasana lebaran kali ini, tim Redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H bagi para pembaca Majalah Kedokteran Nusantara. Setulus hati kami mohonkan maaf lahir dan batin. Satu hal yang tidak terpisahkan dari lebaran adalah liburan panjang. Setelah menikmati libur panjang, selayaknya kita kembali bekerja dengan semangat baru, seperti halnya baterai yang baru diisi ulang. Seperti biasa, terbitan kali ini MKN juga menyajikan karangan asli, tinjauan pustaka, dan laporan kasus. Kami mengharapkan terbitan ini dapat turut menambah semangat para pembaca dan menyegarkan kembali gairah keilmuan kita seteah cukup lama beristirahat. Salam. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 ii

Upload: octafiandra-yorie

Post on 28-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

majalah kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

2

dari redaksi

PENGANTAR REDAKSI

Dalam suasana lebaran kali ini, tim Redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H bagi para pembaca Majalah Kedokteran Nusantara. Setulus hati kami mohonkan maaf lahir dan batin.

Satu hal yang tidak terpisahkan dari lebaran adalah liburan panjang. Setelah menikmati libur panjang, selayaknya kita kembali bekerja dengan semangat baru, seperti halnya baterai yang baru diisi ulang.

Seperti biasa, terbitan kali ini MKN juga menyajikan karangan asli, tinjauan pustaka, dan laporan kasus. Kami mengharapkan terbitan ini dapat turut menambah semangat para pembaca dan menyegarkan kembali gairah keilmuan kita seteah cukup lama beristirahat. Salam.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 ii

Page 2: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

3

Page 3: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

4

petunjuk untuk penulis Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun

terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 iv

Page 4: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

5

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007

Page 5: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

6

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

i Dari Redaksi

ii

Petunjuk untuk Penulis

iv Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI 1. Difference of Sleep Pattern between Ward and Outpatient Clinic Nurses in Haji Adam

Malik Hospital Medan Zuraini, Aldy S. Rambe, dan Darulkutni Nasution

160

2. Ekspresi Protein p53 Mutan pada Karsinoma Nasofaring Delfitri Munir, Ramsi Lutan, Mangain Hasibuan, dan Fauziah Henny

167

3. Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis Alas Plasenta pada Preeklampsia/Eklampsia dan Kehamilan Normotensif Joko S. Lukito dan Puspa Dewi

173

4. Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari pada Kelompok Retardasi Mental dan Kelompok Normal Sufitni

180

5. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak dan Peran Pemeriksaan Ekokardiografi Abdullah Afif Siregar

192

TINJAUAN PUSTAKA

6. Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbid Harun Alrasyid

203

7. Update in Management of Acute Spontaneous Intracerebral Haemorrhage Aldy S. Rambe

211

8. Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Tri Widyawati

216

9. Olahraga pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Amira Permatasari Tarigan

223

LAPORAN KASUS

10. Myelitis Transversalis Luhu A. Tapiheru, Puji Pinta O. Sinurat, dan Kiking Ritarwan

230

11. Gen HLA-DRB1 pada Karsinoma Nasofaring Suku Batak Delfitri Munir

237

12. Frontotemporal Dementia Filemon Tarigan, Aldy S. Rambe, dan Hasan Sjahrir

241

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 40 No. 3 September 2007 ISSN: 0216-325X

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 vi

Page 6: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

7

Page 7: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 160

Difference of Sleep Pattern between Ward and Outpatient Clinic Nurses in Haji Adam Malik Hospital Medan

Zuraini, Aldy S. Rambe, dan Darulkutni Nasution

Department of Neurology, Medical Faculty University of Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital, Medan, Indonesia

Abstract: Background and Objective: Sleep and wake have a cycle known as circadian rhythm. Characteristic of human circadian system is activity in daytime and sleep in night time. Sixty to seventy percent of night shift workers had experienced sleep disturbance. The objective of this study is to determine the difference of sleep pattern between ward and outpatient nurses at Haji Adam Malik Hospital Medan. Methods: A cross sectional study, conducted in Haji Adam Malik Hospital Medan between January–April 2005. Sample was taken randomly, consisted of 120 nurses of ward and 62 nurses of outpatient clinic at Haji Adam Malik Hospital Medan. Chi-Square test was used for statistical analysis. Results: Sixty nurses (50.4%) of the ward had sleep time less than 6 hours. Sleep latent period over 30 minutes was found in 16 nurses (13.4%) and day time sleepiness was found in 90 nurses (75.0%). While in outpatients clinic, 26 nurses had sleep time less than 6 hours(41.3%), 3 nurses had sleep latent period more than 30 minutes (4.8%) and 43 nurses had daytime sleepiness (69.4). Conclusions: There is no significant difference of sleep pattern between nurses in ward and outpatient clinics at Haji Adam Malik Hospital Medan. Keywords: sleep pattern, circadian rhythm INTRODUCTIONS

Sleep is an active and complex state comprising four stages of non rapid eye movement (NREM) sleep and rapid eye movement (REM) sleep. Wakefulness and sleep stage are characterized by physiologic measures that are assessed by polysomnography.1,2,3

Stage 1 sleep is characterized by a low-voltage, mixed frequency EEG and slow, rolling eye movements. Reactivity to outside stimuli is decreased, and mentation may occur but is no longer reality-oriented. Stage 2 consists of moderate low-voltage back ground EEG with sleep spindles (bursts of 12-to 14-Hz activity lasting 0.5 to 2 seconds) and K-complexes (brief high-voltage discharge with an initial negative deflection followed by a positive component) heart and respiratory rates are regular and slightly slower. Stage 3 sleep consist of high-amplitude theta (5 to 7

Hz) and delta (1 to 3 Hz) frequencies, as well as interspersed K-complexes and sleep spindles. Stage 4 sleep is similar to stage 3, except that high–voltage delta waves make up least 50% of the EEG and sleep spindles are few or absent. Stage 3 and 4 are often combined and referred as to delta sleep, slow-wave sleep, or deep sleep. During this deeper sleep, heart and respiratory rates are slowed and regular. During NREM sleep, the tonic chin EMG is of moderately high amplitude but less than of quite wakefulness.1,2,4

Sleepiness and wakefulness also have a daily cycle, referred to as a circadian rhythm. This basic biological rhythm is controlled within the brain by neural system called the biological clock, which is sensitive to daylight and darkness, but is slow to adjust to changes in routine. In general, sleepiness is greatest during darkness, especially late at night, and alertness is optimal during daylight, although

KARANGAN ASLI

Page 8: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 161

a secondary period of increased sleepiness occurs over the mid afternoon. The biological clock makes it difficult for people to sleep during the day and to remain awake during the night.5,6

It is uncertain how many hours a person needs to sleep, whereas total sleep time depends on age. Commonly, sleeping less than 6 hours a day can cause sleep deprivation.1,7

Approximately 20 to 25 percent of the working population is involved in some from of shift work.5 A wide range of important occupations is involved in shift work (e.g., doctors, nurses, police, fire-man, airline pilots, air-traffic controllers, diplomats, international business executive, radar operators, postal workers, long distance truck drivers, and others).1

No definitive studies have been done on the precise prevalence of problem sleepiness among shift workers, but in survey studies, about 60 to 70 percent of shift workers, complain of sleep difficulty or problem sleepiness. Physiological measures during stimulated late night shift hours indicate a degree of sleepiness that is considered severe and clinically pathological when present during the day. Clearly, excessive sleepiness is a major problem for shift workers, especially night shift 8 to 8.5 hours.5

The objective of this study is to determine the difference of sleep pattern between ward nurses who work with shift system and outpatient clinic nurses who work without shift system at H. Adam Malik Hospital Medan. MATERIAL AND METHODS

This is a cross sectional study, conducted in Haji Adam Malik Hospital Medan between January–April 2005. Ward nurses who did not work on shift and outpatient clinic nurses on shift work outside Haji Adam Malik Hospital Medan were excluded. One hundred and eighty two sample were eligible in this study, consist of 120 nurses of ward and 62 nurses of out patient clinic in Haji Adam Malik Hospital Medan. After getting information from us, questionnaire was given to them.

The questionnaire was adapted from a study that conducted by Bruni O, et al. (1997) in Rome. The questionnaire was in two sections, The first was to obtain demographic data about age, sex, and marital status. The second section was made up to 45 items. The items were grouped into eight

components (duration of night-time sleep, sleep latency, bedtime difficulties, sleep quality, night awakenings, nocturnal symptoms, morning symptoms, and daytime sleepiness). Evaluation was about sleep disorder experienced in the last 6 months.8

Statistical analysis was done using cross tabulation with chi-square test. Computerized using SPSS software, version 11.5. RESULTS

Of the eligible ward nurses, 114 (95%) were female, while in outpatient clinic nurses, 60 (96.8%) were female.

Of the 120 ward nurses, 106 (88.3%) participants were married, of 63 outpatient clinic nurses, 57 (91.9%) participants were married.

1. Duration of Night-Time Sleep

There was no significant difference between nurses who have duration of night-time sleep < 6 hours and > 6 hours in both ward and outpatient clinic nurses (p = 0.278) (Table 3).

2. Sleep Latency

There was no significant difference between nurses who have sleep latency < 30 minutes and > 30 minutes in both ward and outpatient clinic nurses (p = 0,076) (Table 4).

3. Sleep Quality

There was no significant difference in bad sleep quality between ward and outpatient clinic nurses (p = 0.363) (Table 5).

4. Night-awakenings

There was no significant difference in more than two awakenings per night (p = 0.76) and difficulty falling asleep after awakenings (p = 0.179) between ward and outpatient clinic nurses (Table 5).

5. Daytime Sleepiness

There was no significant difference of daytime somnolence (p = 0,075), falling asleep in hospital (p = 0.724), and sleep attacks (p = 0.416) between ward and outpatient clinic nurses (Table 6).

There was no significant difference ward

nurses who have shift work for < 2 years and > 2 years who have daytime somnolence (p = 0.867), falling asleep in hospital (p = 0.489), and sleep attacks (p = 0.633).

Page 9: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Zuraini dkk. Difference of Sleep Pattern...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 162

Table 1. Demographic characteristic of samples

Ward Nurses Outpatient Clinic Nurses n % n %

Sex Male 6 5 2 3.2 Female 114 95 60 96.8 Status Married 106 88.3 57 91.9 Unmarried 14 11.7 5 8.1 Age < 30 years old 42 35 5 8.1 31–40 years old 71 59.2 40 64.5 41–50 years old 6 5 15 24.5 > 50 years old 1 0.8 2 3.2

Table 2. Prevalence of sleep disorders (presence more than 1/week)

Variable

Outpatient Ward Nurses Clinic Nurses P n (%) n (%)

BEDTIME PROBLEM 3 Reluctant to go bed 23(19.2) 6 (9.2) 0.97 4 Bedtime variations 48(40.0) 15(24.2) 0.34 5 Difficulty getting to sleep at night 31(25.8) 19(30.6) 0.491 6 Anxiety/fear when falling asleep 26(21.7) 5(8.1) 0.21 7 Drink stimulant beverages in the evening 16(13.3) 8(12.9) 0.95 8 Need for light or TV in the bedroom 66(55.0) 40(64.5) 0.17 9 Need for a transitional object 46(38.3) 21(33.9) 0.554 10 Fluids or drugs to facilitate sleep 7(5.8) 7(11.3) 0.19 11 Hypnic jerks 31(25.8) 19(30.6) 0.491 12 Rhythmic movement while falling asleep 18(15.0) 9(14.5) 0.931 13 Hypnagogic hallucinations 14(11.7) 8(12.9) 0.808 14 Falling asleep sweating 43(35.8) 19(30.6) 0.484 SLEEP QUALITY 15 Bad sleep quality 24(20.0) 9(14.5) 0.363 NIGHT AWAKENINGS 16 More than two awakenings per night 59(49.2) 29(46.8) 0.76 17 Waking up screaming in the night 21(17.5) 7(11.3) 0.271 18 Waking up to drink or eat in the night 39(32.5) 15(24.2) 0.245 19 Getting up to use the bathroom 88(73.3) 44(71.2) 0.735 20 Waking up complaining of headache 31(25.8) 19(30.6) 0.491 21 Waking up with leg cramps 44(36.7) 19(30.6) 0.418 22 Difficulty falling asleep after awakenings 61(50.8) 38(61.3) 0.179 NOCTURNAL SYMPTOMS 23 Nocturnal hyperkinesia 26(21.7) 7(11.3) 0.085 24 Unusual movement during sleep 16(13.3) 8(12.9) 0.95 25 Pains of unknown origin during sleep 31(25.8) 19(30.6) 0.491 26 Sleep breathing difficulties 14(11.7) 5(8.1) 0.451 27 Sleep apnea 13(10.8) 3(4.8) 0.176 28 Snoring 44(36.7) 19(30.6) 0.418 29 Night sweating 39(32.5) 17(24.4) 0.482 30 Sleepwalking 1(0.8) 2(3.2) 0.230 31 Sleep talking 19(15.5) 6(9.7) 0.253 32 Bed-wetting 5(4.2) 4(6.4) 0.50 33 Bruxism 20(16.7) 4(6.4) 0.054 34 Sleep terrors 15(12.5) 5(8.1) 0.365 35 Nightmares 44(36.7) 19(30.6) 0.418 36 Report of frightening dream 31(25.8) 19(30.6) 0.491 37 Convulsions during sleep 11(9.2) 5(8.1) 0.803 MORNING SYMPTOMS 38 Difficulty in waking up in the morning 31(25.8) 19(30.6) 0.491 39 Variation of waking time 59(49.2) 35(56.5) 0.351 40 Restless sleep 33(27.5) 13(21.0) 0.337 41 Sleep paralysis 13(10.8) 3(4.8) 0.176 42 Hallucinations on waking up in the morning 9(7.5) 4(6.5) 0.795 DAYTIME SLEEPINESS 43 Daytime somnolence 94(78.3) 41(66.1) 0.075 44 Falling asleep at school 17(14.2) 10(16.1) 0.724 45 Sleep attacks 90(75.0) 43(69.4) 0.416

Page 10: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 163

Table 3. Comparisons of duration of night-time sleep between ward and outpatient clinic nurses

Ward Nurses

n (%) Outpatient Clinic Nurses

n (%) P

< 6 hours 60 (50.4) 26 (41.9) 0.278 > 6 hours 59 (49.6) 36 (58.1)

Table 4. Comparisons of sleep latency between ward and outpatient clinic nurses

Ward Nurses

n (%) Outpatient Clinic Nurses

n (%) P

< 30 minute 104 (86.7) 59 (95.2) 0.076 > 30 minute 16 (13.3) 3 (4.8)

Table 5. Comparisons of sleep quality and night-awakenings between ward and outpatient clinic nurses

Ward Nurses Outpatient Clinic Nurses n % n %

P

Bad sleep quality 24 20.0 9 14.5 0.363 more than two awakenings 59 49.2 29 46.8 0.76 per night difficulty falling asleep 61 50.8 38 61.3 0.179 after awakenings

Table 6. Comparisons of daytime sleepiness between ward and outpatient clinic nurses

Ward Nurses Outpatient Clinic Nurses n % n %

P

Daytime somnolence 94 78.3 41 66.1 0.075 Falling asleep at hospital 17 14.2 10 16.1 0.724 Sleep attacks 90 75.0 43 69.4 0.416

Table 7. Comparisons of daytime sleepiness between ward who have shift work < 2 years and > 2 years

< 2 years > 2 years n % n %

P

Daytime somnolence 12 80 82 87.1 0.867 Falling asleep at hospital 3 20 14 13.3 0.489 Sleep attacks 12 80 78 74.3 0.633

Page 11: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Zuraini dkk. Difference of Sleep Pattern...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 164

DISCUSSIONS Shift work sleep disorder consists of

symptoms of insomnia or excessive sleepiness that occur as transient phenomena in relation to work schedules.9

Insomnia is defined as a sleep latency of greater than 30 minutes and less than 6 hours of sleep per night.10

The prevalence depends on the prevalence of shift work in the population. It appears that most individuals experience sleep difficulties after a night shift. Depending on which country is considered between 5% and 8% of the population is exposed to night work on regular or irregular basis. Thus, the prevalence of shift work sleep disturbance of 2% to 5% may be a reasonable estimate. These figures however, do not involve individual with early morning work, which may compressed another group at risk.9

The work is usually scheduled during the habitual hours of sleep (i.e., shift work-rotating or permanent shifts), roster work, on irregular work hours. The sleep complaint typically consists of an inability to maintain a normal sleep duration when the major sleep episode is begun in the morning (6 a.m. to 8 a.m.) after a night shift. The reduction in sleep length usually amounts to one to four hours (mainly affecting REM and stage 2 sleep). Subjectively, the sleep period is perceived as unsatisfactory and unrefreshing. The insomnia appeared despite the patient’s attempts to optimize environmental conditions for sleep. The condition usually persists for the duration of the work-shift period. Early morning work shift (starting between 4 a.m. and 7 a.m.) may also be associated with complaints of difficulty in sleep initiation as well as difficulty in awakening. Work on permanent evening shift can be associated with difficulties initiating the major sleep episode. Excessive sleepiness usually occurred during shift (mainly night) and was associated with the need to nap and impaired mental ability because of the reduced alertness.9

Problem sleepiness in shift workers is due to both sleep reductions and night time working. These come about by the failure of the unadjusted circadian system to prepare shift workers for a restful, uninterrupted bout of refreshing sleep, and the problem is amplified by the demands and distractions of a

day-oriented society. Even in those whose sleep is adequate, however, sleepiness will still occur during the night shift and on the drive home from evening shift because of the natural cycles of sleepiness driven by the circadian system or daily biological clock. Whatever countermeasures are used to improve sleep, sleepiness from this latter cause will be present until the usually slow process of resetting the timing of the clock occurs.5

No know anatomic or biochemical pathology has been described. The condition is directly related to circadian interference with sleep during the morning and evening, which conflicts with the shift workers need to sleep at these times. The excessive sleepiness during night work appears to be partly related to the lack of sleep and partly related to the conflict between requirement of working at night and the circadian sleepiness propensity during the night hours.9

Survey studies of shift workers indicate that they report an average of about 1 hours less sleep per 24 hours (i.e., about 7 hours less sleep per week) than their day-working counterparts. Physiological measures during stimulated late night shift hours indicate a degree of sleepiness that is considered severe and clinically pathological when present during the day.5

In this study there was no significant difference of sleep pattern including duration of night-time sleep (p=0.278), sleep latency (p=0.076), sleep quality (p = 0.363), more than two awakening per night (p=0.76), difficulty falling asleep after awakenings (p=0.179), daytime somnolence (p=0.075), falling asleep at hospital (p=0.724) and sleep attacks (p=0.416) sleep between nurses in ward and outpatient clinic. These findings were not in accordance with the result of previous study. This was probably due to lack of samples and the regular rotating shift system (i.e., alternate week of night and day shift) so that circadian rhythm was not constantly impaired.

Study conducted by Kawada and Suzuki about monitoring sleep hours using a sleep diary and errors in rotating shift workers, they found a significant difference in the mean length of sleep was observed for each of the three shifts. Compared with the morning shift, the length of sleep for workers working

Page 12: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 165

evening and night shift were significantly longer.11

Harma et al., did a research about the effect of an irregular shift system on sleepiness at work in train drivers and railway traffic controllers. Severe sleepiness was reported in 49% (train drivers) and 50% (railway traffic controllers) of the night shift and in 20% (train drivers) and 15% (railway traffic controllers) of the morning shift. The risk for severe sleepiness was 6–14 times higher in the night shift an about twice as high in the morning shift compared with the day shift.12

Study conducted by Sallinen et al. toward train drivers and traffic controllers found that the risk for dozing off during the shift was associated only with the shift length, increasing by 17 and 35% for each working hour in the morning and the night shift. The result demonstrate advantageous and disadvantageous shift combinations in relation to sleep and make it possible to improve the ergonomic of irregular shift systems.13

In this study there is no significant difference between ward nurses who have shift work for < 2 years and > 2 years who have daytime somnolence (p = 0.867), falling asleep at hospital (p = 0.489), and sleep attacks (p = 0.633).

There was also no significant difference in other sleep disturbances (bedtime problems, nocturnal symptoms and morning symptoms) between ward nurses and outpatient clinics nurses. CONCLUSIONS

In this study there was no significant difference of sleep pattern including duration of night-time sleep, sleep latency, sleep quality, more than two awakening per night, difficulty falling asleep after awakenings, daytime somnolence, falling asleep at hospital and sleep attacks sleep between nurses in ward and outpatient clinic.

To obtain a better result, a further study with large sample is needed.

REFERENCES 1. Fry JM. Sleep Disorder. In: Rowland LP,

editors. Merritt’s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 839-46.

2. Adam and Victor’s. Principles of Neurology. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.

3. Mahowald MW. Disorder of Sleep and Arousal. In. Rizzo M, Eslinger PJ, editors. Principles and Practice of Behavioral Neurology and Neuropsychology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2004. p. 701-14.

4. Dinner DS. Physiology of Sleep. In: Levin KH, Lüders HO, editors. Comprehensive Clinical Neurophysiology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000. p. 589–96.

5. National Center on Sleep Disorders Research and Office of Prevention, Education and Control. Working Group Report on Problem Sleepiness. Philadelphia: National Institute of Health; 1997.

6. Winkelman JW, Fogel RB. Sleep Disorders. In: Samuaels MA, editors. Manual of Neurologic Therapeutics. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 93–104.

7. Lumbantobing SM. Gangguan Tidur. Jakarta: FK-UI; 2004.

8. Bruni O, Fabrizi P, Ottaviano S, Cortesi F, Giannotti F, Guidetti V. Prevalence of sleep disorders in childhood and adolescence with headache: a case-control study. Cephalalgia 1997; 17: 492–8.

9. America Academy of Sleep Medicine. The International Classification of Sleep Disorders, Revised: Diagnostic and Coding Manual. Chicago: America Academy of Sleep Medicine; 2001.

10. Rye DB. Sleep Disorders. In: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current Therapy In Neurologic Disease. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002. p. 12–21.

11. Kawada T, Suzuki S. Monitoring Sleep Hours Using a Sleep Diary and Errors in Rotating Shift Workers. Psychiatry and Clinical Neurosciences 2002; 56: 213–214.

Page 13: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Zuraini dkk. Difference of Sleep Pattern...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 166

12. Harma M, Sallinen M, Ranta R, Mutanen P, Muller K. The Effect of an Irregular Shift System on Sleepiness at Work in Train Drivers and Railway Traffic Controllers. Journal Sleep Research 2002; 11: 141–51.

13. Sallinen M, Harma M, Mutanen P, Ranta R, Virkkala J, Muller P. Sleep-wake rhythm in an irregular shift system. Journal Sleep Research 2003; 12: 103-12.

14. Marquie JC, Foret J. Sleep, age, and shift work experience. Journal Sleep Research 1999; 8: 297–304.

15. Inoue Y, Hiroe Y, Nishida M, Shirakawa S. Sleep Problems in Japanese industrial worker. Psychiatry and Clinical Neurosciences 2000; 54: 294-95. (Abstract).

Page 14: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 167

Ekspresi Protein p53 Mutan pada Karsinoma Nasofaring

Delfitri Munir, Ramsi Lutan, Mangain Hasibuan, dan Fauziah Henny Departemen Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Salah satu faktor penyebab karsinoma nasofaring adalah terjadinya inaktifasi dari gen supressor p53 yang menyebabkan terbentuknya protein p53 mutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi protein p53 mutan pada karsinoma nasofaring. Penelitian dilakukan secara cross sectional study dan bersifat deskriptif analitik, di Departemen THT-KL FK-USU/ SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan sejak Maret sampai Desember 2005. Sampel diambil secara non-probability consecutive sampling. Semua kasus suspek KNF dilakukan biopsi nasofaring, dan dilakukan pewarnaan imunohistokimia untuk melihat granul coklat pada inti sel yang menandakan ekspresi protein p53 mutan. Disimpulkan bahwa ekspresi protein p53 mutan pada karsinoma nasofaring sebesar 76,5% dan terbanyak ditemukan pada jenis karsinoma tidak berdifferensiasi yaitu 50%. Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis histopatologi, stadium tumor, umur, dan jenis kelamin dengan ekspresi protein p53 mutan. Kata kunci: protein p53 mutan, imunohistokimia, karsinoma nasofaring

Abstract: One of the causal factors for nasopharyngeal carcinoma is inactivity of p53 tumor supressor gene, that it produces protein p53 mutant. This study aims to know how the expression of protein p53 mutant at nasopharyngeal carcinoma. Study design is a descriptive analytic cross sectional study. The samples are consecutive sampling since March-December 2005 in the Otorhinolaryngology Department of Adam Malik Hospital, Tembakau Deli Hospital and dr Pirngadi Hospital Medan. All of the suspicious nasopharyngeal carcinoma were undergone nasopharyngoscopy biopsy, then we performed Immunostaining to analyze the presence of brown granular in nuclear that signs of expression of protein p53 mutant. The conclutions are the expression of protein p53 mutant in nasopharyngeal carcinoma was 76,5% and the most cases was found in undifferentiated carcinoma type was 50%. No significant correlations between histopatological type, tumor stadium, age and sex with the expression of protein p53 mutant. Keywords: protein p53 mutant, immunostaining, nasopharyngeal carcinoma PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan. Di Indonesia, 60% tumor ganas kepala leher adalah KNF dan menduduki urutan kelima dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening, dan kulit.1 Di Amerika dan Eropa, prevalensi KNF sangat sedikit yaitu 0,5 per 100.000 penduduk per tahun dan hanya 1–2% dari seluruh tumor ganas kepala dan leher. Sebaliknya China Selatan dan Hongkong memiliki prevalensi KNF yang tinggi yaitu 50 per 100.000 penduduk per tahun.2

Kesulitan diagnosa dini pada KNF sampai saat ini masih tetap merupakan masalah besar. Hal ini disebabkan oleh karena gejala penyakit yang tidak khas dan letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Di samping itu pemeriksaan serologi dan histopatologi yang belum memadai seperti perwarnaan immunohistokimia serta hampir seluruh penderita datang pada stadium lanjut. Pada penelitian Soetjipto (1993), hanya 0,9–2,9% penderita yang datang pada stadium dini. Keadaan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan KNF belum memberikan hasil yang memuaskan.3

Page 15: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Delfitri Munir dkk. Ekspresi Protein p53 Mutan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 168

Gen supressor tumor p53 bermutasi pada 50% tumor-tumor manusia di berbagai organ tubuh, dan dianggap sebagai gen yang paling sering bermutasi pada tumor ganas manusia.4 Pada tumor ganas kepala leher dijumpai mutasi gen supressor p53 sebanyak 60% dan dapat ditemukan pada lesi pre malignant. Overekspresi protein p53 mutan mempunyai hubungan erat dengan meningkatnya insiden tumor primer dan dapat dijadikan marker untuk stadium molekuler dari tumor ganas kepala leher. Overekspresi protein p53 mutan dapat memprediksi kekambuhan tumor dan respons tumor terhadap neoadjuvant kemoterapi pada tumor ganas kepala leher.5

Berdasarkan penelitian Effert dkk. (1992) dijumpai bahwa KNF yang terjadi oleh karena proliferasi klon p53 sel epitel diawali dengan infeksi Epstein-Barr Virus dan dapat menyebabkan mutasi p53 sehingga menghilangkan fungsi p53 wild supressor yang kemudian berlanjut pada proses keganasan pada nasofaring.6

Penyebab KNF masih belum diketahui dengan pasti tetapi diduga oleh karena faktor kelainan genetik dan faktor lingkungan. Faktor kelainan genetik seperti adanya genotype HLA-A2 dan HLA Bsin2 pada penduduk China Selatan, adanya beberapa kromosom yang abnormal dan adanya gen supressor tumor yang inaktif. Faktor lingkungan dapat berupa infeksi Epstein-Barr Virus, radiasi, ikan asin yang mengandung nitrosamin, makanan yang diawetkan dan kontak dengan zat-zat karsinogen.7

Dengan perkembangan teknik biologi molekuler akhir-akhir ini maka dapat menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya proses keganasan adalah kegagalan atau inaktifasi dari gen supressor tumor p53. Gen supressor tumor p53 adalah gen resesif pada kromosom 17 lengan pendek p53 yang bekerja pada alel type wild dan berfungsi menghambat pertumbuhan dan diferensiasi sel sehingga mencegah timbulnya transformasi sel yang mengarah kepada keganasan. Jika terjadi kerusakan atau mutasi dari gen supressor tumor p53 yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan maka terbentuklah protein p53 mutan yang tidak stabil dan tidak menghambat fase G1 ke S sehingga kerusakan-kerusakan sel tidak dapat diperbaiki. Akibatnya sel yang rusak terus

berdiferensiasi dan menyebabkan timbulnya proses keganasan pada sel epitel yang melapisi nasofaring.4,8,9

Berdasarkan keinginan untuk memahami peran gen supressor tumor p53 inaktif sebagai salah satu faktor penyebab KNF melalui pemeriksaan immunohistokimia, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ekspresi protein p53 mutan pada KNF. BAHAN DAN CARA

Penelitian ini dirancang secara cross sectional study yang bersifat deskriptif analitik. Pengumpulan dan pengambilan data dilakukan di Poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan/FK-USU, RS Tembakau Deli dan RSUD dr. Pirngadi Medan. Pemeriksaan immunohistokimia dilakukan di Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

Seluruh penderita yang dicurigai menderita KNF berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian ini. Kriteria inklusi adalah penderita KNF yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan hasil biopsi histopatologi, baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok umur. Kriteria eksklusi adalah penderita KNF yang sudah pernah mendapat pengobatan dengan radiasi atau kemoterapi.

Semua penderita yang memiliki gejala dan tanda yang sesuai untuk KNF dilakukan pemeriksaan aspirasi biopsi jarum halus pada penderita dengan pembesaran kelenjar getah bening untuk membuktikan adanya suatu metastase karsinoma. Selanjutnya dilakukan biopsi terhadap jaringan di nasofaring melalui kavum nasi dengan menggunakan Blakesley nasal forceps lurus, dengan tuntunan Rigid nasal endoskopi 4 mm dengan sudut 00 atau 300. Pada sampel yang hasil pemeriksaan biopsinya menunjukkan keganasan, dibuat blok parafin dan selanjutnya dilakukan pewarnaan secara immunohistokimia untuk melihat ekspresi protein p53 mutan.

Pemeriksaan immunohistokimia p53 menggunakan teknik Biotin–Streptavidine Amplied (B-SA) dengan antibodi primer tipe monoclonal yang berasal dari mouse igG1 (Ab No. 240M). Karakteristik immunohistokimia yang digunakan adalah terdapatnya granul halus berwarna coklat pada inti sel yang

Page 16: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 169

menunjukkan adanya p53 bentuk mutant dalam jaringan tersebut.

Semua data yang terkumpul dalam status penelitian disajikan secara deskriptif dan disusun dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer program SPSS 10,0 for windows. Untuk menentukan hubungan kebermaknaan dilakukan uji chi-square test dan fisher’s exact test.

HASIL

Pada penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret sampai Desember 2005 terkumpul sampel sebesar 34 seperti pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 diketahui bahwa penderita KNF terbanyak baik laki-laki maupun

perempuan dijumpai pada kelompok umur 41–50 tahun yaitu 15 sampel (44,1%) dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 74 tahun. Umur rata-rata dijumpai pada 45,47 ± 12,25, sedangkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,4:1.

Dari Tabel 2 dijumpai jenis histopatologi terbanyak pada penderita KNF adalah karsinoma tidak berdiferensiasi yaitu 16 sampel (47,1%).

Dari Tabel 3 terlihat bahwa semua pasien datang pada stadium lanjut (100%) dan tidak dijumpai stadium dini.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa hasil ekspresi protein p53 mutan yang positif pada penderita KNF adalah 26 sampel (76,5%).

Tabel 1. Distribusi penderita KNF berdasarkan umur dan jenis kelamin (n=34)

Laki-Laki Perempuan Total Umur (Th) n % N % n % 11–20 21–30 31–40 41–50 51–60 61–70 71–80

1 3 3 11 5 -

1

4,2

12,5 12,5 45,8 20,8

- 4,2

- 2 - 4 3 1 -

-

20 -

40 30 10 -

1 5 3

15 8 1 1

2,9

14,7 8,8 44,1 23,5 2,9 2,9

Total 24 100,0 10 100,0 34 100,0

Mean = 45,47 SD = 12,25 Tabel 2. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi (n=34)

Jenis Histopatologi n %

Karsinoma tidak berdiferensiasi Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

16 14 4

47,1 41,2 11,6

Total 34 100,0 Tabel 3. Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium (n=34)

Stadium N % - III - IV

17 17

50,0 50,0

Total 34 100,0 Tabel 4. Distribusi penderita KNF berdasarkan hasil p53 mutan (n=34)

Hasil p53 Mutan n % p53 mutan (+) p53 mutan (-)

26 8

76,5 23,5

Total 34 100,0

Page 17: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Delfitri Munir dkk. Ekspresi Protein p53 Mutan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 170

Tabel 5. Hubungan jenis hispatologi dengan eskpresi protein p53 mutan

p53 (+) P53 (-) Total x2 p Jenis Hispatologi N % n % n %

- Karsinoma tidak berdiferensiasi - Karsinoma sel skuamosa tanpa

keratinisasi - Karsinoma sel skuamosa

13

11

2

50,0

42,3

7,7

3

3

2

37,5

37,5

25,0

16

14

4

47,1

41,2

11,8

1,795

0,408

Total 26 100,0 8 100,0 34 100,0 Tabel 6. Hubungan stadium dengan ekspresi protein p53 mutan

p53 (+) p53 (-) Total p* Stadium

n % n % N % - III - IV

13 13

50,0 50,0

4 4

50,0 50,0

17 17

50,0 50,0

1,000

Total 26 100,0 8 100,0 34 100,0 * Fisher`s Exact Test Tabel 7. Hubungan jenis kelamin dengan ekspresi protein p53 mutan

P53 (+) p53 (-) Total p* Jenis Kelamin

N % n % n % - Laki-laki - Perempuan

18 8

69,2 30,8

6 2

75,0 25,0

24 10

70,6 29,4

1,000

Total 26 100,0 8 100,0 34 100,0 * Fisher`s Exact Test

Dari Tabel 5 terlihat bahwa karsinoma tidak berdiferensiasi merupakan jenis hispatologi yang paling sering dijumpai p53 mutan (+) sebanyak 13 sampel (50%). Dengan uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0.408 atau p > 0,05, berarti pada penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis hispatologi dengan ekspresi protein p53 mutan.

Pada Tabel 6 dijumpai p53 mutan pada stadium III sebanyak 13 sampel (50%) dan pada stadium IV sebanyak 13 sampel (50%). Dengan uji statistik fisher`s exact test diperoleh nilai p = 1,000 atau p > 0,05, berarti pada penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara stadium tumor dengan ekspresi protein p53 mutan.

Dari Tabel 7 terlihat bahwa laki-laki lebih banyak menunjukkan ekspresi protein p53 mutan yaitu 18 sampel (69,2%), sedangkan perempuan 8 sampel (30,8%). Dengan uji statistik fisher`s exact test diperoleh nilai p = 1,000 atau p > 0,05 berarti pada penelitian ini

tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ekspresi protein p53 mutan.

PEMBAHASAN

Penderita KNF yang paling banyak pada penelitian ini baik laki-laki maupun perempuan terdapat pada kelompok umur 41–50 tahun yaitu 44,1% dari 34 sampel KNF yang diteliti. Hal ini sesuai dengan penelitian Lutan (2003) di RSUP H. Adam Malik Medan yang juga mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 41–50 tahun yaitu 40% dari 130 kasus.10

Penelitian lain yang juga hampir sama mendapatkan kelompok umur 40-49 tahun yang terbanyak adalah Soetjipto (1989) di RSCM yaitu 26,71% dari 659 sampel, Muyassaroh (1999) di RSUP Dr. Kariadi Semarang 24,8% dari 141 sampel, dan Abdi (2005) di RSUP H. Adam Malik Medan juga mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun yaitu: 35,1% dari

Page 18: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 171

37 sampel.11,12,13 Dari semua penelitian di atas menunjukkan bahwa penderita KNF banyak terjadi pada dekade IV-V. Hal ini diduga bahwa pada dekade tersebut terjadi penurunan respons imun tubuh terhadap virus Epstein-Barr atau antigen tumor sendiri.

Pada penelitian ini didapatkan jumlah penderita KNF laki-laki 70,6% dan perempuan 29,4% dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2,4:1. Demikian juga pada beberapa penelitian lain mendapatkan laki-laki lebih banyak dari perempuan seperti penelitian Soetjipto (1989) di RSCM, Muyassaroh (1999) di RSUP Dr. Kariadi Semarang, Khabir (2000) di Tunisia dan Abdi (2005) di RSUP H. Adam Malik Medan.11,12,13,14 Dari semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering menderita KNF dibanding wanita, hal ini diduga oleh karena laki-laki lebih sering terpapar dengan zat karsinogen di tempat mereka beraktivitas.

Jenis histopatologi penderita KNF yang paling banyak dijumpai adalah karsinoma tidak berdiferensiasi sebanyak 47,1%. Hal ini hampir sama dengan yang didapatkan oleh Muyassaroh (1999) di RSUP Dr. Kariadi Semarang yaitu: 53,8% dari 38 sampel dan Abdi (2005) di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan 45,9% dari 37 sampel.12,13

Seluruh penderita KNF pada penelitian ini datang pada stadium lanjut yaitu stadium III dan IV masing-masing 50% dan tidak di jumpai pada stadium dini (stadium I dan II). Sama dengan beberapa penelitian lain yang juga menjumpai KNF 100% pada stadium lanjut seperti Muyassaroh (1999) di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari 39 sampel dan Zachreini (1999) di RSUP H. Adam Malik Medan dari 30 sampel.12,15 Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penderita KNF selalu datang pada stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada keluhan dan kesulitan menegakkan diagnosis dini baik dari gejala klinis yang tidak khas, letak tumor yang tersembunyi dan pemeriksaan serologi serta histopatologi yang belum memadai.

Pada penelitian ini dijumpai ekspresi protein p53 mutan pada penderita KNF sebesar 76,5%. Hampir sama dengan penelitian lain seperti Agaoglu (2004) di Turki yang mendapatkan ekspresi protein p53 mutan 85,5% dari 97 sampel, Khabir (2000)

di Tunisia 81% dari 69 sampel dan Mo (2004) di Guangdong 92,5% dari 80 sampel.14,16,17 Dari hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa ekspresi protein p53 mutan pada KNF lebih besar dibanding pada tumor-tumor ganas lain di mana ekspresi protein p53 mutan hanya 50%.4

Ekspresi protein p53 mutan paling banyak terdapat pada jenis karsinoma tidak berdiferensiasi yaitu: 50% dari 26 sampel. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian seperti Khabir (2000) di Tunisia yang mendapatkan ekspresi protein p53 mutan paling banyak pada jenis karsinoma tidak berdiferensiasi yaitu: 75% dari 55 kasus dan Yang (2000) di Korea sebanyak 71,1% dari 38 sampel.14,18 Dari analisa statistik tidak dijumpai hubungan bermakna antara jenis histopatologi dengan ekspresi protein p53 mutan (p > 0,05). Hal ini diduga bahwa penyebab terjadinya overekspresi protein p53 mutan oleh karena gabungan faktor genetik, virus, dan lingkungan.

Ekspresi protein p53 mutan paling banyak pada stadium III dan IV masing-masing 50% dari 26 kasus. Hal ini sesuai dengan penelitan Khabir (2000) di Tunisia mendapatkan eskpresi protein p53 mutan stadium III adalah 75% dan stadium IV sebanyak 100%. Demikian juga halnya dengan penelitian Cheng (2001) yang juga mendapatkan ekspresi protein p53 mutan pada stadium III adalah 92,9% dan stadium IV sebesar 100%.14,19 Berdasarkan analisis statistik tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara stadium dengan ekspresi protein p53 mutan (p > 0,05).

Pada penelitian ini di jumpai ekspresi protein p53 mutan pada laki-laki 69,2% dan pada perempuan 30,8% dari 26 sampel. Hal ini hampir sama dengan penelitian Khabir (2000) di Tunisia yang mendapatkan ekspresi protein p53 mutan pada laki-laki 70% dan perempuan 30% dari 69 kasus.14 Berdasarkan analisis statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ekspresi protein p53 mutan (p > 0,05). Hal ini di duga bahwa karakteristik kelamin penderita tidak mempengaruhi proses terjadinya keganasan. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekspresi protein p53

Page 19: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Delfitri Munir dkk. Ekspresi Protein p53 Mutan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 172

mutan dijumpai 76,5% dari 34 kasus, dengan jenis histopatologi terbanyak adalah karsinoma tidak berdiferensiasi 50% dan seluruh penderita KNF datang pada stadium lanjut (III–IV). Ekspresi protein p53 mutan paling banyak di jumpai pada kelompok umur 41–50 tahun yaitu 46,3% dan lebih banyak di jumpai pada laki-laki yaitu: 69,2%. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis histopatologi, stadium, umur, dan jenis kelamin dengan ekspresi protein p53 mutan (p > 0,05). DAFTAR PUSTAKA 1. Roezin A, Syafril A. Karsinoma

Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher. Edisi Ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2001. p. 146–50.

2. Cottrill CP, Nutting CM. Tumors at The Nasopharynx. In: Principles and Practice of Head and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 193–214.

3. Soetjipto D. Karsinoma Nasofaring Mungkinkah Melakukan Diagnosis Dini? Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PIT Perhati Bukit Tinggi 30 Oktober, 1993. p. 284-96.

4. Gangopadhyay SB. The Tumour Supressor Gene p53. In: Peters G, Vousden KH, ed. Oncogenes and Tumour Supressoors. Oxford: Oxford University Press; 1997. p. 261–91.

5. Irish IC. Molecular Biology. In: Principles and Practice at Head and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 18–29.

6. Effert P. Alterations of The p53 Gene in Nasopharyngeal Carcinoma. J. Virol 1992; 66(6): 3768–75.

7. Huang DP and Lo KW. Aetiological Factors and Pathogenesis. In: Hasselt CA and Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma, 2nd edition. Hongkong; The Chinese University Press; 1999. p. 31–50.

8. Sukardja IDG. Gen. Dalam: Onkologi Klinik. Edisi Ke-2. Surabaya: Airlangga University Press; 2000. p. 35–44.

9. Rotter V. Expression of The Wild Type p53 Tumor Supressor Gene in Normal Cells an Its Deregulation in Cancer Cells. In: Cancer Research and Therapy. Department of Molecular Cell Biology. Weizmann; 2000. p. 176–7.

10. Lutan R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Dalam: Perhati–KL. Buku Abstrak Kongres Nasional XIII. Bali. 14–16 Oktober. 2003. p. 16.

11. Soetjipto D. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Tumor Telinga Hidung Tenggorok. Diagnosis dan Penatalaksanaan. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta; 1989. p. 71–84.

12. Muyassaroh. Kelainan Neurologik pada KNF di SMF Kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 1996–1998. Dalam: Perhati. Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII Semarang: 1999. p. 132–9.

13. Abdi C. Hubungan Kelainan Neurologi dan Kerusakan Dasar Tengkorak pada Penderita Karsinoma Nasofaring (Tesis). Medan: FK-USU; 2005.

14. Khabir A. Contrasted Frequencies of p53 Accumulation in The Two Age Groups of North African Nasopharyngeal Carcinomas. In: Clinical Cancer Research. 2000; 6: p. 3932–36.

15. Zachreini I. Hubungan Virus Ebstein Barr dengan Karsinoma Nasofaring Secara Immunohistokimia (Tesis). Medan: FK-USU; 1999.

16. Agaoglu FY. p53 Overexpression in Nasopharyngeal Carcinoma. J. Vivo. 2004; 18(5): p. 555–60.

17. Mo HY. Expression of p53 and PCNA in Nasopharyngeal Carcinoma and Their Relation with Clinical Stage, VCA/IgA, EA/IgA, Radiation Sensibility, and Prognosis. J. Aizheng. 2004; (11): p. 1551–4.

18. Yang HJ. Association of p53 and BCL-2 expression with Epstein-Barr Virus Infection in The Cancers of Head and Neck. J. Wiley Interscience. 2000; p. 1002–89.

19. Cheng Q. Bcl-2, p53 expression and Epstein-Barr Virus Infection in Primary Nasopharyngeal. J Lin Chuang. 2001; 15(10). p. 455–7.

Page 20: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 173

Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis Alas Plasenta pada Preeklampsia/Eklampsia dan Kehamilan Normotensif

Joko S. Lukito dan Puspa Dewi

Departemen Patologi Anatomi, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Latar Belakang; Preeklampsia (PE) dan eklampsia (E) merupakan salah satu komplikasi pada kehamilan, persalinan maupun nifas yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Tingginya insidensi dan masih banyaknya faktor risiko serta masih belum sempurnanya pengelolaan menyebabkan prognosis yang buruk. Pemeriksaan histopatologi alas plasenta bertujuan untuk melihat perubahan yang terjadi pada arteri spiralis alas plasenta. Pada PE akibat invasi trofoblas gelombang kedua gagal atau tidak sempurna terjadi menyebabkan kelainan dari pembuluh darah tersebut yang berupa trombosis, proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika intima, trofoblas endovaskuler dan aterosis akut. Material dan metoda; Penelitian ini dirancang secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik, dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi/RSUP H. Adam Malik–RSUD dr. Pirngadi Medan dan pemeriksaan histopatologi dilakukan di Departemen Patologi Anatomi FK-USU selama bulan April 2001 sampai September 2001. Populasi penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok studi (PE/E) adalah seluruh ibu hamil dengan preeklampsi dan eklampsi yang memenuhi kriteria dan kelompok normotensif sebagai kontrol. Jaringan yang telah difiksasi lalu disimpan dalam lilin paraffin, selanjutnya diwarnai dengan Hematoksilin Eosin (HE) dan Periodic-Acid-Schiff (PAS). Hasil penelitian; Gambaran histopatologi trombosis pada kelompok PE/E dijumpai sebanyak 13 kasus dan normotensif tidak dijumpai, proliferasi subintima pada PE/E 16 kasus dan normotensif 1 kasus, deposit fibrin pada PE/E 8 kasus dan normotensif tidak dijumpai, hiperplasia tunika intima pada kelompok PE/E 20 kasus dan kelompok normotensif tidak dijumpai, trofoblas endovaskuler pada kelompok PE/E 37 kasus dan kelompok normotensif sebanyak 30 kasus, aterosis akut pada PE/E 18 kasus dan kelompok normotensif tidak dijumpai. Kesimpulan: Gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta yang dijumpai pada preeklampsia/eklampsia berupa trombosis, proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika media, trofoblas endovaskuler dan aterosis akut. Setelah dimasukkan ke dalam uji regresi logistik untuk menentukan variabel yang terpilih secara bersama-sama, maka didapatkan lima variabel yang sangat berpotensi terhadap terjadinya preeklampsia/eklampsia adalah hiperplasia tunika media, aterosis akut, deposit fibrin, trombosis dan proliferasi subintima. Kata kunci: histopatologi arteri spiralis alas plasenta, preeklampsia, normotensif Abstract: Objectives; Preeclampsia (PE) and eclampsia (E) is a complication in pregnancies and deliveries which increased mother and fetal morbidity and mortality rate. The high incidence and large amount of risk factors caused poor prognostic. Histopathology appearance from placental bed is examined in order to see the changes in spiral artery. In PE, the second wave trophoblast invasion failed and caused vascular changes. Materials and methods; This study is designed cross sectional, take place in Obstetrics and Gynecology Department/RSUP H.Adam Malik – RSUD dr. Pirngadi Medan and histopathology examination take place in Anatomical Pathology Department during April to September 2001. Study population consist of PE/E group and the normotensive group as control. After fixation, tissues are blocked in paraffin then stained with Hematoxillin Eosin (HE) and Periodic-Acid-Schiff (PAS).

Page 21: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Joko S. Lukito dkk. Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 174

Results; Histopathology finding of thrombosis in PE/E group are 13 cases and none in control, subintima proliferation are 16 cases in PE/E and 1 case in control, fibrine deposition are 8 cases in PE/E and none in control, tunica intima hyperplasia are 20 cases in PE/E and none in control. Endovascular trophoblast are 37 cases in PE/E and 30 cases in control, acute atherosis are 18 cases in PE/E and none in control. Conclusions; Histopathology appearance of spiral artery of placental bed in PE/E are thrombosis, subintima proliferation, fibrine deposition, tunica media hyperplasia and acute atherosis. Keywords: spiral artery histopathology, preeclampsia and normotensive LATAR BELAKANG

Preeklampsia (PE) dan eklampsia (E) merupakan salah satu komplikasi pada kehamilan, persalinan maupun nifas yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Tingginya insidensi dan masih banyaknya faktor risiko serta masih belum sempurnanya pengelolaan menyebabkan prognosis yang buruk.1

Di Indonesia PE/E masih merupakan salah satu penyebab utama dari kematian ibu dan prenatal yang tinggi. PE bertanggung jawab terhadap 30–40% kematian ibu dan 30–50% terhadap kematian perinatal.2 Angka kejadian PE berat dan E yang dilaporkan kepustakaan di dunia adalah berkisar 0–13%.3

Walaupun etiologi PE/E belum diketahui secara pasti, terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya penyakit ini, antara lain umur, paritas, keturunan, faktor genetik, diet, lingkungan, sosio-ekonomi, penyakit hipertensi kronis dan hiperplasentosis.3,4

Pada PE/E sering terjadi retardasi pertumbuhan janin dan bayi dismatur, bahkan dapat terjadi kematian janin dalam kehamilan. Terjadinya retardasi pertumbuhan janin diduga karena koagulasi intravaskular, deposit fibrin dan hipoperfusi darah ke plasenta yang dapat menyebabkan hipoksia kronis pada janin atau gangguan nutrisi janin.5,6

Untuk dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal pada PE/E ini, perlu diketahui penyebab dan patogenesisnya, yang hingga saat ini masih kontroversi.2 Dalam sepuluh tahun terakhir banyak perhatian patogenesis PE berkaitan dengan invasi trofoblas yang tidak sempurna, iskemia uterus/plasenta dan aktivasi sel-sel endotel maternal yang menyeluruh.7,8

Pemeriksaan histopatologi alas plasenta bertujuan untuk melihat perubahan yang

terjadi pada arteri spiralis alas plasenta. Pada PE akibat invasi trofoblas gelombang kedua gagal atau tidak sempurna terjadi menyebabkan kelainan dari pembuluh darah tersebut yang berupa trombosis, proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika intima, trofoblas endovaskuler dan aterosis akut.9,10

Kelainan arteri spiralis inilah diduga sebagai penyebab perfusi yang tidak adekuat dari darah ibu ke ruang intervillous. Hipoperfusi ini menyebabkan terjadinya maladaptasi plasenta yang dibuktikan dengan adanya infark plasenta.9-11

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian berupa adanya perbedaan gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta pada penderita PE/E dengan hamil normotensif pada kehamilan cukup bulan.

Pemikiran yang menjadi kerangka penelitian ini yaitu pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas pada pembuluh darah di bagian desidua. Invasi trofoblas gelombang pertama ini terjadi pada usia kehamilan 10–16 minggu. Pada usia kehamilan 22 minggu terjadi invasi trofoblas gelombang kedua, di mana sel-sel trofoblas memasuki arteri spiralis di lapisan desidua sampai ke lapisan miometrium. Lapisan otot dinding pembuluh darah tersebut digantikan oleh jaringan elastis, sehingga pembuluh darah berdilatasi mencapai 30 kali dari sebelum hamil. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis.5,7

Pada PE invasi trofoblas gelombang kedua tidak sempurna atau gagal terjadi. Dengan demikian lapisan otot tunika media pembuluh darah tetap sebagaimana biasa sehingga arteri spiralis tidak berdilatasi dan memungkinkan terjadinya vasokonstriksi. Pada keadaan ini perubahan fisiologis tidak terjadi. Akibat

Page 22: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 175

kegagalan invasi trofoblas ini akan terjadi perubahan pada arteri spiralis alas plasenta sehingga terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta. dan terjadi perubahan pada plasenta dan organ lainnya.5,7,12

Dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam menambah pengertian mengenai perbedaan gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta pada PE/E dengan kehamilan normotensif. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini dirancang secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik, dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi/RSUP H. Adam Malik – RSUD dr. Pirngadi Medan dan pemeriksaan histopatologi dilakukan di Departemen Patologi Anatomi FK-USU selama bulan April 2001 sampai September 2001.

Populasi penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok studi (PE/E) adalah seluruh ibu hamil dengan preeklampsi dan eklampsi yang memenuhi kriteria dan kelompok normotensif sebagai kontrol. Besar sampel kelompok (PE/E) adalah sejumlah ibu dengan PE/E selama kurun waktu tersebut di atas dan kelompok normotensif adalah ibu dengan tensi normal, yang dipilih secara acak sejumlah 30 orang yang terdaftar pada ruang rawat inap di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik – RSUD dr. Pirngadi Medan pada periode waktu yang sama dengan kelompok studi. MATERIAL DAN CARA KERJA

Setelah bayi lahir, plasenta diraba secara manual untuk mengetahui insersi dari plasenta lalu dilahirkan, dilanjutkan dengan kuretase alas plasenta. Hasil kuret dimasukkan ke dalam botol yang berisi formalin buffer 10%. Pemeriksaan histopatologi dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara. Jaringan yang telah difiksasi lalu disimpan dalam lilin paraffin, selanjutnya diwarnai dengan Hematoksilin Eosin (HE) dan Periodic-Acid-Schiff (PAS), diinterpretasi oleh dua orang ahli Patologi Anatomi untuk menghindari bias. Karakteristik histopatologi arteri spiralis yang dicari adalah trombosis,

proloferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika media, trofoblas endovakuler, aterosis akut.

Data yang terkumpul ditabulasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok PE/E dan kelompok normotensif (kelompok N) yang merupakan kelompok kontrol. Perbedaan kedua kelompok diuji dengan uji statistik Kai-Kwadrat (x2), Kai-Kwadrat Terkoreksi (X2-yate’s correction), uji T independent (t-test independence), uji Mutlak Fisher (Fisher’s exact test) dan uji Regresi Logistik. Dikatakan berbeda bermakna apabila p<0,05. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini didapatkan 52 peserta PE/E yang secara klinis memenuhi kriteria. Setelah dilakukan kuretase, ternyata 12 sediaan tidak cukup adekuat (tidak dijumpai arteri spiralis), sehingga jumlah kelompok PE/E hanya 40 peserta. Sebagai kelompok kontrol, diambil secara acak 30 peserta normotensif yang secara klinis memenuhi criteria dan ditemukan arteri spiralis pada sediaan preparat. Gambaran histopatologi yang dijumpai:

Tabel 1. Gambaran histopatologi pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Histopatologi

+ - + -

Trombosis 13 27 0 30 Prolif

Subintima 16 24 1 29

Deposit Fibrin 8 32 0 30 Hiper T Intima 20 20 0 30 Trof Endovas 37 3 30 0 Aterosis Akut 18 22 0 30

Gambaran histopatologi trombosis pada

kelompok PE/E dijumpai sebanyak 13 kasus dan normotensif tidak dijumpai, proliferasi subintima pada PE/E 16 kasus dan normotensif 1 kasus, deposit fibrin pada PE/E 8 kasus dan normotensif tidak dijumpai, hiperplasia tunika intima pada kelompok PE/E 20 kasus dan kelompok normotensif tidak dijumpai, trofoblas endovaskuler pada kelompok PE/E 37 kasus dan kelompok normotensif sebanyak 30 kasus, aterosis akut pada PE/E 18 kasus dan kelompok normotensif tidak dijumpai.

Page 23: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Joko S. Lukito dkk. Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 176

DISKUSI 1. Trombosis Tabel 2. Gambaran histopatologi trombosis pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Trombosis

n % n %

Total

+ 13 32,5 0 0 13 - 27 67,5 30 100,0 57

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2-Yate’s Correction (p= 0,00163)

Dari tabel di atas, didapatkan jumlah gambaran histopatologi trombosis pada kelompok PE/E adalah 13 kasus (32,5%) dan pada 27 kasus lainnya (67,5%) tidak dijumpai. Pada kelompok normotensif tidak dijumpai gambaran histopatologi trombosis (0%). Hasil di atas diuji dengan uji Kai-Kwadrat Terkoreksi (X2 – Yate’s Correction) dengan p=0,00163 (p<0,05). Secara statistik gambaran histopatologi trombosis pada kedua kelompok mempunyai perbedaan yang bermakna.

Ternyata hasil penelitian ini sedikit lebih banyak dari hasil penelitian Pijnenborg9 dkk. (1991). Mereka mendapatkan trombosis pada kelompok PE 3,57% (1 dari 28 kasus) dan pada kelompok normotensif kelainan ini tidak ditemukan. 2. Proliferasi Subintima Tabel 3. Gambaran histopatologi proliferasi subintima pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Proliferasi Subintima

n % n %

Total

+ 16 40,0 1 3,3 17 - 24 60,0 29 96,7 53

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2 (p= 0,0040)

Dari tabel di atas, didapatkan jumlah gambaran histopatologi proliferasi subintima pada kelompok PE/E sebanyak 16 kasus (40%) dari 40 kasus. Sedangkan pada kelompok normotensif ditemukannya gambaran histopatologi proliferasi subintima hanya pada 1 kasus (3,3%) dari 30 kasus. Hasil di atas diuji dengan menggunakan uji Kai-Kwadrat (X2) dengan p=0,00040 (p<0,05). Secara statistik hasil ini menunjukkan bahwa

gambaran histopatologi proliferasi subintima antara kelompok PE/E dan normotensif ada perbedaan bermakna. Hasil penelitian ini berbeda dari yang dilaporkan oleh Pijnenborg9 dkk. Mereka melaporkan adanya proliferasi subintima pada kelompok PE adalah 28,57% (8 dari 28 kasus) dan ditemukan 100% pada normotensif (6 dari 6 kasus). 3. Deposit Fibrin Tabel 4. Gambaran histopatologi deposit fibrin pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

Deposit Fibrin

PE/E N Total

n % n % + 8 20,0 0 0 8 - 32 80,0 30 100,0 62

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2 – Yate’s Correction (p= 0,02620)

Dari tabel di atas adanya gambaran histopatologi deposit fibrin pada kelompok PE/E sejumlah 8 kasus (20%) dari 40 kasus. Pada kelompok normotensif tidak dijumpai gambaran histopatologi deposit fibrin. Kemudian diuji dengan Kai-Kwadrat Terkoreksi (X2 – Yate,s Correction) dengan p=0,02620 (p<0,05). Secara statistik hasil ini menunjukkan ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi deposit fibrin pada kelompok PE/E dan normotensif.

Mattar dan Sibai13 (1989) meneliti pembuluh darah maternal penderita hipertensi dalam kehamilan dan kelompok kontrol, menemukan kerusakan endotel yang luas di dalam arteri alas plasenta dengan sedikit deposit fibrin. Belum dapat dijelaskan hubungannya dengan derajat hipertensi. 4. Hiperplasia Tunika Media Tabel 5. Gambaran histopatologi hiperplasia tunika media pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Hiperplasia tunika media

n % n %

Total

+ 20 50,0 0 0 20 - 20 50,0 30 100,0 50

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2 – Yate’s Correction (p=0,00002)

Dari tabel di atas, didapatkan jumlah gambaran histopatologi hyperplasia tunika

Page 24: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 177

media pada kelompok PE/E 20 kasus (50%) dari 40 kasus. Pada kelompok normotensif tidak jumpai gambaran histopatologi hyperplasia tunika media. Hasil ini diuji dengan Kai – Kwadrat Terkoreksi (X2-Yate’s Correction) didapatkan p=0,00002 (p<0,05). Secara statistik hasil ini menunjukkan ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi hiperplasia tunika media pada kelompok PE/E dan normotensif.

Pijnenborg9 dkk. mendapatkan hiperplasia tunika media 12 dari 28 kasus PE (42,9%). Ia juga menyatakan bahwa adanya hiperplasia tunika media dan proliferasi sub intima yang didapatkan pada arteri spiralis pada penderita hipertensi dalam kehamilan sering mengakibatkan terjadinya penyumbatan pembuluh darah.

Whitfield7 menyatakan bahwa pada hipertensi esensial terdapat perubahan pembuluh darah plasenta yang berbeda sedikit dari PE. Arteri ini menunjukkan perubahan berupa arteri sklerotik klasik yang identik dengan pembuluh darah lain pada hipertensi esensial. Pada PE, terjadinya hiperplasia tunika media arteri spiralis merupakan efek sekunder hipertensi dan mungkin mempunyai fungsi mekanisme perlindungan pada segmen desidua terhadap tekanan darah yang tinggi.14

5. Trofoblas Endovaskuler Tabel 6. Gambaran histopatologi trofoblas endovaskuler pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Trofoblas endovaskuler n % n %

Total

+ 37 92,5 30 100,0 67 - 3 7,5 0 0 3

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2-Yate’s Correction (p= 0,60463)

Dari tabel di atas, didapatkan trofoblas endovaskuler pada kelompok PE/E 37 kasus (92,5%), 3 kasus (7,5%) tidak dijumpai trofoblas endovaskuler. Pada kelompok normotensif trofoblas endovaskuler ditemui pada semua kasus (100%). Hasil diuji dengan Kai – Kwadrat Terkoreksi (X2-Yate’s Correction) didapatkan p= 0,60463 (p>0,05). Secara statistik hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi trofoblas endovaskuler pada kelompok PE/E dan normotensif.

Meekins15 dkk. (1994) dalam penelitiannya menemukan invasi trofoblas pada desidua kehamilan normotensif 100% dan pada desidua PE 62%. Invasi trofoblas pada miometrium kehamilan normal 90% dan pada miometrium PE 27%. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa kegagalan invasi trofoblas lebih besar terjadi di arteri spiralis segmen miometrium daripada segman desidua. Pada preeklampsia, perubahan fisiologis akibat invasi trofoblas tidak sempurna dan terbatas hanya pada bagian desidua arteri spiralis alas plasenta. 6. Aterosis Akut Tabel 7. Gambaran histopatologi aterosis akut pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

PE/E N Aterosis Akut n % n %

Total

+ 18 45,0 0 0 18 - 22 55,0 30 100,0 52

Jumlah 40 100,0 30 100,0 70 X2 – Yate’s Correction (p= 0,00007)

Dari tabel di atas, didapatkan jumlah gambaran histopatologi aterosis akut pada kelompok PE/E 18 dari 40 kasus (45%). Pada kelompok normotensif tidak dijumpai aterosis akut. Kemudian hasil diuji dengan uji Kai-Kwadrat Terkoreksi (X2 – Yate’s Correction) dengan p= 0,00007 (p<0,05). Secara statistik hasil ini menunjukkan ada perbedaan bermakna gambaran histopatologi aterosis akut pada kelompok PE/E dan kelompok normotensif.

Pijnenborg9 (1991) menemukan aterosis akut pada arteri spiralis preeklampsia sebesar 21,43%, Meekins15 dkk. (1994) menemukan sebesar 92%, Robertson11 dkk. (1975) menyatakan aterosis akut merupakan lesi patognomonik pada preeklampsia.

Dari Tabel 2 sampai Tabel 7 didapatkan 5 variabel yang berbeda bermakna (p<0,05) pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif, yaitu trombosis, proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia tunika media dan aterosis akut. Kelima variabel ini selanjutnya digunakan dalam analisis Regresi Logistik untuk menentukan variabel-variabel yang terpilih secara bersama-sama dan langsung mempengaruhi kejadiaan preeklampsia.

Sehingga nilai risiko yang diperoleh adalah:

Page 25: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Joko S. Lukito dkk. Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 178

Tabel 8. Analisis regresi logistik multivariat gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta pada kelompok PE/E dan kelompok hamil normotensif

Variabel yang Masuk ke dalam Program Regresi

Program Regresi

df OR

Trombosis Proliferasi Subintima Deposit Fibrin Hiperplasia T Media Aterosis Akut

7,100 3,367

11,375 12,387 11,522

1 1 1 1 1

1,211 0,029

87,142 239,752 100,927

Dari tabel di atas terlihat bahwa di antara

kelima variabel, adanya hiperplasia tunika media mempunyai kemungkinan paling besar untuk terjadinya preeklampsia terlihat dari OR 239,752 kali dibandingkan bila hyperplasia tidak ditemukan. Adanya aterosis akut mempunyai kemungkinan terjadinya preeklampsia dengan OR 100,927 kali dibandingkan bila tidak ditemukan. Adanya deposit fibrin mempunyai kemungkinan terjadinya preeklampsia dengan OR 87,142 kali dibandingkan bila tidak ditemukan. Adanya trombosis mempunyai kemungkinan terjadinya preeklampsia dengan OR 1,211 kali dibandingkan bila tidak ditemukan. Adanya proliferasi sub intima mempunyai kemungkinan terjadinya preeklampsia dengan OR 0,029 kali dibandingkan bila tidak ditemukan. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan gambaran histopatologi arteri spiralis alas plasenta yang dijumpai pada preeklampsia/eklampsia berupa trombosis, proliferasi subintima, deposit fibrin, hiperplasia Tunika Media, trofoblas endovaskuler dan aterosis akut. Setelah dimasukkan ke dalam uji regresi logistik untuk menentukan variabel yang terpilih secara bersama-sama, maka didapatkan lima variabel yang sangat berpotensi terhadap terjadinya preeklampsia/eklampsia adalah hiperplasia Tunika Media, aterosis akut, deposit fibrin, trombosis dan proliferasi subintima. DAFTAR PUSTAKA

1. Mose JC, Hermawan A, dkk. Perbandingan Kadar Molekul Perekat Sel Vaskuler (VCAM-1) antara Kehamilan Normal dan Preeklampsia. MOGI 2001; 25(4): 203–09.

2. Mose JC, Mandang VS. Evaluasi Keberhasilan Perawatan Konservatif Penderita Preeklampsia Ringan dengan Menggunakan Allium sativum dan Preeklampsia Berat dengan Menggunakan Magnesium Sulfat di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung. MOGI 2001; 25(1): 47–53.

3. Meizia D, Mose JC. Tinjauan Faktor Resiko pada Kehamilan Ibu dan Anak Akibat Preeklampsia Berat dan Eklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin. MOGI 1999; 23(4): 194–200.

4. Witlin AG, Sibai BM. Hypertension in Pregnancy: Current Concept of Preeclampsia. Available at: http://home.md.consult. com/das/article/body1/jorg.

5. Arbogast BW, Taylor RN. Medical Inteligence Unit. Molecular Mechanism of Preeclampsia. Austin: R.G. Landes company; 1996: 1–54.

6. Mabie WC, Sibai BM. Hypertension states of pregnancy. In: Decherney AH, editor. Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment. 8th Ed. USA: Appleton and Lange; 1997: 693–744.

7. Davey DA. Hypertension Disorders of Pregnancy. In: Whitfield CR, editor. Dewhurst’s text book of obstetric and gynecology for post graduates. 5th Ed. USA: Black Well Science; 1997: 175–213.

8. Salafia CM. Placental Pathology-Medical Student Lecture 2001. Available at http://home.md.consult.com/das/article/body1/jorg=jounal&source.

9. Pijnenborg R, Anthony J, Davey DA, et al. Placental bed spiral arteries in the hypertensive disorders of pregnancy. British Journal of Obstetrics and Gynecology. 1991; 98: 648–655.

10. Gerretsen G, Hulsjes HJ, Elema JD. Morphological Changes of The Spiral

Page 26: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 179

Arteries in The Placental Bed in Relation to Preeclampsia and Fetal Growth Retardation. British Journal of Obstetrics and Gynecology. 1981; 88: 876–81.

11. Khong TY, Dewolf F, Robertson WB, et al. Inadequate Maternal Vascular Response to Placentation in Pregnancies Complicated by Preeclampsia and by Small for Gestational Age Infants. British Journal of Obstetrics and Gynecology. 1986; 93: 1049–59.

12. Assche FA, Pijnenborg R. The Pathology of Preeclampsia/Eclampsia. In: Killick SR, et al., editors. Gynecology forum 1999; 4(1): 10–12.

13. Mattar F, Sibai BM. Preeclampsia Clinical Characteristic and Pathogenesis. Available at: http://home.md.consult.com/das/article/ body1/jorg.

14. Benirschke K, Kaufmann P. Hypertensive Disorders. In: Pathology of the human placenta. 2nd Ed. New York: Springer-Verlag; 1990: 499–506.

15. Meekins JW, Pijnenborg R, Hanssens M, et al. A Study Placental Bed Spiral Arteries and Trophoblast Invasion in Normal and Severe Preeclampsia Pregnancies. British Journal of Obstetrics and Gynecology. 1994; 101: 669–674.

Page 27: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Joko S. Lukito dkk. Gambaran Histopatologi Arteri Spiralis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 180

Pola Sidik Jari pada Kelompok Retardasi Mental dan Kelompok Normal

Sufitni

Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

dilakukan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ilmi dan SDIT Al-Hijrah II. Jumlah peserta dalam penelitian ini adalah 223 orang. Kelompok retardasi mental terdiri dari 35 orang perempuan dan 58 orang laki-laki. Kelompok normal terdiri dari 55 orang perempuan dan 75 orang laki-laki. Metode yang digunakan adalah penelitian kasus kontrol, dengan variabel yang diamati adalah proporsi garis Simian, pola sidik jari (whorl, loop ulna, loop radial dan arch) dan jumlah rigi sidik jari. Hasil penelitian menunjukkan proporsi garis Simian lebih tinggi pada kelompok retardasi mental (14%) dibanding kelompok normal (8%), tetapi uji chi-kuadrat tidak berbeda nyata pada p = 0,05. Pola sidik jari kelompok retardasi mental dan kelompok normal sama, tetapi proporsinya tidak sama, urutan dari yang tertinggi adalah: loop ulna, whorl, loop radial dan arch, dengan uji chi-kuadrat berbeda nyata pada p = 0,05. Rata-rata jumlah rigi sidik jari kelompok retardasi mental (114,1) lebih rendah dibanding kelompok normal (142,8), dengan uji t berbeda nyata pada p = 0,05. Proporsi pola sidik jari dan jumlah rigi sidik jari berbeda nyata antara kelompok retardasi mental dan kelompok normal, tetapi proporsi garis Simian tidak berbeda nyata antara kedua kelompok tersebut. Kata kunci: garis Simian, pola sidik jari, jumlah rigi sidik jari, retardasi mental Abstract: The objective of this study was to obtain the proportion of Simian line, fingerprints patterns and the total ridge count in the mentally retarded and the normal group. The study had been done in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ilmi and SDIT Al-Hijrah II in Medan at Desember 2005. The number of participants in this study was 223 person. They consisted of 35 females and 58 males from the mentally retarded group and 55 females and 75 males from the normal group. The method used in this study was case control study with observed variables were the Simian line, the fingerprints patterns (whorl, ulnar loop, radial loop and arch) and the total ridge count. The result of this research showed that the proportion of Simian line in the mentally retarded group (14%) was higher than the normal group (8%), but Chi-Square test was not significant at p = 0,05. The fingerprints patterns on both groups were equal, but the proportion was not, with the highest proportion started from ulnar loop, whorl, radial loop and arch, with Chi-Square test was significant at p = 0,05. Fingerprints patterns proportion and total ridge count were statistically different between mentally retarded group and normal group, but Simian line proportion was not different significantly on both these groups. Keywords: Simian line, fingerprints patterns, total ridge count, mentally retarded PENDAHULUAN Latar Belakang

Ilmu pengetahuan semakin berkembang dengan pesat. Penelitian-penelitian yang

dilakukan telah melahirkan ilmu-ilmu baru. Salah satu ilmu yang berkembang saat ini adalah dermatoglifi. Di masa yang akan datang, dermatoglifi diharapkan dapat membantu kita untuk mendiagnosa berbagai

Page 28: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 181

penyakit yang berhubungan dengan genetik. Para praktisi kelak diharapkan hanya dengan melihat telapak tangan saja, sudah akan dapat mendiagnosa berbagai penyakit seperti halnya dengan melihat retina/iris mata penderita. Metode ini praktis dan murah dibandingkan dengan pemeriksaan bioteknologi, seperti pada pemeriksaan sitogenetika untuk melihat kelainan genetik.1

Dermatoglifi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari lekukan (garis-garis) kulit yang ditemukan pada jari tangan dan kaki pada manusia dan mamalia lainnya.2 Ilmu dermatoglifi lahir sejak Harold Cummins dan Charles Midlo mendeklarasikan hasil penelitian mereka tentang sindrom Down pada April 1926 di pertemuan tahunan ke-42 Persatuan Anatomi Amerika (American Association of Anatomists). Harold Cummins dan Charles Midlo adalah professor anatomi mikroskopik di Universitas Tulane Amerika Serikat dan merekalah yang mencetuskan terminologi dermatoglyphic (derma = kulit, glyph = ukiran). Harold Cummins menemukan 53% penderita sindrom Down memiliki garis Simian, sedangkan pada orang normal hanya terdapat 1-2% saja. Harold Cummins meng-klaim bahwa ada hubungan genetik antara sindrom Down dengan garis Simian, bahkan hal ini sudah diterima oleh sebagian masyarakat ilmuwan. Hal ini terbukti dari data-data pada berbagai buku kedokteran yang mencantumkan, bahwa salah satu ciri sindrom Down adalah adanya garis Simian pada sebagian besar kasus.3

Mulvihill dan Smith (1969) menyatakan bahwa 6-8 minggu sesudah konsepsi mulai terbentuk bakal garis tangan yang berbentuk balon kecil. Balon kecil ini mulai tertarik ke belakang saat 10-12 minggu sesudah konsepsi. Garis-garis tangan mulai muncul pada saat 13 minggu sesudah konsepsi dan pola garis tangan sudah sempurna terbentuk pada usia 21 minggu sesudah konsepsi.4

Garis-garis tangan ini tidak akan berubah dari sejak lahir sampai selama hidup bahkan sampai mati. Pola dermatoglifi antara satu orang terhadap yang lain tidak mungkin mempunyai gambaran yang persis sama. Pada kelainan yang disebabkan adanya kelainan kromosom, dermatoglifi menunjukkan kelainan pola, bentuk, ukuran, dan kompleksitas yang

khas, sehingga dermatoglifi dapat dipakai sebagai pembantu diagnosa.5

Sidik jari adalah salah satu bagian yang diperiksa pada dermatoglifi yang merupakan gambaran yang terdapat pada kulit ujung jari yang terbentuk sejak embrio menurut Loesch, 1971 dan tetap dipertahankan tanpa perubahan sampai mati. Gambaran sidik jari khas untuk seseorang, karena perwujudan gen-gen dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan pola gambaran sidik jari ini dapat dipakai sebagai cap pribadi.6

Pola dermatoglifi merupakan salah satu variasi biologis yang berbeda dari satu kelompok ras dengan kelompok yang lain, antara perempuan dan laki-laki bahkan monozigot twin. Sebelum kehamilan 12 minggu faktor lingkungan dapat mempengaruhi dermatoglifi. Hal inilah yang menyebabkan banyak ahli yang menduga setiap gangguan lingkungan sebelum usia 12 minggu kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan juga dapat mempengaruhi garis tangan dan sidik jari. Pola dermatoglifi ini juga tidak akan berubah sejak usia kehamilan 21 minggu, sehingga sudah sejak lama dermatoglifi digunakan sebagai alat identifikasi diri.7

Gambaran dermatoglifi pada penyakit tertentu juga berbeda, terutama pada penyakit genetik. Penyakit yang dapat dihubungkan dengan dermatoglifi seperti: Alzheimer, tuberculosis, diabetes, kanker, penyakit jantung, dan lain-lain.8

Garis Simian adalah garis transversal tunggal pada telapak tangan yang terbentang menyeberang dari satu sisi ke sisi lainnya. Manusia normal biasanya memiliki beberapa garis pada telapak tangannya, yang disebut garis hati, garis kepala dan garis kehidupan. Pada beberapa orang, garis kepala dan garis hati bisa bersatu membentuk garis tunggal transversal, yang disebut garis Simian. Pada beberapa literatur ditemukan tingginya garis Simian pada beberapa penyakit genetik dibandingkan pada kelompok orang normal.5

Pada manusia, secara garis besar ada tiga tipe pola sidik jari, yaitu pola arch, whorl dan loop (loop radial dan loop ulna). Setiap individu memiliki pola sidik jari yang berbeda-beda. Pada beberapa kasus, terutama kasus genetik, pola sidik jari berbeda nyata, biasanya perbedaan terletak pada pola arch.

Page 29: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 182

Jumlah rigi sidik jari manusia juga dapat dihitung dan setiap orang tidak memiliki jumlah rigi yang sama. Bahkan pada penyakit tertentu, terutama penyakit genetik, jumlah rigi sidik jarinya berbeda nyata. Biasanya jumlah rigi sidik jari pada kelompok tidak normal lebih rendah daripada kelompok normal.

Retardasi mental adalah suatu keadaan keterlambatan dalam perkembangan dan memiliki kemampuan intelektual di bawah normal, yaitu Intelligence Question (IQ) di bawah 70. Kelainan intelektual ini bukanlah merupakan suatu penyakit tetapi merupakan akibat dari berbagai penyakit lain, trauma, infeksi, masalah dalam kehamilan seperti kurang nutrisi, obat-obatan, racun dan juga penyakit genetik seperti sindrom Down (Sebastian, 2002). Penyebab retardasi mental banyak, tetapi kenyataannya hanya sekitar 10-20% saja yang dapat di diagnosa.9

Dermatoglifi penderita retardasi mental secara khusus, belum pernah diteliti. Penelitian yang mendekati retardasi mental, yang sering diteliti adalah sindrom Down. Seluruh penderita sindrom Down sudah pasti menderita retardasi mental, sedangkan penderita retardasi mental, belum tentu menderita sindrom Down. Harold Cummins menyatakan pada penderita sindrom Down ditemui garis Simian 53%, sedangkan pada kelompok normal hanya 1-2% saja. Penelitian Hidayati dkk. (1980), bahkan menyatakan garis Simian pada penderita sindrom Down mencapai 68,54%. Pola sidik jari pada sindrom Down adalah sebagai berikut: pola arch = 0,4– 2,7%, radial loop = 0,8–5,2%, ulnar loop = 75,1–85,2% dan whorl = 12,1–20,1%. Rata-rata jumlah rigi sidik jari pada sindrom Down adalah 92,2–130,3.10

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana persentase garis Simian, pola sidik jari dan jumlah rigi sidik jari pada penderita retardasi mental dan pada orang normal di Medan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jumlah garis Simian, pola sidik jari, dan jumlah rigi sidik jari pada kelompok retardasi mental dan kelompok normal.

METODE Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar

Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ilmi di jalan Kolam No 1 Medan, SDIT Al Hijrah II di jalan Gedung PBSI No 1 Medan dan Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) di jalan Adi Negoro No 2 Medan. Penelitian dilakukan pada tahun 2006.

Populasi penelitian adalah penderita retardasi mental dan orang normal di kota Medan. Sampel penelitian adalah para penderita retardasi mental (tuna grahita) di YPAC sebanyak 93 orang (35 peserta perempuan dan 58 peserta laki-laki), dengan kisaran IQ antara 37–69. Sampel kelompok normal diambil dari SDIT Nurul Ilmi sebanyak 80 orang dan SDIT Al Hijrah II sebanyak 50 orang (55 peserta perempuan dan 75 peserta laki-laki).

Jumlah sampel diambil berdasarkan rumus:

n 1 = n 2 = 22

21 )()(

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡−

+XXxSZZ βα

Berdasarkan penelitian Simanjuntak

(2003), dengan α 0,05 dan power 0,90, standar deviasi 15, dan beda jumlah sidik jari sebesar 10 dianggap berarti maka, didapat hasil 47,3.11, 12

Penelitian ini menggunakan: tinta daktiloskopi, bantalan stempel, kaca, roller karet, kertas HVS putih dan alkohol 70%.

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kasus – kontrol.5 Menurut Sastroasmoro (2002), penelitian kasus-kontrol (case-control study), sering juga disebut sebagai case-comparison study ataupun retrospective study. Penelitian kasus-kontrol merupakan penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu.12

Kasus pada penelitian ini adalah kelompok retardasi mental, sedangkan kontrol adalah kelompok normal. Faktor risiko yang akan diperiksa adalah garis Simian, pola sidik jari dan jumlah rigi sidik jari.

Seluruh peserta baik dari sekolah luar biasa (kelompok retardasi mental) maupun dari kelompok normal yang diambil sebagai sampel, diperlakukan sebagai berikut: kedua tangan anak dibersihkan dengan sabun dan

Page 30: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 183

alkohol 70%, setelah bersih dikeringkan. Tinta khusus untuk dermatoglifi dengan roller karet dioleskan pada sebidang kaca. Bagian dari tangan yang akan diambil sidik jarinya ditempelkan pada kaca tersebut, dengan cara digulingkan dari satu sisi ke sisi lainnya. Satu persatu jari dicapkan dengan cara digulingkan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya pada kertas HVS. Setelah seluruh jari tangan diambil stempelnya, kemudian seluruh telapak tangan ditempelkan kembali pada kaca yang sudah di oleskan tinta stempel. Telapak tangan tersebut ditempelkan kembali pada kertas HVS. Kemudian persentase garis Simian, pola sidik jari dan jumlah rigi pada penderita retardasi mental dan normal dihitung. Semua data disusun dalam bentuk tabel dan ditabulasi.

Variabel yang diamati adalah: garis Simian, pola sidik jari dan jumlah rigi sidik jari.

Data dianalisa dengan menghitung persentase garis Simian, pola sidik jari dan jumlah rigi baik penderita retardasi mental maupun normal. Selain itu dihitung juga indeks Dankmeijer, indeks Furuhata, indeks Cummins & Midlo. Indeks-indeks tersebut dapat dihitung dengan memakai rumus sebagai berikut: 1. Index Dankmeijer, yaitu perbandingan

arcus dengan vortex dikalikan 100. 2. Index Furuhata, yaitu perbandingan vortex

dengan sinus dikalikan 100. 3. Index Cummins dan Midlo, yaitu indeks

yang dibuat dapat melihat secara cepat kesan densitas dari digital dan palmar crest. Index ini didapat dengan rumus:

10L % W % x 2 +

di mana: W = whorl, L = loop Frekuensi garis Simian penderita retardasi

mental dan normal baik laki-laki maupun perempuan diuji dengan uji statistik Chi-kuadrat.

Frekuensi tipe pola ujung jari tangan penderita retardasi mental dan normal baik laki-laki maupun perempuan diuji dengan uji statistik Chi-kuadrat.7

Rumus Chi-Kuadrat: X2 = ∑ −EEO 2)(

Keterangan: X2 = Chi-Kuadrat E = Frekuensi yang diharapkan (normal) O = Frekuensi hasil pengamatan (retardasi

mental)

Frekuensi jumlah rigi sidik jari tangan penderita retardasi mental dan normal baik laki-laki maupun perempuan diuji dengan uji t.7,13

t = BXAX

BA

SXX

− )(

Sp2

= 2

22

−++

BA

BBAA

nnSdkSdk

S 2p =

2)()( 22

−+−+−∑ ∑

BA

BBAA

nnXXXX

S BXAX − = nS

nS

B

2p

A

2p +

di mana:

X A = Rata-rata jumlah rigi jari normal

X B = Rata-rata jumlah rigi jari penderita retardasi mental

2AS = Varians rata-rata jumlah rigi jari

normal 2BS = Varians rata-rata jumlah rigi jari

penderita retardasi mental

BXAXS − = Standar error/standar deviasi

gabungan Sp2 = Varians gabungan

HASIL 1. Garis Simian

Hasil penelitian frekuensi garis Simian antara kelompok retardasi mental dan kelompok normal, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.

Tabel 1 dan Grafik 1 memperlihatkan persentase frekuensi garis Simian yang tinggi pada kelompok retardasi mental. Jumlah garis Simian pada kelompok retardasi mental 22%, sedangkan pada kelompok normal 12%. Hal ini menunjukkan perbandingan garis Simian pada kelompok retardasi mental 1,84 kali lebih banyak dari kelompok normal.

Page 31: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 184

X2 tabel pada p = 0,05 adalah 3,84, sedangkan pada p = 0,01 adalah 6,63 (Tabel 2).

Secara keseluruhan X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis diterima, berarti terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah Garis Simian pada kelompok retardasi mental dibanding dengan kelompok normal. 2. Pola Sidik Jari a. Frekuensi Pola Sidik Jari

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada pola sidik jari, secara garis besar didapati tiga tipe pola sidik jari, yaitu pola arch, whorl dan loop(loop radial dan loop ulna). Hasil penelitian frekuensi pola sidik jari antara kelompok retardasi mental dan kelompok normal, dapat dilihat pada Tabel 3 dan Grafik 2.

Tabel 3 dan Grafik 2, memperlihatkan urutan persentase frekuensi tipe pola sidik jari

yang diperoleh dari kelompok retardasi mental adalah: loop ulna (60%), whorl (32%), loop radial (5%) kemudian diikuti arch (3%), sedangkan urutan persentase pola sidik jari kelompok normal adalah: loop ulna (59%), whorl (39%), loop radial (2%) dan arch (0%).

Adanya perbedaan pola sidik jari, akan diuji dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat, seperti tampak pada Tabel 4.

X2 tabel pada p = 0,05 adalah 7,82, sedangkan p = 0,01 adalah 11,34. Harga X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi pola sidik jari kelompok retardasi mental dibanding dengan kelompok normal (Tabel 4).

b. Indeks Pola Sidik Jari

Indeks pola sidik jari perempuan dan laki-laki kelompok retardasi mental dan normal dapat dilihat pada Tabel 5 dan Grafik 3.

Tabel 1. Persentase frekuensi jumlah garis simian kelompok retardasi mental dan normal

Retardasi Mental Normal

Perempuan Laki Laki Total Perempuan Laki Laki Total KI KA TOT KI KA TOT KI KA TOT KI KA TOT KI KA TOT KI KA TOT

N 35 35 35 58 58 58 93 93 93 55 55 55 75 75 75 130 130 130

S(+) 3 4 7 6 7 13 9 11 20 1 2 3 6 7 13 7 9 16

% 9% 11% 20% 10% 12% 22% 10% 12% 22% 2% 4% 5% 8% 9% 17% 5% 7% 12%

S(-) 32 31 28 52 51 45 84 82 73 54 53 52 69 68 62 123 121 114

% 91% 89% 80% 90% 88% 78% 90% 88% 78% 98% 96% 95% 92% 91% 83% 95% 93% 88% Keterangan: N = Jumlah sampel KI = Kiri S(+) = Garis Simian (+) KA = Kanan S(-) = Garis Simian (-) TOT = Total

0

20

40

60

80

100

120

140

KI

KA

TOT KI

KA

TOT KI

KA

TOT KI

KA

TOT KI

KA

TOT KI

KA

TOT

WANITA PRIA TOTAL WANITA PRIA TOTAL

RETARDASI MENTAL NORMAL

NS (+)%S (-)%

Grafik 1. Persentase frekuensi jumlah garis simian antara kelompok retardasi mental dan normal

Keterangan: N = jumlah sampel KI = Kiri S(+) = Garis Simian (+) KA = Kanan S(-) = Garis Simian (-) TOT = Total

Page 32: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 185

Tabel 2. Nilai uji chi-kuadrat garis simian simian antara kelompok retardasi mental dan normal

Perempuan RM/N Laki Laki RM/N Kelompok RM/N Kiri Kanan Total Kiri Kanan Total Kiri Kanan Total

Uji X2 RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N

SIMIAN (+) 9 2 11 4 20 4 10 8 12 9 22 17 10 5 12 7 22 12 SIMIAN (-) 91 98 89 96 80 96 90 92 88 91 78 83 90 95 88 93 78 88

X2 25 12,7 47,4 0,54 1,1 1,77 5,26 3,84 9,47 Keterangan: RM = Retardasi Mental N = Normal

Tabel 3. Frekuensi pola sidik jari kelompok retardasi mental dan normal

Retardasi Mental Normal

Wanita Pria Wanita Pria Retardasi

Mental Normal Pola

% % % % % %

KIRI Loop ulna 59% 59% 58% 62% 59% 60%

Loop radial 2% 5% 3% 2% 4% 3%

Whorl 35% 33% 38% 36% 34% 37% Arch 4% 2% 0% 0% 3% 0%

KANAN Loop ulna 66% 58% 62% 55% 61% 58% Loop radial 2% 9% 0% 1% 6% 1% Whorl 27% 31% 38% 44% 29% 41% Arch 4% 3% 0% 0% 3% 0%

TOTAL Loop ulna 63% 59% 60% 58% 60% 59% Loop radial 2% 7% 2% 2% 5% 2% Whorl 31% 32% 38% 40% 32% 39% Arch 4% 2% 0% 0% 3% 0%

Keterangan: RM = Retardasi Mental N = Normal

Grafik 2. Frekuensi pola sidik jari kelompok retardasi mental dan normal P = Perempuan L = Laki-laki LU = Loop Ulna W = Whorl LR = Loop Radial A = Arch

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

LU LR W A LU LR W A LU LR W A

KI KA TOT

RM P %

RM L %

NORMAL P %NORMAL L %

RM %

N %

Page 33: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 186

Tabel 4. Perhitungan uji chi-kuadrat pola sidik jari antara kelompok retardasi mental dan normal

Perempuan Laki Laki Laki-Laki + Perempuan

Kiri Kanan Total Kiri Kanan Total Kiri Kanan Total Pola

RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N RM N

LU 59 58 66 62 63 60 59 62 58 55 59 58 59 60 61 58 60 59

LR 2 3 2 38 2 2 5 2 9 1 7 2 4 3 6 1 5 2

W 35 38 27 0 31 38 33 36 31 44 32 40 34 37 29 41 32 39

A 4 0 4 96 4 0 2 0 3 0 2 0 3 0 3 0 3 0

X2 0,59 3,44 1,44 4,89 4 1,62 0,59 3,67 5,77 Keterangan: RM = Retardasi Mental N = Normal P = Perempuan L = Laki-laki LU = Loop Ulna W = Whorl LR = Loop Radial A = Arch

Tabel 5. Indeks pola sidik jari kelompok retardasi mental dan normal

Indeks Dankmeijer Furuhata Cummins & Midlo Kelompok n

(Archus/Whorl) (Whorl/Loop) (2 x Whorl + Loop) Perempuan N 55 0.48 61.47 13.8 Laki-laki N 75 0.33 66.07 14 Total N 130 0.39 64.09 13.9 Perempuan RM 35 11.82 48.67 12.7 Laki-laki RM 58 7.53 49.07 13 Total RM 93 9.12 48.92 12.9

Keterangan: RM: Retardasi Mental, N: Normal, n: Jumlah Sampel

Grafik 3. Indeks pola sidik jari kelompok retardasi mental dan normal

Keterangan: RM: Retardasi Mental, N: Normal, n: jumlah Sampel

0

20

40

60

80

100

120

140

Perempu

an N

Laki-

laki N

Total

N

Perempu

an R

M

Laki-

laki R

M

Total

RM

n

INDEKS DANKMEIJER(Archus/Whorl)

INDEKS FURUHATA(Whorl/Loop)

INDEKS CUMMINS &MIDLO (Whorl + Loop)

Page 34: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 187

Nilai indeks Dankmeijer untuk keseluruhan kelompok retardasi mental (9,12) lebih tinggi dibanding keseluruhan kelompok normal (0,39). Hal ini berarti frekuensi pola arch keseluruhan kelompok retardasi mental (3%), lebih tinggi dibanding frekuensi pola arch keseluruhan normal (0%).

Nilai indeks Furuhata untuk keseluruhan kelompok retardasi mental (48,92) lebih rendah dibanding keseluruhan kelompok normal (64,09). Hal ini berarti frekuensi pola whorl keseluruhan kelompok retardasi mental (32%), lebih rendah dibanding frekuensi pola whorl keseluruhan normal (39%).

Nilai indeks Cummins & Midlo untuk keseluruhan kelompok retardasi mental (12,9) lebih rendah dibanding keseluruhan kelompok normal (13,9). Hal ini berarti frekuensi pola whorl keseluruhan kelompok retardasi mental (32%), lebih rendah dibanding frekuensi pola whorl keseluruhan normal (39%), yang diikuti dengan peningkatan pola Loop pada keseluruhan kelompok retardasi mental (65%), sedangkan keseluruhan normal (61%).

3. Jumlah Rigi Sidik Jari Jumlah rigi sidik jari dan uji t tangan

perempuan, laki-laki dan keseluruhan kelompok retardasi mental dan normal dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil penelitian mengenai jumlah rigi sidik jari antara kelompok retardasi mental dan kelompok normal menunjukkan perbedaan, baik dipandang dari sisi setiap jari, setiap tangan maupun kedua tangan. Uji t memperlihatkan perbedaan tersebut nyata pada p = 0,01 dan p = 0,05, kecuali pada jari ke-5 kiri antara laki-laki retardasi mental dengan laki-laki normal dan pada jari ke-1 kiri antara perempuan retardasi mental dengan perempuan normal.

Perbandingan rata-rata jumlah rigi sidik jari seluruh kelompok baik normal maupun retardasi mental menunjukkan bahwa laki-laki selalu lebih tinggi daripada jumlah rigi sidik jari perempuan.

Tabel 6. Jumlah rigi sidik jari dan uji t

Rata Rata Jumlah Rigi Uji t Kiri Kanan Total 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 Kiri Kanan Total Wanita RM (35) 9.46 9.03 8.74 9.49 14.2 15.9 9.47 8.49 11.7 9.26 50.5 55.3 105.9 Wanita N (55) 12.1 13.9 12.9 13.1 16.1 18 13.2 12.7 14.4 12.4 68 70.7 138.7 Uji t 2.81 4.8 4.1 3.1 1.71 2.16 3.02 4.9 2.7 4 4.21 4.16 4.32 Pria RM (58) 11.5 11.9 10.8 10.7 14.2 16.3 10.9 10.7 12.3 10 58.8 60.2 119 Pria N (75) 12 15 13.8 13.3 17.4 19 13.5 13.1 15.7 12.9 71.7 74.2 145.8 Uji t 0.65 3.5 3.8 3.1 3.74 3.15 2.87 2.7 4 4.19 4.07 4.45 4.423 Total RM (88) 10.7 10.8 9.89 10.3 14.2 16.1 10.4 9.86 12.1 9.74 55.7 58.4 114.1 Total N (130) 12.1 14.6 13.4 13.2 16.8 18.6 13.4 12.9 15.1 12.7 70.1 72.7 142.8 Uji t 2.36 5.6 5.6 4.3 3.9 3.88 4.13 4.8 4.6 5.72 5.69 5.99 6.064

Keterangan: RM: Retardasi Mental; N: Normal Untuk n = 88, p = 0,01, t tabel = 2,638 dan p = 0,05, t tabel = 2,374 Untuk n = 130, p = 0,01, t tabel = 1,970 dan p = 0,05, t tabel = 2,374

Page 35: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 188

PEMBAHASAN 1. Garis Simian

Garis Simian pada kelompok perempuan retardasi mental 4 kali lebih besar dari kelompok perempuan normal. Garis Simian dari kelompok laki-laki retardasi mental hanya 1,3 kali lebih besar dari kelompok laki-laki normal. Garis Simian pada kelompok retardasi mental 1,84 kali lebih besar dari kelompok normal. Hasil ini menunjukkan bahwa garis Simian pada laki-laki normal tidak begitu jauh berbeda dengan garis Simian pada laki-laki retardasi mental. Hal ini menyebabkan uji Chi-Kuadrat garis Simian pada laki-laki retardasi mental dan laki-laki normal tidak berbeda nyata, padahal uji Chi-Kuadrat garis Simian antara kelompok perempuan retardasi mental dengan perempuan normal dan antara keseluruhan retardasi mental dan keseluruhan kelompok normal adalah berbeda nyata. Hasil ini dapat terjadi mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya kontrol IQ pada kelompok normal.

Penelitian mengenai dermatoglifik pada kelompok retardasi mental belum pernah dilakukan, sehingga belum bisa dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian ini. Pada sisi yang lain, penelitian mengenai Sindrom Down (salah satu penyebab retardasi mental) banyak dilakukan para peneliti dermatoglifik, sehingga penelitian ini akan banyak dibandingkan dengan penelitian sindrom Down.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Hidayati dkk. (1980), dimana ditemukan frekuensi garis Simian yang tinggi pada penderita sindrom Down, yaitu 58,12% pada tangan kanan, 68,54% pada tangan kiri dan 50% pada kedua tangan.5 Harold Cummins, 1926 (dalam Reed & Meier, 1990) menyatakan bahwa pada kelompok sindrom Down dijumpai garis Simian 53% dan pada kelompok normal 1-2% saja.2 Pada umumnya peneliti lain mendapatkan frekuensi garis

Simian yang tinggi pada penderita sindrom Down.5,14,15

Menurut pandangan palmistry (pembaca garis tangan), garis Simian ini memiliki arti tersendiri. Pada umumnya manusia normal memiliki tiga garis pada telapak tangannya, yang disebut garis hati, kepala dan kehidupan. Sebagian kecil manusia hanya memiliki dua garis pada telapak tangannya, karena garis hati dan garis kepala menyatu. Para palmistry menyatakan jika seseorang memiliki garis Simian, maka orang tersebut tidak dapat membedakan antara hasrat (garis hati) dengan fikiran (garis kepala). Mereka memiliki semangat alamiah yang luar biasa, tetapi cenderung buru-buru dalam segala hal tanpa difikir terlebih dahulu. Garis Simian memberikan seseorang kemampuan untuk memusatkan fikiran dalam satu hal secara mutlak. Sehingga mereka mampu (berhasil) menyelesaikan sesuatu lebih dibanding kebanyakan orang.16

2. Pola Sidik Jari

Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa urutan persentase pola sidik jari yang paling banyak, baik pada kelompok retardasi mental maupun kelompok normal adalah sama, yaitu: loop ulna, kemudian whorl, selanjutnya loop radial dan arch. Perbedaan antara retardasi mental dengan normal adalah dari segi persentase frekuensinya, terutama pola arch dan loop radial yang lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal. Perbedaan yang mencolok terdapat pada pola arch, yaitu 3% pada kelompok retardasi mental dan 0% pada kelompok normal. Penelitian mengenai analisis sidik jari kelompok retardasi mental belum pernah dilakukan, sehingga belum bisa dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian ini. Sebagai pendekatan, penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Katznelson & Ashbel (1973), pada penderita sindrom Down dan kontrol di Italia, yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan Grafik 4.

Tabel 7. Perbandingan hasil penelitian tesis ini dengan penelitian pola sidik jari di Italia

LOOP ULNA WHORL LOOP RADIAL ARCH Tempat D/RM K/N D/RM K/N D/RM K/N D/RM K/N

ITALIA 81 57,2 12,6 33,1 5,2 3,5 6,2 1,1 TESIS INI 60 59 32 39 24 2 2 0

Keterangan: D : Sindrom Down K : Kontrol RM : Retardasi Mental N : Normal

Page 36: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 189

Grafik 4. Perbandingan hasil penelitian tesis ini dengan penelitian pola sidik jari di Italia

Keterangan: D : Sindrom Down K : Kontrol RM : Retardasi Mental N : Normal

Tabel 7 memperlihatkan hasil penelitian di Italia, yang didapati pola loop ulna pada kelompok sindrom Down lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian di Medan bahwa pola loop ulna lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal. Pola whorl di Italia lebih rendah pada kelompok sindrom Down daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian tesis ini, dimana pola whorl lebih rendah pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal. Pola loop radial dan arch di Italia lebih tinggi pada kelompok sindrom Down daripada kelompok kontrol. Hal yang sama terjadi pada penelitian di Medan, dimana pola loop radial dan arch lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal.

Menurut Rafiah dkk. (1983), persentase pola loop ulna pada penderita sindrom Down meningkat dari kelompok normal. Hal ini akibat penurunan rigi pola titik dan segmen yang terputus disebabkan oleh adanya gen dominan autosom yang penetrasinya tidak sempurna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadi kelainan pada kromosom 21, tetapi sampai saat ini belum diketahui dengan jelas dimana letak gen-gen yang mengatur dermatoglifi ini.

Hasil indeks Dankmeijer hanya mempertegas hasil pada pola sidik jari, bahwa arch lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal, dan

whorl lebih rendah pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal.

Hasil indeks Furuhata hanya mempertegas hasil pada pola sidik jari, bahwa whorl lebih rendah pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal, dan loop lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal.

Hasil indeks Cummins & Midlo hanya mempertegas hasil pada pola sidik jari dan dan indeks Furuhata, bahwa whorl lebih rendah pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal, dan loop lebih tinggi pada kelompok retardasi mental dibanding kelompok normal. 3. Jumlah Rigi Sidik Jari

Perbandingan rata-rata jumlah rigi sidik jari kelompok retardasi mental lebih rendah daripada kelompok normal. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Katznelson, 1973 (dalam Bartsocas, 1981) menyatakan bahwa rata-rata jumlah rigi sidik jari sindrom Down di Inggris (127,36) lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata jumlah rigi sidik jari laki-laki normal di Inggris (136,07).

Sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu, faktor lingkungan dapat mempengaruhi dermatoglifi (jumlah rigi sidik jari). Faktor lingkungan ini dapat berupa kondisi ibu ketika hamil (misalnya stress berat), makanan, obat-obatan dan lain sebagainya. Kekurangan gizi dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Walter, 2003 meneliti 825 anak dengan malnutrisi berat,

0102030405060708090

D/RM K/N D/RM K/N D/RM K/N D/RM K/N

LOOP ULNA WHORL LOOP RADIAL ARCH

ITALIA

MEDAN

Page 37: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 190

ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik.17

Sel otak terbentuk sejak trimester pertama kehamilan dan berkembang pesat sejak dalam rahim ibu. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen, sehingga ketika lahir memiliki ukuran otak dan tubuh yang kecil. Pada umumnya bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah akibat kekurangan gizi sewaktu dalam kandungan, besar kemungkinan akan mengalami kelemahan otak. Sesudah dewasa kurang mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat sekelilingnya. Ironisnya, meskipun perbaikan gizi dapat dilakukan ketika bayi sudah lahir, tidak sepenuhnya dapat menolong atau mengatasi kelemahannya.18

Banyak hal yang bisa mempengaruhi dermatoglifi/jumlah rigi sidik jari, tetapi yang terutama berperan diduga adalah saraf-saraf di lapisan epidermis.7 Sampai saat ini belum ada literatur yang dapat menjelaskan bagaimana hal ini dapat terjadi.

KESIMPULAN 1 Jumlah garis Simian pada kelompok

retardasi mental lebih tinggi dibanding kelompok normal, dengan uji Chi-Kuadrat berbeda nyata pada p = 0,05.

2 Pola sidik jari pada setiap orang, baik retardasi mental maupun normal adalah sama. Perbedaannya terletak pada frekuensinya saja. Perbedaan yang paling mencolok adalah perbandingan frekuensi pola arch, yaitu 3% pada kelompok retardasi mental dan 0% pada kelompok normal.

3 Rata-rata jumlah rigi sidik jari kelompok retardasi mental lebih rendah dibanding kelompok normal, dengan uji t berbeda nyata pada p = 0,05.

SARAN Penelitian dermatoglifi ini masih sangat

sederhana, dimana jumlah sampel masih sedikit, pemeriksaan garis-garis tangan dan pola sidik jari hanya diperiksa dengan lup. Sebaiknya dibuat penelitian yang memiliki jumlah sampel yang jauh lebih besar dan

memakai perlengkapan yang lebih canggih. Pemeriksaan garis Simian, pola sidik jari dan variasi lain yang masih banyak belum diteliti, sebaiknya diolah dengan menggunakan komputer. Sehingga suatu saat dapat dibuat suatu alat identifikasi sidik jari dan telapak tangan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menegakkan diagnosa retardasi mental.

Penelitian ini tidak mencantumkan kontrol IQ untuk kelompok normal, sebaiknya untuk penelitian yang akan datang disarankan mengikutsertakan kontrol IQ untuk setiap kelompok, agar hasil penelitian menjadi lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA 1. Campbell, E.D. 2003. Biometrics Future

& Profit. Biometric Journal, Available at http://stat,tamu.edu/Biometrics/28/04/2005.

2. Reed, T. dan Meier R., 1990. How To Take Dermatoglyphic Prints. The American Dermatoglyphic Association.

3. Mavalwala, J. Dermatoglyphic: Looking Forward to The 21st Century. International Conference on Dermatoglyphics, 1981, Athens, Greece.

4. The Development of The Study of Dermatoglyphics, No Name. Available at file://H:/Scientific%20Dermatoglyphics.htm/18/04/2005.

5. Hidayati R.S.; Rafiah, R.S.; Kamajaya; Satmoko; Suryadi R.; dan Sidiarto L. 1980. Dermatoglifi Sindrom Down Penelitian Pola Triradius Garis Simian pada Telapak Tangan Anak-Anak Penderita Sindrom Down di Sumber Asih Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. 30(8): 202–206.

6. Surjadi, R Satmjoko, R, Rafiah R.S, Syahrum M.H dan Ramelan W, 1984. Pola Sidik Jari dan Total Ridge Count Kelompok Residivis di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 34(3): 101–104.

7 Campbell, E.D. 1998. Fingerprints & Palmar Dermatoglyphics, Available at file://H:sabtu/Fingerprints%20&%20Palmar%20dermatoglyphics,terbaik%20finger/04/09/2005.

Page 38: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 191

8. Wertelecki W, 1981. Dermatoglyphic Research and The Clinician. International Conference on Dermatoglyphics, 1981, Athens, Greece.

9. Payne, J.S. and Patton, J.R. 1981. Mental Retardation, By Bell and Howell Company Columbus.

10. Schauman B and Johnson SB, 1981. Medical Application of Dermatoglyphics, Veteran Administration Medical Center Minneapolis, Minnesota, U.S.A., Progress in Dermatoglyphic Research, Allan R. Liss, Inc., New York.

11. Simanjuntak A, 2003. Pola Multifaktor Sidik Jari Penderita Skzofrenia di Rumah Sakit Jiwa Pusat Kota Medan, Skripsi, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

12. Sastroasmoro S dan Ismael S, 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi ke-2, Sagung Seto Jakarta, 2002.

13. Irianto A, 2004. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, edisi pertama, Prenada Media, Indonesia.

14. Katznelson M.B., Dermatoglyphics of Jewis Down Patients, 1981, Departement of Human Genetics, Tel-Aviv University Medical School. International Conference on Dermatoglyphics, 1981, Athens, Greece.

15. Rafiah, RS, Suryadi R, Satmoko, 1983. Dermatoglifi Penderita Sindromm Down Penelitian Pola Jari-Jari Tangan. Majalah Kedokteran Indonesia. 33(1): 8.

16. Human Hand.com, The Simian Line, available at file://:/dermatoglyphic/down% 20syndrom/Simian%20Linc.htm/22/04/2005.

17. Judarwanto, W., 2004, Mengatasi Kesulitan Makan pada Anak, Jakarta, Puspa Suara.

18. Widjaja, MC. 2004, Gizi Tepat untuk Perkembangan Otak dan Kesehatan Balita, Cetakan kedua, Kawan Pustaka, Jakarta.

Page 39: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Sufitni Perbandingan Garis Simian dan Pola Sidik Jari...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 192

Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak dan Peran Pemeriksaan Ekokardiografi

Abdullah Afif Siregar

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RS H. Adam Malik Medan

Abstrak: Penelitian retrospektif pemeriksaan ekokardiografi (2-DE, M-mode, Doppler dan Doppler berwarna) pada penderita DR dan PJR, selama 9 tahun telah dilakukan. Diagnosis DR ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang direvisi 1965 atau update 1992. Sampel adalah anak penderita DR atau PJR, dengan atau tanpa penyakit sistemik disertai dengan atau tanpa gagal jantung, disertai dengan atau tanpa pengobatan. Penderita DR atau PJR dengan penyakit jantung bawaan tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian untuk melihat peran pemeriksaan ekokardiografi pada penderita DR dan PJR, dan untuk membantu membedakan diagnosis DR dan PJR. Data ditabulasi dan dinyatakan dalam nilai rerata dan simpang baku, dan dilakukan analisa statistik dengan uji t dengan tingkat kemaknaan p<0,05. dengan confidence interval 95%. Data dianalisa dengan komputer menggunakan program SPSS. Didapati 123 penderita terdiri dari 54 penderita DR (31 dengan gagal jantung) dan 69 penderita PJR (38 dengan gagal jantung). Didapati 115 penderita dengan kelainan katup dan 8 tanpa kelainan katup. Kelainan katup terbanyak berupa MR dan MS, diikuti MR, AR, TR dan PR. Didapati 8 penderita effusi perikard yang menyertai kelainan katup. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara umur, berat badan dan tinggi badan diantara kedua sampel. Pada penderita DR didapati dimensi LA, Aorta, Rasio LA/Ao, IVSED, LVED, fraksi pemendekan, LVPWED dan fraksi ejeksi yang abnormal. Pada penderita PJR didapati dimensi LA, rasio LA/Ao, EF slope, IVSED, LVED, fraksi pemendekan, LVPWED dan fraksi ejeksi yang abnormal pada pemeriksaan M-mode. Terdapat perbedaan yang bermakna EF-slope, LVED, Fraksi pemendekan antara penderita DR dan PJR tanpa ataupun disertai gagal jantung pada pemeriksaan M-mode. Pemeriksaan ekokardiografi tidak mempunyai peran besar dalam membedakan DR dengan PJR, tetapi diperlukan untuk mengetahui kelainan jantung dan follow up. Kata kunci: Demam rematik = DR, Penyakit jantung rematik = PJR, MS = Mitral Stenose, MR = mitral regurgitasi, Aortic Regurgitasi = AR, Trikuspid Regurgitasi = TR, Pulmonal Regurgitasi = PR, LA = Left atrium, Ao = Aorta, IVS = Interventriculer septum ED = end diastolic dimension, LV = Left Ventricular, LVPW = Left Ventricular Posterior Wall Abstract: Retrospective study of echocardiography examination (2-DE, M-mode, Doppler and Color Doppler) on RF and RHD patients, during 9 years has been reviewed. The diagnosis of RF was based on Jones criteria (revision) 1965 or update 1992. The samples were child with RF or RHD and they could be with or without systemic disease, with or without congestive heart failure, together with or without treatment. The RF or RHD patients with Congenital Heart Disease were excluded from this study. The purpose of this study was to know the role of echocardiography examination and to differentiate the diagnosis of RF and RHD. The data was tabulated and presented in average and standard deviation. T test with probability (p<0.05) and confidence interval of 95% was performed in analyzing the data. There were 123 patients, consist of 54 RF patients (31 appeared with CHF) and 69 RHD patients (38 appeared with CHF). There were 115 patients with valve abnormality and 8 patients without valve abnormality. The MR and MS were most commonly found and followed by MR, AR, TR and PR. There were 8 pericardial effusion patients with valve abnormality. There were no

Page 40: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 193

significant differences among age, body weight and body length. On M-mode, there were abnormalities of LA dimension, LA/Ao ratio, IVSED, LVED, Shortening fraction and ejection fraction for RF patients. And for RHD patients there were abnormalities of LA dimension, LA/Ao ratio, EF-slope, IVSED, LVED, Shortening fraction, LVPWED and ejection fraction. There was significant difference between RF and RHD patients with or without heart failure on M-mode examination about EF-slope, LVED, and Shortening fraction. The Echocardiography examination did not have a big role in differentiating RF and RHD but it is required to know heart abnormality and follow up patient. Keywords: RF = Rheumatic fever, RHD = Rheumatic heart disease, MS = Mitral Stenosis, MR = mitral regurgitation, AR = Aortic Regurgitation, TR = Tricuspid Regurgitation, PR = Pulmonal Regurgitation, LA = Left atrium, Ao = Aorta, IVS = Interventriculer septum ED = end diastolic dimension, LV = Left Ventricular, LVPW = Left Ventricular Posterior Wall PENDAHULUAN

Demam rematik (DR) masih merupakan problem kesehatan dinegara sedang berkembang. Hal ini karena sekuele yang ditimbulkannya berupa cacat katup jantung dan merupakan penyebab terbanyak penyakit jantung didapat pada anak. Penyakit ini mempunyai hubungan dengan keadaan sosial, ekonomi, psikologi, pekerjaan sipenderita dan menimbulkan problem medik1-4. Infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan telah lama diketahui sebagai pencetus penyakit ini. Reaksi inflamasi yang terjadi biasanya berupa radang perivaskuler, dan distribusinya bisa bersifat diffus atau fokal1,2.

Penyakit ini dapat mengenai jantung, sendi, susunan saraf pusat, kulit dan jaringan sub kutan1-3. Manifestasi klinis yang paling sering ditemui berupa poliartritis migran, karditis, demam dan manifestasi klinis lain berupa korea sydenham, nodul subkutan dan eritema marginatum jarang ditemui 1,2,4,5. Tidak ada suatu test diagnostik yang spesifik untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Tidak ada simtom, tanda atau tes laboratorium yang patognomonik untuk menegakkan diagnosis penyakit ini 1. Gabungan beberapa hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium telah lama digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini, dan diagnosis yang akurat perlu ditegakkan karena penyakit ini dapat meninggalkan sekuele berupa cacat katup jantung yang lebih dikenal sebagai penyakit jantung rematik (PJR).

Pada tahun 1944 Kriteria Jones pertama kali digunakan sebagai pedoman untuk menegakkan diagnosis penyakit ini dan sampai saat ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan perbaikan. Menegakkan diagnosis penyakit ini sangat penting dikuasai karena adakalanya bisa terjadi underdiagnosis atau overdiagnosis 5,6 dalam menegakkan diagnosis. Perobahan dan perbaikan kriteria Jones telah beberapa kali dilakukan bertujuan untuk lebih akuratnya menegakkan diagnosis penyakit ini. Riwayat pernah menderita DR atau adanya PJR inaktif sebagai kriteria minor pada kriteria Jones revisi (1965) telah dikeluarkan dan tidak digunakan lagi pada kriteria Jones updated (1992). Problem yang dihadapi dalam menerapkan kriteria Jones updated (1992) adalah pada penderita dengan karditis ringan dimana bising jantung sukar dideteksi tanpa dan tidak disertai gejala non karditis lainnya. Saat ini pemeriksaan ekokardiografi (eko) sangat berperan dalam bidang pemeriksaan kardiologi terutama dalam menegakkan kelainan pada katup jantung. Dengan pemeriksaan eko, terutama doppler dan doppler berwarna dapat lebih tepat diketahui kelainan pada katup jantung dan gangguan hemodinamik yang timbul akibat dari kelainan katup yang terjadi. Pada anak yang menderita DR dan PJR diharapkan dengan pemeriksaan eko dapat lebih dikenali apakah ada karditis atau telah terjadi kelainan katup. Hal ini perlu diketahui dan dibedakan karena penting dalam penatalaksanaan DR dan PJR. Peranan pemeriksaan eko, terutama pemeriksaan doppler berwarna dalam

Page 41: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Abdullah Afif Siregar Demam Rematik dan Penyakit Jantung...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 194

menegakkan diagnosis karditis subklinis telah dikemukan beberapa peneliti 8-11. Meskipun pada pencegahan sekunder DR dan PJR diberikan terapi yang sama tetapi pada fase awal DR diperlukan pencegahan primer. Tetapi kriteria Jones updated (1992) menolak mencantumkan pemeriksaan eko untuk mendiagnosis DR.

Menjadi pertanyaan pada penelitian ini bagaimana peran pemeriksaan eko pada penderita DR dan PJR, apakah pemeriksaan eko dapat membantu membedakan diagnosis DR dan PJR pada anak pada saat kunjungan pertama?

Bila bermanfaat dapat membantu menegakkan diagnosis DR atau PJR pada anak saat kunjungan pertama dan membedakannya serta dapat membantu penderita DR atau PJR pada anak dalam penatalaksanaannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dari data catatan medik anak yang menderita DR dan PJR pada saat datang pertama kali di Bagian Anak FK-USU/SMF Anak dan Departemen Kardiologi FK-USU/SMF Kardiologi RS Haji Adam Malik Medan untuk rawat inap atau rawat jalan. Semua anak yang menderita DR atau PJR pada saat datang pertama kali datang untuk rawat inap atau rawat jalan pada periode Juli tahun 1993 sampai dengan Juli 2002 dimasukkan dalam penelitian ini. Diagnosis demam rematik ditegakkan dengan menggunakan kriteria Jones yang direvisi 1965 atau update 1992. Anak yang dimasukkan dalam penelitian ini anak yang menderita DR atau PJR dan telah dilakukan pemeriksaan eko baik 2-DE, M-mode, Doppler dan Doppler berwarna, baik dengan atau tanpa disertai penyakit sistemik lain yang menyertainya, dengan atau tanpa disertai gagal jantung, dengan atau tanpa pengobatan terhadap kausa penyakit sistemik lain yang menyertainya, gagal jantung gejala simtomatik yang menyertainya.

Anak yang menderita DR atau PJR yang disertai penyakit jantung bawaan baik sianotik maupun asianotik tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Sampel dipilih dari semua catatan medik yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan perhitungan dari rumus estimasi besar sampel, maka minimal diperlukan 43 sampel untuk masing-masing kelompok.

Rumus perhitungan sampel: z α2 (P1Q1 + P2Q2) n1 = n2 = d2 dengan mengambil: n = besar sampel untuk tiap kelompok P1 = proporsi populasi anak demam rematik

(0,07%) P2 = proporsi populasi yang diteliti (5%) D = tingkat kesalahan. Pada penelitian ini

dipergunakan tingkat kesalahan 10% (tingkat kepercayaan 90%)

α = tingkat kemaknaan. Pada penelitian ini dipergunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05 dan interval kepercayaan 95%. Dari tabel diperoleh nilai z α = 1,96

Protokol pemeriksaan penderita DR/PJR

meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin, ASTO, C-Reaktif Protein dan kultur apus tenggorokan, pemeriksaan elektrokardiografi, foto toraks dan ekokardiografi.

Pemeriksaan eko awal dilakukan pada saat masuk rumah sakit sampai dengan hari ke-3 dengan menggunakan mesin ekokardiografi merek Kontron instrument tipe sigma 1 cardio anglais SNIN 5900 code 790400 sejak tahun 1993 dengan menggunakan transduser frekuensi 3,5 MHz dan hanya dapat melakukan pemeriksaan 2 DE dan M-mode. Sejak tahun 2001 selain dengan mesin di atas digunakan juga pemeriksaan dengan menggunakan mesin ekokardiografi merek GE logiq 400 CL dengan transduser 3,5 MHz dan dapat melakukan pemeriksaan 2 DE, M-mode, doppler dan doppler berwarna.

Pemeriksaan 2-DE ditujukan untuk menilai kondisi katup jantung dan gerakannya. Pengukuran M-mode dilakukan dengan menggunakan rekomendasi American Society of Echocardiography 20,24 untuk menentukan dimensi ventrikel kiri pada saat sistolik akhir dan diastolik akhir, dimensi ventrikel kanan

Page 42: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 195

pada diastolik akhir, diameter aorta pada diastolik akhir dan atrium kiri pada sistolik akhir. Nilai normal dimensi ventrikel kiri, septum interventrikel dan dinding posterior ventrikel kiri dibandingkan dengan nilai standard12. Pembesaran atrium kiri dinyatakan bila rasio atrium kiri terhadap diameter aorta > 1,3. Fraksi ejeksi ditentukan dari hasil perhitungan komputer kedua mesin ekokardiografi tersebut dengan metode Teicholz.

Pemeriksaan doppler dan doppler berwarna katup mitral dan trikuspid dilakukan dengan potongan posisi apical 4 chamber view untuk menentukan arah dan derajat aliran darah melalui mitral dan trikuspid, potongan posisi apical five chamber view dilakukan untuk menentukan arah aliran darah melalui aorta serta potongan posisi parasternal short axis pinggir kiri atas sternum dilakukan untuk menentukan arah aliran darah melalui katup pulmonal.

Pemeriksaan eko dilakukan pada saat masuk sampai hari ketiga. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan nilai baku normal pada anak berdasarkan berat badan saat masuk. Fraksi ejeksi dan fraksi pemendekan dihitung dari dimensi ventrikel kiri dan digunakan sebagai petunjuk fungsi ventrikel. Nilai yang diperoleh dibandingkan dengan dengan nilai baku yaitu rerata 74% dengan kisaran 64-83% untuk fraksi ejeksi dan rerata 36% dengan kisaran 28-44% untuk fraksi pemendekan 12,20. Fraksi ejeksi dihitung berdasarkan:

EDV - ESV EF = ---------------------x 100% EDV nilai normal = 74% (64%–83%) Fraksi pemendekan dihitung berdasarkan:

LVED – LVES SF = ------------------------ x 100% LVED Nilai normal = 36% (28%–44%)

Data yang diperoleh ditabulasi dan

dinyatakan dengan nilai rerata dan simpang baku. Dilakukan analisa statistik dengan uji t dengan tingkat kemaknaan p<0,05. dengan confidence interval 95%. Analisa data dengan mempergunakan komputer program SPSS.

HASIL PENELITIAN Tidak semua penderita dapat dilakukan

pemeriksaan eko karena problem biaya pemeriksaan dan kondisi penderita.

Selama periode Juli tahun 1993 sampai Juli 2002 tercatat 123 penderita demam rematik dan penyakit jantung rematik yang memenuhi kriteria penelitian. Secara klinis dari 123 penderita didapati 54 orang menderita demam rematik dan 69 menderita penyakit jantung rematik. Secara klinis dari 54 penderita DR 31 orang dengan gagal jantung dan dari 69 penderita PJR 38 orang mengalami gagal jantung. Didapati 115 penderita dengan kelainan katup jatung dan 8 tanpa kelainan katup yaitu berupa artritis, korea dan gangguan irama. Kelainan katup terbanyak berupa regurgitasi mitral (MR) dan stenosis mitral (MS) dan diikuti regurgitasi mitral, regurgitasi aorta (AR), regurgitasi trikuspid (TR) dan regurgitasi pulmonal (PR). Selain itu didapati 8 effusi perikard yang menyertai kelainan katup. Pada Tabel 1 dapat dilihat kelainan katup yang didapat yang ditegakkan secara klinis dan didukung pemeriksaan eko.

Tabel 1. Kelainan katup pada demam rematik dan penyakit jantung rematik

Kelainan Katup Jumlah Persen MR + MS 50 43,47 MR 33 28,69 MR+ MS + AR 9 7,82 MS 8 6,95 MR + AR 8 6,95 AR 3 2,60 MS + TR 1 0,86 MR + MS + AR 1 0,86 MR + MS + AR + TR 1 0,86 MR + MS + AR + TR + PR 1 0,86 Jumlah 115 100

Keterangan: MR = regurgitasi mitral; MS = stenosis mitral;

AR = regurgitasi aorta; TR = regurgitasi trikuspid; PR = regurgitasi pulmonal.

Dari 123 penderita didapati 107 penderita

yang dilakukan pemeriksaan eko, 87 orang hanya dilakukan pemeriksaan 2-DE dan M-mode dan 20 orang lagi dilengkapi dengan doppler dan doppler berwarna di samping pemeriksaan 2-DE dan M-mode. Penderita terdiri dari 56 perempuan dan 51 laki dan 46

Page 43: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Abdullah Afif Siregar Demam Rematik dan Penyakit Jantung...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 196

didiagnosis sebagai demam rematik dan 61 sebagai penyakit jantung rematik. Umur penderita termuda 4 tahun dan tertua 15 tahun dengan rerata 10,62 + 2,62 tahun. Berat badan berkisar antara 11–55 kg dengan rerata 26,0 + 8,86 kg dan tinggi badan berkisar 99–175 cm dengan rerata 130,74 + 15,57 cm. Umur, berat dan tinggi penderita dapat dilihat pada Tabel 2 dan dengan uji t tidak didapati perbedaan diantara kelompok DR dan PJR. Tabel 2. Karakteristik penderita DR dan PJR Parameter DR PJR n= 46 n = 61 p Umur (tahun) 10,26 + 2,56 10,90 + 2,68 0,214Berat badan (kg) 25,85 + 8,65 26,12 + 9,33 0,881Tinggi badan (cm) 130,5 + 13,14 130,92 + 17,42 0,893

Pemeriksaan M mode dilakukan pada 107 penderita dan bila penderita dikelompokkan atas kelompok demam rematik dan kelompok penyakit jantung rematik didapati pembesaran atrium kiri dari nilai normal pada penderita

DR maupun PJR dan aorta tidak mengalami pembesaran. Pada penderita PJR didapati penurunan nilai EF slope lebih rendah dari penderita DR dan dengan uji t perbedaan tersebut bermakna. Nilai IVS maupun LVPW masih dalam batas-batas normal. Dimensi ventrikel kiri mengalami pembesaran dari nilai normal pada penderita DR maupun PJR baik pada saat diastole maupun sistole, dan pada DR lebih besar dibanding dengan PJR dan dengan uji t perbedaan tersebut bermakna. Fraksi ejeksi pada DR dan PJR sedikit menurun dibanding nilai normal, tetapi tidak didapati perbedaan diantara keduanya, sedangkan nilai fraksi pemendekan juga menurun sedikit tetapi masih dalam batas-batas normal tetapi dengan uji t didapati perbedaan diantara DR dan PJR. Persentase penebalan IVS dan LVPW di atas nilai normal baik pada DR dan PJR tetapi dengan uji t perbedaan tersebut tidak bermakna.

Pada Tabel 3 dapat dilihat beberapa nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan M-mode penderita DR dan PJR disertai nilai uji t.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan M-mode penderita DR dan PJR

Parameter DR n = 46

PJR n = 61

p

Atrium kiri (mm) 36.01 + 10.13 38.87 + 10.32 0.156 Aorta (mm) 21.42 + 3.16 20.42 + 4.92 0.230 Rasio LA/Ao 1.71 + 0.51 2.36 + 3.20 0.177 EF slope (mm/sec) 97.32 + 51.18 70.6 + 38.53 0.03 * IVS ED (mm) 7.42 + 1.53 7.35 + 1.86 0.837 IVS ES (mm) 10.37 + 1.87 10.48 + 2.75 0.817 % IVS 42.0 + 21.1 44.5 + 26.1 0.598 LVED (mm) 50.43 + 8.49 45.87 + 11.28 0.025* LVES (mm) 33.75 + 7.51 31.78 + 8.05 0.204 Fraksi pemendekan (persen) 33.33 + 7.42 30.44 + 7.37 0.050* LVPW ED (mm) 7.44 + 1.63 8.05 + 2.16 0.115 LVPW ES (mm) 11.07 + 2.33 11.55 + 2.86 0.356 % LVPW 49.9 + 16.6 64.5 + 13.85 0.481 Fraksi ejeksi (persen) 63.91 + 10.61 62.28 + 12.26 0.478

Keterangan: IV = interventricle septum; LV = Left ventricle; LVPW = Left ventricle posterior wall; ED = End diastolic; ES =

End systolic; LA = Left atrium; Ao = Aorta. Angka yang ditebalkan merupakan nilai abnormal (lebih besar atau lebih kecil).

Page 44: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 197

Tabel 4. Hasil pemeriksaan M-mode penderita DR dan PJR

Gagal Jantung Tanpa Gagal Jantung Parameter

DR n = 30

PJR n = 35

p DR n = 16

PJR N = 26

P

Atrium kiri (mm) 38.64 + 10.93

41.31 + 8.53 0.273 31.08 + 6.10 35.58 + 11.71 0.163

Aorta (mm) 20.96 + 2.90 20.18 + 5.51 0.490 22.29 + 3.52 20.74 + 4.06 0.215 Rasio LA/Ao 1.86 + 0.538 2.77 + 4.16 0.241 1,41 + 0.31 1.80 + 0.78 0.068 EF slope (mm/sec) 94.99 +

42.23 63.26 + 39.02 0.003* 101.68 +

66.17 80.48 + 36.26 0.186

IVS ED (mm) 7.68 + 1.33 8.10 + 1.86 0.301 6.94 + 1.80 6.25 + 1.22 0.159 IVS ES (mm) 10.74 + 1.84 10.96 + 2.83 0.722 9.68 + 1.78 9.79 + 2.52 0.883 % IVS 41.36 +

20.70 35.57 + 18.27 0.235 43.20 + 22.45 57.52 + 30.40 0.115

LVED (mm) 53.23 + 8.44 44.81 + 13.26 0.004* 45.19 + 5.79 47.42 + 7.54 0.322 LVES (mm) 35.52 + 7.52 31.45 + 9.33 0.060 30.43 + 6.48 32.27 + 5.86 0.359 Fraksi pemen dekan (persen)

33.48 + 7.56 29.43 + 7.69 0.037* 33.04 + 7.40 31.91 + 6.76 0.620

LVPW ED (mm) 7.87 + 1.70 8.58 + 2.42 0.182 6.65 + 1.15 7.28 + 1.45 0.150 LVPW ES (mm) 11.56 + 2.51 12.29 + 3.03 0.299 10.16 + 1.67 10.49 + 2.26 0.628 % LVPW 47.94 +

18.01 45.02 + 17.36 0.508 53.68 + 13.31 92.88 + 21.56 0.474

Fraksi ejeksi (persen) 62.33 +

11.86 61.50 + 12.72 0.788 65.36 + 9.43 63.40 + 11.72 0.579

Keterangan: IV = interventricle septum; LV = Left ventricle; LVPW = Left ventricle posterior wall; ED = End diastolic; ES =

End systolic; LA = Left atrium; Ao = Aorta. Angka yang ditebalkan merupakan nilai abnormal (lebih besar atau lebih kecil).

Bila pemeriksaan M-mode pada masing-

masing penderita DR dan PJR dikelompokkan atas adanya gagal jantung dan tanpa gagal jantung maka didapati pembesaran atrium kiri dibanding dengan nilai normal baik pada penderita DR dan PJR dengan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung. Nilai Aorta pada penderita DR tanpa gagal jantung sedikit membesar dibanding nilai normal sedang pada penderita pada DR dan PJR dengan gagal jantung dan pada penderita PJR tanpa gagal jantung masih dalam batas nilai normal. Nilai rasio atrium kiri dibanding aorta juga lebih dari 1,3 baik pada penderita DR dan PJR dengan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung Nilai EF slope pada penderita PJR dengan gagal jantung lebih rendah dari normal dan dengan uji t didapati perbedaan yang bermakna antara EF slope penderita PJR dengan gagal jantung dibanding penderita DR

tanpa gagal jantung. Nilai septum interventrikel pada penderita DR dan PJR dengan gagal jantung lebih besar dari normal, sedang pada penderita DR dan PJR tanpa gagal jantung nilainya masih dalam batas normal. Nilai dimensi ventrikel kiri pada penderita DR dan PJR baik pada keadaan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung lebih besar dari normal. Dengan uji t pembesaran ini hanya berbeda secara bermakna pada penderita dengan gagal jantung dan pada penderita tanpa gagal jantung perbedaan tersebut tidak bermakna. Fraksi pemendekan pada penderita DR dan PJR baik dengan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung sedikit menurun tetapi masih dalam batas-batas normal dan dengan uji t didapati perbedaan yang bermakna fraksi pemendekan antara DR dengan gagal jantung dibanding PJR dengan gagal jantung, sedang

Page 45: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Abdullah Afif Siregar Demam Rematik dan Penyakit Jantung...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 198

pada kelompok tanpa gagal jantung tidak didapati perbedaan diantara DR dan PJR. Dinding ventrkel kiri juga lebih besar dari normal pada penderita DR dengan gagal jantung dan PJR dengan gagal jantung dan pada kelompok PJR tanpa gagal jantung, tetapi pada penderita DR tanpa gagal jantung nilainya masih dalam batas-batas normal dan penebalan ini secara statistik tidak bermakna antara penderita DR dan PJR baik dengan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung. Fraksi ejeksi pada kelompok penderita DR dan PJR dengan gagal jantung maupun tanpa gagal jantung sedikit menurun dibanding nilai normal tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan M-mode penderita DR dan PJR yang dikelompokkan atas adanya gagal jantung dan tanpa gagal jantung disertai nilai uji t.

Pada pemeriksaan 2-DE didapati penebalan daun katup mitral baik yang anterior ataupun posterior yang ditandai dengan bertambahnya ekogenisiti dari daun katup mitral. Penebalan daun katup mitral didapati pada 57 (53,2%) penderita masing-masing 19 (17,75%) pada kasus DR dan 38 (35,51%) pada kasus PJR. Di samping penebalan daun katup mitral juga didapati gerakan daun katup mitral yang kaku. Selain itu didapati prolaps daun katup mitral baik yang anterior ataupun posterior pada 24 (22,42%) kasus masing-masing 15 (14,01%) pada kasus DR dan 9 (8,41%) kasus PJR. Efusi perikard didapati pada 8 kasus yang dikonfirmasi juga dengan pemeriksaan M-mode dan umumnya ringan dan tidak ada disertai dengan tanda tamponade jantung. Di samping itu didapati 1 kasus dengan trombus di atrium kiri pada penderita MS. Dilatasi anulus katup mitral tidak dapat dikemukakan karena tidak dievaluasi pada catatan medik yang tersedia. Penebalan daun katup mitral disertai penurunan nilai EF slope didapati pada penderita MS termuda berusia 6 tahun.

Pemeriksaan doppler dan doppler berwarna hanya dilakukan pada 20 penderita. Dari 20 penderita didapati 16 kasus regurgitasi mitral dengan rerata velocity 4.27 m/sec, 12 kasus regurgitasi aorta dengan rerata velocity 3.16 m/sec, 9 kasus regurgitasi trikuspid dengan rerata velocity 2.46 m/sec, dan 4 kasus regurgitasi pulmonal dengan

velocity 2.22 m/sec. Hanya 11 kasus yang diukur area mitral valve dengan cara pressure half time dan rerata area mitral valve 2.67 cm2, pada kasus MR maupun kasus MS. Pada kasus MS saja area mitral valve rerata sebesar 1.84 cm2. Penilaian derajat regurgitasi katup dengan tehnik doppler berwarna secara kwalitatif tidak dilakukan. Kelainan yang didapati berupa kelainan tunggal dan kombinasi. PEMBAHASAN

DR dan PJR masih merupakan problem kesehatan pada anak karena insidensnya sepanjang tahun masih tetap. Pada penelitian ini selama 8 tahun didapati 123 kasus baru DR dan PJR. Setiap tahun didapati kasus baru DR dan PJR. Juga didapati seorang anak berusia 6 tahun dengan MS. Penelitian mengenai pemeriksaan eko DR dan PJR pada anak di Indonesia belum banyak dipublikasi. Pemeriksaan eko pada DR dan PJR perlu dilakukan karena dapat menilai derajat dan jenis kelainan jantung yang terlibat. Penelitian ini untuk melihat hasil pemeriksaan eko pada DR dan PJR pada anak pada saat kunjungan pertama. Penelitian lain melaporkan mengenai pemeriksaan eko pada DR akut saja, berupa penelitian prospektif dan ada yang berupa retrospektif dan tidak menyertakan PJR 19-22. Pada penderita DR kebocoran katup yang ringan tidak dapat dideteksi dengan auskultasi, tetapi dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan eko doppler 12,13,15,19. Kelainan katup yang terbanyak didapati pada penelitian ini melibatkan katup mitral, aorta, trikuspid dan pulmonal, seperti pada penelitian lain 10,11,17,18,19. Keterlibatan katup mitral murni ataupun bersamaan dengan katup lainnya didapati sebesar 97,40% dan keterlibatan katup aorta murni sebesar 2,60%. Keterlibatan ini secara klinis dan didukung dengan pemeriksaan eko 2-DE, M-mode dan doppler. Peranan eko doppler sangat besar terutama untuk menilai regurgitasi trikuspid dan pulmonal yang didapati pada 3 kasus yang dengan auskultasi tidak dapat didengar. Keterlibatan mitral pada DR dan PJR paling sering didapati dan dilaporkan berupa regurgitasi maupun stenosis10,17,25. Pada mitral regurgitasi sering didapati pembesaran dimensi LV dan LA bergantung pada derajat regurgitasi yang terjadi17. Pada stenosis mitral

Page 46: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 199

yang murni didapati pembesaran dimensi LA dan pada penelitian ini hanya didapati 8 kasus MS murni dan selebihnya disertai dengan MR dan umumnya didapati pembesaran atrium kiri. Pada penelitian ini didapati pembesaran LA dan LV. Meskipun LA lebih besar pada PJR dibanding DR tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Juga didapati penurunan nilai EF slope pada PJR dibanding DR dan perbedaan ini bermakna. Penurunan nilai EF slope menunjukkan adanya MS. Didapati nilai LV lebih besar pada DR dibanding PJR dan perbedaan ini bermakna. Fungsi ventrikel kiri dapat dinilai dari fraksi ejeksi dan fraksi pemendekan. Pada penelitian ini fraksi ejeksi diantara DR dan PJR keduanya menurun dibanding nilai baku tetapi secara statistik perbedaan ini tidak bermakna dan hanya fraksi pemendekan yang menurun sedikit dari nilai normal dan perbedaan ini bermakna. Pada analisa statistik berikut penderita DR dan PJR dipisahkan dalam kelompok yang mengalami gagal jantung dan tanpa gagal jantung dan semua parameter diuji. Didapati beberapa parameter yang nilainya abnormal pada kelompok DR dan PJR dengan gagal jantung dan tanpa gagal jantung. Dengan uji t didapati perbedaan yang bermakna didapati pada kelompok gagal jantung yaitu pada nilai EF slope, dimensi LV dan fraksi pemendekan. Bila dilihat Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat nilai yang berbeda secara bermakna didapati pada parameter yang sama yaitu pada nilai EF slope, dimensi LV dan fraksi pemendekan. Dari penelitian ini tampaknya yang memberikan gambaran ekokardiografi M-mode yang berbeda didapati pada kelompok yang secara klinis mengalami gagal jantung, sedang pada kelompok tanpa gagal jantung tidak mengalami perbedaan yang bermakna. Vasan11 dalam penelitiannya menemukan sebagian besar pasiennya mempunyai fungsi sistolik ventrikel kiri yang normal dan gagal jantung berhubungan dengan adanya gangguan hemodinamik akibat lesi katup yang bermakna.

Ty dan Ortis17 melaporkan keterlibatan mitral sebesar 86% dan Sukman18 melaporkan keterlibatan mitral sebesar 100% pada penderita demam rematik yang dilakukan pemeriksaan eko doppler dan Vasan melaporkan keterlibatan katup mitral sebesar 94% pada DR episode pertama dan sebesar

84% pada karditis berulang. Prashanti19 mendeteksi 90% kasus serangan awal DR memperlihatkan karditis dengan eko 2-DE dan doppler berwarna dan 80% merupakan Mitral regurgitasi dan 75% mempunyai penebalan daun katup mitral. Medeiros10 melaporkan terdapatnya mitral regurgitasi 100% pada kasus yang ditelitinya. Meskipun didapatinya keterlibatan katup mitral pada penelitian ini dan penelitian lainnya hampir sama, tetapi ada perbedaan, dimana penelitian ini meliputi DR dan PJR sedang penelitian lainnya hanya pada DR. Calleja23 melaporkan pada penderita PJR paling sering mengenai katup mitral diikuti katup aorta, katup trikuspid dan katup pulmonal. Kelainan itu bisa berupa kelainan tunggal, ganda, tripel dan kuadripel.

Pemeriksaan 2-DE dapat memberikan gambaran keadaan katup mitral. Pada penelitian ini didapati kelainan katup mitral sebesar 53,27% berupa penebalan daun katup mitral, prolapse katup mitral dan gerakan katup mitral yang kaku, dan adanya effusi perikard, dan trombus di LA. Ty dan Ortis 17 dan Medeiros10 juga melaporkan kelainan katup mitral pada pemeriksaan 2-DE pada kasus DR. Kelainan yang mereka dapati berupa penebalan daun katup, prolaps, dilatasi anulus, effusi perikard, perlekatan kommisura tanpa stenosis, ruptur kordae, vegetasi dan stenosis. Prashanti 19 juga mendapati kasus DR yang ditelitinya mempunyai penebalan daun katup mitral (75%), gerakan daun katup mitral yang restriksi (22,9%), flail anterior mitral valve, prolaps daun katup anterior, ruptur korda. Ia juga mendapati regurgitasi aorta 32,5%, keterlibatan katup trikuspid 22,5% dan effusi perikard 10%. Vasan 11 juga menemukan regurgitasi mitral paling banyak didapati di samping penebalan katup mitral dengan atau tanpa restriksi gerakan daun katup pada karditis rematik dan karditis rematik berulang. Figueroa25 juga menemukan paling banyak keterlibatan katup mitral dan kemudian katup aorta pada penelitiannya.

Pemeriksaan eko doppler pada penderita DR dan PJR pada anak sangat penting dilakukan karena pada penderita DR/PJR dengan kebocoran katup ringan yang tidak dapat dideteksi dengan auskultasi, dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan eko doppler9,15. Belakangan ini diusulkan untuk

Page 47: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Abdullah Afif Siregar Demam Rematik dan Penyakit Jantung...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 200

menegakkan diagnosis DR dengan eko doppler berwarna untuk mendeteksi adanya regurgitasi yang sulit dideteksi dengan auskultasi terutama pada kasus dengan takikardia 15. Tetapi pemeriksaan eko doppler sangat sensitif karena pada orang normal bisa didapati sebesar 3–45% MR ringan 21. Pada penelitian ini juga didapati effusi perikard 8 kasus, trombus di LA 1 kasus dan regurgitasi trikuspid dan pulmonal pada 3 kasus, yang secara klinis tidak dapat ditegakkan, tetapi dapat diketahui dari pemeriksaan eko. Selain itu dengan eko doppler dapat dihitung area mitral valve, tetapi pada penelitian ini jumlah yang diperiksa sangat sedikit sehingga kurang layak untuk dianalisa. Pemeriksaan eko pada anak dengan DR dan PJR perlu dilakukan untuk menilai kelainan pada katup jantung dan kelainan lain yang menyertainya. Sebaiknya dilakukan pada saat kunjungan pertama untuk mengetahui kelainan katup pada fase dini dan menyingkirkan kelainan yang kronis. Hal ini perlu pada penatalaksanaan DR dan PJR pada anak.

Pada penelitian ini didapati penderita PJR lebih banyak dibanding DR pada saat pertama kali berkunjung. Disini tampak pentingnya peran deteksi dini menegakkan diagnosis DR. Diagnosis dini DR perlu ditegakkan untuk memberikan pengobatan yang tepat, mencegah berulangnya demam rematik dan mencegah kerusakan katup jantung berlanjut. Penderita DR yang berlanjut menjadi PJR terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat. Banyak faktor yang berperan dalam hal ini. Tidak hanya faktor medik, tetapi juga faktor lain diluar medik. Tetapi segi medik memegang peranan penting karena serangan ulangan DR dapat dicegah dengan obat-obatan.

Penelitian ini mempunyai keterbatasan karena: 1). Bersifat retrospektif, sehingga kemungkinan

data yang tercatat tidak seragam dan sama dalam penulisannya, dan tidak tercatat sempurna.

2). Untuk menegakkan diagnosis DR digunakan 2 kriteria yaitu Kriteria Jones Revisi (1965) dan Kriteria Jones Update (1992), yang sama dalam kriteria mayor, tetapi berbeda dalam kriteria minor.

3). Digunakan 2 alat ekokardiografi yang berbeda dengan fasilitas pemeriksaan yang

tidak sama, dimana alat pertama hanya dapat melakukan pemeriksaan 2-DE dan M-Mode, dan alat kedua lebih lengkap serta dilengkapi dengan 2-DE, M-mode, Doppler dan doppler berwarna. Penelitian lain umumnya meng gunakan alat ekokardiografi yang lengkap dengan 2-DE, M-mode, doppler dan doppler berwarna.

4). Di samping itu dalam pengolahan data M-mode semua jenis dan jumlah kelainan katup disatukan pada penderita DR dan PJR. Tidak dibedakan antara kelainan katup tunggal atau ganda atau lebih. Semua kelainan katup tidak dipisahkan dan dianalisa secara tersendiri. Hal ini disadari sangat akan mempengaruhi hasil analisa.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini anak yang menderita DR dan PJR selalu mengalami kelainan katup. Didapati penderita MS termuda berusia 6 tahun. Kelainan katup yang tersering terlibat adalah mitral, aorta, trikuspid dan pulmonal, berupa regurgitasi dan stenosis, yang dapat dideteksi secara klinis dan pemeriksaan eko.

Pada penelitian ini meskipun didapati kelainan beberapa parameter pemeriksaan eko pada anak yang menderita DR dan PJR, tetapi kelainan tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, sehingga pemeriksaan eko tidak mempunyai peran yang besar dalam membedakan DR dengan PJR. Tetapi pemeriksaan eko tetap diperlukan pada anak yang menderita DR dan PJR untuk mengetahui kelainan ikutan pada jantung dan pada follow up penderita. SARAN

Meskipun diagnosis DR ditegakkan dengan Kriteria Jones, pada semua penderita DR dan PJR sebaiknya dilakukan pemeriksaan eko yang lengkap meliputi 2-DE, M-mode, doppler dan doppler berwarna untuk menilai keterlibatan katup dan kelainan lainnya. Pemeriksaan tidak hanya pada saat awal serangan DR tetapi juga dilakukan secara serial dan reguler untuk mengetahui kelanjutan kelainan katup yang terjadi. Hal ini perlu pada penatalaksanaan DR dan PJR pada anak yang memerlukan pencegahan sekunder. Obat-obatan pencegahan sekunder yang murah, mudah diperoleh harus selalu tersedia pada tempat pelayanan kesehatan primer maupun lanjutan.

Page 48: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 201

DAFTAR PUSTAKA 1. Lopez WL, de la Paz AG. Jones Criteria

for Diagnosis of Rheumatic Fever. A Historical Review and Its Applicability in Developing Countries. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic fever and Rheumatic Heart Disease, epidemiology, clinical aspect, management and prevention and control programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic fever/rheumatic heart disease: Manila, 2001; p. 17–26.

2. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York, 2001; p. 1657–65.

3. Meador RJ, Russel IJ, Davidson A, et al. Acute Rheumatic Fever. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm.

4. Stollerman GH. Rheumatic fever (Seminar). Lancet 1997; 349: 935–42.

5. Madiyono B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta 2001. p. 3–16.

6. Stollerman GH. Can We Eradicate Rheumatic Fever in the 21st Century? Indian Heart J 2001; 53: 25–34.

7. Parillo S, Parillo CV, Sayah AJ, et al.Rheumatic Fever. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic509.htm.

8. Narula J, Chandrasekar Y, Rahimtoola S. Diagnosis of active rheumatic carditis. The Echoes of change. Circulation 1999; 100:1576–81.

9. Saxena A. Diagnosis of Rheumatic Fever: Current Status of Jones Criteria and Role of Echocardiography. Indian J Pediatr; 2000 Mar: 67(3 Suppl.): S11-4.

10. Medeiros CCJ, Moraes AV, Snitcowsky R, et al. Echocardiographic Diagnosis of Rheumatic Fever and Rheumatic Valvar Disease. Cardiol Young 1992; 2: 236–39.

11. Vasan RS, Shrivastava S, Vijayakumar M, et al. Echocardiographic Evaluation of Patients with Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Carditis. Circulation 1996; 94: 73–82.

12. Park MK. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for Practitioners; 3rd ed. St. Louis: Mosby, 1996; p. 302–09.

13. Achutti A, Achutti VR. Epidemiologi of Rheumatic Fever in The Developing World. Cardiol Young 1992; 2: 206–15.

14. Stollerman GH. Rheumatic Fever As We Enter The 21st Century. Available from: http://www/rheumatic%20fever%20as%20we%20enter%20the%2021st%20centuryhtm.

15. Veasy GL. Rheumatic Fever–T. Duckett Jones and The Rest of The Story. Cardiol Young 1995; 5: 293–01.

16. Williamson L, Bowness P, Mowat A, et al. Difficulties in Diagnosing Acute Rheumatic Fever-Arthritis May Be Short Lived and Carditis Silent. BMJ 2000; 320: 362–65.

17. Ty ET and Ortiz EE. M-mode, cross sectional and color flow Doppler echocardiographic finding in acute rheumatic fever. Cardiol Young 1992; 2: 229–35.

18. Sukman TP, Sastroasmoro S, Madiyono B, et al. Echocardiographic Diagnosis of Acute Rheumatic Fever in Children. Paediat Indones 1993; 33: 227–31.

19. Prashanthi SV, Raju PK, Rao KL, et al. Initial Attack of Acute Rheumatic Fever a Clinical and Echocardiographic Study (Echocardiography and Rheumatic Fever). Presented at 54th Joint Annual Conference of Association of Physicians of India, January 1999. Available from: hhtp:// www./ICI%20Pharmaceuticals%20-%20 Medi%20Forum.RF.htm.

20. Snider AR, Serwer GA. Methods for Obtaining Quantitative Information from The Echocardiographic Examination. In: Echocardiography in pediatric heart disease; Year book medical publisher, Inc; Chicago, 1990; p. 78–133.

Page 49: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Abdullah Afif Siregar Demam Rematik dan Penyakit Jantung...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 202

21. Sanyal SK. Long term sequelae of The First Attack of Acute Rheumatic Fever During Chilhood. In: Emmanouilides GC, Riemenschneider TA, Allen HD, Gutsegell HP. Moss and Adams Heart disease in infants, children, and adolescent; vol. I; 5th ed. Williams & Wilkins: Baltimore, 1995; p.1416–40.

22. Calleja HB, Guzman SV. Advocacy for Echocardiography in Jones Criteria for The Diagnosis of Rheumatic Fever. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic fever and rheumatic heart disease, epidemiology, clinical aspect, management and prevention and control programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic fever/rheumatic heart disease: Manila, 2001; p. 27–33.

23. Calleja HB. Rheumatic mitral valve disease. I. Mitral Stenosis. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease, Epidemiology, Clinica Aspect, Management and Prevention and Control Programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic fever/rheumatic heart disease: Manila, 2001; p. 198–203.

24. Oh JK, Seward JB, Tajik AJ. Assesment of Ventricular Function. In Oh Jk, Seward JB, Tajik AJ. The Echo Manual 2nd ed. Lippincot Williams & Wilkins: Philadelphia; 1999. p. 37–43.

25. Figueroa FE, Fernandez MS, Valdes P, et al. Prospective Comparison of Clinical and Echocardiographic Diagnosis of Rheumatic Carditis: Long Term Follow Up of Patients with Subclinical Disease. Heart 2001; 85: 407–10.

26. Dajani A, Taubert K, Ferrieri P, et al. Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis and Prevention of Rheumatic Fever; A statement for health profesional by Comitte on Rheumatic fever, endocarditis, and Kawasaki disease of the council on cardiovascular disease in the young, American Heart Association. Pediatrics 1995; 96: 758–64.

27. Snitcowsky R. Medical Treatment of Acute Episodes of Rheumatic Fever. Cardiol Young 1992; 2: 240-43.

Page 50: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 203

Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbid

Harun Alrasyid Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran USU Medan

dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa studi epidemiologi memperlihatkan peningkatan insidensi penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes mellitus serta penyakit jantung dan pembuluh darah pada pertambahan indeks massa tubuh. Lebih lanjut diketahui bahwa distribusi lemak sentral dibanding dengan pertambahan lemak perifer ada hubungannya dengan peningkatan angka kematian dan kesakitan. Dalam kaitan ini penelitian epidemilologi menunjukkan bahwa tingginya konsumsi makanan berbasis kedelai dengan kandungan isoflavon menggantikan pola makanan yang relatif tinggi kandungan lemak jenuh dan kolesterol, berhubungan dengan rendahnya insidensi penyakit jantung dan pembuluh darah. Bentuk pola diet seperti ini berpotensi mendukung penurunan berat badan sekaligus pencegahan komorbid pada obesitas. Kata kunci: tempe kedelai, obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, indeks glikemik, isoflavon Abstract: Prevalence of obese is rapidly becoming one of the most important medical and public health problems in countries worldwide, as well as in Indonesia. Epidemiological studies have reported a progressive increases in incidence of chronic diseases as hypertension, diabetes and coronary heart disease with increasing body mass index. Furthermore, its known that a central distribution of body fat is associated with a higher risk of morbidity and mortality than a more peripheral distribution of body fat. Epidemiologigal research shows that in many countries where the incidence of cardiovascular disease is low, consumption of soybean-based foods contained isoflavon is high. Furthermore to be reduced calories intake by introduced low glycemic index, high-fiber foods potentially assist in weight loss and management of obesity and comorbid. Keywords: soybean-based food, obesity, hypertension, diabetes, cardiovascular disease, low glycemic index foods, isoflavone

PENDAHULUAN

Obesitas dengan permasalahannya telah merupakan masalah kesehatan epidemi didunia, kondisi mana juga mencuat di Indonesia.1,2 Survei morbiditas dan disabilitas yang merupakan bahagian dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 di Indonesia memperlihatkan kecenderungan kenaikan prevalensi obesitas khususnya pada wanita sejalan dengan pertambahan usia (mencapai 41–50% pada usia di atas 55 tahun).3

Studi epidemiologis oleh Indonesian Society for the Study of Obesity (ISSO, HISOBI) yang dilaksanakan pada tujuh kota besar di Indonesia termasuk Medan dan melibatkan 6318 subjek usia 20 tahun keatas dari berbagai suku memperlihatkan prevalensi kumulatif overweight (menggunakan batasan IMT 23–24,9 kg/m2) dan obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2) rata-rata 46,45%.4 Sebagai perbandingan, prevalensi kombinasi overweight dan obesitas pada orang dewasa di Malaysia berkisar antara 26%–53% (rata-rata 39%).5

TINJAUAN PUSTAKA

Page 51: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Harun Alrasyid Peranan Isoflavon Tempe Kedelai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 204

Selain risiko diabetes melitus tipe-2 dan penyakit kardiovaskular, tingginya angka kematian pada obesitas juga dikaitkan dengan beberapa penyulit lain. Dikemukakan bahwa jaringan adiposa visera merupakan faktor risiko independent obesitas abdominal pada inti problem sindrom metabolik (MetS).6 Penelitian di Eropa dan Jepang memperlihatkan bahwa salah satu faktor risiko penyebab emboli paru pada populasi wanita adalah kelompok yang memiliki IMT ≥ 25,0 kg/m2.7

Penguatan potensi terjadinya trombosis akut berpengaruh pula terhadap meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular, dihubungkan dengan hiperinsulinemia dan toleransi glukosa terganggu yang dapat berlangsung pada obesitas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa obesitas visera (dalam kondisi hiperinsulinemia) berhubungan dengan penurunan konsentrasi sex hormone binding (SHBG) dan kenaikan konsentrasi androgen bebas.8

Ditemukannya leptin (suatu protein) dalam riset jaringan adiposit khususnya pada bagian visera abdomen, membuktikan bahwa jaringan adiposa juga merupakan organ endokrin. Pada penelitian lanjut ditemukan pula beberapa substansi protein lainnya berupa sitokin atau molekul menyerupai sitokin yang dikelompokkan sebagai adipositokin atau adipokin. Beberapa dari protein ini berperan sebagai sitokin inflamasi, fungsi metabolisme lemak, sementara yang lainnya berperan dalam hemostasis vaskular, sistem komplemen serta beberapa senyawa bioaktif lain yang bertanggung jawab terhadap patofisiologi konsekuensi atau komorbid obesitas. Efek dari protein spesifik ini adalah paracrine atau autocrine, atau bahkan ditempat jauh dari jaringan adiposa.9,10,11,12

Obesitas dan Keseimbangan Energi Pada dasarnya obesitas menggambarkan

ketidakseimbangan antara asupan dan penggunaan energi dalam tubuh dalam jangka waktu lama. Berat badan individu sebagai suatu komposisi serta penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida dijaringan adiposa dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor genetik, lingkungan dan psikososial; kondisi mana akan merubah neraca persamaan energi yang ditentukan oleh asupan energi (energy intake) dan EE (energy expenditure) jangka waktu lama.13,14 Diketahui ada peranan cAMP

(cyclic AMP) dalam pengaturan keseimbangan energi pada obesitas.14 Prinsip Penatalaksanaan Obesitas Dewasa

Upaya penatalaksanaan obesitas dewasa pada umumnya terdiri dari manajemen nutrisi, latihan jasmani, terapi farmakologi serta psikologis. Penatalaksanaan diet telah lama dikemukakan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan berat badan dan mengantisipasi komorbid obesitas. Konsep konvensional kegemukan seperti diuraikan sebelumnya, mendasari anjuran pola diet yang tersusun dari sayur, buah, kacang-kacangan dalam jumlah yang cukup, jumlah sedang sumber protein dan lemak sehat, mengurangi konsumsi produk pasta, kentang dan gula murni; disebut sebagai piramida rendah indeks glikemik.15 WHO (2004)16 menganjurkan perlunya keseimbangan energi melalui pola diet dengan indeks glikemik rendah, kandungan protein dan serat yang optimal serta rendah lemak sebagai upaya pencegahan obesitas. Beberapa penelitian dalam lingkup obesitas menunjukkan bahwa pemberian diet dengan indeks glikemik tinggi akan memberikan respons hormonal berupa kenaikan berat badan.15,18,19

Penambahan serat dalam makanan adalah suatu strategi untuk meningkatkan kepuasan makan dan rasa kenyang ketika mengkonsumsi makanan rendah kalori, pengaruhnya pada pengosongan lambung, masa transit (transit time) usus halus, proses pencernaan maupun penyerapan zat gizi, khususnya karbohidrat dan lemak.15,17 Beberapa penelitian dalam 3 dekade terakhir menunjukkan bahwa penambahan kedelai maupun subsitusi protein kedelai menggantikan protein hewani dalam diet sehari-hari dapat memperbaiki profil lipid pada kelompok pria dan wanita, walaupun memberi pengaruh minimal pada populasi dengan kadar kolesterol normal.20

Perlu dicermati bahwa dari aspek genetik dikemukakan bahwa seseorang dengan obesitas monogenik lebih sulit untuk ditanggulangi dibanding dengan tipe poligenik mengingat faktor prilaku dalam pola makan.21 Penelitian berdasarkan gender menunjukkan wanita lebih peka secara subjektif terhadap manipulasi diet serat daripada pria. Dikemukakan bahwa respons kenyang yang

Page 52: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 205

berbeda pada pria dan wanita terhadap makanan didasari oleh pengaruh CCK (kolesistokinin, peptida usus halus). Kolesistokinin diketahui berperan sebagai mediator rasa kenyang (bersifat anorectic) dimana sekresinya dipengaruhi oleh keberadaan lemak pada usus halus.14,17,21 Tempe Kedelai sebagai Bahan Makanan

Beberapa bahan makanan tradisional di Indonesia diketahui mempunyai indeks glikemik rendah, seperti misalnya tempe sebagai produk utama kedelai.22 Sejarah Jawa kuno yang ditulis oleh Ranggasutrasno (dikutip:Astuti et al.23) mencatat awal mula pembuatan tempe sebagai produk fermentasi menggunakan laru tempe dan termasuk dalam pola makan sehari-hari pada populasi di Jawa Tengah sejak tahun 1700. Kurun waktu setelah itu tempe yang dibuat dari kacang kedelai (soybean, glycine max, glycine soya) telah dimanfaatkan sebagai pengganti atau penambah sumber protein hewani atau nabati dalam pola makanan sehari hari.

Dimaksudkan dengan tempe kedelai adalah yang diperoleh melalui proses penanaman mikroba dari jenis kapang pada media kedelai sehingga terjadi fermentasi. Fermentasi dapat berlangsung lancar apabila didukung oleh beberapa persyaratan seperti ketersediaan ragi tempe, terdapat unsur bahan pangan yang akan difermentasi: zat tepung, gula dan protein, adanya enzim katalisator proses fermentasi, suhu ideal antara 28°C–30°C pada kondisi ruangan yang gelap, derajat keasaman media yang cukup (pH 4-5) dan kondisi kedelai harus sudah cukup lunak. Diketahui bahwa pemanfaatan kedelai sebagai bahan pangan menghadapi beberapa kendala: tekstur yang keras, adanya zat antitripsin yang menyebabkan protein terkandung didalamnya tidak dapat dicerna secara langsung, kandungan enzim lipoksidase yang menyebabkan timbulnya bau dan rasa langu; kendala mana akan dapat diatasi dengan proses menjadi produk olahan/awetan terlebih dahulu. Walaupun analisis komposisi tempe kedelai menunjukkan defisit pasangan asam amino metionin-sistin, secara menyeluruh mengandung unsur zat gizi yang cukup tinggi: 25% protein (17 gram protein/100 gram), 5%

lemak, 4% karbohidrat dan 66% air, sumber vitamin B12 yang cukup tinggi; rendah lemak jenuh, bebas kolesterol. Di samping itu diketahui pula pemanfaatan tempe kedelai sebagai sumber makanan rendah lemak jenuh, menurunkan kadar kolesterol, mudah dicerna, sumber utama mineral, efek antibiotik dan stimulasi pertumbuhan, bebas toksin kimia dan dapat terjangkau dari segi ekonomis.24,25,26,27 Kedelai sebagai bahan pangan secara alamiah memiliki kandungan isofloavonic phyroestrogens (isoflavones, subkelas dari flavonoid) yang cukup tinggi; mencapai 5,1–5,5 mg isoflavon total/gram protein kedelai, tergantung jenis kedelai, area penanaman atau geografi dan proses pengolahan. Satu porsi hidangan makanan tradisional terbuat dari kedelai dapat memberikan sekitar 25–60 mg isoflavon. Pada tempe kedelai mentah didapati kandungan 3,1 mg isoflavon/gram proteinnya, lebih tinggi daripada tahu mentah (tofu) (2,1 mg/gram protein) atau susu kedelai (soymilk) (2,0 mg/gram protein).26 Komponen flavonoid sendiri memiliki inti flavon sebagai struktur dasar, tersusun dari 2 cincin benzen (A dan B) yang dihubungkan oleh cincin C heterosiklik. Posisi dari cincin benzenoid B mendasari penggolongan kelas flavonoid atas flavonoids (posisi kedua) dan isoflavonoids (posisi ketiga). Dikenal tiga isoflavon utama dari kedelai yaitu genistein (4’,5,7-tri-hidroksiisoflavon), daidzein (4’,7-dihidroksiisoflavon) serta unsur terkait seperti β-glikosida, dan glycetin (Gambar 1). Pada manusia, genistein akan dimetabolisme menjadi dihidrogenistein dan 6’-hidroksi-O-desmetilangolensin.27,28 Diantara ketiga unsur ini ternyata efek genistein telah terbukti sebagai penghambat tirosin kinase yang kuat, enzim mana berperan pada kaskade pembentukan trombin serta gangguan yang ditimbulkannya.18,28

Waktu paruh plasma dari genistein dan daidzein pada orang dewasa adalah 7,9 jam dan mencapai kadar puncak 6–8 jam setelah pemberian komponen murni. Sebagai konsekuensinya, konsumsi terus menerus dari diet yang mengandung kedelai pada akhirnya akan menghasilkan konsentrasi isoflavon plasma yang tinggi dan menetap.29

Page 53: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Harun Alrasyid Peranan Isoflavon Tempe Kedelai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 206

Gambar 1. Struktur isoflafon utama pada kedelai

dikutip dari Messina MJ. Am J. Clin Nutr (1999) Pengaruh Tempe Kedelai terhadap Profil Lipid

Beberapa penelitian terkait menunjukkan bahwa penambahan protein kedelai pada konsumsi minimal protein hewani dapat mempengaruhi kadar lipid plasma, selain berperan pada hemostasis dan fungsi trombosit. Dalam kaitan ini pola diet rendah lemak tinggi protein (20-25% energi dari protein) telah dikemukakan sebagai alternatif pengganti pola diet rendah lemak tinggi karbohidrat, khususnya pada kondisi hipertrigliseridemia. Penambahan 25–50 gram protein kedelai/hari dalam hal ini dapat memperbaiki faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular.30

Dilaporkan bahwa dengan pemberian 25 gram protein kedelai yang mengandung 37-62 mg isoflavon terbukti bermakna menurunkan kadar kolesterol-total dan LDL-kolesterol.26,28,31 Cassidy et al.29 melaporkan dari penelitiannya pada sekelompok wanita usia muda bahwa 45 mg isoflavonoid dan bukan 23 mg isoflavonoid, menyebabkan penurunan konsentrasi kolesterol total dan LDL kolesterol yang bermakna. Nestel et al. 1997 (dikutip dari Lichtenstein27) sebaliknya mengemukakan bahwa pemberian 45 mg genistein selama 4–10 minggu ternyata tidak memberikan pengaruh bermakna pada konsentrasi lipid darah. Meta analisis dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi protein kedelai setiap hari dapat menurunkan masing-masing 9,3% kadar kolesterol- total serum, 12,9% kadar LDL-kolesterol dan 10,5% kadar trigliserida; pengaruh mana terutama diperlihatkan pada

keadaan hiperkolesterolemia, tidak pada subjek dengan kadar kolesterol normal atau kurang dari 200 mg/dl. Perubahan konsentrasi trigliserida dalam hal ini juga sangat tergantung pada konsentrasi diawal penelitian. Dikemukakan pula efek langsung protein kedelai yang dapat menekan sekresi insulin dan glukagon sehingga menghambat lipogenesis, serta pengaruhnya terhadap reseptor LDL Selain pengaruh positip isoflavon, kandungan seratnya dapat berperan menurunkan kadar kolesterol.26 Pengaruh Tempe Kedelai terhadap Faktor Fibrinolisis

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa selain dapat menghambat induksi PAI-1 oleh trombin dan IL-4, genistein dan bukan daidzein, ternyata dapat mengurangi induksi sinyal transkripsi PAI-1 oleh TNF α tetapi tidak memberi efek pada PAI-1 mRNA. Telah dikemukakan peranan genistein yang cukup besar dalam menghambat aktivitas tirosin kinase dari reseptor insulin. Temuan ini menunjukkan potensi farmakologis genistein dalam upaya menurunkan sintesis PAI-1 dalam tubuh.32,33 Penelitian lain memperlihatkan bahwa sejumlah protein kedele dengan fitoestrogen (isoflavon) yang masih utuh dapat meningkatkan HDL kolesterol dan apolipoprotein A-1; tidak mempengaruhi kadar LDL kolesterol, TGF-beta 1 atau konsentrasi fibrinogen, aktivitas faktor–VII maupun aktivitas PAI-1 pada orang sehat dengan normolipidemi.34 Pemberian 100 gram tempe/hari ternyata menururunkan konsentrasi tissue-type plasminogen activator (t-PA) antigen plasma sekelompok subjek wanita dewasa dengan obesitas setelah periode 12 minggu penelitian, dimana t-PA antigen saat ini merupakan kator ramalan manifestasi terjadinya infark miokard.35 Pengaruh Isoflavon Kedelai terhadap Adiposit

Studi dari Harp (2004)36 mengemukakan bahwa genistein merupakan salah satu inhibitor ekstraselular pembentukan adiposit; sementara Hwang et al. (2005)37 mendapatkan bahwa genistein dengan konsentrasi 20-200 µM dapat menghambat proses diferensiasi adiposit sehubungan aktivasi AMPK pada sel-sel 3TE-L1 invitro. Naaz et al. (2006)38 juga

Page 54: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 207

mengemukakan bahwa genistein dapat mengurangi jumlah dan ukuran adiposit pada perkembangannya. Aktivitas Estrogenik Protein Kedelai

Hampir seluruh produk protein kedelai mengandung isoflavon alamiah (fitoestrogen) yang memiliki efek estrogenik lemah pada hewan dan manusia, sehingga masih mempunyai efek anti oksidan dalam menurunkan LDL-kolesterol serta meningkatkan HDL-kolesterol. Konsentrasi absolut isoflavon pada produk bahan makanan sangat bervariasi, tergantung pada tehnik pengolahannya. Masih dipertanyakan kemungkinan efek antiestrogenik isoflavon pada kondisi lingkungan tinggi estrogen seperti keadaan pramenopause dan sebaliknya efek estrogenik pada kondisi pascamenopause.18,26 Ridges et al. (2001)31 mendapatkaan manfaat penambahan kacang kedelai sebagai sumber isoflavon genistein dan daidzsein pada makanan yang diperkaya dengan sejenis biji-bijian (linseed) untuk perbaikan lipid plasma pada subjek pasca menopause dengan hiperkolesterolemia.

Analisis molekular dari genistein kedelai ternyata memperlihatkan struktur yang mirip dengan 17β- estradiol (Gambar 2) mendukung mekanisme kerja substansi ini dalam perbaikan profil lipid plasma.9

Gambar 2. Struktur genistein & 17β-stradiol dikutip dari Kim S and Moustaid Moussa N. J Nutr 2000

Diketahui bahwa hormon estrogen secara langsung dapat mempengaruhi adiposit dan jenis sel lainnya pada jaringan adiposa wanita dan pria; serta efek tidak langsung oleh adanya reseptor estrogen pada jaringan otak dan hati yang mengatur keseimbangan energi maupun deposisi jaringan adiposa akibat perubahan metabolisme. Pengaruh langsung dari estrogen pada jaringan adiposa dapat melalui mekanisme modulasi keinginan makan atau energy expenditure; atau menghambat aktivitas lipoprotein lipase (LPL), suatu enzim yang mengatur ambilan lipid (lipogenesis) oleh adiposit.39

Sementara genistein (17β-estradiol eksogen) secara tidak langsung mempengaruhi lipolisis dengan memacu lipolytic enzyme hormone-sensitive lipase atau dengan meningkatkan efek lipolitik dari epinefrin. Efek 17β-estradiol terhadap ambilan kolesterol, biosintesis dan katabolismenya; hanya didapati pada wanita, tidak ditemukan pada pria. Mekanisme juga dapat berlangsung melalui peningkatan β- Oksidasi asam lemak yang berperan dalam pengurangan deposisi jaringan adiposa. Berdasarkan struktur kimianya, isoflavon secara biologis dapat berikatan dengan reseptor estrogen serta bekerja agonis dan antagonis terhadap estrogen. Hal mana masih sulit dimengerti mengingat beberapa faktor yang berperan diantaranya jumlah dan lokasi reseptor; sehingga disebut sebagai tissue specific.Dikemukakan bahwa afinitas fitoestrogen terhadap ERβ (reseptor estrogen beta) ternyata lebih kuat dibanding terhadap ERα (reseptor estrogen alpha).29,39

Pada umumnya konsumsi kedelai menurut jumlah yang dianjurkan sudah dapat memberikan kadar isoflavon plasma melebihi konsentrasi estradiol normal plasma (40 pg/ml pada pria, 80 pg/ml pada wanita). Studi intervensi pemberian diet mengandung fitoestrogen (produk kedelai) pada wanita pra-menopause sehat dalam jangka waktu sembilan bulan menunjukkan efek estrogen berupa pemanjangan fase folikular dan perlambatan pencapaian puncak konsentrasi progesteron; sekaligus penekanan puncak LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) pada pertengahan siklus menstruasi.29

Page 55: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Harun Alrasyid Peranan Isoflavon Tempe Kedelai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 208

KESIMPULAN Telah ditemukan beberapa pengaruh

biologis isoflavon bahan makanan yang menguntungkan bagi kesehatan individu umumnya. Kandungan serat, protein dan isoflavon pada makanan tradisional tempe yang juga tergolong memiliki indeks glikemik rendah mendasari pemanfaatannya secara khusus dalam lingkup penatalaksanaan obesitas dan komorbid. DAFTAR PUSTAKA 1. Friedman JM. Obesity in The New

Millenium. Nature 2000; 40 (6778): 632–4.

2. Soegondo S. Obesity, A Global Problem (Background, Epidemiology, Definition and Redefinition). Proceedings of The 1st National Obesity Workshop (NOW) Surabaya. Jakarta: Indonesian Society for the Study of Obesity (ISSO) 2003.

3. Departemen Kesehatan RI. Studi Morbiditas dan Disabilitas. Dalam: Tim Surkesnas Badan Litbang Kesehatan (editor). Buku Laporan Survei Kesehatan SUSKESNAS). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2001.

4. Tambunan V. Overweight and Obesity in Different Ethnic Groups of Indonesian (Epidemiological Study of ISSO). In: Tjokroprawiro A,Soegih R, Soegondo S et al. (editors). Proceedings of the 3rd

National Obesity Symposium (NOS III) Jakarta. Jakarta: Indonesian Society for the Study of Obesity 2004.

5. Tee ES.Obesity in Asia: Prevalence and Issues in Assessment Methodologies. Asia Pacific J Clin Nutr 2002; 11(3): S694–S701.

6. Tjokroprawiro A. The Core of The Metabolic Syndrome (Is The Visceral Obesity The Missing Link?). In: Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahyo A et al. (eds) Proceedings of SUMETSU-I: The Metabolic Syndrome (The Mets). Pusat Diabetes & Nutrisi RSU Dr. Soetomo FK-UNAIR, Surabaya 2005: 78–88.

7. Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism (Seminar). Lancet 2004: 363: 1295–305.

8. Meigs JH, Mittleman MA, Nathan DM, Tofler GH, Singer DE, Murphy-Sheehy PM et al. Hyperinsulinemia, Hyperglycemia and Impaired Hemostasis. JAMA 2000; 283(2): 221–8.

9. Kim S., Moustaid-Moussa N. Secretory, Endocrine and Autocrine/Paracrine Function of The Adipocyte. Symposium: Adipocyte function, Differentiation and Metabolism. J Nutr 2000; 130:12.

10. Trayhurn P, Beattie JH. Physiological Role of Adipose Tissue: White Adipose Tissue as an Endocrine and Secretory Organ. Proc Nutr Soc 2001; 60(3): 329–39.

11. Frühbeck G, Ambrosi JG, Muruzabal FJ, Burrell MA. The Adipocyte: a model for integration of endocrine and metabolic signaling in energy metabolism regulation. Am J Physiol Endocrinol Metab 2001; 280: E827–E847.

12. Gong D, Yang R, Munir K, Horenstein R, Shuldiner A. New Progress In Adipocytokine Research. Current Opinion in Endocrinology & Diabetes 2003; 10(2): 115–21.

13. Goran MI, Weinsier RL. Role of Environmental vs. Metabolic Factors in the Etiology of Obesity: Time to Focus on Environment. Obesity Research 2000; 8: 407–8.

14. Spiegelman BM and Flier JS. ”Obesity and the Regulation of Energy Balance (Review)” Cell 2001; 104:531-43.Dalam http: //www.cell.com/content/article/full, 17/2/2004.

15. Ludwig DS. ”Dietary Glycemic and Obesity.” J Nutr 2000; 130: 280S–3S.

16. WHO Technical Report Series. Obesity: Preventing and Managing The Global Epidemic. http://www.who.int/entity/ dietphysicalactivity/publication, 7/12/04.

17. Burton-Freeman B. Dietary Fiber and Energy Regulation. J Nutr 2000; 272S–5S.

18. Messina MJ. ”Legumes and Soybeans: Overview of Their Nutritional Profiles and Health Effects”. Am J Clin Nutr 1999; 60: 439S.

Page 56: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 209

19. Pi-Sunyer FX. Glycemix Index and Disease. Am J Clin Nutr 2002; 76 (Suppl.): 290S–8S.

20. Merz-Demlow BE, Duncan AM,Wangen KE, Xu X, Carr TP, Phipps WR, Kurzer MS. Soy Isoflavones Improve Plasma Lipids in Normocholesterolemic, Premenopausal Women. Am J Clin Nutr 1999; 71: 1462–9.

21. Fisler JS, Schonfeld-Warrden NA. Genetics of Human Obesity. In Coulston M, Rock CL, Monsen ER (Eds by) Nutrition in the prevention and treatment of disease. San Diego-Academic Press, 2001.

22. Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko R (Editor). Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid FKUI/RSCM. 2003.

23. Astuti M, Meliala A, Dalais FS, Wahlqvist. Tempe, a Nutritious and Healthy Food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr 2000; 9 (4): 322–5.

24. Shurtleff W, Aoyagi A. The Book of Tempeh. New York-Harper & Row Pub., 1979.

25. Arsiniati MBA. Efek Normolipidemik “Tempe A-5” dan”Tempe” terhadap Profil Lipid Penderita Dislipidemia. Disertasi. Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.

26. Anderson JW, Johnstone BM, Newell MEC. Meta Analysis of The Effects of Soy Protein Intake on Serum Lipids. N Eng J Med 1995; 276–82.

27. Lichtenstein AH. Soy Protein, Isoflavones and Cardiovascular Disease Risk. J.Nutr 1998; 128: 1589–92.

28. Erdman JW. Soy Protein and Cardiovascular Disease (AHA Science Advisory). Circulation 2000; 102: 2555–9.

29. Cassidy A, Bingham S, Setchell K. Biologicaleffects of Isoflavones in Young Women: Importance of The Chemical Composition of Soyabean Product. Br J Nutr 1995; 74(4): 587–601.

30. Krauss. RM, Eckel RH, Howard B et al. AHA Dietary Guidelines Revision Revision 2000: A Statement for Healthcare Professionals from The Nutrition Committee of The American Heart Association. Circulation 2000; 102: 2284–99.

31. Ridges L, Sunderland R, Moerman K, Meyer B, Astheimer L, Howe P. Cholesterol Lowering Benefits of Soy and Linseed Enriched Foods. Asia Pasific J Clin Nutr 2001; 10(3): 204–211.

32. van Hinsberg VVM, Vermeer M, Koolwijk P et al.Genistein Reduces Tumor Tumor Necrosis Factor α - Induced Palsminogen Activator Inhibitor-1 Trans-cription but Not Urokinase. Blood 1994: 84(9), 2984–91.

33. Etherton PK, Hecker K, Taylor DS. Dietary Macronutrients and Cardiovascular Risk. In Coulston AM, Rock CL, Monsen E (eds.). Nutrition in Prevention and Treatment of Disease. San Diego: Academic Press 2001.

34. Sanders TAB, Dean TS, Grainger D et al. Moderate Intakes of Intact Soy Protein Rich in Isoflavones Compared with Ethanol-extracted Soy Protein Increase HDL but Do Not Influence Transforming Growth Factor ß1 Concentrations and Hemostatic Risk Factors for Coronary Heart Disease in Healthy Subjects. Am J Clin Nutr 2002; 76: 373-7.

35. Alrasyid H. Efek Diet Indeks Glikemik Rendah dengan Campuran Tempe Kedelai terhadap Konsentrasi t-PA Antigen, PAI-1 Antigen dan Lipid Plasma Wanita Obesitas Dewasa. Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2007.

36. Harp JB. New Insights Into Inhibitors of Adipogenesis. Curr Opin Lipidol 2004; 15(3): 303–7.

37. Hwang JT, Park IJ, Shin JI, Lee YK, Lee SK, Baik HW et al. Genistein, EGCG, and Capsaicin Inhibit Adipocyte Differentiation Process Via Activating AMP-Activated Protein Kinase. Biochem Biophys Res Commum 2005; 338(2): 694–9.

Page 57: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Harun Alrasyid Peranan Isoflavon Tempe Kedelai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 210

38. Naaz A, Yellayi S, Zakroczymski MA, Bunick D, Doerge DR, Lubahn DB et al. The Soy Isoflavone Genistein Decrease Adipose Deposition in Mice. Endocrinology 2003; 144: 3315–20.

39. Cooke PS, Naaz A. Role of Estrogens in Adipocyte Development and Function. Exp Biol Med 2004; 229: 11, 27–35.

Page 58: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 211

Update in Management of Acute Spontaneous Intracerebral Haemorrhage

Aldy S. Rambe Neurology Department

Universitas Sumatera Utara, School of Medicine

EPIDEMIOLOGY Although ICH represents only about 9%

of all stroke, it accounts for 10-30% of hospital admissions. ICH leads to catastrophic disability, morbidity, and a 6 month mortality of 30-50%. Long term outcomes are poor, only 20% of patients regain functional independence at 6 months.2,3

ICH is a common disorder, with an estimated frequency of 37.000-52.000 each year in the USA. The overall incidence of ICH is 12-15 cases per 100.000 people per year. ICH results in staggering medical costs, about 125.000 per patient per year, with an overall cost of $ 6 billion annually in the USA.2 RISK FACTORS AND CAUSES OF BLEEDING

There are several modifiable risk factors for spontaneous ICH. Hypertension is by far the most important and prevalent risk factor, directly account for about 60–70% of cases. 2 ICH is a particular risk in hypertensive patients younger than 55, smokers, and patients who are noncompliant with antihypertensive regimens. Other modifiable risk factors include smoking and heavy alcohol use. Chronic alcoholism may increase the risk of ICH by causing cirrhosis, thrombocytopenia, or both. Low serum cholesterol is associated with increased risk of ICH, especially among

Page 59: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Aldy S. Rambe Update in Management of Acute...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 212

hypertensive patients. Genetic risk factors, include the ApoE ε2 and ε4 allleles, predispose to lobar haemorrhages by increasing the vasculopathic effect of amyloid deposition in cortical blood vessels.4

Hypertension is the main cause of spontaneous ICH. Chronic hypertension causes degeneration, fragmentation, and fibrinoid necrosis of small penetrating arteries in the brain, which can eventually result in spontaneous rupture. In some people, chronic hypertension may cause discrete microaneurysm at the bifurcation of the arterioles (Charcot-Bouchard aneurysms). Persistently raised intraluminal arteial pressure, which commonly found in hypertensive patients, damages small-vessel walls. These degenerative changes are most common in the distal portions of medium and small arterioles ranging from 100-600 µm in diameter. Hypertensive ICH typically occurs in the basal ganglia (putamen, thalamus, or caudate nucleus), pons, cerebellum, or deep hemispheric white matter.2,5

The second most common cause of primary ICH is cerebral amyloid angiopathy, which accounts for about 15% of cases. This disorder is characterized by the deposition of amyloid-β peptide in small to medium sized blood vessels of the brain and leptomeninges, which results in vascular fragility. The typical clinical syndrome of amyloid angiopathy ICH is spontaneous lobar haemorrhage in elderly patients with a history of cognitive decline. This type of ICH is less severe than hypertensive ICH. Other major causes of ICH are brain tumors, aneurysms, arteriovenous malformation (AVM), cavernous angiomas, and arteriovenous (AV) fistula.2

Ganglionic haemorrhages are the most common forms of ICH, followed by lobar, and then cerebellar or pontine. Location is important both in terms of outcome, potential surgical intervention, and underlying cause. In general, fewer lobar haemorrhages than those in other regions are hypertensive in origin.5

CLINICAL MANIFESTATIONS

Rapid recognition and diagnosis of ICH are essential because of its frequently rapid progression during the first several hours. The classic clinical presentation includes the onset

of a sudden focal neurological deficit while

the patient is active, which progresses over minutes to hours. This smooth symptomatic progression of a focal deficit over a few hours

is uncommon in ischemic stroke and rare in subarachnoid hemorrhage. Headache is more common with ICH than with ischemic stroke,

although less common than in subarachnoid hemorrhage. Vomiting is more common with ICH than with either ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. Increased blood pressure and impaired level of consciousness are common. However, clinical presentation

alone, although helpful, is insufficient to reliably differentiate ICH from other stroke subtypes.6

Therefore, CT or MRI is essential for confirming diagnosis. Rapid progression to coma with motor posturing suggest massive supratentorial haemorrhage, bleeding into the brainstem or diencephalon, or acute obstructive hydrocephalus due to intraventricular haemorrhage. Over 90% patients have acute hypertension exceeding 160/100 mm Hg, whether or not there is a history of hypertension. Dysautonomia in the form of central fever, hyperventilation, hyperglycemia, and tachycardia or bradycardia is also common.2

PATHOPHYSIOLOGY

ICH can occur anywhere in the brain. The haematoma spread between the white matter tracts, resulting in islands of viable brain tissue within the haematoma itself. Bleeding usually stops shortly after the initial ictus, but in a substantial minority of patients the haematoma continous to expand, usually within the first hour after presentation. Early haematoma expansion portends a worse outcome. Once the haematoma forms, vasogenic cerebral edema forms around the clot as osmotically active serum proteins are released from the haematoma. Edema formation peaks at about 48 hours and usually begins to resolve by 5 days, but it may persist longer. Edema contributes to neurologic deterioration by causing tissue shifts, raised ICP and transtentorial herniation. As the haematoma is absorbed and edema resolves, a slitlike haematoma cavity containing hemosiderin remains, with surrounding brain atrophy. 4

Page 60: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 213

In recent years, understanding the pathophysiology of ICH has been changed. The two most important new concepts are that many hemorrhage continue to grow and expand over several hours after the onset, a process known as early haematoma growth, and that most of the brain injury and swelling that happens in the days after ICH is the result of inflammation caused by thrombin and other coagulation end-products. Early haematoma growth is common and associated with neurological deterioration and poor clinical outcome. The mechanisms that lead to early haematoma growth during the acute stage of ICH remain unclear. A sudden increased ICP, local tissue distortion and shear forces, and disruption of the normal cerebral anatomy can lead to a multifocal bleeding process in some patients, with enlargement of the haematoma resulting from the addition of discrete “satellite” haemorrhages to the periphery of the existing clot. Other changes include vascular engorgement related to a reduction to venous outflow, early transient ischaemia, breakdown of the blood-brain barriers, and possibly the transient creation of a local coagulopathy may contribute to early haematoma growth.2 DIAGNOSIS

Initial clinical diagnostic evaluation of ICH at the hospital involves assessment of the patient’s presenting symptoms and associated activities at onset, time of stroke onset, age,

and other risk factors. The patient or witnesses are questioned about trauma; hypertension; prior ischemic stroke, diabetes

mellitus, smoking, use of alcohol and prescription, over-the-counter, or recreational drugs such as cocaine; use of warfarin and aspirin or other antithrombotic therapy; and hematologic disorders or other medical disorders that predispose to bleeding, such as

severe liver disease. The physical examination focuses on level of consciousness and degree of neurological deficit after assessment of airway, breathing, circulation, and vital signs.6

CT scan is the method of choice to evaluate the presence of ICH.1,7 Careful inspection of the pattern and topography of bleeding can sometimes give important clues about a secondary cause of ICH, such as associated subarachnoid blood (suggestive of

aneurysm), multiple inferior frontal and temporal haemorrhages (suggestive of trauma), or fluid-fluid levels within the haematoma (indicative of coagulopathy). Demonstration of active contrast extravasation into the haematoma with CT angiograpgy might help to predict haematoma expansion and is predictive of poor outcome. 5 A CT scan determines the exact site and size of the haematoma, extension into the ventricular system, degree of surrounding edema, anatomical disruption, and excludes other pathologies.1,8

MRI is as sensitive as CT for the detection of ICH in the acute stage, but is most commonly done as a follow-up study to detect of vascular flow voids, which are indicative of an AVM, chronic microbleeds on gradient echo imaging suggestive of amyloid angiopathy, or a contrast-enhancing neoplasm.2

Sensitivity of MRI for ICH is 100%. In the HEME Study, MRI and CT were equivalent for the detection of acute ICH but MRI was significantly more accurate than CT for the detection of chronic ICH. 1 MRI has additional potential advantage of demonstrating small microbleeds on gradient echo images that are not visible by CT.7 TREATMENT

The management of patients with ICH include both medical and surgical approaches. Potential treatments of ICH include stopping or slowing the initial bleeding during the first hours after onset; removing blood from the parenchyma or ventricles to eliminate both mechanical and chemical factors that cause brain injury; management of complications of blood in the brain, including increased ICP and decreased cerebral perfusion; and good general supportive management of patients with severe brain injury., 6

Rapid neurological decline and depressed consciousness lead to loss of normal reflexes that maintain an open airway, which mandates immediate endotracheal intubation and mechanical ventilation. High blood pressure should be corrected immediately to minimize the potential for haematoma expansion and to maintain adequate cerebral perfusion pressure (CPP), which is calculated as mean arterial pressure (MAP) minus ICP. American Stroke Association guideline

Page 61: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Aldy S. Rambe Update in Management of Acute...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 214

recommend that MAP be maintained at or below 130 mm Hg for patients with ICH and a history of hypertension. In patients who have had craniotomy, MAP should be maintained at or below 100 mm Hg. In all cases, systolic blood pressure (SBP) should be maintained above 90 mm Hg, and in patients with an ICP monitor, CPP should be maintained above 70 mm Hg.2,3

Emergency measures for ICP control are appropriate for stuporous or comatose patients, or those who present acutely with clinical signs of brainstem herniation. The head should be elevated to 30 degrees, 1.0-1.5 g/kg of 20% mannitol should be given by a rapid infusion followed by bolus doses of 0.25 to 1.0 g/kg as needed, and the patient should be hyperventilated to a pCO2 of 28-32 mm Hg. Corticosteroids such as dexamethasone are not suggested in the management of ICH because of their failure to demonstrate efficacy in ICH.2,3

Eptacog alfa (recombinant activated factor VII or rFVIIa), is a powerful initiator of haemostasis holds great promise as an effective emergency treatment for non-coagulopathic spontaneous ICH, but formal approval of rFVIIa for this indication will depend on the resultof an ongoing phase III trial (The FAST Trial) comparing placebo with doses of 20 µg/kg and 80 µg/kg. Patients with ICH receiving warfarin should be reversed immediately with fresh frozen plasma o prothrombin-complex concentrates and vitamin K. Treatment should never delayed in order to check coagulation tests. Patients with ICH who have had anticoagulation therapy with unfractionated or low-molecular-weight heparin should be reversed with protamine sulfate, and patients with thrombocytopenia or platelet dysfunction can be treated with a single dose of desmopressin (DDAVP), platelet transfusions, or both.2,3

To minimize ICP and reduce the risk of ventilator-associated pneumonia in mechanically ventilated patients, the head should be elevated 30 degrees. Isotonic fluids such as 0.9% saline should be given as the standard intravenous replacement fluid. Solutions containing dextrose should generally be avoided unless hypoglycemia is present, because hyperglycemia can be detrimental to the injured brain. A state of euvolemia should be maintained by the monitoring of fluid

balance, central venous pressure, and body weight.2,3

The 30 day risk of clinically evident seizures after ICH is about 8%. Convulsive status epilepticus may be seen in 1–2% of patients, and the rsik for epilepsy is 5–20%. Lobar location is an independent predictor of early seizure. The American Heart Association guidelines recommend antiepileptic treatment in selected patients for up to 1 month, after which therapy should be discontinued if there are no seizures.2,3

Fever after ICH is common, particularly after intraventricular haemorrhage, and should be treated aggressively. Paracetamol and cooling should be given to all patients with sustained fever in excess of 38.8 0C. As is the case with all critically ill patients with neurological disorders, enteral feeding should be started within 48 hour to reduce the risk of malnutrition. A small-bore nasoduodenal feeding tube can lower the risk of aspiration events. 2,3

The decision about when to operate remains controversial. The STICH trial, a landmark trial of 1033 ICH patients, showed that emergent surgical haematoma evacuation within 72 hours of onset does not improve outcome in comparison to a policy of initial medical management.2,7

Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adult 2007 Update recommend:6

Recommendations or Surgical Approaches: Class I: Patients with cerebellar hemorrhage >3 cm who are deteriorating neurologically or who have brain stem compression and/or hydrocephalus from ventricular obstruction should have surgical removal of the hemorrhage as soon as possible (Class I, Level of Evidence B). Class II: 1. Although stereotactic infusion of urokinase into the clot cavity within 72 hours of ictus apparently reduces the clot burden and risk of death, rebleeding is more common, and functional outcome is not improved; therefore, its usefulness is unknown (Class IIb, Level of Evidence B); 2. Although theoretically attractive, the usefulness of minimally invasive clot evacuation utilizing a variety of mechanical devices and/or endoscopy awaits further testing in clinical trials; therefore, its current usefulness is unknown (Class IIb, Level of Evidence B); 3.

Page 62: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 215

For patients presenting with lobar clots within 1 cm of the surface, evacuation of supratentorial ICH by standard craniotomy

might be considered (Class IIb, Level of Evidence B). Class III: 1. The routine evacuation of supratentorial ICH by standard craniotomy within 96 hours of ictus is not recommended (Class III, Level of Evidence A). (See possible Class II exception above for patients presenting with lobar clots within 1 cm of the surface.). Recommendations for Timing of Surgery: Class II: No clear evidence at present indicates that ultra-early craniotomy improves functional outcome or mortality rate. Operative removal within 12 hours, particularly when performed by less-invasive

methods, has the most supportive evidence, but the number of subjects treated within this window is very small (Class IIb, Level of Evidence B). Very early craniotomy may be associated with an increased risk of recurrent bleeding (Class IIb, Level of Evidence B). Class III: Delayed evacuation by craniotomy appears to offer little if any benefit with a fairly high degree of certainty. In those

patients presenting in coma with deep hemorrhages, removal of ICH by craniotomy may actually worsen outcome and is not recommended (Class III, Level of Evidence A). Recommendations for Decompressive Craniotomy: Class II: Too few data currently exist to comment on the potential of decompressive craniectomy to improve outcome in ICH (Class IIb, Level of Evidence C). PREVENTION

Hypertension remains the most important target for ICH prevention. Data on how and when to switch from intravenous medications

used to control blood pressure in ICH patients during the hospitalization to oral long-term medications are not available. This change in antihypertensive regimen often begins after the patient is clinically stable, able to swallow medication or to take oral medications through a gastrointestinal tube, and near discharge from the acute care hospital.

Smoking (particularly in the young), heavy alcohol use, and cocaine use have also been associated with an increased risk of ICH and should be strongly discouraged after ICH.7

REFERENCES 1. Mayer SA, Rincon F. Management of

Intracerebral Hemorrhage. 59th American Academy of Neurology Annual Meeting. Boston. April 28–May 5, 2007.

2. Mayer SA, Rincon F. Treatment of Intracerebral Haemorrhage. Lancet Neurol 2005; 4: 662–72.

3. Suarez JI. Medical Management of Patients with ICH: Mechanical Ventilation, Fever, Hyperglycemia, and Other Issues. 59th American Academy of Neurology Annual Meeting. Boston. April 28–May 5, 2007.

4. Bernstein RA. Cerebrovascular Disease: Hemorrhagic Stroke. In: Brust JCM, ed. Current Diagnosis & Treatment Neurology. New York: McGraw-Hill.; 2007. p 126–147.

5. Xi G, Keep RF, Hoff JT. Mechanisms of Brain Injury after Intracerebral Haemorrhage. Lancet Neurol 2006; 5: 53–63.

6. Broderick J, Connolly S, Feldmann E, Hanley D, Kase C, Krieger D, et al. Guidelines for The Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adult 2007 Update, A Guideline From the American Heart Association/ American Stoke Association Stroke Council, High Blood Pressure Research Council, and The Quality of Care and Outcomes in Research Interdisciplinary Working Group. Stroke. 2007; 38: 2001–2023.

7. Wechsler LR. Neuroimaging of Stroke. 59th American Academy of Neurology Annual Meeting. Boston. April 28–May 5, 2007.

8. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 4th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2004.

Page 63: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 216

Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Tri Widyawati Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu dari sembilan obat tradisional yang diunggulkan untuk dikaji sampai tahap uji klinis. Kandungan kimia terdiri dari flavonoid dan lakton. Zat aktif utama tanaman ini adalah andrographolide, yang berasal dari komponen lakton. Setelah pemberian per oral, 20 mg andrographolide segera diabsorbsi, kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 1,5–2 jam, dan waktu paruhnya 6,6 jam. Distribusinya luas di jaringan dan organ tubuh. Efek farmakologi sambiloto di antaranya sebagai antioksidan, antidiabetik, antifertilitas, anti HIV-1, antiflu, anti adhesi intraperitoneal, antima-laria, antidiare, hepatoprotektif, koleretik, dan kolekinetik. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah. Kata kunci: sambiloto, andrographolide, efek farmakologi Abstract: Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of nine priority traditional medicine that should be examined in a good clinical trial. The chemistry constituents consist of flavonoide and lactone. It major constituents are lactones known as andrographolide. Following an oral administration of 20 mg andrographolide, maximum plasma levels were reached after 1,5–2 hours, and half life were 6,6 hours. This compound will be widely distributed in the body. Pharmacology effect of sambiloto are as antioxidant, antidiabetic, antifertility, antiHIV, antiinfluenza, antiintraperitoneal adhesion, antimalaria, antidiarrhea, hepatoprotektive, choleretic and cholekynetic. Based on various toxicology studies in animal and human, it is confirmed that andrographolide and other compounds of this plant have a very low toxicity. Keywords: sambiloto, andrographolide, pharmacology effect PENDAHULUAN

Penggunaan obat tradisional serta pengobatan tradisional telah lama di-praktekkan di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju. Menurut WHO, sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal sebagai obat tradisional. Du-kungan WHO terhadap konsep back to nature dibuktikan dengan adanya reko-mendasi untuk menggunakan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeli-haraan kesehatan masyarakat, dan pencegahan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker.1

Indonesia merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka karena saat ini memiliki lebih kurang 30.000 spesies

tumbuhan dan 940 di antaranya ter-masuk tumbuhan berkhasiat. Sampai saat ini ada 180 spesies yang telah di-manfaatkan oleh industri jamu tradisional.1

Salah satu upaya meningkatkan pemanfaatan bahan alam Indonesia yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, saat ini Badan POM bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi sedang meneliti 9 tanaman obat unggulan nasional sampai ke tahap uji klinis, salah satu diantaranya adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees).2

Khasiat sambiloto sebenarnya sudah dikenal luas sejak zaman dulu, baik oleh orang Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia.3 Sejak pertengahan akhir abad ke-20, berbagai

Page 64: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 217

studi telah dilakukan yang sebagian besar konsentrasinya untuk mengetahui komposisi, keamanan, khasiat dan mekanisme kerja sambiloto.4,5,6 Di Indonesia sendiri, sambiloto dipasarkan baik dalam sediaan tunggal atau gabungan dengan bahan alami lain dalam bentuk tablet, yang masih tergolong sediaan jamu. GAMBARAN UMUM SAMBILOTO

Sambiloto yang juga dikenal sebagai “King of Bitters” bukanlah tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia se-jak 1893. Di India, sambiloto adalah tumbuhan liar yang digunakan untuk meng-obati penyakit disentri, diare, atau malaria. Hal ini ditemukan dalam Indian Phar-macopeia dan telah disusun paling sedikit dalam 26 formula Ayurvedic.7 Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto diketahui penting sebagai tanaman ”cold property” dan digunakan sebagai penurun panas serta membersihkan racun-racun di dalam tubuh.8 Tanaman ini kemudian menyebar ke daerah tropis Asia hingga sampai di Indonesia.

Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi.9 Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, peka-rangan, semak, atau rumpun bambu.3

Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berben-tuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulan panjang) de-ngan pangkal dan ujungnya yang lancip. Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan Nopember sampai bulan Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia bunga dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun.9

Di beberapa daerah di Indonesia, sambiloto dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur

menyebutnya dengan bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan sambiloto. Di Jawa Barat dise-but dengan ki oray, takila, atau ki peurat. Di Bali lebih dikenal dengan samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan pepaitan atau ampadu.3,9 Sementara itu, nama-nama asing sambiloto diantaranya chuan xin lian, yi jian xi, dan lan he lian (Cina), kalmegh, kirayat, dan kirata (India), xuyen tam lien dan cong-cong (Vietnam), quasabhuva (Arab), nainehavandi (Persia), green chiretta dan king of bitter (Inggris).3

Semua bagian tanaman sambiloto, seperti daun, batang, bunga, dan akar, terasa sangat pahit jika dimakan atau direbus untuk diminum. Diduga ini berasal dari andrographolide yang dikandungnya. Sebenarnya, semua bagian tanaman sambiloto bisa dimanfaatkan sebagai obat, termasuk bunga dan buahnya. Namun bagian yang paling sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional adalah daun dan batangnya.3 TAKSONOMI3

Secara taksonomi, sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Gamopetalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Subfamili : Acanthoidae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Nees KIMIA DAN KANDUNGAN BAHAN AKTIF

Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrographolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Andrographolide sudah diisolasi dalam bentuk murni dan menunjuk-kan berbagai aktivitas farmakologi. Zat aktif herba ini dapat ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography [HPLC].10

Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan, kandungan yang di-jumpai pada tanaman sambiloto diantaranya diterpene lakton dan glikosidanya, seperti andrographolide,

Page 65: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tri Widyawati Aspek Farmakologi Sambiloto...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 218

deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-eoxyandro-grapholide, dan neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pa-da tanaman ini.3,11 Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain komponen lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan damar.3

Di dalam daun, kadar senyawa andrographolide sebesar 2,5-4,8% dari berat keringnya.3 Ada juga yang mengatakan biasanya sambiloto distandarisasi dengan kandungan andrographolide sebesar 4-6%.12 Senyawa kimia lain yang sudah diisolasi dari daun yang juga pahit yaitu diterpenoid viz. deoxyandro-grapholide-19β-D-glucoside, dan neo-andrographolide.13 FARMAKOKINETIK

Beberapa studi sudah dilakukan untuk melihat disposisi andrographolide dalam berbagai organ tubuh.14

Dalam suatu penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa 48 jam setelah pemberian andrographolide, komponen ini dijumpai tersebar luas ke seluruh organ tubuh. Konsentrasi yang dijumpai di otak sebesar 20,9%, limpa 14,9%, jantung 11,1%, paru-paru 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati 5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus halus sebesar 3,2%.15

Menurut penelitian terakhir, andrographolide memiliki bioavailabilitas tinggi pada manusia. Setelah pemberian peroral, 20 mg andrographolide segera diabsorbsi, mencapak nilai puncak plasma dalam waktu 1,5 sampai 2 jam dengan waktu paruh 6,6 jam.16 Sementara pada penelitian lainnya menunjukkan waktu paruh andrographolide relatif singkat, lebih kurang dalam waktu 2 jam. Setelah 72 jam, hampir 90% andrographolide dieksresikan. Sebagian besar eksresinya ini melalui urin,17 sebagian lainnya melalui saluran cerna.

Pada beberapa studi dikatakan bahwa 80 persen dari dosis andrographo-lide yang dikonsumsi akan dieksresikan dari tubuh dalam waktu 8 jam.7

FARMAKODINAMIK Distribusi yang luas di jaringan dan organ

tubuh serta adanya khasiat yang mengatur dan meningkatkan sistem imun menyebabkan sambiloto menjadi calon ideal untuk mencegah dan mengobati berbagai penyakit.

Pemberian sambiloto menunjukkan efek protektif terhadap aktivitas en-zim superoxide dismutase, catalase, glutathione peroxidase dan glutathione yang menurun dengan pemberian hexachloro cyclohexane (BHC). Hasilnya menunjuk-kan adanya khasiat antioksidan dan hepatoprotektif dari sambiloto.18

Shukla, dkk.19 mengkaji efek hepatoprotektif ekstrak daun sambiloto terhadap kerusakan hati yang diinduksi karbon tetraklorida. Ekstrak dengan dosis 300 mg/kg (1/6 dari LD50) diperoleh dengan maserasi dingin. Hasilnya, ekstrak ini dijumpai efektif dalam mencegah kerusakan hati dengan parameter penilaian-nya mencakup morfologi, biokimia dan fungsional. Andrographolide juga mence-gah menurunnya jumlah empedu yang disebabkan toksisitas acetaminophen.20

Efek hipoglikemik sambiloto sudah diteliti dengan berbagai cara. Salah satunya, penelitian Borhanuddin, dkk.21 pada kelinci menunjukkan bahwa ekstrak air sambiloto dengan dosis 10 mg/kg berat badan dapat mencegah hiperglikemia yang diinduksi dengan pemberian glukosa per oral dengan dosis 2 mg/kg berat badan secara signifikan. Mekanismenya kemungkinan sambiloto mencegah absorpsi glukosa dari usus.

Zoha, dkk.22 mengkaji efek antifertilitas sambiloto pada mencit. Ketika serbuk sambiloto dicampur dengan makanan hewan (Rats Pelletts) dengan dosis 2 gram per kilogram berat badan per hari, kemudian diberikan pada mencit betina setiap hari selama enam minggu, tidak seekorpun (100%) yang hamil ketika dika-winkan dengan mencit jantan. Ini dilakukan untuk membuktikan fertilitas yang tidak diberi obat. Sebaliknya, sebagian besar mencit kelompok kontrol (95.2%) yang tidak diberi obat, menjadi hamil ketika dikawinkan dengan jantan dengan jenis yang sama seperti pada kelompok perlakuan, dan melahirkan dalam jumlah normal (rata-rata 5 sampai 6 ekor) setelah 6 perkawinan berikutnya.

Page 66: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 219

Wang, dkk.23 mengobservasi efek komponen sambiloto terhadap nitric oxide, endothelin, cyclic guanosine monophosphate, lipid peroxide dan super-oxide dismutase, pada model kelinci percobaan yang memiliki aterosklerotik dengan cara memberi diet tinggi kolesterol. Kesimpulannya, sambiloto memiliki efek antioksidan, menjaga fungsi endothelial, dan mempertahankan ke-seimbangan nitric oxide/endothelin.

Studi psikofarmakologi sudah dilakukan Mandal, dkk.24 dengan menggunakan ekstrak herba sambiloto. Hasilnya menunjukkan adanya perubahan yang signifikan pada pola tingkah laku dan berkurangnya pergerakan spontan. Ekstrak ini juga memperlama waktu tidur hewan percobaan yang diinduksi pentobarbitone dan menurunkan suhu tubuh.

Calabrese, dkk.25 melakukan uji klinis fase I andrographolide yang bera-sal dari sambiloto pada relawan sehat, yaitu 13 orang positif HIV dan 5 orang tidak terinfeksi HIV. Objektifnya terutama untuk menilai keamanan dan to-lerabilitas serta menilai efek andrographolide terhadap kadar plasma RNA virus HIV-1 dan kadar limfosit CD4 (+). Selama penelitian, tidak satu subjekpun yang menggunakan pengobatan antiretroviral. Bila terdapat kelainan hati dan ginjal, maka akan dikeluarkan dari penelitian. Regimen yang direncanakan adalah 5 mg/kg berat badan selama 3 minggu, ditingkatkan menjadi 10mg/kg berat badan selama 3 minggu dan akhirnya sampai 20 mg/kg berat badan selama 3 minggu. Penelitian dihentikan pada minggu keenam karena adanya reaksi yang tidak di-inginkan termasuk reaksi anafilaktik pada satu orang relawan. Semua kejadian yang tidak diinginkan diatasi dengan menghentikan pengamatan. Peningkatan yang signifikan pada rata-rata kadar limfosit CD4 (+) pada subjek HIV terjadi se-telah pemberian 10 mg/kg berat badan andrographolide (dari 405 sel/mm menjadi 501 sel/mm). Tidak ada perubahan statistik yang signifikan pada rata-rata kadar plasma RNA HIV-1 selama penelitian. Andrographolide mungkin menghambat disregulasi siklus sel yang diinduksi HIV, seiring dengan peningkatan kadar lim-fosit CD4 (+) pada penderita yang terinfeksi HIV-1.

Satu studi yang dilakukan oleh Caceres, dkk.26 satu kelompok pelajar di sekolah

pedesaan diberi plasebo dan kelompok lainnya diberi Kan Jang (sambiloto), kemudian diobservasi untuk melihat kejadian flu setelah tiga bulan. Dosis yang diberikan pada kelompok studi sebesar 200 mg per hari. Hasilnya, se-telah satu bulan tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi setelah tiga bulan, ter-jadi perbedaan yang signifikan, yaitu kelompok Kan Jang yang menderita flu, 2,1 kali lebih rendah dibanding kelompok plasebo, dengan laju insidennya 30 persen, sedangkan kelompok plasebo sebesar 62 persen. Pada studi lainnya, Caceres, dkk.27 mengukur keefektifan ekstrak Andrographis, dibandingkan dengan plase-bo, dalam mengurangi gejala yang berhubungan dengan common cold. Kelompok pasien dewasa terdiri dari 158 orang laki-laki dan perempuan. Efek Andrographis diukur pada hari 0, 2, dan 4 setelah pengobatan. Pada hari ke-2, kelompok pasien yang mendapatkan Andrographis menunjukkan adanya pengurangan beberapa gejala, dan pada hari ke-4, kelompok yang sama menunjukkan pengurangan gejala yang signifikan dibandingkan dengan kelompok plasebo. Kesimpulannya, sambi-loto menunjukkan efektivitas yang tinggi dalam menurunkan prevalensi dan inten-sitas gejala common cold tanpa komplikasi dimulai hari kedua pengobatan. Pada penelitian ini, tidak ada efek samping yang dilaporkan.

Darwin28 membuktikan ekstrak sambiloto pada dosis 10 mg/kg berat badan yang diberi peroral mampu mengurangi kejadian adhesi intra-peritonium pada hewan percobaan tikus (86%).

Sambiloto dapat menghambat edema sebesar 60% dalam waktu tiga jam pada dosis 200 mg/kg berat badan, dan pada dosis 400 mg/kg berat badan sebesar 62,7%.29 Khasiat antiinflamasi ini kemungkinan melalui mekanisme yang meli-batkan kelenjar adrenal. Efek ini hilang bila kelenjar adrenal diangkat dari binatang percobaan.30

Andrographolide menunjukkan adanya efek koleretik (4.8-73%) tergantung dosis (1,5-12 mg/kg) yang ditunjukkan dengan adanya aliran empedu, garam empedu, dan asam empedu pada tikus dalam keadaan sadar dan guinea pig yang teranastesi.31 Kajian Zulkarnain Rangkuty32 menunjukkan adanya efek kole-kinetik 250 mg simplisia akar,

Page 67: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tri Widyawati Aspek Farmakologi Sambiloto...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 220

batang, dan daun sambiloto pada relawan sehat.

Selain yang tersebut di atas, khasiat sambiloto yang lain yang sudah dite-liti diantaranya, sebagai antimalaria33,34 dan anti diare.35 INTERAKSI OBAT

Ekstrak sambiloto kemungkinan memiliki efek sinergis dengan isoniazide.12 Selain itu, sampai saat ini belum diketahui interaksi obat lain dengan sambiloto. EFEK SAMPING

Sakit kepala, fatique, rasa pahit, dan peningkatan enzim hati dilaporkan terjadi pada uji klinis pada pasien yang terinfeksi HIV yang diberi andrographolide dosis tinggi.25 Hal ini tidak ada dilaporkan pada orang yang menggunakan andrographis atau ekstrak terstandard pada jumlah yang direkomendasikan. Seperti semua herba yang pahit, sambiloto mungkin menyebabkan ulkus dan adanya rasa terbakar. Keamanan terhadap wanita hamil dan menyusui sampai saat ini belum diketahui. TOKSISITAS

Dalam pengobatan tradisional China, Thailand dan India, sambiloto sudah menunjukkan keamanannya. Uji toksikologi pada hewan coba dan manusia menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah. Pada mencit yang diberi ekstrak sambiloto secara oral (10 gr/kgBB) sekali sehari selama 7 hari, tidak ada seekorpun tikus yang mati.36 Jantung, ginjal, hati, dan limpa dijumpai dalam keadaan normal pada hewan percobaan ini. Ketika sambiloto dengan dosis 500 mg/kg berat badan diberikan selama 10 hari setiap hari pada mencit, tidak ada efek pada pertumbuhan, selera makan dan produksi feses. Hewan coba tersebut tetap energik dan hasil jumlah darah lengkapnya berada pada batas normal. Pada kelinci yang diberi andrographolide (10 mg/kg berat badan) secara intravena, menunjukkan tidak ada respons kardiovaskuler yang abnormal. Uji enzim hati, jantung, ginjal dan limpa juga berada dalam keadaan normal pada hewan coba ini.37 Pada uji toksisitas lainnya, tikus

atau kelinci yang diberi andrographolide atau neoandrographolide dengan dosis 1 gr/kg berat badan secara oral selama 7 hari, menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap berat badan, jumlah darah, fungsi hati dan ginjal, serta organ penting lainnya.30 PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa efek farmakologi sambiloto yang menunjukkan khasiat dan keamanannya sebagai salah satu obat tradisional sudah banyak didukung bukti ilmiah baik uji pre klinik maupun uji klinis. Khasiat yang sudah dibuktikan melalui uji pre klinik hendaknya dilanjutkan ke tahap uji klinis untuk mendukung keilmiahan penggunaannya pada pengobatan formal. DAFTAR PUSTAKA 1. Sukandar, E. Y. Tren dan Paradigma

Dunia Farmasi: Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan. Available from: http://www. itb.ac.id.

2. Sukandar, E. Y. (2004). Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM. Available from: http//www. beritabumi.or.id.

3. Prapanza, E. Dan Marianto, L.M. (2003). Khasiat & Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. AgroMedia Pustaka. Hal: 3–9.

4. Wang, Y. H. (1983). The Pharmacology and Application of Traditional Chinese Medicine. Beijing: People’s Health Press.

5. Sandberg, F. (1994). Andrographidis Herba Chuanxinlian: A Review. Gothenburg, Sweden: Swedish Herbal Institute. In: The American Botanical Council (USA).

6. Weibo, L. (1995). Prospect for Study on Treatment of AIDS with Traditional Chi-nese Medicine. J. Trad. Chinese Med. 15(1): 3–9.

7. Weibo, L. (1995). Andrographis, in-depth review. Available from: http://www.alt-cancer.com.

Page 68: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 221

8. Lukas, R. (1998). Rahasia Herbalis Cina, Ramuan Tanaman Obat Cina. Pustaka Delapratasa. Jakarta.

9. Yusron, M., Januwati dan Rini, E. P. Budidaya Tanaman Sambiloto. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Sirkuler. 11. Available from: http://www.balittro.go.id.

10. Hu, C. Q. dan Zhou B. N. (1982). Isolation and Structure of Two New Diterpenoid Glucosides from Andrographis paniculata Nees. Yao Xue Xue Bao. 17(6): 435–440.

11. Siripong, P., B. Kongkathip, K. Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan dan W.C. Taylor. (1992). Cytotoxic Diterpenoid Constituents from Andrographis paniculata, Nees leaves. J. Sci. Soc. Thailand. 18(4):187–194.

12. Siripong, P., B. Kongkathip, K. Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan dan W.C. Taylor. (2003). Andrographis paniculata. Available from: http://www. vitamin-herbuniversity.com.

13. Weiming, C. dan Xiaotion, L. (1982). Deoxyandrographolide 19β-D-glucoside from the leaves of A. paniculata. Planta Medica. 15: 245–246.

14. Tang, W. dan Eisenbrandt, G. (1992). Chinese Drugs of Plants Origin: Chemistry, Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine. New York: Springer-Verlag.

15. Zheng, Z. Y. (1982). Pharmakokinetic Studies on 3H-andrographolide. Chinese Herbal Med. 13(9): 33–36.

16. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan Mamikonyan, G. (2000). Pharma-kokinetic and Oral Bioavailability of Andrographolide from Andrographis pani-culata Fixed Combination Kan Jang in Rats and Human. Phytomedicine. 7(5): 351–364.

17. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan Mamikonyan, G. (1979). Wuxi Medicine Institute. Ushow Medical Academy. Acta Bioche-mica Biophysica Sinica. 11.

18. Trivedi, N. P. dan Rawal, U.M. (2001). Hepatoprotective and Antioxidant Property of Andrographis paniculata (Nees) in BHC Induced Liver Damage in Mice. Indian J Exp Biol. 39 (1): 41–46.

19. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K. dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic Effect of Andrographolide in Rats and Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146–149.

20. Holt, S. dan Comac, L. (1998). Miracle Herbs: How Herbs Combine with Modern Medicine to Treat Cancer, Heart Disease, AIDS, and More, Caro Publishing Group.

21. Borhanuddin, M., Shamsuzzoha, M. dan Hussain A.H. (1994). Hypoglycaemic effects of Andrographis paniculata Nees on Non-diabetic Rabbits. Bangladesh Med Res Counc Bull. 20 (1): 24–26.

22. Zoha, M. S., Hussain, A. H. dan Choudhury, S. (1989). Antifertility Effect of Andrographis paniculata in Mice. Bangladesh Med Res Counc Bull. 15 (1): 34–37.

23. Wang, H. W., Zhao, H.Y. dan Xiang, S. Q. (1997). Effects of Andrographis pani-culata Component on Nitric Oxide, Endothelin and Lipid Peroxidation in Experimental Atherosclerotic Rabbits. Zhongguo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi. 17 (9): 547–549.

24. Mandal, S. C., Dhara, A. K. dan Maiti, B. C. (2001). Studies on psychophar-macological activity of Andrographis paniculata extract. Division of Pharmacognosy, Department of Pharmaceutical Technology, Jadavpur University, Calcutta, India. Phytother Res. 15 (3): 253–256.

25. Calabrese, C., Berman, S.H., Babish, J.G., Ma, X., Shinto, L., Dorr, M., Wells, K., Wenner, C. A. dan Standish, L.J. (2000). A Phase I Trial of Andro-grapholide in HIV Positive Patients and Normal Volunteers. Bastyr University Research Institute, Bastyr University, Washington 98028, USA. Phytother Res. 14 (5): 333–338.

Page 69: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tri Widyawati Aspek Farmakologi Sambiloto...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 222

26. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos, P. A. dan Wikman, G. K. (1997). Prevention of Common Colds with Andrographis paniculata Dried Extract. A Pilot double blind trial. Phytomedicine. 4(2): 101–104.

27. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos R. A., Sandberg, F. dan Wikman, G. K. (1999). Use of visual analogue scale measurements (VAS) to asses the effectiveness of standardizing Andrographis paniculata extract SHA-10 in reducing the symptoms of common cold. A randomized double blind-placebo study. Phytomedicine. 6(4): 217–223.

28. Darwin. (2005). Efek Antiadhesi Ekstrak Sambiloto dan Meloksikam Pascalaparatomi pada Tikus Putih. Thesis. Pasca Farmasi. Universitas Sumatera Utara.

29. Manez, S., Alcaraz, J. J., Paya., Rios, J. L. dan Hancke, J. L. (1990). Selected Extracts from Medicinal Plants as Anti-inflammatory Agents.

30. Yin, J. dan Guo, L. (1993). Contemparory traditional Chinese medicine. Bei-jing:Xie Yuan.

31. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K. dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic Effect of Andrographolide in Rats and Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146–149.

32. Rangkuty, Z. (2006). Efek Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap Kontraksi Kantong Empedu Manusia. Thesis. Pasca Farmasi. Universitas Sumatera Utara.

33. Misra, P., Pal, L., Guru, P. Y., Katiyar, J. C., Srivastava, V. dan Tandon, J. S. (1992). Antimalarial Activity of Andrographis paniculata (Kalmegh) Against Plasmodium Berghei NK 65 in Mastomys natalensis. Int. J. Pharmacog. 30(4): 263–74.

34. Zein, U., Ginting, Y., Saragih, A., Hadisahputra, S., Arrasyid, N. K., Yulfi, H. dan Sulani, F. (2004). Antimalaria effect of Chloroquin-Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Combination Compared Chloroquin Alone in Adult Patients of Uncomplicated Malaria Falciparum. e-USU Repository.

35. Deng, W. L. (1978). Outline of Current Clinical and Pharmacological Research on Andrographis paniculata in China. Newsletters of Chinese Herbal Med. 10: 27–31.

36. Chung, Y. (1979). Andrographis paniculata. Handbook of traditional Chinese Medicine. Guangzhou.

37. Guo, S. Y., Li, D. Z., Li, W. S., Fu A. H. dan Zhang L. F. (1988). Study of The Toxicity of Andrographolide in Rabbits. J. Beijing Med. Univ. 5: 422–428.

Page 70: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 223

Amira Permatasari Tarigan Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rumah Sakit Tembakau Deli Medan

Abstrak: Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat sesak napas yang dialaminya bertahun-tahun, tetapi diperburuk kondisinya oleh penurunan fungsi otot skeletal akibat berkurangnya aktivitas sehari-hari pasien (Deconditioning syndrome). Oleh sebab itu melakukan kegiatan berolahraga harus dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah dari efek fisiologis dan psikologis. Dalam melakukan berolahraga bagi penderita PPOK membutuhkan langkah-langkah yang terarah sehingga mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Pasien PPOK yang melakukan olahraga secara terprogram umumnya dapat meningkatkan kapasitas kerja mereka 70–80% dalam waktu 6 minggu dan mengalami perbaikan keluhan sesak napasnya. Kata kunci: PPOK, penurunan aktivitas, olahraga Abstract: The disability to do activities for the patients of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) occurs not only because of the shortness of breath problem that they suffer for years but the condition is also worsened by the decreasing function of skeletal muscles resulted from the lessened daily activities of the patients (Deconditioning syndrome). That’s why physical exercise activities should be considered by the patients of COPD. The benefits which can be gained are both physiological and psychological effect. In doing exercises or sports for the sufferers of chronic obstructive pulmonary disease, requires aimed steps so the expected achievement can be reached. The patients of COPD who perform programmed exercise/sports generally increase their working capacity as much as 70%-80% in 6 weeks and they gain improvement in the shortness of breath complaints. Keywords: COPD, decreasing activities, exercise

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Keluhan utamanya antara lain sesak napas, batuk kronis dengan sputum dan keterbatasan aktivitas.1

Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien-pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran napas pada parunya saja, tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya yaitu penurunan fungsi otot skeletal. Penurunan

aktivitas pada kehidupan sehari-hari akibat sesak napas yang dialami pasien-pasien PPOK, akan mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (deconditioning syndrome).2

Dari hasil penelitian Isabel dkk. (1998) melaporkan bahwa skor limit time dan aktivitas fisik sangat signifikan menurun pada pasien-pasien PPOK. Hal ini mengindikasikan kerusakan daya tahan otot skeletal pada pasien PPOK berhubungan dengan kerusakan fungsi paru yang bergabung dengan pengaruh kurangnya pasien melakukan aktivitas fisik.2

Yang dimaksud olahraga atau latihan adalah semua aktivitas jasmani yang dapat dilakukan setiap hari dengan mudah oleh siapa saja tanpa harus menggunakan alat dan perlengkapan yang mahal. Penderita PPOK

Page 71: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Amira Permatasari Tarigan Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 224

perlu berolahraga untuk mempertahankan dan atau memulihkan kesehatannya. Yang penting dan perlu diingat adalah pengertian olahraga seperti yang disebutkan di atas. Berolahraga tidak harus berarti main sepakbola, bersepeda, berlari dan sebagainya.3

Ada pernyataan yang perlu kita cermati yaitu “ Tiada orang yang terlalu sehat untuk tidak perlu berolahraga dan tak ada orang yang terlalu sakit untuk tidak boleh berolahraga”. Namun hal yang perlu dibahas selanjutnya adalah bagaimana caranya dan apa bentuk olahraganya, seperti untuk seorang penderita penyakit paru kronis yang mengalami keluhan sesak napas bertahun-tahun misalnya.

Dalam tulisan ini akan menjelaskan mengapa seorang penderita PPOK perlu berolahraga dan bagaimana bentuk olahraga yang sesuai untuk penderita PPOK.

PATOFISIOLOGI SESAK NAPAS KETIKA BERAKTIVITAS PADA PPOK

Sesak napas adalah suatu gejala kompleks yang merupakan keluhan utama dari pasien PPOK, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: fisiologi, psikologi, social, dan juga lingkungan.4

Faktor patofisiologi yang diperkirakan mengkontribusi terhadap kualitas dan intensitas sesak napas saat melakukan aktivitas pada PPOK antara lain: 1. Kemampuan mekanis (elastisitas dan

reaktif) dari otot-otot inspirasi 2. Meningkatnya mekanis (volume) restriksi

selama beraktivitas 3. Lemahnya fungsi otot-otot inspirasi 4. Meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif

terhadap kemampuannya 5. Kelainan/gangguan pertukaran gas 6. Kompresi jalan napas dinamis 7. Faktor kardiovaskuler 8. Kombinasi dari faktor-faktor di atas

Faktor-faktor di atas sangat saling terkait

terhadap intensitas sesak napas pada pasien PPOK. Sesak napas secara kualitatif berbeda pada setiap individu penderita PPOK dan sangat tergantung dari bentuk patofisiologi yang terjadi yang tentunya bervariasi pada penyakit yang heterogen dan kompleks ini.4

PERUBAHAN FAAL TUBUH AKIBAT OLAHRAGA 1. Perubahan pada Otot

Dengan latihan otot dapat mengalami hipertropi, mungkin tambahan sebanyak 30 sampai 60%. Perubahan yang terjadi di dalam serat otot yang hipertropi itu sendiri meliputi antara lain: (1) Peningkatan jumlah miofibril, sebanding dengan derajat hipertropi (2) Peningkatan enzim-enzim mitokondria sampai 120% (3) Peningkatan komponen sistem metabolisme fosfogen termasuk ATP dan fosfokreatin sebanyak 60% sampai 80% (4) Peningkatan cadangan glikogen sebanyak 50% dan (5) Peningkatan cadangan trigliserida (lemak) sebanyak 75% sampai 100%. Akibat semua perubahan ini, kemampuan sistem aerob dan anaerob meningkat, terutama meningkatkan kecepatan oksidasi maksimun dan efisiensi sistem metabolisme oksidatif sebanyak 45%.5 2. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler

Pada sistem kardiovaskuler terjadi peningkatan jumlah kapiler sehingga distribusi darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek akhirnya adalah ekstraksi O2 yang lebih sempurna dan akibatnya untuk beban kerja yang sama peningkatan pembentukan laktat menjadi lebih rendah. Peningkatan aliran darah ke otot juga menjadi lebih rendah dan karena hal ini kecepatan denyut jantung ketika berolahraga kurang peningkatannya dibanding orang yang tidak terlatih. Hal ini merupakan alasan mengapa latihan berguna bagi pasien penyakit jantung.5 3. Perubahan pada Pernapasan

Selama latihan fisik, jumlah O2 yang memasuki aliran darah di paru-paru meningkat, karena adanya peningkatan jumlah O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah serta bertambahnya aliran darah pulmonal permenit. PO2 darah yang mengalir ke dalam kapoiler pulmonal akan menurun dari 40 menjadi 25 mmHg atau kurang, sehingga perbedaan PO2 alveoli kapiler meningkat dan lebih banyak O2 akan masuk kedalam darah. Aliran darah permenit dari sekitar 5,5 L/menit menjadi 20–35 L/menit. Dengan demikian jumlah O2 total yang memasuki darah juga bertambah, dari 250 ml/menit saat istirahat

Page 72: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 225

mencapai 400 ml/menit. Jumlah CO2 yang dikeluarkan dari tiap satuan darah meningkat dan ekskresi CO2 meningkat dari 200 ml/menit mencapai 8000 ml/menit.5

Angka-angka ini terjadi pada keadaan normal, namun dapat kita jadikan acuan pada keadaan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK).5

Efek latihan pada sistem pernapasan sangat progresif. Dalam waktu 4–6 minggu latihan terus menerus, efisiensi pernapasan maksimum telah tercapai. Hal ini disebabkan karena meningkatnya fungsi neuromuskular, difusi gas O2 dan CO2 menjadi lebih baik. Begitu pula untuk volume (isi) semenit jantung yang sama, O2 yang diambil dan CO2 yang dikeluarkan (difusi gas) meningkat. Dengan latihan teratur terus menerus, efisiensi otot-otot pernapasan meningkat, terbukti dengan ventilasi paru yang menurun frekuensinya tetapi amplitudonya (dalamnya) bertambah, hingga mencapai frekuensi pernapasan 8 kali permenit waktu istirahat pada orang yang terlatih.3 4. Perubahan pada Susunan Darah

Efek latihan terlihat pula pada susunan kimia darah dan sel-sel darah. Pada pekerjaan atau latihan yang berat dan lama (misalnya lari maraton), glukosa darah akan menurun karena habisnya cadangan glikogen dalam hati sedangkan tidak ada penambahan selama latihan. Asam laktat baru timbul apabila telah terjadi proses anaerobik atau pekerjaan berat.3

Sel darah sering mengalami perubahan pada latihan, misalnya eritrosit banyak yang pecah walaupun praktis jumlahnya (tiap cc darah) tetap akibat pengeluaran sel-sel darah (eritrosit) dari limpa yang mengadakan kontraksi waktu latihan berlangsung.5 5. Perubahan pada Aktivitas Aerobik dan

Anaerobik Selama latihan, oleh karena adanya

perubahan-perubahan pada otot, sistem pernapasan metabolisme sel-sel tubuh terjadi pula perubahan-perubahan pada aktivitas aerobik dan anaerobik.3

Aktivitas aerobik: besarnya kerja otot yang dapat dikerjakan dengan persediaan O2 yang sama menjadi lebih besar. Oleh karenanya proses kontraksi otot aerobik sudah cukup untuk menghasilkan kerja pada tingkat yang

lebih tinggi dengan akumulasi asam laktat cukup kecil dalam darah.3

Proses anaerobik baru diperlukan kalau sifat pekerjaan yang dihadapi lebih berat. Dengan demikian akat terdapat steady state pada level yang lebih tinggi dan akumulasi asam laktat baru tejadi pada kerja yang lebih berat dan tidak terjadi dalam waktu yang cepat. Karenanya kapasitas anaerobik dalam tingkat yang lebih tinggi lebih bisa dicapai.3 6. Perubahan pada Tulang

Selain ada hipertrofi otot, efek latihan juga menyebabkan penambahan kekuatan tulang, tebalnya tulang rawan sendi, penambahan kekuatan ligamen dan sebagainya.3

Di samping itu juga ada kaitan antara depresi dan kelelahan pada pasien PPOK, sehingga manfaat yang dapat diperoleh dari berolahraga yang dilakukan penderita PPOK adalah selain dari segi fisiologi juga efek psikologi.6 MANFAAT BEROLAHRAGA PADA PENDERITA PPOK

Olahraga merupakan kebiasaan yang sehat dan baik. Tak seorang dokter atau orang awam pun meragukan hal ini. Juga tidak ada kontroversi tentang latihan berolahraga pada suatu program rehabilitasi paru. Di awal tahun 1960-an, para dokter mulai memberikan resep latihan berolahraga sebagaimana mereka memberikan resep obat, pertama-tama untuk mencegah penyakit dan kemudian untuk memulihkan pasien yang menderita penyakit kronis. Penyakit paru berada pada daftar tertinggi dari kondisi-kondisi di mana latihan dianggap terapi yang cocok dan bermanfaat.7

Mengingat bahwa pada penderita-penderita PPOK umumnya terdapat deconditioning syndrome, sehingga dapat mengakibatkan: a. Kemampuan bekerja berkurang,

selanjutnya akan mempengaruhi keadaan sosio ekonominya.

b. Biaya pengobatan yang dikeluarkan makin lama makin besar, akibatnya mengurangi dana untuk kebutuhan yang lain.

c. Timbul masalah lain seperti masalah psikologi, sosial, seksual, dan sebagainya.3

Page 73: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Amira Permatasari Tarigan Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 226

Biaya perawatan kesehatan untuk PPOK setiap tahun sangatlah mengejutkan, di Amerika sendiri $36 miliar. Beberapa kajian mengenai aspek keuangan dari program rehabilitasi latihan paru-paru memperlihatkan bahwa pasien PPOK yang mengikuti program komprehensif tidak begitu banyak menghabiskan waktu dirumah sakit, dan membayar pelayanan medis lebih murah. Dalam kajian terhadap 80 pasien PPOK, terdapat pengurangan 68% masa opname pada tahun setelah mengikuti program rehabilitasi berjalan dibandingkan dengan tahun sebelum program rehabilitasi berjalan. Kajian ini terus memonitor pasien yang sama selama 8 tahun, dan para peneliti menghitung total rata-rata penghematan sebesar $416.000 atau $5000 perpasien setiap tahun. Bukti ini menunjukkan bahwa program rehabilitasi paru-paru yang komprehensif merupakan suatu investasi biaya yang efektif.7

Beberapa kajian memperlihatkan bahwa pasien penyakit kronis yang berlatih dengan tekun, jarang sekali terkena stress, kecemasan dan depresi, tidur lebih nyenyak, dan percaya diri bertambah. Panel consensus pada Lembaga Kesehatan Mental di Amerika Serikat tetap menekankan bahwa olahraga dan kebugaran fisik memiliki pengaruh positif pada pandangan mental seseorang, berapapun usianya. Untuk orang terkena depresi, para spesialis medis menganggap latihan yang teratur sebagai penghubung yang berguna terhadap meditasi atau psikoterapi, atau keduanya.7

Walaupun olahraga tidak dapat mengembalikan defisit fisiologi dan struktur yang ada pada PPOK, namun ia dapat mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui perbaikan daya tahan tubuh, pernapasan yang efisien, dan toleransi dari sesak napas, terutama pada pasien-pasien yang kerusakan parunya berat.8

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan manfaat olahraga pada PPOK:

Paitiel dkk. Melaporkan bahwa pasien-pasien dengan PPOK derajat sedang sampai berat, yang mengikuti beberapa lama periode terapi dengan menggunakan bronchodilator masa kerja lama (LABD = long acting bronchodilator), olahraga ditambah penggunaan LABD, dan olahraga ditambah latihan otot-otot

inspirasi (IMT = Inspiratory Muscle Training) ditambah LABD, ada penigkatan perbaikan secara kumulatif dari sesak napas.9

James I dkk. melaporkan bahwa program rehabilitasi paru yang menyertakan latihan ekstremitas atas akan mengarahkan suatu penurunan penggunaan ventilasi untuk mengangkat tangan. Program ini dapat membuat sesak yang berkurang pada pasien obstruksi saluran napas kronis ketika melakukan aktivitas ekstremitas atas.10

R. Coppoolse (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan fisiologi yang terjadi pada latihan yang berinteval atau yang terus menerus pada PPOK, kemungkinan merupakan suatu efek spesifik latihan terhadap oksidasi atau proses metabolisme glikosis otot.11

Dan dari Ohio University, Charles Emery menyatakan dari hasil penelitiannya tentang pasien-pasien PPOK yang melakukan olahraga secara teratur dapat menurunkan ansietas dan depresinya dan peningkatan daya tahan dan beberapa bentuk dari fungsi intelektualnya.12

Dari hasil laporan Casaburi (1993) yang mengevaluasi efek dari berolahraga terhadap 900 orang pasien PPOK, terjadi peningkatan ketahanan beraktivitas akibat latihan.13

PEDOMAN KEAMANAN SEBELUM MELAKUKAN OLAHRAGA PADA PASIEN PPOK

Dalam rangka mengutamakan keselamatan dan keamanan, sebaiknya sebelum melakukan kegiatan olahraga, pasien-pasien PPOK penting melaksanakan pedoman-pedoman tertentu untuk memastikan program latihan tersebut akan efektif dan aman.

Pedoman-pedoman keamanan berikut ini ditujukan untuk mengurangi kemungkinan dimana latihan dapat memperburuk kondisi pasien. Pedoman ini juga dirancang untuk membantu mencegah komplikasi jantung yang berkaitan dengan olahraga dan cedera otot serta urat darah.7 1. Jangan memulai latihan sebelum masalah

pernapasan pasien belum distabilkan melalui perawatan medis yang tepat.

Page 74: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 227

2. Melakukan evaluasi medis menyeluruh sebelum memulai program latihan, dan setelahnya tetap dilakukan evaluasi berkala.

3. Menentukan pasien-pasien mana yang membutuhkan pengawasan medis secara langsung pada saat melakukan latihan, dan apakah pengawan itu pada minggu-minggu awal program atau bersifat permanen.

4. Menentukan apakah pasien membutuhkan tambahan oksigen dalam latihan dan apakah terdapat tanda-tanda hipoksemia pada pasien.

5. Pasien harus mengetahui tanda-tanda bahaya dari komplikasi jantung yang dapat terjadi.

6. Berhati-hatilah dengan beberapa obat yang dapat mengubah respons pasien terhadap latihan.

7. Pasien sebaiknya mengetahui teknik pernafasan khusus yang membantu meredakan sesak napas saat latihan.

8. Mengetahui cara untuk mencegah, atau setidaknya memperkecil, asma yang disebabkan oleh olahraga.

TIPS MELAKUKAN OLAHRAGA BAGI PASIEN PPOK

Olahraga yang boleh dan perlu dilakukan oleh penderita PPOK adalah olahraga yang bersifat rehabilitatif yang sudah tentu juga nonkompetitif. Olahraga penderita PPOK harus bersifat rehabilitatif mengandung arti bahwa olahraga tersebut harus terprogram dan di bawah pengawasan pembimbing dan kalau memungkinkan lebih baik lagi jika ditangani oleh tim.3

Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus untuk menyusun program latihan yang sesuai dengan kondisi penderita.3

Di bawah ini beberapa tips umum untuk melakukan olahraga bagi penderita PPOK: 1. Menggunakan inhalasi bronkodilatasi

30–60 menit sebelum melakukan olahraga sebaiknya menggunakan inhalasi bronkhodilatasi, terutama untuk mencegah terjadinya serangan pada pasien yang menderita exercise induced asthma (EIA).14

2. Melakukan pemanasan sebelum latihan Lamanya berkisar 5–10 menit. Tujuan latihan pemanasan untuk menambah

aliran darah ke jantung, mengurangi tahanan paru, menambah aliran darah ke organ vital lainnya, melenturkan sendi, menaikkan temperatur tubuh (meninggikan kesiapan metabolisme tubuh).3

3. Buat target yang ingin dicapai Memulai olahraga dengan membuat target yang diperkirakan dapat dicapai. Kemudian secara bertahap tingkatkan target seiring dengan kemajuan yang dicapai. Sebaiknya latihan diawali dengan berjalan selama 12 menit (jalan mendatar) dan dapat disertai dengan senam ringan. Apabila penderita tidak dapat jalan karena sesak, maka dianjurkan untuk melakukan latihan otot pernapasan inspirasi. Sangat baik jika aktivitas fisik dilakukan selama 30–45 menit dalam waktu tiga sampai lima kali seminggu.15

4. Aktivitas yang dilakukan variasikan Jenis olahraga yang dilakukan divariasikan, antara lain berenang, jalan, latihan tubuh bagian atas dan aerobik ringan, bersepeda.7 Jenis latihan harus sesuai dengan kemampuan, kebiasaan dan fasilitas yang ada.3 Kini yayasan asma di Indonesia juga telah memberikan tambahan pilihan jenis olahraga penderita penyakit paru yaitu senam asma. Pada senam ini terdiri dari pemanasan, latihan tubuh bagian atas, latihan pernapasan, peregangan, aerobik ringan dan pendinginan, yang diiringi oleh musik sehingga memberikan semangat bagi siapapun yang melakukannya.

5. Pilih aktivitas yang disukai Olahraga jangan menjadi sesuatu beban, tetapi justru ia menikmatinya. Sebelumnya ia harus mencoba dahulu beberapa jenis aktivitas, agar menemukan yang paling sesuai dengan seleranya.

6. Berolahraga dengan teman Bukan hanya untuk saling memberikan semangat, selain itu juga agar ia dapat selalu melakukan percakapan yang santai sewaktu berolahraga.

7. Jangan banyak alasan untuk mengerjakannya Kita sebaiknya menyarankan pasien untuk melakukan aktivitas ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sambil menggunakan peralatan oksigen. Sedikit aktivitas lebih

Page 75: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Amira Permatasari Tarigan Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 228

baik daripada tidak sama sekali. Mulai dengan perlahan dan jika ia telah mulai merasakan keuntungan dan berolahraga, ia akan segera berkeinginan untuk melakukan lebih.

8. Ambil waktu pendinginan Aktivitas pendinginan seperti halnya peregangan, berjalan atau berenang dengan perlahan-lahan akan menutup kegiatan olahraga dan mengembalikan denyut jantung ke normal.

9. Lakukan sesuai kemampuan Melakukan latihan sebaiknya dalam kondisi yang nyaman, karena kegiatan ini bukan suatu pertandingan dengan lawan main atau orang lain tapi dengan diri sendiri. Intensitas latihan disesuaikan dengan kemampuan penderita. Dasar perhitungan intensitas latihan adalah menggunakan frekuensi denyut nadi. Denyut nadi maksimal dihitung dengan rumus 200 - umur. Untuk penderita PPOK, taget denyut nadi dapat dimulai dari 50% dari denyut nadi maksimal dan dapat ditingkatkan sampai pada 75% dari denyut nadi maksimal, dan tidak dibolehkan mencapai 85% atau bahkan melebihinya.3,7

10. Hentikan jika mengalami masalah Jika ia menjadi mual atau pusing, merasa lemas, jantung terasa berdebar-debar, napas menjadi pendek, atau perasaan nyeri, hentikan segera olahraganya walaupun mungkin target denyut nadi belum tercapai. Melakukan konsultasi ke dokter sangat dibutuhkan untuk melaporkan dan mengetahui setiap perkembangannya.3

11. Berikan penghargaan kepada si pasien jika berhasil Jika berhasil mencapai tujuan atau target, berikan penghargaan atas prestasi itu. Karena ia memang berhak mendapatkannya.

PENUTUP

Melakukan kegiatan berolahraga harus dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah dari efek fisiologis dan psikologis. Perubahan faal tubuh akibat olahraga meliputi perubahan pada otot, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, susunan darah, aktivitas aerobik dan anaerobik dan pada tulang.

Walaupun olahraga tidak dapat mengembalikan defisit fisiologi dan struktur yang ada pada PPOK, namun ia dapat mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui perbaikan daya tahan tubuh, efisiensi pernapasan dan toleransi terhadap sesak napasnya.

Dalam melakukan berolahraga bagi penderita PPOK membutuhkan langkah-langkah yang terarah sehingga mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Pasien-pasien yang melakukan olahraga secara terprogram umumnya dapat meningkatkan kapasitas kerja mereka 70–80% dalam waktu 6 minggu.

Namun perlu kita sadari bahwa penatalaksanaan pasien PPOK sangatlah kompleks dalam rangka mengoptimalkan fungsi paru dan kualitas hidupnya. Dan akhirnya kita sebagai dokter yang mengerti kondisi pasien PPOK, tidak hanya menganjurkan untuk berolahraga saja tetapi ia juga membutuhkan suatu program Rehabilitasi Paru yang merupakan suatu metode manajemen dan evaluasi dari beberapa disiplin ilmu yang terkait dan terintegrasi. DAFTAR PUSTAKA 1. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),

Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, Jakarta, 2003:1.

2. Serres I, et al. Impaired Skeletal Muscle Endurance Related to Physical Inactivity and Altered Lung Function in COPD Patients. Chest 1998; 113: 900–05.

3. Rachmatullah P, Poeger Tj. Olahraga Pada Penderita PPOM. Dalam: Patogenesis dan Pengelolaan Menyeluruh Penyakit Paru Obstruksi Menahun. Darmono S. Universitas Diponegoro, 1990: 144–58.

4. O’Donnell DE, Webb K. The Etiology of Dyspnea During Exercise in COPD. Available at http:www.aarc.org/patient education/tips/exercise.html.

5. Guyton AC. Fisiologi Olahraga. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, 1997.

Page 76: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 229

6. Ries AL. Pulmonary Rehabilitation. Pulmonary Diseases and Disorders, McGraw Hill Inc, 1988: 1325–1331.

7. Gordon NF. Gangguan Pernapasan, Panduan Latihan Lengkap (Terjemahan). The Cooper Clinic and Research Institute Fitness Series, PT Rajagrafindo, 1997.

8. Mink BD. Exercise and Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Modest Fitness Gains Pay Big Dividends. The Physician and Sportsmedicine. Available at http:www.physsportmed.com/issues/ 1997/11nov/mink.htm: 1–8.

9. Weiner P, Magadle R, et al. The Cumulative Effect of Long Acting Bronchodilators, Exercise, and Inspiratory Muscle Training on the Perception of Dyspnea in Patients with Advanced COPD. Chest 2000; 118: 672–78.

10. Couser JI, Celli BR, Martinez FJ. Pulmonary Rehabilitation That Includes Arm Exercise Reduces Metabolic and Ventilatory Requirements for Simple Arm Elevation. Chest 1993; 103: 37–41.

11. Coppoolse R, et al. Interval Versus Continuous Training in Patients with Severe COPD: a randomized clinical trial. Eur Respir J 1999; 14: 258–63.

12. Emery C., et al. Regular Exercise Helps Patients with COPD. In: Doctor’s Guide to Medical & Other News. Available at http://www.docguide.com.

13. Celli BR. Pulmonary Rehabilitation for COPD. Postgraduate Medicine 1998; 103(4): 1–9.

14. Saito S. Effects of Inhaled Bronchodilator on Pulmonary Hemodynamic at Restand During Exercise in Patients With COPD. Chest 1999; 115: 376–82.

Page 77: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 230

Luhu A. Tapiheru, Puji Pinta O. Sinurat, Kiking Ritarwan Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Myelitis transversalis adalah suatu sindrome yang jarang. Karakteristik myelitis transversalis ditandai dengan adanya inflamasi di dalam medula spinalis dan mempunyai manifestasi klinis dengan hasil terjadinya disfungsi neural dari jaras-jaras motorik, sensoris, dan otonom sebagai akibat jaras tadi melewati daerah di batas rostral inflamasi. Molekuler mimic dapat menstimulasi generasi antibodi yang dapat memberikan reaksi silang dengan antigennya sendiri, menghasilkan formasi imun kompleks dan aktivasi dari complement-mediated atau cell-mediated yang dapat menimbulkan injury terhadap jaringannya sendiri. Terapi yang dilakukan adalah pemberian steroid, plasma exchange, pengobatan imunomodulator, manajemen perawatan pasien dalam jangka waktu lama. Sepertiga pasien akan pulih tanpa adanya sekuele, sepertiga dengan disabilitas sedang, sepertiga dengan sekuele berat. Kata kunci: myelitis transversalis, reaksi autoimun, penatalaksanaan Abstract: Transverse myelitis is a rare syndrome. The characteristic of transverse myelitis marked with the existence of inflammation in medulla spinallis. The clinic manifestation as a result of dysfunction of neural from motoric pathway, sensory and otonomous because of the pathway pass through to boundary area of rostral inflammation. Molecular mimic earn to stimulate of antibody generation which can give the crossed reaction to his antigen itself, yielding immuned complex formation and activation complement-mediated or cell-mediated which can generate the injury to its own network. The therapy are steroid, plasma exchange, medication immunomodulator, old patient treatment management within. One-third patient will be convalesce without existence of sequele, one-third with mild disability the other with severe sequeles. Keywords: transverse myelitis, autoimmune reaction, treatment management

PENDAHULUAN

Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.1,2

Myelitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun. Karakteristik myelitis transversalis ditandai dengan adanya inflamasi di dalam medula spinalis dan mempunyai manifestasi klinis berupa

terjadinya disfungsi neural dari jaras-jaras motorik, sensoris dan otonom sebagai akibat jaras tadi melewati daerah di batas rostral inflamasi. Sering ditemukan keluhan adanya disfungsi sensoris dan bukti adanya inflamasi akut dibuktikan dengan MRI dan punksi lumbal.1

Dr. Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris pada tahun 1948 mengenalkan terminologi acute transverse myelitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi myelitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya band like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat

LAPORAN KASUS

Page 78: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 231

itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai myelitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan.1,3

Ketika level maksimal defisit neurologi mendekati 50%, pasien sudah kehilangan seluruh gerakan tungkai, disfungsi kandung kencing dan 80–94% pasien mengeluh numbness, parestesia, dan disestesia. Simptom otonom terdiri dari meningkatnya gangguan berkemih dan defekasi, kesulitan atau tak dapat mengosongkannya atau adanya konstipasi saluran pencernaan serta adanya gangguan seksual.1,3

Myelitis transversalis dapat terjadi idiopatik atau bersama-sama dengan suatu penyakit inflamasi. Penderita myelitis transversalis harus ditawarkan untuk mendapatkan terapi imunomodulator seperti steroid dan plasmapheresis (belum ada konsensus sebagai suatu strategi terapi yang tepat). Kebanyakan pasien dengan myelitis transversalis adalah penyakit monophasic.1

LAPORAN KASUS

Seorang pria berinisial A. S. berusia 33 tahun, suku Batak, Kristen Prostestan, beralamat Hutabayu Kelurahan Hutabayu, Kota Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, datang dengan keluhan lemah pada kedua tungkai yang telah diderita sejak 3 bulan lalu, dimulai dengan perasaan kebas dari telapak kaki menjalar sampai ke lutut sebelah kanan yang terjadi sehabis bangun tidur, dan kemudian bila OS berjalan agak pincang, selanjutnya satu minggu berikutnya keluhan menjalar ke tungkai sebelah kiri dengan cara yang sama dimulai dari telapak kaki naik sampai ke lutut, tetapi OS masih sanggup berdiri. Satu minggu kemudian keluhan bertambah dengan kedua tungkai terasa berat bila melangkah sehingga perlu bantuan orang lain bila berjalan. Satu minggu kemudian OS sudah tidak dapat berjalan lagi, dan sejak saat itu mengalami kesulitan dalam berkemih dengan sulit buang air besar. OS juga merasa kulit perut depan sekitar pusar terasa berbeda bila diraba antara perut atas dan perut bawah.

Setelah 1 bulan menderita penyakit tersebut, OS berobat kampung selama kurang

lebih satu bulan, karena tak ada perubahan OS kemudian dibawa berobat ke RSU Siantar dan dirawat oleh dokter spesialis neurologi selama 2 minggu, karena juga tak kunjung ada perubahan OS pindah RS swasta dengan harapan untuk bisa di CT scan vertebra, tapi karena alat rusak dan tak ada kemajuan dalam pengobatan OS memutuskan kembali berobat kampung. Setelah kurang lebih dua minggu berobat kampung, maka OS dibawa berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan.

Riwayat jatuh terduduk tidak ada, riwayat batuk lama tidak ada, riwayat menderita ISPA sebelumnya tidak ada, riwayat vaksinasi sebelumnya tidak ada.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 84 kali/menit, pernapasan 18 kali/menit, suhu tubuh 36,8 0C. Kepala, mata, THT, jantung, paru-paru, abdomen dalam batas normal. Ekstremitas paraparesis.

Pada pemeriksaan perangsangan meningeal dan tanda peninggian TIK tidak dijumpai. Pada pemeriksaan nervi kranialis dalam batas normal. Sistem motorik dijumpai paraparesis tipe UMN dengan kekuatan motorik 1, dengan sisi kanan sama dengan sisi kiri. Pemeriksaan reflek fisologis dijumpai peningkatan reflek APR/KPR kanan. Dan dijumpai reflek patologis Babinski dan klonus di ekstremitas inferior kanan. Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptik didapatkan hipestesia setinggi Th 7–8 ke bawah dengan propioseptik terganggu. Koordinasi lenggang sulit dinilai. Pemeriksaan vegetatif vasomotor, sudomotori, pilo-erector terganggu setinggi Th 7–8 ke bawah dan adanya gangguan retensio urine dan retensio alvi. Fungsi luhur baik.

Pemeriksaan penunjang darah lengkap, tes fungsi ginjal, kadar gula darah sewaktu didapatkan hasil dalam batas normal. Foto rutin thorak dan foto vertebra thorak dalam batas normal. EKG normal. Dari hasil MRI thoracic didapatkan hasil osteophyte pada Th 9–Th 10, tampak daerah hiperintens pada T2 weighted setinggi C7 sampai Th7–Th8, dengan hasil kesimpulan kesan myelitis setinggi C7 sampai dengan Th 7–Th 8 + spondilosis thoracalis.

Page 79: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Luhu A. Tapiheru dkk. Myelitis Transversalis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 232

Gambar 1. MRI potongan axial thorakal T2 weighted

Gambar 2. MRI thorakalis potongan tansversal T1 weighted

Sedangkan hasil pemeriksaan Liquor Cerebro Spinalis (LCS) didapatkan hasil, warna putih jernih, pH 8,0, total protein 111 mg%, BJ 1,010, Glukosa 94 mg%, jumlah sel 16, diff. tell PMN 3%, MN 97%.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan

penunjang ditegakkan suatu diagnosis Paraparesis tipe UMN + Hipestesi setinggi th 7–8 ke bawah + Retensio urine + Retensio alvi ec. Myelitis transversalis.

Penderita diterapi dengan pemberian deksametason injeksi intravena 5 mg setaip 6 jam dengan loading doses 10 mg kemudian

Page 80: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 233

ditappering off setiap 4 hari, dan pemberian roboransia.

Klinis penderita membaik setelah pemberian terapi selama 1 minggu dengan dapat digerakannya kedua tungkai penderita. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini telah dirawat seorang laki-laki, didiagnosis dengan myelitis transversalis berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan, keluhan utama lemah pada kedua tungkai. Keluhan ini telah diderita sejak 3 bulan lalu, dimulai dari telapak kaki menjalar sampai ke lutut sebelah kanan yang kemudian satu minggu berikutnya keluhan menjalar ke tungkai sebelah kiri, tetapi OS masih sanggup berdiri. Satu minggu kemudian kedua tungkai terasa berat bila melangkah sehingga perlu bantuan orang lain. Satu minggu kemudian OS sudah tidak dapat berjalan lagi, sulit dalam berkemih dengan sulit buang air besar.

Myelitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan penyakit lain. Inflamasi dapat berasal dari akibat infeksi virus, reaksi abnormal reaksi imun atau insufisiensi aliran darah yang melewati pembuluh darah yang berlokasi di medula spinalis. Myelitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut gejala klinis berkembang lebih dari 1–2 minggu.4

Simptom myelitis transversalis berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45% pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam. 5

Sesuai dengan kriteria diagnostik (Tabel 1), untuk menegakkan diaganostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik, sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan menyebabkan hadirnya simptom umum dari myelitis transversalis. Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif cepat, dimulai dari

kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan. Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu kedua setelah OS sakit. Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan tanda awal yang paling umum myelitis transversalis pada orang dewasa dan tidak pada anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu.. Pada pemeriksaan sensibilitas penderita pada kasus kali ini dijumpai hipoestesia setinggi Th 7–Th 8 ke bawah. Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi kesulitan atau tak dapat buang air, pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual.1,5 Pemeriksaan vegetatif pada penderita inindijumpai anhidrosis setinggi Th7–Th8 ke bawah, retensio urine, retensio alvi. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari.1,3

MRI spinal dan punksi lumbal pada penderita kasus ini menunjukan bukti adanya proses inflamasi, hal ini sesuai dengan pendapat Krishnan (2004), dalam penelitiannya dari 170 pasien dengan idiopatik myelitis transversalis mendapatkan abnormalitas T2 signal servikal sebesar 44%, abnormalitas T2 signal pada thorak sebesar 37%, 5% mempunyai lesi multifokal dan 6% mempunyai lesi T1 hipointens. 42% pasien mempunyai kelainan pleositosis pada LCS dengan hitung sel darah putihnya 38 ± 13 sel dan 50% pasien mengalami peninggian level proteinnya. Pada penderita ini dijumpai lesi myelitis di segmen torakal dan pada pemeriksaan LCS dijumpainya peningkatan jumlah sel dan adanya peninggian protein.1

Page 81: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Luhu A. Tapiheru dkk. Myelitis Transversalis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 234

Tabel 1. Kriteria diagnostik myelitis transversalis 6

Dikutip dari: Transverse Myelitis Consortium Working Group. Proposed diagnostic criteria and nosology of acute

transverse myelitis. Neurology 2002; 59: 499-505

Myelitis transversalis merupakan suatu myelitis non infeksius tipe inflamasi. Kategori ini diambil dari suatu bentuk leukomyelitis baik demyelinisasi atau nekrosis dari traktus di medula spinalis, dan di dalam patogenesisnya didapatkan gambaran penting proses respons imun terhadap suatu infeksi yang sering timbul setelah infeksi virus. Pada kasus myelitis transversalis post-infeksius, mekanisme sistem imun lebih memegang peranan penting dalam menimbulkan kerusakan medula spinalis. Pada penyakit autoimun, sistem imun yang seharusnya bertanggung jawab melindungi tubuh dari organisme asing, beraksi sebaliknya menyerang jaringan tubuhnya sendiri dan menyebabkan inflamasi dan menghancurkan myelin di dalam medula spinalis. Ketika myelitis transversalis tidak dijumpai penyakit yang mendasarinya maka disebut sebagai idiopatik. Penyebab myelitis transversalis idiopatik tidak diketahui, tetapi banyak bukti mendukung adanya suatu proses autoimun, artinya pasien yang mempunyai sistem imun yang abnormal menstimulasi adanya serangan terhadap medulla spinalis yang menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.4,5,7

Pemulihan dapat tidak terjadi, sebagian atau komplit dan secara umum dimulai dalam satu sampai tiga bulan. Dan pemulihan tampaknya tidak akan terjadi, jika tidak ada perkembangan dalam tiga bulan. myelitis transversalis biasanya adalah penyakit monofasik dan jarang rekuren.5

Diagnosis banding pertama dengan tumor medula spinalis didasarkan adanya keluhan paraperesis yang terjadi progresif lambat dan tidak bersamaan antara kiri dan kanan, dimana pada pasien ini paresis dimulai pada kaki kanan menjalar ke kaki kiri, tetapi hal ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan MRI, dimana hasilnya tidak didapatkan SOL karena tumor medula spinalis. Guillain Barre Syndrome juga dibuat sebagai diagnosis banding karena sifat paraparesis pada pasien ini bersifat assenden dimulai dari kaki kemudian naik ke betis lutut lalu sampai setinggi dada, tetapi hal ini disingkirkan karena OS sebelumnya tidak menderita ISPA, dan hasil MRI menyingkirkan hal tersebut (seharusnya pada GBS gambaran MRI normal). Spondilitis TB dibuat sebagai diagnosis banding karena paraparesis tipe UMN terutama di daerah torakal juga dapat disebabkan oleh spondilitis TB tetapi hal ini

Page 82: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 235

disingkirkan dari pemeriksaan tidak dijumpainya gibus atau secara radiologis tidak adanya gambaran vertebra seperti baji dan tidak adanya riwayat batuk lama.

Penderita diterapi dengan pemberian deksametason injeksi intravena 5 mg setaip 6 jam dengan loading doses 10 mg kemudian ditappering off setiap 4 hari atau obat yang sering diberikan adalah metil prednisolon intravena 1000 mg. Keputusan untuk tetap memberikan steroid atau menambah pengobatan baru berdasarkan temuan klinis dan gambaran MRI pada akhir hari ke-5.8,9

Penelitian Sebire tahun 1996 terhadap 10 pasien anak yang menderita myelitis transversalis fase akut, dalam pengobatanya digunakan metil prednisolon intravena (Solumedrol) dengan dosis 1 gr/1,73 m3/hari selama 3 sampai 5 hari, diikuti dengan pemberian prednison oral (Cortancyl) dengan dosis 1 mg/kg BB/hari selama 14 hari.8

Terapi lain yang dapat diberikan Plasma exchange sering mulai diberikan apabila penderita mengalami myelitis transversalis yang moderate sampai berat dan menunjukan perkembangan klinis yang lambat dalam 5–7 hari pemberian steroid intravena. Beberapa peneliti ada juga yang menyarankan pemberian cyclophosphamide untuk pasien yang tetap mengalami progresifitas setelah pemberian terapi steroid intravena. Terapi filtrasi LCS merupakan terapi baru, dan belum digunakan luas di USA, dimana cairan LCS disaring dari faktor-faktor inflamasi (termasuk sel, komplemen, sitokin dan antibodi) terlebih dahulu sebelum diinfuskan kembali ke pasien. Proctective autoimmunity merupakan suatu alternative pengobatan berdasarkan bagaimana sistem imun menghancurkan sistem saraf. Walaupun regimen pengobatan yang ideal tidak diketahui, dalam dua tahun mereka menggunakan imunomodulator oral pada pasien seperti azathioprine, methotrexate, mycophenolate dan cyclophosphamide.1,3

Rehabilitasi diperlukan untuk mencegah komplikasi sekunder dari imobilitas dan meningkatkan functional skills, mencegah kerusakan kulit, mencegah kontraktur.1

Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8

minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi.1

Spastisitas sering merupakan masalah yang sulit ditangani. Mengusahakan tetap fleksibel dengan stretching rutin menggunakan latihan aktif dan program bracing menggunakan penyangga (splint). Dan dibantu dengan menggunakan obat-obatan anti spastisitas (seperti diazepam, baclofen, dantrolene, tizanidine, tiagabine), terapi injeksi botulinum. Tujuan akhir terapi untuk meningkatkan fungsi pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, melalui peningkatan ROM (Range of Motion), mengajarkan strategi kompensasi yang efektif, dan mengurangi nyeri.1,10,11

Perawatan multidisiplin tetap diperlukan dalam merawat pasien dengan myelitis transversalis seperti, dokter keluarga, internis, neurologist, dan psikiater.12 KESIMPULAN 1. Diagnosis myelitis transversalis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik – neurologis serta pemeriksaan penunjang.

2. Penyebab myelitis transversalis adanya mekanisme autoimun yang mengenai medula spinalis, dengan atau tidak disertai adanya underlying disease.

3. Pengobatan yang sering dilakukan dengan penggunaan steroid dosis tinggi, dapat disertai plasma exchange dan pengobatan imunomodulator serta pengobatan jangka panjang terhadap penyakit ini.

SARAN

Perlunya menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit ini serta prognosis dari penyakit ini dan kemungkinan perbaikan fungsi ekstremitasnya di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA 1. Krishnan C, Kaplin AI, Deshpande DM,

Pardo CA, Kerr DA. Transverse myelitis: patogenesis, diagnosis and treatment. Bioscience 2004; 9: 1483–1499.

Page 83: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Luhu A. Tapiheru dkk. Myelitis Transversalis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 236

2. Kerr D. Transverse Myelitis. In: Johnson RT, Griffin JW, Mc Arthur JC. Editors. Current Theraphy in Neurologic Disease. 6th Ed. Mosby. Philadelphia. p 176–180.

3. Kerr D. The history of transverse myelitis: The origin of the name and the identification of disease. The Transverse Myelitis Association. 2006. available in www.myelitis.org/history.htm.

4. Transverse myelitis Fact Sheet. National Intitute of Neurological Disorders and Stroke 2006. Available in www.ninds. nih.gov/

5. Lynn J. Transverse Myelitis: Symptom, Cause and Diagnosis. The Transverse Myelitis Association. 2006. Available in www.myelitis.org/tm.htm.

6. Transverse Myelitis Consortium Working Group. Proposed diagnostic criteria and nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59: 499–505.

7. Ropper AH, Brown RH, Adams and Victor’s. Principles of Neurology, 8th ed. New york: Mc Grw-Hill; 2005.

8. Sebire G, Hollenberg H, Meyer L, Huault G, Landrieu P, Tardieu M. High Doses Methylprednisolone in Severe Akut Transverse Myelopathy. Archieves of Disease in the childhood 1997; 76: 167–168.

9. Defresne P, Meyer L, Tardieu M, Scalais E, Nuttin C, De Bont B et al. Efficacy of High Dos Steroid Therapy in Children with Severe Acute Transverse Myelitis. Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry 2001; 71: 272–27.

10. Morrison L. Spasticity in Transverse Myelitis. The Transverse Myelitis Association. 2006. available in www.myelitis.org

11. Levy C. Transverse Myelitis: Medical and Rehabilitation Treatment. The Transverse Myelitis Association. 2006. Available www.myelitis.org/treatment.htm.

12. Levy C. Transverse Myelitis: Medical Specialists. The Transverse Myelitis Association. 2006 Available www. myelitis.org/doctors.htm.

Page 84: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 237

Gen HLA-DRB1 pada Karsinoma Nasofaring Suku Batak

Delfitri Munir Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Page 85: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

-DRBI pada Karsinoma...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 238

Kaukasian.4 Di Indonesia, penyakit ini menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit, dengan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk setiap tahun.5 Peningkatan risiko menderita KNF terdapat pada keluarga yang mempunyai riwayat menderita tumor ini. Sering dijumpai penderita KNF, dimana pada generasi mereka sebelumnya juga ditemukan penyakit ini.2,6

Perbedaan frekuensi yang nyata antara berbagai suku bangsa dan adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF, menunjukkan keterlibatan faktor genetik cukup berperan untuk timbulnya tumor ini. Salah satu faktor genetik yang terlibat adalah gen human leucocyte antigen (HLA). Gen ini di turunkan secara heterozigot dan bersifat kodominan. Akibatnya, kelompok masyarakat dengan HLA tertentu akan menghadapi risiko terjadinya penyakit tertentu.7 Distribusi gen dan molekul HLA pada suatu populasi mempunyai pola dan kemiripan yang sesuai dengan pola induk sistem HLA dari kelompok rasnya. Beberapa penyakit diduga ada kaitannya dengan HLA, dalam arti penderita dengan penyakit tertentu sering dijumpai memiliki gen HLA tertentu.8 Untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan terpengaruh oleh berbagai bangsa akibat migrasi di masa lalu, maka risiko terjadinya KNF akan bervariasi menurut kelompok suku. Oleh sebab itu perlu diketahui gen HLA penderita KNF setiap suku, sehingga gambaran umum pola gen penderita KNF di Indonesia dapat diketahui untuk upaya pencegahan penyakit ini.

Gen HLA adalah kompleks gen yang terdapat dalam 4000 kilobases di rantai pendek kromosom nomer 6 dan bersifat polimorfik. Gen ini mengekspresikan molekul HLA yang terdapat di permukaan sel, dan molekul ini sangat berperan pada sistem imun. Gen HLA sangat polimorfik dan terdiri dari dua kelas. HLA kelas I terdiri dari lokus A, B dan C. Sedangkan HLA kelas II terdiri dari lokus DQ, DR, dan DP. Setiap individu mempunyai sepasang alel pada setiap lokus yang diturunkan dari kedua orang tua secara acak.7

Dengan perkembangan teknologi seperti polymerase chain reaction (PCR), dimungkinkan untuk mengidentifikasi seluruh variasi alel gen

HLA yang polimorfik, sehingga dapat diharapkan adanya penjelasan dasar genetik KNF. Molekul HLA sebagai salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya penyakit, khususnya dalam regulasi sistem imunitas yang spesifik diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pembuatan vaksin yang tepat guna untuk pencegahan suatu penyakit.9

Kami laporkan gen HLA-DRB1 pada dua kasus KNF suku Batak. Kasus I

Seorang pasien ET, berusia 46 th, perempuan, berasal dari suku Batak dengan keluhan utama hidung tersumbat. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pembesaran kelenjar servical pada leher kiri. Pemeriksaan nasoendoskopi dijumpai masa tumor di fosa Rosenmuller kiri, permukaan tidak rata, agak hiperemis dan mudah berdarah. Dilakukan biopsi tumor dengan tuntunan endoskopi. Hasil pemeriksaan histopatologi disimpulkan karsinoma tidak berkeratin (tipe II). Stadium tumor ketika diagnosa ditegakkan adalah stadium III. Kasus II

Seorang pasien RS, berusia 47 th, laki-laki, berasal dari suku Batak dengan keluhan utama bengkak pada leher. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pembesaran kelenjar servical pada leher kanan. Pemeriksaan nasoendoskopi dijumpai masa tumor di fosa Rosenmuller kanan, permukaan tidak rata, agak hiperemis dan mudah berdarah. Pada pemeriksaan foto basis kranii dijumpai destruksi basis kranii. Dilakukan biopsi tumor dengan tuntunan endoskopi. Hasil pemeriksaan histopatologi disimpulkan karsinoma tidak berdiferensiasi (tipe III). Stadium tumor ketika diagnosa ditegakkan adalah stadium IV.

Sampel darah kedua penderita dibawa ke Laboratorium Terpadu FK-USU untuk dilakukan isolasi DNA. Hasil isolasi DNA kemudian disimpan di kulkas dengan suhu -20°C. Selanjutnya dengan es kering, sampel dibawa ke Laboratorium Dept. Immunohematology and Blood Transfusion, Leiden University Medical Center Netherlands untuk dilakukan pemeriksaan gen HLA-DRB1 dengan teknik PCR-SSO reverse dot blot.

Metoded PCR-SSO reverse dot blot didasarkan pada 3 proses utama yaitu

Page 86: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 239

amplifikasi urutan sasaran DNA dengan PCR, hibridisasi produk amplifikasi dengan pelacak oligonukleotida spesifik dan deteksi pelacak. Sistem deteksi pada pemeriksaan ini menggunakan konjugat streptavidin horse radish peroksidase (SA-HRP) dan enhanched chemi luminescence (ECL). Sinar yang dihasilkan ditangkap oleh film X-ray dan dianalisa dengan program khusus komputer untuk menentukan alel gen HLA-DRB1.

Hasil pemeriksaan gen pada kasus I adalah: alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DRB1*03 sedangkan pada kasus II adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DRB1*15. DISKUSI

Hasil pemeriksaan PCR SSO reverse dotblot resolusi rendah pada kasus I adalah: alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DRB1*03 sedangkan kasus II adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DRB1*15.

Alel gen HLA-DRB1*12 sering ditemukan pada populasi Indonesia. Handono (1998) pada penelitianya di Malang menjumpai frekuensi alel gen HLA-DRB1*1202 paling tinggi (75,40%).10 Demikian juga Judajana (1994) di Surabaya pada populasi Indonesia menemukan antigen HLA-DR5 yang juga disandi olah alel gen HLA-DRB1*12 sebagai frekuensi tertinggi (32,4%).11

Seperti pada kasus ke II, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kandau (1999) pada populasi Bugis Makasar menunjukkan bahwa HLA-DRB1*15 merupakan frekuensi tertinggi.12 Sedangkan alel gen HLA-DRB1*03 yang dijumpai pada kasus I sering juga dijumpai pada populasi China. Li dkk. (1995) pada penelitiannya di China Selatan menjumpai frekuensi alel gen HLA-DRB1*03 paling tinggi.13

Terdapat tiga golongan besar penduduk dunia yang ciri-ciri penampilan fisiknya mudah dikenal yaitu golongan Kaukasoid (Caucasian), Mongoloid atau Oriental dan Negroid. Masing-masing golongan ternyata mempunyai kekhususan pola gen HLA. Populasi di Indonesia merupakan suatu populasi yang unik, dikarenakan adanya proses pembauran ras akibat migrasi ataupun karena gene flow. Beberapa penelitian menunjukkan kemiripan pola gen HLA populasi Indonesia dengan China. Pada studi populasi genetik di Jakarta dan sekitarnya, disimpulkan bahwa antigen HLA pada populasi Indonesia

digolongkan dalam golongan Mongoloid.14 Populasi Indonesia mempunyai tiga subras yang berbeda yaitu subras Paleomongoloid Proto Melayu, Paleomongoloid Deutro Melayu dan subras Proto Malanesia. Suku Batak termasuk subras Paleomongoloid Proto Melayu.15

Berbagai penelitian telah menemukan hubungan antara gen HLA dengan KNF. Di Tunisia ditemukan hubungan antara KNF dengan gen HLA-DRB1*03 dan HLA-DRB1*15.16 Di Taiwan berhubungan dengan gen HLA-A*0207, di Thailand dengan gen HLA-B*4601 dan di Maroko dengan HLA-B18.17,18,19 Apakah alel gen yang dijumpai pada kedua kasus di atas berhubungan dan merupakan faktor risiko terjadinya KNF pada suku Batak, diperlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA 1. Stanley RE, Fong KW. Clinical

Presentation & Diagnosis. In: (Chong VFH, Tsao SY) Nasopharyngeal Carcinoma. 3th edition. Singapore, Amour Publishing 1999: 29–32.

2. Huang DP and Lo KW. Aetiological Factors and Pathogenesis. In: (Hasselt CA and Gibb AG) Nasopharyngeal Carcinoma, 2nd edition. Hongkong; The Chinese University Press 1999: 31–50.

3. Cooke A,. Regulation of The Immune Response. In: (Roitt I, Brostoff J, Male D) Immunology, 6th edition. Toronto; Mosby 2001: 173–88.

4. Chia KS, Lee HP. Epidemiology. In: (Chong VFH) Nasopharyngeal Carcinoma, 3th edition. Singapore; Armour Publishing 1999: 1–4.

5. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam: Tumor Telinga Hidung Tenggorok. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta, Balai Penerbit FK-UI 1989: 71–84.

6. Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang P, Huang LX. Familial Risk and Clustering of Nasopharyngeal Carcinoma in Guangdong, China. Cancer 2004, Vol. 101 (2): 363–9.

7. Abbas A K, Lichtman AH. Cellular and Molecular Immunology, 5th edition. Philadelphia; WB Saunders 2000.

Page 87: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Delfitri Munir Gen HLA-DRBI pada Karsinoma...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 240

8. Benacerraf B. Significance and Biological Function of Class II MHC Molecules. Am J Pathol 1985, Vol. 120 (3): 334–43.

9. Judajana FM. Sistem major histocompatibilityl complex. Dalam: (Subijanto PS, Suhartono TP, Judajana FM) Gangguan Sistem Imun Mukosa Intestinal. Surabaya, Gideon 2003: 12–30.

10. Handono K. Hubungan Gen HLA Kelas II dengan Kerentana Genetik dan Ekspresi Otoantibodi pada Lupus Eritematosus Sistemik. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya 1998.

11. Judajana FM. Pola Sistem HLA Penderita Diabetes Melitus Indonesia. Disertasi. Universitas Airlangga. Surabaya 1994.

12. Kandau JM. Hubungan tipe HLA dengan kerentanan tubuh pada penyakit lepra. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya 1999.

13. Li PK, Poon AS, Tsao SY, Ho S, Tam JS, So AK. No Association Between HLA-DQ and -DR Genotypes with Nasopharyngeal Carcinoma in Southern Chinese. Cancer Genet Cytogenet 1995, Vol. 81(1): 42–5.

14. Moeslichan S. Penilitian Sistem HLA dalam Upaya Memperoleh Sumber Antibodinya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta 1990.

15. Pelly U. Urbanization and Adaption. Medan 1998, LP3ES: 81.

16. Mokni-Baizig N, Ayed K, Ayet FB, Ayet S, Sassi F, Ladgham A. Association between HLA-A/-B Antigens and –DRB1 allels and Nasopharyngeal Carcinoma in Tunisia. Oncology 2001, Vol. 61 (1): 55–8.

17. Hildesheim A, Apple RJ, Chen CJ, Wang SS, Cheng YJ, Klitz W. Association of HLA Class I and II Allels and Extended Haplotypes with Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan. Journal of the National Cancer Institute 2002, Vol. 94 (23): 1780–89.

18. Pimtanothai N, Chareonwongse P, Mutirangura A, Hurley CK. Distribution of HLA-B alleles in Nasopharyngeal Carcinoma Patients and Normal Controls in Thailand. Tissue Antigens 2002, Vol. 59 (3): 223–5.

19. Dardari R, Khyatti M, Jouhadi H, Benider A, Ettayebi H, Kahlain A. Study of Human Leukocyte Antigen Class I Phenotypes in Moroccan Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Int J Cancer 2001, Vol. 92 (2): 294–7.

Page 88: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 241

Filemon Tarigan, Aldy S. Rambe, dan Hasan Sjahrir Department of Neurology, North Sumatera Medical Faculty and Haji Adam Malik Hospital,

Medan, Indonesia Abstract: Frontotemporal dementia is a dementia which characterized by personality changes, language impairment, inattentiveness, stereotypic behavior and sometimes extrapyramidal disturbance. Pathological characteristic is frontal and temporal lobe atrophy. The disease is slowly progressive and progress in years. A male (MS) age 57 years old, Bataknese with complaint of personality change. Occurred since 4 years ago, progressed slowly and was first discovered by his family when they visited the home of the deceased, he wore Ulos which shouldn’t be wore on that occasion. Since then the personality change became more severe, he walked around unpurposely, touching things that he encountered, didn’t care about his appearance and personal hygiene. Normal communication became more difficult to the family member, when he was asked, he kept silent and didn’t answer, he became easily offended and got angry. In 2002 he was taken to a psychiatrics and was treated for 2 months but no improvement. In the neurological examination, primitive reflexes were found, mental status examination using Folstein modified MMSE and Clock drawing test showed decreasement. In functional activity examination using Functional activity questionnaire (FAO), Activity of daily living (ADL), Instrumental activity of daily living (IADL) and Disability assessment for dementia (DAD) indicated the patient’s dependency toward others. On CT-scan, cortical atrophy of left and right frontal and temporal was found. This patient is diagnosed as frontotemporal dementia based on clinical symptoms, neurological examinations, mental status, functional activity, neuropsychiatry and CT scan examinations. Keywords: frontotemporal, dementia INTRODUCTION

Dementia is a clinical syndrome with many causes, starting with cognitive function declinement, so that need to differentiate it with a normal cognitive change in elderly people. The recognition whether the dementia is a primary dementia caused by brain degeneration which is progressive or secondary dementia which is a clinical syndrome which can be caused by several disease is an important thing.1

Frontotemporal dementia is a dementia which characterized by personality changes, language impairment, inattentiveness, stereotypic behavior and sometimes extrapyramidal disturbance.2 Pathological characteristic is frontal and temporal lobe atrophy. The disease is slowly progressive and progress in years.2,3

Frontotemporal dementia can often be found in younger age group.4 In the USA, the prevalence of frontotemporal is not yet know

exact. From several study based on pathological finding, it‘s estimated that frontotemporal dementia is about 10% from dementia cases. Studies in Lund Sweden and Manchester in the England showed about 8% from dementia cases. And may be the one which is more accurate is the Dutch study by Steven et al., where the prevalence of frontotemporal dementia in age 60–70 years is 28 per 100.000 population.5

CASE REPORT

A male (MS) age 57 years old, Bataknese with complaint of personality change. Occurred since 4 years ago, progressed slowly and was first discovered by his family when they visited the home of the deceased, he wore Ulos which shouldn’t be wore on that occasion.

Since then the personality change became more severe, he walked around unpurposely,

Page 89: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Filemon Tarigan dkk. Frontotemporal Dementia

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 242

touching things that he encountered, didn’t care about his appearance and personal hygiene. Normal communication became more difficult to the family member, when he was asked, he kept silent and didn’t answer, he became easily offended and got angry. In 2002 he was taken to a psychiatrics and was treated for 2 months but no improvement.

In physical examination: praesens status, head, eye, nose, ear, throat, thorax, abdoment, extremitas and coluna vertebralis within normal limit.

In neurological examination there were no found sign of increased intracranial pressure, meninggal irritation, bulbar palsy. But there found primitive reflex such as: glabella reflex, snout reflex and grasp reflex and higher cortical function disturbance.

In mental status examination using Folstein modified MMSE (score 13), Blessed Dementia Rating Scale (score 8.5) and Clock Drawing Test (score 1) showed decreasement. In Neuro-Psychiatry Inventory (NPI) examination there were euphoria, apathy, disinhibition and abberant motor behaviour with total score 35. In functional activity examination using Functional activity questionnaire (score30), Activity of daily living (score 9), Instrumental activity of daily living (score 14) and disability assesment for dementia (DAD) indicated the patient’s dependency toword others.

On Head CT scan, cortical atrophy of left and righ frontal and temporal was found. And in laboratory examination there were no abnormality.

DISCUSSION Fontotemporal dementia is a dementia

that occurs slowly progressive which is correlated with cerebral atrophy consisting of frontal and temporal lobe, cerebral atrophy is followed by lateral ventricle dilatation in frontal area. Pathologically neuron loss and spongiform can be found in the affected area, mild or severe astrocyte gliosis without Pick’s Bodies inclusion.2,6

In frontotemporal dementia the onset is slow, the patients become less caring bout themselves regarding clothing, cleanliness and also social impairment. Frontotemporal dementia in the beginning of the illness, memory is still intact personality disturbance and behavior is changes early.7

The first sign that after develop is disinhibition such as inability ti stand skill, dangerous behavior, uncontrolled sexual behavior, mental disturbance, changes in eating habit, smoking and and alcoholism tend to increase. Behavior become stereotypic, walking around unpurposelly, mannerism and preoccupation with collecting and filling stuff. Uncontroled sexual behavior, mental disturbance, changes in eating habit, smoking and alcoholism tend increase. Behavior become stereotypic, walking around unpurposely, mannierismand preoccupation with collecting and filling stuff. Uncontrolled in exploration object and environment can be found, as well as impulsive. In this patient can be found depression, anxiety over centimental, hypochondriasis, bizzare, delution, and possibility to commit suicide.2,8,9

Figure. Head CT Scan. Patient with frontotemporal dementia

Page 90: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 243

In examination can be found rigidity, paratonia, and usually primitive reflexes will develop such as: glabella reflex, snout reflex and grasp reflex.2,9 Sign of bulbar palsy, weakness and fasciculation can be found in several case.2

CT and MRI show fronto temporal atrophy and lateral ventricle dilatation in frontal area.2

Clinical diagnosis still remain as the best approach since until now there is no electrophysiologic examination, neuroimaging and other examination for making a definite diagnosis for dementia. Diagnosis criteria for frontotemporal dementia recommended by The Group on Frontotemporal Dementia and Pick’s Disease adalah: 10,11 1. The development of behavioral or

cognitive deficits manifested by either. a. Early and progressive change in

personality, characterized by difficulty in modulating behavior, often resulting inappropriate responses or activities or

b. Early and progressive change in language, characterized by problem with expression of language or severe naming difficulty and problems with word meaning.

2. The deficits outlined in 1a or 1b cause significant impairment in social or occupational functioning and represent a significant decline from a previous level of functioning.

3. The course is characterized by gradual onset and continuing decline in function.

4. The deficits in outlined 1a or 1b are not due to other nervous system conditions (eg, cerebrovascular disease), systemic condition (eg, hypothyroidism), or substance induced conditions.

5. The deficits do not occur exclusively during a delirum.

6. The disturbance is not better accounted for by a psychiatric diagnosis (eg, depression).

This patient is diagnosed frontotemporal

dementia based on clinical finding, neurological examination, mental status, functional activity, neuropsychiatry and head CT-scan examination matched the recommended criteria above.

One of difficult to determine the defenite diagnosis for this patient was the unperformed histopatological examination which can determine the defenite diagnosis in Pick disease which is present of remain neuron become smaller with argentofilic inclusion and this is a specific characteristic, called Pick cell.

In Alzheimer dementia can also be found behaviour disturbance, but the location of atrophy is not specific as in frontotemporal dementia which is specifically in the frontal lobe and temporal. And in Alzheimer disease there is neurofibrillary tangel which isnt present in frontotemporal dementia.

There is ni specific treatment, only simptomatic, general care and is the same as other dementia. This patient was treated with neuroleptic atypical and also treated which involve the patient family. CONCLUSION

Has been reported a dementia case which was marked by personality changes, language disturbance and stereotypic behaviour. This disease is slow progressive and can proceed for about 4 years. In the Head CT scan examination can be found frontal and temporal lobe atropy. REFERENCES 1. Nasution D. Demensia vaskuler. Dalam:

Sjahrir H, Nasution D, Rambe HH. Editor. Demensia. Medan: USU Press; 1999. p. 51–58.

2. Gilroy J. Basic Neurologi. 3rd. new York: Mc Graw-Hill 2000.

3. Konsensus Nasional. Pengenalan dan penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia lainnya. Edisi 1. Jakarta: Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003.

4. Morris RH, Khan N, Jannsen JC, Brown MJ, Perez-Tur J, Baker M, Hardy J, Hutton M et al. The Genetic and Phatological Classificatin of Familial Frontotemporal Dementia. Arch Neurology 2001; 58: 1813–16.

5. Kirshner H. Frontal and Temporal Lobe Dementia. Available from: http://www. emedicine.com/NEURO/topic140.htm.

Page 91: MKN Vol 40 No 3 September 2007 - Copy

Filemon Tarigan dkk. Frontotemporal Dementia

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 3 September 2007 244

6. Small SA, Mayeux. Alzheimer Disease and Related Dementias. In: Rowland LP. Editor. Merrit`s Neurology. Tenth edition. New York: Lippincott Wiliams & Wilkins; 2000. p. 633–641.

7. Delacourte A. Fronto-temporal dementia. Available from: http://www.alzheimer-europe.org.

8. CNADC. Frontal Lobe Dementia. Available from http:/www.brain. northwestern.edu/mdad/frontal/htm.

9. Snowden JS, Neary D., Mann DMA. Frontotemporal Dementia. British Journal of Psychiatry 2002; 180: 140–3.

10. Mc Khan GM, Albert MS, Grossman M, Miller B, Dickson D, Trojanowski JQ. Clinical and Pathological Diagnosis of Frontotemporal Dementia. Arch Neurology 2001; 58: 1803–9.

11. Doskoch P. How To Recognize Frontotemporal Dementia. Available from: http://www.neuropsychiatryreviews. com/apr02/recogn.