mkn vol_ 41 no_ 4 desember 2008

80
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 ii dari redaksi REFLEKSI AKHIR TAHUN Berbagai peristiwa yang kita alami di tahun ini, hendaklah menjadi cermin betapa kita ingin berencana dan berbuat, namun kuasa Sang Rab, Allah Yang Maha Besar tetap di atas segalanya. Sikap atas berbagai keberhasilan yang diperoleh, menjadi makhluk yang pandai bersyukur merupakan perwujudan sunnatullah, dan tak melupakan banyak pihak yang telah berperan memberikan kontribusi dalam menunjang pencapaian keberhasilan kita. Intropeksi merupakan upaya evaluasi diri terhadap aktivitas kita di tahun 2008. Islam mengajarkan orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, orang yang merugi ialah apabila hari ini sama dengan hari kemarin dan orang-orang yang celaka yaitu ketika hari ini lebih jelek dari hari kemarin. Bagaimana kita menyikapi berbagai tantangan untuk dijadikan peluang adalah optimisme. Pada refleksi akhir tahun dan menyongsong tahun baru ini, mari sejenak tafakkur, berada dimana dan hendak kemana kita? Mari rancang sejumlah perencanaan secara matang dibarengi sikap tawakkal berserah diri kepada-Nya. Selamat datang tahun 2009.

Upload: vebby-bee-astri

Post on 11-Dec-2014

31 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hipoalbumin

TRANSCRIPT

Page 1: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 ii

dari redaksi

REFLEKSI AKHIR TAHUN

Berbagai peristiwa yang kita alami di tahun ini, hendaklah menjadi cermin betapa kita ingin berencana dan berbuat, namun kuasa Sang Rab, Allah Yang Maha Besar tetap di atas segalanya. Sikap atas berbagai keberhasilan yang diperoleh, menjadi makhluk yang pandai bersyukur merupakan perwujudan sunnatullah, dan tak melupakan banyak pihak yang telah berperan memberikan kontribusi dalam menunjang pencapaian keberhasilan kita. Intropeksi merupakan upaya evaluasi diri terhadap aktivitas kita di tahun 2008. Islam mengajarkan orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, orang yang merugi ialah apabila hari ini sama dengan hari kemarin dan orang-orang yang celaka yaitu ketika hari ini lebih jelek dari hari kemarin. Bagaimana kita menyikapi berbagai tantangan untuk dijadikan peluang adalah optimisme. Pada refleksi akhir tahun dan menyongsong tahun baru ini, mari sejenak tafakkur, berada dimana dan hendak kemana kita? Mari rancang sejumlah perencanaan secara matang dibarengi sikap tawakkal berserah diri kepada-Nya. Selamat datang tahun 2009.

Page 2: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 iii

Page 3: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 iv

petunjuk untuk penulis

Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun

terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar tetapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan hasil tersebut dengan hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: Berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: Tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: Berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Page 4: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 v

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana, dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

Page 5: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 vi

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

i

Dari Redaksi

ii

Petunjuk untuk Penulis

iv

Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI

1. Pengaruh Kadar Albumin terhadap Lama Rawatan dan Mortalitas di Ruang Rawat Intensif Anak Gema Nazri Yanni, Rina Amalia, Yunnie Trisnawaty, Chairul Yoel, Munar Lubis, Syahril Pasaribu, Muhammad Ali

222

2. Efficacy of Artesunate-Amodiaquine and Quinine-Azithromycin Combination in Treatment of Uncomplicated Falciparum Malaria in Children Ayodhia Pitaloka Pasaribu, Elvina Yulianti, Munar Lubis, Syahril Pasaribu, Chairuddin P. Lubis

228

3. Profil Penderita Trauma Kapitis pada Bangsal Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan Aldy S. Rambe, Zuraini

235

4. The Effect of Honey and Uncaria on The Prevention of Post Laparotomy Intraperitoneal Adhesions in Rats Pane Y. S., Martina S. J., Tri W., Ichwan M., Lelo A.

239

5. The Profile of Thrombocytosis in Pediatric Intensive Care Unit Selvi Nafianti

243

TINJAUAN PUSTAKA

6. Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat pada Anak dengan Metode Hipotermia Yunnie Trisnawati, Munar Lubis

248

7. Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati Bencana Massal Surjit Singh

254

8. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Lekosit dan Hitung Jenis Lekosit pada Orang Tidak Terlatih Evi Irianti, Dedi Ardinata

259

9. Eosinofil dan Patogenesa Asma Dedi Ardinata

268

10. Neuropsychological Evaluation Against Geriatric Background Aldy S. Rambe

274

LAPORAN KASUS

11. Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral yang Ditatalaksana dengan Tiroplasti Medialisasi Menggunakan Gore-Tex Devira Zahara, Abdul Rachman Saragih

279

12. Penatalaksanaan Stenosis Vestibulum Nasi dengan Z-Plasty Delfitri Munir

288

13. Nasofaring pada Anak Umur 9 Tahun Delfitri Munir

292

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 41 No. 4 Desember 2008 ISSN: 0216-325X

Page 6: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 vii

Page 7: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 222

Pengaruh Kadar Albumin terhadap Lama Rawatan dan Mortalitas di Ruang Rawat Intensif Anak

Gema Nazri Yanni, Rina Amalia, Yunnie Trisnawaty, Chairul Yoel, Munar Lubis,

Syahril Pasaribu, Muhammad Ali Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Latar belakang Penggunaan albumin di ruang rawat intensif masih kontroversial. Rendahnya konsentrasi serum albumin pada penyakit kritis berhubungan dengan hasil akhir yang buruk. Manfaat suplementasi albumin pada pasien-pasien di ruang rawat intensif masih belum jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh kadar albumin terhadap lama rawatan dan mortalitas di ruang rawat intensif anak Metode Studi cross-sectional dari Juni-September 2008 di ruang rawat intensif anak RS.H.Adam Malik Medan. Anak usia 0-18 tahun dengan pengambilan sampel secara purposive. Kriteria inklusi: semua pasien yang masuk ruang rawat intensif anak yaitu pascapembedahan mayor dan sakit berat. Diperiksa kadar albumin saat masuk. Kelompok hipoalbuminemia (<3 g/dL) mendapat suplementasi albumin berdasarkan protokol di ruang rawat intensif anak. Kelompok albumin normal (≥3 g/dL) tidak diberikan suplementasi. Kemudian diobservasi lama rawatan atau apakah sampel meninggal. Hasil Kelompok hipoalbuminemia rata-rata lama rawatan 7,6 hari (9,77) dan kematian 12 (36,4). Kelompok albumin normal rata-rata lama rawatan 4,7 hari (5,00) dan kematian 13 (37,1). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok terhadap mortalitas. Jenis kasus memiliki hubungan yang bermakna terhadap lama rawatan dan mortalitas. Kesimpulan Kadar albumin tidak berpengaruh terhadap lama rawatan dan mortalitas anak sakit berat di ruang rawat intensif Kata kunci: kadar albumin, sakit berat, hipoalbuminemia, lama rawatan, mortalitas Abstract: Background. The use of albumin in the critical care setting is very controversial issue. Low serum albumin concentration in critical illness is associated with a poor outcome. Albumin supplementation remains unclear. The objective of this study is to evaluate the influence of albumin level in critically ill to length of stay and mortality in pediatric intensive care unit Methods. Cross sectional study conducted at Juni – September 2008 in Pediatric Intensive Care Unit Adam Malik hospital. Children at 0-18 years old were taken with purposive sampling. The inclusion criteria were: all patients admitted to PICU with postoperative major surgery and critically ill children. We examined albumin level in first day admitted. Group with hypoalbuminemia (<3 g/dL) were given albumin supplementation according to protocol in PICU. At the end of the care, we calculated how many days patients in PICU or died. Results. We found that group with hypoalbuminemia have average length of stay 7,6 days (9,77) and mortality 12 children (36,4). Group with normal albumin level have 4,7 days (5,00) and mortality 13 children (37,1).There was no significant effect of albumin level to mortality. Type of cases had significant correlation to length of stay and mortality Conclusion. Albumin level did not affect to length of stay and mortality in pediatric intensive care unit Keywords: albumin level, critically ill children, hypoalbuminemia, length of stay, mortality

KARANGAN ASLI

Page 8: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Gema Nazri Yanni dkk. Pengaruh Kadar Albumin terhadap Lama Rawatan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 223

LATAR BELAKANG Albumin, merupakan protein yang diproduksi di hati, yang berperan terhadap tekanan onkotik di darah. Di samping berperan dalam tekanan osmotik koloid, albumin juga bekerja sebagai molekul pengangkut untuk bilirubin, asam lemak dan obat-obatan.1 Fungsi albumin pada penyakit kritis belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat perbedaan yang bermakna fungsi albumin pada anak yang sehat dengan penderita penyakit kritis. Konsentrasi serum albumin yang rendah pada pasien dengan penyakit kritis berhubungan dengan hasil akhir yang buruk.2-4 Pada seseorang yang sehat albumin berperan dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid (TOK), namun kurang berkorelasi pada penyakit kritis.4 Pasien dengan penyakit kritis mempunyai TOK yang rendah. Dari 200 pasien dengan penyakit kritis mempunyai TOK 19,1 mmHg. Tekanan osmotik koloid yang rendah berkorelasi dengan tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit kritis. Tekanan osmotik koloid 15 mmHg berhubungan dengan angka harapan hidup 50%. Pemberian suplementasi albumin akan meningkatkan TOK dan menghindari komplikasi yang fatal seperti edema paru, yang pada akhirnya akan menimbulkan gagal nafas.3,4

Berdasarkan penelitian deskriptif terhadap 134 anak dengan penyakit kritis di perawatan intensif anak didapat insidens hipoalbuminemia adalah 57% dan meningkat 76% pada 24 jam pertama.5

Hipoalbuminemia paling sering terjadi dengan penyakit kritis. Penyebab terjadinya hipoalbuminemia pada penyakit kritis bersifat kompleks dan disebabkan berbagai mekanisme seperti ketidakseimbangan antara pembentukan dan penghancuran albumin, meningkatnya permeabilitas kapiler dan perubahan distribusi albumin antara bagian intravaskular dan ekstravaskular. 2,4

Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil akhir yang buruk telah memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin eksogen pada pasien dengan hipoalbuminemia. Tetapi masih terdapat kontroversi, meskipun hipoalbuminemia secara langsung menyebabkan hasil akhir yang buruk.4

METODE Desain Penelitian

Metode yang digunakan adalah cross sectional dengan menilai pengaruh kadar albumin terhadap lama rawatan dan mortalitas. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang rawat intensif RS H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian Juni - September 2008. Populasi Penelitian

Populasi target adalah semua pasien yang dirawat di ruang rawat intensif anak. Populasi terjangkau adalah populasi target yang di rawat di ruang rawat intensif anak RS.Haji Adam Malik Medan selama periode penelitian. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Umur sampel yang diambil: anak usia 0-18 tahun. Cara Kerja Penelitian a. Alokasi Subyek

Subyek dikumpulkan secara purposive sampling. Semua sampel yang memenuhi kriteria baik kelompok albumin normal maupun hipoalbuminemia diobservasi lamanya rawatan dan mortalitas di ruang rawat intensif. b. Pengukuran

Semua sampel diperiksa kadar albumin saat tiba di ruang rawat intensif. Subjek dibagi atas 2 kelompok, hipoalbuminemia (kadar albumin <3 g/dL) dan albumin normal (≥3 g/dL). Kelompok hipoalbuminemia sesuai protokol ruang rawat intensif anak, mendapat substitusi albumin sesuai dengan rumus kebutuhan albumin. Konsentrasi albumin yang diberikan berdasarkan ketersediaan di farmasi rawat intensif. Kadar albumin diperiksa dengan pengambilan darah vena oleh petugas laboratorium. Darah yang diambil diperiksa dengan mesin merek Integra 400 plus. Sampel dengan kadar albumin ≥3 g/dL tidak mendapat substitusi albumin. Pada akhir rawatan dilihat berapa hari lama rawatan atau apakah sampel meninggal.

Page 9: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 224

Substitusi albumin menggunakan rumus: = (3,5 – Albumin serum pasien) x 0,8 x berat

badan Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan dengan menggunakan program komputer (SPSS versi 13). Interval kepercayaan yang digunakan adalah 95% dan batas kemaknaan P < 0,05.

Untuk menilai hubungan antara kadar albumin dan lama rawatan digunakan uji t independen. Sedangkan hubungan antara kadar albumin dengan mortalitas digunakan uji kai-kuadrat.

Untuk menilai hubungan antara faktor perancu dengan lama rawatan dan mortalitas digunakan analisis multivariat dengan regresi logistik. HASIL

Dari 68 pasien yang masuk ruang rawat intensif anak selama periode penelitian, didapatkan kelompok hipoalbuminemia 33

orang (48,5%) dan kelompok albumin normal 35 orang (51,4%). Dari kedua kelompok didapatkan rata-rata kadar albumin saat masuk 3,05 g/dL (0,749), dengan kadar terendah 1,5 g/dL dan tertinggi 4,7 g/dL.

Kadar albumin antara kedua kelompok berbeda bermakna, pada kelompok hipoalbuminemia rata-rata kadar albumin 2,33 g/dL dan pada kelompok albumin normal 3,62 g/dL dengan P=0,001

Hasil dari penelitian ini, pada kedua kelompok jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada kelompok hipoalbuminemia jumlah pasien laki-laki 69,7% dan perempuan 30,3%. Sedangkan pada kelompok albumin normal, jumlah pasien laki-laki 68,6% dan perempuan 31,4%.

Selain itu, rata-rata umur, berat badan, status gizi dalam hal ini dinilai dengan EID indeks serta jenis kasus (bedah atau bukan bedah), antara kedua kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik sampel pada kedua kelompok studi

Parameter Hipoalbuminemia

(n = 33) Albumin normal

(n = 35) P

Kadar albumin (g/dL); Rerata(SD)

2,33(0,40) 3,61(0,44) 0,001

Jenis kelamin (n;%) - Laki-laki - Perempuan

23;69,7 10;30,3

24;68,6 11;31,4

0,920

Umur (bln);rerata(SD)

53,3(49,98) 53,1(48,57) 0,921

Berat badan (Kg);rerata (SD)

15,6(13,13) 14,8(9,55) 0,203

Eid indeks (%);(SD) - <70 - 70-80 - 80-90 - 90-110 - 110-120 - >120

9;(27,3) 3;(9,10) 6;(18,2)

10;(30,3) 3;(9,10) 2;(6,10)

11;(31,4) 7;(20,0) 7;(20,0) 7;(20,0) 2;(5,70) 1;(2,90)

0,718

Jenis kasus (n;%) - Bedah - Bukan bedah

21;63,6 12;36,4

19;54,3 16;45,7

0,434

Page 10: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Gema Nazri Yanni dkk. Pengaruh Kadar Albumin terhadap Lama Rawatan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 225

Pada studi ini didapatkan bahwa lama rawatan dan mortalitas pada kelompok hipoalbuminemia dan albumin normal tidak berbeda bermakna, seperti terlihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Hubungan antara kadar albumin dengan lama rawatan dan mortalitas

Parameter Hipoalbuminemia (n = 33)

Albumin normal (n = 35)

P

Lama rawatan (hari); rerata(SD)

7,6;(9,77) 4,7;(5,0) 0,134

Mortalitas (n;%) - Ya - Tidak

12;(36,4) 21;(63,6)

13;(37,1) 22;(62,9)

0,947

Untuk variabel perancu seperti status gizi

dan jenis kasus apakah bedah atau bukan bedah dilakukan dengan analisa multivariat, seperti dalam Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. Tabel 4.3. Hasil analisis multivariat terhadap lama rawatan

Variabel B P 95% CI Kadar albumin

-3,502 0,049 -6,984;-0,020

Jenis kasus 6,424 0,001 - 2,838;10.010 Status gizi -0,146 0,808 -1,339;1,047

Dari Tabel 4.3 hasil analisis multivariat

menunjukkan bahwa variabel yang paling besar kontribusinya dalam hubungannya dengan lama rawatan adalah jenis kasus. Tabel 4.4. Hasil analisis multivariat terhadap mortalitas

Variabel B P 95% CI Kadar albumin

0,371 0,540 0,442;4,775

Jenis kasus

-2,093 0,001 0,038;0,403

Status gizi - (1) - (2) - (3) - (4) - (5) - (6)

-6,73 -2,38

-0,378 0,677 0,734 2,331

0,816 0,621 0,758 0,654 0,450 0,430 0,322

0,035;7,338 0,174;3,578 0,110;3,577 0,340;11,40 0,205;3,511 0,123;4,712

Dari Tabel 4.4 hasil analisis multivariat

menunjukkan bahwa variabel yang paling besar kontribusinya dalam hubungannya dengan mortalitas adalah jenis kasus.

DISKUSI Penyakit kritis adalah gangguan fisiologis

yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada anak tanpa sebab dan intervensi yang tepat. Penyakit kritis pada anak adalah bila dijumpai masalah pada jantung dan paru.6

Penyakit kritis mengakibatkan peningkatan distribusi albumin antara intravaskular dan ekstravaskular, yang menyebabkan juga perubahan kecepatan pembentukan dan penghancuran protein. Konsentrasi serum albumin akan menurun secara perlahan pada sakit berat. Konsentrasi ini tidak akan meningkat kembali hingga fase penyembuhan penyakit.4

Suatu studi prospektif tentang parameter laboratorium nutrisi rutin yang diperiksa kurang dari 24 jam pada 105 anak sakit berat saat tiba di ruang rawat intensif, didapatkan prevalensi hipomagnesemia 20%, hipertri-gliseridemia 25%, uremia 30% dan hipoalbuminemia 52%.7

Dari penelitian ini, dari 68 sampel saat tiba di ruang rawat intensif, didapatkan hipoalbuminemia (48,5%) dan albumin normal (51,4%). Dari kedua kelompok didapatkan rata-rata kadar albumin saat masuk 3,05 g/dL (0,749), dengan kadar terendah 1,5 g/dL dan tertinggi 4,7 g/dL. Rata-rata kadar albumin pada kelompok hipoalbuminemia 2,33 g/dL dan pada kelompok albumin normal 3,62 g/dL dengan P=0,001.

Hipoalbuminemia merupakan penanda morbiditas dan mortalitas pada anak dengan penyakit kritis. Suatu penelitian retrospektif dengan membandingkan kelompok pasien dengan hipoalbuminemia dan kelompok dengan kadar albumin normal terhadap pasien di pediatric intensive care unit (PICU) didapat pada kelompok hipoalbuminemia lebih lama dalam perawatan di PICU (8,08 hari) dibandingkan dengan kelompok dengan kadar albumin normal (4,41 hari). Kelompok hipoalbuminemia mempunyai angka harapan hidup yang rendah dan gagal organ yang lebih tinggi.8

Pada penelitian ini kami juga mendapatkan kelompok hipoalbuminemia lebih lama rawatan (7,6 hari) dibandingkan dengan kelompok albumin normal (4,7 hari).

Suatu penelitian mendapatkan bahwa hipoalbuminemia merupakan prediktor hasil akhir yang buruk, dimana setiap penurunan

Page 11: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 226

10 gr/dL serum albumin akan meningkatkan odds mortalitas 137%, morbiditas 89%, lama rawatan di unit perawatan intensif dan rawatan rumah sakit 28% dan 71%.9

Hal ini berbeda dari hasil penelitian ini, dimana mortalitas lebih tinggi pada kelompok albumin normal (37,1%) dibandingkan kelompok hipoalbuminemia (36,4%), walaupun keduanya tidak berbeda bermakna.

Hipoalbuminemia merupakan hasil kombinasi inflamasi dan tidak adekuatnya masukan kalori pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Inflamasi dan malnutrisi akan menurunkan sintesis dan peningkatan katabolisme protein yang dapat menurunkan konsentrasi albumin.10 Pada satu penelitian prospektif mendapatkan serum albumin sebagai prediksi hasil akhir pasien pascapembedahan.11

Pada penelitian ini, status gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna baik terhadap lama rawatan dan mortalitas, tetapi jenis kasus memiliki hubungan yang bermakna terhadap lama rawatan dan mortalitas (P 0,001)

Meskipun banyak teori yang berpendapat bahwa mempertahankan konsentrasi serum albumin bermanfaat, hanya sedikit penelitian yang mendukung pemberian suplementasi albumin. Tidak ada indikasi yang jelas dalam pemberian albumin, hanya beranggapan merupakan hal yang alami, dimana protein dengan banyak fungsi dipertahankan dalam kadar normal.2

Dari suatu studi invitro pasien sepsis dikatakan bahwa pemberian albumin tidak berpengaruh terhadap permiabilitas vaskular. Pemberian albumin 20% sebanyak 200 cc tidak bermakna dalam mengurangi kebocoran protein di mikrovaskular.12

Telaah dari Cochrane Collaboration menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa albumin menurunkan mortalitas pada pasien dengan hipovolemia dibandingkan dengan alternatif yang lebih murah seperti normal salin dan pada pasien sakit berat dengan luka bakar atau hipoalbuminemia.13

Pada penelitian ini sesuai protokol ruang rawat intensif anak, semua pasien pada kelompok hipoalbuminemia diberikan substitusi albumin menurut kebutuhan.

Hipoalbuminemia merupakan fenomena yang sering pada penyakit kritis. Pengobatan berfokus pada penyebab utama hipoalbuminemia

daripada memberikan albumin. Hasil dari beberapa penelitian meta analisis pemberian albumin pada pasien yang dirawat di rumah sakit tidak konsisten.14

Kegunaan albumin pada pasien sakit berat tidak ditunjang dengan bukti ilmiah. Koreksi hipoalbuminemia tidak memiliki keuntungan yang bermakna, pengobatan ditujukan terhadap penyakit dasar untuk mengobati hipoalbuminemianya.15 Direko-mendasikan pemberian albumin sesuai dengan indikasi yang tepat untuk pasien di ruang rawat intensif.16

Pemberian albumin intravena sesuai diberikan pada pasien sirosis dengan asites, gagal ginjal dan hepatorenal syndrome yang menunggu transplantasi hati. Pada pasien dengan sindroma nefrotik yang tidak respon terhadap terapi standar, hipovolemia simtomatik yang berat atau anasarka, pemberian albumin intravena dan diuretik dapat dipertimbangkan.17

Telaah suatu studi klinis acak, pemberian albumin hiperonkotik untuk resusitasi hipovolemia dalam jumlah kecil memiliki beberapa keuntungan seperti menurunkan morbiditas, gangguan ginjal dan edema.18

Penambahan albumin dalam larutan nutrisi parenteral juga tidak direkomendasikan. Dikatakan komplikasi yang fatal dapat terjadi dibandingkan keuntungan pemberian albumin melalui larutan nutrisi parenteral. Komplikasi yang mungkin terjadi seperti infeksi, ketidaksesuaian dan ketidakstabilan kimia dan fisika.19

Suatu penelitian menyatakan bahwa pemberian albumin akan menyebabkan penurunan angka harapan hidup pada pasien dengan penyakit kritis.20 Hal ini berbeda dengan suatu meta-analisis randomized controlled trial yang tidak menemukan efek albumin terhadap angka kematian.21

Dari penelitian ini juga tidak didapatkan perbedaan antara kelompok hipoalbuminemia dan albumin normal terhadap mortalitas (P=0,947)

Berdasarkan penelitian-penelitian sebe-lumnya dan berdasarkan hasil penelitian kami, ternyata kadar albumin tidak berpengaruh untuk lama rawatan dan mortalitas pasien di ruang rawat intensif.

Dari penelitian ini masih terdapat kelemahan-kelemahan seperti desain penelitian yang hanya bersifat observasional,

Page 12: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Gema Nazri Yanni dkk. Pengaruh Kadar Albumin terhadap Lama Rawatan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 227

cara pengambilan sampel, jumlah sampel yang sedikit, serta faktor-faktor penganggu yang dapat menimbulkan bias, seperti status gizi dan jenis kasus yang dapat mempengaruhi hasil akhir penelitian ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan suatu studi acak tersamar dan jumlah sampel yang lebih besar. DAFTAR PUSTAKA 1. North I. Fluid therapy and blood product.

Dalam: Hall JB, Schmidt GA, Wood LD, penyunting. Principles of critical care. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill,1999.h.39-40

2. Khafaji A, Web AR. Should albumin be used to correct hypoalbuminemia in the critically ill? No.TATM. 2003;5:392-6

3. Dubois MJ, Vincent JL. Use of albumin in the intensive care unit. TATM. 2002;4:80-4

4. Nicholson JP. Wolmaran MR. The role of albumin in critical illness. Br J Anasth. 2000;85:599-610

5. Durward A, Mayer A. Hypoalbuminemia in critically ill children: incidence, prognosis, and influence on the anion gap. J Arc Dis Child. 2003;88:419-22

6. Haafiz AB, Kissoon N. The critically ill child.Dalam: Singh NC, penyunting. Manual of pediatric critical care. Philadelphia:W.B.Saunders, 1997.h.1-11

7. Hulst JM, Goudoever JB, Zimmermann LJ, Tibbocl D, Joosten KFM. The role of initial monitoring of routine biochemical nutritional markers in critically ill children. J Nutr Biochem;17(2006):57-62

8. Horowitz IN, Tai K. Hypoalbuminemia in critically ill. Arch Pediatr Adolesc Med. 2007;161:1048-52

9. Vincent JL. Hypoalbuminemia in acute illness: is there a rationale for intervention?. Annals of Surgery. 2003;237:319-34

10. Don BR, Kaysent G. Serum albumin: relation to inflammation and nutrition. Seminars in Dialysis. 2004;17:432-7

11. Gibbs J, Cull W. Preoperative serum albumin level as a predictor of operative mortality and morbidity.Arch Surg. 1999;134:36-42

12. Margarson MP, Soni NC. Effects of albumin supplementation on microvascular permeability in septic patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-45

13. Alderson P, Bunn F, Li Wan Po A, Li L, Roberts I, Schierhout G. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients (review). The Cochrane Collaboration. The Cochrane Library. 2008;2:1-24

14. Finfer S, Bellomo R, Myburgh J. Efficacy of albumin in critically ill patients. BMJ. 2003;326:559-60

15. Pulimood TB, Park GR. Debate: albumin administration should be avoided in the critically ill. Crit Care. 2000,4:151-5

16. Boldt J. The good, the bad, and the ugly: should we completely banish human albumin from our intensive care units?. Anesth Analg. 2000;91:887-95

17. Bernheim J. Efficacy of intravenous albumin administration in hypoalbuminemic patients: why and when. IMAJ. 2005;7:113-5

18. Jacob M, Chappell, Conzen P, Wilkes MM, Becker BF, Rehm M. Small-volume resuscitation with hyperoncotic albumin: a systematic review of randomized clinical trials. Crit Care. 2008;12:1-13

19. Lester LR, Crill CM, Hak EB. Should adding albumin to parenteral nutrient solutions be considered an unsafe practice?. Am J Health-Syst Pharm. 2006:1-8

20. Vincent JL, Sakr Y. Is albumin administration in the acutely ill associated with increased mortality? Results of the SOAP study. Crit Care. 2005;9:745-54

21. Wilkes M, Navickie R. Patient survival after human albumin administration a meta-analysis of randomized controlled trials. Annals of Internal Medicine. 2001;135:149-64.

Page 13: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 228

Efficacy of Artesunate-Amodiaquine and Quinine-Azithromycin Combination in Treatment

of Uncomplicated Falciparum Malaria in Children

Ayodhia Pitaloka Pasaribu, Elvina Yulianti, Munar Lubis, Syahril Pasaribu, Chairuddin P. Lubis Department of Child Health, Medical School - USU/H. Adam Malik Hospital, Medan

Abstract: Resistance of malaria treatment is a major problem. Because of the highly incidence of malaria falciparum resistance in Indonesia, Department of Health, Republic of Indonesia since end of 2004 change the treatment standard into artesunate - amodiaquine combination. The aim of this study was to compare the efficacy of artesunate-amodiaquine with quinine-azithromycin combination as treatment for uncomplicated malaria falciparum in children. We conducted a randomized, open label, clinical trial since August 2006 until September 2006 in Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, North Sumatera Province, in school age children between 5 – 18 years. Group I received artesunate 4mg/bw/po combined with amodiaquine 10mg/bw for 3 days, Group II received quinine oral for 7 days, 10mg/bw/divided in 3 doses for 4 days continued with 5mg/bw/divided in 3 doses for 3 days combined with azithromycin 10mg/bw/po for 3 days. Parasitemia counted at the day of 0, 2, 7 and 28. Peripheral blood smear was done in 700 children with suspected malaria, 232 were positive for falciparum malaria. Then, randomly separated into two groups, 116 received artesunate-amodiaquine and 116 received quinine-azithromycin. End of study, we found 114 children in group I and 106 children in group II. Peripheral blood smear at day 2, 7 and 28 showed 100% cure rate for both group (p = 0,001), respectively. Tinnitus adverse event was found in 6 children in Group II (p = 0,042). Quinine-azithromycin combination can be use as an alternative treatment for uncomplicated falciparum malaria in children. Keywords: artesunate-amodiaquine, quinine-azithromycin, falciparum malaria, parasitemia, uncomplicated

Abstrak: Resistensi pada pengobatan malaria merupakan hal yang penting. Oleh karena tingginya angka resistensi malaria falsiparum di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia sejak akhir tahun 2004 mengubah standar pengobatan malaria falciparum dengan menggunakan gabungan artesunat-amodiakuin. Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan efikasi gabungan artesunat-amodiakuin dengan kinin- azitromisin sebagai pengobatan malaria falsiparum pada anak. Suatu penelitian uji klinis, acak, terbuka dilakukan sejak bulan Agustus 2006 hingga September 2006 di Penyabungan, Kab. Madina Propinsi Sumatera Utara, pada anak penderita malaria antara usia 5 tahun sampai 18 tahun. Kelompok I mendapat pengobatan per oral artesunat 4mg/kgbb digabung amodiakuin 10mg/kgbb selama 3 hari, Kelompok II mendapat pengobatan kinin per oral selama 7 hari dengan dosis 10mg/kgbb/3dosis selama 4 hari dilanjutkan 5mg/kgbb/3dosis selama 3 hari digabung azitromisin per oral selama 3 hari dengan dosis 10mg/kgbb. Parasitemia dinilai pada hari ke-0, 2, 7 dan 28. Pemeriksaan darah tepi dilakukan pada 500 anak yang diduga malaria,didapatkan 232 anak positif malaria falsiparum. Kemudian secara acak dibagi menjadi dua kelompok, 116 anak mendapat artesunat-amodiakuin dan 116 anak mendapat kinin-azitromisin. Pada akhir penelitian didapatkan 114 anak pada kelompok I dan 106 anak pada kelompok II. Dari hasil pemeriksaan darah tepi pada hari ke-2,7 dan 28 pada kedua grup didapatkan angka kesembuhan 100% pada kedua kelompok (p = 0.0001), secara berurutan. Efek samping telinga berdenging dijumpai pada 6 orang anak pada kelompok kedua (p = 0.042). Gabungan kinin-azitromisin bisa digunakan sebagai alternatif pengobatan pada malaria falsiparum tanpa komplikasi. Kata kunci: Artesunat-amodiakuin, kinin-azitromisin, malaria falsiparum, parasitemia, tanpa komplikasi

Page 14: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Ayodhia Pitaloka Pasaribu dkk. Efficacy of Artesunate-Amodiaquine...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 229

INTRODUCTION Malaria has become a priority for the

international health community that affecting deaths in children and pregnant women and also reduce work productivity. Estimates of annual mortality caused by malaria ranging from 1,5 – 2,7 million people, especially children and pregnant women.1-4 The spread of chloroquine-resistant Plasmodium falciparum has had a major impact on both the health of residents in areas where the parasite is endemic. Chloroquine treatment is now ineffective in most areas of the world. The usual replacement, pyrimethamine-sulfadoxine, is rapidly losing efficacy in many areas.5,6 New antimalarial regimens, urgently needed because of the worldwide development of multi drugs resistance, should aim to cure patients no longer responding to standard therapy.7 Artemisinin based Combination Therapy (ACT) is increasingly being advocated to replace chloroquine as standard treatment. The concept of ACT is based on the use of two drugs with different modes of action: an artemisinin-derivative that causes rapid and effective reduction of parasite biomass and gametocyte carriage and a partner drug that has a longer duration of action. The hypothesis is that these two drugs together will achieve effective clinical and parasitological cure, protect each other from the development of resistance by P. falciparum, and reduce the overall rate of malaria transmission.8 Department of Health, Republic of Indonesia since end of 2004 had changed the standard treatment for falciparum malaria with artesunate-amodiaquine as the first line drug replacing chloroquine.1

Artesunate is a water soluble derivative of dihydroartemisinin that has ability to reduce gametocyte carriage rate and used to treat uncomplicated falciparum malaria.9

Amodiaquine is a 4-aminoquinoline similar in structure and activity to chloroquine in preventing malaria.10 A study in Burkina Faso revealed combination of artesunate-amodiaquine is very effective and can be used as first-line treatment for uncomplicated malaria.11 Effective quinine monotherapy for malaria has been available for more than 350 years, quinine is also inexpensive and widely available, but its side effects are not

insignificant, and, in many countries, resistance has precluded its use as monotherapy.6,7 Azithromycin, the most potent macrolide antimalarial with a long half-life (68 hours), demonstrates synergism with quinine against P. falciparum in vitro, suggesting clinical utility as a combination therapy.12 In this study we compare the efficacy of artesunate-amodiaquine as treatment for uncomplicated falciparum malaria in children. METHODS

Place and Time. This study was conducted from August to September 2006 in 6 districts, Panyabungan Jae, Adian Jior, Gunung Manaon, Pagarantonga, Gunung Baringin and Purba, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara Province.

Study Design. This is a randomized, open label clinical trial which done in primary to high school children in those area. It has been approved by Ethic Committee of University of Sumatera Utara and it had got the inform consent from the sample’s parents before it was commenced.

Study Population. Seven hundred children from primary to high school whose 5-18 years old which suspected positive malaria were screen through thick and thin blood smear examination. If falciparum malaria was founding the blood smear, will be put in inclusion criteria. After filling the inform consent, anamnesis, physical examination and blood smear were taken. Exclusion criteria include 1) cannot finish the study completely, 2) severe malaria, 3) do not take drugs properly. Participants who fulfill the inclusion criteria randomly selected into one of the two groups by using sample random sampling, the first group is artesunate plus amodiaquine and second group is quinine plus azithromycin. Group I (A) recieved oral treatment of artesunate 4mg/kgbw combine with amodiaquine 10mg/kgbw for 3 days. Group II (B) recieved oral quinine for 7 days 10 mg/kg/3 doses for 4 days then continued with 5 mg/kg/3 doses for 3 days combine with oral azithromycin for 3 days 10 mg/kgbw. All antimalarial drugs given after meal.

Blood smear and clinical evaluation. Routine recording of malaria symptoms, history of consuming drugs and adverse events

Page 15: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 230

were done during study. Physical examination and repeated blood smear examination were done on day 2,7 and 28. The body weight was measured with MIC scale (sensitivity 0,05 kg) and height MIC scale (sensitivity 0,1 cm). Nutritional status was measured with standard anthropometry technic based on CDC NCHS-WHO. Thick and thin blood smear was prepared with giemsa based on procedure and read by trained analyst. Sexual and asexual parasites was counted in 200 leucocyte. Main result of the study was cure, define as lost of parasites without recrudescence in 28 days of observation.

Statistical Analysis. Data was processed with SPSS for windows 14 (SPSS Inc, Chicago). Data analysis to found out the results before and after treatment in both groups were test with Wilcoxon rank. Characteristic data and adverse events was analysed with Pearson chi square. Tests were significant if p<0.05.

RESULTS

From the beginning of the study measurement were done in 700 children who suspected with malaria. During study we

found 232 children with positive falciparum malaria, which divided into two groups: 116 children in group I (artesunate-amodiaquine) and 116 children in group II (quinine-azithromycin). After treatment only 220 children completed the study. (Figure).

Distribution and characteristic sample is similar in both groups (Table 1). Hepatomegaly only found in 1 person and splenomegaly in 3 persons in group II, eventhough this is an endemic area. Theoritically, from endemic malaria area we can found unspecific clinical symptoms such as cough, diarrhea, headache or even dyspnea but in this study we only found pale and fever (Table 2).

Cinchonism, like tinnitus after the use of quinine found in 6 persons in group quinine-azithromycin, meanwhile nausea and vomiting more common in group artesunate-amodiaquine (8 persons) like showed in Figure 2.

After observation for 28 days we found the same cure rate in both groups, from blood smear examination we found lost of parasites on day 2 and still negative since day 28 (Figure 3).

468 did not fullfill the criteria

232 children enrolled the study

Artesunatee-Amodiaquine

n = 116

Quinine-Azithromycin n = 116

10 children lost of follow up: - do not take drug properly

- cannot finish the study

2 children lost of follow up: - do not take drug properly

- cannot finish the study

Finished therapy and observed for 28 days

n = 114

Finished therapy and observed for 28 days

n = 106

700 children which suspected malaria were screened

Figure 1. Study profile

Page 16: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Ayodhia Pitaloka Pasaribu dkk. Efficacy of Artesunate-Amodiaquine...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 231

Table 1. Characteristic of the participant

Characteristic Group 1

(Artesunate-Amodiaquine) n(%)

Group 2 (Quinine-Azithromycin)

n(%) Sex Girl 68 (59,6%) 57 (53,8%) Boy 46 (40,4%) 49 (46,2%) Age 5-9 years 65 (57,0%) 82 (77,4%) 10-14 years 32 (28,1%) 22 (20,8%) 15-18 years 17 (14,9%) 2 (1,9%) Parents educational Primary 51 (66,7%) 73 (68,9%) Junior high school 16 (8,6%) 9 (8,5%) Senior high school 41 (22,0%) 20 (18,9%) Post graduate 1 (1,3%) 4 (3,8%) Nutritional status Well nourished 58 (51,8%) 66 (64,7%) Mild malnutrition 28 (25,0%) 17 (16,7%) Moderate malnutrition 7 (6,3%) 8 (7,8%) Overweight 19 (17,0%) 11 (10,8%) Hepatomegaly 0 1 (0,9%) Fever 8 (7%) 2 (1.9%) Pale 8 (7%) 12 (11.3%)

Table 2. Blood smear in preliminary observation

Group 1

(Artesunate-Amodiaquine) n(%)

Group 2 (Quinine-Azithromycin)

n(%) P

Parasitemia ≤ 5 000/μl 32 (28.1%) 33 (31.1%) 0.585 5 000 – 10 000/μl 67 (58.8%) 55 (51.9%) 10 000 – 15 000/μl 14 (12.3%) 15 (14.2%) 15 000 – 20 000/μl 1 (0.9%) 3 (2.8%)

P<0.05

17

8

1

13

6 6

0.567 0.680.042

0 2 4 6 8

1012141618

Kelompok I Kelompok II P

Efek Samping setelah Pengobatan

Sakit KepalaMual Muntah Tinnitus

*P<0.05 Figure 2. Adverse events after treatment

Page 17: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 232

0

20

40

60

80

100

120

Hari

Posi

tive

Apu

san

Dar

ah

AAQA

AA 114 0 0 0

QA 106 0 0 0

H0 H2 H7 H28

Wilcoxon rank test on day H0 and H2: P=0.0001

Figure 3. Successful of treatment after day 2, 7 and 28 from blood smear examination

DISCUSSION

The results of combination artesunate (4mg/kgbw/day for 3 days) and amodiaquine (10mg/kgbw/day for 3 days) in children with falciparum malaria from multicentre study in Africa, cure rate were varies between 91% to 98%.13 This is the first open label clinical trial conducted in school age children. From this study, we found 100% cure rate in artesunate-amodiaquine group with the same dose during 28 days of observation.

A study by Mutabingwa in Tanzania reported recrudescence rates by day 28 was 11,2% in artesunate-amodiaquine therapy,14 meanwhile from our study we did not found any recrudescence from artesunate-amodiaquine group. One study monitored the in vitro sensitivities of P. falciparum isolates pre deployment and during the deployment of artesunate plus amodiaquine treatment in Mlomp, Casamance (Southwestern Senegal) during 2000 to 2004, parasites remained susceptible to both drugs.15

Another study found adverse events after consuming combination of this drugs are rash, anemia, convulsion, dehydration and respiratory problem.16 Adverse events that appear during observation of artesunate-amodiaquine in our study were 17 headache

(14,9%), 8 nausea/vomiting (7,0%), 1 tinnitus(0,9%).

Quinine is an anti malarial which is widely used but with dangerous side effect and already resistance as monotherapy.6 For children with uncomplicated malaria in areas where parasites remain sensitive, the WHO recommend to treat patients with an oral regimen (8 mg/kg of body weight three times per day) for 7 days.17 The in vitro data reported that azithromycin will have clinical utility in combination with other anti malarial agents.5 Azithromycin is an optimizing combination because its in vivo activity with longer half life (68 hours) and has synergic effect with quinine for treating falciparum.18 In 1995, daily azithromycin showed an efficacy of 83% in preventing P. falciparum malaria in highly immune adult males in Western Kenya.19

When used in combination, quinine-azithromycin have the role of quickly reducing the initial parasite biomass, whereas azithromycin with its longer half-life has to reliably eliminate the remaining parasites.20

Malaria prophylaxis studies have revealed similar protective efficacies of azithromycin (250 mg/day) against P. falciparum in Thailand (69%; 95% CI, 0;89), Indonesia

Page 18: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Ayodhia Pitaloka Pasaribu dkk. Efficacy of Artesunate-Amodiaquine...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 233

(72%; 95% CI, 50;84), and Kenya (83%; 95% CI, 68.5;91.1).5 From this study we found 100% cure rate in quinine-azithromycin group and no recrudescence was found during 28 days of observation. In 56 (88%) of the 64 participants in azithromycin-chloroquine study in India, resolution of fever and parasitemia occurred by day 3, and, in 61 (97%) of 63 participants, it occurred by day 7.6 Adverse events more common in quinine-azithromycin group, mostly related to cinchonism and electrocardiogram changes (QT intervals).20 In this study we found adverse events in quinine-azithromycin group such as: 6 tinnitus (5,7%), 13 headache, 6 nausea/vomiting.

We concluded that, artesunate-amodiaquine combination therapy are well tolerated and had high cure rate in uncomplicated falciparum malaria treatment in children. Artesunate-amodiaquine group has less adverse events compare to quinine-azithromycin group and lost of follow up more common in quinine-azithromycin group. It is probably because the use of this drug takes longer times so the obeidity is lower. Further study is needed in children to observe the optimum dose and duration of quinine-azithromycin combination therapy.

REFERENCES 1. Gebrak malaria. Pedoman tatalaksana

kasus malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan RI, 2005.h.1-16

2. Penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan RI, 2002.h.2-18

3. Greenwood BM, Bojang K, Whitty CJ, Targett GA. Malaria. Lancet 2005; 365:1487-98

4. Bell D, Winstanley P. Current in the treatment of uncomplicated malaria in Africa. Br Med Bull. 2004; 71:29-43

5. Ohrt C, D George, Willingmyre, Lee P, Knirsch C, Milhous W. Assessment of azithromycin combination with other antimalarial drugs against plasmodium falciparum in vitro. Antimicrob Agents and Chemother. 2002; 2518-24

6. Dunne MW, Singh N, Shukla M, Valecha N, Bhattacharyya PC, Dev V, et al. A multicenter study of azithromycin, alone and in combination with chloroquine, for the treatment of acute uncomplicated plasmodium falciparum malaria in India. J Infect Dis. 2005; 191:1582-8

7. Kremsner PG, Krishna S. Antimalarial combinations. Lancet. 2004; 364:285-294

8. Martensson A, Stromberg G, Sisowath C, Msellem MI, Gil JP, Montgomery SM, et al. Efficacy of artesunate plus amodiaquine versus that of artemether – lumefantrine for the treatment of uncomplicated childhood plasmodium falciparum malaria in Zanzibar, Tanzania. Clin Infect Dis. 2005; 41:1079-86

9. The use of animalarial drugs, Report of an Informal Consultation. WHO. Geneva 2001.h.1-12

10. Antimalarial drug combination therapy. Report of a WHO technical consultation, 2004.h.5-36

11. Barennes H, Nagot N, Vale I, Koussoube-Balima T, Ouedraogo A, Sanou T, et al. A randomized trial of amodiaquine and artesunate alone and in combination for the treatment of uncomplicated falciparum malaria in children from Burkina Faso. Trop Med Int Health 2004; 9:438-44

12. Miller RS, Wongsrichanalai C, Buathong N, McDaniel P, Walsh DS, Knirsch C, et al. Effective treatment of uncomplicated plasmodium falciparum malaria with azithromycin-quinine combinations: A randomized, dose-ranging study. Am J Trop Med Hyg 2006;401-6

13. Adjuik M, Agnamey P, Babiker A, Borrmann S, Brasseur P, Cisse M, et al. Amodiaquine - artesunate versus amodiaquine for uncomplicated plasmodium falciparum malaria in African children: a randomised, multicentre trial. Lancet. 2002; 359:1365-72

Page 19: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 234

14. Mutabingwa TK, Anthony D, Heller A, Hallet R, Ahmed J, Drakeley C, et al. Amodiaquine alone, amodiaquine+ sulfadoxine-pyrimethamine, amodiaquine+ artesunate, and artemether-lumefantrine for outpatient treatment of malaria in Tanzanian children: a four-arm randomised effectiveness trial. Lancet. 2005; 365:1474-80

15. Agnamey P, Brasseur P, Pecoulas PE, Valliant M, Olliaro P. Plasmodium falciparum in vitro susceptibility to antimalarial drugs in Casamance (Southwestern Senegal) during the first five years of routine use of artesunate-amodiaquine. Antimicrob Agents and Chemother. 2006; 1531-4

16. Yeka A, Banek K, Bakyaita N, Staedke SG, Kamya MR, Talisuna R, et al. Artemisinin versus nonartemisinin combination therapy for uncomplicated malaria: randomized clinical trials from four sites in Uganda. PLos Med. 2005; 190-19

17. Jouan ML, Jullien V, Tetanye E, Tran A, Rey E, Treluyer JM, et al. Quinine pharmacokinetics and pharmacodynamics in children with malaria caused by plasmodium falciparum. Antimicrob Agents and Chemother. 2005; 3658-62

18. Andersen SL, Ager A, P McGreevy, Schuster BG, Wesche D, Kuschner R, et al. Activity of azithromycin as a blood schizonticide against rodent and human plasmodia in vivo. Am J Trop Med Hyg. 1995; 52(2):159-61

19. Heppner DG, Walsh D, Uthaimongkol N, Tang DB, Tulyayon S, Permpanich B, et al. Randomized, controlled, double-blind trial of daily azithromycin in adults for the prophylaxis of plasmodium vivax malaria in western Thailand. Am. J Trop Med Hyg. 2005; 73(5):842-9

20. Noedl H, Krudsood S, Chalermratana K, Silachamroon U, Leowattana W, Tangpukdee N, et al. Azithromycin combination therapy with artesunate or quinine for the treatment of uncomplicated plasmodium falciparum malaria in adults: A randomized, phase clinical trial in Thailand. Clin Infect Dis. 2006; 43:1264-71

21. Taylor WR, Richie TL, Fryauff DJ, Ohrt C, Picarima H, Tang D, et al. Tolerability of azithromycin as malaria prophylaxis in adults in Northeast Papua, Indonesia. Antimicrob Agents and Chemother. 2003; 2199-203

Page 20: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Aldy S. Rambe dkk. Profil Penderita Trauma Kapitis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 235

Profil Penderita Trauma Kapitis pada Bangsal Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan

Aldy S. Rambe, Zuraini

Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan Abstrak: Penulis melaporkan studi deskriptif mengenai profil penderita trauma kapitis yang dirawat di RSUP. H.Adam Malik Medan, sejak 1 Juli – 31 Desember 2006. Diperoleh 51 penderita trauma kapitis yang terdiri dari 31 orang laki-laki (60,8%) dan 20 orang perempuan (39,2%), dengan rentang usia 16 tahun sampai dengan 70 tahun. Sebagian besar sampel adalah wiraswasta (31,4%). Penyebab trauma kapitis yang terbanyak adalah disebabkan kecelakaan sepeda motor (80,4%). Pada saat masuk rumah sakit kelompok penderita yang terbanyak memiliki nilai SKG 13 – 15 (80,4%). Setelah dilakukan head CT-Scan 21orang (41,3%) memiliki gambaran normal, 18 orang dengan edema serebri (35,3%) dan 14 orang disertai gambaran fraktur tulang tengkorak (27,5%). Kata kunci: trauma kapitis, skala koma glasgow (SKG), head CT-scan Abstract: This descriptive study report the profile of head injury patients in Neurology Ward H. Adam Malik General Hospital Medan from 1 July – 31 December 2006. Fifty one patients aged between 16-70 years old were reported, 31 were male(60.8%) and 20 were female (39.2%). The most common cause of head injury was motorcycle accident (80.4%). At admission, most of the patients’ GCS (80.4%) were 13-15. Head CT-scan examination were normal in 21 patients (41.3%), cerebral edema in 18 patients (35.3%) and skull bone fractures in 14 patients (27.5%). Keywords: head injury, Glasgow Coma Scale, head CT-scan PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara di dunia, terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di USA diperkirakan 1,6 % dari seluruh kunjungan di unit gawat darurat adalah kasus trauma kapitis. Dijumpai 444 kasus baru setiap tahunnya per 100.000 penduduk.1 Secara keseluruhan setiap tahunnya diperkirakan sekitar 60.000 kematian diakibatkan trauma kapitis serta 70.000–90.000 penderita akan mengalami hendaya neurologik permanen.2

Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kapitis cenderung makin meningkat. Trauma kapitis berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan.3

Insiden trauma kapitis delapan kali dibandingkan kanker payudara dan 34 kali dibandingkan infeksi HIV/AIDS. Laki-laki 2 –

3 kali lebih sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 – 24 tahun dan >75 tahun).4

Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab trauma kapitis yang paling sering.5,6,7 BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profi penderita trauma kapitis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, penyebab trauma kapitis, nilai Skala Koma Glasgow (SKG) dan gambaran Head CT-Scan. Penelitian dilakukan di bangsal rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan mulai 1 Juli – 31 Desember 2006.

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metoda sampling non random secara konsekutif. Populasi sasaran adalah semua penderita trauma kapitis yang ditegakkan dengan

Page 21: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 236

pemeriksaan klinis dan menjalani pemeriksaan CT-scan kepala. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan sumber data primer yang berasal dari semua penderita trauma kapitis yang dirawat inap di bangsal Neurologi RSUP H.Adam Malik Medan. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik sampel n (%) Kelompok umur < 40 tahun > 40 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Ibu rumah tangga Wiraswasta

Pelajar Mahasiswa Guru

40 11

31 20 11

16 10 12 2

78,4 21,6

60,8 39,2

21,6 31,4 19,6 23,5 3,9

Tabel 2. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan penyebab trauma

Penyebab trauma kapitis n (%) Kecelakaan sepeda motor

Kecelakaan mobil Kecelakaan bersepeda

Jatuh

41 3 3 4

80,4 5,9 5,9 7,8

Penyebab trauma kapitis

80.4%

7.8%5.9% 5.9% kecelakaansepeda motorkecelakaanmobil kecelakaanbersepeda jatuh

Gambar 1. Karakter is t ik subjek penel i t ian

berdasarkan penyebab trauma

Tabel 3. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan nilai SKG

Nilai SKG n (%)

13 – 15 9 – 12

< 9

41 9 1

80,4 17,6 2,0

Nilai SKG

80.4%

2.0%17.6%

13 – 15

9 – 12

< 9

Gambar 2. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan

nilai SKG Tabel 4. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan gambaran Head CT-Scan

Gambaran Head CT-Scan n (%)

Normal Kontusio Epidural hematom Subdural hematom Perdarahan subarahnoid Subdural higroma Perdarahan intraserebral Edema serebri Fraktur tulang tengkorak

21 3 5 2 6 2 10 18 14

41,2 5,9 9,8 3,9 11,8 3,9 19,6 35,3 27,5

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Pada penelitian ini diperoleh 51 penderita trauma kapitis, dengan kelompok terbanyak laki-laki 31 orang (60,8%) sedangkan wanita sebanyak 20 orang (39,2%). Rentang usia subjek adalah 16 tahun hingga 70 tahun, dimana kelompok usia yang terbanyak adalah < 40 tahun sebanyak 40 orang (78,4 %), sedangkan kelompok usia yang ≥ 40 tahun sebanyak 11 orang (21,6 %).

Sebagian besar sampel penelitian memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta yaitu 16 orang (31,4 %), diikuti mahasiswa 12 orang (23,5%), ibu rumah tangga 11 orang (21,6 %), pelajar 10 orang (19,6%) dan guru 2 orang (3,9%). Dari keseluruhan penderita,

Page 22: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Aldy S. Rambe dkk. Profil Penderita Trauma Kapitis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 237

penyebab paling banyak yang menimbulkan trauma kapitis pada subjek penelitian adalah kecelakaan sepeda motor sebanyak 41 orang (80,4 %), diikuti jatuh 4 orang (7,8 %), kecelakaan mobil 3 orang (5,9 %), dan kecelakaan saat bersepeda 3 orang (5,9 %).

Pada saat masuk ke rumah sakit kelompok sampel yang terbanyak memiliki nilai SKG 13 – 15 yaitu 41 orang (80,4 %). Sedangkan kelompok nilai SKG 9 – 12 terdapat sebanyak 9 orang (17,6 %), dan 1 orang (2,0 %) memiliki nilai SKG > 9.

Karakteristik subjek penelitian yang dilakukan oleh Hammond dkk, (2004) terhadap 927 penderita trauma kapitis dengan tujuan mendapatkan gambaran fungsi kognitif, komunikasi dan perubahan sosial akibat trauma kapitis mendapatkan usia rata-rata subjek 36,3 tahun dengan simpangan baku 15,6 tahun. Sebanyak 76 % subjek adalah laki-laki.8

Signorini, dkk (1999) yang melakukan studi terhadap 372 penderita trauma kapitis, melaporkan 78 % sampel adalah laki-laki, sedangkan perempuan adalah 22 %. Penyebab trauma kapitis terbanyak pada penelitian tersebut adalah kecelakaan sepeda motor (31 %), diikuti kecelakaan karena terjatuh (28 %), bersepeda (15 %), dan lain-lain 26 %. Nilai SKG terbanyak adalah kelompok 9 – 12 sebanyak 30 %, diikuti nilai SKG 13 – 15 (25 %), 6 – 8 (22 %).9 Pada penelitian ini kelompok penderita terbanyak memiliki nilai SKG 13-15 (80,4 %). Hasil ini sesuai penelitian Machamer dkk (2003) yang mendapatkan jumlah penderita trauma kapitis terbanyak pada kelompok SKG 13 – 15 (56,0%).10

Rao, dkk (2002) melaporkan bahwa kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang terbanyak dari trauma kapitis, lebih dari 50 %, diikuti jatuh 21 %, violence 12 % dan cedera akibat olah raga atau aktivitas rekreasi 10 %.11

Pada penelitian ini didapatkan gambaran Head CT-Scan yang terbanyak adalah normal sebanyak 41,9 %, edema serebri sebesar 35,3 %, fraktur tulang tengkorak 27,5 %, perdarahan intraserebral 19,6 %, perdarahan subarahnoid 11,8 %, epidural hematom 9,8 %, kontusio 5,9%, subdural hematom 3,9 % dan subdural higroma 3,9 %.

Berdasarkan gambaran Head CT-Scan, Signorini, dkk membagi sampel penelitian menjadi 2 kelompok, yaitu adanya hematom (perdarahan intraserebral, ekstradural dan subdural), dan tanpa gambaran hematom. Dari studi tersebut diperoleh penderita dengan hematom sebanyak 40 %, sedangkan penderita tanpa hematom 41 %. Pembagian ini sangat kasar, namun kelihatannya lebih praktis dan cenderung konsisten diantara berbagai sentra.9

Penelitian yang dilakukan Wardlaw dkk (2002) terhadap 425 penderita trauma kapitis mendapatkan 52 penderita memilki gambaran head CT-Scan normal, 25 orang memiliki gambaran mild focal injury, 38 orang dengan medium focal injury, 123 orang dengan mild/moderate diffuse injury, 125 orang dengan massive focal injury, dan 62 orang dengan massive diffuse injury.12

KESIMPULAN 1. Pada penelitian ini dijumpai sebanyak 51

penderita trauma kapitis yang terdiri dari 31 orang laki-laki (60,8%) dan 20 orang perempuan (39,2%), dengan rentang usia 16 tahun sampai dengan 70 tahun.

2. Sebagian besar sampel adalah wiraswasta (31,4%).

3. Penyebab trauma kapitis yang terbanyak adalah disebabkan kecelakaan sepeda motor (80,4%).

4. Pada saat masuk rumah sakit, penderita terbanyak memiliki nilai SKG 13 – 15 (80,4%).

5. Setelah dilakukan head CT-Scan 21orang (41,29%) memiliki gambaran normal, 18 orang dengan edema serebri (35,3%) dan 14 orang disertai gambaran fraktur tulang tengkorak (27,5%).

DAFTAR PUSTAKA 1. Jagoda A, Bruns Jr J. Prehospital

Management of Traumatic Brain Injury. In: Leon-Carrions J, von Wild KRH, Zitnay GA, editors. Brain Injury Treatment: Theories and Practice. New York: Taylor & Francis; 2006.p.1 – 16.

Page 23: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 238

2. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of Head Trauma. Chest 2002; 122:699-711.

3. Listiono LD. editor. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT. Gramedia; 1998.

4. Hernandez TD. Post – Traumatic Neural Depression and Neurobehavioral Recovery after Brain Injury. J Neurotrauma 2006;23:1211 – 21.

5. Hemphill JC III. Traumatic Brain and Spinal Cord Injury. Education Program Syllabus American Academy of Neurology 57th Annual Meeting; 2005 April 9 – 16; Miami Beach: Florida; 2005.

6. Ian S. Intracranial Hypertension after Traumatic Brain Unjury. Indian J Crit Care Med 2004;8:120 – 26.

7. Pah-Lavan Z. Traumatic Brain Injury: the Cloud of Unknowing. J Community Nursing 2006;20:4 – 11.

8. Hammond FM, Hart T, Bushnik T, Corrigan JD, Sasser H. Change and Predictor of Change in Communication, Cognition, and Social Function Between 1 and 5 Years After Traumatic Brain Injury. J Head Trauma Rehabilitation 2004;19:314 – 28.

9. Signorini DF, Andrews PJD, Jones PA, Wardlaw JM, Miller JD. Predicting Survival Using Simple Clinical Variables: a case study in traumatic brain injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1999; 66:20 – 25.

10. Machamer JE, Temkin NR, Dikmen SS. Neurobehavioral Outcome in Persons With Violent or Nonviolent Traumatic Brain Injury. J Head Trauma Rehabilitation 2003;18:387 – 97.

11. Rao V, Lyketsos C. Neuropsychiatric Sequelae of Traumatic Brain Injury. Psychosomatic 2000. 41:95 – 103.

12. Wardlaw JM, Easton VJ, Statham P. Which CT Features Help Predict Outcome After Head Injury?. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;72:188 – 92.

Page 24: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Aldy S. Rambe dkk. Profil Penderita Trauma Kapitis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 239

The Effect of Honey and Uncaria on The Prevention of Post Laparotomy Intraperitoneal Adhesions in Rats

Pane Y. S., Martina S. J., Tri W., Ichwan M., Lelo, A.

Department of Pharmacology and Therapeutic, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

number and the volume of IPA. The data observed were analyzed by one way ANOVA with level of significant P<0.05. Result: IPA occurred in all animals of study group I and III (6/6), but it was much less in the group II (2/6). The number of IPA formed in group I (1.33±0.52) and group III (1.33±0.52) were significantly (P<0.05) greater than group II (0.33±0.52). The volume of IPA in group I (0.23±0.24 ml) and group II (0.09±0.15 ml) were statistically (P<0.05) less than group III (0.61±0.43 ml). Conclusion: The present study demonstrated that honey could reduce the incidence, the number and the volume of IPA, while uncaria appears enhancing the volume of IPA. Keywords: intraperitoneal adhesions, post laparotomy, honey, uncaria Abstrak: Latar Belakang: Adhesi intraperitoneum pasca laparotomi (AIP) selalu diikuti dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Anti inflamasi non-steroid telah digunakan untuk mencegah terjadinya AIP. Madu dan uncaria (gambir) secara turun temurun telah digunakan sebagai obat anti radang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek madu dan uncaria pada pembentukan AIP pada tikus. Metoda: 18 ekor tikus Sprague Dawley (berat badan: 150-200 gram) dibagi dalam 3 kelompok (n=6), yaitu: (I) Kelompok kontrol 1 cc aquadest sebagai plasebo, (II) madu (1 g/kgbb), dan (III) uncaria (10 mg/kgbb). Masing-masing kelompok diberi obat 2 kali sehari selama 3 hari segera setelah dilaparotomi. Pada hari ke-10, masing-masing tikus dibunuh untuk dilakukan laparotomi ulang dan selanjutnya melihat adanya kejadian, jumlah dan volume AIP. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA, dimana suatu perbedaan dinyatakan bermakna, bila P<0,05. Hasil: AIP didapati pada seluruh hewan percobaan kelompok I dan III (6/6), dan kelompok III kejadiannya lebih sedikit (2/6). Rerata jumlah AIP pada kelompok I (1,33 ± 0,52) dan kelompok III (1,33 ± 0,52), lebih banyak (P<0,05) bila dibanding dengan kelompok II (0,33 ± 0,52). Volume AIP pada kelompok I (0,23 ± 0,24 ml) dan kelompok II (0,09 ± 0,15 ml) lebih sedikit (P<0,05) lebih sedikit dibanding kelompok III (0,61±0,43 ml). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa madu dapat mengurangi kejadian, jumlah dan volume dari AIP, sebaliknya uncaria tampaknya meningkatkan volume AIP. Kata kunci: adhesi intraperitoneum, pasca laparotomi, madu, uncaria INTRODUCTION

Intraperitoneal adhesions (IPA) might occur in patient post laparotomy (67-93%) and post pelvic surgery (97%) 1,2., that could increased morbidity and mortality 3,4. IPA are

the major causes of intestinal obstruction and secondary infertility. IPA is fibrous tissue that connected to abdomen wall with various organs in cavum abdomen (ex. intestine,utery, etc.)5.

Page 25: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 240

In order to prevent postoperative IPA, many adjuvants have been used in animal models and in the clinical trials 6. Non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), which inhibit prostaglandin production, have been shown to decrease adhesion formation 7-

10. The formation of IPA can be prevented after administering NSAIDs, i.e: nimesulide3, diclofenac11,12, meloxicam 13, ketorolac11,13,14, and celecoxib12.

Traditional medicines which have anti-inflammatory action such as temulawak (Curcuma xanthorrhiza)11 and sambiloto (Andrographis paniculata)13 have been demonstrated to be able preventing the formation of IPA. Honey and uncaria are other traditional agents have been studied and used as anti inflammatory agents15,16. In the present study, we investigated the effect of honey and uncaria on the formation of IPA in rat. MATERIALS AND METHODS

Eighteen Sprague Dawley rats, weighing 150–200 g, were used in the present study. All rats were observed for several days to ascertain their health before study conducted. All procedures were approved by the Animal Care and Use Committee of the Universitas Sumatera Utara.

Before surgery, rats were randomly assigned into three groups (n=6), i.e. group I control group received 1 cc aquadest as placebo, group II received honey (1 g/kgbw), and group III received uncaria (10 mg/kgbw). All rats recovered without incident after surgery and resumed preoperative physical activity and feeding patterns postoperatively.

Each drug was orally administered twice daily for three consecutive days post laparotomy. Under an ether anesthesion, the abdomen was shaved and prepared with a povidone iodine solution. Using sterile technique, a 5 cm vertical midline incision was done. Care was taken to avoid gross bleeding from injured sites. Handling of other tissues was minimized. The incision was closed in a single layer, excluding the peritoneum, with a running 3–0 monofilament delayed absorbable suture and interrupted suture to skin. The total operative time was less than 10 min. On day 10, each rat was killed by deep general

anesthesion and then re-laparotomy with vertical paramedial incision.

The data observed (i.e. the incidence, the number and the volume of IPA) were analyzed by one-way ANOVA with the level

of significance was set at P < 0.05. RESULTS

During the study period there was no one of rats died. We found that the incidence IPA occurred in all animals of study group I and III (6/6), but it was much less in the group II (2/6) (Figure I).

Figure I. The incidence of IPA

01234567

Placebo Honey 1 g/kgbw Uncaria 10 mg/kgbwT

he In

cide

nce

of IP

A

The average of number of IPA formed in group I receiving aquadest as placebo (1.33±0.52) and group III receiving uncaria (1.33±0.52) were significantly (P<0.05) greater than group II receiving honey (0.33±0.52) (Figure II).

Figure II. The average of number of IPA

0

0.5

1

1.5

Placebo Honey 1 gr/kgbw Uncaria 10 mg/kgbw

The

Ave

rage

of n

umbe

r of

IPA

The volume of IPA in group I (0.23±0.24 ml) and group II (0.09±0.15 ml) were statistically (P<0.05) less than group III (0.61±0.43 ml) (Figure III).

Figure III. The average of volume of IPA

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Placebo Honey 1 gr/kgbw Uncaria 10 mg/bwThe

Ave

rage

of

Vol

ume

of IP

A

DISCUSSION

To the best of our knowledge, this is the first study conducted to demonstrated the prevention of postoperative IPA by traditionally agents honey and uncaria.

Page 26: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Pane Y. S. dkk. The Effect of Honey...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 241

An inflammation is the initial response to

peritoneal injury that leads to extravasations of serum and cellular elements. The site of peritoneal injury is covered predominantly by polymorphonuclear cells entangled in fibrin

strands, which are soon outnumbered by macrophages. When normal fibrinolysis occurs, islands of mesothelial cells proliferate

throughout the injury site and completely cover the defect within 4–5 days 17. It was therefore in the present study the drugs treated administered for 3 days only. It has been found that various inflammatory mediators such as prostaglandins (PGF

2 and PGE 2) might play an important role in the process of adhesion formation18,19. Ibuprofen the inhibitor of prostaglandin formation appeared to significantly inhibit the formation of adhesions as compared with that in untreated control animals7.

During peritoneal repair, the cellular events appear to be coordinated at least in part by cytokines. The antibodies to IL-6 20, tumour necrosis factor- (TNF- ) and interleukin-1 (IL-1)21 reduce postoperative adhesion formation. It has been demonstrated

that COX-2 expression is highly induced by a number of cytokines, including IL-1, TNF- , and other stimuli associated with inflammation and growth22. Nimesulide at therapeutic concentrations is a potent inhibitor of IL-6 production 23. Inhibitor effect of nimesulide on TNF- production may also contribute to its anti-inflammatory properties.

In this study, it was demonstrated a significant reduction in postoperative IPA formations in rats treated with honey administration, but uncaria appears enhancing the volume of IPA. How come uncaria appears to enhance IPA?

Pane et al. (2007) demonstrated that celecoxib an selective COX-2 inhibitor has different effect on the formation of IPA. Compared to the low dose of celecoxib (1.4 mg/kgbw), the high dose of celecoxib (7 mg/kgbw) may enhance the incidence (5/5; 100% vs 0/5; 0%), the number (1,40±0,55 vs 0,20±0,45), and the volume of IPA (0,53±0,22 ml vs 0,06±0,13 ml).

It was reported previously that high dose celecoxib will stimulate the activity of NF-kB24, which may then stimulate TNF- . It means the high dose of celecoxib has no anti-inflammatory action but has an antioxidant

action. It appears that uncaria has similar action as occurred with celecoxib.

The antioxidant and anti-inflammatory effects of uncaria have been assessed in vitro. Uncaria has potency for inhibiting tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) synthesis; this cytokine is a key mediator of chronic inflammatory processes such as arthritis. An important finding was that TNF-alpha production was effectively suppressed at much lower concentrations of uncaria than were needed to produce antioxidant effects. Previous research has shown that TNF-alpha is a worthwhile therapeutic target, but it is not known whether the beneficial effects of uncaria are due to TNF-alpha inhibition alone. In addition, prostaglandin E2 production was significantly reduced by uncaria, suggesting that cyclooxygenase-2 expression was inhibited16.

In summary, based on the experimental results, it is suggested that honey could reduce the incidence of IPA, while uncaria enhancing the volume of IPA. Findings should be

evaluated further in other experimental animal models and human trials. REFERENCES 1. Menzies, D., and Ellis, H. Intestinal

obstruction from adhesion: How big is the problem? Ann. R. Coll. Surg. Engl. 72. 1990. p 60-63.

2. Diamond, M. P., Daniell, J. F., and Johns, D. A., Postoperative development after operative laparoscopy: Evaluation at early second-look procedures. Fertil. Steril. 55. 1991. p 700.

3. Guvenal, T., Cetin, A., Ozdemir, H., Yanar, O., and Kaya, T. Prevention of postoperative adhesion formation in rat uterine horm model by nimesulide: a selective COX-2 inhibitor. Hum. Reprod. 16. 2001. p 1732.

4. Hanafi, B. Pencegahan Adhesi Intraperitonium Paska Bedah. Bandung. 2001. p 9-11.

5. Diamond, M. P. and Schwartz, L. B. Prevention adhesion development. Endoscopic Surgery for Gynecologists, 2nd eds. W.B.Saunders, Philadelphia. 1998. p 398–403.

Page 27: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 242

6. DeCherney, A. H. and diZerega, G. S. Clinical problem of intraperitoneal postsurgical adhesion formation following general surgery and the use of adhesion prevention barriers. Surg. Clin. North. Am., 77. 1997. p 671–88.

7. Siegler, A.M., Kontopoulos, V. and Wang, C.F. Prevention of postoperative adhesions in rabbits with ibuprofen, a nonsteroidal anti-inflammatory agent. Fertil. Steril. 34. 1980. p 46 –49.

8. Cofer, K. F., Himebaugh, K. S., Gauvin, J. M. and Hurd, W. W. Inhibition of adhesion reformation in the rabbit model by meclofenamate: an inhibitor of both prostaglandin and leukotriene production. Fertil. Steril. 62. 1994. p 1262 –65.

9. Rodgers, K. E., Girgis, W., Campeau, J. D. and diZerega, G. S. Reduction of adhesion formation by intraperitoneal administration of anti-inflammatory peptide 2. J. Invest. Surg. 10. 1997. p 31–36.

10. Rodgers, K. E., Girgis, W., St Amand, K. et al. Reduction of adhesion formation by intraperitoneal administration of various anti-inflammatory agents. J. Invest. Surg. 11. 1998. p 327–339.

11. Mustafa. et al. Natrium diklofenak dan Kombinasi Kurkuminoid minyak atsiri Temulawak Sebagai anti-adhesi Intraperitoneal Pascalaparotomi pada tikus. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. 2005. p 56-65.

12. Pane Y. S. et al. Efek Peningkatan Dosis Celecoxib dalam Upaya Pencegahan Adhesi Intraperitoneum Pascalaparotomi pada Tikus. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. 2005. p 80-90.

13. Darwin. et al. Efek Meloksikam dan Ekstrak sambiloto terhadap adhesi Intraperitoneum Pascalaparotomi pada Tikus. Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. 2005. p 40-56.

14. Zahari. Ketorolac Ability in Inhibiting Post Operative Intraperitoneal Adhesion in Wistar Mice Model. Surgical Departement of Faculty of Medicine of Andalas University, Djamil General Hospital, Padang. 2002. p 34-52.

15. Imhof M. et al. Propolis may have a role as an Alternative Treatment for Chronic Vaginal Infection. Int. J. Gynaecol. Obstet. 89. 2005. p 127-132.

16. Piscoya J. et al. Safety and Effectiveness of cat’s claw in osteoarthritis. Inflammation Research. 50. 2001. p 442-48.

17. Raftery, A. T. Regeneration of parietal and visceral peritoneum: an electron microscopical study. J. Anat. 115. 1973. p 375 –392.

18. Golan, A., Bernstein, T., Wexler, S. et al. The effect of prostaglandins and aspirin—an inhibitor of prostaglandin synthesis—on adhesion formation in rats. Hum. Reprod. 6. 1991. p 251 –254.

19. Golan, A., Maymon, R., Winograd, I. and Bukovsky, I. Prevention of post-surgical adhesion formation using aspirin in a rodent model: a preliminary report. Hum. Reprod. 10. 1995. p 1797 –1800.

20. Saba, A. A., Kaidi, A. A., Godziachvili, V. et al. Effects of interleukin-6 and its neutralizing antibodies on peritoneal adhesion formation and wound healing. Am. Surg. 62. 1996. p 569 –572.

21. Kaidi, A. A., Nazzal, M., Gurchumelidze, T. et al. Preoperative administration of antibodies against tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) and interleukin-1 (IL-1) and their impact on peritoneal adhesion formation. Am. Surg. 61. 1995. p 569–572.

22. Crofford, L. J. COX-1 and COX-2 tissue expression: implications and predictions. J. Rheumatol. 24. 1997. p 15 –19.

23. Henrotin, Y. E., Labasse, A. H., Simonis, P. E. et al. Effects of nimesulide and sodium diclofenac on interleukin-6, interleukin-8, proteoglycans and prostaglandin E2 production by human articular chondrocytes in vitro. Clin. Exp. Rheumatol. 17. 1999. p 151–160.

24. Niederberger. et al. Celecoxib loses its anti-inflammatory efficacy at high doses through activation of NF-κB. FASEB J. 15. 2001. p 1622-24.

Page 28: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 243

The Profile of Thrombocytosis in Pediatric Intensive Care Unit

Selvi Nafianti Department of Child Health, Medical School University of Sumatera Utara/

Haji Adam Malik Hospital Medan

archipelago country. Objective: To describe the distribution of thrombocytosis in pediatric intensive care unit. Methods: A rectrospective study reviewed medical chart of all children in Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Haji Adam Malik Hospital with all diagnosis during January 2007 – December 2007. All the patients who diagnosed as thrombocytosis were enrolled to this study. The data was collected include age, sex, diagnosis in PICU will be reported descriptively. Results: From the total 319 cases admitted to PICU, there were 65 had thrombocytosis. Most thrombocytosis 29(65) were in group age 1-5 years, and 21(65) in group 5-10 years, and 15(65) in group age more than 10 years. Boys more than girls (35 vs 30). Thrombocytosis occurred mostly in complicated surgical patients, head injury and infectious diseases. Conclusion: Thrombocytosis is common problem in critically ill patient. It is required a longitudinal study to determine the cause of thrombocytosis in critically ill patients. Keywords: thrombocytosis, critically ill patients, PICU Abstrak: Latar belakang: Pada pasien yang dirawat di PICU trombositosis biasa terjadi secara sekunder atau merupakan reaksi terhadap beberapa factor penyebab. Trombositosis reaktif biasanya disebabkan peningkatan pelepasan sejumlah sitokin sebagai respon terhadap infeksi, inflamasi, vaskulitis, trauma jaringan, dan factor-faktor penyebab lain. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kejadian berbeda secara signifikan antara satu negara, ataupun antar etnik yang berbeda maupun akibat perbedaan letak seperti geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Tujuan: Menggambarkan kejadian trombositosis pada pasien sakit berat yang dirawat di PICU. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan membuka rekam medik seluruh pasien anak yang dirawat di PICU dengan berbagai penyebab selama periode Januari 2007 – Desember 2007. Seluruh pasien yang menderita trombositosis diikutkan dalam penelitian ini. Seluruh data akan dicatat termasuk data usia, jenis kelamin, diagnosis selama perawatan di PICU, dan data akan disajikan secara deskriptif. Hasil: Dari sebanyak 319 pasien yang dirawat di PICU, terdapat sebanyak 65 kasus mengalami trombositosis. Jumlah terbanyak trombositosis terjdi pada usia 1-5 tahun sebanyak 29 kasus, dan 21 kasus pada usis 5 – 10 tahun serta 15 kasusu trombositosis berusia di atas 10 tahun. Anak laki- laki lebih banyak dari perempuan dengan jumlah masing – masing 35 dan 30 kasus. Thrombosis terjadi terbanyak pada pasien dengan komplikasi operasi, cedera kepala dan penyakit infeksi. Kesimpulan: Trombositosis merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien yang sakit berat seperti pasien – pasien yang memerlukan perawatan di PICU. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan penyebab trombositosis pada pasien sakit berat. Kata kunci: trombositosis, pasien sakit berat, PICU

Page 29: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 244

INTRODUCTION Thrombocytosis is classified as either

primary or secondary. Thrombocytosis in infancy and childhood is not an uncommon condition. There are very few local paediatric literature on its incidence and clinical significance. This is probably because platelet count involves tedious manual counting.1-4 Furthermore, primary thrombocytosis is extremely rare in childhood. It is usually secondary to other underlying conditions. The physiologic reference range of platelet counts is 150-400 X 109/L. A platelet count exceeding the upper limit is called thrombocytosis. Primary thrombocytosis is caused by autonomous production of platelets unregulated by the physiologic feedback mechanism to keep the count within the reference range. Primary thrombocytosis is a component of a myeloproliferative disorder (eg, essential thrombocythemia, myelofibrosis with myeloid metaplasia, polycythemia vera, chronic myelocytic leukemia [rare]) or, in rare cases, of acute myelocytic leukemia.5-7 In contrast to primary thrombocytosis, secondary thrombocytosis is an exaggerated physiologic response to a primary problem, such as an infection. In pediatrics, primary thrombocytosis is exceedingly rare, whereas secondary, or reactive, thrombocytosis is common, particularly in infants. Secondary thrombocytosis (the term reactive thrombocytosis is used in all subsequent discussions) usually is transient and subsides when the primary stimulus ceases. In spite of the strikingly high platelet count thrombotic and/or hemorrhagic complications are highly exceptional.8-12 This is in contrast to thrombosis and bleeding that develop more commonly as complications of primary thrombocythemia. Dame and Sutor stated that the annual incidence of newly diagnosed primary thrombocytosis in childhood is 1 case per 10 million population. According to these authors, about 75 children with primary thrombocytosis were reported from 1966-2000.3-5 Dror et al published the results of an analysis of 36 children with essential thromboctyosis. The frequency of reactive

thrombocytosis is far more common than essential thrombocytosis and depends on age. Rates are highest during the first 3 months of life. Preterm infants have higher frequencies than those of term infants.1-3 According to Sutor's summarization of the findings from several studies, 3-13% of hospitalized pediatric patients had a thrombocyte count of more than 500 X 109/L. In one study, 0.5% of hospitalized children had a platelet count more than 800 X 109/L. No evidence suggests that the incidences of either primary or reactive thrombocytosis vary significantly from one country to another or from one ethnic group to another. In patients with primary thrombocytosis, which is a myeloproliferative disorder, the frequency of thrombosis and/or hemorrhage widely varies among various reports (20-84% for thrombotic complications and 4-41% for bleeding complications).2-5 However, these statistics are for adult patients, and incidences of hemorrhagic and thrombotic complications in primary thrombocytosis of children are not known.1-6 There is only limited study reported thrombocytosis in the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) patients. This study objective is to describe the profile of trombocytosis in PICU in Haji Adam Malik Hospital Medan. METHODS

A rectrospective study reviewed medical chart of all children in Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Haji Adam Malik Hospital with all diagnosis during January 2007 – December 2007. All the patients who diagnosed as thrombocytosis were enrolled to this study. The data was collected include age, sex, diagnosis in PICU will be reported descriptively. RESULTS

During our study period there were 329 patients in PICU with all causes that hospitalized in PICU. From 329 cases, there were 204 had normal platelet, and 65 patients had thrombocytosis and 60 patients had thrombocytopenia.

Page 30: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Selvi Nafianti The Profile of Thrombocytosis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 245

Table 1. Distribution of platelet status in PICU patients

Platelet status N=329

Thrombocytopenia 60

Normal 204

Thrombocytosis 65

Table 2 showed that thrombocytosis

occurred most in group age 1 – 5 years, followed by group age 5 – 10 years and > 10 years in 29 cases, 21 cases and 15 cases consecutively. There were 35 boys had thrombocytosis compared to 30 cases in girls. Table 2. Distribution of thrombocytosis based on age and sex

N=65 Age (years)

1-5 29 5-10 21 >10 15 Sex Boys 35 Girls 30

Table 3. Underlying diseases in thrombocytosis

N=65

Complicated surgery 31

Infectious diseases 21

Head injury 10

Others 3

The underlying disease of thrombocytosis

in this study were complicated surgery in 31 cases, infectious diseases in 21 cases, head injury in 10 cases and others in 3 cases. DISCUSSION

Denton4 et al, reported that extreme thrombocytosis (ExtThr; platelet count

1000x109/l) is uncommon but may have an increased occurrence in critically ill children.

The incidence of ExtThr for children on the Paediatric Intensive Care Unit at Bristol Royal Hospital for Children between January 2001 and December 2004 was calculated, and the notes of children identified with ExtThr were reviewed for possible common aetiological factors, potential treatment regimes and

outcome. Vora6 et al estimated the incidence and causes of secondary thrombocytosis in

children, a 12 month study of all patients attending a children's hospital and discovered to have a platelet count over two times the upper normal limit (> 800 x 10(9)/l) was undertaken. Data so obtained were analysed

both separately and together with those from two previous studies to gain as broad a perspective as possible. Of 7916 children who had platelet counts during the study period, 36 (0.5%) produced a value > 800 x 10(9)/l; there were 19 boys and 17 girls. There was a preponderance of young infants (median age 13 months). Twenty seven of the 36 had some sort of associated infection, bacterial in 18 and viral in nine. The other nine were either recovering from anti-neoplastic chemotherapy (n = 6), were post-operative (n = 2), or simply iron deficient (n = 1). Combining these

patients with those described in previous studies allowed a review of 139 unselected children with very high platelet counts. Fifty three (38%) had infections, 29 (20%) had traumatic or surgical tissue damage, 16 (11%) had malignant disease undergoing chemotherapy or surgery, and 13 (9%) had

connective tissue or autoimmune disorders. Secondary thrombocytosis is not rare and is most frequently seen in very young infants after infection. It can arise in a wide variety of other circumstances including rebound from

myelosuppression, iron lack, or as part of an acute phase response. It is clinically unimportant in terms of morbidity and requires no treatment other than that for the primary condition. Yohannan6 et al, study in six hundred sixty-three children aged 1 to 16 years with thrombocytosis (defined as a platelet count of more than 500 X 109/L) seen

in a university hospital over a 1-year period were studied prospectively for etiology. The causes of thrombocytosis were infection (30.6%), hemolytic anemia(19.3%), tissue damage (15.2%), rebound thrombocytosis

(14.8%), chronic inflammation (4.1 %), renal

Page 31: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 246

disorders (4.1 %), and malignancy (2%). Thrombocytosis associated with multiple,

simultaneous causative factors was seen in 3.3% of cases. Among all patients with infections, osteomyelitis and septic arthritis

were associated with higher platelet counts than other infections (P<. 0001). Thrombocytosis secondary to infections was significantly more common in children under 5 years of age, whereas chronic inflammation, malignancy, and renal disorders were more common causes of thrombocytosis in children over 5 years of age. Thrombocytosis of 1 million or more platelets was seen in 13 (2%) children. No thrombocytosis-related complications were seen in any children, and none required any specific treatment. Thrombocytosis is a frequent finding in children. It is due to a variety of etiologic

factors and is of little clinical discriminatory value. It is often due to an acute-phase phenomenon in response to infection, tissue damage, blood loss, or anemia, and is rarely due to malignancy. Vannucchi7 et al, studied about the role of elevated platelet counts in thrombosis, which represent the predominant complication of CMPD, significantly affecting prognosis and quality of life as well as, paradoxically, in the pathogenesis of the hemorrhagic manifestations, will be discussed. Established and novel potential risk factors for thrombosis, including the clinical relevance of the JAK2V617F mutation, and current management strategies for thrombocytosis are also briefly discussed. Shafer6, noted in his study that the challenge of correctly identifying the cause of thrombocytosis in an individual patient becomes particularly critical when the clinician is confronted with treatment decisions. Patients with secondary (reactive) thrombocytosis do not require

platelet-lowering or antiplatelet treatment because their abnormal platelet count itself does not place them at risk for hemostatic or vascular events. It is crucial, however, to identify the cause of their secondary thrombocytosis, even when it is clinically

inapparent, so that treatment can be directed to the underlying disease. A normal erythrocyte sedimentation rate and a normal

level of C-reactive protein may help to rule out an underlying inflammatory disorder. The search for occult cancer should involve a

thorough physical examination, including examination of stool specimens for occult blood, chest radiography, and further testing

as indicated by systemic and localizing symptoms and signs.

Chan8 et al, reported the introduction of the newer generation of electronic cell

counters allows the routine reporting of platelet numbers when the peripheral blood count is requested. In a 12-month period, 100 episodes of marked thrombocytosis (platelet count more than 900 x 109/L) were found among 94 children. These patients were young (median age 9 months). All but one episode of marked thrombocytosis occurred as a phenomenon secondary to a variety of disease states. Infections, especially those involving the central nervous systems were the commonest cause of an elevated platelet count in this series. Malignant diseases alone were rarely associated with thrombocytosis of this magnitude. The elevated platelet count

began to decline at a mean of 3 days after diagnosis, and no thrombotic or hemorrhagic complications were encountered. Marked

thrombocytosis is a benign, common phenomenon in young children, but specific treatment is not required. Natalie9 et al, on their study objecyive to estimate the frequency of primary and secondary thrombocytosis in children. To describe the diseases associated with secondary thrombocytosis. To relate the magnitude of the thrombocitosis and the different diagnoses. Resulted that 584 cases of thrombocytosis were found and their study, representing 32.4% of the blood counts. 334 clinical case notes were reviewed, 62% male. 3 patients 0.9% had a platelet count over 1,000,000, 2 of them had primary thrombocytosis (essential thrombocythaemia and chronic myeloid leukaemia) and the third had a bacterial meningitis. The diseases associated with secondary thombocytosis were infection 48.8% (respiratory 70%), iron deficiency 18.6% tissue damage (burns and surgery) 12.6%. Concluded that the frequency of primary thrombocytosis is low, when it is less than 1,000,000 a secondary aetiology is most likely. Heng10 et al, reported that primary thrombocytosis is extremely rare in childhood. It is usually an acute phase reactant secondary to other inflammatory

Page 32: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Selvi Nafianti The Profile of Thrombocytosis...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 247

process. The mechanism by which the acute inflammation causes thrombocytosis is not fully understood. Two humoral factors, thrombopoietin and megakaryocyte colony stimulating factor appear to regulate the production and the numbers of circulating platelets. There is a wide variety of causes associated with thrombocytosis. In our study, bacterial infection in particular pneumonia was the predominant cause of thrombocytosis. Other common conditions included urinary tract infection, gastroenteritis and Kawasaki’s disease. Secondary thrombocytosis is a benign and self-limiting condition. None of the cases developed any complications associated with the high platelet level. This could have accounted for the low proportion of followed-up platelet count especially when the child had recovered from the underlying illness. The onset of thrombocytosis occurred within the first week of illness in majority of the illness. The normalisation time depends on the severity of inflammation. Generally, the normalisation time is longer in bacterial infections compared to the viral infections.

Kousaku11 et al, determine the incidence and etiology of childhood thrombocytosis, over 15,000 platelet counts in 7,539 patients performed at a single regional hospital were reviewed. When thrombocytosis was defined as ≥500 x 109/l ofplatelet counts, the condition could be diagnosed in 6.0% (456 cases) of the patients. All patients were classified as having secondary thrombocytosis. The incidence of thrombocytosis dramatically changed throughout child development; it was 12.5% in neonates, peaked to 35.8% in 1-month-old infants and then returned to 12.9% in 6- to 11-month-old infants. Thereafter, it gradually decreased with age to only 0.6% in 11- to 15-year-old children. Frequent causes of thrombocytosis included infection (67.5%), Kawasaki disease (9.4%), prematurity (7.7%) and iron deficiency anemia (6.4%). Thrombocytosis was an incidental finding in a substantial population of early infants. Thrombocytosis as a reaction to several types of infection and Kawasaki disease was more common in children under 7 years old, while autoimmune disease and tissue damage were major causes in children aged 11-15 years. No child had thromboembolic complications. These findings indicate that childhood

thrombocytosis is a benign condition and its incidence and etiology seem to depend on age. Conclusion: Thrombocytosis is common problem in critically ill patient. It is required a longitudinal study to determine the cause of thrombocytosis in critically ill patients. REFERENCES 1. Kaushansky K. Regulation of

megakaryopoiesis. In: Loscalzo J, Schafer AI, eds. Thrombosis and hemorrhage. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003:120-39.

2. Cheung MC, Hicks LK, Pendergrast J, Shafer AI. Trombocytosis. N Engl Med J 2004;350:2524-5.

3. Denton A, Davis P. Extreme thrombocytosis in admission to pediatric intensive care: no requirement for treatment. Arch Dis Child 2007;92:515-516.

4. Vora AJ, Lilleyman JS. Secondary thrombocytosis. Arch Dis Child 1993;68:88-90.

5. Yohannan D, Higgy KE, Al-Mashhadani SA, Santosh-Kumar CR. Thrombocytosis. Clin Pediatr 1994;33(6):340-3

6. Shafer AI. Trombocytosis. N Engl J Med 2004;350:1211-9.

7. A. M. Vannucchi and T. Barbui. Thrombocytosis and thrombosis. Hematol 2007; 2007(1): 363 - 370.

8. Chan KW, Kaikov Y, Wadsworth LD. Thrombocytosis in childhood: A survey of 94 patients. Pediatr 1989;84(6):1064-7.

9. Natalie RZ, Juan TC, Veronica SA. Trombocytosis in children. Rev Child Pediatr 2000;71(4):307-10.

10. Heng JT, Tan AM. Thrombocytosis in childhood. Singapore Med J 1998;39(11):485-7.

11. Kousaku M, Takashi F, Hiroyuki N, Hidekazu H, Takuya H, Hideo N, Kunizo B. Age dependent change in the incidence and etiology of childhood thrombocytosis. Acta Haematol 2004;111(3):132-7.

Page 33: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 248

Yunnie Trisnawati, Munar Lubis Divisi PGD/PICU Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS H. Adam Malik Medan

Abstrak: Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan TIK, akan terjadi kompensasi berupa pengurangan volume otak. Peningkatan TIK pada anak penderita trauma kepala berat berhubungan dengan kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh nilai puncak TIK dan lama terjadinya peningkatan TIK. Metode hipotermia, sebagai salah satu tatalaksana lanjutan peningkatan TIK di ruang perawatan intensif anak, memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari trauma kepala, seperti iskemia pasca trauma, eksitoksisitas, kaskade apoptosis dan edema serebral. Kata kunci: hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial, trauma kepala berat Abstract: Intracranial pressure can be measured as a total amount of pressure of brain, blood and its vessels and also the cerebrospinal fluid intracranially. To maintain a normal constant pressure, due to the increase of intracranial pressure, a reduction of brain volume will happen. Increased of intracranial pressure in severe pediatric traumatic brain injury associated with recovery, influenced by the intracranial pressure’s value and duration of the increased of intracranial pressure. Hypothermia, as a second tier therapy of intracranial hypertension in Pediatric Intensive Care Unit, could give neuroprotective effect to the basic mechanisms of traumatic brain injury, such as posttraumatic ischemia, excitoxicity, apoptosis cascade and cerebral edema. Keywords: hypothermia, intracranial hypertension, severe traumatic brain injury PENDAHULUAN

Diagnosis dan tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) pada anak merupakan suatu hal yang sangat penting. Tekanan intrakranial merupakan jumlah tekanan dari struktur - struktur di dalam rongga tengkorak yang terdiri dari otak, darah dan pembuluh darahnya serta cairan serebrospinal (CSS). Untuk mempertahankan tekanan yang konstan, akibat adanya peningkatan tekanan CSS, seperti pada hidrosefalus, akan terjadi kompensasi dengan terjadinya pengurangan volume otak.1

Sulit menentukan nilai normal TIK, tergantung pada usia, postur tubuh, dan keadaan klinis. Pada posisi horizontal, nilai

normal TIK orang dewasa berkisar 7-15 mmHg. Tekanan intrakranial mencapai nilai negatif pada posisi setengah duduk, yaitu berkisar -10 mmHg namun tidak melebihi -15 mmHg. Nilai normal TIK pada bayi dan anak, biasanya dinilai saat punksi lumbal tidak memberikan nilai diagnostik, lebih rendah dari nilai TIK pada orang dewasa yaitu berkisar 5-10 mmHg.2

Apapun jenis cedera otak, baik traumatik ataupun non traumatik, dapat menimbulkan edema otak, dan akhirnya meningkatkan TIK, yang jika tidak teratasi dapat menimbulkan cedera otak tambahan. Selama jalur cairan serebrospinal baik, awalnya edema otak biasanya menyebabkan pergeseran cairan

TINJAUAN PUSTAKA

Page 34: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Yunnie Trisnawati dkk. Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 249

serebrospinal, yang dapat dilihat dari CT scan dan MRI kepala. Gejala awal peningkatan TIK dapat ditandai dengan adanya iritabilitas, perubahan perilaku atau sakit kepala yang dapat mendahului timbulnya penurunan kesadaran.3

Peninggian TIK juga dapat terjadi pada trauma kepala berat. Trauma kepala berat bila dijumpai tingkat kesadaran yang dinilai dengan skala koma Glasgow bernilai ≤8.4,5

Cedera kepala merupakan cedera yang utamanya disebabkan gangguan mekanik yang sifatnya langsung terhadap jaringan otak dan merupakan sekunder dari berbagai macam proses serebral dan sistemik yang terjadi di masa pasca trauma.4

Di negara barat, kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak pada anak usia 5 dan 19 tahun. Di Amerika Serikat, cedera kepala dan cedera muka dijumpai 3,6% di IGD dan 3,3% diantaranya membutuhkan perawatan rawat inap di rumah sakit. Saat ini, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak yaitu berkisar 7000 anak tiap tahunnya.5

Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi ke otak.6 Pengobatan dimulai bila tekanan intrakranial mencapai 20 – 25 mmHg,7,8 diantaranya dengan melakukan hipotermia.

Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metoda proteksi otak pada beberapa keadaan klinis peningkatan tekanan intrakranial selama beberapa tahun ini. Hipotermia sedang (temperatur 32-34°C) pada hewan percobaan yang mengalami iskemik ataupun trauma kepala yang fokal maupun luas telah menunjukkan berkurangnya cedera otak dan memperbaiki perilaku.9

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Peningkatan TIK dapat terjadi pada beberapa penyakit neurologik. Hal ini dapat terjadi secara akut dalam beberapa jam, atau secara subakut atau kronis selama beberapa hari atau berbulan-bulan. Manisfestasi klinisnya bervariasi tergantung usia anak,

penyakit yang mendasari, dan progresivitas penyakitnya.6 Patofisiologi Peningkatan TIK1

Keadaan patologi jaringan otak yang berhubungan dengan TIK adalah edema serebri dan proses ruang desak. Edema serebri adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan otak, baik intraselular atau ekstraselular. Edema serebri dapat terjadi lokal atau umum. Edema serebri umum dapat menyebabkan peninggian tekanan intrakranial. Proses ruang desak disebabkan tumor, abses, hematoma dan malformasi arteriovena. Peningkatan TIK terjadi karena proses desak ruang: a. secara fisis menempati ruang intrakranial, b. menimbulkan edema serebri, c. membendung sirkulasi dan absorpsi CSS, d. meningkatkan aliran darah ke otak, dan e. menyumbat pembuluh darah balik vena.

Untuk memahami tekanan intrakranial perlu pemahaman mengenai apa yang disebut tekanan intrakranial normal dan peningkatan tekanan intrakranial. 1. Tekanan intrakranial normal Tekanan intrakranial normal berkisar

antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH2O pada orang dewasa. Tekanan intrakranial bayi adalah 40-100 mmH2O (3,0-7,5 mmHg). Pada keadaan normal TIK rata-rata tidak boleh melebihi 10 mmHg. TIK yang melebihi 15 mmHg harus dicari penyebabnya dan perlu diawasi lebih lanjut.

2. Peningkatan TIK Tekanan intrakranial 20-40 mmHg

dianggap sebagai TIK yang tinggi dan bila mencapai 40 mmHg atau lebih disebut sebagai hipertensi intrakranial yang berat. Para ahli menyetujui bahwa TIK melebihi 25 mmHg memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya.

Peningkatan Tekanan Intrakranial Akibat Trauma Kepala Berat

Klasifikasi trauma kepala bervariasi berdasarkan etiologinya. Klasifikasi yang rasional untuk digunakan adalah berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), dimana jika skor SKG 14-15 disebut trauma kepala ringan, skor SKG 9-13 disebut trauma kepala sedang dan skor SKG 3-8 disebut trauma kepala berat.10

Page 35: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 250

Peningkatan TIK pada anak penderita trauma kepala berat berhubungan dengan kesembuhannya, dimana dipengaruhi oleh nilai puncak TIK dan lama terjadinya peningkatan TIK.10 Studi yang dilakukan oleh Esparza (1985) mendapati bahwa peningkatan TIK yang berkepanjangan atau terlalu tingginya nilai TIK akan memberikan hasil akhir yang buruk, dimana pada studi ini didapati angka mortalitas mencapai 28% pada kelompok anak penderita trauma kepala berat dengan nilai TIK 20-40 mmHg, sedangkan pada kelompok dengan nilai TIK > 40 mmHg mencapai 100%.11

Pemantauan TIK perlu dilakukan pada bayi dan anak yang menderita cedera kepala berat. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, oksigenasi dan hantaran substrat metabolik dan mencegah terjadinya herniasi. Tekanan intrakranial dimonitor dan diterapi dengan pemasangan kateter serat optik ventrikel atau strain gauge transducer.10

Tujuan utama dalam tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial adalah menstabilkan tekanan darah dan oksigenasi jaringan dan mencegah kerusakan sekunder dengan menstabilkan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi ke otak.6 Bila didapati berulangnya peningkatan tekanan intrakranial setelah intervensi pertama, terapi yang lebih intensif harus dipertimbangkan. Prinsip yang digunakan adalah menurunkan metabolisme dan aktivitas dari otak (barbiturat dan hipotermi) serta membuka rongga intrakranial untuk menurunkan tekanan (kraniotomi).6,10 HIPOTERMIA

Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh ≤ 35°C. Beberapa literatur mengklasifikasikan hipotermia menjadi 3, yaitu hipotermia ringan (suhu tubuh berkisar 32°C - 35°C),12,13 hipotermia sedang (suhu tubuh berkisar 28°C - 32°C)14 dan hipotermia berat (suhu tubuh berkisar 15°C - 22°C).15 Prosedur pelaksanaan hipotermia pada umumnya adalah dengan melakukan pendinginan dengan cara mengalirkan cairan NaCl 0,9% dingin ke dalam lambung atau dengan spon yang berisi air atau memakai selimut pendingin.6 Lama proses ini bervariasi. Rewarming (penghangatan kembali) harus dilakukan secara hati-hati, kecepatannya tidak

melebihi 1°C per jam, dan harus dilakukan pemantauan tanda vital yang ketat serta atasi hipotensi yang dapat terjadi saat dilakukan penghangatan kembali.16 Salah satu hal yang harus dicegah adalah menggigil karena dapat menghambat proses pendinginan.6 Sejarah Hipotermia15

Metode hipotermia telah lama digunakan untuk keperluan pengobatan. Sebagai contoh, Hippokrates menggunakan membungkus luka pasien dengan menggunakan salju dan es untuk mengurangi perdarahan. Di awal abad ke-19, ahli bedah umum Napoleon, Baron Larrey mendapati bahwa prajurit terluka yang mengalami hipotermia dan diletakkan segera dekat perapian meninggal lebih cepat dibandingkan dengan prajurit yang tetap mengalami hipotermia. Laporan kasus pertama mengenai penggunaan hipotermia pada penderita trauma kepala berat dipublikasikan pada tahun 1945.

Pada tahun 1950-an, Rosomoff mendapati bahwa hipotermia memberikan efek yang menguntungkan pada anjing yang menderita iskemia otak fokal dan trauma kepala eksperimental yang diterapi dengan hipotermia sedang. Beberapa uji klinis hipotermia pada sejumlah kecil sampel penderita dilakukan pertama kali di tahun 1960-an oleh Rosomof dan Safar, dimana hampir semua penelitian ini menggunakan hipotermia berat. Namun penelitian ini tidak diteruskan karena efek samping, keuntungan-nya meragukan dan penatalaksanaannya belum jelas. Peranan Hipotermia pada Trauma Kepala Berat

Pertimbangan dalam melakukan hipotermia di ruang perawatan intensif, ada satu hal yang harus dipikirkan adalah menentukan antara hipotermia yang tidak dikontrol (spontan, accidental) dan hipotermia yang terkontrol (ditimbulkan dengan melakukan pendinginan secara buatan) yang digunakan untuk mencegah atau mengurangi berbagai bentuk kerusakan neuron.15 Menginduksi hipotermia dapat memberikan efek neuroprotektif pada pasien-pasien dengan kerusakan neuron.16

Cedera otak akibat trauma kepala menimbulkan cedera primer dan cedera

Page 36: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Yunnie Trisnawati dkk. Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 251

sekunder. Cedera primer berupa kerusakan langsung di parenkim otak, sedangkan cedera sekunder meliputi perubahan endogen di otak dan efek sekunder kejadian di luar otak (misal: hipotensi, hipoksemia). Berikut ini mekanisme kerja hipotermia yang memberikan efek neuroprotektif pada mekanisme dasar dari trauma kepala, yaitu:15,17

1. Iskemia pasca trauma Beberapa studi pada orang dewasa mendapati adanya penurunan aliran darah ke otak segera setelah terjadi cedera yang menimbulkan terjadinya iskemia pasca trauma.18,19 Hipoperfusi dini pasca trauma adalah hal yang lazim dijumpai, dan aliran darah ke otak kurang dari 20 mL/100 g/menit berhubungan dengan buruknya prognosis. Setelah 24 jam, aliran darah ini seringkali kembali normal.17 Pada keadaan normotermia, infark biasanya terjadi dalam 24 jam. Namun, efek hipotermia dari beberapa studi pada hewan-hewan percobaan menunjukkan cedera otak berupa infark yang luas maupun lokal tidak dijumpai jika terapi hipotermia segera dilakukan.18

2. Eksitoksisitas Eksitotoksisitas merupakan proses dimana glutamate dan excitatory amino acid lainnya menimbulkan kerusakan neuron. Glutamat adalah neurotransmitter yang sangat banyak dijumpai di otak, namun jika mencapai kadar toksik akan menimbulkan kematian neuron.17 Pada keadaan normal, produksi glutamate yang berlebihan ini akan segera diabsorbsi oleh terminal presinaps dan sel glial. Namun, proses re-uptake ini terganggu saat iskemia, sehingga terjadi peningkatan glutamate ekstraselular yang berlebihan.15

Hipotermia terbukti memperbaiki homeostasis ion dan menghambat proses eksitoksisitas yang terjadi saat iskemia dan reperfusi.19 Kaskade ini diawali dengan gangguan homeostasis Ca+ yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari setelah iskemia. Hal ini menunjukkan adanya batas waktu (48-72 jam terjadinya iskemia) untuk dilakukan intervensi seperti hipotermia.15

3. Kaskade apoptosis Sel yang mengalami iskemia dapat menjadi nekrosis, sembuh (total atau

parsial), atau memasuki jalur “kematian sel” yang dikenal dengan apoptosis.20 Apoptosis didefinisikan sebagai bentuk sel yang sudah mati, ditandai dengan sel yang mengkerut dan kondensasi inti, fragmentasi DNA internukleosomal, dan formasi badan apoptosis.17 Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel yang berakhir pada apoptosis sel dan mencegah disfungsi mitokondria.21 Proses ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma kepala.15

4. Edema serebral Iskemia menginduksi gangguan di sawar darah otak (blood brain barrier), yang menyebabkan terjadinya edema.15 Gangguan ini membutuhkan intervensi terapeutik seperti pemberian mannitol.22 Selama di ruang perawatan intensif anak (PICU), pembengkakan serebral terjadi dan mencapai puncak dalam waktu 24 sampai 72 jam setelah terjadi trauma, namun peningkatan TIK tetap dipantau selama 1 minggu atau lebih.17 Hipotermia mengurangi terjadinya gangguan pada sawar darah otak, memperbaiki permeabilitas vaskular sehingga mengurangi edema.23

Efek Terapeutik Hipotermia

Hipotermia ringan (suhu tubuh 33°C) yang dilakukan selama 8 jam pada orang dewasa penderita trauma kepala akut, tidak menunjukkan perbaikan Skala Koma Glasgow (SKG).24 Studi yang membandingkan anak penderita trauma kepala berat yang mendapatkan hipotermia sedang dengan kelompok yang mendapatkan normotermia, menunjukkan hasil tidak ada perbedaan dalam hal perbaikan fungsi neurologik dan dapat meningkatkan angka kematian.25 Hasil sebaliknya pada studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) didapati adanya perbaikan SKG pada pasien trauma kepala berat setelah dilakukan hipotermia (suhu tubuh 32°C - 33°C) selama 24 jam.26 Namun pada suatu studi systematic review didapati hipotermia sedang memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan lebih dari 48 jam dibandingkan 24 jam.27

Page 37: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 252

Studi yang memasukkan peningkatan TIK (TIK > 20 mmHg atau > 25 mmHg; nilai normal < 15 mmGg) ke dalam kriteria inklusi, dan penurunan TIK sebagai salah satu penilaian keefektifannya, studi yang dilakukan Marion, dkk (1997) dan Jiang JY, dkk (2000) menunjukkan hipotermia dapat menurunkan TIK.26,28

Lama pemberian hipotermia dan kecepatan ideal penghangatan kembali masih kontroversial. Namun pada studi yang melakukan hipotermia sedang dan penghangatan kembali dalam 24 jam setelah penghentian hipotermia berhubungan dengan penurunan risiko yang buruk terhadap fungsi neurologik.27

Metode hipotermia ini dapat menimbulkan efek samping. Efek samping yang dapat timbul berupa hipovolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, aritmia dan hipotensi. Clifton, dkk (2001) mendapati hipotensi sering terjadi pada kelompok yang mendapat hipotermia dibandingkan kelompok kontrol.24 Hipomagnesemia dapat terjadi pada keadaan hipotermia.29

RINGKASAN

Peningkatan TIK sering didapati trauma kepala berat. Peningkatan TIK > 20 mmHg telah mengindikasikan dibutuhkannya penanganan segera untuk menurunkan TIK tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan metode hipotermia. Beberapa studi menunjukkan bahwa metode hipotermia dapat menurunkan TIK, namun suhu, lama pemberian dan kecepatan dilakukannya penghangatan kembali yang ideal masih kontroversial. DAFTAR PUSTAKA 1. Ismael S. Peninggian tekanan intrakranial.

Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 60-77.

2. Tasker RC, Czosnyka M. Intracranial hypertension and brain monitoring. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 828-45.

3. Cohen BH, Andrefsky JC. Altered states of consciousness. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management child neurology. Edisi ke-3. London:BC Decker Inc; 2005. h. 551-61.

4. Dicarlo JV, Frankel LR. Neurologic stabilization. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 308-9.

5. Menkes JH, Ellenbogen RG. Postnatal trauma and injuries by physical agent. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 659-702.

6. Kotagal S, Giza CC. Increased intracranial pressure dan traumatic brain injury in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, penyunting. Pediatric neurology principles & practice. Edisi ke-3. Volume ke-2. St. Louis: Mosby; 1999. h. 945-52.

7. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73(suppl 1):i23-7.

8. Guha A. Management of traumatic brain injury: some current evidence and applications. Postgrad Med J 2004; 80:650-3.

9. Mimisawa H, Smith ML, Siesjo BJ. The effect of mild hyperthermia and hypothermia on brain damage. NEJM 1999; 32:234-9.

10. Adelson PD, Bratton LS, Carney NA, dkk. Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children and adolescents. Pediatr Crit Care Med 2003; 4:1-76

11. Esparza J, Portillo JM, Sarabia M. Outcome in children with severe head injuries. Childs Nerv Syst 1985; 1:109-114.

12. Bell TE, Kongable GL, Steinberg GK. Mild hypothermia: an alternative to deep hypothermia for achieving neuroprotection. J Cardiovasc Nurs 1998; 13(1):34-44.

Page 38: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Yunnie Trisnawati dkk. Tatalaksana Peningkatan Tekanan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 253

13. Harris OA, Colford JM, Good MC, Matz PG. The role of hypothermia in the management of severe brain injury, a meta-analysis. Arch Neurol 2002; 59:1077-83

14. Gupta AK, Al-Rawi PG, Hutchinson PJ, Kirkpatrick PJ. Effect of hypothermia on brain tissue oxygenation with severe head injury. Br J Anaesth 2002; 88:188-92.

15. Polderman KH. Application of therapeutic hypothermia in the ICU: oppurtunities and pitfall of a promising treatment modality, part 1: indications and evidence. Intensive Care Med 2004; 30:556-75.

16. Kochanek MP, Forbes ML, Ruppel R, Bayir H, Adelson PD, Clark RSB. Severe traumatic brain injury in infants and children. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 1595-1617.

17. Marion DW, Darby J, Yonas H. Acute regional cerebral blood flow changes caused by severe head injuries. J Neurosurg 1991; 74:407-14.

18. Auer RN. Non-pharmacologic (physiologic) neuroprotection in the treatment of brain ischemia. Ann NY Acad Sci 2001; 939:271-82.

19. Globus MY, Alonso O, Dietrich WD, Busto R, Ginsberg MD. Glutamate release and free radical production following brain injury: effects of post-traumatic hypothermia. J Neurochem 1995; 65:1704-11.

20. Bouma GJ, Muizelaar JP, Stringer WA. Ultra-early evaluation of regional cerebral blood flow in severely head-injured patients using xenon-enhanced computerized tomography. J Neurosurg 1992; 77:360-8.

21. Ning XH, Chen SH, Xu CS, Li L, Yao LY, Qian K, et al. Hypothermic protection of ischemic heart via alterations in apoptotic pathways as assessed by gene array analysis. J Appl Physiol 2002; 92:2200-7.

22. Chi OZ, Liu X, Weiss HR. Effects of mild hypothermia on blood brain barrier disruption during isoflurane or pentobarbital anesthesia. Anesthesiology 2001; 95:933-8.

23. Lavinio A, Timofeev L, Nortje J, Outtrim J, Smielewski P, Gupta A, et al. Cerebrovascular reactivity during hypothermia and rewarming. Br J Anesth 2007; 99:237-44.

24. Clifton GL, Miller AR, Choi SC, Levin HS, McCauley S, Smith KR, et al. Lack of effect of induction of hypothermia after acute brain injury. NEJM 2001; 334(8):556-62.

25. Hutchinson JS, Ward RE, Lacroix J, Hebert CP, Barnes MA, Bohn DJ, et al. Hypothermia therapy after traumatic brain injury in children. NEJM 2008; 358:2447-56.

26. Marion DW, Penrod LE, Kelsey SF, Obrist WD, Kochanek PM, Palmer AM, et al. Treatment of traumatic brain injury with moderate hypothermia. NEJM 1997; 336(8):540-6.

27. McIntyre LA, Fergusson DA, Hebert PC. Prolonged therapeutic hypothermia after traumatic brain injury in adults: a systematic review. JAMA 2003; 289:2992-99.

28. Jiang JY, Yu MK, Zhu C. Effect of longterm mild hypothermia therapy in patients with severe traumatic brain injury: 1- year follow up review of 87 cases. J Neurosurg 2000; 93:546-9.

29. Polderman KH, Peerdeman SM, Girbes ARJ. Hypophosphatemia and hypomagnesemia induced by cooling in patients with severe head injury. J Neurosurg 2001; 94:697-705.

Page 39: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 254

Surjit Singh Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum

Dr. Pirngadi Medan/FK-USU Medan

Abstrak: DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu defenisi yang diberikan sebagai prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol. Dalam melakukan proses identifikasi terdapat bermacam-macam metode dan teknik identifkasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Identifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Kata kunci: identifikasi, bencana massal, primary identifiers Abstract: DVI or Disaster Victim Identification is defined as a standard procedure for the identification of mass disaster victims scientifically and based on the Interpol Standard. In the process of identification there are various different methods available. Interpol has formulated Primary Identifiers consisting of Fingerprints, Dental Records and DNA and secondary identifiers comprising of Medical, Property And Photography. Keywords: identification, mass disaster, primary identifiers PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi. Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania) dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara.1,2

Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi

korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’ yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme.2,3

DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’. 2,3,4

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan

Page 40: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Surjit Singh Penatalaksanaan Identifikasi Korban...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 255

tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.4 IDENTIFIKASI KORBAN

Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia.

Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis.2,5,6

Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari (Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1, kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding.

Adanya perkembangan ilmu pengetahun, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai Identifikasi Medik.

Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan.2,7 METODOLOGI IDENTIFIKASI

Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang sederhana sampai yang rumit.8,9 a. Metode sederhana

1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)

2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.

3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.

b. Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari, 2)

Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi dan 5) Biologi.

Cara-cara ini sekarang berkembang

dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini

Page 41: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 256

didapatkan akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.

Metode ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara yang lebih rumit.

Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).

Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan data-data tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis, property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.3,4

Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran.

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan: 1) Memperoleh informasi melalui data gigi

dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: a. umur b. jenis kelamin c. ras d. golongan darah e. bentuk wajah f. DNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.3,8

2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain: misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban. Di samping ciri-ciri di atas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.3,6,8

c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi 2,6 Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 1) Korban tidak pernah membuat foto

semasa hidupnya. 2) Foto korban harus baik posisinya

maupun kwalitasnya. 3) Tengkorak yang ditemukan sudah

hancur dan tidak berbentuk lagi. 4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu

biaya tersendiri. Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu: a. Primer/utama

1) gigi geligi 2) sidik jari 3) DNA

b. Sekunder/pendukung 1) visual 2) properti 3) medik

Page 42: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Surjit Singh Penatalaksanaan Identifikasi Korban...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 257

SETELAH KORBAN TERIDENTIFIKASI Setelah korban teridentifikasi sedapat

mungkin dilakukan perawatan jenazah yang meliputi antara lain: a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan) c. Perawatan sesuai agama korban d. Memasukkan dalam peti jenazah

Kemudian jenazah diserahkan kepada

keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain: a. Tanggal dan jamnya b. Nomor registrasi jenazah c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap

penerima, hubungan keluarga dengan korban.

d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana

Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.10

Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.2,3

Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat berapa hal di bawah ini: Jumlah korban banyak dan kondisi buruk Lokasi kejadian sulit dicapai Memerlukan sumber daya pelaksanaan

dan dana yang cukup besar Bersifat lintas sektoral sehingga

memerlukan koordinasi yang baik.

Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi dan transportasi.

Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah

koordinasi Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang telah terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak dan Satlak.10

Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.

Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk dimasukkan dalam kriteria korban massal.2,3 KESIMPULAN

Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan akurasi indentifikasi korban mati atau hidup. Tantangan yang dihadapi para pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila ada bencana massal, karena kuantitas korban makin meningkat.

Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam prosesnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Asep M. Himpunan Peraturan Perundang-

Undangan Penanggulangan Bencana. Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-6

2. Eddy S. DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop, Bandung; 2006.

Page 43: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 258

3. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.1–23

4. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide, GB Version: 1998

5. Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan Ramadan; 2007. h.178-203

6. Dikshit PC. Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi: Peepee Publishers and Distributors Ltd.; 2007. h.47–88

7. Mason JK. Forensic Medicine for Lawyers. Great Britain: Oxford University Press; 1983. h.39–42

8. Franklin CA. Modi’s Text Book of Medical Jurisprudenc and Toxicology. Bombay: N.M. Tripathi Private Limited; 1988. h.29-68

9. Bernard K. Forensic Pathology. New York: Oxford University Press Inc; 1996. h.96–105

10. Panduan Umum Pelatihan Penaggulangan Bencana Terpadu di Provinsi Sumatera Utara: Pemprovsu/Poldasu; 2008

Page 44: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 259

Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Lekosit dan Hitung Jenis Lekosit pada Orang Tidak Terlatih

Evi Irianti*, Dedi Ardinata**

*Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan (POLTEKKES) Dep. Kesehatan RI, Medan **Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Kapasitas kemampuan fisik dapat diperbaiki dengan melakukan latihan sesuai intensitas, durasi dan frekuensi. Latihan dapat meningkatkan sistem imun dan mempengaruhi lekosit. Jumlah lekosit perifer dapat menjadi sumber informasi untuk diagnostik dan prognosa adanya gambaran kerusakan organ dan pemulihan setelah latihan fisik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh aktivitas fisik sedang terhadap jumlah hitung dan jenis sel lekosit. Penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan pretest-posttest group design. Subyek penelitian: wanita, usia 18 – 20 tahun, jumlah 15 orang. Subyek melakukan naik turun bangku (NTB) sampai mencapai target denyut nadi yaitu 80% denyut nadi maksimal sebagai aktivitas fisik intensitas sedang (AFS). Pemeriksaan hitung serta jenis sel lekosit darah perifer dilakukan sebelum, segera setelah, kemudian 30 menit dan 60 menit setelah NTB. Didapatkan peningkatan rata-rata hitung lekosit dari sebelum AFS dengan segera setelah dan 30 menit setelah AFS (berurutan: 6453.33±373.14; 7433.33±1453,89; 6686.67±1217.06) tetapi tidak signifikan, namun pada 60 menit setelah AFS didapatkan penurunan rata-rata hitung lekosit (6153.33±1120.50) dari sebelum AFS yang tidak signifikan. Terjadi penurunan rata-rata persentase netrofil dari sebelum AFS dan segera setelah AFS (64.80±4.75 vs 54.20±8.19) secara signifikan. Eosinofil meningkat dari sebelum AFS dengan segera setelah AFS, 30 dan 60 menit setelah AFS (berurutan:1.93±1.43; 2.00±1.13; 2.13±1.38; 2.00±1.41) tetapi tidak signifikan. Limfosit meningkat dari sebelum AFS dan segera setelah AFS (26.87±4.55 vs 33±5.59) secara signifikan. Monosit meningkat dari sebelum AFS dan segera setelah AFS (7.06±1.71 vs 9.60±2.69) secara signifikan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa AFS mempengaruhi perubahan jumlah hitung dan hitung jenis sel lekosit (kecuali basofil) pada subyek penelitian, namun pada 30 dan 60 menit setelah AFS rata-rata nilai lekosit hampir mendekati nilai sebelum AFS. Kata kunci: Lekosit, Aktivitas fisik sedang Abstract: The capacity of physical ability can be improved through doing an exercise which is according to the intensity, duration and frequency. Exercise can improve the immunity system and influence the leucocyte. The number of pheripheral leucocyte can be the resource of information for the diagnostics and prognose the description of organ damage and the recovery after physical training. The purpose of this study to investigate the influence of moderate physical activity (MPA) to leucocyte count and diffrential leucocyte. This study is experimental with pretest-posttest group design. The subjects for this study is a women who are between 18–20 years old, they were 15 person. The subjects of study were given moderate intensity of physical activity in the form of stepping up and down test until the reached the targeted heartbeats which is 80% of the maximum heartbeats. The physical activity was done for a moment. Before doing the activity, the pheripheral blood was taken once, then the blood was taken again soon, then 30 to 60 minutes after it, to examine leucocyte count and diffrential leucocyte. The result of study reveals that there is an increasing a value of the average leucocyte count before MPA with soon after MPA, 30 minutes after MPA (6455.33±373.14; 7433.33±1453.89; 6686.67±1217.06) but not significant, 60 minutes after MPA there is decreasing a value of the average leucocyte count (6153.33±1120.50) than before MPA but not significant. There is a significant decreasing a value of the average neutrofil before MPA and soon after MPA (64.80±4.75 vs 54.20± 8.19). An increasing eosinofil before MPA with soon after MPA, 30 and

Page 45: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 260

60 minutes after MPA (1.93±1.4; 2.00±1.13; 2.13±1.38; 2.00 ±1.41) but not significant. Limfosit significantly increased before MPA and soon after MPA (26.87±4.55 vs 33.00±5.59). Monosit significantly increased before MPA and soon after MPA (7.06 ±1.71 vs 9.60 ±2.69). Based on the result of study, it can be concluded that MPA is change leucocyte count and differential leucocyte (excepted basofil), but 30 and 60 minutes after MPA a value of the average total leucocyte almost go up to a value before MPA. Keywords: leucocyte, moderate physical activity PENDAHULUAN

Manfaat latihan fisik bila dilakukan dalam keadaan sehat secara teratur dan menyenangkan, dengan intensitas latihan ringan sampai sedang akan meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh. Latihan aerobik yang demikian akan memperbaiki dan memperlambat proses penurunan fungsi organ tubuh, serta dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi. Latihan fisik dengan intensitas maksimal dan melelahkan, dilapor-kan justru dapat menyebabkan gangguan imunitas. Atlet yang berlatih dengan intensitas latihan yang maksimal dan melelahkan untuk menghadapi suatu pertandingan, sering tidak dapat melanjutkan ke pertandingan berikutnya karena sakit atau cedera.1

Kapasitas kemampuan fisik dapat diperbaiki dengan melakukan latihan sesuai intensitas, durasi dan frekuensi. Latihan juga dapat meningkatkan sistem imun pada orang dewasa dan mempengaruhi lekosit. Lekosit berperan dalam sistem pertahanan tubuh. Jumlah lekosit perifer dapat menjadi sumber informasi untuk diagnostik dan prognosa serta gambaran adanya kerusakan organ dan pemulihan setelah latihan fisik yang berat. Jumlah lekosit sebanding dengan intensitas kerja dan durasi latihan, tidak bergantung pada jenis kelamin dan tingkat kebugaran subjek.2

Penelitian lain yang dilakukan pada laki-laki tidak terlatih yang dibagi atas dua

kelompok yaitu kelompok I dengan latihan lari pada treadmill selama 2-3 menit dan kecepatan sekitar 7.5–9 Km/jam. Kelompok II dengan berjalan selama 7–10 menit, kecepatan sekitar 5–6 Km/jam, ditemukan adanya peningkatan lekosit pada kedua kelompok secara signifikan segera setelah latihan dibandingkan sebelum latihan. Setelah 30 menit masa pemulihan, jumlah lekosit menurun, namun bila dibandingkan dengan sebelum latihan, maka jumlah lekosit pada masa pemulihan jauh lebih tinggi.3

Penelitian pada atlet dan kontrol (bukan atlet) ditemukan adanya peningkatan lekosit setelah berlari 1 – 1.5 jam, akan tetapi pada kontrol peningkatan lekosit setelah latihan sangat signifikan. Dan setelah 3 jam pada kedua kelompok ini, jumlah lekosit masih lebih tinggi pada kontrol dengan kenaikan sekitar 211% - 131% dari baselinenya. Konsentrasi neutrofil masih tinggi setelah 3 jam pada kontrol dengan peningkatannya sekitar 258% dibandingkan dengan atlet yang peningkatannya hanya sekitar 142%. Monosit juga meningkat setelah 3 jam sehabis berlari pada kontrol, dengan peningkatan 171% dari baselinenya, namun pada atlet tidak dapat dideteksi lagi. Sementara itu, 3 jam setelah berlari, perubahan limfosit pada kedua kelompok ini tidak signifikan.4 Untuk lebih jelas dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh latihan fisik terhadap hitung lekosit dan hitung jenis lekosit

Nama peneliti Subjek Jenis latihan Efek Sodique, 2000 Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Pr: Lekositosis, limfositosis,eosipenia,

neutropenia, monositopenia. Lk: lekositosis, limfositosis.

Ali Shaukat, 2000 Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Lk:lekositosis Risøy et al, 2003 Atlet Bukan atlet Latihan fisik berat Lk:Lekositosis,

Lk:lekositosis, neutrofilia dan monositosis.

Page 46: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Evi Irianti dkk. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 261

Berdasarkan data yang dikemukakan di atas diketahui bahwa dengan latihan berat menyebabkan perubahan lekosit, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh aktivitas fisik sedang terhadap jumlah hitung lekosit dan hitung jenis sel lekosit. Dalam penelitian ini, aktivitas fisik sedang akan dilakukan dengan naik turun bangku (NTB). NTB merupakan salah satu tes untuk mengetahui kesanggupan badan seseorang yang hanya yang hanya dapat diukur apabila reaksi-reaksi faal terhadap kerja itu dapat diketahui. Dalam kapasitas kerja otot, kemampuan tubuh untuk penyediaan kapasitas pemasukan oksigen maksimum merupakan hal yang pokok. Bila kerja bertambah berat, keperluan oksigen otot-otot yang bekerja aktif bertambah pula sehingga dapat meningkatkan produksi radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan mengakibatkan terjadinya peningkatan lekosit yang merupakan respon protektif terhadap stress sebagai akibat aktivitas yang berat. 5,6 Ketinggian bangku yang dipakai bervariasi antara 15 – 50 cm. Keuntungan dari uji NTB ini adalah peralatan yang dibutuhkan murah, mudah dipindahkan, pengukuran lebih sederhana.7

Dari data yang telah disebutkan, diketahui bahwa latihan yang berat dapat mengakibatkan terjadi perubahan hematologi secara umum, maka dalam hal ini peneliti tertarik bagaimana perubahan lekosit pada aktivitas fisik sedang, apakah terjadi hal yang sama atau sebaliknya bila dilakukan pada orang yang tidak terlatih. MATERI DAN CARA

Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest-posttest group design. Waktu dari bulan Mei hingga Agustus 2008 terhadap 15 orang mahasiswi kebidanan Poli Tehnik Kesehatan (Poltekkes) Medan berlokasi di Jl. dr. Mansyur berjumlah 15 (lima belas) orang sehat, tidak sedang haid, tidak hamil dan tidak teratur berolahraga setidaknya 4 bulan sebelum penelitian. Seluruh subyek diberikan penjelasan tentang tujuan, prosedur, manfaat serta risiko dalam mengikuti penelitian ini kemudian menandatangani informed concent.

Protokol NTB: - Sebelum melakukan kegiatan penelitian

yaitu naik turun bangku, terlebih dulu subyek dikenalkan dengan alat penelitian yaitu berupa bangku setinggi 40 cm dan diberitahu tahu cara melakukan NTB dengan mengikuti irama metronom lambat (largettho).

- Pulse rate meter dipasangkan di lengan subyek untuk menentukan target denyut nadi yang harus dicapai 80 % dari denyut nadi maksimal.

- Setelah itu stop watch dijalankan, untuk mulai menghitung waktu yang diperlukan untuk keseluruhan kegiatan NTB dengan irama metronom lambat sampai denyut nadi mencapai target yang telah ditentukan.

- Setelah tercapai, pertahankan selama 2–3 menit maka hasil dari denyut nadi tersebut yang menjadi target denyut nadi.

Pemeriksaan Hitung Lekosit dan Hitung Jenis Lekosit

Darah diambil dari kapiler sebelum, segera setelah, 30 menit setelah dan 60 menit setelah NTB saat subyek istirahat duduk di kursi. Cara pengambilan segera dan setelah NTB tidak berbeda dengan cara pengambilan sebelum kegiatan. Hitung Lekosit Alat: Pipet lekosit (20 ul)/pipet Sahli atau pipet semi otomatis, kamar hitung Improved Neubauer, Pipet pasteur, Mikroskop dengan lensa obyektif 10 x, counter tally. Reagensia: Larutan Turk, disaring sebelum dipakai. Cara Kerja: 1,3,7,9 - Pipetlah 0.38 ml larutan Turk dengan

pipet berskala. Masukkan dalam wadah kecil dari kaca/plastik.

- Pipetlah darah yang akan diperiksa dengan pipet lekosit sebanyak 0.5 ul.

- Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet dengan kertas saring/tissue secara cepat.

- Masukkan ujung pipet tersebut ke dalam wadah yang berisi larutan Turk. Bilaslah pipet tersebut dengan larutan Turk sebanyak 3 kali dengan cara mengisap larutan turk sampai mencapai angka 11.

Page 47: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 262

Kemudian wadah ditutup dengan karet penutup/kertas parafilm dan kocok dengan membolak-balik wadah minimal 2 menit.

- Ambil kamar hitung yang bersih, kering dan letakkan dengan kaca penutup terpasang mendatar di atasnya.

- Dengan pipet Pasteur teteskan 3 – 4 tetes larutan dengan cara menyentuhkan ujung pipet pada pinggir kaca penutup. Biarkan kamar terisi secara perlahan-lahan dengan sendirinya.

- Meja mikroskop harus dalam posisi horizontal. Turunkan lensa atau kecilkan diaphragma. Aturlah fokus terlebih dahulu dengan memakai lensa obyektif 10 x sampai garis bagi dalam bidang besar tampak jelas.

- Hitung semua lekosit yang terdapat dalam 4 bidang besar pada sudut-sudut seluruh permukaan

Hitung Jenis Lekosit Alat: mikroskop, kaca objek, differential counter, pengatur waktu (timer), rak pengecatan, pinsil kaca, rak pengiring, minyak imersi, kaca penggeser. Reagen: larutan giemsa dan larutan penyangga dengan pH 6.4. Cara Kerja: Pembuatan Sediaan Apus Darah - Teteskan satu tetes darah di atas kaca

objek + 2 cm dari tepi. Letakkan kaca tersebut di atas meja dengan darah di sebelah kanan.

- Dengan tangan kanan letakkan kaca penggeser di sebelah kiri tetesan darah.

- Gerakkan ke kanan hingga menyentuh tetesan tersebut.

- Biarkan darah menempel dan menyebar rata di pinggir kaca penggeser.

- Segera geserkan kaca tersebut ke kiri dengan sudut 300 -450. Jangan menekan kaca penggeser tersebut ke bawah.

- Biarkan sediaan tersebut kering di udara, lalu tulislah nomor subjek, tanggal, pada bagian tebal dari sediaan dengan pinsil kaca.

- Panjang apusan + 1/2 – 2/3 panjang kaca. - Apusan makin ke ujung makin tipis.

Pewarnaan Sediaan Apus - Letakkan sediaan yang akan diwarnai pada

rak pewarna dengan lapisan darah di atas. Kemudian teteskan kurang lebih 20 tetes larutan giemsa sampai seluruh sediaan tertutup dan biarkan selama 2 menit.

- Tanpa membuang larutan giemsa, teteskan sama banyaknya larutan penyangga ke atas sediaan dan biarkan 5 menit, sambil ditiup sekali-kali agar merata.

- Tanpa membuang larutan pewarna dan penyangga, siramlah sediaan itu dengan akuades sampai bersih.

- Taruhlah sediaan dalam sikap lurus pada rak pengering. Biarkan kering pada suhu kamar.

- Perhitungan. Pilih daerah dimana lekosit dan eritrosit

tersebar merata dan jelas, yaitu pada bagian hapusan yang tipis dengan lensa objektif 10 kali. Periksa dan hitung dengan lensa objektif 45 kali, setelah sediaan ditetesi dengan minyak immersi dan ditutup dengan kaca penutup.

Perhitungan dengan menggunakan differential counter.

Golongkan dan catat tiap sel berinti pada daerah yang dilalui sampai genap 100 sel. Kemudian masing-masing dibuat persentasenya.

Data-data hasil hitung dan hitung jenis

lekosit sebelum, segera setelah, 30 menit setelah, dan 60 menit setelah NTB dikumpulkan dan ditabulasi. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan uji Anova dengan α = 0.05 untuk melihat perbedaan mean jumlah hitung lekosit dan hitung jenis sel lekosit antara kelompok perlakuan. Uji Anova dilakukan bila data berdistribusi normal, dan akan dilanjutkan dengan uji LSD. Jika data tidak berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji non parametrik yaitu Kruskal Wallis.

HASIL

Diperoleh sebanyak 15 dari seluruh populasi mahasiswi sebanyak 75 orang sebagai subyek penelitian dengan umur 18 – 20 tahun.

Page 48: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Evi Irianti dkk. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 263

Tabel 2. Karakteristik subyek penelitian aktivitas intensitas sedang

No Variabel Mean Minimum Maksimum 1. Umur (tahun) 18.27 18 19 2. Tinggi badan (cm) 155.60 153 160 3. Berat badan (kg) 53.05 50 58 4. Pulse (kali/menit) 79.33 74 80 5. Tekanan darah (mmHg) 107.47/70 100/60 120/80

n = 15 (wanita)

Pada subyek diberikan perlakuan untuk melakukan kegiatan fisik intensitas sedang dengan cara naik turun bangku (NTB) setinggi 40 cm. Pada saat subyek melakukan NTB, rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai target pulse yaitu 80% dari denyut nadi maksimal sekitar 6 menit 7 detik. Setelah denyut nadi tercapai dipertahankan sekitar 1 – 2 menit, bila denyut nadi tidak naik atau turun lagi, maka denyut nadi tersebutlah

diambil sebagai target pulse seperti yang terlihat pada Tabel 4. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Jumlah Hitung Lekosit

Sebelum dan setelah melakukan kegiatan NTB, diambil darah kapiler pada ujung jari tangan subyek, berikut tabel dari hasil pemeriksaan lekosit.

Tabel 3. Pencapaian target pulse berdasarkan umur dan waktu saat melakukan NTB

No. Umur (tahun) Target Pulse (kali/menit) Waktu NTB (menit) 1 19 160 6.13 2 18 161 5.15 3 18 161 6.5 4 18 161 5 5 18 161 6.1 6 18 161 5.2 7 18 161 6.1 8 19 160 6.15 9 19 160 5.15 10 18 161 5.15 11 19 160 5.5 12 18 161 6.1 13 18 161 5.2 14 18 161 6.3 15 18 161 5.35

Tabel 4. Distribusi jumlah hitung lekosit (/mm3 darah) subyek penelitian (n = 15) dengan aktivitas fisik sedang

setelah NTB No. sebelum NTB segera 30 menit 60 menit 1 7800 8600 6600 5200 2 9800 10200 9000 7000 3 6600 7800 5200 8000 4 6600 7600 7000 6800 5 5000 5400 4600 4000 6 5000 6000 5400 5000 7 7000 9000 8000 7000 8 4500 5200 5000 5000 9 7200 8200 7400 6600

10 6800 7200 6800 5800 11 6000 7600 7000 6800 12 5000 5600 7000 5000 13 7500 9000 8000 7500 14 6500 7000 6800 6600 15 5500 7100 6500 6000

rata-rata 6453.33±7433.33 7433.33±6153.33 6686.67±1453.89 6153.33±1120.50 Keterangan: rata-rata±SD, satuan dalam/mm3 darah

Page 49: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 264

Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hasil Hitung Jenis Sel Lekosit

Tabel 5. Distribusi presentasi hitung Jenis Lekosit subyek dengan aktivitas fisik sedang

setelah NTB Jenis Lekosit Sebelum NTB Segera 30 mnt 60 mnt

Netrofil 64.80±4.75 54.20±8.19* 62.93±3.58** 63.67±3.44 Eosinofil 1.93±1.44 2.00±1.13 2.13±1.36 2.00±1.41 Basofil 0 0 0 0 Limfosit 26.87±4.55 33±5.59 27.60±2.99 26.93±3.65 Monosit 7.07±1.71 9.60±2.69 7.73±1.58 7.27±1.58 Netrofil 64.80±4.75 54.20±8.19 62.93±3.58 63.67±3.44

Keterangan: rata-rata±SD, satuan dalam %, *p<0.05 vs sebelum NTB, **p<0.05 vs segera setelah NTB

Netrofil Didapatkan penurunan rata-rata

presentasi netrofil sebelum dan segera setelah NTB (64.80±4.75 vs 54.20±8.19) yang signifikan (p = 0.000), kemudian mengalami peningkatan yang signifikan (p = 0.000) pada 30 menit setelah NTB (62.93±3.58) dibanding rata-rata presentasi netrofil segera setelah NTB. Eosinofil

Didapatkan peningkatan rata-rata presentasi eosinofil pada segera setelah NTB dan 30 menit setelah NTB (berurutan: 2.00±1.13 dan 2.13±1.36) dibanding rata-rata presentasi eosinofil sebelum NTB (1.93±1.44). Pada 60 menit setelah NTB, rata-rata presentasi eosinofil mengalami penurunan (2.00±1.41). Uji statistik menunjukkan bahwa perubahan rata-rata presentasi eosinofil yang terjadi akibat NTB tidak signifikan. Basofil

Rata-rata hitung jenis basofil, tidak mengalami perubahan sebelum NTB maupun setelah NTB sehingga variabel tersebut tidak dapat dilakukan analisis statistik. Limfosit.

Rata-rata persentase limfosit meningkat segera setelah NTB dibandingkan dengan sebelum NTB (33±5.59 vs 26.87±4.55), kemudian mengalami penurunan 30 menit dan 60 menit setelah NTB (berurutan: 27.60±2.99 dan 26.93±3.65). Uji statistik menunjukkan bahwa perubahan rata-rata presentasi limfosit yang terjadi akibat NTB tidak signifikan.

Monosit Rata-rata persentase monosit meningkat

secara signifikan (p = 0.02) segera setelah NTB dibandingkan dengan sebelum NTB (7.07±1.71 vs 9.60±2.69), kemudian mengalami penurunan 30 menit dan 60 menit setelah NTB (berurutan: 7.73±1.58 dan 7.27±1.58). Uji statistik menunjukkan bahwa penurunan rata-rata presentasi limfosit hingga 60 menit setelah NTB tidak signifikan. PEMBAHASAN Lekosit

Perubahan rata-rata hitung lekosit yang tidak signifikan akibat NTB, hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilaporkan bahwa latihan fisik intensitas sedang menimbulkan perubahan konsentrasi sel lebih rendah daripada latihan fisik intensitas berat.3 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh orang terlatih diketahui terjadi peningkataan lekosit yang signifikan segera setelah melakukan latihan.8,9 Penelitian lain menemukan bahwa orang tidak terlatih yang berjalan selama 6 (enam) menit dengan intensitas sedang didapatkan peningkatan hitung lekosit (hampir lekositosis) secara signifikan karena peningkatan sirkulasi sel yang terinflamasi, dan pada saat masa pemulihan (tidak disebutkan berapa lama) maka jumlah hitung lekosit menurun secara signifikan.10 Peningkatan lekosit segera setelah latihan terjadi karena epinephrine dan norepinephrine yang dilepaskan ke dalam plasma menyebabkan marked pengaruh fisiologi pada heart rate dan vasomotor tone yang akhirnya membentuk pola aliran darah melalui jaringan limpa dan sirkulasi lekosit. Katekolamin meningkat secara linear dengan durasi dan

Page 50: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Evi Irianti dkk. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 265

intensitas latihan, namun tergantung pada individunya.10 Dalam hal ini berkaitan dengan pendapat peneliti lain bahwa perubahan lekosit dalam darah setelah latihan berhubungan dengan perubahan hormon bukan jaringan otot.11

Pada pengukuran 30 menit setelah NTB didapatkan rata-rata hitung lekosit masih lebih tinggi dari sebelum NTB, namun peningkatan tersebut tidak signifikan. Walaupun rata-rata hitung lekosit 30 menit setelah NTB lebih rendah dari pengukuran segera setelah NTB. Hal ini sejalan dengan penelitian Ali S (2000) yang dilaporkan bahwa setelah 30 menit masa istirahat jumlah hitung lekosit menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan pengukuran kedua (segera setelah latihan), namun demikian jumlah hitung lekosit masih tetap lebih tinggi dari sebelum melakukan latihan.

Berbeda dengan penelitian lain didapatkan tetap terjadi peningkatan lekosit yang signifikan setelah 1 jam melakukan latihan.8 Namun pada penelitian ini karena aktivitas yang diberikan merupakan kegiatan sesaat, dilakukan oleh orang tidak terlatih, maka terlihat dari hasil yang didapat setelah 1 jam pemulihan lekosit dapat kembali normal bahkan di bawah sebelum beraktivitas.

Peningkatan lekosit oleh adanya suatu latihan/aktivitas dalam hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya diawali oleh karena adanya mediasi dari katekolamin, kortisol, demarginasi, neuron transmitters dan peptida atau purine chemical transmitters. Peningkatan lekosit hitung setelah aktivitas/latihan dikarenakan banyaknya lekosit yang mengikut (masuk) ke dalam dinding pembuluh darah (endothelium) dengan cara merembes (diapedesis) ke dalam sirkulasi dari penyimpanannya (cadangan) secara tiba-tiba.2 Peneliti lain berpendapat bahwa aktivitas fisik yang berat dan melelahkan, memicu jumlah radikal bebas melebihi kemampuan kapasitas sistem pertahanan antioksidan, dan ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan stres oksidatif yang pada akhirnya dapat merangsang aktivitas sel lekosit sehingga memicu terjadinya peningkatan jumlah lekosit melebihi jumlah base line hitung lekosit.12

Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang Terhadap Hitung Jenis Sel Lekosit Netrofil

Rata-rata terjadi penurunan persentase netrofil jika dibandingkan sebelum melakukan NTB meskipun penurunannya tidak di bawah nilai base line. Pada 30 menit setelah NTB persentase netrofil meningkat dari pengukuran segera setelah NTB secara signifikan, namun nilainya masih lebih rendah dari sebelum NTB, walaupun penurunannya tidak signifikan. Demikian juga pada 60 menit setelah NTB persentase netrofil lebih tinggi dari 30 menit setelah NTB, meskipun demikian peningkatannya tidak signifikan, akan tetapi jika dibandingkan dengan segera setelah NTB peningkatannya signifikan, tetapi masih lebih rendah dari sebelum NTB tetapi tidak signifikan (rata-rata persentasenya hampir mendekati rata-rata persentase netrofil sebelum NTB). Sejalan dengan penelitian lain didapatkan bahwa terjadi penurunan netrofil (neutropenia) segera setelah latihan yang berat pada perempuan secara signifikan.2 Dalam hal ini terjadinya neutropenia sangat tergantung pada berat dan durasi dari latihan tersebut, karena latihan yang keras dan berat, dapat mengakibatkan otot (skeletal) mengalami anaerobic respiratori dan akan menghasilkan akumulasi asam laktat di dalam otot. Asam laktat di dalam otot ini akan mengiritasi netrofil bekerja sebagai respon rangsangan terhadap suatu inflamasi.2 Bertolak belakang dengan penelitian lain ditemukan adanya peningkatan netrofil setelah latihan berat (pada perempuan) karena meningkatnya konsentrasi sirkulasi kortisol.13 Eosinofil

Peningkatan rata-rata persentase eosinofil sebelum aktivitas dan setelah aktivitas walaupun peningkatannya tidak melebihi dari baseline, namun dari hasil uji statistik peningkatan yang terjadi tidak signifikan.

Dilaporkan pada penelitian lain bahwa terjadi penurunan eosinofil akibat diberikan latihan yang berat. Hal ini disebabkan adanya stress akibat aktivitas/latihan mengakibatkan terjadinya peningkatan sekresi hormon dari korteks adrenal dan salah satu produksi yang dihasilkan oleh hormon ini mengakibatkan penurunan jumlah eosinofil dalam darah atau eosinopenia walaupun hal ini masih

Page 51: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 266

kontradiktif karena ada pendapat lain yang menyatakan terjadinya eosinopenia relatif berhubungan dengan adanya marked limfositosis.2

Pada penelitian ini tidak terjadi penurunan eosinofil, hal ini dikarenakan aktivitas yang diberikan adalah sedang dan sesaat, sehingga tidak sampai menimbulkan stres karena latihan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa stes karena latihan dapat menimbulkan lekositosis, sehingga terjadi limfositosis yang dapat menyebabkan penurunan eosinofil. Sehubungan dengan penelitian ini, tidak didapatkan limfositosis (peningkatan limfosit tidak mencapai di atas nilai normal 20 – 40%), akan tetapi sampai saat ini belum diketahui dengan jelas penyebab terjadinya peningkatan eosinofil, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mekanisme terjadinya peningkatan eosinofil tersebut. Basofil

Seperti diketahui bahwa fungsi sel basofil dalam darah mirip dengan sel mast besar yang sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, namun pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perubahan jumlah sel basofil sebelum kegiatan NTB maupun setelah NTB. Hal ini diduga karena sel basofil tidak berperan sebagai makropag pada suatu respon inflamasi, sehingga tidak berpengaruh terhadap aktivitas yang dilakukan. Kaitannya dengan penelitian ini belum diketahui secara pasti mekanisme tidak adanya perubahan persentase basofil sebelum dan setelah NTB, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Limfosit

Berdasarkan hasil penelitian di atas di dapatkan rata-rata persentase limfosit segera setelah NTB meningkat dari sebelum NTB secara signifikan, meskipun tidak sampai di atas nilai base line. Hal ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan bahwa didapatkan peningkatan limfosit yang signifikan segera setelah melakukan latihan. Pada pengukuran 30 menit setelah NTB, rata-rata persentase limfosit menurun secara signifikan dari pengukuran segera setelah NTB. Namun tetap lebih tinggi dari sebelum NTB, meskipun peningkatannya tidak signifikan. Pada 60 menit setelah NTB rata-rata persentase limfosit masih lebih tinggi dari

sebelum NTB meskipun peningkatannya tidak signifikan, namun pada pengukuran segera setelah NTB terjadi penurunan yang signifikan, walaupun jauh lebih menurun dari 30 menit setelah NTB tetapi tidak signifikan). Hal ini sejalan dengan penelitian lain yang didapatkan bahwa setelah 60 menit melakukan latihan limfosit masih tetap tinggi.

Hal ini sejalan dengan yang telah dikemukakan oleh peneliti lain bahwa pada latihan sedang dengan VO2 max sekitar 50%, limfosit tidak menurun selama masa pemulihan dalam 30 menit setelah melakukan latihan.4 Penelitian lain didapatkan bahwa limfositosis terjadi setelah latihan berat, dan peningkatannya signifikan.2 Pendapat lain menyatakan latihan fisik yang berat dan lama mengakibatkan terjadinya penurunan limfosit. Namun sebaliknya, pada penelitian ini didapatkan bahwa aktivitas intensitas sedang dapat meningkatkan sistem imun, menurunkan kerentanan terhadap penyakit yang dapat diamati dengan bertambahnya jumlah sel limfosit di dalam darah dalam batas normal.14 Monosit

Peningkatan rata-rata persentase monosit setelah NTB. Pada 30 menit setelah NTB terjadi penurunan yang signifikan dari pengukuran segera setelah NTB, walaupun rata-rata persentasenya masih lebih tinggi dari sebelum NTB, tetapi peningkatannya tidak signifikan. Pada 60 menit setelah NTB terjadi penurunan rata-rata persentase monosit dari 30 menit setelah NTB, tetapi penurunan tersebut tidak signifikan. Jika dibandingkan dengan segera setelah NTB penurunan tersebut signifikan, meskipun persentasenya masih lebih tinggi dari sebelum NTB tetapi peningkatanya tidak signifikan.

Hal ini sejalan dengan penelitian lain yang didapatkan bahwa pada latihan berat terjadi peningkatan konsentrasi monosit sampai 171% dari base line pada orang yang tidak terlatih.4 Teori lain menyatakan bahwa meningkatnya monosit akibat dari respon akut latihan disebabkan adanya perubahan hemodinamik pembuluh darah atau perubahan interaksi monosit di dalam sel endotelial yang dimediasi oleh katekolamin.

Page 52: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Evi Irianti dkk. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 267

KESIMPULAN Dari penelitian ini disimpulkan bahwa

aktivitas fisik sedang: − Meningkatkan rata-rata hitung lekosit yang

tidak signifikan. − Menurunkan rata-rata persentase netrofil

segera setelah NTB yang signifikan. − Memberikan pengaruh terhadap

perubahan rata-rata persentase eosinofil dan basofil yang tidak signifikan.

− Meningkatkan rata-rata persentase limfosit segera setelah NTB secara signifikan.

− Meningkatkan rata-rata persentase monosit segera setelah NTB secara signifikan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hartanti, M., H.Pardede & R.Kodariah,

Kadar Imunoglobulin A dalam air liur atlet pasca pertandingan. Majalah Kedokteran Indonesia, 22 ed., 1999, 21-24

2. Sodique, N. O., Enyikwola, O. & Ekani, A. U., Exercise induced leucoytosis in some healthy adult N. Afr.J.Biomed. Re.s, 2000, 3, 85-88.

3. Ali, S., Farman, U. & Habib, U. Effects of Intensity and Duration of Exercise on Total Leukocyte Count in Normal Subject. DI Khan, Pakistan, Department of Physiology, Gomal Medical College, 2008, 60

4. Risoy, B. A., Truls, R., H.Jostein, T.L.Knut, Kjersti, B., Astrid, K., Else, M. S. & Haakon, B. B., Delayed leukocytosis after hard strength and endurance exercise: Aspects of regulatory mechanisms. BMC Physiology, 2003, 3.

5. Djojosoewarno, P. & Indra, S. S., Pengaruh "Harvard Step Up Test" Terhadap Peningkatan Jumlah Sel Darah Merah. in Dr. I Puti Gede Adiatmika, M. K. (Ed.) Kongres Nasional XI dan Seminar Ilmiah XIII Ikatan Ahli Ilmu Faal Indonesia dan International Seminar on Ergonomics and Sports Physiology. Denpasar-Bali, Udayana University Press, 2002, 10

6. Tortora, G. J. & Grabowski, S. R., Principles of Anatomy and Physiology, Philadelphia, John Willey and Son, Inc., 2003. 108-112

7. Adam, G. M. Exercise Physiology, Laboratory Manual, New York, McGraw-Hill Companies Inc., 2002, 96

8. Nieman, C. D., Davis, J. M., Brown, V. A., Henson, D. A., Dumke, C. L., Utter, A. C., Vinci, D. M., Downs, M. F., Smith, J. C., Carson, J., A. Brown, S., Mcanulty, R. & Mcanulty, L. S., Influence of charbohydrate ingestion on immune changes after 2 h of intensive resistance training. J Appl Physiol., 96, 2004, 1292-1298.

9. Grindvik Nielsen, H., Hagberg, I. A. & L, T., Marathon Running Leads to Partial Exhaustion of ROS - Generating Capacity in Leukocytes. Medicine & Science in Sports & Exercise, 2004, 36.

10. Van Helvoort Hanneke, A. C., Heijdra Yvonne, F., De Boer Roline, C. C. & Swinkels, A., Six- Minute Walking Induced Systemic Inflammation and Oxidative Stress in Muscle-Wasted COPD Patients. in Thijs, M. H. & Dekhuijzen, P. N. R. (Eds.) Netherlands, American College of Chest Physicians, 2007, 100

11. Malm, C., Nyberg, P., Egstrom, M., Sjodin, B., Lenkei, Ekblom, B. & Lundberg, I., Immunological Changes In Human Skeletal Muscle And Blood After Eccentric Exercise And Multiple Biopsies. J Physiol., 2000, 15.

12. Nieman, C. D. Exercise Effects On Systemic Immunity. Immunology And Cell Biology, 2000. 78, 496-501.

13. Shephard Roy, J. & Shek Pang, N., Exercise, Immunity, and Susceptibility to Infection. The Physician and Sportsmedicine, 1999, 27.

Page 53: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 268

Dedi Ardinata Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada sistem pernafasan. Terjadi inflamasi yang khas karena disertai infiltrasi eosinofil, hal ini membedakan asma dari gangguan inflamasi jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan mediator inflamasi utama pada asma. Eosinofil merangsang produksi mediator inflamasi, sitokin dan mediator. Pemahaman efek eosinofil menjadi dasar terapi asma, yaitu dengan menghambat sitokin, eosinofil dan menghambat interaksi antara eosinofil dan sel endotel. Selain itu menjadi dasar pengembangan modalitas terapi asma seperti Cyklophilin, Antibodi monoklonal antihuman IL-5, Anti Interleukin-1, Interleukin 10, Interleukin 12 dan Antihistamin. Pengetahuan ini memberi pemahaman mekanisme obat yang lazim digunakan seperti Glucocorticoid dan Anti leukotrine. Kata kunci: Asma, eosinofil Abstract: Asthma is chronic inflammation involving the respiratory system. This special inflammation is cause by Eosinophils infiltration, at this point asthma difference from other air tract inflammation. Eosinophils is the main inflammation mediator on asthma. Eoinophils stimulate inflammation mediator production, cytokines and lipid mediator. Understanding the effect of eosinophils become basic of asthma therapy, by inhibit cytokines, eosinophils and inhibit the interaction between eosinophils and endothelial cell. Then, its become basis of developing agent of asthma therapy like Cyklophilin, Antibodi monoklonal antihuman IL-5, Anti Interleukin-1, Interleukin 10, Interleukin 12 and Antihistamin. This knowledge lead to understanding of usual use drugs mechanisms like Glucocorticoid and Anti leukotrine. Keywords: Asthma, eosinofil PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara diseluruh dunia.1 Meskipun penyakit ini bukan merupakan penyebab kematian yang utama tetapi penyakit ini mempunyai dampak sosial yang cukup besar terhadap produktifitas kerja dan kehilangan angka sekolah yang tinggi serta angka kejadiannya meningkat terus dari waktu kewaktu.1.2

Asma dapat terjadi pada segala usia dengan menifestasi yang sangat bervariasi dan berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya.3 Prevalensi asma pada anak-anak bervariasi antara 0-30%, sedangkan pada dewasa secara umum berdasarkan beberapa survei sekitar 6% pada beberapa negara yang berbeda.4 Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, asma, bronkhitis kronis dan emfisiema merupakan penyebab kematian ke-4 di

Indonesia atau sebesar 5.6%. Pada tahun 1995, prevalensi asma diseluruh Indonesia sebesar 13 dari 1000 penderita.1

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi yang terjadi pada asma adalah inflamasi yang khas yaitu inflamasi yang disertai infiltrasi eosinofil, hal ini yang membedakan asma dari gangguan inflamasi jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan inflamasi utama pada asma,5 terbukti setelah inhalasi dengan allergen didapatkan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan bronkoalveolar (BAL) pada saat reaksi asma lambat yang disertai dengan inflamasi.5,6,7

Karena pentingnya peranan sel-sel inflamasi terutama sel eosinofil didalam mencetuskan simptoms asma, maka pada tulisan ini akan dibicarakan tentang peranan eosinofil pada asma dan aspek patogenesanya serta pendekatan terapi.

Page 54: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Dedi Ardinata Eosinofil dan Patogenesa Asma

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 269

PATOGENESA ASMA Asma merupakan suatu sindroma yang

sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, mediator dan sitokin yang akan menyebabkan kontraksi otot jalan napas, hiperaktivitas bronkus dan inflamasi jalan napas.4,5

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humural dan imunitas selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik sel limfosit B. Sedangkan imunitas seluler diperankan oleh limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi Limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksin cluster diffrentiation 8 (CD8) dan mensekresikan berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon y (IFN-y) dan tumor necrosis factor-a (TNF-a). Sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF.4,5,9 (Gambar 1)

Gambar 1. Patogenesa asma

Gambar 2. Reaksi ”early onset” pada asma

Respon imun dimulai dengan masuknya alergen kedalam seluran nafas akan ditangkap oleh sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen (Antigen Persenting Cell/APC). Antigen diproses di dalam APC dan dipersentingkan kepada sel limfosit T dengan bantuan Mayor histocompatibility (MHC) kelas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi dan berdiffrensiasi ke profil Th2.4,5 Subtipe Th2 ini merupakan subtipe utama yang terlibat pada asma, mensekresi berbagai sitokine yang bertanggung jawab bagi berkembangnya reaksi tipe lambat atau cell- mediated hypersensitivity reaction.4

Rangsangan interleukin 4 dan interleukin 13 dari Th2, akan memacu sel limfosit B untuk mensintesa IgE. IgE akan dilepas limfosit B dan melekat pada high affiniting IgE reseptors (FceRI) pada permukaan sel mast. Bila alergen yang sama masuk lagi maka akan diikat oleh IgE dipermukaan sel mast. Cross Linked Reseptor IgE dengan alergen akan mengaktifkan sel mast yang menyebabkan degranulasi sel mast sehingga terjadi pelepasan perfomed mediator seperti histamin serta newly generated modiator antara lain: prostaglandin, leukotrin yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, vasodilitasi. Mediator inflamasi menginduksi kebocoran mikrovaskuler yang melibatkan eksudasi plasma kedalam saluran napas. Kebocoran plasma protein menginduksi penebalan dan edema dinding saluran napas yang menyebabkan penyempitan lumen saluran napas, sehingga menyebabkan kontraksi otot pernapasan dan reaksi ini berlangsung selama 1-2 jam. Reaksi ini disebut ”early onset” pada asma (Gambar 2).2 Degranulasi sel mast juga menghasilkan sejumlah sitokin a.l. IL-4,IL-5, IL-6,IL-13 dan TNF- a.4,5,9.10

Degranulasi sel mast beserta limfosit T subtipe Th2 akan menggerakkan dan mengaktifkan sel-sel inflamasi eosinofil, basofil, neutrofil dan magrofage, melalui aktivitas sel endotel yang akan menyebabkan pembentukan molekul adhesi. Reaksi ini akan terjadi pada 4-8 jam setelah reaksi pertama dan menyebabkan kedatangan sel-sel radang sehingga meningkatkan pelepasan mediator. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat.4,5,9

(Gambar 3)

Page 55: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 270

Gambar 3. Reaksi lambat pada asma

EOSINOFIL Pada orang normal, kadar eosinofil hanya

sebagian kecil dari lekosit darah perifer dan keberadaannya di jaringan terbatas. Pada penyakit tertentu, eosinofil dapat berakumulasi pada darah tepi atau jaringan tubuh. Gangguan yang menyebabkan eosinofilia didefinisikan sebagai akumulasi abnormal eosinofil dalam darah atau jaringan sehingga menimbulkan gejala klinis.5,10,11

Normalnya kadar eosinofil hanya 1-3 % dari lekosit darah tepi, dan batas dari rentang nilai normal adalah 350 sel/mm3 darah. Eosinofil diklasifikasikan ringan (351-1500 sel/mm3), sedang (>1500-5000 sel/mm3) atau berat (>5000 sel/mm3).11

Eosinofil memproduksi mediator toksin inflamatori yang unik yang disimpan dalam granul-granul dan disintetis setelah sel ini teraktivasi, granul tersebut mengandung kristaloid yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP) dan matrix yang terdiri dari Eosinophil Cationic Protein (ECP), peroxidase eosinofil dan Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN) yang mengandung efek sitotoksin pada epitelium repiratori. Eosinofil juga menghasilkan berbagai sitokin yang sebagian disimpan didalam granul dan mediator lipid yang dihasikan setelah sel ini teraktivasi, antara lain rantes, eotaxin dan platelet activating faktor yang berperan mempercepat migrasi eosinofil.5,7.9,10 (Gambar 4)

Eosinofil terjadi melalui 4 proses: − diffrensiasi sel-sel progenitor dan

proliferasi eosinofil pada sumsum tulang − intaraksi antara eosinofil dan sel endotel,

termasuk: rolling, adhesi dan migrasi eosinofil

− rangsangan kimia yang menarik eosinofil ke lokasi tertentu dan

− aktivasi serta destruksi eosinofil

Gambar 4. Gambaran fisiologi eosinofil

Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor

dalam sumsum tulang. Tiga sitokin yakni interleukin-3, IL-5 dan granulocyte macrophage colony stimulating faktor (GH-CSF) adalah bagian penting dalam mengatur perkembangan eosinofil. IL-5 adalah spesifik untuk “eosinofil Lineage” dan bertanggung jawab terhadap diffrensiasi eosinofil, menstimulasi pelepasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi perifer.5,10,11

Eosinofil di sirkulasi akan berputar (rolling) pada endothelium yang di perantarai oleh E- Selectin. Kemudian terjadi perlengketan (adhesion) antara eosinofil dan sel endothelial yang di perantarai oleh perlengketan molekul-molekul pada sel endothelial dan ”counter –ligand” pada eosinofil. Perlengketan (adhesion) ini melalui perlengketan molekul-molekul dengan kelompok integrin dari eosinofil, yakni kelompok CD-18 (B2 Integrin) dan molekul

Page 56: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Dedi Ardinata Eosinofil dan Patogenesa Asma

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 271

antigen 4 (VLA-9 atau B1 Integrin). B2 Integrin berintereaksi dengan molekul 1 intercelular (I-CAM 1) yang melekat pada sel-sel endothelial dan B1 Integrin berintereaksi dengan molekul yang melekat pada sel vaskuler (VCAM–1). Jalur CD18-ICAM-1 digunakan untuk semua lekosit sedangkan jalur VLA-9 – VCAM-1 digunakan oleh eosinofil dan sel mononukler. ICAM-1 di induksi oleh berbagai mediator inflamasi antara lain: interleukin 1 dan TNF-a sedangkan VCAM-1 di induksi oleh interleukeukin 4, kemudian esinofil bermigrasi kedalam jaringan yang diperankan oleh molekul-molekul chemoattractant lokal seperti leukotrin B4, mediator–mediator lipid, interleukin, dan berbagai chemokines. Dari ke semua subtansi yang relatif spesifik untuk eosinofil adalah eotaxin-1 dan eotaxin-2 dan efeknya dipertinggi oleh interleukin -5. Eosinofil dapat hidup dan bertahan di jaringan dalam jangka waktu lama (sampai berminggu-minggu) bergantung pada sitokin micro lingkungan (micro enviroment). Sitokin IL-3,

IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptasi eosinofil sekurang kurangnya 12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan 48 jam pada keadaan tidak adanya sitokin, eosinofil jaringan juga dapat meregulasi masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin.5,7,910,11 (Gambar 5)

Setelah di jaringan eosinofil melepaskan mediator LTC, PAF, radikal bekas oksigen, MBP, ECP, EDN sehingga terjadi kerusakan epitel saluran nafas. Major basic protein secara langsung meningkatkan reaktifasi obat polos dan merangsang degranulasi sel mast dan basofil.5,10,11

Remodeling merupakan reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan ireversibel pada asma. Fibroblas berperan penting dalan remodeling dan proses inflamasi. Fibroblas menghasilkan kalogen, serat elastik dan retikuler, proteoglikans dan glikoprotein dari matriks ekstraselular (ECM).5,7.9

Gambar 5. Diffrensiasi eosinofil, menstimulasi pelepasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi perifer

Page 57: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 272

Gambar 6. Faktor mediator maupun sitokin yang berperan pada proses asma

PENDEKATAN TERAPI

Pengobatan asma dengan dasar mempelajari faktor mediator maupun sitokin yang berperan pada proses asma, saat ini sedang dalam tahap pengembangan yang intensip. Dalam hal peranan eosinofil pada asma, pendekatan terapi didasarkan pada penghambatan sitokin, eosinofil, dan menghambat interaksi antara eosinofil dan sel endothelial.10,11 (Gambar 6)

Glucocorticoid. Obat ini merupakan agen paling efektif untuk mereduksi/mengurangi eosinofil, menekan trankripsi sejumlah gen mediator inflamasi, obat ini dapat menghambat produksi IL -1 sehingga menghilangkan ekpresi E-selektion dan ICAM-1 dari stimulasi endotel oleh zat tersebut. Saat ini kortikosteroid merupakan obat lini pertama dalam dalam pengobatan reaksi inflamasi pada asma.10,11,12

Cyklophilin. (Cyclosporine) Obat ini dilaporkan dapat memblokade transkripsi dari eosinophil - active cytokines separti IL-5 dan GM-CSF. 11

Antihistamin. Cetirizine (CTR) obat anti H1 dari generasi kedua obat antihistamin dilaporkan dapat menginhibisi ekspresi ICAM -1.11,13

Antibodi monoklonal antihuman IL-5. Menghambat interaksi IL-5 beserta reseptor-reseptornya.

Anti leukotrine. (Zileuton, zafirlukas), menghambat sintesa leukotrine dan menghambat pembentukan leukotrine B4 dan leukotrine C4,D4 dan E4. (11,13,14)

Interleukin 10. Pemberian IL -10 dapat menghambat produksi TNF- a yang dapat mengaktivitas ekspresi ICAM-1 oleh endotel.13

Anti Interleukin-1. Dapat menghambat IL-1 sehingga menghambat aktivasi endotel untuk menghasilkan ICAM-1. 13

Pemberian IL -12 dapat menghambat produksi IL-4 yang mengaktivitas endotel untuk menghasilkan VICAM. IL -12 juga menghambat produksi IL-5 yang berperan pada proses eosinophilia. 11,13 KESIMPULAN − Asma merupakan suatu sindroma yang

sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, mediator dan sitokin yang akan menyebabkan kontraksi otot jalan napas, hiperaktivitas bronkus dan inflamasi jalan napas.

Page 58: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Dedi Ardinata Eosinofil dan Patogenesa Asma

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 273

− Eosinofil merupakan inflamasi utama pada asma, terbukti setelah inhalasi dengan allergen didapatkan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan bronkoalveolar (BAL) pada saat reaksi asma lambat yang disertai dengan inflamasi.

− Peranan eosinofil menonjol dalam reaksi inflamasi pada penderit asma.

− Saat ini sedang dikembangkan pendekatan terapi asma yang mempengaruhi sitokin yang berperan pada asma.

DAFTAR PUSTAKA 1. PDPI. ASMA. Dalam: Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004; 1-19.

2. Yunus F. Terapi Controller Pada Asma. Dalam: Margono BP, Widjaja A, Amin M,dkk (editor). Pertemuan Ilmiah Paru Millenium, Surabaya,2002;1-7.

3. Barnes NC, Crompton GK. Asthma. In:Brambilla C, Costabel U,et all. Pulmonary Disease, McGraw-Hill, London, 1999; 65-82.

4. National Institutes of Health, National Heart Lung and Blood Institute. Difinition. In: Global Initiative for Asthma 2002, 2-7.

5. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono HW. Patogenesis dan Fatofisiologi Asma. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No 141, Jakarta, 2003; 5-10.

6. Yddiz F, Basyigit I, Boyact H. Comparison of Induced Sputum Cell Counts in COPD and Asthma, Turkish Respiratory Journal, 4, 2003; 43-6.

7. Mangunnegoro H, Yunus F, Soewarta DKS. Asma,Patogenesis,Diagnosis dan Penatalaksanaan; 1-12.

8. Buist SA. Definitions In: Asthma and COPD Basic Mechanisms and Clinical Management, London, Academic Press, 2002; 1-17.

9. Surjanto E. Patogenesis Asma. Dalam: Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Khusus (PIK) X, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Makasar, 2003; 35-44.

10. Busse W, Lemanske FR. Asthma, N Engl J Med, 344, 2001: 350-62.

11. Rothenberg EM. Eosinophilia, N Engl J Med, 338, 1998: 1592-1600.

12. Saleh T. Peran Kortikosteroid Pada Serangan Asma. Dalam: Margono BP, Widjaja A, Amin M,dkk (editor). Pertemuan Ilmiah Paru Millenium, Surabaya, 2002; 1-16.

13. Patau JM, Hasbi M. Penggunaan Kortikosteroid Pada Asma Bronkial. Dalam: Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Khusus (PIK) X, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Makasar, 2003; 53-44.

14. Yunus F. Terapi Controller Pada Asma. Dalam: Margono BP, Widjaja A, Amin M,dkk (editor). Pertemuan Ilmiah Paru Millenium, Surabaya, 2002; 1-6.

Page 59: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 274

Geriatric Background

Aldy S. Rambe Department of Neurology, Medical Faculty

Universitas Sumatera Utara/Adam Malik Hospital Medan, Indonesia

Abstract: Population aging will have an influence on pathologies associated with extreme old and dementia. Some aspects of cognitive functions, especially memory, and other thinking abilities decline as part of the normal aging process. When cognitive decline is suspected, a neuropsychological evaluation can provide an objective assessment of cognitive functioning. Neuropsychology is converged from the parent disciplines of neurological medicine and psychology. The neuropsychological evaluation typically includes a clinical interview, the administration of objective standardized measures of cognitive functioning and mood, and feedback to the referral source or the patient. Neuropsychological evaluations provide the clinician with objective measures that form the basis of decisions relating to the potential for rehabilitation, return to work, independent living, and competency issues. Keywords: aging, cognitive function, neuropsychology, evaluation Abstrak: Semakin lanjutnya usia mempengaruhi patologi proses penuaan dan demensia. Beberapa aspek fungsi kognitif, khususnya memori dan kemampuan berpikir lainnya, mengalami kemunduran sebagai bagian dari proses penuaan yang normal. Jika dicurigai adanya kemunduran fungsi kognitif, evaluasi neuropsikologis dapat memberikan penilaian yang objektif. Neuropsikologi dikembangkan dari ilmu neurologi dan psikologi. Evaluasi neuropsikologi meliputi wawancara klinis, penggunaan alat ukur fungsi kognitif dan alam perasaan yang sudah distandarisasi, dan umpan balik kepada pihak yang merujuk. Evaluasi neuropsikologi memberikan pengukuran yang objektif yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan, dalam kaitannya dengan rehabilitasi, kembali bekerja, hidup mandiri dan masalah kompetensi. Kata kunci: penuaan, fungsi kognitif, neuropsikologi, evaluasi INTRODUCTION

In most countries worldwide, even in developing countries, people are living longer than before. Population aging will have an influence on pathologies associated with extreme old and dementia. Some aspects of cognitive functions, especially memory, and other thinking abilities decline as part of the normal aging process. Normal age-related cognitive decline and disease-associated cognitive impairment can be difficult to differentiate in the typical patient-physician interaction. It is essential that clinician’s recognize even modest changes in thinking ability in the geriatric patients. When cognitive decline is suspected, a neuropsychological evaluation can provide an objective assessment of cognitive functioning. The neuropsychological evaluation can be

viewed as an extension of the bedside mental status examination. The neuropsychological evaluation typically includes a clinical interview, the administration of objective standardized measures of cognitive functioning and mood, and feedback to the referral source or the patient. Neuropsychological evaluations provide the clinician with objective measures that form the basis of decisions relating to the potential for rehabilitation, return to work, independent living, and competency issues. 1

Today it has become obvious to say that people live longer than in the past, and consequently, elderly people are more and more numerous. In previous years physiological cerebral ageing was commonly described as opposed to pathological ageing. Physiological cerebral ageing was the ageing

Page 60: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Aldy S. Rambe Neuropsychological Evaluation Against...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 275

considered as normal, as a kind of genetic necessity, while different forms of dementia among the elderly constituted pathological cerebral ageing. 2 NEUROPSYCHOLOGY

The two principal aspects of clinical neuropsychology are clearly outlined by Luria, on of its ablest practitioners and developer of an influential theory, whose principal features are outlined below. “The study has two objectives. First by pinpointing the brain lesions responsible for specific behavior disorders we hope to develop a mean of early diagnosis and precise location of brain injuries. Second, neuropsychological investigation should provide us with a factor analysis that will lead to better understanding of the components of complex psychological functions for which the operations of the different parts of the brain are responsible (Luria, 1970). 3

This twofold nature of neuropsychology means that by utilizing appropriate tools and concepts to examine brain-behavior relationships may be in a position to further our knowledge of the nature of the psychological processes themselves. Neuropsychology has already given us greater insight into some of the processes of perception, memory, learning, problem solving and adaptation, a branch of study much expanded in recent years and termed cognitive neuropsychology. 3

Leaving aside the psychological measures themselves since they are dealt with later, there seem to be a number of concepts developed only in recent years which are proving very fruitful. Among these the following four are chosen as they provide a basis for what follows: (1) the adoption of the syndrome concept as against the unproductive ‘unitary’ concept of brain damage; (2) a re-evaluation of the concept of ‘function’ and the development of the concept of functional systems as the neural substrates of psychological process; (3) the use of ‘double dissociation’ of function to strengthen the certainty with which statements may be made concerning the relation between anatomical lesion and behavioral disturbance; and (4) the development of the notion of the ‘ disconnection syndrome’ to explain

neuropsychological findings and to predict others. 3

NEUROPSYCHOLOGICAL EVALUATION

Brain damage, in elderly people with normal aging or with pathological aging, may produce different types of effect in any individual: (1) a general deterioration in all aspects of functioning; (2) differential (group) effects, depending on the location, extent and other characteristics of the damage; and (3) highly specific effects in certain locations. Each of these needs to be taken into account when interfering the reason for poor test performance.3

Tests validated on clearly defined group (e.g. brain damaged versus normal) may have low predictive validity. If it can identify ‘only those subjects whose brain damage is obvious, then the test serves no useful purpose, since it confirms what need no confirmation’. A crucial study would be one in which neurological group is made up entirely of subjects for whom neurologists disagree as to diagnosis or are unable to make a diagnostic statement at the time the psychological measure is obtained and for whom retrospective diagnosis is possible. 3

Another shortcoming of studies relates to the principle of multiple determination. ‘Behavioral deficits are define in terms of impaired test performance. But impaired test performance may be a final common pathway for expression of quite diverse types of impairment’. It is therefore important to be aware that low scores on such complex tasks may be due to a disturbance in any of the functions involved or any combination of them. If complex tests must be used, two methods of clarification are possible: (1) to observe the sharing of variance between a patient’s performance on sundry test; and (2) to test hypothesis about the various possible reasons for failure. 3

Many psychological tests are concerned solely with whether or not the subject can reach the goal. ‘The flexibility of cerebral mechanisms is such the solution of most test items can be reached by many devious routes. The method the subject uses in tackling a problem will in general provide more information as to the character of a skill or of

Page 61: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 276

a psychological deficit than will the knowledge as to the subject’s success of failure (Elithorn, 1965). Qualitative observations are of paramount value an no amount of qualification will override the importance of the psychologist as an observer of behavior. 3. Behavioral observations can reveal important information regarding the mental status and neurologic function of the patient 4

There is a danger in assuming that if a patient fails on a test then the patient has a deficiency in the psychological function stated by manual to be what the test measures. However, ‘ most tests have only an indirect relationship with the variables they are supposed to measures’ (Shapiro, 1973). Many tests are multi factorial in their composition and hypothesis about the possible reasons for poor performance need to be examined. This process may involve the use of other tasks, but may also be solved by noting the performance of the subject on the test already performed. The multi factorial determination of the test scores is one of the stumbling blocks of deriving interferences from group data since ‘Different individuals may obtain the same test score on a particular test for very different reasons’ (Ryan & Butters, 1980). 3

On the other hand, multiple failures on seemingly disparate tests may reflect a common disorder. The magnitude of the failure on separate tests will be a reflection of the degree to which the disturbed function is represented in their composition. In most situations only a small number of functional disturbances will account for the many observed deficits in performance.

A further difficulty with tests is that the frequently used aggregate indices may bury the very data which is of significance in understanding the patient’s difficulties. A classic example in pseudoneurological cases is the falling of easy items accompanied by passes on the more difficult ones, although the summed score is ‘within normal limits’ or ‘ fails to meet the cutting point’. Internal consistency is an important element of the interpretation of test performance, also in geriatrics. A summary score may lead some to assume that it has 3

Identification of clinically relevant cognitive change through serial assessment is becoming increasingly prevalent in

neuropsychology, and has particular importance in older adult populations. The accurate diagnosis of dementias and other progressive neurologic conditions is often better characterized by a pattern of change over time than a pattern of cognitive performance at any one point in time. For the clinician, the datum of most interest is not he group mean but rather the raw change score. Clinical relevance of the raw change score is based on its prevalence in the normal population. However, studies have suggested that raw change score can be affected to varying degrees by psychometric confounds such as practice effect and regression-to-the-mean that obscure their clinical relevance. 5

Physicians will refer patients for neuropscyhological evaluation if the history suggests decline in one or more areas of cognitive function (eg, memory, language, attention, perception), or the patient or family members report cognitive changes. In clinical practice, warning signs that suggest a neuropsychological evaluation may be advised include repetitive speech, missing appointments or arriving on the wrong day, difficulty complying with medical recommendations, and forgetting to take, or taking too much, medication. 1

Although the neuropsychological evaluation can provide essential information to clinicians, it is not without limitation. Completion of formal cognitive tests requires patient’s active participation. If the patient is unwilling to put forth effort, test score likely underestimate true abilities, and may lead to misinterpretation of the test performance. 6

TOOLS SELECTION

Knowledge of syndromes and brain-behavior relationships will be the principal factor in determining the selection of tools. This knowledge will answer commonly occurring questions. However, there will be questions that will require ‘special’ tools which will produce pathognomonic data. Test selection should be germane to the question asked. Neuropsychologist will gradually develop quiet a large armamentarium from which to choose. Such test familiarity is necessary for the rapid and economic evaluation associated with the branching decision-making process which is the basis of

Page 62: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Aldy S. Rambe Neuropsychological Evaluation Against...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 277

clinical evaluation using a flexible or individualized method. 3

The selection of tests may entail a one-step process, for instance a group of tests is chosen in the belief that these will provide the information needed. Sometime the issues will remain unresolved but observations derived from the primary set of tests may suggest that further specific tests may provide the answer. Much of the efficacy of this method turns on the selection of the primary group test, since the use of tests which do not touch the problem at all will give negative result. In reporting such negative results, it is important to inform that ‘nothing abnormal was detected with the tests used’. These should be documented in hospital practice and in medico-legal cases. Unfortunately, negative reports are often written which contain the implication that no impairment is present. We should keep in mind Teuber’s dictum ‘absence of evidence is not evidence of abesence’ (of impairment). The obvious principle of neuropsychology: ‘one can not determine whether a certain function of the brain is impaired unless that function is tested’. 3

Each test used in neuropsychological evaluation has its own limitations. Novella et.al. studied 148 subjects over 60 years old to evaluate the acceptability, feasibility and validity of employing a generic quality of life questionnaire, the Duke Health Profile. They concluded that even the questionnaire is a good instrument, it is inadequate for studying perceived health and self-esteem. Even with improvement, the questionnaire will have limitations, especially in advanced stages of dementia. 7

The interpretation of neuropsychological test data must consider other factors influencing performance, such as the individual’s background, education, and level of motivation while taking the test. The length of neuropsychological evaluations varies depending on the setting and the nature of the referral question. The tasks are usually presented one-on-one in an office-like environment. Tasks are presented in multiple modalities, with the majority of tasks being presented aurally or visually, although some tasks can be presented via tactile or olfactory stimulation depending on tasks and patient need. 1

Many tests are available to be used in neuropsychological evaluations. Some of them, such as the Mini Mental State Examination (MMSE), the Clock Drawing Test (CDT), the Functional Activities Questionnaire (FAQ), the Activity of Daily Living (ADL), the ADAS-Cog, the Neuropsychiatry Inventory (NPI), and the Clinical Dementia Rating (CDR) are commonly used for neuropsychological evaluations in daily clinical practice.8 Unfortunately there are limited number of tests in neuropsychological evaluation that originally created in Indonesian language. A few of these instruments have been translated for use with Indonesian speaking patient; however, these versions tend to lack the comprehensive normative data that is essential for clinician decision-making. Therefore, the interpretation should be made more carefully. CONCLUSIONS

Some aspects of cognitive functions, especially memory, and other thinking abilities decline as part of the normal aging process. Normal age-related cognitive decline and disease-associated cognitive impairment can be difficult to differentiate. It is essential that clinician’s recognize even modest changes in thinking ability in the geriatric patients. When cognitive decline is suspected, a neuropsychological evaluation can provide an objective assessment of cognitive functioning.

Physicians will refer patients for neuropscyhological evaluation if the history suggests decline in one or more areas of cognitive function (eg, memory, language, attention, perception), or the patient or family members report cognitive changes. Identification of clinically relevant cognitive change through serial assessment is becoming increasingly prevalent in neuropsychology, and has particular importance in older adult populations. Although the neuropsychological evaluation can provide essential information to clinicians, it is not without limitation. Many tests are available to be used in neuropsychological evaluations. Unfortunately there are limited number of tests in neuropsychological evaluation that originally created in Indonesian language, therefore interpretation should be made more carefully.

Page 63: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 278

REFERENCES 1. Ravdin LD, Mattis PJ, Lachs MS.

Assesment of cognition in primary care: Neuropsychological evaluation of the geriatric patient. Geriatrics 2004; 59(Feb); 37-44.

2. Giurgea CE, Bronchart M. The Ageing of the brain: Normal and successful. The challenge of the 21st century. Brussels: Physiology and Human Sciences; 1993.

3. Walsh K. Neuropsychology A Clinical Approach. 3rd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1994. p.405-46.

4. Jordan B, Cummings JL. Mental Status and Neurologic Examination in the Elderly. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, eds. Principles of Geriatric medicine and Gerontology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 1999. P. 1209-13.

5. Sawrie SM, Marson DC, Boothe AL, Harrell LE. A Method for Assessing Clinically Relevant Individual Cognitive Change in Older Adult Populations. J of Gerontology: Psychological Sciences. 1999, (54): 2; P116-124.

6. Ready RE, Paulsen JS. Neuropsychological Studies in Geriatric Psychiatry. Curr Opin Psychiatry 16(6): 643-8, 2003.

7. Novella JL, Ankri J, Morrone I, Guillemin F, et.al. Evaluation of the quality of life in dementia with a generic quality of life questionnaire: The Duke Health Profile. Dementia and Geriatric Cognitive Disorders. Basel: Mar/Apr 2001. (12), Iss; 158-167.

8. Ready RE, Paulsen JS. Neuropsychological Studies in Geriatric Psychiatry. Curr Opin Psychiatry 16(6): 643-8, 2003.

Page 64: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Delfitri Munir Peran Gen HLA-DQB1...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 279

Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral yang Ditatalaksana dengan Tiroplasti Medialisasi Menggunakan Gore-Tex

Devira Zahara, Abdul Rachman Saragih

Departemen Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

LAPORAN KASUS

Page 65: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 280

Gambar 1. Gambaran laring dilihat dari atas dengan kaca laringoskopi indirect

1. Pangkal lidah. 5. Plika Vokalis 2. Valekula 6. Fosa Piriformis 3. Epiglotis. 7. Plika Aryepiglotik 4. Plika vestibularis 8. Kartilago Aritenoid (dari kepustakaan 14)

Page 66: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Devira Zahara dkk. Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 281

Nervus Laringeal Superior Terbagi atas cabang sensori interna yang mempersarafi bagian anterior laring, turun sampai ke glotis dan cabang eksterna yang merupakan motorik terhadap otot krikotiroidea eksterna.11

Nervus laringeal rekuren Nervus laringeal kiri berputar mengelilingi arkus aorta sebelum mencapai laring dilekukan antara trakea dan esofagus. Nervus laringeal rekuren kanan melewati arteri subklavia dan berjalan ke atas antara trakea dan esofagus.11-2

FISIOLOGI

Laring berfungsi untuk proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah mencegah makanan dan benda asing masuk kedalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Cara menutup aditus laring yaitu dengan pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot instrinsik.3,13

Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila otot krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi), terjadilah inspirasi. Ekspirasi menyebabkan plika vokalis berada pada posisi adduksi. 3

Fungsi untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam adduksi maka otot krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan otot krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid kebelakang. Plika vokalis kini dalam keadaan efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi otot krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis mengendor. Kontraksi dan mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada. 3,14

Gambar 2. Posisi plika vokalis dilihat dengan kaca laringoskopi indirect

A. Bernafas biasa. B. Inspirasi dalam. C. Fonasi. (dari kepustakaan 15) KEKERAPAN

Penyebab paling sering paralise plika vokalis adalah trauma operasi.4,9,15 Woodson dan Miller mendapatkan penyebab karena trauma operasi 42%, idiopatik 25%, malignansi 23%, lain-lain 13% kasus.4 Pada dewasa paralise plika vokalis bagian kiri lebih sering terjadi daripada yang kanan, disebabkan nervus laringeal rekuren sebelah kiri lebih panjang jalannya daripada yang sebelah kanan.2,4,9,15 David mendapatkan paralise nervus laringeal rekuren kiri 78%, nervus laringeal rekuren kanan 16% dan kedua nervus 6% kasus.4 Di RSUP. H. Adam Malik, dari Januari 2004 sampai dengan Desember 2007 dijumpai kasus paralise plika vokalis sebanyak 35 kasus terdiri dari 13 kasus disebabkan oleh pembesaran jantung, 8 kasus disebabkan oleh tumor di leher dan paru, 5 kasus diduga disebabkan oleh infeksi TB paru, 4 kasus karena trauma operasi, selebihnya belum diketahui penyebabnya. ETIOLOGI

Paralisis plika vokalis dapat disebabkan oleh: • Kongenital

Beberapa kasus pada bayi yang baru lahir dengan stridor dijumpai adanya paralise baik satu atau kedua plika vokalisnya.2,4

• Malignansi Satu dari tiga kasus paralise nervus laringeal rekuren disebabkan oleh kanker dimana 50% disebabkan oleh kanker diparu-paru, 20% di esofagus, dan 10% kanker tiroid. Selebihnya meliputi keganasan di fosa kranii posterior, karsinoma nasofaring, paraganglioma di vagal, jugular dan karotis, metastase dan limpoma.2,4,16

Page 67: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 282

• Trauma Trauma bedah pada percabangan nervus vagus masih merupakan komplikasi operasi yang sering ditemukan pada operasi leher dan mediastinum. Operasi struma adalah penyebab paling sering diantara trauma bedah lainnya.2 Trauma non bedah misalnya trauma dileher bisa disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, fraktur leher, cekikan sekeliling leher seperti ketika bergulat, pukulan ringan pada bagian anterior leher 2,16 Trauma saat melakukan intubasi juga dapat menyebabkan paralise pita suara.2

• Infeksi Penyebab paling sering adalah infeksi tuberkulosis paru. 2,4

• Neurologis Wallenberg syndrome, syringomyelia, myasthenia Gravis.2

• Idiopatik 20 % dari kasus tidak diketahui penyebabnya.4

GEJALA KLINIS

• Jika satu plika vokalis yang paralise menyebabkan perubahan suara pada kualitas suaranya menjadi serak atau parau, mendesah, pelan dan tidak bisa nyaring. 2,4

• Kedua plika vokalis paralise membuat penderita menjadi susah bernafas disebabkan udara yang melewati trakea terhambat.17

• Pada beberapa penderita dijumpai juga keluhan disfagia dan mudah teraspirasi makanan dan minuman.2,4

• Kesulitan untuk batuk pada paralise plika vokalis bilateral yang berada pada posisi abduksi (intermediate) sehingga sekret terkumpul di trakea.17

• Pada bayi dan anak-anak: susah bernafas, menangis lemah, aspirasi, stridor, sianosis.4,9

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 4,7,16-7 Anamnesa dan pemeriksaan fisik rutin Laringoskopi indirect Laringoskop fiberoptik Laringostroboskopi Elektromiografi (Laryngeal -EMG) Laboratorium

Radiologis: - Foto toraks - CT Scan - MRI - Barium swallow

DIAGNOSA BANDING

1. Laringitis 17 2. Neoplasma disekitar plika vokalis yang

mengganggu pergerakan plika vokalis.18 3. Kelumpuhan laring yang disebabkan oleh

penyakit otot.18 4. Kelainan kongenital laring.4 PENATALAKSANAAN

Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral Pasien biasanya datang dengan keluhan suara serak atau parau dan terasa berat. Pernafasan biasanya tidak menjadi masalah. 4

1. Konservatif

Yaitu berupa rehabilitasi oleh ahli terapi wicara (speech therapy) dan medikamentosa dengan obat-obatan neurotropik. Terapi konservatif biasanya selama 6-12 bulan, karena masih diharapkan dapat terjadi kompensasi dari plika vokalis yang sehat dalam masa itu. 4,19 Suara dan pergerakan plika vokalis akan kembali normal (spontaneous recovery) dalam waktu 1 tahun.6

A B

Gambar 3. Gambaran paralise plika vokalis dan

kompensasinya, dilihat dengan kaca laringoskopi indirect

A. Paralise plika vokalis sebelah kiri. B. Plika vokalis yang sehat menyeberang kearah yang paralise ketika fonasi (dari kepustakaan 21) 2. Operatif

Prinsip utama dari tindakan bedah untuk paralise plika vokalis unilateral adalah memindahkan posisi plika vokalis paralisis ke medial agar dapat digunakan oleh plika vokalis yang sehat untuk menghasilkan getaran suara.4

Tindakan bedah berupa:

Page 68: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Devira Zahara dkk. Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 283

Augmentasi plika vokalis Augmentasi plika vokalis dapat dicapai

dengan menyuntikkan bahan tertentu di plika vokalis yang paralisis (palsy). Beberapa material yang dapat digunakan, yaitu teflon, gelfoam, lemak, fasia, dsb. 5

Bedah kerangka laring Disebut juga dengan laringoplasti,

tiroplasti, atau laryngeal framework surgery merupakan suatu teknik pembedahan untuk memperbaiki suara dengan merubah tulang-tulang rawan laring sebagai rangka dari plika vokalis dengan menggunakan implan melalui jendela tiroid. Tujuannya adalah untuk merubah posisi atau panjang dari plika vokalis. Isshiki membagi tiroplasti menjadi 4 tipe, yaitu: medialisasi (tipe1), lateralisasi (tipe 2), relaksasi (tipe 3) dan peregangan (tipe 4). 4,21-3

Isshiki merekomendasikan penggunaan tiroplasti tipe I untuk terapi paralisis aduktor plika vokalis unilateral.

Berbagai bahan dan cara telah dilakukan untuk membantu mempertahankan plika vokalis berada dalam posisi di garis tengah saat fonasi. Pada awalnya untuk mengganjal digunakan potongan kartilago tiroid yang didapatkan saat membuat lubang. Namun hasilnya masih kurang memuaskan oleh karena kartilago tiroid yang dipasang bentuknya segi empat dengan ketebalan yang sama sehingga tidak dapat mendorong plika vokalis kearah medial secara optimal, terutama di bagian posterior.5

Gambar 4. Tiroplasti medialisasi dengan kartilago

(dari kepustakaan 5)

Silastik (silikon keras) atau kartilago tambahan ini ditempatkan di bawah ujung posterior lubang untuk lebih memedialisasikan plika vokalis di daerah itu. Potongan kartilago tiroid yang diletakkan di tepi inner perichondrium ini digerakkan kearah anterior dan posterior untuk menentukan posisi yang paling optimal sehingga didapati suara yang paling nyaring. Bagian luar difiksasi dengan benang nonabsorable. Selama pembedahan

dilakukan monitoring posisi plika vokalis dan rima glotis dengan laringoskop optik fleksibel dan video monitor. Kelemahan cara ini yaitu terjadinya pergeseran atau rotasi dari kartilago yang dipasang.5

Gambar 5. Tiroplasti medialisasi dengan kombinasi

kartilago dan silastik (dari kepustakaan 5)

Perkembangan berikutnya yaitu

diproduksinya bahan dan desain berbeda untuk implan, antara lain bahan implan dari silastik. Implan silastik yang banyak digunakan buatan Montgomery. Implan telah tersedia dalam berbagai macam bentuk dan ukuran. Pemasangannya mudah dan praktis. Operator hanya melakukan pengukuran besarnya celah, lalu memilih implan yang sesuai.5

Perkembangan yang terakhir yaitu ditemukannya bahan implan dari expanded polytetrafluoroethylene (Gore-Tex). Penggu-naan bahan ini dilakukan pertama kali oleh Hoffman dan McCulloth tahun 1999. Bahan implan ini berupa lembaran tipis dan lunak yang dapat dipotong-potong menjadi pita panjang. Gore-Tex merupakan bahan implan yang biokompatibel, inert, tipis, mudah dibentuk sesuai kebutuhan, lunak seperti fasia, mudah dipasang, reaksi pembentukan jaringan ikat minimal, insiden adesi minimal, non fraying, dan dapat disterilisasi ulang sampai 3 kali. Tingkat medialisasi yang optimal dapat segera diperoleh hanya dengan menambah atau mengurangi bagian pita panjang Gore-Tex saat insersi. Dengan bahan implan ini dilaporkan hasil perbaikan kualitas suara yang baik sekali.5,24

Reinervasi

Tucker mempopulerkan transfer otot dan nervus ke otot krikoaritenoid posterior untuk penanganan paralise plika vokalis unilateral. Syaratnya adalah sendi krikotiroid tidak difiksasi dan nervus yang digunakan pada graft tidak tepengaruh oleh proses yang menyebabkan paralise. Menggunakan salah

Page 69: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 284

satu saraf dari otot-otot leher sehingga otot-otot plika vokalis tidak atrofi dan memiliki tonus yang baik serta posisi lebih ke medial.23

Beberapa ahli melakukan kombinasi tiroplasti medialisasi dengan reinervasi pedikel otot-otot saraf.5

KASUS

Seorang wanita, JS, 69 tahun, suku Batak, datang ke RS Swasta di Medan dengan keluhan utama suara serak setelah menjalani operasi struma 1 tahun yang lalu. Pasien merasa mudah capek bila bersuara dan sedikit kesulitan bila harus mengucapkan kalimat-kalimat panjang. Batuk dan sesak nafas tidak dijumpai. Status presens dalam batas normal. Status Lokalisata: Laringoskopi indirek dan optik: paralise aduktor plika vokalis dextra (pita suara tidak dapat menutup sempurna saat fonasi, pita suara kanan tidak dapat bergerak, sedang yang kiri bergerak bebas) Pasien Didiagnosa dengan Paralise Aduktor Plika Vokalis Dextra Penatalaksanaan Dilakukan operasi tiroplasti medialisasi dengan Gore-Tex Penderita dalam posisi supine dengan

bahu diganjal bantal tipis agar leher sedikit ekstensi.

Diberikan oksigen melalui kanula nasalis dan pemasangan peralatan untuk monitor fungsi vital seperti irama jantung, tensimeter, pulse oximeter.

Dilakukan pemeriksaan laringoskopi optik fleksibel transnasal untuk memastikan adanya paralisis plika vokalis, lokalisasi, dan besarnya gap. Laringoskop ini dihubungkan dengan monitor televisi.

Kulit leher didesinfeksi dengan betadin dan alkohol

Dibuat marker dan garis insisi di kulit leher dengan surgical marker

Dilakukan anestesi lokal lidokain 1:100.000 terutama di daerah yang akan diinsisi.

Insisi kulit dengan arah horizontal sesuai garis lipatan kulit dipertengahan lamina tiroid sepanjang 4-5 cm, dimulai dari garis tengah ke lateral sampai tepi anterior muskulus sternokleidomastoid.

Insisi diperdalam sampai memotong otot plastisma, lalu otot Sternohioid (strap muscle) di retraksi ke lateral dengan hook trakeostomi. Selama diseksi disuntikkan beberapa kali lidokain di otot sekitar daerah pembedahan.

Page 70: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Devira Zahara dkk. Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 285

Diseksi diteruskan sampai tampak thyroid notch, membran krikotiroid, dan kartilago krikoid. Perdarahan yang ada dikauter dan diligasi.

Setelah tampak lamina kartilago tiroid, dilanjutkan dengan diseksi otot tirohioid.

Selanjutnya dilakukan insisi perikondrium (outer perichondrium) di atas lamina tiroid ipsilateral dengan bentuk melengkung mulai dari medial ke lateral.

Ekstensi lamina (kartilago) tiroid diperoleh dengan menggunakan pengait yang memungkinkan retraksi medial dan rotasi laring. Lapangan operasi dipertahankan dengan memasang retraktor.

Dengan menggunakan bor dibuat lubang di kartilago tiroid dengan ukuran vertikal 7 mm, dan horizontal 12 mm. Lokasi lubang adalah 1 cm posterior dari midline laring dan 4 mm di atas tepi bawah kartilago lamina tiroid.

Lalu inner perichondrium diundermining

dengan elevator secara sirkumferensial dari bawah permukaan kartilago tiroid sampai 4 mm ke arah anterior, inferior, dan posterior dari lubang.

Dilakukan pemeriksaan dengan laringoskop fiberoptik untuk evaluasi posisi plika vokalis dan penilaian suara sebelum pemasangan implan

Melalui lubang yang dibuat di kartilago tiroid dimasukkan pita Gore-Tex yang sebelumnya telah dioles dengan salep antibiotika dengan menggunakan elevator.

Dengan elevator, pita Gore-Tex

dimasukkan dan didorong terutama ke arah posterior, inferior, dan anterior.

Selama proses insersi pita Gore-Tex, dilakukan evaluasi posisi plika vokalis dengan laringoskop fiberoptik dan monitor televisi serta dinilai perubahan suara menderita sampai menjadi lebih nyaring (optimal)

Setelah didapatkan suara yang optimal, proses insersi pita Gore-Tex dihentikan.

Pita Gore-Tex difiksasi dengan 2 jahitan dengan vicryl 4.0, mula-mula benang dilingkarkan ke pita Gore-Tex lalu diikat, pita dimasukkan secara sirkumferensial, lalu jarum benang tersebut ditembuskan ke kartilago tiroid di atas lubang kemudian diikat.

Dilakukan pemeriksaan laringoskopi fiberoptik ulang yang terakhir untuk memastikan posisi plika vokalis pasca medialisasi dengan Gore-Tex.

Page 71: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 286

Sebelum Operasi Pasca Operasi

Daerah operasi diirigasi dengan NaCl

0,9%. Dipasang penrose drain, kemudian luka

insisi dijahit lapis demi lapis Keadaan umum pasca operasi baik Anjuran pasca operasi: istirahat suara total

48 jam Follow up Pasca Operasi o Penrose drain dibuka pasca operasi hari III o Pasca operasi hari IV dilakukan

laringoskopi optik, hasilnya pita suara edema, suara serak (+) tetapi lebih baik dari sebelum operasi dan pasien pulang berobat jalan.

o Pasca operasi hari X dilakukan laringoskopi optik, hasilnya pita suara sedikit edema tetapi telah dapat menutup sempurna, suara sudah nyaring tapi masih sedikit serak, jahitan dibuka.

o Pasca operasi hari XV, dilakukan laringoskopi optik, hasilnya pita suara dapat menutup sempurna, suara sudah nyaring tapi masih sedikit serak.

o Pasca operasi hari XXX, hasil laringoskopi optik pita suara edema (-) dan dapat menutup sempurna, suara sudah nyaring

DISKUSI

Pasien ini datang dengan keluhan suara serak setelah menjalani operasi strumektomi satu tahun yang lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan terutama laringoskopi optik pasien didiagnosa sebagai paralise aduktor plika vokalis dextra, karena tampak pita suara kanan saat fonasi tidak bergerak. Walaupun usia pasien sudah 69 tahun, tetapi pasien tetap ingin menjalani operasi ini, karena pasien merasa mudah capek bila berbicara sehingga mengganggu aktivitasnya.

Berbagai bahan dan cara pernah dilakukan untuk membantu mempertahankan plika vokalis berada dalam posisi di garis tengah saat fonasi. Perkembangan yang terakhir yaitu dilakukannya tindakan medialisasi dengan bahan implan dari

expanded polytetrafluoroethylene (Gore-Tex). Kelebihan tiroplasti medialisasi dengan Gore-Tex yaitu murah, aman, pemasangannya mudah, dan angka keberhasilannya tinggi. Sesuai dengan persetujuan dari pasien dan keluarga maka dilakukan tindakan tersebut pada pasien ini.

Penyebab paralise pasien ini adalah trauma saat operasi struma 1 tahun lalu.

Prosedur operasi terdiri dari penempatan implan ke dalam kantung yang dibentuk dengan diseksi inner perichondrium tulang rawan tiroid melalui lubang kecil di lamina kartilago tiroid.

Evaluasi 1 bulan pasca bedah didapatkan suara sudah nyaring, jauh lebih baik dibandingkan sebelum operasi. Disimpulkan, perbaikan kualitas suara sebesar 90%. KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus paralisis aduktor plika vokalis unilateral pada seorang wanita berusia 69 tahun yang ditatalaksana dengan tiroplasti medialisasi dengan Gore-Tex dengan perbaikan kualitas suara sebesar 90%.

DAFTAR PUSTAKA 1. Vocal Cord Paralysis.Available from:

http://www.nidcd.nih.gov/health/voice vocalparal.

2. Willat DJ, Stell PM. Vocal Cord Paralysis. In: Paparella MM, Shumrick DA,Ed. Otolaringology. Vol III. 3 ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1991. pp. 2289- 304.

3. Hermani B, Kartosoediro S. Suara Parau. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher. Edisi ke-5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2001. pp. 90-4.

4. Miller RH, Nemechek AJ. Hoarseness and Vocal Cord Paralysis. In: Bailey BJ, Ed. Otolaryngology Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Vol.II. 2nd ed, Lippincot- Raven, Philadelphia 1998. pp. 741-80

5. Kentjono WA. Penanganan Paralisis Aduktor Korda Vokalis Unilateral Tiroplasti Medialisasi Dengan Gore-Tex (Pengalaman di Surabaya). Dalam: Media PERHATI. Volume 11. Surabaya, 2005. pp.35-55.

Page 72: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Devira Zahara dkk. Paralise Aduktor Plika Vokalis Unilateral...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 287

6. Koufman JA. Laryngoplastic Phonosurgery. Available from url: http//www.bgsm.edu/voice/phonosurgery.html.

7. Sani A. Gore-Tex Thyroplasty In The Management of Unilateral Vocal Cord Palsy (Abstract). Dalam: Media PERHATI. Volume 11. Surabaya, 2005. pp.58

8. Marieb EN, Mallat J. Human Anatomy. 3rd ed, Benjamin Cummings, New York, 2001. pp. 609-14.

9. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases A Pocket reference. 2nd ed. Thieme med Publishers, New York, 1994. pp. 388-94.

10. Lee KJ. The Larynx. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed, Mc Graw – Hill Medical Publishing Division, New York, 2003. pp.724-69.

11. Ballenger JJ. Anatomi Laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi 13. Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1994. pp. 424-34.

12. Higler AB. Anatomi Dan Fisiologi Laring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. pp. 369-77.

13. Corbridge RJ. The Larynx. In: Essential ENT Practice A Clinical Text, Arnold, London, 1998. pp. 40-60.

14. Maran AGD. Vocal Cord Paralysis In: Logan Turner’s Diseases of the Nose, Throat and Ear. 10th ed, PG Publishing Pte Ltd, Singapore, 1990. pp. 180-4.

15. Weir N. Anatomy of the larynx and tracheobronchial tree. In: Gleeson M, Kerr AG. Ed.Scottt-Brown’s Otolaringology, Basic Sciences. 6th Ed, ButterworthHeinemann, Great Britain, 1997. pp.1/12/1-28

16. Hollinshead WH. Anatomi For Surgeons,The head and Neck. Volume 1, A Hoeber - Harper International Edition, New York, 1980. pp.425-53.

17. Kumar S. Fundamentals Of Ear, Nose, & Throat Diseases And Head-Neck Surgery. 6th ed. The New Book Stall, Calcuta, 1996. pp. 380-404.

18. Ballenger JJ. Penyakit Neurologik laring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1994. pp. 580-617.

19. Maqbool M. Laryngeal Paralysis. In: Ear Nose & Throat Diseases. 6th ed, Jaypee Brothers Medical Publishers PVT. LTd, New Delhi,1993. pp. 443-50.

20. Benjamin B. Vocal Cord Paralysis. In: Endolaryngeal Surgery. Martin Dunitz Ltd, London, 1998. pp. 125-41

21. Howard D. Neurological affections of the pharynx and larynx. In: Hibbert J, Kerr AG.Ed. Scottt-Brown’s Otolaringology, Laringology and Head and Neck Surgery. 6th Ed. Butterworth-Heinemann, Great Britain, 1997. pp.5/9/1-19

22. Dhingra PL. Laryngeal Paralysis. In: Diseases of Ear, Nose and Throat. 3rd ed, Elsevier, New Delhi, 2004. pp. 358-64.

23. Herman C. Medialization Thyroplasty for Unilateral Vocal Cord Paralysis. In: AORN Journal, 2002. pp. 512-21

24. Hoffman HT,Mc Culloch TM. Medialization Laryngoplasty With Gore-Tex. In: Operative techniques in Otolaryngology-Head and Neck Surgery, vol10, No.1 (Mar), 1999, pp.6-8.

Page 73: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 288

Penatalaksanaan Stenosis Vestibulum Nasi dengan Z- Plasty

Delfitri Munir

Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

hidung. Tindakan pembebasan stenosis dilakukan dengan menggunakan flap lokal dan teknik Z plasty dengan hasil yang cukup baik. Kata kunci: stenosis, vestibulum, Z plasty Abstract: Vestibulum stenosis is the constriction of vestibulum cavity. The etiologies are congenital, nasal trauma, iatrogenic and infection, while the symptom is total or subtotal nasal obstruction. Variation of methods to repair vestibulum stenosis are using stent, local flap, skin graft with stent and composite graft taken from auricular tissue. We report a case in a seven years old child with nasal vestibular stenosis caused by nasal trauma. The stenosis was repaired successfully using local flap with Z-plasty technique. Keywords: stenosis, vestibulum, Z plasty PENDAHULUAN

Stenosis vestibulum nasi adalah penyempitan rongga hidung bagian vestibulum.1,2 Penyebabnya meliputi kelainan bawaan lahir, trauma hidung, infeksi dan iatrogenik. Stenosis vestibulum yang didapati sejak lahir, bisa total atau parsial. Luka trauma dapat disebabkan oleh trauma jalan lahir, terbakar, fraktur, dan laserasi yang mencetuskan stenosis.3 Infeksi dan inflamasi meliputi chicken pox, lepra, rinitis atrofi dan lain-lain, yang pada proses penyembuhannya sering menyebabkan jaringan parut. Iatrogenik dapat disebabkan operasi sebelumnya, seperti septoplasti, rinoplasti atau elektrokauter. Di samping itu, trauma akibat pemakain tampon hidung untuk mengontrol epistaksis, dapat mencetuskan terjadinya stenosis hidung. Meskipun jarang, stenosis vestibulum nasi dapat dijumpai pada anak-anak akibat tindakan koreksi bibir sumbing dan deformitas hidung.4,5

Gejala stenosis vestibulum yang paling dirasakan adalah hidung tersumbat. Keluhan ini terutama jika stenosis tersebut komplit dan terjadi deformitas disisi yang sehat misalnya karena septum deviasi. Keluhan juga akan makin berat jika pasien menderita rinitis, sehingga harus bernafas dari mulut, dan dapat menimbulkan gejala ngorok.1,4

Pemeriksaan fisik meliputi rinoskopi anterior dan pemeriksaan endoskopi untuk menentukan lokasi dan tingkat keparahan stenosis itu. Area yang mengalami stenosis meliputi lantai hidung, atap, dan dinding lateral vestibulum.4 Pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk mengetahui, sejauh mana kerusakan yang terjadi, lokasi stenosis dan juga komplikasi yang dapat timbul akibat stenosis vestibulum ini. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah CT-Scan.6

Variasi metoda dalam perbaikan stenosis vestibulum dilakukan dengan berbagai cara. Metoda tersebut meliputi menghilangkan skar dengan pemasangan stent, flap lokal dari

Page 74: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Delfitri Munir Penatalaksanaan Stenosis Vestibulum Nasi...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 289

daerah sekitarnya, split dan full thickness graft kulit dengan pemasangan sten dalam waktu yang lama serta graft komposit yang bisa diambil dari daun telinga.1,5 Flap miokutaneus dari jaringan sekitar hidung, selain mengkoreksi stenosis vestibulum, juga untuk memperbaiki malposisi alar base. Tehnik ini kadang-kadang dikombinasikan dengan pemakaian komposit graft.7 Pemakaian stent biasanya dikombinasikan dengan tindakan bedah setelah membebaskan stenosis yang berguna untuk mencegah stenosis kembali. Dalam hal ini stent berfungsi untuk membuat vestibulum selalu terkembang atau menjadi penyangga. Stent juga bisa dipakai untuk sementara menunggu tindakan bedah, terutama pada stenosis yang tidak komplit dan kelainan kongenital.8 Flap lokal yang paling sering yaitu meliputi Z plasty dan W plasty. Banyak literatur yang menulis penatalaksanaan dengan metoda flap lokal dalam membebaskan stenosis vestibulum. Secara umum tehnik ini sering menimbulkan komplikasi karena vestibulum ini suatu daerah yang sangat sempit dan jaringan yang dipakai untuk rotasi juga terbatas. Di samping itu insisi didalam hidung dapat menimbulkan jaringan parut. Akibat sempitnya daerah operasi, sering operator harus mengambil daerah sekitarnya untuk menambah bahan yang digunakan untuk perbaikan seperti rotasi flap. Biasanya flap diambil dari nasolabial, bibir atau mulut, namun flap ini dapat menimbulkan jaringan parut diwajah. Pemakaian jaringan mukosa dari mulut adalah tehnik baru, meliputi diseksi yang dalam pada jaringan mukosa mulut. Komplikasi teknik ini dapat terjadi edema paska operasi dan menambah risiko terjadinya fistel naso-oral.1,8 Split dan full thickness skin graft dilakukan dengan cara mentransformasikan jaringan dari luar area hidung untuk memperbaiki penyempitan tersebut setelah dilakukan pembebasan. Teknik ini tidak cukup jika dipakai untuk menutup jaringan yang luas, tetapi full thickness dapat digunakan sebagai graft yang tebal. Di samping itu, tehnik ini memerlukan stent intranasal untuk menyangga serta mempermudah penyembuhan dan biasanya dilepas setelah waktu 3 minggu. Komplikasi pemakaian skin graft sering timbul kontraktur setelah stent diangkat dan timbul kegagalan pada saat

mengkoreksi stenosis yang sebenarnya. Graft komposit dapat dilakukan dengan menggunakan graft dari daun telinga. Kartilago yang keras digunakan untuk penyangga sehingga stent tidak diperlukan lagi. Kekurangannya teknik ini adalah timbul bekas didaerah donor.1,4

Komplikasi yang paling sering terjadi pada tindakan koreksi stenosis nasi adalah gagal untuk membebaskan obstruksi. Biasanya hal ini disebabkan oleh karena tehnik bedah yang dipakai tidak disesuaikan dengan bentuk anatomi hidung pada pasiennya. Kolumela yang tebal dan lubang hidung yang sangat kecil dapat menyebabkan kegagalan, sehingga terjadi sinekia bahkan restenosis jika tidak dibantu dengan pemakaian stent. Komplikasi yang lain meliputi epistaksis, infeksi, skar, kontraktur dan bentuk hidung menjadi tidak simetris. Pada daerah donor juga kadang menjadi masalah seperti penyembuhan luka yang tidak sempurna, misalnya timbul keloid.4,5 LAPORAN KASUS (MR: 27 84 23)

Seorang anak perempuan A berumur 7 tahun, datang ke poliklinik THT RSUP, RS Haji Adam Malik tanggal 10 Mei 2005, dengan keluhan utama hidung tersumbat. Hidung tersumbat dialami penderita sejak 8 bulan. Satu bulan sebelumnya penderita terjatuh dan hidungnya terbentur batu. Dari hidung sebelah kanan keluar darah yang cukup banyak dan berhenti sendiri setelah 2 hari. Sejak timbul keluhan hidung tersumbat, tidurnya sering mengorok.

Pada pemeriksaan dijumpai nares kanan tertutup dan terlihat lubang sebesar jarum spuit ditengahnya. Nares dan kavum nasi kiri dalam batas normal. Ditegakkan diagnosis stenosis vestibulum dekstra et causa trauma hidung. Hasil CT-Scan Paranasal Sinus 18 Mei 2005 adalah tidak tampak tanda-tanda sinusitis dan tanda-tanda fraktur. Pemeriksaan laboratorium dan foto torak dalam batas normal.

Tanggal 10 Juni 2005 dilakukan operasi dengan terlebih dahulu menginfiltrasi adrenalin 1: 200.000 pada daerah stenosis sekitar lubang. Dibuat garis insisi berbentuk X dengan poros pada lubang stenosis membentuk flap dan ujungnya di fiksasi dengan benang. Dibuat insisi berbentuk tanda

Page 75: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 290

tambah (+) pada mukosa dalam, juga membentuk flap dan difiksasi. Ujung flap yang berada dekat lubang kulit dalam dijahitkan kebagian sudut yang menjauhi lubang pada kulit luar dengan menggunakan vicryl 5/0. Demikian juga masing-masing ujung kulit luar dijahitkan kebagian sudut kulit dalam dengan menggunakan vicryl 5/0.

Evaluasi hasil akhir, perdarahan ± 5 cc, dipasang tampon sofratule (tidak padat). Keadaan umum post operasi baik dan diberikan terapi injeksi Ampicillin 500 mg/6 jam.

Gambar prosedur operasi

stenosis

Gambar sebelum dan sesudah operasi

Tanggal 12 Juni 2005 (hari ke 3),

sofratule dibuka. Tanggal 13 Juni 2005 (hari ke 4), dilakukan rinoskopi anterior, tampak krusta yang mengering dan di bersihkan. Luka operasi kering, perdarahan tidak ada dan permukaan mukosa vestibulum sudah rata. Tanggal 14 Juni 2005 (hari ke-5), jahitan dibuka selang seling, dan luka operasi masih kering. Diberikan terapi oral Amoxicillin 3 x 250 mg. Tanggal 15 Juni 2005 (hari ke-6) jahitan buka seluruhnya, luka operasi kering dan perdarahan tidak dijumpai. DISKUSI

Stenosis nasal vestibulum adalah kejadian yang tidak umum, dan dapat memberikan masalah dalam penatalaksanaannya. Dengan perencanaan yang hati-hati sebelum operasi dan pengetahuan yang baik, dapat menghindarkan masalah yang timbul. Perbaikan stenosis akan memberikan hasil yang baik bila dapat menyesuaikan tehnik operasi dengan bentuk anatomi, area stenosis dan jenis stenosisnya (total atau parsial). Tantangannya adalah memperbaiki stenosis tanpa membentuk stenosis yang baru atau menyebabkan skar yang baru dan

mendapatkan kepuasan dari pasien segera setelah operasi maupun jangka lama.10

Pada kasus ini stenosis vestibulum terjadi pada vestibulum sebelah kanan yang disebabkan oleh trauma hidung. Beberapa laporan menunjukkan trauma hidung insidennya sangat tinggi pada anak-anak usia 7 - 11 tahun, karena aktivitas mereka yang sangat tinggi. Biasanya sering timbul epitaksis, edema jaringan lunak hidung serta hematoma.11 Dari anamnesa dikatakan perdarahan hidung berlangsung selama 2 hari tanpa tindakan dan pengobatan yang memadai. Trauma tersebut kemungkinan menimbulkan laserasi dimana pada penyembuhan luka terbentuk jaringan fibrotik. Kemungkinan terjadinya fraktur sudah disingkirkan dengan pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.

Metoda flap lokal dengan Z plasty dipilih karena metoda ini dianggap cocok untuk anatomi hidung penderita. Secara inspeksi alanasi pasien ini tidak kolaps dan lubang hidungnya cukup lebar, sehingga pasca operasi tidak perlu menggunakan stent. Stenosisnya hampir total sehingga diharapkan cukup mendapatkan jaringan kulit sebagai flap. Pada kasus ini stent tidak diperlukan, karena seluruh mukosa dapat tertutup dengan rapat menggunakan flap Z plasty, dan tidak terjadi himpitan karena bentuk nostril yang cukup lebar. Evaluasi paska operasi menunjukkan hasil yang baik. Pasien dapat bernafas lega, dan ketika tidur tidak lagi berbunyi, serta bekas luka operasi kering tanpa terlihat tanda-tanda infeksi. KESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus stenosis vestibulum nasi kanan pada seorang anak perempuan usia 7 tahun yang disebabkan karena trauma hidung, dan dilakukan tindakan pembebasan stenosis dengan teknik Z plasty. Setelah operasi, pasien dapat bernafas lega dan pada luka bekas operasi tidak dijumpai tanda-tanda infeksi. DAFTAR PUSTAKA 1. Blandini D, Tremolada C, Beretta M.

Iatrogenic Nostril Stenosis. Aesthetica Correction Using a Vestibular Labial Mucosa Flap. Case Report. Plastic and Reconstructive Surgery 1995; 95 (3): 569-71

Page 76: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Delfitri Munir Penatalaksanaan Stenosis Vestibulum Nasi...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 291

2. Jablon J.H, Hoffman J.F. Birth trauma causing nasal vestibular stenosis. Archives of Otolaryngology Head Neck Surg 1997; 123 (9): 1004-6

3. Morimoto N, Kawashiro N, Tsuchihashi N, Shishiyama F. Congenital choanal atresia and nasal stenosis. Nippon Jibiinkoka Gakkai Kaiho 2002; 105(5): 570-6.

4. Karen M, Chang E, Keen MS. Auricular composite grafting to repair nasal vestibular stenosis. Otolaryngology Head and neck Surgery 2000; 122(4): 529-32

5. Tandon D.A. Opening the stenosis nostril: How I do it. Case Report. Otolaryngology and Head and Neck Surgery 2001; 53 (1)

6. Koga K, Kawashiro N, Araki A, Tsuchihashi N, Sakai M. Radiographic diagnosis of congenital bony nasal stenosis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2001; 59(1): 29-39.

7. Kotzur A, Gubisch W, Meyer R. Stenosis of the nasal vestibule and its treatment. Case Report. Aesthetic Plast Surg 1999; 23(2): 86-92.

8. Egan KK, Kim DW. A novel intranasal stent for functional rhinoplasty and nostril stenosis. Laryngoscope 2005; 115 (5): 903-9.

9. Adamson JE. Expanded Forehead-Nose Flap. Plastic and Reconstructive surgery 1988; 81 (1): 17-20.

10. Menger DJ, Peter J. F.Lohuis M. Nasal Vestibular Stenosis: Post operatif management. Arch Facial Plast Surg 2005; 7: 381-6

11. Chmielick M, Bielicka A, Brand M. Analysis of circumstances and consequences surrounding nasal trauma in children. Otorinolaryngology 2001; 4: 47-9

Page 77: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 292

Nasofaring pada Anak Umur 9 Tahun

Delfitri Munir Departemen IlmuTelinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara

Page 78: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 293

Page 79: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 294

-50.

3. Titcom, C.P. ‘High incidence nasopharyngeal carcinoma in Asia’. J Insur Med 2001; Vol. 33 (3), pp. 235-8.

4. Takashita, H., Furukawa, M., Fujieda, S., Shoujaku, H., Ookura, T., Sakaguchi, M. ‘Epidemiological research into nasopharyngeal carcinoma in the Chubu region of Japan’. Auris Nasus Laryng 1999; Vol. 26(3), pp. 277-86.

5. Lee, A.W., Foo, W., Mang, O., Sze, W.M., Chappell, R., Lau, W.H., Ko, W.M. ‘Changing epidemiology of nasophryeal carcinoma in Hong Kong over a 20-year period (1980-1999): an encouraging reduction in both incidence and mortality’. Int J Cancer 2003; Vol. 103 (5), pp. 680-5.

6. Kuten, A., Cohen, Y., Lavie, R., Dale, J., Ben Arush, M.B., Goldberg H, Stein M. ‘Update on nasopharyngeal carcinoma in northern Israel’. Srtahlenther Onkol 1994; Vol. 170 (10), pp. 565-70.

7. Chia, K.S., Lee, H.P. ‘Epidemiology’ in Nasopharyngeal Carcinoma, 3th edition, eds. V.F.H. Chong, Armour Publishing, Singapore 1999; pp. 1-4.

8. Maalej, M., Daoud, J., Bouaounia, N., Benna, F., Frikha, H., Jalluoli, M., Ellouze, R., Ben Romdhane, K.B., Cammoun, M., Ben Atia, R.B. ‘Clinical and evolutive aspects of nasopharyngeal T4N0 neoplasms’. Bull Cancer 1995; Vol. 82 (9), pp. 728-31.

9. Delfitri, M. ‘Beberapa Aspek KNF pada Suku Batak di Medan dan Sekitarnya’. MKN 2006; Vol. 39 (3), pp. 12-17

10. Chang, A.Y., Su, S.W., Zen, S.H., Wang, W.C. ‘Nasopharyngeal carcinoma in young patiens’. Am J. Clin Oncol 1991; Vol. 14 (1), pp. 1-4.

11. Prasad, U., Rampal, L. ‘Descriptive epidemiology of nasopharyngeal carcinoma in Penisular Malaysia’. Cancer Causes Control 1992; Vol 3 (2), pp. 179-82.

12. Kamal, M.F., Samarrai, S.M. ‘Presentation of epidemiology of nasopharyngeal carcinoma in Jordan’. J Laryngol Otol 1999; Vol. 113 (5), pp. 422-6.

Page 80: MKN Vol_ 41 No_ 4 Desember 2008

Delfitri Munir Nasofaring pada Anak...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 4 Desember 2008 295

13. Morales-Angulo, C., Megia Lopez, R., Rubio Suarez, A., Rivera Herrero, F., Rama, J. ‘Carcinoma of the nasopharyng of Catarbia’. Acta Otorrinolaryngol Esp 1999; Vol. 50 (5),pp. 381-6.

14. Li, P., Ai, P., Chen, L., Yang, Y., Li, Z., Zhang, H. ‘Analysis on clinical data of 677 death cases with nasopharyngeal carcinoma’. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zhi 2002; Vol. 16 (1), pp. 15-6.

15. Nwaorgu, O.G. dan Ogunbiyi, J.O. ‘Nasopharyngeal cancer at the univercity College Hospital Ibadan Cancer Registry: an update’. West Afr J Med 2004; Vol. 23 (2), pp. 135-8.

16. Bilbo, S.D. and Nelson, R.J. ‘Sex Steroid Hormones enhance immune fuction in Male and Female Siberian Hamsters’. Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol 2001; Vol. 280, pp. 207-213.

17. Plaza, G., Manzanal, A.I., Fogue, L., Santon, A., Martinez-Montero, J.C., Bellas, C. ‘Association of Epstein-Barr virus and nasopharyngeal carcinoma in Caucasian patients’. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002; Vol. 111 (3 Pt 1), pp. 210-6.

18. Shah, S.H., Soomro, I.N., Haroon, S., Moater, T. ‘Association of Epstein-Barr virus with nasopharyngeal carcinoma’. J Pak Med Assoc 2000; Vol. 50 (6), pp. 182-3.

19. Krishna, SM., James, s., Kattoor, J., Balaram, P. ‘Serum EBV DNA as a Biomarker in primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin’ Jpn J Clin Oncol 2004; Vol. 34 (6), pp. 307-311.

20. Nilson, K., Klein, G., Henle, W., Henle, G. ‘The establishment of limphoblastoid lines from adult and foetal human lymphoid tissue and its dependence on EBV’. Int. J. Cancer 1971; Vol. 8, pp. 443-50.

21. Young, L.S., Clark, D., Sixbey, J.W., Rickinson, A.B. ‘Eistein-Barr virus receptors on human pharyngeal epitelia’. Lancet 1986; Vol. 1, pp. 240-2.

22. Billaut, M., Busson, P., Huang, D.P., Muller-Lantzch, N., Rosselet, O., Pavlish, H. ‘Epstein-Barr virus (EBV) containing nasopharyngeal carcinoma cells express the B-cell activation antigen Bast2/CD23 and low levels of the EBV receptor/CR2’. J. Virol 1989; Vol. 63, pp. 4121-28.

23. Jawetz, E., Melnick, J.L., Edelberg, E.A., Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N. ‘Virologi’. Dalam Mikrobiologi Kedokteran. Alih bahasa Nugroho, E. Maulani, R.F. Edisi ke 20, EGC, Jakarta 1996; pp. 351-76.

24. Pathmanathan, R. dan Raab-Traub, ‘Epstein-Barr virus’ in Nasopharyngeal Carcinoma, 3th edition, V.F.H. Chong, S.Y. Tsao, Amour Publishing, Singapore 1999; pp. 14-21.