etika 3 - dr a a andi prayitno s.h., mkn

49
ETIKA TOPIK 3 HATI NURANI SEBAGAI FENOMENA MORAL

Upload: kiong-tek-tjar

Post on 12-Jul-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

ETIKATOPIK 3

HATI NURANI SEBAGAI FENOMENA MORAL

Page 2: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Kesadaran dan Hati Nurani Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau

buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret seseorang.

Hati nurani ini memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu kini dan di sini.

Hati nurani berbicara tentang situasi yang sangat konkret, bukan umum.

Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan pribadi dan mengkhianati martabat terdalam.

Hati nurani berkaiatan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran

Page 3: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Perbedaan pengenalan (knowledge) dan kesadaran (consciousnessPengenalan (knowledge)

Mengenal bila melihat, mendengar atau merasa (termasuk binatang)

Kesadaran (consciousness) Kesadaran hanya dimiliki

manusia. Kesadaran: kesanggupan

manusia untuk mengenal dirinya sendiri dank arena itu berefleksi tentang dirinya.

Seekor binatang tidak berpikir atau berefleksi tentang dirinya

Page 4: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Kesadaran, conscientia (latin): scire (v, mengetahui) dan awalan con (bersama dengan, turut).

Conscentia: berarti “turut mengetahui” Hal ini menjelaskan gejala “penggandaan”: bahwa sayalah

yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri saya sendiri sebagai subyek yang melihat..

Kata conscientia digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”.

Dalam hati nurani, menunjukkan bahwa: bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral; adalah sama dengan pengertian conscientia

Page 5: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif

HN Retrospektif: Memberikan penilain tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau.

HN Retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek (a bad conscience); dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik (a clear/good conscience).

Seseorang merasa puas melakukan sesuatu karena telah melakukan apa yang harus dilakukan (kewajiban).

HN Retrospektif merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin manusia tentang perbuatan yang telah berlangsung.

Page 6: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Ada pendapat filsuf bahwa hati nurani dalam keadaan gelisah (a bad conscience) merupakan yang paling mendasar, sebagai hati nurani yang sebenarnya. Di sini tampak dengan paling jelas dampak dan tuntutan moralias atas seseorang.

Filsuf Jerman-Amerika, Hanna Arendt (1906-1975) berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan tenang hanya berarti tiadanya hati nurani yang gelisah. Hati nurani sebagai instansi yang menilai terutama bertindak negative: mengecam dan mencela. Hati nurani yang tenang dengan demikian dihasilkan karena dibebaskan dari segala tuduhan.

Page 7: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani Prospektif HN Prospektif melihat ke masa depan dan

menilai perbuatan-perbuatan seseorang yang akan datang.

HN Prospektif mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu atau mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu.

HN Prospektif terkandung semacam ramalan. HN retrospektif yang akan datang, jika

menjadi kenyataan.

Page 8: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani Saat Ini Hati nurani dalam arti yang sebenarnya

justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan di sini.

Hati nurani terutama adalan conscience, “turut mengetahui”, pada ketika perbuatan itu berlangsung.

Page 9: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani Bersifat Personal dan AdipersonalHati Nurani Personal: Berkaitan dengan pribadi bersangkutan. Hati nurani berbicara atas nama pribadi. Norma-norma dan cita-cita yang diterima

seseorang dalam hidup sehari-hari dan seolah-oleh melekat secara pribadi, akan nampak dalam hati nuraninya.

Tidak ada hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian

seseorang

Page 10: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

HN AdipersonalHN Adipersonal: HN melebihi pribadi seseorang, seolah-olah

merupakan instansi di atas pribadi. Hati Nurani: “hati yang diterangi” (nur= cahaya). Seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi

dan hati seseorang. Bahasa Indonesia: hati nurani: suara hati, kata hati,

suar batin. Menunjukkan seakan-akan membuka diri terhadap

suara yang datang dari luar. Hati nurani mempunyai aspek transenden, artinya,

melebihi pribadi.

Page 11: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Sebagai orang beragama, hati nurani adalah suara Tuhan (Tuhan bebicara melalui hati nurani).

Hati nurani memili dimensi religious. Bagi orang beragama tidak ada cara lebih jelas untuk

menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama daripada justru pengalaman hati nurani ini.

Tetapi adalah naïf sekali, bila orang berpikir bahwa melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin seseorang. Bila melakukan kekerasan atas nama Tuhan.

Hati nurani tidak melepaskan seseorang dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan seseorang secara obyektif.

Page 12: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif Hati nurani apakah termasuk perasaan, kehendak, atau

rasio? Filsafat dewasa ini telah terbentuk keyakinan bahwa

manusia tidak bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya.

Harus bertolak dari kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak bolah dipisahkan.

Hati nurani memainkan peranan perasaan, kehendak, dan rasio.

Dalam filsafat ada tendensi kuat untuk mengakui bahwa nati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Sebab hati nurani memberikan penilaian, artinya, satu putusan (judgement). Memutuskan merupakan fungsi dari rasio.

Page 13: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Rasio Teoritis dan Rasio Praktis

Rasio teoritis Rasio Praktis

Rasio teoritis adalah memberi jawaban atas pertanyaan, apa yang dapat saya ketahui? Atau juga: bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas.

Rasio sumber pengetahuan (termasuk ilmu pengetahuan).

Bersifat abstrak.

Rasio Praktis: terarah pada tingkah laku manusia.

Rasio praktis memberi jawaban atas pertanyaan: apa yang harus saya lakukan?

Rasio praktis memberi penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan seseorang.

Bersifat konkret.

Page 14: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati nurani sangat konkret sifatnya dan mengatakan apa yang harus dilakukan kini dan di sini.

Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis seseorang yang umum.

Pengetahuan etis seseorang (prinsip-prinsip moral yang seseorang pegang dan nilai-nilai yang seseorang akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret.

Hati nurani seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis seseorang yang umum dengan perilaku konkret. 

Putusan hati nurani bersifat rasional, tetapi tidak mengemukankan suatu penelaran logis (reasoning).

Page 15: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuitif, artinya langsung menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela (bagaikan tembakan).

Kadang-kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan seseorang pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif.

Page 16: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia.

Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang.

Tidak boleh terjadi, bahwa seseorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan hati nuraninya: Deklarasi Universal tentang HAM (1948) disebut “hak atas kebebasan hati nurani” (pasal 18).

Page 17: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral seseorang.

Dipandang dari sudut subyek, hati nurni adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan seseorang.

Putusan hati nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku seseorang.

Tetapi belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif. Hati nurani bisa keliru.

Page 18: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati nurani memang membimbing seseorang dan menjadi patokan untuk perilaku seseorang, tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri,melainkan bersalah tidaknya sipelaku.

Bila perbuatan secara obyektif baik, tapi suara hati menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan perbuatan itu orang bersangkutan toh secara moral bersalah.

Dan sebaliknya, orang tidak bersalah bila suara hatinya menyangka perbuatan tertentu baik, sedangkan secara obyektif perbutan itu buruk.

Jadi Hati nurani adalah norma perbuatan seseorang pertama-tama sejauh menyangkut soal kebersalahan.

Page 19: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Tidak boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani.

Hati nurani selaku harus diikuti, juga kalau secara objektif sesat.

Akan tetapi manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.

Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya.

Page 20: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Pembinaan Hati Nurani Hati nurani bersifat subyektif. Ditentang oleh para filsuf yang dipengaruhi oleh cara

berpikir ilmu pengetahuan empiris. Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai cita-

cita: obyektivitas sempurna, keadaan yang sedapat mungkin dilepaskan dari setiap unsure subyektif.

Subyektivitas = kurang serius, tidak bisa diandalkan, sewenang-wenang.

Hati nurani bertugas untuk menerjemahkan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang umum ke dalam situasi konkret.

Hati nurani yang berfungsi dengan semestinya.

Page 21: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Moral insanity: kelainan jiwa yang membuat orang seolah-olah “buta” di bidang etis, sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Tidak normal, tidak memiliki hati nurani. Hati nurani ini harus diobati.

Hati nurani harus dididik, seperti akal budi membutuhkan pendidikan.

Pendidikan hati nurani bersama dengan seluruh pendidikan moral jauh lebih kompleks sifatnya.

Page 22: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah (Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958).

Seperti tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakukan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.

Kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang. Pendidikan hati nurani tidak membutuhkan sistem

pendidikan formal (keluarga).

Page 23: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

HATI NURANI DAN SUPEREGO Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856-

1939), dokter ahli saraf Austria yang meletakkan dasar untuk psikoanalisis, istilah itu digunakannya dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian manusia.

Struktur Kepribadian- pandangan Freud Sebagaimana tubuh memiliki struktur (kepala, badan,

kaki, dll). Psike juga mempunyai struktur yang meliputi tiga

instasi atau tiga sistem yang berbeda-beda: Id, Ego, dan Superego.

Superego berhubungan erat dengan hati nurani

Page 24: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Id Id adalah lapisan yang paling fundamental

dalam susunan psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat

impersonal atau anonym, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.

Dengan Id berlaku bukan aku (=subyek) yang melakukan, melainkan ada yang melakukan dalam diri aku.

Page 25: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Id dibuktikan dalam tiga cara: Mimpi. “Bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang

bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi sendiri seolah-olah hanya

merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran. 

Perbuatan keliru, salah ucap, keseleo lidah, lupa, dsb.nya. Perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar.

Neurosis. Dari segi fisiologis pasien-pasien itu tidak mengidap kalainan apa-apa, namun pada kenyataannya mereka mempunyai bermacam-macam gejala yang aneh, yang disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar.

Pasien neurotis bisa sembuh dengan menggali kembali trauma psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.

Page 26: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, khususnya naluri-naluri seksual serta agresif, keinginan-keinginan yang direpresi.

Hidup manusia pada awalnya terdiri dari Id saja (janin, bayi baru lahir, hidup psikisnya 100% Id saja).

Id sebagai bahan dasar perkembangan psikis lebih lanjut. Pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh control pihak

subyek. Id hanya melakukan apa yang disukai. Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Id tidak mengenal waktu (timeless). Id tidak berlaku hukum logika. Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam

neurosi, namun perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal.

Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

Page 27: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Ego Ego atau Aku mulai mekar dari Id melalui

kontaknya dengan dunia luar. Aktivitas Ego bisa sadar, prasadar maupun

tak sadar. (Sebagaian besar ego bersifat sadar).

Aktivitas sadar: persepsi lahiriah (melihat pohon); persepsi batiniah (merasa sedih).

Aktivitas prasadar: fungsi ingatan, lupa. Aktivitas tak sadar: mekanisme-mekanisme

pertahanan (defence mechanisms).

Page 28: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the reality principle): sebagaimana tampak dalam pemikiran yang obyektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang besifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Prinsip kesenangan dari Id di sini diganti dengan prinsip realitas.

Tugas Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjami penyesuaian dengan alam seseseorang. Ego mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa yang akan dikerjakan.

Ego menjamin kesatuan kepribadian, atau mengadakan sintesis psikis.

Page 29: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Superego Ada instansi lain yang melepaskan diri dari Ego, yaitu

superego. Superego bagian dari Ego, dan mempunyai susunan

psikologis lebih kompleks, tetapi juga mempunyai perkaitan sangat erat dengan Id.

Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai obyek dan caranya kerap kali sangat keras.

Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego seperti dengan Id.

Ketidakcocokan antara Ego dan Superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis.

Page 30: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari ego dalam bentuk observasi diri-, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri.

Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subyek sepanjang perkembangannya.

Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa besalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya.

Page 31: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hati Nurani dan Superego Hati nurani tidak sama dengan Superego.  Hati Nurani Konteks etis. Hati nurani berfungi pada taraf sadar. Taraf sadar merupakan

prasyarat supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik, karena selama tidak sadar tidak mungkin ia menjadi penuntun dan penyuluh di bidang moral.

  Superego Konteks psikoanalitis atau metapsikologis. Aktivias bisa tak sadar: pada tahap Superego baik sumber rasa

bersalah maupun rasa bersalah itu sedniri biasanya tidak disadari

Page 32: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hubungan hati nurani dan superego Superego dimengerti sebagai dasar psikologis

bagi fenomena etis yang seseorang sebut “hati nurani” atau lebih tepat seseorang katakana, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Bagi Freud, Superego bersifat leibh luas daripada hati nurani saja.

Fungsi-fungsi psikis manusia pada permulaaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ mengalami suatu perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan.

Hati nurani juga demikian.

Page 33: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Lawrence Kohlberg (AS 1927-1988): Perkembangan Kesadaran Moral Dipengaruhi oleh psikolog Swiss, Jean

Piaget (1896-1980). Penelitian kepada usia 6 sd 28 tahun

(menyelidiki orang yang sama dalam jangka waktu tertentu, untuk mengetahui perkembangan moralnya).

Penelitiannya juga berlaku secara transkultural dan tidak terbatas pada suatu kebudayaan tertentu saja.

Page 34: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Metode Mengemukakan sejumlah dilemma moral

khayalan kepada subyek-subyek penelitian. Untuk dilemma-dilema itu tidak tersedia pemecahan dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahannya sendiri. Jadi tidak mungkin mereka melaporkan saja apa yang mereka saksikan di seseseorangrnya; mereka harus menyampaikan keputusan moral mereka sendiri.

Page 35: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Hal yang ingin dicapai Bagaimana anak-anak memecahkan

dilemma moral itu. Menyangkut isi keputusan moral Alasan-alasan apa dikemukakan untuk

membenarkan pemecahan itu. Stuktur dan bentuknya.

Page 36: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Yang menarik bagi Kohlberg, bukan terutama penilaian-penilaian moral yang berbeda-beda, melainkan struktur atau bentuk perbedaan-perbedaan itu bersama dengan perkembangannya.

Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak belangsung menurut tiga tingkat, masing-masing tingkat terdiri dari dua taham.

Tidak setiap anak berkembang sama cepat, sehingga tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat dikaitkan dengan umur tertentu.

Page 37: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

PRAKONVENSIONALTahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuahan Anak mendasarkan perbutannya atas

otoritas konkret (orang tua, guru) dan hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak patuh.

Prespektif si anak semata-mata egosentris. Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah

perasaan dominan yang menyertai motivasi moralnya.

Page 38: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

PRAKONVENSIOANAL Tahap 2: Orientasi relativis instrumental Perbuatan adalah baik, jika ibarat

instrumen (alat) dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.

Hubungan dengan orang lain sbg hubungan tukar menukar.

Belum ada rasa loyalitas, terima kasih atau keadilan.

Page 39: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

KONVENSIONAL Tahap 3: Penyesuaian dengan kelompok

atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak cenderung mengarahkan diri kepada

keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah).

Ingin bertingkah laku secara “wajar” menurut norma-norma yang berlaku.

Maksud dan perbuatan mulai disadari

Page 40: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

KONVENSIONAL Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

(law and order). Paham “kelompok” dengan mana anak

harus menyesuaikan diri di sini diperluas: dari kelompok akrab ke kelompok yang lebih abstrak (suku bangsa, negara, agama)

Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormai otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri.

Page 41: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

PASCAKONVENSIONAL Tingkan otonom/berprinsip. Hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung

jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin.

Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis.• Disadari relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat

pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus.

• Apa yang disetujui dengan cara demokratis baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi.

• Hukum ditekankan, persetujuan bebasan dan perjanjian sbg unsur pengikat bagi kewajiban.

Page 42: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

PASCAKONVENSIONAL Tahap 6: Orientasi prinsip etika yang

universal. Orang mengatur tingkah laku dan penilaian

moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Prinsip-prinsip etis (keadilan, kesediaan

membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi), dan hati nurani berlaku secara universal.

Page 43: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Ciri Khas Perkembangan Moral Sifat pertama ialah bahwa perkembangan

tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti, si anak mulai dengan tahap pertama, lalu pindah ke tahap kedua, dan seterusnya. Semua tahap harus dijalani menurut urutan itu.

Sifat kedua: orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap di atas tahap di mana ia berada.

Page 44: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Sifat ketiga: bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Sebabnya, karena cara berpikir tahap berikutnya dapat memecahkan dengan memuaskan dilemma moral yang dialami.

Sifat keempat: bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahp berikutnya terjadi bila dialami ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya, orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau dilemma moral yang dihadapi

Page 45: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Menurut isi dan bentuknya tahap 6 akan dinilai sebagai puncak perkembangan moral.

Oleh sebab itu tahap 6 harus menjadi tujuan pendidikan moral, biarpun pada kenyataannya hanya sedikit orang mencapai tahap ini.

Page 46: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

SHAME CULTURE DAN GUILT CULTURE Shame culture: kebudayaan di mana pengertian-

pengertian seperti “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “status”, dan “gengsi” sangat ditekankan.

Bila orang melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain.

Bukan perbuatan jahat itu sendiri dianggap penting; yang penting ialah bahwa perbuatn jahat tidak akan diketahui.

Bila perbuatan jahat diketahui, pelakukanya menjadi “malu.”

Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain.

Dalam shame culture, tidak ada hati nurani.

Page 47: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Guilt culture: kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “dosa” (sin), “kebersalahan” (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan.

Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga.

Menyesal dan meraka kurang tenang akan perbuatanitu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk orang lain (bukan tanggapan dari luar).

Sanksi tidak datang dari luar melainkan dari dalam: dari batin orang bersangkutan.

Dalam guilt culture, hati nurani memegang peranan sangat penting.

Page 48: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Kebanyakan kebudayaan primitive dan hampir semua kebudayaan Asia adalah shame culture.

Kebudayaan di Eropa dan Amerika adalah guilt culture. Shame culture bersifat statis, ketinggalan di bidang

ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolute, dan ditandai oleh “psikolog massa”.

Guilt culture, khususnya bilamana rasa bersalah dihayati secara individual, sanggup untk mengadakan perubahan progresif (termask fenomena seperti industrialisasi), memiliki norma-norma moral yang absolute, dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat individu.

Page 49: Etika 3 - Dr a a Andi Prayitno s.h., Mkn

Antropolog, Clifford Geertz: paham-paham shame dan guilt terlaku dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan dengan jelas.

Milton Singer, antropolog dari Universitas Chicago: membantah bahwa untuk rasa malu sanksinya sellau datang dariluar. Ada juga rasa malu yang tak sadar dan Karena itu terbatas pada keadaan batin seseorang.

Bersifat statis dan terbelakang tidak terdapat dalam kebudayaan Jepang.

Singer: pada kenyataannya rasa malu dan rasa bersalah terdapat dalam kebanyakan kebudayaan dan bahwa sejauh rasa malu atau asa besalah lebih besar dalam suatu kebudayaan hal itu tidak berarti sejauh itu juga kebudayaan tersebut lebih terbelakang atau lebih maju.