win-win solution mkn

139
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm qwertyuiopasdfghjklzxcvbnm Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang Mensejahterakan Rakyat Oleh: Firman Muntaqo 0

Upload: paramitha-akhmad

Post on 26-Dec-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Win-Win Solution Mkn

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty

Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang

Mensejahterakan Rakyat

Oleh: Firman Muntaqo

0

Page 2: Win-Win Solution Mkn

Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah

Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang Mensejahterakan Rakyat

Oleh: Firman Muntaqo€

A. Pengantar

Untuk dapat merumuskan konsep hukum bagi pembangunan hukum investasi bidang

perkebunan dimasa yang akan datang, khususnya yang mengatur tentang pemanfaatan tanah

bagi investasi bidang perkebunan berdasarkan Pancasila, UUD NRI 1945, dan UUPA,

terlebih dahulu akan dikemukakan aspek-aspek yang menjadi dasar penyusunan konsep

hukum1 sebagai kajian politik hukum.

Materi Kuliah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya.€€ Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya1Konsep Hukum dapat dimaknakan sebagai gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka

berjalannya aktifitas hidup bermasyarakat dengan tertib. Konsep hukum merupakan suatu keharusan bagi penelitian terhadap isu hukum/permasalahan hukum pada tataran teori yang bertujuan untuk mengembangkan suatu bidang kajian tertentu yang tujuannya adalah meningkatkan dan memperkaya pengetahuan hukum dalam penerapan aturan hukum.Periksa. Selanjutnya menurut Peter Mahmud, penelitian hukum adalah penelitian yang beranjak dari pemaknaan hukum oleh ilmu hukum, yaitu hukum sebagai Sistem Nilai dan Aturan/Norma Sosial yang di dalamnya sarat dengan nilai. Oleh karena itu, untuk mempelajari hukum (meneliti hukum), maka kondisi instrinsik dari aturan hukum harus difahami. Ilmu Hukum adalah ilmu yang berkarakter preskriptif dan terapan/praktis (Ilmu terapan yang preskriptif-pen). Sebagai ilmu preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, maka ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam pelaksanaan aturan hukum. Sebagai ilmu terapan/praktis, ilmu hukum menjadikan penerapan hukum sebagai objek penelitiannya. Oleh karena itu, penelitian hukum adalah proses menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum (permasalahan hukum-pen) yang dihadapi. Philipus Mandiri Hadjon menggunakan istilah “Pengkajian Ilmu Hukum” untuk penelitian hukum, dari bahasa Belanda de beoefening van de rechtswetenschap atau het bedrijven van de rechtswetenschap. Sebagaimana hukum yang memiliki sisi normatif dan praktis, maka penelitian hukum memiliki sisi normatif yang lebih dikenal dengan metode penelitian hukum normatif atau metode doktrinal. Namun, penelitian untuk sisi praktisnya/penerapannya penerapan hukum) seringkali secara tidak tepat disebut dengan penelitian yuridis empiris/sosiologis. Penelitian sisi praktis/penerapan hukum tersebut tetaplah merupakan penelitian hukum, karena mengacu pada nilai dan kaidah dengan tujuan akhir menghasilkan argumentasi hukum, teori atau konsep hukum baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi. Menurut Bernard Arif Sidharta, segala sesuatunya dalam penelitian hukum pengolahan akhir berbagai masukan tetap hanya dapat dilakukan dengan metode normatif (doktrinal) yang mengacu pada nilai dan kaidah, karena tujuan penelitian hukum adalah untuk menghasilkan argumentasi hukum, teori atau konsep hukum baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi. Selanjutnya, mengutip pendapat Enid Campbell et al, Peter Mahmud Marzuki menyatakan, atas dasar kenyataan ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoretis, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Periksa : Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan

1

Page 3: Win-Win Solution Mkn

Oberlin Silalahi menyatakan, dalam politik hukum terdapat 5 (lima) aspek yang harus

diperhatikan, yaitu:

1. Goal atau tujuan yang hendak dicapai; 2. Plans/Proposal, yaitu pengertian spesifik untuk mencapai tujuan; 3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan;4. Decision/Keputusan, yaitu tindakan - tindakan untuk menentukan tujuan, membuat

rencana, melaksanakan program, mengevaluasi program, dan;5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, sekunder atau

primer). 2

Penyusunan konsep hukum investasi bidang perkebunan didasarkan pada kenyataan,

pemerintah melalui berbagai peraturan dan kebijakan pemanfaatan tanah yang dikeluarkan,

lebih memihak pada perusahaan perkebunan, dan lebih terkonsentrasi pada upaya

menciptakan iklim penanaman modal bidang perkebunan yang kondusif bagi penanaman

modal dengan cara memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan, khususnya di bidang

perizinan, namun cenderung mengorbankan rakyat untuk dapat mengakses tanah bagi usaha

perkebunan dalam rangka mencapai kesejahteraannya.

Kebijakan di atas, tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam menciptakan iklim

kondusif tersebut, yaitu masalah pengadaan tanah, hubungan perusahaan dengan petani dan

pekebun, serta serta masalah buruh lepas/harian bidang perkebunan yang telah diamanatkan

oleh UUD NRI 1945 dan UUPA yang menganut politik hukum populis/neo populis.

Kebijakan pemerintah yang menekankan pada pembentukan peraturan dalam rangka

menciptakan iklim penanaman modal bidang perkebunan yang kondusif pada praktiknya

telah menyimpang dari amanat pasal 33 UUD NRI 1945 yang mengamanatkan demokrasi

Bernard Arief Sidharta, 2007. Bandung: Refika Aditama, hal. vii. Periksa juga: Peter Mahmud Marzuki, 2005 . Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media, hal. 20-35. Periksa juga : Philipus Mandiri Hadjon, 1997. ”Pengkajian Ilmu Hukum”, Materi Pelatihan Metode Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Pusat Penelitian Pengembangan Hukum bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hal. 6-7. Periksa juga : Bernard Arief Sidharta, 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung: Mandar Maju, , hal. 194.

2 Oberlin Silalahi, 1993. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara.Yogyakarta: Liberty, Hal.1.

2

Page 4: Win-Win Solution Mkn

ekonomi dalam pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan.

Penyimpangan peraturan dari asas demokrasi ekonomi dan usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan, yang tercermin dari muatan yang terdapat dalam pasal-pasal UUPA, UUPM

dan UUPerkb yang akan dipaparkan berikut ini:

B. Kerangka Konseptual

1. Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Landasan Harmonisasi Hukum dan Peraturan Investasi Bidang perkebunan

Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) adalah landasan idiil pembangunan hukum di

Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan hukum investasi bidang perkebunan yang tertuang

dalam peraturan investasi bidang perkebunan harus didasarkan pada Pancasila, terutama sila

ke dua, ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ke empat, ”kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan; sila ke lima, yaitu ”keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ketiga sila Pancasila tersebut merupakan sumber nilai

utama dalam harmonisasi hukum dan pembentukan peraturan penanaman modal bidang

perkebunan sebagai sarana mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Peraturan bukanlah tujuan3, tetapi sarana untuk mencapai tujuan/cita-cita nasional, yaitu

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mengetahui cita-cita tersebut, terlebih dahulu harus

diketahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-

3Menurut Roscoe Pound, hukum (peraturan) tidak hanya sekedar dapat digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, namun hukum juga dapat berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social engineering). Menurut Mochtar Kusuma, hukum selain berfungsi sebagai sarana pembangunan masyarakat yang didasarkan atas anggapan bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan hukum itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu (law as tool of social control). Anggapan lain yang terkandung dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan adalah, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan (law as tool of social engineering). Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional, yaitu menjamin adanya kepastian dan ketertiban (law as tool of social control). Periksa: Roscoe Pound, dalam Lily Rasjidi, 1990. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung : Citra Aditya, hal. 47. Periksa juga: Mochtar Kusumaatmadja, 1986. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional. Bandung: PT. Binacipta, hal.13.

3

Page 5: Win-Win Solution Mkn

citakan oleh bangsa Indonesia, baru dapat ditentukan peraturan yang bagaimana yang

dibutuhkan untuk dapat membawa rakyat ke arah kondisi masyarakat yang dicita-citakan.

Cita-cita bangsa Indonesia tidak lain adalah tujuan nasional yang tercantum pada alenia ke 4

Pembukaan UUD 1945.4

Apabila peraturan yang berlaku dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan

menimbulkan ketidakadilan, maka peraturan yang ada dapat ditafsirkan sesuai dengan

perkembangan kesadaran hukum masyarakat, membuat kebijaksanaan atau kebijakan baru,

menyempurnakan, mencabut atau mengganti dengan peraturan baru.5

Sebagai negara hukum, upaya untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat

harus didasarkan pada hukum yang dilaksanakan dengan membentuk peraturan. Pasal 33

UUD 1945 merupakan jabaran dari Sila ke 2, 4 dan 5 dalam rangka mencapai sebesar-besar

kemakmuran rakyat, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 UUD 1945

dirumuskan :

(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan;

(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3). Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

(4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang.”

4Sunaryati Hartono, 1976. Apakah The Rule of Law itu, Bandung: Alumni, hal..17. Lihat juga: Sunaryati Hartono, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni, hal.1.

5Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Jilid I: Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, hal.89.

4

Page 6: Win-Win Solution Mkn

Pasal 33 UUD 1945 memuat asas dan prinsip Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial Indonesia, yaitu:

1. Asas kekeluargaan ; 2. Asas penguasaan negara atas:

a. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan;

b. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya;3. Asas demokrasi ekonomi yang mengandung prinsip kebersamaan, efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, serta kesatuan ekonomi nasional;

4. Asas sebesar-besar kemakmuran rakyat;5. Asas peraturan perundang-undangan.

Pasal 33 ayat (5) UUD 45 yang mewajibkan negara membentuk undang-undang sebagai

syarat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD 45 adalah

wujud pelaksanaan konsep negara hukum kesejahteraan yang dianut Indonesia, oleh karena

itu setiap tindakan pemerintah dalam rangka pembangunan perekonomian nasional dan

kesejahteraan sosial adalah sah apabila jelas dasar peraturannya.

Melalui pengkajian terhadap peraturan dan penerapannya yang merupakan

pengembangan hukum, dapat dikaji apakah upaya negara/pemerintah melaksanakan

pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial telah sesuai dan didasarkan pada nilai, asas,

konsep, prinsip dan lembaga yang diamanatkan dan terkandung dalam Konstitusi Negara

Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) yang merupakan penjabaran dari Pancasila.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 22A UUD 19456 yang dirumuskan,

“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-

undang”, pembangunan Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang ditujukan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat harus didasari asas peraturan.

6BAB XVII Pasal 22A UUD 1945 Perubahan Ke Dua disahkan 18 Agustus 2000 dilaksanakan dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Selanjutnya disebut UPPPu).

5

Page 7: Win-Win Solution Mkn

Berdasarkan pola pikir di atas, berbagai nilai, asas, konsep, prinsip dan lembaga yang

diatur dalam berbagai peraturan investasi bidang perkebunan dapat diuji taraf sinkronisasi

maupun konsistensinya terhadap UUD 1945 dan pada akhirnya akan diuji terhadap nilai dasar

yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila, terutama terhadap Sila Ke 2, 4, dan 5 dari

Pancasila sehingga dapat ditentukan derajat harmonisasi dari peraturan tersebut.

2. Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Asas Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial Sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Investasi bidang perkebunan Yang Harmonis berdasarkan Hak Menguasai Negara atas Agraria.

Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, dalam Penjelasan Umum UUD

1945 masalah Kesejahteraan Umum dan Keadilan Sosial tidak dijelaskan secara panjang

lebar, hanya dinyatakan, “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.

Tafsir teleologis dari rumusan tersebut adalah, upaya oleh negara/pemerintah untuk

mewujudkan kesejahteraan sosial harus didasari oleh nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Sila ke lima Pancasila.

Solly Lubis menafsirkan, aspirasi akan terciptanya kesejahteraan umum berarti aspirasi

akan terciptanya suatu tata bina negara dan tata pemerintahannya yang mampu

mencerminkan, mengemban dan mengejewantah suatu negara kesejahteraan (welfare state)

yang sekaligus merupakan suatu tekad perlawanan terhadap tata kehidupan kolonial dan tekad

bulat (ekaprasetia) untuk menata pemerintahan dan masyarakat yang merdeka, berdaulat,

berhak menentukan nasib sendiri (self determination) dan membina kemakmuran yang merata

adil dan makmur.7

Dalam upaya mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka upaya

mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat di bidang ekonomi menjadi tugas utama

7M. Solly Lubis, 1985. Pembahasan UUD 1945. Bandung: Alumni, hal. 25 dan 63 .6

Page 8: Win-Win Solution Mkn

negara/pemerintah. Pemikiran demikian menjadi dasar pendiri negara untuk mengatur bidang

ekonomi pada bab tersendiri dalam UUD 1945 (sebelum perubahan-pen), mengingat

demikian vital dan strategisnya peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, yaitu

pada Bab XIV berjudul Kesejahteraan Sosial Pasal 33 (teks asli-pen) yang dirumuskan:

(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.(2). Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat

hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.(3). Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat.

Penjelasan Pasal 33 (teks asli-pen) dirumuskan:

Dalam pasal 33 tertjantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerdjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggauta-anggauta masjarakat. Kemakmuran masjarakatlah jang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan jang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hidup orang banjak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi djatuh ke tangan orang seorang jang berkuasa dan rakjat jang banjak ditindasnja. Hanja perusahaan jang tidak menguasai hadjat hidup orang banjak boleh di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakjat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat.

Makna kalimat, “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua.., yang diutamakan

bukan kemakmuran orang perorang” adalah lawan daripada sistem ekonomi kapitalisme yang

mengutamakan perseorangan/individu (individualism).

Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang sangat

tajam atau hanya memakmurkan segelintir orang saja, oleh karena itu, secara tegas Pasal 33

UUD 1945 melarang adanya penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara

oleh orang perorang (individu) secara terpusat (monopoli dan oligopoli) maupun praktek

kartel dalam pengelolannya. Bentuk perusahaan yang sesuai bagi prinsip demokrasi ekonomi

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 adalah koperasi.

7

Page 9: Win-Win Solution Mkn

Menurut Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (sebelum perubahan-pen) adalah suatu,

deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch8 atau ketentuan yang bersifat khas

Indonesia, karena hanya ditemukan dalam konstitusi Indonesia, yang berisikan pemberian

kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Ketentuan ini membuktikan Indonesia

menganut faham negara kesejahteraan (WelfareState).

Dilihat dari tempatnya di dalam UUD, yaitu pada Bab XIV tentang Kesejahteraan

Sosial, bermakna persoalan ini erat hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan

sosial bagi masyarakat Indonesia.

Mohammad Hatta memaknai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut:

Apabila kita pelajari pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata bahwa masalah yang diurusnya ialah politik perkonomian Republik Indonesia. Dalam bagian ke dua dan ke tiga daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat 2 terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.9

Mohammad Hatta dalam Dasar Pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan

Tata-Usaha Lama, tahun 1943 menyatakan:

Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya. 10

Dengan demikian menurut Hatta, negara berkewajiban mencegah terjadinya penguasaan

modal terutama tanah sebagai faktor produksi yang mengakibatkan terjadinya penghisapan

8Lemaire,W.L.G., “Het Recht in Indonesia”, dalam Abdurrahman, 1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung : Alumni, hal.36.

9Mohammad Hatta, dalam dalam Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial”, dalam: Dianto Bachriadi, et.al.,ed., 1997, hal.39.

10Mohammad Hatta. Ibid., hal.. 67.

8

Page 10: Win-Win Solution Mkn

orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Dengan kata lain, Hatta menyatakan harus

dapat diciptakan peraturan yang bertujuan untuk melakukan pemerataan pemilikan tanah

(Landreform) sebagai faktor produksi dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat.

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah landasan pijak konsepsi politik hukum agraria

(politico legal concept) Hak Menguasai Negara (HMN) yang dirumuskan pada pasal 2 UUPA

memberi wewenang pada negara/pemerintah untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,

air, dan ruang angkasa dan;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai daripada negara adalah hak tertinggi yang dikenakan terhadap agraria

yang letaknya di bawah Hak Bangsa. HMN memberikan kewenangan demikian luas kepada

negara dalam penguasaan dan pengaturan hak atas tanah yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah.

Konsep hukum negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai lembaga sentral yang

mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat (asas campur tangan

negara). Syarat untuk mencapai cita-cita tersebut adalah, adanya sebuah negara yang kuat,

karena negara/pemerintah akan menjadi pusat dari segala hal, paling tidak dalam hal ini

persoalan keagrariaan11, termasuk dalam penggunaan tanah untuk kegiatan investasi bidang

perkebunan.

11Noer Fauzi & Dianto Bachriadi, “Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan”, dalam KRHN & KPA, 1998. Usulan Revisi UUPA 1960: Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta: KRHN & KPA, hal. 214

9

Page 11: Win-Win Solution Mkn

Ide politik hukum hak menguasai negara dalam UUPA beranjak dari Prasaran Seksi

Agraria Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari Kementrian Agraria di Tretes

bulan November tahun 1958. Intinya, badan pembuat undang-undang meminta saran dari

akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang membenarkan kekuasaan negara atas sumber-

sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini yang dirumuskan dalam Bagian B angka 32

berikut:

B. Hak Menguasai Tanah dari Negara Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan: 1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga dengan

demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium;

2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak publique.

3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat. Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa;a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi yang memegang kekuasaan atas

tanah dan;b. hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaiannya tanah saja. Tersebut No. 3 negara sebagai personafikasi rakyat bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu-individunya. 12

Konsep hak komunes inilah yang kemudian menjadi prinsip dari politik hukum UUPA.

Konsepsi negara menguasai didasarkan asumsi negara berdiri di atas kepentingan semua

golongan atau dalam istilah Kuntowijoyo sebagai Negara Budiman13. Kenyataannya,

12Iman Soetiknjo, 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,: Gadjah Mada University Press, hal. 37-38.

13Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik dari Spinoza, Adam Muller dan Hegel yang berpendapat, negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting, dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Periksa: Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, hal. 34-35.

10

Page 12: Win-Win Solution Mkn

pemerintah sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara sarat dengan kepentingan

kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan

negara/pemerintah, karena itu dapat saja pemerintah menganut orientasi berbeda dengan

orientasi masyarakat, akibatnya orientasi politik hukum investasi perkebunan pemerintah

yang sangat signifikan mempengaruhi muatan/substansi peraturan investasi bidang

perkebunan dapat saja berbeda bahkan bertentangan dengan dengan orientasi/kesadaran

hukum masyarakat.14

Bung Hatta mengomentari Pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen), Bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar perumusan

Pasal 2 ayat (1) UUPA yang memberikan kepada negara Hak Untuk Menguasai pada

tingkatan tertinggi atas Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang terkandung di

dalamnya. Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, namun diberi kewenangan tertinggi

dalam mengatur penggunaannya. Hak Menguasai Negara mewajibkan negara memimpin dan

mengatur penggunaan tanah sebagaimana dirumuskan pada bagian Berpendapat UUPA huruf

d : “Hukum agraria tersebut (UUPA-pen)…, mewajibkan negara mengatur pemilikan tanah

dan memimpin penggunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa

Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat, baik secara perorangan,

maupun gotong royong”, oleh karena itu idealnya tidak terdapat pertentangan antara negara

dengan rakyat, sebagaimana dinyatakan oleh Bung Hatta: “Negara sebagai organisasi

seluruh rakyat fungsinya hanya mengatur, dan tidak berkedudukan sebagai pemilik,…

14Orientasi politik hukum pemerintah sebagai badan penguasa bersifat progressif, antisipatif terhadap perkembangan ke depan, berwawasan nasional, regional, bahkan global yang seringkali tidak berjalan paralel dengan orientasi/kesadaran hukum masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif dengan lingkup wilayah budaya lokal. Periksa: Firman Muntaqo, 2010. Karakter Hukum Pertanahan Era Orde Baru dan Era Reformasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal.1. Periksa juga: Maria R Ruwiastuti, 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas hak-Hak Adat. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, hal.109-110.

11

Page 13: Win-Win Solution Mkn

Tanah perkebunan pun yang sebenarnya milik rakyat, seharusnya dikuasai oleh rakyat

melalui bentuk koperasi, tidak dikuasai oleh seorang pengusaha perkebunan. 15 Boedi

Harsono menyatakan: Tanah bukan komoditas perdagangan, biarpun dimungkinkan tanah

yang dipunyai dijual jika ada keperluan. 16 Tanah merupakan Asset, dan bukan komoditas

perdagangan, walaupun tanah mempunyai nilai ekonomis.17

Setelah amandemen UUD 1945, Bab ke XIV Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 22 A UUD 194518 merupakan landasan

konstitusional pembentukan peraturan investasi bidang perkebunan dalam rangka

menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Pasal 22A UUD 1995 dirumuskan, Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan

undang-undang diatur dengan undang-undang. Amanat Pasal 22A UUD 1945 dilaksanakan

dengan pengundangan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan setiap pembentukan peraturan

berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Sri Redjeki Hartono, pembangunan hukum ekonomi, termasuk pembentukan

peraturan investasi bidang perkebunan bertumpu pada nilai keadilan, sebagaimana yang

termuat dalam sila ke lima Pancasila yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang

selanjutnya dijabarkan menjadi 4 (empat) asas hukum ekonomi yang juga berlaku bagi

pembentukan peraturan investasi, termasuk investasi bidang perkebunan, yaitu:

1. Asas keseimbangan;

2. Asas pengawasan publik;

15Bung Hatta, dalam Dianto Bachriadi, et.al.,ed., 1997.Op.,cit., hal. 3716Boedi Harsono, op.cit.,hal. 28617Firman Muntaqo, “Hak Ulayat (Tanah Marga) dan Pembangunan Perkebunan Dalam Era Otonomi

Daerah (Sebuah Alternatif Penataan Kebijakan Pertanahan Antara Petani, Pemerintah dan Perusahaan Perkebunan di Sumatera Selatan di Era Otonomi Daerah)”. Simbur Cahaya (Mei 2002): hal. 806.

18Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, BAB XVII Pasal 22A UUD 1945 Perubahan Ke Dua disahkan 18 Agustus 2000.

12

Page 14: Win-Win Solution Mkn

3. Asas campur tangan negara, dan;

4. Asas keterbukaan dan tanggung jawab.

Asas keseimbangan menuntut pemerintah/negara dapat membentuk peraturan yang

mengatur secara seimbang antara kepentingan umum dengan kepentingan penanaman modal;

kepentingan pengusaha dan petani/pekebun, dan tenaga kerja bidang perkebunan serta

kepentingan berbagai pihak lainnya yang terlibat dalam kegiatan penanaman modal bidang

perkebunan.

Asas pengawasan publik menuntut adanya kejujuran dari pelaku investasi bidang

perkebunan dan pengawasan masyarakat atas kegiatan penanaman modal bidang perkebunan.

Asas campur tangan negara menuntut negara berperan secara aktif dan arif menjaga

batas-batas keseimbangan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penanaman

modal bidang perkebunan.

Keseluruhan asas-asas investasi bidang perkebunan tersebut tetap bertumpu pada nilai

keadilan, sebagaimana yang termuat dalam sila ke lima Pancasila yaitu, keadilan sosial bagi

seluruh rakyat indonesia. 19

Dengan demikian, karakteristik keadilan yang hendak diwujudkan dalam pembangunan

hukum investasi bidang perkebunan adalah, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di

bidang ekonomi, maka keadilan sosial yang hendak dicapai adalah sebesar-besar kemakmuran

rakyat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Keadilan yang menjadi dasar pembentukan peraturan investasi bidang perkebunan juga

harus didilengkapi dengan asas pemerataan, asas perlindungan dan Hak Asasi Manusia di

bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi golongan rakyat yang lemah, karena kenyataanya

kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan kemampuan masyarakat untuk mengakses 19Sri Redjeki Hartono, 2000. Op.,cit., hal. 3-5.

13

Page 15: Win-Win Solution Mkn

sumber daya alam, terutama tanah yang merupakan faktor produksi utama bagi sebagian besar

rakyat Indonesia tidak sama.

Berdasarkan UUD 1945, UUPA dengan Politik Agraria Populis/Neo Populis, serta

kajian Bung Hatta, Boedi Harsono dan Sri Redjeki Hartono, idealnya pemerintah dapat

mengatur berbagai kepentingan bidang perkebunan berdasarkan kebutuhan pokok masing-

masing pihak di bidang perkebunan dalam pemanfaatan tanah, yaitu kepentingan pemerintah,

perusahaan perkebunan dan rakyat dengan tetap berpegang pada prinsip, bahwa tanah bukan

barang yang dapat diperdagangkan dengan bebas (komoditas), tetapi tanah adalah asset

yang menyatu dengan kehidupan rakyat, oleh karena itu sebagai kekayaan nasional

pemanfaatannya harus diatur dengan benar, sebagai modal mewujudkan sebesar-besar

kemakmuran rakyat, tidak diserahkan pada mekanisme pasar, hanya karena motif menarik

investasi yang sebesar-besarnya.

Jeremy Bentham mengemukakan teori utilitarianisme dalam bukunya Introduction to the

Principles of Morals and Legislation (1789) menyatakan:

Tujuan hukum adalah memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu. Umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat, yaitu ketidaksenangan dan kesenangan. Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan, karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Jadi, menurut Bentham, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar (The greatest happiness of the greatest number of people).20

Berdasarkan teori utilitarisme yang dikembangkan Bentham, perwujudan nilai keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial yang

ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat harus di dasarkan pada asas pemerataan

dan perlindungan terhadap ekonomi lemah, karena dengan asas pemerataan dan perlindungan

20Jeremy Bentham, dalam Muhamad Erwin dan Amrullah Arpan, 2007. Filsafat Hukum Renungan untuk Mencerahkan Kehidupan Manusia di Bawah Sinar Keadilan. Palembang: Universitas Sriwijaya, hal. 42.

14

Page 16: Win-Win Solution Mkn

terhadap golongan ekonomi lemah akan dapat dicapai kebahagian terbesar untuk jumlah

orang terbanyak (The greatest happiness of the greatest number of people).

Asas pemerataan tidak akan dapat mewujudkan The greatest happiness of the greatest

number of people apabila setiap orang memperoleh perlakuan yang sama dalam suasana

bersaing satu sama lain (liberal), sebagaimana yang menjadi paradigma pasar bebas di era

perekonomian global saat ini, karena itu negara/ pemerintah harus campur tangan dan

memberikan perlindungan perlindungan bagi golongan yang lemah, agar keadilan sosial di

bidang ekonomi dapat diwujudkan sesuai dengan faham negara kesejahteraan yang

dikemukakan oleh Arief Hidayat.21

Menurut John Rawls, dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tidak sama atau

tidak seimbang, hukum harus memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang

paling kurang beruntung, sesuai dengan prinsip keadilan, guna mewujudkan keseimbangan

sosial-ekonomi dalam masyarakat tersebut. Menurut Rawls:

Principles of justice provide a way of assigning rights and duties in the basic institutions of society. The Firts principle is that each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for others. The Second principle is that social and economic inequalities are to be arranged so they are both (a) to the greatest benefit of the advantaged, and (b) attached to positions and offices open to all (equal opportunity).22

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Bentham dan Rawls serta asas campur tangan

negara, pembentukan peraturan investasi bidang perkebunan harus didasarkan pada nilai

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, asas pemerataan dan asas perlindungan

terhadap ekonomi lemah untuk memberikan perlindungan pada golongan masyarakat yang

kurang beruntung, karena baik buruk peraturan ditentukan dengan ukuran apakah peraturan

tersebut dapat memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat.23

21Arief Hidayat, Loc.,cit.22John Rawls, 1971. Theory of Justice. New York: Oxford University Press Inc, hal. 35. 23Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, hal. 64.15

Page 17: Win-Win Solution Mkn

Berdasarkan kajian terhadap Sila ke dua, ke empat dan ke lima, Pasal 33 UUD 1945,

UUPA yang mengamanatkan Politik Agraria Populis/Neo Populis, pendapat Hatta, Boedi

Harsono, Sri Redjeki Hartono, Arief Hidayat dan dari perspektif kepentingan pokok para

pihak, dapat dipetakan kewenangan/hak dan kewajiban yang menggambarkan kedudukan dan

hubungan para pihak dalam kegiatan investasi bidang perkebunan untuk mencegah

terjadinya eksploitasi golongan kuat secara ekonomi (investor/perusahaan) terhadap golongan

yang lemah secara ekonomi (petani/pekebun) sebagaimana yang diamanatkan UUPA, yaitu:

1. Negara/Pemerintah sebagai organisasi kekuasaan dan kedudukannya lembaga administrasi

dan regulator berdasarkan Hak Menguasai Negara:

a. Berwenang membentuk peraturan untuk mengatur: 1). Penguasaan/ pemilikan hak atas

tanah bagi investasi bidang perkebunan berdasarkan asas pemerataan

penguasaan/pemilikan hak atas tanah; 2). Hubungan petani dengan perusahaan

perkebunan, terutama yang berkaitan pemilikan/ penguasaan hak atas tanah dan

pemanfaatannya, dan; 3). Masalah perburuhan, terutama buruh harian/lepas

perkebunan; 4). Perizinan dan memberikan izin bagi investasi bidang perkebunan,

dan: 5). Perpajakan dan pungutan lain bagi investasi bidang perkebunan.

b. Berkewajiban: 1). Memberikan pelayanan adminstrasi dan melindungi rakyat terutama

golongan ekonomi lemah; 2). Memberikan perlindungan dan pelayanan administrasi

pada investor/perusahaan perkebunan berdasarkan kedudukan perusahaan sebagai

badan hukum yang berfungsi membantu dan memfasilitasi pembangunan perkebunan

yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, dan; 3). Melindungi pemerintah sendiri

dalam rangka pembangunan perkebunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

sebagaimana diamanatkan UUPA;

16

Page 18: Win-Win Solution Mkn

c. Berhak memperoleh penerimaan dalam bentuk pajak dan pungutan lainnya sebagai

imbalan pelayanan yang diberikan pada masyarakat/rakyat dan investor/perusahaan

perkebunan.

2. Rakyat/Masyarakat sebagai bagian dari bangsa yang berkedudukan sebagai penghasil

bahan baku/ komoditas perkebunan:

a. Mempunyai hak prioritas menguasai/memiliki tanah sebagai faktor produksi utama

untuk dapat menghasilkan produk perkebunan karena kedudukannya sebagai

natuurlijke persoon dan bagian yang menyatu dari bangsa sebagai sumber penghasilan

dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, dan;

b. Berkewajiban membayar pajak dan pungutan pada negara/pemerintah sebagai imbalan

pelayanan yang diberikan pemerintah serta mematuhi peraturan lainnya yang

mengatur usaha perkebunan.

3. Investor/pengusaha (recht persoon) dalam kedudukannya pengolah hasil produksi

perkebunan:

a. Berhak mendirikan perusahaan, membeli dan mengolah hasil perkebunan/ komoditas

perkebunan bagi usahanya dan memasarkan hasil produksinya, dan;

b. Berkewajiban membayar pajak dan pungutan lain pada negara/pemerintah sebagai

imbalan pelayanan yang diberikan oleh negara/pemerintah serta mematuhi peraturan

lainnya yang mengatur usaha perkebunan.

3. Sistem Hukum Yang Harmonis

Konsep sistem hukum yang harmonis didasarkan pada Teori Sistem Hukum yang

dikembangkan oleh Lawrence M. Friedmann, H.L.A. Hart, Mochtar Kusumaatmadja, Roger

Contterrell dan Joseph Raz.

17

Page 19: Win-Win Solution Mkn

Hukum sebagai suatu sistem terdiri dari substansi, struktur dan kultur hukum yang

secara internal didasarkan atas norma dasar dan secara eksternal bekerjanya tidak dapat

dilepaspisahkan dari masyarakat sebagai basisnya.

Menurut Friedmann, “A legal system in actual operation is a complex organism in

which structure, substance and culture interact.24 Jadi, sebagai sistem, hukum dalam

operasinya memiliki 3 (tiga) komponen yang saling berinteraksi, yaitu: struktur, substansi

dan kultur.

Stuktur hukum adalah “…is its skeletal framework; it is the permanent shape, the

institutional body of the system, the tough, rigid bonds that keep the process flowing within

bounds.25 Jadi, struktur adalah, kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum.

Substansi hukum, adalah, “…is composed of substantive rules and rules about how

institutions should behave.”26 Jadi, substansi terdiri dari, peraturan hukum substantif dan

peraturan hukum tentang bagaimanakah seharusnya lembaga-lembaga (yang diciptakan oleh

peraturan hukum substantif) berperilaku.

Berdasarkan pendapat Hart, Friedmann menjelaskan tentang substansi hukum sebagai:

A legal system is the union of “primary rules” and “secondary rules”. Primary rules are norms of behavior; secondary rules are norms about those norms how to decide whether they are valid, how to enforce them, etc. Both primary and secondary rules, of course, are output of legal system. They are ways of describing the behavior of the legal system seen in cross section.”27

Jadi, substansi sistem hukum menurut Friedman, adalah kesatuan dari peraturan hukum

primer (primary rules), yaitu norma-norma tentang perilaku dan peraturan hukum sekunder

(secondary rules), yaitu norma-norma tentang norma-norma perilaku, misalnya bagaimana

24Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System: A Social Science Perspective. New York : Russell Sage Foundation, hal.16.

25Ibid., hal. 1426Ibid.27Ibid.

18

Page 20: Win-Win Solution Mkn

menentukan validitas norma-norma tentang perilaku, bagaimana menegakkan (enforce)

norma-norma tentang perilaku dan sebagainya.

Menurur Hart, Sistem hukum memerlukan adanya dua 2 (dua) kondisi minimum

sebagai syarat bagi eksistensinya, yaitu:

One minimum condition, therefore, for a legal system to be in existence is that the rule of recognition and the other secondary rules are accepted as binding by those officials having the tasks within the legal order of creating, changing, interpreting, applying, enforcing, or advising on legal rules. The other minimum condition for a legal system to exist is that citizens, in general, regularly obey the primary rules. Obedience merely because of the fear of punishment would be sufficient.28

Jadi, Menurut Hart, harus ada dua kondisi minimum sebagai syarat bagi eksistensi

sistem hukum:

Pertama, adanya dasar pengakuan yang didukung oleh peraturan hukum sekunder yang

diterima sebagai mengikat oleh aparatur hukum yang bertugas menciptakan, mengubah,

menafsirkan, menerapkan, menegakkan atau mengevaluasi peraturan hukum primer;

Ke dua, tiap-tiap warga negara mematuhi peraturan hukum primer, paling tidak karena

ketakutan akan hukuman.

Syarat ke dua bagi eksistensi sistem hukum menurut Hart di atas, mengandung

hubungan relevansi teoretis dengan komponen ke tiga dari sistem hukum yang diuraikan oleh

Friedmann, yaitu kultur hukum. Menurut Hart, “Social force are constantly at work on the

law ,..destroying here, renewing there, invigorating here, deadening there; choosing what

parts of “law” will operate, which parts will not;...we can call some of these forces the “legal

culture”.29 Jadi, eksistensi suatu sistem hukum memerlukan, dukungan sosial yang secara

28H.L.A. Hart, 1972. The Concept of Law. London-Gereat Britain: The English Language Book Society and Oxford University Press, hal. 49-60, 97-197. Penjelasan konsep hukum Hart juga terdapat dalam Roger Contterrell, 1992. Jurisprudence: A Crititical Introduction to Legal Philosophy. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, hal.100-103., dan Charles Samford, 1989. The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Oxford-UK, New York-USA: Basil Blackwell, hal. 26-46

29Ibid., hal. 15. 19

Page 21: Win-Win Solution Mkn

konstan bekerja atas hukum, yang dapat mengabaikan, memperhatikan, membarui,

menentukan bagian-bagian hukum yang bekerja atau sebaliknya.

Menurtut Friedmann, Kultur hukum berwujud, “...Legal culture refers, then, to those

parts of general culture,...customs, opinions, ways of doing and thinking...,that bend social

forces toward or away from the law and in particular ways”30. Jadi menurut Friedmann,

wujud kultur hukum adalah, kebiasan, pandangan, cara berperilaku dan berfikir yang

menggerakkan masyarakat untuk mematuhi atau tidak mematuhi hukum.

Fungsi sistem hukum menurut Friedmann, antara lain, “...to distribute and maintain an

allocation of values that society feels to be right. This allocation, invested with a sense of

rightness, is what is commonly referred to as justice”,31 yaitu mendistribusikan dan

memelihara nilai-nilai yang dinilai benar oleh masyarakat yang merujuk kepada keadilan.

Keluaran (output) atau tujuan akhir dari sistem hukum adalah terwujudnya keadilan dalam

masyarakat.

Mochtar Kusumaatmadja yang berpandangan sama dengan Friedmann tentang sistem

hukum menyatakan, “Sistem hukum tersusun atas sejumlah subsistem sebagai komponennya

yang saling berkaitan dan berinteraksi, yaitu: asas-asas dan kaedah-kaedah, kelembagaan

hukum dan proses-proses perwujudan kaedah-kaedah dalam kenyataan.”32

Relevan pandangan yang diutarakan Contterrell yang menjelaskan unity and system in

law dengan menyatakan,” The search for unity can be pursued in many different ways,

however. It may entail trying to show how the entirety of legal rules and regulations can be

seen as part of a single rational structure, or how legal reasoning entail consisten methods or

epistemological assumptions”.33 Jadi, unsur-unsur dalam sistem hukum adalah suatu kesatuan

30Lawrence M. Friedmann. Loc.,cit. 31Ibid., hal. 17-18.32Mochtar Kusumaatmadja, 1986.Op.,cit, hal.11.33Roger Contterrell. Op.,cit., Hal. 9.

20

Page 22: Win-Win Solution Mkn

(unity) yang di dalamnya tidak boleh ada kontradiksi, baik secara vertikal maupun horizontal

(harmonis-pen).

Menurut Contterrell,” ...Unity in law as practical matter entails two things. It entails

predictably consistent internal relationships of element (rules, principles, concepts, decisions,

etc.) within a legal system. Equally, it entails predictably consistent external relationships

between the system and what lies outside it”.34 Jadi, untuk dapat menjadi satu kesatuan

(sebagai sistem), hukum harus memiliki hubungan internal yang konsisten dan dapat

diprediksi antara unsur-unsur dalam sistem hukum (norma-norma, asas-asas, konsep-

konsep,dsb.), dan; adanya hubungan eksternal yang konsisten dan dapat diprediksi antara

sistem dengan apa yang terletak di luar sistem.

Menurut Raz, hubungan internal antara berbagai unsur dalam suatu sistem hukum

didasarkan atas norma dasar (basic norm) sebagai sumber nilai dan penuntun penegakan

hukum, serta secara eksternal hubungan antara sistem hukum dengan apa yang terletak di luar

sistem hukum, karena hukum adalah bagian dari lingkungan sosialnya, sehingga hukum tidak

dapat dilepaspisahkan dari masyarakat sebagai basis bekerjanya. 35

Menurut Bernard Arif Sidharta36, ilmu hukum bertujuan untuk menawarkan

penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum yang timbul oleh dan dalam situasi

kemasyarakatan tertentu (sebagai basis bekerjanya hukum). Metode interpretasi dan

konstruksi dengan proses lingkaran berfikir hermeneutik berperan penting dalam upaya

menemukan penyelesaian masalah hukum. Penyelesaian masalah hukum makro dilakukan

dengan pembentukan hukum secara kontekstual dengan mengantisipasi perkembangan di

masa depan (futuristic-pen) dalam kerangka tujuan hukum pada umumnya dengan mengacu

34Ibid., Hal. 10.35Joseph Raz, 1973.The Concept of Legal System, An Introduction to the Theory of the Legal System.

London: Oxford University Press, hal.16.36Bernard Arief Sidharta, 2000. Op.,cit., hal.191-194

21

Page 23: Win-Win Solution Mkn

pada cita hukum yang produknya berupa aturan hukum yang secara objektif berlaku umum

(peraturan-pen).

Berdasarkan pendapat Bernard dapat ditarik pengertian, pemahaman terhadap dialektika

antara kaidah hukum dan fakta hukum (kenyataan dalam masyarakat) berperan penting

dalam menemukan penyelesaian hukum terhadap permasalahan hukum yang dihadapi,

karena putusan terhadap permasalahan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan secara

rasional, mampu mempertahankan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat serta dapat

ditempatkan dalam tatanan hukum yang berlaku dan tatanan kemasyarakatan (Social System)

yang di dalamnya tatanan hukum merupakan salah satu sub sistemnya.

Dari perspektif konsep sistem hukum, sistem hukum investasi bidang perkebunan terdiri

dari substansi, struktur dan kultur hukum yang didasarkan atas landasan idiil Pancasila dan

landasan konstitusionil UUD 1945 yang memuat filosofi bangsa, cita hukum serta penuntun

dalam penegakan hukum di Indonesia. Substansi hukum harus dapat membentuk peraturan

hukum positif (peraturan-pen) yang di dalamnya tidak boleh ada kontradiksi secara vertikal,

maupun horizontal dan mempunyai hubungan internal yang konsisten dan dapat diprediksi

antara unsur-unsur dalam sistem hukum (norma-norma, asas-asas, konsep-konsep, dsb.).

Struktur hukum, khususnya suprastruktur kelembagaan hukum harus dapat mengawasi

secara preventif dan represif yang diperkuat oleh infrastruktur kelembagaan hukum

pengawasan internal, agar penanaman modal bidang perkebunan tidak hanya mementingkan

tujuan komersial, yaitu memperoleh keuntungan maksimal semata, tetapi juga melaksanakan

kewajiban hukumnya kepada negara, terutama pada petani/pekebun dan buruh lepas

perkebunan maupun masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, investasi perkebunan harus

tetap diarahkan dan tetap pada koridor tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

22

Page 24: Win-Win Solution Mkn

Kultur hukum harus direspon dan dikembangkan agar dapat mendukung upaya

menciptakan peraturan investasi bidang perkebunan yang mensejahterakan semua pihak

berdasarkan asas sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama rakyat tani/pekebun dan buruh

perkebunan.

Pembangunan hukum investasi bidang perkebunan diarahkan untuk mewujudkan sistem

hukum investasi perkebunan yang harmonis yang bersumber pada Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum, termasuk aparat

hukum dan sarana serta prasarana hukum serta perwujudannya dalam masyarakat yang

mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan peraturan

investasi bidang perkebunan yang harmonis.

Untuk dapat membentuk sistem hukum yang harmonis (termasuk hukum investasi

bidang perkebunan), hukum Indonesia yang bersifat plural harus dilihat sebagai sistem.

Menurut C.F.G. Sunaryati Hartono sistem hukum adalah:

Seluruh falsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas, dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dan pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran tatanan hukum (recthsorde dan rechtsordening) yang menumbuh-kembangkan tatanan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.37

Berdasarkan pendapat Sunaryati, wujud sistem hukum investasi bidang perkebunan

yang harmonis akan tercermin pada sistem hukum yang terus tumbuh dan berkembang seiring

dengan perkembangan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berdasarkan nilai-

nilai Pancasila dan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung falsafah hukum, nilai, asas dan

norma, proses dan prosedur, interaksi/ dialektika dan pengembanan hukum oleh para pihak

yang terlibat dalam penanaman modal bidang perkebunan dalam berbagai statusnya, baik

37C.F.G. Sunaryati Hartono, 1995. “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (Materi Hukum, Proses dan Mekanisme) Dalam PJPT II, dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman” , Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II. Jakarta: BPHN, Juli, hal.233

23

Page 25: Win-Win Solution Mkn

sebagai aparatur negara, individu maupun masyarakat, badan hukum publik maupun privat

maupun yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum.

Harmonisasi berasal dari kata “harmonis” yang berati, keselarasan, kecocokan,

keserasian, keseimbangan yang menyenangkan”38. Dalam bahasa Yunani, istilah harmonis

berasal dari kata “harmonia”, artinya serasi dan sesuai. Secara filsafati dimaknakan sebagai,

kerjasama antar faktor yang menghasilkan sesuatu yang luhur. Dengan demikian, secara

etimologis, harmonisasi menunjuk pada proses yang bermula dari upaya untuk menuju atau

merealisasikan sistem harmoni.39 Dalam Black’s Law Dictionary ditemukan kata Harmonize

dan kata Harmony sebagai padanan kata “in agreement, conformity or accordance with”.40

Harmonis adalah suatu keadaan yang didalamnya mengandung keselarasan, kesesuaian,

keserasian, kecocokan dan keseimbangan. Harmonisasi adalah suatu proses, sebagai upaya

mewujudkan kondisi harmonis untuk mencapai keluhuran. Unsur-usur yang terkandung

dalam harmonisasi adalah:

1. Adanya ketegangan yang berlebihan;2. Adanya upaya untuk menyelaraskan ketegangan yang terjadi dengan menggunakan

bagian-bagian yang bertegangan untuk membentuk suatu sistem;3. Adanya proses atau upaya untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian,

kecocokan dan keseimbangan;4. Kerjasama antar berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut

menghasilkan kesatuan yang luhur.41

Menurut Kusnu Gusniadhi, harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak

mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan-

kejanggalan. Harmonisasi hukum adalah proses merealisasikan keselarasan, kesesuaian,

keserasaian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam peraturan

38Hasan Shaddily,et.al., 1996. Ensiklopedi Indonesia. Jakata: Ichtiar Baru-Van Hoeve, hal.1262. 39Kusnu Goesniadhi, 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan : Lex Spesialis

Suatu Masalah. Surabaya: JP Books, hal. 59.40Henry Campbell Black, 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St. Paul: Minn. West Publishing Co,

hal. 718.41Kusnu Goesniadhi.Op.,cit, hal 61-62.

24

Page 26: Win-Win Solution Mkn

perundang-undangan (peraturan-pen) sebagai sistem hukum (sistem peraturan-pen) dalam

satu kerangka sistem hukum nasional42. Harmonisasi menunjuk pada pemikiran untuk

mencapai suatu maksud, yaitu proses yang dengan sengaja dilakukan/ diupayakan untuk

terealisasi, dan objek harmonisasi hukum adalah peraturan (hukum tertulis). Dengan kata lain,

pada tataran teknis harmonisasi bermakna upaya yang terus menerus untuk menciptakan

keselarasan, kesesuaian, keserasaian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma

hukum dalam peraturan perundang-undangan (peraturan-pen) sebagai sistem hukum (sistem

peraturan-pen) dalam satu kerangka sistem hukum nasional sesuai dengan perkembangan

kesadaran hukum masyarakat. Keharmonisan tatanan hukum akan tercermin dari

keharmonisan peraturan yang dihasilkan negara/pemerintah, dengan demikian tatanan hukum

investasi yang harmonis bidang perkebunan tercermin dari peraturan investasi bidang

perkebunan yang harmonis yang pembentukannya tunduk pada UUPPPu.

4. Asas Pembentukan Peraturan Yang Baik Sebagai Dasar Pengujian Peraturan Investasi bidang perkebunan

Secara umum, pendapat CFG. Sunarjati Hartono mengenai sistem hukum telah diatur

dalam UUPPPu yang menentukan:

1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (sebagai sumber nilai) (Vide

Bab I Pasal 1 UUPPPu);

2. Asas-asas Peraturan, materi, jenis dan hirarki serta muatan peraturan perundang-undangan

sebagai aspek teoretis yang mendasari perencanaan dan penyusunan hukum (peraturan-

pen) (Vide Bab II Pasal 5 s/d Pasal 14 UUPPPu);

3. Aspek proses, prosedur dan kewenangan lembaga dalam membentuk peraturan menurut

jenis, hirarki peraturan (Vide Bab IV sampai Bab IX UUPPPu);

42Ibid.

25

Page 27: Win-Win Solution Mkn

4. Aspek partisipasi masyarakat sebagai bagian interaksi tak terpisahkan dalam pembentukan

tata hukum (tata peraturan-pen) oleh pemerintah yang diimplementasikan dengan

pemberian hak kepada masyarakat, untuk memberikan masukan secara lisan maupun

tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang atau

rancangan peraturan daerah. (Vide Bab X Pasal 53 UUPPPu), dan;

5. Mekanisme pembentukan peraturan di pusat maupun di daerah agar peraturan perundang-

undangan (peraturan-pen) nasional terbentuk dalam satu kesatuan sistem peraturan

nasional yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang bersifat sinkron dan

harmonis (Bab XIII Pasal 56 dan 57 UUPPPu)

Dalam penjelasan I Umum. UUPPPu yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2004

Nomor 4389 dinyatakan:

1. .., pemerintah harus berdasarkan hukum;2. Untuk mewujudkan negara hukum diperlukan tatanan yang tertib dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan (peraturan-pen),..., sejak perencanaan sampai pengundangannya, dan;

3. Pembentukan peraturan yang baik memerlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuan.

Untuk dapat membentuk peraturan dengan benar, agar tercipta peraturan yang harmonis,

pembentukan peraturan harus didasarkan beberapa asas, yaitu:

4.1. Asas Landasan Peraturan

Secara umum, peraturan yang baik memiliki landasan filosofis, landasan sosiologis,

landasan yuridis dan landasan politis.

1). Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)

26

Page 28: Win-Win Solution Mkn

Filsafat atau pandangan hidup bangsa berisi nilai-nilai moral dan etika suatu bangsa

yang mengandung nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan nilai lainnya yang dianggap baik

oleh suatu bangsa.

Filsafat hidup bangsa menjadi landasan pembentukan hukum untuk mengatur

kehidupannya bernegara. Jadi, kaidah hukum yang dibentuk harus mencerminkan filsafat

hidup bangsa atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.

Landasan filosofis, adalah dasar filsafat, atau pandangan atau ide yang menjadi dasar

cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan ke dalam suatu rencana atau

draf/rancangan peraturan.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila menjadi dasar filsafat dalam

pembentukan peraturan. Peraturan harus mencerminkan gagasan yang tentang keadilan yang

terkandung dalam Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peraturan bukan sekedar produk tawar menawar politik, jika peraturan hanya menjadi

alat legitimasi dari tawar menawar politik, tidak memuat nilai-nilai keadilan, walaupun

peraturan tersebut diundangkan dan sah, namun secara hukum sebenarnya ia tidak pernah ada,

“Est autem just a justitia, sicut a matre sua, ergo prius fruit justitia quam jus“ (tetapi hukum

timbul dari keadilan sebagai ibunya sehingga telah ada keadilan sebelum adanya hukum).43

2). Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)

Suatu peraturan mempunyai landasan sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai

dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-

undangan (peraturan-pen) yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf

mati belaka44.

43Peter Mahmud Marzuki, Op.,cit., hal.10444Amiroeddin Syarif, tanpa tahun. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Jakarta:

Penerbit Bina Aksara, hal. 92. 27

Page 29: Win-Win Solution Mkn

Peraturan perundang-undangan (peraturan-pen) yang dibuat harus sesuai dengan

kenyataan hidup masyarakat atau hukum yang hidup (living law) dimana peraturan itu

diterapkan. Hal ini bukan berarti, apa yang ada pada suatu saat pada suatu masyarakat akan

menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan (peraturan-pen) tidak

sekedar merekam keadaan seketika (moment opname) 45, karena masyarakat berubah, nilai-

nilai pun terus berubah, untuk itulah kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat

diprediksi dan diakomodir dalam peraturan yang berorientasi masa depan (futuristic).

Pemerintah sebagai lembaga administrasi yang bersifat aktif harus dapat membentuk

peraturan sesuai dengan perkembangan rasa keadilan/kesadaran hukum masyarakat.

3). Landasan Yuridis (Juridische grondslag)

Landasan yuridis adalah landasan hukum (juridische gelding) yang menjadi dasar

kewenangan (bevoegdheid, compententie) pembuatan peraturan. Selain menentukan dasar

kewenangan pembentukannya, landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan dari suatu

jenis Peraturan Perundang-undangan. (peraturan-pen)46 Landasan hukum kewenangan

membentuk dan keberadaan suatu peraturan sangat diperlukan, tanpa dasar hukum tersebut,

pembentukan dan keberadaan suatu peraturan menjadi tidak sah secara hukum.

Landasan yuridis meliputi segi formil dan segi materil. Landasan yuridis formil, yakni

landasan yuridis yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada badan tertentu untuk

membentuk peraturan tertentu, misalnya Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (perubahan pertama)

menjadi landasan yuridis bagi DPR untuk membentuk undang-undang. Landasan yuridis

materil, yaitu landasan yuridis yang merujuk kepada materi muatan tertentu yang harus

dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan, misalnya pasal untuk segi isi (materi),

yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, contohnya Pasal 25 A UUD 1945 adalah

45Bagir Manan, 1992.Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: IND-HILL.CO, hal.15.46Ibid.

28

Page 30: Win-Win Solution Mkn

landasan yuridis materil bagi pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4). Landasan Politis

Menurut Solly Lubis, landasan politis dalam pembentukan peraturan adalah garis

kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan

pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara47, contoh pada tahun 2001, terdapat TAP

MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pasal 1 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 dirumuskan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan landasan

peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam. Ketentuan ini tidak melahirkan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 1 ketentuan tersebut, karena seiring dengan perubahan UUD 1945 yang

berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia dan makin nyata sejak

adanya UU No. 10 Tahun 2004, dimana pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan

hierarki Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak masuk dalam Tata Hirarki

Peratutan Perundang-Undangan.

4.2. Asas peraturan, terdiri dari:

1). Undang-Undang tidak berlaku surut

Asas yang menyatakan, undang-undang tidak berlaku surut mensyaratkan peraturan

hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan sejak peraturan tersebut

dinyatakan berlaku atau berlaku atas peristiwa sebelum peraturan itu diberlakukan.

Jika suatu peraturan akan diberlakukan surut, maka harus diambil ketentuan yang paling

menguntungkan pihak yang terkena, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH

47 M.Solly Lubis, 1995. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju, hal.24.29

Page 31: Win-Win Solution Mkn

Pidana yang menyatakan, “tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu

aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan (Geen feit is strafbaar dan uit kracht

van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling)”.48

2). Lex superior derogat legi inferiori

Asas ini berlaku apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang secara hierarki

berbeda (yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi), maka dengan demikian peraturan yang

hierarkinya lebih rendah harus disisihkan. Dalam penerapan asas ini perlu dirujuk Pasal 7 ayat

(1) jo ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.

3). Lex specialis derogat legi generali

Berbeda dengan asas lex superiori derogat legi inferiori, asas lex specialis derogat legi

generali mengatur tentang dua peraturan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang

sama, misalnya Undang-undang dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dengan

Peraturan Pemerintah, dsb. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup materi muatannya yang

tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Misalnya

antara UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 8 Tahun 1995

tentang Pasar Modal, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 127 UU No. 1 Tahun 199549,

“Bagi perseroan yang melakukan kegiatan tertentu dibidang pasar modal berlaku ketentuan

Undang-undang ini, sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan di bidang pasar modal”.

Tidak semua peraturan menyebutkan posisinya sebagaimana ketentuan-ketentuan transitoir

tersebut. Dalam hal demikian, harus di identifikasi ruang lingkup materi muatan kedua

peraturan.

4). Lex posterior derogat legi priori

48Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Bandung: Alumni, hal. 16.

49Peter Mahmud Marzuki, Op.,cit, hal. 99.

30

Page 32: Win-Win Solution Mkn

Peraturan yang lahir kemudian menyisihkan Peraturan yang lahir sebelumnya. Asas ini

berkaitan dengan dua Peraturan yang mengatur masalah yang sama, misalnya UU No. 14

Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. Sebagaimana yang

terjadi pada asas lex specialis derogat legi generali, penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa

yang diperhadapkan adalah dua Peraturan dalam hierarki yang sama.

Berdasarkan Asas Lex posterior derogat legi priori, peraturan yang baru lebih

mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Jika terjadi sebaliknya,

peraturan yang baru tidak memuat ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang sedang

dihadapi dan ketentuan itu justru termuat dalam peraturan yang telah digantikan, maka harus

dilihat dahulu apakah ketentuan yang termuat di dalam peraturan yang lama tersebut tidak

bertentangan dengan landasan filosofis peraturan yang baru. Jika tidak, maka harus

dinyatakan bahwa ketentuan itu tetap berlaku melalui aturan peralihan peraturan yang baru.

Dalam hal ini perlu dipelajari landasan filosofis dari setiap aturan hukum yang diacunya.

4.3. Asas pembentukan peraturan yang baik menurut UU No. 10 Tahun 2004

UUPPPu secara tegas mengatur asas pembentukan peraturan yang baik, meliputi:

1). Asas pembentukan peraturan.

Asas pembentukan peraturan terdiri dari, asas kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan;

kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan dan keterbukaan (Vide Pasal 5 UUPPPu

).

2). Asas penentuan materi muatan peraturan

Asas penentuan materi muatan peraturan terdiri dari, asas pengayoman kemanusiaan;

kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan;

31

Page 33: Win-Win Solution Mkn

ketertiban dan kepastian hukum; keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan asas sesuai

dengan bidang hukum masing-masing.

Jimly Asshidiqie50 menyatakan, salah satu prinsip yang paling penting yang seharusnya

menjadi paradigma pokok setiap peraturan perundang-undangan (peraturan-pen) adalah

Pancasila. Merujuk pada ketentuan Pasal 2 UUPPPu, Pancasila merupakan sumber dari segala

sumber hukum, maka Pancasila itulah yang seharusnya dibangun dan dikembangkan di

Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Jimly Asshidiqie, setiap peraturan negara Republik Indonesia yang berdasarkan

UUD Negara Republik Indonesia 1945 haruslah:

1. Mencerminkan religiusitas kebertuhanan segenap warga negara melalui keyakinan segenap warga terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

2. Mencerminkan humanitas berkeadilan dan berkeadaban atau sila kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Menjamin dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui sila persatuan Indonesia;

4. Memperkuat nilai-nilai kedaulatan kerakyatan melalui sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan;

5. Melembagakan upaya membangun sosialitas yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia51

Asas-asas di atas merupakan sarana untuk mengkaji aspek pengaturan peraturan

investasi bidang perkebunan, meliputi kewenangan, prosedur dan tata cara pembentukan,

materi muatan/substansi serta landasan pembentukannya.

Asas penentuan materi peraturan menjadi dasar untuk mengkaji aspek muatan

pengaturan peraturan peraturan investasi bidang perkebunan, terutama yang berkaitan dengan

nilai, asas, konsep, lembaga dan pola perumusannya. Menurut Yuliandri, dalam pelaksanaan

fungsi asas, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (peraturan-pen) yang

50Jimly Asshidiqie, dalam Yuliandri, 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: Rajawali Press, hal.155.

51Ibid., hal.15632

Page 34: Win-Win Solution Mkn

baik, dapat dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pengujian terhadap undang-undang

(peraturan-pen), baik secara materil maupun secara formil.52

Menurut Jimly Asshiddiqie, pengujian dari sisi formal undang-undang (peraturan-pen)

adalah, pengujian sejauhmana undang-undang (peraturan-pen) ditetapkan dalam bentuk yang

tepat (approriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution) dan menurut

prosedur yang tepat (appropriate procedure)53. Penjabaran pengujian formal menurut Jimly

Asshiddiqie, meliputi:

1. Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang (peraturan-pen) , baik dalam pembahasan, maupun dalam pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang (peraturan-pen).

2. Pengujian atas bentuk, forma, atau struktur undang-undang (peraturan-pen).

3. Pengujian berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang (peraturan-pen) dan

4. Pengujian lain yang termasuk bukan pengujian materil54.

Pengujian materil adalah, pengujian atas materi muatan undang-undang (peraturan-

pen).55 Menurut R.Sri Soemantri Martosoewignyo, hak menguji materil adalah suatu

wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu perundang-undangan

(peraturan-pen) isinya sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordende macht) berhak mengeluarkan

suatu peraturan tertentu.56 .

I Dewa Gede Atmadja menyatakan, untuk menghindari ketidakadilan dalam

menfasirkan makna aturan hukum sesuai dengan teori pembentukan undang-undang

(peraturan-pen), perlu diperhatikan 5 (lima) faktor, yaitu:

52Ibid., hal. 223. 53Ibid., hal. 222..54Ibid., hal.223.55Ibid., hal. 238. 56R Sri Soemantri Matrosoewignyo, 2000. Hak Menguji Materil di Indonesia. Bandung: Alumni, hal. 6.

33

Page 35: Win-Win Solution Mkn

1. Faktor wewenang, artinya badan yang menyusun memang diberi kewenangan secara konstitusional;

2. Faktor substansi, artinya materi muatannya sesuai dengan lingkup kewenangannya;

3. Faktor heuristik, artinya peraturan itu telah mengakomodasi perkembangan segi-segi sosial dan psikologi masyarakat;

4. Faktor konstitusional, artinya materi muatan atau isi peraturan tidak menyimpang dari hierarki peraturan perundang-undangan dan;

5. Faktor prosedural, artinya dalam pembentukannya peraturan itu telah memenuhi prosedur pembahasan menurut hukum.57

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian, asas-asas pembentukan peraturan

yang baik juga sekaligus merupakan asas-asas pengujian bagi peraturan. Yuliandri

menyatakan, pada hakikatnya, asas-asas aturan hukum yang baik berfungsi sebagai dasar

pembentukan aturan hukum, maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang

berlaku.58.

Konsep asas pembentukan aturan hukum yang baik sebagai dasar pengujian peraturan

yang berlaku bermanfaat untuk melakukan kajian terhadap aspek harmonisasi peraturan

investasi bidang perkebunan, terutama untuk menentukan aspek sinkronisasi, konsistensi serta

menentukan apakah materi yang terkandung dalam aturan hukum yang berupa rumusan pasal

peraturan investasi bidang perkebunan menyimpang dari hirarki peraturan yang menjadi dasar

pembentukannya.

Menurut Satjipto Rahardjo yang mengemukakan Konsep Hukum Progressif , terdapat

dua paradigma hukum:

Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, oleh karena itu ketika terjadi

permasalahan hukum, maka hukumnyalah yang harus ditinjau atau diperbaiki, bukan

manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.

57Dewa Gede Atmadja, dalam Yuliandri.Op.,cit., hal. 249.58Ibid., hal. 250.

34

Page 36: Win-Win Solution Mkn

Ke dua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu

berada dalam proses untuk terus mengalir (law as procces, law in the making)59

Berdasarkan pendapat Satjipto Rahardjo, peraturan yang merupakan penuangan dari

hukum dalam bentuk tertulis bukan merupakan produk final, karena kesadaran hukum

masyarakat yang mengandung nilai, asas, prinsip dan lembaga sebagai sumber hukum materil

juga berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, oleh karena itu apabila

peraturan yang berfungsi sebagai sarana untuk membahagiakan manusia (dalam konteksnya

dengan UUD 1945 diistilahkan sebesar-besar kemakmuran rakyat) tidak sesuai dengan

kesadaran hukum masyarakat, terlebih apabila tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka

peraturan tersebut harus disempurnakan, diubah, dicabut dan/atau diganti oleh pemerintah

dengan peraturan baru yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Kewajiban

pemerintah untuk selalu menyesuaikan peraturan terhadap perkembangan kesadaran hukum

masyarakat adalah konsekuensi dari kedudukan pemerintah sebagai lembaga administrasi

dengan kekuasaanya yang bersifat aktif.

5. Perlindungan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Rangka Penegakan HAM Ekonomi dalam Kegiatan Investasi Bidang Perkebunan.

Investasi sebagai sumber pembiayaan pembangunan sangat diperlukan berbagai negara,

terutama oleh negara miskin dan berkembang dalam melaksanakan pembangunan

perekonomian untuk meningkatkan keasejahteraan rakyatnya, namun di era global, investasi

dengan faham kapitalistiknya juga dapat mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat

di negara yang menjadi sasaran investasi, apabila tidak diatur dan dikelola dengan baik dan

benar.

59Satjipto Rahardjo,“Hukum Progressif: Hukum Yang Membebaskan”, Jurnal Hukum Progressif (1 April 2005): 3-6.

35

Page 37: Win-Win Solution Mkn

Karakteristik masyarakat di negara miskin dan berkembang yang umumnya lemah

secara ekonomi, pendidikan maupun jaringan, tidak akan mampu mencegah terjadinya

dampak negatif dari investasi, yaitu dikuasainya sumber-sumber daya alam/agraria, terutama

tanah yang menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat di negara miskin dan berkembang

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, tanpa adanya perlindungan hukum dari

negara/pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Arief Hidayat.60

Diperlukan peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat di negara

yang menjadi sasaran investasi atas dasar HAM Ekonomi, Sosial, dan Budaya, terutama bagi

masyarakat yang tergolong lemah. Tanpa adanya perlindungan atas dasar HAM Ekonomi

Sosial dan Budaya oleh negara/pemerintah, kekuatan kapital yang berada dibalik globalisasi

perekonomian akan menguasai sumber daya alam di negara yang menjadi sasaran investasi

yang sangat dibutuhkan oleh negara investor bagi perindustriannya. Kondisi demikian akan

mengancam upaya negara-negara miskin dan berkembang untuk mensejahterakan rakyatnya,

karena sasaran investasi berupa penguasaan sumber daya alam (terutama tanah) merupakan

faktor produksi utama bagi sebagian penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup dan

keluarganya.

Globalisasi perekonomian yang ditandai dengan derasnya investasi negara maju ke

negara miskin dan berkembang, tanpa perlindungan HAM Ekonomi Sosial dan Budaya akan

menciptakan kemiskinan di negara penerima investasi yang dikenal dengan bahaya

peradaban, berupa kemiskinan dengan karakterisitik yang berbeda antara satu negara dengan

negara lainnya.

Kemampuan negara untuk beradaptasi dalam menghadapi bahaya peradaban yang

menuntut adanya keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari masing-masing

60Arief Hidayat., Loc.cit.36

Page 38: Win-Win Solution Mkn

negara juga tidak sama, oleh karena itu, bahaya kemiskinan hanya dapat ditanggulangi atas

dasar prinsip tanggung jawab bersama (Shared Responsibility). Pada perspektif pemikiran

demikian, negara/pemerintah Indonesia sebagai penerima investasi berkewajiban memberikan

perlindungan terhadap HAM Ekonomi Sosial dan Budaya, baik yang bersumber pada Hukum

Internasional (HAM Internasional) maupun Hukum Nasional sebagaimana yang diatur dalam

konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 kepada rakyat Indonesia.

Berdasarkan HAM Internasional, maupun HAM Nasional yang diatur dalam UUD 1945,

negara/pemerintah Indonesia harus secara aktif mewujudkan perlindungan Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya rakyat. Negara lain, lembaga-lembaga internasional dan investor harus

menghormatinya.

Dalam penjelasannya terhadap pendapat Salmond tentang perlindungan hukum,

Fitzgerald61 menyatakan, hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara membatasinya, karena dalam lalu lintas

kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara

membatasi kepentingan di lain pihak.

Fitzgerald62 menjelaskan, hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan kekuasaan kepadanya secara terukur untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya, yang disebut sebagai hak. Keperluan hukum adalah mengurusi hak dan

kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan

kepentingan manusia yang perlu dilindungi dan diatur yang tertuang dalam bentuk peraturan.

Konsep perlindungan juga dikembangkan oleh Philipus M. Hadjon. Menurut Hadjon,

perlindungan hukum adalah suatu kondisi subjektif yang menyatakan hadirnya keharusan

pada diri sejumlah subjek hukum untuk segera memperoleh sejumlah sumber daya, guna

61J.HAL. Fitzgerald, dalam Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 53.62Ibid., hal. 69.

37

Page 39: Win-Win Solution Mkn

kelangsungan eksistensi subjek hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, agar

kekuatannya secara terorganisir dalam proses pengambilan keputusan politik maupun

ekonomi, khususnya pada distribusi sumber daya, baik pada peringkat individu maupun

struktural.63

Menurut I.Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, dalam konsep Welfare state modern,

tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak boleh pasif, tetapi harus aktif

dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua akan terjamin. Pemerintah

harus memberikan perlindungan bagi warganya, bukan hanya bidang politik tetapi juga dalam

bidang sosial, ekonomi, sehingga kewenangan dari golongan kaya (rulling class) harus

dicegah oleh pemerintah. Tugas pemerintah harus diperluas dengan tujuan untuk menjamin

kepentingan umum, sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek yang semula

menjadi urusan masyarakat seperti masalah kesehatan masyarakat, pendidikan, perumahan,

distribusi tanah dan sebagainya.64

Hadjon65 menitikberatkan konsep perlindungannya pada “tindakan pemerintahan” dan

membedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

a. Perlindungan hukum preventif, bertujuan mencegah terjadinya sengketa, yang

mengarahkan agar pemerintah berhati-hati dalam melakukan tindakan pemerintahan yang

diambil atas dasar kewenangan diskresi, dan;

b. Perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk

penanganannya di lembaga peradilan.

63Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hal. 2.64I.Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009. Memahami Ilmu Negara &Teori Negara, Bandung: Replika

Aditama, hal.12165Ibid., hal.. 2-3.

38

Page 40: Win-Win Solution Mkn

Perlindungan hukum terhadap rakyat, khususnya bagi masyarakat golongan ekonomi

lemah harus menjadi muatan dari peraturan investasi bidang perkebunan, sesuai dengan asas

negara hukum yang mengharuskan adanya peraturan bagi setiap tindakan negara/pemerintah.

Kajian terhadap perlindungan hukum dalam penelitian ini didasarkan pada Hak Asasi

Manusia dengan pertimbangan, di era global, kesadaran/kepekaan terhadap martabat manusia

yang dihubungkan dengan HAM yang makin meningkat. Kesadaran/kepekaan masyarakat

terhadap HAM menjadi pemicu berkembangnya pemikiran bahwa, fungsi hukum adalah

melindungi HAM.

Menurut John Locke66, HAM bertolak dari suatu ide yang berfokus pada manusia

sebagai individu dalam mencapai tujuan pokok dari hidup manusia. John Locke67

menyatakan, dalam diri manusia dapat ditemukan hak-hak aslinya yang tidak dapat diganggu

gugat.

Secara konstitusional, hak untuk mengakses sumber daya bidang perkebunan adalah

salah satu hak asasi manusia di bidang ekonomi yang dijamin dalam UUD 1945, yaitu hak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana diatur pada Pasal

27 ayat (2) UUD 1945: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”.

Dalam membentuk peraturan penanaman modal bidang perkebunan pemerintah wajib

melaksanakannya berdasarkan nilai, asas dan prinsip hukum yang terkandung dalam UUD

1945 tentang HAM yang diatur pada Bab XA Hak Asasi Manusia mulai Pasal 28A sampai

pasal 28J, terutama Pasal 28A, Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2),

66John Locke, dalam Hermien Hadiati Koeswadji, 1998. Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 3-4. .

67Ibid.

39

Page 41: Win-Win Solution Mkn

Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (3), (4) dan (5), serta; Pasal 18B ayat (1) dan (2) juga; Pasal

27 ayat (2).

Kewajiban negara dan pemerintah untuk secara aktif dan terus menerus (karena sebagai

positve right) melindungi asasi manusia di bidang ekonomi sebagaimana diatur dalam UUD

1945 secara tegas dirumuskan pada Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan,

dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Secara prosedural, penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, termasuk di bidang

ekonomi oleh negara terutama pemerintah dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan (peraturan-pen), sebagaimana dirumuskan pada pasal 28I ayat (5): “Untuk

menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang

demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan (peraturan-pen)”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (5) tersebut, secara normatif dapat ditarik

pengertian, dalam penegakan keadilan ekonomi sebagai bagian dari penegakan HAM

(termasuk HAM di bidang ekonomi dalam kaitannya dengan penanaman modal), pemerintah

mempunyai peran signifikan dan aktif. Pemerintahlah yang mengemban tanggung jawab

utama untuk membentuk peraturan atas dasar nilai, asas, konsep dan prinsip HAM yang

diatur dalam UUD 1945 dan Hukum Internasional.

Penggunaan konsep perlindungan hukum yang dikembangkan oleh Salmond dan

Fitzgerald dan Philipus M. Hadjon pada kajian ini didasari alasan:

Pertama:

Pada dasarnya salah satu fungsi hukum (peraturan) adalah memberi perlindungan

hukum terhadap kepentingan subjek hukum, terutama perlindungan terhadap HAM

Ekonomi. Peraturan adalah sarana untuk mengintegrasikan dan menyerasikan

40

Page 42: Win-Win Solution Mkn

kepentingan para pihak. Dalam kegiatan investasi bidang perkebunan, terdapat berbagai

kepetingan yang harus diserasikan oleh hukum, yaitu kepentingan penanam modal,

kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat (terutama petani/pekebun dan

buruh lepas perkebunan) dalam penanam modal bidang perkebunan yang secara

normatif seharusnya dilindungi oleh peraturan investasi bidang perkebunan, tanpa harus

mengorbankan kepentingan pihak yang lain, terutama petani/pekebun dan buruh

harian/lepas perkebunan, karena tujuan dari pembangunan ekonomi nasional adalah

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ke dua:

Dengan menggunakan konsep perlindungan hukum yang berkeadilan berdasarkan HAM

Ekonomi Sosial dan Budaya diperoleh landasan teoretis dalam menganalisis,

menemukan dan mengembangkan hukum yang melindungi penanam modal, pemerintah

dan masyarakat (terutama petani/ pekebun dan buruh lepas perkebunan) dalam kegiatan

penanaman modal bidang perkebunan, sebagai upaya menggunakan hukum sebagai

sarana mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan dalam kegiatan investasi

bidang perkebunan, sebagai dasar pembentukan hukum investasi bidang perkebunan

yang berkeadilan dan harmonis.

Berdasarkan substansi perlindungan hukum Salmond dan Fitzgerald, maka dapat

dipahami, bahwa hukum melindungi kepentingan berupa hak penanam modal, pemerintah dan

masyarakat (terutama petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan) dalam kegiatan

penanaman modal bidang perkebunan dengan cara mengatur dan membatasi kepentingan para

pihak yang terlibat, dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif bidang

41

Page 43: Win-Win Solution Mkn

perkebunan yang menguntungkan penanam modal, pemerintah, petani/pekebun dan buruh

lepas perkebunan maupun masyarakat di sekitar lokasi perkebunan.

Dengan menggunakan konsep perlindungan hukum Hadjon, dapat dipahami, hukum

melindungi hak petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan untuk dapat mengakses dan

memanfaatkan sumber daya bidang perkebunan merupakan kondisi subjektif yang harus

diciptakan dan dilindungi, agar petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan memiliki

kekuatan yang terorganisasi, baik secara individual maupun struktural dalam proses

pendistribusian sumber daya alam dalam kaitannya dengan penanaman modal bidang

perkebunan.

Perlindungan hukum bagi petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan dapat dilakukan

secara preventif yang bertujuan mencegah terjadinya sengketa melalui tindakan pemerintah

berdasarkan diskresi dan secara represif yang bertujuan menyelesaikan terjadinya sengketa

dalam arti luas bidang perkebunan melalui proses pengenaan sanksi kepada para pihak yang

mengabaikan kewajiban hukumnya.

Berdasarkan konsep perlindungan hukum yang berkeadilan berdasarkan HAM Ekonimi

Sosial dan Budaya, tujuan hukum investasi dalam mengatur penanaman modal bidang

perkebunan yang dilakukan dengan membatasi kepentingan perusahaan dan pemerintah yang

terindikasi lebih kuat kedudukannya dan semata-mata bertujuan untuk memperoleh

keuntungan, dalam rangka memberikan perlindungan pada petani/pekebun dan buruh

perkebunan yang selama ini terindikasi selalu dalam posisi lemah bila berhadapan dengan

pemerintah dan perusahaan. Terdapat indikasi kuat, pemerintah tidak bersikap netral dan

cenderung memihak pada penanam modal (perusahaan perkebunan) karena didorong oleh

motif untuk meningkatkan pendapatan negara yang berasal dari berbagai pajak dan pungutan

dari kegiatan investasi bidang perkebunan.

42

Page 44: Win-Win Solution Mkn

Secara filosofis, penghargaan terhadap hak untuk mengakses sumber daya bidang

perkebunan sebagai HAM harus terefleksi dalam hubungan hukum perusahaan, pemerintah,

petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan maupun dengan masyarakat sekitarnya yang

secara aktif harus dilindungi oleh negara/pemerintah atas dasar nilai keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Penggunaan konsep perlindungan hukum yang berkeadilan berdasarkan HAM Ekonomi

Sosial dan Budaya akan sangat bermanfaat untuk mengkaji hubungan hukum antara

perusahaan, pemerintah, petani/pekebun dan buruh lepas perkebunan, serta

mengidentifikasi/menemukan konsep hukum bagi pengaturan kegiatan investasi bidang

perkebunan yang harmonis, karena dalam hubungan hukum tersebut terkandung sejumlah hak

dan kewajiban yang harus diimplementasikan secara adil, pasti, bermanfaat, serasi dan

seimbang.

6. Konsep Negara Kesejahteraan Yang Berkeadilan Sebagai Landasan Strategi Pembangunan Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial Melalui Strategi Pemerataan Sebagai Dasar Pengaturan Investasi Bidang Perkebunan

Pembangunan perekonomian yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat

adalah tanggung jawab negara/pemerintah, sebagai salah satu ciri utama negara kesejahteraan

(Welfare State), oleh karena itu negara/ pemerintah diberi kewenangan dan tanggung jawab

mengatur dan ikut campur tangan terhadap kehidupan rakyat.

Di era global, peran utama negara/pemerintah adalah melindungi rakyatnya dari dampak

negatif globalisasi menjadi semakin penting. Arief Hidayat menyatakan:

Secara sederhana, globalisasi dapat difahami sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa dalam suatu sistem ekonomi global yang didasarkan pada ekonomi pasar yang memunculkan persaingan ekonomi global yang keras antar negara guna mendapatkan modal (penanaman modal/investasi-pen) bagi pembangunannya. Pada situasi demikian, negara harus merespons segala situasi dan keadaan yang muncul atau terjadi yang dapat menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas hidup warga negaranya sesuai dengan faham negara kesejahteraan (welfare state) yang

43

Page 45: Win-Win Solution Mkn

membenarkan negara ikut campur dalam segala bidang kehidupan demi menjamin kesejahteraan warga negaranya68

Negara hukum kesejahteraan juga disebut sebagai negara hukum materiil, karena

negara/pemerintah tidak hanya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan ketertiban dan

ketenteraman masyarakat, tetapi juga bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat,

sehingga tidak satupun aspek kehidupan masyarakat yang lepas dari campur tangan

pemerintah (from the cradle to the grave).69

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, fungsi negara kesejahteraan adalah70 :

1. Fungsi regular yang terdiri atas fungsi politik (pemeliharaan ketenangan, ketertiban, pertahanan dan keamanan), fungsi diplomatik ( hubungan dengan negara lain dengan prinsip saling menghormati kedaulatan), fungsi yuridis (jaminan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat) dan fungsi administratif (penataan birokrasi dalam rangka terwujudnya tujuan Negara);

2. Fungsi pembangunan, meliputi kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala aspek.

Dengan demikian, konsep negara hukum materiil/negara kesejahteraan adalah bentuk

peralihan prinsip staatsonthouding yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk

mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang

menuntut peran negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga

ketertiban dan keamanan.71

Wewenang negara terhadap rakyatnya, khususnya yang menyangkut kewajiban

negara/pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang termaktub dalam

Pembukaan UUD 1945 dan peraturan pelaksanaanya, antara lain diwujudkan melalui

pembangunan investasi bidang perkebunan.

68Arief Hidayat, Loc.,cit. 69Murtir Jeddawi, 2005. Memacu Invertaso di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: UII Press, hal.32. 70Muchsan, 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparatur Pemerintahan dan Peradilan Tata

Usaha Negara Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, hal. 2.71Ridwan Khairandy, 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press, hal.14.

44

Page 46: Win-Win Solution Mkn

Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya adalah model ideal pembangunan yang

menempatkan negara sebagai lembaga yang berperan penting dalam memberikan pelayanan

sosial secara menyeluruh terhadap warga negara. Menurut Spicker, pada Model Negara

Kesejahteraan adalah “:…stands for a developed ideal in which welfare is provided

comprehensively by the state best possible standards”72, oleh karena itu Negara kesejahteraan

dimaknakan: ”“is a state which provides all individuals a fair distribution of the basic

resources necessary to maintain a good standard of living.73

Kewenangan yang demikian besar yang diberikan pada negara berdasarkan model

negara kesejahteraan didasari oleh tujuan pokok pembentukan negara kesejahteraan, yaitu:

1. mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik;

2. menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;3. mengurangi kemiskinan;4. menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi masyarakat miskin;5. menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantaged people;6. memberi proteksi sosial bagi tiap warga.74

Pelaksanaan konsep kesejahteraan di Indonesia dilaksanakan melalui pembangunan

kesejahteraan sosial, yaitu serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang

ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Konsep kesejahteraan

dalam konteks pembangunan nasional dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan

program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan civil society untuk mengatasi

masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia dengan peningkatan ekonomi75 yang

merupakan Positive Right.

72Paul Spicker, 1995. Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice Hall, hal.82.73Richard Quinney, 1999 .The Prophetic Meaning of Modern Welfare State. hal. 7374Dhaniswara K. Harjono, op.cit., hal. 66.75Di beberapa negara, konsep welfare state mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan

warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung. Lihat Edi Suharto, 2006. “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos”. Makalah disampaikan pada “Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan Melalui Desentralisasi Otonomi di Indonesia”. Yogyakarta, 25 Juni, hal.5.

45

Page 47: Win-Win Solution Mkn

Walaupun Indonesia telah merumuskan konsep pembangunan kesejahteraan dan

berbagai kebijakan dan program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, fakta menunjukan

standar dan kualitas hidup kehidupan manusia Indonesia cenderung menurun.

Hasil survei dan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008

dan United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan, peringkat IPM

Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dan 177 negara,76 sedikit di atas Vietnam (130),

Kamboja (131) dan Myanmar (132).

IPM berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan, karena Indikator pokok IPM

menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (kapabilitas) manusia;

pengetahuan dan daya beli sebagai indikator hidup layak. Rendahnya peringkat IPM

Indonesia menunjukkan rendahnya kesejahteraan manusia Indonesia.

Indikator IPM pada dasarnya merujuk pada konsep basic human capabilities, oleh

karena itu dapat ditarik pengertian, bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk

memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar masih memprihatinkan. Dalam bahasa yang lebih

lugas, apabila dihubungkan dengan cita-cita kemakmuran dan hidup berkecukupan yang

diistilahkan dengan masyarakat adil dan makmur, maka masyarakat Indonesia masih belum

terbebas dari lilitan kemiskinan.77 Apabila konsep ideal negara kesejahteraan menjadi konsep

76Hasil survei dan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (LPM) untuk tahun 2007/2008 dan United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Periksa: United Nations Development Programme, 2007. Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World, New York: Palgrave McMillan.

77Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dan total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, Jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dan total jumlah penduduk lndonesia tahun tersebut.Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 Juta), Australia (12 Juta) dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dan BPS sekitar Rp.5.500 per Kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dan bank Dunia sebesar US$ 2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dan total penduduk. Periksa: Edi Suharto, 2007.Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia. Bandung: Alfabeta, hal.24. Angka ini tidak jauh berbeda dengan data Badan Pusat Statistik, bahwa

46

Page 48: Win-Win Solution Mkn

pembangunan perekonomian, maka kenyataan yang ada di Indonesia masih jauh dari yang

diharapkan.

Konsep negara kesejahteraan berfokus kepada social welfare dan economic

development yang oleh James Midgley78 disebut antithetical notions. Pembangunan ekonomi

berkenaan dengan pertumbuhan akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi, sedangkan

social welfare berhubungan dengan altruisme, hak-hak sosial dan redistribusi aset.

Berdasarkan konsep negara kesejahteraan, pembangunan ekonomi yang intinya upaya

untuk meningkatkan akumulasi modal dan keuntungan ekonomi harus didasari oleh strategi

distribusi/pemerataan asset, karena melalui distribusi asset ekonomi, terutama faktor produksi

pada masyarakat, pemerataan taraf perekonomian rakyat akan dapat dicapai, tercipta posisi

tawar yang seimbang (Bargaining Position) antar semua pihak yang terlibat dalam

pembangunan ekonomi, tidak terjadi pemusatan kekuatan ekonomi berupa modal, faktor

produksi, buruh, dan keahlian manajemen pada kelompok mapun orang-orang tertentu.

Berdasarkan Konsep Negara Kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi dalam

rangka mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan, percepatan, peningkatan dan

pembangunan ekonomi harus dilakukan melalui pembangunan ekonomi nasional yang merata

dan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi yang mampu menciptakan terwujudnya

kedaulatan ekonomi Indonesia sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan yang tercantum pada

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan normatif filosofis sistem ekonomi

kerakyatan.79

jumlah orang miskin se Indonesia adalah 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36, 6 juta jiwa. Periksa: Badan Pusat Statistik, 2008. ”Bisa Ada 15,68 Juta Orang Miskin Baru”, Kompas, 8 Mei: 1 dan 15.

78James Midgley, “Growth, Redistribution and Welfare, Toward Social Investment”, 2003.79Ekonomi kerakyatan adalah suatu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, di mana

ekonomi rakyat itu sendiri merupakan kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasai oleh UKM yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan masyarakat lainnya. Lihat Marzuki, 2005, op.cit., Hal. 75.

47

Page 49: Win-Win Solution Mkn

Pembangunan ekonomi dengan strategi pemerataan dan fokus pada pembangunan

manusianya sangat penting bagi peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Perbaikan

perekonomian rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan secara merata memerlukan

pertumbuhan pendapatan yang merata dan berkelanjutan, oleh karena itu distribusi asset,

tersedianya lapangan kerja dalam jumlah besar, modal yang cukup dan perlidungan buruh

merupakan persyaratan yang harus dapat dipenuhi bagi pembangunan perekonomian yang

bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai negara hukum keseluruhan upaya

tersebut harus dilandasi oleh peraturan.

Sejatinya, berdasarkan Pancasila, UUD 1945, demokrasi ekonomi dan amanat UUPA,

orientasi pembangunan investasi bidang perkebunan yang merupakan bagian dari

pemanfaatan sumber daya alam, tidak dapat didasarkan pada konsep kapitalisme maupun

sosialisme, karena konsep demikian tidak akan mampu menciptaan pemerataan kemakmuran

rakyat. Menurut Doli.D.Siregar:

Bila kita telusuri, pembangunan yang selama ini yang cenderung ke arah kapitalisme lebih berorientasi kepada materi melalui pertumbuhan ekonomi dan kenyataannya pemerataan tidak terjadi. Sudah saatnya strategi ini diubah yakni dengan berorientasi kepada manusianya, dimana pemerataan terlebih dahulu diperhatikan. Negara maju yang sudah mulai merasakan kegagalan sistem kapitalisme untuk mensejahterakan manusia secara lebih merata termasuk di negaranya sendiri, mulai memakai konsep pembangunan berkelanjutan, di mana kesejahteraan manusia diutamakan. Pengalaman Jepang, Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dicapai lebih cepat jika pemerataan ditekankan secara serentak 80

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di era global, Indonesia tidak dapat

menghindar dari arus globalisasi dan harus bersifat proaktif dengan tetap berpegang pada

kemandirian sebagai suatu bangsa, karena pertumbuhan ekonomi ini sangat terkait erat

dengan kesejahteraan sosial masyarakat melalui strategi pemerataan pendapatan. Semakin

80Doli D Siregar, 2004. Manajemen Aset, Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional Dalam Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’s Pada Era Globalisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 37.

48

Page 50: Win-Win Solution Mkn

tingi pertumbuhan ekonomi, semakin merata peningkatan pendapatan masyarakat, maka akan

semakin meningkat kesejahteraan rakyat.

Kenyataanya, strategi pembangunan ekonomi Indonesia belum secara tegas

menempatkan manusia Indonesia sebagai titik sentral pembangunan ekonomi. Hal ini jelas

visi orientasi pembangunan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007

Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005 – 2025 (atau disingkat RPJP

Nasional), bahwa:

Ditinjau dari tingkat perkembangan ekonomi, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat kemakmurannya yang tercermin pada tingkat pendapatan dan pembagiannya. Tingginya pendapatan rata-rata dan ratanya pembagian ekonomi suatu bangsa menjadikan bangsa tersebut lebih makmur dan lebih maju. Negara yang maju pada umumnya adalah negara yang sektor industri dan sektor jasanya telah berkembang. Peran sektor industri manufaktur sebagai penggerak utama laju pertumbuhan makin meningkat, baik dalam segi penghasilan, sumbangan dalam penciptaan pendapatan nasional maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan kalimat,..”Tingginya pendapatan rata-rata dan ratanya pembagian ekonomi

suatu bangsa menjadikan bangsa tersebut lebih makmur dan lebih maju”, dapat ditarik

pengertian, bahwa kesejahteraan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kemampuan

ekonomi untuk meningkatkan pendapatan secara adil dan merata81, namun pada kenyataanya,

dalam mengukur kemajuan pembangunan ekonomi, pemerintah cenderung menggunakan

perspektif pendapatan rata-rata nasional (Gross National Product/GNP), bukan perspektif

ratanya pendapatan yang merupakan gambaran konkrit dan individual dari kemapuan daya

beli per individu atau Real Income.

Investasi bidang perkebunan seharusnya dapat menjadi strategi bagi upaya melakukan

peningkatan pemerataan pemilikan/penguasaan tanah sebagai faktor produksi utama,

pemerataan pekerjaan, pemerataan untuk menghasilkan komoditas dan pemerataan

pendapatan masyarakat, oleh karena itu investasi bidang perkebunan seharusnya tidak 81Dhaniswara. K Harjono, 2007. Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta: Raja Grafindo, hal.5. 49

Page 51: Win-Win Solution Mkn

diserahkan pada mekanisme sistem pasar bebas yang individualis, kapitalis dan liberalis

karena akan mengakibatkan penguasaan faktor produsi dan tenaga kerja oleh golongan yang

kuat saja, tetapi harus didasarkan pada konsep pemerataan asset, terutama faktor produksi,

berupa tanah, buruh, dan kemampuan manajemen.

7. ”Win-Win solution” Sebagai Prinsip Pengaturan Penanaman Modal Bidang Perkebunan Berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila.

Tanpa membedakan penanaman modal dalam kategori penanaman modal asing dan

penanaman modal dalam negeri, karena asas perlakuan yang sama telah menjadi asas

penanaman modal di Indonesia, kajian ini mengembangkan konsep ”Win-Win Solution” bagi

pengaturan penanaman modal bidang perkebunan berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila

yang dikemukakan Emil Salim dan Teori Jalan Tengah dari Soernarajah.

Emil Salim menyatakan, Sistem Ekonomi Pancasila, sebagai sistem ekonomi yang

bersifat terbuka82, dengan ciri-ciri:

1. Peran koperasi sangat menonjol; 2. Adanya insentif ekonomi dan moral untuk menggerakkan roda perekonomian; 3. Adanya inklinasi dan kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau

kemerataan sosial; 4. Diberikannya prioritas utama pada terciptanya perekonomian nasional yang tangguh;

dan5. Pengandalan sistem desentralisasi dalam kegiatan ekonomi dan diimbangi

perencanaan yang kuat serta pemberian arah bagi perkembanan ekonomi.83

Soernarajah mengemukakan Teori Jalan Tengah (middle path theory) sebagai teori

yang mencoba menengahi pertentangan antara teori klasik yang intinya menyatakan semua

PMA itu baik, dan teori ketergantungan (depency theory) yang intinya menyatakan semua

PMA itu membahayakan84, untuk selanjutnya diterapkan bagi pengaturan kegiatan penanaman

82Emil Salim, dalam dalam Suteki, 2010, “Rekonstruksi Politik Hak Atas Air Pro Rakyat”, Malang: Surya Pena Gemilang, hal 82-83.

83Budiono, dalam Ibid. 84Huala Adolf, 2004.Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO).

Jakarta: PT.Raja Grafindo Perdata. hal. 37. Periksa juga: Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2006. Kerangka Hukum Kebijakan Investasi: Investasi langsung di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 3.

50

Page 52: Win-Win Solution Mkn

modal bidang perkebunan berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila, sebagai sistem ekonomi

yang bersifat terbuka.

Jika pada PMA kepentingan yang saling dihadapkan adalah kepentingan penanam

modal asing dalam hubungannya dengan negara dimana modal asing itu ditanam, maka dalam

pembahasan terhadap penanaman modal bidang perkebunan, kepentingan yang saling

dihadapkan untuk diserasikan dikembangkan menjadi kepentingan penanam modal (tanpa

membedakan penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri); kepentingan

negara/pemerintah; dan kepentingan rakyat.

Penggunaan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai dasar dari prinsip “Win-Win Solution”

didasarkan pada pertimbangan:

1. Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang bersifat terbuka yang bersumber

pada nilai-nilai Pancasila sehingga memiliki ciri yang khas sebagai sistem ekonomi yang

dianut bangsa Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD NRI 1945;

2. Sistem Ekonomi Pancasila sebagai sistem terbuka dapat berinteraksi dengan

perkembangan sistem ekonomi yang berkembang di dunia internasional, sepanjang

diabdikan dan tidak merugikan kepentingan nasional dalam rangka mencapai sebesar-

besar kemakmuran rakyat berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan

3. Sistem Ekonomi Pancasila disusun berdasarkan kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi.

Konsep “Win-Win Solution” berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila digunakan sebagai

pisau analisis berdasarkan pertimbangan bahwa:

1. Di era global, tanpa membedakan penanaman modal asing maupun penanaman modal

dalam negeri, penanaman modal adalah kebutuhan;

2. Penanam modal, negara/pemerintah, petani/pekebun, dan buruh tani sama-sama memiliki

hak terhadap agraria, terutama tanah yang menjadi objek penanaman modal bidang

51

Page 53: Win-Win Solution Mkn

perkebunan yang harus diatur pemanfaatannya secara serasi, selaras dan seimbang dalam

rangka menciptakan kepastian dan kemanfaatan penggunaan tanah, sehingga terwujud

keadilan dalam pemanfaatan tanah dalam penanaman modal bidang perkebunan bagi

semua pihak; dan

3. Kepentingan penanam modal berupa keuntungan, kepentingan negara/ pemerintah berupa

penerimaan negara, kepentingan petani dan buruh tani/kebun yaitu meningkatnya

kemampuan ekonomi dan kesejahteraannya harus menjadi dasar pertimbangan dalam

pengaturan penanaman modal bidang perkebunan harus diatur berdasarkan kedaulatan

ekonomi Indonesia dengan ciri khasnya.

Penerapan teori-teori mengenai penanaman modal tergantung pada masing-masing negara,

dan bahkan dapat dilakukan secara bervariasi, artinya menggabungkan teori-teori tersebut

dan/atau disertai dengan pengembangan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan.

Pada satu sisi, penanaman modal asing maupun dalam negeri tetap harus berada dalam

koridor pengawasan Pemerintah. Pada sisi lain asas keterbukaan dan asas non diskriminasi

juga harus dijalankan. Teori Soernarajah merupakan teori yang lebih tepat diterapkan, karena

dengan menggunakan teori ini tetap terbuka peluang untuk menarik investasi sebesar-

besarnya dengan tetap melindungi kepentingan rakyat, dengan cara membatasi dominasi

penanaman modal terhadap rakyat dalam usaha bidang perkebunan.

C. Faktor Signifikan Yang Mengakibatkan Tidak Harmonisnya Aturan Hukum Pemanfaatan Tanah Bagi Investasi Bidang Perkebunan

1. Hak Menguasai Negara Sebagai Sumber Pengaturan HGU Yang Diskriminatif

HMN menjadi penyebab pengaturan diskriminatif bidang perkebunan, dalam bentuk

pemihakan negara/pemerintah pada investor. Pemihakan tersebut dilakukan dengan cara

tidak memasukkan HGU sebagai objek landreform, pemberian HGU dengan luas tanpa

52

Page 54: Win-Win Solution Mkn

batas luas tanpa batas, jangka waktu HGU yang melebihi waktu yang diatur UUPA,

perpanjangan dimuka yang tidak diatur UUPA, dan pengambilan tanah masyarakat.

Dalam UUPA tidak terdapat pembatasan yang tegas mengenai HMN, walaupun

negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kekuasaan apapun yang ada di Indonesia

harus ada batasnya, termasuk kekuasaan negara/pemerintah.

Dalam UUPA dirumuskan berbagai hak, kewenangannya, jangka waktunya, dan

pembatasan lainnya, namun UUPA tidak merumuskan secara tegas HMN. UUPA hanya

menentukan kewenangan yang terkandung dalam HMN dan posisinya terhadap hak-hak.atas

tanah lainnya. Pembatasan terhadap HMN tidak diatur dalam UUPA. Pengaturan demikian

sama dengan memberikan cek kosong pada negara/pemerintah di bidang agraria termasuk

dalam pemanfaatan tanah untuk penanaman modal bidang perkebunan. Kenyataanya,

negara/pemerintah yang mempunyai hak membentuk peraturan bukanlah lembaga yang kebal

terhadap pengaruh sosial, budaya, politik, ekonomi dari berbagai kelompok dankepantingan,

terutama yang bermotif ekonomis.

Praktik pelaksanaan HMN lebih cenderung didasari tafsir bahwa, semua tanah di

Indonesia adalah milik negara, karena batasan pengertian umum yang menjadi dasar bagi

negara sebagai syarat untuk melakukan pengambilan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam

UU No.20/61 tentang Pencabutan Hak Atas tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya

sering kali disimpangi oleh pemerintah dengan cara membentuk peraturan lain yang

bertentangan dengan UU No.20/61.

Khusus untuk pemanfaatan tanah bagi kegiatan penanaman modal bidang

perkebunan sebagai pelaksanaan Hak Menguasai Negara, UUPA bersifat diskriminatif,

bertentangan dengan nilai keadilan, dan Hak Asasi manusia di bidang ekonomi yang diatur

dalam UUD NRI 1945, serta tujuan UUPA sendiri, yaitu pemanfaatan/penggunaan

53

Page 55: Win-Win Solution Mkn

agraria/tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemihakan UUPA terhadap

pemerintah dan perusahaan perkebunan tercermin dari pengaturan sebagai berikut:

Berhubung dengan disebutnya hak ulayat dalam UUPA, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya, di dalam pemberian suatu hak atas tanah (umpamanya Hak Guna Usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak. {Vide Penjelasan Umum II UUPA angka (3)}.

Rumusan di atas bermakna, bagaimanapun masyarakat hukum adat akan kehilangan

haknya atas tanahnya, apabila pemerintah memerlukan tanah untuk diberikan pada

perusahaan perkebunan dengan Hak Guna Usaha, yang sebenarnya bukan termasuk

kategori kepentingan umum.

Secara substansial, pemberian hak dengan cara demikian bertentangan/tidak sinkron

dengan sifat hubungan antara manusia Indonesia dengan agraria, termasuk tanah yang

bersifat abadi sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) UUPA, konsep bangsa

yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat (1) UUPA, dan dengan UU No.20 Tahun 1961 Tentang

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yang hanya dapat

dilakukan atas dasar kekuatan undang-undang; demi kepentingan umum, dan dilaksanakan

dengan Keputusan Presiden. Pengadaan tanah untuk kepentingan perusahaan perkebunan

tidak termasuk pada kategori untuk kepentingan umum.

Menurut Dhabi K. Gumayra, pengaturan HMN yang demikian berpotensi digunakannya

HMN untuk tujuan yang tidak sesuai dengan amanat pasal 33 UUD NRI 1945. Menurut

Dhabi:

Walaupun harus diakui, bahwa konsep Hak Menguasai Negara mengacu pada pemikiran bahwa negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”. Namun, tidak pernah dapat dipastikan bahwa rezim yang muncul dan berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan dibawah rezim yang populis, maka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

54

Page 56: Win-Win Solution Mkn

ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi, jika penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang kapitalistik, maka penguasaan agraria/tanah oleh negara akan didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat secara ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial mempengaruhi rumusan berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 UUD 45, terutama peraturan perundang-undangan di bidang agraria/pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45. 85

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian, tanpa ada makna yang jelas

mengenai HMN; pemberian kedudukan Hak Ulayat yang tegas beserta alat buktinya; serta

menjadikan pemberian tanah untuk perkebunan sebagai bagian dari program landreform,

maka potensi terbitnya peraturan bagi penanaman modal bidang perkebunan yang

bertentangan dengan pasal 33 UUD NRI 1945 tetap terbuka.

Apabila peraturan yang mengatur pemanfaatan tanah bagi investasi bidang perkebunan

tetap dibiarkan pada status quo, maka berbagai permasalahan tanah bidang perkebunan

signifikan akan tetap muncul, karena tanah bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang

sebagian besar lemah secara ekonomi, maupun pendidikan masih menjadi faktor produksi

utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya.

Tanah memiliki multiple value dan sulit untuk digantikan dengan benda yang lain.

Dengan kata lain, bagi sebagian besar rakyat Indonesia tanah merupakan benda yang vital dan

strategis, sedangkan di era global, negara/pemerintah cenderung memaknakan tanah sebagai

komoditas yang signifikan bagi peningkatan penerimaan negara melalui pembangunan bidang

perkebunan, dengan memanfaatkan penanaman modal.

2. Tidak Masuknya HGU Perkebunan Sebagai Objek Landreform Melemahkan Akses Rakyat Terhadap Tanah Perkebunan

85Dhabi K Gumayra, 2007, “Sinkronisasi Pengaturan Penguasaan Tanah Terhadap Politik Agraria Menurut Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945”, Tesis, Palembang :Program Studi Imu Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya hal.74.

55

Page 57: Win-Win Solution Mkn

UUPA memisahkan pengaturan HGU bagi usaha perkebunan dari objek

landereform. Pengaturan demikian bertentangan dengan asas pemerataan yang dianut oleh

politik hukum agraria populis yang dianut oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Pengaturan

demikian mengakibatkan kegiatan landreform yang dilaksanakan hanya terbatas untuk

tanah pertanian yang memang sudah terbatas luasan tanah yang dapat dimanfaatkan,

bahkan dengan dilakukannya landreform, luas tanah perorangan semakin mengecil.

Tidak bisa dimengerti, mengapa UUPA yang tujuan utamanya adalah mewujudkan

sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama rakyat tani melalui pemerataan pemilikan tanah

(landreform), tidak memasukkan program pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang

perkebunan sebagai bagian dari pelaksanaan program landreform.

Karena UUPA tidak mengatur pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang

perkebunanan sebagai objek landreform, maka pemerintah mempunyai landasan hukum untuk

mengambil kebijakan yang memihak penanam modal. Hal ini jelas dari berbagai pengaturan

dalam UUPM sebagai peraturan pelaksanaan UUPA yang memihak pada investor, seperti

pengaturan HGU,HGB, dan Hak Pakai dalam UUPM.

Dalam UUPM, jangka waktu HGU dapat diberikan selama 95 tahun, HGB selama 80

tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun, dengan mekanisme perpanjangan dimuka

sebagaimanan yang diatur dalam UUPM Pasal 22 ayat (1) huruf :

a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;

Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf a: Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun.

b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun;Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf b:

56

Page 58: Win-Win Solution Mkn

Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun.

c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf c: Hak Pakai (HP) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

Pengaturan di atas bertentangan dengan UUPA, bersifat diskrimantif, dan bentuk

perlakuan yang berlebihan terhadap penanam modal, karena secara substansial rentang waktu

yang diberikan bertentangan dengan maksimum lama waktu yang dapat diberikan oleh

UUPA, sebagaimana diatur dalam pasal:

Pasal 29(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-

usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

Pasal 35(1) Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-

bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Pasal 41(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2) Hak pakai dapat diberikan:a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk

keperluan yang tertentu;b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

Berdasarkan ketentuan di atas, perumusan Pasal 21 UUPM tidak sinkron dengan UUPA

yang memberikan jangka waktu HGU paling lama adalah 60 tahun, Hak Guna Bangunan

57

Page 59: Win-Win Solution Mkn

adalah 50 tahun, Hak Pakai 50 tahun, atau selama tanahnya dipergunakan, atau ditentukan

oleh pemilik tanahnya, dan juga tidak mengatur tentang perpanjangan hak di muka.

Mekanisme pengaturan perpanjangan di muka bagi hak atas tanah bagi investasi

bidang perkebunan selain akan lebih mengokohkan pemilik modal, juga karena

mekanisme demikian bertentangan dengan asas fungsi sosial hak atas tanah, dan sifat

hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah, serta asas optimalisasi

pemanfataatan hak atas tanah.

Pemberian HGU selama 90 tahun sama saja dengan pemberian hak milik, karena

selama 3 (tiga) generasi tertutup sudah kemungkinan rakyat/bangsa Indonesia untuk dapat

mengakses tanah perkebunan, dan akan menciptakan pasar buruh perkebunan yang besar,

yang akhirnya akan bersedia dibayar dengan harga murah.

Seharusnya, pemberian hak atas tanah kepada badan hukum harus tetap memberikan

kesempatan pada generasi mendatang untuk dapat mengakses tanah perkebunan, karena hak

untuk mengakses tanah dalam rangka mengambil manfaat tanah untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia Indonesia dan keluarganya adalah hak asasi yang dijamin oleh UUD NRI

1945 dan wajib dilaksanakan oleh negara/ pemerintah dengan membentuk peraturan

pelaksanaan.

Hak mengakses tanah adalah positive right yang didasari oleh Hak Asasi Manusia di

bidang ekonomi yang diatur dalam UUD NRI 1945, dan hubungan yang abadi antara orang

(natuurlijke persoon) sebagai rakyat/bangsa Indonesia sebagai yang diatur UUPA harus

dilaksanakan oleh negara melalui program landreform yang bertujuan untuk meratakan

pemilikan/penguasaan tanah bagi rakyat, terutama rakyat tani/pekebun.

Ketentuan Pasal 21 UUPM telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

No.21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007 yang mengakibatkan

58

Page 60: Win-Win Solution Mkn

kembalinya posisi jangka waktu hak atas tanah kepada ketentuan perundang-undangan yang

berlaku yaitu UUPA, namun potensi untuk terbitnya kembali peraturan yang memihak

pada investor bidang perkebunan tetap terbuka, karena dasar dari pengaturan yang demikian

adalah, pengaturan yang diskriminatif oleh UUPA tentang HMN, dan HGU yang diatur

UUPA dan Penjelasannya yang masih berlaku dan tetap dapat menjadi dasar pemerintah

mengeluarkan peraturan pemanfaatan tanah bagi perkebunan yang memihak investor.

Dengan kata lain, untuk dapat menciptakan pengaturan pemanfaatan tanah bagi

penanaman modal bidang perkebunan yang berkeadilan, pengaturan HMN, HGU, dan Hak

adat, serta Hak Masyarakat Hukum Adat/Hak Ulayat harus disempurnakan, dengan

mengutamakan kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama rakyat tani melalui

pemerataan pemilikan tanah/kebun, tanpa mengorbankan kepentingan perusahaan

perkebunan, dan potensi penerimaan negara bidang perkebunan.

3. Proteksi Pemerintah Yang Berlebihan Melalui UUPM Dan UUPerkb Terhadap Perusahaan Perkebunan Bertentangan Dengan Asas Pemerataan Pemilikan Tanah Sebagaimana Yang Menjadi Dasar Dari Program Landreform Sebagai Bagian Dari Politik Agraria Populis

Pada pasal 3 UUPerbk, dicantumkan tujuan dari penyelenggaraan pembangunan bidang

perkebunan, yaitu:

a. Meningkatkan pendapatan rakyat;b. Meningkatkan penerimaan negara;c. Meningkatkan penerimaan devisa negara;d. Meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;e. Menyediakan lapangan kerja;f. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dang. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Rumusan di atas tidak mencantumkan pemerataan pemilikan tanah perkebunan yang

seharusnya menjadi bagian dari program landreform yang diamanatkan UUPA sebagai

59

Page 61: Win-Win Solution Mkn

tujuan pembangunan bidang perkebunan. Hal ini menunjukkan, pemerintah berpendirian

bahwa, pembangunan perkebunan bukanlah bagian dari pelaksanaan program landereform.

Terdapat kesan mendalam pemerintah sangat memihak dan melindungi investor dalam

melaksanakan usahanya dari berbagai ancaman yang dapat timbul dari rakyat, yang sejatinya

karena tidak jelasnya pengaturan pengadaan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan.

Tafsir demikian didasarkan Pasal 30 ayat (1) UU PM: Pemerintah dan/atau pemerintah

daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.

Kata menjamin kepastian dan keamanan, merupakan wujud pemihakan pemerintah pada

investor. Untuk kata kepastian, dapat dimaknakan sebagai upaya untuk memberikan kepastian

hukum, terutama kepastian yang berkaitan dengan perizinan. Namun, apa makna kata,

keamanan dalam rumusan tersebut ?.

Pasal 20 UUPerkb dirumuskan: Pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan

usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan

masyarakat sekitarnya. Praktiknya, kata ini dimaknakan oleh investor sebagai hak untuk

meminta bantuan pada aparat keamanan, apabila dalam pelaksanaan proyek investasinya

timbul berbagai masalah dengan rakyat, terutama yang berkaitan dengan hak atas tanah dan

proses produksi usaha perkebunan. Seringkali dalam sengketa hak atas tanah yang sejatinya

adalah sengketa keperdataan, pengusaha memanipulasinya menjadi sengketa pidana, dengan

tujuan agar produksi perkebunan tidak terganggu, walaupun mungkin saja usaha perkebunan

tersebut tidak didasarkan pada alas hak atas tanah yang sah, demi mengamankan penerimaan

pemerintah.

Dengan kata lain, persoalan keabsahan tanah yang dikuasai oleh perusahaan

perkebunan yang seringkali menjadi pemicu sengketa dan konflik antar masyarakat dengan

perusahaanyang merupakan sengketa perdata akan leluasa dimanipulasi sebagai gangguan

60

Page 62: Win-Win Solution Mkn

keamaman bagi perusahaan menjadi perkara pidana. Hal ini merupakan bentuk dari

Viktimisasi persoalan perdata bidang perkebunan yang dilegalkan oleh peraturan.

Dari perspektif ilmu hukum, pengaturan demikian adalah pengaturan yang berlebihan,

karena seharusnya cukup diatur dalam KUHP saja. Selain itu, rumusan demikian

merefleksikan keyakinan pemerintah bahwa, usaha perkebunan yang menjadi andalan

penerimaan pemerintah dan meningkatkan devisa negara pasti akan mendapat gangguan

keamanan dari rakyat, karena itu perlu ada pendekatan keamanan untuk mensukseskan

pembangunan bidang perkebunan, sebagaimana yang diterapkan pada masa Orde Baru.

Pertanyaannya yang layak diajukan seputar ketentuan di atas adalah, bukan siapa yang

mengganggu dan kenapa diganggu, tetapi mengapa gangguan itu ada?. Dari perspektif

hukum, persoalan akan timbul (permasalahan hukum) bila ada ketidakadilan. Dalam

kaitannya pemanfaatan tanah untuk usaha perkebunan, terdapat potensi gangguan keamanan

apabila usaha perkebunan yang dilaksanakan tidak memenuhi rasa keadilan, atau merugikan

masyarakat, terutama masyarakat di sekitar lokasi perkebunan, misalnya karena pengambilan

tanah rakyat untuk perkebunan tidak memperhatikan kepentingan rakyat, atau sebagai akibat

dari tindakan pemerintah yang cenderung berusaha memutus hubungan hukum antara rakyat

dengan tanah yang merupakan hak asasinya untuk kemudian diberikan pada perusahaan

perkebunan dan rakyat hanya diberikan recognitie.

Sebagai contoh, penggunaan aparat keamanan dalam kasus tanah perkebunan adalah

penyerobotan tanah rakyat oleh perusahaan pabrik gula di Cinta Manis, Sumatera Selatan.

Pada kasus tersebut, perusahaan yang jelas-jelas telah menyerobot tanah masyarakat

menanaminya tanpa alas hak, tidak memberikan ganti rugi, tidak dapat menunjukkan bukti

hak sebagaimana yang diatur dalam UUPA, namun pihak perusahaan sulit untuk ditemui

secara langsung untuk bermusyawarah, dan memanfaatkan aparat keamanan sebagai

61

Page 63: Win-Win Solution Mkn

penghubung, sehingga permasalahan menjadi berlarut-larut dan belum ada penyelesaian.

Hingga kini tidak ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap perusahaan tersebut, walaupun

secara normatif perusahaan tersebut telah dapat dipidana oleh negara karena menggunakan

tanah tanpa izin pemiliknya atau pemerintah, karena tidak dapat menunjukkan bukti tertulis

pemanfaatan tanah yang dikuasai, dan telah dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai kebun.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (1) UUPM dan Pasal 20

UUPerkb adalah bentuk pemihakan negara/pemerintah kepada investor yang berlebihan, dan

menjadi sarana perlindungan yang tidak sah secara hukum yang diberikan pemerintah, karena

ketentuan tersebut memberikan kesempatan pada pengusaha untuk memanipulasi persoalan

hukum yang sesungguhnya adalah persoalan perdata menjadi persoalan pidana, yang disebut

yang diistilahkan oleh Muhadar sebagai Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan 86 ,

termasuk perkebunan tentunya.

4. Kontrak Pertanian Mensubordinasi Petani/Pekebun Oleh Perusahaan Perkebunan

Dalam perspektif politik agraria populis, hubungan antar para pihak didasari oleh usaha

bersama atas dasar kekeluargaan, dan perkebunan merupakan usaha mandiri dari

petani/pekebun dalam wadah koperasi yang mandiri.

Berdasarkan sistem kemitraan yang didasari oleh hubungan inti-plasma yang diatur

dalam undang-undang perkebunan, kedudukan petani tersubordinasi oleh perusahaan. Dalam

hubungan pertanian kontrak, koperasi pada dasarnya hanya bagian dari unit kegiatan yang

dikendalikan oleh perusahaan, mulai dari pembangunan kebun, proses produksi,

pemeliharaan, pemasaran, sampai pada penentuan harga produksi.

Dengan kata lain, kemitraan dapat dilihat sebagai bentuk monopoli baru bidang

perkebunan. Hal ini tergambar dari kenyataan, dalam hubungan inti plasma, perusahaan

86. Muhadar, 2005. Viktimisasi Kejahatan di Bidang Pertanahan. Yogjakarta: Laksbang, hal.348.

62

Page 64: Win-Win Solution Mkn

sangat diuntungkan. Perusahaan dengan kemampuannya dapat melakukan monopoli proses

produksi dari awal hingga akhir, dengan resiko tetap berada pada pihak petani.

Subordinasi kedudukan petani pada sistem kontrak tani inti-plasma tergambar dari

kenyataan:

1. Perusahaan inti dapat mengalihkan resiko dalam investasi; produksi; fluktuasi harga pasar komoditas hasil perkebunan pada petani;

2. Pengusaha perkebunan mengalihkan semua soal pengerahan tenaga kerja pada petani (hal ini merupakan bentuk tersembunyi dari (self exploitation);

3. Keputusan pada penentuan mutu ada pada perusahaan inti;4. Petani diisolasi dari pasar bebas, karena kegiatan pengolahan dan pemasaran menjadi

kekuasaan perusahaan inti.5. Mengatasi masalah dan menghemat biaya pengadaan tanah, serta menjamin

penguasaan hasil produksi, karena melalui kontrak pertanian semua biaya menjadi tanggung jawab petani melalui fasilitas kredit yang pengurusannya difasilitasi oleh perusahaan inti;

6. Perusahaan memperoleh tenaga kerja murah dan bahkan gratis, karena PIR perkebunan adalah usaha padat karya yang dikerjakan oleh petani dan keluarganya secara tidak langsung, dengan alasan bahwa petani dikontrak untuk menjual hasil tanamannya, bukan tenaganya;

7. Perusaahan dapat melakukan pengendalian terhadap petani; sarana produksi, pengolahan, dan pemasaran, dan;

8. Melalui sistem Kontrak Pertanian dengan perusahaan Inti-Plasma dapat membagi resiko dengan lembaga-lembaga pembangunan dan keuangan, serta petani.

9. Dalam pengadaan tanah perusahaan dapat memanfaatkan negara/pemerintah dalam pengadaan tanah.

Berdasarkan uraian di atas, sejatinya pola kemitraan dalam bentuk pertanian kontrak

dengan inti-plasma, lebih didasarkan pada kemampuan majemen, bukan oleh modal.

Kemampuan manajemen inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk dapat memonopoli

proses produksi hingga pemasaran. Resiko kegagalan, tetap akan ditanggung petani, karena

petanilah yang harus membayar kredit pada bank apabila terjadi kegagalan. Oleh karena itu

kemampuan manajemen petani harus dilakukan dan menjadi kewajiban pemerintah, sebab

dalam bisnis berlaku prinsip “ no free lunch”.

5. Tidak Ada Perlindungan Hukum, Kepastian Pekerjaan Dan Pendapatan Bagi Buruh Harian/Lepas Perkebunan, Minimnya Alternatif dan Kesempatan Untuk Memperoleh Tambahan Pendapatan

63

Page 65: Win-Win Solution Mkn

Pada dasarnya perusahaan adalah lembaga ekonomi yang beroperasi dengan prinsip

efisiensi, sehingga strategi ekonomi yang ditempuh untuk memperbesar keuntungan adalah

dengan meminimalisasi jumlah pekerja tetap perusahaan, dan memanfaatkan semaksimal

mungkin buruh lepas/ harian yang melimpah bidang perkebunan, yang dapat dimanfaatkan

sewaktu-waktu menurut kebutuhan perusahaan dan bersedia dibayar murah.

Untuk menghindari resiko, rekruitmen buruh tidak dilakukan secara langsung oleh

perusahaan, tetapi memanfaatkan agen-agen tenaga kerja, dan agen-agen ini selanjutnya

memanfaatkan para mandor untuk melakukan rekruitmen tenaga kerja, tanpa didasari oleh

perjanjian kerja maupun perjanjian perburuhan. Dengan kata lain, keseluruhan persoalan

rekruitmen, pengupahan, dan segala persoalan yang menyangkut tenaga kerja harian/lepas

bidang perkebunan di laur tanggung jawab perusahaan.

Pola yang dapat diidentifikasi dalam pemanfaatan buruh harian/lepas perkebunan dapat

diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) pola, yang disebut dengan Sistem Kerja Upahan/SKU, yaitu

1. Perikatan kerja permanen, yaitu kontrak kerja satu tahun, yang sebenarnya sama saja dengan sistem kerja upahan, hanya saja hari kerjanya dibatasi di bawah 20 hari, bekerja selama 7 jam/hari, dengan target kerja secara bersamaan yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, dengan upah antara Rp.29.000,- sampai Rp. 31.500,-/hari, tanpa jaminan sosial;

2. Perikatan semi permanen (kontrak borongan, model kerja sopir-kernet, kepastian kerja tergantung fluktuasi panen, jam kerja ½ hari kerja (3,5 jam) atau 1 hari kerja (7 jam) tergantung fluktuasi panen, tanpa jaminan sosial, kompensasi upah antara Rp.8.000,- sampai Rp. 15.000,-,

3. Sistem Out Sourcing resmi atau tidak resmi, tidak ada jaminan kepastian kerja, jam kerja ½ hari kerja (3,5 jam) , upah antara Rp. 8.000,- sampai Rp. 15.000,-/hari, tanpa jaminan sosial. 87

Kondisi upah buruh yang rendah terjadi selain karena melimpahnya jumlah buruh

harian/lepas perkebunan, juga akibat pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang sangat liberal, dan bersandarkan pada

mekanisme pasar tenaga kerja secara terbuka, jelas mengurangi standar perlindungan buruh, 87Arie Rompas, “Hak Politik Buruh PerkebunanSawit Terpasung Kepentingan Pengusaha dan Penguasa”,

http//www. Sawitwatch.or.id, Haln 1, diakses 29 Januari 2010.64

Page 66: Win-Win Solution Mkn

dan peran negara sebagai pelindung buruh semakin dihilangkan. Buruh/pekerja dibiarkan

sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal.88

Pola hubungan buruh harian/lepas bidang perkebunan di atas tentunya sangat

bertentangan dengan pola pengaturan perburuhan berdasarkan politik agraria populis yang

didasarkan pada pola produksi keluarga petani/pekebun, tenaga kerja dari keluarga, atau

kerabat petani yang ditujukan untuk menjamin ketersediaan pekerjaan secara berkelanjutan.

Politik agraria populis yang menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tanah atas dasar

usaha bersama dan kekeluargaan dalam kegiatan usaha perkebunan lebih menjamin

ketersediaan pekerjaan bagi buruh perkebunan secara berkelanjutan, bahkan tetap membuka

askes buruh perkebunan untuk suatu saat memiliki tanah perkebunan, karena penguasaan

tanah dan usaha perkebunan yang dilakukan merupakan usaha keluarga.

D. Pengaturan Pemanfaatan Tanah Sebagai Salah Satu Akar Masalah Disharmoni Peraturan Investasi Bidang Perkebunan

Di tengah persaingan ketat untuk menarik investasi bagi pembiayaan pembangunan

bidang perkebunan, kepastian hukum adalah faktor yang sangat mendasar dalam menciptakan

iklim kondusif bagi investasi, disamping pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan

berinvestasi.

Faktor-faktor hukum yang signifikan mempengaruhi minat investasi bidang perkebunan

adalah:

1. Kemudahan mendirikan perusahaan dalam rangka penanaman modal;

2. Kemudahan dalam mengurus berbagai perizinan yang diperlukan; dan

3. Kemudahan dalam pengadaan tanah;

88Ibid, hal.2.65

Page 67: Win-Win Solution Mkn

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memberikan kemudahan pendirian

perusahaan dan pengurusan perizinan investasi. Penguatan kedududukan BKPM sebagai

otoritas penanaman modal yang tugas utamanya mengkoordinasikan pelaksanaan penanaman

modal dan mempertanggung jawabkannya langsung kepada Presiden adalah upaya untuk

mengurangi berbagai hambatan birokrasi dalam kegiatan penanaman modal.

Sekarang, biaya maupun waktu yang diperlukan untuk mengurus berbagai perizinan

penanaman modal telah lebih baik dan dapat diperkirakan, terlebih setelah pemerintah

mengeluarkan sistem pelayanan perizinan penanamam modal satu atap dan ditingkatkan

dengan sistem pelayanan perizinan satu pintu, maka berbagai hambatan birokrasi yang

berkaitan dengan kegiatan penanaman modal relatif dapat minimalkan..

Namun, untuk pengadaan tanah bagi penanaman modal, khususnya penanamam modal

bidang perkebunan, penanam modal masih terus mengalami berbagai kesulitan, karena

peraturan yang ada dinilai investor belum mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan

keamanan berusaha sebagaimana mestinya.

Persoalan tanah dalam kaitannya dengan penanaman modal dapat mengakibatkan

terhambatnya penanaman modal, menghentikan penanaman modal yang telah berjalan,

bahkan mengakibatkan berbagai konflik sampai pada konflik terbuka yang berkepanjangan,

sesungguhnya adalah persoalan pokok yang telah terjadi sejak zaman kolonial yang tak

kunjung dapat diselesaikan.

Usaha perkebunan yang membutuhkan biaya besar, tanah yang luas, buruh dalam jumlah

besar, serta waktu yang lama untuk mencapai break even point, signifikan akan gagal apabila

tidak ada kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya.

66

Page 68: Win-Win Solution Mkn

Pemerintah menyadari, bahwa kepastian hak atas tanah dan berapa lamanya suatu hak

atas tanah diberikan merupakan pokok persoalan yang harus diselesaikan untuk menarik

investasi agar tercipta kepastian dan keamanan investor dalam berusaha.

Khusus untuk bidang perkebunan yang membutuhkan waktu yang lama, tuntutan

investor agar diberi hak atas tanah untuk jangka waktu antara 60 tahun sampai 90 tahun

adalah sesuatu yang wajar atas dasar perhitungan dan pertimbangan ekonomi sebagai bagian

dari upaya menciptakan kepastian dan keamanan berusaha bagi penanam modal sudah

seharusnya diapresiasi pemerintah.

Pemerintah berupaya untuk melakukan terobosan guna menyelesaikan masalah

pengadaan tanah bagi kegiatan penanaman modal dengan mengatur HGU,HGB, dan Hak

Pakai dalam UUPM secara berbeda dengan pengaturan dalam UUPA, baik dari segi jangka

waktunya, prosedur perpanjangan dan pembaruan haknya, sehingga hak-hak tersebut dapat

berlangsung antara 60 tahun sampai 90 tahun.

Mahkamah Konstitusi berpendapat, pengaturan hak-hak atas tanah untuk kepentingan

penanaman modal dalam UUPM bertentangan dengan UUPA sebagai ketentuan pokok yang

mengatur agraria termasuk tanah, sehingga melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.21-

22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007, Mahkamah Agung

mengembalikan posisi jangka waktu hak atas tanah prosedur pemberian, perpanjangan dan

pembaruan HGU,HGB dan Hak Pakai dalam UUPM kepada UUPA dengan pertimbangan,

bahwa pada intinya:

1. Pengaturan HGU, HGM, dan Hak Pakai, baik jangka waktu maupun prosedur

perpanjangan di muka hak-hak tersebut tidak diatur atau bertentangan dengan UUPA;

2. Pengaturan HGU,HGB, dan Hak Pakai dalam UUPM mengancam kedaulatan negara

dalam mengatur hak-hak atas tanah, karena dengan adanya prosedur perpanjangan hak

67

Page 69: Win-Win Solution Mkn

dimuka, negara tidak lagi memiliki kebebasan penuh dalam bertindak untuk

melaksanakan kewenangannya berdasarkan Hak Menguasai negara; dan

3. Prosedur perpanjangan dimuka yang mengakibatkan perusahaan dapat

menguasai/memiliki hak atas tanah demikian lama (antara 60 tahun sampai 90 tahun)

dapat menjadi penghalang generasi mendatang untuk dapat menguasai/memiliki hak

atas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya.

Dari kasus di atas, dapat ditarik pengertian, bahwa antara Pemerintah pada satu sisi

dengan Mahkamah Konstitusi bersama para penggugat pada sisi lain mempunyai pandangan

yang berbeda tentang pemanfaatan tanah bagi penanamam modal.

Pemerintah cenderung menempatkan tanah sebagai komoditas perdagangan, sedangkan

Mahkamah Agung dan rakyat menempatkannya sebagai asset yang vital dan strategis yang

mempunyai hubungan langsung dengan rakyat sebagai faktor produksi utama dalam

memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, oleh karena itu akses rakyat untuk dapat

memafaatkan tanah yang bersumber pada Hak Bangsa yang bersifat abadi harus dilindungi

oleh negara.

Pengaturan HGU, HGB, dan Hak Pakai bagi penanaman modal sebagaimana diatur

UUPM oleh pemerintah dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan rasa aman pada

investor untuk melakukan usahanya sesuai dengan kebutuhannya, dan sebagai bagian dari

upaya memenangkan persaingan dalam merebut investasi di era global, karena beberapa

negara, seperti China telah memberikan hak atas tanah bagi investor untuk 100 tahun.

Argumen pemerintah lebih bersifat pragmatis, yaitu untuk menarik investasi sebesar

besarnya dalam rangka memenangkan persaingan menarik investasi di era global yang

semakit ketat, sedangkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi lebih bersifat normatif, yaitu

68

Page 70: Win-Win Solution Mkn

melindungi akses rakyat terhadap tanah secara berkesinambungan, sehingga akses generasi

berikutnya untuk dapat mengakses hak atas tanah tetap terbuka.

Pembentukan peraturan pemanfaatan tanah tidak dapat hanya didasarkan pada

pertimbangan pragmatis untuk menarik investasi bidang perkebunan. Sebaliknya, alasan

untuk melindungi akses rakyat dalam memanfaatkan tanah juga tidak dapat menjadi dasar

untuk mengabaikan kebutuhan investor terhadap kepastian dan keamanan investor dalam

menjalankan perusahaan yang menjadi dasar tuntutan agar investor diberi hak atas tanah

untuk jangka waktu antara 60 sampai 90 tahun.

Kepentingan investor dan rakyat terhadap tanah harus dapat diserasikan pemerintah.

Peraturan pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan harus mampu

menyerasikan kedua perspektif pemanfaatan tanah tersebut sesuai dengan kondisi zaman dan

kebutuhan masyarakat yang sifatnya berbeda terhadap objek yang sama, yaitu hak atas tanah.

Pembentukan peraturan pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan

harus secara objektif didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia membutuhkan penanaman

modal, namun memberikan pelayanan dan proteksi yang berlebihan pada investor dapat

mengancam tercapainya tujuan penananam modal, yaitu kemakmuran rakyat, serta signifikan

menimbulkan konflik.

Diperlukan acuan yang terukur untuk memastikan apakah strategi pemanfaatan tanah

yang akan diterapkan signifikan untuk dapat mengharmonisasikan kepentingan penanam

modal, pemerintah dan rakyat.

Menggantungkan pencapaian kesejahteraan rakyat melalui multiplier effect dari

penanaman modal adalah kurang tepat. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah

dikemukakan, multiplier effect penanaman modal bidang perkebunan memang dapat

menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar, namun tidak begitu signifikan dalam

69

Page 71: Win-Win Solution Mkn

meningkatkan perekonomian rakyat/petani, terutama yang berprofesi sebagai buruh

perkebunan, karena prinsip efisiensi biaya menjadi dasar pengelolaan perusahaan dan

mengakibatkan rakyat sebagai buruh terjebak dalam sistem buruh bebas yang tidak mendapat

perlindungan sebagimana mestinya.

Pengutamaan usaha perkebunan oleh perusahaan perkebunan juga signifikan

menimbulkan berbagai sengketa dan konflik yang bersifat kontinum, terutama yang

bersumber pada penguasaan akses pemilikan dan penguasaan tanah perkebunan, sebab tanah

masih menjadi sumber penghidupan rakyat.

Berbagai sengketa perkebunan yang bersumber dari perpsoalan penguasaan/pemilikan

tanah akan sulit untuk diminimalisasi apabila pemerintah tidak menyelesaikan masalah

mendasarnya yaitu, alokasi dan distribusi tanah perkebunan bagi perusahaan dan rakyat

dalam sistem usaha yang terintegrasi.

Diperlukan penguatan hak atas tanah bagi perusahaan perkebunan maupun bagi rakyat

melalui pembentukan peraturan yang secara tegas menetapkan keharusan, bahwa usaha

perkebunan harus dilaksanakan dengan syarat bahwa, dilaksanakan dalam bentuk inti plasma,

50% berbanding 50%, sebagai strategi yang bertujuan menciptakan hubungan atas dasar

prinsip “Win-Win Solution”, disertai pengawasan yang ketat oleh pemerintah terhadap

pemanfaatan tanah plasma agar tidak disalahgunakan baik oleh petani plasma, perusahaan,

maupun aparat pemerintah.

Proporsi pemanfaatan tanah 50% bagi kebun inti perusahaan dapat diberikan dengan

HGU,HGB, dan Hak Pakai untuk 60 sampai 90 tahun, dan 50% untuk plasma rakyat dengan

wadah usaha berupa koperasi sebaiknya diberikan dengan hak milik.

Proporsi pemanfaatan tanah demikian adalah bentuk harmonisasi kepentingan antara

perusahaan dan rakyat, sekaligus sebagai pelaksanaan pemerataan/distribusi pemilikan hak

70

Page 72: Win-Win Solution Mkn

atas tanah/landreform sesuai dengan strategi pembangunan yang mengutamakan aspek

manusia dibandingkan tingkat pertumbuhan perekonomian.

Pengaturan demikian diperlukan karena Sistem Ekonomi Pancasila sebagai sistem

ekonomi terbuka memungkinkan adanya harmonisasi kepentingan ekonomi antara

kepentingan rakyat, kepentingan pemerintah dan investor sesuai dengan kebutuhan para pihak

dan perkembangan zaman.

Untuk dapat melaksanakan prinsip “Win-Win Solution”, maka pengaturan proporsi

pemanfaatan tanah tersebut harus di atur dalam UUPA. Tidak dalam UUPM atau peraturan

lain, sesuai kedudukan UUPA sebagai lex spesialis. Oleh karena itu UUPA harus

disempurnakan, karena ketentuan UUPA yang mengatur tentang pemanfaatan HGU bagi

perusahaan cenderung memihak pada pemerintah dan perusahaan perkebunan.

Setelah UUPA disempurnakan, maka pemanfaatan tanah lebih lanjut untuk penanaman

modal di berbagai bidang penanaman modal diatur dalam peraturan pelaksanaannya masing-

masing.

Dengan menerapkan prinsip “Win-Win Solution” berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila

terhadap pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan, maka pemerintah:

1. Tidak melanggar peraturan investasi internasional, karena asas perlakuan yang sama pada

dasarnya berlaku hanya untuk sesama penanamam modal, tidak terhadap rakyat;

2. Pemerintah telah melaksanakan partial landreform sebagai bagian dari penegakan Hak

Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi dan

kesejahteraan rakyat;

3. Pemerintah telah melaksanakan konsep Walfare state;

4. Pemerintah telah melakukan penguatan hak-hak atas tanah rakyat yang oleh UUPA

diamanatkan untuk dapat diangkat menjadi hak atas tanah berdasarkan UUPA, dan

71

Page 73: Win-Win Solution Mkn

5. Pemerintah telah melakukan upaya untuk menciptakan hubungan yang terintegrasi antara

perusahaan dengan rakyat atas dasar kesetaraan dan saling memiliki sebagaimana yang

menjadi politik agraria populis/neo populis yang dimanatkan UUPA.

Dengan cara demikian, diharapkan akan tercipta hubungan yang bersifat Simbiosis

Mutuali atau saling menguntungkan, saling memiliki dan saling menjaga, sehingga aspek

keamanan perusahaan yang selama ini menjadi persoalan perusahaan dalam menjalankan

usahanya dapat diatasi.

Pelaksanaan prinsip “Win-Win Solution” menuntut adanya penyempurnaan UUPA,

UUPM dan UUPerkb yang diwujudkan dengan melakukan harmonisasi peraturan.

E. Harmonisasi Peraturan Investasi Bidang Perkebunan

Dalam Penjelasan UUPA, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu:

1. Penjelasan Umum I dari tujuan diundangkannya UUPA adalah:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan;

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2. Bagian Berpendapat huruf b. Dari UU No.5/60 dirumuskan:

Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria

Berdasarkan aspek-aspek politik hukum yang dikemukakan oleh Oberlin Silalahi yang

menjadi dasar pengaturan terhadap subjek hukum, hak dan kewajiban, hubungan hukum,

perbuatan hukum, objek hukum, dan kesadaran hukum masyarakat yang terangkum dalam

politik hukum agrararia populis/neo populis yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran

72

Page 74: Win-Win Solution Mkn

rakyat, terutama rakyat tani, dapat disusun konsep hukum “Win-Win Solution Sebagai

Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan

Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan” sebagai berikut:

1. Landasan

a. Landasan Idiil: Pancasila, terutama Sila ke 5 Pancasila.

b. Landasan Konstitusionil, UUD NRI 1945 BAB XIV Perekonomian Nasional Dan

Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (1) sampai (5), dan Bab XA Hak Asasi Manusia

2. Tujuan dan sasaran

a. Tujuan : Pemanfaatan tanah bagi penanaman modal bidang perkebunan ditujukan

untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama rakyat tani/pekebun.

b. Sasaran terlaksananya politik agraria populis/neo populis, yaitu pemanfaatan tanah

untuk penamaman modal bidang perkebunan berdasarkan nilai keadilan, berdasarkan

asas-asas hukum ekonomi, yaitu Asas keseimbangan; Asas pengawasan publik; Asas

campur tangan negara, dan; Asas keterbukaan dan tanggung jawab, serta perlindungan

hukum yang serasi dan seimbang kepada berbagai pihak yang terkait dengan

pemanfaatan tanah bagi kegiatan usaha bidang perkebunan sebagai pelaksanaan

Sistem Ekonomi Pancasila yang bersifat terbuka.

3. Rencana :

a. Realisasi pemerataan pemilikan tanah secara seimbang antara petani dan perusahaan

perkebunan, dengan memasukkan kegiatan penanaman modal bidang perkebunan

sebagai bagian dari pelaksanaan program landreform dalam rangka pemerataan

pemilikan/penguasaan hak atas tanah;

b. Terciptanya hubungan yang saling menguntungkan atas dasar kesetaraan antara

petani/pekebun dengan perusahaan perkebunan;

73

Page 75: Win-Win Solution Mkn

c. Terjaminnya ketersediaan lapangan kerja secara berkelanjutan bagi buruh

harian/lepas perkebunan;

d. Tetap terbukanya akses rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan keluargannya.

e. Meningkatnya pendapatan petani/pekebun dan buruh lepas/harian bidang

perkebunan;

f. Kemandirian petani/pekebun dalam pemilikan tanah, pengolahan, proses produksi,

penjualan, dan organisasi yang tergabung dalam wadah koperasi yang mandiri.

g. Terlaksananya alokasi dan distribusi tanah 50% berbanding 50 % antara perusahaan

perkebunan dan petani/pekebun.

4. Program yang harus dilaksanakan pemerintah:

a. Menciptakan peraturan pemanfaatan tanah berdasarkan politik agraria populis/neo

populis atas dasar demokrasi ekonomi, hubungan abadi rakyat Indonesia dengan

tanah, Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi yang diatur dalam UUD NRI 1945

dalam rangka pelaksanaan landreform yang ditujukan untuk merealisasikan

pemerataan pemilikan/penguasaan tanah bagi petani/pekebun yang dilaksanakan

secara serasi dan seimbang dengan pemilikan/penguasaan tanah oleh perusahaan

perkebunan.

b. Menciptakan hubungan kesetaraan antara petani dengan perusahaan perkebunan;

c. Meningkatkan bantuan manjemen usaha perkebunan dan manajemen keuangan serta

bantuan kredit yang dapat dikelola langsung oleh petani secara mandiri guna

menciptakan hubungan yang setara antara petani yang tergabung dalam koperasi

perkebunan dengan perusahaan;

74

Page 76: Win-Win Solution Mkn

d. Mendorong perusahaan perkebunan untuk lebih mengarahkan usahanya pada usaha

yang memproses hasil produksi perkebunan;

5. Keputusan/tindakan yang harus dilakukan.

Berdasarkan kondisi objektif kegiatan penanaman modal bidang perkebunan yang

dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

a. HMN yang tidak jelas pengertiannya mengakibatkan:

1) HMN menjadi sumber pengaturan HGU yang diskriminatif/memihak investor.

2) Pengaturan HGU untuk perkebunan tidak menjadi bagian dari objek landreform,

dan melemahkan akses rakyat terhadap tanah perkebunan.

3) Proteksi pemerintah yang berlebihan melalui UUPM dan UUPerkb terhadap

perusahaan perkebunan yang bertentangan dengan asas pemerataan pemilikan tanah

sebagaimana yang menjadi dasar dari program landreform sebagai bagian dari

politik agraria populis.

b. Kontrak Pertanian Mensubordinasi Petani/Pekebun oleh Perusahaan Perkebunan,

sebagai akibat tingginya ketergantungan petani/pekebun pada perusahaan, baik dari sisi

akses modal, manajemen, teknologi, maupun jaringan, serta pengaturan hukum yang

mengatur hubungan antara perusahaan dengan petani dalam investasi bidang

perkebunan yang lebih dikenal dengan pola hubungan Inti-Plasma;

c. Tidak ada perlindungan hukum, upah yang rendah, tidak adanya kepastian pekerjaan,

minimnya alternatif dan kesempatan untuk memperoleh tambahan pendapatan, dan

tertutupnya akses dalam jangka waktu yang lama bagi buruh harian/lepas perkebunan

untuk dapat memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya.

Berdasarkan kondisi di atas, maka upaya yang harus dilakukan adalah:

a. Memberikan definisi batasan yang tegas bagi HMN;

75

Page 77: Win-Win Solution Mkn

b. Memberikan kedudukan yang tegas bagi Hak Ulayat, dan memberikan bukti pemilikan

hak ulayat pada masyarakat hukum adat;

c. Melaksanakan program partial landreform bidang perkebunan dengan melakukan

penyeimbangan pemilikan tanah oleh petani/pekebun dengan pemilikan tanah oleh

perusahaan;

d. Melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Pasal-Pasal UUPA yang mengatur :

1). Hak Menguasai Negara agar jelas makna dan batasannya;

2). Memberikan pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat dan

Memberikan Bukti Hak Pengelolaan pada masyarakat hukum adat;

3). Mencabut Pasal-Pasal UUPM dan UUPerkb yang bersifat diskriminatif.

4). Membentuk peraturan tentang Hak Milik untuk memperkuat kedudukan tanah bagi

masyarakat berdasarkan hak asasi dan hubungan abadinya sebagai bagian dari

bangsa/rakyat Indonesia;

5). Melakukan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan secara penuh pada

pemerintah kabupaten/Kota.

Konsep hukum “Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas

Tanah Dalam Rangka Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal

Bidang Perkebunan” sebagai alternatif untuk melakukan harmonisasi hukum (peraturan)

bidang perkebunan diajukan berdasarkan kenyataan bahwa:

1. Pengaturan pemanfaatan tanah bagi kegiatan investasi bidang perkebunan belum

harmonis;

2. Peran pemerintah atas dasar HMN yang demikian luas mengakibatkan

penyalahgunaan HMN, sehingga melalui berbagai peraturan yang diterbitkan jelas

nampak bahwa pemerintah lebih memihak pada kepentingan investor;

76

Page 78: Win-Win Solution Mkn

3. Pemberian HGU dengan skala luas, dan waktu yang lama mengakibatkan terputusnya

akses petani/pekebun dan generasi yang akan datang untuk dapat memanfaatkan tanah,

dalam jangka panjang akan mengakibatkan peningkatan jumlah petani tak bertanah

dalam jumlah besar yang beralih buruh tani yang sangat tergantung kehidupannya

terhadap perusahaan, sehingga bersedia dibayar dengan upah yang rendah, dan tidak

terjamin ketersediaan pekerjaannya.

4. Keseluruhan kondisi pada angka 1 s/3 tersebut bertentangan dengan Nilai keadilan,

asas kepastian dan kemanfaatan, serta asas perlindungan hukum yang serasi dan

seimbang antar berbagai fihak yang terkait dalam penanaman modal bidang

perkebunan yang didasarkan pada demokrasi ekonomi dan politik agraria populis yang

ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Berdasarkan pertimbangan, nilai keadilan adalah dasar dari pengaturan pemanfaatan

tanah untuk penanaman modal bidang perkebunan, perlindungan hukum bagi golongan

ekonomi lemah, asas usaha bersama berdasarkan kekeluargaan yang menjadi dasar demokrasi

ekonomi Indonesia, asas sebesar-besar kemakmuran rakyat serta filsafat keadilan yang

dikemukakan oleh Jeremy Bentham, yang intinya adalah “The greatest happiness of the

greatest number of people”, serta strategi untuk mengimplementasikan keadilan dengan

memberikan perlindungan hukum bagi golongan ekonomi lemah yang dikemukakan oleh

John Rawls, bahwa dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tidak sama atau tidak

seimbang, hukum harus memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang paling

kurang beruntung, sesuai dengan prinsip keadilan, guna mewujudkan keseimbangan sosial-

ekonomi dalam masyarakat, dengan menyatakan:

Principles of justice provide a way of assigning rights and duties in the basic institutions of society. The Firts principle is that each person is to have an equal right to the most extensive total sistem of equal basic liberties compatible with a similar sistem of liberty for others. The Second principle is that social and economic

77

Page 79: Win-Win Solution Mkn

inequalities are to be arranged so they are both (a) to the greatest benefit of the advantaged, and (b) attached to positions and offices open to all (equal opportunity).89

serta dengan memperhatikan perbedaan orientasi hukum penanaman modal bidang

perkebunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja,

dan peningkatan pendapatan negara/pemerintah, dengan mengesampingkan pemerataan tanah

perkebunan bagi petani, terciptanya pasar buruh yang murah, serta tertutupnya akses rakyat

untuk dapat memanfaatkan tanah, dapat ditarik pengertian bahwa oientasi hukum pemerintah

berbeda dengan yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945, dan orientasi sebagian besar

masyarakat Indonesia yang kehidupannya masih sangat tergantung pada tanah untuk

memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya.

Dengan kata lain, negara/pemerintah tidak lagi menempatkan kepentingan rakyat sebagai

dasar pengaturan hukum pemanfaatan tanah dalam kegiatan penanaman modal bidang

perkebunan, namun lebih menempatkan kepentingan negara dan perusahaan, sehingga

peraturan yang diterbitkan menjadi tidak sinkron, dan tidak konsisten dengan nilai keadilan

yang bersumber pada Pancasila, dan asas sebesar-besar kemakmuran rakyat yang bersadarkan

demokrasi ekonomi yang diamanatkan UUD NRI 1945 yang dilaksanakan melalui strategi

politik agraria populis/neo populis, maka perlu dilakukan upaya untuk melakukan harmonisasi

hukum/peraturan penanam modal bidang perkebunan melalui penerapan konsep hukum

“Win-Win Solution Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka

Optimalisasi Pengaturan Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan”

F. Penutup.

89John Rawls, 1971 Theory of Justice.New York : Oxford University Press Inc, Hal. 35. 78

Page 80: Win-Win Solution Mkn

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, upaya untuk menerapkan “Win-Win Solution

Sebagai Prinsip Alokasi dan Distribusi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Optimalisasi

Pemanfaatan Tanah Bagi Penanaman Modal Bidang Perkebunan” secara teknis dilakukan

melalui upaya harmonisasi terhadap UUPA, UUPM dan UUPerkb melalui pencabutan,

penyempurnaan, dan penambahan pasal atau ayat pada peraturan penanaman modal bidang

perkebunan, sebagaimana tertera pada matrik berikut:

79

Page 81: Win-Win Solution Mkn

Pencabutan, Perubahan, Penambahan Pasal dan Ayat Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Penanaman Modal, dan

Undang-Undang Perkebunan Dalam Rangka Harmonisasi Peraturan Penanaman Modal bidang perkebunan

No. Peraturan

Pasal Rumusan Analisis/ komentar Tindakan UsulRumusanPc Pr Pn

1. UUPA 2 ayat 2

Pasal 3

Hak menguasai dari negara dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk

a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut:

b.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 hak-hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi

1. Tidak ada batasan, terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan rejim yang berkuasa

2. Bertentangan dg sila Sila Persatuan Indonesia dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika/Pluralisme Bangsa, yang sejatinya menganut asas desentralisasi.

Pembatasan demikian sangat kabur maknanya, dan bertentangan dengan sejarah hak masyarakat adat yang telah ada sebelum negara Indonesia berdiri, dan merupakan hak asasi manusia yang diakui Hukum Internasional dan UUD NRI 1945.

-

-

-

+

+

-

d. Kewenangan negara di bidang pertanahan berdasarkan ketentuan yang tercantum pada huruf a,b, dan c di atas mencakup kewenangan membentuk peraturan, perencanaan umum, pengawasan, dan penyelesaian sengketa kewenangan pertanahan antar provinsi.

e. Gubernur berwenang menyelesaikan sengketa kewenangan pertanahan antar kabupaten/kota.

f. Pengaturan lebih lanjut kewenangan pertanahan sebagaimana termaksud pada huruf a sampai dengan g pasal ini diaturlebih dengan Undang-Undang.

g. Atas dasar kewenangan pemerintah dibidang agraria, pemerintah wajib memperkuat pemilikan har atas tanah rakyat.

Dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 Undang-Undang ini:a. Negara mengakui hak

ulayat dan hak serupa itu yang merupakan hak asasi masyarakat yang bersangkutan untuk memiliki dan memanfaatkan agraria, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

b.Negara memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat hukum adat

c.Pencabutan hak masyarakat hukum adat/Hak Ulayat atas dasar alasan bertentangan dengan Undang-Undang adalah sah apabila didasari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden

80

Page 82: Win-Win Solution Mkn

Pasal 6

Pasal 28

Semua hak mempunyai fungsi sosial

(1). Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian

(2). Hak guna usaha diberikan atas tanah paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman

(3). Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak

Pelaksanaan dari asas fungsi sosial hak atas tanah harus didukung oleh program pemerataan pemilikan hak atas tanah, sebagai pelaksanaan kewajiban negara menegakkan hak asasi manusia Indonesia yang diatur dalam UUD NRI 1945, sesuai dengan perkembangan zaman yang mengarah pada individualisasi hak atas tanah.

Belum memasukkan pemberian HGU sebagai bagian dari strategi pemerataan pemilikan tanah berdasarkan politik agraria populis untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat berdasarkan asas optimalisasi pemerataan pemilikan tanah.

-

-

-

-

+

+

d.Pelaksanaan lebih lanjut mengenai ketentuan termaksud pada huruf a sampai dengan c pasal ini diatur dengan Undang-Undang

Pasal 6A:Berdasarkan ketentuan Pasal 3, Negara berkewajiban melaksanakan pemerataan pemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

(4). Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pemerataan pemilikan tanah pertanian /perkebunan dengan luas 5 sampai 25 hektar sebagai unit usaha perkebunan bagi keluarga petani/ pekebun

(5). Pemanfaatan tanah masyarakat hukum adat/Hak Ulayat untuk usaha pertanian/ perkebunan merupakan bentuk kerjasama langsung antara perusahaan dengan masyarakat hukum adat atas dasar musyawarah dan mufakat.

(6). Kerjasama sebagaimana yang tercantum pada ayat (5) adalah sah apabila minimal 50 % tanah yang akan dimanfaatkan untuk usaha pertanian /perkebunan dialokasikan dan didistribusikan untuk dimilki masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam bentuk hak milik, dengan luas minimal 5 ha untuk satu keluarga.

(7). Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan ayat (4) sampai dengan (6) ayat ini diatur dengan Undang-Undang.

2 UUPM

Pasal 3Ayat 2

(2).Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain:a. Meningkatkan pertumbuhan

ekonomi nasional;b. Menciptakan lapangan kerja;c. Meningkatkan pembangunan

pembangunan ekonomi

Hampir seluruh investasi memerlukan agraria, terutama tanah. Namun strategi meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui investasi tidak didasarkan pada strategi

- - + i. Memeratakan distribusi pemilikan hak atas tanah bagi rakyat, khususnya petani dan pekebun berdasarkan asas keserasian dan keseimbangan

81

Page 83: Win-Win Solution Mkn

Pasal 22

Pasal 30

berkelanjutand. Meningkatkan kemampuan

daya saing dunia usaha nasional;

e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;

f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri; dan

h. meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dikembalikan maknanya sesuai dengan yand diatur dalam UUPA melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007 yang mengakibatkan kembalinya posisi jangka waktu hak atas tanah kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUPA

(1). Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.

pemerataan pemilikan agraria khususnya tanah yang menjamin kelangsungan ketersediaan pekerjaan, tanpa mengganggu proses produksi. Ketersediaan lapangan kerja yang berkelanjutan menuntut adanya distribusi pemilikan tanah. Jelas bahwa UUPM bertumpu pada pasar buruh bebas dan menempatkan agraria, terutama tanah sebagai komoditas perdagangan, bukan sebagai asset yang harus didistribusikan secara serasi dan seimbang pemilikannya antara rakyat dan perusahaan perkebunan, demi menjamin keberlanjutan ketersediaan pekerjaan untuk semua pihak.

Ketentuan ini bersifat apriori, berlebihan, dan berpotensi membenturkan aparat negara dengan rakyat demi kepentingan perusahaan yang kedudukannya tidak berbeda dengan rakyat pada umumnya.

Sebenarnya cukup dengan pengaturan yang ada dalam KHUP saja. Merupakan bentuk pemihakan pemerintah pada perusahaan yang berlebihan dan perlakuan diskriminatif, karena usaha perkebunan bukan termasuk kategori kepentingan umum.

+

+

-

_

-

_

pemilikan tanah antara petani/pekebun dengan perusahaan.

-

3 UUPerkb

Menimbang

huruf b

b. bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perlu dijamin keberlanjutan serta ditingkatkan perannya;

Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:a.Meningkatkan pendapatan

masyarakat;b.Meningkatkan penerimaan

negarac.Meningkatkan penerimaan

devisad.Menyediakan lapangan kerjae.Meningkatkan produktifitvitas,

nilai tambah, dan daya saing;

Tidak memasukkan pembangunan perkebunan sebagai strategi pemerataan pemilikan tanah perkebunan oleh rakyat

Perkebunan adalah salah satu bentuk pemanfaatan tanah. Oleh karena itu seharusnya bertolak dari upaya mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pemilikan tanah perkebunan yang serasi dan seimbang dengan perusahaan perkebunan

-

-

-

-

+

+

b. bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perlu dijamin keberlanjutan serta ditingkatkan perannya sebagai program pemerataan pemilikan tanah bagi rakyat atas dasar hubungan yang serasi dan seimbang dengan perusahaan perkebunan.

Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:a. Melakukan

pemerataan pemilikan tanah perkebunan secara serasi dan seimbang dengan perusahaan perkebunan

b. Menyediakan

82

Page 84: Win-Win Solution Mkn

Pasal 3

Pasal 6

Pasal 7

f. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri

g.Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan

Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi :a. Perencanaan b. Penggunaan tanahc. Pemberdayaan dan pengelolaan

usahad. Pengolahan dan pemasaran

hasile. Penelitin dan pengembanganf. Pengembangan sumber daya

manusia g. Pembiayaan, dan;h. Pembinaan dan pengawasan

Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan berdasarkan:a.Rencana pembangunan nasionalb.Rencana tata ruang wilayahc.Kesesuaian tanah dan iklim

serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan

d.Kinerja pembangunan perkebunan

e.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

f. Sosial budayag.Kepentingan masyarakath.Pasar;i. Aspirasi daerah dengan tetap

menjunjung tinggi kebutuhan bangsa dan negara.

yang diamanatkan politik agraria populis.

Tidak memasukkan aspek pendistribusian/ pemerataan pemilikan tanah dalam usaha perkebunan

Tidak memasukkan aspek pendistribusian/ pemerataan pemilikan tanah dalam usaha perkebunan

Ketentuan ini bertentangan dengan politik agraria populis yang mengutamakan pemerataan pemilikan tanah melalui program landreform.

-

-

_

-

-

_

+

+

+

lapangan kerja berkelanjutan

c. Meningkatkan pendapatan masyarakat;

d. Meningkatkan penerimaan negara

e. Meningkatkan penerimaan devisa

f. Meningkatkan produktifitvitas, nilai tambah, dan daya saing;

g. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri

h. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan

Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi :a. Perencanaan b. Alokasi dan

Pendistribusian hak atas tanah secara serasi dan seimbang antara masyarakat dan perusahaan

c. Penggunaan tanahd. Pemberdayaan dan

pengelolaan usahae. Pengolahan dan

pemasaran hasilf. Penelitin dan

pengembangang. Pengembangan

sumber daya manusia h. Pembiayaan, dan;i. Pembinaan dan

pengawasan

Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan berdasarkan:a.Rencana

pembangunan nasional

b.Rencana tata ruang wilayah

c.Kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan

d.Rencana pendistribusian tanah secara serasi dan seimbang antara masyarakat dan

83

Page 85: Win-Win Solution Mkn

Pasal 9

Pasal 20

(1). Dalam penyelenggaraan usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/hak pakai sesuai

(2). Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan penyerahan tanah, dan imbalannya.

Pelaku perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat

1. Ketentuan bertujuan untuk melepaskan pemilikan tanah (memandang tanah sebagai komoditas) oleh masyarakat hukum adat, dan membatasi alternatif lain yang dapat diambil dalam musyawarah.

2. Ketentuan ini berpotensi memarginalkan masyarakat dari pemilik tanah /kebun menjadi buruh perkebunan

3. Ketentuan ini bertentangan dengan konsep Hak Bangsa dari UUPA yang merupakan bentuk hubungan abadi antara orang indonesia dengan tanah, sehingga orang Indonesia mempunyai hak prioritas dalam mengakses hak atas tanah sebagai hak asasinya yang dijamin oleh Hukum Internasional, maupun UUD NRI 1945 dibandingkan perusahaan sebagai Badan Hukum.

Ketentuan ini bersifat apriori, berlebihan, dan berpotensi membenturkan aparat negara dengan rakyat demi kepentingan perusahaan yang kedudukannya tidak berbeda dengan rakyat pada umumnya. Sebenarnya cukup dengan pengaturan yang ada dalam KHUP saja.

-

+

-

-

+

-

perusahaan perkebunan

e.Kinerja oembangunan perkebunan

f. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

g.Sosial budayah.Kepentingan

masyarakati. Pasar;j. Aspirasi daerah

dengan tetap menjunjung tinggi kebutuhan bangsa dan negara.

-

(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai pemanfaatan tanah untuk usaha perkebunan.sebagai bentuk kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan,

(3).Kesepakatan adalah sah apabila 50 % tanah yang disepakati untuk usaha perkebunan dialokasikan bagi masyarakat hukum adat dengan distribusi minimal 5 hektar untuk satu keluarga dengan status hak milik

84

Page 86: Win-Win Solution Mkn

Merupakan bentuk pemihakan pemerintah pada perusahaan yang berlebihan dan perlakuan diskriminatif, karena usaha perkebunan bukan termasuk kategori kepentingan umum.

-

Keterangan : Pc : Pencabutan Pr : Penyempurnaan Pn: Penambahan Pasal/Ayat

85

Page 87: Win-Win Solution Mkn

86

Page 88: Win-Win Solution Mkn

87