mkn vol_ 38 no_ 3 sept_ 2005

72
dari redaksi KITA HARUS BERUBAH Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu tenaga untuk mewujudkan kesehatan tersebut adalah tenaga dokter yang merupakan komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai peranan sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Maraknya tuntutan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dewasa ini menjadi salah satu latar belakang dibuatnya Undang-undang Praktik Kedokteran. Menyongsong pelaksanaan Undang-undang Praktek Kedokteran, maka kita harus bersiap- siap menghadapi perubahan. Meski perubahan tidak selalu sesuai dengan keinginan, setidaknya sudahkah kita menyadari perubahan itu? Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), untuk mendapatkan produk hilir berupa pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, diperlukan perbaikan pada sektor hulu. Perbaikan sektor hulu tersebut adalah pendidikan profesi, registrasi, serta kompetensi dokter. Karena ilmu kedokteran terus berkembang maka kita perlu terus menerus mengasah kemampuan kita, salah satunya adalah dengan menerapkan Kedokteran Barbasis Bukti (Evidence Based Medicine) dalam kegiatan praktik sehari-hari. Kebiasaan untuk menelaah dan membuat berbagai penelitian dan tulisan ilmiah terkini menjadi sangat penting peranannya. Kita memang harus berubah! Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 ii

Upload: matto-zerro-pipii

Post on 02-Aug-2015

133 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

dari redaksi

KITA HARUS BERUBAH

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu tenaga untuk mewujudkan kesehatan tersebut adalah tenaga dokter yang merupakan komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai peranan sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Maraknya tuntutan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dewasa ini menjadi salah satu latar belakang dibuatnya Undang-undang Praktik Kedokteran. Menyongsong pelaksanaan Undang-undang Praktek Kedokteran, maka kita harus bersiap-siap menghadapi perubahan. Meski perubahan tidak selalu sesuai dengan keinginan, setidaknya sudahkah kita menyadari perubahan itu? Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), untuk mendapatkan produk hilir berupa pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, diperlukan perbaikan pada sektor hulu. Perbaikan sektor hulu tersebut adalah pendidikan profesi, registrasi, serta kompetensi dokter. Karena ilmu kedokteran terus berkembang maka kita perlu terus menerus mengasah kemampuan kita, salah satunya adalah dengan menerapkan Kedokteran Barbasis Bukti (Evidence Based Medicine) dalam kegiatan praktik sehari-hari. Kebiasaan untuk menelaah dan membuat berbagai penelitian dan tulisan ilmiah terkini menjadi sangat penting peranannya. Kita memang harus berubah!

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 ii

Page 2: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005
Page 3: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

petunjuk untuk penulis Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun

terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 iv

Page 4: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Page 5: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

i

Dari Redaksi

ii

Petunjuk untuk Penulis

iv

Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI

1. Burnout Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Eksternal Eka Danta Jaya G, Ihsan Rahmat

213

2. Kadar Homosistein pada Penderita Stroke Iskemik Trombotik A.K. Aman, A.A. Ginting, Y. Anwar

219

3. Kadar Timbal (Pb) dalam Spesimen Darah Tukang Becak Mesin di Kota Pematang Siantar dan Beberapa Faktor yang Berhubungan Indra Chahaya S, Surya Dharma, Lenni Sumanullang

224

4. Faktor-Faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional (Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang Indra Chahaya S, Nurmaini

232

5. The Impact of Counsellor and Client Values in The Counselling Process Namora Lumongga Lubis, Zulkarnain

237

6. Kasus-Kasus Tumor Otak di RSUP H. Adam Malik dan RS Haji Medan Tahun 2003-2004 Adril Arsyad Hakim

244

TINJAUAN PUSTAKA

7. Gangguan Suara dan Phonosurgery Abdul Rachman Saragih

247

8. Angiofibroma Nasofaring Belia T. Siti Hajar, Hafni

252

9. Mioma Uteri Budi R. Hadibroto

255

10. Laparoskopi pada Kista Ovarium Budi R. Hadibroto

261

11. Resiko Penyakit Jantung Koroner Akibat Hipertensi Haris Hasan

265

LAPORAN KASUS

12. Neurosistiserkosis Erlinawati, Aldy S. Rambe

270

13.

Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine Angle Adril Arsad Hakim

274

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 38 No. 3 September 2005 ISSN: 0216-325X

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 vi

Page 6: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005
Page 7: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 213

Burnout Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Eksternal

Eka Danta Jaya G, Ihsan Rahmat

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kecenderungan Burnout ditinjau dari tipe Pusat Kendali yang dimiliki oleh individu. Pusat Kendali tersebut adalah Internal dan Eksternal. Selanjutnya dikatakan bahwa Burnout menimbulkan gangguan-gangguan klinis pada individu seperti perasaan lelah dari sisi emosi, sinisme dan ketidakefektifan dalam bekerja. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dimana data diperoleh dari Skala Burnout dan Skala Pusat Kendali (Internal dan Eksternal). Subyek penelitian berjumlah 105 orang yang merupakan pegawai Non Edukatif pada Biro Rektor Universitas Sumatera Utara. Analisis statistik dengan menggunakan uji t menunjukkan adanya perbedaan kecenderungan Burnout ditinjau dari tipe Pusat Kendali Internal dan Eksternal (t Pusat Kendali Internal = 11.062 and t Pusat Kendali Eksternal = 27.618; p < 0.01). Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan Pusat Kendali Eksternal cenderung memiliki burnout lebih tinggi dibandingkan orang-orang dengan Pusat Kendali Internal. Kata kunci: Burnout, Pusat Kendali Internal, Pusat Kendali Eksternal

Abstract: The purpose of this study is to investigate the differences in Burnout level between Locus of Control External and Locus of Control Internal. Further more, burnout makes a clinical disorder toward people for example: exhaustion, cynicisme and ineffectiveness. The study was a field research which data collected trough Scale of Burnout and Scale of Locus of Control (Internal and External). The subject were 105 employees of Biro Rektor University of North Sumatera who work as non educative staff T-test statistical analysis indicate there was a difference in burnout level between the employee who has locus of control internal and locus of control external (t Locus of Control Internal = 11.062 and t Locus of Control External = 27.618; p < 0.01). This result indicate that people who has locus of control external tend to being burnout than people who has locus of control internal. Key words: Burnout, Locus of Control Internal, Locus of Control Eksternal. PENDAHULUAN Produktivitas mengacu pada kuantitas dan kualitas dari tampilan kerja (performance) seseorang pada suatu waktu tertentu.1 Salah satu faktor penentu produktivitas kerja adalah faktor tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memegang peranan penting dalam pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Untuk melihat gambaran tentang seberapa besar nilai tambah yang diberikan oleh tenaga kerja pada suatu kegiatan ekonomi dapat dilihat dengan menghitung produktivitas tenaga. Hal-hal

yang harus diperhatikan pada tenaga kerja adalah masalah motivasi, pengabdian, disiplin, etos kerja, produktivitas dan masa depannya, juga masalah hubungan industrial yang serasi dan harmonis dalam suasana keterbukaan. 2

Selain itu, dalam produktivitas kerja perlu adanya faktor-faktor pendukung yaitu : kemauan kerja yang tinggi, kemauan kerja yang sesuai dengan isi kerja, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi kerja manusiawi dan hubungan kerja yang

KARANGAN ASLI

Page 8: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

214 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

harmonis2 . Lingkungan sosial dimana individu bekerja membentuk bagaimana individu berinteraksi satu sama lainnya dan bagaimana mereka melakukan pekerjaannya. Ketika tempat kerja tidak sesuai dengan sisi kemanusiaan dari pekerjaan tersebut, maka resiko dari burnout akan muncul 3. Menurut Cherniss burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak atau bersikap sinis dengan klien, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Sedangkan Pines dan Aronson memandang burnout adalah tahap-tahap kelelahan emosional, fisik dan mental disebabkan keterlibatan yang lama dalam situasi yang menuntut secara emosional. 4.

Maslach seorang psikolog sosial yang meneliti para pekerja di bidang human service mendefinisikan burnout adalah sebagai suatu sindrom tentang exhaustion emotional, cynicism (depersonalisasi), dan Ineffectiveness (Low Personal Accomplishment) 5.

Tiga dimensi tentang burnout menurut Maslach, dkk adalah3 :

a) Kelelahan (exhaustion) Kelelahan adalah penentu utama kualitas dari burnout. Ketika seseorang merasa pekerjaannya terlalu berlebihan dan terlalu berat baik secara emosional ataupun fisik, hal ini dapat menimbulkan perasaan lelah dan kehabisan energi. Kehabisan energi menimbulkan perasaan enggan untuk melakukan pekerjaan baru atau berinteraksi dengan orang lain.

b) Cynicism (depersonalisasi) Ketika seseorang bersikap sinis, maka sikapnya menjadi dingin, dan menjaga jarak terhadap pekerjaan dan orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya. Individu meminimalkan keterlibatannya dalam pekerjaan dan bahkan kehilangan idealismenya. Cynicism (depersonalisasi) merupakan cara untuk melindungi diri sendiri dari kelelahan dan kekecewaan. Individu merasa lebih aman dengan perilaku acuh tak acuh, khususnya ketika tidak jelasnya masa depan. Depersonalisasi merupakan usaha untuk membuat jarak antara diri sendiri dan penerima pelayanan dengan cara

mengabaikan kualitas yang membuat individu disukai orang. Lebih lanjut Maslach menjelaskan depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan klien sebagai objek.

c) Ineffectiveness (Low Personal Accomplishment) Individu merasa tidak efektif ketika kurangnya kecakapan dalam bekerja. Setiap ada pekerjaan baru dilihat sebagai beban yang berlebihan. Sehingga akan menimbulkan kehilangan kepercayaan terhadap kemampuannya untuk membuat sesuatu. Hubungan low personal accomplishment dengan kedua aspek sebelumnya sangat kompleks. Dalam kondisi tertentu low personal accomplishment dapat dihasilkan sebagai fungsi dari kelelahan atau cynicism atau kombinasi dari keduanya.

Dari hasil penelitian sebelumnya maka terdapat dua faktor yang mempengaruhi munculnya burnout,3 yaitu: (1) Faktor situasional termasuk didalamnya karakteristik pekerjaan, jenis pekerjaan dan karakteristik organisasi; dan (2) Faktor individual terdiri dari karakteristik demografis, karakteristik kepribadian dan sikap terhadap pekerjaan. Faktor individual dari burnout didalamnya juga dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian dimana karakteristik kepribadian tersebut salah satunya adalah locus of control. Konsep locus of control pertama kali dikemukakan oleh Jullian Rotter pada tahun 19666 dimana teori ini merupakan perkembangan dari Teori Belajar Sosial. Rotter menyatakan salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa kehidupan seseorang adalah locus of control yang ada pada dirinya. Locus of control juga memberikan gambaran pada keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya. Ditambahkan pula bahwa locus of control adalah suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan

Page 9: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Eka Danta Jaya G, Ihsan Rahmat Burnout Ditinjau dari Locus of Control …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 215

yang terjadi di dalam kontrol atau di luar kontrol dirinya. 7 Locus of control dibedakan atas dua, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal.8. Menurut Rotter locus of control internal adalah cara dimana seseorang yakin kontrol terhadap peristiwa berasal dari kemampuannya. Selain itu individu yang memiliki locus of control internal memahami bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung pada seberapa banyak usaha yang mereka lakukan. Locus of control internal merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuannya sendiri. Rotter kemudian menambahkan pula bahwa individu yang memiliki locus of control internal memahami bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung pada seberapa banyak usaha yang mereka lakukan. 8 Di sisi lain, setiap individu memiliki perbedaan dalam mempersepsi kontrol yang ada dalam dirinya. Beberapa orang yakin bahwa kontrol atas dirinya ada di pihak luar. Orang yang percaya bahwa hasil yang mereka dapat disebabkan faktor dari luar dirinya memiliki locus of control eksternal. Rotter menganggap bahwa apa yang mereka perbuat dan apa hasil yang mereka peroleh tergantung dari luar dirinya. Keberuntungan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan kebahagiaan. 9 Penelitian oleh Adali dan Priami mengungkapkan bahwa faktor situasional mempengaruhi munculnya burnout pada pekerja. Disamping faktor situasional terdapat juga faktor individual yang mempengaruhi burnout, salah satunya yaitu pengaruh tipe kepribadian. Pada beberapa penelitian ditunjukkan adanya pengaruh tipe kepribadian terhadap kecendrungan burnout. Hal inilah yang mendasari mengapa burnout juga dianggap memiliki perbedaan ditinjau dari locus of control, karena seperti yang telah dikemukakan, locus of control muncul dari dalam diri individu yang membentuk kepribadiannya. 10 Dari pernyataan di atas maka hipotesa yang diajukan di dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan burnout ditinjau dari locus of control”. Dimana tingkat burnout berbeda antara locus of control internal dengan locus of control eksternal.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kuantitatif inferensial komparatif. Data yang diperoleh bersifat cross sectional dengan pengambilan langsung pada subjek penelitian Subjek penelitian dianggap memiliki fenomena yang dimaksud sehingga penelitian ini bersifat ex post facto. Dikarenakan penelitian ini bersifat kuantitatif, maka kekuatan-kekuatan fenomena yang diperoleh bersifat empirik dan sangat dipengaruhi oleh keakuratan alat ukur. Variabel Penelitian 1. Variabel Locus of Control

a) Internal b) Eksternal

2. Variabel Burnout Pengukuran Variabel Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Skala Locus of Control a. Locus of Control Internal

Skala locus of control internal digunakan untuk mengungkap data tentang locus of control internal, skala locus of control internal terdiri dari 3 aspek yaitu (1) Kemampuan; (2) Minat; dan (3) Usaha. Terdiri dari 33 item dan nilai reliabilitas 0.881.

b) Locus of Control Eksternal Skala locus of control eksternal digunakan untuk mengungkap data tentang locus of control eksternal, skala locus of control eksternal terdiri dari 4 aspek yaitu (1) Nasib; (2) Keberuntungan; (3) Sosial Ekonomi; dan (4) Pengaruh Orang Lain. Terdiri dari 33 item dan nilai reliabilitas 0.973.

2. Skala Burnout Skala burnout digunakan untuk mengungkap data tentang burnout. Skala burnout terdiri dari dimensi (1). Kelelahan (exhaustion); (2). Cynicism (depersonalisasi); dan Ineffectiveness (Low Personal Accomplishment).Terdiri dari 60 item dengan nilai reliabilitas 0.983.

Skala Locus of control internal, locus of control eksternal dan burnout memuat dua kategori pernyataan yakni pernyataan

Page 10: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

216 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

favorable dan pernyataan unfavorable yang masing-masing pernyataan menyediakan empat alternatif jawaban mulai dari pilihan jawaban Sangat Sesuai sampai jawaban Tidak Sesuai. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah karyawan tetap Biro Rektor USU Medan yaitu pada Biro Kemahasiswaan, Biro Pendidikan dan Biro Administrasi Umum dan Keuangan. Metode pengambilan subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probability purposive sampling dengan ciri-cirinya antara lain: (1). Berusia 40 tahun ke bawah; dan (2). Minimal telah bekerja selama 1 tahun. Adapun jumlah subjek penelitian yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 105 orang dimana 45 orang untuk uji coba alat ukur dan sebanyak 60 orang untuk penelitian.

HASIL PENELITIAN 1. Kategorisasi Locus of Control Internal dan

Eksternal

Tabel 1. Kategorisasi locus of control

Locus of control internal X ≥ 98

Locus of control eksternal X ≥ 91

Berdasarkan kategorisasi locus of control dengan subjek penelitian 60 orang diperoleh 24 sampel yang representatif yaitu 11 subjek yang memiliki locus of control internal dan 14 subjek yang memiliki locus of control eksternal. Sedangkan sebanyak 35 orang dalam kriteria tidak tergolongkan.

Tabel 2. Penggolongan Sampel berdasarkan Locus of Control

Locus of control N Persentasi

Locus of control internal 11 18 %

Locus of control eksternal 14 23 %

Tak tergolongkan 35 59 %

Jumlah 60 100 %

2. Burnout

Mean Empirik dan Mean Hipotetik Skala burnout terdiri dari 60 aitem

dengan 4 pilihan jawaban yang bergerak dari 1 sampai 4. Diperoleh mean hipotetik sebesar 150 dengan S.Dev sebesar 30. Sementara mean empirik diperoleh sebesar 141.75 dengan S.Dev sebesar 32.43. Kesimpulannya mean hipotetik lebih besar dari mean empirik, dapat dikatakan sampel yang digunakan memiliki nilai burnout yang lebih kecil daripada mean hipotetik, artinya burnout karyawan Biro Rektor USU di bawah burnout pada umumnya.

Tabel 3. Kategorisasi Burnout

Skor Kategori Jumlah subjek

F ( % )

Tinggi X ≥173 11 18.33 % Sedang 109 < X < 173 40 66.67 % Rendah X ≤ 109 9 15.00 %

Total 60 100.00 % Dari tabel 3 didapat bahwa subjek

yang memiliki burnout tinggi sebanyak 11 orang (18.33 %) dengan kategorisasi X ≥ 173, subjek yang memiliki burnout sedang dengan kategorisasi 109 < X < 173 sebanyak 40 orang (66.67 %) dan subjek yang memiliki burnout rendah sebanyak 9 orang (15 %) dengan kategorisasi X ≤ 109.

Perbedaan Burnout Ditinjau dari Locus of control

Tabel 4. Analisis t-test Burnout Ditinjau locus of control internal dan locus of control eksternal

t-test for equality of mean

95% Confidence Interval of the Difference t Df sig. (2-tailed) Mean Difference lower Upper

Burnout

Locint

Loceks

11.062

27.618

10

12

0.000

0.000

140.27

161.77

112.02

149.01

168.53

174.53

Page 11: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Eka Danta Jaya G, Ihsan Rahmat Burnout Ditinjau dari Locus of Control …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 217

Dari tabel 4 dapat dilihat t untuk locus of control internal sebesar 11.062 dengan p < 0.01, dan t untuk locus of control eksternal sebesar 27.618 dengan p < 0.01. Hasil tersebut berarti sangat signifikan. Jadi dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara burnout ditinjau dari locus of control internal dengan burnout ditinjau dari locus of control eksternal DISKUSI Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan burnout yang sangat signifikan pada locus of control internal dan locus of control eksternal dengan nilai p < 0.01. Dengan demikian hipotesa yang diajukan diterima. Dari hasil penelitian terlihat bahwa subjek dengan locus of control eksternal lebih tinggi burnout-nya daripada subjek dengan locus of control internal. Hal ini tampak dari skor olahan data dimana rata-rata yang diperoleh subjek locus of control eksternal yakni 161.77 dengan nilai S.Dev 21.12 sedangkan subjek locus of control internal yakni 140.27 dengan S.Dev 42.05. Hal ini sesuai dengan teori Solomon dan Oberlander dimana individu yang beranggapan bahwa kegagalan dalam bekerja adalah berasal dari faktor lain di luar dirinya sendiri maka individu inilah yang memiliki burnout yang rendah dengan kepribadian locus of control eksternal.11 Hasil ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Tilburg mengenai pengaruh tipe kepribadian terhadap kelelahan di tempat kerja. Menurut mereka mereka kelelahan dalam bekerja (yaitu kelelahan fisik dan mental) akan berbeda dialami antara mereka yang memiliki locus of control eksternal dan locus of control internal.11 Penelitian oleh Adali dan Priami juga mengungkapkan bahwa faktor situasional mempengaruhi munculnya burnout pada pekerja. Disamping faktor situasional terdapat juga faktor individual yang mempengaruhi burnout, salah satunya yaitu pengaruh tipe kepribadian. Pada beberapa penelitian ditunjukkan adanya pengaruh tipe kepribadian terhadap kecendrungan burnout misalnya

pada locus of control 12

. Adanya perbedaan locus of control pada seseorang ternyata dapat menimbulkan

perbedaan sikap, sifat serta ciri-ciri yang lain. Hasil dari penelitian telah membuktikan bahwa orientasi locus of control yang internal ternyata lebih banyak menimbulkan akibat-akibat positif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leo bahwa status sosial ekonomi, kepercayaan diri, aspirasi, serta harapan pada mereka yang internal ternyata lebih tinggi 11. Pernyataan ini juga sejalan dengan pendapat Pervin bahwa orang-orang internal lebih aktif mencari informasi dan menggunakan untuk mengontrol lingkungan. Demikian pula orang-orang internal lebih suka menentang pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan orang eksternal lebih bersikap conform terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. 12 KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada karyawan Biro Rektor USU Medan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan burnout ditinjau dari locus of control internal dan locus of control eksternal. Dimana menurut hasil penelitian subjek dengan locus of control eksternal lebih rentan terhadap burnout dari pada subyek yang memiliki locus of control internal. Hal ini berarti individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa tertekan dalam bekerja dikarenakan merasa tidak mampu mengkontrol kesuksesannya. Mereka cenderung menganggap bahwa kesuksesan dan prestasi mereka lebih ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri mereka seperti takdir, nasib dan keputusan yang ditentukan orang lain. Sebaliknya orang-orang dengan locus of control internal lebih melihat bahwa kesuksesan, usaha dan kegagalan semata-mata disebabkan dari dalam diri mereka sendiri. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka beberapa saran yang ingin dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Banyaknya karyawan yang termasuk dalam

tipe kepribadian locus of control yang tidak tergolongkan dapat disimpulkan bahwa mereka berada di antara kepribadian locus of control internal dan locus of control eksternal. Bukan tidak mungkin orang-orang ini nantinya akan menjadi orang dengan locus of control

Page 12: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

218 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

internal ataupun locus of control eksternal disebabkan pada dasarnya locus of control adalah kontinuum yang bergerak dengan aktif dan bukan dua kutub yang saling terpisah.

2. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Biro Rektor USU dalam menangani burnout yang dialami karyawan. Diantaranya adalah mencari sumber dari terjadinya burnout, memahami kondisi tersebut sebagai sumber burnout untuk kemudian memberikan penanganan terhadapnya.

3. Burnout dapat terjadi pada semua orang, baik itu orang yang ber-locus of control internal maupun ber-locus of control eksternal. Jadi menurut peneliti bahwa kepala-kepala Biro Rektor USU Medan haruslah mengadakan suatu kegiatan terhadap karyawan dalam rangka untuk mencegah terjadinya burnout.

4. Merancang sebuah pelatihan dimana pelatihan tersebut dapat meminimalkan burnout. Pelatihan lebih diarahkan ke off site training (pelatihan yang tidak berhubungan dengan ketrampilan kerja) dimana pelatihan ini mampu mem-bangkitkan kembali motivasi dan sebagai proses pembelajaran bagi karyawan untuk lebih mengenal potensi diri.

KEPUSTAKAAN 1. Berry, Lilly, M. 1998. Psychology at

Work (2nd ed). New York : MC.Graw Hill.

2. Ancok, D. 1998. Membangun Kompetensi

Manusia dalam Milenium Ke-3. Jurnal Psikologika, tahun III No. 6,5-7, Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.

3. Maslach, C., Schaufeli W.B. & Leiter,

M.P. (2001, Mei). Issue : Annual Job

Burnout. www.AnnualReviews.org [online]. www.findarticles.com.

4. Sutjipto, M. 2001. Apakah Anda

Mengalami Burnout, dalam www.depdiknas.co.id. 27\8\2004.

5. Schaufeli, M.M. & Buunk, B.B. 1996.

Professional Burnout, dalam Schabirac, M.J. & Winnubot. J.A.M. (vol Ed). Handbook of work and Health Psychology. New York: John Wiley & Sons.

6. Jung, J. 1978. Understanding Human

Motivation: A Cognitive Approach. New York: Mc.Millan.

7. Schulz, D., Sindrey. E. 1993. Theories

of Personality (5th ed). California: Books Publishing Company.

8. Robinsons, P.J, Wrigtsman. M. 2001.

Measure of Personality and Social Psychology Attitudes, vol. 1. California: Harcourt Brace Jovonovich Publisher.

9. Morgan, C, T., King, R.A., Weisz J.B

dan Schopler, J. 1989. Introduction to Psychology (7th ed). New Jersey: Mc.Graw Hill.

10. www.eurekalert.org/puprews.php.

27\08\2004 11. Coop, R.H, and White, K (Editors).

1974. Psychologycal Concept in The Classroom. New York. Harper and Row Publishers.

12. Munandar, AS. 1980. Locus Of Control

pada Para Mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Panitia Kongres Ilmu Psikologi dan Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia, 259-265.

Page 13: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 219

Kadar Homosistein pada Penderita Stroke Iskemik Trombotik

A.K. Aman, A.A. Ginting*, Y. Anwar**

* Departemen/SMF Patologi Klinik FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan ** Departemen/SMF Penyakit Syaraf FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Untuk menenetukan kadar homosistein serum pada penderita stroke trombotik iskemik dibandingkan dengan kontrol group. Penelitian secara Cross Sectional Study. Merupakan kerjasama antara Departement Patologi Klinik dengan Departement Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik Medan. Dilakukan pemeriksaan kadar homosistein serum pada 24 pasien stroke iskemik trombotik dan 24 pasien non-stroke iskemik trombotik sebagai kontrole group. Diagnostik stroke berdasarkan pemeriksaan Siriraj stroke skore dan CT-Scan. Pemeriksaan homosistein dilakukan dengan metode Enzyme Immunoassay (EIA) menggunakan alat Imx-Immunology analyzer dari Abbout Diagnostic. Hasil: Dari 24 pasien stroke iskemik trombotik yang diperiksa terdiri dari laki-laki 13 orang (54%), umur antara: 38-65 tahun, perempuan: 11 orang (46%) umur antara: 39-70 tahun, terbanyak pada suku Batak 17 orang (70%). Tidak ada perbedaan kadar homosistein pada laki-laki dan perempuan pada pasien stroke iskemik trombotik dan kontrol group (p>0,05). Kadar homosistein berbeda sangat bermakna antara pasien stroke iskemik trombotik dibandingkan dengan pasien non-stroke iskemik trombotik (kontrol group) terutama pada kelompok umur 41-60 tahun (p<0,001), pada kelompok umur < 40 tahun dan diatas 60 tahun perbedaan kadar homosistein tidak berbeda bermakna masing-masing dengan p = 0,763 dan p = 0,157. Kesimpulan Kadar homosistein sangat dipengaruhi oleh faktor umur untuk terjadinya stroke iskemik trombotik. Kata kunci: Homosistein, stroke non-hemorhagik, aterosklerosis. Abstract: Obyectives: To determine the serum homocysteine concentration’s in thrombotic ischemic stroke patients compare to the normal group patients. Design: Cross sectional study. Setting: Joint study between Clinical Pathology Departement with neurology Departement Medical School Universitas Sumatera Utara/H.Adam Malik Top Refferral Hospital, Medan. Methode: Examination of serum homocystein was done to 24 thrombotic ischemic stroke paients and 24 non thrombotic ischemic stroke patients as a controle group. The diagnosis of stroke based on CT-scan and Siriraj stroke score. Determination of homocystein concentrations were done with enzyme immunoassay (EIA) methode, using Imx-Immunology Analyzer. Result: 24 Thrombotic ischemic stroke patients consist of male were 13 persons (54%), age between 38-65 years, female were 11 persons (46%), age betwen 39-70 years. Most of them were Bataknes 17 patients (70%). There were no differentiations of homocystein concentrations between male and female in thrombotic ischemic stroke and control group (p>0,05). The differentiations of homocystein concentration between thrombotic ischemic stroke patiens and non thrombotic ischemic stroke (control group) were significant especially in age 41 – 60 years (p > 0,001), while in age before 40 years and after 61 years the differentiation of homocystein concentrations were not significant, p=0,763 and p = 0,157 respectively. Conclusion: Homocyatein concentrations was under influence of age factor to provoke thrombotic ischemic stroke. Key words: Homosistein, stroke non-hemorrhagik, ateroskirosis. PENDAHULUAN Stroke merupakan manifestasi dari

gangguan peredaran darah ke otak yang terjadi

Page 14: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

220 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

secara mendadak serta diikuti dengan adanya gangguan neurologi, awalnya sering didahului dengan adanya kelainan pada pembuluh darah otak berupa aterosklerosis dan trombosis1,2. Stroke merupakan pembunuh ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, serta menjadi salah satu masalah kesehatan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit baik dalam diagnose maupun pengobatannya3. Sebagian besar (85%) stroke disebabkan oleh adanya iskemik atau infark jaringan otak atau stroke non-hemorhagik (SNH) dan hanya 15% oleh karena adanya perdarahan atau disebut stroke hemorhagik (SH), di Amerika merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker angka kematian 150.000 kasus per tahun dan ada diperkirakan 500.000 kasus stroke per tahun dimana 400.000 merupakan SNH4, di Bagian Penyakit Syraf FK USU dan RSUP H. Adam Malik tahun 2002 ada 65,28% penderita stroke, 44,90% adalah stroke iskemik (SNH). Kelainan pada dinding pembuluh darah otak ada hubungannya dengan beberapa faktor resiko konvensional yang sudah banyak dikenal orang, diantaranya yaitu: genetic, stress, hipertensi, merokok, hiperlipidemia, Diasbetes Mellitus (DM), merokok5,6,7. Pada beberapa tahun terakhir ini dikenal adanya satu faktor resiko independent yang memegang peranan penting dalam terjdinya kelainan dinding pembuluh darah yaitu homosistein. Beberapa penelitian sangat mendukung pernyataan adanya peningkatan kadar plasma homosistein dengan meningkatnya resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, stroke dan penyakit-penyakit pembuluh darah perifer. Dr. Kilmer McCully (1968) yang pertama menunjukkan adanya hubungan antara penderita homosisteinuria dimana plasma homosisteinnya sangat tinggi dengan kejadian aterosklerosis pada usia muda, berdasarkan pemeriksaan patologi pada materi autopsy dari anak-anak dengan homosisteinuri 8,9,10. Homosistein merupakan asam amino intermedia yang terbentuk selama metabolisme methionine, dimana methionine adalah asam amino essential. Dalam metabolismenya homosistein mengalami remethylasi menajdi methionine dan

transulfurasi menjdi sisteine, homosistein akan menyebabkan kerusakan dinding endothel pembuluh darah dan diikuti dengan terjadinya atherosklerosis 11,12,13. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana kadar homosistein plasma pada penderita stroke yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian dilakukan secara Cross Sectional Study dan merupakan kerjasama antara Bagian/SMF Patologi Klinik dengan Bagian/SMF Penyakit Syaraf, FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Populasi penelitian adalah penderita stroke yang sedang dirawat inap di Bagian Penyakit Syaraf, sedang pasien kontrol diambil dari pasien yang dating ke Instalasi Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik untuk pemeriksaan darahya. Jumlah penderita sebanyak 48 orang terdiri dari 24 orang penderita stroke iskemik dengan syarat : harus bersedia ikut penelitian, diagnose stroke oleh Bagian Penyakit Syaraf menggunankan Siriraj Satroke Score ( SSS ), klinis dan laboratories tidak menderita gangguan ginjal, harus bebas dari obat-obatan yang meningkat homosistein dan bukan penderita stroke berulang serta 24 orang sebagai kontrole diambil berdasarkan jenis kelamin dan umur yang sesuai dengan penderita stroke iskemik dan anamnese dan pemeriksaan fisis tidak pernah mengalami stroke.

Pengambilan sample darah dilakukan setelah puasa selama 10 jam, darah diambil melalui vena punksi pada vena Mediana Cubiti diambil sebanyak 5 ml tanpa koagulant, kemudian dibekukan dan disentrifugasi dengan kecepatan1500 x grav. Selama 10 menit untuk diambil serumnya.

Pemeriksaan Homosistein dilakukan dengan menggunakan Metode Enzyme Immuno Assay (EIA) dan Fluorescence Polarization Immunoassay (FPIA), menggunakan alat IMX Immunology Analayzer dari Abbot Diagnostic. Pemantapan kwalitas (QC) dilakukan dengan menggunakan serum kontrol homosistein dengan range: 5,25 -8,75 (kontrol Low), QC dilakukan sebelum sample diperiksa.

Analisa statistik dengan menggunakan Program OXTAT -V dan untuk uji data

Page 15: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

A.K. Aman, dkk. Kadar Homosistein pada Penderita Stroke …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 221

distribusi normal dengan uji Kolmogorov -Seminov. HASIL PENELITIAN

Jumlah populasi yang diperiksa sebanyak 48 orang terdiri dari 24 penderita stroke iskemik trombotik dan 24 orang non-stroke sebagai kontrol.

Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Stroke Iskemik

Penderita Stroke Jenis Kelamin N %

Laki-laki 13 54 Perempuan 11 46

Jumlah 24 100 Tabel 2. Distribusi Suku dari Penderita Stroke Iskemik dan Kontrol

Suku Penderita Stroke Kontrol Jumlah

n % n % n % Batak 17 70,8 16 66,7 33 68,7 Jawa 2 8,3 0 0,0 2 4,2 Nias 1 4,2 0 0,0 1 2,1 Melayu 0 0,0 6 25,0 6 12,5 Aceh 4 16,7 2 8,3 6 12,5

Jumlah 24 100,0 24 100,0 48 100,0

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa penderita yang terbanyak adalah pada suku Batak, yaitu: 17 orang (70,8%). Tabel 3. Kadar Homosistein Berdasarkan Jenis Kelamin pada Penderita Stroke dan Kontrol

Kadar Homosistein Penderita Stroke Iskemik Kontrol

n X ± SD p n X ± SD p Laki-laki 13 10,55 ± 2,87 13 8,03 ± 1,97

0,578 0,281 Perempuan 11 9,89 ± 2,87 11 7,30 ± 1,05

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna kadar homosistein laki-laki dan perempuan baik pada penderita stroke iskemik maupun kontrol dengan nilai masing-masing adalah, p: 0,578 dan 0,281. Tabel 4. Kadar Homosistein Berdasarkan Kelompok Umur pada Penderita Stroke Iskemik dan Kontrol

Umur (thn) Penderita Stroke Iskemik Kontrol p

N Mean SD n Mean SD

< 40 13 7,97 1,03 13 7,63 1,01 0,763

41 - 60 15 10,80 2,93 15 7,30 1,42 0,001

> 61 6 8,60 2,00 6 10,70 2,69 0,157

Dari table diatas dapat kita lihat adanya perbedaan yang sangat bermakna kadar homosistein pada penderita stroke iskemik dibandingkan dengan kontrol pada umur 41-60 tahun (p= 0,001)

Page 16: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

222 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

sedangkan umur dibawah 40 tahun dan diatas 61 tahun tidak ada perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing adalah : p = 0,763 dan p = 0,157. DISKUSI Pada penelitian ini dari 24 penderita stroke iskemik yang diperiksa ternyata laki-laki lebih banyak dari perumpuan yaitu 13 (54%) penderita laki-laki dan 11 (46%) perempuan (Tabel 1) dan kadar homosistein pada laki-laki dibandingkan perempuan tidak berbeda bermankna baik pada penderita stroke maupun kontrol, beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan kadar homosistein pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada laki-laki biasanya mempunyai massa otot yang lebih besar dibandingkan perempuan, dimana sebahagian besar homosistein yang dibentuk berhubungan erat dengan sintesis kreatinin -keratin, peneelitian sebelumnya mendapatkan adanya perbedaan yang bermakna kadar homosistein laki-laki dibandingkan perempuan (p < 0,001) dan merekan juga mendapatkan adanya hubungan terbalik antara kadar homosistein dengan asam folat dan vitamin B 12 pada kelompok laki-laki dan perempuan.6,7

Distribusi suku batak pada penelitian ini merupakan penderita terbanyak yaitu sebanyak 17 kasus (70,8%) suku batak ini merupakan gabungan dari suku batak Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Batak Karo, selebihnya dalam jumlah yang sedikit terdiri dari suku Jawa 2 kasus (8,3%), Aceh 4 kasus (16,7%) dan Nias hanya 1 kasus (4,2%). Pada penelitian ini kami temui adanya perbedaan yang sangat bermakna dari kadar homosistein pada penderita stroke iskemik dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya pada kelompok umur 41-60 tahun (p < 0,001) sedang pada kelompok umur dibawah 40 tahun dan diatas 61 tahun tidak berbeda bermakna masing-masing dengan p = 0,763 dan p = 0,157. Pada penelitian sebelumnya didapat peninggian kadar hoosistein sebagai factor resiko untuk jantung koroner rata-rata umur 46-47 tahun, factor resiko stroke pada 43,7 tahun dan peningkatan kadar homosistein yang mempunyai korelasi negatip dengan asam folat dan vito B12 yang dihubungkan dengan aterosklerosis pada umur rata-rata 47,2 tahun 11,12.

Pada penelitian ini perlu ditelusuri tentang pola makan dan gaya hidup dari penderita yang kemungkinan besar sangat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap kadar homosistein dan mungkin juga sebagai faktor resiko diantaranya yaitu: merokok dimana kebiasaan ini dapat menurunkan kadar asam folat dan ini dapat menyebabkan meningkatnya kadar homosistein, begitu juga dengan orang yang suka minum alkohol, kopi dapat mengganggu absorbsi asam folat, kadar homosistein ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik, kelamin, umur, obat-obatan gaya hidup dan penyakit-penyakit tertentu dapat meningkatkan kadar homosistein 13.

KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian kadar

homosistein pada 24 penderita trombotik iskemik stroke dan 24 group kontrol, penderita suku Batak merupakan yang terbanyak yaitu : 17 kasus (70,8%), penderita laki-laki 13 kasus (54%) perempuan 11 kasus (46%), kadar homosistein pada laki-laki tidak berbeda bermakna dibandingkan perempuan p = 0,578.

Kadar homosistein berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol hanya pada kelompok umur 41 -60 tahun (p < 0,001), sedang pada kelompok umur < 40 dan > 61 tahun tidak berbeda bermakna dibandingkan kontrol (p = 0,763 dan p = 0,157) .

Perlu penelitian lebih lanjut kadar homosistein pada kelompok umur < 40 dan > 61 tahun dengan jumlah penderita yang lebih banyak .

KEPUSTAKAAN 1. Noerjanto. Diagnosis stroke. Dalam:

Simposium penanganan stroke secara komprehensif menyongsong millenium baru , Semarang 2000 : 33 -46.

2. Gilroy J. Basic Neurology 3rd ed. Mc Graw Hill Inc. 2000 : 232 -45 .

3. Hadinoto HS, Setiawan, Soetejo. Stroke. Pengelolaan mutakhir. Penerbit

Page 17: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

A.K. Aman, dkk. Kadar Homosistein pada Penderita Stroke …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 223

Universitas Diponegoro Semarang. 1992 : 30 -8 .

4. Bogousslavsky J, Lausanne P, Hennerici M.G, Stroke prevention by the practitioner cerebrvascular disease. 1999 : 9, 2-43.

5. Tjokroprawiro A. Sindrome 23 peran Lp(a) dan fibrinogen. Dalam kursus Lipid IV pokja aterosklerosis Perki, Surabaya.1995: 1-6 .

6. Christina B.G, Focus On Homocysateine, Springer Verlag Frence, 2001 : 11-79.

7. Majors A, Ehrhart L.A, Pezacka E.H. Homocysteine as a risk factor for vascular diasease. Arteriosclerosis, Thrombosis and Vascular Biology. 1997,17 (10) : 2074 -80.

8. Perry IJ., Homocysteine and Risk of Stroke. Journal of Cardiovascular Risk. 1999; 6: 235-40.

9. Evans RW., Shaten BJ., Hempel JD., Cutler JA., Kuller LH. Homocyst(e)ine

and risk of Cardiovascular Disease in the Multiple Risk Factor Intervention trial Arteriosclerosis, Trombosis and Vascular Biologi. 1997 ; 17 (10): 1947-53.

10. Sacco RL. Pathogenesis, Clasification and Epidemiology of Cerebrovascular Disease in Rowland LP. Ed. Merritt’s Neurology 10th ed. Lipponcott William & Wilkins 2000 : 821-2.

11. Tan NCK., Venketasubramanian N., Saw SM., Tjia HTL. Hyperhomocyesteinemia and risk stroke among young Asian Adult Stroke. 2002 ; 33 : 1956 – 64.

12. Gerhard GT, Diell PB. Homocysteine and Atherosclerosis. Current opinion in Lipidology. 1999; 10 : 417-28.

13. Bots ML, Launer LJ, Lindemans J, Hoes AW, Hofman A, Witteman JC. Homocysteine and short term risk of myacardial infarction and stroke in the elderly: The Rotterdam Study. Archives of Internal Medicine 1999 ; 159 : 38-44.

Page 18: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

224 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

(Pb) dalam Spesimen Darah Tukang Becak Mesin di Kota Pematang Siantar dan Beberapa Faktor yang Berhubungan

Indra Chahaya S*, Surya Dharma* , Lenni Simanullang**

* Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan

**Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Medan

duration, daily work duration, smoking habit and wearing personal protective equipment habit. Located of the study in Pematang Siantar. This research was descriptive study with cross sectional design. The number of sample were 96 persons with simple random sampling. The result of the study showed that lead (Pb) rate in blood specimen of machine pedicab worker were 8 (8,3%) in normal category, 34 (53,4%) in tolerance category, 40 (41,7%) in excessive category and 14 (14,6%) in danger category. The general lead (Pb) rate in blood specimen of machine pedicab worker was high. That is related with house distance by main street, working duration and smoking habit. While age, daily work duration and wearing personal protective equipment habit were not related with lead (Pb) rate in blood specimen of machine pedicab worker. We recommended to environment pollution education to them and monitoring periodic lead (Pb) rate in blood specimen to high risk group, like machine pedicab workers. Key words: lead (Pb) rate in blood spesimen, machine pedicab worker

PENDAHULUAN Timbal (Pb) adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai campuran bensin yang bertujuan untuk mengontrol bilangan oktan pada bahan bakar, sehingga sistem

pembakaran dalam kendaraan menjadi sempurna dan memberikan tenaga yang besar. Pada oktan yang tinggi suara letupan pada kendaraan bisa diredam. Namun, kebaikan untuk kendaraan bermotor belum tentu

Page 19: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, dkk Kadar Timbal (Pb) dalam Spesimen Darah …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 225

memberikan kebaikan bagi manusia. Timbal (Pb) yang terlepas ke udara dapat masuk ke dalam tubuh manusia selanjutnya akan mengendap di dalam darah. Akumulasi kandungan timbal (Pb) dalam darah akan menyebabkan berbagai dampak buruk.1 Dampak tersebut antara lain: peningkatan jumlah kematian orang dewasa karena penyakit kardiovasikuler dan jantung koroner, peningkatan kasus hipertensi, menurunnya IQ anak-anak, dan dapat menimbulkan gangguan intestinal, anemia, nephoropathy dan encephalopathy.2 Setiap peningkatan konsentrasi timbal (Pb) di udara sebesar 1μg/m2 menyebabkan hipertensi pada 70 ribu dari 1 juta pria berusia 20-70 tahun. Di Boston terhadap anak-anak umur >10 tahun, setiap peningkatan 10 µg/desiliter dapat menurunkan 5,8 point tingkat kecerdasan. Di Australia anak-anak yang belajar pada 4 tahun I, peningkatan kadar timbal (Pb) di udara ambien mempengaruhi uji mental, menurunkan kemampuan membaca, berbicara dan tingkat kecerdasan. Selain itu wanita hamil yang telah terpajan timbal (Pb) akan mengenai anak yang disusui, yaitu melalui jalur akumulasi timbal (Pb) di tulang ke plasenta yg kemudian ke Air Susu Ibu (ASI). Orang dewasa yang terpajan timbal (Pb) dengan konsentrasi tinggi di lingkungan kerja menyebabkan kehilangan koordinasi muscular, kerusakan ginjal, lelah, lesu / apatis, mudah terinfeksi, encok sendi, dan gangguan saluran pencernaan.3 Dari beberapa hasil penelitian FKM UI tahun 1987 menunjukkan kadar timbal (Pb) pada spesimen darah pekerja jalan Tol Jagorawi adalah 39,2 s/d 75,9 μg per dL. Demikian juga hasil penelitian Nani pada tahun 1984 menunjukkan bahwa 30% s/d 46% pengemudi dan petugas polantas mempunyai kadar timbal (Pb) dalam darah di atas 40 μg per dL 4. Sedangkan kadar Timbal (Pb) yang diperkenankan WHO dalam Depkes (2001) pada orang dewasa normal adalah 10 - 25 µg per dL dan untuk usia anak-anak adalah 0 - 10 μg per dL. Untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) di dalam tubuh manusia ditetapkan cara yang akurat dalam bentuk analisis konsentrasi timbal (Pb) di dalam darah atau urine. Konsentrasi timbal (Pb) di dalam darah merupakan indikator yang lebih baik

dibandingkan dengan konsentrasi timbal (Pb) di dalam urine. 5 Oleh sebab itu, kadar timbal (Pb) dalam darah merupakan parameter pemajanan yang sering dipakai dalam kaitannya dengan pajanan eksternal. Kadar timbal (Pb) dalam darah dapat merupakan petunjuk langsung jumlah timbal (Pb) yang sesungguhnya masuk ke dalam tubuh. 4 Di daerah pertanian maupun perkebunan yang lokasinya berdekatan dengan jalan raya, biasanya pada hasil pertanian maupun perkebunan kandungan timbalnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari jalan raya. Hal ini menggambarkan bahwa pencemaran timbal (Pb) yang potensial berasal dari kendaraan bermotor. Pencemaran timbal (Pb)merupakan masalah utama bagi kaum miskin di perkotaan, tanah dan debu di sekitar jalan raya pada umumnya telah tercemar bensin bertimbal (Pb) selama bertahun-tahun. Pengerokan cat lama pada bangunan rumah akan menimbulkan debu yang mengandung timbal (Pb) sehingga dapat mengganggu kesehatan.6 Secara umum, dampak negatif pencemaran timbal (Pb) sangat tinggi terhadap kelompok masyarakat yang sering dan lama kontak terhadap sumber pencemaran timbal (Pb) yang disebut sebagai kelompok masyarakat resiko tinggi (high risk). Kelompok tersebut antara lain: polisi lalu lintas, pedagang asongan di sekitar terminal, pedagang kaki lima, petugas jalan tol, penjaja koran dan tukang becak mesin. Walaupun demikian, berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan pada tahun 2002 di kota Tarutung dan Tebing Tinggi propinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa dari berbagai komponen masyarakat yang merupakan resiko tinggi tersebut, kelompok tukang becak mesinlah yang merupakan kelompok masyarakat paling beresiko dimana hasil penelitian ini menunjukkan kadar timbal (Pb) dalam darah yang paling tinggi adalah kelompok tukang becak mesin.8

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar timbal (Pb) tersebut seperti umur, jarak rumah dengan jalan protokol, masa kerja, jumlah jam kerja

Page 20: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

226 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

dalam sehari, kebiasaan merokok dan kebiasaan memakai alat pelindung diri. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan pada bulan April – Mei tahun 2004 dan berlokasi di Kota Pematang Siantar mengingat bahwa kota ini merupakan kota lintas Sumatera dan merupakan kota terpadat lalu lintasnya setelah kota Medan di propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini merupakan survei yang bersifat diskriptif dengan rancangan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui kadar timbal (Pb) pada spesimen darah tukang becak mesin dan faktor-faktor yang berhubungan seperti: umur, jarak rumah dengan jalan protokol, lamanya bekerja, jumlah jam kerja dalam sehari, kebiasaan merokok dan pemakaian alat pelindung diri. Populasi adalah seluruh tukang becak mesin yang menjalankan aktifitasnya di jalan raya kota Pematang Siantar. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan estimasi proporsi sehingga diperoleh jumlah sampel 96 orang yang diambil secara acak sederhana. Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah diukur dengan menggunakan Atomic Absorbtion Spectrofotometer (Spektrofotometer Serapan Atom) dalam satuan μg/ dL kemudian dikelompokkan dalam 4 kategori 7 yaitu : Kadar < 40 μg/dL termasuk kategori normal, yaitu tingkat pemaparannya masih normal; Kadar 40 – 80 μg/dL termasuk kategori ditoleransi, yaitu telah terjadi peningkatan penyerapan tetapi masih dapat ditoleransi; Kadar 80 – 120 μg/dL termasuk kategori berlebih, yaitu telah terjadi peningkatan penyerapan dan memperlihatkan tanda-tanda keracunan; Kadar > 120 termasuk kategori bahaya, yaitu telah terjadi peningkatan penyerapan yang berbahaya sehingga menunjukkan tanda-tanda keracunan ringan sampai berat. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif. HASIL DAN DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian terhadap kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin, 8 orang (8,3%) kategori

normal, 34 orang (35,4%) kategori ditoleransi, 40 orang (41,7%) kategori berlebih dan 14 orang (14,6%) kategori bahaya. Hasil ini menunjukkan bahwa sebahagian besar tukang becak mesin telah tercemar oleh timbal (Pb) akibat pencemaran yang terjadi di udara terutama dari asap kendaraan bermotor. Tingginya kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah responden dapat menimbulkan keluhan kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden diperoleh data, 89 orang (92,7%) responden mengalami keluhan kesehatan akibat pencemaran udara dan 86 orang (96,6%) menyatakan bahwa keluhan kesehatan dialami setelah bekerja sebagai tukang becak mesin. Keluhan kesehatan yang dialami seperti susah tidur, sering bingung/pikiran kacau, konsentrasi berkurang dan daya ingat menurun. Tingginya kadar timbal (Pb) dalam darah tukang becak mesin sesuai dengan hasil penelitian terhadap masyarakat beresiko tinggi oleh FKM UI (1987) yang memperoleh kadar timbal (Pb) pada spesimen darah pekerja jalan Tol Jagorawi adalah 39,2 s/d 75,9 μg per dL, penelitian Nani (1984) yang menemukan 30% s/d 46% pengemudi dan petugas polantas mempunyai kadar Timbal (Pb) dalam darah di atas 40 μg per dL. 4 Dampak timbal (Pb) dalam tubuh seseorang mempengaruhi kesehatannya. Menurut Palar keracunan timbal (Pb) dapat mengganggu sistem syaraf, sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung.7 Selain itu menurut Depkes (2001) dapat menyebabkan kelambanan dalam pengembangan neurologis syaraf, kerusakan sistem reproduksi pria, penyakit syaraf, perubahan daya pikir dan perilaku, tekanan darah tinggi, dan anemia. Pada kasus terpapar Timbal (Pb) secara kronis, antara lain kelelahan, kelesuan, irritabilitas dan gangguan gastrointestinal merupakan tanda awal dari intoksikasii Timbal (Pb) secara kronis. Terpapar secara terus-menerus pada sistem syaraf pusat menunjukkan gejala seperti insomnia, bingung atau pikiran kacau.4

Hubungan umur dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Pada tabel 1 diketahui bahwa tukang becak mesin di Pematang Siantar sebahagian besar pada kelompok umur produktif yaitu

Page 21: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, dkk Kadar Timbal (Pb) dalam Spesimen Darah …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 227

26-50 tahun (63%). Sedangkan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah pada kategori

berlebih dan berbahaya dapat ditemukan pada ketiga kelompok umur kecuali >50 tahun. Namun demikian pada kelompok umur >50 tahun juga ditemukan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darahnya, walau masih dalam kategori ditoleransi. Ini berarti bahwa pemaparan timbal (Pb) dapat terjadi pada semua kelompok umur. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari Depkes (2001) bahwa timbal (Pb) mempunyai dampak terhadap kesehatan baik kelompok umur dewasa maupun anak-anak, bahkan apabila kadar timbal (Pb) dalam darah sudah berada diatas 100 μg/dl dapat menyebabkan kematian. 4

Hubungan jarak rumah dengan jalan protokol dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Pada tabel 2 diketahui bahwa umumnya responden 53 orang (55,2%) tinggal 0,5-1 km dari jalan protokol. Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin pada kategori berlebih (80-120 μg/dL) dan berbahaya ( >120 μg/dL) banyak ditemukan pada tukang becak mesin yang tinggal < 0,5 km dan 0,5 – 1 km dari jalan protokol. Hal ini berarti kadar timbal (Pb) dalam darah tukang becak mesin di kota Pematang Siantar memiliki kaitan dengan jarak tempat tinggalnya karena semakin dekatnya jarak

rumah dengan jalan protokol berarti semakin dekat dengan sumber asap kendaraan

bermotor yang memungkinkan semakin tingginya kadar timbal (Pb) di udara. Menurut Atrisman (2002) udara ambien dengan radius 0,5 km dari sumber emisi gas buang merupakan lokasi yang paling besar resikonya, 0,5 – 1 km merupakan resiko sedang dan di atas 1 km merupakan resiko ringan.8 Hal ini sejalan dengan pendapat Sunu (2001) konsentrasi timbal (Pb) di udara perkotaan yang padat lalu lintasnya bisa mencapai 5 - 50 kali dibandingkan dengan udara pegunungan yang masih lestari.1,5 Selanjutnya dipertegas oleh Palar (1997) yang menyatakan bahwa konsentrasi kadar timbal (Pb) dalam darah penduduk yang tinggal jauh dari jalan protokol sebesar 16 μg/100 ml pada laki-laki dan 9,4 μg/100 ml pada wanita, sedangkan penduduk yang tinggal dekat dengan jalan protokol sebesar 22,7μg/100 ml pada laki-laki dan 16,7 μg/100 ml pada wanita.7

Hubungan jarak rumah dengan jalan protokol dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Pada tabel 2 diketahui bahwa umumnya responden 53 orang (55,2%) tinggal 0,5-1 km dari jalan protokol. Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin pada kategori berlebih (80-120 μg/dL) dan

Tabel 1. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin berdasarkan kelompok umur di Kota Pematang Siantar

Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah (μg/dL) < 40 40 - 80 80 - 120 > 120

Jumlah Kelompok umur (Tahun)

n % n % n % n % N % < 15

15 – 25 26 – 50 > 50

0 3 5 0

0 12 7,9 0

1 10 19 4

25 40

30,2 100

3 10 27 0

75 40

42,9 0

0 2 12 0

0 8 19 0

4 25 63 4

4,2 26,0 65,6 4,2

8 34 40 14 96 100

Tabel 2. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam darah tukang becak mesin berdasarkan jarak rumah dengan jalan protokol di Kota Pematang Siantar

Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah (μg/dL)

< 40 40 - 80 80 - 120 > 120 Jumlah

Jarak rumah (Km)

n % n % n % n % N %

< 0,5 0,5 – 1 > 1

4 4 0

14,8 7,5 0

2 24 8

7,4 45,3

50

13 20 7

48,1 37,7 43,8

8 5 1

29,6 9,4 6,3

27 53 16

28,1 55,2 16,7

8 34 40 14 96 100

Page 22: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

228 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

berbahaya ( >120 μg/dL) banyak ditemukan pada tukang becak mesin yang tinggal < 0,5 km dan 0,5 – 1 km dari jalan protokol. Hal ini berarti kadar timbal (Pb) dalam darah tukang becak mesin di kota Pematang Siantar memiliki kaitan dengan jarak tempat tinggalnya karena semakin dekatnya jarak rumah dengan jalan protokol berarti semakin dekat dengan sumber asap kendaraan bermotor yang memungkinkan semakin tingginya kadar timbal (Pb) di udara. Menurut Atrisman (2002) udara ambien dengan radius 0,5 km dari sumber emisi gas buang merupakan lokasi yang paling besar resikonya, 0,5 – 1 km merupakan resiko sedang dan di atas 1 km merupakan resiko ringan.8 Hal ini sejalan dengan pendapat Sunu (2001) konsentrasi timbal (Pb) di udara perkotaan yang padat lalu lintasnya bisa mencapai 5 - 50 kali dibandingkan dengan udara pegunungan yang masih lestari.1,5 Selanjutnya dipertegas oleh Palar (1997) yang menyatakan bahwa konsentrasi kadar timbal (Pb) dalam darah penduduk yang tinggal jauh dari jalan protokol sebesar 16 μg/100 ml pada laki-laki dan 9,4 μg/100 ml pada wanita, sedangkan penduduk yang tinggal dekat dengan jalan protokol sebesar 22,7μg/100 ml pada laki-laki dan 16,7 μg/100 ml pada wanita.7

Hubungan lama bekerja dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Tukang becak mesin di kota Pematang Siantar sebagian besar 66 orang (68,8%) telah

menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak mesin selama 1 – 5 tahun (Tabel 3). Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah pada kategori berlebih (80-120 μg/dL) dan berbahaya (>120 μg/dL) banyak ditemui pada tukang becak mesin yang bekerja selama 1-5 tahun dan lebih dari 5 tahun. Hal ini berarti bahwa semakin lama menjadi tukang becak maka semakin lama terpapar dengan bahan pencemaran timbal (Pb) di udara dan semakin tinggi akumulasi timbal (Pb) dalam spesimen darah. Timbal (Pb) yang diserap akan diendapkan dalam tulang bergabung dengan matrik tulang yang mirip dengan kalsium (Ca). Timbal (Pb) yang terdapat di dalam tulang kompak hanya akan bergerak lambat dan secara umum akan meningkat jumlahnya bersamaan dengan waktu terpapar. Penyimpanan timbal (Pb) dalam tulang menyebabkan kenaikan katabolisme tulang yang memungkinkan dapat meningkatkan konsentrasi timbal (Pb) dalam sirkulasi darah. Berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh adanya proses pergantian tulang berkaitan dengan tingginya kadar timbal (Pb) dalam darah (seperti hipertiroidisme, osteosporosis). Secara intra seluler, timbal (Pb) terikat pada kelompok sulfhidril dan ikut berperan dalam sejumlah enzim seluler, seperti dalam sintetis heme. Peningkatan seperti itu juga terdapat pada keberadaan timbal (Pb) dalam rambut dan kuku. Timbal (Pb) juga terikat pada membran mitokondria dan bergantung dengan protein dan berperan dalam sintetis asam nukleat.4

Tabel 3. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin berdasarkan lama bekerja sebagai tukang becak mesin di Kota Pematang Siantar

Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah (μg/dL)

< 40 40 - 80 80 - 120 > 120 Jumlah Lama bekerja

(Tahun) n % n % n % n % N %

< 1 1 – 5 > 5

2 5 1

16,7 7,6 5,6

4 28 2

33,3 42,4 11,1

6 27 7

50 40,9 38,9

0 6 8

0 9,1 44,4

12 66 18

12,4 68,8 18,8

8 34 40 14 96 100

Page 23: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, dkk Kadar Timbal (Pb) dalam Spesimen Darah …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 229

Hubungan jumlah jam kerja dalam sehari dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Pada tabel 4 terlihat bahwa 50 orang (52,1%) tukang becak mesin di kota Pematang Siantar untuk setiap harinya bekerja menjalankan pekerjaan sebagai tukang becak mesin di bawah 8 jam per hari. Bila dihubungkan dengan lama kerja seseorang yang ideal 8 jam sehari, di kota Pematang Siantar masih ada yang bekerja di atas waktu kerja yang ideal bagi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kadar timbal (Pb) dalam darah pada kategori normal, ditoleransi, berlebih dan berbahaya pada tukang becak mesin yang bekerja < 8 jam dan > 8 jam. Keadaan ini disebabkan jumlah jam kerja ternyata bukan menjadi faktor penyebab adanya timbal (Pb) dalam darah tetapi kemungkinan ada faktor lain yang menyebabkan tingginya kadar timbal (Pb) dalam darah yang akan berdampak pada kesehatan seseorang yang pada giliannya akan menurunkan daya tahan tubuhnya apalagi bila tidak dibarengi dengan intake gizi yang memadai.

Hubungan kebiasaan merokok dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin Pada tabel 5 terlihat bahwa hanya 2 orang (2,1%) responden tidak mempunyai kebiasaan merokok, sedangkan selebihnya mempunyai kebiasaan merokok dan kadang-kadang. Tetapi dari 2 orang yang tidak

merokok tersebut ternyata kadar timbal (Pb) dalam darahnya termasuk kategori berbahaya (>120 μg/d). Penyebab tingginya kadar timbal (Pb) dalam darah orang yang tidak merokok dapat disebabkan oleh paparan timbal (Pb) dari udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor. Pada tukang becak yang sering merokok dan kadang-kadang merokok di dalam darahnya mengandung timbal (Pb) dalam kategori normal, ditoleransi, berlebih dan berbahaya. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa kadar timbal (Pb) dalam darah berhubungan dengan kebiasaan merokok, dimana responden yang memiliki kebiasaan merokok kadar timbal (Pb) dalam darahnya termasuk kategori di atas normal dan bahkan semakin banyak jumlah rokok yang diisap setiap harinya semakin tinggi pula kadar timbal (Pb) dalam darahnya. Hal ini mendukung hasil penelitian Depkes (2001) bahwa ada perbedaan kadar timbal (Pb) dalam darah penduduk pinggiran kota antara mereka yang merokok dengan yang tidak merokok. Penduduk pinggiran kota yang tidak merokok kadar timbal (Pb) dalam darahnya sekitar 11 μg/100 mL darah, sedangkan mereka yang merokok sekitar 15 μg/100 mL darah. Oleh sebab itu, tukang becak mesin yang memiliki kebiasaan merokok akan menambah resiko untuk meningkatnya kadar timbal (Pb) dalam darahnya. Selain itu menurut Hardiono dalam Suci (2003), merokok yang bahan bakunya diambil dari tembakau, dalam proses pena-nganannya sering menggunakan pestisida yang juga mengandung bahan dasar timbal (Pb).9

Tabel 4. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin berdasarkan jumlah jam kerja dalam sehari di Kota Pematang Siantar

Kadar timbal (Pb) dalam spesmen darah (μg/dL)

< 40 40 - 80 80 - 120 > 120 Jumlah Jumlah jam kerja

dalam sehari (Jam) n % n % n % n % n %

< 8 > 8

2 6

4 13

19 15

38 32,6

20 20

40 43,5

9 5

18 10,9

50 46

52,1 47,9

8 34 40 14 96 100

Tabel 5. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin berdasarkan kebiasaan merokok di kota Pematang Siantar.

Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah (μg/dL) < 40 40 - 80 80 - 120 > 120 Jumlah Kebiasaan merokok

n % n % n % n % n % Ya

Kadang-kadang Tidak

2 6 0

3,4 16,7

0

19 15 0

32,8 41,7

0

28 12 0

48,3 33,3

0

9 3 2

15,5 8,3

0

58 36 2

60,4 37,5 2,1

8 34 40 14 96 100

Page 24: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

230 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Hubungan kebiasaan memakai alat pelindung diri dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin

Pada tabel 6 terlihat bahwa hanya 11 responden (11,4%) yang memakai alat pelindung diri dan 85 responden (88,6%) tidak memakai alat pelindung diri. Namun responden yang memakai alat pelindung diri juga ditemui kadar timbal (Pb) dalam spesimen darahnya masuk kategori berlebih. Selain itu kadar timbal (Pb) dalam kategori normal ditemui pada responden yang tidak memakai alat pelindung diri. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian alat pelindung diri tidak menjamin kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah. Berdasarkan hasil penelitian ini kadar timbal dalam darah tidak hanya dipengaruhi oleh penggunaaan APD namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti jarak rumah dengan jalan protokol, lamanya bekerja dan kebiasaan merokok. Yang dimaksud sebagai alat pelindung diri dalam penelitian ini adalah berupa masker untuk mencegah masuknya bahan pencemar timbal (Pb) melalui hidung. Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam timbal (Pb) dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya timbal (Pb) dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu: melalui makanan dan minuman, udara dan perembesan, atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit. 7,10

KESIMPULAN DAN SARAN Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin, 8 orang (8,3%) kategori normal, 34 orang (35,4%) kategori ditoleransi, 40 orang (41,7%) kategori berlebih dan 14 orang (14,6%) kategori bahaya, Tingginya kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin di kota Pematang Siantar berdasarkan hasil penelitian ada hubungannya

dengan jarak rumah dengan jalan protokol, lamanya bekerja sebagai tukang becak mesin dan kebiasaan merokok. Sedangkan umur, jumlah jam kerja dalam sehari dan kebiasaan memakai alat pelindung diri berupa masker tidak berhubungan dengan kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin. Berdasarkan data yang diperoleh ternyata 80 orang responden (83,3%) menyatakan tidak pernah memperoleh informasi tentang dampak pencemaran udara terhadap kesehatan. Rendahnya tukang becak mesin yang pernah memperoleh penyuluhan mengharuskan instansi kesehatan dan instansi terkait perlu meningkatkan intensitas penyuluhan bagi para tukang becak mesin sehingga diharapkan resiko terkena dampak pencemaran timbal (Pb) dapat diminimalisir. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan kadar timbal (Pb) dalam darah kelompok masyarakat resiko tinggi seperti tukang becak mesin secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA 1. Achmad, Rukaesih. Kimia Lingkungan.

Penerbit Andi. Yogyakarta. 2004, hal 156-158

2. Hidayat, Haryadi. Bensin Tanpa Timbal Memicu Kanker. www.otomotif. online.com. 13 Mei 2002

3. Nukman, A. Dampak Kesehatan Lingkungan Akibat Pencemaran Timbal. Subdit Pengendalian Dampak Pencemaran Udara dan Kebisingan. Ditjen PPM-PL. Depkes RI. Jakarta. 2000

4. Departemen Kesehatan RI. Kerangka Acuan Uji Petik Kadar Timbal (Pb) Pada Spesimen Darah Terhadap Kelompok Masyarakat Beresiko Tinggi Pencemaran Timbal, Ditjen PPM & PL Depkes RI, Jakarta.2001

Tabel 6. Distribusi kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah tukang becak mesin berdasarkan kebiasaan memakai alat pelindung diri di Kota Pematang Siantar

Kadar timbal (Pb) dalam spesimen darah (μg/dL)

< 40 40 - 80 80 - 120 > 120 Jumlah

Alat pelindung diri

n % n % n % n % n %

Ya Tidak

2 6

18 7,0

4 30

36 35,3

5 35

46 41,2

0 14

0 16,5

11 85

11,4 88,6

8 34 40 14 96 100

Page 25: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, dkk Kadar Timbal (Pb) dalam Spesimen Darah …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 231

5. Sunu, Pramudya. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta. 2001. Hal 180-183

6. Soemirat, Juli. Toksikologi Lingkungan Gadjah mada University Press. 2003 hal 189-194

7. Palar, Heryando. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. 1997. hal 74-90

8. Atrisma.Pengukuran Dampak Pencemaran Udara, Ditjen PPM & PL, Depkes RI, Jakarta Balai Teknik Kesehatan

Lingkungan (BTKL) Laporan Hasil Pemeriksaan Kadar Timbal (Pb) pada Spesimen Darah di kota Tarutung dan Tebing Tinggi, BTKL, Medan.2002

9. Suci E. Pemeriksaan Kadar Pb dalam Spesimen Darah Polisi Lalu Lintas dalam Rangka Pengusulan Kebijakan Kesehatan di Poltabes Medan Tahun 2003, Tesis, IKM, Program Pascasarjana, USU, Medan. 2003

10. Duffus, J H. Environmental Toxicology. Edward Arnold Ltd. London. 1980: 236

Page 26: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

232 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional (Perumnas) Mandala, Kecamatan

Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

Indra Chahaya S, Nurmaini

Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor–faktor kesehatan lingkungan perumahan yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Perumnas Mandala. Penelitian ini bersifat survei analitik dengan rancangan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 94 balita pada 94 rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 64,9 persen balita menderita ISPA. Kelembaban ruangan, suhu ruangan, ventilasi ruangan, pemakaian obat nyamuk bakar, bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan kepadatan penghuni rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Kata kunci: kesehatan lingkungan perumahan, kejadian ISPA Abstract: The objective of this research is to find out the environmental health housing factors that influencing the numbers of upper respiratory tract infection incidence in children under 5 years old in Perumnas Mandala. This research was an analytic survey with cross sectional design. The sample of this research was 94 children under 5 years old and 94 houses. Result of this study showed that upper respiratory tract infection incidence in children under 5 years old was 64,9persen. Humanity, temperature, room ventilation, usage of mosquito burn, usage fuel to cook and over crowd of the room had the significant influence to the upper respiratory tract infection incidence of the children under 5 years. Key words: environmental health housing, upper respiratory tract infection incidence PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau ISPA masih merupakan masalah di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih 29,5 persen artinya dari 100 bayi yang meninggal 30 diantaranya meninggal karena ISPA. Data dari Profil Kesehatan tahun 2003 di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan bahwa kasus ISPA pada balita mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2001 sebesar 120,5/1000 orang naik menjadi 161,89/1000 orang pada tahun 2002. Penyakit lain pada saluran pernafasan atas juga meningkat yaitu dari 32,7/1000 orang naik menjadi 40,08/1000 orang.1

Menurut Laporan Bulanan Puskesmas Kelurahan Kenangan Lama penyakit ISPA dan penyakit lain pada saluran pernafasan bagian atas menduduki peringkat pertama pada 10

(sepuluh) penyakit terbesar dengan rincian pada bulan Januari 2004 kasus ISPA sebanyak 550 kasus, pada bulan Februari kasus ISPA sebanyak 740 kasus, dan pada bulan Maret penyakit ISPA sebanyak 700 kasus.2

ISPA merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebab penyakit ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan dan luar ruangan. Sumber pencemaran di dalam ruangan adalah pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan asap rokok, sedangkan pencemaran di luar ruangan antara lain pembakaran, transportasi dan pabrik-pabrik.3 Selain itu penyakit ISPA sering terdapat di pemukiman kumuh dan padat, yang kondisi lingkungannya tidak memenuhi syarat kesehatan.4,5

Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya

Page 27: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, Nurmaini Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 233

gangguan pada saluran pernafasan. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kualitas udara di dalam rumah antara lain disebabkan oleh penataan ruang yang tidak baik, tingginya kepadatan hunian dan berbagai sumber polutan udara, baik yang berasal dari dalam rumah maupun dari luar rumah. Selaras dengan hal-hal tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor kesehatan lingkungan perumahan yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Perumnas Mandala.

BAHAN DAN CARA Penelitian ini bersifat survey analitik

dengan rancangan cross sectional yang dilaksanakan di Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang pada bulan September – Desember 2004. Populasi adalah balita yaitu sebanyak 4107 orang. Menyadari berbagai keterbatasan yang dimiliki maka digunakan sampel dengan rumus minimal sampel (Anonimous, 1984), yaitu:

Dari rumus di atas, maka jumlah sampel adalah 94 balita yang didampingi oleh ibunya/keluarga pada 94 rumah, apabila dalam satu rumah terdapat lebih dari satu orang balita maka yang diambil adalah balita yang termuda. Adapun cara pengambilan sampel dilakukan dengan sistematik random sampling.

Data diambil dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, observasi dan pengukuran, yang selanjutnya dibandingkan dengan Permenkes No. 829 / Menkes / SK / II / 1999.

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini berupa variabel terikat yaitu kejadian ISPA pada balita. Cara Pengukurannya berdasarkan keterangan dari ibu bukan berdasarkan

keterangan dari tenaga kesehatan (hanya berupa anamnese) dan melakukan observasi terhadap balita. Variabel bebas yaitu faktor kesehatan lingkungan perumahan yang meliputi: kelembaban ruangan diukur dengan higrometer; suhu ruangan diukur dengan thermometer; ventilasi rumah dan ventilasi kamar tidur balita diukur dengan membandingkan antara luas lantai dengan luas ventilasi; data pemakaian obat nyamuk bakar, pemakaian bahan bakar untuk memasak dan kondisi dapur dilakukan dengan cara observasi dan wawancara; kepadatan penghuni diukur dengan membandingkan luas lantai dengan jumlah penghuni dalam satu rumah.. Selanjutnya data dianalisa dengan menggunakan uji statistik regresi logistik.

HASIL DAN DISKUSI Angka Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian (tabel 1) diperoleh data bahwa balita yang mengalami ISPA dalam 2 minggu terakhir sebanyak 61 balita (64,9 persen) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 33 balita (35,1 persen). Menurut Amin (1989)6 terjadinya ISPA diantaranya dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu kuman penyebab penyakit, daya tahan tubuh yang menurun dan kondisi kesehatan lingkungan perumahan yang tidak memenuhi syarat seperti kelembaban ruangan, suhu ruangan, ventilasi rumah, ventilasi kamar tidur balita, pemakaian obat nyamuk bakar, pemakaian bahan bakar untuk memasak, keberadaan perokok, kondisi dapur dan kepadatan penghuni.

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh anak-anak. Salah satu penyebabnya adalah pencemaran udara dalam ruangan.3 Selain itu penyakit ISPA sering terdapat di pemukiman kumuh dan padat yang kondisi lingkungannya tidak memenuhi syarat kesehatan.4

Tabel 1. Distribusi Kejadian ISPA Pada Balita Di Perumnas Mandala Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2004

Kejadian ISPA Jumlah (orang) Prosentase ( persen )

Kejadian ISPA 61 64,9

Tidak mengalami ISPA (sehat) 33 35,1

Jumlah 94 100

apZNdqpNZn

..)1(...

22

2

+−=

Page 28: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

234 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Kondisi Kesehatan Lingkungan Perumahan Pada tabel 2 terlihat bahwa secara umum kondisi kesehatan lingkungan perumahan yang ditempati balita pada penelitian ini tidak memenuhi syarat kesehatan. Jumlah rumah yang kondisi kelembaban ruangannya memenuhi syarat (40-70 persen) hanya 22 rumah (23,4 persen), suhu ruangan yang memenuhi syarat kesehatan (18-30 0C) 37 rumah (39,4 persen), ventilasi rumah dan kamar tidur yang memenuhi syarat (10 persen dari luas lantai ) 15 rumah (16 persen) dan 17 rumah (18,1 persen). Selanjutnya rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar 18 rumah (19,1 persen), yang menggunakan bahan bakar yang memenuhi syarat kesehatan (gas/elpiji) 29 rumah (39,9 persen), rumah yang penghuninya tidak ada merokok dalam ruangan hanya 20 rumah (21,3 persen), kondisi dapur yang mempunyai ruangan khusus untuk memasak dan dilengkapi dengan cerobong asap hanya 16 rumah (17 persen) dan 19 rumah (20,2 persen) yang kepadatan

penghuninya memenuhi syarat kesehatan (>4 m2/penghuni). Rumah sehat dapat diartikan sebagai tempat berlindung, bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menimbulkan kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani maupun sosial. Dengan adanya berbagai fungsi dan peranan dari rumah, maka sudah selayaknya setiap individu mendapatkan rumah yang sehat dan layak.4 Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menyebabkan tingkat kepadatan mikroorganisme menjadi tinggi dan infeksi silang meningkat. ISPA sering terdapat di lingkungan pemukiman kumuh dengan penduduk yang padat dan miskin. Dimana dalam pemukiman kumuh biasanya sejumlah anggota keluarga menempati satu rumah kecil dengan ventilasi dan pencahayaan yang tidak memadai serta tidak adanya kamar tidur dan dapur yang terpisah dari ruangan lainnya, sehingga ruangan menjadi lembab.5

Tabel 2. Distribusi Faktor-Faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan di Perumnas Mandala Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2004

Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat Kesehatan Lingkungan Perumahan

n % n %

Kelembaban ruangan 22 23,4 72 76,6

Suhu ruangan 37 39,4 57 60,6

Ventilasi rumah 15 16,0 79 84,0

Ventilasi kamar tidur 17 18,1 77 81,9

Pemakaian obat nyamuk bakar 18 19,1 76 80,9

Bahan bakar untuk memasak 29 30,9 65 69,1

Keberadaan perokok 20 21,3 74 78,7

Kondisi dapur 16 17,0 78 83,0

Kepadatan penghuni 19 20,2 75 79,8

Page 29: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Indra Chahaya S, Nurmaini Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 235

Analisa Uji Statistik Regresi Logistik Pada penelitian ini semua variabel yang diteliti dilakukan uji statistik, dimana diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan (p>0,05) antara variabel ventilasi kamar tidur, keberadaan perokok dan kondisi dapur dengan kejadian ISPA. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian ISPA dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Distribusi Nilai Uji Statistik Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2004

No Variabel Beta (β) Sig. (P) OR/Exp (B)

1 Kelembaban ruangan

3,336 0,000 28,097

2 Suhu ruangan 1,496 0,035 4,463

3 Ventilasi rumah 2,312 0,006 10,094

4 Pemakaian obat nyamuk bakar

2,948 0,001 19,070

5 Bahan bakar yang digunakan

2,322 0,005 10,194

6 Kepadatan penghuni

2,205 0,012 9,068

Constanta -19,469 0,000 0,000

Berdasarkan hasil uji regresi logistik diperoleh nilai R square sebesar 0,494. Hal ini menunjukkan variabel bebas yaitu kelembaban ruangan, suhu ruangan, ventilasi ruangan, pemakaian obat nyamuk bakar, bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan kepadatan penghuni rumah secara bersama-sama dapat menjelaskan 49,4 persen variabel terikat yaitu kejadian ISPA pada balita. Hal ini berarti ada variabel lain sebesar 50,6 persen yang tidak diteliti juga berpengaruh terhadap kejadian ISPA. Berdasarkan data pada tabel 3, kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097 yang berarti faktor kelembaban mempunyai 28 kali beresiko terhadap terjadinya ISPA.. Dengan demikian kelembaban udara dalam penelitian ini merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita yang kemudian diikuti dengan faktor pemakaian obat nyamuk bakar, bahan bakar untuk

memasak, ventilasi rumah, kepadatan penghuni dan suhu ruangan. Kelembaban udara dalam rumah berkaitan erat dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya terutama gangguan pernafasan. Makin rendah kelembaban suatu ruangan, makin rendah jumlah koloni mikroorganisme karena banyak mikroorganisme yang tidak tahan dehidrasi. Sebaliknya bila kelembaban ruangan makin tinggi, merupakan sarana perkembangbiakan yang baik untuk bakteri sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit ISPA.5

Selain itu suhu berhubungan erat dengan kelembaban dalam rumah. Untuk mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10 persen dari luas lantai. Suhu yang segar dan nyaman adalah antara 180 - 30 0 C.7

Ventilasi sangat menentukan kualitas udara dalam rumah karena dengan ventilasi yang cukup akan memungkinkan lancarnya sirkulasi udara dalam rumah dan masuknya sinar matahari yang dapat membunuh bakteri. Menurut Lubis (1985)8 ventilasi yang cukup berguna untuk menghindarkan dari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan manusia. Dengan ventilasi yang baik akan terjadi gerakan angin dan pertukaran udara bersih yang lancar (cross ventilation). Ventilasi berguna untuk penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara dari ruang tertutup. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dan udara segar di dalam rumah, menyebabkan naiknya kelembaban udara, selain itu dapat menyebabkan terakumulasinya polutan bahan pencemar di dalam rumah khususnya kamar tidur sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit terutama gangguan pernafasan. Menurut Slamet (2002)7 ruangan dengan ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena uap pernafasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin (2002) yang menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA.6

Page 30: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

236 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Penggunaan obat nyamuk bakar sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena menghasilkan asap dan bau yang tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mem-permudah timbulnya gangguan pernapasan.9 Gangguan pernapasan pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah lebih tinggi dari rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Hal ini dimungkinkan karena ibu balita pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang terjadi dalam rumah juga tergantung pada lamanya orang berada di dapur atau ruang lainnya yang telah terpapar oleh bahan pencemar. Kebanyakan ibu dan anak-anak potensial mempunyai resiko lebih tinggi menderita gangguan pernapasan karena lebih sering berada di dapur.5,9

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehingga oksigen berkurang dan CO2 meningkat dalam ruangan tersebut. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami pencemaran. Hal ini sesuai dengan penelitian Achmadi (1990) bahwa rumah yang padat seringkali menimbulkan gangguan pernafasan terutama pada anak-anak dan pengaruh lain pada anak-anak adalah menekan tumbuh kembang mentalnya.5

Menurut Soekidjo (1995) luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni ini tidaklah sehat karena dapat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit infeksi. David Morley (1973) menekankan bahwa yang bertanggung jawab terhadap terjadingan ISPA adalah kepadatan penghuni didalam ruangan.6

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa balita yang mengalami ISPA dalam 2 minggu terakhir sebanyak 61 balita (64,9 persen) dan sebahagian besar rumah yang ditempati oleh balita dalam penelitian ini tidak memenuhi syarat kesehatan. Selanjutnya berdasarkan analisa statistik ternyata kelembaban ruangan, suhu ruangan, ventilasi ruangan, pemakaian obat nyamuk bakar, bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan kepadatan penghuni rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita.

DAFTAR PUSTAKA 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang.

Profil Kesehatan Kabupaten Deli Serdang. Lubuk Pakam. 2003

2. Anonimous. Laporan Bulanan Puskesmas Kenangan Lama. 2004

3. Kusnoputranto, H. Kesehatan Lingkungan. FKM-UI. Jakarta. 2000:47-62

4. Departemen Kesehatan RI. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta. 1994

5. Achmadi, U.F. Faktor-Faktor Penyebab ISPA Dalam Lingkungan Rumah tangga di Jakarta. Lembaga Penelitian UI. Jakarta. 1990

6. Umbul, C.W. Faktor Lingkungan dan Karakteristik Santri Terhadap Kejadian ISPA di Pondok Pesantren. Info Kesehatan 2004; VII (2); 97-102.

7. Slamet.J.S. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.2002:142-164

8. Lubis, P. Perumahan Sehat. Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat. Depkes RI. Jakarta. 1986

9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Dirjen. PPM dan PLP. Jakarta. 1995

Page 31: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 237

The Impact of Counsellor and Client Values in The Counselling Process

Namora Lumongga Lubis dan Zulkarnain

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran USU

Abstract: The aim of the study is to investigate the impact of counselors’ and clients’ values in the counselling process. The methodology of study will be qualitative using interviews focusing on the experience of counsellor and clients. Thematic analysis on the interview identified some themes : irrational beliefs and thought as the cause of depression, disputing of irrational beliefs and thought, cognitive restructucting using religion, perception of having counsellor with different values. Analyzing the content of interviews to identify that process whereby cultural value has influenced the experience and thus outcomes. The study used semi-structured interviews on three participants with different experience of counselling. The result found that all the participants believed that the personal values of both client and counsellor had an impact on the counselling process. It's also found that counsellors need to be aware of cultural diversity of their client base, and the different values, which different cultures may hold, in order to make the correct distinction between rational and irrational beliefs and thoughts for the cognitive behavior therapy process. A recommendation is that counsellors must ensure that values used in the counseling process, particulary in cognitive behavior therapy, are based on the clients’ cultural values. Key words: Counselling, Cultural Values, and Depression Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki dampak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor dan klien dalam proses konseling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan wawancara yang difokuskan pada pengalaman konselor dan klien dalam proses konseling. Analisa dari isi wawancara digunakan untuk mengidentifikasikan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi proses pengalaman konseling. Studi ini menggunakan wawancara semi-struktur pada tiga orang subjek yang memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses konseling. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa semua subjek meyakini bahwa nilai-nilai pribadi yang dimiliki oleh konselor maupun klien memliki dampak dalam proses konseling. Selain itu, ditemukan juga bahwa konselor perlu menyadari akan keanekaragaman budaya dasar dari klien mereka, dan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka membuat suatu perbedaan antara pemikiran yang tidak logis dan pemikiran yang masuk akal dalam proses terapi kognitif. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah konselor harus memastikan bahwa nilai-nilai yang digunakan dalam proses konseling khususnya dalam terapi perilaku kognitif harus didasarkan pada nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh klien. Kata kunci: Konseling, Nilai-nilai Budaya, dan Depresi INTRODUCTION In accordance to the severe earthquakes, on 26 December 2004 at the center point of Sumatra Island, Indonesia, many people were assassinated and some are still undiscoverable by the disaster, which is known Tsunami. The massively destructive tsunami that struck caused extensive loss of life and injury as well as devastation to property and community

resources. This was the greatest loss within the century for many people. However, the incident caused Tsunami affected individuals more than depression that we can imagine. The experience and feeling of loss is still traumatic and not easily forgettable for them. After Tsunami left our land silently, the number of supportive divisions tended to decrease as everybody lost their confidence

Page 32: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

238 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

about their future. It is pertained to the view that Tsunami victims, especially children appeared to have depression, anxiety, and some desired to commit suicide. World Health Organization (WHO) stated that this issue is very important as it is likely to affect children’s future. Thus, it is necessary to rehabilitate mental state of Tsunami victims promptly. As the whole world appreciates, the tsunami engendered desperate efforts to survive and protect family and friends. Survival was not always accompanied by relief from suffering, however, as so many in the affected areas witnessed the deaths of others. Trauma refers to the experience of life-threat to oneself and/or others and the accompanying feelings of terror, horror, and helplessness. Separate from trauma is the personal experience of loss. The tsunami caused enormous numbers of people to experience both trauma and loss. When this happens, recovery is much more difficult. The long-term recovery of children, families and communities will entail, among other things, culturally sensitive attention to the psychological responses of survivors. Some people will be more affected by a traumatic event for a longer period of time than others, depending on the nature of the event and the nature of the individual who experienced the event. The combination of life-threatening personal experiences, loss of loved ones and property, pervasive post-disaster adversities, and enormous economic impact on families and entire nations pose an extreme psychological challenge to the recovery of children and families in the affected areas. It is important to help survivors recognize the normalcy of most stress reactions to disaster. Mild to moderate stress reactions in the emergency and early post-impact phases of disaster are highly prevalent because survivors (and their families, community members and rescue workers) accurately recognize the grave danger in disaster. Although stress reactions may seem 'extreme', and cause distress, they generally do not become chronic problems. Most people recover fully from even moderate stress reactions within 6 to 16 months¹.

The natural disasters in developing countries often produce severe effects on the public's mental health. In fact, the modal sample-level outcome after natural disasters in developing countries was severe, whereas the modal outcome after natural disasters in developed countries was moderate. This general finding from the research base may reflect the fact that disasters tend to be more destructive when they occur in the developing world. Many of the samples from developing countries survived disasters where death tolls were measured in thousands or even tens of thousands. The difference may also attest to the ability of government services and other resources to make a difference in the lives of disaster victims. Moreover, the victims of the 2004 tsunami are likely to have experienced multiple intense stressors that have been found to predict adverse outcomes, such as bereavement, threat to life, extensive property damage, financial loss, and displacement. Studies show that while there is no singular pattern of psychological consequences to disasters, typically the very early responses following disaster impact will be similar for both natural and human-made disasters. However, the persistence of responses may differentiate the two. The effects of natural disasters seem no longer detectable in comparison to control populations after about two years, whereas several studies have shown that the effects of human-made events may be much more prolonged¹. The degree of death, destruction, horror, inescapability, shock, loss and dislocation will still be influencing factors in determining pathological outcomes for both types of disasters, but these may be more marked in many human-made disasters. Furthermore, the element of human contribution to the disaster, particularly human malevolence, is likely to add to the complexities and difficulties of psychological adjustment, thus leading to more adverse mental health effects¹. Trauma effect from earthquake following waving tsunami in Aceh, it is so awful. But it does not mean there is no opportunity to reach result, which we expect in psychological rehabilitation. This matter in fact related to availability of social support and also

Page 33: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Namora Lumongga Lubis, Zulkarnain The Impact of Counsellor ….

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 239

professional management likes medication, psychological counseling and psychotherapy to all tsunami victims. One reason why counselling and psychotherapy have become so well established is because people are often this confused and wants to know the “right” way to live². This opinion has been supported by Strupp, who argues that many people go to their consellor for the purpose of finding meaning in their lives, for actualizing themselves, or for maximizing their potential³. However, there the situation becomes complicated because different religious place very different base values on the meaning of on earth, which can have a major impact on the concept of self-actualization. Cultural value issues in cognitive behaviour therapy are so important. The basic principle of cognitive behaviour therapy is teaching clients to believe that their irrational beliefs are the cause of their emotional disturbance and behaviour, and ultimately how to dispute these beliefs and thoughts4. In this case, Brammer, Abrego, and Shostrom argue that beliefs and thoughts are closely related to values5. Depression, meanwhile, has been found by many researchers to be caused mainly by irrational beliefs and thoughts6. This is apparently supported by Zain and Varma, who state that, religious psychotherapy and cognitive behaviour therapy seems to have better results in the depressed patients and anxious patient’s respectively7. Depression it self is closely related to values. According to Zain and Varma people who do not behave according to their values and religious beliefs may become weak, and are likely to suffer from mental illnesses such as depression, anxiety, and low self-esteem7. This has been supported by Propst, who claimed that people who suffer from depression are usually those who do not have strong faith in God8. Since values have such an important role in cognitive behaviour therapy, particularly with regard to depression, it is necessary to investigate the impact of values on cognitive behaviour therapy. It is important to make an open agreement between client and therapist regarding the relevance of values and religious

issues in the counselling process since there is a high possibility that the counsellor’s values influence those of the client9. This apparently agrees with Mcleod’s claim that it is possible that the client becomes converted in to the counsellor’s set of values1. For this reason a problem may arise when the counsellor has different values and cultural beliefs from those of the clients, since the forces of persuasion are most obvious in cognitive-behaviour therapy10. In this regard, Bergin argues that counsellors cannot deny fact their own experiences and value systems have an effect on their therapeutic relationships, and that they have an influence on client’s decision making and behaviour3. Despite the inevitable influence of counsellors’ values on their therapeutic relationships, it is important to remember that as professional counsellors, they should not impose their values on the client. This opinion has been supported by Propst who obviously demanded that counsellors should determine which of the client’s thought and beliefs are rational or irrational, judged according to the values adhered to by the clients, because he found it to be more effective8. In this case, clients should be challenged to honestly evaluate their values before deciding for themselves in what they will modify these values and their behaviour9. Furthermore, in order to be able to relate clients who different values and cultures from their own, professional counsellors need to develop sensitivity to value differences, a very important issue in the counselling process11. This opinion has been supported by Bell, who argues that it is significant for a counsellor to be aware of client’s values and to look at how psychological problems are treated within other cultures12. In this regard, Propost argues that counsellors’ sensitivity to clients’ values can be decisive to the success of the therapy, since the counsellors’ competence in communicating within the clients’ value framework influences the outcome for the clients8.

Regarding this mutual influence, McLeod states that the meeting between counsellors and their clients does not merely involve two individuals, but also two social worlds engaging with each other1. It therefore requires those two sets of expectations,

Page 34: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

240 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

assumptions, values, norms, manners and ways to do. As stated by Sue and Sue, in practice, counsellors often fail to understand their clients’ values of cultures, possibly having a negative impact on counselling outcomes13. In describing the potential conflicts over values between counsellors and their clients, Bergin has stated that it is possible that a counsellor’s own values and certain values of the clients3. Conflict of values frequently arises because of the inevitable difference in value standards between two people from different backgrounds, religious or cultures. A certain value that is considered normal and highly valuable in one culture may be considered as very irrational in the other. In Islam, for example, it is an ultimate goal for every Muslim to become a noble person in the eyes of God. Therefore, the followers of this belief should not attach too much value to the material world. This is in marked contrast to atheism, whose followers may attach a higher value to material things due to their disbelief in God. Another solution for conflicts between counsellor and clients is to ensure that both the counsellor and to clients should come from the same background and culture and adhere to the same values 7,8. In such case, Zain and Varma’s study on cognitive therapy with the influence of Islamic teachings. As indicated by their experience, remarkable results have been obtained from psychotherapy that takes account of socio–cultural, especially religious, issues. They reported that more religious patients responded faster to religious – oriented psychotherapy. In practicing remedies in psychotherapy with their patients, they operated a cognitive approach of religious healing rather than dynamic approach. As they further reported, the results of their study indicate that in Kelantan, a state known as having the highest population of religious people in Malaysia, the patients tend to improve faster that in other parts of the country from the religious cognitive behavioral techniques7. The counsellor can explain the irrational belief based on Islam, for example by saying “god loves anybody regardless who he or she is”. On the other hand, if the therapist does

not belong to the same religious group as the clients, it will be harder for the therapist to challenge and influence the clients because they do not share the same values14. In Islam, cognitive restructuring can be seen as a manifestation of the essential belief in divine preordainment (Qadar), which means that when people experience any kind of misfortune, they should believe that it occurs by the order and decree of God and they should therefore remain patient, seeking reward and guidance from God, and believe that God will compensate them for their material loss15. A true Muslim is therefore no upset by any hardship, fatigue, illness, or grief because of the hope of compensation from God. Some relevant cognitive restructuring techniques that are helpful within a religious context in the Islamic example include reciting the Holy Qur’an and performing both compulsory and optional prayers. METHODOLOGY In order to investigate the impact of counsellors’ and clients’ value in the counselling process, qualitative research may be considered a more appropriate method. A further advantage of qualitative is that a researcher can explore the meanings that a participant attaches to an area the study. This particular study incorporates a qualitative methodology to examine the impact of counsellors’ and clients’ values in the counselling process, in order to produce data, which is more in-depth and richer in quality16. DISCUSSION Most of the data obtained from the interviews is in agreement with the findings of previous research, which was mostly based on traditional experimental methods, survey designs and structured questions. A consistent feature of the responses from the participants was the fact that they included patterns of thought which had no rational basis and were ultimately self-defeating, for example misery, self-pity and loss of all hope. Although the participants are, after therapy, able to recognize and acknowledge the irrationality of the patterns of thought which brought about their depression, at the time they did not consider their thinking to be irrational or

Page 35: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Namora Lumongga Lubis, Zulkarnain The Impact of Counsellor ….

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 241

self-defeating. Participants one and two claimed not only that they did not consider their thinking irrational, they in fact considered it to be entirely rational, and it was only via the intervention of the counsellor that any sort of discrimination between rational and irrational thoughts was made. At this point, the risk of conscious or unconscious imposition of the counsellor’s beliefs becomes apparent, especially in cognitive behaviour therapy when the explicit objective of the therapy is to alter the client’s beliefs and value systems 17. What is rational or irrational can depend on a number of additional factors, particularly religious and cultural values, a fact which has been stressed by all participants in the current study. While disputing irrational beliefs is a vital part of the cognitive therapy process, it is essential that the counsellor and the client have a similar basis for defining what is rational and irrational, a factor which causes concern for all the participants in the current study. In order to have this similar basis, the counsellor needs to take into account the cultural values and norms of the client in relation to the problem being dealt with, and not impose their own values as being definitively rational9. Counsellors should consider the fact what they consider an irrationality could be an extremely significant value to the client religiously or culturally, and possibly use this value creatively as an aid to the cognitive therapy process8. The use of religious values by a counsellor to help dispute irrational patterns of thought was reported by participants one and two. They claim that this factor made the counselling more effective and helped to convince them about what the counsellor was trying to do. This is supported by Propst, who states those religious ideas and themes can actually become cognitive restructuring techniques8. This is supported by Wulff who states that psychologist must consider religion if they are to be of any help to mankind18, but despite this, Beutler et. al, describe the fact that religious values have only recently been an issue in counselling10. Regarding using religion in therapy, Propst’s successful study of cognitive behaviour therapy with religious imagery shows the possibility of adapting traditional psychotherapy to religious needs. religious cognitive behaviour therapy and a discussion of religious issues used as a control had a more positive effect on dependent

measures than non-religious cognitive behaviour therapy8. This is confirmed by the finding of Propst, Ostrom, Watkins, Dean and Mashburn who found that religious clients receiving religious cognitive therapy reported a greater reduction in depression19. Bergin et al, compared the success rates of cognitive behaviour therapy with and without religious values. They found that the religious therapy resulted in better adjustment compared to the standard cognitive behaviour therapy control group, and that non-religious counsellors were having more success with the religious content. this is in contrast to the finding of the current study, in which all the participants, rather surprisingly, insisted upon having a counsellor who is not only religious, but of the same religious as the participant20. All research, including the current study, has found cognitive restructuring using religion to be extremely effective. It is clear that therapists should not only understand a client’s religious views, but also be prepared to use them as part of the cognitive restructuring process, and not make the mistake of trying to impose unwelcome ideas on the client, or mistakenly trying to assume neutrality. All three participants firmly believe that the counselling process is greatly affected, by the cultural and religious values, social background and past experiences of both counsellor and client. While it is clearly inevitable that counsellors will have a value influence on their clients, the extent to which this influence is relevant to the cognitive behaviour therapy process is critical. How far values can be relevantly changed has become particularly significant with cognitive therapies whose aim is to alter the beliefs and values of clients17. However, Bergin also states the importance of the counsellors’ honesty with regards to their values, explicitly stating what they feel about fundamental issues in which difference of opinion would not be in the client’s best interests3. From the above discussion, it is clearly unlikely that a client has a counsellor whose views are identical to their own, therefore the counsellor should ensure that the cognitive behaviour therapy process is collaborative, and only allow as much value convergence as is essential to the well-being of the client. In

Page 36: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

242 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

order to adequately preserve a client’s valued religious or cultural views, and as value convergence cannot be avoided, it is arguably safer for a client to use a counsellor who ha the same religion or cultural background. All participants believe that a counsellor should adhere to the client’s own cultural values when attempting to dispute irrational beliefs and thoughts as this helps the client to be convinced by the counsellor, and helps the counsellor earn the client’s trust. The process of convincing the client relies mainly upon forces of persuasion, which can be seen in all mental health treatment, but most directly in psychotherapy, and specifically in cognitive therapy10. While acquiring a client’s trust can sometimes be a difficult process, it is important to appreciate that, being realistic, a client cannot always get the counsellor with the values they want. When a client-counsellor relationship is mismatched in this way, Beutler et al, describe the best method of value persuasion as one which takes place within a collaborative, caring, supportive and respectful relationship, based as far as possible on the client’s values10. If consideration is given to a client’s cultural values, it is important that the counsellor is able to communicate adequately within the client’s value system. In order to achieve this, the counsellor needs and Bergin et al to learn about the client’s cultures20. According to Bergin et. al, it is important that this is done with sensitivity and in a manner acceptable to the client involved20. As stated by Hays, the extent to which counsellors can acknowledge alternative styles, views and behaviours depends on the flexibility of the counsellor’s viewpoint regarding lifestyles21. Regarding this, participant two strongly expressed her belief that counsellor’s appreciation of religion is likely to be too impersonal-a knowledge of rituals and history, but not of experience of what it feels like to be, in the participant’s case, Muslim. It is apparent from the previous research and the present study that counselling which takes client’s values into consideration is more successful in the process, outcome and assessment of therapy, and also leads to a better client-counsellor relationship11.

Conclusion

1. Effect of cultural values on the counselling process is inevitable, particularly in cognitive behaviour therapy, and a very major factor with regard to the effectiveness of counselling. Counsellors with values differing greatly from the client are less effective, and are less likely to earn the client’s respect and trust.

2. When applying cognitive therapy to clients from diverse cultures, It has found that it is important for counsellors to not impose their values on the client, or attempt to indoctrinate the client with their own ideas. Instead, counsellors should base ideas of rational and irrational thoughts on the client’s own values. If there is a great deal of discrepancy between the values of counsellor and client the counsellor should explicitly state this difference so the client can have an informed choice.

3. Counsellors should experience value sensitization as part of their training in order to help them recognize their own values and prejudices, and understand the values of clients. Not being aware of their own values and prejudices can have a negative therapy needs to increase as more clients from the minority cultures require counselling.

4. Regarding to handling the psychological problems for tsunami victim in Aceh, it is better to be conducted by using cultural and religion approach. It is reasonable because majority of Aceh resident is Moslem.

REFERENCE

1. NSW Institute of Psychiatry and Centre for Mental Health. (2000). Disaster Mental Health Response Handbook. North Sydney: NSW Health.

2. McLeod, J (1998). An introduction to Counselling (2nd ed.). Buckingham : OUP.

3. Bergin, A.E (1980). Psychotherapy and Religious Values. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 48, (1), 95-105.

4. Hoffman, N (1984). Cognitive Therapy : Introduction to the Subject in Hoffman, N

Page 37: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Namora Lumongga Lubis, Zulkarnain The Impact of Counsellor ….

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 243

(ed) Foundations of Cognitive Therapy: Theoretical Methods and Practical Applications. New York : Plenum Press.

5. Brammer, M.L., Abrego, P.J., & Shostrom,

E.L (1993). Therapeutic Counselling and Psychotherapy. New Jersey : Prentice Hall.

6. Rowe, D (1996). Depression : The Way

Out of Your Prison. London : Routledge. 7. Zain, A.M., and Varma, S., L (1996).

Cognitive Therapy in Malaysia. Journal of Cognitive Psychotherapy, 10, (4), 305-307.

8. Propst, L.R (1996). Cognitive-Behaviour Therapy and the Religious Person in Shafranske, E., P (ed). Religion And The Clinical Practice Of Psychology. Washington: American Psychological Association.

9. Corey, G (1996). Theory and Practice of Counselling and Psychotherapy. Pasific Grove : Brooks/Cole Publishing Company.

10. Beutler, L.E., Clarkin, J., Crago, M., Bergan, J (1991). Client-Therapist Matching in Synder, C.R., and Forsyth., D.R Handbook of Social and clinical Psychology: The Health Perspective. New York

11. Kelly, T.A., and Strupp, H.H (1992). Patient and Therapist Values in Psychotherapy: Perceived Changes, Assimilation, Similarity, and Outcome. Journal of Consulting and Clinical psychology, 60, (1), 34-40.

12. Bell, E (1996). Counselling In Further

And Higher Education. Buckingham : Open University Press.

13. Sue, D.W and Sue, D (1999). Counselling

the Culturally Different: Theory and Practice (3ed). New York : John Wiley and Sons, Inc.

14. Miller, W.R. (1988). Including Clients’ Spiritual Perspective in Cognitive-Behaviour Therapy in Miller, W.R., & Martin, J.E. (eds) Behaviour Therapy and Religion: Integrating Spiritual and Behavioral Approaches to Change. Newbury Park : Sage.

15. Hanbale, al-Haafiz ibn Rajab (1995). The

Evil of Craving for Wealth and Status. Birmingham : Al-Hidaayah Publishing.

16. Bryman, A (1988). Quantity and Quality

in Social Research. London : Routledge. 17. Beck, A.T., Rush, A.G., Shaw, B.F., and

Emery, G (1979). Cognitive Therapy of Depression. New York : Guilford Press.

18. Wulff, D., M (1996) The Psychology of

Religion: An Overview in Shafranske, E., P (ed) Religion And The Clinical Practice Of Psychology. Washington : American Psychological Association.

19. Propst, L.R., Ostrom, R., Wtkins, P.,

Dean, T., & Mashburn, D (1992). Comparative Efficacy of Religious and Nonreligious Cognitive-Behavioral Therapy for the Treatment of Clinical Depression in Religious Individual. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 60, (1), 94-103.

20. Bergin, A.E., Payne, R.I., Richards, P.S

(1996). Values in Psychotherapy in Shafranske, E., P (ed) Religion And The Clinical Practice Of Psychology. Washington : American Psychological Association.

21. Hays, P.A (1995). Multicultural

Applications of Cognitive-Behaviour Therapy. Professional Psychology: Research and Practice, 26, (3), 309-315.

Page 38: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

244 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Kasus-Kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H. Adam Malik dan Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2003 – 2004

Adril Arsyad Hakim

Departemen Bedah FK-USU/SMF Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Penulis melaporkan studi deskriptif kasus-kasus tumor otak yang dirawat di RSUP H. Adam Malik dan RS Haji Medan sejak Desember 2003 sampai dengan Januari 2004. Dikumpulkan 48 kasus yang terdiri dari 35 orang laki-laki (72,92%) dan 13 orang perempuan (27,08%) dengan rentang umur dari 10 tahun sampai dengan di atas 60 tahun (29,17%). Biasanya tumor dijumpai dalam keadaan sudah sangat besar dan lokasi tumor terbanyak di serebellum (20,83%) dengan tipe meningioma (25%). Kata kunci: studi deskriptif, karakteristk tumor otak. Abstract: The author report a descriptive study of all brain’s tumor cases (48 cases) who were treated in RSUP H.Adam Malik and RS.Haji Medan between December 2003 and January 2004. The 48 total cases were 35 males (72.92%) and 13 females ( 27.08%) ranged in age from10 to more than 60 years old (29.17%) Commonly the size of tumors were big and located at cerebellum (20.83%) which had type Meningioma (25%) Key words: descriptive study, characteristic of brain’s tumors.

PENDAHULUAN

Tumor otak adalah lesi ekspansif benigna atau maligna yang membentuk massa di intra cranial atau spinal cord.Tumor otak baik tumor primer ataupun sekunder merupakan salah satu penyakit yang ditakuti masyarakat karena dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. 1,2,3

Tumor otak primer; apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri dan tumor otak sekunder bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti ; kanker paru, payudara, prostate, ginjal dan lain-lain. 4,5,6

Menurut Rubinstein (1972) lokasi tumor otak yang paling sering dijumpai pada orang dewasa adalah di daerah supratentorial (80-85%) sedangkan pada anak-anak di daerah infratentorial (40%). Jenis tumor yang paling sering dijumpai pada anak-anak adalah jenis Medulloblastoma dan Cerebral astrositoma, sedangkan pada dewasa adalah jenis Glioma dan Meningioma. 7,8,9

Berdasarkan jenis sel yang dijumpai, tumor otak dapat diklasifikasi atas 4 (WHO) 2,

10,11,12 :

Grade I ; sel tumor relative normal dengan pertumbuhan lambat

Grade II; pertumbuhan sel tumor lambat dan sedikit abnormal

Grade III; bentuk sel abnormal & invasive ke area sekitarnya menunjukkan keganasan

Grade IV; Bentuk sel abnormal, pertumbuhan cepat dan sangat invasive malignant

Menurut WHO, berdasarkan jenis sel yang dijumpai tumor otak dapat diklasifikasi 4 2, 10,11,12 :

Grade I ; sel tumor relative normal dengan pertumbuhan lambat

Grade II; pertumbuhan sel tumor lambat dan sedikit abnormal

Grade III; bentuk sel abnormal & invasive ke area sekitarnya menunjukkan keganasan

Grade IV; Bentuk sel abnormal, pertumbuhan cepat dan sangat invasive malignant

Page 39: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Adril Arsyad Hakim Kasus-kasus Tumor Otak di RS. H. Adam Malik …

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 245

Berdasarkan histologis dan morfologis, tumor otak terbagi 2 yaitu 6:

1). Benigna (jinak) ; batas jelas dapat diraba, tidak infiltratif, tidak ada metastase

Contoh ; Grade I dan II..

2). Maligna (ganas) ; batas tidak jelas, infiltratif/ invasive, pertumbuhan cepat & dijumpai adanya metastase, yang termasuk disini adalah Grade III & IV.

Berdasarkan data-data Surveillance Epidemiology & End Result Registry dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1995 diperkirakan 38.000 kasus baru tumor otak primer dijumpai setiap tahunnya. Pada tahun 2001 di USA dijumpai lebih dari 180.000 kasus -kasus tumor otak, dimana 38.000 diantaranya adalah tumor primer dengan 18.000 diantaranya bersifat malignant dan lebih dari 150.000 tumor sekunder, berasal dari paru, payudara dan tumor-tumor lainnya. Insidens rate penyakit ini lebih sering dijumpai pada pria dari pada wanita pertahunnya yaitu ; 6,3/100.000 dengan 4,4/100.000 dengan jumlah penderita terbanyak berusia sekitar 65-79 tahun 3. Sampai saat ini di Medan data-data tentang penyakit tumor otak, insidens rate, maupun karakteristik penderitanya belum ada, sehingga penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian di beberapa Rumah sakit kota Medan yaitu ; RSUP H. Adam Malik dan RS. Haji Medan.

Tujuan penelitian : Untuk mengetahui jumlah & karakteristik penderita tumor otak berdasarkan usia dan jenis kelamin, sifat dan jenis tumor serta lokasi tumor yang dijumpai..

Lokasi penelitian;RSUP H. Adam Malik dan RS.Haji Medan yang ditentukan secara purposive dengan kriteria inklusi ; kedua RS tersebut mempunyai fasilitas lengkap untuk melakukan operasi. tumor otak.

Metodologi ; Penelitian ini bersifat deskriptif, menggunakan data sekunder dari rekam medis di RSUP H. Adam Malik dan RS. Haji Medan sejak tanggal 31 Desember 2003 - 31 Januari 2004.

Populasi adalah total sample yang berjumlah 48 orang, yang telah didiagnosa menderita tumor otak Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan cross sectional dalam bentuk table distribusi frekwensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Dan Jenis kelamin di 2 Rumahsakit Medan Tahun 2003-2004.

Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan NoUmur

(tahun)n % N %

jumlah

N %tase

1 0 – 10 1 2,083 1 2,083 2 4,17

2 11 – 20 2 4,17 1 2,08 3 6,25

3 21 – 30 4 8,33 2 4,17 6 12,50

4 31 – 40 3 6,25 1 2,08 4 8,33

5 41 – 50 7 14,58 3 6,25 10 20,83

6 51 – 60 7 14,58 2 4,17 9 18,75

7 > 60 11 22,916 3 6,25 14 29,17

Jumlah total 35 72,92 13 27,08 48 100

Dari tabel 1. diatas menunjukkan bahwa persentase penderita tumor otak terbesar berjenis kelamin laki-laki (72,92%) pada kelompok umur diatas 60 tahun. Penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan; yaitu sekitar 3 :1 Tabel 2. Distribusi Lokalisasi Tumor

No Lokasi Tumor Jumlah

(n) % tase

1 Lobus frontalis 4 8,33 2 Lobus temporalis 6 12,50 3 Lobus parietalis 7 14,58 4 Lobus occipitalis 4 8,33 5 Cerebellum 10 20,83 6 Batang otak 2 4,17 7 Cerebellopontine angle 4 8,33 8 Falx cerebri 8 16,67 9 Multipel 3 6,26 Jumlah 48 100

Dari tabel 2; diperoleh hasil bahwa lokasi tumor yang terbanyak dijumpai adalah pada daerah Cerebellum (20,83%)

Page 40: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Karangan Asli

246 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Tabel 3. Distribusi Besar Tumor Berdasarkan Hasil Head CT-Scan

No Besar Jlh (n) % tase 1 Bola tennis 14 29,17 2 Satu lobus 5 12,50 3 Tak terukur 28 58,33 Jumlah 48 100

Dari tabel 3 diatas terlihat besar tumor umumnya bervariasi dari sebesar bola tennis (29,17%) sampai dengan tak terukur (58,33%) sehingga prognosis penderita umumnya jelek, karena penderita umumnya datang ke Bagian Bedah Saraf sudah terlambat. Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Yang Diambil

No Tindakan yg dilakukan N (jlh) %tase 1 Operasi 43 89,59% 2 Tidak operasi 5 10,41 Jumlah 48 100

Dari table 4 menunjukkan jumlah penderita yang dilakukan tindakan operasi berjumlah 43 orang (89,59%) sedangkan 5 orang (10,41%) tidak dilakukan operasi karena sudah dalam stadium terminal dengan metastase dari organ-organ lain. Tabel 4. Distribusi Jenis Tumor Berdasarkan Hasil PA

No Jenis Tumor Jumlah

(n) % tase

1 Glioblastoma multiforme 9 18,75 2 Astrocytoma 8 16,67 3 Medulloblastoma 4 8,33 4 Meningioma 12 25,00 5 oligodendrogloima 2 4,17 6 Craniopharyngioma 4 8,33 7 Neurinoma 2 4,17 8 Tak dapat ditentukan 10 10,41 9 Lain-lain 2 4,17

Jumlah 48 100

Dari table 4 menunjukkan hasil bahwa jenis tumor yang terbanyak dijumpai adalah Meningioma (25%). KESIMPULAN 1. Karakteristik penderita tumor berdasarkan

jenis kelamin dan umur yang terbanyak adalah laki-laki dengan perbandingan 3 : 1 dan berusia diatas 60 tahun.

2. Lokasi tumor terbanyak dijumpai di cerebellum (20,83%) dan jenis tumor

terbanyak dijumpai adalahMeningioma (25%).

3 Umumnya penderita datang sudah terlambat dilihat dari besar tumor berdasarkan Hasil CT-Scan, sehingga prognose pasien jelek.

KEPUSTAKAAN 1. P.Kleihues & WK.Cavencee ;‘Tumors of

the Nervus System’ Lyons, IARC Press. 2000.

2. K.Herholz, ‘Diagnosis Intracranial Malignancy’, 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies; Helsinki, 2003.

3. R. Soffieti; ‘Metastasis Brain Tumors’, 7th Congress of The European Federation of

Neurological Societies ; Helsinki. 2003. 4. Zulch.KJ;‘Histological Typing of Tumors

of the Central Nervus System’, Geneva, 1979

5. A.Behin; ’Differential Diagnosis of Intracranial Malignancy’, 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies, Helsinki, 2003.

6. Mayer SA; ’Management of Increased Intracranial Pressure’ In. Wijdicks EFM, Diringer MN, Bolton CF et. al. Continuum; Critical Care Neurology, American Academy of Neurology, 2002.

7. Koos,TH.W.& Miller HM; ‘Intracranial Tumors of Infants & Children’, Nankodo Co. Ltd, Tokyo, 1971.

8. J. Hildebrand; ’Current Treatment of Gliomas’; 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies, Helsinki, 2003.

9. De Angelis et al; ‘Intracranial Tumors Diagnosis and Treatment’, London, Martin Dunitz, 2992.

10. Gilroy,J & Meyers.J; ‘Basic Neurology’, 3rd ed.Mc Graw Hill Book Co, 2002.

11. Teruo Kimura et al;’Evaluation of The Response of Metastasis Brain Tumors to Stereotatic Radiosurgery by Proton Magnetic Resonance Spectroscopy’, J.Neurosurg. 100, 2004.

12. Little John R.&Hanson MR;’Meningeal Carcinomatosis’ In Wilkins RH, Rechangary SS, Neurosurgery, Mc.Graw Hill Book Co, NY, 1985.

Page 41: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 247

Gangguan Suara dan Phonosurgery

Abdul Rachman Saragih.

Departemen Ilmu Penyakit THT – KL Fakultas Kedokteran USU

TINJAUAN PUSTAKA

Page 42: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

248 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

GEJALA KLINIS Kelainan pada laring biasanya memberikan keluhan utama suara yang tidak normal dan stridor, terutama pada bayi. Pada orang dewasa dengan kelainan pada laring dapat juga mengeluh rasa iritasi pada tenggorok, merasa ada sesuatu didalam tenggorok, sakit sewaktu menelan, sulit menelan, nafas seperti tersumbat, dan lain sebagainya.1 Radang laring dapat akut atau kronik. Radang akut biasanya disertai gejala lain seperti demam, malaise, nyeri menelan atau berbicara, batuk, disamping suara parau. Kadang-kadang dapat terjadi sumbatan laring dengan gejala stridor serta cekungan di epigastrium, sela iga dan sekitar klavikula. Radang kronik tidak spesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis atau bronkitis kronis atau karena penggunaan suara seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras (vokal abuse). Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosa dan lues. Gejalanya selain suara parau, terdapat juga gejala penyakit penyebab atau penyakit yang menyertainya.5,7

Tumor laring dapat jinak atau ganas. Gejala tergantung dari lokasi tumor, misalnya, tumor pita suara segera timbul suara parau dan bila tumor tumbuh menjadi besar menimbulkan sumbatan jalan nafas. Tumor ganas biasanya tumbuh lebih cepat. Tumor ganas sering disertai gejala lain, misalnya batuk (kadang-kadang batuk darah), berat badan menurun, keadaan umum memburuk.5,7,8

Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persyarafan, baik sentral maupun perifer, biasanya paralisis motorik bersama dengan paralisis sensorik. Kejadiaannya dapat unilateral atau bilateral. Lesi intrakranial biasanya mempunyai gejala lain dan muncul sebagai kelainan neorologik selain gangguan suaranya. Penyebab sentral, misalnya paralisis bulbar, siringomielia, tabes dorsalis, multipel sklerosis. Penyebab perifer, misalnya struma, paska strumektomi, limfadenopati koli, trauma leher, tumor esofagus dan mediastinum, aneurisma aorta dan arteri subsklavia kanan.5

Adapun keadaan suara yang dianggap patologis adalah : - Suara serak, kasar, seperti suara bernafas,

atau dengan kualitas yang rendah yang telah berlangsung lama (kronis).

- Suara yang keluar terlampau keras atau terlampau lemah.

- Sering terdapat puncak suara yang pecah. - Suara hiponasal atau hipernasal.9 DIAGNOSIS Pemeriksaan fisik pasien dengan kelainan suara harus meliputi pemeriksaan lengkap telinga, hidung dan tenggorok untuk mendapatkan adanya kelainan patologis. Diagnosis sebagian besar gangguan suara mudah dibuat dengan mendengarkan suara, mengobservasi pasien dan memeriksa laring dengan cermin.8,10,11 Beberapa pemeriksaan tambahan sering dilakukan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan objektif. Pemeriksan tambahan yang sering dilakukan adalah glottografi, stroboscopic imaging, pengukuran aerodinamik dan akustik.6

Glottografi. Glottografi menggunakan sektor fisiologis untuk merekam jumlah cahaya yang ditransiluminasi laring sewaktu bergetar (Photoglottgraphy / PGG) atau tingkat satuan pita suara (Electroglottography / EGG). Signal PGG dan EGG saling melengkapi, dimana PGG menunjukkan tingkat pembukaan pita suara dan EGG menunjukkan penutupan pita suara. Perubahan gelombang ini diobservasi untuk menggambarkan perubahan getaran laring yang berhubungan dengan lesi massa atau keadaan kekakuan asimetris.1,6

Page 43: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Abdul Rachman Saragih Gangguan Suara dan Phonosurgery

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 249

Glottografi adalah test non invasif dan analisa signal dapat diolah komputer. Sayangnya, jumlah output adalah jumlah total getaran dari kedua pita suara, sehingga lokasi anatomis yang tepat dari lesi tidak dapat terlihat hanya dengan PGG dan EGG saja.4,6

Stroboscopic Imaging. Stroboscopic Imaging telah terbukti sangat membantu dalam mencatat dan memperjelas berbagai lesi dari laring. Laringoskop indirek hanya memeriksa keadaan statis dan pergerakan pita suara secara kasar. Sebaliknya, stroboskopi dapat digunakan untuk memeriksa secara detail asal getaran dari pita suara sewaktu berphonasi.4,6,11

Prinsip stroboskopi diketahui sejak 1930 dan Oertel adalah orang pertama yang mengaplikasikannya untuk mempelajari laring. Stroboskopi sangat berguna dalam mendiag-nosis kelainan suara dan dapat mendiagnosis secara dini lesi awal kanker glotis.6,11

Pengukuran Aerodinamik. Peralatan aerodinamik dapat digunakan untuk mengukur hantaran udara melalui glotis dan tekanan dibawah glotis. Nilai estimasi tekanan subglotis dan aliran udara tranlaringeal rata-rata, dapat digunakan untuk menghitung tahanan glotis.

Pasien dengan paralise biasanya menunjukkan rendahnya tahanan glotis. Pasien dengan suara kasar dan lesi yang meningkatkan kekakuan pita suara biasanya menunjukkan peningkatan resistensi glotis.1,6,11

Pengukuran Akustik. Pengukuran akustik sangat berguna karena memiliki kemampuan menghitung kuantitas tingkat kekasaran suara. Walaupun telinga orang yang terlatih kemungkinan dapat dengan sensitif menganalisa suara, tetapi pengukuran akustik mempunyai keuntungan, karena dapat menjamin dokumentasi kuantitatif tingkat variasi dari yang normal.1,6

Penatalaksanaan Secara umum untuk gangguan suara yang disebabkan oleh infeksi atau inflamasi dapat diterapi dengan pengobatan. Bila terdapat benjolan atau massa dapat dilakukan dengan pembedahan.

Phonosurgery. Phonosurgery dapat didefinisikan sebagai pembedahan untuk meningkatkan atau memperbaiki suara. Pembedahan pada perangkat suara yang berhasil baik akan memberikan dampak positif pada percaya diri seseorang, interaksi sosial dan pekerjaan.4,6

Pita suara mempunyai dua parameter yang essensial untuk bergetar dan menghasilkan suara. Dua parameter tersebut adalah celah glotis dan kekakuan normal pita suara yang simetris. Gambaran karakteristik fungsional phonasi adalah : 1) Penutupan komisura posterior 2) Kekakuan tiroaritenoid yang simetris 3) Posisi vertikal yang sebanding.6 Yang termasuk phonosurgery adalah : pembedahan laringeal internal dengan endoskopi, teknik injeksi, insisi laser, tyroplasty eksternal atau disebut juga laryngeal frame work surgery.4

Memahami biomekanisme laring sangat penting karena untuk menentukan prosedur phonosurgery yang akan digunakan pada setiap pasien, laringlogist terlebih dahulu menentukan faktor-faktor yang terlibat. Laringologist harus menentukan apakah gangguan suara pasien disebabkan lesi pada mukosa pita suara, kekakuan pita suara atau faktor penutupan pita suara. Biasanya, beberapa penyebab bisa dijumpai pada waktu yang bersamaan. Sebagai contoh, pasien dengan parese atau paralise pita suara biasanya menunjukkan gangguan penutupan glotis dan kekakuan asimetris.6

Lesi Mukosa Massa berbentuk leukoplakia, karsinoma, nodul, polip atau ulkus dan granuloma mudah didiagnosis. Lesi mukosa biasanya berhasil baik diobati dengan meminta pasien untuk menghindari atau menghentikan faktor penyebab. Pembedahan harus dilakukan jika terjadi kegagalan terapi konvensional atau adanya kecurigaan kearah karsinoma. Bedah laser ditujukan pada pasien dengan lesi massa yang cenderung berdarah dan pada kasus yang membutuhkan pengangkatan jaringan yang luas. Bedah laser pada lesi pita suara yang kecil biasanya akan melukai jaringan normal sekitar

Page 44: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

250 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

lamina propria dan penyembuhan yang lama dengan suara yang kasar. Bedah pada massa yang kecil pada pita suara sangat baik dilakukan dengan pisau dingin atau gunting laringeal. Defek pada tepi medial menyebabkan suara yang kasar seperti halnya kehilangan jaringan ikat longgar yang dibutuhkan untuk bergetar. Defek ini biasanya disebabkan trauma, biasanya iatrogenik. Berbagai macam cara pengobatan tersedia, namun tidak satupun yang berhasil dengan sukses. Penyuntikan polytef ditepi pita suara di kontraindikasikan karena akan terbentuknya granuloma. Baru-baru ini penyuntikan kolagen dan lemak autogenik telah digunakan, keduanya mempunyai keuntungan dan kerugian. Harga kolagen mahal dan keberadaannya dalam jangka waktu lama masih kontroversial. Tidak diketahui apakah kolagen mempunyai perangkat viscoelastik yang sama ke jaringan ikat longgar.6

Inflamasi Pita Suara Pasien dengan inflamasi pada laring biasanya menunjukkan pembengkakan pita suara dan eritema sekitar membran mukosa. Pasien mungkin saja mempunyai lebih dari satu penyebab. Perlu ditanyakan pemakaian suara yang berlebihan dan merokok. Faktor penting lainnya adalah refluks laringitis atau esofagitis. Terapinya meliputi menghilangkan faktor penyebab, menjaga kelembaban dan menghindari bernafas lewat mulut.6,10

Pada beberapa pasien pemberian jangka pendek steroid sistemik biasanya berguna. Steroid semprot, meskipun efektif dalam mengurangi inflamasi pita suara, tidak boleh digunakan, karena efek serius dari superinfeksi jamur pada rongga mulut dan daerah hipofaring.6

Gangguan Kekakuan Asimetris Gangguan kekakuan asimetris meliputi berbagai lesi parese atau paralise. Pemeriksaan sederhana laringoskopi indirek daerah hipolaring akan terlihat normal sehingga fungsi dinamis selama phonasi mungkin menjadi satu-satunya petunjuk yang tersedia untuk membuat diagnosa yang tepat. Pasien juga akan menunjukkan berbagai variasi atau tingkatan parese atau paralise yang

berhubungan dengan nervus laringeal rekuren atau nervus laringeal superior. Pada keadaan yang kronis, atropi dan fibrosis pita suara yang terkena akan menutupi gambaran klasik.2,6

Karena kesulitan ini, sejumlah laringologist mulai mengklasifikasikan gangguan ini secara fungsional dari pada secara anatomis. Hal ini membutuhkan analisa multidimensional. Pasien dengan gangguan kekakuan laring asimetris harus dianjurkan untuk menjalankan terapi suara guna memaksimalkan fungsi suara mereka.6

Penyuntikan teflon Penyuntikan teflon menunjukkan perbaikan suara dan mengurangi aspirasi, tehnik ini digunakan sejak tahun 1962. Cinematografi kecepatan tinggi menunjukkan perbaikan vibrasi dan penempatan ke medial dari pita suara yang terkena setelah dilakukan penyuntikan. Dari pemeriksaan akustik dan penelitian fungsi laring juga menunjukkan perbaikan setelah penyuntikan. Tingkat perbaikan setelah suntikan sangat dipengaruhi oleh jumlah dan posisi penyuntikan. Suntikan ini meningkatkan kekakuan pita suara dan merubah karakteristik getaran. Komplikasi lain prosedur ini meliputi terbentuknya granuloma, migrasi teflon, penempatan yang tidak tepat dan kelebihan suntikan yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas.6

Tyroplasty Sebagai alternatif dari penyuntikan teflon, sejumlah ahli bedah mencoba mengatasi keadaan kekakuan asimetris dengan pembedahan rangka laring atau tyroplasty. Pada pasien-pasien dengan paralisis pita suara yang permanen dimana gangguan suara tidak merupakan hal yang menganggu bagi penderita, maka pada keadaan ini prosedur operasi tidak diperlukan.6,12

Isshiki dan rekan-rekan mengkategorikan empat tipe pembedahan tyroplasty.

Tipe 1 : Menjamin kompresi lateral pita suara yang terkena paralise, memendekkan atau merapatkan celah glotis.

Tipe 2 : Menghasilkan perluasan glotis. Tipe 3 : Memendekkan dan mengistirahatkan

pita bilateral. Tipe 4 : Memanjangkan dan meregangkan

pita suara.6

Page 45: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Abdul Rachman Saragih Gangguan Suara dan Phonosurgery

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 251

Berdasarkan perbandingan tipe pembedahan pada paralise pita suara unilateral ini, Isshiki merekomendasikan tipe 1 untuk paralise unilateral nervus laringeal rekuren, dan tipe 1 dan tipe 4 untuk paralise nervus laringeal superior dan nervus laringal rekuren. Tingkat perbaikan suara dievaluasi secara subjektif dan efek mekanis dari laring di pelajari dengan laringoskopi. Penelitian-penelitian selanjutnya telah melaporkan hasil yang baik dengan tyroplasty untuk mengobati paralisis unilateral pada manusia. Keuntungan tyroplasty dibandingkan dengan penyuntikan teflon juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Disphonia dengan istilah gangguan suara mutasional adalah suatu kondisi dimana seseorang mempunyai nada tinggi atau rendah. Saat ini telah dilaporkan bahwa gangguan suara oleh sebab diatas dapat diperbaiki dengan tyroplasti tipe 3 dan tipe 4.6

KESIMPULAN - Vibrasi laring terjadi melalui getaran jaringan

mukosa, dimana aliran udara menghasilkan suara.

- Getaran-getaran ini diubah secara patologis oleh lesi dan massa yang melibatkan pita suara, gangguan kekakuan yang asimetris dan gangguan kekakuan yang simetris.

- Sistem pengukuran yang objektif termasuk glottografi, stroboscopic imaging, pengukuran aerodinamik dan pengukuran akustik dapat diterapkan secara multidimensi untuk mendiagnosis gangguan suara.

- Dua karakteristik yang paling penting dibutuhkan untuk getaran laring yang normal adalah penutupan laring yang adekuat dan ketegangan vokal suara yang simetris.

- Perawatan dari lamina propria yang intak adalah sangat penting untuk getaran pita suara yang normal.

- Phonosurgery memberikan hasil yang menakjubkan dan dapat memperbaiki kualitas suara.

- Pengembangan terhadap prosedur phonosurgery masih terus dilakukan dan pada masa yang akan datang phonosurgery merupakan salah satu pengobatan yang sangat menjanjikan.

KEPUSTAKAAN 1. Benjamin B. Clinical Evaluation. In :

Endolarygeal Surgery. Martin Dunitz. Sydney. 2001. p. 3-14.

2. Miller RH, Duplechain JK. Hoarseness and Vokal Cord Paralysis. In : Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edited by Byron J Bailey. Volume Two. J.B. Lippincott Company. Philadelphia. 1993. p. 620-629.

3. Benjamin B, Bingham B, Hawke M, et al. The larynx. In : A Colour Atlas of Otorhinolaryngology. Martin Duritz. Sydney. 2001. p. 223-227.

4. Damste PH. Disorder of the Voice. In : Scott Brown’s. Otolaryngology. Sixth edition. Vol.5. Butterworth-Heinemann. Oxford. 1997. p. 5/6/1-5/6/25.

5. Hermani B, Kartosoediro S. Suara Parau. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke 4. FKUI. Jakarta. 2001. h. 189-193.

6. Berke GS. Voice Disorder and Phonosurgery. In : Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edited by Byron J Bailey. Volume Two. J.B. Lippincott Company. Philadelphia. 1993. p. 644-657.

7. Ludman H. Hoarseness and Stridor. In : ABC of Otolaryngology. Fourth Edition. BMJ Publishing Group. London. 1997. p. 33-35.

8. Cody DT, Kern EB, Pearson BW. Serak dan Kelainan Suara. Dalam : Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan (Diseases of the Ears, Nose, and Throat). EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 1993. h. 340-354.

9. Myer CM, Cotton KT. Developmental Anomalies in Speech and Language Acquisition. Year Book Medical Publisher, Inc. United States of America. 1988. p. 29-43.

10. Sataloff RT. Diagnosis and Treatment of Profesional Voice Disorders. In : Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Elsevier. New York. 1983. p. 627-646.

11. Gould WJ. Caring for the Vocal Profesional. In : Otolaryngology. Vol III. WB. Saunders Company. Philadelphia. 1991. p. 2273-2288

12. Benjamin B. Vocal Cord Paralysis. In : Endolarygeal Surgery. Martin Dunitz. Sydney. 2001. p. 125-141.

Page 46: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

252 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Angiofibroma Nasofaring Belia

T. Siti Hajar H, Hafni

Departemen Ilmu Penyakit THT – KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Angiofibroma nasofaring belia merupakan suatu tumor jinak yang jarang ditemukan, secara histologi jinak, tetapi secara klinis ganas. Tumor ini sering dijumpai pada anak laki–laki remaja. Penyebab pasti dari angiofibroma tidak diketahui secara pasti, beberapa teori menyebutkan berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Hidung tersumbat merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan (80 – 90%), selain epistaksis. Dari pemeriksaan klinis dijumpai adanya massa di nasofaring. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologi. Pembedahan (pengangkatan massa) merupakan pilihan utama dalam terapi, selan radioterapi, terapi hormonal dan kemoterapi. Pengangkatan massa dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Bagaimanapun pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk memaksimalkan pemaparan dan memudahkan kontrol perdarahan agar tidak terjadi kekambuhan. Kata kunci : Angiofibroma nasofaring belia, hidung tersumbat, epistaksis Abstract: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma is a benign tumor that is rarely found, histologically benign, but clinically it is malignant. It is frequently found for puberty adolescene boy. The definitive cause of angiofibroma is unknown exactly, several theories mention that derivational site tissue of tumor growth and hormonal disorder. Nasal obstruction is the most frequent clinical symptom found (80 – 90%), besides epistaxis. From clinical examination found, there is a mass in nasopharynx. Diagnosis is established based on anamnesis, clinical examination and radiological examination. Surgery (mass removal) is the main choice in the therapy, besides radiotherapy, hormonal therapy and chemotherapy. Mass removal can be done with several approaches such as transpalatal, rhinotomy lateral, degloving, craniotomy. However the approaches which is done aim to maximalize the exposure and ease blood control so that there is no recurrence. Key words : Juvenile nasopharyngeal angiofibroma, nasal obstruction, epistaxis.

- 6

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma.2,4 Pengelolaan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi, terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama, dan dapat dilakukan dengan beberapa macam metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain

Page 47: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

T. Siti Hajar H, Hafni Angiofibroma Nasofaring Belia

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 253

seperti pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi. 2 - 4 ETIOLOGI Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh diduga bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.3 Sedangkan teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan hormon androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring.1,3 HISTOPATOLOGI

Makroskopis Angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa yang tidak teratur, warna kemerah – merahan, permukaan licin. Ia berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsul dengan dasar yang biasanya bertangkai.4,6,7-9 Mikroskopis Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan pendarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri - ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung surut seiring dengan waktu. Karena karakteristik histologis internal dapat dilihat, maka biopsi permukaan bisa menimbulkan salah penafsiran.4,6,7–9

Gejala Klinis Sumbatan hidung merupakan keluhan yang paling sering (80 – 90%), sumbatan ini bersifat progresif disertai epistaksis yang berulang (45 – 60%), sehingga penderita sering datang dengan keadaan umum yang lemah dan anemia. Gejala lain adalah sakit kepala, rinore, anosmia, hiposmia, rinolalia, tuli, otalgia, pembengkakan palatum dan deformitas pipi.6,8,10

Diagnosis Banding Polip hidung, polip antrokoanal, teratoma, ensefalokel, dermoid, inverted papilloma, rhabdomyosarkoma, karsinoma sel skuamosa.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anam-nesis, pemeriksaan klinis, nasofaringoskopi optik dan pemeriksaan radiologis. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan histopatologis jaringan tumor paska bedah. Pada foto polos didapatkan massa jaringan lunak di nasofaring dan dinding posterior sinus maksilaris melengkung ke depan. Biopsi pre operasi tidak dianjurkan pada setiap kasus mengingat bahaya perdarahan yang terjadi akibat biopsi. Bila memungkinkan dapat dilakukan arteriografi untuk menentukan vaskularisasi massa tumor (feeding vessel), perluasan tumor ke daerah sekitarnya dapat ditentukan dengan pemeriksaan CT Scan.1– 4,8, 9

Perluasan Tumor dan Stadium Tempat asal angiofibroma pertama kali tumbuh adalah bagian posterior atap nasofaring. Dari tempat ini tumor dapat meluas ke kavum nasi, sinus paranasalis, fossa pterigopalatina, kavum orbita, fossa infra temporal, pipi, dasar tengkorak dan kadang - kadang rongga intrakranial. Menurut Chandler, berdasarkan perluasan tumor stadium tumor dibagi menjadi:

Stadium I : terbatas di nasofaring Stadium II : ke kavum nasi atau sinus

spenoidalis Stadium III : ke satu atau lebih tempat

seperti sinus etmoidalis, fossa pterigomaksilaris, infra temporal, kavum orbita

Stadium IV : meluas ke intrakranial.3,7,9

Page 48: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

254 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring belia dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : (1) terapi hormonal; (2) kemoterapi; (3) radioterapi; dan (4) pembedahan. Pembedahan merupakan pilihan utama angiofibroma nasofaring belia, sedangkan tumor - tumor yang tidak dapat dioperasi diberikan pengobatan radiasi. Pengobatan hormonal digunakan untuk mengecilkan tumor yang inoperabel.7, 8,10

Beberapa pendekatan bedah yang dapat dilakukan antara lain: pendekatan transpalatal, pendekatan rinotomi lateral, pendekatan midfacial degloving. Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring, meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah mendorong palatum ke bawah. Pendekatan midfacial degloving dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring dan meluas ke kavum nasi. Sedangkan pendekatan rinotomi lateral dilakukan untuk tumor yang sudah meluas ke sinus paranasal atau yang sudah mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan rinotomi lateral ini adalah dapat memberikan jaringan parut pada wajah bekas operasi.5,6

KESIMPULAN Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang jarang dijumpai. Tumor ini 0,05% dari seluruh tumor pada kepala dan leher. Sering ditemukan pada usia remaja dan terutama pada anak laki - laki. Gejala dan tanda klinis yang sering ditemukan adalah hidung tersumbat, epistaksis dan adanya massa pada nasofaring. Biopsi tidak dianjurkan, mengingat dapat terjadi perdarahan yang hebat. Sesuai dengan kepustakaan, terapi pilihan untuk angiofibroma adalah tindakan bedah. Pilihan pendekatan pembedahan berdasarkan pengalaman ahli bedah dan latihan. Bagaimanapun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan : luasnya penyebaran tumor, pemaparan tumor yang adekuat, suplai pembuluh darah ke tumor, kemampuan mengontrol perdarahan, tidak terbentuknya jaringan parut/deformitas pada wajah paska operasi dan tidak berhubungan dengan pertumbuhan skeleton wajah.

KEPUSTAKAAN 1. Elfahmi, Munir D, Adenin L, AA

Rizalina, Azwan, Lutan R. Pendekatan degloving dengan ligasi arteri karotis eksterna pada angiofibroma juvenil nasofaring. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001: 1157 - 65.

2. Wartawan IN, Samsudin. Embolisasi pra bedah pada penanganan angiofibroma nasofaring juvenile dengan perluasan ke intra kranial. Dalam : Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001: 1085 - 91.

3. Mashari, Wiyanto BH, Subroto DS. Angiofibroma nasofaring dengan perluasan intra kranial. Dalam: Soepardjo H, Soenarso BS, Suprihati, dkk, ed. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional XII Perhati. Semarang 2001: 1033 - 37.

4. Paparella MM. Otolaryngology head and neck. 3rd ed. Vol. 3. Philadelphia. W.B. Saunders Company 1991: 952, 2190 - 93, 1948 - 49.

5. Kassir R. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Available from URL http://www.uttnb.edu/oto/Grand Rounds Earlier.dir/JNA Fibroma 1993.txt

6. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Available from URL http:// www.emedicine.com/ent/topic470.htm

7. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 3rd ed. Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1981 : 222 - 24.

8. Shaheen OH. Angiofibroma. In : Hibbert J,ed. Scott - Brown's Otololaryngology. 6th

ed. London. Butterworth Heinemann 1997: 5/12/1 - 6.

9. Elsheikh E. Nasopharyngeal angiofi-broma. Available from URL: http://www. egyorlsoc.com/ NASOPHARYNGEAL.doc

10. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma nasofaring belia. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2002 151-52.

Page 49: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 255

Mioma Uteri

Budi R. Hadibroto

Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP H.Adam Malik Medan – RSUD Dr. Pirngadi Medan

Abstrak: Mioma uteri merupakan suatu tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Tumor ini merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Penyebab tumor ini menurut teori onkogenik dibagi menjadi 2 faktor yaitu inisiator dan promotor. Faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Namun hormon estrogen diketahui berpengaruh dalam pertumbuhan tumor ini. Gejala klinis jarang dijumpai pada mioma uteri, jika ada, berupa menorrhagia dan dismenorea. Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan bimanual, jika ukuran mioma yang besar, dapat diraba berupa permukaan uterus yang berbenjol. Dibantu dengan pemeriksaan sonografi pelvik dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penatalaksanaan mioma uteri dapat dilakukan dengan pemberian terapi hormonal maupun secara operatif. Pemberian Gonadotropin releasing hormon (GnRH) agonis merupakan terapi hormonal untuk mengurangi gejala perdarahan & ukuran mioma. Tindakan operatif dapat dilakukan berupa mimektomi maupun histerektomi. Kata kunci: Mioma uteri, hormon estrogen, GnRH agonis, histerektomi Abstract: Myoma Uteric is a non oncogenic smooth muscle tumor, that consist of smooth muscle cells, fibroyd, and collagen. This pelvis tumor is the second most common in women reproductive organ. According to the theory the caused of this tumor divided into two factors that are inisiator and promotor. The factor that initiate myoma uteric growth not clearly known. However, estrogen hormon has already known influenced the growth of the tumor. Clinical symptoms are rare, if so, that would be menorrhagia and dysmenorrhea. Diagnose based on manual examination, we can touch the unsmooth surface of the uterus if the myoma uteric were big. It can also examine with Pelvic Ultrasonography and Magnetic Resonance Imaging (MRI). Management of myoma uteric can be done with hormonal therapy and also by operation. Gonadotropin releasing hormon (GnRH) agonis as hormonal therapy is used to minimize the bleeding and the size of the mioma. Operation can be done like mimectomy or hysterectomy. Key words: mioma uteric, estrogen hormon, GnRH agonis, hysterectomy

PENDAHULUAN Mioma uteri adalah tumor jinak otot

polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen.1,2 Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian mioma uteri sebesar 20 – 40% pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun dan sering menimbulkan gejala klinis berupa menorrhagia dan dismenorea. Selain itu mioma juga dapat menimbulkan kompresi pada traktus urinarius, sehingga dapat

menimbulkan gangguan berkemih maupun tidak dapat menahan berkemih.2 Penatalaksanaan mioma uteri dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan (medisinalis) maupun secara operatif. Pemberian GnRH analog merupakan terapi medisinal yang bertujuan untuk mengurangi gejala perdarahan yang terjadi dan mengurangi ukuran mioma.2

Penatalaksanaan operatif terhadap gejala-gejala yang timbul atau adanya pembesaran massa mioma adalah histerektomi. Di

Page 50: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

256 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Amerika Serikat, diperkirakan 600.000 histerektomi dilakukan tiap tahunnya. Dengan semakin berkembangnya tehnologi kedokteran, tindakan operatif pada mioma uteri dapat dilakukan dengan bantuan alat laparoskopi maupun histeroskopi.4 DEFINISI

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk mioma uteri antara lain fibromioma, miofibroma, leiomiofibroma, fibroleiomioma, fibroma dan fibroid.2

ETIOLOGI

Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori onkogenik maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor.2,5

Tidak didapat bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium. Hormon progesteron meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan produksi matriks ekstraseluler.2,3 PATOLOGI

Mioma uteri umumnya bersifat multiple, berlobus yang tidak teratur maupun berbentuk sferis.

Mioma uteri biasanya berbatas jelas dengan miometrium sekitarnya, sehingga pada tindakan enukleasi mioma dapat dilepaskan dengan mudah dari jaringan miometrium disekitarnya. Pada pemeriksaan makroskopis dari potongan transversal berwarna lebih pucat dibanding miometrium disekelilingnya, halus, berbentuk lingkaran dan biasanya lebih keras dibanding jaringan sekitar, dan terdapat pseudocapsule.2,3

Mioma dapat tumbuh disetiap bagian dari dinding uterus. Mioma intramural adalah mioma yang terdapat didalam dinding uterus. Mioma submukosum merupakan mioma yang terdapat pada sisi dalam dari kavum uteri dan terletak dibawah endometrium. Mioma subserous adalah mioma yang terletak di permukaan serosa dari uterus dan mungkin akan menonjol keluar dari miometrium. Mioma subserous tidak jarang bertangkai dan menjadi mioma geburt. Bila mioma subserous tumbuh ke arah lateral dan meluas diantara 2 lapisan peritoneal dari ligamentum latum akan menjadi mioma intraligamenter.2,4 GEJALA KLINIS

Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 – 50% pasien. Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran dan jumlah mioma. Gejala dan tanda yang paling sering adalah :

1. Perdarahan uterus yang abnormal. Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan atau metrorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri. Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Pada suatu penelitian yang mengevaluasi wanita dengan mioma uteri dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data bahwa wanita dengan perdarahan abnormal secara bermakna menderita

Page 51: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Budi R. Hadibroto Mioma Uteri

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 257

mioma intramural (58% banding 13%) dan mioma submukosum (21% banding 1%) dibanding dengan wanita penderita mioma uteri yang asimptomatik. Patofisiologi perdarahan uterus yang abnormal yang berhubungan dengan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menerangkan bahwa adanya disregulasi dari beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-perubahan ini menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler didalam uterus.2,6

Tabel 1.dikutip dari 7

Mekanisme Perdarahan Abnormal pada Mioma Uteri

1. Peningkatan ukuran permukaan endometrium. 2. Peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus. 3. Gangguan kontraktilitas uterus. 4. Ulserasi endometrium pada mioma submukosum. 5. Kompresi pada pleksus venosus didalam

miometrium.

2. Nyeri panggul Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang disebabkan oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas posterior.2

3. Penekanan Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan berkemih, defekasi maupun dispareunia. Tumor yang besar juga dapat menekan pembuluh darah vena pada pelvik sehingga menyebabkan kongesti dan menimbulkan edema pada ekstremitas posterior.2

4. Disfungsi reproduksi Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 – 40% wanita

dengan mioma uteri mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor.7

Tabel 2.dikutip dari 7

Mekanisme Gangguan Fungsi Reproduksi dengan Mioma Uteri

1. Gangguan transportasi gamet dan embrio. 2. Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan

uterus. 3. Perubahan aliran darah vaskuler. 4. Perubahan histologi endometrium.

DIAGNOSIS Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosa melalui pemeriksaan bimanual rutin maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang besar. Diagnosa semakin jelas bila pada pemeriksaan bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa maupun adanya pembesaran uterus. Pemeriksaan sonografi pelvik dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat mendeteksi mioma uteri.2 PENATALAKSANAAN Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode :

1. Terapi medisinal (hormonal) Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormon (GnRH) agonis memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh mioma uteri. Pemberian GnRH agonis bertujuan untuk mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Dari suatu penelitian multisenter didapati data pada pemberian GnRH agonis selama 6 bulan pada pasien dengan mioma uteri didapati

Page 52: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

258 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

adanya pengurangan volume mioma sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRH agonis baru terlihat setelah 3 bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma secara bermakna.8

Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal namun tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma.8

2. Terapi Pembedahan Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah :9 1. Perdarahan uterus yang tidak respon

terhadap terapi konservatif. 2. Sangkaan adanya keganasan. 3. Pertumbuhan mioma pada masa

menopause. 4. Infertilitas karena gangguan pada

cavum uteri maupun karena oklusi tuba.

5. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.

6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.

7. Anemia akibat perdarahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi.3,9,10

a. Miomektomi Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Dewasa ini ada beberapa pilihan tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma. Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi,

histeroskopi maupun dengan laparoskopi.10,11 Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien. Disamping itu masa penyembuhan paska operasi juga lebih lama, sekitar 4 – 6 minggu.3,11 Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma submukosum yang terletak pada kavum uteri. Pada prosedur pembedahan ini ahli beda memasukkan alat histeroskop melalui serviks dan mengisi kavum uteri dengan cairan untuk memperluas dinding uterus. Alat bedah dimasukkan melalui lubang yang terdapat pada histeroskop untuk mengangkat mioma submukosum yang terdapat pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan paska operasi (2 hari). Komplikasi operasi yang serius jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan.12 Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat secara laparoskopi. Tindakan laparoskopi dilakukan dengan ahli bedah memasukkan alat laparoskop kedalam abdomen melalui insisi yang kecil pada dinding abdomen. Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi yang lebih cepat antara 2 – 7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan laparoskopi termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium, rektum serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan

Page 53: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Budi R. Hadibroto Mioma Uteri

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 259

laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.11,12

b. Histerektomi Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara laparoskopi. Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Tindakan histerektomi pada pasien dengan mioma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12 – 14 minggu.13 Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal histerektomi (TAH) dan subtotal abdominal histerektomi (STAH). Pemilihan jenis pembedahan ini memerlukan keahlian seorang ahli bedah yang bertujuan untuk kepentingan pasien. Masing-masing prosedur histerektomi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Subtotal abdominal histerektomi dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih, rektum. Namun dengan melakukan STAH, kita meninggalkan serviks, dimana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Dengan meninggalkan serviks, menurut penelitian Kilkku, 1983 didapat data bahwa terjadinya dyspareunia akan lebih rendah dibanding yang menjalani TAH, sehingga tetap mempertahankan fungsi seksual. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan perdarahan paska operasi dimana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.13 Histerektomi juga dapat dilakukan melalui pendekatan dari vagina, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur operasi

ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Oleh karena pendekatan operasi tidak melalui dinding abdomen, maka pada histerektomi vaginal tidak terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik.13 Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi juga lebih minimal. Masa penyembuhan pada pasien yang menjalani histerektomi vaginal lebih cepat dibanding yang menjalani histerektomi abdominal. Dengan berkembangnya tehnik dan alat-alat kedokteran, maka tindakan histerektomi kini dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Prosedur operasi dengan laparoskopi dapat berupa miolisis. Miolisis adalah prosedur operasi invasif yang minimal dengan jalan menghantarkan sumber energi yang berasal dari laser The neodynium:yttrium aluminium garnet (Nd:YAG) ke jaringan mioma, dimana akan menyebabkan denaturasi protein sehingga menimbulkan proses koagulasi dan nekrosis didalam jaringan yang diterapi. Miolisis perlaparoskopi efektif untuk mengurangi ukuran mioma dan menimbulkan devaskularisasi mioma akan mengurangi gejala yang terjadi. Miolisis merupakan alternatif terapi prosedur miomektomi.11 Pengangkatan seluruh uterus dengan mioma juga dapat dilakukan dengan laparoskopi. Salah satu tujuan melakukan histerektomi laparoskopi adalah untuk mengalihkan prosedur histerektomi abdominal kepada histerektomi vaginal atau histerektomi laparoskopi secara keseluruhan. Ada beberapa tehnik histerektomi laparoskopi. Pertama adalah histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically assisted vaginal histerectomy/LAVH). Pada prosedur ini tindakan laparoskopi dilakukan untuk memisahkan adneksa dari dinding pelvik dan memotong mesosalfing kearah ligamentum kardinale dibagian bawah. Pemisahan pembuluh darah uterina dilakukan dari vagina. Kedua, pada tahun 1991 Semm memperkenalkan tehnik classic intrafascial serrated edged

Page 54: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

260 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy. Prosedur ini merupakan modifikasi dari STAH, dimana lapisan dalam dari serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur ini diharapkan dapat mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan dari CISH adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan yang lebih minimal, waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan masa penyembuhan yang cepat.11,15 Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terapi yang terbaik untuk mioma uteri adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan dimana resiko perdarahan yang lebih minimal, masa penyembuhan yang lebih cepat dan angka morbiditas yang lebih rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal.

DAFTAR PUSTAKA 1. American Society for Reproductive

Medicine. Uterine fibroids: A guide for patients. Available at: http://www.asrm. org

2. Memarzadeh S, Broder MS, Wexler AS, Pernoll ML. Leiomyoma of the uterus. In: Current obstetric & Gynecologic diagnostic & treatment, Decherney AH, Nathan L, editors. Ninth edition. Lange Medical Books, New York, 2003.p: 693 – 701.

3. Thompson JD, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Te Linde’s Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD, editors. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, 1997. p: 731 – 70.

4. Wattiez A, Cohen SB, Selvaggi L. Laparoscopy hysterectomy. Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14:417 – 22.

5. Benda JA. Pathology of smooth muscle tumor of the uterine corpus. Clin Obstet and Gynecol 2001;44:350 – 63.

6. Guaraccia MM, Rein MS. Traditional surgical approaches to uterine fibroids: abdominal myomectomy and hysterectomy. Clin Obstet and Gynecol 2001;44:385 – 400.

7. Stoval DW. Clinical symptomatology of uterine leiomyoma. Clin Obstet Gynecol 2001;44:364 - 71

8. Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi kedua. Media Aesculapius, Jakarta, 2003. p: 151 – 57.

9. Hurst BS, Matthews ML, Marshburn PB. Laparoscopic myomectomy for symptomatic uterine myomas. Fertil Steril 2005;83(1): 1 – 22.

10. Namnoum AB, Murphy AA. Diagnostic and operative laparoscopy. In: Te Linde’s Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD, editors. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, 1997. p: 389 – 413.

11. Falcone T. Bedaiwy MA. Minimally invasive management of uterine fibroids. Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14:401 – 07.

12. Tulandi T. Modern surgical approaches to female reproductive tract. Hum Reprod Update 1996;2(5):419 – 427.

13. Thompson JD, Warshaw J. Hysterectomy. In: Te Linde’s Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD, editors. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, 1997. p: 771 -854.

14. Seinera P, Farina C, Todros T. Laparoscopic myomectomy and subsequent pregnancy: results in 54 patients. Hum Reprod 2000;15(9):1993 -96.

15. Goldfarb HA. Removing uterine fibroids laparoscopically. Available at: http://www.obgyn.net

Page 55: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 261

Laparoskopi pada Kista Ovarium

Budi R. Hadibroto

Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik – RSUD Dr. Pirngadi Medan

Abstrak:Kista ovarium fisiologis merupakan massa di ovarium yang paling umum ditemukan. Kista ini disebabkan oleh karena kegagalan folikel untuk pecah atau regresi. Ukuran kista ovarium fisiologis ini kurang dari 6 cm, permukaan rata, mobile dan konsistensi kistik. Keluhan dapat berupa massa di daerah pelvik maupun ketidakteraturan haid. Terdapat beberapa jenis kista fungsional yaitu kista folikuler, kista korpus luteum, kista teka lutein dan luteoma kehamilan. Penanganan kista ovarium dapat berupa konservatif maupun operatif. Prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk mengetahui asal massa bila dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang sulit menentukan asal massa tersebut.Pada tahun 1991, laparoskopi baru digunakan baik sebagai alat diagnosa sekaligus sebagai terapi. Prosedur pembedahan kista ovarium ini dapat berupa kistektomi dan salfingo-ooforektomi. Kelebihan dari tindakan laparoskopi adalah trauma pada dinding abdomen dan resiko perlengketan lebih minimal, waktu operasi lebih singkat dan masa penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan laparotomi. Kata kunci: Kista ovarium fungsional, laparoskopi, kistektomi, salfingo-ooforektomi. Abstract: Physiologic ovarium cyst is the most common mass in the ovarium. The cyst is caused by the failure of the follicle to breakdown or regression. The size of the physiologic ovarium cyst is less than 6 cm, with smooth surface, mobile and cystic consistency. The sign can be found the mass in the pelvic area or irregular menstruation. There are several type of functional cyst which are follicular, luteum corpus cyst, teccalutein cyst, and luteoma pregnancy. Management of ovarium cyst can be conservative or operative. We need to do the surgery procedure to investigate the root of the mass. In 1991, laparoscopy just newly used as a diagnosed tool and also as a therapy. Surgery procedure of this ovarium cyst can be cystectomy and also salphingo-ooforectomy. The advantage of laparoscopy is minimalization trauma in the abdominal wall and the risk of adhesion, shorter operation time and quicker healing time than laparatomy. Key words: functional ovarium cyst, laparoscopy, cystectomy, salphingo-ooforectomy A. PENDAHULUAN

Adneksa dibidang ginekologi terdiri dari ovarium, tuba fallopi dan ligamentum-ligamentum disekitar uterus. Meskipun keadaan patologi adneksa sering melibatkan salah satu atau lebih struktur tersebut, namun jaringan diluar organ reproduksi juga sering terlibat. Untuk mengetahui asal massa tersebut maka harus dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh. Pemeriksaan palpasi bimanual merupakan suatu metode praktis untuk mendiagnosa massa di adneksa. Bila dijumpai massa di adneksa, maka karakteristik dari massa harus dievaluasi dengan sebaiknya sehingga asal massa dapat diketahui dengan pasti untuk penanganan lebih lanjut.

Karakteristik massa yang harus dievaluasi meliputi : lokasi, ukuran (dalam sentimeter), konsistensi, bentuk, mobilitas, massa unilateral atau bilateral dan temuan-temuan lain yang bermakna seperti demam, asites dan lain-lain.1

Setiap massa di adneksa memerlukan pemeriksaan dan penanganan yang berbeda pada setiap kasusnya, namun secara umum dapat dikatakan bahwa penanganan konservatif terhadap massa di adneksa bila massa tersebut bersifat asimptomatik dan hanya berupa kista fungsional. Bila ukuran kista lebih besar dari 6 cm biasanya dibutuhkan penanganan secara operatif. Prosedur pembedahan perlu dilakukan untuk

Page 56: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

262 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

mengetahui asal massa bila dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti sonografi, CT scan atau MRI sulit menentukan asal massa.1,2

Dewasa ini pemakaian laparoskopi sering digunakan untuk diagnostik massa di adneksa maupun sebagai terapi operatif untuk mengangkat massa tersebut. Di bidang ginekologi laparoskopi sering digunakan untuk mengangkat kista di ovarium. B. KISTA OVARIUM

Massa di ovarium yang paling umum ditemukan adalah kista ovarium fisiologis. Kista ini disebabkan oleh karena kegagalan folikel untuk pecah atau regresi. Secara umum kista ovarium fisiologis ukurannya kurang dari 6 cm, permukaan rata, mobil dan konsistensi kistik. Keluhan yang dapat terjadi selain adanya massa di daerah pelvik dapat juga terjadi ketidakteraturan haid.1 Terdapat beberapa jenis kista fungsional yaitu :1,2

a. Kista folikuler Kista folikuler merupakan jenis tumor ovarium jinak yang paling banyak dijumpai. Ukuran bervariasi antara 3 – 8 cm. Kista ini disebabkan oleh karena kegagalan ovulasi oleh karena gangguan pelepasan gonadotropin hipofise. Bila dilihat secara histologi, kista folikuler dilapisi oleh lapisan dalam berupa sel-sel granulosa dan dilapisan luar berupa sel-sel teka interna. Cairan yang terdapat didalam folikel yang tidak seluruhnya terbentuk tidak dapat diresorbsi sehingga menyebabkan pembesaran dari kista folikuler. Biasanya jenis kista ini tidak menimbulkan gejala, meskipun ketidak teraturan haid, perdarahan diluar haid bahkan torsi dapat terjadi. Bila ukuran kista telah membesar maka dapat menyebabkan nyeri panggul, dyspareunia. Ukuran kista < 6 cm dilakukan observasi selama 3 siklus haid tanpa pengobatan untuk melihat regresi dari kista tersebut. Bila setelah observasi tidak didapatinya adanya regresi kista atau ukuran kista semakin membesar maka dilakukan terapi operatif.

b. Kista korpus luteum Kista korpus luteum berbentuk unilokuler dengan ukuran bervariasi antara 3 – 11

cm. Kista ini disebabkan karena terjadinya penumpukan cairan hasil resopsi darah yang berasal dari perubahan korpus hemoragikum menjadi korpus luteum. Pada ovulasi yang normal, sel-sel granulosa yang melapisi folikel mengalami lutenisasi. Pada tahap vaskularisasi, darah akan terkumpul di bagian sentral membentuk korpus hemoragikum. Darah tersebut akan diresopsi dan terbentuk korpus luteum, bila ukuran korpus luteum lebih dari 3 cm disebut dengan kista. Kista korpus luteum yang dapat menimbulkan nyeri lokal dan amenorea sehingga secara klinis kadang sulit dibedakan dengan kehamilan ektopik. Kista korpus luteum dapat menimbulkan torsi maupun ruptur sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seperti kista folikuler, kista korpus luteum dapat regresi setelah 2 atau 3 bulan observasi.

c. Kista teka lutein Kista teka lutein timbul karena adanya peningkatan gonadotropin korionik. Kista ini terjadi pada pasien dengan penyakit mola hidatidosa, koriokarsinoma maupun pada pasien yang mendapat terapi gonadotropin korionik dan klomifen sitrat. Secara histologi, kista ini terdiri dari sel-sel teka yang mengalami proses lutenisasi maupun yang tidak. Kista ini biasanya bilateral dan berisi cairan berwarna jernih. Keluhan abdominal tidak begitu nyata, meskipun terkadang dijumpai keluhan nyeri panggul. Ruptur kista sering terjadi sehingga menyebabkan perdarahan intraperitoneal. Kista ini dapat sembuh secara spontan setelah terapi kehamilan mola ataupun setelah penghentian pengobatan yang menyebabkan terjadinya kista ini. Prosedur pembedahan dilakukan pada kista yang mengalami komplikasi seperti torsi maupun ruptur.

d. Luteoma kehamilan Tumor yang menyerupai nodul-nodul sel lutein ini terjadi pada saat kehamilan. Ukuran nodul dapat mencapai 20 cm dan bersifat multifokal ataupun bilateral. Secara makroskopis kista ini memiliki konsistensi yang lunak, berwarna kecoklatan dengan perdarahan fokal. Secara mikroskopis kista ini membentuk

Page 57: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Budi R. Hadibroto Laparoskopi pada Kista Ovarium

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 263

lembaran-lembaran besar sel-sel lutein dengan sitoplasma yang banyak dengan nuklei yang seragam. Secara klinis kista ini didapati pada saat hamil dan dapat mengalami regresi beberapa bulan setelah melahirkan. Karena ukuran yang besar maka pada saat melakukan salfingo-ooforektomi harus dilakukan frozen section untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan.

C. PERANAN LAPAROSKOPI DALAM PENANGANAN KISTA OVARIUM Penggunaan laparoskopi untuk

penanganan massa di pelvik meningkat satu dekade terakhir ini. Sampai tahun 1990 tidak terdapat panduan secara umum mengenai penggunaan laparoskopi sebagai alat diagnostik maupun terapi untuk kelainan-kelainan ginekologi. Pada tahun 1991 Dr. Vicki Seltzer mengusulkan panduan penggunaan laparoskopi sebagai alat diagnosis dan terapi. Hulka dkk melaporkan pada suatu survey, dilakukan 13,739 prosedur laparoskopi untuk penanganan massa di ovarium.3

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya resiko keganasan dari massa di ovarium yang menjalani prosedur laparoskopi, maka harus didapati kriteria sebagai berikut :

- Pasien yang tidak memiliki riwayat kanker pada keluarga.

- Pasien dengan usia reproduksi. - Ukuran massa < 5 cm - Pemeriksaan sonografi didapat massa

yang unilateral, unilokuler dengan batas yang tipis.

- Tumor marker (CA-125) normal.4,5 Penggunaan laparoskopi dalam prosedur pembedahan untuk kista ovarium dapat berupa kistektomi dan salfingo-ooforektomi.5,6,7 D. PROSEDUR KISTEKTOMI

LAPAROSKOPI4,8

Pada dinding abdomen dibuat 3 buah lubang dengan menggunakan trokar berdiameter 10 cm untuk mengeluarkan spesimen. Organ-organ di kavum abdomen termasuk liver dan diafragma dievaluasi secara menyeluruh. Kemudian kista ovarium diangkat dengan menggunakan forsep. Kista

dipalpasi dengan menggunakan forsep, dan menggunakan jarum injeksi ukuran 22 melalui trokar di suntikkan NaCl fisiologis sebanyak 5 – 10 ml untuk memisahkan kapsul dengan dinding kista. Insisi superfisial dibuat pada kapsul ovarium tanpa menembus kista dengan menggunakan gunting. Dilanjutkan dengan pemisahan kapsul dan dinding kista dengan hydrodissection dan suction irrigator dengan memakai cairan Ringer Lactat atau NaCl fisiologis, dapat juga dipisahkan dengan endokoagulator, atau dengan gunting. Bila dicurigai adanya keganasan maka sebaiknya dilakukan ooforektomi. Kista yang belum pecah diletakkan di kantong plastik lewat trocar 10 mm, dan dapat dikeluarkan dengan morcelator. Sisa-sisa kista yang masih tinggal atau pecah dapat diambil dengan Kelly forsep.

Pada keadaan kista yang pecah / dipecahkan, isi dari kista diaspirasi dulu dan diirigasi dengan larutan NaCl fisiologis.Tindakan selanjutnya adalah pengeluaran kapsulnya (cystectomy) dengan memegang lewat 2 forsep, dan kemudian ditarik atau dilakukan seperti menggulung rambut di salon (hair curler technique). Setelah kapsul lepas dikeluarkan lewat trocar 10 mm. Ovarium yang tinggal dindingnya dapat dijahit.

E. KOMPLIKASI

• Kemungkinan keluarnya cairan dari kista yang pecah sehingga akan menimbulkan penyebaran sel-sel kanker pada kista yang dicurigai ganas. Untuk menghindari hal ini maka sebelum pelaksanaan operasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinis dan penunjang secara menyeluruh. Bila dicurigai adanya lesi keganasan maka pemeriksaan cairan peritoneal dan potong beku (frozen section) harus dilakukan.

• Pembuluh darah terutama yang terdapat pada dasar kista harus dikoagulasi untuk menghindari perdarahan yang banyak durante operasi. Bila terjadi perdarahan yang tidak dapat dikontrol operasi dilanjutkan dengan laparotomi.

• Bila terjadi perembesan darah dari permukaan dalam ovarium setelah dilakukan pelepasan dinding kista, dapat terjadi hematoma. Untuk mencegah hal

Page 58: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

264 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

ini maka harus dilakukan irigasi dan tindakan hemostasis.

• Adanya cairan endometrioma, cystadenoma musinosum atau kista dermoid yang keluar ke rongga peritoneal dapat dibersihkan dengan melakukan irigasi dengan cairan NaCl fisiologis sebanyak 4 – 5 liter.

• Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan laparoskopi adalah adanya perlengketan. Untuk mencegah timbulnya perlengketan, maka tindakan operasi harus secara cermat dan dapat dimasukkan cairan ringer lactat kedalam rongga peritoneal.

F. KONTRA INDIKASI9

• Wanita paska menopause dengan kista ovarium multilokuler sebaiknya dilakukan ooforektomi.

• Bila pada pemeriksaan preoperatif dijumpai tanda-tanda keganasan.

Sebagai kesimpulan, penggunaan laparoskopi dalam penanganan kista ovarium dewasa ini sangat berkembang. Hal ini disebabkan oleh karena dengan laparoskopi yang dilakukan oleh ahlinya maka trauma pada dinding abdomen lebih minimal, waktu operasi lebih singkat, resiko perlengketan lebih minimal dan masa penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan prosedur pembedahan laparotomi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Purcell K, Wheeler JE. Benign disorders of

the ovaries & oviducts. In: Currrent Obstetric & Gynecologic diagnosis & treatment. Decherney AH, Nathan L editors. Ninth edition. Lange Medical Books. New York, 2003.p: 708 – 15.

2. Sanfilippo JS, Rock JA. Surgery for benign disease of the ovary. In: Te Linde’s Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD editors. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, 1997. p 625 – 44.

3. Audlbert AJM. Laparoscopic ovarian surgery and ovarian torsion. In : Sutton C and Diamond M (eds). Endoscopic surgery for gynecologists. WB Saunders, London, 1993 : 134 – 41.

4. Tulandi T. Ovarian cystectomy. Gynecol Endosc 1995;4:59 – 66.

5. Canis M. Rabischong B, Houlle C, Botchorishvili R, Jardon K, Safi A et al. Laparoscopic management of adnexal mass: a gold standard?. Curr Opin Obstet Gynecol 2002; 14: 423 – 28.

6. Duggal BS, Tarneja P, Sharma RK, Rath SK, Wadhwa RD. Laparoscopic management of adnexal mass. MJAFI 2004;60(1): 28 – 30.

7. Hanson HM. Laparoscopic management of ovarian cysts. J Reprod med 1990;25:863.

8. Van Nagell JR, DePriest PD. Management of adnexal mass in premenopausal women. Am J Obstet Gynecol 2005;193:30 – 5.

9. Tulandi T. Laparoscopy management of ovarian cyst in perimenopausal women. Gynecol Endosc, 1996 ; 5 : 1 – 4.

Page 59: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 265

Resiko Penyakit Jantung Koroner Akibat Hipertensi

Harris Hasan

Departemen Kardiologi Dan Kedokteran Vaskuler FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Abstrak: Hipertensi masih merupakan salah satu problema kardiovakuler yang paling umum dengan prevalensi yang tinggi dinegara maju dan berkembang. Dasar ilmiah penatalaksaan hipertensi adalah dinamis. Panduan terakhir seperti JNC VII (Amerika) dan panduan Eropah (ESC-ESH) telah memasukkan konsep evaluasi resiko total dalam tatalaksana hipertensi. Pada fase awal modifikasi gaya hidup harus dilakukan sebelum terapi farmakologik dimulai. Para klinisi harus diyakinkan untuk mencapai target tekanan darah. Target tekanan darah harus lebih rendah pada penderita hipertensi dengan diabetes militus, payah jantung kongestif dan gagal ginjal atau adanya proteiuria. Kata kunci: Hipertensi, Faktor resiko total, JNC VII, Panduan ESC-ESH.

Abstract: Hypertension has remained one of the most common cardiovascular problems with a very high prevalence in developed countries and developing countries. The scientific evidence base for the management of hypertension is dynamic. Recent guidelines such as the 7th report of the Joint National Committee on Prevention Detection and Evaluation of High Blood Pressure (JNC VII) and ESH-ESC Guideline for the Management of Arterial Hypertension introduced the concept of total risk evaluation in deciding which patient can be managed conservatinely initially on just lifestyle modification and which patient should be started immediately on pharmacologic therapy. Practioners are also enjoined to achieve treatment goals. Lower BP goals have been set for hypertensive with diabetes mellitus, congestive heart failure (CHF) and renal failure or proteinuria. Key words: Hypertension, Risk Factors, JNC VII, ESC-ESH Guidelines

Pendahuluan Tindakan terapeutik untuk pengobatan faktor resiko kardiovaskular seperti tekanan darah didasarkan pada nilai tekanan darah sendiri dan faktor resiko tiap individual. Hubungan yang kontinu dan kuat diantara nilai tekanan darah dan resiko kardiovaskular adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam praktek sehari-hari.(1,2) Definisi

Definisi dan klasifikasi terbaru dan umum nilai tekanan darah (Hipertensi) menurut (WHO/ISH) (1). ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi menurut WHO/ISH(1)

Kategori Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Optimal Normal High normal Grade I hypertension (mild) Grade 2 hypertension (moderate) Grade 3 hypertension (severe) Isolated systolic hypertension

<120 120-129 130-139 140-159 160-179 ≥180 ≥140

<80 80-84 85-89 90-99

100-109 ≥110 <90

Sedangkan klasifikasi atas dasar

penggunaan total resiko kardiovaskular ditunjukkan dalam tabel 2 berikut.

Page 60: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

266 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Tabel 2. Total Resiko Kardiovaskular(1)

Blood pressure (mmHg)

Other risk factors and disease history

Normal SBP 120-129

Or DBP 80-84

High normal SBP 130-139

Or DBP 85-89

Grade 1 SBP 140-159

Or DBP 90-99

Grade 2 SBP 160-179

Or DBP 100-109

Grade 3 SBP≥180

Or DBP ≥110

No other risk factors Average risk Average risk Low added risk Moderate added risk High added risk

1-2 risk factors Low added risk Low added risk Moderate added risk Moderate added risk Very high added risk

3 or more risk factors or TOD or diabetes

Moderate added risk High added risk High added risk High added risk Very high added risk

ACC High added risk Very high added risk

Very high added risk Very high added risk Very high added risk

ACC: Associated Clinical Condition

Terminologi bagi rendah (low), sedang (moderate), tinggi (high) dan sangat tinggi (very high added risk) adalah merupakan prediksi resiko untuk terjadinya penyakit kordiovaskular untuk 10 tahun (10-year risk) dari masing-masing terminologinya diatas yakni <15%, 15-20%, 20-30% dan >30% sesuai kriteria Framingham. (3) Kalau kita menggunakan skor dari European Society of Cardiology (Euro

SCORE) maka resiko absolut terjadinya resiko kardiovaskular yang fatal yakni masing-masing sebesar <4%, 4-5%, 5-8% dan >8%.

Tabel dibawah ini menunjukkan faktor resiko yang umum, target kerusakan organ, diabetes dan kondisi klinis yang berhubungan yang digunakan untuk stratifikasi resiko penderita hipertensi. (1)

Tabel 3. Faktor Resiko Umum, TOD, Diabetes dan ACC untuk Stratifikasi Resiko

Risk factors for cardiovascular disease used for stratification

Target organ damage (TOD) Diabetes mellitus

Associated clinical conditions (ACC)

Levels of systolic and diastolic BP

Men > 55 years

Women > 65 years

Smoking

Dyslipidaemia (total cholesterol > 6.5 mmol/l, >250 mg/dl, or LDL-cholesterol > 4.0 mmol/l, > 155 mg/dl, or HDL-cholesterol M<1.0, W<1.2 mmol/l, M<40, W<48 mg/dl)

Family history of premature cardiovascular disease (at age < 55 years M, < 65 years W)

Abdominal obesity (abdominal circumference M≥102 cm, W ≥88 cm)

C-reactive protein ≥ 1 mg/dl

Left ventricular hypertrophy (electrocardiogram: Sokolow-Lyons > 38 mm; Cornell > 2440 mm ms; echocardiogram: LVMI M≥125, W ≥ 110 g/m2)

Ultrasound evidence of arterial wall thickening (carotid IMT ≥ 0.9 mm) or atherosclerotic plaque

Slight increase in serum creatinine (M 115-133, W 107-124 μmol/l; M 1.3-1.5, W 1.2-1.4 mg/dl)

Microalbuminuria (30-300 mg/24 h; albumin-creatinine ratio M≥22, W ≥ 31 mg/g; M ≥ 2.5, W ≥ 3.5 mg/mmol)

Fasting plasma glucose 7.0 mmol/l (126 mg/dl)

Postprandial plasma glucose > 11.0 mmol/l (198 mg/dl)

Cerebrovascular disease: ischaemic stroke; celebral haemorrhage; transient ischaemic attack

Heart disease: myocardial infarction; angina; coronary revascularization; congestive heart failure

Renal disease: diabetic nephropathy; renal impairment (serum creatinine M > 133, W > 124 μmol/l; M > 1.5, W > 1.4 mg/dl) proteinuria (>300 mg/24h)

Peripheral vascular disease

Advanced retinopathy: haemorrhages or exudates, papilloedema

Page 61: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Haris Hasan Resiko Penyakit Jantung Koroner Akibat Hipertensi

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 267

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai resiko penyakit koroner akibat hipertensi adalah: (3,4,5) 1. Obesitas yang dinyatakan sebagai obesitas

abdominal merupakan tanda yang penting dari sindroma metabolik. Sindroma metabolik saat ini sangat populer sebagai kumpulan faktor resiko terjadinya PJK.

2. Diabetes, merupakan faktor resiko yang sangat penting (2-3 kali peningkatan dibandingkan penderita tanpa diabetes).

3. Mikroalbuminuria, dikategorikan sebagai tanda kerusakan organ target ginjal sedangkan proteinuria sebagai petanda penyakit renal yang jelas.

4. Peningkatan konsentrasi serum kreatinin (1.2-1.5 mg/dL)

5. C-reactive protein (hs CRP), sama kuatnya dengan faktor resiko kolesterol LDL dan keadaan ini berhubungan dengan sindroma metabolik.

6. Penyempitan yang fokal atau generalisata dari arteri retina.

Kapan memulai pengobatan? Panduan untuk memulai inisiasi

pengobatan antihipertensi didasarkan kepada dua kriteria: (5,6) 1. Nilai resiko kardiovaskular total 2. Nilai tekanan darah sistolik

Jumlah total (gabungan) resiko kardiovaskular merupakan indikasi utama untuk memulai pengobatan dan bila diambil tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan darah diastolik 85-89 mmHg untuk memulai pengobatan, maka hal ini didasarkan pada penelitian besar dibawah ini yaitu: (7)

1. Progress Study Pasien dengan riwayat stroke atau transient ischaemic attack (TIA) dan

tekanan darah <140/90 mmHg, jika tidak diobati dijumpai kejadian serangan kardiovaskular kira-kira 17% dalam 4 tahun (resiko sangat tinggi menurut panduan) dan resikonya menjadi berkurang sebesar 24% dengan menurunkan tekanan darah kearah normal. Makin tinggi tekanan darah manfaat yang didapat akan lebih besar.

2. Hope Study Bagi pasien-pasien dengan tekanan darah normal dimana mempunyai resiko koroner tinggi, manfaat pengobatan dengan ramipril akan dijumpai penurunan yang sangat bermakna baik untuk total kematian, infark miokard akut, stroke dan diabetes baru.

3. The ABCD-Normotensive Trial Pada pasien diabetik tipe 2 dengan tensi <140/90 mmHg, manfaat pengobatan sangat besar dengan penurunan tekanan darah yang agresif, paling tidak untuk pencegahan stroke dan progresi proteinuria.

4. The Framingham Study Pada laki-laki dengan tekanan darah normal tinggi akan mempunyai kejadian kardiovaskular sebesar 10% dalam 10 tahun.

Berikut ini digambarkan panduan pengobatan hipertensi menurut panduan ESC-ESH.(1) Diagram di bawah ini (A, B & C) menunjukkan bagaimana memulai pengobatan antihipertensi yang didasarkan pada nilai tekanan darah awal dan jumlah total nilai resiko kardiovaskular.

Page 62: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Tinjauan Pustaka

268 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

SBP 130-139 or DBP 85-89 mmHg on several occasions

(High normal BP)

Assess other risk factors, TOD (particularly renal), diabetes, ACC

Initiate lifestyle measures and correction of other risk factors or disease

Stratify absolute risk

Very high High Moderate Low

Begin drug treatment

Begin drug treatment

Monitor BP frequently

No BP intervention

A

Severe 140-179 or DBP 90-109 mmHg On several occasions

(grades 1 and 2 hypertension)

Assess other risk factors, TOD, diabetes, ACC

Initiate lifestyle measures and correction Of other risk factors or disease

Stratify absolute risk

High Moderate Low Monitor BP and other risk factors for 3-12

months

Monitor BP and other risk factors for at least 3

months

Begin drug treatment promptly

Begin drug treatment promptly

Begin drug treatment

SBP ≥ 140 or DBP ≥ 90 mmHg

SBP < 140 or DBP < 90 mmHg

Continue to monitor

SBP ≥ 140-159 or DBP ≥ 90-99 mmHg

B

Consider drug treatment and elicit patient’s preference

Very high

Page 63: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Haris Hasan Resiko Penyakit Jantung Koroner Akibat Hipertensi

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 269

KESIMPULAN Tujuan primer pengobatan pasien hipertensi saat ini adalah mendapatkan pengurangan maksimum bagi jumlah total resiko jangka panjang terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Ini membutuhkan penilaian dari seluruh faktor resiko yang dapat diubah dan dicegah yang terdapat meliputi merokok, dislipidemia atau obesitas. Penyakit-penyakit lain pada pasien dan target kerusakan organ harus dievaluasi (otak, ginjal, jantung, retina, dan lain-lain) serta nilai tekanan darah itu sendiri. Dari ketiga diagram diatas (A, B & C) dari panduan ESC-ESH jelas bagi kita sebagai praktisi untuk memulai pengobatan berupa perubahan gaya hidup atau pemberian obat pada pasien yang datang kepada kita yakni tergantung pada nilai tekanan darah dan jumlah total resiko yang ada pada pasien. Hal diatas dapat digunakan sebagai panduan. Jangan lupa faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga) juga sangat penting diperhatikan. KEPUSTAKAAN 1. 2003 European Society of Hypertension -

European Society of Cardiology Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. J.Hypertens 2003 ; 21 : 1011 - 1053.

2. The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The JNC 7 Report JAMA 2003 ; 289 : 2560 - 2572.

3. Kannel W.B. Coronary Atherosclerotic Sequelae of Hypertension in Oparil S., Weber MA.(eds) Hypertension: a Companion to Brenner and Rector’s the Kidney, WB Saunders Company, Philadelpia, 2000 ; 235 – 243.

4. Alderman MH. Total Risk in Oparil S.,

Weber MA.(eds) Hypertension: a Companion to Brenner and Rector’s the Kidney, WB Saunders Company, Philadelpia, 2000 ; 221-277

5. Kaplan NM. Kaplan’s Clinical Hypertension 8th ed Lippincott William & Wilkins, 2002; 237-242.

6. Doyle AE. Does Hypertension Predispose to coronary disease? Conflicting Epidemiological and Experimental Evidence in Haragh JH, Brenner BM (eds) Hypertension Pathophysiology Diagnosis and Management, 2nd ed, Raven Press, New York, 1995;57-64

7. Mensah GA, Francis CK. Complication of Hypertension: The Heart in Crawford MH, DiMarco JP (eds) Cardiology, Mosby, London, 2001; 3.4.7-3.4.11

SBP ≥ 180 or DBP ≥ 110 mmHg on repeated measurements within a few days

(Grade 3 hypertension)

Begin drug treatment immediately

Assess other risk factors, TOD, diabetes, ACC

Add lifestyle measures and correction of other risk factors or diseases

C

Page 64: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

270 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Neurosistiserkosis

Erlinawati, Aldy S.Rambe

Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan Abstrak: Neurositeserkosis merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering pada sistem saraf manusia dan menjadi penyebab epilepsi tersering dinegara-negara berkembang, dimana prevalens epilepsi aktif lebih sering dari pada negara berkembang. Oleh karena emigrasi dari daerah endemik , pasien sistiserkosis sekarang ada dinegara dimana dulu penyakit ini tidak dikenal. Infeksi diperoleh dengan termakanya telur biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau yang jarang melalui anal-oral atau kembalinya proglotid dalam lambung oleh karena peristaltik. Diagnosa neurosistiserkosis sukar oleh karena gejala klinis tidak khas, banyak penemuan neuroimaging tidak patognomonig dan beberapa tes serologi mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Kata kunci: Neurositiserkosis, Taenia solium, epilepsi. Abstract: Neurocysticercosis is the most commont parasitic disease of nervous system in humans and the single most common cause of acquired epileptic seizures in the developing countries, whith prevalence rate of active epilepsy twice in developed countries. Because of considerable emigration from endemic area, patients with cysticercosis are now being seen with some regularity in countries where the disease had previously been unknown. The infection is acquired by ingestion of the ova usually by fecal contamination of food or less often by autoinfection via anal-oral transfer or reverse peristaltic of proglotid into the stomach. The diagnosis of neurocysticercosis is difficult because clinical manifestation are nonspesific, most neuroimaging findings are not pathognomonig, and some serologis test have low sensitivity and spesivicity. Key words: Neurocysticercosis, Taenia solium, epilepsy

PENDAHULUAN Neurosistiserkosis merupakan penyakit

infeksi parasit pada sistim saraf yang disebabkan oleh larva cacing pita Taenia Solium dan paling sering menyebabkan epilepsi di negara-negara berkembang. 1 Sebelum diperkenalkan tehnik diagnostik neuroimaging sebagian kasus didiagnosa dengan adanya nodul subkutan, adanya kalsifikasi diotak atau jaringan pada foto polos dan dengan pembedahan pada kasus-kasus hipertensi intrakranial. 2 Di Amerika Tengah dan Selatan, sebagian Afrika dan Timur Tengah neurosistiserkosis menjadi penyebab utama epilepsi dan gangguan neurologis lain. Karena adanya migrasi dari daerah endemik ini , sekarang neurosistiserkosis ada dinegara-negara yang sebelumnya tidak dikenal.2

Infestasi ke sistim saraf dengan larva cacing pita Taenia Solium terjadi dengan memakan makanan yang terkontaminasi dengan telur cacing pita. 3 Yang jarang terjadi infestasi secara

autoinfeksi lewat anal – oral atau kembalinya proglotid karena gerakan peristaltik ke dalam lambung. 4

Gejala–gejala neurosistiserkosis biasanya akibat dari respon inflamasi host setelah parasit mati dan manifestasi klinik yang timbul bermacam-macam.5

LAPORAN KASUS Seorang pria (N) usia 52 tahun, suku Karo, agama kristen, supir, alamat Simalingkar Medan. Datang dengan keluhan kejang yang dialami 3 jam sebelum masuk RS secara tiba-tiba saat os baru pulang dari bekerja, kejang mula-mula seluruh tubuh menegang kaku selama 2 menit kemudian diikuti kaki dan tangan yang menyentak-nyentak selama 3 menit setelah itu os tidak sadarkan diri. Oleh keluarganya os kemudian dibawa ke RS Adam Malik. Pada saat tiba di ruang gawat darurat kejang kembali tejadi diseluruh tubuh yang menyentak-nyentak.

LAPORAN KASUS

Page 65: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Erlinawati Neurosistiserkosis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 271

Riwayat kejang sebelumnya tidak dijumpai dan riwayat kejang dalam keluarga tidak dijumpai. Riwayat makan daging babi setengah matang (+). Pada Pemeriksaan Fisik dijumpai kesadaran apatis, tekanan darah 120/ 80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 370C, kepala, mata, THT, jantung, paru-paru, Abdomen dalam batas normal. Nodul sukutan tidak dijumpai. Pemeriksaan Neurologis tanda perangsangan meningeal dan tanda peninggian tekanan intra kranial tidak dijumpai. Nervus Kranialis dan motorik dalam batas normal. Sistim sensibilitas dan refleks normal, fungsi luhur baik. Pemeriksaan penunjang darah lengkap normal, fesestidak dijumpai kista dan telur cacing, thorak foto dan EKG normal. Pada Lumbal punksi sel Mononukleus lebih banyak dari PMN. EEG) adanya perlambatan ringan difuse di parietal dan frontocentral. Head CT Sken dicurigai suatu neurocyticercosis.

Pasien diberi Albendazole 1x1000 mgr, inj Diazepam kemudian diteruskan dengan Carbamazepin 3x200mg. Inj. Deksametason 2amp kemudian di tafering off.

Kesadaran pasien membaik, kejang terkontrol dan dipulangkan dengan anjuran berobat jalan.

DISKUSI KASUS Pada kasus ini seorang pria N (52 thn) dirawat inap dengan diagnosa neurosistiserkosis yaitu infeksi sitem saraf pusat oleh bentuk larva atau sitiserkus dari cacing pita Taenia solium.6,7 Berdasarkan anamnese, dan hasil pemeriksaan penunjang. Dari anamnese dijumpai adanya riwayat makan danging babi setengah matang yang merupakan sumber infestasi dengan taenia Solium.Infestasi juga dapat terjdi melaui autoinfeksi lewat anal-oral atau kembalinya proglotid kedalm lambung karena gerakan peristaltik. 4,8,9,10

Adanya kebiasaan makan danging setengah matang atau mentah merupakan salah satu faktor epidemiologi yang mempermudah penyebaran penyakit, faktor lain adalah adanya penderita neurosistiserkosis, pembuangan tinja dan sampah yang tidak sempurna shingga ternjadi

kontaminasi tanah atau tumbuhan dengan taenia, adanya babi yang dipelihara pada tempat terkontaminasi .11 Pada pemeriksaan head CT sken dengan kontras dijumpai adanya kalsifikasi dan cystic lesion yang enhance dengan kontras. Yang paling baik untuk menunjukkan kista dengan pemeriksaan MRI sedangkan CT lebih baik untuk melihat kalsifikasi pada lesi yang tidak aktif, tanda patognomonig untuk infeksi neurositiserkosis adalah dijumpai adanya starry night effect. 5, 12,13 Kemungkinan suatu tuberkuloma disingkirkan dengan pemeriksaan head CT sken dengan kontras, dijumpai adanya lesi kistik yang multipel dan adanya kalsifikasi di parenkim yang merupakan tanda kemungkinan besar suatu neurosistiserkosis. 14 Kemungkinan adanya suatu abses dapat disingkirkan dengan tidak ditemukan adanya sumber infeksi dari telinga, mastoid, sinusitis, paru, jantung dan trauma kepala yang bisa menyebabkan abses otak pada kasus ini. Pada kasus ini tidak ada kriteria absolut yang terpenuhi, kriteria mayor yang terpenuhi 1 (satu) yaitu adanya lesi yang sangat dicurigai neurosistiserkosis dengan neuroimanging adalah adanya lesi kistik yang multipel yang enhance dengan kontras dan adanya kalsifikasi diparenkim. Kriteria minor yang terpenuhi yaitu manifestasi klinis sangat mungkin suatu neurosistiserkosis, kriteria epidemiologi yang terpenuhi yaitu adanya kontak dengan infeksi Taenia Solium sehingga kasus ini bisa ditegakkan suatu diagnosa probable neurosistiserkosis. Diagnosa disebut suatu definitif apabila mempunyai satu kriteria absolut atau 2 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor dan 1 kriteri epidemiologi. Probable suatu neurositiserkosis adalah adanya 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor atau 1 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor dan 1 kriteria epidemiologi, atau 3 kriteria monir ditambah 1 kriteria epidemiologi. 1.10 Untuk menegakkan apakah kasus ini suatu definitif neurosistiserkosis harus dilakukan pemeriksaan serologis serum atau cairan serebrospinal. Setelah diterapi dengan kortikosteroid, antikonvulsan dan roborasia pasien menjadi kompos mentis dan kejang teratasi,

Page 66: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Laporan Kasus

272 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

antihelmentik diberikan selama satu bulan. Antihelmentik selain Albendazole juga dapat diberikan prazikuantel 5-10mg/kg/hari. Albendazole dapat membunuh sitiserkosis diparenkim otak sebesar 60-85%, bisa terjadi eksaserbasi oleh kematian larva pada hari 2-5 yang dapat dikontrol dengan pemberian steroid.1,15 Pada kasus ini antiinflamasi yang dipakai adalah deksametason, biasanya dipakai dengan dosis 4,5- 12mg/hari atau prednison 1mgkg/hari jika diperlukan steroid jangka panjang.1,16 Untuk pengotrolan kejang dipakai antiepilepsi pada kasus ini dipakai karbamazepin.17 Prognosa pasien ini baik pasien pulang setelah kejang terkontrol dan dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik neurologi. Saat ini prognosa mengalami peningkatan setelah adanya terapi albendazol dan prazikuantel.17

KESIMPULAN 1. Diagnosa neurosistiserkosis ditegakkan

berdasarkan, anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan CT sken dengan kontras.

2. Penderita ini diobati dengan tindakan konservatif dengan antihelmentik dan antikonvulsan.

SARAN 1. Sebaiknya penderita dan keluarga

penderita diberi penjelasan tentang penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami penderita agar dapat berobat dengan teratur.

2. Sebaiknya penderita dan keluarga diberitahu jangan memakan daging babi yang dimasak setengah masak atau mentah.

3 Seharusnya dilakukan pemeriksaan serologis dan pemeriksaan head CT sken ulangan untuk menegakkan diagnosa definitif neurosisteserkosis.

KEPUSTAKAAN 1. Garcia HH, Evan CAW, Nash

TE,Takayanagui OM, White AC, Botero D, Rajshkhar V, et al.Current Consensus Guideline for treatmen of Neurocysticercosis. Clinical Microbiology review, 2002 ;15: p.747-56.

2. Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.

3. Sagar SM, McGuire D. Infectious Diseases. In: Samuel MA.editor. Manual of Neurologic therapeutic.6th ed. Philadelphia: Lippincot William & Wilkin; 1999. p.212-3.

4. Jubett B, Miller JR.Parasitic Infection. In:Rowland LP.editor. Merrit”s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins ;1999. p.192-4.

5. Pal DK, Carpio A, Sander JWAS. Neurocysticercosis and Epilepsy in developing Countries. J.Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 68: p.137- 43.

6. Carangelo B, Erra S, De Caro MLDB, Bucciero A. Neurocysticercosis: Case report. Journal of Neurosurgical Sciences 2001; 45: p. 43-7.

7. Yee T, Barakos JA, Knight RT. High –dose Prazikuantel with cimetidine for refractory Neurocysticercosis; A case report with clinical and MRI follow up.Western Journal of Medicine 1999; 170: p. 112-16.

8. Gilroy J.Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw -Hill; 2000.

9. Devinsky O, Feldmann E, Weinreb HJ, Wilterdink JL.The Resident”s Neurology Book. Philadelphia : Davis Company; 1997.

10. Sudewi AAR, Nuartha AABN.Diagnosis of Neurocysticercosis Based on Del Bruto Criteria. Asean workshop teaching course on CNS Infection : Bandung; 2002.

11. Bakta IM. Taeniasis. Dalam: Noer S.editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. hal. 518-24.

12. Sheth TN, Pilon L, Keytone J, Kucharczyk W. Persisten MR Contrast Enhancement of Calcified Neurocysticercosis Lesion. ANJR Am J Neuroradiol 1998; 19: p. 79-82.

13. Sze G, Lee SH. Infectious Disease. In: Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman RA. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York: McGraw – Hill; 1999. p. 494- 99

14. Azad R, Gubta RK, Kumar S, Pandey cm, Prasad kn, Husain N, Husain M. Is

Page 67: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Erlinawati Neurosistiserkosis

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 273

Neurocystesercosis a risk factor in acaoexistent intracranial disease ? An MRI based Study. J. Neurol Neurosurg Psychiatry 2003; 74: p.359-61.

15. Takayanagui OM, Jardin E. Therapy for Neurocystisercosis Comparison between Albendazole and Prazikuantel. Arch Neurol 1992; 49: p.29.

16. Sotelo J. Cerebral Cysticercosis. In: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. Editors. Current therapy in Neurologic disease. 5th ed. St. Louis: Missouri Mosby; 1997.p. 131-5.

17. Wadia NH. Neurocysticercosis. In: Shakir RA, Newman PK, Poser CM.editors. Tropical Neurology. London: WB Saunders; 1996. p. 247-70.

Page 68: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

274 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine Angle

Adril Arsad Hakim

Departemen Bedah FK-USU/SMF Bedah Syaraf RSUP H.Adam Malik Medan

Cerebello-pontine angle tumor . Diagnosa tumor intracranial merupakan tantangan bagi para ahli neurologi, bedah saraf, patologi maupun radiologi agar dapat mengatasi kasus-kasus tumor otak baik secara konservatif dengan medikamentosa maupun dengan tindakan operatif. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan serta tanda-tanda yang khas dikeluhkan oleh penderita. Pengobatan yang adekuat secara operatif, radioterapi, gamma knife surgery, dan kemoterapi akan memberikan prognosa yang lebih baik. Kata kunci: Tumor otak, operatif, radioterapi, gamma knife surgery, kemoterapi Abstract: The purpose of this presentation is to provide a practical guideline for diagnosis and management of brain tumors, e.g; Cerebellopontine angle tumor. Accurately diagnosing intracranial tumors is a challenging issue for any neurologist, neurosurgeon, pathologist or radiologist involved in medical and surgical treatment. The diagnostic process is typically initiated by the patient’s symptoms and signs. The therapeutic (i.e. surgery, radiotherapy, gamma knife surgery & chemotherapy ) as well as prognostic implications of tumors. Key words: Brain tumor, Operative, Radiotherapy, Gamma knife surgery, Chemotherapy PENDAHULUAN

Tumor otak mulai dikenal sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada masyarakat disamping penyakit-penyakit seperti; stroke, dan lain-lain.

Dengan kemajuan tehnologi kedokteran saat ini yang ditandai dengan kehadiran alat-alat canggih khusus untuk mendiagnosa penyakit-penyakit bedah syaraf seperti: CT-Scan, Stereotatic Radiosurgery, MRI, Minimal invasive/Keyhole ataupun Gamma knife surgery membuat penyakit tumor otak dapat lebih mudah dan cepat di diagnosa. Berdasarkan kepustakaan yang ada, tumor otak ini sudah dikenal sejak dahulu ; 1). Sandifoots tahun 1677 telah menulis

tentang kasus-kasus dengan kelainan pada otot wajah, sistem pendengaran dan keseimbangan, setelah dilakukan otopsi didapati adanya tumor otak.1,2,3

2). Balance tahun 1894 telah melakukan tindakan operasi tumor otak yang terletak pada celah antara otak kecil dengan otak besar. 4

3). Cushing dan Dandy tahun 1932 melakukan operasi terhadap tumor otak yang serupa diatas dengan angka kematian 4%, tetapi tumor tidak terangkat seluruhnya.

4). Campbell tahun 1959 telah melakukan operasi tumor otak secara mikro dengan hasil lebih baik. Di Medan pada tahun 1990, penulis telah melakukan bedah mikro terhadap 15 kasus tumor otak di dasar tengkorak maupun tumor yang berada di celah antara batang otak dengan otak kecil dengan keberhasilan 80% baik.

GEJALA-GEJALA & DIAGNOSA PENYAKIT 5,6,7

Tumor otak dapat menyerang pada segala usia dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dengan tanda-tanda dan gejala klinis sebagai berikut ; I. Gejala umum dijumpai gangguan fungsi

akibat adanya pembengkakan otak dan peningkatan/peninggian tekanan didalam tengkorak kepala sehingga dapat menyebabkan kematian.

Page 69: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Adril Arsyad Hakim Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine Angle

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 275

II. Gejala spesifik dijumpai akibat adanya kerusakan dan penekanan pada jaringan syaraf/otak.

Ad.I. Gejala-gejala umum adalah sebagai berikut: 1. Sakit kepala, terutama diwaktu bangun

tidur, datang berupa serangan secara tak teratur yang semakin lama semakin

sering. Mula-mula rasa sakit bisa diatasi dengan analgetik biasa, namun lama

kelamaan obat tidak berkhasiat lagi. Sakit kepala bertambah hebat terutama 2. Muntah proyektil tanpa didahului oleh

rasa mual. 3. Gangguan ketajaman visus dan

lapangan pandang. 4. Kejang-kejang;

- fokal, jika tumornya berada di permukaan otak, terutama di daerah sisi kanan atau kiri kepala (lobus Temporalis cerebri).

- kejang umum, jika ada penekanan terhadap Cortex cerebri atau akibat adanya pembengkakan otak. Keadaan ini sulit dibedakan dengan penyakit epilepsy.

Ad.II. Gejala-gejala spesifik/focal dijumpai berdasarkan lokasi tumornya, seperti: 1. Tumor di lobus frontalis (bagian depan

otak): menimbulkan gangguan mental seperti Apathy, Perubahan perilaku, Psikosis, Gait disorders, Complex partial seizures.

2. Fronto basal; gangguan penciuman (anosmia)

3. Basal; Brain nerve palsies, Endocrien disorder

4. Central; Hemiparesis, Somatosensory disorders, Motor seizure.

5. Parasagital; Leg paresis, Gait disorder. 6. Temporoparietal; Dominant

hemisphere, Aphasia, Acalculia, Subdominant Visuo-spatial disorder

7. Temporomesial; Vegetative symptoms, Affective disorder, Memory Impairment, Complex partial seizures.

8. Insula; Vegetative symptoms, Dizziness

9. Occipital; Hemianopsia, Visual sensation

10. Brainstem ; Brain nerve palsies, Spastic paresis, Vertigo.

11. Cerebellum; Vertigo, Ataxia. 12. Cerebellopontine angle; Tinnitus,

Vertigo, Gangguan telinga berdenging dan kurang pendengaran, rasa sakit dan kebas di wajah, mulut mencong, mata tak bisa dikatupkan (akibat penekanan NVII atau NV), Ataxia dan akhirnya Coma karena Hydrocephalus.

13. Suprasellar/Hipophyse; gangguan lapangan pandang/terbatas, erlihat ganda (Diplopia), gangguan visus bahkan bisa visus = 0, gangguan fungsi kelenjar seperti: Gigantisme, Amenorrhae, Libido sex menurun, Diabetes insipidus dan akhirnya dapat menimbulkan kematian.

JENIS-JENIS TUMOR OTAK (‘Simplified classification of brain tumors’) :

Berdasarkan WHO-2000 , tumor otak dibagi atas 8 : 1. Tumors of the Neuroepithelial tissue;

1.1. Astrocytic tumor terdiri dari; • Pilocytic astrocytoma (grade I) • Diffuse astrocytoma (grade II) • Anaplastic astrocytoma (grade III) • Glioblastoma multiforme (gradeIV)

2.1. Oligodendrodial tumors : • Oligodendroglioma (grade II) • Anaplastic oligodendroglioma

(grade III) 3.1. Mixed gliomas :

• Oligoastrocytoma (grade II) • Anaplastic oligoastrocytoma (grade

III) 2. Ependymal tumors 3. Choroid plexus tumors 4. Pineal parenchymal tumors 5. Embryonal tumors: a) Medulloblastoma

dan b) Primitive neuroectodermal tumors (PNET)

6. Meningeal tumors : a) Meningioma dan b) Other Meningeal tumors

7. Primary CNS Lymphoma 8. Germ cell tumors 9. Tumors of the sellar region 10.Brain metastases of the systemic cancers.

PENATALAKSANAAN 9,10 Tergantung dari keadaan tumor tersebut, apakah masih bisa dioperasi (operable) atau tidak mungkin dioperasi lagi (non-operable).

Page 70: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Laporan Kasus

276 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

I. Operatif ; a) untuk kasus emergency (gawat darurat),

jika kesadaran pasien menurun b) Elektif (operasi yang direncanakan) ;

kasus tumor otak stadium dini. II. Operatif + Radiotherapy + Chemotherapy

Temozolomide dilakukan pada kasus-kasus Anaplastic Oligodendroglioma (grade III). • Sedangkan untuk kasus Malignant

glioma dilanjutkan dengan Interstitial radiotherapy/Brachytherapy dengan radioactive Irridium-192 atau Iodine-125 langsung ke tumor.

• Stereotactic radiotherapy dan Radiosurgery (Linac dan Gamma knife) dilakukan terbatas hanya pada lesi-lesi dengan diameter tidak lebih dari 3-4 cm dan sangat potensial untuk malignant glioma yang berada jauh di dalam otak.

• Pada tumor dengan metastase tunggal di otak, dilakukan tindakan operatif terhadap tumornya tetapi disertai dengan Whole Brain Radiotherapy (WBRT) ataupun dengan Stereotactic Radio Surgery (SRS), selain itu dilanjutkan lagi dengan Chemotherapy, seperti pada tumor Small cell lung carcinoma, Germ cell tumor ataupun pada Breast cancer.

III. Palliative; pada kasus-kasus yang tak mungkin lagi dilakukan operasi.

ILUSTRASI KASUS I Disini kami khusus membicarakan tindakan bedah kasus; erebellopontine angle tumor 1.Seorang wanita umur 28 tahun datang ke bagian Bedah syaraf dengan diantar oleh keluarga dalam kondisi kesadaran menurun. Dari alloanamnese diperoleh keterangan bahwa penderita sudah lama mempunyai keluhan sakit kepala disertai muntah, pendengaran berkurang, jalan seperti orang mabuk sering sampai terjatuh Pada pemeriksaan klinis neurologik diperoleh:

- Kesadaran somnolen, - Pupil isokoris dengan refleks melambat,

Papil edema 2 Dioptri, - N-V nyeri bila disentuh, N-VII kiri parese

ringan, - N-VIII kiri pendengaran berkurang.

− Motorik ; Kekuatan dalam batas-batas normal, refleks-refleks fisiologis baik, tidak dijumpai refleks patologis.

− Test fungsi cerebellum ; didapati adanya gangguan.

− Head CT-Scan + kontras dijumpai gambaran massa dengan diameter 5 x 5 cm, enhancement yang homogen di daerah cerebellopontine angle kiri disertai dengan Obstructive hydrocephalus.

Diagnosa pre-operative:

- Neurinoma di daerah Cerebellopontine angle kiri

- Meningioma di daerah Cerebellopontine angle kiri.

Operasi tahap I: - Dilakukan pemasangan ventriculo-

peritoneal shunt (=VP-shunt). - Tekanan intra cranial ± 40 cm H2O − Dari pemeriksaan sitologis cairan

ventrikel, tak dijumpai tanda-tanda keganasan Penderita sadar sepenuhnya (compos mentis) pada hari ke3 pasca bedah .

Operasi tahap II : − Dilakukan Head CT-Scan ulang :

Tidak dijumpai Hydrocephalus − Diputuskan untuk melakukan bedah

microneurosurgery dengan Suboccipital transmeatal craniotomy approach. Secara hati-hati N-V, VII, VIII dan pembuluh darah dipisahkan dari tumornya. Tumor diangkat sedikit demi sedikit secara intracapsular sehingga akhirnya sebagian besar massa tumor dapat terangkat, hanya sedikit kapsul tumor yang melekat di batang otak (Brainstem).

− Hasil Pemeriksaan PA : Neurinoma. − Setelah 2 minggu pasca bedah

penderita dipulangkan dengan keadaan klinis neurologi yang membaik, Ataxia (-), Facialis parese (-), hanya pendengaran kiri yang masih kurang jelas.

Page 71: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Adril Arsyad Hakim Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine Angle

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005 277

DISKUSI • Khusus CPA tumor sering menyerang

penderita dewasa muda, dimana penderita wanita 2 kali lebih banyak daripada laki-laki.

• Insidens penyakit ini 8-10% dari seluruh jenis tumor otak.

• Berdasarkan asal dan besarnya tumor, gejala klinis dibagi atas 4 tingkat : 1. Hanya dijumpai gejala-gejala

vestibulocochlear 2. Gejala vestibulocochlear + lemahnya

refleks kornea 3. Sudah didapati gejala-gejala

cerebellum dan brainstem (dysphagia, dysarthria, ataxia dan papil edema)

4. Penderita tidak mampu untuk merawat dirinya sendiri.

• Pada tingkat 3 dan 4, tumor sudah keluar dari lubang telinga dalam (internal auditory canal) dan sudah mulai mendesak organ-organ di sekitarnya, sehingga terjadi gangguan pada cerebellum, brainstem, syaraf-syaraf otak perifer dan juga bisa timbul gejala-gejala hydrocephalus oleh karena terhambatnya aliran cairan otak .

• Pada kasus diatas, derajat penyakitnya sudah sampai ke tingkat 4, maka untuk tindakan emergensi dilakukan pemasangan VP- shunt

• Komplikasi yang ditakuti sewaktu operasi dan post-operasi antara lain : 1. Lesi parsial atau kompleks dari N- V,

VII dan VIII. 2. Perdarahan sewaktu dan sesudah

operasi. 3. Thrombosis dari arteri Cerebellar

inferior posterior (Postero-inferior cerebellar artery).

4. Infeksi, Meningitis atau Meningoencephalitis. 2,3

ILUSTRASI KASUS II • Seorang laki-laki umur 62 tahun dengan

keluhan dizziness, vertigo dan ataxia sudah 7 hari dan sudah 20 tahun menderita tinnitus. Penderita datang berobat pada spesialis THT dengan pemeriksaan fisik diagnostik ditegakkan diagnosa; Acute viral labyrinthitis & ditherapy dengan vestibular sedative + fisiotherapy.

• Setelah 4 hari pengobatan tidak dijumpai perbaikan, pasien di konsul ke ahli penyakit syaraf.

• Pada pemeriksaan fisik neurologis, dijumpai adanya cerebellar dysfunction dengan manifestasi ; unsteady dan Ataxia gait serta Romberg’s sign (+).

• Dilakukan Head CT-Scan dengan kontras : terlihat gambaran massa hiperdens di CPA tumor kanan dengan homogen enhancement dan edema disertai efek tekanan massa terhadap ventrikel IV dan hydrocephalus. (gambar)

• Dari pemeriksaan MRI : dijumpai adanya massa kecil dengan vasogenic edema.

• Diagnosa sementara : Meningioma • Dilakukan operasi CPA tumor kanan ; • Ternyata tidak dijumpai adanya massa

tumor. • Didapati jaringan cerebellar yang lunak • Biopsi dilakukan pada daerah abnormal

(dilihat dari gambaran radiology) • Pemeriksaan PA : Infark dengan Acute dan

Chronic inflammation serta Foamy macrophages dan area focal hemorrhagic. Tidak dijumpai adanya jaringan neoplasma.

• MRI control : didapati gambaran resolusi dari infarct dengan residual marginal enhancement. 1,11,12

KESIMPULAN 1. Tumor otak dapat di diagnosa berdasarkan

tanda-tanda dan gejala-gejala klinis yang terdiri dari 4 gejala umum (sakit kepala sewaktu bangun tidur, muntah proyektil tanpa rasa mual, gangguan visus dan kejang-kejang) dan gejala spesifik yang sesuai dengan lokasi tumor di otak/ syaraf.

2. Pemastian diagnosa sangat ditentukan oleh Pemeriksaan dengan alat-alat diagnostic bedah otak/syaraf (CT-scan, MRI, Stereotatic Radiosurgery, Micro neurosurgery, Minimal invasive atau Gamma knife surgery) serta Pemeriksaan PA. dan biopsi jaringan.

3. Penatalaksanaan bisa secara operatif,,

operatif + Radiotherapy + Chemotherapy atau Palliative (kasus non operable)

Page 72: MKN Vol_ 38 No_ 3 Sept_ 2005

Laporan Kasus

278 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 3 September 2005

4. Pada illustrasi kasus ; kami ajukan 2 kasus CPA-tumor, dimana kasus I diagnosa sementara (Meningioma CPA-kiri} ternyata sesuai dengan diagnosa pasca bedah. Pada kasus II ; diagnosa pasca bedah (Infarct) tidak sesuai dengan diagnosa sementara (Meningioma CPA-kanan) yang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan dengan alat-alat diagnostic bedah syaraf dan PA.

KEPUSTAKAAN 1. Michael JE. Et al : ‘ Current Results of

The Retrosigmoideal Approach to Acoustic Neurinoma’, J.Neurosurg 76, 901-909; 1992.

2. A. Behin : ’Differential Diagnosis of Intracranial Malignancies’; 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies; Helsinki; Aug-Sept; 2003.

3. Teruo Kimura et al : ‘Evaluation of The Response of Metastatic Brain Tumors to Stereotatic Radiosurgery by Proton Magnetic Resonance Spectroscopy‘; J.Neurosurg. 100; 835-841 ; 2004.

4. Marcolozoa et al :’Gamma Knife surgery for Treatment of Residual Non-Function

Pituitary Adenomas’; J.Neurosurg. 100; 438-444; 2004.

5. K. Herholz : ‘Diagnosis Intracranial Malignancy,’ 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies; Helsinki, August-Sept. 2003.

6. Akio Noguchi et al : ‘Chorioplexus Papilloma of The Third Ventricle in Fetus’; J.Neurosurg . 100; 204, 224-227; 2004.

7. Albert E. Telfeian et al : ‘Sub Ependymal Giant Cell Astrocytoma with Cranial And Spinal Metastases in Patient with Tuberous Sclerosis’ J.Neurosurg 100; 498-501; 2004.

8. P. Kleihues and WK. Cavenee; ‘Tumors of the Nervus System’; Lyon; IARC Press; 2000.

9. Ayax Jaw Ahar et al :’ Gamma Knife surgery in The Management of Brain

Metastasis from Lung Carcinoma’; J.Neurosurg. 100 ; 842 – 847; 2004.

10. R. Soffietti : ‘Metastases Brain Tumors‘7th Congress of The European Federation

11. N. Danchai Vijitr et al: ’Sub acute Cerebellar Infarct Mimicking Meningioma’; J.Clinical Radiology . 59; 531-533; 2004.

12. J.Hildebrand : ‘Current Treatment of Gliomas’; 7th Congress of The European Federation of Neurological Societies; Helsinki, August-Sept; 2003. of Neurological Societies; Helsinki, August-Sept ; 2003.