agripet vol_ 1 no_ 2 agustus 2005

54
Agripet Jurnal Agribisnis Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Jurnal ilmiah Peternakan AGRIPET diterbitkan dalam rangka penyebarluasan informasi berupa hasil-hasil penelitian dan pemikiran, terutama dari tenaga pengajar dan mahasiswa Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU. Jurnal AGRIPET terbit 3 kali setahun: April, Agustus, dan Desember. Setiap kali penerbitan menurut 6 – 7 tulisan. Pembaca yang menjadi sasaran adalah mahasiswa, tenaga pengajar, instansi pemerintah, para pengusaha, segenap assosiasi dan pemerhati di bidang peternakan serta para peternak. Tulisan yang dimuat dikirim ke redaksi di alamat tersebut di atas dalam bentuk disket 3 ½ inci yang telah diformat lebih dahulu dan diperikasa ulang pembacaannya, serta hasil print out rangkap dua pada kertas ukuran A4. Semua tulisan akan ditelaah lebih dahulu oleh penyunting tentang redaksionalnya dan dewan mitra bestari tentang materi tulisan sesuai kaidah ilmiah yang akan menentukan layak tidaknya untuk dimuat. Redaksi akan mengubah susunan dan kalimatnya tanpa mengubah isi sebenarnya. Tulisan yang tidak dimuat akan dikirimkan kembali jika disertai ongkos kirim secukupnya. Harga jurnal per eksemplar adalah Rp 10.000,- Penasehat: Dekan Fakultas Pertanian USU Penanggung Jawab: Ketua Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU Ketua Penyunting: Iskandar Sembiring, Ir., M.M. Wakil Ketua Penyunting: Tri Hesti Wahyuni, Ir., M.Sc. Mitra Bestari Simon Ginting, Ir., M.Sc., Dr. (Ketua Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) Setel Karo-Karo, Ir., M.Sc., Dr. (Staf Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) Endang Romjali, Ir., M.Sc., Dr. (Staf BPTP Gedong Johor Medan) Rachmat Herman, Drh., M.VSc., Dr., Prof. (Dosen Fakultas Peternakan IPB) Wihandoyo, Ir., M.Sc., Dr., Prof. (Dosen Fakultas Peternakan UGM) Sayed Umar, Ir., M.S. (Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) Hasnudi, Ir., M.S., Dr. (Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) Penyunting: Zulfikar Siregar, Ir., M.P., Dr. Eniza Saleh, Ir., M.S. Hamdan, S.Pt., M.Si. Pelaksana Tata Usaha: Usman Budi, S.Pt., M.Si. Sudarno K. Alamat Penyunting dan Tata Usaha Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Tel. (061) 8215242 Izin Terbit ISSN: 1858-263x Dicetak Oleh USUpress Jurnal Peternakan Volume 1 No.2 Agustus 2005 ISSN: 1858-263x

Upload: adauchi-endi

Post on 27-Jun-2015

479 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Agripet Jurnal Agribisnis Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

• Jurnal ilmiah Peternakan

AGRIPET diterbitkan dalam rangka penyebarluasan informasi berupa hasil-hasil penelitian dan pemikiran, terutama dari tenaga pengajar dan mahasiswa Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU.

• Jurnal AGRIPET terbit 3 kali

setahun: April, Agustus, dan Desember. Setiap kali penerbitan menurut 6 – 7 tulisan. Pembaca yang menjadi sasaran adalah mahasiswa, tenaga pengajar, instansi pemerintah, para pengusaha, segenap assosiasi dan pemerhati di bidang peternakan serta para peternak.

• Tulisan yang dimuat dikirim ke

redaksi di alamat tersebut di atas dalam bentuk disket 3 ½ inci yang telah diformat lebih dahulu dan diperikasa ulang pembacaannya, serta hasil print out rangkap dua pada kertas ukuran A4.

• Semua tulisan akan ditelaah

lebih dahulu oleh penyunting tentang redaksionalnya dan dewan mitra bestari tentang materi tulisan sesuai kaidah ilmiah yang akan menentukan layak tidaknya untuk dimuat.

• Redaksi akan mengubah

susunan dan kalimatnya tanpa mengubah isi sebenarnya. Tulisan yang tidak dimuat akan dikirimkan kembali jika disertai ongkos kirim secukupnya.

• Harga jurnal per eksemplar

adalah Rp 10.000,-

Penasehat: Dekan Fakultas Pertanian USU Penanggung Jawab: Ketua Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU Ketua Penyunting: Iskandar Sembiring, Ir., M.M. Wakil Ketua Penyunting: Tri Hesti Wahyuni, Ir., M.Sc. Mitra Bestari Simon Ginting, Ir., M.Sc., Dr. (Ketua Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) Setel Karo-Karo, Ir., M.Sc., Dr. (Staf Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang) Endang Romjali, Ir., M.Sc., Dr. (Staf BPTP Gedong Johor Medan) Rachmat Herman, Drh., M.VSc., Dr., Prof. (Dosen Fakultas Peternakan IPB) Wihandoyo, Ir., M.Sc., Dr., Prof. (Dosen Fakultas Peternakan UGM) Sayed Umar, Ir., M.S. (Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) Hasnudi, Ir., M.S., Dr. (Dosen Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU) Penyunting: Zulfikar Siregar, Ir., M.P., Dr. Eniza Saleh, Ir., M.S. Hamdan, S.Pt., M.Si. Pelaksana Tata Usaha: Usman Budi, S.Pt., M.Si. Sudarno K. Alamat Penyunting dan Tata Usaha Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Tel. (061) 8215242 Izin Terbit ISSN: 1858-263x Dicetak Oleh USUpress

Jurnal Peternakan Volume 1 No.2 Agustus 2005

ISSN: 1858-263x

Page 2: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

ii

Pengantar dari Redaksi

Puji Syukur ke hadirat Allah S.W.T atas Ridho-Nya sehingga Jurnal Agribisnis Peternakan AGRIPET volume kedua dapat terbit sesuai dengan rencana waktu yang ditetapkan redaksi. Muatan tulisan seluruhnya masih berasal dari kalangan pengajar dan mahasiswa Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU. Jurnal AGRIPET Volume 1 mendapat sambutan hangat terutama dari segenap para pengajar dan mahasiswa Departemen Peternakan Fakultas pertanian Universitas Sumatera Utara, yang merupakan media untuk mempublikasikan hasil penelitiannya di bidang Ilmu dan Agribisnis Peternakan yang merupakan cerminan dari Tridharma Perguruan tinggi. Peredaran AGRIPET mulai menyebar ke segenap para pengajar, mahasiswa departemen peternakan dan instansi pemerintah yang membidangi peternakan di Propinsi Sumatera Utara, walaupun belum menjangkau keseluruhan kabupaten – kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, serta ke sebagian besar fakultas dan jurusan peternakan se-Indonesia. Diharapkan pada penerbitan kedua ini dan seterusnya, penyebaran AGRIPET dapat lebih luas lagi, semoga kiranya tercapai hasrat Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU untuk turut serta memberikan kontribusi bagi pengembangam peternakan di tanah air, khususnya di Propinsi Sumatera Utara. Akhir kata, redaksi mengucapkan terima kasih atas segala bantuan moril maupun materil, kritik serta saran konstruktif dari semua pihak yang diberikan terhadap peningkatan mutu jurnal AGRIPET ini.

Medan, Agustus 2005

Redaksi

Page 3: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

iii

Daftar Isi

Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik Beberapa Sifat Produksi Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang (Genetic Parameter and Variance Component Estimation of Production Traits in Japanese Quail Following Long-Term Selection) Hamdan

[36-47]

Perbandingan Antara Substitusi Keluih (Artocarpus Communis) dan Sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Kualitas Abon Sapi [Comparison Between Keluih (Artocarpus Communis) and Bread- Fruit(Artocarpus Altilis) to Quality of Abon Cow] Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani

[48-52]

Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah (The Effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah Cross-Bredgoats) Usman Budi

[53-61]

Pengaruh Pemberiaan Tepung Temulawak (Curcuma Xanthorrizha Roxb) Dalam Ransum Terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu [The Influence of Temulawak Flour (Curcuma xanthorrizha Roxb) in A Portion to Quality of Carcass Broiler 6 Weeks Old] Yunilas, Edhy Mirwandhono, dan Olivia Sinaga

[62-66]

Pengaruh Berbagai Level Naungan dari Beberapa Pastura Campuran Terhadap Produksi Hijauan (The Effect of Various Levels of the Shades from Some Mixed Pasture towards the Production of Suitables) Nevy Diana Hanafi, Roeswandy, dan Hasan Fuad Nasution

[67-72]

Pengaruh Temperatur dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis Susu Dengan Menggunakan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus (The effect of Temperature in Making Yoghurt from Various Kind of Milk, Using Lactobacillus Bulgaricus, and Streptococcus Thermophilus) Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu

[73-77]

Pemberian Tiga Macam Konsentrat Terhadap Kualitas dan Persentase Karkas Serta Income Over Feed Cost Domba Sungei Putih Selama Penggemukan (The Usage Three Kind Of Concentrates on Quality and Carcass Percentage and Also Income Over Feed Cost of Sungei Putih Sheep for Fatgrowth) Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantioni

[78-84]

Petunjuk untuk Penulis

[85-86]

ISSN: 1858-263x

Page 4: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

36

Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik Beberapa Sifat Produksi Puyuh Pada Seleksi Jangka Panjang (Genetic Parameter and Variance Component Estimation of

Production Traits in Japanese Quail Following Long-Term Selection)

Hamdan*

*)Staf Pengajar Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Medan 20155

Abstract: Estimation of additive variances and parameter genetics were obtained from 38.578 records of two lines of quail over 21 generation selection from 1993 to 2001 in Merbiz Research Station University of Martin Luther, Germany. The purposes of this study were 1) to estimate variances component and genetic parameters 2) to examine stability of genetic parameters from generation to generation following long-term selection for production traits in Japanese quail. The first line of quail was selected on high body weight and small egg weight while the second line was selected only on hight egg weight. Variance component and genetic parameters were estimated using Univariate and Multivariate Animal Model REML procedure using VCE program. The averages of body weight at age of 42 days (BB42), body weight at age of 200 days (BB200), egg weight at the first 11 weeks (BT11), and the last 12 weeks (BT12) in both quail lines increased following 21st generation selection, however the number of eggs laid between 42 days and 200 days of age (JT200) decreased. Additive variance of selected traits still remained following 21st generation selection. Realized heritability estimated for the traits of JT200 and low-egg weight were low i.e. 0,09 to 0,12 and 0,01 to 0,09 respectively , while the trait of low-body weight (line 2) was low to moderate i.e. 0,04 to 0,37, heritability of high-egg weight was moderate i.e. 0,35 to 0,42. Whereas, heritability of high-body weight (line 1) was moderate to high i.e. 0,32 to 0,67. Key words: Japanese quail, long-term selection, additive variance, genetic parameters, heritability. Abstrak: Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik diperoleh dari 38.578 catatan dari dua galur puyuh hasil seleksi selama 21 generasi mulai 1993 sampai 2001 di Stasiun Penelitian Martin Luther Universitas Merbiz, Jerman. Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk menduga komponen ragam dan parameter genetik 2) untuk menguji stabilitas parameter genetik dari generasi ke generasi hasil seleksi jangka panjang beberapa sifat produksi puyuh. galur puyuh pertama diseleksi atas bobot badan besar dan bobot telur yang kecil, sementara galur kedua diseleksi hanya berdasarkan sifat bobot telur yang besar. Komponen ragam dan parameter genetik diduga dengan menggunakan Univariate dan Multivariate Animal Model REML menggunakan VCE program. Rata-rata bobot badan umur 42 hari (BB42), bobot badan umur 200 hari (BB200), bobot telur 11 minggu pertama produksi (BT11), dan 12 minggu terakhir produksi (BT12) pada kedua galur puyuh meningkat sejalan dengan seleksi selama 21 generasi, sementara jumlah telur mulai dari umur 42 hari sampai 200 hari (JT200) menurun. Keragaman aditif sifat yang diseleksi masih tetap bertahan sampai 21 generasi seleksi. Sifat JT200 dan bobot telur ringan, nilai heritabilitasnya rendah, yakni berturut-turut antara 0,09 sampai 0,12 dan 0,01 sampai 0,09, sementara bobot badan ringan (galur 2) heritabilitasnya rendah sampai sedang yakni 0,04 sampai 0,37, bobot telur yang besar heritabilitasnya sedang yakni antara 0,35 sampai 0,42. Sementara, heritabilitas sifat bobot badan yang tinggi (galur 1), sedang sampai tinggi yakni antara 0,32 sampai 0,67. Kata kunci: puyuh, seleksi jangka panjang, ragam aditif, parameter genetik, heritabilitas.

Page 5: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

37

Pendahuluan Sejak abad ke-11, puyuh (Coturnix coturnix japonica) dikenal sebagai penghasil daging dan telur, tetapi ia tidak pernah sepopuler ayam karena ukuran tubuhnya yang kecil. Walaupun demikian karena ukuran tubuhnya yang kecil, mudah dipelihara pada kandang pembibitan, prolifik, interval generasi singkat, keragaman genetik dan produktivitas tinggi, serta kemiripan antara puyuh dengan beberapa spesies unggas lainnya untuk beberapa parameter genetik menjadikan puyuh sebagai model hewan percobaan dalam penelitian seleksi unggas, khususnya untuk penelitian seleksi jangka panjang (Maeda et.al., 1997).

Seleksi jangka panjang telah dilakukan untuk menduga parameter genetik bobot badan 4 minggu pada puyuh dengan pemberian pakan yang berbeda untuk melihat batas seleksi. Walaupun keragaman genetik masih bertahan sampai 97 generasi seleksi, namun hasil dugaan menunjukkan adanya kehilangan keragaman genetik aditif sejalan dengan seleksi (Mark, 1996).

Menurut Nestor et.al. (1996), dengan dilakukan seleksi selama lebih dari 30 generasi pada dua galur puyuh yang berbeda, respon bobot badan dan bobot telur meningkat pada galur yang memiliki bobot badan besar ataupun pada galur yang memiliki bobot badan kecil. Aggrey et.al. (2003), juga telah melakukan penelitian seleksi jangka panjang bobot badan 4 minggu pada dua galur puyuh yang berbeda menghasilkan respon yang tidak simetris pada galur (line) yang memiliki bobot badan besar dan kecil. Hasil seleksi jangka panjang untuk peningkatan bobot badan 4 minggu pada puyuh dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin Komponen ragam merupakan faktor penting dalam pendugaan parameter genetik diantaranya heritabilitas, korelasi genetik (Van der Werf dan Boer, 1990). Juga digunakan untuk perancanaan program pemuliaan serta interpretasi mekanisme genetik sifat-sifat kuantitatif (Henderson, 1986). Heritabilitas dan ragam aditif dapat berubah setiap waktu karena beberapa alasan, salah satunya adalah seleksi. Melalui seleksi secara langsung, heritabilitas dan ragam aditif suatu sifat akan menurun (Bulmer, 1971). Secara teori, nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai dengan satu,

tetapi dalam praktiknya jarang dijumpai nilai-nilai ekstrim tersebut (Warwick dan Legates, 1979). Kategori besar kecilnya nilai heritabilitas, dikemukakan oleh Cole (1966) yaitu: h2 <0,20 rendah; 0,20 – 0,40 sedang dan >0,40 tinggi. Sedangkan menurut Preston dan Willis (1974), heritabilitas rendah <0,25; 0,25 – 0,50 sedang dan >0,50 tinggi. Heritabilitas dapat menduga peningkatan kemajuan genetik yang mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat memiliki nilai tinggi, berarti performans atau penampilan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding dengan faktor lingkungan dan seleksi berdasarkan individu efektif. Heritabilitas yang tinggi juga menandakan aksigen aditif penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya jika heritabilitas rendah, maka mungkin aksigen seperti lewat dominant (over dominance), dominan dan epistasis lebih penting (Lasley, 1978).

Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antarpopulasi. Perbedaan variasi tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metode, dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan Mackay, 1989). Selain itu juga dipengaruhi oleh waktu generasi seleksi (Marks, 1985). Marks (1996), melaporkan bahwa nilai heritabilitas bobot badan puyuh hasil seleksi jangka panjang dan jangka pendek menunjukkan nilai yang berbeda, selain itu perbedaan nilai heritabilitas juga dipengaruhi oleh galur yang berbeda (galur bobot badan berat dan ringan) dan lingkungan (pakan). Warwick et.al. (1983), menyatakan heritabilitas akan menentukan perubahan pada sifat yang diseleksi (respon seleksi), korelasi genetik akan mempengaruhi perubahan genetik sifat lain yang tidak diseleksi (respon terkorelasi). Makin tinggi korelasi genetik, makin besar perubahan yang terjadi pada sifat yang berkorelasi. Korelasi genetik dapat berubah dalam populasi yang sama selama beberapa generasi apabila ada seleksi yang intensif. Nilai pendugaan korelasi genetik hanya berlaku pada populasi di mana nilai tersebut diestimasi dan pada kurun waktu tertentu pula.

Pendugaan korelasi genetik beberapa sifat produksi pada unggas telah

Page 6: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

38

dilakukan. Nestor et.al. (2000) melaporkan bahwa bobot badan umur 16 minggu pada kalkun berkorelasi negatif terhadap jumlah telur. Francesh et.al. (1997) memperoleh nilai korelasi genetik antara jumlah telur dengan bobot telur pada dua galur ayam layer masing-masing sebesar –0,22 dan –0,21. Pada puyuh, korelasi genetik bobot badan pada umur empat minggu dengan bobot badan umur enam minggu pada jantan diperoleh 0,62 dan betina sebesar 0,60 (Kuswahyuni, 1989). Sementara Saatci et.al.(2003) mendapatkan nilai korelasi genetik bobot badan pada umur empat minggu dengan bobot badan umur enam minggu pada puyuh sebesar 0.76.

Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai komponen ragam dan parameter genetik serta mempelajari stabilitas parameter genetik beberapa sifat produksi puyuh dari generasi ke generasi hasil seleksi jangka panjang Materi dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan genetika Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Desember 2003 sampai April 2004. Materi Materi penelitian berasal dari catatan produksi puyuh dua galur hasil seleksi selama 21 generasi mulai dari tahun 1993 sampai 2001. Dari generasi 1 sampai 2, puyuh dipelihara di kandang penelitian di Leipzig, kemudian dari generasi 3 sampai 21 ditempatkan di Stasiun Percobaan Merbiz, Universitas Martin Luther, Jerman. Metode

Puyuh dipelihara pada kandang beterai tiga lantai dalam satu kandang. Pakan yang digunakan selama penelitian ada tiga jenis yakni 1) deuka- Putenstarter-P1, kandungan protein kasar 29.80% diberikan pada umur 1-4 minggu; 2) deuka-Landkornendmast, kandungan protein kasar 21.50% diberikan pada umur 5-6 minggu; dan 3) deuka-all-mash-LC, kandungan protein kasar 17.00% diberikan pada umur 7 minggu sampai selesai. Dari generasi 1 sampai 10 puyuh terdiri atas 110 pasang tetua dan pada generasi 11 sampai 21 jumlah pasangan tetua dikurangi menjadi 80 pasang.

Sifat yang dianalisis dikelompokkan ke dalam dua kelompok: 1) sifat yang diukur dari betina saja, dan 2) sifat bobot badan yang diamati pada jantan dan betina. Pengamatan dilakukan pada sifat bobot badan umur 42 hari pada betina (BB42B) dan jantan (BB42J), jumlah telur yang diproduksi dari umur 42 hari sampai 200 hari (JT200), rataan bobot telur pada 11 minggu pertama (BT11) dan rataan bobot telur pada 12 minggu terakhir selama periode bertelur (BT12), bobot badan betina (BB200B) dan jantan (BB200J) pada umur 200 hari.

Galur pertama diseleksi berdasarkan bobot badan yang tinggi dan bobot telur yang kecil, sementara galur kedua diseleksi hanya berdasarkan pada bobot telur yang besar. Pada galur pertama seleksi didasarkan pada indeks sifat dari JT200, BT11 dan BT12, dengan persamaan indeks:

I = Bobot Badan – (11 x Bobot Telur)

Pada galur kedua kriteria seleksi hanya didasarkan pada BT11 dan BT12. Setiap generasi diseleksi dengan intensitas seleksi sebesar 50%. Ternak yang terseleksi dikawinkan dengan perbandingan 1: 1 serta menghindarkan perkawinan saudara kandung dan saudara tiri.

Analisis Data 1. Data deskriptif sifat produksi meliputi

nilai rataan, standar deviasi, dan koefesien variasi menggunakan program paket SAS 6.12

2. Analisis Efek Tetap Efek tetap diuji perbedaannya menggunakan general linear model dengan SAS 6.12. Model analisis ragamnya sebagai berikut:

ijkkjiijk ESKGY ++++= μ

Untuk sifat pada jantan dan betina.

ijjiij EKGY +++= μ

Untuk sifat pada betina saja Yijk = Sifat yang diakibatkan pengaruh generasi ke – i, kandang ke-j, jenis kelamin ke-k dan galat Yij = Sifat yang diakibatkan pengaruh generasi ke – i, kandang ke-j dan sisaan μ = Rataan Gi = Pengaruh generasi ke-i Kj = Pengaruh kandang ke-j Sk = Jenis kelamin ke-k

Page 7: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

39

3. Pendugaan Komponen Ragam, Nilai Heritabilitas, dan Korelasi Genetik Dihitung Dengan Menggunakan Univariate dan Multivariate Animal Model Restricted Maximum Likelihood (REML) dengan program paket yang digunakan adalah Variance Component Estimation (VCE) 4.2 (Groeneveld, 1998). Model matematik yang digunakan

sebagai berikut:

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

nyyy

2

1

=

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

nXX

X

000000

2 .

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

nbbb

2 +

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

nZZ

Z

000000

2 .

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

nuuu

2

1

+

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

neee

2

1

di mana: y = vektor untuk pengamatan (n x 1) b = vektor untuk efek tetap (p x 1) a = vektor untuk efek random (q x 1) X = desain matrik yang berhubungan dengan efek tetap (n x p) Z = desain matrik yang berhubungan dengan efek random (n x q) Model ragam-peragamnya adalah:

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

=⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

2e

2e

2a

2a

2e

2aadd

Iσ0Iσ0AσσAZ'

IσZAσV

eay

V

di mana:

V(y) = ragam fenotip V(a) = ragam aditif V(e) = ragam lingkungan A = matrik yang berhubungan dengan ragam aditif ternak I = matrik identitas Z = desain matrik yang berhubungan dengan efek random

Maka, nilai heritabilitas dapat dihitung dengan persamaan:

V(y)V(a)h 2 = = 2

e2a

2a

IσZZAσAσ

+′

(Quass, 1988). Hasil dan Pembahasan Keragaan Sifat Produksi Keragaman sifat produksi pada puyuh selama 21 generasi seleksi sangat bervariasi. Keragaman tertinggi terdapat pada sifat JT200 dengan nilai koefisien keragaman (KK) fenotip untuk galur 1 dan 2 masing-masing sebesar 17,80% dan 21,26%, sedangkan keragaman paling rendah adalah pada BT11 dan BT12 untuk masing-masing galur 1 dan 2 adalah 7,89% dan 8,47%; 8,13% dan 9,24%. Seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.

Nilai rataan, standar deviasi, dan KK sifat produksi puyuh hasil seleksi selama 21 generasi.

Kel. Sifat

Sifat

Galur

Jumlah catatan

Rataan Simpangan Baku

Koefisien Keragaman (%)

1 JT200 (butir)

1 1715 126,670 22,550 17,80

2 1671 120,299 25,575 21,26 BT11 (g) 1 1710 10,280 0,811 7,89 2 1724 11,459 0,931 8,13 BT12 (g) 1 1678 11,253 0,953 8,47 2 1654 12,571 1,161 9,24 BB200B (g) 1 1641 187,771 22,578 12,02 2 1596 188,677 20,267 10,74 BB42B (g) 1 1725 169,314 22,281 13,16 2 1724 160,289 17,436 10,88 2 BB200 (g) 1 3453 179,219 24,512 13,68 2 3398 175,002 22,832 13,05 BB200B (g) 1 1661 187,903 22,639 12,05

Page 8: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

40

Kel. Sifat

Sifat

Galur

Jumlah catatan

Rataan Simpangan Baku

Koefisien Keragaman (%)

2 1601 188,683 20,306 10,76 BB200J (g) 1 1792 171,169 23,415 13,68 2 1797 162,821 17,427 10,70 BB42 (g) 1 7932 150,888 23,868 15,82 2 6957 146,762 19,829 13,51 BB42B (g) 1 4046 162,914 22,871 14,04 2 3462 158,207 18,724 11,84 BB42J (g) 1 3886 138,367 17,632 12,74 2 3495 135,623 14,737 10,87

Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa keragaman sifat produksi pada puyuh selama 21 generasi seleksi sangat bervariasi. Keragaman tertinggi terdapat pada sifat jumlah telur, sedangkan keragaman paling rendah adalah pada sifat bobot telur 11 minggu pertama dan 12 minggu terakhir.

Selama 21 generasi seleksi, keragaman sifat produksi yang diseleksi pada puyuh mengalami penurunan dari generasi ke generasi seleksi, kecuali pada sifat JT200 masih menunjukkan fluktuasi yang cukup tinggi dan bahkan cenderung

terjadi peningkatan. Hal ini disebabkan karena sifat jumlah telur tidak menjadi kriteria seleksi, sedangkan bobot telur merupakan kriteria seleksi pada kedua galur. Juga menunjukkan bahwa seleksi memberikan pengaruh terhadap penurunan keragaman dari sifat yang diseleksi. Seleksi bobot telur yang kecil lebih menunjukkan tingkat keragaman fenotip yang lebih kecil dibanding dengan bobot telur yang besar. Ini menunjukkan bahwa seleksi negatif lebih cepat mencapai keseragaman.

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

KK (%

)

JT200 BT11 BT12 BB200 BB42

Gambar 1.

Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 1 selama 21 generasi seleksi

Page 9: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

41

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Generasi

KK

(%)

JT200 BT11 BT12 BB200 BB42

Gambar 2.

Koefisien keragaman sifat produksi pada puyuh galur 2 selama 21 generasi seleksi

Seleksi selama 21 generasi terhadap sifat BB42 dan BB200 memberikan pengaruh terhadap peningkatan rataan kedua sifat tersebut dari generasi ke generasi seleksi dan sampai generasi ke 21 masih menunjukkan kecenderungan naik. Selain kriteria seleksi, perbedaan respon terhadap seleksi peningkatan BB42 dan BB200 selama 21 generasi seleksi juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan galur pada puyuh (Gambar 3).

Seleksi terhadap bobot telur yang besar lebih memberikan pengaruh terhadap penurunan JT200 daripada seleksi berdasarkan bobot badan yang besar dan bobot telur yang kecil. Sedangkan seleksi berdasarkan sifat bobot telur yang besar memberikan pengaruh peningkatan terhadap BB11 dan BT12 yang lebih baik dibandingkan dengan seleksi berdasarkan sifat bobot badan yang besar dan bobot telur yang kecil.

90

110

130

150

170

190

210

230

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Rat

aan

Bob

ot B

adan

(g)

G1_BB42BG1_BB42JG2_BB42BG2_BB42JG1_BB200BG1_BB200JG2_BB200BG2_BB200J

Gambar 3.

Page 10: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

42

Rataan BB42 dan BB200 puyuh selama 21 generasi seleksi

95

100

105

110

115

120

125

130

135

140

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Jum

lah

(but

ir)

Galur 1Galur 2

Gambar 4.

Rataan JT200 selama 21 generasi seleksi

9.510

10.511

11.512

12.513

13.514

14.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Bob

ot te

lur (

g)

G1_BT11 G1_BT12 G2_BT11 G2_BT12

Gambar 5.

Rataan bobot telur puyuh selama 21 generasi seleksi Parameter Genetik Keragaman Aditif. Selama 21 generasi seleksi, ragam aditif sifat-sifat yang diseleksi pada kedua galur puyuh masih tetap bertahan. Bahkan terlihat masih menunjukkan adanya peningkatan. Untuk sifat bobot badan, baik pada sifat bobot badan umur 42 hari maupun bobot badan umur 200 hari pada kedua galur masih menunjukkan ragam aditif yang masih bertahan sampai 21 generasi seleksi. Bahkan untuk sifat bobot badan puyuh galur 1,

kecenderungan ragam aditif terlihat meningkat, sementara pada galur 2 arahnya lebih mendatar, walau nilai ragam antargenerasi lebih berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena sifat bobot badan merukan kriteria seleksi pada galur 1. Seperti terlihat pada gambar 6.

Dari nilai keragaman aditif BT11 dan BT12 yang diperoleh menunjukkan bahwa seleksi sampai 21 generasi yang dilakukan berdasarkan kriteria seleksi bobot telur yang ringan pada galur 1 dan bobot telur yang berat pada puyuh galur 2 tidak memberikan

Page 11: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

43

pengaruh menurunkan keragaman. Keragaman aditif BT11 dan BT12 pada kedua galur puyuh masih bertahan sampai 21 generasi seleksi. Seperti terlihat pada gambar 7.

Keragaman JT200 pada galur 1 dan galur 2 juga masih tetap bertahan sampai 21 generasi seleksi. Bahkan pada galur 2, keragam aditif cenderung meningkat,

sedangkan pada galur 1 kecenderungan arahnya relatif lebih mendatar. Hal ini dikarenakan pada galur 2 seleksi hanya didasarkan pada sifat bobot telur, sedangkan pada galur 1 seleksi juga didasarkan atas indeks jumlah telur. Seperti ditunjukkan pada gambar 8.

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21

Generasi

Rag

am (G

ram

)

G1_BB42G2_BB42G1_BB200G2_BB200

Gambar 6.

Ragam aditif sifat bobot badan pada puyuh selama 21 generasi seleksi

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Rag

am (G

ram

)

G1_BT11

G1_BT12

G2_BT11

G2_BT12

Gambar 7.

Ragam aditif sifat bobot telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi

Page 12: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

44

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Generasi

Rag

am (B

utir)

G1_JT200

G2_JT200

Gambar 8.

Ragam aditif sifat jumlah telur pada puyuh selama 21 generasi seleksi

Heritabilitas. Nilai heritabilitas BB42 pada galur 1 dan 2 masing-masing berkisar antara 0,52 – 0,58 dan 0,07 – 0,37. Nilai heritabilitas BB200 pada galur 1 dan 2 masing-masing berkisar antara 0,32 – 0,67 dan 0,04 – 0,07. Nilai heritabilitas BT11 pada galur 1 dan 2 masing-masing 0,01 dan 0,42. Nilai heritabilitas BT12 pada galur 1 dan 2 masing-masing 0,09 dan 0,35. Sedangkan nilai heritabilitas JT200 pada galur 1 dan 2 masing-masing 0,12 dan 0,09, seperti terlihat pada Tabel 2. Nilai heritabilitas BB42 dan BB200 pada puyuh galur 1 lebih tinggi dibanding dengan galur 2. Namun untuk sifat bobot telur, nilai heritabilitas yang diperoleh pada puyuh galur 1 lebih kecil daripada nilai heritabilitas bobot telur pada galur 2. Sedangkan sifat jumlah telur nilai heritabilitas yang diperoleh pada galur 1 sedikit lebih tinggi dibanding nilai heritabilitas sifat yang sama pada galur 2. Dari nilai heritabilitas yang diperoleh di antara sifat produksi pada puyuh menunjukkan bahwa perbedaan kriteria seleksi memberikan pengaruh terhadap nilai heritabilitas sifat tersebut.

Nilai heritabilitas total jumlah telur yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 0,11± 0,02 pada galur 1 dan 0,09±0,01 pada galur 2, lebih kecil jika dibandingkan

dengan yang diperoleh Schuler et.al. (1998) dengan nilai 0,233±0,035. Menurut Moritsu et.al. (1997), nilai heritabilitas untuk produksi telur berdasarkan hasil penelitian dalam periode yang berbeda bervariasi antara 0,09 sampai 0,51 dengan nilai rataan 0,25. Sedangkan nilai heritabilitas berdasarkan seleksi selama lima generasi diperoleh nilai untuk galur tingi dan rendah masing-masing 0,06 dan 0,35. Hal ini disebabkan karena jumlah telur dalam penelitian ini bukan merupakan kriteria seleksi. Korelasi genetik. Korelasi genetik antara sifat yang diukur juga bervariasi di antara kedua galur puyuh. Korelasi genetik antara JT200 dengan BT11, BT12, BB42, dan BB200 pada galur 1 bernilai negatif, seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Nilai korelasi genetik yang negatif antara sifat jumlah telur dan bobot telur sama seperti hasil yang diperoleh oleh Mielenz (2002) pada ayam layer dan pada kalkun (Arthur and Abplanalp, 1975) yakni sebesar –0,1. Korelasi genetik positif yang tertinggi diantara sifat yang diukur adalah antara BT11 dengan BT12 pada galur 1 dan galur 2 sebesar 0,78. Korelasi genetik antara BB42 dengan BB200 pada galur 1 dan galur 2 masing-masing sebesar 0,40 dan 0,38.

Page 13: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

45

Tabel 2.

Nilai heritabilitas±SE sifat produksi pada puyuh selama 21 generasi seleksi

Kelompok Sifat Pada jantan dan betina Hanya pada betina

Galur BB42 BB200 JT200 BT11 BT12 BB200B BB42B 1 0,52±0,02 0,67±0,04 0,11±0,02 0,01±0,01 0,09±0,06 0,32±0,06 0,58±0,012 0,37±0,01 0,04±0,01 0,09±0,01 0,42±0,02 0,35±0,02 0,04±0,01 0,07±0,01

Tabel 3. Korelasi genetik sifat produksi puyuh betina hasil seleksi selama 21 generasi

Galur BT11 BT12 BB42 BB200

JT200 -0,13 (0,05)

-0,10 (0,05) -0,02 (-0,01) -0,06 (0,04)

BT11 0,78 (0,78) 0,08 (0,18) 0,03 (0,27) BT12 0,05 (0,18) 0,07 (0,29)

1 (2)

BB42 0,40 (0,38)

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Seleksi jangka panjang memberikan

pengaruh terhadap peningkatan rataan produksi puyuh pada sifat yang diseleksi dan terkorelasi positif, tetapi memberikan pengaruh penurunan produksi terhadap sifat yang terkorelasi negatif.

2. Keragaman sifat produksi yang diseleksi cenderung mengalami penurunan, namun keragaman aditif masih tetap bertahan dari generasi ke generasi selama 21 generasi seleksi-seleksi.

3. Nilai heritabilitas yang diperoleh dalam penelitian ini untuk sifat jumlah telur dan bobot telur ringan tergolong kecil dengan nilai h2 masing-masing antara 0,09 – 0,12 dan 0,01 - 0,09, bobot badan ringan nilai h2 tergolong kecil sampai sedang yakni antara 0,04 – 0,37 dan h2 sifat bobot telur yang berat tergolong sedang berkisar antara 0,35 – 0,42. Nilai h2 bobot badan berat tergolong sedang sampai tinggi berkisar antara 0,32 – 0,67.

Saran 1. Intensitas seleksi yang kecil dan sistem

perkawinan 1: 1 dengan menghindarkan silang dalam (inbreeding) perlu dipertimbangkan dalam melakukan

seleksi jangka panjang untuk tetap mempertahankan ragam aditif.

2. Penelitian seleksi untuk pendugaan parameter genetik pada unggas dapat menggunakan puyuh sebagai pembanding, mengingat nilai heritabilitas untuk beberapa sifat memiliki kemiripan. Namun perlu dipertimbangkan penggunakan metode seleksi dan sistem perkawinan yang sama.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih saya sampaikan

kepada pihak Stasiun Penelitian Martin Luther Universitas Merbiz, Jerman yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menggunakan data seleksi puyuh selama 21 generasi dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Aggrey S.E., Ankra-Badug. A., Marks H.L.

2003. Effect of Long-Term Divergent Selection on Growth Characteristics in Japanese Quail. Poultry Sci., 82: 538-542.

Arthur J. A. and Abplanalp H. 1975. Linear

Estimates of Heritability and Genetic.

Page 14: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Hamdan: Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik…

46

Correlation for Egg Production, Body Weight, Conformation, and Egg Weight of Turkey. Poultry Sci., 54:11-23.

Cole H.H. 1966. Introduction to Livestock Production. W.H. San Francisco: Freeman and Company.

Falconer D.S., Mackay T.F.C. 1989.

Introduction to Quantitative Genetics. New York: Longman Inc.

Francesh A., Estany J., Alfonso L., Iglesias

M. 1997. Genetic Parameters for Egg Number, Egg Weight, and Eggshell

Color in Three Catalan Poultry Breeds.

Poultry Sci., 76:1627–1631. Groeneveld E. 1998. VCE 4 User’s Guide and

Reference Manual Version 1.1. Institute of Animal Husbandry and Animal Behavior. Germany: Federal Agricultural Research Centre.

Henderson C.R. 1986. Recent Development

In Variance and Covariance Estimation. J. Anim. Sci., 63: 208-216.

Kuswahyuni I.S. 1989. Respon Seleksi Jangka

Pendek Bobot Badan Umur Empat Minggu Terhadap Penampilan Produksi dan Reproduksi Burung Puyuh. [Disertasi].FPS, IPB. Bogor.

Lasley L.J. 1978. Genetics of Livestock

Improvement. 3 rd Edition. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited.

Maeda Y., Minvielle F., and Okamoto S.

1997. Changes of Protein Polymorphism in Selection Program for Egg Production in Japanese Quail, (Coturnix coturnix japonica). Japanese Poultry Science, 34: 263-272.

Marks H. L. 1985. Direct and Correlated

Responses to Selection forgrowth.. Dalam Poultry Genetics and Breeding. Hill W.G., Manson J.M., Hewit D., ed. Longmangroup Limited, Harlow UK. Hal. 47-57

Marks H. L. 1996. Long-Term Selection for

Body Weight in Japanese Quail

Under Different Environment. Poultry Sci,. 75: 1198-1203.

Mielenz N., Kovac M., Groeneveld E.,

Preisinger R., Schmutz M., Schuler L. 2002. Genetic Evaluation of Egg Production Traits Based on Additive and Dominance

Models in Laying Hens. 11th European Poultry

Conference 6-10 September 2002. Bremen.

Moritsu Y., Nestor K.E., Noble D.O., Antony

N.B., Bacon W.L. 1997. Divergent Selection for Body Weight and Yolk Precursor in Coturnix coturnix japonica. 12. Heterosis in Reciprocal Crosses Between Divergently Selected Lines. Polutry Sci., 76: 437-444.

Nestor K.E., Anderson J.W., Patterson R.A.

2000. Genetics of Growth and Reproduction in Turkey. 14 Changes Ingenetic Parameter Over Thirty generations of Selection for Increased Body Weight. Poultry Sci., 79:445-452.

Nestor K.E., Bacon W.L., Anthony N.B.,

Noble D.O. 1996. Divergent Selection for Body Weight and Yolk Precursor in Coturnix coturnix japonica. 10 Response to Selection Over Thirty Generations. Poultry Sci., 75: 303-310.

Preston T.R., Willis M.B. 1974. Intensive

Beef Production. Second Ed. New York: Pergamon Press Inc.

Quass R.L. 1988. Additive Genetics Model

Withgroups and Relationships. J.Dairy Sci., 71:1338.

Saatci M., Dewi I.A.P., Aksoy A.R.,

Kirmizibayrak T. 2003. Aplication of REML Procedure to Estimate the Genetic Parameter of Weekly Liveweights in One-to-One Sir and Dam Pedigree Recorded Quail. J.Anim.Breed.Genet, 120: 23-28.

SAS. 1996. SAS User’s Guide: Statistics.

Cary, NC USA: SAS Institute Inc. Schuler L., Mielenz N., Hempel S. 1998.

Asymetry of Selection Respons in

Page 15: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

47

Performance Traits of Japanese Quails. Proc.6th WCGALP, Univ. New England, Armidale, Australia. 26:101-104.

Van der Werf J.H.J., de Boer I.J.M. 1990.

Estimation of Additive Genetic Variance When Base Populations are Selected. J. Anim. Sci., 68: 3124 - 3132.

Warwick E.J., Legates J.E. 1979. Breeding

and Improvement of Farm Animal. New York: Mc-Grow-Hill Book Company.

Warwick E.J., Maria Astuti J., Hardjosubroto

W. 1983. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 16: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

48

Perbandingan Antara Substitusi Keluih (Artocarpus Communis) dan sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Kualitas Abon Sapi

Comparison Between Keluih (Artocarpus Communis) and Bread- Fruit(Artocarpus Altilis) to Quality of abon cow

Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani

Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan 20155

Abstract: The objective of this experiment was to study The Comparison Between Keluih (Artocarpus communis) and Bread-Fruit (Artocarpus altilis) To Quality of Abon Cow. This research conducted in Laboratorium Teknologi Food, Technological Majors of Agriculture, Faculty of Agriculture, University North Sumatra, Medan. The objective of this research was to know substitution materials type and comparison of correct substitution level to quality of cow abon. This research is conducted by using completely randomized design method (CRD) which consist of 2 factor such as first factor is S (substitution materials) where S0 = meat of cow + keluih, and S1 = meat of cow + bread-fruit. The second factor is L (comparison of substitution level) where L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%, L2 = 50%: 50% and L3 = 25%: 75%, treatment combination counted 2 x 4 by 3 replication. The result of research that different substitution materials were increasing to masture (%) (10.03 and 11.00, respectively), to crude protein (%) (28.68 and 30.77, respectively),and was decreasing to taste (numerik) (2.78 and 2.41, respectively), colour (numerik) (2.87 and 2.51, respectively) and texture (numerik) (2.72 and 2.28, respectively) but non significant (P>0.05) with fat rate. Comparison of different substitution level was decreasing to masture (%) (12.70, 11.83, 10.17 and 7.67, respectively), to crude protein (%) (38.65, 35.15, 29.05 and 16.03, respectively), to taste (numerik) (3.01, 2.92, 2.40 and 2.05, respectively), to colour (numerik) (2.87, 2.83, 2.69 and 2.36, respectively), and to texture (numerik) (2.94, 2.68, 2.33 and 2.06, respectively), but was increasing to fat rate (%) (18.25, 20.86, 25.74 and 28.45, respectively). Interaction between substitution materials and comparison of different substitution level was decreasing to crude protein (%) (38.40, 34.50, 25.75, 16.53 / 38.90, 35.80, 32.83 and 15.53, respectively), to taste (numerik) (3.13, 2.97, 2.58, 2.44 / 2.89, 2.86, 2.22 and 1.66, respectively), to colour (numerik) (3.02, 2.97, 2.80, 2.69 / 2.72, 2.69, 2.58 and 2.03, respectively), and to texture (numerik) (3.13, 2.72, 2.52, 2.50 / 2.75, 2.63, 2.13 and 1.61, respectively), but non significant (P>0.05) to masture and fat rate. Keluih can be used as substitution materials because owning more compared to excellence is bread-fruit with best substitution level is 25%. Key words: keluih, bread-fruit, abon and crude protein

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji perbandingan antara keluih (Artocarpus communis) dan sukun (Artocarpus altilis) terhadap kualitas abon sapi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bahan substitusi dan perbandingan level substitusi yang tepat terhadap kualitas abon sapi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor S (bahan substitusi) di mana S0 = keluih dan S1 = sukun dan faktor L (perbandingan level substitusi) di mana L0 = 100%: 0%, L1 = 75%: 25%, L2 = 50%: 50%, dan L3 = 25%: 75%. kombinasi perlakuan sebanyak 2 x 4 dengan 3 ulangan.

Page 17: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

49

Hasil penelitian diperoleh bahwa bahan substitusi yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air dan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein, rasa, warna, dan tekstur, tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kadar lemak sedangkan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, rasa, warna, dan tekstur. Interaksi antara bahan substitusi dan perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar protein, rasa, warna, dan tekstur tetapi tidak berbeda nyata terhadap kadar air dan kadar lemak. Keluih dapat digunakan sebagai bahan substitusi karena memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan sukun dengan level substitusi yang terbaik adalah 25%. Kata kunci: keluih, sukun, abon, dan protein kasar.

Pendahuluan

Daging adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai kadar protein yang tinggi. Masalahnya daging mempunyai sifat yang mudah rusak (perishable food) dan tingkat kerusakan sekitar 5-10%. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat dan cepat berupa pengawetan dan pengolahan. Tujuannya adalah untuk memperpanjang waktu penyimpanan, mempertahankan nilai gizi, serta memberi peluang penganekaragaman jenis olahan makanan (Dinas Peternakan, 1998).

Salah satu bahan makanan asal daging yang mempunyai nilai gizi tinggi dan bervariasi cara pengolahannya adalah abon. Masalahnya abon daging sapi mahal harganya namun peminatnya tetap banyak. Untuk menekan harga agar terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, maka produk abon dapat dibuat dari bahan hewani yang dikombinasi dengan bahan nabati.

Pada penelitian ini penulis menambahkan keluih (Artocarpus communis) dan sukun (Artocarpus altilis) dalam pembuatan abon untuk memperkecil biaya dengan mengurangi pemakaian daging sehingga daya jual abon murah dan dapat dijangkau masyarakat tetapi tetap mempertahankan mutu dan palatabilitasnya. Selain itu bahan yang digunakan juga mudah diperoleh, cara pembuatan yang mudah, dan biayanya tidak terlalu mahal.

Keluih (Artocarpus communis) dipilih karena mempunyai serat yang hampir menyerupai daging, sedangkan sukun (Artocarpus altilis) dipilih karena satu bangsa dengan keluih meskipun seratnya tidak sama. Keunggulan dari produk abon keluih adalah berasa enak (khas), memiliki tampilan (tekstur) yang sama dengan abon daging murni, dan tahan disimpan lama.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis bahan substitusi abon dan perbandingan level substitusi yang tepat terhadap kualitas kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan organoleptik abon sapi. Bahan dan Metode Penelitian Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Jln. Prof. A. Sofyan no. 3, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Februari 2005 – Maret 2005. Bahan dan Alat

• Bahan - Daging sapi 4500g - Asam jawa 360g - Sukun 1350g - Santan kental 200 ml - Keluih 1350g - Ketumbar 240g - Minyak goreng 7200g - Lengkuas 240g - Pepaya muda 450g - Cabe merah 600g - Jintan 100g - Gula merah 1700g - Garam 200g - Bawang putih 1000g - Bawang merah 1200g - Kemiri 600g • Alat - Panci - Talenan - Kuali - Mortal - Kompor - Baskom - Sendok penggoreng - Pisau - Peniris sentrifugal - Timbangan

Page 18: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

50

Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri atas 2 faktor yaitu: 1. Faktor substitusi (S) S0 = daging sapi + keluih S1 = daging sapi + sukun 2. Faktor level perbandingan (L)

L0 = 100%: 0% L1 = 75%: 25% L2 = 50%: 50% L3 = 25%: 75%

Banyak ulangan yang diperoleh sebanyak 3 ulangan. Model Rancangan

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Υijk = μ + αi +βj + (αβ) ij + ∈ijk Parameter Penelitian

a. Kadar Air b. Kadar Protein c. Kadar Lemak d. Uji organoleptik (rasa, warna, dan

tekstur) Prosedur Penelitian

1. Daging direbus sampai sampai lunak, sewaktu merebus dimasukkan potongan pepaya muda agar daging mudah lunak.

2. Keluih dan sukun dikupas, dibersihkan, lalu diparut.

3. Daging ditumbuk kemudian dicabik-cabik, ditumbuk lagi, lalu disuir-suir.

4. Bumbu dihaluskan, santan diperas langsung tanpa air (1kg daging: 1 butir kelapa).

5. Campurkan bumbu, keluih atau sukun, daging, dan santan diaduk sampai santan kering.

6. Goreng dengan minyak panas sambil terus diaduk sampai daging berwarna coklat, kemudian tiriskan dan peras minyak berlebihan dengan peniris sentrifugal.

Hasil dan Pembahasan

Rekapitulasi hasil penelitian dapat

dilihat pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Rekapitulasi hasil penelitian

Perlakuan Kadar air

Kadar protein

Kadar lemak Rasa Warna Tekstur

S0 10.03a 28.68a 23.30tn 2.78a 2.87a 2.72a

S11 11.00b 30.77b 23.35tn 2.41b 2.51b 2.28b

L0 12.70a 38.65a 18.25d 3.01a 2.87a 2.94a

L1 11.83b 35.15b 20.86c 2.92a 2.83a 2.68a

L2 10.17b 29.05c 25.74b 2.40b 2.69b 2.33b

L3 7.67c 16.03d 28.45a 2.05c 2.36b 2.06b

S0L0 12.73tn 38.40a 18.30tn 3.13a 3.02a 3.13a

S0L1 10.33tn 34.50c 20.57tn 2.97a 2.97a 2.72c

S0L2 9.67tn 25.27d 25.87tn 2.58c 2.80a 2.52c

S0L3 7.40tn 16.53e 28.45tn 2.44d 2.69b 2.50c

S1L0 12.67tn 38.90a 18.20tn 2.89b 2.72b 2.75b

S1L1 11.60tn 35.80b 21.15tn 2.86b 2.69b 2.63c

S1L2 10.67tn 32.83c 25.60tn 2.22d 2.58b 2.13d

S1L3 7.93tn 15.53e 28.45tn 1.66e 2.03c 1.61d

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. tn = tidak nyata

1. Kadar air Semakin tinggi level keluih atau sukun, kadar airnya semakin menurun. Hal ini disebabkan keluih dan sukun lebih mudah kering selama proses pemanasan dibandingkan dengan daging sapi, dan juga sifat protein daging sapi yang mampu menahan airnya selama proses pemanasan berlangsung. Penurunan ini menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar air. 2. Kadar protein Semakin tinggi level daging sapi semakin tinggi kadar protein abon yang dihasilkan, hal ini disebabkan oleh karena protein daging sapi lebih tinggi daripada keluih dan sukun. Jika dilihat dari komposisi daging sapi kadar proteinnya mencapai 18.8% (Direktoratgizi,1981). 3. Kadar lemak Semakin tinggi level keluih atau sukun semakin tinggi pula kadar lemaknya. Keluih dan sukun merupakan buah yang mempunyai karbohidrat yang tinggi (Baliwati dkk., 2004) serta merupakan bagian dari karbohidrat kompleks (polisakarida). Serat inilah yang menyebabkan naiknya kadar lemak pada abon dengan level substitusi keluih atau sukun yang semakin besar, di mana menurut Muchtadi (2000) menyatakan bahwa serat pangan mempunyai karakteristik mengabsorbsi lemak minyak.

Page 19: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

51

4. Rasa Abon keluih mempunyai karakteristik serat yang hampir menyerupai daging bila dibanding dengan sukun sehingga rasanya lebih disukai panelis. Hal ini didukung oleh Pitojo (2005) yang menyatakan abon keluih mempunyai rasa yang khas dan penampilan (tekstur) yang sama dengan abon daging sapi seratus persen. 5. Warna Warna abon dengan substitusi keluih memiliki warna coklat kemerahan sehingga lebih disukai panelis daripada warna abon yang disustitusi sukun mempunyai warna coklat pucat. Warna coklat ini merupakan hasil reaksi pencoklatan (reaksi Maillard) yang diinginkan pada waktu penggorengan. Warna ini dapat dijadikan sebagai petunjuk mutu abon seperti yang dikemukakan Pamencak (1982) yang menyatakan bahwa semakin coklat warna abon biasanya mutunya akan semakin baik. Sebaliknya abon yang berwarna muda biasanya dalam proses pembuatannya dicampur bahan lain. 6. Tekstur Keluih mempunyai karakteristik serat yang hampir menyerupai daging sapi bila dibanding dengan sukun, sehingga tekstur lebih disukai panelis. Abon keluih yang dihasilkan seperti serat-serat kapas yang hampir mendekati tekstur abon daging. Hal ini didukung oleh Pitojo (2005) bahwa abon kluwih mempunyai tampilan (tekstur) yang hampir menyerupai abon daging sapi. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan

1. Bahan substitusi yang berbeda berpengaruh menurunkan kadar air dan berpengaruh menaikkan kadar protein, rasa, warna, dan tekstur tetapi tidak berbeda nyata terhadap kadar lemak.

2. Perbandingan level substitusi yang berbeda berpengaruh menurunkan kadar air, kadar protein, rasa, warna, dan tekstur, serta berpengaruh menaikkan kadar lemak.

3. Interaksi antara bahan substitusi yang berbeda berpengaruh menurunkan kadar protein, rasa, warna, dan tekstur, tetapi tidak

berbeda nyata terhadap kadar air dan kadar lemak.

Saran

Disarankan agar menggunakan keluih sebagai bahan substitusi daging pada abon sapi dengan level 25%.

Daftar Pustaka

Astawan, M. W. dan M. Astawan. 1989.

Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Jakarta: Akademical Pressindo.

Baliwati, Y. F., Khomsan, A., C. M. Dwiriani.

2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Dinas Peternakan. 1998. Petunjuk Teknis

Pengolahan Hasil Peternakan. Medan: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Facruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon

Teknologi Tepat Guna. Yogyakarta: Kanisius.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi

Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging.

Penerjemah A. Parakkasi. Jakarta: UI Press.

Margono, T. Suryati, D. dan Hartinah S.

2004. Tentang Pengolahan Pangan. [www.document]URL

http://www.iptek.net.id/warintek/pengolahan_pangan.idx.php.

Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan

Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bharatara.

Muchtadi, D. 2000. Sayur-Sayuran (Sumber

Serat dan Antioksidan: Mencegah Penyakit Degenaratif).

Pamentjak. 1982. Pedoman Industri Kecil

Rakyat. Jakarta: Jasa Guna. Pitojo, S.1992. Budidaya Sukun. Yogyakarta:

Kanisius. Pitojo, S. 2005. Budidaya Keluih.

Yogyakarta: Kanisius.

Page 20: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Tri Hesti Wahyuni, Joharnomi Rifai, dan Prissa Negara Sibarani: Perbandingan Antara Substitusi Keluih...

52

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-2. Yogyakarta: UGM Press.

Sunarjono, H. H. 2003. Prospek Berkebun

Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Tabloid Nova. 2002. [www. document] URL http//www.sedap_sekejap.com/arti

kel/2002/edisi4/files/teknoind.htm Tarwotjo, C. S. 1998. Dasar-Dasar Gizi

Kuliner. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi,

Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 21: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

53

Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing Peranakan Etawah

The effects of Milking Intervals on Post-Partum Sexual Activity of Etawah Cross-Bredgoats

Usman Budi * Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Abstract: Research was conducted to study the influence of milking interval of Etawah Cross-bred in post-partum sexual activity in Indonesian Animal Production Research Institute (IANPRI), Ciawi, Bogor and Faculty of Animal Husbandry IPB, Bogor from October, 2000 to May, 2001. 5-7 years of 18 heads of Etawah Cross-bred weregrouped of body weight for threegroups. All samples have received same feed and management. The randomized complete block design was used with there were three treatments, (1) 12 hours of milking interval, (2) 16:8 hours of milking interval, and (3) 24 hours of milking interval. According to data processing, all treatments did not shown significantly difference on concentration of progesterone hormone, post-partum estrous, percentage of pregnant and litter size, however milking interval 16:8 shown inclination faster more than another treatment on post-partum estrous. Feed consumption of etawah cross-bredgoats at all treatments did not also show significantly different. The result of this reseach indicated that no significant effect of milking intervals on post-partum sexual activity of etawah cross-bredgoats. Key words: milking interval, sexual activity, post partum,goat, etawah cross-bred.

Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh interval pemerahan terhadap aktivitas seksual setelah beranak kambing Peranakan Etawah (PE) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor dari Bulan Oktober 2000 sampai Mei 2001. Ternak yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina PE dengan umur 5-7 tahun, dikelompokkan berdasarkan bobot badan menjadi tiga kelompok. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok nonfaktorial dengan perlakuan interval pemerahan 12 jam, interval pemerahan 16:8 jam dan interval pemerahan 24 jam. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemerahan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada aktivitas seksual setelah beranak yaitu terhadap kandungan hormon progesteron, berahi setelah beranak, persentase kebuntingan dan jumlah anak sekelahiran, namun demikian interval pemerahan 16:8 menunjukkan kecenderungan lebih cepat dibanding dua perlakuan lainnya terhadap munculnya berahi setelah beranak. Konsumsi pakan kambing PE pada ketiga perlakuan juga tidak berbeda secara statistik. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini mengindikasikan bahwa aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE tidak nyata dipengaruhi oleh interval pemerahan. Kata kunci: interval pemerahan, aktivitas seksual, setelah beranak, kambing,

peranakan etawah Pendahuluan Kambing sebagai salah satu ternak, keberadaannya di Indonesia memberikan andil yang cukup besar bagi pendapatan masyarakat utamanya masyarakat peternak kecil. Di samping sebagai penghasil daging dan hasil ikutannya berupa kulit dan pupuk yang sudah memasyarakat, kambing juga

berpotensi untuk menghasilkan susu, namun keberadaan dan produksi susu kambing di Indonesia saat ini belum optimal, karena selain belum begitu luas dikonsumsi oleh masyarakat, tata laksana pemerahannya juga belum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam upaya meningkatkan produksi susu kambing dan mengetahui tata laksana pemerahan yang baik sehingga

Page 22: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

54

dapat diterapkan di peternakan rakyat, diperlukan suatu cara yang penerapannya tidak sukar dilaksanakan seperti frekuensi pemerahan (interval pemerahan) yang optimal, sehingga dapat diperoleh produksi susu yang optimal yang didukung dengan pakan dan manajemen yang baik. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah ditemukan bahwa jumlah maksimum air susu yang dihasilkan oleh induk dibatasi tidak hanya oleh kesanggupan genetiknya, tetapi juga oleh frekuensi penyusuan dan kesanggupan anak menyusu serta makanan yang dikonsumsi. Berbeda halnya dengan beberapa jenis hewan yang telah banyak diteliti, seperti pada sapi, domba, dan kuda, sejauh ini banyaknya frekuensi pemerahan yang optimal pada kambing belum banyak diketahui. Salah satu bangsa kambing di Indonesia yang diharapkan dapat ditingkatkan produksinya adalah kambing Peranakan Etawah (PE) yaitu bangsa kambing yang diperoleh dari kawin tatar (grading-up) antara kambing asli Indonesia (kambing kacang) dengan kambing Etawah yang didatangkan dari India. Hasil perkawinan dari dua bangsa kambing ini menghasilkan peranakan kambing Etawah yang ciri-ciri dan kemampuan produksinya mendekati sifat-sifat karakteristik kambing Etawah.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan kambing PE terhadap aktivitas seksual setelah beranak yaitu kandungan hormon progesteron di dalam darah, persentase kebuntingan, timbulnya berahi setelah beranak, dan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh interval pemerahan terhadap konsumsi pakan.

Bahan dan Metode Materi Penelitian Ternak yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina Peranakan Etawah (PE) terpilih dengan bobot badan 35,0 – 45,2kg dan umur berkisar 5-7 tahun. Kambing PE dipelihara dalam kandang individu dengan ukuran 2 x 1 m2 dan rumput raja (Penisetum purpureophoides) segar (protein kasar 9,84% dan serat kasar 39,57%), dan konsentrat (protein kasar 19,25% dan serat kasar 10,73%). Proporsi bahan kering hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah 30:70. Hijauan diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang ± 5 cm. Jumlah pemberian pakan

konsentrat adalah sebesar 5% dari bobot hidup berdasarkan bahan kering (NRC, 1975). Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) nonfaktorial, dengan pengelompokkan ternak berdasarkan bobot badan. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini diurutkan dari bobot badan yang paling rendah hingga ke bobot badan yang paling tinggi, selanjutnya dari 18 ekor ternak yang digunakan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan bobot badan sehingga diperoleh tiap kelompok ada 6 ekor ternak. Adapun perlakuan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan pemerahan, yaitu pemerahan dengan interval 12 jam (2 kali pemerahan sehari); pemerahan dengan interval 16:8 jam (2 kali pemerahan sehari); dan pemerahan dengan interval 24 jam (1 kali pemerahan sehari).

Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam dengan model matematik:

Yij = μ + τi + βj + εij

Perbedaan antara perlakuan

terhadap parameter kuantitatif yang diuji menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance) atas dasar rancangan acak kelompok nonfaktorial menurut Steel dan Torrie (1991) dan jika hasilnya berbeda nyata diadakan uji lanjut dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2000 sampai dengan Mei 2001. Dimulai saat ternak bunting 4 bulan atau satu bulan sebelum beranak, ternak dimasukkan ke dalam kandang individu dan diberi pakan yang seragam, yaitu: Hijauan rumput raja yang ditimbang beratnya antara 3-4kg/hari/ekor yang telah dipotong menggunakan alat pemotong rumput dan konsentrat buatan BPT Ciawi sebanyak 800g/hari/ekor. Jumlah pakan yang diberikan dan sisanya ditimbang setiap hari. Dengan cara dikumpulkan dari beberapa sampel harian yang diambil secara acak, rumput dan konsentrat disimpan dan selanjutnya dilakukan analisis kandungan zat makanannya secara analisis proksimat di Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Sebelum penelitian diadakan persiapan ternak dan kandang

Page 23: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

55

dibersihkan, tiap petak kandang diberi nomor yang sesuai dengan nomor yang ada pada ternak. Untuk rancangan acak kelompok, masing-masing ternak ditempatkan pada kandang individu dan diberi perlakuan secara acak. Adapun interval pemerahan yang digunakan pada penelitian ini ada tiga, yaitu: (a) Pemerahan yang dilakukan dengan interval selama 12 jam dalam sehari (2 kali pemerahan sehari), yaitu pemerahan dilakukan pada pukul 06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib (b) Pemerahan yang dilakukan dengan perbandingan 16:8 jam (2 kali sehari) dalam arti 16 jam interval pemerahan sebelum dilakukan pemerahan pukul 06.00 WIB kemudian 8 jam interval pemerahan sebelum dilakukan pemerahan pukul 14.00 WIB (c) Pemerahan yang dilakukan dengan interval selama 24 jam dalam sehari (1 kali pemerahan sehari), yaitu pada pukul 06.00 WIB.

Sampel darah diambil setiap dua minggu pada awal laktasi sampai akhir laktasi dengan alat suntik steril dari vena jugularis sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung gelas yang diberi tutup karet kemudian ditempatkan pada termos berisi es dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kadar hormon progesteron dengan metode RIA di Balai Penelitian Ternak, Ciawi.

Peubah yang diamati adalah kandungan hormon progesteron di dalam darah, timbulnya berahi setelah beranak, persentase kebuntingan, jumlah anak sekelahiran (litter size), dan bobot lahir anak. Selain itu diukur juga konsumsi pakan.

Kandungan hormon progesteron ini diukur setiap dua minggu sekali yang dimulai setelah ternak beranak sampai berakhirnya laktasi pada penelitian ini. Sampel darah 10 ml diambil dari vena jugularis dengan menggunakan alat suntik steril pada pagi hari (Ryley, 1983; Subhagiana, 1998). Sampel darah dimasukkan ke dalam termos es atau wadah berisi es, selama beberapa jam dibiarkan menggumpal. Kemudian serum dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 2500-3000 rpm selama 30 menit di laboratorium. Serum disimpan dalam tabung plastik kecil dalam keadaan beku sampai diadakan analisis hormon progesteron yang diukur dengan metode “Radioimmunoassay” (RIA) teknik fase padat (Diagnostic Products Corporation, Los Angeles, CA).

Timbulnya berahi setelah beranak diamati kira-kira satu minggu setelah ternak

beranak dengan cara mengamati tanda-tanda berahi yang terjadi pada ternak dan melihat tingkah laku ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prasad (1979) bahwa ditemukan sebanyak 17 ekor induk kembali berahi setelah beranak dalam waktu 5 sampai 20 hari, walaupun beberapa sumber lain menyatakan bahwa timbulnya berahi setelah beranak beragam mulai dari satu sampai tiga bulan ataupun lebih lama lagi.

Persentase kebuntingan diamati setelah dihentikan pemerahan (empat bulan setelah beranak) dan setiap ternak dikawinkan sebanyak dua kali menggunakan kambing PE jantan (kawin alam) saat ternak diketahui berahi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan cara melihat timbul atau tidaknya kembali berahi ternak setelah proses perkawinan tersebut. Persentase kebuntingan diperoleh dari jumlah ternak yang bunting setelah dikawinkan dibagi dengan jumlah ternak yang dikawinkan.

Jumlah anak sekelahiran diamati dengan menghitung banyaknya anak yang lahir dari setiap induk yang beranak pada seluruh induk yang diteliti. Bobot lahir ditimbang dengan menimbang bobot anak yang baru lahir per ekor dalam kilogram. Selanjutnya diamati juga jenis kelamin anak yang dilahirkan untuk melihat apakah perlakuan interval pemerahan berpengaruh pada rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan.

Konsumsi pakan harian dalamg/BK/hari ditentukan dengan cara menimbang pakan yang diberikan per hari dikurangi dengan sisanya, jenis pakan yang digunakan dianalisis kandungan zat makanannya dengan cara mengambil sampel harian untuk analisis proksimat.

Pengujian statistik terhadap parameter kuantitatif yang diukur menggunakan analisis sidik ragam atas dasar rancangan acak kelompok nonfaktorial menurut Steel dan Torrie (1991) dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Hasil dan Pembahasan

Kandungan Hormon Progesteron di Dalam Darah

Kandungan hormon progesteron kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan interval pemerahan 12 jam (IP 12), interval pemerahan 16:8 jam (IP 16:8) dan interval pemerahan 24 jam (IP 24)

Page 24: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

56

masing-masing adalah 0,125 – 2,4 ng/ml dengan rataan 1,35 ± 0,82 ng/ml, 1,047 – 2,71 ng/ml dengan rataan 1,75 ± 0,6 ng/ml dan 0,81 – 3,07 ng/ml dengan rataan 2,08 ± 0,47 ng/ml. Hasil analisis data menunjukkan bahwa interval pemerahan tidak nyata mempengaruhi kandungan hormon progesteron di dalam darah kambing PE. Pola umum kandungan hormon progesteron pada masing-masing perlakuan disajikan pada gambar 1, 2, dan 3.

Secara umum, awal pengamatan kandungan hormon progesteron dalam penelitian ini pada masing-masing ternak tidak sama, bervariasi dari 1 – 14 hari setelah beranak dan selanjutnya diamati setiap dua minggu sekali. Hal ini terjadi karena penelitian ini adalah lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya dan

ternak yang digunakan merupakan ternak yang dipakai pada penelitian-penelitian tersebut, sehingga pengamatan kandungan hormon progesteron dengan pengambilan darah pada setiap ternak melanjutkan pengambilan darah pada penelitian sebelumnya.

Pada gambar 1 (interval pemerahan 12 jam) dapat dilihat bahwa permulaan terjadinya siklus, dengan terlihat adanya peningkatan kandungan hormon progesteron, bervariasi pada masing-masing ternak yaitu dari 28 – 81 hari setelah beranak. Pada gambar 1 terlihat ada dua ternak yang tidak menunjukkan siklus dengan tidak terlihatnya peningkatan kandungan hormon progesteron dalam darah yaitu pada grafik keempat dan grafik kelima.

Gambar 1.

Konsentrasi progesteron secara individual pada IP 12

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Grafik 5

Grafik 6

Page 25: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

57

Gambar 2.

Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 16:8

Gambar 3.

Konsentrasi Progesteron secara Individu pada IP 24

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Grafik 5

Grafik 1

Grafik 2

Grafik 3

Grafik 4

Page 26: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

58

Pada grafik keempat dari gambar 1, terlihat bahwa jumlah sampel yang diamati hanya empat dari sembilan sampel yang seharusnya ada pada masing-masing ternak dan sampel yang ada hanya terdapat pada minggu-minggu awal pengamatan. Hal ini terjadi karena sampel yang berupa serum darah tidak ada (tumpah) dari tabung sampel, sehingga tidak dapat dijadikan bahan untuk melihat kandungan hormon progesteron. Pada grafik kelima juga tidak terlihat adanya peningkatan kandungan hormon progesteron selama pengamatan. Hal ini terjadi mungkin karena ovulasi tidak terjadi selama pengamatan dan mungkin ovulasi terjadi di luar waktu pengamatan (setelah pengambilan darah tidak lagi dilakukan), sehingga tidak terlihat adanya peningkatan kandungan hormon progesteron.

Gambar 2 juga terdapat variasi awal peningkatan kandungan hormon progesteron dalam darah yaitu dari 22 – 41 hari setelah beranak. Pada gambar ini terlihat bahwa jumlah ternak yang diamati adalah sebanyak lima ekor yang seharusnya enam ekor. Hal ini terjadi karena saat pengambilan sampel, darah yang telah disentrifuge untuk diambil serumnya dimasukkan ke dalam tabung plastik, selanjutnya disimpan di dalam mesin pembeku (freezer). Saat penyimpanan ini, beberapa sampel keluar dari tabung sampel saat serum dalam keadaan beku, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengamati hormon progesteron.

Pada gambar 3 juga terdapat variasi awal peningkatan kandungan hormon progesteron yaitu dari 24 – 43 hari setelah beranak. Pada gambar 4 terlihat bahwa jumlah ternak yang diamati hanya empat ekor. Seperti pada gambar 2 dan gambar 3, bahwa tidak lengkapnya jumlah ternak yang diamati disebabkan keluarnya sampel yang berupa serum pada saat dibekukan di dalam freezerr karena tutup tabung plastik terbuka.

Terjadinya variasi awal peningkatan kandungan hormon progesteron pada gambar 1, 2, dan 3 dapat dijadikan pertanda telah terjadinya siklus berahi pada kambing PE dalam penelitian ini mungkin disebabkan adanya variasi saat terjadinya ovulasi setelah berahi pada masing-masing ternak. Dengan terjadinya berahi dan jika diikuti dengan ovulasi terbentuklah corpus luteum (CL). CL merupakan jaringan utama

di dalam ovarium yang mensekresikan hormon progesteron ke dalam darah sehingga terjadi peningkatan kandungan hormon progesteron. Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa rataan siklus berahi pada kambing PE adalah 19-24 hari.

Berahi Setelah Beranak Data berahi setelah beranak kambing PE dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masing-masing adalah 48.75±21.09, 39.80±5.50 dan 52.25±9.78 hari dengan rataan 46.93±5.24 hari (Tabel 5). Data berahi setelah beranak dalam penelitian ini diperoleh dari data kandungan hormon progesteron pada kambing PE selama penelitian. Hal ini dilakukan karena pengamatan berahi setelah beranak seharusnya dilakukan dengan melihat tanda-tanda berahi pada ternak secara langsung, namun hasil yang didapat kurang akurat, karena sulitnya melihat tanda-tanda berahi pada ternak yang dipelihara dalam kandang individu. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang melaporkan bahwa terjadinya berahi setelah beranak pada kambing PE terjadi antara 32-103 hari.

Kondisi ternak sebelum dan sesudah beranak berpengaruh terhadap aktivitas seksual setelah beranak (Sutama et.al., 1993). Selanjutnya Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa timbulnya berahi setelah beranak pada kambing PE dengan tingkat produsi susu yang berbeda bervariasi antara 32-103 hari. Kecepatan munculnya aktivitas seksual setelah beranak bervariasi diantara bangsa kambing, dan dipengaruhi oleh panjang laktasi dan kondisi pakan yang dikonsumsi. Selanjutnya Riera (1982, 1984); Sutama et.al. (1997) melaporkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar terhadap berahi pertama setelah beranak yaitu 5-27 minggu pada kambing di daerah beriklim sedang (temperate zone). Persentase Kebuntingan

Persentase kebuntingan (PK) dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8 dan IP 24 masing-masing adalah 33.33%, 16.67%, dan 66.67% (Tabel 5). Dari data tersebut terlihat bahwa perlakuan IP 24 lebih tinggi dari dua perlakuan lainnya.

Page 27: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

59

Tabel 5. Rataan Berahi Setelah Beranak, Persentase Kebuntingan, Jumlah

Anak Sekelahiran, dan Bobot Lahir Anak Kambing PE

Interval Pemerahan (IP) dalam Jam Peubah 12 16:8 24 Rataan

BSB (hari) PK (%) JAS (ekor) BL (kg)

48.75±21.09 33.33

2.00 (n=2) 2.83 (n=7)

39.80±5.50 16.67

1.00 (n=1) 2.6 (n=4)

52.25±9.78 66.67

1.75 (n=4) 4.4 (n=1)

46.93±5.24 38.89 1.71 2.88

Keterangan: BSB = berahi setelah beranak, n = jumlah sampel yang diamati, PK = persentase kebuntingan, JAS = jumlah anak sekelahiran, BL = bobot lahir anak

Perbedaan pada persentase kebuntingan ini diduga bukan karena pengaruh dari perlakuan, namun terjadi karena jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga menimbulkan variasi perbedaan yang mencolok.

Terjadinya persentase kebuntingan yang cukup rendah (16.67%) kemungkinan disebabkan kurang telitinya dalam melakukan pengamatan berahi, sehingga pada waktu mengawinkan ternak kurang tepat yang mengakibatkan ternak yang dikawinkan tidak bunting. Menurut Devendra dan Burns (1983); Adiati et.al. (1997) waktu yang terbaik mengawinkan kambing minimal 12 jam setelah timbulnya tanda-tanda berahi pertama. Persentase kebuntingan dalam penelitian ini lebih rendah dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada kambing PE. Adiati et.al. (1997) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE berkisar antara 30-100%, Budiarsana et.al. (1999) melaporkan bahwa persentase kebuntingan pada kambing PE dalam penelitiannya antara 37-84.2%, lebih tinggi lagi perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Sutama et.al. (1997) yang mendapatkan persentase kebuntingan pada kambing PE sebesar 71.4-85.7%. Terjadinya perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, tergantung pada jumlah sampel ternak yang digunakan, kualitas ternak yang dipakai, lokasi (tempat) dilaksanakannya penelitian dan keadaan pakan yang dikonsumsi oleh ternak pada masing-masing penelitian.

Jumlah Anak Sekelahiran (litter size) Kambing PE

Jumlah anak sekelahiran dalam penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2 ekor, 1 ekor dan 1.75 ekor dengan rataan 1.71 ekor (Tabel 5). Hasil dari penelitian ini lebih tinggi dari laporan Adiati et.al. (1997) yang mendapati rataan jumlah anak sekelahiran

sebanyak 1.5 ekor. Demikian juga hasil penelitian Budiarsana et.al. (1999) yang melaporkan bahwa rataan jumlah anak sekelahiran sebanyak 1.46 ekor dan laporan Adiati et.al. (2001) bahwa jumlah anak sekelahiran kambing PE sebanyak 1.65 ekor. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena kambing PE yang digunakan dalam penelitian ini telah berumur sekitar tujuh tahun, sehingga berpeluang untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran lebih banyak dibandingkan dengan kambing PE yang berumur lebih muda. Setiadi et.al. (1997) menyatakan bahwa jumlah anak sekelahiran cenderung meningkat dengan meningkatnya umur induk 2-6 tahun, keadaan ini didukung oleh pengamatan yang dilakukan Sutama et.al. (1995) pada kambing PE betina muda, bahwa jumlah anak sekelahiran sebesar 1.04 ekor.

Bobot Lahir Anak Kambing PE Bobot lahir pada penelitian ini pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.83kg, 2.6kg, dan 4.4kg dengan rataan 2.88kg (Tabel 5). Hasil penelitian ini hampir lebih rendah dibandingkan penelitian-penelitian pada kambing PE sebelumnya. Adiati et.al. (2001) melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.74kg dan dengan yang dilaporkan Sutama et.al. (1997) yang menyatakan bahwa bobot lahir kambing PE rata-rata sebesar 3.6kg. Selanjutnya Budiarsana et.al. (1999) mendapatkan rataan bobot lahir kambing PE seberat 3.63kg. Demikian juga halnya dengan penelitian tentang bobot lahir terhadap kambing PE dilakukan oleh Setiadi et.al. (1997), dan Adiati et.al. (1997) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak jantan adalah 3.7kg dan 4.0kg sedang anak betina 3.2kg dan 3.5kg dan Adiati et.al. (1999) melaporkan bahwa rataan bobot lahir anak kambing PE bervariasi antara 2.86-3.17kg. Lebih rendahnya rataan bobot lahir

Page 28: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Usman Budi: Pengaruh Interval Pemerahan Terhadap Aktivitas Seksual Setelah Beranak...

60

anak kambing PE dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, kemungkinan disebabkan ada induk yang anaknya mati saat dilahirkan dan bobot lahir anak yang lahir tersebut (2 ekor) relatif ringan, sehingga mengurangi rataan bobot lahir anak kambing PE secara keseluruhan dalam penelitian ini. Kemungkinan lain adalah pakan yang diberikan kepada induk yang sedang bunting kurang mencukupi kebutuhannya, sehingga berakibat rendahnya bobot lahir anak. Konsumsi Pakan Konsumsi pakan kambing PE pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Dari hasil analisis data ternyata bahwa interval pemerahan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap konsumsi pakan. Namun dari rataan terlihat bahwa konsumsi pakan paling tinggi terdapat pada perlakuan interval pemerahan 24 jam yaitu sebesar 1194.22gBK/hari. Dari data konsumsi pakan diperoleh bahwa konsumsi bahan kering dibandingkan dengan bobot badan pada perlakuan IP 12, IP 16:8, dan IP 24 masing-masing adalah 2.7, 2.85, dan 2.86%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Devendra dan Leroy (1980) bahwa kambing Etawah serta bangsa kambing perah mengkonsumsi bahan kering harian bervariasi dari 2.0 – 4.7% dari bobot badan atau setara dengan konsumsi sebesar 41.1 – 131.1g/kg bobot badan0.75 per hari Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Interval pemerahan 16:8 jam dapat

meningkatkan produksi susu 32.82% pada kambing peranakan Etawah dibandingkan dengan interval pemerahan 12 jam.

2. Komposisi susu tidak terpengaruh dengan perlakuan interval pemerahan.

3. Efisiensi produksi susu pada perlakuan interval pemerahan 16:8 jam lebih baik dari dua interval pemerahan lainnya.

4. Aktivitas seksual setelah beranak pada kambing peranakan Etawah tidak terpengaruh dengan perlakuan interval pemerahan.

Saran Perlu dilakukan penelitian lain dengan menggunakan kambing-kambing

induk peranakan Etawah yang umurnya relatif lebih muda dan jumlah sampel yang cukup, agar responsnya terhadap perlakuan yang diberikan lebih akurat, sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil dari penelitian ini dan jika memungkinkan perlu kiranya menambah perlakuan dengan frekuensi pemerahan tiga kali dalam sehari. Daftar Pustaka

Adiati, U., Hastono, R. S. G. Sianturi, T. D.

Chaniago, dan I. K. Sutama. 1997. Sinkronisasi Berahi Secara Biologis Pada Kambing PE. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner II: 411-416.

Devendra, C. and C. B. Mc. Leroy. 1980.

Goat and Sheep Production in The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. London. New York. Singapore: First Publ. Longmans.

Devendra, C. dan M. Burns. 1983. Produksi

Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah IDK Harya Putra. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Maryati, T. dan L. Nunik. 1990. Penentuan

Kandungan Hormon Progesteron Dalam Darah dan Susu Pada Ternak Kambing dan Sapi. Risalah Pertemuan Ilmiah Pusat Aplikasi Radio Isotop. BATAN. Jakarta.

Ryley, J. W. 1983. Collection of Samples for

Laboratory Investigation. In: Dairy Cattle Research Techniques. Edited by J. H. Ternouth. Quensland Dept. of Primary Industries. Brisbane, Australia.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991.

Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa B. Sumantri. Ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan

Konsentrasi Progesteron dan Estradiol Selama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jumlah Anak Pada Kambing Peranakan Etawah Pada Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program

Page 29: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

61

Pascasarjana, Program Studi Ilmu Ternak.

Sutama, I. K., .IG.M. Budiarsana, dan Y.

Saepudin. 1993. Kinerja Reproduksi sekitar pubertas dan beranak pertama kambing PE. Ilmu dan Peternakan, 8: 9-12.

Sutama, I. K., B. Setiadi, I.G.M. Budiarsana

dan U. Adiati. 1997. Aktivitas Seksual Setelah Beranak dari Kambing PE Dengan Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 18-19 November 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 401-409.

Page 30: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

62

Pengaruh Pemberiaan Tepung Temulawak (Curcuma Xanthorrizha Roxb) Dalam Ransum Terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler Umur 6 Minggu [The Influence of Temulawak Flour (Curcuma xanthorrizha Roxb) In A

Portion to Quality of Carcass Broiler 6 Weeks Old]

Yunilas*), Edhy Mirwandhono*), dan Olivia Sinaga **)

*) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU **) Alumni Prog. Studi Peternakan, FP USU

Abstract: This research aim to give of temulawak flour in ransum to carcass quality (colour, tekstur and pH) broiler 6 week old. This experiment was arranged by completely random design (CDR) which consists of 5 treatments and 4 replications, and each replication consist of 5 chickens. The parameter in this experiment are meat colour, meat teksture, and meat pH. The result of research obtained of temulawak flour until level 4% in ransum not significant (P>0.05) to meat colour, meat teksture and meat pH. Key words: diet, temulawak flour, meat colour, meat teksture, meat pH. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemberian tepung temulawak dalam ransum terhadap kualitas karkas (warna, tesktur, dan pH) ayam broiler umur 6 Minggu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan 4 ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas 5 ekor ayam. Parameter yang diukur adalah warna daging, tekstur daging, dan pH daging. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian tepung temulawak sampai level 4% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna daging, tekstur daging, dan pH daging. Kata kunci: ransum, tepung temulawak, warna daging, tekstur daging, pH daging. Pendahuluan

Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Ayam broiler merupakan salah satu ternak penghasil daging yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat asal protein hewani (Mangisah, 2003).

Menurut Priyatno (2003), konsumsi daging ayam meningkat paling pesat dibanding dengan daging sapi, kambing, maupun babi. Beberapa alasan yang menyebabkan kebutuhan daging ayam mengalami peningkatkan yang cukup pesat antara lain: 1) daging ayam relatif murah, 2) daging ayam lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein dibanding daging sapi, kambing, dan babi, 3) tidak ada agama apapun yang melarang umatnya mengkonsumsi daging ayam, 4) daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semuagolongan masyarakat dan semua umur, 5) daging ayam cukup mudah diolah menjadi produk olahan yang bernilai tinggi, mudah disimpan, dan mudah dikonsumsi.

Berkenaan dengan bahan yang digunakan untuk keperluan pakan ternak unggas, berbagai jenis tanaman holtikultura dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas. Salah satunya adalah temulawak yang telah lama dikenal yang dapat berkhasiat sebagai obat karena kandungan kimianya seperti minyak atsiri, kurkumin, glukosida, flavoinida, pati, dan sebagainya (Biofarmaka, 2002).

Temulawak mengandung zat utama yaitu kurkumin dan minyak atsiri berwarna kuning muda dengan bau yang berkarakteristik dengan rasa yang tajam serta bersifat antiseptik dan penggunaannya sebagai pewarna makanan. Kurkumoid jauh lebih unggul dari temu-temuan lainnya (Liang dkk., 1985).

Temulawak memiliki kandungan kurkumin yang ekstraknya sangat manjur untuk pengobatan penyakit hati, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan untuk menjaga serta menyehatkan hati (lever) atau istilah medisnya hepatoprotektor (Sinar Harapan, 2002).

Temulawak, daun turi, merica bolong, dan daun cengkeh sebagai ramuan godongan diberikan pada unggas untuk meningkatkan nafsu makan ayam,

Page 31: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

63

meningkatkan kesehatan serta memacu pertumbuhan badan (Maheswari, 2002). Ditinjau dari manfaat temulawak tersebut di atas, maka perlu diuji pengaruh pemberian tepung temulawak dalam ransum terhadap kualitas karkas ayam broiler umur 6 minggu. Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara selama 6 minggu. Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler jenis Hubbard berumur sehari (DOC) sebanyak 100 ekor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 5 ekor ayam. Penelitian menggunakan 5 macam ransum perlakuan masing-masing: R0 = Ransum kontrol (ransum komersial) R1 = Ransum dengan penambahan tepung

temulawak 1% dari total ransum R2 = Ransum dengan penambahan tepung

temulawak 2% dari total ransum R3 = Ransum dengan penambahan tepung

temulawak 3% dari total ransum

R4 = Ransum dengan penambahan tepung temulawak 4% dari total ransum

Parameter yang diamati dari penelitian ini meliputi: • pH daging diukur dengan menggunakan

pH meter. • warna daging diperoleh dengan

pengamatan visual, masing-masing diberi penilaian di mana warna kuning (nilai 4), putih kekuningan (nilai 3), dan putih (nilai 2).

• tekstur daging diukur dengan menggunakan teksturo meter.

Pengaruh perlakuan terhadap semua parameter dianalisis secara statistik menggunakan model matematik (Hanafiah, 2002):

Yij = μ + αi + εij Di mana: i = 0,1,2, …………. t (perlakuan) j = 0,1,2, .…………. n (ulangan) Yij = hasil nilai pengamatan dari perlakuan

ke-i dan ulangan ke-j μ = nilai tengah di mana nilai Yij ditarik

sebagai sampel αi = pengaruh perlakuan berbagai level

tepung temulawak ke-i εij = pengaruh galat atau sisa seluruh faktor

lain diluar perlakuan yang mendapat perlakuaan ke-i dan ulangan ke-j

Tabel 1.

Formula Ransum Broiler Periode Starter

Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4

Jagung kuning

K 56.25 56.00 55.00 55.00

Dedak O 4.25 5.00 5.00 3.75 Bungkil kedelai

M 22.00 22.00 22.00 21.50

Bungkil kelapa

E 4.50 3.50 3.00 3.75

Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00 Top mix S 0.75 0.50 1.00 1.00 Minyak Nabati

I 1.25 1.00 1.00 1.00

Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00 Total 100.00 100.00 100.0 100.00 Protein (%)

21.50 21.56 21.57

21.54

Lemak (%) 4.00 5.53 4.17 4.10 Serat Kasar (%)

3.79 3.99 4.14 4.20

EM (kkal/kg) 3000.30 3005.53 3000.35 3012.59

Page 32: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

64

Tabel 2.

Formula Ransum Broiler Periode Finisher

Bahan Pakan R0 R1 R2 R3 R4

Jagung kuning K 58.50 58.50 58.00 58.00 Dedak O 5.50 5.50 5.00 4.00 Bungkil kedelai M 17.00 17.00 17.00 17.00 Bungkil kelapa E 6.00 5.00 4.50 4.50 Tepung ikan R 10.00 10.00 10.00 10.00 Top mix S 0.50 0.50 1.00 1.00 Minyak Nabati I 1.50 1.50 1.50 1.50 Temulawak L 1.00 2.00 3.00 4.00 Total 100.00 100.00 100.0 100.00 Protein (%) 19.93 19.92 19.90 19.97

Lemak (%) 4.23 4.30 4.28 4.22 Serat Kasar (%) 3.85 4.00 4.06 4.13 EM (kkal/kg) 3023.64 3044.70 3047.01 3064.56

Hasil dan Pembahasan Warna Daging Secara umum warna daging broiler yang diperoleh adalah putih kekuningan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3. Rataan Warna Daging Ayam Broiler

Umur 6 Minggu

Perlakuan Rataan Standar Deviasi

R0 2.98 + 0.05 R1 2.99 + 0.08 R2 3.04 + 0.15 R3 3.04 + 0.15 R4 3.09 + 0.20

Tabel 3 memperlihatkan bahwa

warna daging ayam broiler yang diberi tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% berkisar antara 2,98 – 3,09. Warna daging pada perlakuan Ro (ransum tanpa temulawak) sebesar 2,98 (berwarna putih) sedangkan warna daging pada perlakuan R4 (ransum dengan tepung temulawak 4%) sebesar 3,09 (berwarna putih kekuningan).

Tampak bahwa warna daging pada ransum yang diberi tepung temulawak menjadi lebih kekuning-kuningan. Hal ini didukung Liang dkk. (1985) bahwa temulawak mengandung zat warna yang diambil dari pigmen rimpangnya karena mengandung zat warna kuning (kurkumoid) yang sering digunakan sebagai zat warna. Bakrie dkk. (2002) menyatakan, pakan juga mempengaruhi warna daging, bentuk, dan warna daging diberi jamu-jamuan seperti temulawak menjadi lebih disukai oleh konsumen.

Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata pemberian tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap warna daging ayam broiler. Hal ini disebabkan interval dari level pemberian tepung temulawak dalam ransum tidak berbeda jauh sehingga warna daging yang diperoleh pun tidak berbeda nyata. Walaupun demikian, peningkatan level pemberian tepung temulawak dalam ransum cenderung meningkatkan warna daging dari putih ke putih kekuningan (uji regresi linier).

Page 33: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

65

Grafik 1. Warna Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

3.1 3.09

3.05 3.04 3.04

3 2.98 2.99

2.95

2.9 R0 R1 R2 R3 R4

Dari uji regresi linier diperoleh

persamaan regresi linier: Y = 2,947 + 0,027X, yang berarti setiap penambahan 1% tepung temulawak dalam ransum menyebabkan peningkatan warna daging sebesar 2,974 (warna daging menjadi kekuningan). Tekstur Daging Tektur daging merupakan penentu paling penting pada kualitas daging. Rataan tektur daging broiler umur 6 minggu dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Rataan Tektur Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

Perlakuan Rataan Standar

Deviasi R0 4.44 + 0.20 R1 4.40 + 0.10 R2 4.36 + 0.09 R3 4.36 + 0.09 R4 4.35 + 0.11

Tabel 4 memperlihatkan bahwa tekstur daging ayam broiler yang diberi tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% berkisar 4,35 – 4,44g/mm2. Tampak tekstur terendah diperoleh pada perlakuan R4 (ransum dengan pemberian 4% tepung temulawak) di mana serabutnya lebih halus. Menurut Soeparno (1994), unggas yang dagingnya empuk adalah unggas yang daging karkasnya lunak, lentur, dan bertekstur halus.

Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata pemberian tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap tekstur daging ayam broiler. Hal ini disebabkan interval dari level pemberian tepung temulawak dalam ransum tidak berbeda jauh sehingga tekstur daging yang diperoleh tidak berbeda nyata. Namun peningkatan level pemberian tepung temulawak dalam ransum cenderung menyebabkan tekstur daging semakin halus (uji regresi linier).

Grafik 2.

Tekstur Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

4.46 4.44 4.44 4.42 4.4 4.4 4.38 4.36 4.36 4.36 4.34 4.35 4.32 4.3 4.28

R0 R1 R2 R3 R4

Page 34: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Yunilas, Edhi Mirwandhono, dan Olivia Sinaga: Pengaruh Pemberian Tepung Temulawak...

66

Dari uji regresi linier diperoleh persamaan regresi linier: Y = 4,448 – 0,002X, yang berarti setiap penambahan 1% tepung temulawak dalam ransum menyebabkan penurunan nilai tekstur sebesar 4,446 (tekstur daging menjadi lebih halus). pH Daging pH daging broiler merupakan hasil pengukuran potongan karkas yang telah dilumatkan dan diukur dengan menggunakan pH meter. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan pH Daging Ayam Broiler Umur 6 Minggu

Perlakuan Rataan Standar

Deviasi R0 6.11 + 0.15 R1 6.17 + 0.24 R2 6.16 + 0.27 R3 6.20 + 0.13 R4 6.13 + 0.24

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pH

daging ayam broiler yang diberi tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% berkisar 6,11 – 6,20. Daging ayam broiler segar/mentah tanpa pendinginan yang baru disembelih pHnya berkisar 6,02- 6,39. Hal ini didukung oleh Thornton dangracey (1974) disitir Siregar dan Siswani (1988) bahwa variasi pH terjadi antara lain disebabkan tipe/bagian urat daging, kadar glikogen dalam jaringan, jenis, dan jumlah mikroorganisme awal serta penyebarannya dalam daging.

Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata pemberian tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH daging ayam broiler. Hal ini disebabkan interval dari level pemberian tepung temulawak dalam ransum tidak berbeda jauh sehingga pH daging yang diperoleh tidak berbeda nyata (tidak bervariasi). Hal ini didukung oleh pendapat Soeparno (1994) bahwa faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging adalah stress sebelum pemotongan, pemberian obat-obatan, spesies dan individu ternak. Kesimpulan Pemberian tepung temulawak dalam ransum sampai level 4% tidak berpengaruh terhadap warna, tekstur, dan pH daging. Walaupun demikian, perlakuan tersebut cenderung meningkatkan warna

daging menjadi putih kekuningan dan tekstur daging semakin halus. Daftar Pustaka Bakrie, B., Andayani, B., Yanis, M.,

Purnomo, H. A., M. Nur, dan D. Zaenuddin. 2002. Teknologi Pemberian Jamu Pada Ayam Buras Potong. [www.document] URL http://www.Jakarta Litbang. Deptan.go id/ Infotek 02 pn Jamu. Htm. (2002).

Biofarmaka. 2002. Tanaman Obat dan

Khasiatnya. [www.document] URL http://www.Jakarta. Litbang. Deptan.go. id/Pustaka/ aTekno pro/ kaflet/2034. Html.

Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan.

Jakarta: Rajagrafindo Persada. Liang, B. O., Apsarkon.Y., Widjaja.T. 1985.

Darya Varia Laboratoria. Simposium Nasional Temulawak. UNPAD, Bandung.

Maheswari, H. 2002. Pemanfaatan Obat

Alami. [Karya Ilmiah]. IPB, Bogor. Mangisah, I. 2003. Pemanfaatan Kunyit

(Curcuma Domestica) dan Temulawak (Curcuma Xanthorrizha Roxb) Upaya Menurunkan Kadar Kolesterol Daging Ayam Broiler. [www.document] URL http://www. Balitbang Jateng.go id/ cari php? Kunci=12

Priyatno, M. A. 2003. Mendirikan Usaha

Pemotongan Ayam. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sinar Harapan. 2002. Temulawak.

[www.document] URL http://www.Sinar Harapan. co.id/Iptek/Kesehatan/2002/074/kes2 html.

Siregar dan Siswani. 1988. Pengaruh Waktu

dan Suhu Penyimpanan Terhadap Pembusukan Daging Sapi. Penemuan Ilmiah Ruminansia. Cisarua, Bogor.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging.

Yogyakarta: UGM Press.

Page 35: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

67

Pengaruh Berbagai Level Naungan dari Beberapa Pastura Campuran Terhadap Produksi Hijauan

(The Effect of Various Levels of the Shades from Some Mixed Pasture towards the Production of Suitables)

Nevy Diana Hanafi 1), Roeswandy 2) dan Hasan Fuad Nasution 3)

1,2,3) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract: This research aimed at testing the response of mixed pasture with the increase in various levels of the shades as well as his interaction towards the production of the wet weight, the production of the dry matter of suitables. The research plan that was used was the Split Plot design (RPT) with two treatment factors. The first factorgiving of the shades (N) consisted of three levels that is: N0 = without the shade, N1 = the shade 55%, N2 = the shade 75%. The factor of the two mixed pastures consisted of 4 pastures that is P0 = Calopogonium mucunoides + Pueraria javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata. The use of various levels of the shades was non significantly different (P>0,01) towards the production of the wet weight and the production of the dry matter, whereas the treatment with influential mixed pasture significantly different (P<0,01) towards the production of the wet weight and the production of the dry matter. And the interaction between the treatment was non significantly different (P>0,01) towards the production of the wet weight and the production of the dry matter. Mixed pasture that produced the production of the wet weight and the production of the dry matter that highest in this research was P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata). Key words: mixed pasture, shades, production of the wet weight, production of the dry

matter. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji respon pastura campuran dengan penambahan berbagai level naungan serta interaksinya terhadap produksi bahan segar, produksi bahan kering hijauan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama pemberian naungan (N) terdiri dari tiga taraf yaitu: N0 = tanpa naungan, N1 = naungan 55%, N2 = naungan 75%. Faktor kedua pastura campuran terdiri dari 4 pastura yaitu P0 = Calopogonium mucunoides + Pueraria javanica + Calopogonium caeruleum, P1= Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata. Penggunaan berbagai tingkat naungan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering, sedangkan perlakuan dengan pastura campuran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Dan interaksi antara perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,01) terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Pastura campuran yang menghasilkan produksi bahan segar hijauan dan produksi bahan kering hijauan yang tertinggi dalam penelitian ini adalah P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata). Kata Kunci: pastura campuran, naungan, produksi bahan segar, produksi bahan kering.

Pendahuluan

Salah satu kunci keberhasilan dalam peningkatan produksi peternakan adalah tersedianya bahan makanan yang

cukup dan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Ketersediaan bahan makanan untuk ternak tidak selalu dalam keadaan yang memadai seperti yang diharapkan, baik dari segi mutu maupun jumlahnya. Masalah utama yang

Page 36: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

68

dihadapi dalam penyediaan hijauan pakan adalah terbatasnya penggunaan dan pemilikan lahan, karena pada umumnya lahan produktif digunakan untuk tanaman pangan. Pemanfaatan areal pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyediaan hijauan pakan. Areal lahan kelapa sawit di Indonesia lima tahun belakangan ini mengalami peningkatan. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2002 di proyeksikan sekitar 3.718.541 ha (Jakarta Future Exchange, 1999). Dilihat dari areal lahan kelapa sawit yang begitu besar, dirasakan perlu adanya pemanfaatan dari areal tersebut. Mengingat jarak tanam kelapa sawit (9 m x 9 m), dapat dikatakan merupakan suatu lahan potensial yang belum termanfaatkan dan dibiarkan begitu saja. Padahal jika ditinjau secara agronomis dan zooteknis, disela-sela lahan pertanaman kelapa sawit dapat diusahakan budidaya hijauan pakan ternak dengan beberapa spesies tanaman yang tahan terhadap naungan. Hal yang harus diperhatikan dari pertanaman campuran rumput-leguminosa pada areal perkebunan adalah toleransi atau tidaknya tanaman tersebut pada naungan kelapa sawit. Dari hasil review yang dilaporkan oleh Wong (1990), dilaporkan bahwa tanaman Stenotaphrum secundatum, Calopogonium caeruleum, Desmodium heterophyllum, Desmodium ovalifolium adalah tanaman yang tinggi toleransinya terhadap naungan, sedangkan Brachiaria humidicola, Digitaria sp, Calopogonium muconoides, Centrocema pubescens, Peuraria phaseloides adalah tanaman yang sedang toleransinya terhadap naungan, dan Stylosanthes quianensis merupakan tanaman yang rendah toleransinya terhadap naungan. Pertumbuhan spesies-spesies pastura sangat nyata bergantung pada cahaya lingkungan dan biasanya kualitas energi cahaya yang tersedia sangat erat dan berhubungan positif. Namun demikian, beberapa studi pada kondisi di mana ketersediaan N dalam tanah sangat terbatas, ternyata ditemukan produksi biomasa tertinggi pada perlakuan naungan yang sedang dibanding pada kondisi terbuka. Pengaruh ini nyata disertai dengan konsentrasi nitrogen yang lebih banyak pada jaringan tanaman (Wong dan Wilson, 1980). Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui sampai sejauh mana toleransi kombinasi pertanaman rumput-leguminosa terhadap berbagai taraf

naungan (0%, 55%, dan 75%) dan untuk menguji respon pastura campuran dengan penambahan berbagai level naungan serta interaksinya terhadap produksi bahan segar, produksi bahan kering dan kualitas hijauan. Bahan dan Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Loka Penelitian Ternak Potong Sei Putihgalang, mulai bulan Februari 2004 sampai bulan Agustus 2004. Metode penelitian yang digunakan adalah metode rancangan petak terbagi (split plot). Pada percobaan ini terdapat 2 faktor yaitu faktor pertama yang dijadikan sebagai petak utama (main plot) adalah naungan, dengan tingkat naungan 0%, 55%, dan 75%. Faktor kedua dijadikan sebagai anak petak (subplot) adalah 4 jenis pastura, yaitu: P0 = penutup tanah konvensional = Calopogonium muconoides + Peuraria javanica + Calopogonium caeruleum, P1 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium muconoides, P2 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Calopogonium caeruleum, P3 = Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata, dengan jumlah ulangan sebanyak 3 Naungan dipasang setelah pengolahan dan pembuatan petak pada setiap blok, dengan tinggi 1,5 m sesuai dengan tingkat transmisi cahaya yang dikehendaki yaitu 75% dan 55%. Pemupukan diberikan sejumlah 200kg Urea + 100kg SP-36 + 100kg KCl (rumput) dan 100kg SP-36 + 100kg KCl (legum) per tahun/hektar. Pupuk SP-36 dan KCl diaplikasikan pada saat tanam (seluruhnya), pupuk urea dibagi menurut jumlah panen + awal, aplikasikan dengan jumlah merata. Penanaman dilakukan dengan mempergunakan bahan tanam sobekan rumput dan biji leguminosa. Jarak tanam untuk rumput 20 x 20 cm, sedangkan untuk legum ditanam di antara tanaman rumput dengan jarak yang sama.

Pemotongan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan, dimaksudkan untuk menyeragamkan pertumbuhan. Pemotongan rumput dan legum dilakukan sesuai dengan perlakuan umur pemotongan yaitu 6 minggu dengan interval pemotongan 4 kali selama penelitian. Tinggi pemotongan 20 cm di atas permukaan tanah. Pengamatan dilakukan terhadap parameter meliputi: produksi bahan segar dan bahan

Page 37: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

69

kering diukur pada setiap pemotongan yang meliputi produksi setiap panen.

Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian merupakan hasil yang diperoleh setelah dilakukan penghitungan produksi bahan segar. Produksi bahan kering rataan hijauan selama 24 minggu dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 . Rekapitulasi rataan pengaruh level pemberian naungan pada pastura

campuran terhadap produksi bahan segar (kg/ha), produksi bahan kering

(kg/ha)

Berat Segar Berat KeringPerlakuan

(kg/ha) (kg/ha)

N0 7260,4tn 1925,8tn N1 7275,3 tn 1798,7tn N2 6942,9 tn 1664,8tn P0 3661,2B 1069,7C P1 7557,1A 1767,4B P2 8208,5A 2029,7AB P3 9211,3A 2318,9A

N0P0 3638,78 1182,44 N0P1 6991,49 1800,55 N0P2 9055,56 2306,17 N0P3 9355,79 2414,23 N1P0 3626,04 1005,05 N1P1 8437,60 1970,89 N1P2 8188,60 1990,36 N1P3 8848,94 2228,59 N2P0 3718,84 1021,61

Berat Segar Berat Kering Perlakuan

(kg/ha) (kg/ha)

N2P1 7242,25 1530,63 N2P2 7381,35 1792,61 N2P3 9429,18 2314,17

Keterangan: tn = tidak nyata Notasi yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata Produksi Bahan Segar Berdasarkan Tabel 1 di atas, diketahui bahwa tingkat pemberian naungan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah produksi bahan segar, di mana diperoleh jumlah produksi bahan segar N0 (0%) sebesar 72760,4kg/ha, N1 (55%) sebesar 7275,3kg/ha, dan N2 (75%) sebesar 6942,9kg/ha. Hal ini berarti bahwa kebutuhan tanaman terhadap cahaya sinar matahari masih dalam batas toleransi. Meskipun adanya taraf naungan yang berbeda, cahaya matahari masih dapat menyinari tanaman. Karena cahaya matahari mempunyai panjang gelombang yang berebeda-beda sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk melakukan fotosintesis. Sulaiman dan Sinuraya (1994) mengatakan bahwa dalam proses fotosintetik, klorofil hanya menangkap sinar merah dan sinar biru-violet saja yang dibagi menjadi dua sistem yaitu fotosistem I yang diaktifkan oleh cahaya merah jauh (680-700nm), sedangkan fotosistem II diaktifkan oleh cahaya merah (650 nm). Sedangkan dari hasil analisis sidik ragam pastura campuran diperoleh bahwa pastura P0 berbeda sangat nyata dengan pastura P1, P2, dan P3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 1 berikut ini:

Grafik 1.

Histogram produksi bahan segar(kg/ha) rataan pastura campuran selama penelitian.

Pastura Campuran

Produksi Segar (kg/ha)

01000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

10000

P P P P

Page 38: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

70

Dari grafik 1 terlihat bahwa perlakuan hijauan pastura campuran pada pastura P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata) yaitu sebesar 9211,3kg/ha menghasilkan produksi bahan segar rataan tertinggi dibandingkan dengan jenis pastura campuran lainnya yang masing-masing P2 sebesar 8208,5kg/ha, diikuti P1 sebesar 7557,1kg/ha, dan yang terendah pada pastura P0 yaitu sebesar 3661,2kg/ha. Hal ini disebabkan oleh jenis tanaman pencampuran pada P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata) mempunyai pertumbuhan dan daya tahan hidup di bawah naungan. Hal ini dinyatakan oleh Reksohadiprodjo (1985) bahwa legum Stylo dapat tumbuh di tanah yang luas kisaran kondisinya dengan curah hujan sedang sampai tinggi di daerah tropik dan subtropik, sangat toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah. Hal ini didukung oleh Manetje dan Jones (1992), bahwa Stylo merupakan jenis legume yang memberikan harapan baik untuk sebagian besar daerah di Indonesia. Toleransinya terhadap jenis tanah sangat luas bahkan tanah-tanah yang miskin unsur hara dengan kandungan P sebesar 0,06%. Tanaman Arachisglabarata tahan terhadap naungan, merambat melalui tanah dan produksi dapat mencapai 18 ton/ha/tahun (Anonimous, 2002). Hasil analisis sidik ragam di atas juga menunjukkan bahwa interaksi antara tingkat pemberian naungan dengan pastura campuran tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Hal ini diduga respon kedua perlakuan yang diuji belum

dapat mendukung produksi secara bersamaan terhadap pertumbuhan tanaman. Seperti yang dinyatakan Malcom (1992) bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman dipengaruhi oleh proses fotosintesis pada tanaman. Setiap varietas tanaman memiliki sifat dan ciri tanaman yang berbeda, akan tetapi besarnya produksi tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat efisiensi penggunaan cahaya yang diserap dan juga dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan dalam sistem tanaman tersebut (Fitter dan Hay, 1991). Produksi Bahan Kering Berdasarkan Tabel 1 di atas, diketahui bahwa tingkat pemberian naungan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah produksi bahan kering, di mana diperoleh jumlah produksi bahan kering N0 (0%) sebesar 1925,8kg/ha, N1 (55%) sebesar 1798,7kg/ha dan N2 (75%) sebesar 1664,8kg/ha. Hal ini disebabkan bahwa tingkat naungan yang diberikan tidak memberikan pengaruh pada rataan produksi bahan kering walaupun jumlah produksi berat kering tertinggi pada tingkat naungan N0 (0%). Sebagaimana yang dikatakan oleh Wilson dan Wong (1982), mengemukakan bahwa naungan menurunkan bahan kering green panic dan siratro. Naungan juga menurunkan nisbah daun dan batang, juga menaikkan kadar lignin dari hijauan yang ditanam.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sanchez (1976) yang menyatakan bahwa bermacam-macam pastura campuran, rumput mempunyai respon yang berbeda dalam menghasilkan bahan kering.

Grafik 2 .

Histogram produksi bahan kering (kg/ha) rataan level naungan

1500

1550

1600

1650

1700

1750

1800

1850

1900

1950

N N N

Rataan

Level Naungan

Produksi Bahan Kering (kg/ha)

Page 39: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

71

Dari Grafik 2. terlihat jelas bahwa tingkat pemberian naungan sampai dengan 55% (N1) memberikan hasil rataan tertinggi pada jumlah produksi bahan kering rataan, tetapi semakin tinggi tingkat pemberian naungan menyebabkan produksi bahan kering rataan semakin menurun. Penurunan hasil bahan kering rataan pada tingkat pemberian naungan 75% diduga disebabkan dengan menurunnya intensitas cahaya. Pendapat yang sama juga didukung oleh Ludlow, et. al. (1974) yang menyatakan bahwa produksi bahan kering menurun dengan adanya intensitas cahaya yang rendah pada beberapa spesies rumput dan legum. Hal ini didukung oleh Ross (1995) mengatakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbuka dan tertutupnya stomata. Menurunnya intensitas cahaya akibat naungan akan mempengaruhi pembukaan stomata, sehingga aktivitas fotosintesis akan menurun. Dengan demikian, fotosintat yang dihasilkan selama tanaman dinaungi menjadi berkurang, ini akan tercermin dari rendahnya bobot kering tanaman. Sedangkan dari hasil analisis sidik ragam pastura campuran, diperoleh bahwa pastura P3 berbeda sangat nyata dengan pastura P0, P1, dan P2. Hal ini disebabkan karena varietas pastura memberikan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda dan pertumbuhan serta produksi tanaman juga dipengaruhi oleh faktor-faktorgenetis tanaman itu sendiri. Soegito, et. al. (1992) menyatakan bahwa setiap varietas tanaman memiliki produksi yang berbeda-beda tergantung kepada sifatgenetis varietas tanaman itu sendiri.

Hasil analisis sidik ragam di atas juga menunjukkan bahwa interaksi antara tingkat pemberian naungan dengan pastura campuran berpengaruh tidak nyata terhadap parameter yang diamati. Hal ini disebabkan tanaman memiliki sifat dan ciri tanaman yang berbeda tapi besarnya produksi tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat efisiensi penggunaan cahaya yang telah diserap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Syahbuddin, et.al. (1998) menyatakan bahwa setiap varietas memiliki respon yang berbeda terhadap pemberian naungan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Penggunaan berbagai level naungan 0%, 55%, dan 75% tidak berpengaruh

terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Perlakuan pastura campuran P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata) menaikkan produksi bahan segar dan bahan kering. Pengaruh interaksi antara level naungan 0%, 55%, dan 75% dengan pastura campuran tidak berpengaruh terhadap produksi bahan segar dan produksi bahan kering. Saran

Penggunaan pastura P3 (Digitaria milanjiana + Stylosanthesguyanensis + Paspalum notatum + Arachisglabarata) lebih direkomendasikan dikarenakan produksi hijauannya lebih tinggi daripada perlakuan mix pastura yang lainnya. Walaupun penggunaan naungan tidak berpengaruh terhadap produksi hijauan, tetapi disarankan menggunakan naungan 55%, karena pada naungan ini dapat menghasilkan produksi yang optimum dibandingkan 0% dan 75%. Daftar Pustaka Anonimous, 2002. Hijauan Makanan Ternak.

Medan: Loka Penelitian Ternak Potong Sei Putih.

Dwijoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi

Tumbuhan. PT Jakarta: Gramedia. Hal 55-70.

Fitter, A. H. dan R. K. M. Hay. 1991.

Fisiologi Lingkungan Tanaman. Penerjemah Sri Andani dan E.D. Purbayanti. Yogyakarta:Gadjahmada University Press. Hal 53-79.

Jakarta Future Exchange. 2002. Potensi dan

Produksi Kelapa Sawit di Indonesia. Ludlow, M. M. Wilson, G. L. and M. R.

Huterust. 1974. Studies on The Productivity of Tropical Pasture Plants. Shading Ongrowth, Photosyntesis and Respiration in Vivograsses and Two Legumes. Australian J. Agric, Research 25:425.

Malcom, B. W. 1992. Fisiologi Tanaman.

Penerjemah Mulyani Sutejo dan A.G. Kartasapoetra. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 430-432.

Page 40: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Nevy D. Hanafi, Roeswandy, dan Hasan F. Nasution: Pengaruh Berbagai Level Naungan...

72

Manetje, L. T and R. M. Jones. 1992. Plant Resources of South-East Asia. PROSEA, No. 4. Bogor, Indonesia

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta: BPFE.

Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid

II. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Sanchez, P. A. 1976. Properties and

Management Of Soil in The Tropic. New York: Jhon Wiley and Sons. Page 225-270.

Soegito, S. Rodiah dan Arifin. 1992.

Pemurnian dan Perbanyakan Benih Perjenis Kedelai. Malang: Badan Penelitian Tanaman Pangan. Hal 18-24.

Sulaiman A. H. dan Sinurayag. 1994. Dasar-

Dasar Biokimia untuk Pertanian. Medan: USU Press.

Syahbuddin, H. Y. Apriyana, N. Heriyani.

Darmijati dan Irsal Las. 1998. Serapan Hara Nitrogen, Posfor dan Kalium Tanaman Kedelai (Glycine max, L. merili) di Rumah Kaca Pada Tiga Taraf Intansitas Radiasi Surya dan Kadar Air Tanah Latosol. Jurnal Tanah dan Iklim Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, hal 20-28. Bogor

Wilson, J. R., and C. C., Wong. 1982. Effect

of Shade on Some Factors in Influencing Nutritive Quality of Green Panic and Siratro Pastures. Aust. J. Agric. Res, 33: 937.

Wong, C.C., and Wilson, J.R. Effect of

Shading ongrowth and Nitrogen Content ofgreen Panic and Siratro in Pure and Mixed Swar5ds Defoliated at Two Frequencies. Australian Journal of Agricultural Research. 31:269.

Wong, C.C., 1990. Shade Tolerance of

Tropical Forages: a review. In: Shelton, H.M. and W.W.Stur.(Ed). Forage for Plantation Crop. Proc. ACIAR, No.32:64

Page 41: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

73

Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis Susu Dengan Menggunakan Lactobacillus Bulgaricus dan

Streptococcus Thermophilus The effect of Temperature in Making Yoghurt from Various Kind of

Milk, Using Lactobacillus Bulgaricus and Streptococcus Thermophilus

Nurzainah Ginting, Elsegustri Pasaribu

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract: The objectives of this research were to study the colour, texture, taste and biological living of yoghurt. The yoghurt was treated with various temperature and various kinds of milk and using Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus. Factorial randomized block was used and the first factor was temperature, i.e. T1 (30°C), T2 (37°C), T3 (44°C), T4 (51°C); and the second factor was various kinds of milk, i.e. S1 (Skim Cow Milk), S2 (Fresh Cow Milk), S3 (Full Cream Cow Milk) and S4 (Fresh Buffalo Milk). The results showed that interaction of temperature, i.e. 44°C with Fresh Cow Milk had highly significantly effect on texture and colour of the yoghurt but did not effect on the taste. There were biological living in all of different temperature of yoghurt which were indicated by coagulation in the end of incubate process. Key words: milk, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus. Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur dan jenis susu dalam pembuatan yoghurt dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streprococcus thermophilus terhadap warna, tekstur, rasa, dan uji biologis dari yoghurt yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial (RAKF) 4 x 4 dengan 2 ulangan, di mana terdapat 2 faktor perlakuan yaitu faktor temperatur inkubasi (T) dengan taraf T1: 30°C, T2: 37°C, T3: 44°C, T4: 51°C . Faktor berikutnya yaitu jenis susu (S) yaitu S1: penggunaan susu skim sebagai bahan dasar, S2: susu sapi segar, S3: susu full krim, S4: susu kerbau segar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara temperatur 44°C dan jenis susu sapi segar berpengaruh sangat nyata terhadap tekstur, warna dari yoghurt yang dihasilkan dan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa. Pada uji biologik diperoleh hasil pengamatan bahwa pada tiap temperatur dan jenis susu yang digunakan didapati adanya aktivitas dari bakteri biakan yang ditandai dengan adanya penggumpalan pada masa akhir inkubasi. Kata kunci: susu, yoghurt, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus.

Pendahuluan Susu adalah substansi cair yang disekresikan oleh kelenjar mamae oleh semua mamalia. Bagian utamanya adalah air, lemak, protein, gula, dan abu. Susanto (2003) menyatakan susu merupakan sumber kalsium, fosfor, vitamin B, dan protein yang sangat baik. Mutu protein susu setara dengan protein daging dan telur. Protein susu sangat kaya akan lisin, yaitu salah satu asam amino esensial yang sangat dibutuhkan tubuh. Susu sapi segar adalah air susu hasil pemerahan yang tidak dikurangi atau ditambah apapun. Ciri-cirinya adalah

berwarna putih kekuning-kuningan, tidak tembus cahaya. Kekuningan karena memiliki kandungan vitamin A yang tinggi (Puspardoyo, 1997). Potter (1986) menyatakan susu bubuk full krim adalah susu yang dikeringkan hingga sekitar 97% total zat padatnya. Biasanya dalam susu full krim telah ditambahkan berbagai macam vitamin dan mineral. Susu kerbau jauh lebih banyak mengandung lemak susu, lebih tinggi daripada susu sapi (Williamson and Payne, 1993). Susu kerbau banyak dipakai untuk membuat makanan, misalnya yoghurt, es krim, dan berbagai jenis keju. Susu skim adalah susu yang mengandung semua kandungan susu kecuali lemaknya yang telah

Page 42: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..

74

dikurangi hingga 0,5% (Potter, 1986) sehingga susu ini cocok untuk bayi. Karena susu skim mengandung lemak yang lebih sedikit maka kandungan vitamin A, D, dan E juga rendah. Vitamin yang bersifat larut dalam air, termasuk di dalamnya vitamin B kompleks dan asam askorbat (vitamin C) dapat ditemukan dalam susu skim. Produk-produk olahan susu telah diketahui memegang peranan penting dalam makanan manusia di berbagai negara. Dengan tingkat nutrisinya yang tinggi, produk olahan susu dapat dijadikan makanan tambahan walau susu/olahannya hanya mewakili sekitar 10% konsumsi total protein. Salah satu produk olahan susu adalah yoghurt. Yoghurt adalah susu yang diasamkan melalui proses fermentasi. Hasil olahan susu ini berbentuk seperti bubur. Yoghurt dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah penyakit kanker saluran pencernaan. Manfaat yang terakhir ini dikarenakan yoghurt mengandung bakteri hidup sebagai probiotik dari makanan yang menguntungkan bagi mikroflora dalam saluran pencernaan. Selain itu mengkonsumsi yoghurt membolehkan seseorang yang menderita kelainan lactoce intolerence seolah mampu mengkonsumsi susu (McLean, 1993). Lactoce intolerence adalah suatu kelainan dari seseorang yang akan diare setiap minum susu dikarenakan memiliki kekurangan laktosa dalam usus kecilnya. Laktosa adalah enzim yang tersebar pada laktosa disakarida di dalam glukosa dan galaktose. Jika terdapat laktosa tidak dikenal atau tidak diketahui, maka laktosa yang dicerna dalam usus tetap tinggal pada usus dan sebagai hasil dari osmosis, air bergerak ke usus dan menyebabkan diare. Pada yoghurt laktosanya telah difermentasikan ke dalam bentuk asam laktat di mana setiap orang memiliki enzim untuk mencernanya. Pada pembuatan yoghurt dilakukan proses fermentasi dengan memanfaatkan bakteri asam laktat misalnya dari golongan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcuc thermophilus. Streptococcus thermophilus berkembang biak lebih cepat dan menghasilkan baik asam maupun CO2. Asam dan CO2 yang dihasilkan tersebut kemudian merangsang pertumbuhan dari Lactobacillus bulgaricus. Di sisi lain, aktivitas proteolitik dari Lactobacillus bulgaricus memproduksi peptida penstimulasi dan asam amino untuk dapat dipakai oleh Sreptococcus thermophilus. Mikroorganisma ini sepenuhnya bertanggung jawab atas

pembentukan tekstur dan rasa yoghurt (Goff, 2003). Temperatur memegang peranan penting bagi pertumbuhan bakteri. Dalam pengembangbiakannya dengan cara membelah diri, bakteri memerlukan temperatur dan keadaan lingkungan tertentu sehingga daur hidupnya dapat terus berjalan. Menurut Eckles (1980) pengaruh temperatur terhadap mikroorganisma dapat digolongkan 3 bagian yaitu temperatur rendah yaitu di bawah 10°C, biasanya pertumbuhan mikroorganisma menjadi lambat pada temperatur ini. Temperatur sedang yaitu 10 – 43°C. Diantara susu ini akan didapati suhu optimum bagi organisma secara mayoritas. Temperatur tinggi yaitu di atas 43°C. Kebanyakan mikroorganisma mati pada temperatur sekitar dan di atas 60°C. Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui suhu yang paling optimal untuk bakteri berkembang biak secara aktif. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Fakultas Pertanian USU selama dua bulan yaitu Oktober sampai November 2003. Bahan yang digunakan adalah susu sapi segar, susu kerbau, susu full krim, susu skim, dan air. Selain itu adalah bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan perbandingan 1:1. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) faktorial 4 x 4 dengan 2 (dua) kali ulangan. Faktor yang diteliti adalah faktor Temperatur (T) yaitu T1 (30°C), T2 (37°C), T3 (44°C) dan T4 (51°C). Selain faktor temperatur adalah jenis susu (S) yaitu S1 (susu skim), S2 (susu sapi segar), S3 (susu full krim), dan S4 (susu kerbau segar). Pengaruh perlakuan terhadap semua peubah yang diamati, dipelajari dengan sidik ragam dengan model matematik:

Yijk= µ + αi + αj + βk+ (αβ)ij + ∑ijk

Adapun peubah yang diamati adalah secara fisik yaitu warna, yaitu warna sebelum dan sesudah susu ditambah dengan bakteri. Selain itu adalah tekstur, yaitu dilihat bagaimana interaksi antara jenis susu dan temperatur berpengaruh terhadap tekstur dari hasil akhir yoghurt tersebut. Juga rasa yaitu dengan keempat jenis susu yang digunakan maka akan diuji rasa mana yang paling disukai oleh panelis yang mewakili berbagai tingkatan usia, ekonomi, dan latar belakang budaya yang berbeda. Selain

Page 43: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

75

peubah yang disebut di atas, peubah lainnya adalah uji biologi, yaitu untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas bakteri untuk setiap level temperatur yang dicobakan. Pada pelaksanaan penelitian, susu sapi dan kerbau segar dikumpulkan dari peternak, sementara susu skim dan full krim dilarutkan sebanyak 500g dalam 462,5 ml air masak. Banyaknya susu yang digunakan adalah 500 cc untuk tiap jenis susu. Susu sapi dan kerbau dipasteurisasi selama 30 menit pada suhu 60-70°C. Kemudian bakteri biakan ditimbang sebanyak 50g untuk setiap perlakuan. Setiap susu yang sudah diberi biakan ditutup dalam wadah dan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 30°C dan dibiarkan selama 20 jam. Setelah itu wadah yang berisi susu yang sudah berubah menjadi yoghurt dikeluarkan dari inkubator, dibiarkan sebentar pada suhu kamar dan dimasukkan ke refrigerator bersuhu 5°C. Untuk perlakuan temperatur 37°C, proses awalnya sama, hanya saja wadah yang sudah berisi susu dimasukkan ke inkubator bersuhu 37°C selama 10-11 jam. Berikutnya perlakuan bersuhu 44°C, wadah berisi susu dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 44°C selama 8 jam dan terakhir perlakuan 51°C dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 51°C selama 6 jam. Sesudah susu berubah menjadi yoghurt selalu disimpan di dalam refrigerator untuk menghambat perkembangbiakan yang berlebihan agar yoghurt tidak menjadi terlalu asam. Pengambilan data dari uji organoleptik terdiri atas: 1. uji warna

Skala Hedonik Skala Numerik

Putih 1 Putih Kekuningan 2 Kuning 3 Kuning Tua 4

2. uji tekstur

Skala Hedonik Skala Numerik

Encer 1 Agak Kental 2 Kental 3 Menggumpal 4

3. uji rasa

Skala Hedonik Skala Numerik Tidak Suka 1 Agak Suka 2

Suka 3 Sangat Suka 4

Selain uji di atas, dilakukan juga uji mikrobiologik untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas bakteri untuk setiap perlakuan temperatur.

Hasil dan Pembahasan Pada uji keragaman pengaruh temperatur inkubasi dan jenis susu pada warna yoghurt, ternyata faktor perlakuan suhu yang berbeda terhadap jenis susu menghasilkan perbedaan yang sangat nyata di mana T3 (44°C) menunjukkan warna yang lebih kuning Hal ini membuktikan bahwa bakteri memerlukan suhu tertentu untuk berkembang biak secara optimum dan sesuai dengan pernyataan Eckles(1980) bahwa tiap jenis bakteri memiliki suhu optimum untuk perkembangbiakan. Jenis susu S2 (susu sapi segar) dan S3 (susu full krim) memiliki skala warna yang paling tinggi, yaitu kuning tua. Hal ini disebabkan jenis susu sapi segar dan susu full krim memiliki komposisi yang tidak jauh berbeda, hanya saja susu full krim telah melalui proses pengolahan seperti pengeringan sehingga sekitar 97% zat padatnya (Potter, 1986). Bahkan beberapa produk susu full krim mendapat penambahan bahan nutrisi lain sehingga lebih lengkap. Warna yoghurt ternyata dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Makanan hijauan adalah sumber yang baik bagi beta karoten di mana warna kuning pada karoten tersebut akan terdapat dalam lemak air susu. Hal ini yang menyebabkan mengapa yoghurt dari susu skim warnanya cenderung lebih putih karena kandungan lemaknya rendah, sementara karoten yang menyumbangkan warna kuning tersebut berasal dari lemak susu. Tekstur dari yoghurt yang dihasilkan menentukan apakah yoghurt tersebut berkualitas baik. Yoghurt yang baik memiliki tekstur yang lembut seperti bubur, tidak terlalu encer dan tidak pula terlalu padat (Legowo, 2002). Faktor berbagai level temperatur dan jenis susu serta interaksi dari kedua faktor tersebut terhadap tekstur yoghurt menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Perlakuan dengan temperatur 44°C dengan memakai susu full krim menunjukkan perbedaan sangat nyata terhadap perlakuan dengan temperatur 44°C memakai susu skim. Artinya pada temteratur optimum untuk berkembang biak, susu skim yang kandungan lemaknya

Page 44: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Nurzainah Ginting dan Elsegustri Pasaribu: Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt..

76

sebagian sudah dibuang memiliki tekstur yang lebih encer daripada susu full krim. Menurut Gilliland (1986) beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur yoghurt adalah perlakuan pada susu sebelum diinokulasikan, ketersediaan nutrisi, bahan-bahan pendorong, produksi metabolis oleh lactobacilli, interaksi dengan bakteri biakan lainnya, penanganan bakteri sebelum digunakan dan juga ada atau tidaknya antibiotika dalam susu. Tekstur yoghurt susu kerbau adalah yang paling padat dikarenakan susu kerbau memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan jenis susu lainnya. Rasa yoghurt yang diamati adalah melalui pemberian yoghurt polos (tanpa ditambahi perasa apapun) kepada panelis. Yoghurt biasanya memiliki citarasa asam menyegarkan yang tajam (Davies and Law, 1984) dan aroma yang khas. Dari tiap perlakuan di mana total rataan yang paling tinggi adalah pada perlakuan dengan menggunakan susu full krim dan yang terendah dihasilkan pada yoghurt berbahan susu kerbau. Hal ini berarti yoghurt berbahan susu full krim lebih disukai dari yang berbahan susu kerbau. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia lebih mengenal dan lebih sering mengkonsumsi susu sapi dan berbagai produk hasil olahannya seperti susu skim dan full krim daripada susu kerbau. Rasa yang dihasilkan oleh yoghurt berbahan susu kerbau cenderung lebih asam dibanding berbahan susu full krim, karena produksi asam oleh bakteri lebih cepat dikarenakan bakteri yang juga berkembang lebih cepat (Davies and Law, 1984) pada susu kerbau dibandingkan dengan jenis susu lainnya. Rasa asam pada yoghurt merupakan indikasi perkembangbiakan dari percampuran bakteri yang berjalan baik dan cepat (Driessen, 1981). Rasa asam pada yoghurt juga menunjukkan bahwa adanya asam laktat yang telah terbentuk sebagai hasil kerja dari bakteri (Eckles, 1980). Menurut Adnan (1984) keasaman yang tercapai dapat mengganggu pertumbuhan bakteri yang tidak dikehendaki, terutama bakteri yang menyebabkan diare seperti Clostridium difficile pada orang dewasa dan Rotavirus pada anak-anak. Lebih diminatinya yoghurt berbahan dasar susu full krim karena yoghurt terasa lebih enak, kandungan lemaknya tidak terlalu tinggi seperti susu kerbau sehingga rasanya tidak mengakibatkan cepat muak. Pada uji mikrobiologik disimpulkan bahwa pada semua level temperatur tetap

ada aktivitas bakteri yaitu ditandakan dengan adanya penggumpalan pada tekstur yoghurt serta aromanya yang asam. Pada tekstur yang encer atau tidak padat, maka kemungkinan besar bakteri tidak berkembang optimal (suhu 30°C) atau bakteri sebagian mati (suhu 51°C). Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1.Temperatur 30°C, 37°C, 44°C, dan 51°C yang digunakan sebagai suhu inkubasi berpengaruh terhadap warna, tekstur yoghurt sedangkan pada rasa tidak berpengaruh.

2.Jenis susu sapi segar, susu kerbau segar, susu full krim, dan susu skim yang digunakan sebagai bahan dasar yoghurt berpengaruh terhadap warna, tekstur, rasa yoghurt.

3.Ada interaksi yang nyata antara temperatur °C dan jenis susu yang digunakan.

4.Hasil yang paling baik diperoleh pada temperatur 44°C dengan pemakaian susu sapi full krim sebagai bahan dasarnya.

Saran

1. Susu yang dipakai adalah susu yang baru, tidak disimpan terlalu lama sehingga merupakan media terbaik untuk bekteri berkembang biak.

2. Temperatur yang digunakan sebaiknya tidak rendah ataupun tinggi untuk menyediakan temperatur yang optimum bagi bakteri berkembang biak.

Daftar Pustaka Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi

Pengolahan Air Susu. Yogyakarta: Andi Offset.

Davies, F. L. and Law B. A. 1984. Advances

in The Microbiology and Biochemistry of Cheese & Fermented Milk. London: Elsevies Applied Science.

Driessen, F. 1981. Mixed Culture

Fermentations, P. Bushell & J. Slater. London: Educations Academic Press.

Eckles, C. H., W. B. Combs, H. Macy. 1980.

Milk and Milk Products. 4th Edition,

Page 45: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

77

Bombay, New Delhi: Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd.

Goff, D. 2003. Yoghurt, Diary Science, and

Technology. Canada: University ofguelph.

Gilliland, S.E. 1986. Bacterial Starter

Cultures for Food. Florida, USA: CRC Press.

Legowo, A. M. 13 September 2002. Yoghurt

untuk Kesehatan. Kompas. McLean, V.A. 1983. Yoghurt and You:

Nutritional Value of Yughurt. The National Yoghurt Association.

Puspowardoyo, H. 1997. Mikrobiologi

Pangan Hewani–Nabati. Yogyakarta: Kanisius. Potter, N. N. 1986. Food Science. New York:

Von Nostrand Reinhold Company. Susanto, A. 2000. Si Putih Kaya Gizi. Kompas

Cyber Media, diakses 9 Mei 2003. Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993.

Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Yogyakarta: UGM Press.

Page 46: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

78

Pemberian Tiga Macam Konsentrat Terhadap Kualitas dan Persentase Karkas Serta Income Over Feed Cost Domba Sungei Putih

Selama Penggemukan (The Usage Three Kind of Concentrates on Quality and Carcass

Percentage and Also Income Over Feed Cost of Sungei Putih Sheep For Fatgrowth)

Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantioni

Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU Abstract: The objectives of this research was to test the comparison three of kind concentrates on carcass percentage, fat and income over feed cost of Sungei Putih sheep for fatgrowth. The experiment was using complete randomized experiment design by three treatments and six replication, where treatments of T1 wasgrass + concentrate A (palm oil by product), T2 wasgrass + concentrate B (conventional) and T3 wasgrass + concentrate C (farming by product). The results showed the highest average carcass weight at T2 (12,96kg) then T3(12,82kg) and then lowest average at T1 (11,47kg). The highest average carcass percentage T2 (54,53%) then T3 (54,03%) and the lowest average at T1 (52,68%). The highest average subcutan fat weight at T2 (1,70kg) then T3 (1,63kg) and the lowest average at T1 (1,24kg). The highest average intermusculer fat at T2 (413,40g) then T3 (411,80g) and the lowest average at T1 (383,20g). The highest average chanel + pelvic fat weight at T2 (241,80g) then T3 (231,40g) and the lowest average at T1 (215,80g). And the highest average income over feed cost at T1 (Rp 73.331,67) then T3 (Rp 56.383,57) and the lowest average at T2 (Rp 21.430.63). The statistic of analysis the research result showed that the test result of variation indicated that T1, T2 and T3 didn’t have a real different affect to the carcass weight, carcass percentage, subcutan fat weight, intermusculer fat weight, and chanel + pelvic fat weight, mean while for income over feed cost has a real different affect. Key Words: sheep, Consentrate, Carcass, fat and IOFC.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbandingan antara tiga macam konsentrat yaitu konsentrat A (berbasis hasil sampingan industri kelapa sawit), konsentrat B (konvensional), dan konsentrat C (berbasis hasil sampingan industri pertanian) terhadap persentase karkas dan income over feed cost Domba Sungei Putih selama penggemukan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari tiga perlakuan dan 6 ulangan yaitu: T1 = rumput + konsentrat A (berbasis hasil sampingan kelapa sawit), T2 = rumput + konsentrat B (konsentrat konvensional), dan T3 = rumput + konsentrat C (berbasis hasil sampingan produk pertanian). Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot karkas tertinggi pada T2 (12,96kg), sementara rataan bobot karkas T3 (12,82kg) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (11,47kg). Rataan persentase karkas tertinggi pada T2 (54,53%) sementara rataan persentase karkas T3 (54,03%) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (52,68%). Rataan bobot lemak subkutan tertinggi pada T2 (1,70kg), sementara rataan bobot karkas T3 (1,63kg), dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (1,24kg). Rataan bobot lemak intermuskuler tertinggi pada T2 (413,40g) sementara rataan bobot karkas T3 (411,80g) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (382,20g). Rataan bobot lemak ginjal + pelvik tertinggi pada T2 (241,80g) sementara rataan bobot karkas T3 (231,40g) dan rataan bobot karkas terendah pada T1 (215,80g). Dan rataan income over feed cost tertinggi pada T1 (Rp 73.331,67) sementara T3 (Rp 56.383,57) dan rataan income over feed cost terendah pada T2 (Rp 21.430,63). Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa T1, T2, dan T3 pada Domba Sungei Putih tidak berbeda nyata terhadap bobot karkas, persentase karkas, bobot lemak subkutan, bobot lemak intermuskuler, bobot

Page 47: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

79

lemak ginjal + pelvis, sedangkan untuk income over feed cost memperlihatkan hasil yang sangat berbeda nyata. Kata Kunci: domba, karkas, lemak, dan IOFC. Pendahuluan Latar Belakang Sistem pemeliharaan ternak domba di Indonesia pada umumnya adalah secara tradisional, di mana pemberian pakan tergantung pada hijauan tanaman makanan ternak yang tersedia (rerumputan) dengan sedikit atau tidak ada pakan tambahan (Tomaszewska, et.al.:1993). Hal ini menyebabkan tingkat produksi domba rendah. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memperbaiki kualitas pakan, namun pakan komersil yang berkualitas harganya relatif mahal. Salah satu alternatif meningkatkan produktivitas ternak dan sekaligus pendapatan peternak adalah melalui pemanfaatan pakan inkonvensional. Bahan pakan inkonvensional antara lain: hasil sampingan (by product) dan hasil sisa (limbah) industri perkebunan dan pertanian. Sumatera Utara mempunyai areal perkebunan kelapa sawit yang cukup luas dan terdapat juga industri pengolahan sawit. Data statistik perkebunan Sumatera Utara tahun 2002: luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara adalah 766.669,73 Ha dan terdapat 60 unit perkebunan kelapa sawit. Hasil akhir dari proses pengolahan sawit tersebut antara lain minyak kelapa sawit sebagai produk utama, solid sawit sebagai limbah padat dan limbah cair yang dibuang ketempat pengendalian limbah (Naibaho,1994). Limbah sawit ini sangat melimpah dan belum diolah lebih lanjut. Hasil sisa perkebunan lainnya yang dapat digunakan yaitu anakan tebu yang berasal dari tebu utama setelah dipotong. Hasil sampingan lainnya dari industri pengolahan buah markisa dan buah nenas. Semua hasil sisa perkebunan maupun hasil sampingan industri pertanian ini dapat dijadikan sebagai alternatif pakan domba. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dilakukan penelitian tentang pemanfaatan hasil sampingan industri kelapa sawit dan hasil sampingan industri pertanian sebagai konsentrat terhadap kualitas dan persentase karkas, lemak serta income over feed cost pada ternak domba Sungei Putih. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbandingan antara konsentrat A (konsentrat yang berbasis hasil

sampingan industri kelapa sawit), konsentrat B (konsentrat konvensional) dan konsentrat C (konsentrat yang berbasil hasil sampingan industri pertanian) terhadap bobot karkas, persentase karkas, bobot lemak subkutan, bobot lemak intermuskuler, bobot lemak ginjal + pelvis dan income over feed cost domba Sungei Putih. Kegunaan Penelitian Sebagai upaya alternatif dalam pemanfaatan hasil sampingan industri kelapa sawit dan hasil sampingan industri pertanian dan sebagai bahan informasi bagi peternak dan pihak-pihak yang membutuhkan. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pulaugambar Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan dimulai dari Januari 2005 sampai April 2005. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan antara lain: a. 18 ekor domba jantan Sungei Putih lepas

sapih umur 5-6 bulan dengan kisaran bobot badan awal rata-rata 15kg (12-19kg)

b. Rumput gajah c. Konsentrat, terdiri dari:

• Konsentrat A terdiri dari: lumpur sawit, bungkil inti sawit, kerak tehu, anakan tebu, molases, urea, ultra mineral,garam

• Konsentrat B terdiri dari: jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, molases, urea, ultra mineral,garam

• Konsentrat C terdiri dari: jagung, dedak, bungkil kedelai, ampas nenas, kulit buah markisa, tepung ikan, urea, ultra mineral, dan garam.

Alat yang digunakan antara lain: a. Kandang 18 unit beserta

perlengkapannya dengan ukuran 1x 1,5m

b. Timbangan bobot hidup berkapasitas 120kg dengan kepekaan 500g, timbangan berkapasitas 5kg dengan kepekaan 5g untuk menimbang

Page 48: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

80

komponen karkas, timbangan 2kg dengan kepekaan 10g untuk menimbang pakan dan timbangan kapasitas 2.800g dengan kepekaan 1,0g untuk menimbang komponen karkas

c. Alat pendingin untuk tempat menyimpan karkas

Metode Penelitian Medote penelitian yang digunakan pada tahap I adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 6 ulangan yaitu:

T1 = rumput gajah + konsentrat A T2 = rumput gajah + konsentrat B T3 = rumput gajah + konsentrat C

Ulangan yang didapat berasal dari rumus:

T (n-1) ≥ 15 3 (n-1) ≥ 15 3n – 3 ≥ 15

3n ≥ 18 n ≥ 6

Adapun model linier penelitian yang digunakan adalah:

Yij = μ + τ i + Σij Di mana: Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i

dan perlakuan ke-j I = 1,2,3 (perlakuan) J = 1,2,3,4,5,6 (ulangan) μ = Nilai rata-rata (mean) harapan τi = Pengaruh faktor perlakuan ke-i Σij = Pengaruh galat (experimental error)

perlakuan ke-i ulangan ke-j (Hanafiah, 2000). Metode penelitian tahap II kedua adalah pengambilan sampel ternak domba yang dipotong yaitu: T1 = 2 ekor yaitu T1R1 dan T1R6 T2 = 2 ekor yaitu T2R1 dan T2R4 T3 = 2 ekor yaitu T3R2 dan T3 R4 Maka jumlah ternak domba yang dipotong sebanyak 6 ekor. Parameter Penelitian: Bobot karkas, Persentase karkas, Bobot lemak dan Income Over Feed Cost (IOFC).

Hasil Penelitian Bobot karkas Dari hasil penelitian diperoleh bobot karkas, terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot karkas (Kg/ekor)

Perlakuan Ulangan

T1 T2 T3 Total Rataan

I 11,77 13,34 11,51 36,62 12,21

II 11,16 12,58 14,13 37,87 12,62

Total 22,93 25,92 25,64 74,49 24,83

Rataan 11,47 12,96 12,82 37,25 12,42 Persentase karkas Dari hasil penelitian diperoleh persentase karkas, terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9.

Persentase karkas (%)

Perlakuan UlanganT1 T2 T3

Total Rataan

I 53,32 55,05 52,27 160,64 53,55

II 52,04 54,01 55,79 161,84 53,95

Total 105,36 109,06 108,06 322,48 107,49

Rataan 52,68 54,53 54,03 161,24 53,75

Bobot Lemak Subkutan Dari hasil penelitian diperoleh bobot lemak subkutan terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Bobot lemak subkutan (kg/ekor)

Perlakuan Ulangan

T1 T2 T3 Total Rataan

I 1,30 1,80 1,33 4,43 1,48

II 1,17 1,59 1,92 4,68 1,56

Total 2,47 3,39 3,25 9,11 3,04

Rataan 1,24 1,70 1,63 4,56 1,52 Bobot Lemak Intermuskuler Dari hasil penelitian bobot lemak intermuskuler, terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Bobot lemak intermuskuler (g/ekor)

Perlakuan Ulangan

T1 T2 T3 Total Rataan

I 390,00 426,40 364,00 1180,40 393,47

Page 49: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

81

II 374,40 400,40 459,60 1234,40 411,46

Total 764,40 826,80 823,60 2414,80 804,93

Rataan 382,20 413,40 411,80 1207,40 402,46

Bobot Lemak ginjal + Pelvis Dari hasil penelitian diperoleh bobot lemak ginjal + pelvis, terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Bobot lemak ginjal + pelvis (g/ekor)

Perlakuan Ulangan

T1 T2 T3 Total Rataan

I 223,60 228,80 202,80 655,20 218,40

II 208,00 254,80 260,00 722,80 240,93

Total 431,60 483,60 462,80 1378,00 459,33

Rataan 215,80 241,80 231,40 689,00 229,67

Income Over Feed Cost Dari hasil penelitian diperoleh income over feed cost, terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13.

Income over feed cost (Rp)

Perlakuan Ulangan

T1 T2 T3 Total Rataan

I 72.410,72 19.260,56 23.169.62 114.840,90 38.280,30

II 50.107,33 29.814,97 69.865.62 149.787,92 49.929,31

III 79.374,88 45.233,50 53.335.31 177.943,69 59.314,56

IV 77.735,85 15.948,16 72.254.12 165.938,13 55.312,71

V 85.073,01 3.020,50 48.800.25 136.893,76 45.631,25

VI 75.288,25 15.306,06 70.876.50 161.470,81 53.823,60

Total 439.990,04 128.583,75 338.301.42 906.875,21 302.291,74

Rataan 73.331,67 21.430,63 56.383.57 151.145,87 50.381,96

Page 50: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Iskandar Sembiring, Hasnudi, dan Pantoni: Pemberian Tiga Macam Konsentrat..

82

Pembahasan Hasil Bobot Karkas Untuk melihat pengaruh pemberian dari ketiga konsentrat tersebut terhadap bobot karkas dilakukan analisis keragaman yang terlihat pada Tabel 14.

Tabel 14.

Analisis keragaman bobot karkas

F tabel SK DB JK KT F hit

0.05 0.01

Perlakuan 2 2.72 1.36 1.05tn 9.55 30.81

Galat 3 3.89 1.29

Total 5 6.61 KK = 9.10% tn = tidak berbeda nyata Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa T1, T2, dan T3 pada domba jantan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap bobot karkas domba. Hal ini berarti bahwa ketiga macam perlakuan. Hal ini dapat disebabkan karena konsentrat A, B, dan C mempunyai nilai nutrisi yang tidak jauh berbeda dan konsumsi dan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata juga. Nilai rataan bobot karkas hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian. Persentase Karkas Untuk melihat pengaruh pemberian dari ketiga macam konsentrat tersebut terhadap persentase karkas dilakukan analisis keragaman yang terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Analisis keragaman persentase karkas

F table SK DB JK KT F hit

0.05 0.01

Perlakuan 2 3.66 1.83 0.72tn 9.55 30.81

Galat 3 7.55 2.51

Total 5 11.21 KK = 2.94% tn = tidak berbeda nyata Dari hasil analisis keragaman di atas dapat dilihat bahwa T1, T2, dan T3 pada domba jantan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap persentase karkas domba. Hal ini dapat disebabkan karena konsentrat A, B, dan C mempunyai nilai nutrisi yang tidak jauh berbeda. Selain

itu pakan yang dikonsumsi oleh domba dalam penelitian ini juga tidak berbeda nyata, sehingga persentase dari karkas juga tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Devendra (1977) yang menyatakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi. Johnston (1983) juga menyatakan bahwa persentase karkas pada domba yang kurus dan kondisinya buruk kurang dari 40%, sedangkan pada kondisi gemuk persentase karkas dapat melebihi 60%. Lemak. Untuk melihat pengaruh pemberian dari ketiga macam konsentrat tersebut terhadap lemak dilakukan analisis keragaman yang terlihat pada Tabel 16, 17, dan 18.

Tabel16. Analisis keragaman bobot lemak subkutan

F table SK DB JK KT F hit

0.05 0.01

Perlakuan 2 0.25 0.12 1.78tn 9.55 30.81

Galat 3 0.23 0.07

Total 5 0.48 KK = 17.10% tn = tidak berbeda nyata

Tabel 17. Analisis keragaman bobot lemak

intermuskuler

F table SK DB JK KT F hit 0.05 0.01

Perlakuan 2 1234.78 617.78 0.37tn 9.55 30.81

Galat 3 5029.36 1676.45

Total 5 6264.14 KK = 10.17% tn = tidak berbeda nyata

Tabel 18. Analisis keragaman bobot lemak ginjal +

pelvis

F table SK DB JK KT F hit 0.05 0.01

Perlakuan 2 685.01 342.51 0.5tn 9.55 30.81

Galat 3 2095.6 698.53

Total 5 2780.61 KK = 8.82% tn = tidak berbeda nyata

Page 51: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

Jurnal Agribisnis Peternakan, Vol.1, No.2, Agustus 2005

83

Dari hasil analisa keragaman dapat dilihat bahwa T1, T2, dan T3 pada domba jantan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap lemak subkutan, lemak intermuskuler dan lemak ginjal + pelvis. Hal ini disebabkan karena pemberian ketiga macam konsentrat tersebut juga memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan antarperlakuan sehingga bobot lemak antarperlakuan juga tidak nyata karena bobot lemak tubuh sebanding dengan pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas segar, persentase karkas, dan lemak akan semakin tinggi. Nilai rataan bobot lemak ginjal dan pelvis hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Dewi (2000) pada domba Sei Putih yang diberi pakan bungkil inti sawit sebanyak 31,51% dan mengandung protein kasar sebesar 13,26% dan energi 2,88 Mcal/kg menghasilkan bobot lemak ginjal sebesar 35g, lemak pelvis 45g pada bobot potong 15kg. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Berg and Butterfield (1976). Income Over feed Cost. Untuk melihat pengaruh pemberian dari ketiga konsentrat tersebut terhadap bobot karkas dilakukan analisis keragaman yang terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Analisis keragaman income over feed cost

F tabel SK DB JK KT F hit

0.05 0.01

Perlakuan 2 8405330773 4202665387 17,51** 3.68 6.36

Galat 15 3599556427 239970428,5

Total 17 1200488720

KK = 30,74% ** = sangat nyata

Berdasarkan analisis sidik ragam di atas menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel pada taraf 0,01 sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian lumpur sawit dalam konsentrat terhadap IOFC memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01). Untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini.

Tabel 20. Uji Duncan Income over feed cost

Perlakuan Rataan Notasi

T1 73.331,67 BC

T2 21.430,63 A

T3 56.383.57 B Keterangan: notasi huruf yang berbeda

menyatakan berbeda sangat nyata dalam taraf 1%

Berdasarkan uji Duncan di atas dapat diketahui bahwa harga konsentrat sangat nyata mempengaruhi income over feed cost, di mana yang income over feed cost tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 yaitu 73.331,67 yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan T2, tetapi tidak berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3. Hal ini diduga karena pada perlakuan T1 telah menghasilkan efisiensi biaya konsentrat, walaupun bila dilihat dari konsumsi dan pertambahan bobot badan tidak berbeda nyata, tapi hal ini disebabkan faktor dari harga bahan untuk menyusun konsentrat A, B, dan C yang sangat mencolok. Rekapitulasi Hasil Penelitian Rekapitulasi hasil penelitian terhadap kualitas dan persentase karkas serta income over feed cost domba Sungai Putih adalah sebagaimana ditampilkan pada Tabel 22.

Tabel 22. Rekapitulasi hasil penelitian

Perlakuan Perlakuan T1 T2 T3

Bobot Karkas (kg/ekor) 11,47tn 12,96 tn 12,82 tn

Persentase karkas (%) 52,68 tn 54,53 tn 54,03 tn

Bobot Lemak Subkutan (kg/ekor) 1,24 tn 1,70 tn 1,63 tn

Bobot Lemak Intermuskuler (g/ekor) 382,20 tn 413,40 tn 411,80 tn

Bobot Lemak ginjal + Pelvis (g/ekor) 215,80 tn 241,80 tn 231,40 tn

Income Over Feed Cost (Rp) 73.331,67BC 21.430,63A 56.383.57B Keterangan: notasi huruf kecil yang berbeda menunjukan perbedaan yang sangat nyata pada taraf 1%

Page 52: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

84

tn = tidak nyata Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Pemberian pakan pada perlakuan T1, T2

dan T3 perlakuan T3 (rumput gajah + konsentrat C yaitu konsentrat hasil sampingan industri pertanian) menghasilkan kualitas yang sama terhadap bobot karkas, persentase karkas, bobot lemak subkutan, lemak intermuskuler dan lemak ginjal + pelvis

2. Pemberian pakan pada perlakuan T1 (rumput gajah + konsentrat A yaitu konsentrat yang berbasis hasil sampingan industri kelapa sawit) dan perlakuan T3 (rumput gajah + konsentrat C yaitu kosentrat hasil sampingan industri pertanian) dapat menghasilkan keuntungan yang sama dibandingkan dengan perlakuan T2 (rumput gajah + konsentrat B yaitu konsentrat konvensional) sehingga pakan pada perlakuan T1 dan T2 dapat dijadikan salah satu pakan alternatif bagi ternak domba.

Saran Sebaiknya peternak menggunakan konsentrat yang berasal dari hasil sampingan industri kelapa sawit yang lebih luas untuk ternak domba sebagai upaya peningkatan pendapatan dalam usaha beternak domba.

Daftar Pustaka Anonim. 2002. Teknologi Tepat Guna:

Budidaya Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. [www.document] URL http://www.rusnas buah.or.id.

Berg and Butterfield. 1976. New Concept of

Cattlegrowth. Sydney: University Press.

Crouse,J.D., J.R. Busboom., R.A. Field, and

C.L. Ferrel. 1981. Effect of Breed, Diet, Sex, Location, and Slaughter Weight on Lambgrowth, Crcass Composition and Meat Flavor. New York: Mc Graw Hill Book Company.

Gatenby, R.M and L.P. Batubara. 1994. Management of Sheep in The Humid Tropic, Experiences in North Sumatra. In Second Symposium on Sheep Production Malaysia Faculty of Veteriner Medicine and Animal Science, University Agricultural Malaysia Serdang.

Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Percobaan.

Fakultas Pertanian. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Herman, R. 1993. Perbandingan

Pertumbuhan, Komposisi Tubuh, dan Karkas Antara Domba Priangan dan Ekorgemuk. [Disertasi]. Program Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hutagalung dan Jalaludin. 1982. Feeds For

Farm Animal From The Oil Palm. Serdang, Malaysia.

Johston, R.G. 1983. Introduction to Sheep

Farming. London: Granada Publishing Ltd.

Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Jakarta:

Universitas Indonesia Press. National Research Council. 1995. Nutrient

Requirement of Domestic. No.2. Washington DC: Nutrient Requirement of Swine National Academy of Science.

Rangkuti, M., A. Musofie, P. Sitorus, I. P.

Kompiang, N. Kusumawardhani, dan A. Roesjat. 1985. Pemanfaatan Daun Tebu Untuk Pakan Ternak di Jawa Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departement Pertanian. 5 Maret 1985, grati.

Tomaszewska, M. W., J. M. Mastika, A.

Djaja Negara, S. Gardiner, dan T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surabaya: Sebelas Maret University Press.

Page 53: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

85

Petunjuk untuk Penulis Persyaratan Umum. Artikel harus berupa tulisan yang mengetengahkan suatu penelitian yang belum pernah dimuat dalam jurnal ilmiah manapun, baik di lingkup nasional maupun internasional. Semua artikel akan ditelaah lebih dahulu oleh mitra bestari sebelum dimuat. Redaksi berhak mengubah kalimat, ejaan, tata letak, dan perwajahan tanpa mengubah isi sebenarnya. Artikel yang tidak dimuat dapat dikembalikan jika disertai prangko balasan. Cakupan. Penelitian harus mencakup salah satu disiplin ilmu dalam bidang peternakan atau yang erat kaitannya dengan peternakan (pertanian, kedokteran,gizi, kesehatan masyarakat, teknik, ekonomi, hukum, dll.). Mitra bestari dan dewan redaksi berhak menolak tulisan yang dianggap tidak relevan. Tulisan dapat diajukan oleh semua orang tanpa memandang institusinya. Format. Artikel harus terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pembuka, isi, dan penyudah. Bagian pembuka terdiri atas judul, nama penulis dan lembaganya, abstrak, dan kata kunci. Bagian isi terdiri atas pendahuluan, bahan dan metode (metodologi), serta hasil dan pembahasan. Bagian penyudah terdiri atas kesimpulan (dan saran kalau ada), ucapan terima kasih (kalau perlu), dan daftar pustaka. Bahasa. Kecuali untuk abstrak bahasa Inggris, isi artikel seluruhnya harus ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Ejaan yang Disempurnakan, serta menggunakan kata-kata yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa. Penyerapan kata asing dan pemakaian kata asing harus dibatasi sedikit mungkin, dan kalau terpaksa penyerapan dan pemakaiannya juga harus berpedoman pada KBBI. Judul. Judul harus ringkas, padat, dan langsung menunjuk pada isi tulisan. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam bahasa Inggris. Abstrak. Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan di bawahnya dalam bahasa Indonesia. Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, dan kesimpulan dalam kalimat-kalimat yang padat, sebaiknya tidak lebih dari 300 kata (dalam bahasa Indonesia). Kata Kunci. Kata kunci paling banyak lima kata, urutannya menunjukkan hierarki dari yang paling utama (topik) sampai yang paling kecil (spesifik). Kata kunci bukan urutan kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah internasional dalam bentuk database. kata penting dalam tulisan tapi adalah urutan kata untuk katalogisasi tulisan ilmiah internasional dalam bentuk database. Pendahuluan. Bagian ini memuat latar belakang dan pentingnya penelitian dilakukan, disertai dengan kutipan-kutipan dari pustaka yang relevan untuk mendukung hal tersebut. Tidak perlu terlalu luas tapi tidak pula terlalu singkat sehingga tidak jelas. Idealnya 400 – 500 kata. Bahan dan Metode. Bisa juga metodologi jika sama sekali tidak digunakan bahan (misalnya survai). Bagian ini memuat bahan dan metode penelitian, mencakup tempat, waktu, metode pengambilan sampel, alat-alat dan bahan-bahan penting yang digunakan, pelaksanaan rancangan percobaan, asumsi, metode analisis, dan lain-lain yang berkaitan. Metode tidak harus bertele-tele tapi tidak pula terlalu singkat sehingga membuang bagian-bagian penting yang harus diketahui pembaca. Prinsip dasarnya ialah

Page 54: Agripet Vol_ 1 No_ 2 Agustus 2005

86

bahwa orang lain dengan kualitas yang sama atau lebih baik dari penulis, harus dapat mengulangi atau memodifikasi penelitian tersebut dan perincian yang diberikan. Hasil dan Pembahasan. Hasil sebaiknya dirangkum dalam bentuk tabel dan grafik yang langsung diberi notasi statistik berdasar uji beda rataan yang umum. Tabel dan grafik sebaiknya tidak disajikan dalam bentuk singkatan (GO, P3, dsb.) tetapi lengkap, baik di dalam tabel atau grafik maupun di luarnya sebagai keterangan sehingga memudahkan pembaca. Satuan untuk setiap angka yang disajikan harus jelas. Setiap parameter atau peubah disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan langsung dibahas di tempat yang sama. Pembahasan harus menyertakan kutipan dari pustaka yang terkini sebagai penyokong atau pembanding, dan harus berdasarkan kebenaran ilmiah yang diakui di bidang ilmu bersangkutan. Kesimpulan. Kesimpulan sebaiknya disajikan dalam bentuk satu atau dua paragraf dan bukan dalam bentuk penomoran. Jika ada saran yang bisa diajukan maka saran itu harus disajikan secara singkat dan relevan (memang berasal dari penelitian) dalam satu atau dua paragraf. Ucapan Terima Kasih. Bagian ini ditulis jika memang ada badan atau perorangan yang sumbangannya sangat penting dalam penelitian tersebut. Daftar Pustaka. Daftar pustaka dibuat sesuai dengan Peraturan Penulisan Pustaka Biologi. Pustaka yang dicantumkan sebaiknya yang terkini dan berasal dari jurnal atau majalah ilmiah. Pustaka boleh mencakup yang belum dipublikasikan tetapi tersedia, misalnya skripsi, tesis, disertasi, atau hasil wawancara yang diarsipkan. Disarankan untuk tidak memakai buku ajar (text book) untuk perkuliahan sebagai pustaka, atau buku-buku tipis setara brosur untuk petani atau penerapan ilmu untuk umum. Kalau terpaksa, jumlahnya sebaiknya tidak lebih dari 50% dari semua pustaka. Tahun terbit juga diusahakan yang terbaru, minimal 40% di atas tahun 1990.