mkn vol_ 40 no_ 2 juni 2007

85
dari redaksi PENGANTAR REDAKSI Telah setahun akademik KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) berjalan di FK USU. Saatnya bagi kita semua untuk melakukan evaluasi. Sebab mau tidak mau, KBK harus terus berjalan, walaupun memang metode pelaksanaannya terpulang menurut kemampuan fakultas masing-masing. Ada satu momen yang menanti kita beberapa waktu ke depan, tepatnya pada tanggal 20 Agustus 2007. Momen tersebut menandakan 55 tahun berdirinya Fakultas Kedokteran USU. Jajaran panitia HUT telah mulai mempersiapkan acara-acara untuk mengisi dan memperingatinya. Dalam kesempatan ini, Majalah Kedokteran Nusantara membawa salam dari Panitia HUT untuk mengundang para sejawat untuk memeriahkan peringatan HUT ke-55 tersebut. Salam Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 ii

Upload: ferina-kristi-hawini

Post on 13-Aug-2015

92 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

1

dari redaksi

PENGANTAR REDAKSI

Telah setahun akademik KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) berjalan di FK USU. Saatnya bagi kita semua untuk melakukan evaluasi. Sebab mau tidak mau, KBK harus terus berjalan, walaupun memang metode pelaksanaannya terpulang menurut kemampuan fakultas masing-masing.

Ada satu momen yang menanti kita beberapa waktu ke depan, tepatnya pada tanggal 20 Agustus 2007. Momen tersebut menandakan 55 tahun berdirinya Fakultas Kedokteran USU. Jajaran panitia HUT telah mulai mempersiapkan acara-acara untuk mengisi dan memperingatinya. Dalam kesempatan ini, Majalah Kedokteran Nusantara membawa salam dari Panitia HUT untuk mengundang para sejawat untuk memeriahkan peringatan HUT ke-55 tersebut.

Salam

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 ii

Page 2: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

2

Page 3: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

3

petunjuk untuk penulis Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original dan relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah, dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun

terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 iv

Page 4: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

4

Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia

v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007

Page 5: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

5

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

i Dari Redaksi

ii

Petunjuk untuk Penulis

iv Daftar Isi

vi

KARANGAN ASLI 1. Peningkatan Berat Badan pada Bayi Prematur yang Mendapat ASI, PASI, dan

Kombinasi ASI – PASI Ani Ariani

81

2. Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Medan Ani Ariani dan Tiangsa Sembiring

86

3. Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan Berolahraga Namora Lumongga Lubis dan Martdaira Simanjuntak

90

4. Correlation between Sparring and Cognitive Function in Boxers of Two Boxing Camps in Medan Alfansuri Kadri, Aldy S. Rambe, dan Hasan Sjahrir

98

5. Karakterisasi dan Uji Kepekaan Antibiotik Beberapa Isolat Staphylococcus aureus dari Sumatera Utara Dwi Suryanto, Irmayanti, dan Sofyan Lubis

104

6. Pengamatan Terbuka pada Rekonstruksi Malunion Fraktur Batang Femur Hafas Hanafiah

108

7. Strengthening of Public Health Surveillance System and Control of Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) among Surveillance Workers in Community Health Centre in Medan Dewi Masyithah Darlan

111

8. Pengembangan Model Pengendalian Kejadian Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 di Kota Sibolga Tahun 2005 Sempakata Kaban, Sori Muda Sarumpaet, Irnawati, dan Arlinda Sari Wahyuni

119

9. Hubungan Status Gizi dengan Nilai Hematologi pada Anak Usia 8–12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi Tiangsa Sembiring, Leon Agustian, Ani Ariani, Nelly Rosdiana, dan Bidasari Lubis

129

10. Uji Coba Banding Tersamar Ganda antara Secnidazole dan Metronidazole pada Anak dengan Disentri Amuba Akut Atan Baas Sinuhaji

134

TINJAUAN PUSTAKA

11. Penatalaksanaan Trauma Spinal Hafas Hanafiah

143

12. Gangguan Depresif pada Orang Usia Lanjut Syamsir B.S.

147

13. Seven Areas of Competencies of National Competency Based Curriculum in The Context of Critical Thinking and Clinical Reasoning Isti Ilmiati Fujiati

150

LAPORAN KASUS

14. Ekstraksi Benda Asing di Bronkus dan Esofagus Harry A. Asroel

156

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 40 No. 2 Juni 2007 ISSN: 0216-325X

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 vi

Page 6: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

6

Page 7: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 81

Peningkatan Berat Badan pada Bayi Prematur yang Mendapat ASI, PASI, dan Kombinasi ASI - PASI

Ani Ariani

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Latar Belakang. Bayi prematur harus dipersiapkan agar dapat mencapai tahapan tumbuh kembang yang optimal seperti bayi yang lahir cukup bulan sehingga akan diperoleh kualitas hidup bayi yang lahir prematur secara optimal pula. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan asupan nutrisi yang mencukupi untuk proses kejar tumbuh pada bayi prematur yang lebih cepat dari bayi cukup bulan. Tujuan. Untuk melihat pertambahan berat badan bayi prematur yang mendapat ASI, pengganti air susu ibu (PASI) serta ASI ditambah PASI. Bahan dan Cara Kerja. Penelitian ini merupakan uji sekat lintang yang dilakukan dari bulan Februari 2006 sampai Juni 2006 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Pada saat lahir bayi ditimbang berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala kemudian pada saat pulang dari rumah sakit ketiga parameter tersebut diukur kembali dan dibandingan kecepatan pertumbuhan antara bayi yang diberikan ASI, ASI dan susu formula BBLR, serta hanya susu BBLR. Analiasa statistik secara uji t independen berpasangan dan dikatakan bermakna apabila nilai p<0,05. Hasil. Diperoleh sebanyak 38 bayi prematur terdiri dari 18 laki-laki (47,4%) dan 20 perempuan (52,6%). Hanya 6 bayi (15,8%) yang hanya mendapat ASI saja sedangkan sisanya mendapat PASI (23,6%) dan ASI+PASI (60,6%). Kesimpulan. Terdapat peningkatan berat badan pada ketiga kelompok bayi tetapi yang bermakna secara statistik adalah pada kelompok PASI dan kelompok ASI ditambah PASI. Kata kunci: prematur, ASI, susu formula preterm Abstract: Background.The preterm infant should be prepared that it would achieved the stage of optimum growth and development as the normal infant born then it would have optimum quality of life as well. One of the effort, it could be done, was given enough nutritional intake that it support the fast processed of growth on the preterm infant than the normal term infant. The aim. To view the increasing of body weight in the preterm infant which given breast feeding (BF), preterm infanf formula (PIF), BF + PIF. Method. The cross sectional study was conducted from February 2006 to June 2006 at Dr Pirngadi Hospital Medan. On the infant birth, it were measured body weight, body length, and head circumference. At the time of discharged from hospital, it were measured again then the result were compared to the rate of growth among the infant that given BF, PIF, and BF + PI. The pair t test independent was used statistically, and the p value < 0,05 is significant. Result.There were 38 preterm infant of 18 boys (47,40%) and 20 girls (52,60%). Only 6 infants had BF (15,60%), PIF (23,60%) and BF + PIF (60,60%). Conclusion. There were increasing of body weight on the three group of infant and statistically valued were significant on the group of PIF and BF + PIF. Keywords: preterm infanf, breast feeding, preterm infant formula

KARANGAN ASLI

Page 8: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 82

PENDAHULUAN Bayi prematur harus dipersiapkan agar

dapat mencapai tahapan tumbuh kembang yang optimal seperti bayi yang lahir cukup bulan sehingga akan diperoleh kualitas hidup bayi yang lahir prematur secara optimal pula. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan asupan nutrisi yang mencukupi untuk proses tumbuh kejar pada bayi prematur yang lebih cepat dari bayi cukup bulan.1

Air susu ibu (ASI) telah lama diketahui mempunyai manfaat bagi bayi termasuk pada bayi prematur untuk mengurangi kejadian infeksi dibanding susu formula.2 American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 1997 mengeluarkan rekomendasi tentang air susu ibu (ASI) yang direvisi pada tahun 2004 yang merekomendasikan agar dokter anak dan tenaga kesehatan lain membantu ibu untuk memulai menyusui bayinya baik untuk bayi yang sehat maupun untuk bayi yang resiko tinggi.3

ASI prematur memiliki perbedaan dengan ASI yang matur karena mempunyai konsentrasi protein, asam lemak dan natrium lebih tinggi. Kadar yang lebih tinggi pada ASI prematur ini akan berkurang pada bulan pertama setelah lahir sementara itu kebutuhan bayi prematur terus meningkat sampai mencapai berat usia gestasi yang sebenarnya. Beberapa ahli merekomendasikan pemberian fortifikasi pada ASI terutama terhadap bayi-bayi yang kecil.4

Bayi prematur sehat dengan berat badan lahir < 2000 g yang menyusui secara langsung mempunyai kemampuan menghisap yang lebih baik, berkurangnya gangguan pernafasan dan suhu tubuh yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang melalui botol. Penelitian lain pada 20 bayi prematur dengan berat badan lahir < 1500 g, beberapa di antaranya dengan kelainan neurologi yang berhubungan dengan prematuritas, didapatkan asupan yang kurang, terlihat dari peningkatan berat badannya selama mendapat ASI secara langsung dibandingkan melalui botol.5

Rumah sakit dan petugas kesehatan harus merekomendasikan ASI untuk bayi prematur dan bayi risiko tinggi yang lain baik dengan metode menyusui maupun dengan ASI perah. Kontak kulit dengan kulit dan menyusui

langsung pada ibu harus dimulai sedini mungkin. Fortifikasi terhadap ASI perah dianjurkan untuk yang dengan berat badan sangat rendah.3

Tumbuh kembang yang optimal juga harus disertai dengan oksigenasi jaringan yang cukup. Sel darah merah dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital dan jaringan tubuh sehingga pada lebih dari 90% bayi cukup bulan yang sehat, kadar hematokrit harus dipertahankan antara berkisar 48-60% dan hemoglobin berkisar antara 16-20 g/dl. Normalnya, setelah lahir konsentrasi hemoglobin akan turun dari rata-rata 17 g/dl menjadi sekitar 11 g/dl pada 6-12 minggu kehidupan.6

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertambahan berat badan bayi prematur yang diberikan ASI, pengganti air susu ibu (PASI) serta ASI dtambah PASI.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan uji sekat lintang yang dilakukan dari bulan Februari 2006 sampai Juni 2006 di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan telah disetujui oleh komite medik rumah sakit. Sampel yang diambil adalah bayi prematur yang lahir di rumah sakit tersebut. Kriteria inklusi adalah bayi prematur (usia gestasi <37 minggu) berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan New Ballard Score. Pada sampel juga dilakukan pemeriksaan darah atas izin orangtua. Sedangkan kriteria eksklusi adalah tidak dilakukan pemeriksaan darah karena tidak ada izin dari orangtua dan bayi yang dilahirkan diluar rumah sakit.

Ibu dimotivasi untuk memberikan ASI eksklusif pada bayinya dan diberikan langsung pada bayi baik dengan cara menghisap maupun dengan selang lambung. Bayi yang tidak mendapat ASI diberikan PASI berupa susu formula preterm atau campuran antara ASI dan PASI.

Pada setiap sampel diambil data ibu yaitu umur, berat badan dengan timbangan merk MIC (sensitivitas 0,5 kg), jumlah paritas, penyakit pada saat hamil. Tekanan darah ibu saat hamil diukur di lengan atas kanan pada posisi tidur dengan sfigmomanometer merk Nouva dan dilakukan pengukuran sebanyak dua kali. Pada bayi diambil data lama rawatan,

Page 9: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Ani Ariani Peningkatan Berat Badan pada Bayi...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 83

jenis kelamin, lingkar kepala, berat badan dengan menggunakan timbangan bayi merk Tanita (ketepatan sampai 0,05 kg), panjang badan diukur dengan stadiometer (ketepatan 0,5 cm), suhu rektal diukur dengan thermometer air raksa, dan skor Apgar dinilai pada menit pertama dan kelima.

Darah vena diambil sebanyak tiga milimeter dari vena femoralis bayi dan dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit, hematokrit, eritrosit, dan jumlah trombosit dengan auto analyzer (ABX Mikros 60, France). Kadar gula darah (KGD) bayi juga diperiksa dengan alat GlucoDr.

Data disajikan dengan deskriptif analitik. Perbandingan nilai rerata ketiga kelompok diuji dengan uji t. Uji hipotesis untuk proporsi dengan menggunakan chi square (χ2). Data bermakna apabila nilai p<0,05. Hubungan ASI, PASI, dan ASI + PASI dengan berat badan masuk dan keluar, apabila distribusi normal dipakai uji Pearson.

HASIL Selama periode penelitian didapati bayi lahir

yang masuk kriteria penelitian sebanyak 38 bayi prematur terdiri dari 18 laki-laki (47,4%) dan 20 perempuan (52,6%). Semua ibu dimotivasi untuk memberikan hanya ASI saja pada bayinya tetapi karena beberapa kendala maka hanya 6 bayi (15,8%) yang hanya mendapat ASI saja sedangkan sisanya mendapat PASI (23,6%) dan ASI+PASI (60,6%).

Pada data ibu tekanan sistolik berbeda bermakna pada ketiga kelompok, sedangkan pada data bayi yang bermakna adalah berat badan dan panjang badan (Tabel 1).

Pada hasil pemeriksaan darah tidak terdapat hasil yang bermakna pada nilai hemoglobin, leukosit, hematokrit, RBC, dan trombosit, pada ketiga kelompok kecuali pada nilai kadar gula darah (Tabel 2).

Kenaikan berat badan pada kelompok ASI tidak bermakna tetapi terdapat peningkatan antara berat badan masuk dan keluar yang bermakna pada kelompok PASI dan kelompok ASI + PASI (Tabel 3).

Tabel 1. Karakteristik data maternal dan bayi

Karakteristik ASI (N=6)

PASI (N=9)

ASI + PASI (N=23)

p

Mean (SD) Mean (SD) Mean (SD) Maternal Umur ibu (tahun) Berat badan (kg) Jumlah paritas Tekanan sistolik (mmHg) Tekanandiastolik (mmHg) Bayi Lama rawatan (hari) Berat badan (g) Panjang badan (cm) Lingkar kepala (cm) Suhu rektal (0C) APGAR 1 menit APGAR 5 menit

29,67 (5,50) 59,67 (6,7) 3,17 (1,16)

116,67 (5,16) 75,00 (5,47)

10 (3,2) 2350 (63,25) 47,66 (1,51) 32,167 (1,60) 36,65 (0,33) 7,50 (0,83) 8,83 (0,40)

29,00 (3,27) 59,60 (6,34) 2,25 (1,26)

127,00 (16,16) 78,89 (7,40)

9,78 (2,68) 1961,11 (307,99)

44,88 (1,36) 31,00 (1,65) 36,35 (0,48) 6,22 (0,66) 7,78 (0,66)

24,57 (5,53) 54,17 (7,11) 2,22 (1,20)

126,30 (11,89) 77,17 (6,88)

8,57 (3,21) 1873,91 (278,74)

44,65 (2,53) 31,13 (2,04) 36,50 (0,53) 6,74 (0,81) 8,09 (0,73)

0,0175 0,535 0,893 0,043* 0,862

0,782 0,002* 0,016* 0,462 0,373 0,448 0,364

* p<0,05 Tabel 2. Karakteristik hemogram bayi

Hemogram ASI (N=6)

PASI (N=9)

ASI + PASI (N=23)

p

Mean (SD) Mean (SD) Mean (SD) Hb (g/dl) 14,02 (1,46) 14,88 (1,86) 15,20(2,52) 0,189 Leukosit 13.216,67 (4854,44) 11.266,67

(6597,91) 13.121

(6333,24) 0,193

Ht (%) 43,75 (3,40) 46,15 (6,02) 47,83 (8,65) 0,229 RBC (juta/mm3) 4,02 (0,29) 4,33 (0,69) 4,24 (0,75) 0,625 Trombosit 220.333,33 (54371,53) 239.111,11 (98190,43) 215.260,87 (71076,56) 0,192 KGD 88,50 (34,54) 93,78 (12,78) 98,91 (26,70) 0,040*

* p<0,05

Page 10: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 84

Tabel 3. Kenaikan berat badan bayi setelah pemberian susu

Susu BB Masuk (gram) BB Keluar (gram) P Mean (SD) Mean (SD)

ASI 2350,00 (63,24) 2691,67 (128,12) 0,320 PASI 1961,11 (307,09) 2450,00 (248,77) 0,014* ASI + PASI 1873,91 (278,34) 2295,65 (348,01) 0,000*

* p<0,05

DISKUSI Bayi prematur mempunyai kemampuan penyediaan nutrisi yang terbatas, jalur absorbsi dan metabolisme yang belum matur, dan peningkatan kebutuhan nutrisi. Setelah mencapai berat badan lahir, pertumbuhan intrauterin diterima secara luas sebagai acuan untuk menilai pertumbuhan bayi. Biasanya digunakan 10-20 g/kg per hari untuk berat badan (15 -20 g/kg per hari untuk bayi ≤ 1500 g), 1 cm per minggu untuk panjang badan, dan 0,5-1,0 cm/minggu untuk lingkar kepala.1 Bayi prematur yang mendapat formula preterm dapat mencapai kecepatan pertumbuhan sebesar atau melebihi pertumbuhan intrauterin. Penelitian menunjukkan bahwa formula preterm mempunyai keuntungan yang bermakna dibandingkan dengan formula aterm dalam memperbaiki kecepatan tumbuh dan skor perkembangan pada tindak lanjut jangka panjang. Keuntungan penggunaan formula preterm pada bayi prematur lebih nyata pada bayi yang kecil masa kelahiran dan pada bayi laki-laki yang biasanya mempunyai resiko perlambatan pertumbuhan.7

Formula preterm dibuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi prematur yang memenuhi kriteria:1

1. Mengandung whey, sumber protein dari suplementasi taurin, yang lebih baik ditoleransi dan menghasilkan bentuk plasma asam amino yang lebih normal bila dibandingkan dengan protein yang berupa kasein.

2. Karbohidrat merupakan campuran dari 40–50% laktosa dan 50- 60% polimer glukosa untuk mengkompensasi defisiensi lactase relative pada bayi prematur.

3. Lemak merupakan campuran sekitar 50% medium-chain triglyceride untuk mengkompensasi sekresi lipase pankreas dan cadangan asam empedu yang sedikit.

4. Konsentrasi protein yang lebih tinggi, vitamin, mineral, dan elektrolit untuk memenuhi peningkatan kebutuhan karena

pertumbuhan yang cepat, berkurangnya absorbsi usus, dan toleransi cairan yang terbatas.

Bier dkk (1997) meneliti bayi berat lahir amat sangat rendah yang diberikan ASI dengan menyusui langsung dan dengan botol. Bayi-bayi yang menyusui langsung ternyata memiliki saturasi oksigen yang lebih tinggi dan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan selama mendapat ASI melalui botol tetapi rerata peningkatan berat badan lebih besar selama diberikan ASI melalui botol dibandingkan menyusui langsung.5 Selama rawatan di rumah sakit bayi-bayi prematur pada penelitian ini diutamakan untuk diberikan ASI dari ibunya tetapi ada beberapa keterbatasan seperti preeklamsia yang diderita oleh 2 orang ibu sehingga tidak dapat memberikan ASI yang mencukupi untuk bayinya. Sebagian bayi diberikan PASI berupa susu formula preterm (23,6%) dan ASI ditambah PASI (60,6%). Terdapat peningkatan berat badan pada ketiga kelompok bayi tetapi yang bermakna secara statistik adalah pada kelompok PASI dan kelompok ASI ditambah PASI. Pada penelitian ini tidak diberikan fortifikasi pada ASI, tambahan ini dibutuhkan untuk memaksimalkan kenaikan berat badan pada bayi prematur karena pertumbuhannya lebih cepat dibanding bayi yang aterm. Tidak semua ibu mampu memberikan cukup ASI pada bayi prematur selama rawatan di rumah sakit. Schanler dkk (2005) melakukan penelitian terhadap 243 bayi prematur yang diberikan ASI donor yang dibandingkan dengan susu formula. Sebanyak 70 bayi mendapat ASI, 81 bayi mendapat ASI donor, dan 92 bayi mendapat susu formula preterm, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara bayi pada ketiga kelompok terhadap kejadian enterokolitis nekrotikan, sepsis awitan lambat, lama rawatan, dan kematian bayi selama rawatan. Kelompok ASI donor mendapat asupan susu dan suplemen

Page 11: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Ani Ariani Peningkatan Berat Badan pada Bayi...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 85

nutrisi yang lebih banyak tetapi mengalami kenaikan berat badan yang lebih lambat dibanding dengan kelompok bayi yang diberikan susu formula.8 ASI telah diketahui memberikan perlindungan terhadap infeksi di Negara berkembang, tetapi penelitian di negara-negara industri maju menghasilkan kesimpulan yang beragam bahkan ada yang menyatakan ASI tidak ada efek terhadap infeksi atau hanya sedikit. Scariati dkk (1997) melakukan penelitian longitudinal di Amerika Serikat terhadap bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan ternyata memberikan perlilindungan terhadap diare dan infeksi telinga.9 Penelitian ini hanya ingin melihat perbandingan berat badan antara bayi prematur yang diberikan ASI, PASI dan ASI ditambah dengan PASI. Pemberian ASI tetap direkomendasikan sebagai pilihan utama pada bayi prematur untuk mencegah terjadinya diare, enterokolitis nekrotikan dan sepsis awitan lambat. Titik terendah dari nilai sel darah merah ini disebut sebagai anemia fisiogis pada bayi baru lahir dan ini adalah proses yang normal dalam adaptasi kehidupan sesudah diluar uterus. Pada bayi prematur titik terendah tersebut terjadi pada minggu ke 5-10 kehidupan karena massa sel darah merah yang menurun pada saat lahir karena penurunan ketahanan hidup sel darah merah, pertumbuhan cepat dan perluasan volume plasma rendahnya respon eritropoetin terhadap anemia.6 Tidak ada perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan darah rutin ketiga kelompok penelitian tetapi kadar glukosa berbeda bermakna pada ketiga kelompok. RINGKASAN Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan asupan nutrisi yang mencukupi untuk proses tumbuh kejar pada bayi prematur yang lebih cepat dari bayi cukup bulan. Terdapat peningkatan berat badan pada ketiga kelompok bayi tetapi yang bermakna secara statistik adalah pada kelompok PASI dan kelompok ASI ditambah PASI. Pada penelitian ini tidak diberikan fortifikasi pada ASI, tambahan ini dibutuhkan untuk memaksimalkan kenaikan berat badan pada bayi prematur karena pertumbuhannya lebih cepat dibanding bayi yang aterm.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ellard D, Olsen IE, Sun Y. Nutrition. Dalam:

Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi pertama. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004. h. 115-37.

2. Silva A, Jones PW, Spencer SA. Does human milk reduce infection rates in preterm infants? A systematic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2004; 89: F509-13.

3. American Academy of Pediatrics. Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics 2005; 115(2): 496-506.

4. Schelonka RL, Freij BJ, McCracken GH. Bacterial and fungal infection. Dalam: MacDonald MG, Mullett MD, Seshia MMK, penyunting. Avery’s neonatology patophysiology & management of the newborn. Edisi ke-6. Philadephia: Lippincott Williams&Wilkins, 2005. 1235-73.

5. Manco-Johnson M, Rodden DJ, Collins S. Newborn hematology. Dalam: Merenstein GB, Gardner SL, penyunting. Handbook of neonatal intensive care. Edisi ke-5. St. Louis Mosby. h. 419-83.

6. Yu VYH, Monintja HE. Beberapa masalah perawatan intensif neonatus. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. h. 187-2005.

7. Bier JAB, Ferguson AE, Morales Y, Liebling JA, Oh W, Vohr BR. Breastfeeding infants who were extremely low birth weight. Pediatrics 1997; 100(6): 1-4.

8. Schanler RJ, Lau C, Hurst NM, O’Brian S. Randomized trial of donor human milk versus preterm formula as substitutes for mother’s own milk in the feeding of extremely premature infants. Pediatrics 2005; 116(2): 400-6.

9. Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A Longitudinal analysis of infant morbidity and the extent of breast feeding in the United States. Pediatrics 1997; 99(6): 1-5.

Page 12: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 86

Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Medan

Ani Ariani dan Tiangsa Sembiring Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RS H. Adam Malik, Medan

dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana: berat badan (kg)/tinggi badan (m2). Anak dengan IMT ≥ persentil (P) 85 di klasifikasikan sebagai berat badan lebih dan IMT ≥ P 95 di klasifikasikan sebagai obesitas. Obesitas pada anak merupakan faktor resiko terjadinya obesitas pada masa dewasa. Hal ini merupakan faktor resiko terjadinya diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dan hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar di kota Medan. Metode. Penelitian ini berdasarkan metode deskriptif dengan mengambil 400 orang anak (6-12 tahun) di sekolah dasar Harapan, Kartika, Annizam dan SD Negeri 0608777 di Medan yang dipilih secara randomisasi sederhana. Sebelumnya pemilihan SD ini juga secara randomisasi sederhana. Hasil. Dijumpai sebanyak 71 orang (17,75%) dari 400 orang anak yang diperiksa menunjukkan obesitas, laki-laki sejumlah 43 orang (10,75%) dan perempuan sebanyak 28 orang (7%). Berat badan lebih (overweight) didapati sebanyak 47 orang (11,75%). Dimana dijumpai anak laki-laki dengan rentang umur 6-9 tahun yang paling banyak obesitas yaitu 22 orang (31%). Kesimpulan. Kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan adalah 17,75% dengan 60,5% terjadi pada anak laki-laki dan 39,5% pada anak perempuan. Kata kunci: obese, body mass index Abstract: Introduction. Obesity in general is defined as the increase of body weight caused by the increase of excessive fat body. Obesity is often associated with Body Mass Index (BMI) and body weight (kg)/ body height (m2). Children with BMI percentile (P) ≥ 85 are classified as overweight and BMI percentile (P) ≥ 95 are classified as obesity. Obesity in children seems to be the risk factor diabetic mellitus, coronary heart disease and hypertension. The objective of this study is to investigate the obesity prevalence in primary-school children in Medan. Methods. The descriptive methods was performed in 400 children (6-12 years) in primary-school of Harapan, Annizam, Kartika and government school of 0608777 in Medan which are choosen by simple random sampling. Results. The obesity children were 71 (17.75%) with male 43 (10,75%) and female (7%). Overweight children were 47. There were 22 (31%) male obesity children with age ranging 6-9 years old are most obese. Conclusion. The obesity of primary-school in Medan is 17.75% with 60.5% for male and 39% for female. Keywords: obese, body mass index PENDAHULUAN Obesitas masih merupakan masalah kesehatan bagi anak maupun dewasa, oleh karena komplikasi jangka pendek obesitas itu sendiri berakibat terhadap pertumbuhan

tulang, penyakit endokrin, kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.1-2 Obesitas pada masa anak-anak akan memiliki kecenderungan untuk menjadi obesitas pada masa dewasa muda yang berhubungan dengan problem kesehatan juga

Page 13: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Ani Ariani dkk. Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 87

nantinya. Studi dari NHMRC melaporkan bahwa obesitas pada masa anak-anak kira-kira lebih dari 50% akan menjadi obesitas pada masa dewasa.3-4 Meningkatnya kesejahteraan dan berubahnya pola makan menyebabkan peningkatan konsumsi lemak oleh masyarakat. Berkurangnya lapangan tempat bermain serta makin tersedianya hiburan dalam bentuk tontonan televisi, permainan video atau playstation menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik terutama oleh anak-anak.5 Obesitas secara umum didefenisikan sebagai peningkatan berat badan yang disebabkan oleh meningkatnya lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas sering dihubungkan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan (kg) dibagi tingggi badan (m2). Anak dengan IMT ≥ persentil (P) 85 di klasifikasikan sebagai berat badan lebih dan IMT ≥ P 95 di klasifikasikan sebagai obesitas.3 “The National Health and Medical Research Council (NHMRC) “merekomen-dasikan penggunaan dari “The United States Centers for Disease Control and Prevention BMI percentile charts”.3 Akhir-akhir ini terdapat peningkatan prevalensi obesitas. Australian Health and Fitness Survey yang bekerja sama dengan Australian Council for Health, Physical Education and Recreation (ACHPER) tahun 1985 mengambil lebih dari 8000 sampel anak sekolah di Australia dengan rentang umur 7–15 tahun. Studi ini melaporkan peningkatan overweight dan obesitas dari 11,8% pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak perempuan menjadi lebih besar 19% pada anak laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam 3 tahun. Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13 – 14%. Prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 6–18 tahun di Rusia adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan di Inggris adalah 22–31% dan 10–17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di Singapura meningkat dari 9% menjadi 19%.6 Studi (1997-2000) dan pada negara-negara berkembang di dunia menunjukan hasil yang hampir sama.3 Studi di Jakarta tahun 1997 pada anak-anak sekolah dari sosial ekonomi menengah prevalensi obesitas ± 10%, dan 2

tahun berikutnya Meilani dan Soedidjo menunjukkan hasil yang hampir sama pada anak dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi berkisar 26%. Data-data diatas menunjukan insiden obesitas pada anak-anak meningkat setiap tahunnya.6

Faktor resiko potensial untuk menjadi obesitas adalah frekuensi obesitas itu sendiri diantara anggota keluarga termasuk didalamnya genetik dan faktor lingkungan seperti kebiasaan makan dapat menentukan dalam asupan energi dan gaya hidup keluarga.7

Pada orang dewasa telah diketahui bahwa obesitas merupakan faktor resiko terjadinya diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dan hipertensi. Severina, dkk melaporkan profil lipid pada anak kelompok Overweight dan obesitas menunjukkan konsentrasi rata-rata dengan nilai di atas ambang terutama untuk anak laki-laki.1 Obesitas juga dapat disertai keadaan resistensi insulin yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya diabetes mellitus.8

METODE Penelitian ini berdasarkan metode deskriptif dengan mengambil 400 orang anak (6-12 tahun) di sekolah dasar Harapan, Kartika, Annizam dan SD Negeri 0608777 di Medan yang dipilih secara randomisasi sederhana. Sebelumnya pemilihan SD ini juga secara randomisasi sederhana. Dipakai alat penimbang Camry yang telah ditera sebelumnya dengan kapasitas sampai 125 kg. Pencatatan dilakukan dalam kg dengan desimal (sensitivitas sampai 0.1 kg). Semua subyek penelitian ditimbang tanpa sepatu dan alas kaki, hanya pakaian sekolah sehari-hari saja. Alat pengukur tinggi badan yang digunakan terbuat dari metal, dengan kalibrasi 1 mm. Tinggi badan di ukur pada posisi tegak lurus menghadap ke depan tanpa alas kaki. Untuk melihat angka pada pengukuran tinggi diletakkan mistar segitiga dari kayu, tegak lurus terhadap pengukur dan tepat di atas kepala. Parameter yang digunakan untuk penilaian obesitas pada anak yaitu indeks massa tubuh ≥ persentil (P) 95 dan indeks berat badan terhadap tinggi badan adalah > 120%.

Page 14: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 88

Tabel 1. Karakteristik murid SD

Jumlah murid (%) Total Laki-laki Perempuan

400 227 (56,75%) 173 (43,25%) Usia (tahun) 6-9 10-12

254 146

142 (35,5%) 85 (21,25%)

112 (28%)

61 (15,25%) Klasifikasi berat badan Obes Berat badan lebih Normal Mild malnutrisi Moderate malnutrisi

71 (17,75%) 47 (11,75%)

207 (51,75%) 47 (11,75%)

28 (7%)

43 (10,75%)

24 (6%) 109 (27,25%)

34 (8,5%) 17 (4,25%)

28 (7%)

23 (5,75%) 98 (24,5%) 13 (3,25%) 11 (2,75%)

Tabel 2. Rentang umur anak obesitas

Jumlah murid (%) Total Laki-laki Perempuan 71 43 (60,5%) 28 (39,5%) Usia (tahun) 6-9 10-12

40 31

22 (31%)

21 (29,5%)

18 (25,3%) 10 (14,2%)

HASIL Tabel 1 menunjukkan persentase murid yang obese dan non obese. Dimana dijumpai sebanyak 71 orang (17,75%) dari 400 orang anak yang diperiksa menunjukkan obesitas, laki-laki sejumlah 43 orang (10,75%) dan perempuan sebanyak 28 orang (7%). Berat badan lebih (overweight) didapati sebanyak 47 orang (11,75%). Tabel 2 menunjukkan rentang umur anak obesitas. Dimana dijumpai anak laki-laki dengan rentang umur 6-9 tahun yang paling banyak obesitas yaitu 22 orang (31%). DISKUSI Di negara maju, obesitas lebih sering terjadi pada golongan kurang mampu. Mereka mengalami obesitas salah satunya adalah karena mengkonsumsi fast food atau junkfood yang relatif lebih murah harganya. Sedangkan pada penelitian ini yang terjadi sebaliknya, hal ini mungkin karena pengetahuan mengenai penyebab dan pencegahan obesitas belum banyak diketahui serta persepsi tentang obesitas masih salah. Prevalensi obesitas di Amerika Serikat pada anak usia 6-17 tahun meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%, bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini cukup tinggi yaitu 17,75%, sehingga perlu

penelitian lebih lanjut dengan jangkauan lebih besar untuk memperoleh angka kejadian obesitas pada anak usia sekolah dasar. Prevalensi obesitas di Indonesia menurut Susenas menunjukkan peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di DKI Jakarta, prevalensi obesitas pada umur 6-12 tahun ditemukan obesitas sekitar 4%. Pada penelitian ini ditemukan obesitas pada rentang umur 6-12 tahun sebesar 17,75%.6 Kamelia (1995) mendapatkan kejadian obesitas sebesar 20% pada SD swasta dan 9% pada SD Negeri di kota Medan.9 Hal ini menunjukkan bahwa kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan tidak berbeda jauh dalam 9 tahun belakangan ini. Komplikasi dapat terjadi pada obesitas, yang paling sering timbul saat dewasa adalah penyakit kardiovaskular, hipertensi dan diabetes. Resiko mortalitas maupun morbiditas akibat penyakit-penyakit ini meningkat dengan obesitas. Dengan mengetahui prevalensi ini dapat dipertimbangkan masalah kesehatan yang dapat timbul pada anak SD yang obesitas di kota Medan. Dan dapat dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya komplikasi dikemudian hari. Beberapa cara pengambilan data masih memungkinkan timbul bias, misalnya

Page 15: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Ani Ariani dkk. Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 89

gambaran klinis dan antropometris dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik dan pengukuran-pengukuran. Faktor subyektif dari pemeriksa maupun alat mungkin akan terjadi. Cara yang dilakukan untuk memperkecil faktor-faktor tersebut adalah alat ditera terlebih dahulu dan dibuat batasan operasional cara pemeriksaan. KESIMPULAN Kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan adalah 17,75% dengan 60,5% terjadi pada anak laki-laki dan 39,5% pada anak perempuan. Angka ini tidak berbeda jauh bila dibandingkan penelitian sebelumnya dalam 9 tahun belakangan ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Severina C.V.C Lima, Ricardo F. Arrais,

Maria G. Almeida, Zelia M. Souza, Lycia F.C. Pedrosa. Plasma Lipid Profile and Lipid Peroxidation in Overweight or Obese Children and Adolescents. J Pediatr (Rio J). 2004;80(1):23-8.

2. Childhood Overweight. Diambil dari URL: http://www.naaso.org/information/ childhood_overweight.asp

3. Jhon McLennan, MBBS, FRACP. Obesity in Children Tackling a Growing Problem. Australian Family Physician January/ February 2004; 33 (1/2): 33-36.

4. Michael Freemark, MD. Obesity.Diambil dari URL: http://www.emedicine.com/ ped/ topic1699.htm

5. Samsudin. Masalah gizi ganda pada anak: suatu tantangan baru. Dalam: Samsudin, Nasar SS, Sjarif DR, penyunting. Masalah gizi ganda dan tumbuh-kembang anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXV; 11-12 Agustus 1995; Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1995.

6. Sjarif DR. Obesitas pada anak dan permasalahannya.Dalam: Trihono PP, Pudjiarto SP, Sjarif DR, penyunting. Hot topics in pediatrics II. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLV. 18-19 Februari 2002; Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.

7. Childhood and Adolescent Obesity. Diambil dari URL: http://www. Healthyeatingclub.com/info/articles/infantchild/childhood_obesity.htm

8. Goran MI, Ball GDC, Cruz ML. Cardiovascular Endocrinology 2. Obesity and risk of type 2 diabetes and cardiovascular disease in children and adolescents. J Clin Endocrinol Metab, April 2003, 88 (4): 1417-27.

9. Kamelia E. Kejadian obesitas pada anak usia 10-13 tahun di tiga sekolah dasar negeri dan tiga sekolah dasar swasta kotamadya Medan. Tesis. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUSU, 1999.

Page 16: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 90

Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan Berolahraga

Namora Lumongga Lubis dan Martdaira Simanjuntak Program Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

sampling. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analysis of Variance (ANOVA). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang mengungkap mood dan self report tentang kategori kebiasaan berolahraga. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari kebiasaan berolahraga (dengan reliabilitas skala mood = 0,922), dimana subyek yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) mengalami mood yang lebih positif dari subyek lainnya. Hasil penelitian lainnya yang mendukung penelitian ini adalah adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari usia subyek penelitian dimana subyek yang berusia 31-40 tahun memiliki mood yang lebih positif daripada subyek yang berusia 20-30 tahun. Hasil penelitian selanjutnya yang juga mendukung adalah adanya perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari pernikahan subyek penelitian dimana subyek yang menikah memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang tidak menikah. Namun, tidak ditemukan perbedaan mood yang signifikan berdasarkan jenis kelamin dan lamanya bekerja dalam sehari. Implikasi dari hasil penelitian ini berguna bagi para pekerja agar memahami arti pentingnya olahraga dalam kehidupan kerjanya. Dan bagi orang yang berolahraga agar mengetahui manfaat dari olahraga yang sebenarnya. Kata kunci: mood, olahraga, kebiasaan berolahraga Abstract: The aim of this comparative quantitative research is to see the difference of mood based on the stage of exercise. Mood refers to an affective state or process that has no object or only feeling, shifting object, or that has the environment as applicants whole object. Mood can be influenced by some factors. One of them is exercise. Exercise is a life style choice. There are five stages of exercise. First, presently exercise on a regular basis and have been doing so for longer than six months. Second, presently exercise on a regular basis, but only begun doing so within the past six months. Third, presently get some exercise, but not regularly. Fourth, presently do not exercise, but have been thinking about starting to exercise within the next six months. Fifth, presently do not exercise and do not plan to start exercising in the next six months. Exercise and

Page 17: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 91

fitness reduce the potential foe stress and its effects health. People who exercise or are physically fit often report less anxiety, and tension in their lives than do people who do not exercise or are less fit. This research involved 120 early adults in Medan. The respondents participated in this research were the ones who met the criteria: work man or woman, age 20-40 years old. The method used the select the respondent was the non-probability incidental sampling. Data collected in this research was tested by using Analysis of Variance. Measuring instrument used are mood scale and stages of exercise self report. Data analysis of this research shows that there is a significant difference of mood based on the stage of exercise (reliability mood scale = 0,922). Respondents whoses presently exercise on a regular basis and have been doing so for longer than six months had the most positive mood than the respondent in other stages. Additional findings of this research shows that there is a significant difference of mood between the 20-30 and 31-40 years old respondent and married and unmarried respondent. The implication of this research can be used for workers to know the advantages of exercise in their lives and for the exercisers to know the main goal of exercise. Keywords: mood, exercise, stage of exercises PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap orang pasti mempunyai masalah dalam hidupnya, begitu juga dengan orang-orang dewasa. masa dewasa dini merupakan ‘masa bermasalah’ dimana banyak masalah baru yang harus mereka hadapi. Apabila orang dewasa dini merasa tidak mampu mengatasi masalah-masalah utama dalam kehidupan mereka, mereka sering demikian terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri1. Kejadian emosional yang signifikan seperti yang diuraikan di atas adalah salah satu hal yang dapat memicu munculnya mood tertentu2. Mood adalah keadaan emosional yang predominan3. Kita semua memiliki mood. Kita bisa mengamati mood pada orang lain dan melihat bahwa mood setiap orang berbeda-beda. Mood bisa positif dan bisa juga negatif dan keduanya memiliki banyak jenis, baik yang positif maupun yang negatif. Kadang-kadang kita merasa sedih, khawatir, marah, merasa bersalah, energik, tidak percaya, benci, antusias, frustasi, dan merasakan perasaan yang lainnya4. Mood datang dan pergi, dan ketika hal itu terjadi kita biasanya dapat mengatasinya. Kadang-kadang ktia dikuasai oleh mood tersebut. Suatu depresi yang sepertinya tidak juga mau pergi, dan setiap kali kita berusaha mengusirnya, keadaannya justru semakin

memburuk, semakin mencengkeram dalam-dalam. Hal ini mulai mempengaruhi kita, baik hubungan kita dengan orang lain maupun dalam pekerjaan kita3. Mood berbeda dengan emosi. Emosi biasanya berlangsung sementara. Emosi kita terus-menerus menanggapi berbagai gagasan, kegiatan dan keadaan sosial yang kita hadapi sepanjang hari. Sebaliknya, mood adalah perpanjangan dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam, beberapa hari kita akan mewarnai pengalaman kita dan berpengaruh kuat terhadap cara kita berinteraksi. Gejolak naik-turun mood bukan hanya merusak individu yang bersangkutan, namun juga mengakibatkan ketegangan yang tidak lazim pada orang lain yang dekat dengan orang itu3. Keadaan mood yang negatif seperti depresi, kecemasan dan kebingungan, disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang negatif pula. Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi mood kita, misalnya suhu, bau, obat-obatan dan lain-lain2. Mungkin dengan menghilangkan sumber bau, mengatasi suhu atau menggunakan obat-obatan, akan memicu munculnya mood yang positif. Selain itu, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan pikiran dan perasaan yang positif yang dapat menghalangi munculnya mood yang negatif adalah dengan berolahraga5.

Page 18: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 92

Keadaan mood yang paling baik dianggap berasal dari olahraga fisik6. Bryant, psikolog olahraga di ACE, mengatakan bahwa olahraga dapat membantu individu mengatasi stres, depresi ringan dan memperbaiki mood. Olahraga berhubugan negatif dengan depresi dan kecemasan. Artinya, dengan berolahraga secara teratur maka depresi dan kecemasan semakin menurun7. Sebagian studi menunjukkan bahwa orang yang berolahraga atau yang memiliki tubuh yang bugar mengalami kecemasan, depresi dan tekanan hidup yang lebih kecil daripada mereka yang tidak berolahraga8. Peribahasa yang berbunyi ‘mens sana in corpore sano’ yang menyatakan hubungan antara tubuh yang sehat dan jiwa yang sehat (didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat), yang sampai sekarang banyak dipakai dalam literatur olahraga6. Hubungan tersebut juga diperkuat oleh pemberitaan di berbagai media mengenai olahraga dan kebugaran fisik yang dapat melindungi kita dari stres dan bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan8. Menurut Leonard olahraga merupakan petualangan tubuh dan jiwa manusia (the adventures of body and mind) menuju suatu kesatuan yang harmonis9. Latihan olahraga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu latihan aerobik dan latihan anaerobik. Latihan anaerobik dilakukan tanpa mengkonsumsi oksigen yang tinggi dalam setiap detak jantung. Contohnya, pada saat push-up ada kalanya kita menahan nafas selama beberapa detik sementara jantung kita terus berdetak. Sementara itu, latihan aerobik (aerobic: menggunakan oksigen) adalah latihan dengan menggunakan oksigen. Artinya, bahwa seseorang mengkonsumsi volume oksigen (VO2) yang tinggi setiap detak jantung selama melakukan kegiatan olahraga. Jadi, olahraga aerobik bukan hanya senam aerobik, tetapi banyak jenis olahraga lain seperti jogging, bersepeda, berenang, jalan cepat dan lari lintas alam yang merupakan bentuk-bentuk pilihan olahraga yang dapat meningkatkan harapan hidup yang lebih lama dan untuk hidup sehat10. Olahraga (aerobik) memiliki kapasitas untu mencegah berbagai masalah dan juga mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan dari depresi dan kecemasan. Olahraga itu bersifat alami dan gaya hidup di abad 21 ini

tidak alami dengan udara yang kotor dan pohon yang sedikit, gaya hidup merokok, makanan yang tidak sehat serta gaya hidup lainnya4. Olahraga merupakan suatu pilihan gaya hidup. Sebagian orang mungkin memilih untuk tidak berolahraga, namun sebagian orang justru menganggap olahraga merupakan kegiatan yang harus mereka lakukan. Penelitian LaFontaine terhadap 58 persen orang dewasa Amerika yang bekerja di kantor (dimana pekerjaannya dilakukan dengan posisi duduk) menemukan bahwa 10 sampai 25 persen dari mereka mengalami depresi dan kecemasan ringan sampai berat dan 50 persen dari mereka yang melakukan olahraga secara teratur mengalami penurunan depresi dan kecemasan setelah enam bulan5. Penelitian ini didukung oleh penelitian Cardinal yang membagi tahapan olahraga, dengan acuan waktu selama enam bulan (Stage of Exercise Scale) menjadi 5 bagian mulai dari orang yang tidak berolahraga dan tidak berencana untuk berolahraga selama enam bulan ke depan sampai pada tahap yang teratas yaitu orang yang sudah berolahraga secara teratur selama lebih dari enam bulan5. Partisipai aktif dalam berbagai bentuk olahraga semakin berkurang pada masa dewasa ini. Hal ini bukan karena orang dewasa dini kurang sehat, tetapi karena kurang memungkinkan dari segi waktu dan dana karena sibuk dengan pekerjaan dan keluarga serta kedudukan dalam pekerjaan yang belum memadai yang mempengaruhi penghasilan. Karena kurangnya kesempatan untuk berolahraga, mereka umumnya menunjukkan perhatian pada olahraga dengan mendengarkan radio, atau menyaksikan pertandingan olahraga di televisi, membaca berita olahraga atau membicarakan berbagai olahraga1. Dari uraian diatas, dapat dikatakan orang dewasa dini adalah kelompok orang yang jarang berolahraga karena kurang memungkinkan dari segi waktu dan dana dikarenakan kesibukan dalam pekerjaan dan penghasilan yang tidak besar. Padahal orang yang bekerja rentan terhadap stres, rasa marah dan depresi yang mengakibatkan munculnya mood yang negatif. Olahraga adalah salah satu cara yang dapat mengatasi mood negatif yang dialami seseorang terutama jika dilakukan

Page 19: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 93

secara teratur selama enam bulan (lebih). Namun, bagaimana jika olahraga tersebut dilakukan secara tidak teratur atau bahkan tidak sama sekali? Apakah mood yang dialami orang yang berolahrga secara teratur lebih baik daripada orang yang berolahraga secara tidak teratur dan orang yang tidak berolahraga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “perbedaan mood ditinjau dari kebiasaan berolahraga”. METODE PENELITIAN Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel tergantung: Mood 2. Variabel bebas: Kebiasaan Berolahraga

a. Berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) dan masih melanjutkannya.

b. Berolahraga secara teratur hanya selama enam bulan.

c. Berolahraga secara tidak teratur d. Tidak berolahraga tetapi berpikir

untuk berolahraga selama enam bulan ke depan.

e. Tidak berolahraga dan tidak berpikir untuk berolahraga selama enam bulan ke depan.

Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 120 orang dewasa dini yang bekerja di Kota Medan. karakteristik sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Laki-laki/perempuan yang bekerja b. Berusia 20-40 tahun Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen alat ukur berupa skala dan self report/kuesioner untuk mengetahui fakta. 1. Skala Mood Skala yang digunakan untuk mengukur mood dalam penelitian ini adalah skala Mood dari McNair, Lorr, dan Droppleman yang disusun berdasarkan enam dimensi utama dari mood yakni Tension-Anxiety, Depression-Dejection, Anger-Hostility, Vigor-Activity, Fatigue-Inertia, dan Confusion-Bewilderment. Skala ini diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia oleh peneliti dengan bantuan ahli. Skala ini semula hanya berupa kata-kata sifat yang harus direspon, kemudian dimodifikasi dalam bentuk kalimat sehingga lebih mudah dimengerti11. Skala tersebut terdiri dari aitem yang favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Penilaian skala untuk aitem favourable adalah nilai empat untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai tiga untuk pilihan jawaban Sesuai (S), nilai dua untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan nilai satu untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem unfavourable adalah nilai satu untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai dua untuk pilihan jawaban Sesuai (S), nilai tiga untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan nilai empat untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). 2. Self-report/Kuesioner Kebiasaan Berolahraga Fakta-fakta yang ingin diungkap dalam kuesioner ini adalah mengenai kebiasaan berolahraga serta identitas diri lainnya dari subyek penelitian. Adapun kategori kebiasaan berolahraga dalam penelitian ini dibuat berdasarkan tahapan perilaku berolahraga (Stage of Exercise Scale/SES) yang dibuat oleh Cardinal (dalam Cox, 2002). Tahapan tersebut terdiri dari lima bagian antara lain: a. Saya sudah berolahraga secara teratur

dalam enam bulan dan masih melanjutkannya.

b. Saya hanya berolahraga secara teratur selama enam bulan dan tidak melanjutkannya.

c. Saya berolahraga secara tidak teratur. d. Saya tidak berolahraga tetapi berpikir

untuk mulai berolahraga selama enam bulan ke depan.

e. Saya tidak berolahraga dan tidak berencana untuk berolahraga selama enam bulan ke depan.

Metode Analisa Data Data dalam penelitian akan dianalisa dengan analisa statistik. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji One-Way ANOVA untuk melihat perbedaan mood ditinjau dari kebiasaan berolahraga dengan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 12 for windows. Sebelum dilakukan uji ANOVA, terlebih dahulu dilakukan uji

Page 20: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 94

asumsi penelitian yaitu: Uji normalitas sebaran dianalisis dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test dan uji homogenitas dianalisa dengan menggunakan Anova melalui Levene’s Statistic. HASIL PENELITIAN UTAMA 1. Uji Asumsi 1.1. Uji Normalitas Uji normalitas sebaran menggunakan

Kolmogorov-Smirnov test menunjukkan sebaran normal. Hal ini ditunjukkan dari nilai Z = 0.659 dengan p = 0,778 di mana jika nilai p>0,05, maka subyek adalah normal.

1.2. Uji Homogenitas Uji homogenitas menggunakan Levene’s

Statistic menunjukkan populasi dan sampel dalam penelitian adalah homogen. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas 0.042 di mana nilai ini berada di atas 0.05 yang berarti populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah homogen.

2. Uji Hipotesa Terdapat perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari kebiasaan berolahraga. Hasil uji analisis statistik dengan menggunakan Anova menunjukkan nilai Fhitung adalah 15,453 (Ftabel = 3,07) dengan nilai p<0.05 maka hipotesa mayor diterima. HASIL TAMBAHAN 1. Tidak terdapat perbedaan mood yang

signifikan ditinjau dari jenis kelamin subyek penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitrung (0,24) < Ftabel (3,92) dan taraf signifikansi p = 0.876 (p > 0.05).

2. Terdapat perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau usia subyek penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (12,562) > Ftabel (3.92) dan taraf signifikansi p = 0.001 (p > 0.05).

3. Terdapat perbedaan mood yang signifikan ditinjau status perkawinan subyek penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai hitung Fhitung (6,300) > Ftabel (3.92) dan taraf signifikansi p = 0.013 (p > 0.05).

4. Tidak terdapat perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari lamanya subyek penelitian bekerja dalam sehari. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung (0,18) <

Ftabel (3.92) dan taraf signifikansi p = 0.94 (p > 0.05).

KESIMPULAN 1. Terdapat perbedaan mood yang sangat

signifikan ditinjau dari kebiasaan berolahraga. Subyek yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang berolahraga secara tidak teratur dan subyek yang tidak berolahraga dan tidak berpikir berolahraga selama enam bulan ke depan.

2. Tidak terdapat perbedaan mood ditinjau dari jenis kelamin subyek penelitian.

3. Terdapat perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari usia subjek penelitian. Subyek yang berusia 31-40 tahun memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang berusia 20-30 tahun.

4. Terdapat perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari status pernikahan subyek penelitian. Subyek yang menikah memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang tidak menikah.

5. Tidak terdapat perbedaan mood ditinjau dari lamanya bekerja subyek penelitian bekerja dalam sehari.

DISKUSI Pada saat melakukan penelitian, peneliti tidak mendapatkan subyek yang berada pada tahapan hanya berolahraga secara teratur selama enam bulan dan subyek yang tidak berolahraga tetapi berpikir untuk berolahraga selama enam bulan ke depan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari kebiasaan berolahraga. Dimana, subyek yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang berolahraga secara tidak teratur dan subyek yang tidak berolahraga dan tidak berpikir untuk berolahraga selama enam bulan ke depan. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil analisa varians yakni nilai Fhitung yang didapat sebesar 15,453 dan p = 0,000, dimana subyek yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) mengalami mood yang lebih positif (M = 140,58) dari subyek lainnya. Hasil

Page 21: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 95

penelitian ini sesuai dengan pernyataan Sarafino berdasarkan hasil dari sebagian studi yang menunjukkan bahwa orang yang berolahraga atau memiliki tubuh yang bugar mengalami kecemasan, depresi dan tekanan hidup yang lebih kecil daripada mereka yang tidak berolahraga8. Olahraga dan keadaan fisik yang fit dapat melindungi seseorang dari stres dan bahaya yang ditimbulkan stres terhadap kesehatan. Keadaan mood yang paling baik dianggap berasal dari olahraga fisik6. Olahraga berhubungan negatif dengan depresi dan kecemasan, yang berarti bahwa dengan berolahraga secara teratur maka depresi dan kecemasan semakin menurun. Aktivitas fisik kelihatannya berhubungan dengan mood yang positif dadn dapat mengurangi kecemasan dan depresi. Bryant, psikolog olahraga di ACE (American Council on Exercise), mengatakan bahwa olahraga dapat membantu individu mengatasi stres, depresi ringan dan mood yang dialaminya7. Seligman yakin bahwa modernisasi menghasilkan kepasifan dan perasaan tidak berdaya, tidak punya harapan, putus asa dan harga diri yang rendah4. Penelitian yang dilakukan LaFontaine dkk terhadap 58 persen orang dewasa di Amerika yang bekerja di kantor (pekerjaannya dilakukan dengan duduk) menemukan bahwa 10 sampai 25 persen dari mereka mengalami depresi dan kecemasan ringan sampai yang berat dan 50 persen dari mereka yang melakukan olahraga secara teratur selama enam bulan mengalami penurunan depresi dan kecemasan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa orang yang berolahraga akan mengalami kepasifan dan perasaan tidak berdaya, tidak punya harapan dan putus asa, serta depresi dan kecemasan yang lebih kecil daripada mereka yang tidak berolahraga5. McDowell-Larsen dalam penelitiannya terhadap senior eksekutif, menemukan bahwa mereka yang sering berolahraga secara teratur tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga efektif dalam bekerja daripada mereka yang tidak berolahraga5. Selain itu, hasil studi cross-sectional dari Hassmen, Koivula dan Uutela menunjukkan bahwa individu yang rajin berolahraga, paling tidak dua kali seminggu mengalami depresi, kemarahan, rasa tidak percaya dan stres yang lebih kecil daripada mereka yang berolahraga (tidak teratur) dan

yang tidak berolahraga sama sekali. Selain itu mereka juga merasakan perasaan integrasi sosial yang lebih kuat daripada mereka yang jarang berolahraga12. Selain hasil penemuan utama di atas, penelitian lain menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin subyek penelitian (F = 0,024 dan p = 0,876). Dimana, mood yang dialami oleh laki-laki dan perempuan adalah relatif sama. Hasil penemuan didukung oleh hasil penemuan lain menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan depresi dan kecemasan yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin13. Hal ini mungkin disebabkan karena pada masa dewasa dini merupakan ‘masa bermasalah’ dimana banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan1. Oleh sebab itu mereka, baik laki-laki maupun perempuan, masih memiliki sifat umum yang relatif sama. Hasil penelitian lainnya yang mendukung penelitian ini adalah adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari usia subyek penelitian (F = 12.562 dan p = 0,001) dimana subyek yang berusia 31-40 tahun (M – 136,67) memiliki mood yang lebih positif daripada subyek yang berusia 20-30 tahun (M = 126,09). Sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan, kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik yang mengarah kepada tercapainya penyesuaian diri yang baik terhadap tugas perkembangan mereka sehingga mereka menjadi stabil dan tenang secara emosional1. Hasil penelitian selanjutnya yang juga mendukung adalah adanya perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari status pernikahan subyek penelitian (F = 6,300 dan p = 0,013) dimana subyek yang menikah (M = 133,57) memiliki mood yang lebih positif dibandingkan dengan subyek yang tidak menikah (M = 126,20). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Cohen bahwa orang yang tidak pernah menikah mengalami depresi yang lebih tinggi daripada orang yang menikah, orang yang bercerai dan juga orang yang berpisah. Hasil penelitian terakhir menunjukkan tidak terdapat perbedaan mood yang signifikan ditinjau dari lamanya bekerja subyek penelitian bekerja dalam sehari (F =

Page 22: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 96

0,018 dan p = 0,894). Dimana, moodi yang dialami subyek yang bekerja maksimal delapan jam sehari dengan subyek yang bekerja minimal delapan jam sehari adalah relatif sama. Hasil ini berbeda dengan teori yang diungkapkan oleh Luthans yang mengatakan bahwa pekerja yang bekerja dengan jam kerja yang lebih lama (umumnya orang bekerja 7-8 jam sehari) akan mengalami stres yang lebih besar14. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pembiasaan dan penerimaan dari pekerja sendiri terhadap jam kerja mereka sejak mereka memilih untuk bekerja di bidang tersebut. SARAN Berdasarkan kesimpulan dan diskusi yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti mencoba memberikan beberapa saran. Saran-saran ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan kelanjutan studi ilmiah mengenai olahraga dan mood serta berguna bagi pekerja dan ahli kesehatan. Pegawai bank lebih mengalami konflik dibandingkan pekerjaan lainnya. Kemudian berturut-turut diikuti subjek yang memiliki pekerjaan dokter, pengusaha, PNS, konsultan, pedagang kecil, guru, dan terakhir guru privat. Menurut O’Neil ketika suami merasa mampu untuk membiayai kehidupan keluarganya ia tidak bisa menerima isterinya yang bekerja karena berdasarkan asumsi gender wilayah mencari nafkah adalah hak mutlak bagi para pria kecuali jika suami tidak mampu membiayai keluarganya. Sehingga ketika isterinya bekerja tidak dikarenakan kebutuhan ekonomi melainkan karena aktualisasi diri maka suami merasa tidak dapat menerimanya sehingga timbul konflik dalam dirinya6. Dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran: 1. Penelitian selanjutnya sebaiknya meneliti

karakteristik sampel berdasarkan faktor-faktor lain seperti pekerjaan, jam kerja, fleksibilitas waktu kerja, latar belakang keluarga, yang dapat mempengaruhi konflik peran ganda.

2. Penelitian selanjutnya hendaknya memperhatikan proporsi sampel bila hendak membandingkan sampel agar kesimpulan yang diambil lebih tepat dan dapat digeneralisasikan.

3. Peneliti selanjutnya sebaiknya menambah-kan tinjauan konflik peran ganda berdasarkan variabel-variabel lain yang

berkaitan dengan konflik peran ganda seperti kepuasan pada pekerjaan, kepuasan pada pernikahan, kepribadian, suku, dikarenakan berkaitan dengan konflik peran ganda.

4. Penelitian selanjutnya dapat juga dilakukan dalam bentuk kualitatif agar dapat diketahui faktor-faktor apa yang lebih banyak menyebabkan rendahnya konflik peran ganda pada individu yang mengalami konflik peran ganda.

5. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan memberikan skala motivasi kerja untuk isteri yang dibedakan dari suami.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hendytio, M.K., Moelyarto, V., Gaduh,

A.B., & Feridhahusetiawan, T. (1999). Indonesia: A Gender Review of Globalization, Legislation, Policies and Institutional Framework. Manila; ILO Manila.

2. Sekaran, U. (1986). Dual career family. San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

3. Katz, D., & Kahn, R.L., (1966). The social psychology of organization. New York: John Wiley and Sons, Inc.

4. Greenhaus. (1997). Work family conflict [On-line]. http://www.bcfwp.org/conference_ papers/ greenhouse.pdf. Diakses tanggal 3 November, 2005.

5. Bailey, S.J. (2002, September). Weaving together family and work. Montguide: Montana State University, B10-B11. http://www.montana.edu/wwwpb/pubs/mt200211.html. Diakses tanggal 5 April, 2006.

6. Nauly, M. (2003). Fear of success wanita bekerja. Studi banding perempuan batak, minangkabau dan jawa. Yogyakarta: Arti

7. Wolfman, B.S. (1992). Peran kaum wanita: Bagaimana menjadi cakap dan seimbang dalam aneka peran. Yogyakarta: Kanisius.

8. Djamal, C. (2000). Women in the informal sector, a ‘forgotten’ workforce. Dalam Oey-Gardiner, M., & Bianpoen, C. (Eds), Indonesian Women The Journey Continues, (pp. 172-178). Canberra: Goanna Print.

Page 23: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Namora Lumongga Lubis dkk. Perbedaan Mood Ditinjau dari Kebiasaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 97

9. Wikarta, L.S., (2005). Working women: Kiat jitu mengatasi permasalahan diri, keluarga, dan pekerjaan bagi wanita karir. Yogyakarta: Quills Book Publisher.

10. Hurlock E. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Page 24: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 98

Correlation between Sparring and Cognitive Function in Boxers of Two Boxing Camps in Medan

Alfansuri Kadri, Aldy S. Rambe, dan Hasan Sjahrir

Departemen Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RS H. Adam Malik, Medan

ental Questionnaire (SPMQ), and Clock Drawing Test (CDT). Data regarding their sparring exposure were also collected. Results: The mean ± SD of MMSE score of the participants was 27 ± 1.95 (95% CI), while for SPMQ and CDT was 9.86 ± 0.35 (95% CI) and 3.92 ± 0.28 (95% CI). Correlations between the boxers’ performance on the neuropsychological tests and their age and boxing record were non significant (p>0.05). However, various indices of increased sparring exposure were inversely correlated with MMSE (p<0.05) and SPMQ score (p<0.05), but not with CDT score (p>0.05). More frequent sparring was correlated with decreased test performance on portions of the Orientation (p<0.05) and Total score (p<0.05) of the MMSE. Conclusion: Sparring, which involves repetitive blows to the head, may be correlated with statistically significant reductions in cognitive performance. Keywords: sparring, cognitive function, MMSE, SPMQ, CDT

Abstrak: Banyak studi Neuropsikologis yang menyatakan bahwa tinju dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi kognitif, khususnya memori, atensi dan pengolahan informasi. Resiko gangguan kognitif sehubungan dengan tinju – dementia pugilistica – telah dikenal selama bertahun-tahun. Resiko ini memerlukan perhatian dari para dokter, karena tinju merupakan olah raga yang populer dengan ribuan peserta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah nilai beberapa tes neuropsikologis yang dipilih berhubungan dengan dimensi paparan latih tanding tinju yang dipilih, terlepas dari norma- norma populasi umum. Studi potong lintang dilakukan pada bulan Maret – April 2005 pada 36 petinju dari dua sasana tinju di kota Medan. Seluruh peserta diminta untuk menyelesaikan 3 buah tes neuropsikologis: MMSE, SPMQ dan CDT. Data tentang seputar paparan latih tanding juga dikumpulkan. Rata-rata ± SD dari nilai MMSE pada peserta adalah 27 ± 1,95 (95% CI), sementara untuk SPMQ dan CD adalah 9,86 ± 0,35 (95% CI) dan 3,92 ± 0,28 (95% CI). Hubungan antara performa petinju dengan hasil tes neuropsikologis serta dengan umur dan rekor bertinjunya adalah tidak bermakna (p>0,05). Namun berbagai indeks dari paparan latih tanding berhubungan terbalik dengan nilai MMSE (p<0,05) dan SPMQ (p<0,05), tetapi tidak dengan nilai CDT (p > 0,05). Latih tanding yang lebih sering, berhubungan dengan penurunan performa pada porsi orientasi (p < 0,05) dan nilai total MMSE (p < 0,05). Sebagai kesimpulan, latih tanding yang melibatkan pukulan yang berulang-ulang pada kepala, dapat berhubungan dengan penurunan performa kognitif yang bermakna secara statistik. Kata kunci: latih tanding, fungsi kognitif, MMSE, SPMQ, CDT

Page 25: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Alfansuri Kadri dkk. Correlation between Sparring and Cognitive...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 99

INTRODUCTION A ubiquitous feature of participation in organized or recreational athletics is the inherent risk of injury. Although most participants never consider the possibility of head injury, brain trauma remains a major cause of both severe and mild disability after athletic injury. The concern of the neurosurgical community with neurologic problems confronting those who participate in recreational and competitive athletics can be describe as underwhelming.1-2 Athletic head injury encompasses a spectrum from mild head injury, characterized by transient alteration in consciousness, to severe injuries causing major morbidity and mortality. Cognitive impairments are a core feature of traumatic brain injury and can impair all manner of daily activities, depending on the patterns of impairment.1-6 No sport has garnered more adverse publicity because of its neurological sequelae than boxing. The debate over the risk of long-term neurological and neuropsychological deficits among ex-boxers and the concern generated by recent catastrophic injury in the ring have focused the attention of the medical community and the public on the risk of boxing.1 Given the relationship between neurological dysfunction and professional boxing, there has been interest in analysing the relationship between amateur boxing and traumatic brain injury. Most neuropsychological studies of boxers suggest that boxing may lead to impairment in memory, attention, and information processing. The risk of cognitive impairment associated with boxing—dementia pugilistica—has been noted for many years.7-11 Neuropsychological testing represents the most sensitive technique to detect neurologic dysfunction associated with boxing. Despite the sensitivity of such testing, interpretation of the results poses some difficulties. Test score norms for the general population are not representative of the boxing population and therefore are of limited value or should be used with caution.8 This study, therefore, was designed to determine if selected neuropsychological tests

scores correlate with selected dimensions of boxing exposure, without reference to the general population norms. METHODS Subjects Subjects were boxers recruited from 2 boxing camps in Medan (Rajawali Boxing Camp and FKPPI Boxing Camp). Subjects were included if they were male boxers, graduated from junior high school (had 9 years of educational level), and agreed to sign the informed consent. Boxers with history of head injury other than from boxing activity within the past 6 months, mute, and unable to communicate in Indonesian language were excluded. A total of 36 boxers were eligible for this study. All boxers who participated in the investigation underwent neuropsychological testing and were interviewed the day of the testing regarding neurologic symptoms and boxing history Boxing exposure Boxing history was obtained via a questionnaire administered by the examiner at the time of the interview. Exposure variables, all self reported, included boxing record, duration of boxing career. Sparring exposures was assessed and defined as follows: 1. Frequency: sessions per week 2. Rounds: rounds per session 3. Total rounds: the estimated average

number of rounds sparred per week. This was obtained by multiplying the average number of sparring sessions per week by the average number of rounds per session.

4. Intensity: the estimated average intensity of the sparring, which is the average number punches that a boxer took in one round, graded as follow: grade 1: no contact, grade 2: 1-10 punches per round, grade 3: 11-20 punches per round, grade 4: > 20 punches per round.

5. Exposure index: the total number of rounds per week, multiplied by the intensity.

6. Cumulative exposure index: the sparring exposure index multiplied by the duration of the boxing career.

Page 26: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 100

Neuropsychological Testing Each boxer underwent a battery of neuropsychological tests consisted of Mini Mental State Examination (MMSE) test, Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMQ), and Clock Drawing Test (CDT). • Mini Mental State Examination (MMSE) By far the most common measure used for

briefly assessing mental status is the MMSE, developed in the mid-1970s. The MMSE has been extensively used in both the clinical and epidemiologic literature. The MMSE is comprised of items assessing six principal domains of mentation: orientation, registration, attention, calculation, short-term memory, and language. The final score is trichotomized, with high score (24-30) suggesting no cognitive impairment; scores in an intermediate range (17-23) suggesting probable cognitive impairment; and low scores (0-16) indicating definite cognitive impairment. The median score in high school education ages 18-69 is 28-29. 2, 12, 13

• Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMQ)

Other traditional cognitive screening instruments include the Mental Status Questionnaire (MSQ) and its revision, the Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMQ). The SPMQ is a 10-item psychometric tool designed to be a revision of the MSQ and to be more difficult, assessing orientation to personal information (age, date of birth, mother’s maiden name), time (date), place (location), recent events (president, previous president), and serial subtraction. All items carry the same weight and performance is judged by number of errors committed, the range extending from 0 to 10. The final score is divided into 4 categories, 0-2 errors indicating intact intellectual function; 3-4 errors suggesting mild cognitive impairment; 5-7 errors suggesting moderate cognitive impairment; and 8 – 10 errors indicating severe cognitive impairment.2, 14

• Clock Drawing Test (CDT) The drawing of clocks is a common

procedure in neurobehavioral examination and has been adopted by some examiners as a quick screening test for dementia and other neurologic disorders. Briefly, an

individual is required to draw the face of a clock on command, putting all the numbers in the correct order, and placing the hands at a requested time typically “10 after 10” or “20 after 3”. Because the test requires conceptualisation and abstraction, planning, organization, visuospatial judgement, and motor abilities, it constitutes a broad screen for diverse cognitive problems.2, 12,15,16

Data Analysis Since accepted norms for neuropsychological data cannot be applied to the boxing population, the boxers’ test score were not classified according to available normative data. Instead, correlations between the boxers’ test performance and their age, boxing record, and exposure variables were examined. Measures of correlations were calculated using the Pearson correlation coefficient. RESULTS The characteristics of the 36 boxers are shown in table 1. The average age was 18.78 years (range, 15 to 25 years) and most of the boxers had duration of boxing career of < 1 year (grade 1). Member of the group apparently were fairly successful in amateur boxing, as evidenced by the relatively high win-loss ratio. Sparring practices appeared to be quite variable; boxers sparred anywhere from 1 to 10 times per week (mean, 4.14 times). The mean of Total MMSE score was 27.11 (range, 24-30), while for the SPMQ and CDT were 9.86 (range 9-10) and 3.92 (range, 3-4) respectively (table 2). On the MMSE test, all participants could answer all questions in the Registration item correctly, while for the other items, mistakes ranged from 1 to 4. Participants were most often made mistakes on the Attention and Calculation area. On the SPMQ test, mistakes were most often made on the question regarding the current President, and only 5 participants had SPMQ score below 10 (all of them had score of 9). Meanwhile, only 3 participants had score less than 4 (all had score of 3) on the CDT test. From the neuropsychological tests result, none of the boxers had any cognitive impairment.

Page 27: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Alfansuri Kadri dkk. Correlation between Sparring and Cognitive...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 101

Correlations between the boxers’ performance on the neuropsychological tests and their age, duration of boxing career, and boxing record were non significant (P>0.05). However, various indices of increased sparring

exposure were inversely associated with test scores (table 3). These results mostly reflected dysfunction in the areas of orientation and Total score of the MMSE.

Table 1. Characteristics of 36 boxers tested for cognitive function

Mean ± SD Mode Range Age (year) 18.78 ± 2.18 17 (15-25) Duration of boxing career (graded on scale 1-6*)

3.11 ± 1.85 1 (1-6)

Boxing record • Wins • Losses • Draws

11.58 ± 23.07

0.89 ± 1.45 0.00

0 0 0

(0-100)

(0-6) 0

Sparring Exposure • Frequency • Rounds • Total Rounds • Intensity

(graded on scale 1-4**) • Exposure Index • Cumulative Exposure Index

4.14 ± 2.18 5.42 ± 1.66

25.11 ± 20.64 2.03 ± 0.17

50.78 ± 41.27

212.22 ± 253.52

3 4

12 2

24 24

(1-10) (4-10) (4-80) (2-3)

(8-160) (8-960)

* = grade 1 : < 1 year; grade 2: 1 – 2 year; grade 3: 2 – 3 year; grade 4: 3 – 4 year; grade 5: 4 – 5 year; grade 6 : > 5 year

** = grade 1 : no contact, grade 2: 1-10 punches per round, grade 3: 11-20 punches per round, grade 4: > 20 punches per round.

Table 2. Results of the neuropsychological tests on 36 boxers

Mean ± SD Range Mode MMSE score

• Orientation score • Registration score • Attention & calculation score • Recall score • Language score • Total MMSE score

9.64 ± 0.59 3.00 ± 0.00 3.06 ± 1.31 2.44 ± 0.88 8.97 ± 0.17

27.11 ± 1.95

(8-10)

(3) (1-5) (0-3) (8-9)

(24-30)

10 3 2 3 9

26 SPMQ score 9.86 ± 0.35 (9-10) 10 CDT score 3.92 ± 0.28 (3-4) 4

Table 3. Correlations of neuropsychological test results with indices of sparring exposure among 36 boxers

Sparring frequency

Rounds Per session

Total Rounds

Sparring Intensity

Exposure index

Cumulative exposure index

MMSE Score • Orientation • Registration • Attention &

calculation

• Recall • Language • Total MMSE

score

SPMQ score CDT score = Indicates declining neuropsychological function with increased sparring exposure (p<0.05)

Page 28: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 102

More frequent sparring was correlated with decreased performance on portions of Orientation, Recall, and the Total Score of the MMSE (p<0.05). The number of rounds per session (mean, 5.42; range 4 to 10) was inversely correlated to performance on the SPMQ (p<0.05). The total sparring rounds per week averaged 25.11 (range, 4 to 80). Greater number of rounds per week correlated with poorer performance on the Total MMSE Score (p<0.05). Sparring intensity ranged from grade 2 to 3. Higher sparring intensity correlated with diminished performance on the Orientation score of the MMSE (p<0.05). The sparring exposure index was not inversely correlated with any of neuropsychological test (p>0.05) and the cumulative sparring index correlated inversely with Orientation, Recall, and Total Score of the MMSE, and also the SPMQ score. DISCUSSION The neurobehavioral effects of closed head injury due to athletic events include alterations in cognition, mood, and social functioning that reduce the quality of life for both the patient and significant others. Chronic traumatic brain injury is considered by some authorities to be the most serious health problem in modern day boxing. The condition is often referred to by a number of names in the medical and non-medical literature, including dementia pugilistica and “punch drunk” syndrome.11 Memory loss and dementia have been a frequent finding in ex-fighters. The pathological correlation of this impairment may stem in part from mesial temporal neurofibrillary tangle formation, disruption of the fornix by caval septum formation, atrophy and gliosis of the mamillary bodies, or generalized cerebral atrophy.1 Study by Jordan and colleagues also suggests that possession of an APOE ε 4 allele may be associated with increased severity of chronic neurologic deficits in high-exposure boxers.17 Neuropsychological examination in active amateur fighters has been performed to assess for early brain damage. In McLatchie and colleagues’ investigation of 20 active amateurs, 15 had abnormal neuropsychological profile; deficiencies of memory and attention were found most commonly.1 Matser and colleagues

examined the Acute Traumatic Brain Injury (ATBI) in 38 amateur boxers.8 They found that boxers who competed exhibited an ATBI pattern of impaired performance in planning, attention, and memory capacity. The correlation between increased sparring exposure and declining performance on the neuropsychological tests was not unexpected. It is widely known among the boxing community that most of a boxer’s traumatic exposures occur during sparring. Sparring here is defined as making the motions of attack and defense with the fist and arms.18,19 This observation is supported by the findings of a survey of boxing injuries among cadets at the US Military Academy at West Point, New York.20 During a 2-year period, the majority of injuries occurred during instructional boxing rather than competition, even though the injury rate was higher during competition. The greater number of injuries occurring during instruction may reflect greater exposure time during instruction and/or sparring. In an analysis of 42 professional boxers in New York city, Jordan et al also found that sparring is associated in poorer performance on neuropsychological tests.9 The present study found that correlations between the boxers’ performance on the neuropsychological tests and their age, duration of boxing career, and boxing record were non significant (P>0.05). However, various indices of increased sparring exposure were inversely associated with test scores, especially in the areas of Orientation and Total score of the MMSE (p<0.05). Thus, the results of this cross-sectional study suggest that sparring is correlated with poorer performance on neuropsychological tests, which matches the previous studies. These significant correlations between cognitive function and sparring exposure are highly compatible with well-documented sequelae of closed cerebral trauma. There are several limitations of this study. The neuropsychological tests used in this study were quite basic and simple. More sophisticated tests are required to get a more specific and comprehensive results on the cognitive impairments suffered by the boxers. Most recent radiologic examinations of the boxers such as CT-scans are also needed to

Page 29: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Alfansuri Kadri dkk. Correlation between Sparring and Cognitive...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 103

determine the neuropathological changes in the brain of the boxers that may be associated with the neuropsychological tests results. As a conclusion, sparring, which involves repetitive blows to the head, may be correlated with statistically significant reductions in cognitive performance. This correlation, and the lack of relationship between competition and declining cognitive function, may be explained by the fact that boxers spend far more time sparring than actually competing. Thus, measures to prevent brain injury should include supervision of sparring bouts and reassessment by boxers of the amount and intensity of sparring they do. REFERENCES 1. Evans RW. Neurology and Trauma.

Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1996.

2. Rizzo M, Eslinger PJ. Principles and Practice of Behavioural Neurology and Neuropsychology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2004.

3. Matser EJT, Kessel AG, Lezak MD, et al. Neuropsychological Impairment in Amateur Soccer Player. Journal of American Medical Association 1999; 282: 971 – 75.

4. Collins MW, Grindel SH, Lovell MR. Relationship between concussion and neuropsychological performance in college football player. Journal of American Medical Association 1999; 282: 964 -70.

5. Teasdole TW, Engberg AW. Cognitive disfunction in young men following head injury in childhood and adolescence: a population study. Journal of Neurosurg Psychiatry 2003; 74: 933 – 36.

6. Goldstein FC, Levin HS, Goldman WP. Cognitive and Behavioural Sequele of Closed Head Injury in Older Adults According to Their Significant Others. The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 1999; 11: 38-44.

7. Moriarty J, Collie A, Olson, et al. A prospective controlled study of cognitive function during an amateur boxing tournament. Journal of Neurology 2004; 62: 1497 – 1502.

8. Matser EJT, Kessels AG, et al. Acute Traumatic Brain Injury in Amateur Boxing; The Physician and Sportsmedicine Journal 2000; 28: 87.

9. Jordan, Barry D. Sparring and Cognitive Function in Professional Boxers Sportsmedicine Journal 1996; 24: 87-92.

10. Slemmer JE, Matser EJT, De Zeeuw CI. Repeated mild injury causes cumulative damage to hippocampal cells. Guarantors of Brain Journal 2002; 125: 2699 - 2709

11. McCrory P. Boxing and the Brain. British Journal of Sports Medicine 2002; 36: 2.

12. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AazI), Pengenalan dan Penatalaksaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Jakarta. 2003

13. Mini-Mental State Exam. Available from: www.fpnotebook.com/NEU71.htm

14. Short Portable Mental Status Questionnaire. Available from: www.medicine.uiowa.eduigectoolsassetsShortPortableMentalStatusQ.pdf.

15. Clock Drawing Test. Available from: www.fpnotebook.com/NEU74.htm

16. Shah J. Only Time Will Tell: Clock Drawing as an Early Indicator of Neurological Dysfunction. Spring 2001. 30 – 34.

17. Jordan BD, Relkin NR, Ravdin LD, et al. Apolipoprotein E epsilon 4 associated with Chronic Traumatic Brain Injury in Boxing. Journal of American Medical Association 1997; 278: 136 – 40.

18. Definition of spar. Available from: www.wordreference.com

19. Sparring-definiton. Available from: www.hyperdictionary.com

20. Welch MJ, Sitler M, Kroeten H: Boxing Injuries from an instructional program. Phys Sportsmed 1986;14 (9): 81-90.

Page 30: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 104

Karakterisasi dan Uji Kepekaan Antibiotik Beberapa Isolat Staphylococcus aureus dari Sumatera Utara

Dwi Suryanto1, Irmayanti dan Sofyan Lubis2

1Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara 2Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Page 31: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Uji Kepekaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 105

antibiotik sangat penting agar terapi yang rasional bisa dilakukan10. BAHAN DAN METODE Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Bakteri S. aureus diisolasi dari pasien yang terinfeksi yang berasal dari beberapa daerah di Sumatera Utara. Isolasi dilakukan dengan cara mengoles luka yang mengandung pus dengan cotton swab steril dan menyebarnya dalam media nutrient agar (NA). Bakteri yang telah diisolasi ditanam pada media mannitol salt agar (MSA) dengan cara goresan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. S. aureus merubah warna media dari merah menjadi kuning. Satu koloni yang terpisah dari media MSA ditanam pada media agar darah dengan cara goresan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Salah satu ciri S. aureus berupa kemampuannya melisis sel darah merah, ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni. Karakterisasi morfologi dilakukan dengan melihat sifat gram, bentuk, dan susunan sel. Sifat gram ditentukan dengan pewarnaan gram. Bentuk dan susunan sel diamati di bawah mikroskop. Uji koagulasi dilakukan menggunakan media tryptic soy broth (TSB) yang diberi plasma darah kelinci. Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C selama 24 jam. Koagulasi positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan plasma. S. aureus patogen memproduksi koagulase. Produksi koagulase ini memiliki hubungan dengan patogenesis yang tinggi4. Uji Kepekaan terhadap Antibiotik Uji kepekaan dilakukan menggunakan media Mueller Hinton agar (MHA). Suspensi bakteri setara 1010 sel/ml diusap dengan cotton bud dalam media MHA dalam cawan petri. Media dibiarkan mengering selama 5 menit. Kertas cakram antibiotik (Oxoid, Inggris) yang berisi masing-masing 30 μg/ml kloramfenikol, 10 μg/ml penisilin, 25 μg/ml amoksisilin, 25 μg/ml sulfametoksazol trimetoprim, dan 5 μg/ml metisilin diletakkan dengan cara menekan di atas media berisi usapan bakteri. Media diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona hambat yang terbentuk diukur

dengan jangka sorong. Kerentanan dari organisme terhadap obat ditunjukkan dari ukuran zona yang nampak pada media11.

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Bakteri yang telah diisolasi dari pus ditumbuhkan di dalam media MSA untuk menyeleksi bakteri S. aureus dari anggota genus Staphylococcus lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan S. aureus yang ditandai dengan adanya perubahan warna media dari merah menjadi kuning. Warna kuning timbul karena fermentasi mannitol yang dilakukan S. aureus. Hasil pengamatan sel menunjukkan bahwa semua isolat berbentuk stafilokokus. Hasil pewarnaan gram semua isolat menunjukkan gram positif. Berdasarkan uji yang dilakukan di atas dipastikan bahwa isolat yang didapat merupakan bakteri S. aureus dan mempunyai potensi menjadi patogen invasif. Semua bakteri S. aureus merupakan bakteri yang positif koagulase. Produksi koagulase ini memiliki hubungan dengan patogenesis4. Untuk melihat kemampuan S. aureus dalam melisiskan sel darah merah dilakukan uji dengan menggunakan media agar darah. Terbentuknya zona bening menunjukkan bahwa isolat mampu melisiskan darah. Proses lisis sempurna terlihat dari zona yang benar-benar jernih (β-hemolisis), proses hemolisis tidak sempurna memperlihatkan media berwarna kehijauan (α-hemolisis). Proses lisis yang tidak nyata menyebabkan tidak terjadi perubahan warna media (γ-hemolisis)12. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa 14 isolat yang dikoleksi memiliki kemampuan hemolisis yang berbeda. Isolat asal Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Langkat, Tobasa, dan Medan mampu melisiskan sel darah merah dengan tipe β-hemolisis. Isolat asal Simalungun, Madina, dan Nias melisiskan sel darah merah dengan tipe α-hemolisis. Isolat asal Tapanuli Tengah, Labuhan Batu, Asahan, Dairi, Deli Serdang, dan Karo melisiskan sel darah merah dengan tipe γ-hemolisis. Kemampuan hemolisis yang berbeda mungkin disebabkan kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan enzim hemolisin.

Page 32: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 106

Tabel 1. Jenis hemolisis isolat S. aureus dari Sumatera Utara

No. Asal Isolat Jenis Hemolisis 1. Asahan γ-hemolisis 2. Dairi γ-hemolisis 3. Deli Serdang γ-hemolisis 4. Medan β-hemolisis 5. Karo γ-hemolisis 6. Labuhan Batu γ-hemolisis 7. Langkat β-hemolisis 8. Madina α-hemolisis 9. Nias α-hemolisis

10. Simalungun α-hemolisis 11. Tapanuli Selatan β-hemolisis 12. Tapanuli Tengah γ-hemolisis 13. Tapanuli Utara β-hemolisis 14. Tobasa β-hemolisis

Tabel 2. Diameter zona hambat antibiotik terhadap isolat S. aureus dari Sumatera Utara

Zona Hambat No. Asal isolat P M A K T

1. Asahan 19.32 I 20.68 S 17.54 R 10.77 R 27.95 S 2. Dairi 31.95 S 25.55 S 34.50 S 29.80 S 31.92 S 3. Deli Serdang 35.12 S 20.06 S 16.62 R 27.50 S 30.62 S 4. Medan 30.70 S 21.45 S 34.02 S 16.87 I 27.72 S 5. Karo 43.87 S 35.62 S 42.87 S 29.20 S 43.42 S 6. Labuhan Batu 24.40 S 28.80 S 25.95 S 10.67 R 18.05 S 7. Langkat 39.85 S 22.95 S 40.30 S 13.30 I 24.27 S 8. Madina 37.55 S 24.17 S 41.60 S 16.30 I 36.05 S 9. Nias 30.02 S 23.20 S 31.30 S 17.62 I 32.49 S

10. Simalungun 24.20 S 23.30 S 21.55 S 23.30 S 21.17 S 11. Tapanuli Selatan 41.92 S 24.70 S 40.20 S 29.72 S 33.25 S 12. Tapanuli Tengah 40.99 S 29.21 S 41.30 S 29.97 S 31.52 S 13. Tapanuli Utara 33.45 S 22.17 S 32.70 S 24.65 S 27.85 S 14. Tobasa 34.26 S 28.05 S 34.02 S 16.55 I 11.80 I

Keterangan: P: penisilin, M: metisilin, A: amoksisilin, K: kloramfenikol, T: sulfametoksazol trimetoprim. R: resisten, I: intermediet (sedang), S: sensitif.

Beberapa isolat menunjukkan resistensi intermediet pada antibiotik penisilin seperti isolat Asahan, resistensi intermediet pada kloramfenikol seperti isolat asal Medan, Langkat, Madina, Nias dan Tobasa, dan resistensi intermediet pada sulfametoksazol trimetoprim seperti pada isolat Tobasa. Resistensi terhadap kloramfenikol terjadi pada isolat asal Asahan dan Labuhan Batu. Resistensi terhadap amoksisilin terjadi pada isolat asal Asahan dan Deli Serdang. Sebagian besar mikroorganisme yang resisten terhadap obat muncul akibat perubahan genetik dan proses seleksi. Obat antimikroba berguna

sebagai mekanisme seleksi untuk menekan mikroorganisme yang peka dan membantu pertumbuhan mutan yang resisten terhadap obat. Selain itu gen dalam plasmid untuk resistensi antimikroba seringkali dapat mengendalikan pembentukan enzim-enzim yang sanggup merusak obat antimikroba. Plasmid dapat mengatur enzim yang merusak kloramfenikol (asetiltransferase), enzim yang mengasetilase, mengadenilase atau memfosforilase aminoglikosida13.

Page 33: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Dwi Suryanto dkk. Karakteristik dan Uji Kepekaan...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 107

KESIMPULAN Dari penelitian ini disimpulkan bahwa secara umum terdapat kemampuan melisis darah yang berbeda pada isolat asal Sumatera Utara. Isolat S. aureus asal Sumatera Utara masih sensitif terhadap antibiotik yang diujikan (penisilin, metisilin, amoksisilin, kloramfenikol, dan sulfametoksazol trimetoprim). Resistensi terhadap kloramfenikol terjadi pada isolat asal Asahan dan Labuhan Batu, sedang resistensi terhadap amoksisilin terjadi pada isolat asal Asahan dan Deli Serdang. DAFTAR PUSTAKA 1. Jarraud, S., Mougel, C., Thioulouse, J.,

Lina, G., Meugnier, H., Forey, F., Nesme, X., Etienne, J. & Vandenesch, F. 2002. Relationships Between Staphylococcus aureus Genetic Background, Virulence Factors, Agr Group (Aalleles), and Human Disease. Infect. Immun. 67: 5001-5006.

2. Zadoks, R., Van Leeuwen, W.B., Barkema, H., Sampimon, O., Verbrugh, H., Schukken, Y.H. & Van Belkum, A. 2000. Application of Pulsed-Field Gel Electrophoresis and binary Typing as Tools in Veterinary Clinical Microbiology and Molecular Epidemiologic analysis of Bovine and Human Staphylococcus aureus Isolates. J. Clin. Microbiol. 38: 1931-1939.

3. Zadoks, R.N, Van Leeuwen, W.B., Kreft, D., Fox, L.K., Barkema, H.W., Schukken, Y.H. & Van Belkum, A. 2002. Comparison of Staphylococcus aureus Isolates from Bovine and Human Skin, Milking Equipment, and Bovine Milk by Phage Typing, Pulsed-Field Gel Electrophoresis, and Binary Typing. J.Clin. Microbiol. 40: 3894-3902.

4. Beisher, L. 1991. Microbiology In Practice: A Self - Instructional Laboratory Course. 5thEd. Harper Collins Publishers, New York. hlm. 224-227; 449-450.

5. Kiser, K.B., Cantey-Kiser, J.M. & Lee, J.C. 1999. Development and Characterization of Staphylococcus aureus Nasal Colonization Model in Mice. Infect. Immun. 67: 5001-5006.

6. Carricajo, A., Treny, A., Fonsale, N., Bes, M., Reverdy, M.E., Gille, Y., Aubert, G., & Freydiere, A.M. 2001. Performance Of The Choramogenic medium CHROMagar Staph. aureus and the Staphychrom Coagulase test in the Detection and Identification of Staphylococcus aureus In Clinical Specimens. J.Clin.Microbiol. 39: 2581-2583.

7. Van Leeuwen, W.B., Van der Velden, J., Van Leeuwen, N., Heck, M. & Van Belkum, A. 1999. Validation of Binary Typing for Staphylococcus aureus strain. J. Clin. Microbiol. 37: 664-674.

8. Tortora G.J., Funke, B.R., & Case, C.L. 2001. Microbiology an Introduction. 7th Ed. Benjamins cummings Imprint of Addison-Wesley Longman.Inc, New York. hlm.19: 323-324.

9. Sudarmono, P. 1993. Genetika dan Resistensi: Buku Ajar Mikrobiologi Umum. Edisi Revisi oleh Staff Pengajar FKUI. Binarupa Aksara, Jakarta. hlm.33-38.

10. Martineau, F., Picard, F.J., Roy, P.H., Ouellette, M. & Bergeron, M.G. 1998. Species-specific and Ubiquitous-DNA-Based Assays for Rapid Identification of Staphylococcus aureus. J. Clin. Microbiol. 36: 618-623.

11. Cappucino, J.G. & Sherman, N.1996. Microbiology: A Laboratory Manual. 4thEd. Addison-Wesley Publishing Company. hlm. 263-266; 373-374.

12. Lay, B. W. 1998. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 111.

13. Jawetz, E., Melnick, J., & Adelberg, E. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Edi Nugroho & Maulany, R.F. Edisi 20. EGC, Jakarta. hlm. 153-158; 211-217.

Page 34: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 108

Pengamatan Terbuka pada Rekonstruksi Malunion Fraktur Batang Femur

Hafas Hanafiah Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Departemen Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Telah dilakukan studi tentang karakterisasi dan uji kepekaan beberapa isolat Staphylococcus aureus dari Sumatera Utara terhadap antibiotik penisilin, metisilin, amoksisilin, kloramfenikol, dan sulfametoksazol trimetoprim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat memiliki sifat yang sama kecuali kemampuan melisis darah. Uji kepekaan antibiotik menunjukkan bahwa isolat S. aureus asal Sumatera Utara masih sensitif terhadap antibiotik yang diujikan. Resistensi terhadap kloramfenikol terjadi pada isolat asal Asahan dan Labuhan Batu, sedang resistensi terhadap amoksisilin terjadi pada isolat asal Asahan dan Deli Serdang. Kata kunci: fraktur batang femur, malunion, operasi rekonstruksi Abstract: A study of 28 casesof malunion fractures of femoral shaft was done in Pirngadi Hospital. In all cases deformities such as shortening, angulation and rotation were found. Most of the cases were treated by bone setter prior to hospital admission. Reconstructions in one stage were done in 16 cases while of rest 12 cases reconstructions were done in two stages. Plates and screws or K-nail were used for internal fixation. Keywords: femoral shaft fracture, malunion, reconstruction operation PENDAHULUAN Latar Belakang Malunion adalah suatu keadaan tulang patah yang telah mengalami penyatuan dengan fragmen fraktur berada dalam posisi tidak normal (posisi buruk). Malunion terjadi karena reduksi yang tidak akurat, atau imobilisasi yang tidak efektif dalam masa penyembuhan. Tiga keadaan malunion batang femur yang memerlukan operasi adalah: 1. Terdapat tumpang tindih (overlap) lebih

dari 5 cm 2. Terdapat angulasi antara fragmen fraktur

lebih 15 derajat. 3. Terdapat rotasi antara kedua fragmen

fraktur lebih 45 derajat dengan ada atau tidak ada angulasi 1,3, 4. Sampai saat ini belum ada penelitian yang

mengamati hasil rekonstruksi pada malunion fraktur batang femur.

Perumusan Masalah Belum diketahui bagaimana hasil rekonstruksi pada malunion fraktur batang femur di Rumah Sakit Pirngadi Medan.

Pada 28 kasus malunion batang femur yang dijumpai dilakukan operasi reposisi terbuka dan fiksasi interna. Pasca bedah dilakukan evaluasi terhadap hasil rekonstruksi dari 28 kasus malunion fraktur batang femur tersebut.

TUJUAN DAN MANFAAT PENGAMATAN Tujuan Pengamatan Tujuan pengamatan ini adalah sebagai usaha pertama untuk mendata hasil rekonstruksi dan mengetahui beberapa faktor yang bersangkut paut dengan rekonstruksi pada malunion fraktur batang femur, sehingga pada tahap selanjutnya dapat dilakukan penelitian yang lengkap dan akurat. Manfaat Pengamatan Dengan mengetahui hasil pengamatan terbuka terhadap rekonstruksi malunion fraktur batang femur dan beberapa faktor yang mempengaruhinya maka pada penelitian tahap selanjutnya dapat dinilai variabel-variabel tertentu yang menentukan hasil rekonstruksi malunion fraktur batang femur.

Page 35: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Hafas Hanafiah Pengamatan Terbuka pada Rekonstruksi Malunion...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 109

Hal di atas sangat berguna baik didalam usaha pencegahan terjadinya malunion maupun usaha sosialisasi pada masyarakat untuk tidak berobat kepada dukun patah bila mengalami fraktur batang femur. BAHAN DAN CARA PENGAMATAN Belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai rekonstruksi pada malunion fraktur batang femur maka pengamatan ini merupakan pengamatan terbuka yang merupakan usaha pendahuluan untuk mencoba dan mengamati hasil serta beberapa faktor yang mempengaruhi rekonstruksi. Pada 28 kasus penderitra nalunion fraktur batang fenur ditemukan data – data sebagai berikut: Umur penderita antara 17 – 35 tahun, semuanya laki – laki. Lama malunion antara 2,5 – 18 bulan. Deformitas yang dijumpai berupa pemendekan, angulasi dan rotasi. Pemendekan antara 1,5 – 6 cm karena tumpang tindih fragmen fraktur. Dijumpai keterbatasan lingkup gerak sendi antara 5 – 30 derajat. Dua puluh (20) penderita sebelumnya mendapat pengobatan dari tenaga non medis (dukun patah) dan 8 penderita oleh tenaga medis. Dari 28 penderita semuanya dilakukan operasi, 16 kasus dalam satu tahap operasi refrakturasi dan pemasangan fiksasi interna, 12 kasus dalam 2 tahap operasi. Fiksasi interna yang digunakan adalah inter medulary nail pada 10 kasus dan plate and screws pada 18 kasus. Setelah operasi, tungkai disanggah menggunakan Thomas splint selama 5 – 7 hari. Penderita diperbolehkan berjalan non weight bearing mulai hari ke 7 – 10, untuk 4 – 6 minggu, kemudian partial weight bearing 6 minggu berikutnya. Full weight bearing di perbolehkan setelah 12 minggu. Operasi pengangkatan fiksasi interna dilakukan paling cepat setelah 12 bulan bila konsolidasi telah sempurna dan bila diperlukan dapat ditunggu sampai 2 tahun 3,4,5

Pada pengamatan ini dicatat dalam bentuk tabulasi: 1. Distribusi deformitas dari 28 kasus

malunion fraktur batang femur

2. Klasifikasi hasil rekonstruksi satu tahap dan dua tahap dari 28 kasus malunion fraktur batang femur

3. Distribusi lingkup gerak sendi lutut sebelum dan sesudah dilakukan rekonstruksi satu tahap dan dua tahap dari 28 kasus malunion fraktur batang femur.

HASIL PENGAMATAN TERBUKA

Penilaian terhadap hasil rekonstruksi dilakukan setelah 12 bulan. Hasil penilaian di klasifikasikan sebagai excellent, fair, dan poor berdasar kriteria Magerl dkk (1979). 1. Excelent berarti keadaan anatomis dan

fungsi kembali sempurna tanpa ada rasa sakit.

2. Good berarti kadang – kadang timbul rasa sakit, tenaga normal, gerakan sendi panggul dan lutut terbatas kurang dari 10 derajat, valgus atau varus kurang dari 5 derajat.

3. Fair berati kadang – kadang timbul rasa sakit tetapi tidak menghalangi pekerjaan sehari – hari dan tidak memerlukan pengobatan, penampilan tidak sempurna, gerakan sendi penggul dan sendi lutut terbatas kurang dari 20 derajat, pemendekan femur kurang dari 1,5 cm, terdapat valgus atau varus kurang dari 10 derajat.

4. Poor berarti keadaan diluar dari batas yang didapati pada tingkat fair 2

Dalam pengamatan ini tidak didapati hasil excellent. Hasil good ditemukan 12 kasus, fair 10 kasus dan poor pada 6 kasus. Tabel 1. Distribusi deformitas dari 28 kasus malunion fraktur batang femur

Deformitas Jumlah kasus Angulasi 4 Angulasi dan rotasi 12 Pemendekan 3 Pemendekan dan angulasi/rotasi

9

Tabel 2. Klasifikasi hasil rekonstruksi satu tahap dan dua tahap dari 28 kasus malunion fraktur batang femur

Hasil Satu Tahap Dua Tahap Excellent 0 0 Good 7 5 Fair 6 4 Poor 3 3

Page 36: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 110

Tabel 3. Distribusi lingkup gerak sendi lutut sebelum dan sesudah dilakukan rekonstruksi satu tahap dan dua tahap dari 28 kasus malunion fraktur batang femur

Sebelum Rekonstruksi

Sesudah Rekonstruksi Derajat Lingkup

Gerak Sendi Lutut Tahap

I Tahap

II Tahap

I Tahap

II 0 - 10 10 6 13 6

10 - 20 6 3 3 5 20 - 30 - 3 - 1

DISKUSI Malunion terjadi karena reduksi yang tidak akurat atau imobilisasi yang tidak efektif selama penyembuhan. Penanganan tidak adekuat pada penelitian ini dilakukan terbanyak oleh tenaga medis (30%). 16 kasus yang terdiri dari 4 kasus dengan deformitas angulasi dan 12 kasus dengan angulasi dan rotasi (tabel I) dilakukan rekonstuksi dalam satu tahap operasi, 12 kasus dengan deformitas pemendekan dilakukan dalam 2 tahap. Dari kelompok satu tahap (tabel II) didapati hasil good 7 (44%), fait 6 (37%), poor 3 (19%) dan tidak satupun didapatkan hasil yang excellent. Sebelum dilakukan rekonstruksi didapati keterbatasan lingkup, gerak sendi lutut dan sesudah dilakukan rekonstruksi sebagian dari kasus derajat keterbatasan lingkup gerak sendi lutut berkurang (tabel III). Perbaikan derajat lingkup gerak sendi lutut hanya terjadi pada kasus-kasus yang belum lama mengalami malunion. O’ Beirne dkk 2, memperoleh dari 11 kasus yang dilakukan rekonstruksi 2 tahap didapatkan 5 kasus (44%) keterbatasan lingkup gerak sendi lutut kurang dari 10 derajat dan 6 kasus (56%) lebih dari 10 derajat 3. Dari penelitian ini 12 kasus yang dilakukan rekonstruksi 2 tahap didapatkan 6 kasus (50%) keterbatasan lingkup gerak sendi lutut kurang dari 10 derajat dan 6 kasus (50%) lebih dari 10 derajat 2. KESIMPULAN Pada pengamatan ini kebanyakan penderita telah ditangani terlebih dahulu oleh tenaga non medis (dukun patah tulang).

Setelah rekonstruksi, derajat lingkup gerak sendi lutut tampaknya tidak memberikan perbaikan yang berarti. Tidak dijumpai satupun hasil excellent pada pengamatan ini. Hal-hal di atas menunjukkan adanya variabel-variabel yang berperan dalam hasil rekonstruksi seperti: penanganan pertama oleh dukun patah, lamanya malunion, jarak pemendekan yang terjadi pada femur, besarnya derajat angulasi dan rotasi. SARAN Diharap dapat dilakukan penelitian multicenter study di Indonesia sehinga dapat dilakukan upaya pencegahan terjadinya malunion fraktur batang femur dan menurunkan biaya pengobatan dan perawatan pada penderita-penderita fraktur femur pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Graham AA: Injury of the pelvis. In:

Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. editors. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 8th ed. New York: Oxford University Press Inc.; 2001. p. 668.

2. O’ Beirne J. et al: Fracture of the femur trated by femoral plating using the anterolateral approach. Injury 1986; 17: p. 387-90.

3. Mc Rae R: Practical Fracture Treatment 4th ed. London: Churchill Livingstone; 2002. p. 323.

4. Russel TA: Malunited fractures. In: Crenshaw AH. Ed. Campbell Operative Orthopaedics. 7th ed. St. Louis: The C.V. Mosby Company; 1987. p. 2029-37.

5. Sisk TD: Fractures of Lower Extremity. In: Crenshaw AH. Ed. Campbell Operative Orthopaedics. 7th ed. St. Louis: The C.V. Mosby Company; 1987. p. 1680-71.

Page 37: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 111

Strengthening of Public Health Surveillance System and Control of Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) among Surveillance Workers

in Community Health Centre in Medan

Dewi Masyithah Darlan Department of Parasitology

Medical School University of Sumatera Utara

(1). DHF is a significant public health problem in Indonesia because the number of case is increasing(2). There were 58 cases reported with 24 deaths in 1968 while the average number of cases in the last 5 years (1999-2003) is 31,027 cases with 445 deaths in average annually. At the same period, for every 100,000 inhabitant 18 people got DHF and out of every 100 patients 1-2 person would die(3). For six years 1998-2003, North Sumatra Province showed an Incidence Rate (IR) of 1- 7.66 per 100,000 people, and 3 times the Case Fatality Rate (CFR) over the recommended WHO indicator (CFR < 1%) (1). In 1998, the North Sumatra CFR was 1.69%, in 2002, 3.68%, and in 2003 2.52%(3). Medan has the highest prevalence of DHF cases in North Sumatra Province (2). Medan is the capital of North Sumatra province. It has population of 1,993,802 with 459,132 households and the population density of 7,520/km2. There are 21 sub-district areas and 152 villages (Neighbourhoods/ ‘Kelurahan’). The 11 sub-districts with the

highest reported DHF prevalence in Medan are presented in table 2 (4). There are five types of dengue surveillance: virological, epidemiological, clinical, serologicical and entomological surveillance (1). Epidemiological surveillance is the most important program for preventive and control of the disease. This process monitors disease transmission regularly and systematically and the factors that can increase the risk of infection by doing data collection, analysis, interpretation, and improving government DHF action plan(5). Community Health Centre workers constitute an important epidemiological surveillance workforce. However, there is only one surveillance worker in each community health centre to do all surveillance tasks, including collecting and analysing communicable and non-communicable disease data, reporting, providing feedback and recommendation. In addition, surveillance workers provide weekly reports (W2) and daily reports (W1) of DHF cases in outbreak situations. All the tasks are conducted for monitoring Case Fatality Rate (CFR), Incidence Rate (IR), early detection of outbreaks, and implementation of control measures (5). To achieve the ‘Healthy Indonesia Vision’, the MOH requires a structured

Page 38: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 112

National Health Information System, which uses Epidemiological surveillance for providing data and information about diseases and health problems based on Indonesia Government Decree No. 25, 2000 (One of Government authorities in Health Policy is Epidemiological Surveillance). If the DHF surveillance system was poor, it would cause public health impact such as lack of public health planning and improperly implemented emergency response plans (6). Creating this authority had the purpose to strengthen the DHF surveillance systems in order to detect the early stages of epidemic transmission, and provide effective and efficient decision programs that are suitable to the available problems(5). The purpose of this research is to explore the extent of professional background/ training of DHF surveillance workers in Community Health Centres, to explore workers’ views on program resources & equipment and DHF surveillance tasks, barriers to effective surveillance activities in order to develop recommendations for improving the quality of surveillance and control program in North Sumatra Provincial Health Office in order to decrease the incidence rate and Case Fatality Rate of DHF. The research was conducted in Medan; capital of North Sumatra Province, Indonesia from December 2004 to February 2005. METHODS Recruitment of Sample The research started with several consultations with two officers in Medan Health Office in order to select the respondents. There were 11 surveillance workers in Community Health Centers, which were selected from the sub-district with the highest DHF cases in Medan. In addition, four heads of community health centers and one head of Animal transmission Disease Elimination Program were selected in order to get a management perspective and triangulate their responses with workers’ responses. The CHC managers were from the 2 sub-districts with the highest DHF prevalence and the 2 sub-district with the lowest DHF prevalence (of the 11 sub-districts with the highest DHF prevalence).

Semi structured in-depth interviews were conducted in community health centers in sub-district areas to collect the data. The interview protocols were selected for increased reliability and validity of the interviews. A facilitator from Medan Health Office and co- investigator from Southern Cross University in Lismore, NSW, Australia reviewed the questions.. The length of each interview was 30-45 minutes. The interviews were conducted in the respondents’ workplaces. Audio-taping and taking notes were used during interview. A pilot interview was conducted and based on the response, the protocol was revised slightly to improve the flow and clarity of the questions. There were twenty-three open-ended questions under the following headings: program resources (5), overview of workers’ tasks (1), Epidemiological Investigation (2), Fieldwork tasks (8), Health Education (2), Data Recording/ reporting (2), and interview closing questions (3). These were designed to explore the knowledge, attitudes and opinion of the surveillance workers about the Dengue surveillance program. The interviews were conducted in Bahasa. The participants also completed a background questionnaire that addressed the length of their employment and their dengue surveillance program experience. The Principal Investigator (DD) also conducted three field observations of the surveillance workers performing work tasks. These workers were selected randomly from among the 11 community health centers. The observation was done when the surveillance worker did the fieldwork such as mosquito breeding place elimination and periodic larvae examination. The author went to the village together with the surveillance worker and observed what the worker did. In-depth interview data were transcribed from audiotape and were grouped onto a worksheet by question topics in a table.. After reading the transcript, coding categories were developed from every question (7, 8). Ministry of Health guidelines were used to compare the surveillance workers responses for questions 3 & 4 (how they described their surveillance tasks and how they performed their fieldworks task respectively) to their officially designated duties(5).

Page 39: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Dewi Masyithah Darlan Strengthening of Public Health...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 113

Three MPH students with experience and knowledge about DHF surveillance were asked to independently categorize the answers into three levels; poor, medium and good answer. For the responses regarding description of surveillance tasks, their agreed levels are: Poor answer : < 3 actions Medium answer : 3 actions Good answer : > 3 actions For the answers to questions about fieldwork tasks, for each of the tasks; Epidemiological Investigation, Breeding Place Elimination, Abatement usage, and Periodic Monitoring Larvae; answers were rated as follows: Poor answer : < 2 answer Medium answer : 2 actions Good answer : > 2 actions Field observations were transcribed to field-note paper. After that the results were compared with in-depth interview results (7, 8). RESULTS Surveillance DHF Workers Views on Program Resources Respondents, who said the current number of staff in community health centers (CHC) was not sufficient, thought that staffing levels for surveillance of DHF should be based on geographical coverage. Other respondents said staffing levels should be based on task coverage such as epidemiology investigation and fogging. Respondents, who said the current number of staff in CHC was sufficient explained that they received assistance from other CHC staff and that DHF cases were infrequent. Most respondents did not know that there was a special budget for the DHF program and thought the budget came from the CHC effort. About a third of the respondents knew that there was not any special budget for DHF programs from the local government, but they received funds if there was a special occasion such as an outbreak. All respondents mentioned appointment from their manager as a reason to be a DHF surveillance worker. Some respondents were chosen for the job because their previous jobs were related to DHF surveillance such as Environmental Health (see table 3). Others

were appointed based on previous experience working with the community or because a vacancy needed to be filled although they did not have any experience in DHF surveillance. There were two main themes regarding barriers for DHF surveillance work: resources and community attitude. In the resources theme, the workers stated two sub-themes: having difficulty in transportation to work sites and lack of time to perform surveillance activities. They identified the following community attitudes as the main barriers: suspicion, non-responsiveness, anger, neglect, and disinterest. Suspicious community attitudes made it difficult for the workers to access houses for inspection. Some community members were angry with surveillance workers because of misunderstanding of the reason the worker was checking their houses; they felt the workers did not believe their house was clean enough. The reason for some community members’ anger was due to their need to’ save their face’. Surveillance Workers Views on Community Health Centre Facilities: None of the Community health centers had all of the facilities necessary for successful performance of surveillance activities (computer, telephone, fax machine and official vehicle). Almost all of the respondents used their personal facilities such as their private phones, and vehicles. Surveillance Workers Views on Their Tasks: Two third of the respondents gave good answers and none of them gave a poor answer, when they were asked to define the tasks in their job. They explained two main themes: environmental fieldwork and epidemiological and administrative data collection. They mentioned two sub-themes in environmental fieldwork: mosquito breeding place prevention (such as mosquito breeding place elimination, larvae survey and abatement usage) and mosquito elimination (fogging). Regarding data collection, they identified two sub-themes: epidemiological investigation and recording/ reporting.

Page 40: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 114

Surveillance Workers’ Views on Epidemiological Investigation (EI)*: Most of the respondents gave good answers and only one gave a poor answer, regarding activities necessary for effective EI. They mentioned three activities they need to do within 24 hours: case confirmation, population description and inspection of surrounding area (± 20 houses- sign of Aedes larvae and positive symptoms). Another activity is monitoring high fever cases from the community when these are reported. Respondents reported a number of barriers to conducting EI. The responses were grouped into two main themes: community attitudes and resources. Community attitudes that acted as barriers, were non-responsiveness, neglect and suspicion. A suspicious community attitude led to difficulty in access if the officer visited a community without the leader of the village or the owner of the house was not at home. Some problems due to lack of resources were identified. These included lack of adequate staff numbers, lack of skill/expertise and lack of funding. Mosquito Breeding Place Elimination (MBPE)*: Mosquito breeding place elimination: encourage the community to eliminate mosquito-breeding sites by “3M” (draining out, burying, and covering) goods or places with high potential for mosquito propagation Most of the respondents gave poor answers and none of them gave a good answer regarding the mosquito breeding place elimination task. They mentioned three activities: Friday movement, where the whole community works together to eliminate breeding places on Friday (during an outbreak they do this twice weekly), collaboration with stakeholders, and working simultaneously with the Health Integrated Services Post (one activity when providing other public health services to children < 5 years and pregnant women in the village/neighborhood). The respondents described some barriers that they faced in mosquitoes breeding place elimination. The barriers were grouped into three major themes: neglectful community attitude, community actions (inconsistent and

inappropriate), and lack of support from stakeholder collaboration. Abatement Usage*: The majority of the respondents gave poor answers and a small number of the respondents gave good answers, when they were asked about their Abatement usage activities. They pointed out three themes: time (once in three months), indication (if larvae were present in water containers) and specific location (public water containers and private big water containers in endemic area). Community attitudes were the only barriers to Abatement usage. The attitudes were neglect, disinterest, and low quality of abatement. As one of the respondent noted: “In the community’s opinion, private abatement is better than free (public) abatement, especially for in elite(richer) communities.” Periodic Larvae Monitoring: Most of the respondents gave poor answers and only one respondent gave a medium answer regarding the activities in larvae examination. They mentioned three factors: frequency (once in three months or twice a week if out break), larvae examination when doing mosquito breeding place elimination activity and house visit inspection to check water containers. Respondents reported a number of barriers to larvae examination activities. The responses were grouped in three major themes: community attitude, inconsistent community actions and resources. They identified lack of funding and lack of staff in resources issue. Regarding community attitudes, the barriers were similar to barriers when conducting epidemiological investigation (EI). Fogging: When asked about reason for fogging, they cited as some reasons: prevention of DHF, elimination of adult mosquitoes, community requests, and a positive DHF identification made during EI. There were three main themes regarding barriers for fogging activity: rainy season, community attitude, and resources. The workers explained that some community

Page 41: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Dewi Masyithah Darlan Strengthening of Public Health...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 115

members were suspicious of them and worried about chemical side effects. In resources, they stated two sub-themes: lack of staff, and equipment which included lack of material (chemical), quality and maintenance of fogging machine. Respondents’ Views on Health Education: The respondents identified two main themes regarding the way health education was given to communities: institutional setting and community setting. There were three sub-themes in institutional setting: Official places, Community health centre clinics, and schools. In community setting, they stated three sub-themes: together with other field tasks, together with health integrated services post and door to door together with epidemiological investigation. The only barrier reported there was from community members’ attitudes such as neglect and lack of audience because of disinterest. Interview Closing Surveillance Workers Opinion about DHF Outbreak in Medan The respondents explained three main themes regarding reasons for the recent outbreaks in Medan: community, unpredictable weather (when the rainy season starts), and a dirty environment. In community theme, they identified four sub-themes: unprecedented human population growth, unplanned and uncontrolled urbanization, imported cases and community attitude (neglect and disinterest). One of the respondents stated, “In my opinion, if the population is increasing, the mosquitoes’ biting will increase.” Surveillance Workers Opinion about The Effective Action for Decreasing DHF Cases: There were three main themes when asked about the effective action for decreasing DHF cases: environment, community education and government regulation. In environment theme, they identified three sub-themes: clean environment, mosquito breeding place elimination and mass fogging before the rainy season. One respondent mentioned, “I think the best way to eliminate the adult mosquitoes is mass fogging before the rainy season. Don’t do it after having cases.”

Surveillance Workers Suggestions to Improve the Activities of DHF surveillance Program: The respondents’ suggestions can be grouped into four main themes: government attention, resources, collaboration with stakeholders, and community health education. There were two sub-themes in the resources theme: providing official facilities (such as vehicle, telephone, and computer), and staff capacity building. One respondent stated, “I hope government can give more attention to the Dengue program and the competency of the doctors and health providers. Dengue experst should learn why dengue cases are still high even though all the activities have been done”. Field Observation Out of three planned field observations were undertaken, only one CHC worker did the fieldwork on the designated day. The other two CHC workers did not do fieldwork as planned. When the principal investigator (DD) followed this worker in the field, the worker carried out the tasks she reported in the interview. The other two workers explained their lack of activity as due to 1.It was still New Year and most CHC workers still have vacation and 2.that he did not need go to the field because the number of cases had declined. DISCUSSION The aim of DHF surveillance is the early detection of outbreaks that permits the prompt implementation of control measures (1). This requires Epidemiological Investigation, Fieldwork tasks (Mosquitoes Breeding Place Elimination, Periodic Larvae Monitoring, Abatement Usage, Fogging), Health Education, and data record/ reporting(4). However, the results of this study showed that there were lacks of relevant training, lack of budget and lack of community awareness in the DHF surveillance program. Firstly, not all DHF surveillance workers had an appropriate background or training for this job before they were chosen for this job. Most had a general medical background only. However, the findings showed that workers in service for more than 5 years have been trained in DHF surveillance. Although, the

Page 42: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 116

other workers followed the MOH guidelines, they interpreted the guidelines by themselves without any additional support. This is worrying in terms of workers’ skill and performance. The results suggested that most of the respondents had knowledge about their tasks but they did not work optimally compared with the guidelines. This suggests that CHC’s surveillance system is inadequate and explains epidemics often reach or passed peak transmission before being detected (9). Both surveillance workers (respondents) and their managers agreed that staffing levels are inadequate. Most of them said that the number of surveillance workers was not sufficient to perform tasks and the facilities in the CHC did not support their tasks. This is a concern in terms of effectiveness and quality. The results also suggested that the staffing levels should be based on geography and task coverage and if the staffing level is appropriate, the work performance would be better. However, this is worrying in terms of budget allocation, as the local Government does not have extra budget for this. DHF is not the only disease to which the local government needs to pay attention. The findings showed that there was no clear statement about budget in CHC. There is no special budget for the DHF surveillance programs. It seems the local government only provides a special budget if there is an outbreak. If an outbreak occurs, it will have social and economic impacts. Social impacts can lead to family member death and decrease the life expectancy age(6). Economic impact includes cost for DHF patients (direct) and lost efficiency job time, school time (indirect) (4). This is worrying in terms of cost and efficiency. Prevention and Control Programs can be accomplished with lower budgets than curative programs. It would be better if the Government allocated bigger budgets for Prevention and Control program. The findings show that the respondents tend to do perform only when cases occur, such as Epidemiological Investigation. This task can anticipate disease transmission, but only after the case rate has already climbed. This is worrying in terms of cost effectiveness. Prevention only works well before case counts rise(9). Most of the respondents gave poor responses in case prevention such as Mosquito

Breeding Place Elimination, Periodic Larvae Monitoring and Abatement Usage. It would be better if the Government conducts DHF case prevention training. Both workers and managers reported that community attitudes were the common barriers that the workers faced in their jobs in DHF surveillance and prevention program. It is worrying because the best way to prevent DHF is Community Participation to control mosquito larval breeding sites(6). The objective of Community Participation in DHF Prevention and Control is to get the community working together with health and other related government stakeholders in DHF Prevention and Control activities. The community expects the government to assume the bulk of responsibility. Other studies reported that some community members held the misconception that the mosquito responsible for spreading dengue breeds in the drains and this constitutes a sanitation problem, which is a government responsibility (10). It would be better if workers could increase the level of community awareness of how to protect themselves from infection through effective Health Education(11). The Government needs to develop legislation that authorizes health workers to take necessary action within the community for the control of epidemics (1). This should cover all aspects of environmental sanitation in order to contribute to the prevention of all transmissible disease effectively. One example is Mosquito Breeding Place Elimination(12). Health Education is another major strategy used in Control of DHF. It serves to create community awareness about the disease, educate people about the facts of the disease and its prevention, and promote public action in prevention and control of the disease (13). The findings showed that the respondents have already given education to the community, but there was lack of audience and uptake. Health Education should be carried out regularly and routinely in DHF endemic areas through a variety of education activities. This should be done in a way that is interesting and relevant in order to encourage the community to pay attention to the messages (14). As well as DHF Health Education content, surveillance workers

Page 43: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Dewi Masyithah Darlan Strengthening of Public Health...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 117

should explain surveillance tasks such as the house inspection, in order to avoid difficulty in the community when workers perform surveillance tasks. In field observation, a discrepancy was found between reported and actual work performance. It seems that some respondents wanted to give a better impression than their real work performance during the interview. This is a concern in terms of how authentic their interview data were. However, some respondents did perform in line with most of what they reported. The opportunity for field observation was limited in this study due to time constraints. Therefore, high-level stakeholders who have authority should provide checks and balance on workers’ performance in action, not only in writing report. Workers tended to work more intensively when an outbreak was in progress. This was evident in the Medan Health Office’s data. The CHCs with the highest prevalence cases were the CHCs which did not carry out prevention and control program intensively. Limitations: Several limitations of this study should be considered when interpreting the findings. The structure of the interviews, which allowed for probing and clarification of responses, was designed to minimize misinterpretation. However, as with all qualitative studies, there is still the possibility of misunderstanding or biased interpretation of informants’ responses. These samples were purposive (i.e. only workers from the highest DHF prevalence areas were interviewed) and only three field observations were conducted. Interviews were conducted in the workplace and included questions on work performance. This could have resulted in the interviewees trying to make a good impression so they were not reported. The interviews were conducted and analysed in Bahasa, and it is possible that the meaning might be changed during the translation to English for this report. Conclusion Community Health Centers (CHCs) play the most important role in the Indonesian DHF surveillance and control program because the CHC is the sole place for

community access to primary health service. The CHC provides the whole gamut of preventive, curative, rehabilitative, and health promotion services to their community. DHF Surveillance and control is just one preventive program in this very large list of challenges. In the absence of a safe, effective and economic vaccine against DHF, vector (mosquito) control is the only method available to prevent and control this disease. Source reduction (elimination of the mosquito larvae habitats) through community participation is the most promising method for a sustainable, long-term control program and is the fundamental control strategy for DHF. Surveillance and control program can prevent outbreaks if the program performance is optimal. However, the program cannot be performed optimally if important factors are notr in place to support it. The important factors are staffing levels, relevant training, and infrastructure resources. In Medan it is necessary to strengthen surveillance and control programs by several ways: 1. Strengthen capacity of the workers by

providing formal training in surveillance, case management and prevention.

2. Provide tighter performance management of surveillance.

3. Allocate more financial support to DHF prevention and control program.

4. Provide necessary resources such as computer, telephone, fax-machine and vehicles to support their tasks.

5. Develop national plans of action with realistic and clear objectives and targets to reduce DHF morbidity and mortality.

6. Develop legislative support for DHF control program.

7. Conduct regular, effective health education/health promotion through the different channels of personal communication, group educational activities and mass media.

8. Improve the content of health education by including the explanation about the surveillance tasks to avoid the barrier in the fieldwork tasks.

9. Convince communities, through health promotion and education activities, of the

Page 44: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 118

short and long term benefits of the DHF surveillance and control program to ensure their cooperation and participation.

REFERENCE 1. WHO. Comprehensive guidelines for

prevention and control Dengue/DHF. 2nd ed. Geneva; 1997.

2. Sulani F. Analysis Dengue Haemorrhagic Fever Disease in North Sumatra Province. In: DHF Course; 2004; Medical Faculty, USU; 2004.

3. Health of Ministry Office, "Implementation guideline: DHF Elimination breeding sites by Larval Inspector": Directorate General, Communicable Disease Elimination & Healthy Environment; 2004.

4. Susyanto. Dengue Haemorrhagic Outbreak Evaluation in Medan. Medan: Medan Health Office; 2005.

5. Health of Ministry Office, "Guidelines for improving community participation in breeding place elimination in city", Directorate General Communicable Disease Elimination & Healthy Environment; 2004.

6. Gubler D. Epidemic dengue/dengue haemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century. Trends in Microbiology 2002;10(2):100-104.

7. Silverman D. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text and Interaction. 1 ed. London: Sage Publications; 1993.

8. Patton MQ. Qualitative Research and Evaluations Methods. 3 ed: Sage Publications, United Kingdom; 2002.

9. Gubler D, Clark G. Dengue Haemorrhagic Fever: The Emergence of a Global Health Problem. In. Perto Rico, USA: Centers for Disease Control and Prevention; 1995.

10. Lian WM. Promoting Behaviour Change in Dengue Prevention and Control. In: Kin F, editor. Behaviour Interventions in Dengue Control in Malaysia. Kuala Lumpur; 2000.

11. Raju AK. Community Mobilization in Aedes aegypti Control Program by Source Reduction in Peri-Urban District of Lautoka, Vity Levu, Fiji Islands. Dengue Bulletin 2003;27:149-155.

12. Hock TB. Common Infections in Singapore. In. Singapore; 2005.

13. Rigau-Perez J, Clark G, Gubler D, Reiter P, Sanders E, Vorndam A. Dengue and Dengue haemorrhagic fever. Lancet 1998;352:971-977.

14. Ewe E. Health Education in Dengue Control. In: Kin F, editor. Promoting Behaviour Change in Dengue Prevention and Control. Kuala Lumpur; 2000.

Page 45: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Sempakata Kaban dkk. Pengembangan Model Pengendalian Kejadian...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 119

Tipe 2 di Kota Sibolga Tahun 2005

Sempakata Kaban*, Sori Muda Sarumpaet**, Irnawati**, dan Arlinda Sari Wahyuni***

* Staf Dinas Kesehatan Tapanuli Tengah ** Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

*** Dosen Fakultas Kedokteran USU

Page 46: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 120

Page 47: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 121

Karakteristik Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan Dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Karakteristik Kasus dengan Riwayat

Keluarga Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Kasus yang memiliki riwayat keluarga

menderita diabetes melitus tipe 2 sebanyak 42 orang, tidak mempunyai riwayat sebanyak 58 orang. Garis keturunan ibu kandung yang paling besar yaitu sebanyak 17 orang (40,5%) dari 42 kasus yang mempunyai riwayat

Page 48: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 122

keluarga. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. 3. Pengaruh Riwayat Keluarga terhadap

Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Proporsi kasus dengan ada riwayat

keluarga menderita diabetes melitus tipe 2 (kasus) sebanyak 42 orang (42%) dan pada kontrol sangat sedikit yaitu 6 orang (6%) sedangkan yang tidak mempunyai riwayat keluarga pada kasus sebanyak 58 orang (58%) dan sebagian besar pada kontrol yaitu 94 orang (94%). Hasil uji menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus yang memiliki riwayat keluarga dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai Odds Ratio (OR)=11,3 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan mempunyai riwayat keluarga 11,3 kali lebih besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus tipe2. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel 3.

4. Pengaruh Obesitas terhadap kejadian

Diabetes Melitus Tipe 2 Proporsi kasus dengan obesitas adalah

sebanyak 66 orang (66%) dan pada kontrol

sebanyak 30 orang (30%) sedangkan yang tidak obesitas pada kasus sebanyak 34 orang (34%) dan sebagian besar pada kontrol yaitu 70 orang (70%). Hasil uji menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan obesitas dibanding dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai OR = 4,6 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan menderita obesitas 4,6 kali lebih besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel 4. 5. Pengaruh Hipertensi terhadap Kejadian

Diabetes Melitus Tipe 2 Proporsi kasus dengan hipertensi sebesar 40% sedangkan pada kontrol sebesar 28%. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa nilai p = 0,073 (p>0,05) artinya bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan menderita hipertensi dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 1. Karakteristik jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan, dan pekerjaan pada kasus dan kontrol di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol X2 Jenis Kelamin n Persen (%) n Persen (%) (p – value) Laki-laki 52 52 52 52 Perempuan 48 48 48 48 Jumlah 100 100 100 100

0,000 1,000

Umur 40 – 59 Tahun 70 70 70 70 60 – 70 Tahun 27 27 27 27 > 70 Tahun 3 3 3 3 Jumlah 100 100 100 100

0.000 1,000

Pendidikan Tidak Sekolah 1 1 3 3 SD 5 5 20 20 SLTP 21 21 35 35 SLTA 51 51 36 36 Akademi/PT 22 22 6 6 Jumlah 100 100 100 100

25,229 0,000

Pekerjaan PNS/TNI/Polri 43 43 21 21 IRT 30 30 18 18 Pensiunan 13 13 9 9 Wiraswasta 11 11 39 39 Buruh/Tani/Nelayan 3 3 13 13 Jumlah 100 100 100 100

33,221 0,000

Page 49: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Sempakata Kaban dkk. Pengembangan Model Pengendalian Kejadian...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 123

Tabel 2. Distribusi kasus berdasarkan hubungan riwayat keluarga di Kota Sibolga tahun 2005

Hubungan Riwayat Keluarga n Persen (%) Ibu Kandung 17 40,5 Ayah Kandung 10 23,8 Saudara Kandung 13 31 Saudara Ibu Kandung 2 4,8 Jumlah 42 100

Tabel 3. Distribusi proporsi berdasarkan riwayat keluarga dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol Riwayat Keluarga N Persen

(%) N Persen (%)

X2 (p-value)

OR (CI 95%)

Ada Riwayat 42 42 6 6

Tidak ada Riwayat 58 58 94 94

Jumlah 100 100 100 100

35,526 (0,000*)

11,3 (4,450-28,350)

*) Bermakna secara statistik

Tabel 4. Distribusi proporsi berdasarkan obesitas dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol Obesitas

N Persen (%) N Persen

(%)

X2 (p - value)

OR (CI 95%)

1. Obesitas 66 66 30 30

2. Tidak Obesitas 34 34 70 70

Jumlah 100 100 100 100

25,962 (0,000*)

4,6 (2,498 – 8,213

*) Bermakna secara statistik Tabel 5. Distribusi proporsi berdasarkan hipertensi dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol Hipertensi

N Persen (%) n Persen

(%)

x2 (p – value)

OR (CI 95%)

Hipertensi 40 40 28 28

Tidak Hipertensi 60 60 72 72

Jumlah 100 100 100 100

3,209 0,073

1,7 (0,948 -3,099)

6. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap

Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Proporsi kasus dengan aktivitas fisik tidak

baik sebesar 46% dan pada kontrol sebesar 14%. Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p = 0,000 (p<0,05) artinya bahwa ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan aktifitas fisik tidak baik dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai OR = 5,2 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan aktifitas fisiknya tidak baik 5,2 kali lebih besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel 6.

7. Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Proporsi kasus dengan pola makan tidak

baik sebanyak 35 orang (35%) dan pada kontrol sebanyak 22 orang (22%) sedangkan kasus dengan pola makan baik sebanyak 65 orang (65%) dan pada kontrol 78 orang (78%). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa nilai p = 0,042 (p<0,05) artinya bahwa ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kasus dengan pola makan tidak baik dengan kontrol terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Nilai OR = 1,9 artinya penderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan memiliki pola makan yang tidak baik 1,9 kali lebih

Page 50: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 124

besar daripada yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel 7. 8. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik ganda (Multiple logistic regresion) untuk mencari faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 pada usia 40 tahun keatas di kota Sibolga.Variabel penelitian ini ada 5 (lima) yaitu riwayat keluarga, obesitas, hipertensi, aktifitas fisik dan pola makan. Hasil bivariat antara variabel independen dengan dependen ternyata ada 4 (empat) variabel yang memiliki nilai p<0,25 yaitu variabel riwayat keluarga, obesitas, aktifitas fisik dan pola makan. Tahap selanjutnya keempat variabel tersebut dimasukkan sebagai kandidat untuk dilakukan sebagai analisis multivariat.. Dalam pemodelan ini semua variabel dicobakan secara bersama-sama, kemudian variabel yang memiliki nilai p-value>0,05 akan dikeluarkan secara berurutan dimulai dari nilai p-value terbesar (backward selection) seperti terlihat pada Tabel 8.

Setelah dikeluarkan variabel dengan nilai p<0,05 secara bertahap maka didapat 3 (tiga) variabel yang akan masuk sebagai kandidat model yaitu riwayat keluarga, obesitas dan aktifitas fisik, hasilnya terdapat pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 diperoleh model regresi dalam bentuk persamaan: Y = -7,326 + 2,274(riwayat keluarga) + 1,008

(aktifitas fisik) + 0,975 (obesitas) Secara keseluruhan model ini dapat

memprediksikan tinggi atau rendahnya pengaruh faktor risiko dalam hubungan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 sebesar 75,5% (overal percentage 75,5%). Pada variabel riwayat keluarga dengan OR = 9,7 artinya orang yang menderita diabetes melitus tipe 2 memiliki riwayat keluarga menderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 9,7 kali dari pada yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Demikian juga variabel obesitas dengan OR=2,6 artinya orang yang menderita diabetes melitus tipe 2 dengan keadaan obesitas 2,6 kali lebih besar dari pada orang yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Variabel aktifitas fisik dengan nilai OR = 2,7 artinya bahwa orang yang menderita

diabetes melitus tipe 2 dengan aktifitas yang tidak baik 2,7 kali lebih besar dari pada orang yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2.Berdasarkan nilai OR maka dapat diperkirakan kekuatan pengaruh variabel riwayat keluarga, obesitas dan aktifitas fisik dalam hubungannya dengan kejadian dengan diabetes melitus tipe 2. Makin besar nilai OR makin kuat pula pengaruh variabel tersebut dengan kejadian diabetes melitus tipe 2. Variabel dengan nilai OR terbesar merupakan variabel paling dominan atau berisiko dalam hubungannya dengan kejadian diabetes melitus tipe 2.

Pada penelitian ini variabel yang paling dominan adalah riwayat keluarga. Melalui model ini dengan 3 (tiga) variabel independent predictor yang terdiri dari riwayat keluarga, obesitas dan aktifitas fisik dapat memperkirakan pengaruh faktor risiko dengan hubungannya dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 sebesar 75,5%. PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang mempengaruhi kejadian diabetes melitus tipe 2. 1. Riwayat Keluarga

Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada perbedaan proporsi riwayat kelaurga dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 (p = 0,0001) dan OR=11,3 artinya orang yang menderita diabetes melitus tipe 2 kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga menderita diabetes melitus tipe 2 Hal ini dapat dijelaskan bahwa banyak masyarakat kota Sibolga dari garis keturunan penderita diabetes melitus tipe 2 yang mungkin salah satu dari garis keturunan ibu atau bapak dan juga kemungkinan dari kedua-duanya yang tidak menimbulkan gejala secara klinis.

Teori genetik diabetes melitus tipe 2 telah banyak dianut dan dikenal. Bila teori genetika ini dianggap benar, maka terdapat tiga tipe penduduk yaitu normal tidak diabetes, pembawa sifat tanpa tanda klinik (carier) dan penderita diabetes atau calon penderita. Bila satu kakek-nenek menderita diabetes melitus tipe 2, sedang orang tuanya tidak menderita maka risiko anak menderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 14%. Bila salah satu orang tua menderita diabetes melitus tipe 2 sedang tidak

Page 51: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Sempakata Kaban dkk. Pengembangan Model Pengendalian Kejadian...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 125

ada keluarga dekat lain menderita maka risiko anak menderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 22%. Bila satu orang tua dan satu kakek-nenek atau keluarga dekat yang lain menderita diabetes melitus tipe 2 maka risiko anak menderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 60%.7

Timbulnya penyakit diabetes melitus tipe 2 sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Bila terjadi mutasi gen (thirifty gene alias gen kelaparan) menyebabkan kekacauan metabolisme yang berujung pada timbulnya diabetes melitus tipe 2. Gen yang diturunkan dari ibu dengan diabetes melitus tipe 2 ke anak lebih besar 10-30% dari ayah yang menderita diabetes,ini disebabkan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar. 8

Intervensi faktor riwayat keluarga dalam pengendalian terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2 berupa konseling perkawinan bagi remaja dan calon pengantin untuk tidak menikah sesama yang mempunyai faktor risiko riwayat keluarga. 2. Untuk memperlambat timbulnya penyakit diabetes melitus tipe 2 maka faktor risiko yang lain seperti obesitas, aktifitas fisik dan pola makan diminimalkan. 2. Obesitas

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa nilai (p = 0,000; OR = 4,5) variabel ini masuk kedalam analisis multivariat dengan hasil (p = 0,000; OR = 2,6) artinya ada pengaruh obesitas terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan karena konsumsi makanan mengandung kadar tinggi lemak dan kalori sementara aktifitas yang dilakukan kurang sehingga terjadi penimbunan energi dan asupan bahan makan di tubuh secara berlebihan.

Obesitas menyebabkan tubuh menjadi semakin kurang sensitif terhadap efek insulin. Akibatnya pankreas memproduksi insulen dalam jumlah yang lebih banyak. Kemampuan penkreas untuk memproduksi cukup insulin terbebani oleh tingkat resistensi insulinnya, tingginya kadar gula darah menandai timbulnya diabetes melitus tipe 2. 9

Program penurunan berat badan di kota Sibolga dapat dilakukan berupa diet rendah kalori seimbang dan tinggi serat untuk mengurangi akumulasi lemak dalam tubuh dan melakukan aktifitas fisik tambahan seperti

berolah raga maka penggunaan energi meningkat dan juga bermanfaat untuk mengendalikan gula darah, kolesterol dan trigliserida. Bersama-sama dengan diet dan aktifitas fisik makin bertambah defisit kalori dan juga pengeluaran energi bertambah. 3. Hipertensi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi hipertensi pada kasus sebesar 40% sedang pada kontrol 28%. Walaupun proporsi hipertensi pada kasus lebih tinggi dari pada kontrol namun hasil uji Chi-Square tidak ada pengaruh hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan karena hipertensi dipengaruhi oleh faktor umur yang pada penelitian ini di matching sehingga hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 hampir sama jumlahnya dengan yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2.Pengendalian hipertensi dalam menurunkan kejadian diabetes melitus tipe 2 di kota Sibolga perlu dilakukan walaupun hasil uji statistik tidak ada pengaruh yang bermakna. 4. Aktivitas Fisik

Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa nilai p = 0,000; OR = 6,2. Variabel ini masuk kedalam analisis multivariat dengan hasil p = 0,017; OR = 2,7 artinya ada pengaruh aktifitas fisik terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan karena penderita diabetes melitus yang terpilih kebanyakan bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang memiliki aktifitas kurang dan tidak berolah raga yang dilaksanakan sekali seminggu di tempat bekerja.

Di kota Sibolga kegiatan olah raga belum memasyarakat, walaupun melalui media elektronik sering di dengar anjuran untuk olah raga secara teratur. Dari pemerintah kota Sibolga belum ada hal yang spesifik terprogram secara rutin, yang ada hanya bagi PNS kegiatan olah raga bersama satu kali seminggu. Selain kegiatan olah raga yang rutin upaya lain yang dapat dilakukan berupa melakukan pekerjaan di dalam rumah.

5. Pola Makan

Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa ada pengaruh pola makan terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 dengan

Page 52: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 126

menggunakan uji Chi-Square (p = 0,042; OR = 1,9), namun pada hasil uji regresi logistik tidak ada pengaruh pola makan terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan karena sumber makanan di kota Sibolga tidak bervariasi, selain hal tersebut adanya kebiasaan makan bersama antar keluarga seperti arisan, pesta, sehingga pola makan penderita diabetes melitus tipe 2 tidak berbeda jauh dengan yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2.

Masukan makanan lebih banyak dari kebutuhan kalori sehari maka makanan ini akan ditimbun dalam bentuk glikogen dan lemak. Apabila sel beta tidak lagi mampu untuk memproduksi insulin sesuai dengan asupan makanan maka menyebabkan sel beta dekompensasi yang akhirnya menimbulkan diabetes melitus tipe 2. Pola makan merupakan determinan terjadinya obesitas, secara tidaklangsung akan menyebabkan diabetes melitus 2.

Intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mengubah pola makan dengan diet seimbang cukup kalori dan tinggi serat serta mensosialisasikannya kepada pengelola kantin karena penderita diabetes melitus tipe 2 kebanyakan PNS yang sarapan dan makan siang di kantin kerja.

6. Population Attributable Risk (PAR) Untuk mengukur potensi dampak atau

kontribusi dari faktor yang diteliti terhadap kejadian penyakit adalah ukuran Population Attributable Risk (PAR) atau Attributable fraction (Beaglehole, R). PAR dapat dihitung dengan mempergunakan data pada penelitian studi kasus kotrol yaitu dengan cara menghitung setiap prevalens rate kelompok terpapar (kelompok risiko) dan prevalens rate kelompok tidak terpapar (tidak berisiko). Rumus PAR adalah sebagai berikut:

%100XPePuPePAR −=

Pe = Prevalens rate pada kelompok terpapar Pu = Prevalens rate pada kelompok tidak

terpapar

Berdasarkan rumus diatas maka dapat dihitung PAR setiap faktor risiko yang diteliti. Perhitungan prevalens rate kelompok terpapar dan prevalens rate kelompok tidak terpapar dari hasil penelitian yang terdapat pada Tabel Distribusi faktor risiko (Tabel 10).

Hasil perhitungan PAR faktor risiko yang masuk menjadi kandidat model (prediktor) pengendalian kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 6. Distribusi proporsi berdasarkan aktifitas fisik dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol Aktifitas Fisik

n Persen (%) n Persen

(%)

X2 (p-value)

OR (CI 95%)

Tidak Baik 46 46 14 14

Baik 54 54 86 86

Jumlah 100 100 100 100

24,381 (0,000*)

5,2 (2,629-10,415)

*) Bermakna secara statistik Tabel 7. Distribusi proporsi berdasarkan pola makan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kasus Kontrol Pola Makan n Persen

(%) n Persen (%)

x2 (p-value)

OR (CI 95%)

Tidak Baik 35 35 22 22

Baik 65 65 78 78

Jumlah 100 100 100 100

4,147 (0,042*)

1,9 (1,020 - 3,573)

*) Bermakna secara statistik

Page 53: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Sempakata Kaban dkk. Pengembangan Model Pengendalian Kejadian...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 127

Tabel 8. Uji regresi logistik ganda untuk identifikasi variabel yang akan masuk dalam model dengan p<0,05

Variabel B P OR 95% CI Riwayat Keluarga 2,277 0,000 9,743 3,742-25,370 Obesitas 1,144 0,019 3,139 1,208-8,156 Aktifitas fisik 0,939 0,033 2,558 1,079-6,061 Pola makan* -0,260 0,059 0,771 0,298-1,996 Constant -7,024 0,000 0,001

*) Dikeluarkan secara bertahap (backward selection) Tabel 9 Hasil analisis regresi logistik ganda pemodelan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 pada usia 40 tahun ke atas di Kota Sibolga tahun 2005

Variabel B SE Wald df Sig. Exp (B) 95% CI Riwayat Keluarga 2,274 0,489 21,661 1 0,000 9,719 3,730-25,323 Obesitas 0,975 0,370 6,947 1 0,008 2,650 1,284-5,471 Aktifitas fisik 1,008 0,423 5,686 1 0,017 2,739 1,197-6,272 Constant -7,326 1,199 37,321 1 0,000 0,001

Overal percentage 75,5% Tabel 10. Population Attributabel Risik (PAR) Kandidat model (prediktor) pengendalian kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga tahun 2005

Kandidat Model Pe (%) Pu (%) PAR (%) Riwayat Keluarga 87,5 38,2 56,3 Obesitas 68,8 33,7 52,5 Aktifitas Fisik 76,7 38,6 49,7 Pola Makan 61,4 45,5 25,9

Tabel 10 menunjukkan PAR dari adanya riwayat keluarga yang paling besar, yaitu sebesar 56,3% dan diikuti obesitas sebesar 52,5% serta aktifitas fisik sebesar 49,7%.

PAR adanya riwayat keluaraga menderita diabetes melitus tipe 2 sebesar 56,3% artinya bahwa prevalens penyakit diabetes melitus tipe 2 yang terdapat pada populasi di Kota Sibolga diperkirakan disebabkan oleh adanya kontribusi dari riwayat keluarga sebesar 56,3%. Bila faktor riwayat keluarga dapat dihilangkan maka sebesar 56,3% dari prevalens penyakit diabetes melitus tipe 2 di kota Sibolga diturunkan. KESIMPULAN 1. Berdasarkan variabel yang diteliti

menunjukkan bahwa untuk riwayat keluarga, obesitas, aktifitas fisik dan pola makan ada perbedaan kemungkinan menderita diabetes melitus tipe 2.

2. Dari semua variabel yang di uji diketahui bahwa variabel riwayat keluarga yang paling dominan terhadap kejadian diabetes

melitus tipe 2 diikuti aktifitas fisik dan obesitas.

3. Berdasarkan hasil uji regresi logistik secara keseluruhan model ini dapat memprediksi tinggi rendahnya pengaruh faktor risiko dalam hubungannya dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga sebesar 75,5% (Overall Percentage).

4. Kontribusi adanya riwayat keluarga sebesar 56,3% (PAR=56,3%), obesitas sebesar 52,5% (PAR=52,5%) dan aktifitas fisik 49,7% (PAR=49,7%) untuk menurunkan/meningkatkan prevalens penyakit diabetes melitus tipe 2 di Kota Sibolga.

5. Model pengendalian diabetes melitus tipe 2 dengan mengintervensi riwayat keluarga, aktifitas fisik dan obesitas berupa diet makanan seimbang serta peningkatan aktifitas di dalam rumah. Berdasarkan persamaan regresi logitik secara matematis dapat dihitung Y = -7,326 + 2,274(riwayat keluarga) + 1,008 (aktifitas fisik) + 0,975 (obesitas).

Page 54: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 128

DAFTAR PUSTAKA 1. Soegondo, S., et al., 2004.

Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2. WHO., 1994. Prevention of Diabetes Mellitus. Report WHO Study Group. Genewa.

3. Tanaya, Z., 1999. Hubungan antara aktifitas Fisik dengan Status Gizi Usia Lanjut Binaan Puskesmas di Jakarta Barat Tahun 1997. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.

4. Hiswani., 2000. Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah dan Diskusi dalam Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perubahan Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Dokter Pirngadi Medan. Thesis Program Pasca Sarjana.Universitas Gajah Mada. Yokyakarta.

5. Zein, U., et,al., 2004 Infeksi Sebagai Faktor penyebab Rawat Inap Penderita Diabetes. Majalah Kedokteran Nusantara. Volume-37. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

6. Centers Disease Control and Prevention., 2004. Primary Prevention of type 2 Diabetes Mellitus by Lifestyle Intervention: Implication for Health Policy. www.cdc,gov/arsip/diabetes,html, Diakses 18 Mei 2005.

7. Ranakusuma, A., 1997. Buku Ajar Praktis: Metabolik Endokrinologi Rongga Mulut. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

8. Tutle, J., et,al., 1999. Diabetes In The New Mellennium. Sydney: Endocrinology and Diabetes Reserch Foundation.

9. Waspaji, S., 2002 Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Page 55: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tiangsa Sembiring dkk. Hubungan Status Gizi dengan Nilai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 129

Hubungan Status Gizi dengan Nilai Hematologi pada Anak Usia 8 – 12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi

Tiangsa Sembiring, Leon Agustian, Ani Ariani, Nelly Rosdiana, dan Bidasari Lubis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RS H. Adam Malik, Medan

Hb 10,6±0,5; eritrosit 4,8±0,2), 13 anak gizi lebih (Hb 10,4±3,1; eritrosit 4,2±0,64), 66 anak gizi baik (Hb 10,1±1,4; eritrosit 4,6±0,6), 21 anak gizi sedang (Hb 10,2±1,1; eritrosit 4,3±0,5) dan 7 anak gizi kurang (Hb 9,5±1,8; eritrosit 4,0±1,0). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna nilai Hb, jumlah eritrosit antara anak penderita ADB dengan status gizi baik dan gizi kurang. Kata kunci: status gizi, ADB, hemoglobin, jumlah eritrosit Abstract: Background: Iron deficiency anemia (IDA) can be suffered obesity, normoweight and underweight children. The haemoglobin concentration and eritrocyte was decreased on iron deficiency. Objective: To study the relation nutritional status with haematologic vallue in children with IDA. Method: A cross-sectional study was conducted at 5 elementary school in Kabupaten Labuhan Batu on November 2006. Iron deficiency anemia (IDA) was diagnosed if there were anemia, MCHC < 31%, RDW index > 220 and Mentzer index > 13. The nutritional status were evaluated with anthropometric assesment. Haematologic value (Hb and RBC count) was compared between normoweight and underweight. Results: There were 111 children (37,2%) among 300 children who recruited suffered IDA. The study subjects are 111 children, mean of age 9,7 ±1,3 years old, consist of 57 boys and 54 girls. Means of Hb 10,1±1,2 g/dl, means of weight 26,3±6,2 kg, means of height 128,5 ± 8,2 cm. Nutritional status indicate 3 children obesity (Hb 10,6 ±0,5; eritrosit 4,8±0,2), 13 children over weight (Hb 10,4 ±3,1; eritrosit 4,2±0,64), 66 children good nutritional (Hb 10,1 ±1,4; eritrosit 4,6±0,6), 21 children moderate nutritional (Hb 10,2 ±1,1; eritrosit 4,3±0,5), 7 children underweight (Hb 9,5 ± 1,8; eritrosit 4,0±1,0) and severe malnutrition were not found. Conclussion: There were not different significantly between Hb value, RBC count with normoweight and underweigh children suffered IDA. Keywords: nutritional status, IDA, haemoglobine, erythrocyte count PENDAHULUAN

Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang yang menyebabkan tingginya angka morbiditas dan

mortalitas.1 Anemia defisiensi besi paling sering dijumpai pada bayi, anak dan remaja karena pertumbuhan yang cepat membutuhkan banyak besi dan diet yang rendah mengandung besi.2

Page 56: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 130

Tingginya prevalensi ADB di negara yang sedang berkembang berhubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas (standar hidup yang rendah dengan tingginya kejadian malnutrisi, sanitasi lingkungan yang jelek, morbiditas yang tinggi), masukan protein hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik.3,4

Zat besi dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen. Besi juga komponen dari mioglobin, suatu protein yang terdapat di jaringan otot, dan juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme yang dalam kerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh dan menurunkan konsentrasi belajar.5

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, packed cell volume (PCV), leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi danpemeriksaan status besi (Fe serum, Total Iron Binding Capacity/TIBC, saturasi transferin, Free Erythrocyte Protoporphyrin/FEP) dan apus sum-sum tulang. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV,MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb.1,2,5

Penilaian status gizi anak merupakan bagian yang integral dalam penatalaksanaan pasien, karena status gizi akan mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit. Status gizi juga sangat penting karena anak sedang mengalami proses yang komplek dalam pertumbuhan dan perkembangan, yang dipengaruhi oleh faktor genetik anak dan penyakit yang diderita.6

Pada penelitian ini kami ingin mengetahui hubungan antara status gizi dengan nilai haemoglobin (Hb) dan jumlah eritrosit pada anak sekolah dasar yang menderita anemia defisiensi besi. METODE

Penelitian ini bersifat sekat lintang dilakukan pada bulan November 2006 di lima sekolah dasar (SD) di Kecamatan Bilah Hulu

Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara. Semua anak SD yang berumur 8 sampai 12 tahun diambil darah kapiler dari ujung jari. Penentuan anemia menurut kriteria WHO (1975) untuk anak 6 – 14 tahun, bila Hemoglobin (Hb) < 12 g/dl. Kriteria ADB bila dijumpai anemia, konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (MCHC) < 31%, Indeks RDW > 220 dan Indeks Mentzer > 13, dikategorikan sebagai ADB.

Pengukuran antropometri BB,TB dan lingkaran lengan atas (LILA) dilakukan pada semua anak penderita ADB. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan merek Camry (sensitifitas 0,5 kg) dan TB diukur dengan pengukur tinggi (microtoise) merek MIC (sensitifitas 0,5 cm). Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z – score (standar deviasi/SD) sebagai batas ambang.

Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/TB dibagi menjadi 6 dengan batas ambang sebagai berikut:7

1. Status Gizi Buruk dengan ”batas atas” lebih kecil – 3 SD

2. Status Gizi Kurang dengan ”batas bawah ”lebih besar atau sama dengan – 3 SD dan ”batas atas” lebih kecil – 2 SD

3. Status Gizi Sedang dengan ”batas bawah ”lebih besar atau sama dengan -2 SD dan ”batas atas ” lebih kecil – 1 SD

4. Status Gizi Baik dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan -1 SD dan ”batas atas” lebih kecil + 1 SD

5. Status Gizi Lebih dengan ” batas bawah ” lebih besar atau sama dengan +1 SD dan batas atas lebih kecil + 2 SD

6. Kegemukan, dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan + 2 SD Data diolah dengan SPSS for WINDOW

13.0 (SPSS Inc, Chicago). Analisa data untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kadar Hb dan jumlah eritrosit menggunakan Uji – Anova. Uji bermakna bila p<0,05. HASIL Selama periode penelitian dari 300 anak SD yang diperiksa, didapatkan 111 anak yang menderita ADB (37,2%). Dari pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri didapatkan data seperti di Tabel 1.

Tabel 1.

Page 57: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tiangsa Sembiring dkk. Hubungan Status Gizi dengan Nilai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 131

Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian

Parameter ADB

n; % 111(37,2%) Umur (thn); mean (Sd) 9,73 (± 1,2) Jenis Kelamin (n; %) - Laki-laki - Perempuan

57 ; 51,3% 54 ; 48,7%

Pendidikan Ibu (n; %) - Tidak sekolah - Tidak tamat SD - Tamat SD - SLTP - SLTA - Perguruan Tinggi

3 ; 2,7%

18 ; 16,2% 45; 40,5% 31; 27,9% 12 ; 10,8%

1 ; 1,9% Penghasilan Orang tua (n; %)

- ≤ Rp 300.000,- - Rp 301.000,- -- Rp 400.000,- - Rp 401.000,- -- Rp 500.000,- - Rp 501.000,- -- Rp 600.000,- - Rp 601.000,- -- Rp 700.000,- - Rp 701.000,- -- Rp 800.000,- - > Rp 801.000,-

13 ;11,7% 15; 13,5% 21;18, 9% 29; 26,1% 9 ; 8,1% 8 ; 7,2%

16 ; 14,5% Berat Badan (kg); mean (Sd) 26,3 (±6,2) Tinggi Badan (cm); mean (Sd) 128,5 (±8,2) Kadar Hb; g/dl; mean (Sd) 10,1 (±1,2)

Untuk menentukan status gizi dilakukan pengukuran antropometri berupa z-score berat badan dan tinggi badan. (Tabel 2). Tabel 2. Data Antropometri

Parameter ADB n 111 Status Gizi (Z Score BB/TB) n; %

- Obesitas - Gizi Lebih - Gizi Baik - Gizi Sedang - Gizi Kurang - Gizi Buruk

3 ; 2,8 13 ; 11,9 66 ; 59,6 21 ; 19,4 7 ; 6,5 0 ; 0

Sedangkan karakteristik status gizi sampel penelitian ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

. Status Gizi ( BB / TB)

0

10

20

30

40

50

60

70

Obesitas Gizi lebih Gizi baik Gizi sedang Gizi Kurang Gizi buruk

Status Gizi

Jum

lah

Gambar 1. Status Gizi (BB/TB)

Page 58: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 132

Hubungan status gizi, kadar Hb dan jumlah eritrosit ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan status gizi, kadar Hb dan jumlah eritrosit

Parameter Obesitas Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Sedang Gizi Kurang p. n (%) 3 (2,8%) 13(11,9%) 66(59,6%) 21(19,4%) 7(6,5%)

Nilai Hb (g/dl) mean; Sd

10,66±0,57 10,41±3,17 10,10±1,44 10,28±1,14 9,50±1,87 ,827

Eritrosit(x106/mm3) mean; Sd

4,86±0,22 4,20±0,64 4,64±0,67 4,30±0,57 4,06±1,00 ,854

P<0,005 DISKUSI

Estimasi WHO bahwa > 1/3 populasi di dunia mengalami anemia. Penyebab anemia secara umum dibagi 3 katagori yaitu anemia nutisional, anemia yang berhubungan dengan infeksi kronis dan anemia yang berhubungan dengan abnormalitas molekul hemoglobin (termasuk Thalassemia).Anemia nutrisional ini berhubungan dengan malnutrisi, defisiensi besi, asam folat, vitamin B, C dan E.5

Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia anemia defisiensi besi, defisiensi jodium, defisiensi vitamin A, malnutrisi dan obesitas merupakan masalah kesehatan. Sering dijumpai adanya koeksistensi antara malnutrisi atau gizi kurang dengan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan tingginya prevalensi ADB dan malnutrisi.8,9 AG Soemantri (1997) melaporkan prevalensi ADB disertai malnutrisi energi – protein ringan pada anak usia 5 – 14 tahun yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah berkisar 47% – 64%. Sedangkan prevalensi ADB pada kelompok sosial ekonomi menengah (38% - 67%) dan sosial ekonomi tinggi (20%).10

Di Indonesia, pada Survey Rumah Tangga pada tahun 1995 menunjukkan bahwa 40,5% anak balita dan 47,3% anak usia sekolah menderita ADB. Survey pada anak sekolah dasar berumur 7-15 tahun menunjukkan bahwa 50% dari seluruh jenis anemia yang diderita oleh anak sekolah tersebut merupakan ADB.11 Penelitian lain pada anak usia sekolah (5 – 14 tahun) di beberapa daerah di Indonesia, mendapatkan hasil bahwa prevalensi ADB pada anak dengan kurang kalori-protein (KKP) sekitar 47 – 64%.10

Pada penelitian ini, dari 300 anak yang diperiksa darahnya, didapatkan 111% menderita ADB. Kadar Hb rata-rata 10,1 ± 1,2 g/dl. Enam puluh tujuh orang (59,6%) dari sampel penelitian mempunyai status gizi yang baik berdasarkan data dasar antropometri dengan nilai Hb rata-rata 10,1 ± 1,4 g/dl dan jumlah eritrosit 4,6 ± 0,6 x 106/mm3. Hal ini terjadi karena ketidak tahuan orang tua memberikan makanan yang mengandung zat besi serta ketidak tahuan terhadap zat yang dapat menghambat absorpsi besi dan yang mempercepat absorpsi besi.

Diagnosis ADB tidak berdasarkan satu pemeriksaan laboratorium saja, tetapi berdasarkan beberapa pemeriksaan dan perbandingan nilai normal menurut umur. Biasanya dilakukan pemeriksaan cadangan besi, eritropoesis, dan derajat anemia. Dari semua pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosis ADB dan peyebab anemia yang lain.1,2

Pada penelitian ini pemeriksaan profil besi tidak dilakukan. Kriteria ADB bila dijumpai anemia, MCHC < 31, Indeks RDW > 220 dan indeks Mentzer >13.

Pada penelitian ini, pada masing-masing kelompok anak dengan status gizi yang berbeda, didapatkan nilai rata-rata Hb dan jumlah eritrosit yang berbeda. Tetapi secara statistik masing-masing kelompok ini tidak bermakna.

Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak diperiksa cadangan besi pada semua sampel, tetapi hanya dengan menggunakan indek Mentzer dan RDW.

Sebagai kesimpulan, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara status gizi dengan nilai Hb dan jumlah eritrosit.

Page 59: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tiangsa Sembiring dkk. Hubungan Status Gizi dengan Nilai...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 133

DAFTAR PUSTAKA 1. Harmatz P, Butensky E, Lubin B.

Nutritional Anemias. Dalam: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in Pediatrics. Basic science and Clinical Applications. Edisi ke – 3. London:BC Decker Inc,2003.h.830-44.

2. Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kligman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1614-16.

3. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RI, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. Edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995.h.193-219.

4. Oski FA. Iron deficiency in infancy and childhood.The New England Journal of medicine. 1993; 329: 190-3.

5. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting, Buku ajar hematologi onkologi anak, Badan penerbit IDAI,2005.h.30-43.

6. Olsen IE, Mascarenhas MR, Stallings VA. Clinical Assesment of Nutritional Status. Dalam: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting.Nutrition in Pediatrics. Basic science and Clinical Applications. Edisi ke – 3. London: BC Decker Inc,2003.h.6-11.

7. World Health Organization. Measuring Change In Nutritional Status. Guidelines for Assesing the Nutritional Impact of Supplementary Feeding Programmes for Vulnerable Groups. Geneva, 1983.h.99-101.

8. Hadi H. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kesehatan nasional. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM, 2005.

9. Chwang L C, Soemantri AG, Pollitt E. Iron supplementation and physical growth of rural Indonesian children. Am J Clin Nutr. 1998;47:496-501.

10. Soemantri A. Epidemiology of Iron Deficiency Anaemia. Dalam: Triasih R, penyunting.Anemia Defisiensi Besi. Yogyakarta: Medika–FK UGM,2005.h.11.

11. Abdulsalam M. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Dalam: Triasih R, penyunting. Anemia defisiensi besi. MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta,2005.h. 55-64.

Page 60: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 134

Atan Baas Sinuhaji Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan

Abstrak: Telah dilakukan penelitian prospektif uji coba banding tersamar ganda antara Secnidazole dan Metronidazole pada bayi/anak dengan Disenteri Amuba Akut di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Haji Adam Malik sejak 1 Maret 2004 sampai dengan 19 September 2005. Penderita dibagi atas 2 golongan yaitu penderita dengan gizi baik dan penderita dengan gizi buruk. Secnidazole digunakan dosis tunggal 30 mg/kgBB sedangkan Metronidazole dengan dosis tunggal 50 mg/kgBB. Dari 42 kasus yang diteliti, ternyata hanya 40 kasus yang dapat dinilai yaitu 19 kasus yang mendapat pengobatan Secnidazole dan 21 kasus yang mandapat pengobatan dengan Metronidazole. Penyembuhan parasitologik dari 40 kasus yang dapat dinilai, baik yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole maupun dengan Metronidazole adalah sebesar 100%. Juga tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam kecepatan menghilangnya Amuba dan gejala klinik antara kelompok Secnidazole dan Metronidazole. Pengobatan dengan Secnidazole maupun Metronidazole dengan dosis tunggal memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: penyembuhan klinik, penyembuhan parasitologik Abstract: A double blind trial between Secnidazole and Metronidazole had been conducted in infants and children with Acute Amebic Dysentery in the Department of Child Health, School of Medicine, University of North Sumatera/Adam Malik Hospital. This study started from 1st March 2004 and lasted till 19th September 2005. Patients were randomly assigned either to Secnidazole or Metronidazole. These patients were divided into 2 groups i.e.well-nourished and under-nourished children. Secnidazole had been given in single doses of 30 mg/kgBW and Metronidazole in single doses of 50 mg/kgBW. Out of 42 patients, 40 cases had been evaluated i.e. 19 were treated with Secnidazole and 21 cases were treated with Metronidazole. Out of these 40 patients, a parasitological cure rate of 100% had been achieved. No significant statistical differences were found in the rate of disappearence of Entamoeba hystolytica in all its forms between Secnidazole and Metronidazole treated patients. In all patients treated with Secnidazole or Metronidazole impressive results was achieved. Keywords: clinical cure, parasitological cure PENDAHULUAN

Obat golongan Nitroimidazole (Metronidazole, Tinidazole, Ornidazole dan Secnidazole) adalah sangat efektif dalam pengobatan Disentri Amuba. 1,2 Sejak tahun 1970, di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sejumlah trial dengan menggunakan Metronidazole, Ornidazole dan Tinidazole pada

anak dengan Disenteri Amuba akut telah dilakukan.3-6

Dosis yang digunakan bervariasi antara 25-50mg/kgBB/hari. Regimen pengobatan berkisar antara dosis tunggal dan pengobatan selama 3 hari.7,8 Pada setiap regimen pengobatan dijumpai hasil yang memuaskan (80-100%).9

Preparat baru yang juga merupakan derivat Nitroimidazole dilaporkan efektif dalam

Page 61: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Atan Baas Sinuhaji Uji Coba Banding Tersamar Ganda...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 135

pengobatan Amubiasis yaitu Secnidazole.2

Preparat ini merupakan homolog daripada Metronidazole, tetapi dengan kadar paruh obat yang lebih lama yakni sekitar 19 jam.10-12

Hal ini penting sekali terutama untuk memberikan keberhasilan pengobatan dengan dosis tunggal, dan mengurangi ataupun memperkecil kemungkinan untuk kambuh. Dibandingkan dengan Metronidazole, Secnidazole lebih efektif pada penderita dengan kista atau bentuk minuta.2

Pada kasus Amubiasis hati, efek Secnidazole hampir sama dengan Metronidazole. Toleransi saluran cerna dari Secnidazole lebih baik dan toksisitasnya lebih sedikit dibandingkan Metronidazole.4,6

Nelwan dan kawan-kawan pada tahun 19809 dengan menggunakan Secnidazole dosis tunggal 2 gram pada penderita Disenteri Amuba dewasa, mendapatkan sukses penyembuhan 85%. Pada penggunaan Secnidazole dosis tunggal 2 gram untuk 1 hari atau 2 hari pada penderita Disenteri Amuba dewasa, Rina mendapatkan penyembuhan sebesar 100%.11,12

Daldiono dan kawan-kawan tahun 1981

mendapatkan bahwa Secnidazole dengan dosis tunggal harian 2 gram selama 2 hari memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan 1 hari.3,13

Belum ada data-data mengenai penggunaan Secnidazole pada Disenteri Amuba anak di Indonesia.14

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil pengobatan antara Secnidazole dan Metronidazole pada anak dengan Disenteri Amuba akut. Disamping itu untuk membandingkan hasil pengobatan antara penderita Disentri Amuba yang bergizi baik dan yang bergizi buruk.

BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan secara prospektif sejak dari 1 Maret 2004-19 September 2005 dengan kriteria inklusi setiap anak dengan keluhan berak darah dari poliklinik anak sakit atau bangsal rawatan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK-USU)/Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Diagnosa Disentri Amuba ditegakkan bila pada tinja penderita dijumpai Entamoeba histolytica bentuk trophozoit yang bergerak aktif dan mengandung eritrosit. Tinja diperoleh dengan colok dubur. Setiap spesimen tinja

diperiksa secara langsung dengan menggunakan Eosin 2% atau NaCl fisiologis, dan dari masing-masing spesimen minimal dibuat 2 sediaan.

Proktosigmoidoskopi dan kultur tidak dilakukan. Penderita dikelompokkan dalam 2 golongan yaitu penderita gizi baik dan penderita gizi kurang. Penderita gizi kurang adalah penderita dengan berat badan menurut umur lebih kecil dari persentile ke 5 dari tabel National Centre for Health Statistics USA.14 Penderita-penderita dari setiap golongan ini (penderita dengan gizi baik dan penderita dengan gizi kurang) selanjutnya dirandomisasi dalam 2 kelompok untuk menentukan jenis obat apa yang diberikan: A. Mendapat pengobatan dengan Secnidazole

dosis tunggal 30 mg/kgBB. B. Mendapat pengobatan dengan Metronidazole

dosis tunggal 50 mg/kgBB.

Pemeriksaan dilakukan pada waktu datang pertama kali, pada hari ke 2,3,4,7 dan ke 14. Penelitian dilakukan dengan metode tersamar ganda dan pengobatan dilakukan secara ambulatoris; tablet yang sudah digerus diberikan di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU dibawah pengawasan penulis, dimana penulis sendiri tidak mengetahui obat apa yang diberikannya.

Penilaian hasil pengobatan dilakukan dengan menetapkan penyembuhan klinik dan penyembuhan parasitologik. Dikatakan terjadinya penyembuhan klinik bila tidak ada darah ataupun lendir dalam tinja pada pemeriksaan lanjutan, baik makroskopis maupun mikroskopis. Penyembuhan parasitologik adalah bila tidak di jumpai bentuk apapun dari Entamoeba histolytica dalam tinja pada pemeriksaan lanjutan yaitu hari ke 2,3,4,7, dan ke 14. Penderita yang juga menderita Helminthiasis seperti Ascariasis, Trichuriasis ataupun Ancylostomiasis, diberikan pengobatan setelah tinjanya tidak di jumpai lagi Entamoeba histolytica, darah maupun lendir.

Penderita dimasukkan kedalam evaluasi akhir, apabila penderita kembali sedikit-dikitnya dua kali untuk pemeriksaan setelah pengobatan. Hasil penelitian dihitung secara statistik dengan Chi Square test.Disebut bermakna bila P< 0,01.

HASIL 1. Dari 1 Maret 2004 sampai dengan 19

September 2005 hanya 42 kasus dapat

Page 62: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 136

diperoleh. Dari 42 kasus ini, ternyata 18 anak dengan gizi baik dan 24 anak dengan gizi buruk. Jumlah penderita laki-laki (26 orang) lebih banyak dibandingkan dengan penderita perempuan (16 orang). Kebanyakan penderita berusia 1-3 tahun yaitu sebanyak 18 orang (Tabel 1).

2. Dari 18 anak dengan gizi baik ternyata 8 orang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan 10 anak mendapat pengobatan dengan Metronidazole.

Secara keseluruhan dari Tabel 2 terlihat bahwa hanya 40 kasus yang dapat dinilai. Dari 40 kasus ini, diperoleh penyembuhan parasitologik sebesar 100% dan penyembuhan klinik sebesar 95%. Pada penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, antara yang bergizi

baik dan yang bergizi kurang, tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan klinik (p> 0,01). Demikian juga penderita dengan gizi kurang, tidak ada dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan klinik, antara yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole (p> 0,01) (Tabel 2).

3. Penyembuhan parasitologik semua penderita (baik yang mendapat Secnidazole maupun Metronidazole) pada evaluasi hari ke 2,3,4,7 dan ke 14 masing-masing sebesar: 87,9%; 96,9%; 100%; 100% dan 100%.

Sedangkan penyembuhan klinik dari semua penderita pada evaluasi hari ke 2,3,4,7 dan ke 14 adalah sebesar: 58,6%; 85,7%; 84,8%; 90,9% dan 93,8% (Tabel 3).

Tabel 1. Penggolongan penderita menurut umur, status gizi, dan jenis kelamin

Gizi baik Gizi kurang Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Jumlah

- 1 - - - 1 1 - 3 5 2 6 5 18 - 6 4 5 6 1 16 6 2 - 3 2 7

Jumlah 11 7 15 9 42 Tabel 2. Hasil pengobatan

Status gizi dan pengobatan Jumlah penderita

Penderita yang diteliti

Penyembuhan parasitologik

(%)

Penyembuhan klinik (%)

Secnidazole 8 8 8 (100) 8 (100) Gizi baik Metronidazole 10 10 10 (100) 10 (100)

Secnidazole 12 11 11 (100) 11 (100) Gizi kurang Metronidazole 12 11 11 (100) 9 (81,8) Jumlah 42 40 40 (100) 38 (95)

Tabel 3. Penyembuhan parasitologik dan penyembuhan klinik dari semua kasus

Follow up Diperiksa Penyembuhan parasitologik (%)

Penyembuhan Klinik (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7 Hari ke 14

33 29 33 33 32

29 (87,9) 28 (96,9) 33 (100) 33 (100) 33 (100)

17 (58,6) 24 (85,7) 28 (84,8) 30 (90,9) 30 (93,8)

Page 63: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Atan Baas Sinuhaji Uji Coba Banding Tersamar Ganda...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 137

4. Penyembuhan parasitologik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole (baik penderita gizi baik maupun penderita dengan gizi kurang) pada evaluasi hari ke 2,3,4,7, dan ke 14 masing-masing sebesar: 92,3%; 93,8%; 100%; 100% dan 100%. Sedangkan penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole pada evaluasi hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 masing-masing sebesar 58,3%; 87,5%; 81,3%; 93,8% dan 100% (Tabel 4).

5. Penyembuhan parasitologik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole (baik penderita gizi baik maupun penderita dengan gizi kurang) pada evaluasi hari ke 2,3,4,7, dan ke 14 masing-masing sebesar: 85%; 100%; 100%;

100% dan 100%. Sedangkan penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole pada evaluasi hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 masing-masing sebesar: 50%; 76,9%; 88,2%; 88,2% dan 88,9% (Tabel 5).

6. Pada evaluasi hari ke 2, penyembuhan parasitologik dari penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole ternyata tidak bermakna perbedaannya dibandingkan dengan yang mendapat Metronidazole (p> 0,01). Demikian juga pada evaluasi hari ke 3, tidak ada perbedaan yang bermakna hasil penyembuhan parasitologik antara yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole (p > 0,01) (Tabel 6).

Tabel 4. Penyembuhan parasitologik dan penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole

Follow up Diperiksa Penyembuhan parasitologik (%)

Penyembuhan Klinik (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7 Hari ke 14

13 16 16 16 14

12 (92,3) 15 (93,8) 16 (100) 16 (100) 14 (100)

7 (58,3) 14 (87,5) 13 (81,3) 15 (93,8) 14 (100)

Tabel 5. Penyembuhan parasitologik dan penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole

Follow up Diperiksa Penyembuhan parasitologik (%)

Penyembuhan Klinik (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7 Hari ke 14

20 13 17 17 18

17 (85) 13 (100) 17(100) 17 (100) 18 (100)

10 (50) 10 (76,9) 15 (88,2) 15 (88,2) 16 (88,9)

Tabel 6. Penyembuhan parasitologik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole

Secnidazole Metronidazole Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

13 16 16 16 14

12 (92,3) 15 (93,8) 16 (100) 16 (100) 14 (100)

20 13 17 17 18

17 (85)

13 (100)

17 (100) 17 (100) 18 (100)

Page 64: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 138

7. Penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 ternyata tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole (p > 0,01) (Tabel 7).

8. Pemeriksaan patologik dari penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole baik dengan gizi baik maupun dengan gizi kurang pada evaluasi hari ke 2 dan hari ke 3, juga tidak dijumpai perbedaan bermakna (p> 0,01). Sedangkan penyembuhan parasitologik pada pemeriksaan lanjutan hari ke 4, 7 dan ke 14, baik yang menderita gizi baik maupun gizi kurang, hasilnya 100% (Tabel 8).

9. Pada kelompok Secnidazole, tidak dijumpai perbedaan bermakna antara yang bergizi baik dengan yang bergizi kurang dalam penyembuhan klinik (p> 0,01), pada evaluasi hari ke 2, 3, 4, dan ke 7.

Sedangkan penyembuhan klinik pada evaluasi hari ke 14, baik penderita dengan gizi baik maupun dengan gizi kurang hasilnya 100% (Tabel 9).

10. Pada kelompok Metronidazole, penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi baik dan dengan gizi kurang tidak berbeda secara bermakna pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2 (p> 0,01).

Pada pemeriksaan lanjutan hari ke 3, 4, 7, dan ke 14, penyembuhan parasitologik dari penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, baik yang bergizi baik maupun bergizi kurang, hasilnya 100% (Tabel 10).

11. Pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2 dari kelompok Metronidazole, baik penderita gizi baik maupun penderita dengan gizi kurang mencapai penyembuhan klinik sebesar 50%. Sedangkan pada pemeriksaan lanjutan hari ke 3, 4, 7, dan ke 14, tidak ada dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan klinik antara penderita dengan gizi baik dan dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole (p> 0,01) (Tabel 11).

12. Penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi baik yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole pada

pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 sebesar: 100%; 83,8%; 100%; 100% dan 100%. Demikian juga penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi baik yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 masing-masing sebesar: 90%; 100%; 100%; 100% dan 100%.

Tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan parasitologik antara penderita dengan gizi baik yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2 dan ke 3 (p > 0,01) (Tabel 12).

13. Penyembuhan parasitologik pada penderita dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 adalah sebesar: 87,5%; 100%; 100%; 100% dan 100%.

Sedangkan penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan ke 14 adalah sebesar: 80%; 100%; 100%; 100% dan 100%. Penyembuhan parasitologik penderita Disenteri Amuba yang bergizi kurang, antara yang mendapat pengobatan.

Dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, pada evaluasi hari ke 2, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p> 0,01) (Tabel 13).

14. Penyembuhan klinik penderita Disenteri Amuba yang bergizi baik pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2 dan ke 3, antara yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (p> 0,01).

Sedangkan penyembuhan klinik penderita Disenteri Amuba yang bergizi baik pada pemeriksaan lanjutan hari ke 4, 7 dan ke 14, baik yang mendapat Secnidazole maupun dengan Metronidazole, hasilnya adalah 100% (tabel).

Page 65: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Atan Baas Sinuhaji Uji Coba Banding Tersamar Ganda...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 139

Tabel 7. Penyembuhan klinik dari semua penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole

Secnidazole Metronidazole Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7 Hari ke 14

13 16 16 16 14

7 (53,8) 14(87,5) 13 (81,3) 15 (93,8) 14 (100)

20 13 17 17 18

10 (50)

10 (76,9)

15 (88,2)

15 (88,2)

16 (88,9)

Tabel 8. Penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi baik dan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole

Gizi Baik Gizi Kurang Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

5 6 7 6 6

5 (100) 5 (83,8) 7 (100) 6 (100) 6 (100)

8 10 9 10 8

7 (87,5)

10 (100)

9 (100)

10 (100)

8 (100)

Tabel 9. Penyembuhan klinik dari penderita dengan gizi baik dan dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole

Gizi Baik Gizi Kurang Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

5 6 7 6 6

4 (80) 6 (100) 7 (100) 6 (100) 6 (100)

8 10 7 10 8

3 (37,5)

8 (80)

6 (66,7)

9 (90)

8 (100)

Tabel 10. Penyembuhan parasitologik dari penderita dengan gizi baik dan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole

Gizi Baik Gizi Kurang Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

10 7 9 9 9

9 (90) 7 (100) 9 (100) 9 (100) 9 (100)

10 6 8 8 9

8 (80)

6 (100)

8 (100)

8 (100)

9 (100)

Page 66: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 140

Tabel 11. Penyembuhan klinik dari penderita dengan gizi baik dan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole

Gizi baik Gizi kurang Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

10 7 9 9 9

5 (50) 6 (85,7) 9 (100) 9 (100) 9 (100)

10 6 8 8 9

5 (50)

4 (66,7)

6 (75)

6 (75)

7 (77,8)

Tabel 12. Penyembuhan parasitologik dari penderita Disenteri Amuba dengan gizi baik yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole.

Secnidazole Metronidazole Follow up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 7

Hari ke 14

5 6 7 6 6

5 (100) 5 (83,3) 7 (100) 6 (100) 6 (100)

10 7 9 9 9

9 (90)

7 (100)

9 (100)

9 (100)

9 (100)

Table 13. Penyembuhan parasitologik dari penderita Disenteri Amuba yang bergizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole

Secnidazole Metronidazole Follow Up Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 8 7 (87,5) 10 8 (80) Hari ke 3 10 10 (100) 6 6 (100) Hari ke 4 9 9 (100) 8 8 (100) Hari ke 7 10 10 (100) 8 8 (100)

Hari ke 14 8 8 (100) 9 9 (100)

Tabel 14. Penyembuhan klinik penderita disenteri amuba dengan gizi baik yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole

Secnidazole Metronidazole Follow Up Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%)

Hari ke 2 5 5 (80) 10 5 (50) Hari ke 3 6 6 (100) 7 6 (85,7) Hari ke 4 7 7 (100) 9 9 (100) Hari ke 7 6 6 (100) 9 9 (100)

Hari ke 14 6 6 (100) 9 9 (100) Tabel 15. Penyembuhan klinik dari penderita dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan Metronidazole

Secnidazole Metronidazole Follow Up

Diperiksa Sembuh (%) Diperiksa Sembuh (%) Hari ke 2 8 3 (37,5) 10 5 (50) Hari ke 3 10 8 (80) 6 4 (66,7) Hari ke 4 9 6 (66,7) 8 6 (75) Hari ke 7 10 9 (90) 8 6 (75)

Hari ke 14 8 8 (100) 9 7 (77,8)

Page 67: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Atan Baas Sinuhaji Uji Coba Banding Tersamar Ganda...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 141

15. Penyembuhan klinik dari penderita Disenteri Amuba dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan Secnidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4, 7, dan hari ke 14 adalah sebesar: 37,5%; 80%; 66,7%; 90%; dan 100%.

Sedangkan penyembuhan klinik dari penderita Disenteri Amuba dengan gizi kurang yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4,7 dan hari ke 14 adalah sebesar: 50%; 66,7%; 75%; 75% dan 77,8%.

Pada pemeriksaan lanjutan hari ke 2, 3, 4,7 dan hari ke 14, tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan klinik penderita Disenteri Amuba yang bergizi kurang, antara yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole.

Dari 40 anak yang menderita Disenteri Amuba Akut yang dapat dinilai, ternyata 32 (80%) anak juga menderita Helminthiasis. Infestasi cacing yang terbanyak adalah kombinasi antara Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuria (35%).

PEMBAHASAN

Terlihat bahwa semua anak (40 kasus) yang menderita Disentri Amuba Akut yang mendapat pengobatan, baik dengan Secnidazole maupun dengan Metronidazole dalam dosis tunggal, dapat disembuhkan. Selama masa pengamatan dalam 2 minggu, tidak dijumpai bentuk apapun dari Entamoeba hystolitica dalam tinja penderita (penyembuhan parasitologik 100%). Juga gejala berak darah maupun lendir cepat menghilang.

Juga tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dalam kecepatan menghilangnya Amuba dan gejala klinis antara penderita yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole dan yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, baik yang bergizi baik maupun yang bergizi kurang.

Kecepatan penyembuhan klinik dan parasitologik, antara penderita gizi baik dan penderita gizi kurang, yang mendapat pengobatan dengan Secnidazole, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (table X dan XI). Juga pada penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dalam kecepatan hilangnya Amuba dan gejala klinis, antara

penderita dengan gizi baik dan penderita dengan gizi kurang.

Hal ini membuktikan pengobatan Disenteri Amuba anak dengan Secnidazole memberikan hasil yang memuaskan, sama seperti golongan Nitroimidazole lain.1,4-8,10,12 Sama seperti penderita Disenteri Amuba dewasa, pengobatan Disenteri Amuba anak dengan Secnidazole memberikan hasil yang baik.3-5

Pada 2 orang penderita masih dijumpai darah maupun lendir dalam tinjanya, keduanya ternyata mendapat pengobatan dengan Metronidazole dan menderita gizi kurang. Walaupun secara statistik, tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam penyembuhan klinik antara penderita yang mendapat pengobatan dengan Metronidazole dan Secnidazole serta antara yang bergizi baik dan bergizi kurang. Mungkin dengan mempergunakan jumlah penderita yang lebih besar, akan dapat dilihat perbedaan yang nyata.

KESIMPULAN

Pengobatan dosis tunggal baik dengan Secnidazole 30 mg/kgBB maupun dengan Metronidazole 50 mg/kgBB, menghasilkan pemyembuhan parasitologik sebesar 100% pada 40 penderita Disenteri Amuba Akut, sedangkan penyembuhan klinik 95%.

Penyembuhan klinik lebih rendah pada golongan Metronidazole dengan gizi kurang, namun perbedaan ini tidak dijumpai bermakna.

Pada penyembuhan parasitologik, tidak dijumpai perbedaan antara kelompok Secnidazole dengan kelompok Metronidazole. DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmed, T.; Ali, F. and Sarwar, S.G.: Clinical

evaluation of Tinidazole in Amebiasis in Children, Arch. Dis. Child. 1976; 51: 388 – 389.

2. Andre, L.J.:Traitement De L’Amibiase Par Le Secnidazole. Ann. Gastroenterol. Hepatolol 1979; 15: 221 – 225.

3. Daldiono: Adjung, S.A; Nelwan, R.H.H.; Gandahusada, S; Herdiman; Sri Oemijati dan Sumarsono: Pengobatan satu hari dan dua hari Amubiasis usus dengan seknidazol. Medika 1981; 10: 683 – 686.

Page 68: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Karangan Asli

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 142

4. Jo, K.T.; Raid, N.; and Susanto, A.H: Flagyl (Metronidazole) in the treatment of Intestinal Amebiasis (Part I). Pediatr. Indonesia. 1971; 11: 1 – 2.

5. Jo, K.T.; Raid, N.; and Susanto, A.H: Flagyl (Metronidazole) in the treatment of Intestinal Amebiasis (Part II). J.Singapore Pediatr.Soc.1971; 13: 1 – 6.

6. Jo, K.T.; Raid, N.; and Susanto, A.H: Flagyl (Metronidazole) in the treatment of Intestinal Amebiasis (Part III).1971; 13: 1 – 6. Pediatr. Indonesia. 1972; 12: 82 –86.

7. Jo, K.T.; Raid, N.; and Susanto, A.H: Flagyl (Metronidazole) in the treatment of Intestinal Amebiasis (Part IV). Pediatr.Indonesia. 1976; 12: 412 – 414.

8. Lubis, C. P.; Napitupulu, A.; Rusdidjas; Susanto, A.H. dan Siregar, H.: Tinidazole pada pengobatan Disentri Amuba. Kumpulan Naskah Petemuan Ilmiah Tahunan V BKGAI, Parapat 9-12 Desember 1977, hal 385 – 390.

9. Nelwan, R. H. H.; Herdiman; Adjung, S.A.; Sumarsono; Sri Oemijati: Secnidazole in symptomatic Intestinal Amebiasis. A preliminary report. Dipresentasikan di Int. Congr. Trop. Med. Malaria ke-10, Manila, Nov. 9 – 15, 1980.

10. Panggabean, A.; Sutjipto, A; Aldy, D.; Sutanto, A.H. and Siregar H.: Tinidazole versus Ornidazole in Amebic Dysentry in Children (a double blind trial). Pediat. Indones. 1980; 20: 229 – 235.

11. Rina; Moerdowo, R.; Sutanegara, D dan Wibawa: Laporan Pendahuluan Penelitian Intestinal Amebiasis dengan Secnidazole. Dipresentasikan di Simposium Penyakit Hati, Denpasar, Nov. 21st, 1981.

12. Sitepu, N.; Lubis, C.P.; Sutanto, A.H. and Siregar, H.: Minute treatment weth Tinidazole and Ornidazole in Children weth Amebic Dysentery. Pediat. Indones. 1982; 22: 132-137.

13. Tamsu; Sudigba, I.; Sumantri, Ag.; Hendarto, T. dan Kamilah, B.R.: Pengobatan Amubiasis dengan Tiberal (Roche). Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan V BKGAI, Parapat 9-12 Desember 1977, hal. 394-402.

14. Videau,D.; Niel,G.; Siboulet, A. amd Catalan, F.: Secnidazole. A 5 Nitroimidazole derivative a long half life. Brith. Jnl. Ven. Dis. 1978; 54: 77-80.

Page 69: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 143

Penatalaksanaan Trauma Spinal

Hafas Hanafiah Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi

Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NON TRAUMATIK: (tidak dibahas) 1. Tumor-trumor intraspinal 2. Penyakit-penyakit infeksi dan inflamasi

3. Abses intraspinal 4. Komplikasi iatrogenik dari tindakan

bedah atau tindakan diagnostik DISTRIBUSI DARI TRAUMA SPINAL 2

Letak trauma berdasarkan jenis vertebra: 1. Cervical Spine (55%) 2. Thoracic Spine (15%) 3. Thoracolumbar Spine (15%) 4. Lumbosacral Spine (15%)

Didalam penatalaksanaan trauma spinal 3 ada dua hal yang sangat penting yaitu,

1. Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability)

2. Kerusakan jaringan saraf baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and potential neurologic injury).

TINJAUAN PUSTAKA

Page 70: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 144

INSTABILITAS KOLUMNA VERTEBRALIS 4,5

Yang dimaksud dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara struktur-struktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen-komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan. KLASIFIKASI FRAKTUR 6

Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus transversus, prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.

Gambar 1. Major Frcture

Gambar 2. Minor Fracture

Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila kolumna vertebralis tidak mampu menahan beban normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi gangguan neurologik. METODE KLASIFIKASI DENNIS Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan daerah cervical.

Gambar 3. Tampak lateral dari 2 buah korpus

vertebra Penilaian ini berdasarkan ’Teori 3 Kolom’ dari vertebra.

1. Bagian Anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian depan dari korpus vertebra dan diskus.

2. Bagian Tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior.

Page 71: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Hafas Hanafiah Penatalaksanaan Trauma Spinal

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 145

3. Bagian Posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum posterior.

Kolom Tengah (Middle Column) adalah ”kunci” dari stabilitas. KLASIFIKASI MAGERL Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.

Gambar 4. Klasifikasi Magerl pada fraktur

torakolumbal Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure): 1. Type A Compressive loads 2. Type B Distraction forces 3. Type C Multidirectional forces and translation GANGGUAN NEUROLOGIK7,8,9

Yang dimaksud dengan gangguan neurologik (neurologic injury) ialah trauma yang mengenai medula spinalis, cauda equina dan radices (nerve roots). Keadaan ini mungkin terjadi karena kompresi dari vertebra, fragmen tulang, atau diskus terhadap struktur neurologik. Dalam hal ini semua struktur atau organ yang dipersarafi oleh saraf yang terkena/terganggu akan kehilangan fungsinya baik sebagaian taupun secara keseluruhan. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel Score.

1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss)

2. FRANKEL SCORE B: Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.

3. FRANKEL SCORE C: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna

(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).

4. FRANKEL SCORE D: Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal ”gait”).

5. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik.

PRINSIP-PRINSIP UTAMA PENATA-LAKSANAAN TRAUMA SPINAL

1. Immobilisasi 2. Stabilisasi Medis 3. Mempertahankan posisi normal

vertebra (”Spinal Alignment”) 4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal 5. Rehabilitasi.

IMMOBILISASI10,11,12,13

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’. STABILISASI MEDIS14,15

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ etraplegia. 1. Periksa vital signs 2. Pasang ’nasogastric tube’ 3. Pasang kateter urin 4. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan

tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.

Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis. SPINAL ALIGNMENT 7

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.

Page 72: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 146

DEKOMPRESI DAN STABILISASI SPINAL16,17

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior. REHABILITASI Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. KESIMPULAN 1. Penanganan trauma spinal telah dimulai

sejak di tempat kejadian. 2. Proteksi terhadap ’cervical spine’

merupakan hal yang sangat penting 3. Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus

dilaksanakan dengan cara yang benar. 4. Penatalaksanaan trauma spinal harus

menurut prinsip-prinsip baku yang telah dianut.

5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari cacat neurologik yang berat.

KEPUSTAKAAN 1. Alexander R, Proctor H. Advanced

Trauma Life Support Course for Physicians. 1999; 21-22.

2. Goth P. Spinal Injury: Clinical Criteria for Assessment and Management. 1998; 21-26.

3. Green B. et al. Spinal Cord Injury, a system approach: Prevention, Emergency Medical Service and Emergency Room Management. Crit Care Clin 1987; 3:471-493.

4. McGuire RA. et al. Spinal Instability and the Log-rolling Maneuver. J Trauma-Injury Infection & Critical Care 1997;27:525-531.

5. McGuire RA. Protection of the Unstable Spine During Transport and Early Hospitalization. Journal of the Mississippi Sate Medical Association 1991;32:305-308.

6. Rimel RW.et al. An Educational Training Program for the Care at the Site of Injury of Trauma to Central Nervous System 2001;9:23-28.

7. Brunette D, Rockswold G. Neurologic Recovery Following Rapid Spinal Realignment for Complete Cervical Spinal Cord Injury. J Trauma 1987;27:445-447.

8. Fenstermaker RA. Acute Neurologic Management of the Patient with Spinal Cord Injury. Urologic Clinic of North America 1993;20:413-421.

9. Podolsky S.et al. Neurologic Complication Following Immobilization of Crvical Spine Fracture in a Patient with Ankylosing Spondilytis. Ann Emerg Med 1983;12:578-580.

10. Burney RE.et al. Stabilization of Spinal Injury for Early Transfer. J Trauma-Injury Infection & Critical Care 1989;29:1497-1499.

11. Butman A, Vomacka R. Part: Spine Immobilization. Emergency 1991; 23:48-51.

12. Carter VM.et al. The Effect of a Soft Collar, used as normally recommended or reversed, on three olanes of cervicar range of motion. J of Orthopaedis and Sport Physical Therapy 1996;23:209-215.

13. Chandler DL.et al. Emergency Cervical Spine Immobilization. Ann Emerg Med 1992;21: 1185-1188.

14. Forhna WJ. Emergency Department Evaluation and Treatment of the Neck and Cervical Spine Injuries. Emergency Medicine Clinic of North America 1999;17:739-791.

15. Geisler W.et al. Early Management of the Patient with Trauma to the Spinal Cord. Med Serv J Can 1996;22:512523.

16. Podolsky S.et al. Efficay of Cervical Spine Immobilization Methods. J Trauma-Injury Infection & Critical Care 1983;23:461-465.

17. Waters RL.et al. Emergency, Acute and Surgical Management of Spine Trauma. Arch Phys Med Rehabil 1999;80:1383-1390.

Page 73: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Syamsir BS Gangguan Depresi pada Orang Usia Lanjut

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 147

Gangguan Depresif pada Orang Usia Lanjut

Syamsir B.S. Departemen Psikiatri

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RS Haji Adam Malik, Medan Abstrak: Gangguan depresif dapat terjadi pada orang usia lanjut. Hal ini berkaitan dengan proses ketuaan maupun penyakit yang dideritanya baik secara fisik maupun psikologik. Gejala-gejala gangguan depresif maupun criteria diagnostic yang dipakai hampir bersamaan dengan yang dijumpai pada kelompok usia lainnya. Selain itu beberapa factor resiko untuk terjadinya gangguan depresif pada orang usia lanjut harus dapat dideteksi sedini mungkin. Tidak terapi yang diberikan terutama adalah terapi farmakologik dan psikoterapi. Kata kunci: gangguan depresif; usia lanjut Abstract: Depressive disorder can occur in the elderly. It is associated with late life process and his diseases wether physical diseases or psychological diseases. The signs and symptoms of depressive disorder either diagnostic criteria for the elderly is almost same with for another adult patient. Beside it some risk factors for developing depression in the elderly must early be detected. The treatment for depressive disorder in the elderly mainly pharmacological therapy and psychotherapy. Keywords: depressive disorder; the elderly PENDAHULUAN Pada orang usia lanjut, gangguan depresif merupakan suasana alam perasaan yang utama pada orang usia lanjut dengan penyakit fisik krinik dan kerusakan fungsi kognitif yang disebabkan oleh adanya penderitaan, disabilitas, perhatian keluarga yang kurang serta bertambah buruknya penyakit fisik yang banyak dialaminya(1,2). Selain itu proses-proses sehubungan dengan ketuaan dan penyakit fisik yang dialaminya akan mempengaruhi integritas jalur frontostriatal, amygdale, serta hypocampus, dan meningkatkan kerentanan untuk depresi(1,3). Selain itu factor herediter bisa juga berperan sebagian. Adanya musibah yang bersifat psikososial seperti kemiskinan, isolasi social dan lain-lain akan mengundang untuk suatu perubahan fisikogis yang selanjutnya akan meningkatkan kerentanan untuk depresi pada orang usia lanjut yang rentan (1). EPIDEMIOLOGI Saat ini pada umumnya diterima pendapat yang mengatakan bahwa beban depresi pada orang usia lajut adalah cukup

tinggi(1,2). Berdasarkan penelitian, ada sekitar 1 – 4% populasi orang usia lanjut secara umum mengalami gangguan depresi mayor, sedangkan depresi minor sekitar 4 – 3%(1,4). Sama dengan kelompok usia lainnya, perbandingan wanita dengan pria yang usia lanjut yang mengalami ganggua depresif adalah sekitar 2: 1(1,5). Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut bisa berupa: a) Faktor biologis

Hal ini bisa berupa factor genetic, gangguan pada otak terutama sistem cerebrovaskular, gangguan neurotransmitter terutama serotonin activity, perubahan endokrin, dll.

b) Faktor psikologik Ini bisa berupa penyimpangan perilaku, psikodinamik dan kognitif.

c) Faktor social Hal ini bisa berupa hilangnya status

peranan sosialnya, atau hilangnya sokongan social yang selama ini dimilikinya.

Page 74: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 148

PATOFISIKOLOGI Struktur neocortical dorsal mengalami hypometabolik dan struktur limbic ventral mengalami hypermetabolik selama dalam keadaan depresi. Selain itu jalur frontostriatal pada otak memediasi antisipasi yang mengarahkan ke efek yang positif, dan abnormalitasnya bisa menghasilkan satu ketidaksanggupan untuk mendorong antisipasi yang mana akan mempredisposisikan keadaan depresi. GAMBARAN KLINIK Pada orang usia lanjut, gambaran klinik dari gangguan depresifnya bisa dijumpai sebagai berikut: a) Depresi dan Dysphoria(1,2,4,6,7)

Walaupun demikian kadang-kadang mood depresi bisa tidak dijumpai oleh karena pasien menyangkal (denial) perasaan yang demikian.

b) Menangis Tapi pada pasien pria agak jarang

c) Ansietas dan agitasi (4,6) Pada pasien ini bisa dijumpai: gugup, irritabilitas atau tingkah laku yang mengganggu bersama-sama dengan sintom-sintom ansietas bisa terlihat pada sekitar 80% dari pasien usia lanjut dengan depresi.

d) Menurunnya energi dan fatigue e) Retardasi fisik

Kondisi ini dapat menjurus pada meningkatnya kesukaran dalam aktifitas kehidupan sehari-hari, diet yang buruk, tak mau makan, dan sebagainya.

f) Defisit kognitif Hal ini sering terlihat pada orang usia

lanjut yang depresif dan kadang-kadang bisa mencapai suatu level yang parah sehingga diduga sedang mengalami pseu-dodementia. Bahkan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Kral & Emery pada tahun 1999 dari sampelnya berkembang menjadi penyakit Alsheimer. (4)

g) Somatisasi h) Hypokhondriasis i) Suicide(1,4)

Selain oleh adanya mood yang depresi, gejala suicide pada orang usia lanjut bisa terkait dengan: belum kawin, kesehatan fisik yang memburuk yang bersifat subjektif, disabilitas, rasa sakit, gangguan

sensory, tinggal dirumah perawan atau panti (1). Walaupun demikian, ide suicide berhubungan erat dengan keparahan depresi yang dideritanya. (4)

j) Gangguan perilaku. Hal ini bisa dalam bentuk: penolakan untuk makan, buang air besar dan buang air kecil yang tak terkontrol, menjerit, dan jatuh tearikalitas, tindakan merusak, menggigit, mengaruk atau bertengkar dengan pasien lain.

k) Selain itu pasien depresi usia lanjut sering dijumpai co-morbiditas dengan penyakit-penyakit lain yaitu: (2,5,7) 1. Co-morbiditas dengan gangguan

psikiatrik lainnya antara lain ansietas, dan lain-lain.

2. Co-morbiditas dengan penyakit fisik, antara lain: penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, Stroke dan penyakit Cardiovaskular, dan lain-lain.

l) Gangguan tidur, terutama late insomnia. (7) Faktor Resiko untuk Perkembangan Terjadinya Depresi pada Usia Lanjut(4) Hal-hal berikut ini harus dipertimbangkan untuk dikaitkan dengan perkembangan depresi, dan dapat dipakai sebagai satu cara pengenalan dan mentargetkan kelompok resiko tinggi, yaitu: 1) Penyakit fisik, terutama yang

menimbulkan rasa sakit atau ketidaksanggupan.

2) Merasa kesepian. 3) Ada duka cita saat ini, atau peristiwa

kehidupan buruk yang lain. 4) Gangguan pendengaran. 5) Riwayat keluarga atau masa lalu dengan

depresi. 6) Dementia dini. 7) Penggunaan obat-obatan tertentu seperti:

Steroid, mayor tranquilizer, dan lain-lain. 8) Wanita. Dalam hal ini ratio wanita dengan

pria = 70 : 30 Selain itu dari penelitian yang telah dilakukan didapti bahwa: penyebab yang paling sering terjadinya kematian pada pasien depresi usia lanjut adalah karena kondisi cardiovascular yang bisa berupa: stroke, myocard infarct, dan sebagainya. Kemudian kanker merupakan penyebab kedua yang

Page 75: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Syamsir B.S. Gangguan Depresi pada Orang Usia Lanjut

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 149

paling sering sebagai penyebab kematian pada penderita depresi usia lanjut.(8,9) DIAGNOSIS Penetapan diagnosis untuk gangguan depresif pada orang usia lanjut dapat mempergunakan kreiteria diagnostic dari D.S.M.-IV atau dari I.C.D.-10.(1,2,4)

MANAJEMEN TERAPI Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi gejala-gejala gangguan depresif, mencegah ide suicide, mencegah relapse atau recurrent dari gejala-gejala, untuk memperbaiki status fungsional dan kognitif serta untuk membantu pasien dalam mengembangkan keterampilannya. (1) Selain itu E.C.T. harus dipertimbangkan bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap obat antidepressant, atau memiliki depresi berat dengan resiko suicide, dan lain-lain. (1,10) Obat antidepressant golongan S.S.R.I. dan S.N.R.I. adalah obat antidepressant pilihan, diikuti dengan Bupropion dan Mirtazapine. Sedangkan beberapa jenis obat antidepressant seperti: Amitriptyline, maprotyline, dan lain-lain harus dihindari. (10) KESIMPULAN Gangguan depresif merupakan salah satu gangguan mental emosional yang cukup sering dijumpai pada orang usia lanjut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena factor penyebab dari gangguan depresif begitu besar kemungkinan akan dialami oleh orang usia lanjut. Dilain pihak, walaupun terapi untuk gangguan depresif tersebut bisa diloaksanakan namun hasilnya tidaklah dapat mencapai hasil yang maksimal, mengingat kekurangan secara fisik dan psikososial pada orang usia lanjut tidaklah dikembalikan seperti semula.

DAFTAR PUSTAKA 1. Alexopoulos, G.S.: Depression in the

Elderly; Lancet, 2005, 365: 1961-1970.

2. Blazer, D.G.: Depression in late life: Review and Commentary; the Journals of Gerontology; Mar 2003; 58A,3.

3. Alexopoulos, G.S.: Frontostriatal and Limbic Dysfunction in Late Life Depression; The American Journal of Geriatric Psychiatry; Nov/Dec 2002; 10,6.

4. Evans, M., Mottram, P.: Diagnosis of Depression in Elderly Patients; Adnamces in Psychiatric Treatment; 2000, Vol; 6, pp: 49-56.

5. Tweedy, K., Morrison, M.F., De Michele, S.G.: Depression in Elderly Women; Psychiatric Annals, Jul 2002, 32, 7; Academic Research Library, p. 417.

6. Heeren. O. et al: Association of Depression With Agitation in Elderly Nursing home Residents; Journal Geriatric Psychiatry Neurol, 2003, 16: 4-7

7. Nelson, J.C., Clary, C.M., Leon, A.C., Schneider, L.S.: Symptoms of Late Life Depression: Frequency and Change During treatment.: The American Journal of Geriatric Psychiatry, Jun 2005; 13,6.

8. Stevens, D.C., et al: Sociodermographic and Clinical Predictor of Mortality in Geriatric Depression; The American Journal of Geriatric Psychiatry, Sep/Oct 2002, 10, 5.

9. Kales, H.C., Maixner, D.F., Mellow, A.M.: Cerebrovascular Disease and Late Life Depression: The American Journal of Geriatric Psychiatry, Feb 2005, 13,2.

10. Frazer, C.J., Christense, H. Griffiths, K.M.; Effectiveness of Treatment for Depression in Older People; Medical Journal of Australia, Jun 20, 2005, 182,12.

Page 76: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 150

Isti Ilmiati Fujiati Medical Education Unit

Medical School University of Sumatera Utara Abstract: Universities are establishment by society to preserve and advance knowledge, to develop people and to act as independent critics of the society that support them. Based on it, the education for the profession started at the university as a basic education. For those, the objectives of the university were to teach students to analyzed ideas or issues critically, to develop students’ intellectual/ thinking skills, to teach students to comprehend principles or generalizations. This article aimed to look at the seven areas of competency, which is the main competence of the National Competency-based Curriculum in the context of clinical reasoning and critical thinking where educators agree that clinical reasoning is a central component of physician competence. Keywords: critical thinking, seven areas of competency INTRODUCTION

As we all know KIPDI III or the National Competency Based Curriculum is being implemented by a number of medical schools. KIPDI III applies nationally and as agreed on the meeting of all Dean of Medical School, Head of Basic Medical Study Program, and Head of Medical Education Unit in Indonesia in December 2004, to be implemented starting 2005.1

Basic medical education as university education is directed more to train thinking ability, analysis, and critical thinking using the competency based curriculum. Results expected are primary care doctors that are able to implement family medicine approach along with excellent medical knowledge and skills. Even though some still argue whether CBC can produce better doctors than the previous curriculum.2

This article aimed to look at the seven areas of competency, which is the main competence of the National Competency-based Curriculum in the context of clinical reasoning and critical thinking where educators agree that clinical reasoning is a central component of physician competence.3

THE NATURE OF CRITICAL THINKING Kym, Fraser (1996) in4 stated that in

higher learning, learning means construction of knowledge by student as an individual process that takes place within the brain. A model of philosophical statement about knowing and thinking that one persistent unexpressed misconception is that knowledge consists of bits and pieces of information to be implemented in the student’s mind by the teacher and materials. Knowledge is unwittingly considered to be a thing that can be put into students’ heads as some object might be put in their hands.

Knowledge exists only in minds that have comprehended and justified it through thought. Knowledge is something that we must think our way to, not something we can simply be given. Knowledge is produced by thought, organized by thought, evaluated, refined, maintained, and transformed by thought. Knowledge can be acquired only through thought. The educational philosophy underlying educational goals, standards, and objectives should be based on an accurate and full conception of the dependence of knowledge on thought. 4

Page 77: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Isti Ilmiati Fujiati Seven Areas of Competencies...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 151

Lipman states in 5, there has been a progressive shift in focus in education, the shift is from learning to thinking. We want students to think from themselves, and not merely to learn what other people have taught. Paul and Binker 5 have succinctly compared and contrasted these and use the labels didactic and critical. The dominant didactic theory of knowledge, learning, and literacy is to teach students what to think so that they learn what the teachers know. In contrast, the emerging critical theory is to teach students how to think so that they can find their own way through the problems and concerns they meet in life.5

According to the Higher Education Quality Council of UK, graduates are expected to learn not only the content and methods of discipline, but also to develop ‘generic’ abilities (through terms such as ‘key skills’) which can be deployed flexibility in a wide range of work and life contexts.6 So, critical thinking is not only a skill of thinking but also a personal attribute.5

In the Australian context, the teaching and learning of a range of ‘generic competencies’ are seen to be at the core of life-long learning to improve students’ flexibility adaptability when they enter the workforce. These competencies are represented, for example, by knowledge and skills relating to: collecting, analyzing, and organizing information; planning activities; problem solving; communicating information; working with others; and using technology (Mayer, 1992) 6

Definitions of critical thinking are numerous. Michael Scriven and Richard Paul proposed, for the National Council for Excellence in Critical Thinking, include various components of critical thinking - Critical thinking is the intellectually discipline process of actively and skillfully conceptualizing, applying, synthesizing, and/or evaluating, information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication as a guide to belief and action. In its exemplary form, it is based on universal intellectual values that transcend subject matter divisions: clarity, accuracy, precision, consistency, relevance, sound evidence, good reasons, depth, breadth, and fairness. It entails the

examination of those structures or elements of thought implicit in all reasoning: purpose, problem or question at issue, assumptions, concepts, empirical grounding; reasoning leading to conclusions, implications, and consequences, objections from alternative view points, and frame of reference. Critical thinking – in being responsive to variable subject matter, issues, and purposes – is incorporated in a family of interwoven modes of thinking, among them: scientific thinking, mathematical thinking, historical thinking, anthropological thinking, economic thinking, moral thinking, and philosophical thinking.7

The term of critical thinking was used in the General Medical Council’s 1993 edition of Tomorrow’s Doctors, it has now been dropped in favor of phrases such as: an ability ‘to gain, assess, apply, and integrate new knowledge …., or an ability ‘to integrate and critically evaluate evidence …’ 8.

Kennedy, Fisher, Ennis, 1996in 6 state that critical thinking involves abilities to identify a problem and its associated assumptions; clarifying and focusing the problem; an analyzing, understanding and making the use of inferences, inductive, and deductive logic, as well as judging the validity, and reliability of assumptions, sources of data or information available.

From those definition reflect a broader process including in medicine not only logic, but also our perceptions, their wording (language), emotions, biostatistical and epidemiological considerations, best evidence, clinical and public health knowledge, attitudes, and skills. Logic and critical thinking are vital parts of human understanding process in general. Human Understanding Process

It starts with reality – what really exist and happens outside the confines of our own minds. From the reality, we make our perception – how we sense or experience reality firsthand. Then thinking processes – how we synthesized our perception of reality in order to create ideas and draw conclusions. Our thinking processes may or may not employ critical thinking. Many factors influence the thinking processes, such as basic emotional and other subjective needs – security, acceptance, belonging, recognition,

Page 78: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 152

love, etc. The other factors are values and principles – our preconceived ideas of what it is important vs. not important and what is right and what is wrong. Then, we make conclusions – our resulting options, claims, beliefs, and understanding of facts. After the conclusion, we come to decision making – problem solving. Application to Medicine

Doctors have reality – existing “real” health and care of patients and communities. From the reality, doctors make perception – observing and describing patient and community health and care. Then thinking processes – making sense of what was seen, preferably by means of a critical thinking path. Many factors influence the thinking processes, such as health providers’ state of mind – a priori acquired and valued knowledge, attitudes, and skills; compassion, fatigue, stress, perception of values, coping with personal problems, etc. The other factors are more objective values and principles – gathered and evaluated best general and specific evidence and effectiveness of its uses. Then, doctors make conclusions – understanding of reality, its causes, and what to do with them. After the conclusions, doctors come to decision-making – what to do or not to do about patient and/ or community health, and then action.

In larger framework, evidence-based policy research relies considerably on critical thinking.7

THE NATURE OF CLINICAL REASONING

How do doctors make decisions? Doctors make decisions all the time – what the problem is, what the diagnosis is, whether to do anything, what to do. What facts do doctors take into account when they come into a decision, and what processes do they see to decide on a course of action? Where does intuition come from? These are the basics of clinical reasoning. When decisions are made in conjunction with the patient, doctors need to have an understanding the “building blocks” of their thinking in order to explain this to the patient and to explore areas where differences in values and opinion may occur.3

Clinical reasoning is define as the process of making sense of a clinical encounter.9

Research attempting to understand the nature of clinical reasoning has been underway for nearly 3 decades. There are three broad research traditions, ordered chronologically are: (1) attempts to understand reasoning as a general skill – the ‘clinical reasoning process’; (2) research based on probes of memory – reasoning related to the amount of knowledge and memory; and (3) research related to the different kinds of mental representations – semantic qualifiers, scripts, schema, and exemplars.

Geoffrey Norman reviewed papers regarding these researches, and come to conclusion: first, there is little evidence that reasoning can be characterized in terms of general process variables. Secondly, it is evident that expertise is associated, not with a single basic representation in memory, from causal mechanisms to prior examples. Different representations may be utilized in different circumstances, but little is known about the characteristics of a particular situation that led to a change in strategy. 10

Kassirer JP in 3, experts use three main methods or a combination of these in making a diagnosis. Probably the most common is the hypothetico-deductive approach. An initial hypothesis or hypotheses are generated very early during the the initial presentation of the problem, from existing knowledge, associations, and experience. Further questions or examinations are oriented towards supporting or refuting these first ideas. If an hypothesis is discarded, as an alternative one is considered and treated in the same way. Several hypotheses can be actively considered at any one time. Both awareness probabilities (prevalence) of disease and knowledge causal pathways are important.

Pattern recognition is also common. A particular combination of symptoms, or even certain phrase used to describe a symptom, can suggest a diagnosis very strongly. People build up their own internal library of pattern on the basis of their experience and existing knowledge.

Finally pathognomonic signs and symptoms exist where a particular finding almost guarantees a certain diagnosis.

Page 79: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Isti Ilmiati Fujiati Seven Areas of Competencies...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 153

All diagnostic methods depend on breadth and depth of knowledge, but the application of knowledge is not straightforward, as it seems. The use of algorithms (following a structured guideline to reach a diagnosis) are not welcomed by many doctors, despite their accuracy and relative freedom from bias.3

To be human, doctors are to be fallible. Since thinking process influenced by many factors7, our thinking processes are often either: (i) hasty, with insufficient investment in deep processing or examination of alternatives; (ii) narrow, with a failure to challenge assumptions or consider other points of view; (iii) fuzzy, or imprecise and prone to conflation; or (iv) sprawling, or disorganized with a failure to conclude.8

Several common feature of thinking can occur during the clinical reasoning process. These are known as cognitive biases.3 A frequent and pervasive cognitive bias affecting everyday practice is ‘confirmation bias’, where we invest more time in seeking to confirm (rather than refute) hypothesis.8

Eva reviewed of the research literature on clinical reasoning. It attempts to re-conceptualize the construct of expertise to that of an amorphous entity that might best be defined as flexibility regarding the ways by which solutions to clinical problems can be derived. Different approaches to clinical reasoning were examined using one of the core divides between various models – analytic (conscious/ controlled) and non-analytic (unconscious/ automatic) reasoning strategies as an orienting framework.

An analytic processing model would remain as long as the notion of careful analysis is maintained, whereas a non-analytic processing model is connected with pattern recognition. Matching between the current patient and the patient encountered in the past. It has been argued that the ability to use non-analytic bases of clinical decision-making increases with expertise, and as a result, the use of pattern recognition should not be advocated among medical students for fear of ‘potentially grim consequences’.

Eva concludes that it is highly probable that both forms of processing contribute to the final decisions reached in all cases. The impact of similarity, in some cases, will be to

prompt an analytic consideration of the current case that is analogues to analysis that were performed on a similar case in the past. As a result, the optimal form of clinical reasoning should be considered an additive model in which both analytic and non-analytic processes play a role.11

NATIONAL COMPETENCY BASED CURRICULUM

With primary care doctor responsibilities in mind, guidance from WHO, WFME (World Federation of Medical Education), results from medical schools around the world and government programs toward Indonesia Sehat 2010, seven areas of competence, also known as the main competence were identified, which are: 1. Effective communication skill. 2. Basic clinical skill. 3. Ability to apply basic knowledge of

biomedics, clinical skills, behavioural skills, and epidemiology in family medicine practice in primary service.

4. Ability to manage health issues in the individual, family or community using comprehensive, holistic, continuous, coordinative, and collaborative means in context of primary medical care.

5. Ability to critically use, assesses, and manages information.

6. Ability to develop and introspect oneself and learn al the time.

7. To uphold ethics, moral and professionalism in practice.

Actually, all the seven areas are the “basic

skills” of a doctor, according to WFME, which is known as basic medical doctor. To ensure achievement of all seven areas, learning process is required (to master the knowledge), skills trainings (to master the basic clinical skills) and ended with internship (to achieve basic competency as primary care doctors that able to apply family medicine approach).1

From the explanation above, we can clearly see the relation between the seven areas of competency with the nature of critical thinking and clinical reasoning. Doctors produced are expected to be doctors that can diagnose the patient using critical analysis with thinking skills (cognitive and metacognitive) by integrating medical

Page 80: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 154

knowledge and clinical knowledge resulting good clinical reasoning. Clinical skills supported with good communication skill as a guide to act and believe.

This also must be supported with ability to critically use, assess and manage information and willingness to learn all the time. One of the important contributions of clinical epidemiology and evidence-based medicine (EBM) was the formulation and uses of critical appraisal. At various stages of clinical work and decisions, medical research, and health program assessment.7, 8

Critical thinking in linking to 7 areas of competencies, very much connected with the definition below: “The critical habit of thought, if usual in a society, will pervade its entire mores, because it is a way of talking up the problems of life. Men educated in it cannot be stampeded by stump orators… they are slow to believe. They can hold things as possible or probable in all degrees, without certainty and without pain. They can wait for evidence and weigh evidence, uninfluenced by the emphasis or confidence with which assertions are made on one side or the other. They can resist appeals to their dearest prejudices and all kinds of cajolery. Education in the critical faculty is the only education of which it can be truly said that it makes good citizens.” 7 CONCLUSION

Higher education happens in the university, where the students have higher learning. Engaging in higher-order thinking with others may teach students that they have the ability, the permission, and even the obligation, to engage in a kind of critical analysis that does not always accept problem formulations as presented, or that may challenge an accepted position.

There is good reason to believe that a central aspect of developing higher-order cognitive abilities in students is a matter of shaping this kind of disposition to critical thought.12

Cannon, 1998in 4 – Universities are establishment by society to preserve and advance knowledge, to develop people and to act as independent critics of the society that support them. Based on it, the education for the profession started at the university as a

basic education. For those, the objectives of the university were to teach students to analyzed ideas or issues critically, to develop students’ intellectual/ thinking skills, to teach students to comprehend principles or generalizations.

A broad, general finding from the research base is that nearly all of the thinking skills programs and practices investigated were found to make a positive difference in the achievement levels of participating students.13

REFERENCES 1. Standar Kompetensi Pendidikan

Kedokteran Dasar Indonesia, KIPDI III 2006, Dirjen Pendidikan Tinggi, Indonesia.

2. Achmad, T. H., 2005, Shifting Paradigm in Medical Education, Socialization of New Curriculum in Medical Education, University of Sumatera Utara School of Medicine.

3. Round, A., 2002, Introduction to clinical reasoning, student BMJ, http://www. studentbmj.com/issues/00/02/education/15.php.

4. Widodo, S. O. S., 2006, Higher Learning, in Landasan Falsafah dalam Pendidikan Tinggi, ppt. Presentation.

5. Duldt-Battey, B. W., 1997, Teaching winners: How to teach critical thinking, in Critical Thinking Across the Curriculum Project, Longview Community College, Lee’s Summit, Missouri.

6. Pithers, R. T. and Soden, R., 2000, Critical thinking in education: a review, Educational Research, 42 (3), 237-249.

7. Jenicek, M., 2006, Uses of Philosophy in Medical Practice and Research, (pp 1-42) in A Physician’s Self-Paced Guide to Critical Thinking, Milos Jenicek, American Medical Association.

8. Kee, F. and Bickle, I., 2004, Critical thinking and critical appraisal: the chicken and the egg?, QJM, 97, 609-614.

Page 81: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Isti Ilmiati Fujiati Seven Areas of Competencies...

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 155

9. University of Washington, 2005, The Clinical Reasoning ‘Guidelines’ for ICM II, The College Faculty of the University of Washington School of Medicine.

10. Norman, G., 2005, Research in clinical reasoning: past history and current trends, Medical Education, 39, 418-427.

11. Eva, K. W., 2004, What every teachers need to know about clinical reasoning, Medical Education, 39, 98-106.

12. Resnick, L., 1990, Instruction and the cultivation of thinking, in Handbook of Educational Ideas and Practice, N Entwistle (ed), Routledge.

13. Cotton, K., 1991, Teaching Thinking Skills, NW Regional Educational Laboratory, http://www.nwrel.org/scpd/ sirs/6/cu11.html

Page 82: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 156

Ekstraksi Benda Asing di Bronkus dan Esofagus

Harry A. Asroel Departemen Ilmu Penyakit THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing pada saluran napas dapat terjadi pada semua umur terutama anak-anak karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulutnya bahkan sering bermain atau menangis pada waktu makan. Benda asing dalam esofagus dapat menyebabkan keadaan yang berbahaya, seperti penyumbatan dan penekanan ke jalan nafas. Gejala sumbatan benda asing di saluran napas tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan, sifat, bentuk dan ukuran benda asing. Pada prinsipnya benda asing di esofagus dan saluran napas ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan trauma yang minimal. Kata kunci: benda asing, semua umur, ekstraksi benda asing Abstract: Foreign bodies in the organ are things that comes from out of the human body or even from the human body itself, which isn’t been there normally. Foreign bodies in the upper respiratory tract can be happened to any ages, especially children, because they often put anything in their mouth more over they laugh or cry while they are eating. Foreign bodies in the esophagus can cause a dangerous condition like obstruction and pressure to upper respiratory tract. The symptoms of obstruction from foreign bodies in the upper respiratory tract depend on the location of obstruction, size and shape of foreign bodies, degree of obstruction and their characteristics. In principle, foreign bodies in the esophagus and upper respiratory tract should be extracted as soon as possible by endoscopic approach with safe condition and minimal traumatic. Keywords: foreign bodies, any ages, foreign bodies extraction PENDAHULUAN

Benda asing di esofagus dapat berupa benda tajam maupun tumpul atau makanan yang tersangkut dan terjepit di esofagus karena tertelan secara sengaja atau tidak sengaja1. Lokasi tersangkut biasanya pada salah satu tempat penyempitan fisiologis esofagus1,2. Penyebabnya adalah kebiasaan makan dan minum terburu-buru serta cara penyediaan makanan yang kurang tepat3. Secara klinis masalah yang timbul akibat benda asing esofagus dapat dibagi dalam golongan anak dan dewasa1. Faktor predisposisi pada anak antara lain belum tumbuhnya gigi molar untuk dapat menelan dengan baik, koordinasi proses menelan dan sfingter laring yang belum sempurna pada kelompok usia 6 bulan – 1

tahun1. Pada orang dewasa tertelan benda asing sering dialami oleh pemabuk atau pemakai gigi palsu yang telah kehilangan sensasi rasa (tactile sensation) dari palatum dan pada penderita gangguan jiwa1. Gejala yang timbul berupa rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging), disfagia, muntah1.

Benda asing di saluran napas (trakeobronkial) dapat merupakan benda asing eksogen atau endogen. Benda asing eksogen terdiri dari zat organik seperti kacang-kacangan, tulang, dan lain-lain; dan zat anorganik seperti peniti, jarum dan lain-lain. Benda asing endogen contohnya krusta, mekonium dan lain-lain4.

LAPORAN KASUS

Page 83: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Harry A. Asroel Ekstraksi Benda Asing di Bronkus dan Esofagus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 157

Benda asing pada saluran napas dapat terjadi pada semua umur terutama anak-anak karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulutnya, bahkan sering bermain atau menangis pada waktu makan5.

Aspirasi benda asing adalah suatu hal yang sering ditemukan dan ditangani dalam situasi gawat darurat5. Aspirasi benda asing dapat menyebabkan berbagai perubahan mulai dari gejala yang minimal dan bahkan tidak disadari, sampai gangguan jalan napas dan dapat menimbulkan kematian6.

Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan, sifat, bentuk dan ukuran benda asing. Diagnosis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul rasa tercekik (choking), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti radiologi dan endoskopi4,7-9.

Secara prinsip, benda asing di saluran napas dan esofagus ditatalaksana dengan pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan trauma yang minimum1,4. Benda asing di traktus trakeobronkial dikeluarkan secara bronkoskopi, menggunakan bronkoskop kaku atau serat optik; begitu juga dengan benda asing di esofagus dikeluarkan secara esofagoskopi menggunakan esofagoskop kaku serta menggunakan cunam yang sesuai dengan benda asing itu1,4,6,7. Tindakan bronkoskopi harus segera dilakukan, apalagi bila benda asing bersifat organik karena benda asing organik seperti kacang-kacangan mempunyai sifat higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air serta menyebabkan iritasi pada mukosa4.

Kami laporkan satu kasus benda asing di bronkus pada seorang balita laki-laki dan satu kasus benda asing di esofagus pada seorang wanita dewasa yang berhasil di ekstraksi secara bronkoskopi dan esofagoskopi. LAPORAN KASUS Kasus 1 (MR: 22-45-21)

Seorang balita laki-laki berumur 23 bulan, N, dibawa orangtuanya ke IGD RSUP. H. Adam Malik Medan pada tanggal 17 Oktober 2002 sekitar pukul 14.00 WIB membawa surat pengantar dari sejawat spesialis THT

dengan keluhan sesak napas. Dari allo anamnesis diketahui bahwa penderita terhirup kacang tanah sejak malam sebelumnya (16 Oktober 2002, sekitar jam 20.00 wib) dimana saat itu penderita nonton TV sembari mengunyah kacang dan melompat-lompat. Kemudian penderita tersedak diikuti batuk-batuk dan selanjutnya sesak napas. Penderita dibawa orangtuanya ke UGD RS swasta dan ditangani oleh dokter umum. Oleh dokter tersebut hanya diberi obat dan dikatakan bahwa balita ini tidak apa-apa lalu disuruh pulang. Orangtua penderita merasa tidak puas dan membawa anaknya ke praktek dokter spesialis anak (sekitar jam 22.00 wib). Oleh spesialis anak, penderita disuruh menjalani pemeriksaan foto rontgen dada di salah satu RS swasta lainnya. Setelah menjalani pemeriksaan foto rontgen dada, penderita dianjurkan kembali keesokan harinya untuk mengambil hasil foto. Ketika penderita dibawa orangtuanya mengambil hasil foto pada tanggal 17 Oktober sekitar jam 10.00 wib, dokter UGD RS tersebut merujuk penderita ke spesialis THT, lalu spesialis THT tersebut mengirim penderita ke RSUP. H. Adam Malik. Status presens: - Kesadaran: compos mentis, Nadi:

108x/menit, Temp.: afebris BB 12 kg - RR: 44x/menit, sianosis (+) jika penderita

menangis, stridor (+). Status lokalisata:

Telinga, hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan laringoskopi indirek sulit dilakukan.

Hasil foto rontgen dada: tidak tampak kelainan radiologis dari cor dan pulmo. Diagnosis sementara:

Susp. benda asing di saluran napas. Terapi:

Ekstraksi benda asing secara bronkoskopi dengan anestesi umum. Penderita dipuasakan

Dilakukan ekstraksi benda asing secara bronkoskopi pada tanggal 17 Oktober 2002 sekitar jam 17.00 wib. KU penderita post bronkoskopi: baik.

Page 84: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Laporan Kasus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 158

Terapi post bronkoskopi (advis dari Departemen Kesehatan Anak): - IVFD Dextrose 5% + Na Cl 0,225% 16

tetes/menit (mikro). - Inj. Cefotaxime 300mg/12 jam - Inj. Dexametason 5 mg/12 jam - Paracetamol sirup 3 x cth I

Pada follow up tanggal 18 Oktober 2002 tidak dijumpai keluhan lagi dari penderita dan penderita diizinkan untuk PBJ. Kasus 2 (MR: 29-68-35)

Seorang wanita berumur 35 tahun, RUB, datang ke IGD RSUP. H. Adam Malik Medan pada tanggal 22 Februari 2006 sekitar pukul 9.00 wib dengan keluhan tertelan gigi palsu yang dialami penderita sekitar 1 jam sebelum datang ke rumah sakit. Saat itu penderita makan secara terburu-buru sehingga tanpa disadarinya gigi palsu yang dipakainya ikut tertelan dan tersangkut di kerongkongan. Penderita merasa ada yang mengganjal di kerongkongan dan mencoba mengeluarkan namun tidak berhasil. Tidak didapati batuk-batuk dan sesak nafas. Status presens: - Kesadaran: compos mentis Nadi: 72x/menit

Temp.: afebris - RR: 20x/menit, Tekanan Darah: 110/70

mmHg. Status lokalisata:

Telinga, hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pemeriksaan laringoskopi indirek menunjukkan adanya stase ludah pada sinus piriformis.

Foto rontgen leher menunjukkan adanya bayangan radioopak setentang C.VI-VII, kesan adanya benda asing di esofagus. Diagnosis sementara:

Benda asing di esofagus. Terapi:

Ekstraksi benda asing secara esofagoskopi dengan anestesi umum. Penderita dipuasakan

Dilakukan ekstraksi benda asing secara esofagoskopi pada tanggal 22 Februari 2006

sekitar pukul 13.30 wib. KU penderita post esofagoskopi: baik.

Terapi post esofagoskopi: - IVFD Ringer Laktat 20 tetes/menit. - Inj. Ampisilin 1 gr/6 jam. - Inj. Dexametason 1 ampul/12 jam (1 hari

saja). - Inj. Tramadol 1 ampul/8 jam (kapan

perlu).

Pada follow up tanggal 23 dan 24 Februari 2006 tidak dijumpai keluhan lagi dari penderita dan penderita diizinkan untuk PBJ. Diskusi

Di bagian THT FK UNPAD/RS Hasan Sadikin Bandung selama tahun 1998 terdapat 10 kasus benda asing di traktus trakeobronkial, 5 diantaranya terdapat di bronkus kanan, 1 di bronkus kiri dan sisanya terdapat di laring dan trakea5. Di bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dari tahun 1999-2002 terdapat 7 kasus benda asing di traktus trakeobronkial dimana 5 kasus terdapat di bronkus dan 2 kasus di trakea.

Faktor yang predisposisi terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,dll), kegagalan mekanisme proteksi yang normal (keadaan tidur, kesadaran menurun, dll), faktor kejiwaan (emosi dan gangguan psikis) dan faktor kecerobohan (makan/minum tergesa-gesa, makan sambil bermain, meletakkan benda asing di mulut, memberikan kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya belum lengkap)4,7.

Diagnosis benda asing pada kasus ini berdasarkan anamnesis (adanya riwayat makan kacang sambil melompat-lompat, tersedak, batuk-batuk dan sesak napas) dan gejala klinis (frekwensi napas 40x/menit dan dispnea), sedangkan dari pemeriksaan foto polos dada tidak dijumpai adanya bayangan radioopak pada saluran napas, hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa benda asing kacang-kacangan bersifat radiolusen dan belum menunjukkan gambaran radiologis yang berarti jika dibuat pemeriksaan foto polos < 24 jam kejadian4.

Pada waktu ekstraksi benda asing terjadi kesulitan dimana pada ekstraksi pertama di pangkal bronkus kiri, massa pecah dan masuk ke bronkus kanan. Setelah massa di bronkus

Page 85: MKN Vol_ 40 No_ 2 Juni 2007

Harry A. Asroel Ekstraksi Benda Asing di Bronkus dan Esofagus

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni 2007 159

kiri berhasil dikeluarkan, lalu bronkoskop dimasukkan kembali untuk melakukan ekstraksi pada bronkus kanan.

Pada kasus ini ada 3 hal yang menjadi masalah, yaitu: 1. Terlalu lamanya waktu antara benda asing

masuk ke bronkus dengan mulai dilakukannya tindakan bronkoskopi + 21 jam.

2. Lamanya persiapan untuk tindakan bronkoskopi, di mana penderita tiba di IGD sekitar jam 14.00 wib → tindakan bronkoskopi baru bisa dilakukan pada jam 17.00 WIB karena petugas yang terkait tidak berada di tempat.

3. Alat-alat yang masih sangat sederhana (tidak komplit).

Pada kasus ke 2, tertelannya gigi palsu

karena faktor kelalaian penderita yang makan dengan terburu-buru, juga karena posisi gigi palsu yang telah longgar/tidak melekat kuat ditempatnya. Saat dilakukan tindakan esofagoskopi, tampak gigi palsu berada di daerah C.VI-VII melewati daerah krikofaring. KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus benda asing kacang tanah di bronkus kiri pada seorang balita laki-laki yang berhasil di ekstraksi secara bronkoskopi dan satu kasus benda asing gigi palsu di esofagus seorang wanita dewasa yang berhasil di ekstraksi secara esofagoskopi, dimana kedua tindakan ini berhasil baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Junizaf MH. Benda asing di esofagus.

Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, Jakarta, Balai penerbit FK UI, 2001: 248-51.

2. Burton M, Leighton S, Robson A, et al. Hall & Colman’s Diseases of the Ear, Nose

and Throat, 15th edition, Edinburgh, Churchill Livingstone, 2000: 217.

3. Asroel HA, Aboet A. Penanganan benda asing daging pada esophagus dengan enzim proteolitik. Kumpulan abstrak PIT Perhati-KL, Palembang, 2001: 180.

4. Junizaf MH. Benda asing di saluran napas. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima, Jakarta, Balai penerbit FK UI, 2001: 218-23.

5. Kurnaidi WG, Purwanto TB. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah ilmiah KONAS PERHATI XII, Semarang 28-30 Oktober 1999: 426-33.

6. Munter DW, Gelford B. Foreign bodies, Trachea. Available from URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic751.htm

7. Murray AD. Foreign bodies of the airway. Available from URL: http://www.emedicine.com/

ent/topic451.htm

8. Zawadzka-Gos L, Jakubowska A, Zajac B, et al. Foreign bodies of the airway in children. Available from URL: http://www.borgis.pl/czytelnia/new_med/2001/02/07.html

9. Lee KJ. Essential Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 7th edition, Connecticut, Appleton & Lange, 1999: 902-3.