mkn vol_ 39 no_ 4 des_ 2006

107
dari redaksi SELAMAT TAHUN BARU Terbitan ini merupakan terbitan terakhir pada Volume 39, yang menandakan berakhirnya tahun 2006, yakni tahun yang penuh perubahan di Fakultas Kedokteran USU. Tahun ini menandakan dimulainya pelaksanaan kurikulum baru bagi mahasiswa kedokteran di FK USU. Terhitung mulai tahun ajaran 2006-2007, Fakultas Kedokteran USU menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Pelaksanaan KBK ini menuntut kerja keras dan kontribusi yang besar dari semua pihak. KBK seyogianya lebih memotivasi para staf pendidik dan umumnya seluruh sivitas akademika untuk mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kontribusi terkecil yang bisa kita berikan adalah dalam bentuk kesiapan diri kita masing-masing melalui peningkatan mutu diri sendiri. Membaca memperluas wacana, menulis meningkatkan keterampilan. Melakukan penelitian membuka peluang untuk dapat lebih banyak membaca dan menulis. Penelitian yang bermutu pada gilirannya akan memberikan keuntungan yang besar bagi ilmu pengetahuan. Menutup tahun 2006 ini, kami mengharapkan partisipasi dari para sejawat untuk menyumbangkan tulisan dan karya ilmiah yang semakin bermutu, seiring dengan janji kami untuk tetap menjaga mutu terbitan ini pada tahun-tahun mendatang. Selamat tahun baru!

Upload: sem-palalangan

Post on 22-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

dari redaksi

SELAMAT TAHUN BARU

Terbitan ini merupakan terbitan terakhir pada Volume 39, yang menandakan berakhirnya tahun 2006, yakni tahun yang penuh perubahan di Fakultas Kedokteran USU. Tahun ini menandakan dimulainya pelaksanaan kurikulum baru bagi mahasiswa kedokteran di FK USU.

Terhitung mulai tahun ajaran 2006-2007, Fakultas Kedokteran USU menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Pelaksanaan KBK ini menuntut kerja keras dan kontribusi yang besar dari semua pihak. KBK seyogianya lebih memotivasi para staf pendidik dan umumnya seluruh sivitas akademika untuk mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kontribusi terkecil yang bisa kita berikan adalah dalam bentuk kesiapan diri kita masing-masing melalui peningkatan mutu diri sendiri.

Membaca memperluas wacana, menulis meningkatkan keterampilan. Melakukan penelitian membuka peluang untuk dapat lebih banyak membaca dan menulis. Penelitian yang bermutu pada gilirannya akan memberikan keuntungan yang besar bagi ilmu pengetahuan.

Menutup tahun 2006 ini, kami mengharapkan partisipasi dari para sejawat untuk menyumbangkan tulisan dan karya ilmiah yang semakin bermutu, seiring dengan janji kami untuk tetap menjaga mutu terbitan ini pada tahun-tahun mendatang.

Selamat tahun baru!

Page 2: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

2

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006 ii

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 ii

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 ii

Page 3: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006
Page 4: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

petunjuk untuk penulis

Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah dan surat kepada redaksi.1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu

kedokteran dasar maupun terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil.

2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir.

3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.

4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan.

5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan.

6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan.

Petunjuk UmumMakalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah.Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent).

Penulisan MakalahMakalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis.

Halaman JudulHalaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang.

Abstrak dan Kata Kunci

4

Page 5: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah.

Teks MakalahTeks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), hasil (Results) dan diskusi (Discussion) atau format IMRAD.Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf.

TabelSetiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah.

GambarKirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah.

Metode StatistikJelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

Ucapan TerimakasihBatasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi.

Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus.Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh:

Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996.

Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 iv

Page 6: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Makalah dikirimkan pada:Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran NusantaraJl. dr. Mansur No. 5Medan 20155Indonesia

6

v Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006

Page 7: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

DAFTAR ISI

Susunan Redaksi i

Dari Redaksi ii

Petunjuk untuk Penulis iv

Daftar Isi vi

KARANGAN ASLI1. Karakteristik Tumor Infratentorial dan Tatalaksana Operasi di

Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran UI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2001 – 2005Hilman Mahyuddin

379

2. Efek Terapi Bedah terhadap Reversibilitas Gangguan Penglihatan pada Penderita Tumor Intrakranial Studi Retrospektif di Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2000 – 2005Hilman Mahyuddin

385

3. Effectivity of Live Versus Heat Killed Probiotic in Children with Acute DiarrhoeaSupriatmo

391

4. Pemetaan Sentinel Lymph Node dengan Teknik Pewarnaan Blue Dye pada Penderita Kanker Payudara OperabelEmir T. Pasaribu

397

TINJAUAN PUSTAKA5. Intoleransi Laktosa

Atan Baas Sinuhaji407

6. Aspek Medikolegal Luka pada Forensik KlinikAlfred C. Satyo

413

7. Kontroversi Profilaksis Elektif Node Diseksi dalam Penanganan Melanoma MalignaEmir T. Pasaribu

416

8. Cedera Paru dan Diafragma Akibat VentilatorChairul Yoel

421

9. Rapid Sequence IntubationChairul Yoel

426

LAPORAN KASUS10

.Identifikasi Korban Post Mortem yang Dipastikan oleh Laporan Operasi Ante Mortem Alfred C. Satyo

432

11.

Reye’s Syndrome in Children Supriatmo

437

12.

Kista Duktus Koledokus Atan Baas Sinuhaji

442

13.

Foreign Body in The AirwayChairul Yoel

445

Majalah Kedokteran NusantaraVolume 39 No. 4 Desember 2006

Page 8: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

8

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 vi

Page 9: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Karakteristik Tumor Infratentorial dan Tatalaksana Operasi di Departemen Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran UI/RSUPN Cipto Mangunkusumo

Tahun 2001 – 2005

Hilman MahyuddinDepartemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak: Latar belakang: data yang pasti tentang insiden tumor otak di Indonesia setiap tahunnya belum ada. Padahal tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam kelompok penyakit neurologis. Tumor infratentorial mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tumor supratentorial. Tujuan: tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik kasus tumor infratentorial di Departemen Bedah Saraf RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: disain penelitian ini adalah studi deskriptif. Penelitian dilakukan selama 5 tahun dari bulan Januari 2001 sampai dengan Desember 2005. Populasi dan subyek penelitian adalah semua pasien tumor infratentorial yang menjalani operasi pemasangan VPS dan atau trepanasi serebelar di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Hasil: dari 61 kasus tumor infratentorial, sebagian besar datang dengan keluhan muntah dengan atau tanpa sakit kepala. Tiga puluh satu menjalani operasi 2 tahap, 17 menjalani operasi 1 tahap, 6 hanya menjalani pemasangan VPS, dan 7 hanya menjalani trepanasi serebelar. Kemudian dari hasil histopatologi 17 kasus sesuai dengan neurilemomma (neurinoma akustik), 9 kasus dengan meduloblastoma, dan 8 kasus dengan ependimoma. Kesimpulan: Gambaran tumor infratetorial di FKUI/RSCM tidak berbeda dengan hasil yang ada di literatur lain. Sebagian besar pasien datang dengan keluhan umum tumor infratentorial seperti sakit kepala. Tindakan operasi yang dilakukan adalah tindakan 2 tahap berupa pemasangan VPS diikuti dengan trepanasi dalam waktu yang berbeda.Kata kunci: tumor infratentorial, keluhan utama, tatalaksana operasi, histopatologi

Abstract: Background: Annual data on brain tumor is not available in Indonesia. In fact, brain tumor is the second most leading cause of death after stroke in neurological disease. Infratentorial tumors has distinc characteristics from those of supratentorial ones. Objective: This study is aimed to figure the characteristics of infratentorial tumors in Neurosurgery Department at Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. Method: This study is a decsriptive study which was held during 5 years, from January 2001 until Desember 2005. Subject and population were all patients with infratentorial tumor who had undergone one or both VP shunt operation and cerebellar trephanation in the hospital. Result: Most of the 62 cases were with chief complaint of vomitting with or without headache. Thirty one cases underwent two-step operation, 17 with one-step operation, 6 underwent VP shunt insertion only, and 7 underwent cerebellar trephanation only. Histopathology examinations result in neurillemoma (acoustic neurinoma), medulloblastoma and ependymoma with incidence of 17, 9 and 8 respectively. Conclusion: The figure of infratentorial tumor in Neurosurgery Department is similar to those cited in literatures. Most of patients

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 379

KARANGAN ASLI

Page 10: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

presented with common complaint in infratentorial tumor, such as headache. Operative treatment was designed in two steps, trephanation following VP shunt at different time.Keywords: infratentorial tumor, chief complaint, operative treatment, hysopathology.

PENDAHULUANTumor otak merupakan penyebab

kematian kedua setelah stroke dalam kelompok penyakit neurologis.1,2

Diperkirakan sekitar 11.000 orang meninggal akibat tumor otak primer setiap tahunnya di Amerika Serikat.1

Insidensi kasus baru tumor otak di Amerika Serikat saat ini mencapai 18 kasus dalam 100.000 populasi.1,3

Tumor infratentorial mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tumor supratentorial.1,2,4,5 Perbedaan karakteristik ini mencakup beberapa faktor antara lain usia pasien, jenis kelamin pasien, manifestasi klinis, histopatologi tumor, dan tindakan operasi.1,2 Manifestasi klinis yang ditimbulkan tumor infratentorial dapat disebabkan baik akibat penekanan tumor langsung pada serebelum dan batang otak maupun pada ventrikel IV.2,4,5,6

Data yang pasti tentang insiden tumor otak di Indonesia setiap tahunnya belum ada. Beberapa data yang ada mengenai frekuensi tumor otak umumnya didasari atas pengalaman pribadi para dokter bedah saraf, hasil otopsi, dan angka angka dari beberapa rumah sakit.1-3

PASIEN DAN METODE

Populasi PasienPopulasi dan subyek penelitian

adalah semua pasien tumor infratentorial yang menjalani operasi ventrikuloperitoneal shunt dan atau trepanasi serebelar di RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2001 sampai dengan Desember 2005. Dari data tersebut dicatat: usia, jenis kelamin, keluhan utama, jenis dan sifat

tindakan operasi, serta histopatologi tumor. Kemudian data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks dan tabel

HASIL

Karakteristik RespondenDari 61 kasus tumor infratentorial

didapati jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki 35 orang dan wanita 26 orang. Berdasarkan usia, kasus tumor infratentorial terbanyak terjadi pada kelompok usia 1 -10 tahun yaitu sebesar 15 orang, disusul kelompok usia 41 – 50 dan 51 – 60 tahun masing masing 10 orang.

Keluhan UtamaDari 61 kasus tumor infratentorial

keluhan utama terbanyak adalah muntah tanpa atau disertai sakit kepala yaitu sebanyak 39 orang disusul jalan sempoyongan atau gangguan keseimbangan sebanyak 17 orang.

Tabel 1.Keluhan utama pasien

Keluhan Utama Jumlah

Jalan sempoyongan 17

Kesadaran menurun 2

Muntah 12

Sakit kepala dan muntah 27

Pandangan kabur 3

Tindakan OperasiDari 61 kasus tumor infratentorial

31 orang menjalani 2 kali operasi pada waktu yang berbeda yaitu pertama melakukan pintas ventrikuloperitoneal (ventrikuloperitoneal shunt) dan kedua trepanasi serebelar untuk pengangkatan tumor. Tujuh belas orang

380

Page 11: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

menjalani kedua jenis tindakan tersebut dalam satu tahap, 6 orang hanya menjalani operasi pintas ventrikuloperitoneal, dan 7 orang menjalani trepanasi serebelar saja.

Dipandang dari aspek keluhan utama dan tindakan operasi akan terlihat bahwa sebagian besar pasien

dengan keluhan utama muntah dengan atau tanpa sakit kepala menjalani tindakan operasi dalam 2 tahap, yaitu sebesar 26 kasus, sedangkan 6 kasus sisanya dengan keluhan yang sama menjalani tindakan operasi dalam 1 tahap. Hasil selengkapnya terlihat dalam Tabel 4.

Tabel 2.

Jenis tindakan operasi berdasarkan keluhan utama

Keluhan UtamaOperasi

1 Tahap 2 Tahap Trepanasi VP Shunt

Jalan sempoyongan 9 1 7  

Pandangan kabur 2 1    

Muntah 3 8    

Sakit kepala dan muntah 3 18   7

Kesadaran menurun   2    

Tabel 3.Histopatologi tumor

Histopatologi JumlahAstrositoma pilositik 4Astrositoma grade 2 7Ependimoma 8Meduloblastoma 9Meningioma 3Neurilemoma 17Neuroblastoma 1Teratoma 1Hemangioblastoma 1Hemangioperisitoma 1Kista dermoid 1Metastasis adenokarsinoma 1

Tabel 4. Histopatologi tumor berdasarkan usia pasien

HistopatologiUsia

1 - 10 11 - 20 21 - 30 31 - 40 41 - 50 51 - 60 61 - 70

Astrositoma pilositik 2 2          

Astrositoma grade 2   2 3 1     1

Ependimoma 1   2 3 2    

Meduloblastoma 8 1          

Meningioma       1   1 1

Neurilemoma       4 7 6  

Neuroblastoma 1            

Teratoma 1            

Hemangioblastoma           1  

Hemangioperisitoma           1  

Kista dermoid         1    

Metastasis adenokarsinoma           1  

Histopatologi TumorDari 61 kasus tumor infratentorial,

data histopatologi menunjukkan 17

kasus sesuai dengan neurilemomma (neurinoma akustik), 9 kasus dengan meduloblastoma, dan 8 kasus dengan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 381

Page 12: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

ependimoma. Hasil ini terlihat pada Tabel 3.

Ditinjau dari aspek histopatologi tumor dan usia pasien terlihat bahwa kasus meduloblastoma sebagian besar terjadi pada kelompok usia 1–10 tahun, ependimoma relatif merata mulai usia 21–50 tahun, dan kasus neurinoma akustik terbagi merata pada kelompok usia 41–50 tahun dan 51–60 tahun. Hasil selengkapnya terlihat dalam Tabel 4.

DISKUSI

Karakteristik RespondenDilihat dari faktor jenis kelamin

terlihat bahwa kasus tumor infratentorial lebih banyak terjadi pada laki-laki (57%) dibanding wanita (43%) dengan rasio 1,3 : 1. Hasil ini sesuai dengan sebagian besar studi epidemiologi tumor otak. Dari beberapa penelitian internasional tentang insiden tumor otak primer tanpa memandang histopatologi tumor didapat angka rasio laki-laki berbanding wanita adalah 1,4 : 1. 3

Dilihat dari segi usia terlihat bahwa kasus tumor infratentorial lebih banyak terjadi pada kelompok dewasa dibanding anak-anak. Jika digunakan batasan usia anak-anak adalah 18 tahun maka persentasenya adalah anak-anak 28% dan dewasa 72%. Hasil ini berbeda dengan literatur yang menyebutkan bahwa antara 54–70% dari keseluruhan kasus tumor otak pada anak terjadi di daerah infratentorial dibandingkan dengan 15–20% pada orang dewasa. Perbedaan ini dapat disebabkan karena tumor infratentorial pada anak–anak umumnya lambat terdeteksi karena lebih sulit mengenali gejala - gejala klinisnya dibanding pada orang dewasa dan jumlah kasus tumor otak secara keseluruhan lebih banyak terjadi pada usia dewasa dibandingkan anak – anak.

Karakteristik Keluhan UtamaDitinjau dari aspek keluhan utama

terlihat bahwa sebagian besar penderita tumor infratentorial datang

dengan keluhan utama muntah dengan atau tanpa sakit kepala disusul gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, dan penurunan kesadaran. Terlihat bahwa sebagian besar pasien datang dengan gejala klinis peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan gejala umum tumor infratentorial, sedangkan sisanya datang dengan gejala klinis fokal berupa gangguan keseimbangan. Hasil ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa hampir 100% pasien dengan tumor infratentorial mempunyai keluhan utama sakit kepala. Meskipun sakit kepala sendiri dapat merupakan gejala klinis fokal tumor infratentorial, akan tetapi sulit untuk dibuktikan mengingat hampir sebagian besar pasien datang setelah terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus (90%).

Hal yang menarik adalah tidak terlihatnya ganggguan pendengaran sebagai keluhan utama, sedangkan dalam literatur disebutkan bahwa keluhan ini termasuk dalam kelompok mayoritas keluhan utama yang timbul pada tumor infratentorial, khususnya jenis tumor neurinoma akustik (neurilemoma).1,2,3,7 Hal ini berarti semua kasus neurilemoma yang dikirim atau dirujuk ke Departemen Bedah Saraf telah memasuki fase lanjut. Kondisi ini dapat disebabkan karena tingkat pendidikan pasien yang rendah, kurangnya informasi kesehatan tentang pentingnya pemeriksaan dini pada gangguan pendengaran, dan tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan pasien cenderung menunda tindakan operasi.

Jenis Tindakan OperasiDari hasil di atas terlihat bahwa

sebagian besar pasien menjalani tindakan operasi dalam 2 tahap. Tindakan operasi dalam 2 tahap dilakukan dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:1. Sudah terdapat gejala peningkatan

tekanan intrakranial yang membutuhkan penanganan segera untuk mencegah kematian dan kecacatan saraf lebih lanjut.

382

Page 13: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

2. Tidak selalu tersedianya tempat di unit perawatan intensif untuk perawatan pasca operasi yang mutlak diperlukan bagi pasien pasca tindakan pengangkatan tumor infratentorial.

3. Pihak pasien dengan berbagai alasan tidak selalu setuju untuk dilakukan 2 jenis tindakan operasi dalam 1 tahap.

Kelemahan tindakan operasi 2 tahap adalah: risiko terjadinya upward herniation yang dapat memperburuk keadaan dan membutuhkan tindakan operasi segera, jumlah volume intrakranial yang dapat dikurangi pada saat operasi menjadi lebih kecil sehingga secara teknis dapat mempersulit jalannya operasi, dan kurang ekonomis karena otomatis biaya perawatan rumah sakit akan menjadi lebih besar. Namun meskipun upward herniation dapat berakibat fatal akan tetapi dari 31 pasien yang menjalani operasi 2 tahap hanya 1 pasien yang mengalami komplikasi ini.

Berdasarkan kondisi di atas, maka keuntungan operasi 1 tahap dibanding 2 tahap dalam aplikasi teknisnya adalah sebagai berikut:1. Kemungkinan otak bengkak pada

saat membuka duramater akan lebih kecil.

2. Meminimalisasi tindakan retraksi otak pada kasus kasus tumor di basis kranii (skull base tumor) atau deep seated tumor.

Dari data di atas terlihat bahwa dari 61 kasus tumor infratentorial 62% di antaranya menjalani operasi pemasangan VP Shunt atas indikasi hidrosefalus. Insiden hidrosefalus pada kasus tumor infratentorial ditentukan oleh berbagai faktor yaitu ukuran massa tumor dan letak tumor terhadap ventrikel IV.

Histopatologi TumorBerdasarkan hasil histopatologi di

atas tampak angka kejadian tumor intra aksial lebih besar dibanding tumor ekstra aksial, yaitu masing masing 54% dan 36%. Dari 6 kasus tumor infratentorial (10%) yang hanya dilakukan tindakan pemasangan VP Shunt, dapat diperkirakan berdasarkan pemeriksaan radiologis termasuk golongan intra aksial. Dari kelompok intra aksial kasus tumor terbanyak secara berurutan adalah: meduloblastoma, ependimoma, astrositoma grade 2, dan astrositoma pilositik. Adapun dari kelompok ekstra aksial kasus terbanyak secara berurutan adalah neurinoma akustik disusul meningioma. Hasil di atas memang sesuai dengan beberapa literatur yang menyebutkan bahwa meduloblastoma dan astrositoma mempunyai angka kejadian tertinggi untuk kelompok tumor intra aksial infratentorial, sedangkan neurinoma akustik dan meningioma merupakan jenis tersering dalam kelompok tumor ekstrinsik infratentorial.

Ditinjau dari aspek keluhan utama dan jenis tumor akan terlihat dari 38 kasus tumor intrinsik ternyata 82% menunjukkan keluhan utama yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial dan hanya 18% yang menunjukkan keluhan utama yang berhubungan dengan gejala neurologis fokal. Dari 23 kasus tumor ekstrinsik tidak terlalu terlihat perbedaan yang menyolok antara gejala peningkatan tekanan intrakranial dan gejala klinis fokal, yaitu masing-

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 383

Page 14: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

masing sebesar 56% dan 44%. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kondisi di atas adalah sebagai berikut:1. Kelompok tumor intrinsik akan

lebih lebih berdekatan dengan ventrikel IV dibanding tumor ekstrinsik sehingga dalam ukuran yang tidak terlalu besar sudah dapat menimbulkan obstruksi aliran likuor serebrospinalis.

2. Kelompok tumor intrinsik khususnya pada usia anak-anak lebih banyak terletak di garis tengah dan intraventrikel IV sehingga gejala akibat obstruksi aliran likuor serebrospinalis akan lebih mengemuka dibandingkan gejala neurologis fokal.

3. Adanya keterlambatan diagnosis disebabkan gejala neurologis fokal akibat tumor infratentorial khususnya pada anak lebih sulit terdeteksi sehingga baru terlihat pada fase lanjut akibat peningkatan tekanan intrakranial.

Gambaran distribusi jenis tumor tumor terbanyak berdasarkan keluhan utama dapat dijelaskan dalam diagram di bawah ini:

Keterbatasan PenelitianSebagaimana halnya studi deskriptif

maka penelitian ini hanya mengemukakan data–data beserta hasil analisanya dalam bentuk tabel dan diagram tanpa melakukan uji statistik. Sedangkan dari segi tindakan operasi

penelitian ini baru dapat memperlihatkan bahwa insiden komplikasi upward herniation pada tindakan diversi aliran likuor serebrospinalis pada operasi yang dilakukan dalam 2 tahap ternyata jarang terjadi, akan tetapi belum dapat memperlihatkan kelebihan tindakan operasi 1 tahap dibandingkan dengan 2 tahap.

KESIMPULANKasus tumor infratentorial lebih

banyak terjadi pada kelompok usia dewasa. Hal ini kemungkinan karena sulit mendeteksi adanya defisit neurologis fokal pada anak–anak dengan kasus tumor infratentorial. Dilihat dari aspek keluhan utama terlihat bahwa sebagian besar pasien datang dengan gejala klinis peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan gejala umum tumor infratentorial. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tumor infratentorial berobat pada saat hidrosefalus telah terjadi. Dan masih banyak pasien dengan neurinoma akustik yang berobat bukan dengan keluhan utama gangguan pendengaran akan tetapi akibat peningkatan tekanan intrakranial. Dilihat dari aspek tindakan operasi terlihat sebagian besar pasien menjalani tindakan operasi diversi aliran likuor serebrospinalis dan pengangkatan tumor dalam waktu yang berbeda (2 tahap). Tindakan operasi 2 tahap ini didasari oleh lebih menonjolnya gejala peningkatan tekanan intrakranial dibanding gejala fokal sehingga membutuhkan penanganan segera. Komplikasi upward herniation akibat drainase berlebihan likuor serebrospinalis akut pada hidrosefalus akibat tumor infratentorial masih jarang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA1. Morantz RA, Walsh JW.

Brain Tumors A Comprehensive Text. New York: Marcel Decker Inc. 1994:1-3, 227-66.

384

Page 15: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

2. Rengachary SS, Ellenbogen RG. Principles of Neurosurgery 2nd ed. London: Elsevier Mosby. 2005:533-49.

3. Kaye AH, Laws ER Jr, Brain Tumor An Encyclopedic Approach. New York: Churchill Livingstone. 1995:47-51, 577-87.

4. Raimondi AJ. Pediatric Neurosurgery 2nd ed. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 1998: 252-4

5. Nosko MG, et all. Posterior Fossa Tumors in E Medicine Archieve 2002

6. Lindsay KW. Neurology and Neurosurgery Illustrated 3rd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2001: 105-9

7. Schiff D, O’ Neill BP. Principles of Neuro-Oncology. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.2005:3-5,333-39.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 4 Desember 2006 385

Page 16: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Efek Terapi Bedah terhadap Reversibilitas Gangguan Penglihatan pada Penderita Tumor Intrakranial Studi Retrospektif di Departemen

Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2000 – 2005

Hilman MahyuddinDepartemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstrak: Latar belakang: gangguan penglihatan akibat suatu tumor intrakranial memerlukan penanganan secara optimal dan di waktu yang tepat. Pembedahan merupakan salah satu modalitas dalam menangani kelainan intrakranial tersebut sehingga selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki gangguan penglihatan. Berbagai faktor menentukan dalam keberhasilan terapi pembedahan untuk memperbaiki gangguan penglihatan. Tujuan: untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi progresifitas gangguan penglihatan akibat tumor intrakranial serta peranan terapi bedah terhadap dalam menghentikan proses kerusakan yang terjadi. Metode: desain penelitian adalah studi retrospektif yang dilakukan di Departemen Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo dari bulan Oktober 2000 sampai September 2005. Populasi dan subjek penelitian adalah semua penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang dilakukan terapi pembedahan. Hasil: dari 32 pasien yang didapatkan proses tumor supratentorial sebagai penyebab tersering gangguan penglihatan (81,3%) dengan Adenoma Hipofisis dan Meningioma sebagai jenis yang sama-sama menempati porsi terbesar. Lebih dari separuh penderita datang mencari pengobatan setelah mengalami gangguan penglihatan antara 1 sampai 6 bulan (59,4%), sementara yang berobat dalam jangka waktu 1 bulan setelah mulai keluhan hanya 15,6%. Pasca operasi, perubahan ke arah perbaikan/tetap terjadi pada kondisi papil n.Optikus (84,4 -87,5%), pada tajam penglihatan (87,5%), pada lapang pandang (81,3 – 93,8%), serta pada refleks cahaya (90,6 – 93,8%). Kesimpulan: Jenis tumor intrakranial dan lama keluhan berhubungan dengan kondisi papil N. Optikus. Tindakan bedah sebagai cara untuk menghentikan progresifitas kerusakan saraf penglihatan pada penderita tumor intrakranial, dapat mencegah perburukan gangguan penglihatan, bahkan memulihkannya bila dilakukan pada saat yang tepat. Kata kunci: terapi operatif, gangguan penglihatan, tumor intrakranial

Abstract: Background: Optimal treatment at the right time is absolutely required in cases of visual disorders due to intracranial tumors.Operation is one modality of treatment in patient with intracranial mass lesion, with the hope of better visual result. Many factors affecting the result of visual increament of quality. Objective: this study wasa aimed to figure out factors that influence progressivity of visual disorders due to intracranial tumor, and the role of operative treatment to prevent its progression. Method: This is a retrospective study, carried out at Neurosurgery Department of Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, from October 2000 until September 2005. The population and subjects of this study were all intracranial tumor patients, presented with visual disorder who underwent operative treatment. Results: Among 32 patients with supratentorial tumor with most common visual disorder (81,3 %), were hypophysial adenoma, and meningioma. More than half of patients came with the complaint of suffering from visual disorder for approximately 1 to 6 month(s) (59,4%). Meanwhile, only 15,6% of patient came to physician within 1 month of symptoms (disorders). Post operative examination, changes toward

Page 17: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

better/status quo of optic nerve papill (84,4 -87,5%), visual acuity(87,5%), visual field(81,3 – 93,8%) and light reflex (90,6 – 93,8%). Conclusion: The type of intracranial tumor and the lenght of complaint are closely related to the condition of the optic nerve papill. Operative treatment is a way to stop deterioration of vision in patients with intracranial tumor. It is also capable of recovering the disorders whenever performed at the right time. Keywords: operative therapy, visual disorder, intracranial tumor.

PENDAHULUANGangguan penglihatan dapat

merupakan manifestasi kelainan intrakranial dan muncul dalam bentuk penurunan tajam penglihatan, penyempitan lapang pandang, maupun penurunan respons pupil terhadap rangsang cahaya. Kerusakan saraf penglihatan ini, sesuai dengan sifat alamiah jaringan saraf khususnya susunan saraf pusat adalah kerusakan ireversibel. Pada proses intrakranial yang berkembang secara lambat gangguan penglihatan sering merupakan gejala awal yang dirasakan pertama kali. Namun tidak jarang pula gejala ini tidak dikeluhkan sehingga proses penyakit terus berjalan. Penanganan pada saat yang tepat akan mencegah gangguan penglihatan yang berat bahkan dapat memperbaiki gangguan yang sudah terjadi.1

Dengan penelitian ini dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam progresifitas gangguan penglihatan akibat tumor intrakranial serta peranan terapi bedah dalam menghentikan proses kerusakan yang terjadi, sehingga hal-hal tersebut dapat dipakai untuk memulihkan fungsi penglihatan yang terganggu.

PASIEN DAN METODE

Populasi PasienPopulasi dalam penelitian ini mencakup semua penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang dirawat di Departemen Bedah Saraf dan Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto

Mangunkusumo Jakarta serta menjalani pemeriksaaan neuro-oftalmologis di Divisi Neuro-oftalmologi, Departemen Saraf antara Oktober 2000 sampai September 2005. Sampel mencakup semua penderita tumor intrakranial seperti tersebut di atas yang menjalani tindakan bedah di Departemen Bedah Saraf RSUPN CM.

Sampel ditentukan dengan cara Consecutive Sampling, dimana sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan subyek yang diteliti.2,3

Kriteria inklusi mencakup penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang: menjalani pemeriksaan neuro-oftalmologis sedikitnya 2 kali dalam rentang waktu penelitian, satu pemeriksaan sebelum tindakan bedah dan satu lagi sesudahnya serta menjalani terapi bedah untuk penanganan tumor intrakranial. Kriteria eksklusi mencakup penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang tajam penglihatannya 0 (buta total) pada pemeriksaan neuro-oftalmologis awal.

HASILDari 365 penderita tumor

intrakranial dengan gangguan penglihatan yang menjalani pemeriksaan neuro-oftalmologi di Divisi Neuro-oftalmologi Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta antara Oktober 2000 sampai September 2005, 32 orang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan subyek pada penelitian ini.

Tabel 1. Diagnosis klinis

Frekuensi Persen (%)Tumor Supratentorial 26 81.3Tumor Infratentorial 5 15.6

Page 18: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Tumor Retrobulbar 1 3.1Total 32 100.0

Tabel 2. Diagnosis patologis

Frekuensi Persen (%)Adenoma Hipofisis 9 28.1Meningioma 9 28.1Astrositoma 4 12.5Meduloblastoma 1 3.1Pinealoma 2 6.3CPA Tumor 1 3.1Metastasis 1 3.1Fibrous Dysplasia 1 3.1Unspecified 4 12.5Total 32 100.0

Tabel 3.

Lama gangguan penglihatan Frekuensi Persen (%)

< 1 bulan 5 15.61 - 6 bulan 19 59.4> 6 bulan 8 25.0Total 32 100.0

Tabel 4. Kondisi Papil N. Optikus

Kondisi Awal Kondisi AkhirKanan Kiri Kanan Kiri

Frek % Frek % Frek % Frek %Atrofi 6 18,8 8 25,0 11 34,4 12 37,5Edema 10 31,3 9 28,1 4 12,5 4 12,5Normal 16 50,0 15 46,9 17 53,1 16 50,0Total 32 100 32 100 32 100 32 100

Tabel 5.

Tajam penglihatanKondisi Awal Kondisi Akhir

Kanan Kiri Kanan Kiri

Frek % Frek % Frek % Frek %

< 1/60 4 12,5 2 6,3 5 15,6 3 9,41/60-6/60 5 15,6 6 18,8 3 9,4 6 18,8> 6/60 23 71,9 24 75,0 24 75,0 23 71,9

Total 32 100 32 100 32 100 32 100

Tabel 6.

Lapang pandangKondisi Awal Kondisi Akhir

Kanan Kiri Kanan Kiri

Frek % Frek % Frek % Frek %

Tdk dpt diperiksa 2 6,3 1 3,1 4 12,5 2 6,3

Terganggu 13 40,6 13 40,6 12 37,5 9 28,1Normal 17 53,1 18 56,3 16 50,0 21 65,6

Total 32 100 32 100 32 100 32 100

Tabel 7.

Refleks cahayaKondisi Awal Kondisi Akhir

Kanan Kiri Kanan Kiri

Frek % Frek % Frek % Frek %

Negatif 1 3,1 1 3,1 0 0 1 3,1Lambat 2 6,3 5 15,6 3 9,4 2 6,3

Page 19: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Normal 29 90,6 26 81,3 29 90,6 29 90,6

Total 32 100 32 100 32 100 32 100

Tabel 8. Interval 2 pemeriksaan

Frekuensi Persen (%)

< 1 bulan 10 31.31-6 bulan 15 46,9> 6 bulan 7 21,9

Total 32 100.0

Gambaran klinikopatologis menunjukkan proses tumor supratentorial sebagai penyebab tersering gangguan penglihatan (81,3%) dengan Adenoma Hipofisis dan Meningioma sebagai jenis yang sama-sama menempati porsi terbesar yaitu dengan jumlah keduanya mencakup lebih dari separuh kasus (56,2%).

Lebih dari separuh penderita datang mencari pengobatan setelah mengalami gangguan penglihatan antara 1 sampai 6 bulan (59,4%), sementara yang berobat dalam jangka waktu 1 bulan setelah mulai keluhan hanya 15,6%.

Sebagian penderita datang pada saat kondisi awal papil N. Optikus paling tidak salah satu mata sudah dalam keadaan atrofi (18,8% - 25%). Kurang lebih separuh dalam kondisi awal papil yang normal (46,9 – 50%). Pemeriksaan ulang setelah tindakan menunjukkan prosentasi yang lebih tinggi baik pada kondisi atrofi (34,4 – 37,5%) maupun normal (50 – 53,1%). Sementara edema papil menunjukkan prosentasi yang lebih rendah pada pemeriksaan pasca tindakan (12,5%) dibandingkan sebelumnya (28,1 -31,3%).

Tajam penglihatan awal sebagian besar masih >6/60 (71,9–75%) sama seperti pada pemeriksaan pasca tindakan. Sebaliknya tajam penglihatan <1/60 menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada pemeriksaan pasca tindakan (9,4–15,6%) dibandingkan pemeriksaan awal (6,3–12,5%).

Lapang pandang yang terganggu, pada pemeriksaan awal menunjukkan persentase yang cukup besar (40,6%), menurun jumlahnya pada pemeriksaan pasca tindakan. Di sisi lain baik lapang pandang yang normal maupun yang

tidak dapat diperiksa karena buruknya tajam penglihatan menunjukkan persentase yang lebih besar pada pemeriksaan pasca tindakan ( masing-masing 50-65,6% dan 6,3–12,5%) dibandingkan pemeriksaan awal (53,1–56,3% dan 3,1–6,3%).

Refleks cahaya yang lambat dijumpai lebih sedikit pada pemeriksaan pasca tindakan (6,3–9,4%) dibandingkan pemeriksaan awal (6,3–15,6%). Sementara baik refleks cahaya normal maupun negatif tidak berubah pasca tindakan (masing-masing sampai 90,6% dan 3,1%).

Hampir separuh pemeriksaan neuro-oftalmologis ulangan pasca tindakan bedah dilakukan dalam kurun waktu 1 - 6 bulan setelah pemeriksaan awal (46,9%).

Pada evaluasi tentang hubungan antara dua pemeriksaan variabel yang diteliti, saat awal dan setelah dilakukan tindakan bedah didaptakan bahwa perubahan ke arah perbaikan/tetap terjadi pada kondisi papil n.Optikus (84,4 -87,5%), pada tajam penglihatan (87,5%), pada lapang pandang (81,3 – 93,8%), serta pada refleks cahaya (90,6 – 93,8%). Hanya sebagian kecil lebihnya yang memburuk.

DISKUSIDalam penelitian ini hanya 32 orang

yang memenuhi kriteria baik inklusi maupun eksklusi untuk dijadikan subyek yang diteliti. Alasan mengapa begitu sedikit jumlah penderita yang memenuhi kriteria karena penderita tidak menjalani tindakan operasi. Pada penderita-penderita yang dilakukan tindakan operasi pun, ternyata masih sedikit sekali yang mempunyai catatan

Page 20: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

pemeriksaan ulang pasca tindakan. Tidak ada keterangan mengapa hal demikian terjadi, apakah karena pemeriksaan berkala belum menjadi hal yang rutin dilakukan, atau memang penderita-penderita tersebut hilang dari pemantauan (loss to follow up).

Sebagian besar pasien datang berobat setelah mengalami ganguan penglihatan dalam jangka waktu sampai 6 bulan atau lebih, sementara yang datang berobat segera setelah keluhan penglihatan timbul (jangka waktu kurang dari 1 bulan) hanya merupakan sebagian kecil di antaranya.

Penyebab tersering timbulnya gangguan penglihatan pada penelitian ini adalah tumor supratentorial dengan gambaran histopatologi adenoma hipofisis dan meningioma. Hal ini sesuai dengan sifat tumor yang jinak dan berkembang secara lambat, sehingga pada keadaan ini sering tidak ada gejala lain yang dirasakan oleh penderita sampai timbulnya keluhan penglihatan tadi. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan apa yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya.4

Analisa mengenai kondisi papil N. Optikus, menunjukkan bahwa persentase edema papil berkurang setelah dilakukan tindakan bedah, sementara baik papil atrofi maupun yang normal menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan persentase pada pemeriksaan awal. Hal ini berarti bahwa edema merupakan kondisi yang tidak stabil serta dapat berkembang ke arah perbaikan atau perburukan. Hasil penelitian terdahulu juga menemukan hal yang sama.4,5,6 Pada penelitian ini, perubahan ke arah atrofi lebih banyak dibandingkan perubahan ke arah normal. Sehingga harus ada batas yang jelas antara edema papil dengan atrofi papil sekunder, karena ini berakibat pada perbedaan yang jelas dalam prognosis.

Demikian pula dengan tajam penglihatan. Pada penelitian ini tajam penglihatan yang buruk, yang hanya bisa melihat gerakan tangan atau membedakan gelap-terang, sedikit lebih banyak pada pemeriksaan pasca

tindakan. Berarti masih terjadi penurunan fungsi tajam penglihatan pada beberapa penderita walaupun sudah dilakukan tindakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi papil N. Optikus dan sebagai bukti bahwa proses deteriorasi akan terus berjalan bila sudah sampai taraf atrofi, walaupun proses primernya sudah diatasi.

Untuk penurunan tajam penglihatan, kelainan akan segera dikenali dan dirasakan mengganggu oleh penderita. Sedikit saja tajam penglihatan terganggu, penderita akan pergi berobat. Tidak demikian halnya dengan lapang pandang. Defek lapang pandang umumnya tidak menjadi keluhan penderita dan ternyata cukup banyak penderita yang tidak menyadari kelainan ini. Padahal fungsi ini memegang peranan penting sebagai indikator adanya gangguan saraf penglihatan. Trobe dan Glaser7

menemukan bahwa defek lapang pandang juga dapat dideteksi dalam gangguan fungsi penglihatan, bahkan sering timbul sebelum keluhan penurunan tajam penglihatan. Selain itu mereka bahkan bisa menunjukkan bahwa pada gangguan N. Optikus akibat penekanan, bentuknya berupa skotoma sentralis yang mencakup berkas makulopapular untuk penglihatan sentral serta hemianopia, yang berbeda dengan gangguan pada neuritis optik. Bukti ini bisa dipakai untuk menunjukkan pentingnya pemeriksaan lapang pandang sebagai salah satu alat diagnostik dini gangguan fungsi penglihatan, di samping oftalmoskopi untuk melihat kondisi papil N. Optikus. Satu variabel lagi yang sering menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi penglihatan adalah refleks cahaya.8

Dalam analisis hubungan antar variabel terlihat hubungan yang bermakna secara statistik antara diagnosis patologis/jenis tumor intrakranial serta lamanya keluhan penglihatan berlangsung dengan kondisi papil n.Optikus. Selanjutnya

Page 21: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

kondisi papil n.Optikus juga berhubungan secara bermakna dengan fungsi penglihatan berupa tajam penglihatan dan lapang pandang, namun tidak terhadap refleks cahaya.

Perburukan nilai variabel yang diteliti hanya terjadi pada sebagian kecil penderita. Artinya tindakan bedah yang dilakukan mempunyai efek minimal menghentikan progresifitas gangguan penglihatan atau malah menghasilkan perbaikan pada fungsi penglihatan. Guyer et al9dalam penelitiannya terhadap neuropati optik akibat penekanan pada Fibrous Dysplasia, juga melaporkan hasil yang sama, yaitu bahwa tindakan dekompresi paling tidak menstabilkan bahkan memulihkan gangguan penglihatan yang terjadi.

KESIMPULANJenis tumor intrakranial dan lama

keluhan berhubungan dengan kondisi papil N. Optikus. Sementara kondisi papil sendiri berhubungan dengan tajam penglihatan dan lapang pandang, namun tidak terhadap refleks cahaya. Defek lapang pandang serta kelainan papil N. Optikus sering dijumpai pertama kali pada pemeriksaan dan tidak disadari oleh penderita sebelumnya. Sehingga penting dilakukannya pemeriksaan neuro-oftalmologis yang lengkap pada penderita tumor intrakranial atau pada penderita dengan kecurigaan ke arah sana. Gambaran edema papil N. Optikus belum tentu memberikan nilai prognostik buruk terhadap gangguan fungsi penglihatan. Hal ini justru menjadi pegangan untuk dilakukannya pemantauan berkala yang ketat, sementara penyebab primer dari kondisi ini diatasi. Tingkatan edema papil harus dicermati, sehingga kondisi atrofi sekunder dapat dikenali, karena

sangat berhubungan dengan prognosis. Tindakan bedah sebagai cara untuk menghentikan progresifitas kerusakan saraf penglihatan pada penderita tumor intrakranial, dapat mencegah perburukan gangguan penglihatan, bahkan memulihkannya bila dilakukan pada saat yang tepat. DAFTAR PUSTAKA1. Weisman JS, Hepler RS, Vinters HV.

Reversible visual loss caused by fibrous dysplasia. Am J Ophthalmol 1990; 110: 224-229.

2. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2nd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2002.

3. Supranto J. Statistik: teori dan aplikasi. 6th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2001

4. Petrohelos MA, Henderson JW. The ocular findings in intracranial tumor: A study of 358 cases. Am J Ophthalmol 1951; 34: 1387.

5. Orcutt JC, Page NG, Sanders MD. Factors affecting visual loss in benign intracranial hypertension. Ophthalmology 1984; 91: 1303-1312.

6. Friedman DI. Papilledema and pseudotumor cerebri. Ophthalmol Clinic North Am 2001; 14.

7. Trobe JD, Glaser JS: Quantitative perimetry in compressive optic neuropathy and optic neuritis. Arch Ophthalmol 1978; 96: 1210–1216.

8. Savino PJ, Danesh-Meyer HV. Neuro-ophthalmology: color atlas & synopsis of clinical ophthalmology. New York: McGraw-Hill; 2003.

9. Guyer DR, Miller NR, Long DM, et al. Visual function following optic canal decompression via craniotomy. J Neurosurg 1985; 62: 631-638.

Page 22: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Effectivity of Live Versus Heat Killed Probioticin Children with Acute Diarrhoea

SupriatmoDepartemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Tujuan: Untuk menentukan efektivitas probiotik hidup dan probiotik yang dipanaskan pada anak-anak dengan diare akut terhadap lama dan frekuensinya. Metode: Penelitian ini dilakukan pada Juni 2005-September 2006 di RSU Sari Mutiara Medan. Populasi adalah semua pasien dalam golongan umur 4-24 bulan dengan diagnosis diare akut dan diklasifikasikan kepada dua grup; satu grup menerima probiotik hidup (LP) dan grup lainnya menerima probiotik yang dipanaskan (HKP) yang dikonsumsi selama tujuh hari. Lama dan frekuensi diare dicatat. Semua anak memperoleh terapi standar untuk diare, susu formula dihentikan, dan probiotik hanya bersifat adjuvant. Hasil: Dari 150 anak yang berobat jalan maupun diopname, 108 (70.6% laki-laki dan 29.4% perempuan) pada semua golongan umur 4-24 bulan dengan diare akut dan memenuhi criteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian ini. Masing-masing dari kedua grup teridi dari 54 orang dan diberikan probiotik, LP atau HKP. Dijumpai dehidrasi pada 48 orang (82.4%) pada grup LP dan 27 (50%) pada grup HKP. Lama diare pada grup LP dan HKP berbeda bermakna (7.06 hari vs 5.65 hari; p=0.042), namun frekuensi tidak berbeda bermakna (3.94 episod vs 4.08 episod, p=0.055). Kesimpulan: HKL lebih unggul dalam mempersingkat lamanya diare pada anak-anak dengan diare akut, dibandingkan LP. Untuk mendukung hasil ini masih diperlukan penelitian longitudinal dengan sample yang lebih besar.Kata kunci: diare akut, probitok hidup, probitik dipanaskan, lama diare, frekuensi diare

Abstract: Objective: to determine the effectivity of live versus heat killed probiotic in children with acute diarrhea in diarrhea duration and frequency of diarrhoea. Methods: the study was conducted in June 2005-September 2006 in Sari Mutiara Hospital Medan. All charts of children in group age 4-24 months old with diagnosis acute diarrhoea enrolled and divided in to two groups; one group received live probiotic (LP) and other had heat killed probiotic (HKP) for seven-day consumption.. The diarrhea duration and frequency diarrhea were noted. Formula milk was discontinued during diarrhea and all children received standard treatment of diarrhea and had probiotic as adjuvant treatment. Results: from the total of 150 children who came to visit pediatric outpatient clinic and pediatric ward, there were 108 children (70.6% boy and 29.4% girl) were enrolled in this study. Each of both group consists of 54 samples, receiving either LP or HKP. Some dehydration in 48 (82.4%) in group LP and 27(50%) in group HKP. There was significant difference in diarrhoeal duration in group LP compared to HKP (7.06 day vs 5.65 day; p=0.042), there was no significant differences in frequency diarrhea in both group (3.94 episodes vs 4.08 episodes, p=0.055). Conclusion: heat killed probiotic looked superior in shorten diarrhea duration compared to live bacteria in children with acute diarrhea, while there was no significant difference in frequency of diarrhea. It is required a longitudinal study with large sample to determine this findings.Keywords: acute diarrhea, live probiotic, heat killed probioti, diarrhoeal duration, frequency diarrhea

Page 23: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

INTRODUCTIONDiarrhoea remain one of the most

causes of morbidity and mortality in children in the developing countries, with one billion episode include 3 up to 5 million death annually.1-3 In Indonesia, reported 60 million episode per year and about 70-80% affected children under five.3-5 Almost 10% of children with diarrhea under five suffered from bloody diarrhoea, and 15% of them died every year.6-8 The high incidences usually related to low sosio-economic level, crowded area, and poor hygiene and sanitation.7-9

Many research was conducted to find the additional medication beside fluid and electrolyte management in acute diarrhea.2,3 All the study goal to make the diarrhea duration shorter but safe without adverse side effect.9-14

Recently, one of the most often to study are probiotic using in diarrhea. Probiotic is now well known give beneficial effect to shorten diarroea duration.15,16,17 The term probiotic was derived from the Greek, meaning “for life” . The Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO) and the World Health Organization (WHO) have started that there is adequate scientific evidence to indicate that there is potential for probiotic food to provide health benefits and that specific strain are safe for human use.9-

14 In the past century the beneficial roles of non pathogenic bacteria in the intestinal lumen was described. In the past decade there has been a dramatic increase in scientific work supporting the concept that there are clinical benefits to ingestion specific nonpathogenic organism, that now we called them probiotic. The science develop to find the best probiotic so that the technology emerge the new kind probiotic that tyndalized from live bacteria.15,16,17 There is no available data that mention about side effect of probiotic especially as a part of diarrhea management.18-21 In

laboratory, the probiotic process with heat killed technology, to collect some parts of probiotic and believe to give similar response as live microbacteria. The question about the live time of packaging probiotic may be answered by this achievement.19 We run this prospective study to determine the effectivity of live compare to heat killed bacteria in children with acute diarrhea. The all patients received standard treatment of diarrhea include fluid, electrolyte and nutrition.

METHODSThis study was retrospective, we

review all the charts of the patients in group age 4-24 months from June 2005 – September 2006 with diagnosis acute diarrhoea who came to visit pediatric outpatient clinic and pediatric ward Sari Mutiara Hospital. Sample size were calculated to ensure that the total sample that enrolled were representative. The sample size with sample power 80%, Z=1.960 and Z=0.842 which divided in two group LP and HKP 54 sample each. Inclusion criteria: 1). Children age 4 – 24 months. 2). Children with diagnosis acute diarrhoea (diarrhoea < 14 days) 3) The chart was fulfilled completely by the doctor in charge. 4) Patient was discharged from hospital as doctor permission. Exclusion criteria: 1). Children with persistent diarrhoea and chronic diarrhoea (more than 14 days). 2). Present of parasyte in macroscopic or miscroscopic in stool specimen. 3). Children who already have treatment from other health fasilities (in 5 days before came to hospital).

STUDY PROCEDURE All children with acute diarrhoea

( defined as pass watery stool > 3 times per day and occur less than 14 days), age 4 – 24 months from Pediatric outpatient clinic and pediatric ward Sari Mutiara Hospital during June 2005 – September 2006 were recruited to the study. There were 108 cases from 150 cases with

Page 24: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

diagnosis acute diarrhoea were meet the inclusion criteria and devided into two group. Group one received Live Probiotic (mixed Lactic Acid Bacteria 1 x 107

cfu/gram) mg/kg/day and group Heat Killed Probiotic (Heat killed Lactic Acid Bacteria 3 x 1010) once per day for seven days.

In our hospital, probiotic usually prescribed for the patient as a compliment to standard treatment of diarrhea. We give probiotic one sachet per day for seven days or as long as the stay in the hospital. Some time the patients got live probiotic and some of the patients received heat killed bacteria according to supply in pharmacy hospital. The health insurance also covered the probiotic as diarrhea treatment, so that the patients paid nothing for all treatment. There was no antibiotic used in this study and formula milk was discontinued temporary during the diarrhoea..

The patient was defined as recovered from diarrhoea after they passed the formed stool for last 8 hours

and the patients were discharged home. The frequency of diarrhea was defined every time the patients passed the watery or loose stool. Data was analysis with SPSS for windows 12.0. Effectivity live probiotic compare to heat killed probiotic were analyzed by t independet test to determine diarrhoea duration in both groups, statically significat if p < 0.05.

RESULTSIn this study there were 26 (47%)

and 25 (44%) in group aged 2-11 months and 28 (53%) and 29 (56%) in group aged 12-24 months in group Live probiotic and Heat killed probiotic, respectively. Boys more than girls. Some dehydration in 48 (82.4%) in group Live probiotic and 27(50%) in group heat killed probiotic. Mother of the almost graduated high school 28 (51.5%), employee 20 (35.3%) and unemployee in 34 (64.7%). All the father were employee, some of them work in informally and 17.6% worked for government.

Table 1. Distribution of sample by age, sex, nutritional status

Live probiotic Heat killed probioticn % n %

Age (months)2 – 11 26 47.1 25 44.1

12 – 24 28 52.9 29 55.9Sex

Boys 34 70.6 34 70.6Girls 20 29.4 20 29.4

Nutritional status Normal 4 11.8 15 44.1Mild Malnutrition 20 29.4 17 20.6Moderate Malnutrition 22 35.3 17 20.6Severe Malnutrition 8 23.5 5 14.7

Table 2. Distribution of sample by dehydration status, parental education, parental occupation

Live probiotic Heat killed probioticn % n %

Dehydration statusWithout Dehydration 6 17.6 25 44.1Some Dehydration 48 82.4 27 50Severe Dehydration 0 0 2 5.9

Parental education Father

Graduate 10 23.5 9 20.5Under Graduate 1 2.9 2 5.8Senior High School 30 58.8 28 52.9Junior High School 2 5.8 9 11.7Elementary School 6 8.8 6 8.8

MotherGraduate 3 8.8 5 14.7

Page 25: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Under Graduate 4 11.7 3 8.8Senior High School 28 52.9 27 50Junior High School 6 17.6 4 11.7Elementary School 3 8.8 5 14.7

Parental Occupation Father

Government Employee 14 26.4 14 26.4Private Employee 12 20.5 14 26.4Casual Worker 28 52.9 26 47.1

MotherEmployee 20 29.4 23 38.2Unemployee 34 70.5 31 61.7

Table 3. Diarrhoea duration and frequency diarrhea in group live probiotic and heat killed probiotic

Live probiotic Heat killed probioticP

n Mean SD n Mean SDDiarrhoea duration 54 7.06 2.61 54 5.65 2.38 0.042

(day)

Frequency diarrhea 54 3.94 1.35 54 4.08 1.24 0.055(time/day)

Significant if p < 0.05

DISCUSSIONThe recent study showed that there

was significant difference in diarrhea duration between live probiotic and heat killed probiotic. Diarrhoea duration in heat killed probiotic group were shorter than in live probiotic group (5.65 vs 7.06; p=0.042). There was no significant difference in frequency diarrhoea in both group LP and HKP (3.94 vs 4.08; p=0.055). Simakachorn18 et al, studied about supplementation of heat killed bacteria with oral rehydration, and found that additional L acidophilus in oral rehydration in children with diarrhea resulted a shorter diarroeal duration. This found may be related to the study that revealed the heat killed bacteria has a high adhering ability in human intestinal and inhibits the process of pathogenisity of diarhhoeal bacteria in cultured human intestinal cell. Xiao19 et al, using heat killed bacteria in chronic diarrhea, and suggested that symptoms of chronic diarrhea may be relieved with L acidophilus LB by decreasing bowel movement, abdominal pain and distention by improving stool consistency and the feeling of incomplete evacuation.

Weizman20 et al, reported that child care infants fed a formula supplemented with L reuteri or B lacis had fewer and shorter episode of diarrhea, with no effect on respiratory illnesses. These effects

were more prominent with L reuteri, which has also the only supplement to improve additional morbidity parameters. Montez21 et al, described the benefits of probiotic in children with lactose maldigestion, milks inoculate with L acidophilus or with yoghurt culture were associated with decrease symptoms compare with those with uninoculated milk. Lin22 et al, in Taiwan, using infloran as probiotic fed enterally with breast milk reduced the incidence and severity of necrotizing enterocolitis in very low birth weight infants. This study gave more evidence the benefiacial of probiotic to overcome problem beside diarrhea. There was no side effect to provide probiotic in VLBW infants. Vanderhoof,23

noted that clinical studies have shown that certain probiotics may be useful in treating a variety of diarrhoeal disorder, including rotavirus diarrhea, antibiotic associated diarrhea. Generally the use of probiotic is safe, but patients with high risk of systemic infection such as immuno-compromised or severily ill must be used carefully. Land24 et al, reported two cases of probiotic associated sepsis in adult patients. They mentioned that serious infections attributable to probiotic lactobacilli are extremely rare. Cornelius,25 et al, in their meta-analysis study, concluded that the Lactobacillus is

Page 26: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

safe and effective as treatment for children with acute infectious diarrhea.

The cause of diarrhoea in this study was unknown. This is one of the limitations of the study beside we cannot control the way of patient to serve the probiotic to their children. May be they can not change the habit that solute the milk or the food with hot boiled water. The live probiotic will die in such high temperature. We realized that there were still many comfounding factors that can influence the study out come, and we can not control the parental habit in food serving to their family member including the children. We want to make this study run as naturally in origin. This study cannot explained the role of demographic factors alter diarrhoea duration.

In conclusion, heat killed probiotic looked superior and had a shorter diarrhoea duration compared to live bacteria in children with acute diarrhea, while there was no significant difference in frequency of diarrhoea. May be we have some bias in our outcome as we suggest to do longitudinal study with more large sample to determine our findings. For the next study, it is better if we can isolate the cause of acute diarrhea with stool culture.REFERENCES1. Larry K., Pickering, Snyder J.D.

Gastroenteritis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. 16th

edition. Philadelpia: WB. Saunders, 2000. p. 765 – 68.

2. Noerasid H., Suraatmadja S., Asnil PO. Gastroenteritis (Diare) Akut. In: Suharyono, Boediarso A, Halimun EM, eds. Gastroenterologi Anak Praktis. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1994. p. 51 – 76.

3. Ditjen PPM & PPL, Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta, 1999.

4. Soeparto P., Djupri L.S., Sudarmo S.M., Ranuh RG. Sindroma Diare. 2nd

edition. Surabaya: Gramik FK Universitas Airlangga, 1999.

5. Edmundson S.A., Edmundson W.C.. Diarrhoea in India and Indonesia. Available from URL: http://www.midcoast.com.au/ edmundsons/c8 cited in September 2006.

6. Gondwe R., Pruyn N., Torres G., Varma R.. Diarrheal Disease: Prevention and Management. Available from URL: http://arcz.bumc.bu.edu/IH887/presentation cited in September 2006.

7. Soenarto Y., Suryono A., Supardi S. Dysentry in children under five year of age: a longitudinal prospective study in primary health care in Indonesia. Paediatr Indones; 41:141 – 8.

8. Soenarto Y., Sebodo T., Suryantoro P., Krisnomurti, Haksohusodo S, Ilyas, et al. Bacteria, parasitic agents and rotaviruses associated with acute diarrhea in hospital in-patient Indonesia children. Transaction Roy Soc Trop Med Hyg 1983; 77: 729 – 30.

9. Isolauri E, Kirjavainen PV, Salminen. Probiotics: a role in the treatment of intestinal infection and inflammation? Gut 2002; 50 (Suppl): 54 – 9.

10.Isolauri E, Juntunen M, Rautanen T, Sillanauke P, Koivula T. A human lactobacilus strain (Lactobacillus casei sp strain GG) promotes recovery from acute diarrhea in children. Pediatrics 1991; 88: 90 – 7.

11.Isolauri E. Probiotic in human disease. Am J Clin Nutr 2001:73(Suppl):1142s-6s.

12.Isibashi N., Yamasaki S. Probiotics and safety. Am J. Clin Nutr 2001; 73 (Suppl):465s-70s.

13.Rolfe RD. The role of probiotic cultures in the control of gastrointestinal health. American Society for Nutritional Science. J Nutr 2000; 130: 396s – 402s.

14.Duc L.H., Hong H.A., Barbosa T.M., Henriques A.O., Cutting S.M.. Characterization of Bacillus probiotic

Page 27: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

available for human use. Appl Environ Microbiol 2004; 70(4): 2161 – 71.

15.Owehand A.C., Salminen S., Roberts P.J., Ovaska J., Salminen E. Disease dependent adhesion of lactic acid bacteria to the human intestinal mucosa. Clin Diagn Lap Immunol 2003; 10(4): 643 – 6.

16.Saavedra J.M., Hanna A.A., Moore N., Yolken R.H. Long term consumption of infant formulas containing live probiotic bacteria: tolerance and safety. Am J. Clin Nutr 2004; 79: 261 – 7.

17.Arveola T, Laiho K., Torkelli S., Mykkanen H, Salminen S, Maunula L, Isolauri E. Prophylactic Lactobacillus GG reduces antibiotic associated diarrhea in children with respiratory infections: a randomized study. Pediatrics 1999; 105(5).

18.Simakachorn N., PIchalpat V., Rithipornpalsarn. Clinical evaluation of the addition of lypolized, heat killed Lactobacillus acidophilus LB to oral rehydration therapy in the treatment of acute diarrhea in children. J Pediatr Gastoenterol Nutr 2000; 30(1):68 – 72.

19.Xiao S.D., Zhang D.Z., Jiang S.H. Multicenter, randomized controlled trial heat killed Lactobacillus acidophilus LB in patients with chronic diarrhea. Advance in Therapy 2003;20(5):253-60.

20.Weizman Z, Ghaleb A, Alsheikh A. Effect probiotic infants formula on infections in child care centres: comparison of two probiotic agents. Pediatrics 2005;115(1):5-9.

21.Montes RG, Bayles TM, Perman JA, Saavedra JM. Effect of milks inoculated with Lactobacillus acidophilus otr a yoghurt culture in lactose maldigesting children. J Dairy Sci 1995;78:1657-64.

22.Lin HC, Su B.H., Chen A.C., Lin T.W. Oral probiotics reduce the incidence and severity of necrotizing

enterocolitis in very low birth weight infants. Pediatrics 2005:111(1):1 – 4.

23.Vanderhoof J.A. Probiotics: future directions. Am J. Clin Nutr; 73 (suppl):1152s-5s.

24.Lands MH, Shetty AK. Lactobacillus sepsis with probiotic therapy. Pediatrics 2005; 115(1):181 – 81.

25.Cornellius W, Feudtner C, Michelle MG, Christakis DA. Lactobnacillus therapy for acute infectious diarrhea in children: A meta-analysis. Pediatrics 2002; 109: 678 – 84.

Page 28: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006
Page 29: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Pemetaan Sentinel Lymph Node dengan Teknik Pewarnaan Blue Dye pada Penderita Kanker

Payudara Operabel

Emir T. Pasaribu Bagian Ilmu Bedah Sub Bagian Onkologi

Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam MalikMedan

Abstrak: Latar belakang: Diseksi aksiler telah digunakan sejak lama sebagai prosedur standar pada operasi kanker payudara di RSUP HAM, walaupun tindakan ini memiliki resiko tinggi. Dengan mapping kelenjar limfe aksiler, diharapkan akan dijumpai kelenjar limfe sentinel pada pemeriksaan histopatologi, yang kelak akan menentukan status kelenjar limfe aksilernya. Dengan demikian, diseksi aksiler tidak lagi layak digunakan sebagai pendekatan standar pada operasi kanker payudara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kelenjar limfe sentinel dengan teknik pewarnaan blue dye staining dan statusnya dengan pemeriksaan histopatologi. Metode: Penelitian berlangsung di bagian bedah onkologi RSHAM, mulai mei-Oktober 2006. Sampel terdiri dari 6 kasus kanker payudara stadium IIA-IIB, yang dilakukan modifikasi mastektomi radikal. Kelenjar limfe sentinel diidentifikasi dengan menggunakan Guerbet patent blue V Sodium 2.5% di Departemen patologi Anatomi. Hasil: Kelenjar sentinel ditemukan pada semua kasus. Pada 4 kasus yang dijumpai kelenjar sentinel pada metastasis, kelenjar limfe aksiler juga dijumpai pada metastasis. Pada dua kasus yang tidak dijumpai kelenjar sentinel pada metastasis, kelenjar aksiler juga tidak terlibat dalam metastasis. Kami juga menemukan bahwa kelenjar aksiler yang dapat diraba tidak selalu berhubungan dengan terjadinya metastasis. Kata kunci: kelenjar limfe sentinel, kanker payudara, blu dye

Abstract: Axillary dissection has been the standard approach for the surgical management of breast cancer surgery in Adam malik Hospital, though it has significant risk of morbidity. With axillary lymph-node mapping, we will expect sentinel lymph-node after histopathology examination, which will determine axillary lymph-node status. Therefore, axillary dissection is no longer a standard approach in every breast cancer surgery. The purpose of the study is to identify sentinel lymph-node using blue dye staining technique and its status with histopathology examination. The study has been conducted in oncology surgery sub department in Adam malik Hospital, supervised by oncologist, from May 2006 until October 2006. There were 6 breast cancer patients with IIA – IIB stadium, underwent modified radical mastectomy enrolled in this study. Sentinel lymph-node identification was with using Guerbet Patent Blue V Sodium 2,5% made in France in Pathology Anatomy Department. Result: sentinel lymph-node was found in all cases (6/6). There were 4 cases where sentinel lymph-node involved in metastases, the axillary lymph-node also involved in metastases; while 2 cases, where sentinel lymph-node not involved in metastases, the axillary lymph-node also not involved in metastases. We also found cases, where clinically palpable axillary lymph-node not always associated with its metastases.Conclusion: staining of Patent Blue V Sodium 2,5% identifies sentinel lymph-node, and the results of histopathology examination of this sentinel lymph-node can determine axillary lymph-node status.Keywords: sentinel lymph-node, breast cancer, blue dye

Page 30: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

PENDAHULUAN Pemilihan terapi kanker payudara

sangat dipengaruhi stadium dan faktor prognostik. Untuk menentukan stadium kanker payudara yang harus diperhatikan adalah ukuran tumor primer, kelenjar lymph regional dan metastase jauh.

Kriteria prognostik yang paling penting adalah status Kelenjar Getah Bening (KGB) aksila, sehingga diseksi aksila merupakan prosedur penentuan stadium yang utama, meskipun kurang berperan sebagai terapeutik dan dapat memberi dampak morbiditas yang bermakna seperti: rasa kebas akibat cedera pada nervus torako dorsalis dan toracicus longus, limpe edema dan gangguan pergerakan lengan. (Shuster, 2000, Tjindarbumi, 2004, Harris, 1996, George Baichev, et all, 2000, ).

Sebagai alternartif, satu atau beberapa kelenjar getah bening yang disebut Sentinel Lymph Node dapat direseksi untuk dilakukan pemeriksaan patologi. Kelenjar getah bening sentinel adalah KGB pertama terkena apabila terjadi metastase ke KGB. Beberapa peneliti menyatakan bila hanya satu KGB aksila yang terlibat, maka KGB tersebut selalu KGB sentinel. (Nieweg, et all, Kapteijn et.al, 1998; Bailey, 2000; Harris, 1993) Bila kelenjar sentinel negatif maka tidak dilakukan diseksi kelenjar aksila, namun hingga saat ini di beberapa institusi pendidikan, diseksi aksila masih merupakan tindakan baku pada semua kanker payudara yang operabel.

Beberapa peneliti sejak awal tahun 1990 telah mengembangkan teknik pemetaan kelenjar sentinel, mulai dengan penggunaan zat warna blue dye sampai penggunaan larutan yang mengandung bahan radio aktif (Clarke, et all, 2001; Sanidas, et all, 2001; Kapteijn, et all, 1998).

Peneliti di Eropa melakukan pemetaan dengan menyuntikkan zat warna Blue Dye di sekitar tumor, dalam upaya mencari metode yang paling tidak invasive tapi masih adekwat

untuk menentukan staging aksila pada kanker payudara.Telah dinyatakan bahwa penggunaan Blue Dye atau radiocolloid peritumoral merupakan metode yang dapat digunakan untuk menentukan status aksila dan telah dibuktikan secara histopatologis. (George Baichev, et all, Sanidas, et all, 2001). Di RS. Dharmais, sebagai pusat kanker Indonesia telah dilakukan pemetaan sentinel node dengan menggunakan limfoskintigrafi praoperatif, diikuti dengan menyuntikkan blue dye di sekitar tumor sesaat sebelum operasi dan pada saat operasi. Dengan cara ini dilaporkan ketepatan pemeriksaan mendekati 100%. Pada tahun 1994, Giuliano dkk mempublikasikan hasil penelitiannya dengan tracer blue dye saja,dengan angka identifikasi mencapai 78%. Angka ini diharapkan dapat meningkat dengan penguasaan teknik lebih baik mengenai volume blue dye yang diinjeksikan, sisi injeksi, penentuan waktu sayatan aksila, pengurutan pada sisi injeksi dan pemeriksaan histopatologi yang cermat (Haryono, 2003).

Karena di Medan tidak ada alat untuk Lympho scintigraphy dan Gamma Probe, peneliti mencoba melakukan pemetaan Sentinel Lymph Node dengan Blue Dye.

Pengertian Sentinel Lymph NodeSejak diperkenalkannya system

TNM dalam penentuan tingkat penyakit kanker hampir 50 tahun yang lalu, banyak faktor prognostik untuk kanker payudara ditemukan. Faktor prognostik ini antara lain adalah– Klinis/epidemiologic/demografik:

misalnya usia, ras dan status haid.– Anatomis: ukuran tumor, kelenjar

getah bening yang terkena, dan metastasis.

– Hormonal/selular/molekular misalnya reseptor estrogen dan progesterone, cathepsin D, aktivator plasminogen.

– Tipe dan gradasi histopatologi

Page 31: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

– Tingkat proliferasi (S-phase, DNA ploidi) dan informasi genetik: misalnya amplifikasi onkogen, HER-2/neu, terganggunya gen supresor p53 dan sebagainya.

Dari sekian banyak factor ini yang paling berperan dalam penilaian resiko dan rencana terapi kanker payudara adalah ukuran tumor dan status kelenjar getah bening (Hukom, 2003, Tjindarbumi,2004 ).

Semakin besar tumor semakin kurang respon terhadap radiasi dan kemoterapi karena semakin besar komponen sel mengalami hipoksia pada tumor tersebut. Ukuran tumor juga mempengaruhi survival, masa survival 30 tahun mencapai 61% bila ukuran tumor < 2 cm, 46% bila ukuran tumor 2 – 5 cm, 50% bila ukuran tumor > 5 cm. Bila ada metastase KGB aksila level I maka survival 30 tahun 40% pada tumor < 2 cm, 31% pada tumor 2 – 5 cm, dan 14% pada tumor > 5 cm. (Bailey, 1986, Tjindarbumi, 2003). Keterlibatan KGB aksila mempunyai korelasi dengan ukuran tumor (Simangunsong, Pasaribu, 2004).

Adanya pembesaran KGB aksila secara klinis belum tentu terdapat metastase tumor secara histopatologis, dan sebaliknya tidak dijumpainya pembesaran KGB aksila secara klinis belum tentu tidak ada metastase ke aksila. Standar baku emas untuk menentukan status KGB aksila adalah pemeriksaan histopatologi. Jika KGB aksila teraba secara klinis, secara histopatologi bisa tidak dijumpai metastase pada 25% kasus, sebaliknya jika KGB tidak teraba secara klinis bisa dijumpai secara histopatologi metastase pada 30% kasus. (Harris, 1996, Velde, 1996, Haagensen, 1986, Bailey, 2000). Karena itu, diseksi aksila untuk mendapatkan KGB aksila merupakan prosedur penentuan stadium yang utama, meskipun kurang berperan sebagai terapeutik dan dapat memberi dampak morbiditas yang bermakna seperti rasa kebas akibat cedera nervus torako dorsalis dan toracicus longus, limpe edema dan

gangguan pergerakan lengan. (Shuster, 2000, Tjindarbumi, 2004, Harris, 1996, George Baichev, et all, 2000 ).

Jumlah metastase KGB aksila mempunyai korelasi langsung dengan prognosanya. 40% dari pasien yang dilakukan diseksi aksila mempunyai KGB (+). Diseksi aksila juga bertujuan untuk kontrol lokal pada aksila. (Harris,1996, Velde, 1999, De.jong,1997). Bila KGB (+) secara histologis, mempunyai korelasi yang signifikan dengan relaps dan survival (Harris,1996, Sjamsuhidajat,1997). Jumlah KGB terlibat secara histopatologi berbanding lurus dengan penurunan survival. Jika secara klinis node tidak teraba maka 10 tahun survival mencapai 60%, jika node teraba masih dapat digerakkan maka 10 tahun survival mencapai 50%, dan bila teraba tetapi tidak dapat digerakkan maka 10 tahun survival hanya 20%. Bila pemeriksaan histopatologi KGB ( - ) maka 10 tahun survival mencapai 65%. Bila > 10 KGB (+) maka prognosisnya sangat buruk. Keterlibatan KGB juga signifikan dengan angka kekambuhan, jika 1-3 KGB (+) maka angka kekambuhan 10 tahun mencapai 65%, bila > 3 KGB (+) maka angka kekambuhan 10 tahun mencapai 85%. (Rosato,1996, Norton, 1993, George Baichev,et all, 2000).

Saat ini belum ada kesepakatan jumlah KGB aksila yang harus diperiksa untuk menentukan akurasi stadium. Danish Breast Cancer Group menganjurkan paling sedikit 5-10 KGB aksila harus diangkat untuk menghindari kesalahan klasifikasi dan optimasi lokal kontrol dari aksila (Harris,1996). Menurut AJCC tahun 2002 dapat diambil sedikitnya 6 KGB.

Sebagai alternartif upaya mengurangi morbiditas paska diseksi aksila, satu atau beberapa kelenjar getah bening yang disebut Sentinel Lymph Node dapat direseksi untuk dilakukan pemeriksaan patologi. Tindakan ini disebut Sentinel Lymph Node Biopsy dan KGB ini dianggap dapat menentukan status KGB aksila, sehingga diseksi aksila tidak lagi

Page 32: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

menjadi prosedur rutin pada semua kanker payudara.

Istilah sentinel node pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 oleh Ramon Cabanas, seorang urolog Amerika Selatan yang melakukan penelitian terhadap squamous cell carcinoma pada penis. Ia menyatakan bahwa sentinel node adalah KGB pertama yang berada dalam area regional system limfatik tumor yang menerima aliran limfatik dari tumor tersebut.

Di akhir 1980, seorang ahli bedah dari John Wayne Cancer Centre di Santa Monica yaitu Donald L. Morton dan patolognya Alistair J. Cochran dari UCLA, mengajukan konsep pemetaan system limfatik dengan tehnik biopsi

sentinel node pada melanoma. Mereka menyatakan sentinel node adalah KGB pertama yang menerima aliran limfe dari tumor primer( Nieweg et.al. 2001, Sanidas et al. 2000 ).

Peneliti mendefenisikan sentinel lymph node sebagai node biru (blue node) atau node radioaktif (hot node). Dalam hal ini peneliti tersebut telah mengesampingkan fakta bahwa beberapa dari tracer bisa saja melewati kelenjar urutan pertama dan bersarang pada kelenjar berikutnya atau node kedua (Haryono, 2003, Nieweg, et.al,2001, Sanidas, et all, 2000 ). Gambar di bawah ini dapat menjelaskan hubungan sentinel node dengan tumor primer.

Gambar 1. Sentinel lymph node (SN) adalah kelenjar getah bening yang mendapat aliran limfe langsung dari tumor primernya. Kelenjar urutan pertama dan urutan ketiga mendapat aliran limfe pada tahap berikutnya.

Gambar 2. Aliran limfe dari tumor primer tidak selalu menuju kelenjar getah bening yang terdekat

tumor SN

2nd

2nd

3rd

3rd

non-SN

tumor SN

Page 33: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Gambar 3. Dua aliran limfe yang berasal dari tumor primer menuju ke dua sentinel lymph node yang berbeda (SN)

Pada tahun 1998, Krag dkk melakukan pemetaan sistem limfatik pada kanker payudara dengan menggunakan larutan sulfur yang dilabel dengan technetium. Pada tahun 1994, Giuliano dkk melakukan pemetaan sentinel node kanker payudara dengan menggunakan zat warna blue dye, dengan angka keberhasilan mencapai 78%. Pada tahun 1996, Albertini dkk melakukan pemetaan sentinel node dengan menggunakan gabungan kedua tehnik tersebut.

Pada April 2001, konferensi internasional mengenai sentinel node di Philadelpia, PA, USA, menghasilkan konsensus mengenai defenisi sentinel node. Sentinel node adalah satu atau beberapa KGB pertama yang mendapat aliran limfe dan yang pertama terkena metastase kanker payudara (Veronesi,et.al, 2001). Defenisi inilah yang paling diterima di kalangan onkolog sampai saat ini.

Tehnik Pemetaan Sentinel NodeAda tiga teknik pemetaan sentinel

lymph node yang telah digunakan yaitu 1. pewarna dyes untuk deteksi

secara visual (dyes for visual detection)

2. bahan radioaktif untuk pencitraan dengan kamera–γ (radioactive labelling).

3. bahan kontras radioopaque dan dilihat secara radiologi.

Tenik pertama dan kedua lebih banyak digunakan dan dapat dipakai intraoperatif. Sampai saat ini belum ada teknik yang menjadi baku emas (gold standard) untuk pemetaan sentinel node. Samuel J.Haryono menyatakan, untuk menentukan suatu kelenjar getah bening adalah sentinel node atau bukan, penilaian yang menjadi baku emas adalah dengan pengecatan biru yang defenitif pada sentinel node dan identifikasi minimal ditemukan saluran limfatik aferen yang berwarna biru yang memasuki kelenjarnya. (Haryono, 2003).

Pada teknik yang pertama, zat warna yang digunakan haruslah memiliki sifat invasi yang minimal ke jaringan sekitarnya, mudah diserap oleh jaringan limfatik dan tidak mempunyai efek toksik.

Beberapa zat warna yang dijumpai yaitu a. Isosulphan blue: b. Blue patent V:c. Methylene blue (American

Regent Lab, Shirley, NY, USA):

tumor

SN

SN

2nd

2nd

2nd

Page 34: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Tehnik kedua, berdasarkan deteksi aktivitas zat radioaktif yang telah disuntikkan sebelumnya. Deteksi dilakukan dengan memakai pakaian khusus yang dilengkapi dengan kamera- (nuclear medicine suite) atau dengan gamma probe sewaktu operasi (Sanidas, et all, 2000).

Tehnik ketiga, lebih dikenal dengan istilah limfoskintigrafi praoperatif. Pemeriksaan ini menggunakan radio isotop Tc-99m yang dilabel dengan koloid. Ukuran koloid sangat penting (50 – 200 nm) karena hal ini akan mempengaruhi jalannya radioisotop ke saluran kelenjar getah bening. Dilakukan injeksi 1 – 2 mCi peritumoral kemudian pengambilan gambar dengan teknik dinamik dan static. Akumulasi isotop (hot spot) pertama diinterpretasikan sebagai sentinel node, selanjutnya diikuti perjalanannya hingga minimal 4 jam setelah penyuntikan.( Kardinah, 2003).

Keuntungan dan Kerugian Pemetaan dengan Blue Dye Keuntungan: – Mengurangi morbiditas operasi

dan anestesi– Mengurangi ukuran insisi– Mempertahan fungsi lengan dan

bahu paska operasi– Mencegah edema limfe kronik

paska operasi – Biaya lebih murah– Tidak ada resiko radiasi bahan

radioaktif– Tidak toksik terhadap jaringan– Dapat mengidentifikasi aliran

limfe non aksila– Dapat mengidentifikasi sentinel

node dengan menyusuri saluran limfe.

Kerugian: – Urine berwarna biru, sampai 24 jam

paska operasi.– Badan dapat berwarna kebiruan,

sehingga dapat mengacaukan dengan hiperkapnia atau emboli paru paska operasi.

– Blue urticaria dapat terjadi walaupun sangat jarang dan tidak berbahaya.

– Hipotensi akibat reaksi alergi, sangat jarang terjadi.( Sanidas, et all, 2001).

Teknik Pemetaan dengan Blue DyeUmumnya berbagai sentra

penelitian menyuntikkan bahan radiopharmaceutical pada jaringan payudara sekitar tumor (peritumoral). Sebagian lagi menyuntikkan ke tumor (intratumoral), sebagian ada yang menyuntikkan ke kulit di atas tumor secara intradermal ataupun subdermal. Ada juga sentra yang menyuntikkan radiopharmaceutical dan blue dyes di sekitar komplek areola (periareolar) (Clarke, et all, 2001). Saat ini, untuk tumor yang dapat dipalpasi, kebanyakan peneliti menyuntikkan material untuk pemetaan tersebut ke jaringan sekeliling tumor (peritumoral) di arah aksila dengan menggunakan jarum suntik ukuran 25-gauge. (Sanidas, et all, 2001). Dalam laporan penelitiannya George Baichev dkk menyatakan bahwa teknik pemetaan SLN dengan menyuntikkan zat warna blue dye peritumoral memberikan akurasi mencapai 90,6%. Pada kasus dengan SLN yang dikenai metastase, kebanyakan tumor primernya berada pada kuadran lateral kemudian berturut-turut pada daerah sentral dan medial. (George Baichev, et all, 2000).

Jumlah Blue Dye yang disuntikkan juga bervariasi, tergantung lokasi penyuntikan yang dipilih dan besarnya tumor. Karena jaringan limfe di parenkim payudara lebih sedikit dibandingkan di bawah kulit tumor. Blue Dye yang dibutuhkan lebih banyak demikian waktunya. Sampai saat ini telah dibuat standar jumlah Blue Dye yang disuntikkan yaitu 3 – 5 ml.( Sanidas, et all, 2001). George Baichev dkk menyuntikkan Blue Dye sebanyak 2 ml di peritumoral dengan jarum suntik ukuran 21-22 gauge. Japanese Breast Cancer Society melakukan pemetaan SLN pada pasien kanker payudara stadium I dan II dengan modifikasi teknik Giuliano menggunakan Patent

Page 35: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Blue Dye buatan Jepang sebanyak 4 ml, disuntikkan di peritumoral (Noguchi,et.al, 1999). Di Taiwan disuntikkan 5 ml methylene Blue Dye di peritumoral dengan jarum suntik ukuran 25 gauge. ( Cherng, et.al, 2002). Konferensi mengenai biopsi sentinel node di Philadelphia tahun 2001 menghasilkan kesepakatan jumlah Blue Dye yang disuntikkan 1 – 3 ml dan maksimal 5 ml untuk orang yang gemuk. (Veronesi et.al,2001). Di RS. Dharmais, disuntikkan 1-2 ml Blue Dye peritumoral ( Haryono, et.al, 2003).

Penentuan Waktu Sayatan AksilaRentang waktu antara penyuntikan

Blue Dye dan insisi untuk eksplorasi kelenjar sentinel sangat menentukan untuk keberhasilan teknik ini. Jika hanya menggunakan Blue Dye, waktunya lebih sempit, tergantung lokasi penyuntikan (intradermal, subdermal atau intraparenkim), kuadran tempat tumor berada, dan jumlah material yang disuntikkan. Penelitian di berbagai belahan dunia, variasi waktu yang pernah dilaporkan adalah 3 – 7 menit, 10 – 15 menit dan 1 – 20 menit. Waktu yang terbaik adalah 3 – 5 menit (Sanidas et al. 2001). Cherng-Jyh dkk. 2002 dari Taiwan melaporkan waktu yang mereka gunakan pada penyuntikan peritumoral adalah sekitar 5 menit.Di Jepang, Noguchi dkk menggunakan interval waktu 5 – 15 menit. Pada konferensi Internasional mengenai sentinel node di Philadelphia,2001, diambil konsensus bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sayatan di aksila setelah injeksi Blue Dye peritumoral adalah 3 – 4 menit. Pada lesi yang besar dan terletak di medial, interval waktunya bisa mencapai 7 – 8 menit. (Veronesi, et.al, 2001). Di RS. Dharmais, dilaporkan waktu yang digunakan pada penyuntikan Blue Dye adalah 5 – 10 menit. (Haryono, et.al, 2003).

Kegagalan Identifikasi Sentinel Lymph Node.

Ada perbedaan antara gagal mengidentifikasi dan false negative SLNB. Disebut false negative jika hasil pemeriksaan sentinel node intraoperasi secara imprint atau frozen section negative, sedangkan hasil pemeriksaan paska operasi dengan materi yang sama yang telah difiksasi dengan zat warna Hematoxilin-Eosin, menunjukkan adanya metastase. Ataupun jika hasil pemeriksaan intraoperative dan paska operative negative, tetapi tanpa diketahui ada kelenjar getah bening yang terkena metastase yang tidak terangkat. Hal ini baru dapat diketahui apabila secara bersamaan dilakukan diseksi aksila ataupun jika terjadi kekambuhan di aksila kemudian hari. Gagal mengidentifikasi sentinel node maksudnya adalah kegagalan mengidentifikasi dengan menggunakan pewarna ataupun radiokoloid ataupun keduanya (Veronesi , et.al ,2001) .

Dengan menggunakan Blue Dye, lebih mudah untuk melakukan pemetaan saluran limfatik, karena begitu zat warna tersebut memasuki KGB akan terlihat warna kebiruan yang akan membedakan kelenjar tersebut dengan kelenjar lain di sekitarnya. Kadang-kadang KGB dipenuhi oleh tumor dan terjadi pelebaran saluran limfe yang menuju tumor tersebut, tetapi KGB tidak dapat menyerap Blue Dye. Pada saat operasi hal ini dapat diketahui karena kelenjar tersebut sudah mengeras. KGB seperti ini termasuk sentinel node. Kadang-kadang juga dijumpai beberapa pembuluh limfe yang menuju satu KGB, atau dijumpai dua atau beberapa KGB yang berwarna biru di sepanjang aliran pembuluh limfe tersebut. Dalam kondisi seperti ini perlu ditelusuri aliran limfe dari KGB ke arah tumor sehingga dapat ditentukan yang menjadi sentinel node.

Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa kegagalan identifikasi sentinel node di aksila dapat terjadi karena:

– Jumlah Blue Dye yang tidak adekwat.

Page 36: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

– Tempat suntikan yang tidak tepat.

– Terlalu awal melakukan insisi setelah penyuntikan.

– Letak insisi yang tidak tepat– Teknik diseksi yang tidak baik

(terlalu tajam atau terlalu dalam).

– Aliran limfe ke kelompok KGB yang lain. (Sanidas, et all, 2001).

– Limfadenopati yang besar dan rusaknya saluran limfe.

– Lokasi kanker di medial (George Baichev, et all, 2000).

Prosedur Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Sentinel

Ada dua jenis yaitu: 1. Pemeriksaan potong beku

Tujuan pemeriksaan potong beku adalah untuk menentukan spesimen yang diangkat adalah benar kelenjar getah bening, kemudian ditentukan apakah mengandung sel tumor ganas (Suzanna, 2003). Prosedur ini masih kontroversi, namun pemeriksaan potong beku yang rutin pada setiap sentinel node masih dilakukan pada beberapa senter dengan alasan bilamana hasilnya positif bisa langsung dilakukan diseksi regional menyeluruh.

2. Pemeriksaan rutin blok parafin dengan pulasan Hematoksilin-Eosin(HE):Tujuan pemeriksaan ini adalah diagnosis pasti (standar baku emas) bahwa kelenjar getah bening benar mengandung sel tumor ganas dan dinilai invasi sampai atau hanya terdapat pada daerah sinus (Suzanna, 2003).

METODOLOGI PENELITIANRancangan penelitian yaitu cross

sectional study dan secara deskriptif. Penderita kanker payudara operabel yang telah memenuhi kriteria inklusi berasal dari bagian bedah onkologi FK-USU RS.H.Adam Malik Medan mulai Mei 2006 sampai September 2006. Diteliti 6 penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi. Dipakai jarum suntik 22 gauge.

HASIL PENELITIANPenyuntikan blue dye pada

peritumoral, dengan menggunakan jarum suntik ukuran 22 gauge. Semua pasien mendapat injeksi blue dye sebanyak 2 ml. Sentinel node yang berwarna biru terdeteksi sebanyak satu buah tiap pasien. Kelenjar getah bening aksila dijumpai bervariasi mulai dari 7 sampai 17 buah.

4 kasus sentinel lymph node yang terlibat metastase, ternyata setelah pemeriksaan histopatologi, KGB aksila terlibat metastase pada seluruh kasus tersebut. 2 kasus dimana sentinel node tidak terlibat metastase, ternyata setelah pemeriksaan hstopatologi, KGB aksila juga tidak terlibat metastase pada seluruh kasus tersebut. Tidak dijumpai kasus dimana sentinel node terlibat metastase sedangkan KGB aksila tidak terlibat, ataupun kasus sentinel node tidak terlibat metastase sedangkan KGB aksila terlibat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan dan menunjukkan bahwa status sentinel lymph node dapat menentukan status KGB aksila.

DISKUSIPenelitian multisenter oleh Japanese

Breast Cancer Society, dengan menggunakan zat warna patent vital blue dye terhadap 44 kasus, ditemukan identifikasi SLN pada 37 kasus (84%) (Masakuni Noguchi, et.al, 2000). Di Taiwan dilakukan pemetaan sentinel lymph node dengan menggunakan zat warna methylene blue dye terhadap 221 kasus dan didapatkan identifikasi SLN pada 189 kasus (85,5%) (Jyh-Cherng Yu, et.al, 2002). Giuliano dkk pada tahun 1994, melakukan pemetaan SLN dengan zat warna isosulphan blue dye mendapatkan identifikasi SLN sebanyak 79%. Setelah memperbaiki tehnik pemetaannya, Giuliano dkk menggunakan blue dye dan mendapatkan keberhasilan deteksi SLN 93,5% dengan false negative 0. Dengan kemampuan ini, Giuliano dkk di John Wayne Cancer Institute menyatakan, jika menemukan hasil biopsy kelenjar

Page 37: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

getah bening sentinel yang negative maka tidak perlu dilakukan diseksi aksila (Giuliano AE, et. Al, 2003). Pada penelitian ini, sentinel lymph node yang berwarna biru ditemukan pada semua kasus (6/6). Sebenarnya banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi SLN jika menggunakan zat warna, diantaranya gangguan saluran limfe, lokasi tumor payudara, factor local seperti bekas insisi, factor terapi sebelumnya dan usia (Chao, et all, 2003). Untuk mendapatkan angka keberhasilan deteksi yang lebih akurat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penelitian pendahuluan ini harus dilanjutkan dengan melibatkan pasien yang banyak.

Menurut laporan penelitian George Baichev dkk, pada kasus yang dikenai metastase, kebanyakan tumor primernya berada pada kuadran lateral kemudian berturut-turut pada daerah sentral dan medial. Pada semua kasus penelitian ini, ditemukan masing-masing satu buah sentinel lymph node, walaupun ada lokasi tumor di medial. Diperlukan lebih banyak kasus untuk dapat menerangkan kondisi ini.

Pada 4 kasus dimana sentinel lymph node terlibat metastase, setelah pemeriksaan histopatologi ternyata KGB aksila pada semua kasus tersebut terlibat metastase (4/4). Pada 2 kasus dimana sentinel lymph node tidak terlibat metastase, setelah pemeriksaan histopatologi ternyata KGB aksila pada kedua kasus tersebut tidak terlibat metastase (2/2). Tidak dijumpai kasus dimana sentinel lymph node terlibat metastase sedangkan KGB aksila tidak terlibat metastase, ataupun sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa sentinel lymph node merupakan kelenjar getah bening pertama yang mendapat aliran limfe pertama dari tumor primernya. Jika kelenjar getah bening urutan pertama ini tidak terkena metastase berarti kelenjar getah bening lainnya tidak terkena metastase.

Pada 3 kasus dimana secara klinis KGB aksila tidak teraba ( N0), ternyata

hasil pemeriksaan histopatologi sentinel lymph node terlibat metastase pada ketiga kasus tersebut ( 3/3 ). Pada 3 kasus lainnya, dimana secara klinis KGB aksila teraba (N1), ternyata hasil pemeriksaan histopatologi sentinel lymph node terlibat metastasis pada satu kasus ( 1/3 ), dua kasus lainnya tidak dijumpai metastasis ( 2/3 ).Dari dua kasus terakhir, 1 kasus ternyata hasil pemeriksaan jaringan payudara adalah inflamasi TBC dan 1 kasus lagi memang tidak dijumpai metastase.Pada kasus seperti ini seharusnya tidak dilakukan diseksi aksila.

Satu minggu paska operasi pasien tetap diawasi untuk melihat efek samping yang mungkin terjadi. Tidak dijumpai efek samping selain urine yang berwarna biru, yang dialami selama 24 – 48 jam. Pada kasus nomor 4, urine berwarna biru selama 48 jam karena blue dye yang disuntikkan sebanyak 4 ml. Urine berwarna biru karena blue dye juga memasuki pembuluh darah dan diekskresikan melalui ginjal. Pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dilaporkan terjadinya efek samping blue urticaria sebanyak 1% dan hipotensi karena reaksi alergi sebanyak 0,5% ( Sanidas, et all, 2000).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Kami dapat melakukan

pemetaan sentinel lymph node dengan menyuntikkan blue dye peritumoral dan berhasil mengidentifikasi sentinel lymph node yang berwarna biru pada semua kasus (6/6).

2. Dijumpai sentinel lymph node terlibat metastase dengan KGB aksila juga terlibat metastase ( 4/4 ) dan sentinel lymph node yang tidak terlibat metastase, KGB aksila juga tidak terlibat metastase ( 2/2 ). Pada penelitian ini, terlihat sentinel lymph node dapat menentukan status KGB aksila.

Page 38: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

3. Penelitian ini mendukung pernyataan bahwa pembesaran KGB aksila secara klinis belum tentu terdapat metastase tumor, dan sebaliknya, tidak dijumpainya pembesaran KGB aksila secara klinis belum tentu tidak ada metastase ke aksila.

4. Pemetaan sentinel lymph node menggunakan blue dye aman dan tidak terjadi efek samping yang membahayakan pasien dan operator. Hal ini masih perlu dibuktikan dengan melibatkan lebih banyak kasus.

Saran1. Penelitian ini perlu dilanjutkan

dengan melibatkan lebih banyak kasus sehingga dapat diperoleh akurasi hasil yang lebih baik, ketrampilan dan tehnik yang semakin baik.

2. Perlu adanya lymphoscintigraphy dan hand-held gamma probe yang dapat mempermudah dan meningkatkan akurasi pemetaan sentinel lymph node dengan tehnik blue dye. Dengan demikian diseksi aksila secara bertahap bukan merupakan prosedur tetap pada penanganan kanker payudara yang operabel.

3. Perlu meningkatkan pengertian mengenai kanker payudara pada masyarakat sehingga penderita dapat berobat pada stadium dini.

DAFTAR PUSTAKA1. Bailey, Love’s . 2000. The Breast,

In Short Practise Of Surgery, 23rd

Edition,Oxford University Press , Oxford, 761-65.

2. Bailey, H. 1986. The Breast and Axillary Lymph Nodes , Demonstration Of Physical Sign In Clinical Surgery , Seventheenth Edition, Butherworth Heinemann , 176-88.

3. Baichev ,G., Sergieva, S., Gorchev, G. Sentinel lymph nodes identification in early breast cancer

- peritumoral or subareolar injection of lymphotropic blue dye?, Radiol Oncol , 35, 43-6.

4. Cherng Yu, Jyh. 2002. Giu-Cheng Hsu, Yao-Chi Liu, Lai-Fa Sheu, Su-Hui Li, Tsu-Yi Chao, Sentinel Node Biopsy in Early Breast Cancer in Taiwan, World J. Surg, 26, 1365-69.

5. Clarke,D., Mansel, R. 2001. Sentinel node biopsy in breast cancer, European Journal of Surgical Oncology, 27, 4 – 8.

6. Giuliano, AE. 2001. Sentinel Lymph Node Dissection in Breast Cancer. In: Perry MC, ed, American society of clinical oncology educational book. Alexandria VA: American Society of Oncology, 530- 34.

7. Giuliano, AE., Kirgan, DM., Guenther, GM., Morton, DL, 1994. Lymphatic mapping and sentinel lymphadenectomi for breast cancer, Ann Surg, 220, 391 – 401.

8. Haagensen, CD. 1986. Intraductal Breast Carcinoma , In Disease Of The Breast, Third Edition,W.B Saunders Co.,Philadelpia, 782-89.

9. Harris, JR., Morrow,M. 1996. Treatment Of Early Stage Breast Cancer, in : Disease Of The Breast, Lippincot raven, Philadelpia,507-1.

10. Harris,.JR., Morrow, M., Bonadona,G. 1993. Cancer of the Breast, in : Cancer Principless & practice of oncology, 4th edition J. B.Lippincott Co.,Philadelpia, 127-292.

11. Haryono, SJ., Kardinah Suzanna, E., Suriadiredja, AS. 2003. Breast Cancer and Malignant Melanoma Preoperative Lympho-scintigraphy in Dharmais Hospital, presented in Sentinel Course , Jakarta.

12. Hughes,LF. 2000. Epidemiology And Cancer risk,In : Benign Disorders And Disease Of The Breast ,. Second edition, WB saunders, toronto, 247-57.

Page 39: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

13. Hukom, RA. 2003. Risiko kanker payudara ditinjau dari segi epidemiologi. Dalam : Penatalaksaan kanker payudara terkini, Pustaka populer obor, Jakarta, 1- 12.

14. Kapteijn, BAE., OE.Nieweg,JL., Petersen, EJTh.. Rutgers, AAM., Hart, JA,van Dongen., BBR,Kroon. 1998. Identification and biopsy of the sentinel lymph node in breast cancer, European Journal of Surgical Oncology, 24, 427 – 30.

15. Kardinah. 2003. Pemeriksaan Radiodiagnostik pada Kanker Payudara Dini, Dalam: Penatalaksaan kanker payudara terkini, Pustaka populer obor, Jakarta, 1- 12.

16. Krag, D., Weaver, D., Ashikaga ,T., Moffat, F., Klimberg, V., Shriver, C., et al. 1998. The sentinel node in breast cancer, N Engl J Med, 339, 941 – 6.

17. Markopoulos, C. Nov 2000. Faktors Affecting Axillary Lymph Node metastase In Patiens with T1

Breast Carcinoma., The American Surgery ; 66,11; Health Module Pg.1011.

18. Miner., Thomas, J. 1999. Sentinel Lymph Node Biopsy for Breast cancer : The Role of Previous Biopsy on Patient Eligibility,The American surgeon, 65, 493 – 99.

19. Nieweg, O E., Tanis, PJ., Kroon, BB. 2001. The Defenition of a Sentinel Node, Journal of Surgical Oncology,8(6) : 538-41.

20. Noguchi, M., Motomura, K., Imoto, S., Miyauchi, M., Sato, K., Iwata, H., Ohta, M., Kurosumi, M., Tsugawa, K. 2000. A Multicentre validation study of Sentinel Lymph Node biopsy by the Japanese Breast Cancer Society, Breast cancer research and treatment, 63 :31 – 40.

21. Norton,LB. 1993. Early breast cancer in : Surgical decision making,

3rd edition, W.B. Saunders, Colorado, 180 – 1.

22. Peraboi. 2003. Protokol Penatalaksanaan Kanker Payudara ,Hasil Kerja Musyawarah Peraboi, Bandung.

23. Ramli, H M. 1995. Kanker Payudara Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Cipta Aksara,Jakarta: 342 - 54.

24. Rosato,F., Gillum,DR,. 1996. Breast. In: NMS Surgery, 3rd edition, International edition, Infomed Hongkong, 419 – 32.

25. Sanidas, EE., Tsiftsis, DD. 2001. Technical details for the sentinel node biopsy in brest cancer: a guide for the training process, EJSO; 27, 414-27.

26. Suzanna, E. 2003. Pemeriksaan Secara histopatologik Pada Kanker Payudara dan KGB Sentinel pada Breast conserving treatment, dalam : Penatalaksanaan Kanker Payudara Terkini,Pustaka Popular Obor, Jakarta , 22-29.

27. Syamsuhidayat, R L,, De Jong, W. 1997. Dinding Thoraks, Pleura Dan Payudara Dalam Buku Ajar Ilmu bedah , EGC,Jakarta, 542-53.

28. Tanis, PJ., Nieweg, OE., Valdes, RA., Rutgers Kroon, BBR. 2001. History of Sentinel node and validation of the technique, Breast Cancer Research, 3, 109 – 12.

29. Tjindarbumi. 2000. Deteksi Dini Kanker Payudara Dan Penanggulangannya Dalam : Deteksi Dini Kanker, FK UI, Jakarta; 32-51.

30. Van de Velde, C J H. 1999. Tumor Payudara Dalam Arjono Sunarto. Oncology, Panitia Kanker RSUP. Dr. Sarjito Yogyakarta , terjemahan, edisi ke – 5, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 467-92.

31. Veronesi, U., Schwartz,G., Giuliano, AE. 2002. Proceeding of the Consensus Conference on the

Page 40: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Role of Sentinel Lymph Node Biopsy in Carcinoma of the Breast April 19

– 22, 2001, Philadelphia,PA, USA, The Breast;11,362 – 373.

Page 41: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Intoleransi Laktosa

Atan Baas SinuhajiDepartemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit H. Adam Malik Medan

Abstrak: Laktosa merupakan karbohidrat utama pada ASI dan memberikan hampir setengah dari kalori yang terdapat di ASI. Defisiensi laktase menyebabkan laktosa tidak dapat diserap (malabsorpsi laktosa). Defisiensi laktase bisa primer atau sekunder (mis. kerusakan mukosa usus). Laktosa yang tidak diserap menyebabkan timbulnya berbagai gejala klinik (intoleransi laktosa). Defisiensi laktase sekunder paling sering di jumpai pada masa bayi. Hal ini penting diingat oleh dokter anak, bila ada diare dengan intoleransi laktosa kemungkinan adanya alergi protein susu sapi dan intoleransi lemak harus dipertimbangkan. Kata kunci: defisiensi laktase, malabsorpsi laktosa, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi

Abstract: Lactose, the primary carbohydrate in human milk, gives contributions for almost half of the total calories in human milk.Lactose can not be absorbed (malabsorbed) in lactase deficiency, either primary or secondary (i.e those associated with mucosal damage). In the failure to either digest or absorp lactose, a distinct clinical symptoms is observed (intolerance). Secondary lactase deficiency most commonly found during infancy. It is important for pediatricians, who infants with gastroenteritis with symptoms of lactose intolerance, to be aware of the possibility of cow’s milk protein sensitive enteropathy and fat intolerance.Keywords: lactase deficiency, lactose malabsorption, lactose intolerance, cow’s milk protein sensitive enteropathy

PENDAHULUANSusu merupakan sumber nutrient

yang penting untuk pertumbuhan bayi mamalia, termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia, merupakan disakarida yang terdiri dari gabungan monosakarida: glukosa dan galaktosa.1,2

Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose synthetase.3

Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4%. Singa laut merupakan satu-satunya mammalia yang tidak mengandung laktosa dalam air susunya, juga enzim untuk pemecahan laktosa (laktase).1,2

Dalam tulisan ini akan diuraikan secara ringkas manfaat laktosa juga manifestasi klinis, diagnosa dan pengobatan intoleransi laktosa.

MANFAAT LAKTOSA

TINJAUAN PUSTAKA

Page 42: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Laktosa merupakan sumber energi yang memasok hampir setengah keseluruhan kalori susu (35 – 45%). Di samping itu laktosa juga penting untuk absorpsi kalsium. Namun studi klinis menunjukkan, mineralisasi tulang bayi yang mendapat formula susu sapi (mengandung laktosa) maupun formula kedelai (karbohidratnya terdiri dari polimer glukosa), tidak ada perbedaan.4,5

Galaktosa yang merupakan hasil hidrolisa laktosa, merupakan senyawa yang penting untuk pembentukan serebrosida. Serebrosida ini penting untuk perkembangan dan fungsi otak. Galaktosa ini juga dapat dibentuk oleh tubuh (di hati) dari bahan lain (glukosa).3

Karena itu keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat di susu mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik. Proses evolusi terpilihnya laktosa menjadi karbohidrat satu-satunya yang terdapat di susu mammalia, mungkin merupakan cerminan dari adanya fungsi laktosa yang penting pada masa bayi mammalia yang belum diketahui.2

Apakah sehubungan dengan pertahanan/pencernaan, masih merupakan kemungkinan.6

MANIFESTASI KLINISKarbohidrat yang dimakan diserap

dalam bentuk monosakarida (glukosa, galaktosa dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa agar proses absorpsi dapat berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase (-galactosidase), suatu enzim yang terdapat di brush border mukosa usus halus.

Enzim lain yang terdapat di brush border adalah sukrase, maltase dan glukoamilase. Laktase dijumpai pada bagian luar brush border dan di antara semua disakaridase, laktase yang paling sedikit. Bila ada kerusakan mukosa (serangan gastroenteritis), enzim laktase yang selalu mendapat gangguan (defisiensi laktase sekunder) dan hal ini yang paling sering

dijumpai.1,8 Laktase akan kembali normal kalau mukosa usus mengalami penyembuhan, namun memerlukan waktu.

Pada janin manusia aktivitas laktase telah kelihatan pada usia kehamilan 3 bulan dan aktifitas laktase pada minggu 35- 38 meningkat sampai 70 % dari bayi lahir aterm. Karena itu defisiensi laktase primer dijumpai pada bayi prematur sehubungan dengan perkembangan usus yang immatur (developmental lactase deficiency). Congenital lactase deficiency pada bayi baru lahir, merupakan keadaan yang jarang dijumpai. Penyakit ini diturunkan secara autosomal recessive.1

Aktifitas laktase ini menurun secara nyata sejak umur 2 – 5 tahun (late onset lactase deficiency) walau laktosa terus diberikan. Ini menandakan laktase bukan enzim adaptif.1,9 Pada beberapa ras , terutama orang kulit putih di Eropa Utara, beberapa suku nomaden di Afrika, aktifitas laktase pada manusia dewasa tetap tinggi (persistence of lactase activity).

Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak ada penyerapan oleh mukosa usus halus. Disakarida ini merupakan bahan osmotik yang akan menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding dengan jumlah laktosa yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan rasa mual , muntah dan peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang meninggi menyebabkan waktu transit usus makin pendek sehingga mengurangi kesempatan untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan air/elektrolit yang tidak diserap meninggalkan usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini akan difermentasi oleh flora normal menjadi gas (CO2, H2 dan CH4), asam lemak rantai pendek (butirat, propional dan asetat) dan asam laktat.10

Pembentukan gas menyebabkan perut kembung dan sakit perut. Pembentukan gas hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di udara pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji hidrogen pernafasan. Pembentukan

Page 43: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

asam lemak rantai pendek tadi diperlukan oleh tubuh karena asam lemak ini dapat digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu pembentukan asam lemak rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu absorpsi air/elektrolit dan motilitas kolon.

Lebih kurang 70 % dari nutrisi kolon berasal dari intraluminal.11 Karena itu secara fisiologis, dalam keadaan normal dijumpai malabsorpsi laktosa/karbohidrat. Sedangkan penyerapan asam laktat oleh kolonosit menyebabkan asidosis metabolik.

Air/elektrolit yang sampai di kolon dan hasil fermentasi tadi diserap oleh kolonosit (colonic salvage). Bila colonic salvage dilewati, maka asam laktat banyak dijumpai di tinja yang akan menyebabkan penurunan pH tinja. Demikian juga bila air/elektrolit dan laktosa yang sampai ke kolon melewati colonic salvage, maka akan menyebabkan kadar air tinja meningkat (diare osmotik) dan bahan-bahan reduksi (laktosa) dijumpai dalam tinja.8,10 (lihat gambar 1)

Gambar 1. Patogenesa intoleransi laktosa

Laktosa tidak diserap

Menarik air

Kolon

Colonic Salvage

Diare OsmotikBahan reduksiAsam Laktat

Diserap

Fermentasi

Air Laktosa

Asam laktat

Asam lemakrantai pendek

Gas CH4

CO2

H2

Page 44: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Gambar 2. Hubungan antara gastroenteritis , intoleransi laktosa, dan CMPSEAda beberapa terminologi yang

perlu dipahami sehubungan dengan gangguan absorpsi laktosa yaitu:1,9

1. Defisiensi laktase: rendah (atau tidak ada) aktifitas laktase pada pemeriksaan hasil biopsi mukosa usus halus.

2. Malabsorpsi laktosa: ketidak mampuan usus halus mengabsorpsi laktosa yang dibuktikan dengan pemeriksaan yang sesuai (uji beban laktosa, uji hidrogen pernafasan).

3. Intoleransi laktosa: munculnya gejala-gejala klinis setelah makan/minum bahan yang mengandung laktosa (mencret, mual, muntah, perut kembung dan sakit perut).

Hal ini perlu diperhatikan karena seorang dengan defisiensi laktase belum tentu mengalami malabsorpsi laktosa. Malabsorpsi laktosa juga bisa disebabkan kerusakan mukosa usus halus. Juga penderita malabsorpsi

laktosa belum tentu mengalami intoleransi laktosa.

Disamping aktifitas laktase di mukosa usus halus, laktosa yang didigesti dan ditoleransi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:1

a. Jumlah laktosa yang dimakan (dose dependent).

b. Waktu pengosongan lambung dan waktu transit usus.

c. Pelarut yang digunakan untuk memberi laktosa.

d. Flora normal yang terdapat di kolon.

Hal ini memperngaruhi gejala-gejala intoleransi laktosa pada satu individu dengan individu lain sehingga menimbulkan permasalah diagnosa dan angka kejadian.

DIAGNOSADiagnosa intoleransi laktosa

merupakan gabungan gejala klinis dan uji/pemeriksaan yang sesuai. Secara klinis dengan uji toleransi laktosa. Setiap bayi minum bahan yang

DefisiensiSIgA

Sensitisasi

Sistemik

Absorpsi makromolekuler

Rusak mukosa

Cow’s Milk Protein Sensitive Enteropathy( CMPSE )

Gastroenteritis akut

IntoleransiLaktosa

Defisiensi laktase

sekunder

Page 45: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

mengandung laktosa akan timbul gejala klinis (diare, perut kembung dan lain-lain). Bila laktosa dieliminasi dari dietnya, maka gejala tersebut akan hilang.1,8

Uji/pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk menentukan adanya malabsorpsi laktosa.10 Adanya bahan-bahan reduksi dan pH tinja yang asam mengindikasikan adanya malabsorpsi laktosa. Walaupun pemeriksaan ini bersifat uji saring dan kualitatif, uji ini valid bila: hanya laktosa yang diminum, waktu transit usus yang cepat, tinja yang segar dan harus diperiksa segera, dan degradasi laktosa oleh flora kolon tidak komplit.

Uji hidrogen pernafasan merupakan pemeriksaan yang saat ini dianjurkan untuk mendiagnosa malabsorpsi laktosa. Uji ini tidak invasif dan dapat dilakukan pada bayi. Peningkatan produksi gas hidrogen pada udara pernafasan, menunjukkan adanya fermentasi laktosa yang tidak dicerna yang sampai ke kolon. Setelah puasa malam hari, peningkatan gas hidrogen > 20 ppm sehabis minum laktosa, mengindikasikan adanya malabsorpsi laktosa.1,10

PENGOBATANPengobatan intoleransi laktosa yang

disebabkan defisiensi laktase primer dapat diberikan susu rendah/bebas laktosa tergantung toleransi. Ataupun penambahan laktase (Lactaid)/Yoghurt ke dalam susu. Pemberian susu yang diencerkan tidak disukai karena menimbulkan pengaruh buruk pada gizi bayi, apalagi kalau diberikan pada waktu yang lama.12 Pada bayi prematur (dengan developmental lactase deficiency), pemberian ASI dapat diteruskan karena defisiensi laktase hanya transient. Bila digunakan susu sebaiknya kandungan karbohidratnya merupakan gabungan laktosa yang direndahkan dan polimer glukosa. Pemberian polimer glukosa memberikan keuntungan berupa penurunan osmolalitas dan mempercepat waktu pengosongan lambung.

Hal ini akan berbeda , bila intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi laktase sekunder (kerusakan

mukosa misalnya oleh karena gastroenteritis). Pada keadaan ini ASI tetap diberikan walau kadar laktosanya lebih tinggi dari susu sapi. Sebab pastinya kenapa dapat ditoleransi belum diketahui, walau banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjelaskan.13 Karena itu ASI harus diteruskan pada bayi/anak dengan diare.13-15

Intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, umumnya temporer tetapi dapat berlangsung sampai 4 bulan. Karena itu wajar bila intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, diberikan susu yang diencerkan dan susu rendah/bebas laktosa. Namun adanya intoleransi laktosa (setelah serangan gastroenteritis akut), tidak menyingkirkan kemungkinan adanya cow’s milk protein sensitive enteropathy dan intoleransi lemak.16,17

(lihat gambar 2). Dengan demikian pemberian susu yang diencerkan dan susu rendah/bebas laktosa dapat menemui kegagalan yang bervariasi antara 7,7 - 47 %.18

Pemberian susu bebas laktosa, kelihatan hanya sedikit manfaatnya pada pengobatan anak dengan diare.12

Iacono, mendapatkan bila didapati nilai steatokrit patologis pada masa serangan gastroenteritis akut ,- terlebih bila bayi usia di bawah 2 bulan -, sangat besar resiko untuk timbulnya cow’s milk protein sensitive enteropathy.19

Fayat membandingkan manfaat pemberian susu kacang kedelai yang mengandung sukrosa dengan susu kacang kedelai yang mengandung laktosa pada masing-masing 100 bayi umur 3 – 18 bulan dengan diare. Angka kegagalan pemberian susu yang mengandung laktosa sebesar 6 % dan yang mengandung sukrose sebesar 2 %.20 Walaupun kegagalan pemberian susu yang mengandung sukrose lebih kecil, kegagalan ini dapat berakibat fatal kalau tidak di bawah pengawasan klinisi.13

Karena itu bila mencret berlangsung terus/makin hebat setelah pemberian susu, sebaiknya susu distop dan diberikan kembali setelah ada perbaikan.

Page 46: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

KESIMPULANDiare dapat disebabkan intoleransi

laktosa. Tetapi diare (dalam hal ini gastroenteritis) juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa. Karena itu pada penderita gastroenteritis disamping intoleransi laktosa harus dipikirkan intoleransi terhadap bahan-bahan lain yang terdapat di susu agar dapat diberikan diet yang sesuai. Walaupun kadar laktosa di ASI tinggi, ASI tetap diberikan pada penderita gastroenteritis dengan intoleransi laktosa.

DAFTAR PUSTAKA1. Alliet P, Kretchmer N, Lebenthal E.

Lactase deficiency, lactose malabsorption, and lactose intolerance. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Textbook of Gastroenterology and Nutrition in Infancy. Edisi ke-2. New York: Raven Press, 1989. h. 459-72.

2. George DE, DeFrancesca BA. Human milk in comparison to cow milk. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Textbook of Gastroenterology and Nutrition in Infancy. Edisi ke-2. New York: Raven Press, 1989. h. 239-61.

3. Mayes PA. Gluconeogenesis and control of blood glucose. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting. Harper’s Biochemestry. Edisi ke-22. Connecticut: Prentice-Hall International Inc., 1990. h. 179-98.

4. Steichen J, Tsang RC. Bone mineralisation and growth in term infants fed soy based or cow milk based formula. J Pediatr 1987; 110:687-92.

5. Mimouni F, Campaigne B, Neylan M, Tsang RC. Bone mineralisation in the first year of life in infants fed human milk, cow milk formula, or soy based formula. J Pediatr 1993; 122:348-54.

6. Jackson AA, Golden MH. The human rumen. Lancet 1978; II:764-7.

7. Lifshitz F. Food intolerance and sensitivity. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Advances in pediatrics gastroenterology and nutrition. Mead Johson symposium series No. 1; Manila, 1983: 131-40.

8. Heitlinger LA, Lebenthal E. Disorders of carbohydrate digestion and absorption. Pediatr Clin North Am 1988; 35:239-55.

9. Sahi T. Dietary lactose and the aetiology of human small intestinal hypolactasia. Gut 1978; 19:1074-86.

10. Sinuhaji AB. Beberapa uji fungsi usus yang penting dalam mendiagnosis penyakit gastrointestinal pada anak. Disampaikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak IX, Semarang, 13-17 Juni, 1993.

11. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhoea : Implication for treatment. Lancet 1986; I:1082-4.

12. Lembcke JL. Dietary management of acute childhood diarrhoea : A developing world perspective. International Seminar in Pediatric Gastroenterology and Nutrition : Refeeding and diarrhoea 1994; 3:10-5.

13. Brown KH. Dietary management of acute childhood diarrhea : Optimal timing of feeding and appropriate use of milks and mixed diets. J Pediatr 1991; 118:S92-8.

14. Sinuhaji AB. Patofisiologi dan tatalaksana diare akut pada neonatus dan bayi. Dalam: Pasaribu S, Lubis M, Lubis B, Khainir A, Haris MS, penyunting. Penatalaksanaan diare pada bayi dan neonatus. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 1999: 1-20.

15. Armon K, Stephenson T, MacFaul R, Eccleston P, Werneke U. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhoea

Page 47: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

management. Arch Dis Child 2001; 85:132-42.

16. Walker-Smith JA, Nazer H, Manuel P, Jackson D, Philips AD, Soeparto P. Protein intolerance as a cause of posenteritis diarrhea. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Chronic diarrhea in child. New York: Raven Press, 1984. h. 407-23.

17. Patrick MK, Gall DG. Protein intolerance and immunocyte and enterocyte interaction. Pediatr Clin North Am 1988; 35:17-34.

18. Sinuhaji AB, Lubis AH, Metrisal, Sutanto AH. Penatalaksanaan diare kronik pada anak. Dalam: Aldy D, Sutjipto A, Siregar AA, Siregar RR, Lubis U, penyunting. Masalah gizi, immunisasi, psikologi anak, penyakit infeksi dan rooming in. Naskah lengkap Pendidikan Ilmu

Kesehatan Anak Berkelanjutan II Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan; 1987: 68-92.

19. Iacono G, Carrocio A, Alongi A, et al. The steatocrit test a guide in the prevention of cow’s milk enteropathy following acute infectious enteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1990; 11:48-52.

20. Fayad IM, Hashem M, Hussein A, Abouzikri M, Abuzikri M, Santosham M. Comparison soy based formula with lactose and with sucrose in the treatment of acute diarrhea in infant. Arch Pediatr Adolesc Med 1999; 153:675-80.

Page 48: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Aspek Medikolegal Luka pada Forensik Klinik

Alfred C. SatyoDepartemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan

Abstrak: Usaha-usaha memanfaatkan ilmu kedokteran tentang luka untuk kepentingan hukum (medikolegal) telah dimulai sejak dulu kala, mulai dari raja Hammurabi dan Hittites di zaman Babylonia pada tahun 1700 SM. Luka ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dibicarakan dengan padanannya dalam ilmu Kedokteran. Empat kualifikasi luka dapat menjadi pilihan dokter yang praktik forensik klinik di Instalasi atau Unit Gawat Darurat untuk pembuatan Visum et Repertum.

Abstract: The knowledge about wounds had been used for legal medicine purposes since kings Hammurabi and Hittites of Babylon in 1700 BC. Wounds are reviewed both from the Indonesia Penal Code (KUHP) and medical approaches. The conclusions for medical reports and legal purposes could be made by selecting one of four qualifications of wounds.

PENDAHULUANKerajaan Babylonia telah mengenal

dan mempunyai hubungan ilmu kedokteran dengan ilmu hukum yang dinamakan Hukum (Code) Babylonia yang ditulis oleh raja Hammurabi (Hammurabi Code) pada tahun 1700 SM.

Selain itu dikenal juga hukum Hittites (Code of Hittites) pada tahun 1400 SM.1 Hukum Hittites ini mengandung daftar yang amat rinci mengenai kompensasi yang harus diberikan pada kasus-kasus yang diperlukan. Pada masa Persia kuno telah dikenal tingkat atau kualifikasi luka dan pemeriksaan dilakukan pada orang-orang yang mengalami perlukaan.

Aquillia (572 SM) menulis tentang perlukaan yang dapat mematikan dan pendapat medis dalam menaksir kegawatannya.2

Antistius memeriksa, bahwa ada dua puluh tiga buah luka pada tubuh Julius Caesar (100-44 SM), tetapi luka

yang mematikan hanya satu-satunya tusukan pada jantung.1,2

Justinius (483-563), dalam bukunya “Digest” telah meminta nasehat-nasehat medis pada kasus perlukaan.1,2

Azizes Jeruzalem (Kode Hukum Jerusalem) pada tahun 1100 antara lain memeriksa perlukaan pada kasus pembunuhan.

Di negeri Cina pada tahun 1248, telah ditulis sebuah buku berjudul “Hsi Luan Yu” (Record of the Washing Away of Wrongs).2,3

Buku yang terdiri dari lima jilid ini telah membicarakan aspek medikolegal luka bakar.

Ambroise Pare (1510-1590), seorang ahli bedah Perancis, menulis tentang luka-luka yang menyebabkan kematian. Karya tulisnya “De rapports et des maijens d’embaumer les corps morts” dipublikasikan di Paris pada tahun 1575.3

Konstitusi Criminales Carolina dari Charles V pada tahun 1532 memberikan hak-hak penyidikan mengenai kasus luka-luka. Rodigo de

Page 49: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Castro memperkenalkan teknik-teknik medikolegal dalam karya tulisnya “Medicus Politicus” yang diterbitkan pada tahun 1614.2

Bersamaan dengan Castro seorang ahli Jerman, Bernardus Suevus, menulis “The Inspection of Lethal Wounds”. Karya tersebut baru ditemukan tiga abad kemudian (1919).

Bohn (1720) orang yang pertama kali membedakan luka antemortem dengan postmortem.2,3

Setelah masa ini, penelitian dan penulisan aspek medikolegal dari luka semakin dikenal di semua sentra-sentra pendidikan kedokteran maupun hukum, sesuai perkembangan ilmu kedokteran kehakiman itu sendiri. Hal ini masih berlangsung saat ini.

LUKA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal luka kelalaian atau karena yang disengaja. Luka yang terjadi ini disebut “Kejahatan Terhadap Tubuh atau Misdrijven Tegen Het Lijf”. Kejahatan terhadap jiwa ini diperinci menjadi dua yaitu kejahatan doleuse (yang dilakukan dengan sengaja) dan kejahatan culpose (yang dilakukan karena kelalaian atau kejahatan).4

Jenis kejahatan yang dilakukan dengan sengaja diatur dalam Bab XX, pasal-pasal 351 s.d. 358. Jenis kejahatan yang disebabkan karena kelalaian diatur dalam pasal 359, 360 dan 361 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dijumpai kata-kata, “mati, menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan sementara”, yang tidak disebabkan secara langsung oleh terdakwa, akan tetapi ‘karena salahnya’ diartikan sebagai kurang hati-hati, lalai, lupa dan amat kurang perhatian.

Pasal 361 KUHP menambah hukumannya sepertiga lagi jika kejahatan ini dilakukan dalam suatu jabatan atau pekerjaan. Pasal ini dapat dikenakan pada dokter, bidan, apoteker, supir, masinis kereta api dan lain-lain.

Dalam pasal-pasal tersebut tercantum istilah penganiayaan dan merampas dengan sengaja jiwa orang lain, suatu istilah hukum semata-mata dan tidak dikenal dalam istilah medis.5

Yang dikatakan luka berat pada tubuh pada pasal 90 KUHP, adalah penyakit atau luka yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut, terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan tidak lagi memakai salah satu panca indera, kudung (rompong), lumpuh, berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu.6

Disinilah dokter berperan besar sekali sebagai saksi ahli di depan pengadilan. Hakim akan mendengarkan keterangan spesialis kedokteran forensik maupun ahli lainnya (setiap dokter) dalam tiap kejadian secara kasus demi kasus.

LUKA DALAM TRAUMATOLOGIDalam ilmu perlukaan dikenal

trauma tumpul dan trauma tajam. Luka merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antar jaringan (discontinuous tissue) seperti jaringan kulit, jaringan lunak, jaringan otot, jaringan pembuluh darah, jaringan saraf dan tulang.

Trauma tumpul ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tumpul. Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, martil, terkena bola, ditinju, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu-lintas dan lain-lain sebagainya.

Trauma tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus laceratum).

Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk

Page 50: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

(vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).

Perbedaan antara trauma tumpul dan trauma tajam, tercantum dalam ikhtisar di bawah ini:8,9

Trauma Tumpul Tajama. Bentuk

luka

b. Tepi luka

c. Jembatan jaringan

d. Rambut

e. Dasar luka

f. Sekitar luka

tidak teratur

tidak rata

ada

tidak ikut terpotong

tidak teratur

ada luka lecet atau memar

Teratur

Rata

tidak ada

ikut terpotong

berupa garis atau titik

tak ada luka lain

Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban perlukaan. Dokter sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan mengenai:- Jenis luka apa yang ditemui- Jenis kekerasan/senjata apakah

yang menyebabkan luka dan- Bagaimana kualifikasi dari luka itu.

Sebagai seorang dokter, ia tidak mengenal istilah penganiayaan. Jadi istilah penganiayaan tidak boleh dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan tetapi sebaiknya dokter tidak boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai misalnya luka lecet yang satu-dua hari akan sembuh sendiri secara sempurna dan tidak mempunyai arti medis, tetapi sebaliknya dari kaca mata hukum.

VeR DALAM KUHAPDalam Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana tidak dijumpai istilah Visum et Repertum. Pasal 133 KUHAP7

memakai istilah “surat keterangan ahli” yang dibuat oleh spesialis kedokteran forensik” atau “surat keterangan” bila dibuat oleh dokter umum atau dokter spesialis lainnya, adalah identik dengan Visum et Repertum.

Profesionalisme seorang dokter dapat dimunculkan pada kesimpulan

Visum et Repertum yang dapat menjadi pertimbangan pihak penegak hukum.

Ada empat kualifikasi (derajat) yang dapat dipilih dokter:1. Orang yang bersangkutan tidak

menjadi sakit atau mendapat halangan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan.

2. Orang yang bersangkutan menjadi sakit tetapi tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan atau jabatan.

3. Orang yang bersangkutan menjadi sakit dan berhalangan untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya.

4. Orang yang bersangkutan mengalami:a. Penyakit atau luka yang tidak

dapat diharapkan akan sembuh.b. Dapat mendatangkan bahaya

maut.c. Tidak dapat menjalankan

pekerjaan.d. Tidak dapat memakai salah satu

panca indera.e. Terganggu pikiran lebih dari

empat minggu.f. Keguguran (matinya janin dalam

kandungan).KESIMPULAN

Seorang dokter wajib membantu pihak penegak hukum, membuat Visum et Repertum (VeR) termasuk luka. VeR yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah surat keterangan ahli, bila dibuat oleh spesialis kedokteran forensik dan surat keterangan bila dibuat oleh dokter spesialis lainnya atau dokter umum.

Pada pembuatan VeR forensik klinik ada empat kualifikasi luka yang dapat jadi pilihan dokter.

DAFTAR PUSTAKA1. Satyo, Alfred C., Sejarah Ilmu

Kedokteran Forensik, Edisi II (revisi) Cetakan III, UPT Penerbitan dan Percetakan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, h.7-10.

2. Franklin C.A., M.D., Modi’s Text Book of Medical Jurisprudence and Toxicology, Twenty First Edition, N.M. Tripathi Private Limited, Bombay, 1988, p.23-24.

Page 51: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

3. Curran, William J.; Mc Garny, A. Louis; Petty, Charles S., Modern Legal Medicine, Psychiatry, and Forensic Science, F.A. Davis Company, Philadelphia, 1980, p.2-3.

4. Kartanegara, Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1976, h.504-609.

5. Satyo, Alfred C. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter, Edisi II (revisi), Cetakan kedua, UPT Penerbitan dan Percetakan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, h.21-34.

6. Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1983, h.90.

7. Redaksi Bumi Aksara, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lengkap, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2001, h.57.

8. Satyo, Alfred C., Aspek Medikolegal Luka, Majalah Universitas Sumatera Utara, Volume: XVIII/No.2, Medan, 1993, h.25.

9. Idries, A.M., Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, PT. Binapura Aksara, Jakarta, 1989, h.69-82.

Page 52: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Kontroversi Profilaksis Elektif Node Diseksidalam Penanganan Melanoma Maligna

Emir T. PasaribuDepartemen Bedah FK-USU/RSUP H. Adam Malik

Medan

Abstract: Cutaneous melanoma is the malignancy derived from the melanocyte, the cell responsible for pigmentation in humans. It is now the fifth most common cancer in men and the seventh most common in women. When melanoma is apparently localized to the primary site, the aim of surgery is to remove not only the primary but also sufficient surrounding tissue to eliminate clinically in apparent malignant cell present in cutaneous lymphatics adjacent to the lesion and capable for local growth and regional or distant spread. In the natural course of melanoma, 3 different metastatic pathways have been well identified; these include local extension, regional extension and distant extension. Approximately 15 % of patients with primary melanomas and no palpable lymphadenopathy (clinical stage I or II), will be found to have melanoma involving one or more sentinel lymph nodes (pathological stage III) when the nodes are examined after staining. An analysis more than 1400 patients with surgically excised metastases of regional lymph nodes showed a significantly lower survival rate among patients whit palpable nodal metastases than among those with equal numbers of non palpable nodal metastase. These findings suggest that removal of involved but nonpalpable lymph node could increase survival and node merely change the pattern of recurrence.Keywords: melanoma, lymph node dissection, sentinel lymph node

Melanoma maligna kulit adalah keganasan yang berasal dari sel melanosit, pada kulit didapati 4% dari kanker kulit dimana 79% kematian pada kanker kulit disebabkan oleh melanoma maligna. Insiden cenderung meningkat pada beberapa Negara, di Amerika tahun 1975, insiden pada laki laki ; 6,7, wanita 5,9, pada tahun 1996 ; laki laki; 29,4 dan wanita; 14,3.

Insiden pada beberapa Negara sangat bervariasi, di India pada wanita ; 0,2 di Australia ; 42, sedangkan pada laki laki di India ; 0,5 dan di Australia 49. Melanoma maligna menempati urutan ke-V pada laki laki dan urutan ke VII pada wanita dari keganasan yang sering ditemukan

Dapat di temukan pada semua bagian tubuh, pada laki-laki sering ditemukan didaerah punggung sedangkan pada wanita sering pada

daerah tungkai dan punggung, dan jarang ditemukan pada bagian tubuh yang tertutup pakaian.

Ada beberapa faktor resiko untuk terjadinya melanoma maligna yaitu, terpapar sinar ultra violet, ditemukan nevus dalam jumlah yang banyak, adanya nevus congenital, pernah menderita melanoma maligna, penderita tranplantasi dan immunosupresi, wanita hamil atau pengguna hormone estrogen dan penderita xeroderma pigmentosa.

Secara klinis ada beberapa tipe melanoma yang sering ditemukan yaitu, superficial spreading melanoma ditemukan 70 %, nodular melanoma 15%, acral lentigenous melanoma 10 %, lentigo maligna melanoma 5% dan desmoplastic melanoma pertama kali dipublikasi padatahun 1971 dan jarang ditemukan.

Page 53: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Table I.

AJCC staging for melanoma 2002O In-situIA < 1.0 mm, no ulcerationIB < 1.0 mm with ulceration 1.01-2.0 mm, no ulcerationIIA 1.01-2.0 mm with ulcerationIIB 2.01-4.0 mm with ulceration >4.0 mm, no ulcerationIIC >4.0 mm with ulcerationIIIA Non-ulcerated primary tumor (T1-T4a) with < 3 nodal micrometsIIIB Non-ulcerated primary tumor (T1-T4a) with < macromets Any primary tumor (T1-T4b) with < 3 nodal micromets Any T with in transit or sateliteIIIC Any T with < 3 macromets Any T with > 4 nodesIV M1a Distant skin, subcutaneous or nodal mets with normal LDH M1b Lung metastasis with normal LDH M1c All other visceral metastasis with normal LDH or Any distant metastasis with elevated LDH

Table II.

Melanoma TNM Classification AJCC 2002T Classification

Thickness Ulceration StatusT1 < 1.0 mm a:without ulceration and level II/III b:with ulceration or level IV/VT2 1.01 to 2.0 mm a:without ulceration b:with ulcerationT3 2.01 to 4.0 mm a:without ulceration b:with ulcerationT4 > 4.0 mm a:without ulceration b:with ulceration

N Classification

No. of Metastatic Nodes Nodal Metastatic MassN1 One node a:micrometastasis*

b:macrometastasis†N2 Two to three nodes a:micrometastasis*

b:macrometastasis† c:in-transit metastases/satellite (s) without metastatic nodes

Four or more metastatic nodes, or matted nodes, or in-transitN3 metastases/satellite (s) with metastatic node (s)

M Classification

Site Serum LDH‡M1a Distant skin, subcutaneous tissue, or nodal metastases NormalM1b Lung metastases NormalM1c All other visceral metastases Normal Any distant metastasis Elevated

* Micrometastases are diagnosed after sentinel or elective lymphadenectomy† Macrometastases are defined as clinically detectable nodal metastases confirmed by therapeutic Lymphadenectomy or when nodal metastasis exhibits gross extracapsular extension.

Page 54: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Table III.

Survival data (%) for melanoma1 Year 5 Year 10 Year

IA 95 88IB 90 80IIA 78 65IIB 65 50IIC 45 32IIIA 65 60IIIB 50 40IIIC 25 20IV M1a 59 19 16 M1b 57 7 3 M1c 41 10 6Stage I,II – worse prognosis with ulceration, increasingthickness, age, axial location, being male.Stage III – worse with increasing number of nodes,macrometastasis, ulceration of primary tumor.Stage IV – depends on site, but differences are minimal.Mets to the lung only has 1 year survival advantage over other visceral mets. visceral mets.

PROSEDUR TINDAKAN BEDAH

Table IV.

Batasan eksisi luas pada T melanomaKeterangan “safety margin”In situ 0.5 cm< 1 mm 1.0 cm1.01 – 4 mm 2.0 cm> 4 mm > 2.0 cmSubungual amputasi

METASTASE REGIONAL ( N )Lokasi lesi primer Tindakan Ektremitas bawah diseksi inguinal superficialEktermitas atas diseksi aksila samapai level IIKepala & leher diseksi leher radikal

Profilaktik slektif node diseksi pada melanoma adalah tindakan bedah yang dilakukan pada penderita yang secara klinis tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional, atau hanya dilakukan pada penderita stadium I / II. Hal ini dilakukan bertujuan untuk kontrol regional, penenuan staging patologi , prognostic dan menentukan modalitas terapi lanjutan. Pada penderita melanoma maligna stadium I / II ternyata ditemukan 15 – 20 % adanya occult metastase. Bila ditemukan metastase pada KGB regional pada maka penderita yang tadinya secaraklinis stadium I/II akan berubah menjadi stadium III a – IIIb. Seperti terlihat pada table III, dimana survival 5 – 10 tahun penderita sangat tergantung pada

stadium. Sehingga pada stadium lanjutdiperlukan terapi tambahan untuk meninggkatkan survival.

Hal yang tidak diinginkan pada profilaktik elektif node diseksi adalah ternyata ada 80 % penderita tidak perlu dilakukan diseksi akan mendapat komplikasi yang diakibatkan node diseksi berupa , infeksi, seroma dan limf edema.

Intergroup melanoma surgical trial (9), mengemukakan survival 10 -15 tahun berbeda bermakna bila dilakukan profilaktik node diseksi pada melanoma dengan ketebalan 1 – 4 mm, jika pada melanoma tersebut, tidak dijumpai ulkus, ketebalan 1 – 2 mm, lokasi melanoma di tungkai dan penderita dengan usia < 60 tahun.

Page 55: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Terapeutik node diseksi dilakukan bila pada penderita telah teraba pembesaran kelenjar getah bening, pada dasarnya tindakan ini sudah terlambat dengan asumsi telah terjadi metastase jauh sehingga kemungkinan untuk kuratif berkurang hanya saja tindakan dilakukan dengan indikasi yang tepat. Terapeutik node diseksi sangat populer dilakukan di Eropa sebelum tahun 1900, sedangkan di Amerika utara tindakan yang dilakukan untuk kontrol regional pada penanganan melanoma adalah profilaktik node diseksi terutama pada melanoma dengan ketebalan > 1 mm.

Samuel RF et al, (4). pada pengamatannya terhadap 1444 penderita melanoma kepala leher di Duke University Medical Center secara retrospektif sejak tahun 1970 – 1998, dimana 446 penderita dilakukan node diseksi, pada seluruh penderita dievaluasi akan, survival, kekambuhan dan bebas kanker. Pendrita dikelompokkan kedalam 4 kelompok, penderita tanpa dilakukan node diseksi, penderita yang dilakukan prifilaktik node diseksi, penderita terapeutik node diseksi dan penderita kelompok delay node diseksi. Hasil dari pengamatan ternyta occult node metastase 11 %, 12 % penderita akam timbulmtastase jauh pada kelompok yang tidak dilakukan node diseksi. Dan ketahanan hidup penderita delay node diseksi lebih baik (56%), dibandingkan dengan yang dilakukan terapeutik dan profilaktik node diseksi (36%).

Hensin T. et al, mengemukakan sebelum node diseksi dilakukan telebih dahulu dilakukan sentinel limf node biopsi karena pada hasil pengamatannya, di mana: T < 0,8 mm didapati 1% SLN (+)T 0,8 - 1,5 mm didapati 8% SLN (+)T 1,5 - 4 mm didapati 23% SLN (+)T > 4mm didapati 36% SLN (+),dan sentinel limfnode faktor penentuan staging dan penentu prognostik, dan mendapatkan komplikai yang terjadi pada SLN biopsi 4 % sedangkan pada limfnode diseksi 23 %

Stephen K. et al, mengamati nilai status SLN sebagai factor prognostic

pada melanoma maligna, dengan melakukan observasiprospektif pada 882 pasien dari tahun 1996 – 2003, mendapatkan sentinel lifmnode sangat berpegaruh terhadap prognostik terutama penderita melanoma dengan ketebalan lebih dari 1 mm.

Akhir akhir ini dibeberapa pusat penanganan melanoma maligna di eropa menerapkan prosedur SLN biopsi sebagai standar pelanyanan.

KESIMPULANTelah dibicarakan tentang

perosedur penanganan melanoma maligna, terutama pada kontrol regional untuk penderita melanoma tanpa teraba pembesaran kelenjar limf regional. Profilaktik node diseksi bermamfaat dilakukan untuk menentukan stadium patologi , prognostik dan terapi tambahan yang dibutuhkan. di. Sangat bermamfaat dilakukan pada melanoma dengan ketebalan 1 – 4 mm, karena berpengaruh terhadap survival. terutama bila melanoma ditemukan tidak berulkus, pada tungkai dan penderita dengan usia < 60 tahun.

Untuk mencegah node diseksi dilakukan pada seluruh penderita melanoma maligna dengan ketebalan 1 – 4 mm perlu dikembangkan pemeriksaan SLN biopsi sebagai prosedur tetap sebelum melakukan limfnode diseksi, sehingga komplikasi yang akan terjadi dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA:1. Balch, CM, Atkins, MB.,Sober, AJ :

Cutaneus Melanoma. in Devita, VT, Hellman, S. Rosenberg, SA (ed) Cancer Principles and Practice of Oncology, 7th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2005, 1754-1802.

2. Poetiray, EDC ; kanker Kulit dan perkembangan penangganannya, ROPANASURI, Vol-XXVII, No. 1-2, Januari – Juni, 1999.

3. Krown, SE.,Chapman, PB ; Defining Adequate Surgery for

Page 56: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Primary Melanoma ; NEJM, Vol. 350, No ; 8, Feb, 2004, 823-825.

4. Fisher, SR.; Electif Therapeutic and Delayed Lymph Node Disection for Malignant Melanoma of The Head and Neck ; Analysis of 1444 Patients From 1970 to 1998., The Laryngo Scope ; 112 Januari 2002, 99 – 110.

5. Vuylsteke, RJCLM. Van Leeuwen, PAM.Muller, MGS, al ; Clinical Outcame of Stage I/II Melanoma Patients After Selective Sentinel Lymph Node Dissection ; Long-Term Follow Up Results. Journal of Clinical Onkology, Vol.21, Maret 2003, 1057 – 1063

6. Balc, CM,. Soong, SJ. Atkins, MB et al ; An Evidance – Based Staging Sistem For Cutaneous Melanoma ; Ca. Cancer J. CLIN, Vol. 54, No 3, May – June 2004, 131-148.

7. Halpern, AC. Huang, CL, ; Management of The Patient Wish

Melanoma, in : Rigel, DS. Cancer of The Skin, Elsevier, Saunder.

8. Rossi, CR. De Salvo, GL. Trifiro. G, et all ; The Impact of Lymphoscintigraphy Technique on The Outcome of Sentinel Node Biopsy in 1.313 patients wish Cutaneous Melanoma : An Italian Multicentric Study ( SOLISM – I.MI ), The Journal of Nuclear Medicine, Vol. 47, No 2, Feb. 2006, 234-240.

9. Gershenwald, JE. Sussman JJ. Barngett, CC, ; Malanoma in Feig, BW. Berger, DH. Furhan, GM. (ed), The MD Anderson Surgical Ongology Hand Book, Third Ed Lippincott William & Wilkins, 41 – 73

10. Balch, CM. Buzaid, AC. Soong. SJ, et al ; Final Version of The American Joint Committee on Cancer Staging System for Cutaneous Melanoma. Journal of Clinical Oncology, Vol; 19. No 16. Agust 2001. 3635 – 3648.

Page 57: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Cedera Paru dan Diafragma Akibat Ventilator

Chairul YoelDepartemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Ventilasi mekanik merupakan terapi suportif life-saving untuk gagal nafas, namun juga merupakan penyebab penting terjadinya cedera paru (ventilator-associated lung injury/VALI) dan diafragma (ventilator-induced diaphragmatic dysfunction/VIDD). Bentuk cedera paru yang terjadi dapat berupa barotrauma, volutrauma, atelektrauma, dan biotrauma. Anak-anak lebih rentan terhadap overdistensi paru dibandingkan dewasa, karena itu diperlukan evaluasi individual tentang pengaruh pengaturan ventilator. Pengawasan mekanika pernapasan merupakan aspek penting dari penatalaksanaan pasien yang mendapatkan ventilasi.Kata kunci: ventilator mekanik, cedera paru, disfungsi diafragma

Abstract: Mechanical ventilation is a life-saving form of supportive therapy for respiratory failure, however, it is an important cause of lung injury (ventilator-associated lung injury/VALI) and diaphragmatic dysfunction (ventilator-induced diaphragmatic dysfunction/VIDD). The forms of ventilator-associated lung injury are barotrauma, volutrauma, atelectrauma, and biotrauma. Young children may be more susceptible than adults to overdistension, and individual evaluation of the effects of ventilator settings is therefore required. Monitoring respiratory mechanics is an important aspect of the management of the ventilated patient. Keywords: mechanical ventilator, lung injury, diaphragmatic dysfunction

PENDAHULUANVentilasi mekanik merupakan suatu

terapi suportif live – saving untuk gagal nafas. Namun ventilasi mekanik juga berhubungan dengan komplikasi seperti infeksi, gangguan kardiovaskular, cedera trakea, keracunan oksigen dan cedera paru akibat ventilator ( ventilator-induced lung injury/VILI).1,2 Selain dari komplikasi-komplikasi yang telah banyak diketahui tersebut, ventilasi mekanik juga merupakan penyebab penting disfungsi diafragma. Fenomena ini disebut sebagai Ventilator-induced diaphragmatic dysfunction (VIDD), yaitu berkurangnya kapasitas kekuatan diafragma yang secara spesifik berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik..1

Cedera paru akibat ventilator terjadi jika paru secara langsung mengalami kerusakan akibat kerja ventilasi

mekanik. Cedera makroskopik berkaitan dengan ventilasi pada pasien Acute Respiratory Distress Syndrome dan berhubungan dengan ruptur alveolar akibat overdistensi, hal ini telah diketahui sejak beberapa dekade lampau, berupa pneumothorax, pneumomediastinum, pneumoperitoneum. Secara historis istilah yang digunakan untuk keadaan ini adalah barotrauma. Kata ini mencerminkan kecenderungan overdistensi alveolar ketika diberikan tekanan inspirasi yang tinggi. Namun beberapa tahun belakangan ini paradigma ini telah bergeser dari cedera paru akibat tekanan ke cedera paru akibat volume (volutrauma). Istilah ini menunjukkan bahwa overdistensi alveolar lebih cenderung terjadi sebagai akibat dari volume yang berlebihan daripada tekanan yang berlebihan. Akan tetapi cedera paru

Page 58: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

akibat ventilator tidak hanya sekedar overdistensi, diyakini bahwa pembukaan dan penutupan unit paru menyebabkan pelepasan sitokin dan meningkatkan respon inflamasi lokal dan sistemik.3

Bukti definitif bahwa ventilasi mekanik dapat menyebabkan kerusakan paru pada manusia sulit diperoleh, oleh karena tidak mungkin melakukan percobaan dengan memberikan ventilasi yang disangkakan dapat menimbulkan cedera pada manusia semata-mata untuk menilai cedera paru yang dapat ditimbulkannya.4 Disamping itu, pada manusia VILI tidak dapat dibedakan dari kebanyakan proses akut inisial yang menyebabkan gagal nafas dan membutuhkan bantuan ventilator.5,6

Oleh sebab itu istilah yang lebih baik yang dapat digunakan pada banyak penelitian manusia adalah cedera paru yang berkaitan dengan ventilator (ventilator-associated lung injury/VALI). Meskipun demikian, bukti-bukti yang diperoleh dari penelitian eksperimental pada hewan, penelitian korelatif pada manusia, dan penelitian intervensi pada manusia yang ditujukan pada efek samping dari berbagai pengaturan ventilator yang berbeda, cukup meyakinkan bahwa hal ini penting secara klinis.4

Anak-anak lebih rentan terhadap overdistensi paru dibandingkan dewasa, karena itu diperlukan evaluasi individual tentang pengaruh pengaturan ventilator.7,8 Terdapat berbagai parameter yang perlu diatur pada ventilator, diantaranya adalah volume tidal, waktu inspirasi, frekwensi pernafasan, dan Positive End-Expiratory Volume.9

PATOFISIOLOGIBentuk cedera paru dapat dibagi

atas barotrauma, volutrauma, atelektrauma, dan biotrauma.4

BarotraumaKonsep bahwa tekanan udara tinggi

selama ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan cedera yang

bermanifestasi sebagai kebocoran udara telah diketahui dan diteliti selama lebih dari 50 tahun. Udara dapat memasuki bronkovesikuler menuju mediastinum dan menyebabkan berbagai manifestasi seperti pneumomediastinum, emfisema subkutan, pneumothorax, pneumoperikardium, pneumoretroperitoneum, pulmonary interstitial emphysema, dan emboli udara sistemik.4

VolutraumaPeningkatan volume tidal (VT)

mengakibatkan terjadinya edema paru akibat ventilator, hal ini mengarah pada konsep volutrauma atau trauma volume tinggi paru.10 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa VILI terutama bergantung pada volume paru dan khususnya pada end-inspiratory volume. Peranan peningkatan tekanan udara dan volume paru dalam terjadinya VILI dijelaskan dengan menunjukkan bahwa ventilasi mekanik pada tikus dengan volume tidal yang tinggi atau rendah, tetapi dengan peak airway pressure yang identik, mengakibatkan perubahan paru yang tidak sama.11

AtelektraumaSelain cedera yang diakibatkan oleh

ventilasi volume tinggi paru, terdapat sejumlah besar bukti yang menunjukkan bahwa ventilasi dengan volume rendah juga dapat menyebabkan cedera. Cedera ini diduga berhubungan dengan membuka dan menutupnya unit paru.4 Pada pasien Acute Respiratory Distress Syndrome atau Respiratory Distress Syndrome, dimana terdapat disfungsi surfaktan, unit alveolar rentan untuk kolaps.7

BiotraumaTipe cedera yang telah disebutkan

di atas secara luas dianggap sebagai cedera mekanik yang disebabkan oleh faktor mekanis. Beberapa tahun belakangan ini, terdapat peningkatan bukti bahwa faktor-faktor mekanis tersebut dapat menyebabkan cedera yang berdasarkan mediator inflamasi dan sel, dengan penekanan pada

Page 59: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

mekanisme biologis yang disebut biotrauma.4 Suatu review tentang peran sitokin dalam VILI oleh Halbertsma dkk mendapati bahwa ventilasi mekanik dapat mencetuskan upregulation sitokin pada paru sehat maupun sakit. Terdapat beberapa mekanisme terjadinya pelepasan mediator selama penggunaan ventilasi mekanik, yaitu: perubahan struktur sitoskeletal tanpa kerusakan ultrastruktural (mechanotransduction), stress failure barier alveolar (decompartimentalisation), stress failure membran plasma (nekrosis), dan pengaruh pada vaskular terlepas dari regangan atau ruptur.12

Ranieri dkk dalam penelitiannya mendapati bahwa ventilasi mekanik dapat mencetuskan respons sitokin yang dapat dikurangi dengan strategi yang meminimalisasi overdistensi dan recruitment/derecruitment dari paru.13

Terdapat peningkatan bukti bahwa ventilasi mekanik dapat mensensitisasi sistem imun dan selanjutnya sistem imun dapat mensensitisasi paru terhadap pengaruh ventilasi mekanik. Sitokin mempunyai peranan penting dalam berbagai proses yang membawa pada cedera paru akibat ventilator dan komplikasi sistemik yang berkaitan lainnya, seperti Multiple Organ Dysfunction Syndrome.12

Disfungsi diafragmaPenelitian-penelitian menunjukkan

bahwa perubahan patofisiologi pada VIDD terdapat pada tingkat selular dalam serat otot diafragma itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut berhubungan dengan atrofi otot, stres oksidatif, cedera struktural, remodelling serat otot, dan enzim metabolik.1

DIAGNOSISTidak ada gejala dan tanda klinis

perubahan variabel fisiologis atau pemeriksaan yang spesifik untuk mendeteksi cedera paru yang berkaitan dengan ventilator. Manifestasi mikroskopik VALI tidak dapat dideteksi secara klinis. Pneumothorax, intraparenchymal cysts, atau bukti daerah hiperinflasi paru dapat dilihat

dengan CT scan resolusi tinggi jika tidak terbukti dengan pemeriksaan klinis atau foto toraks rutin. VALI harus selalu dipertimbangkan sebagai bagian dari diagnosis banding penurunan fungsi nafas pada pasien Acute Lung Injury/ Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang memakai ventilasi mekanik.6

Diagnosis VIDD berdasarkan pada riwayat klinis yang sesuai tentang periode pemakaian controlled mechanical ventilation (CMV) serta penyebab lain kelemahan diafragma yang mungkin telah disingkirkan. Gambaran klinis tipikal yang disangkakan VIDD adalah pasien yang gagal untuk weaning setelah periode pemakaian CMV.1

PENCEGAHANPengawasan mekanika pernafasan

merupakan aspek penting dari penatalaksanaan pasien yang mendapatkan ventilasi. Hal ini dapat mengurangi cedera yang berkaitan dengan ventilator, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa uji klinis yang membandingkan strategi ventilator protektif dengan strategi yang lebih konvensional. Hal ini memberikan panduan untuk pemilihan tingkat Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dan batas atas volume tidal. Evaluasi individual ini dibutuhkan untuk mencegah overdistensi, terutama pada bayi.8 Tekanan dan volume yang dianggap aman untuk beberapa pasien ARDS dapat menyebabkan overdistensi paru pada pasien yang lain. Telah dikemukakan bahwa informasi dari kurva P/V sistem pernafasan dapat digunakan untuk menyesuaikan pengaturan ventilator.11

Baik penelitian eksperimental tentang VILI maupun uji klinis untuk meminimalisasi pengaruh potensial VALI telah menggunakan kurva P/V sistem pernafasan untuk menilai mekanika dan titrasi pengaturan ventilator. Cara untuk menghindari cedera paru tampaknya dengan mengatur PEEP di atas Lower Inflection Point (LIP), menurunkan volume tidal

Page 60: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

untuk meminimalisasi risiko overinflasi serta plateu pressure di bawah Upper Inflection Point (UIP).5,6

Gambar 1. Kurva P/V sistem pernafasan pada pasien ARDSDikutip dari: Am J Respir Crit Care Med 1998;157:294-323

High-frequency oscillatory ventilation (HFOV) merupakan suatu tipe ventilasi mekanik dimana ventilator menyediakan volume tidal yang sangat kecil dan sangat cepat. Keuntungan dari HFOV adalah bahwa mean airway pressures yang tinggi dapat diperoleh tanpa peak inspiratory pressure yang tinggi ataupun volume tidal yang besar, oleh karena itu secara teoritis melindungi paru dari cedera akibat ventilator. Kerugian dari HFOV umumnya adalah toleransi rendah pada pasien dengan sedasi yang tidak berat bahkan yang dilumpuhkan, risiko gangguan kardiovaskuler, dan risiko barotrauma pada pasien dengan penyakit paru heterogen.9

Penggunaan ventilator modus parsial, yang memungkinkan kontraksi intermiten diafragma, merupakan suatu tindakan logis yang belum terbukti dalam mencegah VIDD. Jika CMV tidak dapat dihindari, periode singkat stimulasi nervus phrenicus dapat mencegah atrofi.1 Masih belum dapat dipastikan apakah kombinasi ventilasi mekanik dengan obat-obatan seperti kortikosteroid, obat paralitik, dan antibiotik aminoglikosida menyebabkan kelemahan otot lebih sering daripada hanya ventilasi mekanik. Karena itu sebaiknya diusahakan untuk meminimalisasi dosis obat paralitik dan kortikosteroid. Penatalaksanaan nutrisi yang baik dengan tujuan peningkatan massa dan perbaikan fungsi otot

pernafasan dapat membantu untuk meminimalisasi kelemahan otot pernafasan.1,14

RINGKASANVentilator dapat menyebabkan

cedera pada paru dan diafragma. Anak- anak lebih rentan akan overdistensi dibandingkan dewasa. Diperlukan pemantauan serta pengaturan ventilator yang tepat untuk menghindari terjadinya cedera pada paru dan diafragma. Kurva P/V dapat memberikan panduan untuk mengatur PEEP dan volume tidal pada ventilator.

DAFTAR PUSTAKA1. Vassilakopoulos T, Petrof BJ.

Ventilator-induced diaphragmatic dysfunction. Am J Respir Crit Care Med 2004;160:336-41

2. Frankel LR. Mechanical ventilation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 303-6

3. Neligan P. Acute lung injury ventilator induced lung injury. Diunduh dari: http://www.cmtutorials.com/rs/ali/vili.htm

4. Slutsky AS. Lung injury caused by mechanical ventilation. Chest 1999;116:9S-15S

Page 61: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

5. Dreyfuss D, Saumon G. Ventilator-induced lung injury, lessons from experimental studies. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:294-332

6. American Thoracic Society, European Society of Intensive Care Medicine, Societe de Reanimation de Langue Francaise. International consensus conferences in intensive care medicine: Ventilator-associated lung injury in ARDS. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160:2118-24

7. Clark RH, Slutsky AS, Gerstmann DR. Commentaries, lung protective strategies of ventilation in the neonate: what are they? Pediatrics 2000;105:112-4

8. Neve V, Lecrerc F, De la Roque ED, Leteurtre S, Riou Y. Overdistension in ventilated children. Critical Care 2001;5:196-203

9. Carpenter TC, et al. Critical care. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current pediatric diagnostic & treatment.

Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill, 2003. h. 367-9

10. Neve V, et al. Ventilator-induced overdistension in children, dynamic versus low-flow inflation volume-pressure curves. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:139-47

11. Ricard JD, Dreyfuss D, Saumon G. Ventilator-induced lung injury. Eur Respir J 2003; 22:2s-9s

12. Halbersma FJJ, Vaneker M, Scheffer GJ, Van der Hoeven JG. Cytokines and biotrauma in ventilator-induced lung injury: a critical review of the literature. Netherlands J Med 2005; 63:382-92

13. Ranieri VM, et al. Effect of mechanical ventilation on inflammatory mediators in patients with acute respiratory distress syndrome, a randomized controlled trial. JAMA 1999; 281:54-61

14. Gayan-Ramirez G, Decramer M. Review effects of mechanical ventilation on diaphragm function and biology. Eur Respir J 2002;20:1579-88.

Page 62: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Rapid Sequence Intubation

Chairul YoelDepartemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Dalam beberapa tahun terakhir, Rapid sequence intubation (RSI) telah menjadi teknik pilihan dalam penatalaksanaan jalan nafas pada pasien gawat darurat. RSI didefinisikan sebagai suatu tahapan pemberian secara cepat (spontan) obat-obat relaksan otot dan sedasi poten untuk memudahkan intubasi sambil mengurangi risiko aspirasi, perlawanan tubuh, dan kerusakan potensial pada tubuh. Penilaian awal pasien yang memerlukan RSI meliputi riwayat penyakit, pengobatan yang telah dilakukan, riwayat alergi, dan masalah kesehatan lain yang dapat mempengaruhi proses resusitasi. Klinisi yang melakukan RSI harus benar- benar mengetahui obat-obatan yang digunakan dan harus dapat mengetahui dengan tepat indikasi penggunaannya.Kata kunci: intubasi, obat premedikasi, sedatif, relaksan otot

Abstract: In recent years, rapid sequence intubation (RSI) has become the technique of choice for emergency airway management in critically ill patients. RSI is defined as the rapid (nearly spontaneous) administration of both a neuromuscular blocking agent and a potent sedative agent to facilitate intubation while decreasing the risks of aspiration, combativeness, and potential damage to the patient. The initial assessment of the patient requiring RSI includes history of present illness, current medications, allergies, and medical problems that may affect the process of resuscitation. The clinician who practices RSI must be familiar with a number of medications and must be able to recognize appropriate indications for each.Keywords: intubation, premedication agents, sedative agents, muscle relaxant

PENDAHULUANPenatalaksanaan jalan nafas

merupakan langkah awal stabilisasi penderita yang memerlukan penanganan gawat darurat pada keadaan yang mengancam jiwa. Intubasi endotrakeal sering menjadi andalan untuk penanganan jalan nafas. Indikasi untuk melakukan intubasi endotrakeal termasuk gagal jantung, apnu, gangguan nafas, sumbatan jalan nafas, depresi pernafasan, trauma multipel berat, trauma kepala berat, peningkatan tekanan intrakranial, penurunan kesadaran, dan hilangnya refleks perlindungan jalan nafas normal.1

Intubasi endotrakeal yang aman dan tanpa trauma memerlukan keahlian dan pengalaman mengenai

farmakologi anestesi sedatif yang dipakai. Banyak risiko yang dapat terjadi pada prosedur intubasi walau cara ini dapat menyelamatkan jiwa pasien, teknik yang salah dapat menyebabkan trauma bahkan kematian. Waktu yang digunakan sebaiknya diperhatikan sejak awal dalam melakukan teknik intubasi endotrakea.2

Beberapa pasien mengalami perlawanan (combating) pada saat intubasi. Keadaan yang menyulitkan intubasi seperti edema supraglotis dapat tidak terdeteksi saat melakukan intubasi. Selain itu tidak semua tenaga kesehatan, perawat, maupun dokter punya pengalaman dan keahlian yang baik dalam intubasi.1-3 Hal ini dapat membuang waktu yang diperlukan dan

Page 63: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

merugikan keadaan pasien. Keadaan di atas dapat diperbaiki dengan teknik yang disebut Rapid Sequense Intubation (RSI).3 RSI dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi teknik pilihan dalam penatalaksanaan jalan nafas pada pasien gawat darurat.4

RSI melibatkan penggunaan obat-obatan untuk mempercepat penurunan kesadaran dan paralisis, juga obat-obatan yang mencegah respons fisiologi terhadap RSI termasuk rasa sakit, gangguan jantung, dan peningkatan tekanan intrakranial.2-5

Pasien-pasien yang memerlukan RSI adalah pasien unit gawat darurat yang diperkirakan berisiko untuk mengalami aspirasi dan lambung dalam keadaan penuh.6

INDIKASIPemahaman prisip RSI adalah hal

terbaik untuk menentukan kapan saat RSI diindikasikan.1-6 Penelitian Reid C, dkk menunjukkan indikasi mayor untuk dilakukannya RSI adalah SKG <8 dan hipoksia (67%), sementara gagal nafas sekitar 40% dari kasus yang ada.7 Studi observasi oleh Butler, dkk menunjukkan indikasi terbanyak dilakukan RSI adalah pasien dengan SKG < 8 (32%).8

Secara garis besar indikasi dilakukannya RSI adalah:9

1. Pasien yang mengalami trauma dengan SKG 9 atau kurang dengan refleks muntah (gag)

2. Pasien yang mengalami trauma pada wajah dengan kontrol jalan nafas yang jelek

3. Trauma kepala tertutup atau struk berat dengan penurunan kesadaran

4. Pasien dengan luka bakar yang melibatkan jalan nafas

5. Kelelahan respirasi seperti pada asma, CHF dan COPD dengan hipoksia

6. Keadaan overdosis dengan gangguan mental dimana gangguan nafas tidak dapat terelakkan.

RSI tidak diperlukan pada gagal jantung, kecuali pada keadaan resusitasi kardiopulmonal (CPR), perfusi

otak, dan penurunan kesadaran, dimana kasus RSI memang diperlukan.1,8,9

PERSIAPAN INTUBASIDiperlukan persiapan yang baik

sebelum dilakukan RSI, persiapan termasuk penilaian keadaan pasien, alat-alat yang tersedia untuk penatalaksanaan RSI, dan juga pemeriksaan fisik untuk menilai kemungkinan gangguan dan komplikasi yang mungkin terjadi sebelum dan pada saat dilakukan RSI.1-9

Penilaian awal pasien-pasien yang memerlukan RSI termasuk:11

1. Riwayat perjalanan penyakit2. Pengobatan yang telah dilakukan3. Riwayat Alergi4. Masalah kesehatan lain yang

dapat mempengaruhi proses resusitasi

Pemeriksaan fisik difokuskan pada faktor-faktor yang dapat menyulitkan RSI . Faktor anatomi dan fungsional lainnya juga dapat menyulitkan penatalaksanaan RSI, faktor anatomi termasuk abnormalitas pada wajah, saluran nafas atas dan bawah serta torakoabdominal. Anak-anak yang obesitas, kelainan kongenital pada anatomi jalan nafas seperti labiopalatoschizis dapat menyulitkan proses RSI.3,9,11

Alat-alat yang dipakai sebaiknya mudah untuk diperoleh dan diperiksa lagi sebelum melakukan intubasi. Dua alat penghisap (sunction) harus tersedia dan diatur dalam pengaturan yang maksimal. Suatu pulse oximeter sangat diperlukan selama proses RSI.6,8

Adapun alat-alat yang dipakai untuk RSI:1,8, 9-14

1. Pulse oximeter2. End tidal CO2 monitor atau

detector3. monitor EKG4. ETT tanpa cuff, ukuran 2,5 – 6,05. ETT dengan cuff, ukuran 6,0 – 8,56. ETT stylets7. Laryngoscopes ( Blade lurus

ukuran 0-3, Blade lengkung ukuran 2-4)

Page 64: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

8. Oral airways9. Oxygen masks10. Berbagai ukuran masker

ventilisasi untuk bag-valve-mask ventilation

11. Self-inflating ventilation bag ukuran besar dan kecil dengan oxygen reservoir tail dan positive end-expiratory pressure (PEEP) valve attachment

12. LMA (Laryngeal mask airways) dengan berbagai ukuran

13. Sumber Oksigen14. Sumber penghisap ( sunction)15. Large-bore stiff suction tips16. Kateter penghisap fleksibel17. Tuba nasogastrik18. Tuba trakeostomi 19. Alat-alat operasi trakeostomi20. Jarum kateter no 12 dan 14

untuk jarum cricothyrotomy21. Preassembled transtracheal

ventilation setup

OBAT-OBAT YANG DIGUNAKANPada RSI digunakan berbagai obat-

obat anestesi dalam penatalaksanaan intubasi. Suatu rangkaian RSI yang tipikal terdiri dari penyediaan atropine untuk memblok stimulasi vagal, sedatif untuk merangsang penurunan kesadaran, dan relaksan otot untuk merangsang paralisis. Perlu dicatat bahwa obat untuk RSI pediatrik telah direkomendasikan dalam bentuk 1)

obat premedikasi , 2) sedasi, 3) relaksan otot.1-13

1. Obat PremedikasiManipulasi laringoskopi langsung

pada RSI dapat menyebabkan bahaya. Stimulasi laring dengan blade pada pemasangan ETT meyebabkan peningkatan aktifitas parasimpatis, dengan peningkatan mean arterial pressure 25-58 mmHg dan peningkatan frekwensi jantung 11-28 x/menit.12

Selain itu dapat meningkatkan tekanan intraokular, intragastrik, dan intrakranial. Tujuan dari pemberian obat premedikasi dalam penatalaksanaan RSI adalah untuk mengatasi dan menimalkan komplikasi. Obat premedikasi yang biasanya dipakai adalah atropine, selain itu dapat diberikan juga lidocaine dan fentanyl. Berikut adalah tabel dosis dan indikasi obat-obat premedikasi yang dapat diberikan saat penatalaksanaan RSI :12-14

2. SedasiPada fase induksi RSI, dipakai obat

yang menyebabkan sedasi dan anestesi. Terdapat berbagai jenis obat yang dapat dipakai dengan segala keuntungan dan kerugiannya. Pemilihan obat ini khususnya tergantung pada status hemodinamik dan adanya kecurigaan peningkatan tekanan intrakranial.1,3,11,14

Tabel 1. Obat-obat premedikasi pada RSI

Medikasi Dosis IV IndikasiAtropine 0,02 mg/Kg

Min: 0,1 mgMax: 0,5 mg pada anak1 mg pada remaja

Umur < 5 tahun Dibutuhkan jika Ketamine

atau Succinylcholine dipakai

Lidocaine 1-3 mg/kg Cedera Kepala Sangkaan peningkatan

intrakranialFentanyl 2-5 µg/kg Sangkaan peningkatan

intrakranial Cedera Kepala

Dikutip dari: Morse RB, et al. Pediatric emergency medicine-Just the facts, 2004.h.14-8

Tabel 2.

Obat-obat sedasi pada RSIDosis IV Onset Efek Pada

SEDATIV (mg/kg) (min) TD TIKMidazolam 0,2 – 0,4 1 – 2 Minimal MinimalEtomidate 0,2 – 0,4 <1 Minimal/meningkat Menurun

Page 65: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Thiopental 2 – 5 <1 Menurun MenurunKetamine 1 – 2 1 Minimal MeningkatPropofol 2 – 3 <1 Menurun Menurun

Dikutip dari: Morse RB, et al. Pediatric emergency medicine-Just the facts, 2004.h.14-8

Tabel 3.

Obat-obat relaksan otot yang sering dipakai saat RSIMedikasi Dosis IV

(mg/kg)Waktu Untuk

Kondisi Intubasi (min)Pemulihan

(min)Vecuronium 0,1 – 0,2 1 – 2 Paling sedikit 20Rocuronium 1 – 1,2 < 1 Paling sedikit 20Rapacuronium 1,5 – 2 < 1 5 – 7 Succinylcholine 1 – 2 < 1 3 – 10

Dikutip dari: Morse RB, et al. Pediatric emergency medicine-Just the facts, 2004.h.14-8

Tabel 4.

Rangkaian waktu penatalaksanaan RSI- 5 menit Fokus pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

Sediakan 100% O2Tempatkan pasien pada monitorTentukan dosis medikasiPemasangan alat-alat jalan nafas

- 3 menit Premedikasi- 1 menit Berikan sedasi dan relaksan otot

Lakukan penekanan krikoid0 menit Lakukan intubasi

+ 1 menit Pastikan pemasangan intubasi telah benarAmankan letak ETTLepaskan penekanan krikoid

Dikutip dari: Morse RB, et al. Pediatric emergency medicine-Just the facts, 2004.h.14-8

Penelitian oleh Noel S, dkk tentang keamanan pemakaian etomidate sebagai obat sedasi menunjukkan 99% kasus RSI berada pada kondisi yang baik setelah diintubasi. Walau terjadi penurunan tekanan darah pada 10% kasus tetapi tidak mempengaruhi perbaikan kondisi pasien selanjutnya.15

Sebenarnya tidak terdapat konsensus obat induksi ideal apa yang harus dipakai, penelitian oleh Sivilotti, dkk menunjukkan berbagai obat induksi seperti thiopental, propofol dan methohexital secara aman dapat membantu proses intubasi.16

Sementara Sonday, dkk membandingkan pemakaian thiopental dan etomidate pada RSI, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada keamanan dan efikasi penggunaan obat-obat tersebut. 17

3. Relaksan OtotPenggunaan obat relaksan otot

masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan jalan nafas.

Kontraindikasi absolut pemakaian obat relaksan otot hanya pada keadaan ketidakmampuan mengatur jalan nafas setelah pasien dalam keadaan apnu.1-4

Terdapat 2 jenis relaksan otot yang digunakan untuk intubasi ETT. Pemilihannya biasanya tergantung pada keadaan saat intubasi dan proses yang mendasari penyakit pada pasien-pasien gawat darurat.1-4,14 Relaksan otot depolarisasi (yang umum dipakai adalah Succinylcholine) memiliki onset cepat dan lama kerja yang pendek, menjadikannya populer untuk dipakai pada keadaan gawat darurat.1-4,11

Relaksan otot non depolarisasi, dengan efek samping yang minimal, digunakan pada keadaan dimana masalah jalan nafas mudah diatasi dan adanya kontraindikasi terhadap succinylcholine. Onsetnya lebih lambat dan lama kerja jauh lebih panjang.2-4

TEKNIK/PROSEDURSetelah indikasi diketahui dan alat-

alat yang diperlukan telah

Page 66: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

dipersiapkan, yang perlu diingat adalah bahwa semua pasien gawat darurat yang memerlukan RSI dianggap sedang penuh lambungnya (kenyang) dan berisiko untuk terjadinya aspirasi.1,3,4

Segera dilakukan stabilisasi dan akses intravena, selain itu pasien juga harus diperkirakan mempunyai kontraindikasi terhadap RSI ataupun obat-obatan yang akan dipakai. Adapun kontraindikasi dari RSI adalah:2,4

1. Bernafas spontan dengan ventilasi yang adekwat

2. Operator yang khawatir dengan intubasi dan masker ventilisasi tidak akan berhasil

3. Trauma laringo-trakeal besar4. Obstruksi jalan nafas atas

(contoh: epiglottitis)5. Kelainan anatomi wajah atau

jalan nafas6. Operator yang tidak familiar

dengan obat yang akan dipakai

Pada keadaan ini pasien tidak boleh dilakukan paralisis dan intubasi secara RSI, jika diperlukan operasi jalan nafas lebih baik dilakukan6.

Selama RSI, dilakukan preoksigenasi (dengan masker ventilisasi oksigen 100% selama 2 – 5 menit) untuk cadangan oksigen. Tekanan positif pada masker ventilisasi dapat mempengaruhi lambung dan meningkatkan regurgitasi asam lambung, oleh karena itu hanya dilakukan jika diperlukan untuk oksigenasi dan ventilisasi pasien secara adekuat.1-6,11 Pulse oximeter dan monitor EKG harus selalu dipasang selama melakukan prosedur RSI.1,5,6,11

Premedikasi yaitu atropine secara rutin diberikan pada pasien anak, obat ini dapat mencegah bradikardi dan mengurangi sekresi oral. Pada orang dewasa ketamine menjadi pilihan. Lidocaine dapat menurunkan TIK dan menekan refleks batuk, lebih menguntungkan pada pasien-pasien dengan kelainan TIK.11,12,14 Harus dipastikan bahwa penutup masker dalam keadaan baik dan jalan udara yang terbuka dapat dipertahankan.

Prosedur ini harus dilakukan oleh 2 atau lebih tenaga medis.1-4

Sebagaimana disebut diatas, Sellick maneuver dapat mengurangi kemungkinan regurgitasi pasif asam lambung dan aspirasi serta harus dipertahankan hingga intubasi trakea berhasil. Selain itu juga dapat mengurangi kemungkinan distensi lambung akibat ventilisasi masker dan harus dilakukan sebelum timbul tekanan positif ventilisasi masker.5,13

Setelah pemilihan yang sesuai, sedasi dan relaksan otot dapat diberikan secara bersamaan atau dengan tahapan yang cepat. Pemberian awal relaksan otot memberikan kesempatan obat sedasi diberikan secara berangsur-ansur sementara menunggu onset penuh dari relaksan otot. Beberapa ahli anestesi lain beranggapan sebaliknya, tetapi hal ini tidak mempengaruhi tahapan intubasi jika pemberian obat telah sesuai pilihan.1,6,11

Intubasi dilakukan saat terjadi relaksasi penuh otot-otot pernafasan, biasanya 45 detik setelah pemberian rocuronium dan 90 menit setelah pemberian vecuronium. Setelah intubasi lengkap, penempatan ETT harus dipastikan benar dengan konfirmasi melalui auskultasi, terlihat suara nafas bilateral, naiknya dinding dada, deteksi end-tidal CO2, dan oksigenasi yang bertahan dan terlihat melalui pulse oximeter.1,4,11

Evakuasi asam lambung dapat dilakukan dengan tuba nasogastrik atau orogastrik. Sedasi dengan masa kerja panjang dan relaksan otot non depolarisasi harus diberikan untuk mempertahankan keadaan tidak sadar dan paralisis selama yang dibutuhkan. Jika rocuronium kembali dibutuhkan, edrophronium bersama atropine dapat diberikan untuk mempercepat pemulihan.1-4,11

RINGKASANRapid Sequence Intubation (RSI)

didefenisikan sebagai suatu tahapan pemberian secara cepat (secara spontan) obat-obat relaksan otot dan

Page 67: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

sedasi poten untuk memudahkan intubasi sambil mengurangi risiko aspirasi, perlawanan tubuh, dan kerusakan potensial pada tubuh.

Dengan melakukan penatalaksanaan RSI dengan baik dan benar dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan pada pasien gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera dan mengurangi kerusakan tubuh yang dapat timbul pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA1. Yamamoto LG. Emergency airway

management – Rapid sequence intubation. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000. h.71-81

2. Thompson AE. Pediatric airway management. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier, 1992. h. 485-506

3. Reynold SF, Heffner J. Airway management of the critically ill patient : Rapid sequence intubation. Chest 2005; 127: 1397-1442

4. Stewart C. Rapid sequence intubation in emergency medicine, Lecture notes for EMS Expo, 2002.h.2-44

5. Morris FC, Stone J, Butler LM. Intubation. Dalam: Levin DL, Morriss FC, Anas NG, Capron C, penyunting. Essentials of pediatric intensive care. St.Louis, Missouri: Quality Medical Publishing,Inc, 1990.h.888-96

6. Zuckerberg AL, Nichols DG. Airway management. Dalam: Rogers MC, Helfaer MA, penyunting. Handbook of pediatric intensive care. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999. h. 43-75

7. Reid C, Chan L, Tweddale M. The who, where, and what of rapid

sequence intubation: prospective observational study of emergency RSI outside the operating theatre. Emerg Med J 2004; 21: 296-301

8. Butler JM, Clancy M, Robinson N, Driscoll P. An observational survey of emergency department rapid sequence intubation. Emerg Med J 2001;18:343-48

9. Deschamps EG. Rapid sequence intubation, DHEC, 2005.h.1-11

10. Graham CA, et al. Rapid sequence intubation in Scottish urban emergency departments. Emerg Med J 2003; 20: 3-5

11. Morse RB, Arteaga G, Ahrens WR, Dobiesz VA. Rapid sequence intubation. Dalam: Strange GR, Dobiesz VA, Ahrens WR, McQuillen KK, Lee P, Prendergast HM, penyunting. Pediatric emergency medicine-Just the Facts, Singapore: McGraw-Hill, 2004.h.14-8

12. Stettner T. Rapid sequence induction-Induction and pretreatment medications. Diunduh dari : URL: www.emedicine.com/emerg/topic938

13. Neligan P. Intubation and rapid sequence indunction. Diunduh dari: URL: www.4um.com/index/medicine.htm

14. Houck CS. Access to the airway. Dalam: Holbrook PR, penyunting. Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1993.h.430-41

15. Zuckerbraun NS, Pitetti RD, Herr SM, Roth KR, Gaines BA, King C. Use of etomidate as an induction agent for rapid sequence intubation in a pediatric emergency department. Acad Emerg Med 2006;13: 602-9

16. Sivilotti MLA, Filbin MR, Murray HE, Slasor P, Walls RM. Does the sedative agent facilitate emergency rapid sequence intubation?. Acad Emerg Med 2003;10: 612-20

Page 68: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

17. Sonday CJ, Axelband J, Jacoby J, Higgins R, Crider O. Thiopental vs etomidate for rapid sequence

intubation in aeromedicine. Prehosp Disast Med 2005;20(5): 324-6.

Page 69: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Identifikasi Korban Post Mortem yang Dipastikan oleh Laporan Operasi Ante Mortem

Alfred C. SatyoDepartemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan

Abstrak: Identifikasi korban J.S. yang mengalami pembusukan lanjut dapat dibantu oleh keluarga terdekat dengan mengungkapkan adanya 11 (sebelas) osteoma di kepala dan dipastikan oleh laporan operasi ante mortem yang dilakukan di Amerika Serikat 24 Agustus 1998.

Abstract: The body of Mr. J.S. with advance putrifiction was identified by the assistance of his nearby family due of 11 osteomas on the head. Identification was confirmed by an operation report that was done on August 24, 1998 at a Hospital Center in the United States of America.

PENDAHULUANPada hari Minggu tanggal 3

September 2000, 5 (lima) sosok jenazah ditemukan di desa Naga Lingga, Kec. Tanah Karo, Sumatera Utara. Pada hari Senin tanggal 4 September 2000, kelima jenazah dievakuasi ke RSUD Dr. Pirngadi Medan dan pada hari Selasa tanggal 5 September 2000 jam 11:00 WIB dilakukan pemeriksaan luar dan dalam.

Kelima korban telah mengalami pembusukan lanjut. Kelimanya merupakan dewasa muda yang usianya berkisar antara 30 – 35 tahun, dan cara kematiannya mempunyai kemiripan dengan banyak tusukan benda tajam pada dada dan perut. Dari kelima kasus Mr. X1, Mr. X2, Mr. X3, Mr. X4 dan Mr. X5, maka kasus Mr. X3 merupakan laporan kasus dari tulisan ini. Kasus mengalami pemeriksaan luar dan dalam yang lengkap disertai konsultasi dokter gigi. Kasus Mr. X3 dapat dikonfirmasi sebagai J.S. setelah

pemeriksaan dan diskusi sesama tim pemeriksa dan tim konsultasi serta allo-anamnesa dengan keluarga dekat korban. Pemeriksaan jaringan DNA belum dilakukan karena beberapa kendala, namun “operation record” dari E. Hospital Center di USA yang dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1998 telah menyokong pemeriksaan forensik pada kasus ini. Ternyata laporan operasi yang dibuat dengan baik, khususnya kasus-kasus langka dapat membantu identifikasi korban yang telah mengalami pembusukan lanjut.

PEMERIKSAAN LUARKorban Mr. X3, laki-laki, dikirim oleh

polisi dalam keadaan ditutupi 2 (dua) goni plastik yang masing-masing panjangnya 107 cm dan 204 cm. Korban dikemas dalam kantong plastik hitam yang panjangnya 256 cm dan lebar 243 cm. Korban telah mengalami pembusukan lanjut dengan wajah yang

LAPORAN KASUS

Page 70: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

tidak dapat dikenali lagi disertai ulat-ulat berukuran 0,5 cm – 1,3 cm yang berada di seluruh tubuh terutama di dalam luka-luka korban. Korban dalam keadaan terikat pada kedua kakinya sedangkan kedua lengannya ke belakang tubuh.

IDENTIFIKASI UMUMKorban tak dikenal ini berjenis

kelamin laki-laki dewasa muda, berkhitan, dengan panjang tubuh 166 cm. Korban berperawakan sedang, kulit merah kehitaman, rambut lurus disertai sedikit uban dan mudah dicabut.

IDENTIFIKASI KHUSUS- 5 (lima) cm dari garis tengah tubuh

depan sebelah kanan bawah dijumpai luka parut dengan panjang 4 cm.

- 1 (satu) cm dari sebelah kanan pusat hingga 5 (lima) cm di atas pangkal kelamin (simfisis pubis) dijumpai luka parut dengan panjang 21 cm.

Kepala: Bentuk kepala bulat lonjong, rambut

hitam lurus dengan panjang kira-kira 8 cm dan sedikit beruban, pada perabaan di puncak kepala terasa ada tonjolan-tonjolan yang massif, keras dan tidak bergerak.

Mata: Kedua rongga mata terlihat jelas

tanpa bola mata, kelopak mata dan jaringan mata lainnya akibat pembusukan lanjut.

Hidung: Sudah mengalami pembusukan

lanjut dengan tulang hidung yang panjangnya 2 cm, lebar 3 cm dan tinggi 1,5 cm.

Mulut: Rahang atas dan bawah terbuka 5

cm dan tampak semua gigi-geligi. Rahang bawah sudah terlepas dari tempatnya dan tidak dijumpai adanya patah tulang.Apel Gigi:

18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27√28

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

GP

Keterangan:* Gigi: 28: 37: Ada akar gigi (radix v)* Gigi: 46: Gigi sudah dicabut* Gigi: 38: Ada lobang besar

(gangrene pulpa)* Gigi: 18: Belum tumbuh* Gigi: 22: 23: Terjadi pengikisan

pada Incisal (Atrisi)* Gigi: 41: 42: 31: 32: Terjadi

pengikisan pada Incisal (Atrisi)* Gigi: 36: Terjadi pengikisan akibat

pengunyahan pada daerah Buccal (Atrisi Buccal)

* Rahang atas: Pada permukaan Palatal – Buccal ada karang gigi (Calculus)

* Rahang bawah: Pada permukaan Buccal – Lingual ada karang gigi (Calculus)

* Posisi rahang atas ± rahang bawah: Normal (Kls. IA)

Dari pemeriksaan gigi-geligi diperkirakan umur Mr X3 30 – 35 tahun.Pertimbangannya: 1. Gigi 36 dapat menjadi pedoman

penentuan umum dari atrisi yang telah terjadi yang diperkirakan merupakan atrisi fisiologis (karena pemakaian). Demikian pula atrisi pada daerah insisal di gigi 22, 23, 41, 42, 31, 32 yang juga diperkirakan sebagai atrisi fisiologis. Namun perlu pemeriksaan tambahan seperti teknik fotografi dan perncetakan rahang korban, sehingga dapat dianalisa secara pasti apakah terjadi akibat pemakaian atau karena sebab yang lain.1

2. Gigi geraham belakang atas dan bawah hamper seluruhnya sudah erupsi kecuali gigi 18. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada benih atau telah dicabut. Berdasarkan tabel kronologis pertumbuhan gigi geligi oleh Logan

Page 71: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

dan Krenfeld dinyatakan, bahwa gigi molar maksila dan mandibula erupsi pada umur 17 – 25 tahun dan pembentukan akar lengkap pada umur 18 – 25 tahun. Sayangnya tidak fasilitas radiografi pada saat itu untuk melihat pembentukan akar lengkap, sehingga perkiraan umur kronologis korban1,2 hanya dapat diperkirakan melalui erupsi gigi terutama gigi molarnya.

Telinga: Kedua daun telinga tidak ada lagi

akibat pembusukan.

Leher: Bentuk simetris, tulang leher

terlepas dari posisi semula.

Dada: Bentuk asimetris, dijumpai 9

(sembilan) luka dengan pinggir rata, bentuk bulat lonjong, kedua sudut luka lancip, berisi ulat yang panjangnya antara 0,5 cm – 1,3 cm.- Luka 1, panjang 2 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.- Luka 2, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm,

dalam 1 cm.- Luka 3, panjang 2 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.- Luka 4, panjang 2,5 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.- Luka 5, panjang 12 cm, lebar 11 cm,

dalam 15 cm.- Luka 6, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm,

dalam 1 cm.- Luka 7, panjang 2 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.- Luka 8, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm,

dalam 1 cm.- Luka 9, pajang 2 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.

Perut: Bentuk simetris, dijumpai 7 (tujuh)

luka yang bentuknya bulat lonjong, pinggirnya rata, kedua ujung luka lancip dan berisi ulat yang panjangnya antara 0,5 cm – 1,3 cm.- Luka 10, panjang 2 cm, lebar 1 cm,

dalam 1 cm.

- Luka 11, panjang 2 cm, lebar 0,8 cm, dalam 1 cm.

- Luka 12, panjang 1 cm, lebar 1 cm, dalam 1 cm.

- Luka 13, panjang 1 cm, lebar 1 cm, dalam 1 cm.

- Luka 14, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm, dalam 1 cm.

- Luka 15, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm, dalam 1 cm.

- Luka 16, panjang 2 cm, lebar 1,5 cm, dalam 1 cm.

Dijumpai jaringan parut I pada bagian kanan bawah dengan jarak 5 cm dari garis tengah tubuh depan sepanjang 4 cm.

Dijumpai pula jaringan parut II bekas operasi 1 cm sebelah pinggir kanan dari pusat ke arah bawah hingga 5 cm di atas pangkal kelamin (simfisis pubis) sepanjang 21 cm.

Alat Kelamin: Laki-laki, berkhitan, kantong buah

zakar membesar dengan panjang 13 cm dan diameter 12 cm.

Dubur: Pada colok dubur longgar dan

dijumpai ulat berukuran 0,5 cm – 1,3 cm.

Punggung dan Pinggang: Simetris dan tidak dijumpai tanda-

tanda kekerasan.Anggota gerak atas: - Tangan terikat pada kedua

pergelangan tangan ke belakang tubuh dengan bahan plastik berwarna biru dengan dua kali lilitan, bersimpul mati yang panjangnya 166 cm.

- Tangan kanan berkuku jempol hitam, telunjuk pucat, jari tengah hilang, jari manis pucat dan kelingking sebahagian hilang.

- Tangan kiri berkuku jempol hitam, telunjuk pucat, jari tengah hitam, jari manis hitam dan kelingking hitam.

Anggota gerak bawah:

Page 72: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Kedua kaki terikat pada pergelangan kaki dengan tali plastik berwarna biru dengan dua kali lilitan yang bersimpul mati dengan panjang 140 cm.

PEMERIKSAAN DALAM

Kepala: Pada pembukaan kulit kepala

dijumpai resapan darah. Pada tengkorak kepala sebelah

kanan dijumpai 6 (enam) buah tonjolan tulang, keras, masif dan tidak bergerak yang berdiameter 1,5 cm. Pada tengkorak kepala sebelah kiri dijumpai 5 (lima) tonjolan tulang kecil-kecil sebesar kepala jarum pentul.

Leher:Pada pembukaan kulit leher

dijumpai tulang-tulang leher yang sudah terlepas dari persendiannya dan tidak dijumpai tanda-tanda kekerasan.

Dada:Pada pembukaan kulit dada

dijumpai resapan darah dan luka tusuk pada sela iga 3, 4, dan 5 kanan serta iga 3 dan 4 kiri. Dijumpai patah tulang iga 3,4, 5 kanan dan kiri.

Paru-Paru:Kedua paru warnanya agak

kehitaman, konsistensi lunak dan tidak ada perlengketan pada dinding dada bagian dalam.

Jantung:Dijumpai lubang pada kantung

jantung dengan diameter 2 cm, menembus atrium kanan dan kiri. Jantung berisi cairan bergumpal warna hitam yang merupakan gumpalan darah yang membusuk.

Perut:Pada pembukaan kulit perut

dijumpai resapan darah merah kehitaman. Terlihat adanya perlengketan usus pada dinding otot perut kanan dan kiri. Panjang usus halus lebih pendek dari yang normal

sedangkan usus besar (colon) tidak ada lagi.

Ginjal:Ginjal kiri lebih besar dari kanan.

Ginjal kiri berukuran panjang 5,5 cm lebar 20 cm dan tebal 3 cm. Ginjal kanan berukuran panjang 5,5 cm lebar 10 cm dan tebal 3 cm. Kedua ginjal berwarna merah kehitaman dengan konsistensi lunak.

RINGKASAN PEMERIKSAAN LUAR- Dijumpai proses pembusukan lanjut

pada seluruh tubuh.- Rambut lurus, hitam dan sedikit

beruban.- Jaringan lunak pada wajah sudah

tidak ada lagi.- Kedua rongga mata terlihat jelas

tanpa bola mata, kelopak mata dan alis mata.

- Jaringan lunak hidung sudah hilang akibat pembusukan sedangkan kedua daun telinga sudah hilang.

- Rahang atas dan bawah terbuka 5 (lima) cm dan rahang bawah sudah terlepas.

- Leher simetris dan tulang-tulang leher sudah terlepas satu sama lain.

- Pada dada dijumpai 9 (sembilan) luka berbentuk bulat lonjong berpinggir rata, kedua sudut lancip dan berisi ulat yang panjangnya 0,5 cm – 1,3 cm.

- Pada perut dijumpai 7 (tujuh) luka bulat lonjong berpinggir rata, kedua sudut lancip dan berisi ulat-ulat yang panjangnya antara 0,5 cm – 1,3 cm.

- Pada perut juga dijumpai 2 (dua) luka parut masing-masing panjangnya 4 cm dan 21 cm sebagai bekas operasi.

- Kantong buah zakar membesar dengan panjang 13 cm dan diameter 12 cm.

- Pada pinggang dan punggung tidak ada tanda-tanda kekerasan.

- Kedua tangan terikat ke belakang tubuh dengan tali plastik sebanyak 2 (dua) lilitan yang bersimpul mati, sedangkan kedua kaki terikat

Page 73: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

dengan tali plastik sebanyak 2 (dua) lilitan bersimpul mati.

RINGKASAN PEMERIKSAAN DALAM- Resapan darah dijumpai pada

pembukaan kulit kepala, dada dan perut.

- Pada tengkorak kanan dijumpai tonjolan tulang sebanyak 6 (enam) buah dengan diameter 1,5 cm.

- Pada dada dijumpai 9 (sembilan) luka tusuk.

- Luka robek pada jantung dengan diameter 2 cm menembus ke atrium kanan dan kiri disertai gumpalan darah hitam.

- Pada perut dijumpai 7 (tujuh) luka tusuk. Usus halus melekat pada dinding perut kiri dan kanan, sedangkan usus besar tidak ada lagi.

- Ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan.

Kasus ini dilaporkan dalam Visum et Repertum sebagai korban lelaki, berkhitan, dewasa muda, perawakan sedang, panjang badan 166 cm, rambut hitam lurus sedikit beruban, umur diperkirakan 30 – 35 tahun, yang telah mengalami operasi pada perut dan tidak mempunyai usus besar lagi.

PEMBAHASANPada pemeriksaan kelima korban

yang telah mengalami pembusukan lanjut ternyata kelimanya laki-laki, berusia lebih dari 30 tahun, kecuali seorang ditaksir antara 25 – 35 tahun. Semua kasus dibantu juga oleh tim dokter gigi SMF Gigi dan Mulut dari RSUD Dr. Pirngadi Medan. Dari kelima kasus tersebut hanya keluarga kasus Mr. X3 dapat memberikan keterangan perihal semasa hidup korban. Keluarga korban terdekat memberitahukan bahwa pada kepala diakui adanya tonjolan-tonjolan yang sudah lama dan dapat diraba semasa hidupnya.

Sementara itu dari sebuah “hospital center” yang cukup dikenal di USA, telah diterima surat mengenai “operation record” Mr. X3. Surat ini mengungkapkan bahwa pada tanggal

24 Agustus 1998 telah dilakukan operasi oleh tim yang terdiri dari operating surgeon, RS, MD; attending surgeon UK, MD; assistant DP, MD dan medical student, H. Diagnosa pra-bedah: Gardener’s Syndrome. Diagnosa pasca-bedah: Gardener’s Syndrome. Indikasi prosedur dan deskripsi operasi, temuan dan teknik operasi dilaporkan dengan jelas. Juga dilaporkan bahwa tindakan bedah dari Hospital Center E. tersebut telah melakukan “total colectomy with rectal mucosectomy and ileal pull-through”.

Dari laporan operasi ini terjawablah apa yang dipertanyakan selama dilakukan autopsi, yaitu mengapa dinding usus halus melekat pada dinding otot perut kiri dan kanan serta mengapa tidak ada lagi usus besar (colon) pada Mr. X3. Laporan operasi melaporkan bahwa pada tanggal 24 Agustus 1998 telah dilakukan operasi pada pasien bernama J.S., laki-laki, Indonesia, berumur 34 tahun.

Pada hari Kamis 7 September dari jam 13:30 – 15:30 WIB penulis memimpin rapat dan melaporkan hasil autopsy kepada pihak penyidik dan pejabat senior dari Kapoltabes Medan dan Poldasu. Dalam rapat yang khusus mendiskusikan kasus ini juga hadir dan memberikan pendapat tim dokter gigi dan tim dokter serta asisten yang bertugas.

Penulis telah mengungkapkan hasil autopsi sesuai Visum et Repertum. Penulis juga telah menyerahkan fotokopi “operation record” dari Hospital Center E. dari USA yang dikategorikan sebagai “privileged and confidential informa-tion”. Semua keterangan penulis dan fotokopi telah menjadi masukan yang berharga bagi pihak kepolisian.

KESIMPULANIdentifikasi telah dilakukan dengan

baik dan semaksimal mungkin. Keterangan tambahan keluarga tentang semasa hidup korban ikut membantu. Hasil operasi yang dituliskan dalam laporan operasi yang baik ternyata sangat membantu dalam

Page 74: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

melengkapkan maupun memas-tikan identitas korban. Pihak kepolisian telah merasa terbantu, sehingga dapat mengambil kesimpulan dan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Korban diserahkan pihak kepolisian kepada keluarga korban untuk dimakamkan pada hari Kamis 7 September 2000 jam 17:15 WIB.

DAFTAR PUSTAKA

1. James A. Cottone, Standish S. Miles, Outline of Forensic Dentistry, Year Book Medical Publishers Inc., Ohio, USA, 1981, p.39.

2. Sopher, Irvin M., Forensic Dentistry, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illinois, USA, 1976, p.116-122.

3. Elmhurst Hospital Center, Operation Record, New York, 2000, p.1.

Page 75: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Reye’s Syndrome in Children

Supriatmo Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Sindroma Reye merupakan penyakit yang jarang dijumpai tetapi berakibat sangat fatal, ditandai dengan adanya ensefalopati dan menyerang hamper semua organ. Tidak ada alat bantu diagnostik yang khusus untuk menegakkan sindroma Reye ini. Biopsi hati mempunyai arti penting pada sindroma Reye. Penyebab sampai saat ini masih belum jelas. Aspirin dihubungkan dengan kejadian sindroma Reye. Prognosis berhubungan dengan stadium penyakit saat pertama dikenali. Dilaporkan satu kasus sindroma Reye pada seorang anak laki-laki usia 2 tahun 2 bulan, pada awal masuk pasien didiagnosa dengan ensefalitis. Tidak diketahui penyebab sindroma Reye pada kasus ini.Kata kunci: sindroma Reye, ensefalopati, aspirin, infeksi virus

Abstract: Reye’s syndrome (RS) is a rare but potentially fatal disease that affects all organ of the body, with an especially devastating attack upon the liver and brain. It is characterized by encephalopathy with severe edema of the brain, increased intracranial pressure, hypoglycemia, and the fatty infiltration of the liver. Prognosis according to the duration of disordered cerebral function during the acute stage of illness is the best predictor of eventual outcome. In patients with grade I disease, recovery is rapid and complete. The cause of Reye’s syndrome is not clear. Epidemiology methods have established a statistical association between aspirin ingestion during an antecedent viral infection and Reye’s syndrome. One case of Reye’s syndrome was reported in a 2,2 year-old boy, who was first diagnosed with encephalitis, but they cannot establish causality, nor can expose the biologic mechanism of the disease.Keywords: Reye’s syndrome, encephalopathy, aspirin, viral infection

INTRODUCTIONReye’s syndrome (RS) is a rare but

potentially fatal disease that affects all organ of the body, with an especially devastating attack upon the liver and brain. It is characterized by encephalopathy with severe edema of the brain, increased intracranial pressure, hypoglycemia, and the fatty infiltration of the liver. It is two phase of illness, almost always associated with a previous viral infection. In the US, the frequency, which peak in the 1970s and early 1980s, is now < 0.03-1 case per 100.000 persons younger than 18 years, though it may be as high 6 cases per 100.000 with a regional epidemics.

The racial distribution of RS in the United States, according to CDC surveillance statistics in 1980-1997 is 93% white; 5% African American; and the remainder Asian, American Indian,

and Native Alaskan. RS is equally distributed between the sexes, the peak age are 5-14 years, with a median of 6 years and a mean of 7 years.

Although the etiology of RS is unknown, the condition typically occur after a viral illness, particularly an upper respiratory tract infection, influenza, varicella, or gastroenteritis, and it is associated with the use of aspirin during the illness. The discovery of inborn errors of metabolism that have manifestation similar to those of RS and a dramatic decrease in the use of aspirin among children have made the diagnosis and occurrence of RS rare.

The pathogenesis is unclear, but it appears to involve mitochondrial dysfunction that inhibits oxidative phosphorylation and fatty acid beta oxidation in a virus infected, sensitized

Page 76: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Laporan Kasus

host. The host has usually been exposed to mitochondrial toxin, most commonly salicylates. Some have postulated that salicylate stimulate the expression of inducible nitric oxide

synthase (iNOS) because of findings of iNOS stimulation in African children with fatal malaria. Malaria causes symptoms similar to those RS and is often treated with aspirin.

Table 1.

Clinical staging of Reye’s SyndromeGrade Symptoms

I Usually quiet, lethargic and sleepy, vomiting, laboratory evidence of liver dysfunctionII Deep lethargy, confusion, delirium, combative, hyperventilation, hyperreflexicIII Obtunded, light coma, seizure, decorticate rigidity, intact papillary light reaction.IV Seizures, deepening coma, decerebrate rigidity, loss of oculocephalic reflexes, fixed pupil.V Coma, loss of tendon reflexes, respiratory arrest, fixed dilated pupils, flaccidity.decerebrate

(intermittent); isoelectric electroencephalogram

Hystologic changes include cytoplasmic fatty vacuolization in hepatocytes, astrocyte edema, loss of neurons in the brain, edema and fatty degeneration of proximal lobules in the kidney. All cells have pleomorphic, swollen mitochondria that are in reduced number, along with glycogen depletion and minimal tissue inflammation. Hepatic mitochondrial results in hyperammonemia, which is thought to induce astrocyte edema, resulting in cerebral edema and decrease intra cranial pressure.

Given that manifestations of RS are unique to RS but also seen in other conditions, are given that no test is specific for RS, the diagnosis must be one of exclusion. A high index of suspicion is critical for diagnosis. With the recognition that RS is rare, the diagnosis should be considered in any child with vomiting and altered mental status.

Since patients with Reye’s syndrome may progress to deeper levels of coma over the first 24 to 72 hours of the illness, once initial stabilization of the patients has been achieve, referral to a pediatric centre with intensive care capabilities is mandatory. Initial stabilization for most patients involved blood volume expansion with crystalloid to correct hypotension or dehydration, restoration of blood glucose levels, oxygen, antiseizure medications, or sedation with short-acting barbiturate. Prior to transfer, osmotherapy (mannitol) and endotracheal intubation with assisted ventilation may be needed in those

severe case already in coma or showing rapid progression to deeper levels of coma.

Prognosis according to the duration of disordered cerebral function during the acute stage of illness is the best predictor of eventual outcome. In patients with grade I disease, recovery is rapid and complete. In patients with more severe disease there may be subsequent subtle neuropsychologic defects noted (in intelligence, school achievement, visuomotor integration, and concept formation).

CASEA-two year and two month old boy

was admitted to Pediatric Intensive Care Unit H.Adam Malik Hospital with main complain was decreasing of consciousness since 6 hours before admitted. Followed by generalized seizure about 5 minute. He got feverish since 3 days, vomiting and diarrhea for 3 days. He already hospitalized in a private hospital but whenever no improvement the parents brought the patients to H.Adam Malik Hospital. From the physical examination showed an-unconsciousness (GCS 6) boy, BW 11 kg, temperature 38.8 oC. There was nuchal rigidity. Heart rate 140 time per minute, no murmur. Respiratory rate 30 times per minute without rales. Enlargement of the liver 2 cm below right arch rib. Differential diagnosis was encephalitis and meningoencephalitis with unstable cardiovascular system. Treatment with antibiotic ceftriaxon and ampicillin intravena, dexamethason and dilantin to control seizure. Zovirax

Page 77: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

iv drip in NaCl 0.9%. Lumbal puncture suggested to encephalitis. Laboratory finding; Hb 11.4 g/dl, leukocyte 12.800/mm3, thrombocyte 130.000/mm3, Blood gluce 67 mg/dl, electrolytes were normal, SGOT 362 u/L, SGPT 362 u/L. Phosphatase alkaline 154 u/L, ureum 54 mg/dl, creatine 0.3 mg/dl, uric acid 12.2 mg/dl. Diagnosis was encephalitis and Hepatitis. Treatment was continued, add urdafalk 10 mg/kg in 3 doses. Repeat blood glucose, liver biochemical, electrolyte, Blood gas analysis. Laboratory findings resulted; recurrent hypoglycemia, with mild acidosis and showed hyperactivity of liver while SGPT 1120 u/l, SGOT 1245 u/L. Liver enlargement 10 cm below right arch rib and spleen were palpable in Schuffner II. The treatment continued with glucose 40% bolus to control hypoglycemia. Mannitol and stabilized all the organ system. The next day, patient has GI bleeding, and decreasing of consciousness and deeper coma. The patient was fasting and give total parenteral nutrition including carbohydrate, protein and fatty acid. Liver enlargement continued uncontrolled with increasing level of SGPT and SGOT two fold than the previous day. We inserted the central vein catheter, the patients showed progressive destructive of the liver and hematologic system was suppressed with lower Hb and thrombocyte. The GI bleeding remain uncontrolled. Some time the seizure occurred and the coma was going worst and deeper. We made Reye’s syndrome as diagnosis although there was history of aspirin ingestion and previous viral illness. All the physical examination, laboratory finding pretend to Reye’s syndrome. We planned to perform liver biopsy but unfortunately we loss him before have the results.

DISCUSSIONThe diagnosis of Reye’s syndrome in

this case was established based clinical presentation and supported by laboratory examination. In admission, the sign and symptoms presenting like

encephalitis also the CSF results. There was history of aspirin ingestion or other drugs that suggested to RS. Progressive enlargement of the liver, higher SGOT and SGPT more than 3-fold, deep and deeper coma made think about RS. The limitation of this case is the absence of liver biopsy. About 25% of patients presenting in admission in deeper levels of coma (stages III to V) remain stable or worsen rapidly or slowly over the ensuing days as the disease runs its full course. Their illness is often complicated with multiorgan failure including refractory elevation of intracranial pressure, signs of herniation of brain tissue, sudden hypotension due to impaired cardiac function and/or arrythmias, sever electrolyte abnormalities due to inappropriate vasopressin secretion, renal failure, and neurogenic pulmonary edema.

The diagnostic criteria for Reye’s syndrome are:- Acute non-inflammatory

encephalopathy with altered level of consciousness

- Hepatic dysfunction with a liver biopsy showing fatty metamorphosis or more than 3-fold increase in ALT, AST and/or ammonis levels.

- No other explaination for cerebral edema or hepatic abnormality.

- Cerebrospinal fluid (CSF) with 8 or fewer WBCs per cubic millimeter.

- Brain biopsy with cerebral edema inflammation.

Acute pancreatitis may complicate both mild and severe cases of Reye’s syndrome and result in the sequestration of significant amounts o0f fluid in the abdomen and retroperitoneal space. It should be suspected when unexplained discrepancies exist in the fluid management of these patients. Therefore the routine monitoring serum amylase is recommended in all RS patients from time admission.

Starko, et al,   During an outbreak of influenza A, seven patients with Reye's

Page 78: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Laporan Kasus

syndrome and 16 ill classmate control subjects were evaluated for characteristics of the patients' prodromal illness and the control subjects' illness and for medication usage. Patients during the prodrome and control subjects had similar rates of sore throat, coryza, cough, headache, and gastrointestinal complaints except for documented fever which occurred significantly more often in patients than in control subjects (P = .05). While medications which did not contain salicylate were taken as frequently by patients as control subjects, patients took more salicylate-containing medications than did control children (P < .01). All seven patients took salicylate whereas only eight of 16 control subjects did so (P < .05) Patients took larger doses of salicylate than did the entire control group (P < .01). When the eight control subjects who took salicylate were compared with the patients, the patients still tended to take larger doses (P = .08). Patients with fever took salicylate more frequently than control subjects with fever (P < .01). In addition, salicylate consumption was correlated with severity of Reye's syndrome (P < .05). It is postulated that salicylate, operating in a dose-dependent manner, possibly potentiated by fever, represents a primary causative agent of Reye's syndrome.

Arrowsmith, et al, The number of cases of Reye syndrome reported annually to the Centers for Disease Control and Prevention declined markedly between 1980 and 1985. In this article we present pharmaceutical marketing research data that suggest sharp decreases in the use and purchase of children's aspirin between 1980 and 1985. These trends appear to correspond to the decrease in reporting of Reye syndrome cases. Additionally, analysis of physician mentions of aspirin and acetaminophen for treating flu and chickenpox showed statistically significant trends toward increasing recommendations for use of

acetaminophen. Trends in wholesale purchases of aspirin and acetaminophen by drug stores from 1979 through 1985 demonstrated a significant decline for the 81-mg children's aspirin tablet and an increase in purchases of children's acetaminophen products. Many factors may influence physician and parents' choice of analgesic/antipyretic medication, including information about Reye syndrome. Data suggest that a continuing decline in the use of aspirin for children may be accompanied by a continuing decline in the reported number of Reye syndrome cases.

To reduce the fever for the children most author suggest to give paracetamol and ibuprofen as well that has more less side effect compare to aspirin. When promoting paracetamol and ibuprofen it would be wise not to conceal their side effect- for example, the hepatotoxicity of paracetamol, which can occur even at minor overdoses given during a few days.

Retrospective re-evaluation of surviving patients diagnosed with RS has revealed that many, if not most, of this patients have an underlying inborn error metabolism. Error include amino and organic acidopathies, urea cycle defects, disorders of carbohydrate metabolism, and fatty acid oxidation defects, which may mimic RS. This has led debate about the etiology of RS, including if it is truly distinct entity and not a variety of metabolic disorder. It is certainly true that since the ban on the use of aspirin under the age of 12 in 1986 it has declined and it is argued that better diagnosis of metabolic abnormalities will not account for all this. In 2002 the ban on aspirin was raised to 16 years old.

Among the survival, recurrences of the disease are rare but have been reported. Some children had up to five repeat episodes of Acute Reye’s syndrome, and turned out to have one of the metabolic disorder. We therefore urge that all the patients with recurrences be screened for an

Page 79: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

underlying inborn metabolism as previously mentioned.

SUMMARYIt has been reported a case of

Reye’s syndrome in 2 years 2 months old boy. The patients died after six days treatment in the hospital. The cause of Reye’s syndrome is not clear. Epidemiology methods have established a statistical association between aspirin ingestion during an antecedent viral infection and Reye’s syndrome, but they cannot establish causality non can they expose the biologic mechanism of the disease. Research must continue at the molecular level to determine how a limited set of specific viruses triggers the dramatic, universal, but potentially rapidly reversible damage of the liver cell mitochondrial function. If the effect is mediated through a specific protein structure, a genetic susceptibility, it will remain a biologic booby trap waiting to ensnare who knows how many of the xenobiotic molecules that lie in our future. There is no guarantee that there will not be another outbreak of Reye’s syndrome.

REFERENCES 1. Friedman LS, Keefe EE. Liver

disease. Edinburg: Livingston Churcill, 1998. p. 320-5

2. Green A, Kelly DA. Metabolic liver disease in older children children. In: Kelly DA, ed. Disease of the liver and biliary system in children. London: Blackwell, 1999. p. 160-5.

3. Weiner Dl, Wilkes G. Pediatrics, Reye syndrome. eMedicine, November 2005. Cited on October 2006.

4. Bellman MH, Ross EM, Miller DL. Reye’s syndrome in children under three years old. Arch Dis Child 1982;57(4):259-63.

5. Benakappa DG, Das S, Shankar SK, Rao BS, Prakash, George S, et al. Reye’s syndrome in Bangalore. Indian J Pediatr 1991;58(6):805-10.

6. Maheady DC. Reye’s syndrome: review and update. J Pediatr Health Care 1989;3(5):246-50.

7. Belay ED, Bresee JS, Holman RC, Khan AS, Shahriari A, Schonberger LB. Reye’s syndrome in the United States from 1981 through 1997. N Engl J Med 1999;340(18):1377-82.

8. Autret-Leca E, Jonville-Bera AP, Liau ME, Bavoux F, Saudubray JM, et al. Incidence of Reye’s syndrome in France: a hospital-based survey. J Clin Epidemiol 2001;54(8):857-62.

9. van Daele MC, Wouters C, van Geet C. Reye’s syndrome revisited. BMJ 2002;324(7336):546-8.

10. Linnemann C, Shea L, Partin JC, Schubert WK, Schiff GM. Reye’s syndrome: epidemiologic and viral studies, 1963-1974. Am J Epidemiol 1975;101(6):517-26.

11. Balisteri W. Reye syndrome and “reye-like” diseases. In: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AA, eds. Nelson textbook of pediatrics. 15th

edition. Philadelphia: Saunders, 1996. p. 1144-6.

12. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Reye’s syndrome. Pediatrics clinical gastroenterology. 4th edition. St.Louis: Mosby, 1995. p. 903-12.

13. Partin JC. Reye’s syndrome. In: Suchy FJ, ed. Liver disease in children. St. Louis: Mosby, 1994. p. 653-71.

14. Starko KM. Reye's Syndrome and Salicylate Use. Pediatrics 1980;66:859-864;

15. Arrowsmith JB. National Patterns of Aspirin Use and Reye Syndrome Reporting, United States, 1980 to 1985. Pediatrics 1987;79:858-863.

16. CDC: Centre for Disease Control and prevention. Reye syndrome-United States. MMWR CDC Surveill Summ 1979;28:97.

17. Hal SM, Plaster PA, Glasgow JF, Hancock P. Preadmission

Page 80: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Laporan Kasus

antipyretics in Reye’s syndrome. Arch Dis Child 1988;63(7):857-66.

18. Orlowsky JP. Whatever happened to Reye’s syndrome? Did it ever really exist? Critical Care Medicine 1999;27:1582-7.

Page 81: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Kista Duktus Koledokus

Atan Baas SinuhajiDepartemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit H. Adam Malik, Medan

Abstrak: Tujuan penulisan karangan ini untuk melaporkan satu kasus Kista Duktus Kole-dokus pada seorang anak perempuan Indonesia umur 6 tahun 6 bulan dengan manifestasi klinis tidak seperti biasanya yaitu asites. Diagnosa pasti ditegakkan setelah tindakan bedah. Pengobatan dengan tindakan bedah memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: Kista Duktus Koledokus, dilatasi saluran empedu, sistem vena porta, tekanan hidrostatik, asites

Abstract: The aim of this paper is to report a case of Choledochal Cyst in Indonesian girl six years and six months old who presented with unusual manifestation i.e.ascites. Defenitive diagnosis is established after surgical procedure. Treatment with surgical had given impressive result.Keywords: Choledochal Cyst, dilatation of biliary tree, portal venous system, hydrostatic pressure, ascites

PENDAHULUAN Kista Duktus Koledokus adalah

dilatasi kistik dari saluran empedu baik intrahepatik maupun ekstrahepatik.1-6

Walaupun terminologi ini lebih sering dibatasi hanya pada dilatasi kistik saluran empedu ekstrahepatik. Insiden bervariasi dari 1 dalam 13.000 sampai 1 dalam 2.000.000 kelahiran hidup.7-8

Etiologi Kista Duktus Koledokus belum dapat diketahui dengan pasti, mungkin banyak faktor yang berperan. Diduga penyebab kongenital atau didapat.1-2, 5-7 Gejala klinis tergantung dari usia.1-3 Pada neonati dan bayi dijumpai ikterus sedangkan pada anak yang lebih tua dijumpai trias klasik yaitu ikterus, sakit perut dan massa di abdomen.1-6, 10-11 Kunci menegakkan diagnosa adalah dengan ultrasonografi sedangkan pengobatan dengan melakukan eksisi komplet dari kista.9

Tujuan penulisan ini untuk melaporkan satu kasus Kista Duktus Koledokus pada seorang anak perempuan Indonesia usia 6 tahun 6 bulan yang datang dengan manifestasi asites.

KASUS Seorang anak perempuan Indonesia

umur 6 tahun 6 bulan dirawat untuk pertama kalinya di ruang anak Rumah Sakit H. Adam Malik tanggal 29 Februari 2000, dengan keluhan perut membesar yang sudah berlangsung 2 bulan sehingga anak sulit bernafas dan sakit perut. Satu tahun sebelum masuk rumah sakit anak mengalami trauma tumpul abdomen. Tidak ada riwayat sering-sering demam, kuning, sembab, tinja dempul dan air seni seperti teh. Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal. Buang air besar dan buang air kecil lancar.

Sianak sudah lengkap mendapat imunisasi dasar BCG, Polio, Difteri, Tetanus, Pertusis, Campak dan Hepatitis B. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti orang sakit. Orang sakit merupakan anak ke-3 dari 5 bersaudara. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya kelihatan sehat.

Pada pemeriksaan fisik, kelihatan seorang anak perempuan Indonesia sakit dan kurus dengan perut membesar, sedikit sesak, anak sadar. Pucat, sianosis, ikterus dan edema tidak

Page 82: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

dijumpai. Berat badan = 15 kg, tinggi badan = 97 cm dan suhu tubuh = 370 C. Tidak ada dilatasi vena jugularis. Laju nadi sama dengan laju jantung = 120 x/menit, regular, desah (-). Laju nafas = 32 x/menit, regular, ronki (-). Perut tegang dan mengkilat, dijumpai tanda-tanda asites. Hati dan limpa sulit diraba. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin:- Darah: hemoglobin = 11,5 gr%, laju

endap darah = 51 mm/jam, lekosit = 8800/mm3, hitung jenis (%): basofil = 0, eosinofil = 1, batang = 0, segmen = 76, limfosit = 21, monosit = 2. Trombosit: cukup.

- Tidak ada kelainan tinja pada pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis.

- Urinalisis: dalam batas normal.

Diagnosa pasien saat itu adalah Asites ec. Sirosis Hepatis + Gizi Buruk dengan diagnosa banding Asites ec. Peritonitis Tuberkulosis + Gizi Buruk. Diberikan pengobatan dengan diuretik kombinasi Spironolakton dengan Furosemid.

Hasil pemeriksaan penunjang lainnya:- Pemeriksaan biokimia hati, faal

ginjal dan elektrolit darah: dalam batas normal.

- Hasil uji Mantoux: (-) dan foto toraks: pendorongan diafragma sedangkan gambaran paru dan jantung normal.

- Foto polos abdomen menunjukkan adanya perselubungan massif diseluruh rongga abdomen.

- Foto minum bubur barium: tidak dijumpai varises dan tidak tampak penekanan usus.

- Ultrasonografi abdomen: tidak dijumpai pembesaran hati dan limpa.

- Analisa cairan asites: eksudat, tetapi tidak dijumpai pertumbuhan mikroorganisme pada biakan. Sayangnya pemeriksaan amilase tidak dapat dilakukan.

- Skanning abdomen menunjukkan adanya asites dengan penumpukan cairan di Lesser Sac dan Left

Anterior Perirenal Space. Tidak tampak tumor abdomen dan disangka Kista Pankreas.

Diagnosa saat itu ditegakkan: Asites Pankreas + Kista Pankreas + Gizi Buruk. Selama sebulan perawatan pasien mendapat pengobatan dengan diuretik (kombinasi Spironolakton dan Furosemid) dan dijumpai pengurangan asites. Orang tua pasien meminta berobat jalan sehubungan dengan masalah keuangan.

Dua minggu setelah pulang, pasien masuk lagi ke rumah sakit karena perut semakin membesar dan sulit bernafas. Orang sakit dirujuk ke Bagian Bedah Anak dengan diagnosa Asites Pankreas + Kista Pankreas + Gizi Buruk. Dua belas hari setelah rawatan kedua dilakukan eksplorasi laparatomi. Diagnosa paska operasi: Kista Duktus Koledokus. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan kista benigna. Sebulan setelah operasi pasien pulang sembuh dan pada pengamatan jangka panjang (± 4 tahun) anak makin sehat dan tidak ada asites yang berulang.

DISKUSI Telah dilaporkan satu kasus Kista

Duktus Koledokus pada anak perempuan Indonesia usia 6 tahun 6 bulan yang datang dengan manifestasi yang tidak seperti biasanya yaitu asites. Pada anak besar penderita Kista Duktus Koledokus, umumnya dijumpai trias klasik yaitu ikterus, sakit perut dan massa di abdomen kanan atas.1-6, 10-11

Sedangkan pada neonati dan bayi dijumpai ikterus disebabkan hiperbilirubinemia konjugated yang harus dibedakan dengan atresia biliaris atau penyakit hati lain.

Belum ada laporan mengenai penderita asites yang disebabkan Kista Duktus Koledokus, setidak-tidaknya di Indonesia. Pada kasus kami ini, setelah dilakukan tindakan operasi terhadap kista, asites sembuh dan tidak berulang dalam pengamatan jangka panjang (± 4 tahun). Asites yang terjadi pada Kista Duktus Koledokus kemungkinan

Page 83: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

penekanan kista pada sistem vena porta sehingga terjadi hipertensi portal.12 Hal ini mengakibatkan peninggian tekanan hidrostatik sehingga terjadi asites. Penekanan ini terjadi sebelum vena lienalis memasuki sistem vena porta sehingga tidak dijumpai pembesaran hati dan limpa.

Walau penyebab Kista Duktus Koledokus belum jelas diketahui, tetapi diduga kelainan kongenital (embriogenesis yang salah) ataupun didapat. Adanya dilatasi saluran empedu disebabkan kelemahan struktur saluran empedu.1 Dilatasi ini dapat berbentuk silinder atau kistik.6

Dilatasi kistik saluran empedu (Kista Duktus Koledokus) pertama kali dilaporkan oleh Vater pada tahun 1720.7 Volume kista ini bervariasi dari beberapa mililiter sampai 2000 mililiter. Tebal dinding kista juga bervariasi dari yang begitu tipis hingga dapat terlihat cairan empedu sampai setebal 1 cm.4

Dinding kista terdiri dari jaringan fibrous dan inflamasi.1,4,8 Refluks cairan pankreas ke saluran empedu menyebabkan inflamasi, fibrosis, edema, sumbatan aliran empedu, kelemahan dinding setempat dan dilatasi.1 Tidak jelas apakah ada hubungan Kista Duktus Koledokus pada kasus ini dengan trauma tumpul abdomen yang dialami penderita satu tahun sebelum dirawat di rumah sakit. Trauma tumpul abdomen merupakan salah satu penyebab pankreatitis.13

Sayangnya pemeriksaan amilase di cairan asites tidak dapat dilakukan.

KESIMPULAN Manifestasi klinis Kista Duktus

Koledokus berupa asites tidak sebagaimana biasanya. Namun kemungkinan adanya Kista Duktus Koledokus pada penderita asites harus dipertimbangkan disamping sirosis hepatis, kelainan jantung kongestif, sindroma nefrotik, tumor peritoneum ataupun peritonitis tuberkulosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenthal P. Other disease. Dalam : Walker WA, Goulet G, Kleinmer R, Shermen PM, Shneider BL, Sanderson LR, penyunting. Pediatrics Gastrointestinal Disease. Pathofisiology Disease. Management. Volume 2 Edisi ke-4. Hamilton : BC Decker Inc, 2004. h. 1139-45.

2. Everson GT, Choledochal Cyst. Dalam : O’Grady JG, Lake JR, Ho:wdle PD, penyunting. Comprehensive Clinical Hepatology. Edisi-1. London : Mosby, 2000. h. 26. 13-14

3. Daveport M, Howard ER. Surgical disorders of the Liver and Bile Ducts. Dalam: Kelly DA, Penyunting Disease of the Liver and Biliary System in Children. Edisi ke-1. Birmingham : Blackwell Science, 1999. h. 260-62

4. Upadhayaya P. Jaundice, hepatosplenomegaly and disease of the pancreas. Dalam: MacMahon RA, penyunting. An Aid to Paediatric Surgery. Edisi-1. New York: Churchill Livingstone, 1984. h. 65-67

5. Raffensperger JG. Cystic dilatation of the bile ducts. Dalam : Raffensperger JG, penyunting. Swenson’s pediatric surgery. Edisi-4. New York: Appleton- Century- Crofts, 1980. h. 614-19

6. Suchy FJ. Cystic Disease of the Biliary Tract ang Liver. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson texbook of pediatrics. Edisi-17. Philadelphia: Saunders 2004. h. 1343-45

7. Stein JE, Vacanti JP, Biliary atresia and other disorder of the extrahepatic biliary tree. Dalam: Suchy FJ, penyunting Liver Disease in Children. St. Louis: Mosby, 1994. h. 435-39

8. Herman RE, Vogt DP, Chung RS. Biliary system. Dalam: Davis JH, Sheldon GF, Drucker WR, dkk, penyunting. Surgery a problem-solving approach. Edisi ke-2. St.

Page 84: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Louis Baltimore: Mosby, 1995. h. 1515-55

9. Howard ER. Paediatric Abdominal Surgery. Dalam: O’Higgins NJ, Chisholm GD, Williamson RCN, penyunting Surgical Management. Edisi ke-2. London, Buttherwoth Heinemann, 1991. h. 652-54

10. Rowe MI. Choledocal Cyst. Dalam: Rowe MI, O’Neill JA, Grosfeld Jl, dkk, penyunting. Essentials of Pediatric Surgery. Edisi ke-2. St, Louis Missouri: Mosby, 1995. h.639-44

11. Lister J. Liver and Biliary Tree. Dalam: Lister J, penyunting. Complication of Paediatric Surgery.Edisi-1. London, Baillier Tindall, 1986. h. 164-65

12. Hassal E, Israel D. Portal hypertension. Dalam: Willie R, Hyams JS, penyunting. Paediatrics Gastroenterointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi-1. Philadelphia, WB Sounders Company, 1993, h. 370-90

13. Whitcomb DC, Lowe ME. Other disease. Dalam : Walker WA, Goulet G, Kleinmer R, Shermen PM, Shneider BL, Sanderson LR, penyunting. Pediatrics Gastrointestinal Disease. Pathofisiology Disease. Management. Volume 2 Edisi ke-4. Hamilton : BC Decker Inc, 2004. h. 1584-1597.

Page 85: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

Foreign Body in The Airway

Chairul YoelDepartment of Child Health, Medical Faculty

University of Sumatera Utara, Medan

Abstract: Foreign body aspiration is a common problem in children. Food asphyxiation remains a common problem particularly in children below 3-year old, and are more susceptible to foreign body aspiration. Vegetative foreign body, mainly peanuts and seeds were commonly present. Foreign body aspiration (FBA) can be life threatening emergency requiring immediate intervention. Immediate symptoms of FBA are usually gagging, choking, coughing, or cyanosis. Stridor from a foreign body implies a location in the larynx, trachea, or mainstem bronchus beside history and clinical presentation. Bronchoscopy is a method of choice of diagnostic and management of FBA. In this case was suspected aspiration of foreign body with pneumonia aspiration on three years old girl. The diagnosis was established based on clinical symptoms, laboratory findings, imaging, and bronchoscopy. But it cannot be extracted bronchoscopically, after that, the patient was observed in PICU and the treatment was given based on clinical signs and symptoms. After treatment, she got improvement. Keywords: foreign body aspiration, bronchoscopy

Abstrak: Aspirasi benda asing merupakan masalah yang sering dialami anak-anak. Tertelan sisa makanan merupakan kejadian yang sering pada anak dibawah usia 3 tahun dan sering terjadi aspirasi ke dalam saluran napas. Makanan yang sering teraspirasi seperti kacang-kacangan dan biji-bijian. Aspirasi benda asing dapat mengancam jiwa dan membutuhkan pertolongan yang segera. Gejala yang dijumpai biasanya tersedak, tercekik, batuk, dan sianosis. Stridor yang terjadi menunjukkan lokasi seperti di laring, trakea, atau cabang bronkus utama di samping riwayat dan manifetasi klinis. Bronkoskopi adalah metode pilihan untuk diagnostik dan tatalaksana aspirasi benda asing. Pada kasus ini disangkakan aspirasi benda asing yang disertai aspirasi pneumonia yang terjadi pada anak perempuan berusia tiga tahun. Diagnosis ditegakkan berdasakan gejala klinis, laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan bronkoskopi. Sayangnya pengambilan benda asing gagal dilakukan dengan bronkoskopi. Kemudian pasien diobservasi di PICU dan diberi terapi berdasarkan tanda dan gejala klinis. Selama perawatan menunjukkan perbaikan klinis.Kata kunci: aspirasi benda asing, bronkoskopi

INTRODUCTIONForeign body aspiration is a

common problem in children, and the most common cause of accidental death, at home in children under six years of age. It is estimated that almost 600 children under 15 years of age die per year in U.S.A. following aspiration of foreign bodies.1 The most common foreign bodies are peanuts and sunflower seeds. Determining the presence of a foreign body requires an

accurate history, a high degree of clinical suspicion, and often a direct look down the airway. The peak incidence coincides with the period of oral behavior, between 6 month and the early school years.2,3

Aspiration of a foreign body classically presents with an immediate episode of coughing, gagging, choking or cyanosis. In infants and small children, a foreign body lodged in the esophagus can impinge on the trachea

Page 86: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

and cause respiratory embarrassment. Some foreign bodies will be promptly vomited or swallowed, eliminating the immediate risk of hypoxemia and the complication of foreign body lodging in the pulmonary tree.2,3

For extrathoracic (laryngeal or tracheal), the patient presents with stridor, a croupy cough, varying degrees of dyspnea, or acute hypoxemia and cyanosis. The symptoms may vary. For intrathoracic (lower trachea and bronchial), a patient with a foreign body in the lower airway presents with an initial choking episode and varying periods of quiescence, followed by persistent and often progressive symptoms. Commonly, there is cough, wheezing, and dyspnea. With inflammation or secondary atelectasis, fever and signs of pneumonia may predominate.3

The only certain method for verifying the diagnosis is with bronchoscopy. However, if foreign-body aspiration is suspected and the patient is not in extreme respiratory distress, obtain radiographs, which can assist in the diagnosis. Most intrathoracic foreign bodies are radioluscent, but there is a high incidence of abnormal chest radiographs (80%).3-6

Management of foreign body aspiration are asses the patency of the airway and breathing. Complete obstruction demands immediate Heimlich maneuver for an older child. Maneuvers that dislodge the foreign body may move the object to the central airways, causing complete obstruction. Continuously monitor the patient with pulse oximetry while awaiting an anesthesiologist and bronchoscopy (pediatric surgeon or otolaryngologist) to perform rigid bronchoscope.3-6

Indication for admission depends on clinical suspicion of an airway foreign body and respiratory symptoms after expulsion of an airway foreign body.3

CASEWe have a case with suspected

foreign body aspiration (seed of sawo fruit) in 3 years old girl. From

alloanamnesis this patient was suffered from breathlessness after ingested the seed of sawo fruit and she has got the treatment from private hospital. During this, she got breathlessness, and she was referred to Haji Adam Malik Hospital. At the emergency room, she looked very ill and from physical examination we got inspiratoar stridor and retraction of clavicle and epigastric. And then, we performed chest x-ray and blood gas analysis. After been consulted to otolaryngology department, they suggested to performed bronchoscope for this patient, and a mass on the left lower lobe was found. After bronchoscope was performed three times, unfortunately they failed to excluded the mass. And then they decided to stop that examination. After they consulted to the chest surgery department, they suggested to observed the patient in intensive care unit for the next treatment. During she was in intensive care unit, the condition of the patient became better than before, and she had normal respiration rate. So, we decided to repeated another chest x-ray and we found pneumonia aspiration and atelectasis at the middle lobe of the left lung. This examination appropriated with chest CT scan at the fifth segment of the left lung. The chest surgery department recommended to delay torachostomy and suggested to performed the physiotherapy for this patient. Three days after treatment and physiotherapy, the condition of this patient had good improvement and she became to be outpatient.

DISCUSSIONThe peak incidence coincides with

the period of oral behavior, between 6 month and the early school years. Food asphyxiation remains a common problem particularly in children was below the age of 3 years are more susceptible to foreign body aspiration. Vegetative foreign body, mainly

Page 87: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

peanuts and seeds were commonly present.1,2,6,7 Type of foreign body is hard seed (seed of sawo) and that was commonly happened in a three years old girl like in this case.

The effects of foreign body aspiration are dependent on the site of lodgment, degree and duration of obstruction. Upper airway involvement varies from complete obstruction with hypoxia and cardio respiratory compromise to partial obstruction with coughing, wheezing, drooling, stridor and respiratory distress.8 Symptoms and signs in this case were respiratory distress, stridor, and retraction.

As most inhaled foreign bodies are radiolucent, clues as to their location on radiographs depends on secondary signs of complete or partial airway obstruction. Surprisingly, many chest radiographs may have completely negative findings, especially within the first 24 hours following aspiration. A positive history plus clinical symptoms of aspiration may be sufficient to justify endoscope for diagnosis and retrieval of the foreign body.8 Mourtaga SM, Kuhail SM and Tulaib MA in a study concluding rigid bronchoscope is a potentially safe and effective procedure for foreign body removal from the respiratory tract.9 In this case, foreign body was radiolucent because chest radiographs have completely negative findings. And bronchoscopy should be done for diagnosis and treatment. The foreign body was tried to retrieve but failed.

Management a foreign body lodged in the oropharynx or glottis may warrant immediate attention to clear the airway using one or more of the following means: The Heimlich maneuver, dislodgment using a finger, direct laryngoscope and bronchoscope 3. A trial of Heimlich maneuver may be a life saving procedure.8 In this case, because the foreign body has been present for a long time, Heimlich maneuver was not done.

The patient with an airway foreign body will require respiratory care.

Antibiotics, steroids, oxygen, mist and chest physiotherapy all may be necessary.2 In this case, the patient was given all of them.

These fatal accidents can be prevented by parental education and early recognition and management of the situation.10 Data are lacking regarding the long term consequences of long-present foreign bodies that cannot be extracted bronchoscopically and are incidentally found on the chest x-ray film completely asymptomatic patients.4-6 For this time the patient is in a good condition.

SUMMARYIt has been reported a case of

suspected aspiration of foreign body with pneumonia aspiration on three years old girl. The diagnosed was established based on clinical symptoms, laboratory findings, imaging, and bronchoscopy. After it cannot be extracted bronchoscopically, therapy was given based on clinical symptoms. After treatment, she got improvement.

DAFTAR PUSTAKA1. Mehta S, Mehta N, Suri M,

Khajura R. Guidelines for removal of foreign bodies in pediatric airway. JK- Practitioner 2006;13:18-22

2. March JA. Upper respiratory emergencies. In: Cline D, Ma OJ, Tintinalli JE, Ruiz E, Krome RL, editors. Emergency medicine. 4th ed. New York: McGraw Hill, 1997.p.116-9

3. Keresmar C. Pulmonary emergencies. In: Craine EF, Gershel JC, editors. Clinical manual of emergency pediatrics. 4th Ed. New York: McGraw Hill, 2003.p.569-98

4. Jardine DS, Martin LD. Specific disease of the respiratory system: upper airway. In: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, editors. Pediatric critical care. 3rd ed. Philadelphia: Mosby, 2006.p.582-3

Page 88: MKN Vol_ 39 No_ 4 Des_ 2006

5. Orenstein DM. Foreign bodies in the larynx, trachea and bronchi. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 2000.p.1279-82

6. Larsen GL, Accurso FJ, Deterding RR, Halbower AC, Kerby GS, White CW. Respiratory tract & mediastinum. In: Hay WW, Wayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, editors. Current pediatric diagnosis & treatment. 16th ed. Boston: McGraw Hill, 2003.p.503-4

7. Narasimhan KL, Chowdhary SK, Suri S, Mahajan JK, Samujh R, Rao KLN. Foreign body airway obstructions in children—lessons learnt from a prospective audit. J Indian Assoc Pediatr Surg 2002;7:184-9

8. Tan HKK, Tan SS. Inhaled foreign bodies in children-anesthetic considerations. Singapore Med J 2000;41:506-10

9. Mourtaga SM, Kuhail SM, Tulaib MA. Foreign body inhalations managed by rigid bronchoscope among children, in Shifa Hospital - Gaza, Palestine. Annals of Alquds Med 2005;2:53-7

10. Goren S, Gurkan F, Tirasci Y, Kaya Z, Acar K.Foreign body asphyxiation in children. Indian Pediatrics 2005;42:1131-3.