psikologia vol_ 1 no_ 2 des_ 2005

55
2 DAFTAR ISI Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua Liza Marini dan Elvi Andriani 46 – 51 Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain 52 – 59 Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa Djohan Salim 60 – 70 Hubungan Persepsi tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika dengan Motivasi Belajar Matematika pada Siswa SMA Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni 71 – 77 Sikap terhadap Lingkungan dan Religiusitas Ari Widiyanta 78 – 84 Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau dari Identitas Gender Stevanus Colonne dan Rika Eliana 85 – 91 Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada Remaja Laki-Laki Hasnida dan Indri Kemala 92 – 97 Volume I No. 2 Desember 2005 ISSN: 18580327

Upload: bejomargono

Post on 18-Jun-2015

1.698 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

2

DAFTAR ISI

Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua Liza Marini dan Elvi Andriani

46 – 51

Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain

52 – 59

Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa Djohan Salim

60 – 70

Hubungan Persepsi tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika dengan Motivasi Belajar Matematika pada Siswa SMA Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni

71 – 77

Sikap terhadap Lingkungan dan Religiusitas Ari Widiyanta

78 – 84

Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau dari Identitas Gender Stevanus Colonne dan Rika Eliana

85 – 91

Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada Remaja Laki-Laki Hasnida dan Indri Kemala

92 – 97

Volume I No. 2 Desember 2005 ISSN: 18580327

Page 2: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

3

Volume 1•Nomor 2•Desember 2005

Penanggung Jawab Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Pemimpin Umum Chairul Yoel

Pemimpin Redaksi

Eka D.J. Ginting

Sekretaris Arliza J. Lubis

Mitra Bestari:

Koentjoro (UGM) Wilman Dahlan (UI)

Guritnaningsih A. Santoso (UI) Kusdwiratri Setiono (UNPAD)

Ahmad Djunaidi (UNPAD)

Redaksi Penyelia Irmawati

Redaksi Pelaksana

Rika Eliana Sri Supriyantini

Wiwiek Sulistyaningsih Raras Sutatminingsih

Zulkarnain

Lay out Tarmidi

Sirkulasi

F. Dina Anggaraeni Hasnida

Alamat Redaksi/Penerbit Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran USU Jl. Dr. Mansyur No. 7 Medan Telp/fax:

061-8220122 08126514060

E-mail: [email protected]

SEKAPUR SIRIH DARI REDAKSI Viva PSIKOLogia … Pada Edisi Desember 2005 ini PSIKOLogia sekali lagi menyajikan topik-topik yang aktual di bidang perkembangan, industri, eksperimen, pendidikan, sosial dan tema klinis dengan penulis-penulis yang kompeten di bidangnya. Dalam edisi kali ini PSIKOLogia juga menyajikan tidak hanya penelitian namun juga pemikiran-pemikiran di bidang psikologi yang diharapkan akan menambah wawasan kita. Artikel pertama adalah tulisan Liza Marini dan Elvi Andriani dengan tema: ”Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua”. Selanjutnya ”Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan yang Bekerja di Multi Level Marketing” yang ditulis oleh Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain. Tema psikologi musik dengan judul: ”Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa” kali ini ditulis oleh Johan Salim. Dalam bidang pendidikan, judul: ” Hubungan Persepsi Tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika dengan Motivasi Belajar Matematika pada Siswa SMA” oleh Annisa Fitri Rangkuti dan Fillia Dina Anggaraeni. Tema mengenai sosial untuk kali ini ditulis oleh saudara Ari Widiyanta dengan judul: ”Sikap terhadap Lingkungan Alam dan Religiusitas” yang kemudian diikuti oleh penelitian kualitatif dari saudara Stevannus Collone dan Rika Eliana dengan judul: ”Gambaran Tipe-tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau dari Identitas Gender”.Kemudian edisi PSIKOLogia ini diakhiri oleh tulisan saudara Hasnida dan Indri kemala dengan judul: ”Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada Remaja Laki-laki”. Untuk ke depan, PSIKOLogia menantikan artikel maupun penelitian yang akan mengembangkan wawasan dan khasanah ilmu psikologi baik secara teoritis maupun praktis. Akhir kata pada seluruh pembaca PSIKOLogia kami mengucapkan selamat membaca dan juga terima kasih pada para penulis yang telah menyumbangkan karyanya untuk edisi kali ini. Redaksi juga mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan PSIKOLogia di masa mendatang.

Redaksi PSIKOLogia

Page 3: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

46

PERBEDAAN ASERTIVITAS REMAJA

DITINJAU DARI POLA ASUH ORANG TUA

Liza Marini dan Elvi Andriani P S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua. Perilaku asertif remaja diperlukan untuk menghadapi kuatnya pengaruh teman sebaya. Penelitian ini didasarkan pada teori Pola Asuh Orang Tua dari Baumrind yang mengasumsikan bahwa ada 4 tipe Pola Asuh Orang Tua yaitu Authoritative, Authoritarian, Permissive dan Uninvolved. Teori asertif yang digunakan didasarkan pada teori Asertivitas dari Eisler, Miller & Hersen, Johnson & Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980). Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, data dikumpulkan dengan menggunakan skala Pola Asuh dan Skala Asertivitas. Subjek penelitian adalah remaja madya berusia15-18 tahun sebanyak 100 orang yang merupakan siswa-siswi SMUN 1 Medan yang masih memiliki orang tua lengkap. Subjek dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Data penelitian diolah dengan menggunakan analisis varians (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua (F=2.951, p<0.05), subjek dengan pola asuh Authoritative lebih asertif daripada subjek dengan pola asuh Authoritarian, Permissive dan Uninvolved (mean = 115.727 Sd = 7.492). Kata Kunci : Pola asuh, Authoritative, Authoritarian, Permissive, Uninvolved dan asertivitas

remaja.

Abstract The purpose of this research is to investigate the difference assertiveness in adolescents with various parenting style. This research is based on parenting style theory from Baumrind who assumed that there are four parenting style, Authoritative, Authoritarian, Permissive & Uninvolved. Assertive theory used in this research is based on Assertive theory from Eisler, Miller & Hersen, Johnson & Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980). This research is a field study, data was collected through scales of parenting style and scales of assertiveness. The samples of this research were 100 middle adolescents (age 15-18 years), students of SMU Negeri 1 Medan and still have both complete parents. The subjects were selected using purposive sampling method. Data obtained in this research is processed by analysis of variance (ANOVA). The result indicate that are significant differences in adolescents assertiveness with various parenting style (F= 2.951 , p < 0.05). Subjects with Authoritatve parenting style more assertive than subjects with Authoritarian, Permissive and Uninvolved parenting style (mean = 115.727 Sd = 7.492).

Key words : Parenting Style, Authoritative, Authoritarian, Permissive, Uninvolved and assertiveness in adolescence.

Nunally dan Hawari (dalam Ekowarni, 2002)

menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal negatif seperti narkoba, tawuran, dan seks bebas, salah satunya disebabkan karena kepribadian yang lemah. Cirinya antara lain: daya tahan terhadap tekanan dan tegangan rendah; harga diri yang rendah; kurang bisa mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban; kurang bisa mengendalikan emosi dan

agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik, yang erat kaitannya dengan asertivitas. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Family & Consumer di Ohio, AS (dalam Utami, 2002) yang menunjukkan fakta bahwa kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk bersikap asertif.

Perilaku asertif adalah perilaku interpersonal berupa pernyataan perasaan yang bersifat jujur dan

Page 4: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Liza Marini dan Elvi Andriani Perbedaan Asertivitas Remaja...

47

relatif langsung (Rimm & Master dalam Rangkuti, 2000). Perilaku asertif merupakan perilaku yang penting untuk mewujudkan pribadi yang sehat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dengan berperilaku asertif, individu dapat mengurangi atau menghilangkan kecemasan dan meningkatkan rasa hormat serta harga diri (Alberti & Emmons dalam Devito, 1986).

Menurut Alberti dan Emmons (dalam Widjaja & Wulan, 1998) perilaku asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Asertif menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain. Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stres ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Widjaja & Wulan, 1998).

Alberti and Emmons (dalam Rakos, 1991) secara detail menyebutkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun untuk menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain.

Menurut Eisler, Miller & Hersen, Johnson & Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980) ada beberapa komponen dari asertivitas, antara lain adalah: 1. Compliance

Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan orang lain. Yang perlu ditekankan di sini adalah keberanian seseorang untuk mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan keinginannya.

2. Duration of Reply

Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang dikehendakinya, dengan menerangkannya pada orang lain. Eisler dkk (dalam Martin & Poland, 1980) menemukan bahwa orang yang tingkat asertifnya tinggi memberikan respons yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu yang digunakan untuk berbicara) daripada orang yang tingkat asertifnya rendah.

3. Loudness

Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu tidak berteriak. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara yang terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain (Eisler dkk dalam Martin & Poland, 1980).

4. Request for New Behavior Meminta munculnya perilaku yang baru pada

orang lain, mengungkapkan tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.

5. Affect

Afek berarti emosi; ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang monoton ataupun respons yang emosional.

6. Latency of Response

Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif daripada yang tidak terdapat jeda.

7. Non Verbal Behavior

Serber (dalam Martin & Poland, 1980) menyatakan bahwa komponen-komponen non verbal dari asertivitas antara lain:

a. Kontak Mata

Secara umum, jika kita memandang orang yang kita ajak bicara maka akan membantu dalam penyampaian pesan dan juga akan meningkatkan efektifitas pesan. Akan tetapi jangan pula sampai terlalu membelalak ataupun juga menundukkan kepala.

b. Ekspresi Muka Perilaku asertif yang efektif membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan yang disampaikan. Misalnya, pesan kemarahan akan disampaikan secara langsung tanpa senyuman, ataupun pada saat gembira tunjukkan dengan wajah senang.

c. Jarak Fisik Sebaiknya berdiri atau duduk dengan jarak yang sewajarnya. Jika kita terlalu dekat dapat mengganggu orang lain dan terlihat seperti menantang, sementara terlalu jauh akan membuat orang lain susah untuk menangkap apa maksud dari perkataan kita.

Page 5: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

48

d. Sikap Badan Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan membuat pesan lebih asertif. Sementara sikap badan yang tidak tegak dan terlihat malas-malasan akan membuat orang lain menilai kita mudah mundur atau melarikan diri dari masalah.

e. Isyarat Tubuh Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang sesuai dapat menambah keterbukaan, rasa percaya diri dan memberikan penekanan pada apa yang kita katakan, misalnya dengan mengarahkan tangan ke luar. Sementara yang lain dapat mengurangi, seperti menggaruk leher, dan menggosok-gosok mata. Namun, berperilaku asertif bukanlah hal yang

mudah untuk dilakukan, apalagi bagi remaja. Akan tetapi ini bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi, seperti yang dinyatakan oleh Willis & Daisley (1995) bahwa asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut. Ia menegaskan bahwa semua orang dapat berperilaku agresif, pasif, ataupun asertif. Akan tetapi untuk berperilaku asertif, perlu dipelajari dan dilatih dibandingkan perilaku agresif dan pasif (Pentz dalam Rakos, 1991).

Perilaku asertif dapat dipelajari secara alami dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksud disini adalah keluarga sebagai lingkungan sosial pertama bagi anak, disamping juga terdapat faktor-faktor lain seperti budaya, usia dan jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rathus & Nevis (dalam Widjaja & Wulan, 1998) yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan pola-pola yang dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya.

Hal ini diperkuat oleh Harris (dalam Prabana, 1997) bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak.

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002).

Baumrind (dalam Berk, 2000) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya (1) Demandingness; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua (2) Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Dalam hal ini terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritative, authoritarian dan permissive. Maccoby & Martin (dalam Berk, 2000) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh uninvolved.

1. Authoritative;

mengandung demanding dan responsive. Dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tuayang disertai dengan komunikasi terbuka antara orang tuadan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orang tua.

2. Authoritarian; mengandung demanding dan unresponsive. Dicirikan dengan orang tuayang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orang tuadan anak juga kehangatan dari orang tua.

3. Permissive; mengandung undemanding dan responsive. Dicirikan dengan orang tuayang terlalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol, anak dibolehkan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.

4. Uninvolved; mengandung undemanding dan unresponsive. Dicirikan dengan orang tuayang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orang tuadaripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan, larangan ataupun komunikasi terbuka antara orang tua dan anak. Untuk setiap orang tua, penerapan pola

asuhnya dapat berbeda-beda. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 1998) dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang tua menggunakan kombinasi dari ke semua pola asuh yang ada, akan tetapi satu jenis pola asuh akan terlihat lebih dominan daripada pola asuh lainnya dan sifatnya hampir stabil sepanjang waktu.

Page 6: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Liza Marini dan Elvi Andriani Perbedaan Asertivitas Remaja...

49

Dalam hal pembentukan asertivitas pada remaja, Berk (2002) menegaskan bahwa dalam pembentukan asertifitas anak, orang tuasendiri juga bersikap asertif dalam menghadapi keinginan anak-anaknya, sehingga dengan sendirinya orang tua memberikan model yang mendukung tumbuhnya perilaku asertif (Berk, 2000).

METODE PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah : siswa-siswi SMU Negeri 1 Medan yang berusia 15 – 18 tahun serta masih memiliki orang tua lengkap (ayah dan ibu). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposives sampling dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan 2 skala yaitu: (1) Skala Pola Asuh: skala ini berjumlah 48 item

disusun berdasarkan beberapa jenis pola asuh. Merupakan skala tipe tertutup/penskalaan subjek dengan 4 alternatif pilihan jawaban yaitu A,B,C,D di mana masing-masing pilihan mewakili 1 pola asuh (authoritative, authoritarian, permissive atau uninvolved). Setelah dilakukan uji daya beda item dengan menggunakan korelasi point biserial dan uji reliabilitas dengan koefisien alpha didapat hasil sebagai berikut:

a. Untuk pola asuh authoritative, 33 item yang sahih dengan kisaran rbt = 0.31 - 0.561 dengan reliabilitas rtt = 0.888

b. Untuk pola asuh authoritarian, 23 item yang sahih dengan kisaran rbt = 0.305 - 0.564 dengan reliabilitas rtt = 0.843

c. Untuk pola asuh permissive, 15 item yang sahih dengan kisaran rbt = 0.305 - 0.560 dengan reliabilitas rtt = 0.777

d. Untuk pola asuh uninvolved, 16 item yang sahih dengan kisaran rbt = 0.310 - 0.648 dengan reliabilitas rtt = 0.821

(2) Skala Asertivitas:: skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek asertivitas yang dikemukakan oleh Eisler, Miller & Hersen, Johnson & Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980) antara lain: Compliance, Duration of Reply, Loudness, Request for New Behavior, Affect, Latency of Response, Non Verbal Behavior. Merupakan skala Likert dengan 4 pilihan jawaban, terdiri dari 38 item dengan kisaran koefisien korelasi rxy = 0.2439 – 0.6107 dan reliabilitas rtt = 0.8710.

HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggolongkan pola asuh atas 4

tipe yaitu authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Untuk menggolongkan subjek ke dalam masing-masing pola asuh digunakan kategorisasi Standard Error of Measurement dengan rumusan sebagai berikut:

( )xxrSxSe −= 1

Keterangan: Se = Eror standar dalam pengukuran Sx = Deviasi standar skor

xxr = Koefisien reliabilitas Besarnya Se akan memperlihatkan kisaran

estimasi skor sebenarnya pada taraf kepercayaan tertentu. Selanjutnya nilai Se akan digunakan untuk melihat nilai pada tabel deviasi normal dengan

rumus sebagai berikut: X ± Z α/2 (Se) Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka

didapat kategorisasi pola asuh seperti pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Kategorisasi Pola Asuh

Pola Asuh Authoritative X ≥ 36 Pola Asuh Authoritarian X ≥ 12 Pola Asuh Permissive X ≥ 11 Pola Asuh Uninvolved X ≥ 4

Tabel 2. Penggolongan Subjek Berdasarkan Pola Asuh

Pola Asuh Jumlah Persentase Authoritative 33 33 % Authoritarian 18 18 % Permissive 16 16 % Uninvolved 6 6 % Tak Tergolongkan 27 27 % Total 100 orang 100 %

Subjek yang termasuk dalam pola asuh yang

tidak tergolongkan tidak diperhitungkan dalam penelitian, karena peneliti hanya mengacu pada keempat tipe pola asuh saja. Dengan demikian jumlah total subjek penelitian adalah sebanyak 73 orang.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil perhitungan analisa data dengan menggunakan teknik ANOVA diperoleh hasil analisa perbedaan skor asertivitas ditinjau dari pola asuh orang tua:

Page 7: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

50

Dari Tabel 3 terlihat bahwa diperoleh nilai F sebesar 2.951 dengan Sig. 0.039. Dengan demikian maka Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini berarti: Ada perbedaan asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua.

Jika dilihat dari mean terdapat perbedaan bermakna di mana mean tertinggi diperoleh oleh kelompok subjek dengan pola asuh authoritative, sehingga bisa disimpulkan bahwa subjek dengan pola asuh authoritative memiliki asertivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek dengan pola asuh authoritarian, permissive dan uninvolved.

DISKUSI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan asertivitas yang signifikan antara pola asuh authoritative, authoritarian, permissive dan pola asuh uninvolved. Asertivitas subjek dengan pola asuh authoritative lebih tinggi daripada subjek dengan pola asuh authoritarian, permissive dan uninvolved.

Terdapatnya perbedaan asertivitas yang dimiliki subjek dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Harris (dalam Prabana, 1997) yang mengatakan bahwa kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola responss seseorang dalam menghadapi masalah.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa asertivitas remaja dengan pola asuh authoritative lebih tinggi daripada remaja dengan pola asuh authoritarian, permissive dan uninvolved. Dengan kata lain, pola asuh authoritative lebih mengembangkan perilaku asertivitas pada remaja. Hal ini sejalan dengan teori Baumrind (dalam Dacey & kenny, 1997) yang mengatakan bahwa pola asuh authoritative lebih efektif dari ketiga pola asuh yang lain dalam pembentukan kepribadian anak. Dijelaskan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative akan menunjukkan perkembangan emosional, sosial dan kognitif yang positif. Anak akan menampilkan perilaku yang asertif, ramah, memiliki harga diri dan percaya diri yang tinggi, memiliki tujuan dan cita-cita,

berprestasi, serta dapat mengatasi stres dengan baik. Hal ini dikarenakan orang tua yang authoritative membuat tuntutan yang sesuai dengan kematangan dan menetapkan batas-batas yang wajar. Pada saat yang sama mereka menunjukkan kehangatan dan kasih sayang, mendengarkan keluhan anak dengan sabar dan anak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam membuat keputusan (Baumrind dalam Berk, 2000).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam menumbuhkan perilaku asertif ini dibutuhkan suasana keluarga authoritative karena anak diajarkan untuk mengatur emosinya, dapat berempati dan mau mengerti orang lain, mengenal serta dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang dilarang, juga anak diajarkan untuk dapat mengatakan “tidak” sehingga anak mampu mengutarakan isi hatinya atau keinginannya (Baumrind dalam Hughes & Noppe, 1985). Budiman (dalam Tarmudji, 2002) juga mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang, membuat anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik yang merupakan landasan bagi hubungan sosial khususnya dengan teman sebaya. SARAN 1. Untuk orang tua

Orang tua agar lebih menerapkan pola asuh authoritative, karena terbukti lebih efektif dalam mengembangkan perilaku asertivitas pada remaja. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi dan pendidikan mengenai pola asuh bagi para orang tua. Hal ini dapat dilakukan melalui ceramah, seminar ataupun pelatihan dan diskusi bekerja sama dengan pihak sekolah atau guru yang bersangkutan.

2. Untuk guru, praktisi pendidikan Para guru, praktisi pendidikan dan masyarakat juga dapat ikut serta dalam menumbuhkan asertivitas pada remaja yang dapat dilakukan antara lain dengan mengadakan pelatihan-pelatihan asertivitas (assertiveness training) sebagai sarana untuk menumbuh kembangkan asertivitas pada remaja.

Tabel 3. Analisis Varians Skor Asertivitas Pola Asuh Authoritative-Authoritarian- Permissive-Uninvolved

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total

479.949 3740.927 4220.877

3 69 72

159.983 54.216

2.951 .039

Tabel 4. Deskripsi Skor Asertivitas

Pola Asuh Jumlah Mean Standard Deviasi Authoritative 33 115.727 7.492 Authoritarian 18 111.777 8.974

Permissive 16 110.562 5.842 Uninvolved 6 108.666 3.559

Page 8: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Liza Marini dan Elvi Andriani Perbedaan Asertivitas Remaja...

51

3. Untuk penelitian selanjutnya Pada penelitian ini, peneliti tidak begitu memperhatikan faktor-faktor lain selain pola asuh orang tua sebagai hal-hal yang dapat mempengaruhi asertivitas remaja. Disarankan kepada penelitian selanjutnya dengan topik yang sama agar lebih memperhatikan faktor-faktor tersebut khususnya faktor kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA Annisa, N. (2000). Komunikasi Orang Tua –

Remaja Dalam Mendukung Munculnya Perilaku Asertif (Studi Kualitatif Pada Remaja Pengguna Narkoba). Jakarta: Fakultas Psikologi UI.

Azwar, S. (2000). Reliabilitas dan validitas.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar. , (2000). Penyusunan skala psikologi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Berk, L.E. (2000). Child development (5th ed.). USA :

A Pearson Education Comp. Conger, J.J. (1991). Adolescent & youth: psychologycal

development in a changing world (4th ed.). New York: Harper Collins.

Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent

development (2nd ed.). USA: Brown & Benchmark pub.

Devito, J.A. (1986). The interpersonal communication

book (4th ed.). New York : Harper & Row pub. Hetherington, E.M., & Parke, R.D. (1999). Child

psychology : a contemporary viewpoint (5th ed.). New York : Mc.Graw Hill.

Hughes, F.P., & Noppe, L.D. (1985). Human

development: across the life span. USA: West Publishing Company.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan :

Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.

Irmawati. (2002). Motivasi Berprestasi & Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba & Suku Bangsa Melayu (tesis). Jakarta: Fakultas Pasca UI.

Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C. (2000). Human

development: a life span view (2nd ed.). USA: Wadsworth / Thomson Learning.

Martin, R.A., & Poland, E.Y. (1980). Learning to

change : a self-management approach to adjustment. New York: Mc.Graw Hill.

Monks, F.J., & Haditono, S.R. (1999). Psikologi

Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D.

(1998). Human development (7th ed.). USA: Mc Graw Hill Comp Inc.

Prabana. (1997). Perbedaan Asertivitas Remaja

Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Jenis Kelamin. (Skripsi – Tidak Diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Rakos, R.F. (1991). Assertive behavior : theory,

research & training. New York: Routledge, Chapman & Hall Inc.

Santrock, J.W. (1998). Adolescence (7th ed.). New

York: Mc Graw Hill Simmons, S., & Simmons, J.C., Jr. (1997).

Measuring emotional intelligence : the ground breaking guide to applying the principles of emotional intelligence. Arlington, Texas: The Summit Pub.Group.

Tarsis, T. (2002). Hubungan pola asuh orang tua

dengan agresivitas remaja. Jurnal pendidikan & kebudayaan (37), 504-519.

Page 9: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

52

ASERTIVITAS DAN KREATIVITAS PADA KARYAWAN

YANG BEKERJA DI MULTI LEVEL MARKETING

Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain PS. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti hubungan antara Asertivitas dengan Kreativitas. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Data penelitian diperoleh dari skala Asertivitas dan Tes Kreativitas Figural. Subjek dalam penelitian ini adalah para pekerja di Multi Level Marketing. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 83 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang positif antara Asertivitas dengan Kreativitas (rxy = 0.75, p < 0.01). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat asertivitas maka semakin tinggi tingkat kreativitas. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kreativitas berdasarkan jenis kelamin (F = 0.043, p> 0.05) dan Usia (F = 0.179, p>0.05). Kata Kunci : Asertivitas, Kreativitas, Multi Level Marketing.

Abstract

The purpose of this study is to investigate the relationship between Assertiveness and Creativity. The study was using a quantitative method. Data of research collected through Scale of Assertive and Creativity Figural Test. The subjects were employees whom work at Multi Level Marketing. The number of subject was 83. The Result of study show that was a possitive correlation between Assertiveness and Creativity (rxy =-0.75, p < 0.01). It means that, the higher of Assertiveness, the Higher of creativity. The study also finding there was no significant difference in creativity based on Sex (F = 0.0431, p > 0.05) and based on age (F = 0.179, p > 0.05) Key words : Assertiveness, Creativity, Multi Level Marketing..

Tanpa disadari, kemajuan yang terjadi di segala

bidang serta arus informasi yang demikian pesat menuntut pengembangan kemampuan kerja individu secara maksimal. Pengembangan kemampuan kerja individu ini dimaksudkan untuk membentuk atau menggali seluruh kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut sehingga mampu menjawab beratnya tantangan zaman. Individu dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, mampu bergerak dengan cepat serta dituntut untuk lebih mampu mencari alternatif baru dalam pemecahan masalah–masalah yang dihadapi.

Sumber daya manusia suatu bangsa merupakan faktor kompetisi yang dominan dalam era globalisasi saat ini. Usaha memberdayakan sumber daya manusia dan meningkatkan kualitasnya menjadi salah satu tugas pokok dalam manajemen modern (Salim, Swasono, Swasono, Abeng, Achir & Sumampouw, 1997).

Zainun (2001) mengatakan bahwa kualitas prima sumber daya manusia yang diharapkan antara lain berstamina tinggi, tangguh, cerdas, terampil, mandiri, memiliki rasa bertanggung

jawab, setia kawan, produktif, kreatif, inovatif, berorientasi masa depan, disiplin, berbudi luhur dan masih banyak lagi.

Meningkatkan sumber daya manusia adalah suatu prioritas penting dan merupakan kewajiban bagi sebuah negara. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini pada hakikatnya menuntut komitmen dalam dua hal yaitu: pertama, menemukan dan mengembangkan bakat–bakat unggul dalam berbagai bidang. Kedua, pemupukan dan pengembangan kreativitas yang pada dasarnya dimiliki setiap orang dan perlu dikenali dan dirangsang sedini mungkin (Munandar, 2002).

Tuntutan di atas juga menggejala diberbagai organisasi. Pihak manajemen sangat menyadari bahwa karyawan atau pekerja adalah aset yang paling berharga dan harus diberdayakan agar dapat memenuhi tuntutan perubahan yang cepat ini. Saat ini dibutuhkan karyawan yang tidak lagi hanya rajin dan masuk tepat waktu, tetapi juga karyawan yang responsif, siap dengan kondisi ketidakpastian, berjiwa wirausaha dan bersedia mengambil risiko

Page 10: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan...

53

serta punya kesediaan belajar terus menerus (Sinamo, 2001).

Dua faktor utama yang mempengaruhi proses kerja dalam mencapai prestasi kerja terbaik adalah dengan adanya keyakinan terhadap kemampuan diri yang disebut sebagai kepercayaan diri (Kumara, 1988) dan kemampuan individu dalam menghasilkan ide–ide atau gagasan untuk diolah kembali menjadi ide baru, yang diistilahkan dengan kreativitas (Rawlinson, 1986).

Dalam era globalisasi saat ini, kreativitas merupakan pendukung kerja yang penting, karena kemajuan suatu negara sangat terpengaruh pada sumbang kreatif berupa ide-ide baru dan teknologi baru dari masyarakat. Leong (2002) mengemukakan bahwa pengetahuan, globalisasi, kreativifitas dan inovasi saling terkait satu dengan yang lainnya. Dengan datangnya dunia cyber, globalisasi membuat kompetisi dan transfer pengetahuan semakin meningkat. Akibat globalisasi dan transfer pengetahuan, inovasi kini mendatangi kita dengan kecepatan yang berbahaya. Negara dan perusahaan membutuhkan inovasi agar dalam dunia yang berubah dengan cepat dan tidak bisa diramalkan ini dihadapi. Namun inovasi tidak dapat terjadi jika kreativitas tidak ditingkatkan.

Pada dasarnya kreativitas dapat terjadi di semua bentuk organisasi atau perusahaan, sejauh organisasi tersebut menghargai atau mendorong individu–individu untuk berkreasi. Jika tidak, maka individu yang kreatif akan menjadi frustrasi dan selanjutnya terjebak pada rutinitas yang ada. Berdasarkan hasil penelitian, untuk menciptakan kreativitas dibutuhkan lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan, penuh rasa humor, spontan serta memberi ruang bagi individu untuk melakukan berbagai permainan atau percobaan. Membentuk lingkungan yang kondusif seperti itu sangatlah susah bagi organisasi. Mendorong kreativitas pada dunia kerja dapat membentuk iklim penerimaan terhadap rasa humor, namun tetap memegang rasa teguh, rasa hormat, kepercayaan pada komitmen sebagai norma yang berlaku (Papu, 2001).

Sebenarnya potensi kreatif itu sendiri ada pada setiap orang. Orang kreatif dapat ditemui disetiap perusahaan. Seseorang dapat disebut kreatif kalau dia dapat menemukan cara baru dalam mengelola pekerjaannya. Khususnya mereka yang bekerja dalam bidang media massa, periklanan, public relation, pengembangan produk dan pemasaran, laboratorium pengembangan, penelitian dan menulis pidato. Namun tidak berarti diluar bidang

itu tidak ada orang yang kreatif. Menurut Lehman (2004) banyak juga ditemukan orang kreatif di bagian penjualan maupun kalangan eksekutif.

Kreativitas merupakan salah satu aset organisasi yang terbesar (Kilby, 2001), misi setiap bisnis, dan pusat keberhasilan organisasi berbasis pengetahuan (Ruthkowsky, dalam Dharma & Akib, 2004) yang menarik untuk dipahami. Daya tarik ini didasarkan pada anggapan bahwa setiap orang pada dasarnya kreatif atau berpotensi untuk menjadi kreatif (Kiron dalam Dharma & Akib, 2004) yakni memiliki sifat imajinatif, berbakat, inovatif, berdaya cipta, banyak akal, orisinil dan unik.

Harrington (dalam Woodman & Sawyer, 1993) mengemukakan bahwa kreativitas organisasi merupakan kombinasi proses kreatif, produk kreatif, individu kreatif, situasi kreatif dan bagaimana komponen tersebut berinteraksi bersama–sama.

Kreativitas merupakan langkah pertama dan inovasi sebagai langkah kedua untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bernilai dalam organisasi. Kreativitas merupakan esensi yang mencirikan eksistensi dan perkembangan organisasi, karena kreativitas dapat terlihat melalui produk, usaha, mode atau model baru yang dihasilkan oleh individu dan kelompok dalam organisasi. Dan kreativitas juga merupakan ramuan utama dalam layanan pelanggan, pengembangan produk dan strategi baru (Dharma & Akib, 2004).

Kilby (2001) menyatakan pekerja adalah salah satu sumber daya organisasi yang terbesar di tempat kerja dan kreativitas sebagai wujudnya. Urgensi memahami kreativitas sebagai esensi dan orientasi pengembangan sumber daya manusia dapat dipahami dari pernyataan Levesque (2003) yang menyatakan bahwa setiap orang diharapkan agar lebih kreatif dalam berpikir dan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda, karena cara lama tidak berfungsi dengan baik dan solusi masalah yang biasa digunakan seringkali tidak memecahkan masalah. Kreativitas yang muncul dapat membantu mencapai hasil yang luar biasa di tempat kerja, dalam tim atau untuk diri sendiri. Kreativitas menjadikan orang lebih kompetitif, produktif, dan efektif. Kreativitas lebih mempercepat pengembangan sikap baru dan mematahkan sikap lama, termasuk pola pikir yang tidak berguna. Kreativitas mendukung perluasan dan kemajuan cara berpikir dalam melihat masa depan (Dharma dan Akib, 2004).

Page 11: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

54

Begitu juga yang dikatakan Soedjatmiko (1990) bahwa hal yang terpenting dalam dunia yang terus berubah dan sangat kompetitif ini adalah kemampuan untuk kreatif terhadap tantangan baru dan kemampuan dalam mengantisipasi perkembangan serta inovasi.

Salah satu cara yang terbaik untuk mendorong kreativitas dan inovasi dalam sebuah perusahaan adalah dengan cara mengukur sejauh mana hal tersebut telah dilakukan. Perusahaan dianjurkan untuk memasukkan unsur kreativitas dan inovasi kedalam proses evaluasi kerja. Sebagai contoh memasukan unsur penilaian tentang berapa banyak ide dari seseorang atau kelompok (teamwork) yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan. Jika hal ini terkomunikasikan dengan baik maka setiap individu akan berusaha untuk memberikan ide secara konstruktif. Penempatan pegawai dengan konsep the right people with the right job juga merupakan cara yang tepat untuk menstimulasikan munculnya kreativitas dan inovasi. Hal ini dikarenakan penempatan pegawai pada posisi yang tepat akan mengurangi supervisi sehingga memberikan otonomi bagi individu dalam menyelesaikan masalah–masalah pekerjaannya (Papu, 2001).

Bagi organisasi yang berorientasi laba, berpikir dan melakukan inovasi hukumnya adalah wajib. Bila dikerjakan akan memberikan manfaat luar biasa, namun bila ditinggalkan akan mendapat malapetaka. Apalagi situasi ekonomi yang serba sulit seperti ini, di mana hampir semua acuan bisnis sudah tidak mengikuti aturan yang berlaku lagi. Inovasi dan kreativitas bagaikan dua sisi mata uang. Namun kreativitas tidak cukup hanya sekedar gagasan. Kreativitas harus bermanfaat dan mampu mempengaruhi cara melakukan bisnis (Subagjo, 2001). Kreativitas juga merupakan ramuan utama dalam layanan pelanggan, pengembangan produk dan strategi baru (Dharma dan Akib, 2001).

Kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dan lingkungan. Seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia berada, dengan demikian baik perubahan di dalam individu maupun dari lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreativitas (Munandar, 1995).

Para ahli mengasumsikan bahwa asertivitas penting juga bagi pengembangan kreativitas. Neilage dan Adam (1982) menyatakan bahwa asertivitas merupakan proses untuk menghilangkan hambatan personal sehingga dapat mengembangkan kreativitas. Asertivitas juga merupakan salah satu cara yang paling efektif

untuk mencapai kebebasan diri dan rasa kepercayaan diri. Di dalam asertivitas terkandung sifat–sifat rasa kepercayaan diri, kebebasan berekspresi secara jujur, tegas, dan terbuka tanpa mengecilkan atau mengesampingkan arti orang lain serta berani bertanggung jawab.

Perilaku asertif adalah perilaku yang mampu mengekspresikan hak, pikiran, perasaan dan kepercayaannya secara langsung, jujur dan dengan cara terhormat serta tidak mengganggu hak pribadi orang lain (Lane & Jakubowski dalam Hare, 1988)

Dengan berperilaku asertif pada hampir semua situasi, orang akan merasa respek, senang bekerjasama dengan individu yang bersangkutan. Perilaku asertif akan muncul pada saat orang melakukan hubungan interpersonal dengan orang lain. Pada saat hubungan tersebut pihak yang satu merasa nyaman dan pihak yang lain juga merasa nyaman (Townsend, 1993). Nyaman dengan dirinya ditunjukkan dengan tidak terlalu berlebihan dengan emosinya, memiliki toleransi, mempunyai self–respect dan mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalah. Sedangkan yang dimaksud dengan merasa nyaman dengan orang lain adalah mampu memberikan kasih dan mampu menerima perhatian orang lain, mempunyai hubungan personal yang memuaskan, serta suka dan percaya pada orang lain (Prabowo, 1995).

Begitu juga dalam lingkungan organisasi atau perusahaan, perilaku asertif sangat berpengaruh didalamnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Willis dan Daisley (1995) bahwa dalam lingkungan organisasi itu sendiri terjadi perubahan yang cepat dan berlangsung secara terus menerus, dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di bidang sosial, ekonomi dan teknologi. Perubahan tersebut akan mempengaruhi struktur hubungan informal antara manajer dan staf-stafnya, serta hubungan antara organisasi dengan lingkungan luar, baik itu masyarakat maupun dengan organisasi lain. Tapi semua situasi ini dapat dipecahkan secara cepat dan efektif dengan mengembangkan perilaku asertif.

Salah satu bentuk perusahaan yang ada di Indonesia sekarang adalah Net–work marketing atau lebih dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM). Dinamakan Net work marketing karena merupakan sebuah jaringan kerja pemasaran yang di dalamnya terdapat sejumlah orang yang melakukan pekerjaan pemasaran produk dan/atau jasa (Yusuf dalam Rozi, 2003).

Di saat Indonesia dilanda krisis dalam berbagai bidang khususnya bidang ekonomi, banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan tidak sedikit bank yang dilikuidasi. Namun dalam masa

Page 12: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan...

55

krisis yang terjadi sejak tahun 1990-an hingga sekarang, masih terdapat perusahaan-perusahaan yang berdiri dengan kokoh. Dan salah satu perusahaan tersebut adalah MLM. Ternyata perusahaan yang berbudaya seperti MLM ini telah banyak memberi manfaat bagi masyarakat Indonesia, yaitu selain memberikan insentif atau pendapatan tapi juga telah membantu negara dalam mengatasi masalah penggangguran.

Menurut Rozi (2003) MLM didefinisikan sebagai perpindahan suatu produk atau jasa dari produsen ke konsumen. Multi–level menunjukkan suatu sistem kompensasi (perhitungan kompensasi) yang diberikan kepada masyarakat atau mereka yang menyebabkan suatu produk atau jasa berpindah tangan. Multi berarti banyak atau lebih dari satu, sedangkan level lebih tepat diartikan sebagai ‘generasi’, karena itu sistem ini dapat disebut sebagai Multi–generation marketing.

Terdapat perbedaan atau keunikan pada perusahaan MLM. Istilah pemasaran jaringan pada MLM menunjuk pada metode dan mekanisme pemasarannya. Seorang distributor membangun sebuah organisasi atau jaringan pemasaran untuk menyalurkan produk dan jasa perusahaan di mana distributor tersebut bergabung. Pemasaran jaringan merupakan jaringan yang dibangun oleh distributor yang berbagi pengalaman dengan orang–orang sekitarnya. Sehingga cukup jelas bagi perusahaan seperti MLM, kreativitas dan asertivitas merupakan modal yang sangat berharga untuk mencapai produktivitas yang baik.

METODE PENELITIAN

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah kreativitas sebagai variabel tergantung dan asertivitas sebagai variabel bebas. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di Multi Level Marketing (MLM). Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 83 orang, dengan karakteristik: telah bekerja minimal 1 tahun, berusia antara 20 sampai dengan 30 tahun. Alat Ukur

Dalam penelitian digunakan skala untuk mengukur tingkat asertivitas dan tes kreativitas figural digunakan untuk mengukur tingkat kreativitas. Skala dan tes yang digunakan yaitu: 1. Skala Asertivitas

Alat ukur yang digunakan dalam mengukur aserivitas adalah skala asertivitas yang dirancang dengan menggunakan aspek-aspek dari perilaku asertif dikemukakan oleh Eisler, Miller, Hersen, Johnson dan Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980), yaitu: Complience, Duration of Replay, Loudness,

Request for New Behavior, Affect, Latency of Response dan Non Verbal Behavior. Setiap item pernyataan diberikan empat alternatif jawaban. Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala ini terdiri dari 41 item, dengan korelasi item dengan skor total item bergerak antara 0.303 sampai dengan 0.659. Hasil analisis reliabilitas dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0.922. 2. Tes Kreativitas

Alat yang digunakan untuk mengukur kreativitas adalah tes kreativitas figural tipe–B. Tes ini merupakan bagian dari Torrance Test of Creative yang disusun oleh Torrance (1974). Tes kreativitas figural tipe B ini terbagi atas tiga subtes yaitu: (1) Picture Construction, (2) Picture Completion, dan (3) Circles.

Subtes–subtes tersebut mengukur hal yang sama yaitu: kelancaran, keluwesan, elaborasi, dan orisinalitas. Picture construction mengungkapkan faktor orisinalitas dan perincian, Picture completion mengungkapkan faktor kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan perincian, sementara Circles mengungkapkan faktor kelancaran, keluwesan, orisinalitas dan elaborasi (Torrance, 1974). Dalam penelitian ini subtes yang digunakan adalah subtes yang ketiga yaitu Circles.

Reliabilitas keempatsubtes tes kreativitas figural ini berkisar dari 0.86–0,98 (Torrance dalam Prakoso, 1995). Validitas tes kreativitas terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003) dengan menggunakan subtes circles diperoleh koefisien validitas antara nilai keempatfaktor tersebut berkisar antara rxy = 0.62 sampai 0.67 pada taraf signifikansi p<0.01.

Pedoman penilaian terhadap masing–masing aspek kreativitas adalah sebagai berikut (Zulkarnain & Ginting, 2003): 1. Kelancaran

Penilaian aspek kelancaran didasarkan pada kuantitas gambar yang relevan yang dapat dihasilkan individu dalam waktu sepuluh menit, bukan didasarkan pada kualitas gambar. Respons tidak mendapat nilai jika gambar merupakan pengulangan dan tidak relevan. 2. Keluwesan

Skor keluwesan diperoleh dengan cara menjumlahkan kategori respons yang dapat dihasilkan oleh subjek. Pada bagian ini dapat dibuat kategori yang baru, jika respons yang diberikan subjek tidak dimasukkan dalam salah satu kategori yang ada.

Page 13: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

56

3. Orisinalitas Norma yang dikemukakan oleh Torrance

(1974) bahwa jawaban yang diberikan oleh 9 persen atau lebih dari sampel, maka subjek mendapat skor 0. Jawaban yang diberikan oleh 5 persen sampai 9 persen dari sampel, maka subjek mendapat skor 1. Jawaban yang diberikan oleh 2 persen sampai 5 persen dari sampel maka subjek mendapat skor 2, sedangkan jawaban yang diberikan oleh sampel yang kurang dari 2 persen, maka subjek mendapat nilai 3. Pemberian nilai tambahan orisinal diberikan apabila subjek menggabungkan beberapa kemungkinan, adapun ketentuan penilaiannya adalah penggabungan yaitu seperti tercantum pada Tabel. 1. Tabel 1. Orisinalitas Lingkaran

Banyaknya lingkaran Nilai

2 2 3 – 5 5

6 – 10 10 11 – 15 15

Lebih dari 15 25 4. Elaborasi

Skor perincian didasarkan pada penambahan detail yang diberikan pada ide gambar. Setelah tiap–tiap aspek memperoleh nilai kasar kemudian dari keempatnilai tersebut dijumlahkan sehingga diperoleh nilai total tes kreativitas untuk masing–masing subjek, dengan rumus:

Xt = F1 + F2 + O + E Xt : Nilai total dari tes kreativitas figural F1 : Nilai dari aspek kelancaran F2 : Nilai dari aspek keluwesan O : Nilai dari aspek orisinalitas E : Nilai dari aspek elaborasi Metode Analisa Data Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Korelasi product moment dari Pearson dan Analysis of Varians dengan menggunakan SPSS 11.0 for Windows. HASIL ANALISIS DATA 1. Hasil Analisis Data Penelitian

Analisis data dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment diperoleh hasil korelasi sebesar rxy = 0.75 dengan p<0.01. Kondisi ini menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara asertivitas dengan kreativitas pekerja. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat asertivitas seorang pekerja, maka semakin tinggi tingkat kreativitasnya.

2. Hasil Tambahan a. Gambaran Kreativitas ditinjau dari Jenis

Kelamin. Untuk mengetahui gambaran kreativitas berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan uji Anova maka diperoleh nilai F = 0.179 dengan p > 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan tingkat kreativitas ditinjau dari usia. Hal ini mengindikasikan bahwa usia kurang memiliki pengaruh terhadap tingkat kreativitas pekerja.

Tabel 2. Deskripsi Kreativitas Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Mean Std. Deviation Perempuan 62 91,0806 22,95562 Laki – laki 21 89,9048 20,89475

Total 83 90,7831 22,33287

Tabel 3. Deskripsi Kreativitas Berdasarkan Usia

Usia N Mean Std. Deviation 20 – 22 60 90,1167 23,91163 23 – 25 19 93,7895 18,90203 26 – 28 2 87,5000 17,67767 29 – 30 2 85,5000 12,02082

Total 83 90,7831 22,33287

Page 14: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan...

57

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan adanya

hubungan antara asertivitas dengan kreativitas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat asertivitas seseorang, maka semakin tinggi tingkat kreativitas yang dimiliki. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Neilage dan Adam (1982) yang mengatakan bahwa asertivitas merupakan proses untuk menghilangkan hambatan personal sehingga dapat mengembangkan kreativitas. Asertivitas merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai kebebasan diri dan rasa kepercayaan diri. Di dalam asertivitas itu sendiri terkandung sifat–sifat rasa percaya diri, kebebasan berekspresi secara jujur, tegas dan terbuka tanpa mengecilkan atau mengesampingkan arti dan hak orang lain serta berani bertanggung jawab.

Alberti dan Emmons (dalam Rakos, 1991) mengatakan asertif adalah perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman atau untuk menggunakan hak–hak pribadi tanpa melanggar hak orang lain. Sehingga dengan kemampuan untuk mengekspresikan diri ini seseorang dapat meningkatkan kreativitas pekerja.

French (2003) mengatakan dengan bersikap asertif, rasa cemas dan khawatir yang tidak beralasan dapat dihilangkan. Individu menjadi yakin dengan dirinya, jika yang dilakukan adalah benar. Oleh karena itu mengungkapkan keinginan dan hak dengan asertif perlu untuk kelangsungan sebuah kerja team dalam perusahaan atau organisasi.

Begitu juga bagi perusahaan seperti MLM harus bisa mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif, yaitu lingkungan yang asertif. Seorang bekerja harus mampu tampil percaya diri, tanpa rasa cemas dan mampu berkomunikasi dengan jujur terhadap pelanggannya. Dan hal itu akan tercapai bila perusahaan mampu mendorong dan menciptakan pekerja asertif, sehingga menjadi potensial saat terjun kelapangan yaitu masyarakat.

Dapat diasumsikan bahwa MLM adalah perusahaan yang berusaha menampilkan atau menciptakan pekerja–pekerja yang asertif. Karena perusahaan ini lebih mempercayai potensi yang ada pada masing–masing pekerja daripada proses birokrasi seperti perusahaan konvensional lainnya. MLM lebih percaya pada quality talk loudly dan jiwa perusahaan itu sendiri terletak pada prinsip–

prinsip, nilai–nilai, dan motivasi yang ada pada masing–masing pekerja. Terbukti kalau seorang pekerja ingin memiliki prestasi kerja yang baik, dalam menjalankan profesi MLM seperti presentasi dan rekruitment anggota baru, individu tersebut harus mampu menghilangkan hambatan personalnya, tidak boleh cemas dan mampu mengekspresikan keinginannya dengan baik. Dan semua itu akan tercapai dengan bersikap asertif. Oleh karena itu MLM sangat menyadari akan pentingnya asertivitas bagi perusahaanya.

Berdasarkan jenis kelamin tidak ditemukan adanya perbedaan kreativitas yang signifikan. Ini ditunjukkan dengan nilai F= 0.043, dengan p > 0.05. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Torrance (dalam Baker, Pomery & Rudd, 2001), bahwa tidak ada perbedaan kreativitas antara laki–laki dan perempuan. Kemudian juga didukung oleh Basaow (1999) yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kreativitas laki–laki dan perempuan.

Selain itu, Comeau dan Juraial (dalam Baker, Pomery & Rudd, 2001), mengatakan laki–laki dan perempuan sama–sama memiliki skor yang tinggi dalam kreativitas. Kadang–kadang perempuan lebih kreatif daripada laki–laki, tapi kadang–kadang laki–laki lebih kreatif daripada perempuan, tetapi kadang–kadang tidak ada juga perbedaan kreativitas antara laki–laki dan perempuan.

Berdasarkan usia juga tidak ditemukan adanya perbedaan kreativitas. Ini ditunjukkan dengan nilai F = 0.179, dengan p > 0.05. Dapat dilihat bahwa individu dengan usia 23–25 tahun memiliki nilai mean total tertinggi (x=93.7895), selanjutnya individu dengan usia 29–30 tahun memiliki mean total terendah (x=85.5).

Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Noor (2004) yang mengatakan bahwa daya kreatif seseorang akan menghilang selama proses menjadi dewasa. Kemudian Mcleish dan Arieti (dalam Hughes dan Noppe, 1985) mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi kreatif dan menunjukan kekreatifannya dengan menghasilkan sesuatu pada usia berapa pun dalam rentang kehidupannya.

Lehman (2004) mengatakan bahwa puncak dari kreativitas itu berada pada usia 35 tahun. Sementara itu, Simanton (dalam Santrock, 1997) berdasarkan data longitudinal, ia mengatakan bahwa puncak dari kreativitas itu berada pada akhir usia 30–an, sementara dalam penelitian ini menggunakan subjek dengan batas usia maksimal 30 tahun.

Page 15: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

58

SARAN Sejalan dengan kesimpulan yang telah dibuat,

maka berikut ini dapat diberikan saran: 1. Sebaiknya perusahaan MLM sering

mengadakan training tentang pentingnya bersikap asertif dan menumbuhkan kreativitas dalam bekerja.

2. Pekerja MLM dapat menerapkan cara–cara kreatif dalam menjalankan profesinya, sehingga akan ditemui cara–cara yang lebih banyak dan kreatif untuk meningkatkan penghasilan atau pendapatan pribadi.

3. Disarankan kepada para atasan atau senior untuk dapat lebih membimbing dan mengajari bawahannya bagaimana cara presentasi dan recruitment yang baik, sehingga akan mempercepat peningkatan produktivitas dan prestasi kerja para pekerja MLM.

4. Penting sekali pemimpin atau senior memberikan contoh yang teladan bagi bawahannya, seperti bekerja keras, optimis, dan tidak kenal menyerah.

5. Penting bagi perusahaan seperti MLM untuk mengembangkan budaya kerja team work, karena di dalam MLM hanya dengan sistem kerja sama yang baiklah pekerja dapat menjadi produktif.

DAFTAR PUSTAKA Baker, M., Pomery, C., & Rudd, R. (2001).

Relationship between critical and creative thinking. [Online] www.depts.ttn.edu. diakses Juni 2004.

Basaow, S. A. (1999). Gender stereotype and roles.

(third edition). California: Brooks Cole Publishing Company.

Dharma, S & Akib, H. (2004). Kreativitas sebagai

esensi dan orientasi pengembangan Sumber Daya Manusia. Jurnal Usahawan. No. 06 th. XXXIII Juni 2004.

French, A., (2003). Assertiveness. [Online]. www.

Surya.co.id/14092003/01a.pl.tml. diakses Desember 2004.

Hare, B., (1988). Be assertive. USA : The Guernsey

Press. Co, Ltd. Hughes, F.P. & Noppe, L.P. (1985). Human

Development across the life span. Minnesota : West Publishing Company.

Kilby, J., (2001). Creativity is one of the greatest assets in the work place. [Journal Online]. www.bizjournal.com/css/globa.css. diakses Mei 2003.

Lehman, H.C., (2004). Human Resource references.

[Online] www.hri.8m.com/reference/general_. htm. diakses Maret 2003.

Leong, P., (2002). I am crea8: Meraih Sukses

Dengan Kreativitas. Jakarta: PT. Prenhallindo. Levesque, L. C., (2003). Achieving top performance in

organization through breakthrough creativity. [Journal Online]. www.lynnelevesque.com/ acheiving.html. diakses maret 2003.

Martin, R.R., & Poland, E.Y. (1980). Learning to

change: A self-Management Approach to adjustment. New York: Mc.Graw Hill.

Munandar, S.C.U., (1995). Pengembangan

Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

_________, (2002). Strategi Mewujudkan Potensi

Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Noor, J. (2004). Sales energy. Jakarta: PT. Salemba

Emban Patria. Papu, J. (2001). Menumbuhkan Kreativitas

Ditempat Kerja. [Online]. www.epsikologi. com/manajemen/kreativitas.htm. diakses Desember 2004.

Prabowo, S. (1995). Memahami Dan Membangun

Perilaku Asertif. Makalah (tidak diterbitkan). Pada pelatihan Manajer & Supervisor IKIP Semarang.

Prakoso, H., (1995). Analisis Matriks “Multitrait-

Multimethod”: Validitas konstrak tes Kreativitas Verbal. Jurnal Psikologi. Tahun XXI. No.1.

Rakos, R.F., (1991). Assertive behavior: theory,

research & training. New York: Routledge, Chapman & Hall.inc.

Page 16: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Muhammad Rafki Syukri dan Zulkarnain Asertivitas dan Kreativitas pada Karyawan...

59

Rozi, M. F., (2003). Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia. Yogyakarta: Netbooks Press Yogyakarta.

Salim, E., Swasono, S.R., Swasono, Y., Abeng, T.,

& Sumampouw. M. P., (1997). Manajemen Dalam Era Globalisasi. Jakarta: PT. Gramedia.

Santrock, J.W., (1997). Life span development. 6 th

edition. New York: Times Mirror Higher Education Group.

Sinamo, J. H., (2001). Ethos 21: Etos Kerja

Professional di Era Digital Global. Jakarta: Penerbit Institut dharma Mahardika.

Soedjatmiko., (1990). Manusia Indonesia

menjelang abad 21 dan pendidikan. Parameter. No. 98. tahun IX. Februari. IKIP Jakarta.

Subagjo, B. (2001). Kreativitas dan Inovasi : Dua

Sisi Mata Uang Bagi Keberhasilan Organisasi. [Online]. www.hayati.ipb.com/rudyet/indiv 2001/bambang-subagjo.htm. diakses Desember 2004.

Torrance, E.P., (1974). Torrance test of creative thinking. Norms and technical manual. Benseville, IL : Scholastic Testing Service.

Townsend, A. (1993). Developing assertiveness.

London : Routledge. Willis, L. & daisley, J. (1995). The assertive trainer.

London : Mc Graw Hill Book Co. Zainun, B., (2001). Manajemen SDM Indonesia.

Jakarta: PT. Toko Buku Gunung Agung Tbk. Zulkarnain & Ginting, D.J.E., (2003). Kreativitas

di Tinjau Dari Tipe Kepribadian ekstrovert dan introvert pada mahasiswa. Jurnal Nusantara. Vol. 36. No. 4. Desember 2003.

Page 17: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

60

RESPONS EMOSI MUSIKAL DALAM GAMELAN JAWA

Djohan Salim

Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta

Intisari Penelitian dasar ini merupakan hasil eksperimen yang menggunakan teknik pengukuran continuous response yang menguji pengaruh stimulasi elemen tempo dan timbre gamelan Jawa terhadap respon emosi musikal pendengar. Subjek yang terdiri dari musisi (N=16) dan non-musisi (N=16) mendengarkan setiap gendhing sebanyak empat kali melalui pemutar CD baik dalam tempo asli dengan timbre besi maupun perunggu, dan dalam tempo modifikasi dengan timbre besi dan perunggu pula. Saat mendengarkan gendhing, subjek diminta untuk menekan tombol pada papan kibor komputer bila gendhing yang didengar terasa janggal atau berbeda dari biasa. Kemudian mereka diminta mengisi skala laporan diri tentang Respons Emosi Musikal di akhir gendhing. Penandaan akan terekam secara langsung di monitor komputer melalui piranti lunak Sound Forge 6.0. Hasil analisis statistik dan diskusi kelompok terpadu secara signifikan menunjukkan pengaruh dan perbedaan respons emosi musikal antara musisi dan non-musisi. Secara keseluruhan hasil penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu pada musik Barat yang menunjukkan bahwa elemen tempo lebih penting dari elemen timbre. Hal tersebut terbukti bahwa respons emosi musikal pendengar gamelan Jawa secara signifikan lebih dipengaruhi oleh elemen tempo dari pada timbre. Kata Kunci: tempo, timbre, gamelan, respons emosi musikal

Abstract

This basic research reports the results of an experiment using continuous response measurement tehnique that tested the effects of tempo and timbre stimuli in Javanese gamelan music on the musical emotional responses of listeners. Musicians (N=16) and non-musicians (N=16) listened to each song four times through CD’s player which are in original tempo with bronze’s and iron’s and then in modified tempo with bronze’s and iron’s too. Listeners were asked to push the button on the computer keyboard in real time when they feel that the song they hear is somehow strange and different from what they use to hear. Thereafter, the listeners will be asked to fill out the self report scale on Musical Emotional Responses at the end of each song. Marking will directly recorded at the computer through the Sound Forge 6.0 software. A statistical analysis and the result of focus group discussion showed that there were significant effects and differences on musical emotional responses between musicians and non-musicians. This entire experiment adjoin previous studies on Western music that tempo is a more important musical element than timbre. It was shown by evidence that musical emotional responses of the Javanese gamelan listener are significantly more affected by the tempo element compared to the timbre element. Key words: tempo, timbre, gamelan, musical emotional responses

Ketika mendengarkan sebuah musik, biasanya

tidak pernah menjadi perhatian kita apa sebenarnya yang menimbulkan rasa suka atau tidak suka dengan musik tersebut. Hal tersebut dikarenakan semua musik yang kita dengar sehari-hari atau dalam sebuah peristiwa khusus telah terkemas sedemikian rupa sesuai dengan budaya musik tersebut. Misalnya musik klasik, pop, rock, blues, jazz, samba yang berasal dari budaya barat.

Demikian pula musik India, Cina, Jepang, Timur-Tengah, Indonesia dari budaya timur.

Hampir dapat dipastikan bahwa musik tidak bisa lepas dari kehidupan manusia di mana saja. Musik telah menyatu dalam segala perilaku sosio-budaya manusia baik disadari atau tidak. Pada kenyataannya kita tidak bisa menghindari lingkungan musik mulai dari pelosok desa sampai kosmopolitan sekalipun. Karena sebagai bagian dari

Page 18: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Djohan Salim Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa

61

budaya, musik memiliki ‘mutual influences’ terhadap masyarakatnya. Apa yang direspons, dipersepsi, dinikmati dari sebuah musik akan kembali menjadi ide penciptaan musik berikutnya. Siklus saling terpaut ini berlangsung sepanjang masa sejalan dengan perkembangan kebudayaan di mana musik itu eksis (Hargreaves and North, 2003).

Masyarakat manapun pasti memiliki sekelompok kecil seniman musik atau yang berprofesi sebagai musisi, dan juga kelompok terbesar berupa penggemar musik yang bisa terdiri dari berbagai macam kalangan dan profesi. Bagi kedua kelompok tersebut fungsi musik akan berbeda. Bagi musisi, kemampuan diri dan perilakunya dengan sengaja ditujukan hanya untuk musik, baik sebagai profesi yang menghidupi atau untuk kepuasan batin yang tak terukur. Sementara penggemar atau penikmat umumnya hanya memfungsikan musik sebagai hiburan mungkin sebagian kecil mengapresiasi secara lebih serius (Djohan, 2003).

Maka, segala kekuatan musik penting untuk dieksplorasi. Dalam penelitian ini musik didefinisikan sebagai serangkaian suara yang diorganisir secara sedemikian rupa dengan menggunakan elemen-elemen yang menyertainya. Dengan kata lain sebuah kemasan musik sangat tergantung pada racikan elemen-elemennya. Salah satu elemen yang paling cepat dikenali dan dipersepsi dari musik adalah bila disertai lirik dalam bahasa yang dimengerti oleh si pendengar (Sloboda dan O’Neil, dalam Juslin & Sloboda, 2001). Bagaimana dengan musik yang tanpa syair, apakah tidak akan memberikan impresi tertentu?

Dari banyak hasil penelitian terbukti bahwa jenis musik tertentu dapat membangkitkan respons emosi pendengarnya. Mekanisme yang menjadi penyebabnya sampai sekarang masih terus diteliti termasuk aspek lintas budayanya. Sampai saat ini materi musik yang paling banyak diteliti adalah musik barat dengan segala validasi yang sangat terbatas untuk diaplikasikan. Musik barat cenderung menekankan bentuk dan formalisme dibandingkan musik non barat lainnya (Nettle, 1997).

Namun demikian menurut Kivy (1980) ekspresi musik sangat terkait dengan ‘emosi budaya’ seperti ekspresi gerak, cara bicara, sikap tubuh. Karena ‘emosi budaya’ berbeda maka hubungan antara berbagai stimuli elemen musik dan emosi tertentu yang dihasilkannya juga berbeda. Pendapat di atas didukung oleh Walker (1996) yang mengatakan bahwa musik pada setiap

budaya sangat bergantung pada lingkungan, teknologi, dan cara berpikir serta keunikan yang sulit diterjemahkan oleh budaya lainnya.

Ortony dan Turner (1990) menegaskan bahwa emosi musikal tidak persis sama dengan emosi sehari-hari. Menurutnya, kategori pokok mengenai emosi dalam musik penelitiannya meliputi rasa gembira, takut, marah dan sedih. Musik adalah materi budaya (seperti bahasa) yang dilengkapi sejenis semiotik dan kekuatan afektif yang digunakan seseorang dalam konstruksi sosial dari perasaan emosi. Pengaruh musik terhadap emosi tidak secara langsung tetapi interdependen pada situasi mendengarkannya (Sloboda dan O’Neil, dalam Juslin & Sloboda, 2001).

Yang diteliti dalam penelitian ini adalah musik gamelan dan masyarakat Jawa (musisi dan pendengar) khususnya Yogyakarta yang masih kuat dipengaruhi oleh adat istiadat Jawa. Diasumsikan faktor sosiobudaya yang melatarbelakangi respons emosi akan sangat dominan karena merupakan satu kesatuan antara pengalaman dan pengetahuan baik dari sisi makna musik maupun kehidupan sehari-hari.

Musik gamelan di Jawa tidak hanya dikenal sebagai ‘klenengan’ (pertunjukan musik gamelan Jawa) tetapi bagian tak terpisahkan dari budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Gamelan difungsikan mulai dari upacara religi, perkawinan dan sebagainya. Di negara-negara maju penelitian terhadap elemen tempo (cepat-lambat sebuah musik) telah banyak dilakukan (Levitin & Cook, 1996; Lapidaki, 2000), tetapi penelitian terhadap elemen timbre (warna suara dari material alat musik) masih sangat jarang. Elemen musik yang memiliki dimensi psikofisik, khususnya diketahui dapat menimbulkan respons emosi tertentu. Dimensi psikofisik tersebut didefinisikan oleh Balkwill dan Thompson (1999) sebagai ”semua sifat suara yang dapat dirasakan secara bebas melalui pengalaman musikal, pengetahuan atau inkulturasi”.

Isyarat psikofisik dapat dipahami sebagai stimuli yang terjadi dalam dimensi psikofisik yang memicu respons emosi pada pendengar. Secara spesifik dimensi itu dapat diketahui melalui manipulasi terhadap timbre (Behrens & Green, 1993), tempo (Crist, 2000; Gabrielsson & Juslin, 1996), pitch (Campbell, Krysciak & Schellenberg, 2000; Kaminska & Woolf, 2000), dan dinamika (Crist,2000; Kamenetsky, Hill & Trehub,1997). Keunikan musik gamelan Jawa dengan segala elemen musikalnya dapat menjadi bagian dari

Page 19: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

62

pengembangan interdisiplin bahkan multidisiplin baik dalam bidang, etnomusikologi, sosiologi, antrobiologi, psikoneurologi, psikofisiologi, psikologi musik maupun aplikasi terapi musik.

METODE PENELITIAN

Pada studi eksperimen ini, subjek diminta untuk memberikan respons secara langsung dengan menekan tombol pada papan keyboard komputer yang telah disediakan ketika mereka merasa ada sesuatu perasaan yang berbeda dari gendhing (musik instrumental dalam gamelan Jawa) yang diperdengarkan. Respons ini akan terekam di komputer yang menunjukkan pada detik ke berapa dan tempo bagian apa subjek merespons gendhing yang didengar. Gendhing soran (jenis gendhing yang berdinamika keras) dengan judul Ladrang Agun-Agun akan diperdengarkan dalam empat versi masing-masing dalam tempo asli timbre perunggu-besi dan tempo modifikasi timbre perunggu-besi. Subjek juga diminta mengisi skala ‘laporan diri’ (self report) yang mengukur respons emosi musikal sesaat setelah selesai mendengarkan masing-masing versi dari gendhing tersebut. Satu minggu kemudian diadakan pengumpulan data secara kualitatif tentang respons emosi musikal melalui Diskusi kelompok terarah dengan enam subjek yang dianggap tepat untuk dijadikan nara sumber.

Subjek

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 16 musisi dan 16 (non-musisi) dalam kelompok usia 30-55 tahun. Melalui purposive sampling, subjek musisi (pengrawit) dipilih berdasarkan profesi dan pengalaman lebih dari 25 tahun menggeluti dunia karawitan secara praktis dan berprofesi sebagai pengrawit. Subjek non-musisi adalah para pandhemen (penggemar) yang memiliki

pengalaman mendengar “uyon-uyon manasuka” dari siaran RRI Yogyakarta atau kerap menghadiri acara klenengan dan secara sosiodemografis terdiri dari berbagai latar belakang profesi. Subjek dikelompokkan menjadi dua kelompok yang terdiri dari 4 sub-kelompok. Masing-masing sub-kelompok terdiri dari empat subjek yang akan mendengarkan empat versi gendhing sebagai manipulasi.

Stimuli

Gendhing ladrang agun-agun diperdengarkan melalui CD audio yang dioperasikan oleh empat unit komputer. Setiap subjek mendengarkan gendhing melalui earphone. Durasi untuk gendhing dengan tempo asli baik timbre perunggu maupun besi selama 03.38 menit. Kemudian durasi untuk gendhing dengan tempo modifikasi baik dalam timbre perunggu maupun besi selama 05.12 menit. Total durasi waktu yang dibutuhkan subjek untuk mendengar keempat stimuli gendhing tersebut selama 18.10 menit. Prosedur

Satu minggu sebelum eksperimen dilakukan, subjek diberi skala deteksi suasana hati sebagai pra pengukuran untuk mengobservasi emosi mereka sebelum mendapat perlakuan. Skala berbentuk laporan diri ini dimodifikasi dari skala POMS (Profile of Mood State) yang digunakan untuk memantau suasana hati subjek baik selama satu minggu, tiga hari, satu hari atau pada saat itu juga. Skala ini dimaksudkan untuk memantau jika terjadi perbedaan suasana hati pada subjek yang kemungkinan disebabkan oleh kelelahan atau faktor lainnya.

Gambar 1. Rancangan eksperimen One Way Repeated Measure

Perlakuan

Kelompok I II III IV

Pengrawit X1.1 X2.1 Y1 X1.1 X2.2 Y2 X1.2 X 2.1 Y3 X1.2 X 2.2 Y4

Pandhemen X1.1 X2.1 Y1 X1.1 X2.2 Y2 X1.2 X 2.1 Y3 X1.2 X 2.2 Y4

Keterangan: X1.1 = tempo asli X1.1 X2.1 = TAP (Tempo Asli Perunggu) X1.2 = tempo modifikasi X1.1 X2.2 = TAB (Tempo Asli Besi) X2.1 = timbre perunggu X1.2 X2.1 = TMP (Tempo Modifikasi Perunggu) X2.2 = timbre besi X1.2 X2.2 = TMB (Tempo Asli Besi) Y = respons emosi musikal

Page 20: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Djohan Salim Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa

63

Subjek diminta masuk ke dalam ruangan ukuran 3 x 2,5 meter dengan diberi batas penyekat antar keempatsubjek agar tidak saling bertatapan. Warna dinding ruang hijau muda dengan penerangan lampu TL 40 watt dan bohlam putih 20 watt. Setelah dipersilahkan duduk dengan posisi rileks pada kursi dengan ketinggian 25cm dari lantai dan kemiringan sandaran kursi 15 derajat, eksperimenter memberi instruksi cara pengisian skala dan memencet tombol penanda (huruf “m”). Semua tombol pada papan jari komputer di tutup dengan karton tebal dan hanya satu tombol yang timbul.

Keempatperangkat komputer yang merekam penandaan ditangani oleh dua orang operator dibalik ruangan eksperimen. Penandaan pada komputer ini akan menjadi blue print dari respons yang dialami subjek pada bagian-bagian tertentu dari gendhing. Saat perlakuan berlangsung, subjek juga akan dimonitor melalui kamera video tersembunyi untuk merekam ekspresi wajah dan tubuh bagian atas secara acak. Perekaman dilakukan dari ruang operator melalui kaca satu

arah sehingga subjek tidak mengetahui bila sedang diamati. Rater akan melakukan penilaian atmosfir suasana reaksi emosi yang terjadi pada subjek melalui monitor TV dari ruang di ruang operator.

Melalui teknik counter balancing, maka masing-masing kelompok subjek mendengarkan 4 versi gendhing yang berbeda (tempo asli perunggu/TAP, tempo asli besi/TAB, tempo modifikasi perunggu/TMP, dan tempo modifikasi besi/TMB) dengan urutan yang berbeda. Setelah mendengarkan gendhing pertama, subjek diminta untuk mengisi skala respons emosi dan dilanjutkan dengan gendhing kedua, ketiga, dan keempat. Penyusunan faktor-faktor dalam skala respons emosi dilakukan berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum (1957) dengan menggunakan proses elisitasi dan memilih kata-kata sifat bipolar yang predominan. Skala deteksi emosi ini dimodifikasi dari skala yang disusun oleh Prawitasari (dalam Supratiknya; Faturochman & Haryanto, 2000) untuk pelayanan kesehatan.

Tabel 1. Ringkasan Repeated Measure antar Elemen

Sumber Variasi Tempo Timbre JK Db MK F p R Eta

Tempo Linear 2096.281 1 2096.281 100.833 .000 .771

Tempo * Status Linear 8224.031 1 8224.031 395.584 .000 .930

Error(Tempo) Linear 623.687 30 20.790

Timbre Linear 351.125 1 351.125 23.792 .000 .442

Timbre * Status Linear 703.125 1 703.125 47.643 .000 .614

Error(Timbre) Linear 442.750 30 14.758

Tempo * Timbre Linear Linear 536.281 1 536.281 50.722 .000 .628

Tempo * Timbre * Status

Linear Linear 52.531 1 52.531 4.968 .033 .142

Error (Tempo*Timbre)

Linear Linear 317.187 30 10.573

Gambar 2. Respons Emosi Musikal Pengrawit dan Pandhemen

Hipotesis Mayor

-10

0

10

Pengrawit & Pandhemen 6.32 -1.72 -6.19 -5.72 TAP TAB TMP TMB

Page 21: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

64

HASIL PENELITIAN Data penelitian diolah berdasarkan analisis

statistik yang menjelaskan pengujian kuantitatif dan hasil penelusuran secara kualitatif. Pada pembahasan analisis kuantitatif, dilakukan juga uji asumsi perlakuan untuk melihat kesesuaian antara data secara empiris yang diperoleh di lapangan dengan model analisisnya yang meliputi uji normalitas sebaran data dan uji homogenitas varian. Selanjutnya, hasil penelusuran kualitatif melalui Diskusi Kelompok Terarah (DKT).

1. Hasil Pengujian Hipotesis Utama

Berdasarkan analisis Tabel 1, maka hasil pengujian hipotesis utama yang berbunyi “Terdapat pengaruh stimulasi elemen tempo dan timbre dalam musik gamelan Jawa terhadap respon emosi musikal pendengar” secara signifikan diterima, dengan F hitung sebesar 4,968 (p < 0,05).

Hasil dalam Tabel 1 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari pemberian perlakuan stimulasi elemen tempo dan timbre terhadap respons emosi musikal.

Pada Gambar 2 menunjukkan nilai pengrawit dan pandhemen digabung untuk menunjukkan perbedaan respons emosi musikal yang terjadi setelah masing-masing kelompok menerima perlakuan eksperimen.

2. Hasil Tambahan

Hipotesis tambahan pertama berbunyi “Terdapat perbedaan pengaruh stimulasi elemen TAP dan TAB terhadap respon emosi musikal pendengar ".

Dari hasil analisis Tabel 2, diperoleh F hitung sebesar 17,020 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis tambahan pertama dalam penelitian ini diterima. Artinya stimulasi elemen TAP dan elemen TAB secara signifikan memberi pengaruh terhadap respons emosi musikal pada pengrawit dan pandhemen. Respons emosi musikal yang dipengaruhi oleh elemen TAP dan TAB pada pengrawit cenderung lebih menunjukkan respons emosi musikal yang positif dibandingkan dengan pandhemen.

Hipotesis tambahan kedua berbunyi: “ Terdapat perbedaan pengaruh stimulasi elemen TMP dan TMB terhadap respon emosi musikal pendengar”. Dari uji statistik diperoleh F hitung sebesar 39,519 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis tambahan kedua dalam penelitian ini diterima. Artinya elemen TMP dan elemen TMB secara signifikan memberi pengaruh terhadap respons emosi musikal pada pengrawit dan pandhemen.

Pada pemberian elemen TMB kedua kelompok sama-sama menunjukkan respons emosi musikal tidak menyenangkan dengan mean yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok pengrawit. Dengan demikian stimulasi elemen TMP dan TMB berpengaruh terhadap respons emosi musikal pendengar dengan respons emosi musikal tidak menyenangkan yang lebih kuat pada kelompok pengrawit.

Selanjutnya, hipotesis tambahan ketiga yang berbunyi “Terdapat perbedaan pengaruh antara stimulasi elemen TAP dan TMP dengan TAB dan TMB terhadap respon emosi musikal pendengar” juga diterima. Diperoleh F hitung sebesar 93,0444 (p < 0,01). Artinya pemberian stimulasi elemen TAP dan TMP maupun TAB dan TMB secara signifikan memberi pengaruh terhadap respons emosi musikal pada pengrawit dan pandhemen.

Berdasarkan perolehan data naratif melalui penelitian kualitatif, dilakukan telaah terhadap ringkasan DKT dan analisis isi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa teknik, kepekaan, dan pengalaman para pengrawit secara nyata lebih terasah untuk merespons perbedaan antara gendhing yang dimainkan dengan alat dan cara yang benar dengan gendhing yang dimodifikasi. Beberapa dimensi seperti “biasa dan tidak biasa”, “gojag gajeg dan mantep”, “sesuai dan tidak sesuai”, dengan segera tertangkap oleh para pengrawit.

Tabel.2 Ringkasan Repeated Measure Antar Status

Sumber Variasi Stimulus JK db MK F P Stimulus Level 1 vs. Level 2 1755.281 1 1755.281 80.464 <.001 Level 2 vs. Level 3 731.531 1 731.531 16.529 <.001 Level 3 vs. Level 4 19.531 1 19.531 .677 >.050 Stimulus * Status Level 1 vs. Level 2 371.281 1 371.281 17.020 <.001 Level 2 vs. Level 3 4117.781 1 4117.781 93.044 <.001 Level 3 vs. Level 4 1140.031 1 1140.031 39.519 <.001 Error(Stimulus) Level 1 vs. Level 2 654.438 30 21.815 - - Level 2 vs. Level 3 1327.688 30 44.256 - -

Level 3 vs. Level 4 865.438 30 28.848 - -

Page 22: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Djohan Salim Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa

65

Semua subjek yang terlibat dalam DKT sepakat bahwa tempo (Jawa: laya) merupakan elemen terpenting dalam gendhing. Walaupun demikian, elemen ini sangat jarang dibicarakan di kalangan musisi karawitan karena dianggap sudah otomatis tercakup dalam irama. Bahwa kecepatan sebuah irama akan mempengaruhi gendhing dan irama akan dipengaruhi oleh tempo adalah sebuah kewajaran. Sehingga dikatakan bahwa tempo merupakan “nyawa” dari gendhing. Karena itu, jika terjadi perubahan terhadap tempo, maka sebuah gendhing akan kehilangan maknanya.

Properti terbanyak yang dicatat dari DKT menunjukkan, para pengrawit dan pandhemen banyak sekali mengungkapkan perasaan emosi mereka dengan kosa kata yang spesifik untuk menunjukkan ketidaknyamanan yang diakibatkan perubahan tempo. Ungkapan seperti wangun–ora wangun, menunjukkan “ketidakrelaan” bahwa tempo sebuah gendhing mengalami modifikasi. Sebagai orang-orang Jawa, kata-kata yang berkaitan dengan kepantasan pada umumnya bermakna dalam karena hanya diungkapkan jika sangat terpaksa, Hal ini berkaitan dengan budaya Jawa yang sangat hati-hati dalam pengungkapan rasa serta cenderung menghindari konflik (Mulder, 2001; Endraswara, 2003).

Rangkaian hasil analisis seperti yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pertanyaan penelitian pertama mengenai tempo sebagai elemen penentu dalam musik gamelan Jawa yang memiliki kekuatan untuk menimbulkan respons dengan berbagai persepsi bagi pendengarnya dapat diterima. Dengan kepekaan, pengetahuan dan pengalaman mereka, kelompok pengrawit yang dalam kesehariannya memainkan gamelan segera terpengaruh.

Sebaliknya, respons emosi yang ditimbulkan oleh timbre dalam gamelan Jawa tidak semata-mata disebabkan oleh aspek dan hukum fisika bunyi tetapi lebih oleh persepsi pendengar terhadap timbre yang dipengaruhi aspek kepekaan, pengalaman, dan aspek sosiobudaya. Dengan demikian pertanyaan penelitian kedua terjawab.

Sesuai dengan hasil diskusi di atas tampak jelas bahwa komentar mengenai respons emosi musikal jauh lebih banyak pada tempo dari pada timbre. Hal ini dengan asumsi bahwa timbre memberikan pengaruh tetapi tidak sebesar yang terjadi pada tempo. Maka pertanyaan penelitian ketiga yang mengatakan bahwa respons emosi musikal pendengar musik gamelan Jawa lebih kuat dipengaruhi oleh elemen tempo dari pada elemen

timbre dapat dijelaskan dengan pembahasan di atas.

Penelitian ini juga menjawab beberapa tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan penelitian pertama yaitu menguji pengaruh elemen tempo dalam musik gamelan Jawa terhadap respons emosi musikal pada pengrawit dan pandhemen di mana faktor musikal yang menjadi perlakuan adalah elemen tempo yang dimodifikasi dengan pembalikan pada bagian-bagian cepat-lambat gendhing tersebut. Reaksi yang didapat dari perubahan tempo yang di sengaja, baik pada gamelan perunggu maupun besi mendukung pendapat Sloboda (1991) bahwa pada beberapa kasus, musik dapat membangkitkan emosi secara intens.

Menurut Lerdahl dan Jackendoff (1983), bila seorang pendengar “menjadi familiar dengan idiom dan mengatribusi musiknya maka ekspresi tidak berubah bahkan akan mendesak melalui cara-cara yang khusus”. Juga banyak bukti penelitian yang menjelaskan bahwa secara budaya seorang anak akan menunjukkan respons secara spontan atau di bawah sadarnya ketika mendengar musik dari lingkungan sosialnya (France´s, 1988; Zenatti, 1993). Dengan demikian faktor budaya memiliki peran penting bagi seseorang untuk merespons musik terutama dari latar belakang seni budayanya sendiri.

Dalam penelitian ini kelompok pengrawit menunjukkan bahwa mereka memiliki kepekaan untuk membedakan rasa musikal yang didengar sesuai dengan profesi yang digeluti setiap hari. Profesi seorang pengrawit dijalani dengan aktivitas latihan, rekaman, dan pentas. Hasil ini sesuai dengan pendapat Dowling (dalam Tighe & Dowling 1986) bahwa kemampuan itu diperoleh karena pengalaman dan lingkungan budaya.

Perspektif antropologis dirasa penting karena musik gamelan Jawa secara geografis terbagi dalam beberapa kantong budaya di Jawa Tengah. Musik gamelan selain ada dalam budaya keraton (misal, gaya Yogyakarta-Surakarta) juga ada di lingkungan budaya luar keraton (Kedu-Banyumas). Budaya ini sangat jelas tercermin dalam interpretasi musik gamelan yang pada akhirnya menghasilkan perbedaan ekspresi pemain dan pendengar. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons emosi musikal antara pengrawit dan pandhemen.

Respons emosi yang diberikan oleh kelompok pengrawit dan pandhemen dalam penelitian ini selain diperoleh secara langsung melalui

Page 23: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

66

‘penandaan’ pada komputer (continuous response), mengisi dua skala, satu skala pengamatan yang dilakukan oleh rater dan juga diskusi. Secara statistik, hipotesa dalam penelitian ini dapat diterima dengan hasil yang signifikan.

Dari aspek budaya, respons emosi yang tidak tampak secara langsung juga dikarenakan kehidupan dalam masyarakat Jawa tampaknya tidak menyisakan banyak ruang bagi ekspresi individual. Ekspresi personal terutama yang memperlihatkan emosi adalah hal yang tidak sopan, memalukan dan merupakan pelanggaran privasi orang lain. Selain itu juga dikatakan bahwa menghindari kemarahan memang akan kondusif bagi kemapanan psikologis (Mulder 2001).

Secara neurologis, ekspresi wajah dapat dikatakan sebagai hasil dari sistem perilaku adaptif yang diimplementasikan melalui distribusi jaringan saraf termasuk sistem limbik dan secara khusus amygdala. Sementara emosi musikal dapat terjadi dengan tiba-tiba secara otomatis dan dengan perubahan tanpa sengaja pada respons fisiologis dan perilaku. Konsepsi ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa “ Kita sering merasakan emosi yang terjadi pada kita bukan seperti apa yang kita pilih. Kita tidak menentukan kapan harus memiliki atau tidak emosi tertentu” (Ekman, dalam Ekman & Davidson, 1994).

Namun demikian pada penelitian ini, ekspresi wajah yang direkam melalui ‘hidden camera’ menunjukkan perubahan yang tidak signifikan untuk seluruh subjek kecuali beberapa subjek dari masing-masing kelompok. Demikian pula respons tubuh bagian atas tidak terlalu tampak, hal ini bisa dikatakan sebagai pengaruh dari budaya Jawa yang tidak spontan dalam merespons hal-hal yang belum diketahui secara pasti. Dengan demikian, hal ini menegaskan kebenaran jawaban terhadap pertanyaan makna elemen tempo dan timbre dalam musik gamelan Jawa dalam perannya untuk menimbulkan respons emosi musikal.

Kajian berikutnya adalah mengenai peran pengalaman dan faktor-faktor sosiobudaya dalam mempengaruhi persepsi pendengar sehingga respons emosi yang ditimbulkan oleh timbre dalam gamelan Jawa tidak semata-mata disebabkan oleh aspek dan hukum fisika bunyi. Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden (pengrawit-pandhemen) yang secara sosiologis berbeda di mana kelompok pengrawit kemungkinan besar memberikan respons karena faktor intra musikal sebagai bagian dari akumulasi referensi

pengalaman, pengetahuan, dan kepekaan terhadap musik gamelan. Sebaliknya dengan kelompok pandhemen yang kemungkinan besar memberi respons karena faktor ekstra musikal. Sehingga melalui aspek sosiologis diharapkan fokus asosiasi pendengar dengan musik dan emosi terjembatani.

Akhirnya, penggunaan dua pendekatan dalam penelitian ini menjadi metode triangulasi dalam memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan menjadi langkah awal untuk memverifikasi respons emosi musikal dan mengembangkan penelitian lebih lanjut dalam bidang psikologi musik. Namun demikian, dalam penelitian ini masih terdapat beberapa keterbatasan yang penting untuk penelitian sejenis, diantaranya pra pengukuran, alat ukur, skala deteksi emosi, karena itu pemahaman yang lebih baik, mungkin dapat menjelaskan reaksi emosi musikal yang lebih bermakna dan menyeluruh.

DISKUSI

Penelitian dalam bidang psikologi musik, sudah banyak menemukan keterkaitan antara musik dan emosi. Penemuan yang telah dilakukan sampai saat ini masih dalam taraf eksploratoris karena emosi tidak dapat disimpulkan secara sederhana, demikian pula musik sebagai produk perkembangan budaya. Konsekuensi lain adalah pemaknaan musik juga harus mempertimbangkan aspek budaya. Seperti yang dikatakan Dowling & Harwood (1986) bahwa dalam setiap budaya terdapat tanda-tanda musikal sebagai karakter simbolik yang dapat menimbulkan emosi.

Hipotesis dalam penelitian ini sesuai dengan teori emosi dari Meyer (1956) yang mengatakan bahwa ada elemen tertentu dalam musik seperti melodi atau irama yang dapat menghasilkan sesuatu di luar dugaan. Manipulasi elemen tempo dalam penelitian ini sangat terasa terutama saat dilakukan pembalikan pada irama 1 dan irama 2. Walaupun perubahan yang terjadi tidak dilakukan dengan tiba-tiba tetapi respons emosi lebih dominan dari elemen tempo tersebut .

Demikian pula teori yang mengatakan bahwa elemen yang potensial menimbulkan efek relaksasi adalah tempo dan timbre yang stabil atau perubahan secara berangsur-angsur juga tidak terbukti dalam penelitian ini (Wigram, Pedersen dan Bonde, 2002). Karena perubahan tempo dengan transisi yang berangsur-angsur tetap menimbulkan respons tidak menyenangkan. Elemen timbre tidak menunjukkan signifikansi yang tinggi dalam eksperimen ini karena kuatnya

Page 24: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Djohan Salim Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa

67

pengaruh tempo. Dari diskusi diketahui bahwa beberapa subjek bahkan tidak dapat membedakan timbre dari gendhing yang didengar karena perhatian dan perasaan mereka sedemikian kuat dipengaruhi oleh tempo.

Elemen tempo juga diakui oleh subjek sebagai “nyawa” atau “roh” dari sebuah musik. Karena apa pun bentuk, jenis, dan teknik musik yang memadai baik melodi, irama, dan timbre, kalau terjadi penempatan tempo yang tidak tepat, maka musik yang dihasilkan akan berbeda sama sekali dengan yang diharapkan. Elemen tempo adalah elemen natural yang dimiliki dan dirasakan semua manusia tetapi dengan pemaknaan yang berbeda.

Beberapa subjek terlatih mengakui bahwa ada rasa tidak menyenangkan pada beberapa gendhing yang diperdengarkan tetapi tidak reaktif dalam menyikapinya dikarenakan mereka sangat mengenal gendhing tersebut baik secara kognitif maupun afektif. Kondisi ini didukung oleh teori yang menyebutkan bahwa ada perbedaan respons emosi antara pendengar yang terlatih dan yang tidak terlatih (Waterman, 1996). Terutama respons pengrawit, karena memiliki kemampuan analisis secara kognitif.

Sebagian subjek pengrawit bereaksi secara spontan terhadap perlakuan yang diberikan dan sebagian tidak bereaksi sama sekali. Hal itu bisa disebabkan oleh faktor individu yang potensial mempengaruhi respons emosi seperti, pengalaman dalam bermain gamelan. Makin lama pengalaman bermain gamelan yang dimiliki pengrawit maka kepekaan dalam mendengarkan gendhing akan semakin akurat. Sementara bagi pandhemen, reaksi yang terjadi lebih ditentukan oleh pengalaman mendengar. Karena sebagai pendengar pasif dan tidak aktif bermain gamelan maka kepekaan dalam mendeteksi gendhing yang didengar belum tentu sebaik pengrawit. Kedua hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Abeles dan Chung (1996). Dalam penelitian ini, pengaruh elemen timbre terhadap respons emosi tampak tidak terlalu signifikan. Ini sejalan dengan teori emosi dari Berlyne (1971) yang mengatakan bahwa tingkat di mana suara musik terdengar familiar akan menentukan apakah musik yang dialami sebagai menyenangkan atau tidak.

Hasil penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya bahwa tempo adalah elemen yang penting, begitu pula dengan respons yang ditimbulkannya. Respons emosi musikal tetap lebih kuat terjadi karena keputusan pendengarnya yang banyak dipengaruhi oleh latihan musik. Dengan

demikian, penelitian yang berkaitan dengan pengaruh musik terhadap emosi membutuhkan pengetahuan sumber-sumber kausalitas. (Collier, 2002). Maka kelengkapan dari penelitian eksperimental sebaiknya dilengkapi pula dengan studi ‘impressionistic’ tentang ekspresi, misal melalui kajian sosiologi (Harris & Sandresky, 1985; Middleton, 1990), filsafat (Davies, 1994) dan psikoanalisa (Noy, dalam Feder, Karmel & Pollock 1993).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan secara umum bahwa respons emosi musikal merupakan bagian dari emosi estetis yang belum banyak diteliti dalam bidang psikologi. Respons yang diakibatkan oleh stimuli elemen musikal berupa tempo dan timbre hanya sebagian dari penelitian terhadap efek elemen musik lainnya. Walaupun hanya dua elemen musikal yang digunakan dalam penelitian ini, namun reaksi berupa respons emosi yang ditimbulkannya menunjukkan perbedaan signifikan antara subjek pendengar yang terdiri dari kelompok pengrawit (musisi) dan pandhemen (non musisi).

Hasil penelitian yang diperoleh melalui eksperimen ini juga memberikan informasi mengenai pentingnya elemen tempo sebagai stimulator respons emosi musikal. Terujinya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maupun ungkapan kualitatif yang terucap dari subjek penelitian menunjukkan hal tersebut. Selain itu, pengaruh stimulasi elemen tempo dan timbre serta efek terhadap respons emosi musikal yang ditunjukkan oleh penelitian ini melengkapi hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Secara keseluruhan, sebagai penelitian dasar, pengolahan terhadap rangkaian eksperimen ini menunjukkan bahwa stimulasi elemen tempo asli perunggu dan tempo asli besi serta tempo modifikasi perunggu dan tempo modifikasi besi berpengaruh secara sangat signifikan terhadap respons emosi musikal pendengarnya. Terlihat pula adanya perbedaan pengaruh antara stimulasi elemen tempo asli perunggu dan tempo modifikasi perunggu dengan tempo asli besi dan tempo modifikasi besi terhadap respons emosi musikal pendengar, selain juga bahwa kelompok pengrawit menunjukkan kepekaan yang lebih tinggi dari pada kelompok pandhemen dalam membedakan tempo dan timbre baik asli maupun modifikasi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengembangan disiplin psikologi

Page 25: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

68

musik di Indonesia walaupun saat ini tidak dimaksudkan untuk diaplikasikan atau menjawab semua pertanyaan yang terkait dengan respons emosi musikal. Penelitian ini masih dirasa perlu menyertakan lebih rinci aspek fisiologis agar evaluasi terhadap perilaku fisik selama eksperimen sebagai bagian dari respons emosi dapat lebih detail.

Respons emosi musikal adalah terminologi respons emosi yang tidak terdapat dalam mainstream psikologi emosi umum. Berdasarkan pemahaman dari aspek antropologis, sosiologis maupun filosofis musik yang lebih dikenal adalah terminologi emosi estetis. Sementara istilah emosi musikal adalah salah satu bagian dari terminologi tersebut. Respons emosi musikal memiliki sumbangan atau paling tidak akan melengkapi pengembangan pengetahuan tentang emosi dan membuka bidang kajian baru yaitu psikologi musik.

Hasil akhir penelitian ini melengkapi hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap musik Barat bahwa tempo adalah elemen yang penting dalam musik, karena respons emosi musikal pendengar musik gamelan Jawa dalam penelitian ini teruji lebih kuat dipengaruhi oleh elemen tempo dari pada elemen timbre. Apabila penelitian sejenis dapat dilakukan di berbagai wilayah nusantara maka pengembangan selanjutnya adalah pada aplikasi terapi musik yang khas Indonesia atau pemanfaatan di luar kepentingan musik. Sehingga terbuka kemungkinan luas disiplin psikologi musik Indonesia untuk sejajar dengan disiplin sejenis secara internasional.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa masih terbuka kesempatan luas untuk menggali potensi seni budaya lokal yang bermanfaat tidak hanya bagi pengembangan ilmu pengetahuan tetapi juga bagi makna sehat bangsa ini. Oleh karena itu peneliti merekomendasikan kepada peneliti bidang psikologi dan musikologi agar dapat lebih banyak berperan dengan mulai menyelidiki aspek saintifik dan aplikatif dari potensi seni budaya nusantara.

Sesuai dengan hasil penelitian ini baik secara metodologis maupun teoritis sebagai pendukung yang penting, kesempatan untuk melakukan interdisiplin juga perlu ditumbuhkembangkan di lembaga pendidikan tinggi. Mengingat selama ini penelitian lintas disiplin masih belum banyak dilakukan ataupun didukung oleh lembaga

pendidikan tinggi. Topik interdisiplin yang digali dari budaya nusantara secara langsung akan memberikan warna dan menunjukkan kepada dunia luar bahwa bangsa ini memiliki keistimewaan dengan seni budaya tradisinya.

Oleh karena itu metode penelitian dan cara berpikir yang non-paradigmatik dirasa perlu dikembangkan. Agar situasi dan suasana kehidupan akademis selalu inovatif maka hal-hal yang dirasa baru tetapi bermanfaat perlu diperhatikan secara seksama. Secara khusus bagi pengembangan disiplin psikologi musik, penelitian yang bersifat dasar masih perlu dilakukan. Ke depan diharapkan peneliti Indonesia dapat berperan secara aktif melalui hasil penelitiannya bagi pengembangan psikologi musik secara global. DAFTAR PUSTAKA Abeles, H.F. & Chung, J.W. (1996). Responsses to

music. In Handbook of music psychology (2nd ed.) (ed. D.A.Hodges), pp.285-342. San Antonio,TX: IMR Press.

Balkwill, L.L.,& Thompson,W.F. (1999). A cross-

cultural investigation of the perception of emotion in music: Psychophysical and cultural cues. Music Perception, 17, 43-64.

Behrens, G.A. & Green, S. (1993). The ability to

identify emotional content of solo improvisations performed vocally and on three different instruments. Psychology of Music. 21,20-33.

Berlyne, D. E. (1971). Aesthetics and psychobiology.

New York: Appleton Century-Crofts. Campbell, R.J., Krysciak, A.M.,& Schellenberg,

E.G (2000). Perceiving emotion in melody: Interactive effects of pitch and rhythm. Music Perception, 18, 155-171.

Collier, G.L. (2002). Affective synesthesia: Extracting

emotion space from simple perceptual stimulus. Motivation and Emotion, 20, 1-32.

Crist, M.R. (2000). The effect of tempo and dynamic

changes on listener’s ability to identify expresive performances. Contribution to Music Education, 27, 63-77.

Davies, S. (1994). Musical meaning and expression.

Ithaca, New York: Cornell University Press.

Page 26: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Djohan Salim Respons Emosi Musikal dalam Gamelan Jawa

69

Djohan. (2003). Psikologi Musik. Yogyakarta. Penerbit Buku Baik.

Dowling, W. J & Harwood, D.L. (1986). Music

cognition. New York: Academic Press. Endraswara. S. (2003). Budi Pekerti Dalam Budaya

Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.

Feder, S., Karmel, R. L. and Pollock, G. H.

(Eds) (1993), Psychoanalytic Explorations in Music. Madison, Connecticut: International Universities Press.

France´, S,R. (1988). The Perception of music (trans.

W.J. Dowling) (Hillsdale, NJ, Erlbaum). Gabrielsson, A & Juslin, P.N. (1996). Emotional

expression in music performance: Between performer’s intention and the listener’s experience. Psychology of Music,24.68-91.

Harris, C. T., & Sandresky, C. (1985). Love and

death in classical music: Methodological problems in analyzing human meaning in music. Symbolic Interaction, 8, 291-310.

Hargreaves,D., & North,A.C. (2003). The social

psychology of music. NY. Oxford University Press.

Kamenetsky, S.B., Hill, D.S & Trehub, S.E.

(1997). Effect of tempo and dynamic on the perception of emotion in music. Psychology of Music, 25, 149-160.

Kaminska, Z. & Woolf, J. (2000). Melodic line and

emotion: Cooke’s theroy revisited. Psychology of Music, 28, 133-153.

Kivy, P. (1980). The corded shell: reflection on musical

expression. Princeton, NY: Princeton University Press.

Lapidaki, E. (2000). Stability of tempo perception in

music listening. Music Education Research 2 (1):25-46.

Lerdahl, F. & Jackendoff, R. (1983) A Generative

Theory of Tonal Music (Cambridge, MA, MIT Press).

Levitin,D.J & Cook,P.R. (1996). Memory for musical tempo : additional evidence that memory is absolute. Perception and Psychophysics, 58: 927-935.

Meyer, L. B.(1956). Emotion and meaning in music.

Chicago: University of Chicago Press. Middleton, R. (1990). Studying popular music. Milton

Keynes, UK: University Press. Mulder, N. (2001). Mistisisme Jawa ideologi

Indonesia. Yogyakarta: Lkis. Nettle, B.,Capwell,C., Bohlman.P.V., Wong,

I.K.F. (1997). Excursions in world music. Upper Saddle River, N.J: Prentice Hill.

Ortony, A & Turner, T.J. (1990). What’s basic about

basic emotion?. Psychological Review, 97,3.315-531. Osgood,CE., Suci,G.J.,& Tannenbaum,P.H.

(1957). The measurement of meaning. Urbana,IL: University of Illionis Press.

Sloboda, J.A. (1991). Music structure and emotional

response: some empirical findings. Psychology of Music, 19, 110-120.

Sloboda, J.A. & O’ Neill, S.A. (2001). Emotions in

everyday listening to music. In P.N. Juslin & J.A. Sloboda (Eds.),(2001) Music and emotion: theory and research (pp.415-30). NY: Oxford University Press.

Tighe, T.J. & W.J. Dowling (Eds) (1986) Psychology

and Music: The understanding of melody and rhythm. Hillsdale, NJ, Erlbaum.

Supratiknya; Faturochman & Haryanto, S.(2000)

Tantangan Psikologi Menghadapi Milenium Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Walker, M. (1996). Emotional responses to music:

Implicit and explicit effects in listeners and performers. Psychology of Music, 24. 53-67.

Waterman, M. (1996). Emotional responses to music.

Implicit and explicit effects in listeners and performers. Psychology of Music, 24,53-67.

Page 27: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

70

Wigram, T., Pedersen, I,N., & Bonde, O,L. (2002). A comprehensive guide to Music Therapy : theory, clinical practice, research and training. London: Jessica Kingsley Publishers.

Zenatti, A. (1993). Children’s musical cognition and taste, in: Tighe, T.J. & Dowling, W.J. (Eds) Psychology and Music. The Understanding of melody and rhythm, pp. 177–196.Hillsdale, NJ, Erlbaum.

Page 28: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni Hubungan Persepsi tentang Kompetensi...

71

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG KOMPETENSI

PROFESIONAL GURU MATEMATIKA DENGAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SMA

Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni

P S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa kelas I SMA Negeri 1 Medan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa kelas I SMA Negeri 1 Medan. Data diukur dengan menggunakan Skala Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika dan Skala Motivasi Belajar Matematika. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas I SMA Negeri 1 Medan dengan jumlah 118 orang. Hasil utama penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa kelas I SMA Negeri 1 Medan, dengan r = 0.244 dan p = 0.004 (p<0.05). Dari hasil kategorisasi data empirik variabel persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika diketahui bahwa sebagian besar subyek berada pada kategori persepsi tidak tergolongkan, sedangkan dari hasil kategorisasi data empirik variabel motivasi belajar matematika diketahui bahwa sebagian besar siswa berada pada kategori motivasi sedang. Kata Kunci: Persepsi, Kompetensi Profesi Guru, Motivasi Belajar, Matematika.

Abstract

The aim of this study is to know about the correlation between the perception about the professional competencies of mathematic teacher and learning motivation of mathematic of the first year students of SMA Negeri 1 Medan. The hypothesis is, there was a positive correlation between the perception about the professional competencies of mathematic teacher and motivation of learning mathematic of the first year students of SMA Negeri 1 Medan. Data of research collected through scale of Perception to Teacher Professional Competencies and Scale of Mathematic Learning Motivation The subjects were the first year students of SMA Negeri 1 Medan, where the numbers of subject were 118. The main result indicates that there was a positive correlation between the perception about the professional competencies of mathematic teacher and learning motivation of mathematic of the first year students of SMA Negeri 1 Medan, where r = 0.244 and p = 0.004 (p < 0.05). Based on the result of empirical data categorization of the perception about the professional competencies of mathematic teacher, there was most of subjects in exclude category of perception, while based on the result of empirical data categorization of the motivation learning of mathematic, there was most of subjects in average category of motivation. Key words: Perception, Teacher Professional Competencies, Learning Motivation,

Mathematic. Pada tahun-tahun akhir abad 20 di Indonesia

banyak realitas menunjukkan bahwa kemampuan lulusan berbagai jenjang persekolahan di Indonesia dalam hal matematika masih rendah (Soedjadi, 2000).

Kenyataan di atas dibuktikan dengan pencapaian nilai Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) siswa Indonesia untuk bidang

matematika dan sains yang masih tergolong rendah. Hasil tes TIMSS 2003 yang dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA) menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 34 untuk penguasaan matematika dan peringkat 36 penguasaan sains (dalam ”Rendahnya kemampuan”, 2004).

Page 29: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

72

Dodi Nandika, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional mengakui bahwa kelemahan siswa Indonesia karena kualitas guru dan masih minimnya ketersediaan sumber-sumber belajar bagi siswa. Sementara Yohanes Surya, pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) menyatakan bahwa rendahnya kemampuan anak didik pada mata pelajaran matematika dan sains tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengajarkan siswanya. Maka dari itu, guru mempunyai peranan besar dalam meningkatkan kualitas anak didik (dalam ”Rendahnya Kemampuan”, 2004).

Di dalam proses belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Siswa atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Perwujudan interaksi guru dan siswa harus lebih banyak berbentuk pemberian motivasi dari guru kepada siswa, agar siswa merasa bergairah, memiliki semangat, potensi, dan kemampuan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Dengan demikian siswa diharapkan lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar (Sardiman, 2003).

Lebih lanjut dikatakan Sardiman (2003) bahwa untuk dapat belajar dengan baik diperlukan proses dan motivasi yang baik. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Motivasi didefinisikan Morgan, King, Weisz & Schopler (1986) sebagai suatu kondisi yang mengarahkan perilaku untuk menuju tujuan tertentu. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain bahwa dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik (Sardiman, 2003).

Motivasi belajar dapat diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Winkel, 1996).

Dalam kaitannya dengan bidang studi matematika, motivasi belajar matematika adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang

menimbulkan kegiatan belajar, sehingga tujuan belajar yang dikehendaki siswa berupa pencapaian prestasi belajar yang tinggi dalam bidang studi matematika dapat tercapai.

Terdapat dua aspek dalam motivasi belajar (Santrock, 2004), yaitu: 1. Motivasi intrinsik, melibatkan motivasi

internal untuk melakukan sesuatu karena keinginan dirinya sendiri. Terdapat dua tipe dari motivasi intrinsik yang

dikemukakan Santrock (2004), yaitu: b. Motivasi intrinsik berdasarkan penentuan

diri dan pilihan pribadi c. Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman

optimal 2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk memperoleh sesuatu yang lain (suatu alat untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik seringkali dipengaruhi oleh ganjaran eksternal, seperti pemberian hadiah atau hukuman. Salah satu faktor yang sering dianggap

menurunkan motivasi siswa untuk belajar adalah materi pelajaran itu sendiri dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu. Mengenai materi pelajaran sering dikeluhkan oleh para siswa sebagai sesuatu yang membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari, terlalu banyak bahannya untuk waktu yang terbatas, dan sebagainya. Akan tetapi, hal yang lebih utama dari faktor materi pelajaran, sebenarnya adalah faktor guru (Sarwono, 1989).

Berdasarkan berbagai definisi tentang kompetensi profesional guru, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya.

Di dalam Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia telah dikemukakan tiga dimensi umum kompetensi yang saling berhubungan dalam membentuk profil kompetensi profesional tenaga kependidikan, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan kompetensi kemasyarakatan (Joni, 1980). Kompetensi seorang guru sebagai tenaga profesional kependidikan ditandai dengan serangkaian diagnosa, rediagnosa, dan penyesuaian yang terus menerus (Sardiman, 2003).

Page 30: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni Hubungan Persepsi tentang Kompetensi...

73

Terdapat sepuluh kompetensi profesional guru, yang merupakan profil atau aspek kemampuan dasar seorang guru yang dikemukakan oleh Sardiman (2003), yaitu: 1. Kemampuan menguasai bahan 2. Kemampuan mengelola program belajar

mengajar 3. Kemampuan mengelola kelas 4. Kemampuan menggunakan media 5. Kemampuan menguasai landasan kependidikan 6. Kemampuan mengelola interaksi belajar

mengajar 7. Kemampuan menilai prestasi siswa untuk

kepentingan pengajaran 8. Kemampuan mengenal fungsi dan program

bimbingan dan penyuluhan di sekolah 9. Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan

administrasi sekolah 10. Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan

menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (dalam ”Kurikulum”, 2002).

Permasalahan kompetensi guru ini tentunya

sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Para ahli pada umumnya sependapat bahwa yang disebut Proses Belajar Mengajar (PBM) ialah sebuah kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar (Syah, 2001). Anderson dan Burns (dalam Elliot, Kratochwil, Field & Travers, 1996) menyatakan bahwa mengajar bisa dianggap sebagai suatu proses, karena mengajar melibatkan tindakan. Mengajar juga dipandang sebagai suatu aktivitas interpersonal karena guru berinteraksi dengan satu atau lebih siswa. Interaksi ini bersifat bidirectional, yaitu guru mempengaruhi siswa, begitu juga siswa dapat mempengaruhi guru.

McCombs, et al (dalam Santrock, 2004) menemukan bahwa siswa yang merasa didukung dan diperhatikan oleh guru lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan akademik daripada siswa yang tidak didukung dan diperhatikan gurunya. Hal ini terkait dengan persepsi siswa terhadap kompetensi profesional gurunya.

Persepsi menurut Irwanto, Elia, Hadisoepandma, Priyani, Wisimanto & Fernandas (1996) adalah proses diterimanya rangsang (obyek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti. Proses penerimaan rangsang ini disebut penginderaan (sensation). Tetapi pengertian kita akan lingkungan

atau dunia sekitar kita bukan sekedar hasil penginderaan itu. Ada unsur interpretasi terhadap rangsang-rangsang yang diterima, yang kemudian menjadikan kita subyek dari pengalaman kita sendiri. Rangsang-rangsang yang diterima inilah yang menyebabkan kita mempunyai suatu pengertian terhadap lingkungan.

Dalam kaitannya dengan bidang studi matematika, persepsi terhadap kompetensi profesional guru matematika adalah tanggapan atau penilaian yang diberikan siswa terhadap kemampuan dan kewenangan guru matematika dalam menjalankan profesi keguruannya, terutama dalam hal melaksanakan proses belajar mengajar bidang studi matematika di kelas. Siswa menerima rangsang-rangsang atau stimulus-stimulus berupa guru dan proses pengajaran yang dilakukannya, yang selanjutnya diinterpretasikan dan dipahami siswa sebagai suatu pengalaman belajar yang memberikan efek positif maupun negatif bagi dirinya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Winkel (1996), bahwa setiap siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau pada bidang studi tertentu, sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya, akan memberikan penilaian yang positif terhadap semua aspek yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebaliknya, siswa yang memandang itu semua sebagai sesuatu yang tidak berguna, akan memberikan penilaian yang negatif.

Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan (Slameto, 2003). Guru perlu mengupayakan agar keabstrakan objek-objek matematika dapat diwujudkan secara lebih konkret, sehingga akan mempermudah siswa memahaminya. Inilah kunci penting yang harus diketahui guru matematika, dan diharapkan dapat dijadikan pendorong untuk lebih kreatif dalam merencanakan pembelajaran, yang mustahil semua perencanaan pembelajaran dapat dibekalkan selama dalam pendidikan guru (Soedjadi, 2000).

METODE PENELITIAN Subyek

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 1 Medan yang duduk di kelas 1 pada Tahun Ajaran 2004/2005. Metode yang digunakan adalah purposive sampling. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 1 Medan yang duduk di kelas 1 dan pada pelajaran matematika diajar oleh guru yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, siswa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas I-4, I-5, dan I-6 yang berjumlah 118 orang.

Page 31: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

74

INSTRUMEN Pada penelitian ini digunakan skala sebagai

metode pengumpulan data, yaitu: 1. Skala Persepsi Siswa tentang Kompetensi

Profesional Guru Matematika Skala persepsi siswa tentang kompetensi

profesional guru matematika disusun berdasarkan aspek-aspek kompetensi profesional guru yang dikemukakan Sardiman (2003), yaitu kemampuan menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, serta kemampuan dalam memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Dari hasil uji coba skala dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha Cronbach diperoleh 40 item yang valid dari 72 item, dengan nilai reliabilitas alpha sebesar 0.855.

2. Skala Motivasi Belajar Matematika

Skala motivasi belajar matematika disusun berdasarkan dua aspek motivasi belajar yang dikemukakan Santrock (2004), yaitu motivasi belajar ekstrinsik dan intrinsik. Dari hasil uji coba skala dengan menggunakan teknik reliabilitas alpha Cronbach diperoleh 44 item yang valid dari 60 item, dengan nilai reliabilitas alpha sebesar 0.899.

TEKNIK ANALISIS Teknik analisis data yang digunakan untuk

pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik korelasi product moment dari Karl Pearson. Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian, yaitu: 1. Uji normalitas, menggunakan teknik uji

Kolmogorov Smirnov Z. 2. Uji linieritas, menggunakan teknik interactive

graph yang menghasilkan diagram pencar (scatter plot).

Seluruh data penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) 12.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN 1. Hasil Utama Analisis Data Penelitian

Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson diperoleh korelasi sebesar 0.244 dengan p=0.004. Hal ini berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima; yang artinya hubungan positif antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika adalah signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika.

Tabel 1 menunjukkan hasil analisis korelasi antara persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika dengan motivasi belajar matematika, Tabel 2 adalah hasil analisis regresi kedua variabel.

Tabel 1. Analisis Korelasi Antara Persepsi tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika dengan Motivasi Belajar Matematika

PERSEPSI MOTIVASI PERSEPSI Pearson Correlation 1 .244(**) Sig. (1-tailed) . .004 N 118 118MOTIVASI Pearson Correlation .244(**) 1 Sig. (1-tailed) .004 . N 118 118

** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Tabel 2. Analisis Regresi Antara Persepsi tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika terhadap Motivasi Belajar Matematika (Model Summary)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

R Square Change

F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .244(a) .059 .051 13.025 .059 7.337 1 116 .008

a Predictors: (Constant), PERSEPSI

Page 32: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni Hubungan Persepsi tentang Kompetensi...

75

2. Hasil Tambahan Penelitian 2.1. Kategorisasi Persepsi tentang Kompetensi

Profesional Guru Matematika Berdasarkan mean empirik sebesar 113.02 dan

standar deviasi sebesar 10.325, maka dapat dibuat kategorisasi persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika seperti yang tercantum dalam Tabel 3.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek penelitian memiliki persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika yang termasuk kategori tidak tergolongkan, yaitu sebanyak 78 orang (66.10 %). Kategori tidak tergolongkan berarti subyek tidak dapat menentukan persepsinya, positif atau negatif, tentang kompetensi profesional guru matematika ketika alat ukur berupa skala diberikan.

2.2. Kategorisasi Motivasi Belajar Matematika

Berdasarkan mean empirik sebesar 127.97 dan standar deviasi sebesar 13.373, maka dapat dibuat kategorisasi motivasi belajar matematika seperti yang tercantum dalam Tabel 4.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek penelitian termasuk kedalam kategori sedang untuk variabel motivasi belajar matematika, yaitu sebanyak 77 orang (65.25%).

DISKUSI

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi tentang kompetensi profesional

guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa kelas I SMA Negeri 1 Medan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi positif sebesar 0.244 dengan p = 0.004 (p<0.05), yang berarti bahwa ada kecenderungan semakin positif persepsi siswa tentang kompetensi profesional guru matematika, maka motivasi belajar matematikanya akan semakin tinggi pula.

Hasil pengujian statistik ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa adalah faktor guru. Salah satu pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh Sarwono (1989), bahwa salah satu faktor yang dapat menurunkan motivasi siswa untuk belajar adalah materi pelajaran itu sendiri dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu. Dalam hal ini, matematika dianggap sebagian siswa di Indonesia sebagai suatu pelajaran yang kurang diminati. Sesuai dengan yang dikemukakan Suwarno, Suparno, Rahmanto, Budi & Sarkim (1998), bahwa banyak siswa yang merasa bosan, sama sekali tidak tertarik dan bahkan merasa benci terhadap matematika karena matematika itu diajarkan secara salah, misalnya hanya sebagai kumpulan angka dan rumus serta cara-cara atau langkah-langkah yang harus dihafalkan dan siap dipakai untuk menyelesaikan soal-soal. Guru mengajarkan matematika kepada siswa hanya untuk mencapai pemahaman instrumental saja, bukan pemahaman yang relasional atau pemahaman simbolis atau logis.

Tabel 3. Kategorisasi Data Empirik Variabel Persepsi tentang Kompetensi Profesional Guru Matematika

Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi (F) Persentase (%)

Negatif X ≥ 103 20 16.94

Tidak tergolongkan 103 ≤ X < 123 78 66.10 Persepsi

Positif 123 ≤ X 20 16.94

Total 118 100

Tabel 4. Kategorisasi Data Empirik Variabel Motivasi Belajar Matematika

Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi (F) Persentase (%)

Rendah X < 115 19 16.11

Sedang 115 ≤ X < 141 77 65.25 Motivasi

Tinggi 141 ≤ X 22 18.64

Total 118 100

Page 33: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

76

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yohanes Surya, pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), bahwa rendahnya kemampuan anak didik pada mata pelajaran matematika dan sains tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengajarkan siswanya. Maka dari itu, guru mempunyai peranan besar dalam meningkatkan kualitas anak didik (dalam ”Rendahnya Kemampuan”, 2004).

Salah satu peran guru tersebut seperti yang dikemukakan oleh Djiwandono (2002), yaitu guru sebagai motivator. Perwujudan interaksi guru dan siswa harus lebih banyak berbentuk pemberian motivasi dari guru kepada siswa, agar siswa merasa bergairah, memiliki semangat, potensi dan kemampuan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Dengan demikian siswa diharapkan lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar (Sardiman, 2003). Guru perlu mengupayakan agar keabstrakan objek-objek matematika dapat diwujudkan secara lebih konkret, sehingga akan mempermudah siswa memahaminya. Inilah kunci penting yang harus diketahui guru matematika, dan diharapkan dapat dijadikan pendorong untuk lebih kreatif dalam merencanakan pembelajaran, yang mustahil semua perencanaan pembelajaran dapat dibekalkan selama dalam pendidikan guru (Soedjadi, 2000).

McCombs, et al (dalam Santrock, 2004) menemukan bahwa siswa yang merasa didukung dan diperhatikan oleh guru lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan akademik daripada siswa yang tidak didukung dan diperhatikan gurunya. Hal ini terkait dengan persepsi siswa tentang kompetensi gurunya.

Persepsi didefinisikan sebagai penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang bersifat positif maupun negatif (Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., & Hilgard 1987). Apabila persepsi individu terhadap sesuatu atau seseorang bersifat positif, maka besar kemungkinan sikap maupun perilaku yang ditampilkan juga akan positif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Winkel (1996), bahwa setiap siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau pada bidang studi tertentu, sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya, akan memberikan penilaian yang positif terhadap semua aspek yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebaliknya, siswa yang memandang itu semua sebagai sesuatu yang tidak berguna, akan memberikan penilaian yang negatif.

Berdasarkan kategorisasi data empirik variabel persepsi tentang kompetensi profesional guru matematika, dengan mean empirik sebesar 113.02 dan standar deviasi sebesar 10.325, diketahui

bahwa terdapat 20 orang siswa (16.94%) yang memiliki persepsi negatif tentang kompetensi profesional guru matematikanya, 78 orang memiliki persepsi yang berada pada kategori tidak tergolongkan (66.10%), serta 20 orang lainnya memiliki persepsi positif (16.94%). Sementara berdasarkan kategorisasi data empirik variabel motivasi belajar matematika, dengan mean empirik sebesar 127.97 dan standar deviasi sebesar 13.373, diperoleh 77 orang siswa (65.25%) yang memiliki motivasi belajar matematika pada tingkat sedang, 22 orang siswa (18.64%) memiliki motivasi belajar matematika yang tinggi, serta 19 orang siswa (16.11%) dengan motivasi belajar matematika yang rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi, terdapat sebagian subyek yang mempersepsi kompetensi profesional guru matematikanya secara negatif ataupun tidak tergolongkan, sementara di sisi lain, tingkat motivasi belajarnya dalam bidang studi matematika berada pada tingkat yang sedang sampai tinggi.

Hasil penelitian berdasarkan kategorisasi data empirik di atas dapat disebabkan oleh pendapat yang dikemukakan Hurlock (1992), yang menyatakan bahwa status sebagai pelajar di sekolah membuat remaja sadar akan tanggung jawab yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Kesadaran akan status formal yang baru, baik di rumah maupun di sekolah, mendorong sebagian besar remaja untuk berperilaku lebih matang. Siswa kelas I SMA yang berada pada tahap perkembangan remaja pertengahan (madya) mulai memiliki tanggung jawab akan pencapaian prestasi belajarnya. Mereka mulai berpikir tentang cita-cita yang menjadi tanggung jawab pribadi mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap motivasi belajar matematika siswa selain faktor persepsinya terhadap kompetensi profesi guru matematikanya.

Berdasarkan perolehan nilai koefisien determinan (R-square = r2) yang diperoleh dari hubungan antara persepsi terhadap kompetensi profesi guru matematika dengan motivasi belajar matematika pada siswa adalah sebesar 0.06, dapat dinyatakan bahwa kontribusi variabel persepsi terhadap kompetensi profesi guru matematika terhadap motivasi belajar matematika adalah sebesar 6%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat 94% variabel lain yang berpengaruh terhadap motivasi belajar matematika siswa. Variabel lain tersebut dapat berupa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar (Elliot,

Page 34: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Annisa Fitri Rangkuti dan Filia Dina Anggaraeni Hubungan Persepsi tentang Kompetensi...

77

Kratochwill, Field & Travers, 1996), khususnya dalam bidang studi matematika, seperti locus of control, efikasi diri, dan rasa ingin tahu. Faktor-faktor lain seperti inteligensi ataupun motivasi yang berasal dari luar individu (motivasi ekstrinsik) dapat juga mempengaruhi motivasi belajar individu, misalnya lingkungan keluarga, teman sebaya, atau faktor-faktor lain yang luput dari pengetahuan peneliti.

SARAN 1. Berdasarkan hasil penelitian ini, siswa kelas I

SMA Negeri 1 Medan, khususnya siswa kelas I-4, I-5, dan I-6 sebagian besar memiliki motivasi belajar matematika yang relatif tinggi. Hendaknya hal ini dapat dijadikan sebagai motivasi bagi guru matematika yang mengajar di tiga kelas tersebut dan juga bagi guru matematika lainnya agar dapat mengimbanginya dengan lebih meningkatkan kualitas kompetensi keprofesiannya sebagai pendidik dan pengajar, sehingga anak didik dapat lebih terpacu untuk belajar lebih giat lagi.

2. Bagi Kepala Sekolah diharapkan agar dapat

membangun komunikasi yang intensif dan terarah dengan guru, khususnya guru matematika, maupun dengan anak didik agar terjalin suatu hubungan yang positif untuk bersama-sama meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, sehingga dapat menciptakan situasi belajar mengajar yang kondusif dan akhirnya dapat meningkatkan motivasi anak didik untuk berprestasi secara optimal, khususnya dalam pelajaran matematika.

DAFTAR PUSTAKA Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., & Hilgard, E.R.

(1987). Pengantar Psikologi. Jilid 1. (Edisi kedelapan). Jakarta: Erlangga.

Djiwandono, S.E. (2002). Psikologi Pendidikan.

Jakarta: PT. Grasindo. Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Field, J. L., &

Travers, J. F. (1996). Educational psychology, effective teaching effective learning. (2nd ed). Singapore: Brown & Benchmark Publishers.

Hurlock, E.B. (1992). Psikologi Perkembangan, Suatu

Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (Edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Irwanto, Elia H., Hadisoepandma, A., Priyani, R., Wisimanto, Y.B., Fernandas, C. (1996). Psikologi Umum, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Joni, T. R., (1980). Pengembangan Kurikulum

IKIP/ FIP/ Fkg, Suatu Kasus Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi. Bandung: Remadja Karya Offset.

Morgan, C.T., King, R, Weisz, J.W, Schopler, J.,

(1986). Introduction to psychology. Tokyo: McGraw Hill Book Co.

Santrock, J. W., (2004). Educational psychology. (2nd

ed). New York: McGraw Hill Companies, Inc. Sardiman., (2003). Interaksi & Motivasi Belajar

Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sarwono., S.W., (1989). Psikologi Remaja. Jakarta:

Rajawali. Slameto., (2003). Belajar dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Soedjadi, R., (2000). Kiat Pendidikan Matematika

di Indonesia. Komstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Syah, M. (2001). Psikologi Pendidikan Dengan

Pendekatan Baru. (Edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suwarno, P.J., Suparno, P., Rahmanto, B., Budi,

F., Sarkim, T., (Eds). (1998). Pendidikan Sains Yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius.

Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pengajaran. (Edisi

revisi). Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kurikulum berbasis kompetensi. (2002, Juni).

Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. Rendahnya kemampuan matematika siswa (2004,

24 Desember). Republika (On-line). Diakses pada tanggal: 28 Januari 2005, dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=182149&kat_id=151.

Page 35: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

78

SIKAP TERHADAP LINGKUNGAN DAN RELIGIUSITAS

Ari Widiyanta

PS. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan sikap terhadap lingkungan alam. Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan beragama Islam. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 90 orang. Data penelitian dikumpulkan melalui skala religiusitas, skala sikap ekosentris terhadap lingkungan alam, skala sikap antroposentris dan skala sikap apatis terhadap lingkungan alam Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik korelasi product moment dari Pearson. Hasil analisis data menunjukkan besarnya koefisien korelasi (rxy) = 0.290 untuk hipotesis pertama. Artinya, ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan sikap ekosentris terhadap lingkungan alam. Koefisien korelasi (rxy) = 0.247 untuk hipotesis kedua. Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan sikap antroposentris terhadap lingkungan alam. Koefisien korelasi (rxy) = -0.537 untuk hipotesis ketiga. Artinya, ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan sikap apatis terhadap lingkungan alam. Kata Kunci: Religiusitas, Ekosentris, Antroposentris, Apatis.

Abstract The purpose of this study is to investigate the correlation between religiously and the attitude nature environment. The subject was student of Psychology Faculty of Gadjah Mada University and moslem. The numbers of subject were 90. Data were collected from religiously scale, ecocentric attitude scale, anthropocentric attitude scale, apatic attitude scale. Data analised with product moment correlation from Pearson. The result shown number of correlation coeficient (rxy) = 0,290 for the first hypothesis. It is means there is positive and significant correlation between religiously and ecocentric attitude to the nature environment. Correlation coeficient (rxy) = 0,247 for the second hypothesis. It means there is positive and significant correlation between religiously and anthropocentric attitude toward nature environment. Correlation coeficient (rxy) = - 0,537 for the third hypothesis. It means there is a negative correlation between religiously and apatic attitude toward nature environment. Key words: religiously, ecocentric attitude, anthropocentric attitude, apatic attitude.

Kemerosotan lingkungan hidup di banyak

negara berkembang khususnya Indonesia berada pada situasi yang berbahaya. Seandainya pemerintah bersama masyarakat tidak sanggup menginvestasikan sumber daya-sumber daya alam yang ada maka sistem lingkungan hidup akan rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Pertumbuhan penduduk yang relatif cepat dan pembangunan yang juga melaju dengan cepat agar kebutuhan penduduk dapat tercapai, tidak akan menimbulkan masalah jika eksploitasi lingkungan dapat dikendalikan. Kenyataan bahwa berbagai bentuk perilaku yang mencerminkan ketidakpedulian terhadap lingkungan masih terus berlangsung (Muscat dalam Faturochman dan Himam, 1995). Selanjutnya Shaw (dalam Harahap, 1997)

menyatakan bahwa fakta pokok yang menjadi masalah global adalah pengembangan teknologi yang sifatnya mencemari lingkungan (polluting technology), mendorong konsumsi kemewahan (affluent consumption), dan meraup sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masa depan.

Berbicara tentang lingkungan berarti kita berbicara juga tentang lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan keterpaduan secara holistik, evolusioner dan interaksi antara ekosistem yang bermoral alam dengan sosiosistem yang bermoral manusia (Martopo, 1997). Lingkungan hidup mencakup dua hal yaitu sosiosistem (komponen sosial) dan ekosistem (daya dukung alam) yang saling berkaitan dan ikut pula

Page 36: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Ari Widiyanta Sikap terhadap Lingkungan dan Religiusitas

79

menentukan kelangsungan hidup manusia. (Wardhana, 1995).

Sebagai makhluk hidup manusia dalam ekosistem bersifat imanen yaitu mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk lainnya di permukaan bumi ini. Sebenarnya manusia di dalam kehidupan ini juga bersifat transenden (exclusive) yaitu manusia bertanggung jawab lebih besar dari pada makhluk lainnya (Harahap, 1997).

Telah dikemukakan di atas bahwa manusia dalam lingkungan bersifat imanen dan transenden, namun seringkali pemusatan perhatian pada manusia ini menimbulkan subyektivitas yang berlebihan tentang peranan, pengaruh, dan dominasi manusia dalam lingkungan hidup (Sorjani, 1985).

Berdasarkan pengenalan tentang liku-liku dan seluk beluk lingkungan hidup, jelaslah manusia saat ini telah mengelola secara sepihak, yakni dengan kecenderungan dan perhatian yang besar bagi pencapaian kebutuhan sendiri dalam jangka yang pendek, bersikap sangat eksploratif dan tanpa disadari mengelabui diri sendiri karena berbagai kegiatannya dalam jangka panjang akan meracuni kelangsungan dan kesejahteraan sendiri.

Farhati, (1995) menyatakan bahwa sikap dan perilaku seseorang dalam mengambil keputusan terhadap lingkungan merupakan kunci utama dalam usaha meningkatkan kualitas lingkungan. Sikap merupakan suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar, 1995).

Loudon dan Bitta (1984) menulis bahwa sumber pembentuk sikap ada empat, yakni pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain atau kelompok, pengaruh media massa, dan pengaruh dari figur yang dianggap penting. Swastha dan Handoko (1982) menambahkan bahwa tradisi, kebiasaan, kebudayaan, dan tingkat pendidikan ikut mempengaruhi pembentukan sikap. Selanjutnya Azwar (1995) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi, atau lembaga pendidikan, dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

Sikap dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar, proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya

pengalaman baru individu (Katz dan Oechsli, 1993).

Menurut Thompson dan Barton (1994) Paling tidak ada tiga sikap yang mendasari dukungan individu terhadap permasalahan lingkungan, yaitu ekosentrik (ecocentric), antroposentrik (anthropocentric) dan apatis (apatic).

Individu yang bersikap ekosentrik memandang bahwa perlindung terhadap lingkungan alam dilakukan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri. Sikap ekosentrik menunjukkan dukungan terhadap permasalahan lingkungan karena merasa bahwa alam patut mendapat perlindungan bukan karena pertimbangan-pertimbangan ekonomis, tetapi lebih ke pertimbangan spiritual (Katz & Oescle, 1993) atau pertimbangan moral (Seligman dalam Thompson dan Barton, 1994).

Antroposentrik adalah kecenderungan untuk memandang alam sebagai suatu sumber yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Konsep ini menggunakan kesejahteraan manusia sebagai alasan utama dari setiap tindakannya (Shrivastava, 1995). Individu dengan kecenderungan antroposentrik berpendapat bahwa lingkungan perlu dilindungi karena nilai yang terkandung di dalam lingkungan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Perhatian orang dengan sikap antroposentris terhadap lingkungan alam lebih karena kepentingan dirinya (Thompson dan Barton, 1994).

Maslow (dalam Mc. Afee dan Champagne, 1987) mengungkapkan bahwa individu mempunyai kebutuhan yang sifatnya hirarkis. Kebutuhan tersebut adalah fisiologis, rasa aman, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Ditinjau dari teori ini wajar manusia memiliki sikap antroposentris terhadap lingkungan alam mengingat manusia memiliki kebutuhan tersebut yang antara lain dapat terpenuhi dengan memanfaatkan alam.

Apatis adalah ketidakpedulian terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan. Orang yang memiliki sikap apatis terhadap lingkungan alam tidak memiliki perhatian dan tidak mengadakan konservasi terhadap lingkungan alam (Thompson dan Barton, 1994)

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ekosentris dan antroposentris menunjukkan sikap yang positif terhadap permasalahan lingkungan alam, perbedaannya adalah pada alasan dari sikap tersebut, sedangkan apatis menunjukkan sikap yang negatif terhadap lingkungan alam.

Sadar akan akibat ulah manusia yang ternyata cukup serius tersebut, berbagai upaya telah

Page 37: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

80

dilakukan baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Sadar pula akan keterbatasan kemampuan daya pikirnya, manusia mulai mencari landasan agama sebagai salah satu alternatif. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pantas kiranya melihat bagaimana Islam menyikapi masalah lingkungan tersebut (Harahap, 1997).

Pembentukan sikap sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut seseorang (Loudon dan Bitta, 1984). Agama sebagai sistem nilai ikut memberikan kontribusi bagi pembentukan sikap seseorang (Azwar, 1997, Adisubroto, 1987).

Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (latin) dan Dien (Arab).

Menurut Drikarya (1987) kata “religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya.

Selanjutnya Adisubroto (1987) menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia yang struktur mental keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.

Menurut penelitian Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup (1987) dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Glock dan Stark (dalam Poloutzian, 1996), ada lima dimensi religiusitas, yang oleh peneliti akan dijadikan aspek-aspek dalam menyusun skala religiusitas yaitu: a. Religious practice (the ritualistic dimension)/Aspek

Islam Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan

kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.

b. Religious belief (the ideological dimension)/Aspek Iman Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka, dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.

c. Religious knowledge (the intellectual dimension)/Aspek ilmu

Seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan

aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.

d. Religious feeling (the experiental dimension)/Aspek Ikhsan

Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

e. Religious effect (the consequential dimension)/Aspek Amal Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya

beragama Islam, pantas kiranya melihat bagaimana Islam menyikapi masalah lingkungan tersebut. Islam mengajarkan bahwa keberadaan manusia berfungsi sebagai hamba Tuhan yang harus mengabdi atau beribadah kepada–Nya (Quran surat Adz Dzaariyaat:56). Sementara itu misi manusia adalah sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi (Quran surat Al Baqrah:30) dengan kewajiban memakmurkan bumi (Quran surat Hud:51) dan menjaga kelestarian lingkungan (Quran surat Al Qashash:77). Jadi menurut pandangan Islam, fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai wakil Tuhan. Dalam kaitannya dengan lingkungan alam, manusia mempunyai misi memanfaatkan sumber daya alam (memakmurkan bumi) dan melestarikan sumber daya alam. Dapat disimpulkan bahwa yang diinginkan oleh Islam adalah keseimbangan antara ekosentris dan antroposentris yang dipayungi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Martopo, 1997).

Dalam kaitannya dengan lingkungan alam, Tuhan secara eksplisit menegaskan dengan firmanNya:

Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi (lingkungan) sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang yang berbuat kerusakan. Allah juga juga berfirman (Quran surat Al Baqarah : 11): Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab : “kami tidak lain adalah berbuat kebaikan”. Pada ayat yang lain, Tuhan berfirman: Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menuju

Page 38: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Ari Widiyanta Sikap terhadap Lingkungan dan Religiusitas

81

langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia maha mengetahui segala sesuatu (Quran surat Al Baqarah: 29).

Ayat-ayat yang ada ini menunjukkan bahwa manusia harus menyeimbangkan sikap ekosentris dan antroposentris serta menjauhi sikap apatis.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melihat hubungan antara religiusitas dengan sikap ekosentris, sikap antroposentris dan sikap apatis terhadap lingkungan alam. Sehingga hipotesis yang diajukan adalah: Ada hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan sikap ekosentris terhadap lingkungan alam (1); Ada hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan sikap antroposentris terhadap lingkungan alam (2); Ada hubungan negatif antara tingkat religiusitas dengan sikap apatis terhadap lingkungan alam (3).

METODE PENELITIAN

Subjek adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada yang beragama Islam dan berjumlah 90 orang. Ada dua pertimbangan dalam menentukan sampel penelitian ini, yaitu pertimbangan teoritis dan pertimbangan praktis. Pertimbangan teoritis untuk mendapatkan kecermatan statistik secara maksimal sedangkan pertimbangan praktis atas keterbatasan manusia yaitu tenaga, waktu, dan biaya. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sekelompok subjek yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).

Alat-alat ukur yang dipergunakan dalam proses pengambilan data adalah:

1. Skala Ekosentris terhadap Lingkungan Alam

(adaptasi dari skala yang digunakan Tompson dan Barton, 1994) Seleksi butir dilakukan dengan mengkorelasikan

skor butir dengan skor total sedangkan reliabilitas diuji dengan teknik alpha pada item-item yang sudah terseleksi. Seleksi butir pada skala ini diperoleh 10 butir terseleksi. Koefisien koreksi totalnya bergerak dari 0.070-0.446. Reliabilitas alpha pada penelitian Thompson dan Barton adalah 0.630. Alat ukur ini pertama kali disusun oleh Thompson dan Barton (1994) yang kemudian diadaptasi oleh Farhati (1995). Selanjutnya peneliti mengadaptasi skala ini kembali dari Farhati (1995).

2. Skala Antroposentris terhadap Lingkungan

Alam (Adaptasi dari Skala Thompson dan Barton, 1994) Seleksi butir pada skala ini diperoleh 10 butir

terseleksi dengan koefisien koreksi totalnya bergerak dari 0.075-0.832 dan koefisien reliabilitas alpha 0.878. Reliabilitas Alpha pada lampiran Thompson dan Barton adalah 0.58. Alat ukur ini pertama kali disusun oleh Thompson dan Barton (1994) yang kemudian diadaptasi oleh Farhati (1995). Selanjutnya peneliti mengadaptasi skala ini kembali dari Farhati (1995).

3. Skala Apatis terhadap Lingkungan Alam

(Adaptasi dari Skala Thompson dan Barton, 1994) Dari seleksi butir pada skala ini diperoleh 8

butir terseleksi. Koefisien koreksi totalnya bergerak dari 0.077-0.784 dan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.851 (0.83). Alat ukur ini pertama kali disusun oleh Thompson dan Barton (1994) yang kemudian diadaptasi oleh Farhati (1995). Selanjutnya peneliti mengadaptasi skala ini kembali dari Farhati (1995).

4. Skala Religiusitas.

Skala religiusitas ini disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas yang dipergunakan oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup (1987) yang sama dengan Dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Polutzian, 1996). Seleksi butir dilakukan dengan jalan mengkorelasikan skor butir dengan skor total. Reliabilitas diuji dengan teknik alpha pada butir-butir yang sudah terseleksi. Kemudian diperoleh 48 butir yang terseleksi dengan koefisien koreksi total bergerak dari -0.012-0.545 dan diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.886.

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment dari Pearson. Keseluruhan analisis dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputerisasi SPSS versi 10.0.

HASIL PENELITIAN 1. Hasil Utama Penelitian (1) Ada hubungan positif yang sangat signifikan

antara religiusitas dengan sikap ekosentris terhadap lingkungan alam. Hasil analisis korelasi Product Moment menunjukkan besarnya koefisien korelasi (rxy = 0.290). Artinya makin tinggi tingkat religiusitas makin kuat kecenderungan sikap ekosentris terhadap

Page 39: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

82

lingkungan alam yang dimiliki subjek. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima.

(2) Ada hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan sikap antroposentris terhadap lingkungan alam. Hasil analisis korelasi Product Moment menunjukkan besarnya koefisien korelasi (rxy = 0.247). Artinya makin tinggi tingkat religiusitas makin kuat kecenderungan sikap antroposentris terhadap lingkungan alam yang dimiliki subjek. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima.

(3) Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan sikap apatis terhadap lingkungan alam. Hasil analisis korelasi Product Moment menunjukkan besarnya koefisien korelasi (rxy = -0.537 ). Artinya kenaikan tingkat religiusitas akan diikuti dengan penurunan tingkat sikap apatis terhadap lingkungan alam yang dimiliki subjek. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima.

2. Hasil Tambahan Penelitian:

Tabel 2 memperlihatkan bahwa secara umum tingkat religiusitas subjek tergolong tinggi karena rerata empirik (333,74) jauh lebih tinggi dari pada rerata hipotetiknya (240). Tingkat sikap ekosentris terhadap lingkungan alam yang dimiliki subjek tergolong tinggi karena rerata empirik (69,25) lebih

tinggi dibandingkan dengan rerata hipotetiknya (50). Tingkat sikap antroposentrik terhadap lingkungan alam yang dimiliki subjek tergolong tinggi karena rerata empirik (67.31) lebih tinggi daripada rerata hipotetik (50). Sikap apatis terhadap lingkungan alam yang dimiliki subjek tergolong rendah karena rerata empirik (22,64) jauh lebih rendah dibandingkan dengan rerata hipotetik (40).

Berdasarkan hasil diatas maka subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat religiusitas, sikap ekosentris terhadap lingkungan, sikap antoposentris terhadap lingkungan yang tinggi dan sikap apatis terhadap lingkungan yang rendah. DISKUSI

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori kebutuhan yang diungkapkan oleh Maslow (dalam Mc.Afee dan Champagne, 1987) yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebutuhan fisiologis yang tentunya dapat terpenuhi antara lain oleh alam. Kebutuhan inilah yang mendorong manusia memiliki sikap antroposentris terhadap alam. Kebutuhan tertinggi manusia menurut teori ini adalah kebutuhan aktualisasi diri yang mengarahkan manusia memiliki sikap ekosentris terhadap lingkungan alam.

Tabel 1. Uji Korelasi Product Moment

religiusitas ekosentris Antroposentris Apatis Pearson

Correlations Religuisitas Ekosentris Antroposentris Apatis

1.000 .290** .247* -.537**

.290** 1.000 .577** -.134

.247*

.577** 1.000 -.104

-.537 -.134 -.104 1.000

Sig. (2-tailed)

Religiusitas Ekosentris Antroposentris Apatis

.

.007

.023

.000

.007

.

.000

.222

.023

.000

.

.342

.000

.222

.342

. N Religiusitas

Ekosentris Antroposentris Apatis

85 85 85 85

85 85 85 85

85 85 85 85

85 85 85 85

**.Correlations is significant at the 0.01 level (2-tailed) *. Correlations is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian

SKOR X SKOR X EMPIRIK HIPOTETIK

VARIABEL

X max X min mean SD X max X min mean SD Religiusitas 382 245 333,74 26,84 432 48 240 64 Ekosentris 90 40 69,25 9,51 90 10 50 13,33 Antroposentris 83 42 67,31 8,16 90 10 50 13,33 Apatis 48 8 22,64 7,80 72 8 40 10,67

Page 40: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Ari Widiyanta Sikap terhadap Lingkungan dan Religiusitas

83

Dari hasil penelitian, terlihat posisi agama sebagai fungsi edukatif yang mencakup tugas mengajarkan dan membimbing, dalam hal ini mengajar dan membimbing yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pemahaman akan lebih baik atau buruk, garis pemisah antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari ajaran-ajaran agama, di sinilah fungsi agama sebagai pengawasan sosial yakni mengukuhkan yang baik dan menolak kaidah yang buruk agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan (Hendropuspito, 1990).

Penelitian ini juga membuktikan kebenaran fungsi sikap yang diungkapkan oleh Katz (dalam Azwar, 1995) yakni fungsi manfaat, di mana manusia akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang akan mendatangkan keuntungan dalam hal ini sikap ekosentrik dan antroposentrik yang seimbang terhadap lingkungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang merugikan dalam hal ini sikap apatis terhadap lingkungan.

Hasil penelitian ini membuktikan kebenaran bahwa sikap juga sebagai fungsi pernyataan nilai (Katz dan Oechsli, 1993) yakni keseimbangan sikap ekosentris dan antroposentris serta menjauhi sikap apatis terhadap lingkungan alam, merupakan pernyataan dari nilai-nilai agama yang dianut oleh seseorang.

Mengenai penerjemahan sikap ekosentrik dan antroposentrik yang seimbang serta penerjemahan sikap yang tidak apatis terhadap lingkungan alam ke dalam perilaku maka kalau dilihat dari postulat konsistensi tergantung yang ditulis oleh Werner dan Pepleur (dalam Azwar, 1995) bahwa norma-norma dalam hal ini norma agama merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Ajaran dalam agama Islam mendukung keseimbangan sikap ekosentris dan antroposentris terhadap lingkungan alam dan menentang sikap apatis terhadap lingkungan alam, sehingga kemungkinan untuk terwujudnya sikap ekosentrik dan antroposentris terhadap lingkungan alam yang seimbang serta tidak terwujudnya sikap apatis terhadap lingkungan alam ke dalam perilaku adalah besar.

Azwar (1995) juga mengatakan bahwa jika terdapat hal-hal yang bersifat kontroversial maka pada umumnya orang akan mencari informasi untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga seseorang tersebut mengambil sikap memihak maka dalam hal ini ajaran moral yang diperoleh dari agama sering kali menjadi determinan tunggal.

Pernyataan ini juga mendukung besarnya kemungkinan sikap ekosentris dan antroposentris yang seimbang serta sikap yang tidak apatis terhadap lingkungan dalam terwujud dalam tindakan nyata.

Dari uraian hasil penelitian di atas maka pembangunan dengan pengembangan lingkungan haruslah ditopang dengan pengembangan sistem nilai (dalam konteks ini adalah nilai-nilai Islam) sehingga tingkat religiusitas masyarakat meningkat yang pada akhirnya akan menghasilkan sikap yang peduli terhadap lingkungan alam.

SARAN 1. Bagi Mahasiswa

Mahasiswa juga merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan yang akan menduduki berbagai bidang pemerintahan maupun swasta. Posisi mahasiswa tersebut adalah posisi yang strategis dalam upaya mengelola dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Melihat pentingnya peran mahasiswa di masa depan maka mahasiswa perlu membekali dirinya dengan prinsip-prinsip moral yang berkaitan dengan lingkungan, salah satunya adalah dengan meningkatkan kondisi religiusitas masing-masing.

2. Bagi Pemerintah

Sebaiknya dalam pembangunan dengan pengembangan sistem lingkungan seharusnya didukung oleh pengembangan sistem nilai yang ada di masyarakat. Indonesia yang terdiri dari sebagian besar penduduk yang beragama Islam yang mempunyai nilai-nilai yang memungkinkan pengembangan sikap yang positif terhadap lingkungan alam. Pengembangan sistem nilai-nilai akan memudahkan program pemerintah mengingat sikap yang didasari nilai-nilai agama akan menjadi determinan yang kuat untuk terjadinya perilaku, dalam hal ini perilaku peduli terhadap lingkungan alam.

3. Bagi Pemuka Agama

Para pemuka agama memegang posisi yang kuat bagi peningkatan kekuatan religius masyarakat di mana kekuatan religius ini yang akan mempengaruhi kepedulian masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan alam, untuk itu penanaman nilai-nilai agama harus terus ditingkatkan dalam rangka meningkatkan religiusitas masyarakat.

Page 41: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

84

DAFTAR PUSTAKA Adisubroto, D., 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa

Serta Ciri-Ciri Kepribadiannya Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Al-Quran dan Terjemahannya, 1991., Departemen

Agama, Jakarta. Azwar, S., 1995. Sikap Manusia: Sikap dan

Pengukurannya. Yogyakarta Liberty. _________, 1997. Reliabilitas dan Validitas.

Yogyakarta: Liberty Driyarkara, N., 1978. Percikan Filsafat. Jakarta:

PT. Pembangunan. Faturochman dan Hilman, F., 1995. Wawasan

lingkungan masyarakat di daerah industri. Jurnal psikologi, No. 1, tahun. XXI. 31-40. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Farhati, F., 1995. Sikap ekosentrik dan

antroposentrik terhadap lingkungan. Laporan studi kasus. Yogyakarta Fakultas Psikologi UGM

Hadi, S., 2000. Metodologi Riset. Jilid 1, Cet

XXVII. Yogyakarta: Andi Offset. ---------, 2000. Metodologi Riset. Jilid 2, Cet

XXVII. Yogyakarta: Andi Offset. Harahap, A., Manany, I., dan Ramli, H., 1997.

Islam dan Lingkungan Hidup. Swarna Bhumy. Jakarta.

Hendropuspito, C., 1990. Sosiologi Agama.

Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia. Katz, E., Oescsli, L., 1993. Moving beyond

antropocentrism: environmental ethics, development, and the Amazon environmental ethics, Vol. 15, Spring, 49-59.

Kementrian Negara kependudukan dan

Lingkungan Hidup. 1987. Pengembangan kualitas non fisik. Laporan penelitian. Jakarta.

Loudon, D.l. dan Bitta, A.J.D., 1984. Consumer behavior : concept and applicatios. (Second Editions) New York: Mc Graw Hill, Inc.

Martopo, S., 1997. Keserasian lingkungan hidup.

Makalah Dalam Diskusi Panel Islam dan Lingkungan Hidup. Tanggal 19 April 1997.

Mc. Afee, R.B. dan Champagne, PJ., 1987.

Organizational behavior: a manager’s view. St. Paul: West Publishing Company.

Poloutzian, F.R., 1996. Psychology of religion.

Needham Heigthts, Massachusetts: A Simon & Schuster Comp.

Salim, S. Pembangungan berkelanjutan. Diskusi

Panel Islam dan Lingkungan Hidup. 19 April 1997. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soerjani, M., 1985. Lingkungan Hidup. Pusat

Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan. Universitas Indonesia dan JKLH. Jakarta.

Shrivasta, P., 1995. Ecocentric management for a

risk society, Academy of Management Review, Vol 20, No. 1, 118-137.

Swastha, B.D dan Handoko, H., 1982. Manajemen

pemasaran: analisa perilaku konsumen. Yogyakarta: Liberty

Thompson, S.C., Cagnon dan Barton, M.A., 1994.

Ecocentric and anthroposentric attitudes toward the environment, Journal of Environment Psychology, 14, 149-157.

Wardhana, M.A., 1995. Dampak Pencemaran

Lingkungan. Cetakan I. Andi Offset. Yogyakarta.

Walgito, B. 1986. Pengantar Psikologi Umum.

Cetakan IV. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi.UGM.

Page 42: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Stevanus Colonne dan Rika Eliana Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria...

85

GAMBARAN TIPE-TIPE KONFLIK INTRAPERSONAL WARIA

DITINJAU DARI IDENTITAS GENDER

Stevanus Colonne dan Rika Eliana PS. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Waria adalah laki-laki yang menunjukan karakteristik penampilan dan tingkah laku dari jenis kelamin yang berbeda (Graham, 2004). Waria mengalami penyimpangan identitas gender dari laki-laki ke perempuan dan hal ini bertentangan dengan harapan masyarakat tentang identitas gender yang sesuai bagi seorang laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran tipe-tipe konflik intrapersonal pada waria ditinjau dari identitas gender berdasarkan teori Lapangan Kurt Lewin. Hasil penelitian menunjukkan ada dua responden yang mengalami tipe-tipe konflik intrapersonal yang berkaitan dengan identitas gender mereka. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang mereka alami terjadi dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda seperti wilayah fisiologis, wilayah rasa aman, wilayah cinta dan rasa memiliki serta wilayah aktualisasi diri. Sedangkan satu responden lagi lebih kepada konflik interpersonal. Tipe-tipe konflik yang di alami oleh ketiga responden mencakup konflik mendekat-mendekat dan konflik mendekat-menjauh. Kata Kunci: Konflik, Gender, Identitas Gender, Gangguan Identitas Gender, Konflik

Interpersonal, Wanita Pria (Waria)

Abstract Sissy is the man who show differents characteristics and behaviors from the opposite sex (Graham, 2004). Sissy deviates in gender identity from male to female and it’s contradictory to the appropriate gender identity which society assumed. Sissy has to faces dilemma as society’s charges on the appropriate gender identity for man and the drive from self to use gender identity which different from its sex. The aim of this qualitative approach is to describe Sissy’s types of intrapersonal conflict as a view of gender identity based on Kurt Lewin’s Field Theory. The result of this study shows that there are two respondents who are having intrapersonal conflict regarding to their gender identity. The types of intrapersonal conflict that the respondents have was happened in differents area such as physiology area, safety area, love and belongingness area and self actualization area. The third respondent was having conflict in interpersonal ways. The types of the conflict consist of approach-approach conflict and approach-avoidance conflict. Key words: Conflict, Gender, Gender Identity, Gender Identity Disorder, Intrapersonal

Conflict, Sissy.

Waria menjadi sebuah persoalan dengan berbagai kontradiksi di sekeliling keberadaannya mengingat masyarakat hanya mengenal dua identitas gender sebagai struktur psikologis dari dua jenis kelamin yang ada, yakni maskulin untuk laki-laki dan feminin untuk perempuan.

Archer (dalam Davies, 2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa peran gender pada laki-laki lebih jelas didefinisikan dari pada peran gender perempuan, dan pada laki-laki yang menyimpang dari peran gendernya akan ada banyak sanksi yang

dikenakan. Waria yang sebenarnya adalah laki-laki namun mengekspresikan dirinya sebagai perempuan, memicu pertentangan dengan harapan masyarakat tentang sikap atau perilaku yang dianggap cocok untuk laki-laki (Nauly, 2003).

Seorang waria yang tubuhnya laki-laki tetapi seluruh struktur kepribadiannya perempuan harus menjalani berbagai dilema dan kontradiksi dalam konteks kehidupan sosialnya (Levine & Davis, 2002; Gunawan, 2003). Dengan kata lain waria menghadapi situasi yang tidak jelas akibat

Page 43: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

86

penyimpangan identitas gendernya yang akan mengarahkannya pada situasi konflik.

Kondisi yang dialami oleh waria menimbulkan ketidak-seimbangan dalam diri waria. Ketidak-seimbangan ini dapat menjadi pemicu munculnya konflik, baik yang terjadi antara dirinya dan masyarakat (interpersonal), juga konflik dapat terjadi di dalam dirinya sendiri (intrapersonal). Gender

Pengertian gender secara umum menurut kamus diasosiasikan dengan jenis kelamin secara biologis, antara lain Kamus Oxford (dalam Nauly, 2003) mengartikan gender sebagai: sexual classification; sex: the male and female gender.

Unger (dalam Basow, 1992) mengemukakan bahwa dalam psikologi tentang seks dan gender, maleness dan femaleness secara luas dipandang sebagai konstruk sosial yang ditegaskan oleh karakteristik jenis kelamin dalam presentasi diri (self-presentation). Penyebaran laki-laki dan perempuan dalam peran sosial yang berbeda dan status dipertahankan oleh kebutuhan intrapsikis untuk konsistensi diri (self-consistency) dan kebutuhan untuk bertingkah laku yang dapat diterima secara sosial. Waria

Waria (Graham, 2004) merupakan laki-laki yang menunjukan karakteristik penampilan dan tingkah laku dari jenis kelamin yang berbeda. Menurut Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Text Revision (DSM IV-TR, 2000) waria mengalami Gangguan Identitas Gender atau Gender Identity Disorders. Konflik

Penelitian ini menggunakan pendekatan Lewin tentang lapangan (Field Theory) untuk menjelaskan konflik. Menurut Lewin (dalam Shaw & Costanzo, 1982) konflik dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di mana ada daya-daya yang saling bertentangan arah dan dalam keadaan kekuatan yang kira-kira sama.

Situasi konflik dapat lebih dipahami dengan terlebih dahulu memahami konsep-konsep dasar teori lapangan. Konsep-konsep dasar teori lapangan meliputi konsep tentang lapangan kehidupan, tingkah laku dan lokomosi atau pergerakan, forces atau daya-daya dan konsep tentang tension atau ketegangan (dalam Sarwono, 2002).

Tipe-tipe konflik dapat dibagi menjadi: (Shaw & Costanzo, 1982; Hall, Lindzey, Loehlin &

Sevitz, 1985; Morgan, King, Weisz & Schopler, 1986; Sarwono, 2002): a. Approach-Approach Conflict : konflik antara dua

tujuan yang memiliki valensi positif yang sama menariknya dan berlangsung pada saat yang sama.

b. Avoidance-Avoidance Conflict : konflik antara dua tujuan yang memiliki valensi negatif yang sama-sama dihindari dan berlangsung pada saat yang sama.

c. Approach-Avoidance Conflict : pada konflik ini individu tertarik dan menolak tujuan yang sama karena memiliki valensi positif dan valensi negatif pada saat yang sama.

d. Multiple Approach-Avoidance Conflict : beberapa tujuan dengan valensi positif dan valensi negatif terlibat.

METODE PENELITIAN

Sejalan dengan tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran mengenai tipe-tipe konflik pada waria sehingga dapat dipahami kompleksitas dan dinamikanya maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi pada saat wawancara dilakukan. Wawancara dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara dan alat bantu perekam berupa tape recorder untuk mempermudah peneliti dalam membuat verbatim hasil wawancara. Demikian pula observasi pada saat wawancara dilakukan berdasarkan pedoman observasi yang telah dibuat.

Prosedur pengambilan responden atau sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Subjek dipilih dengan pertimbangan tertentu yaitu berdasarkan pertimbangan karakteristik subjek yang menjadi responden (Poerwandari, 2001). Karakteristik responden antara lain: 1. Individu yang secara biologis berjenis kelamin

laki-laki 2. Memandang dirinya sebagai seorang

perempuan atau memiliki identitas gender sebagai perempuan dengan menampilkan tingkah laku yang berbeda dari jenis kelaminnya yakni menampilkan tingkah laku sebagai perempuan.

3. Melakukan cross-dressing.

HASIL PENELITIAN

Page 44: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Stevanus Colonne dan Rika Eliana Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria...

87

Berdasarkan analisis hasil yang diperoleh dari ketiga partisipan pada penelitian ini maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sehubungan dengan kondisi ketiga responden,

yaitu mengalami penyimpangan identitas gender (gender identity) dari laki-laki menjadi perempuan, maka hal ini menimbulkan ketegangan dalam wilayah kehidupan mereka.

2. Dari ketiga responden penelitian, responden I

dan responden II yang mengalami konflik intrapersonal. Sedangkan responden III mengalami konflik interpersonal.

3. Konflik intrapersonal yang dialami oleh

responden I antara lain: a. Konflik mendekat-mendekat (approach-

approach conflict), dalam wilayah aktualisasi diri

b. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict), dalam wilayah fisiologis, wilayah rasa aman, wilayah rasa cinta dan memiliki, dan wilayah aktualisasi diri.

4. Konflik intrapersonal yang dialami oleh

responden I antara lain: a. Konflik mendekat-menjauh (approach-

avoidance conflict), dalam wilayah rasa aman.

5. Secara umum disimpulkan bahwa konflik

intrapersonal yang dialami responden I sehubungan dengan adanya perasaan tidak nyaman yang timbul dari keinginan responden untuk menjadi perempuan dan pada saat yang sama responden juga berkeinginan untuk menjadi laki-laki. Kondisi ini membuat responden I mengalami gangguan pada aspek sosial dan aspek pekerjaan.

6. Responden II mengalami konflik intrapersonal

sehubungan dengan perasaan tidak nyaman yang timbul dari aturan beribadah sehingga responden II mengalami gangguan pada aspek religius dan aspek sosial sehubungan dengan keinginan untuk menjadi perempuan dan pada saat yang sama adanya rasa tidak nyaman berpenampilan sebagai perempuan di depan keluarga dan masyarakat di lingkungan keluarganya.

7. Responden I dan responden II memenuhi kriteria diagnosa Gender Identity Disorder di mana responden I mengalami cross-gender yang kuat dan menetap, adanya perasaan tidak nyaman dengan jenis kelamin, tidak berada dalam kondisi interseks dan mengalami gangguan yang signifikan pada aspek sosial serta pekerjaan bagi responden I; dan aspek religius bagi responden II.

DISKUSI

Hasil dari penelitian terhadap ketiga responden menunjukan bahwa hanya responden I dan responden II yang mengalami konflik intrapersonal, sedangkan responden III tidak mengalami konflik intrapersonal.

Responden III tidak mengalami konflik intrapersonal sehubungan dengan keinginan responden III untuk menjadi perempuan sepenuhnya tanpa ada keinginan untuk kembali menjadi laki-laki. Responden III menerima dirinya secara penuh sebagai perempuan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, merasa nyaman dengan identitas gender serta peran gender yang ia jalani. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan mengacu pada diagnosa Gender Identity Disorder (DSM IV-TR, 2000) yang menyatakan bahwa untuk didiagnosa sebagai Gender Identity Disorder salah satu kriterianya adalah adanya perasaan tidak nyaman yang menetap terhadap jenis kelaminnya atau perasaan tidak sesuai dengan peran gender dari jenis kelamin tersebut. Dengan demikian responden III tidak memenuhi kriteria untuk diagnosa Gender Identity Disorder karena responden III tidak mengalami konflik di dalamnya. Dengan kata lain responden III tidak mengalami konflik intrapersonal mengenai identitas gender yang dia miliki.

Berdasarkan data penelitian, responden III merasa nyaman dengan identitas gender mereka dengan alasan yang sejak kecil sudah diperlakukan sebagai perempuan oleh keluarganya. Identitas gender responden III dibentuk dalam keluarga dan kondisi responden III sebagai seorang waria diterima dengan baik oleh keluarganya sehingga responden III tidak mengalami ketegangan dalam lapangan kehidupan intrapersonal. Hal ini sesuai dengan pendapat Parry dan Saphiro (dalam Orford, 1992) yang menyatakan bahwa stres yang tinggi dan dukungan sosial yang rendah cenderung muncul bersamaan. Responden III memperoleh penerimaan yang baik dari keluarganya sehingga responden III memperoleh dukungan sosial yang

Page 45: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

88

tinggi dari keluarganya. Dengan demikian responden III tidak mengalami stres akibat kondisinya sebagai waria dan tidak mengalami ketegangan dalam lapangan kehidupan intrapersonalnya.

Berdasarkan pendekatan teori Lapangan Kurt Lewin (dalam Sarwono, 2002) konflik intrapersonal yang dialami responden I dan responden II dapat dijelaskan sebagai berikut:

Responden I 1. Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict) yang dialami responden I terjadi pada wilayah aktualisasi diri. Konflik ini muncul sehubungan dengan adanya dua tujuan perilaku yang harus ia tampilkan terkait dengan adanya dua keinginan yang muncul dalam dirinya. Kedua keinginan tersebut adalah keinginan untuk mengekspresikan diri sebagai perempuan dan keinginan untuk menjadi laki-laki. Responden I ingin mengekspresikan diri sebagai perempuan sesuai dengan dorongan dari dalam dirinya untuk menjadi perempuan dengan berperilaku sebagai seorang permpuan. Akan tetapi di saat yang sama responden I menyadari secara fisik dirinya adalah seorang laki-laki dan ingin berperilaku sebagai seorang laki-laki. Kedua keinginan ini mengarah pada dua tujuan perilaku yang sama-sama menarik bagi responden I. Merujuk pada teori Lapangan Lewin (dalam Sarwono, 2000) maka dapat dikatakan bahwa kedua keinginan dan tujuan ini sama-sama memiliki valensi positif dan kekuatan yang sama kuat sehingga responden I mengalami konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict). 2. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) yang dialami responden I berada pada wilayah fisiologis, wilayah rasa aman, wilayah rasa cinta dan memiliki, dan wilayah aktualisasi diri, dijabarkan menurut teori Lapangan Lewin sebagai berikut: a. Sebagai manusia, responden I harus memenuhi

kebutuhan fisiologis yang mendasar yakni kebutuhan akan makanan. Agar bisa memenuhi kebutuhan tersebut responden I membutuhkan uang untuk membeli makanan dan uang tersebut bisa diperoleh jika responden I bekerja. Dengan demikian, bekerja untuk mencari makan atau mencari nafkah merupakan daya yang memiliki valensi positif. Bekerja untuk mencari nafkah menurut responden I merupakan tugas seorang laki-laki yang juga diperkuat oleh pendapat Pelras

(dalam Graham, 2004) yang menyatakan bahwa aktivitas utama seorang laki-laki dilakukan di luar rumah yakni mencari nafkah. Sedangkan di sisi lain, responden I memandang dirinya sebagai perempuan yang tidak memiliki kewajiban untuk bekerja dan mencari nafkah sehingga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup/makan menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri responden I. Dengan demikian, bekerja untuk mencari nafkah merupakan daya dengan valensi negatif bagi responden I. Pada saat yang sama responden I dihadapkan pada dua daya dengan valensi yang berbeda, yang menimbulkan ketegangan pada diri responden I di mana kekuatan daya-daya tersebut sama kuatnya sehingga terjadi saling tarik-menarik. Keadaan ini menurut teori Lapangan Lewin (Morgan dkk, 1986) disebut konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict). Konflik ini terjadi pada wilayah fisiologis di mana daya-daya yang ada berkaitan dengan kebutuhan fisiologis (Maslow dalam Hall dkk,1985).

b. Kondisi ekonomi yang sedang sulit membuat responden I terpaksa melacurkan diri. Melacurkan diri untuk mencari tambahan nafkah memiliki valensi positif, sedangkan di sisi lain kegiatan melacurkan diri membuat responden I merasa malu dengan saat bertemu dengan orang yang mengenalnya serta adanya risiko keamanan yang mungkin muncul dari pekerjaan melacurkan diri itu sehingga memiliki valensi negatif. Dengan demikian kegiatan melacurkan diri pada saat yang bersamaan memiliki valensi positif sekaligus valensi negatif yang sama-sama kuat dan berhubungan dengan kebutuhan akan rasa aman. Menurut teori Lapangan Lewin (Morgan dkk, 1986) kondisi ini disebut konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) yang berhubungan dengan kebutuhan akan rasa aman sehingga konflik terjadi dalam wilayah rasa aman (Maslow dalam Hall dkk, 1985).

c. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) pada wilayah cinta dan rasa memiliki responden I tergambar pada saat ia berpacaran dengan seorang laki-laki. Di satu sisi, ia sangat mencintai pacarnya dan tidak ingin kehilangan. Tetapi sayangnya, ternyata pacarnya tidak tulus, menipu, dan menguras habis hartanya. Sekalipun demikian, responden I tidak berani menegur, kuatir pacarnya akan marah dan meninggalkannya. Dengan demikian, perasaan

Page 46: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Stevanus Colonne dan Rika Eliana Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria...

89

cinta Juli kepada pacarnya memiliki valensi positif sedangkan rasa kuatir pacarnya akan marah jika ditegur dan meninggalkannya bervalensi negatif. Responden I tidak ingin kehilangan pacarnya di mana kondisinya sebagai waria membuat responden I sulit untuk menemukan pasangan. Tujuan responden I untuk menegur pacanya memiliki dua valensi yang berbeda pada saat yang bersamaan dan memiliki kekuatan yang hampir sama kuatnya, sehingga menurut teori Lapangan Lewin (Morgan dkk, 1986) responden I berada dalam situasi konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) yang berhubungan dengan kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki sehingga konflik terjadi pada wilayah cinta dan rasa memiliki (Maslow dalam Hall dkk, 1985).

d. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) pada wilayah aktualisasi diri terlihat saat responden I berusaha mencoba untuk menjadi laki-laki dengan bergaya seperti laki-laki dan mengerjakan pekerjaan yang menurutnya pekerjaan laki-laki yakni bekerja sebagai sales. Hal ini dilakukan responden I selain sebagai dorongan dari dalam hati untuk menjadi perempuan, responden I juga berkeinginan untuk menjadi laki-laki normal. Responden I berharap dengan bekerja sebagai sales maka responden I dapat menjadi laki-laki normal sehingga pekerjaan sales memiliki valensi positif. Namun saat melakukan pekerjaan sebagai sales timbul perasaan tidak nyaman pada diri responden I di mana responden I merasa tidak lagi menjadi dirinya sendiri sehingga pekerjaan sebagai sales memiliki valensi negatif. Sehingga pada saat yang sama responden I dihadapkan pada dua daya dengan valensi yang berbeda yang menimbulkan ketegangan pada diri responden I di mana kekuatan daya-daya tersebut sama kuatnya sehingga terjadi saling tarik-menarik. Menurut teori Lapangan Lewin (Morgan dkk, 1986), responden I berada dalam keadaan yang disebut konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) yang berhubungan dengan kebutuhan aktulisasi diri (Maslow dalam Hall dkk, 1985).

Responden II a. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict) yang dialami responden I berada pada wilayah rasa aman. Konflik yang dialami responden

II dijelaskan menurut teori Lapangan Lewin di mana responden II ingin beribadah namun terhambat oleh aturan yang mengatur tata cara beribadah. Responden memandang dirinya sebagai seorang perempuan ingin melaksanakan sholat namun terhambat tata cara sholat yang mengharuskan sholat dengan cara yang telah ditetapkan sesuai dengan jenis kelamin. Sholat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga memiliki valensi positif. Namun karena responden II memandang dirinya sebagai seorang perempuan membuat dirinya terhambat tata cara untuk sholat. Responden II ingin sholat dengan cara yang diperuntukkan bagi laki-laki, tapi merasa tidak nyaman sholat dan responden II juga tidak sholat dengan tata cara yang diperuntukkan bagi perempuan. Dengan kata lain sholat memiliki valensi negatif bagi responden II. Responden II pada saat yang sama menghadapi valensi positif dan valensi negatif dari keinginannya untuk sholat. Dengan demikian berdasarkan teori Lapangan Kurt Lewin, responden II mengalami konflik mendekat-menjauh (Morgan dkk, 1986). Konflik mendekat-menjauh yang dialami responden II berlangsung pada wilayah yang berhubungan dengan Tuhan atau wilayah rasa aman (Maslow dalam Hall dkk, 1985). b. Konflik mendekat-menjauh yang dialami responden II juga terjadi pada wilayah aktualisasi diri. Sebagai seorang waria responden II ingin tampil seperti perempuan, namun saat responden II mengunjungi keluarganya respoden II merasa khawatir. Responden II merasa khawatir jika saat mengunjungi keluarga dengan berpakaian seperti perempuan maka responden II dan keluarganya mendapat hinaan dari anggota keluarga lainnya ataupun dari masyarakat di lingkungan keluarganya yang mengenalnya. Berpenampilan seperti perempuan mempunyai valensi positif bagi responden II sebagai seorang waria dan juga mempunyai valensi negatif sehubungan dengan tanggapan yang akan diterima dari orang-orang yang dikenalnya. Dengan demikian responden II berhadapan dengan valensi positif dan juga valensi negatif dari keinginannya untuk tampil sebagai seorang perempuan. Menurut teori Lapangan Kurt Lewin responden II mengalami konflik mendekat-menjauh (Morgan dkk, 1986) pada wilayah aktualisasi diri (Maslow dalam Hall dkk, 1985).

Ketiga responden yang mengalami penyimpangan identitas gender (gender identity) dari laki-laki menjadi perempuan mengalami konflik yang

Page 47: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

90

melibatkan orang lain atau dengan kata lain mereka mengalami konflik interpersonal. Hal ini sesuai dengan pendapat Archer (dalam Davies, 2004) yang menyatakan bahwa peran gender pada laki-laki lebih jelas didefinisikan dari pada peran gender perempuan dan laki-laki yang menyimpang dari peran gendernya akan ada banyak sanksi yang dikenakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Argyle dan Henderson (1985) yang menyatakan bahwa masyarakat patrilineal menempatkan peran laki-laki dalam posisi yang tinggi, “…a male regarded as ‘the head of the family’…”, yakni laki-laki merupakan kepala keluarga. Masyarakat patrilineal mengharapkan laki-laki menunjukkan perilaku yang maskulin sedangkan wanita menunjukkan perilaku yang feminin (Nauly, 2003). Waria merupakan laki-laki yang memiliki identitas gender sebagai perempuan sehingga waria menunjukkan perilaku-perilaku yang feminin seperti berdandan dan memakai pakaian perempuan serta melakukan pekerjaan perempuan. Dengan demikian peran gender yang dijalankan oleh waria menyimpang dari peran gendernya sebagai laki-laki. Keinginan menjadi perempuan dan segala manifestasinya merupakan dorongan yang muncul dari dalam diri waria dan dorongan ini bertentangan dengan pandangan masyarakat terutama masyarakat patrilineal. Ketiga responden dihadapkan pada pertentangan antara keinginan dari dalam diri sendiri untuk menjadi perempuan dengan tuntutan dari masyarakat untuk berperilaku sesuai jenis kelamin. Konflik yang dialami oleh ketiga responden melibatkan orang lain atau masyarakat yang dengan kata lain disebut Konflik Interpersonal. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang menemukan ketiga responden mengalami konflik mendekat-menjauh dalam wilayah aktualisasi diri sehubungan dengan keinginan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai perempuan. Ketiga responden juga mengalami konflik antara daya yang berasal dari kebutuhan sendiri yakni kebutuhan untuk “menjadi perempuan” dan daya yang berasal dari orang lain yakni tuntutan dari masyrakat mengenai peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin.

Dari data hasil penelitian diketahui bahwa ketiga responden dapat mengalami jenis-jenis konflik yang sama dalam wilayah yang berbeda-beda atau sebaliknya mengalami jenis konflik yang berbeda tapi dalam wilayah yang sama. Identitas gender ketiga responden yang tercermin dalam kebutuhan untuk menjalankan peran gender pada berbagai wilayah kebutuhan yang bertentangan dengan tuntutan masyarakat untuk menjalankan

peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin menimbulkan ketegangan pada diri ketiga responden. Menurut Maslow (dalam Hall dkk, 1985) kebutuhan meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Sehingga konflik yang timbul akibat ketegangan dapat terjadi pada berbagai wilayah kebutuhan.

Responden I mengalami gangguan pada aspek sosial dan aspek pekerjaan yang berkaitan dengan konflik intrapersonal yang dialaminya. Konflik yang dialami reponden I sehubungan dengan penyimpangan identitas gendernya menimbulkan jarak antara diri sebenarnya dengan sebagian dari konsep diri ideal, yang secara kultural diasosiasikan dengan gender. Menurut Garnet dan Pleck (dalam Nauly, 2003) kondisi ini menyebabkan gender role strain yang mengarah pada penyesuaian psikologis yang buruk dan kepercayaan diri yang rendah. Sehubungan dengan konflik yang dialaminya, responden I mengalami penyesuaian psikologis yang buruk dan memiliki kepercayaan diri yang rendah sehingga mengalami gangguan dalam aspek sosial dan pekerjaan.

Responden I dalam kehidupan sehari-harinya selalu mengenakan pakaian wanita meskipun secara fisik responden I adalah laki-laki. Respoden I juga merasa tidak sesuai menjalankan peran gender laki-laki misalnya saat responden bekerja mencari nafkah timbul perasaan tidak nyaman dan menurutnya bekerja mencari nafkah adalah pekerjaan laki-laki sehingga responden I merasa tidak mampu bekerja mencari nafkah. Dengan demikian berdasarkan Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Text Revision (DSM IV-TR, 2000), responden I memenuhi kriteria Gangguan Identitas Gender (Gender Identity Disorder).

Demikian juga responden II yang memandang dirinya sebagai seorang perempuan dan merasa tidak nyaman menjalankan peran seorang laki-laki. Sehubungan dengan penyimpangan identitas gendernya, responden II mengalami gangguan pada aspek sosial dan religius. Dengan demikian berdasarkan Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Text Revision (DSM IV-TR, 2000), responden I memenuhi kriteria Gangguan Identitas Gender (Gender Identity Disorder).

SARAN 1. Dibuat suatu perkumpulan waria yang

menyediakan layanan konseling bagi para waria yang kesulitan dalam menghadapi konflik, dan

Page 48: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Stevanus Colonne dan Rika Eliana Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria...

91

juga mewadahi kegiatan-kegiatan yang mempunyai sumbangan positif bagi masyarakat untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap kaum waria.

2. Perlunya dukungan dari keluarga agar waria merasa lebih diterima dan menjalani kehidupan yang lebih baik dan tidak merasa terbuang dari keluarganya dan dari masyarakat.

3. Perlu disosialisasikan tentang keberadaan kaum waria karena masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang kehidupan waria misalnya melalui seminar-seminar pendidikan yang dapat menambah pengetahuan masyarakat umum tentang keberadaan waria.

4. Melakukan penelitian kualitatif dengan menggunakan alat bantu rekam visual untuk mendapat gambaran nyata mengenai kehidupan waria dan untuk melihat reaksi non-verbal.

5. Melakukan penelitian kuantitatif untuk melihat signifikansi hubungan antar konflik intrapersonal dengan identitas gender pada waria.

6. Melakukan penelitan terhadap waria dengan permasalahan yang berbeda seperti dukungan sosial pada waria. Hal ini diperlukan karena masih sedikit penelitian yang dilakukan terhadap waria.

DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric association.(2000). Diagnostik

and statistical manual of mental disorders IV; text revision (4th ed.). Washington DC: Author.

Argyle, M. & Henderson, M. (1985). The anatomy

of relationships. London: Heinemann. Basow, S.(1992). Gender, role and stereotype. New

York: McGraw Hill Company. Davies, M.(2004). Correlates of negative attitudes

toward gay men: Sexism, male role norms, and

male sexuality. The Journal of Sex Research. New York: Aug 2004.Vol.41, Iss. 3; page. 259, 8 pgs.

Graham, S.(2004). Consuming the global: Transgender subjectivities and the body in Indonesia. School of Social Science Faculty of Arts Auckland University of Technology.

Gunawan, F.X. Rudi & Suyono, S.J.(2003). Wild

reality: Refleksi Kelamin dan Sejarah Pornografi. Jakarta: Indonesia Tera Gagas Media.

Hall, C.S., Lindzey, G., Loehlin, J.C. & Sevitz,

M.M.(1985). Introduction to theories of personality. New York: John Willey & Sons.

Levine, B. S. & Davis, L.(2002). What I did for

love: Temporary returns to the male gender role. International Journal of Transgender, vol.6, Number 4, 2002.

Morgan, C.T., King, R.A., Weisz, J.R. & Schopler,

J.(1986). Introduction to psychology, 7th ed. New York: McGraw Hill Company.

Nauly, M.(2003). Konflik Gender dan Seksisme:

Studi Banding Pria Batak, Minangkabau dan Jawa. Yogyakarta: ARTI.

Orford, J.(1992). Community psychology: theory and

practise. John-Willey and Sons. Sarwono, S. W.(2002). Teori-Teori Psikologi

Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Shaw, M.E. & Costanzo, P.R.(1982). Theories of

social psychology. New York: McGraw Hill Company.

Page 49: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

92

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU MEROKOK

PADA REMAJA LAKI-LAKI

Hasnida dan Indri Kemala P S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki. Hipotesis penelitian ini adalah bahwa ada hubungan positif antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki. Penelitian ini melibatkan 98 orang siswa SMA Negri I Medan dan SMA Swasta Mehodist I Medan dengan karakteristik sampel berjenis kelamin laki-laki, usia 15-18 tahun dan berperilaku merokok. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Stres dan Skala Perilaku Merokok. Teknik analisa data yang digunakan adalah korelasi Pearson Product Moment.. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara stres dan perilaku merokok pada remaja dengan koefisien korelasi sebesar 0.792,(p < 0.01) yang artinya apabila tingkat stres pada remaja laki-laki tinggi maka semakin tinggi kecenderungan perilaku merokok pada remaja laki-laki. Juga dapat diketahui bahwa sumbangan efektif variabel stres terhadap peningkatan perilaku merokok adalah sebesar 63 %. Kata Kunci : Stres, Perilaku Merokok, Remaja Laki-Laki

Abstract The study was a corelational, aimed to find the association between stress and smoking behaviour in male teenagers. The hypothesis of the study was that there is a positive relationship between stress and smoking behaviour in male teenagers. The sample were 98 students from SMA Negri I Medan and SMA Methodist I Medan characterized by age of 15-18 years old, male and having a smoking behaviour. Sampling was conducted with cluster random sampling technique. Data was analyzed using Pearson Product Moment correlation technique. This study conducted that there is a significant positive relationship between stress and smoking behaviour in male teenager gives a high tendency of smoking behaviour (0.792, p < 0.01) The study also showed an effective contribution of stress variable towards the increasing of smoking behaviour of 63%. Key words : Stress, Smoking Behaviour, Male Teenager.

PENDAHULUAN

Stres merupakan bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan. Stres mempengaruhi setiap orang, bahkan anak-anak. Kebanyakan stres di usia remaja berkaitan dengan masa pertumbuhan. Remaja khawatir akan perubahan tubuhnya dan mencari jati diri. Sebenarnya remaja dapat membicarakan masalah mereka dan mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah, tetapi karena pergolakan emosional dan ketidakyakinan remaja dalam membuat keputusan penting, membuat remaja perlu mendapat bantuan dan dukungan khusus dari orang dewasa (“Mengatasi,” 2002).

Sumber-sumber stres pada remaja berasal dari beberapa faktor antara lain faktor biologis, faktor keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya dan faktor lingkungan sosial (Needlman, 2004).

Compas (Ormachea, 2004) mengatakan bahwa remaja laki-laki paling sering mengalami konflik dengan orang tua dan guru. Mereka sering menentang aturan-aturan yang ada, baik itu peraturan yang ada di sekolah maupun di rumah. Remaja laki-laki sering tidak mengerjakan tugas-tugas di sekolah, tidak masuk sekolah, dan melakukan kenakalan-kenakalan lain seperti merokok, menggunakan obat terlarang dan berkelahi dengan teman-temannya.

Page 50: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Hasnida dan Indri Kemala Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok...

93

Jika dilihat data-data mengenai keterlibatan remaja dalam berbagai perilaku negatif, maka kita akan menemukan angka-angka yang mengejutkan dan mengkhawatirkan. Kelompok Smoking and Health memperkirakan sekitar enam ribu remaja mencoba rokok pertamanya setiap hari dan tiga ribu di antaranya menjadi perokok rutin (“Stop”, 2000).

Perilaku merokok pada remaja umumnya semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok, dan sering mengakibatkan mereka mengalami ketergantungan nikotin (Laventhal dan Cleary dalam Mc Gee, 2005).

Smet (dalam Komasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa usia pertama kali merokok pada umumnya berkisar antara 11 – 13 tahun dan pada umumnya individu pada usia tersebut merokok sebelum berusia 18 tahun. Data WHO juga semakin mempertegas bahwa jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja. Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64.8% pria dan dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok (Tandra, 2003). Bahkan menurut data pada tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Global Youth Tobacco Survey (GYTS) dari 2074 responden pelajar Indonesia usia 15 – 20 tahun, 43.9% (63% pria) mengaku pernah merokok (“Mengapa”, 2004).

Perokok laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan di mana jika diuraikan menurut umur, prevalensi perokok laki-laki paling tinggi pada umur 15-19 tahun. Remaja laki-laki pada umumnya mengkonsumsi 11-20 batang/hari (49,8%) dan yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang/hari sebesar 5,6%. Yayasan Kanker Indonesia (YKI) menemukan 27,1% dari 1961 responden pelajar pria SMA/SMK, sudah mulai atau bahkan terbiasa merokok, umumnya siswa kelas satu menghisap satu sampai empat batang perhari, sementara siswa kelas tiga mengkonsumsi rokok lebih dari sepuluh batang perhari (Sirait, dkk, 2001).

Menurut Smet (1994) ada tiga tipe perokok yang dapat diklasifikasikan menurut banyaknya rokok yang dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah:

1. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari.

2. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.

3. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.

Penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (2000) menyatakan bahwa kepuasan psikologis merupakan faktor terbesar dalam perilaku merokok pada remaja. Hasil dari penelitian ini juga didapatkan bahwa stres adalah kondisi yang paling banyak menyebabkan perilaku merokok pada remaja. Konsumsi rokok ketika stres merupakan upaya-upaya pengatasan masalah yang bersifat emosional atau sebagai kompensatoris kecemasan yang dialihkan terhadap perilaku merokok.

Tandra (2003) menyayangkan meningkatnya jumlah perokok di kalangan remaja meskipun telah mengetahui dampak buruk rokok bagi kesehatan, dan menyebutkan bahwa 20% dari total perokok di Indonesia adalah remaja dengan rentang usia antara 15 hingga 21 tahun. Meningkatnya prevalensi merokok di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia terutama di kalangan remaja menyebabkan masalah merokok menjadi semakin serius (Tulakom & Bonet, 2003).

Rice (1987) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi inidvidu terhadap situasi stres ini disebut sebagai respons stres.

Lazarus & Cohen (dalam Berry, 1998) mengklasifikasikan penyebab stres (stressor) ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Cataclysmic events

Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang, seperti bencana alam.

2. Personal stressors Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga.

3. Background stressors Pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan. Menurut Baldwin (2002) sumber stres pada

remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya sama, hanya saja remaja perempuan sering merasa cemas ketika sedang menghadapi masalah, sedangkan pada remaja laki-laki ketika menghadapi masalah cenderung lebih berperilaku agresif. Remaja laki-laki yang mengalami stres akan melakukan perbuatan negatif

Page 51: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

94

seperti mengkonsumsi rokok dan alkohol (Hurrelmann dalam Welle, 2004).

Menurut Lewin (Komasari & Helmi, 2000) perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan faktor lingkungan. Laventhal (Smet, 1994) mengatakan bahwa merokok tahap awal dilakukan dengan teman-teman (46%), seorang anggota keluarga bukan orang tua (23%) dan orang tua (14%). Hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (dalam Komasari dan Helmi, 2000) yang mengatakan bahwa ada tiga faktor penyebab perilaku merokok pada remaja yaitu kepuasan psikologis, sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja, dan pengaruh teman sebaya.

Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab mengapa seseorang merokok. Menurut Levy (1984) setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan tujuan mereka merokok. Pendapat tersebut didukung oleh Smet (1994) yang menyatakan bahwa seseorang merokok karena faktor-faktor sosio cultural seperti kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi, dan tingkat pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa stres yang dialami remaja laki-laki biasanya berasal dari konflik yang dialaminya dengan lingkungan sosial dan orang tua. Stres yang dialami remaja ini menyebabkan terjadinya perilaku negatif pada remaja, salah satunya adalah perilaku merokok, karena itu peneliti merasa tertarik melakukan suatu penelitian mengenai hubungan antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki.

METODE PENELITIAN Subyek Penelitian

Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 98 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki yang merokok. Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah remaja madya yang berumur 15-18 tahun, siswa SMA dan berperilaku merokok.

Adapun alat ukur yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: 1. Skala Stres

Skala stres merupakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek psikologis dari stres yang dikemukakan oleh Sarafino (1994) yang

meliputi aspek: kognisi, emosi, dan perilaku sosial. Skor tinggi pada skala ini menunjukkan tingkat stres yang tinggi pada subjek dan sebaliknya skor rendah menunjukkan tingkat stres yang rendah pada subjek.

2. Perilaku Merokok

Skala perilaku merokok merupakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek perilaku merokok yang dikemukakan oleh Aritonang ((1997) yaitu fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari, intensitas merokok, tempat merokok, dan waktu merokok. Skor tinggi pada skala ini menunjukkan perilaku merokok yang tinggi pada subjek dan sebaliknya skor rendah menunjukkan perilaku merokok yang rendah pada subjek. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Utama Analisa Data Penelitian

Dari hasil perhitungan dan pengujian korelasi dengan menggunakan Pearson Product Moment, diperoleh hasil rxy = 0.792 dengan p = 0.000. Dengan demikian hipotesis yang diajukan terbukti, bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara stres dan perilaku merokok pada remaja. Hipotesa penelitian diterima. Juga dapat diketahui bahwa sumbangan efektif variabel stres terhadap peningkatan perilaku merokok adalah sebesar 63%, sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain. Tabel 1. Product Moment Pearson Stres dengan

Perilaku Merokok

stres Plm Stress Pearson Correlation 1 .792(**)

Sig. (2-tailed) . .000 N 98 98Plm Pearson Correlation .792(**) 1 Sig. (2-tailed) .000 . N 98 98

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). 2. Hasil Tambahan 2.1.Kategorisasi Stres dan Perilaku Merokok pada

Remaja Laki-Laki Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Mean

empirik skala stres yang diperoleh sebesar 160.5 dengan SD empirik sebesar 12.9 dan Mean hipotetik sebesar 122.5 dengan SD hipotetik sebesar 24.5. Hasil perbandingan antara skor Mean empirik dengan Mean hipotetik menunjukkan bahwa Mean empirik lebih besar daripada Mean hipotetik, yang berarti bahwa secara rata-rata subjek penelitian

Page 52: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Hasnida dan Indri Kemala Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok...

95

memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada populasinya secara umum.

Kemudian berdasarkan kategorisasi menunjukkan bahwa sebagian besar remaja laki-laki termasuk dalam kategori sedang sebesar 73.5%, sedangkan sisanya 16.3% kategori tinggi dan 10.2% kategori rendah.

Berdasarkan perilaku merokok diperoleh Mean empirik skala perilaku merokok yang diperoleh sebesar 174.7 dengan SD empirik sebesar 14.8 dan Mean hipotetik sebesar 132.5 dengan SD hipotetik sebesar 26.5. Hasil perbandingan antara skor Mean empirik dengan Mean hipotetik menunjukkan bahwa Mean empirik lebih besar daripada Mean hipotetik, yang berarti bahwa secara rata-rata subjek penelitian memiliki tingkat perilaku merokok yang lebih tinggi daripada populasinya secara umum.

Kemudian berdasarkan kategorisasi menunjukkan bahwa sebagian besar remaja laki-laki termasuk dalam kategori sedang sebesar 72.4%, sedangkan sisanya 18.4% kategori rendah dan 9.2% kategori tinggi.

DISKUSI Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki. Hubungan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki adalah hubungan yang positif dengan rxy = 0.792 dan p = 0.000 artinya semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi tingkat perilaku merokok pada remaja laki-laki, begitu juga sebaliknya semakin rendah tingkat stres maka semakin rendah tingkat perilaku merokok pada remaja.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parrot (2004) mengenai hubungan antara stres dengan merokok yang dilakukan pada orang dewasa dan pada remaja

menyatakan adanya perubahan emosi selama merokok. Merokok dapat membuat orang yang stres menjadi tidak stres lagi. Menurut Parrot (2004), perasaan ini tidak akan lama, begitu selesai merokok, mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Keinginan untuk merokok kembali timbul karena ada hubungan antara perasaan negatif dengan rokok, yang berarti bahwa para perokok merokok kembali agar menjaga mereka untuk tidak menjadi stres.

Berdasarkan perolehan nilai koefisien determinan (r2) yang diperoleh dari hubungan antara stres dan perilaku merokok pada remaja laki-laki adalah sebesar 0.63, dapat dinyatakan bahwa kontribusi stres terhadap perilaku merokok pada remaja laki-laki adalah sebesar 63%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa terdapat 37% variabel lain yang berpengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja laki-laki. Variabel lain tersebut dapat berupa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok (Komasari dan Helmi, 2000) yaitu kepuasan psikologis, sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja dan pengaruh teman sebaya.

Hasil penelitian (Komasari dan Helmi, 2000) menyatakan bahwa kepuasan psikologis merokok diperkuat oleh efek-efek setelah merokok. Selain itu menurut Laventhal & Cleary (dalam Komasari dan Helmi, 2000), merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.

Menurut Komasari dan Helmi (2000), sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja dan lingkungan teman sebaya merupakan prediktor yang cukup baik terhadap perilaku merokok remaja yaitu sebesar 38.4%. Hal ini berarti bahwa faktor lingkungan yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan teman sebaya memberikan sumbangan yang berarti dalam perilaku merokok remaja.

Tabel 2. Kategorisasi Data Empirik Variabel Stres

Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi Persentase Rendah X < 148 10 10.2 % Sedang 148 • X <174 72 73.5 %

Stres

Tinggi X • 174 16 16.3 %

Tabel 3. Kategorisasi Data Empirik Variabel Perilaku Merokok Variabel Kategori Rentang Nilai Frekuensi Persentase

Rendah X < 160 18 18.4 % Sedang 160 • X <190 71 72.4 %

P. merokok

Tinggi X • 190 9 9.2 %

Page 53: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

PSIKOLOGIA • Volume I • No. 2 • Desember 2005

96

Sedangkan menurut Mu’tadin (2002), faktor lain yang mempengaruhi remaja merokok adalah pengaruh orang tua, pengaruh teman, faktor kepribadian dan pengaruh iklan.

Kemudian berdasarkan penelitian ini diperoleh mean empirik skala stres sebesar 160.9 dengan SD empirik sebesar 12.9, dan Mean hipotetik sebesar 122.5 dengan SD hipotetik sebesar 24.5. Hasil perbandingan antara skor Mean empirik dengan Mean hipotetik menunjukkan bahwa stres yang dimiliki oleh subjek penelitian berada di atas rata-rata populasi pada umumnya. Kemudian berdasarkan kategori tingkat stres didapatkan bahwa stres pada remaja laki-laki yang terbanyak pada kategori sedang yaitu sebanyak 72 orang (73.4%), 16 orang remaja laki laki (16.3%) berada pada tingkat stres tinggi, dan 10 orang remaja laki-laki (10.2%) berada pada tingkat stres rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Walker (2002) pada 60 orang remaja, penyebab utama ketegangan dan masalah yang ada pada remaja berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri mereka sendiri dan orang lain, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah, tekanan ekonomi dan tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya atau anggota keluarganya.

Walker pada tahun 2002 juga mengatakan bahwa stres yang dialami remaja bersumber dari dua hal yaitu dari lingkungan keluarga dan sekolah.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh mean empirik skala perilaku merokok sebesar 174.7 dengan SD empirik sebesar 14.8, dan Mean hipotetik sebesar 132,5 dengan SD hipotetik sebesar 26,4. Hasil perbandingan antara skor Mean empirik dengan mean hipotetik menunjukkan bahwa perilaku merokok yang dimiliki oleh subjek penelitian berada di atas rata-rata populasi pada umumnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (2000) yang menyatakan bahwa ketika subjek dalam kondisi tertekan (stres) maka perilaku yang paling banyak muncul adalah perilaku merokok. Konsumsi rokok ketika stres merupakan upaya-upaya pengatasan masalah yang bersifat emosional atau sebagai kompesantoris kecemasan yang dialihkan kepada aktifitas merokok. Hal ini semakin mempertegas mengapa para perokok merasakan kenikmatan setelah merokok karena perilaku merokok dipandang sebagai upaya penyeimbang dalam kondisi tertekan atau stres. SARAN

1. Hendaknya, saat mengalami ketegangan (stres) remaja laki-laki mencari alternatif lain pengganti rokok, seperti makan permen karet dan olah raga.

2. Orang tua sebaiknya memberikan perhatian lebih pada remaja laki-laki seperti sering menghabiskan waktu bersama, mengobrol, jalan-jalan dan bersikap lebih terbuka dengan cara mau mendengarkan pendapat anak dan mau dikritik, sehingga mereka merasa lebih dihargai.

3. Guru sebaiknya memberikan tugas-tugas yang tidak terlalu berat kepada murid-murid dan diharapkan dapat menerangkan pelajaran dengan baik dan mudah dimengerti oleh murid-murid, agar tidak menjadi stressor bagi mereka yang dapat memungkinkan munculnya penyelesaian masalah yang tidak diinginkan, misalnya merokok, membolos, menggunakan obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

4. Pemerintah sebaiknya mengadakan seminar atau penyuluhan mengenai bahaya merokok, terutama pada remaja yang duduk di bangku SMP, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan dan penelitian-penelitian sebelumnya, sebagian besar remaja merokok pertama kali ketika duduk di bangku SMP.

DAFTAR PUSTAKA Aritonang, M.R. (1997). Fenomena wanita merokok.

Jurnal psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Atkinson, S, dkk. (2000). Introduction to psychology

(13th Edition). Harcourt College Publisher. Baldwin, R.D. (2002). Stress and illnes in

adolescence: Issue of race and gender.http://www.fidarticles.com/ [on-line].

Berry, L.M. (1998).. Psychology at work: An introduction

to organization psychology. (2nd ed). New York : Mc-Graw Hill.

Komasari, D. & Helmi, AF. (2000). Faktor-faktor

penyebab perilaku merokok pada remaja. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Levy, M.R. (1984). Life and health. New York:

Random House.

Page 54: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

Hasnida dan Indri Kemala Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok...

97

Mengapa remaja merokok, 2004. http:// www.mqmedia.com/tabloid_mq/apr03/mq_remaja_pernik.htm [on-line].

Mengatasi stres pada remaja, 2002. http://

www.ramuracik.com/ [on-line]. Mc Gee, dkk. (2005). Is cigarette smoking

associated with suicidal ideation among young people? : The American Journal of Psychology. Washington. http://www. proque st.com/ [on-line].

Mu’tadin, Z. (2002). Kemandirian sebagai

kebutuhan psikologis pada remaja. http:// www.epsikologi.com/remaja.050602.htm [on-line].

Needlman, R. (2004). Adolescents stress. http://www.drspock.com/article/0,1510,7961,00.

html [on-line]. Ormachea, dkk. (2004). Gender and gender-role

orientation differences on adolescents' coping with peer stressors. Journal of Youth & Adolescence. New York. http:// www.proquest.com/ [on-line].

Parrot, A. (2004). Does cigarette smoking causa

stress? . Journal of Clinican Psychology. http:// www.fidarticles.com.

Rice, P. L. (1992). Stress & health (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Sarafino, F.P. (1994). Health psychology (2-nd Edition). New York: John Wiley & Sons.

Sirait, M.A. dkk (2001). Perilaku Merokok di

Indonesia. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan :Universitas Sumatera Utara.

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Semarang: PT.

Gramedia Stop merokok sekarang juga!!!. (2000). http://

www.klinikpria.com/nondokter/gayahidup/selingan/stopmerokok.html [on-line].

Tandra, H. (2003). Merokok dan Kesehatan. http://www.antirokok.or.id/berita/berita_rokok_ke

sehatan.htm [on-line]. Tulakom & Bonet. (2003). Merokok? ngapain juga!!!. http://www.english.com [on-line]. Walker, J. (2002). Teens in distress series adolescent stress

and depression. http://www.extension.umn.edu/ distribution/youthdevelopment/DA3083.html [on-line].

Welle D. (2004). Stres di kalangan remaja Jerman.

http:// www.dw-world.htm [on-line].

Page 55: Psikologia Vol_ 1 No_ 2 Des_ 2005

98

PETUNJUK BAGI PENULIS

Naskah yang dimuat dalam Jurnal PSIKOLogia adalah naskah hasil seleksi yang disetujui Dewan Redaksi dan belum pernah dipublikasikan di media manapun. Penulis yang bermaksud memuat tulisannya harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Materi tulisan harus bersifat ilmiah, merupakan hasil penelitian empiris, analisis kritis atas

karya/artikel yang telah diterbitkan, telaah pustaka, atau bentuk tulisan lainnya yang dipandang dapat mengembangkan disiplin psikologi.

2. Naskah penelitian ditulis dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul, ditulis dengan huruf kapital b. Nama (tanpa gelar) dan instansi asal penulis. c. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, ditulis miring dengan spasi tunggal

dan tidak lebih dari 250 kata yang mencakup hipotesis penelitian, subjek penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian

d. Kata kunci (1-5 kata) e. Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, penjelasan masing-masing variabel, dan

perumusan masalah f. Metode penelitian, berisi penjelasan tentang variabel penelitian, definisi operasional, subjek

penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisi data. g. Hasil utama dan tambahan yang dianggap perlu untuk dipublikasikan h. Diskusi dan Saran i. Daftar Pustaka

3. Naskah non penelitian ditulis dengan format: Judul, Nama (tanpa gelar) dan instansi asal penulis, Pendahuluan/Latar Belakang Masalah, Tinjauan Kepustakaan, Diskusi, Kesimpulan dan Saran serta Daftar Pustaka.

4. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang memenuhi kaidah yang baku. 5. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 menggunakan program Microsoft Word, dengan font

Times New Roman 14pt untuk Judul, 11pt untuk Nama Penulis dan Asal Instansi serta 11pt untuk Abstraksi dan Isi, satu setengah spasi, dan panjang tulisan maksimal 15 halaman.

6. Setiap kutipan harus dituliskan sumbernya pada akhir kutipan dengan meletakkannya dalam tanda kurung. Sumber kutipan memuat nama penulis dan tahun penerbitan. Penggunaan catatan kaki dimungkinkan dengan format penulisan sesuai dengan kaidah penulisan ilimiah.

7. Naskah harus disertai dengan daftar pustaka yang digunakan mengacu pada standard APA. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis dari nama akhir penulis utama.

8. Naskah diserahkan dalam bentuk satu eksemplar print out dan disket ke redaksi Jurnal PSIKOLogia dengan alamat Program Studi Psikologi FK USU, Jl. dr. Mansyur No. 7 Medan 20155. Selain itu juga bisa dengan mengirimkan via e-mail pada alamat [email protected].

9. Redaksi berhak menyunting naskah yang diterima tanpa mengubah maksud penulis. 10. Naskah yang diterima redaksi: (1) Dapat dimuat tanpa perbaikan; (2) Dimuat dengan

perbaikan; (3) Tidak dimuat karena tidak memenuhi syarat. Naskah yang tidak dimuat akan diberi catatan dan dikirimkan kembali kepada penulis untuk dikoreksi dan diperbaiki (jika menyertai perangko bagi yang mengirim via pos).

11. Penulis akan menerima dua eksemplar naskah terbitan.