pemberdayaan komunitas vol_ 3 no_ 2 mei 2004

Upload: anies-zhee-fitriatunnisa

Post on 06-Jul-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    1/60

      61

     

    Pemberdayaan KomunitaS D A F T A R I S I

     Ivan Razali Strategi Pembangunan Masyarakat Pesisir dan Laut... 61–68

     Amir Nadapdap The Plantation Land Conflicts in North Sumatra ........ 69–73

     Hairani Siregar Analisis Kehidupan Sosial Ekonomi Pengemis diPerempatan Jalan di Medan.........................................

     74–80

     Rr.Lita H.Wulandari &

     Fasti RolaKonsep Diri dan Motivasi Berprestasi Remaja

    Penghuni Panti Asuhan................................................

     81–86

     Rusni Menyiasati Membanjirnya Program Anak-anak di

    Televisi ........................................................................

     

    87–91

    Tuti AtikaBentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak danDampaknya terhadap Anak .........................................   92–99

     Mastauli Siregar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyalahguna-

    an Narkotik pada Remaja: Studi Deskriptif di Panti

    Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.............................

     

    100–105

     Dewi Kurniawati Kekerasan dan Pelecehan Perempuan di Media .......... 106–111

     Matias Siagian Kondisi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Ekonomi

    Isteri Keluarga Nelayan...............................................

      112– 118

    PK (JIKS) Vol. 3 No. 2 Hal. 61–118 Medan, Mei 2004 ISSN 1412-6133

    JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL 

    ISSN 1412-6133

    Volume 3 Nomor 2 Mei 2004

    Hal. 61 – 118

     

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    2/60

      61

    STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

    PESISIR DAN LAUT

    Ivan Razali

    Abstract

    There are two contradictory facts about seashore and ocean community. The first,

    seashore and ocean natural have rich natural resources. The second, seashore and

    ocean community are repressed of serious poverty. The national development of

    Indonesia must gives priority to seashore and ocean development program. It means,

    national development must pay attention to using of seashore and ocean resources and

    how to empower the seashore and ocean community, pass through seashore and ocean

    sector approach, by using community-based fishing system management is

    appropriate. By this policy, seashore and ocean resources can used to increase the

    community of seashore and ocean social welfare.

    Keywords: poverty, natural resources, community based

    Pendahuluan

     Negara Indonesia terkenal memiliki

     potensi kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini

    sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai

    negara kepulauan (archipelagic state), yang

    memiliki 17.508 gugusan pulau-pulau. Potensi

    sumberdaya pesisir di Indonesia dapat

    digolongkan sebagai kekayaan alam yang

    dapat diperbaharui (renewable resources),

    tidak dapat diperbaharui (non-renewable

    resources), dan berbagai macam jasa

    lingkungan (environmental service).

    Kekayaan alam Indonesia tersebut

    dibuktikan dengan berbagai ragam sumberdaya

    hayati pesisir yang penting seperti hutan

    mangrove, terumbu karang, padang lamun dan

    rumput laut, dan perikanan.

    Hutan mangrove misalnya adalah

    daerah/zona yang unik, yang merupakan

     peralihan antara komponen laut dan darat,yang berisi vegetasi laut dan perikanan

    (pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan

    sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan

     pantai) yang selalu atau secara teratur

    digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh

     pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan

    (pesisir) mangrove dicirikan oleh jenis-jenis

    tanaman bakau (rhizopora spp.), api-api

    (avicenia spp.), prepat ( sonneratia spp.) dan

    tinjang (bruguiera spp.)

    Data luas hutan mangrove di dunia ini

    sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesiaterdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang

    tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia

    (Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun

    1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove

    seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas

    tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat

    60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988).

    Hutan mangrove di Sumatera terutama

    tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena:

    1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih

    rendah dibanding pantai Barat Sumatera. 2)

     banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang

    mengalir ke Pantai Timur. Kondisi ini

    mendorong pertumbuhan mangrove di muara

    sungai makin subur dan makin luas, karena

     banyak endapan yang terbawa arus sungai

    (Dahuri, 1997).

    Selanjutnya potensi laut yang penting

    lainnya adalah ekosistem terumbu karang yaitu

    ekosistem yang khas untuk daerah tropis.

    Terumbu karang merupakan keunikan di

    antara asosiasi atau komunitas lautan yangseluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis.

    Terumbu adalah endapan-endapan masif yang

     penting dari kalsium karbonat yang terutama

    dihasilkan oleh karang ( filum Cnidaria, klas

     Anthozoa, ordo Medreporaria = Scleractinia)

    dengan sedikit tambahan dari alga berkapur

    dan organisme-organisme lain yang

    mengeluarkan kalsium karbonat. (Nybakken,

    1992).

    Di Indonesia, ekosistem terumbu karang

    menempati kira-kira 7.500 km2

    yang

    terbentang sepanjang 17.500 km dengan potensi yang dapat dimanfaatkan seperti

     Ivan Razali adalah Dosen Departemen Administrasi Negara FISIP USU

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    3/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

    62

     berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima,

    teripang, dan lain-lain. Terumbu karang juga

    dimanfaatkan untuk bahan bangunan,

     pembuatan jalan, pelabuhan udara dan bahan

     baku industri pupuk. (Dahuri, 2000).

    Potensi laut yang penting lainnya adalah

    Padang Lamun ( seagrass), yang merupakan

    komponen utama yang dominan di lingkungan

     pesisir. Biasanya berkembang pada perairan

    dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan

    laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu

    karang. Komunis padang lamun di Indonesia

    merupakan terluas.

    Rumput laut berbeda dengan padang

    lamun, dimana komunitas rumput laut

     berkembang pada substrat yang keras sebagai

    tempat melekat. Jadi mereka mampu

    mendaurulangkan nutrien kembali ke dalamekosistem agar tidak terperangkap di dasar

    laut. (Nybakken, 1992). Beberapa jenis

    rumput laut dijadikan makanan ternak, bahan

     baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain.

    Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar

    4 jenis yang telah dikomersilkan yaitu

     Euchema, Gracillaria, Gelidium, dan

    Sargasum. Potensi rumput laut di Indonesia

    dapat dilihat dari potensi lahan budidaya

    rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di

    Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan

    mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton per

    tahun. (Dahuri, 2000).

    Sektor terpenting lainnya di daerah

     peisisr dan laut adalah sektor perikanan yang

    merupakan suatu sektor penting karena dengan

     peningkatan ekspor perikanan, sesuai dengan

    tujuan pembangunan dalam sektor perikanan

    untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan

     pendapatan masyarakat pesisir dan melepaskan

    Indonesia dari krisis ekonomi saat ini. Di

    sektor perikanan terkandung kekayaan laut

    yang sangat beragam, antara lain dari jenis- jenis ikan pelagis (cakalang, tuna, layar) dan

     jenis ikan dumersal (kakap, kerapu). Selain

    itu, terdapat juga biota lain yang dapat

    ditemukan di seluruh pesisir di Indonesia,

    seperti kepiting, udang, teripang, kerang dan

    lain-lain. Pemanfaatan dan pengelolaan jenis-

     jenis biota tersebut, kadang-kadang kurang

     begitu dikenal ataupun belum dimanfaatkan

    secara optimal untuk meningkatkan

     perekonomian nelayan Indonesia dan sebagai

    salah satu sumberdaya penting yang dapat

    meningkatkan devisa negara.

    Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

    Masyarakat Pesisir

    Besarnya potensi kelautan tersebut

    ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan

    masyarakat nelayan. Hal ini terlihat dimana

    kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat

     jauh berbeda dengan potensi sumberdaya

    alamnya. Hal ini dibuktikan dengan masih

    rendahnya sumbangan sektor kelautan selama

    Pelita VI terhadap Produk Domestik Bruto

    (PDB) Nasional yaitu 12,1% dengan laju

     pertumbuhan 3,8% jauh di bawah laju

     pertumbuhan rata-rata seluruh sektor sebesar

    7,4% (Waspada, 18 Maret 2000).

     Nelayan adalah suatu fenomena sosial

    yang sampai saat ini masih merupakan tema

    yang sangat menarik untuk didiskusikan.Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang

    selalu muncul adalah masyarakat yang

    marjinal, miskin dan menjadi sasaran

    eksploitasi penguasa baik secara ekonomi

    maupun politik.

    Kemiskinan yang selalu menjadi “trade

    mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat

    dibenarkan dengan beberapa fakta seperti

    kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat

     pendapatan dan pendidikan yang rendah,

    rentannya mereka terhadap perubahan-

     perubahan sosial, politik, dan ekonomi yangmelanda, dan ketidakberdayaan mereka

    terhadap intervensi pemodal, dan penguasa

    yang datang.

    Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984)

    menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di

    daerah Jepara sebagian berasal dari golongan

    sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari

    Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara juga

    menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk

    Desa Pantai Sumatera Utara berpendapatan 25

    - 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989).

    Rata-rata pendapatan perkapita nelayantersebut tidak lebih 15 ribu/bulan. Padahal

     pendapatan perkapita penduduk Sumatera

    Utara rata-rata 37.267 rupiah/ bulan (BPS,

    1989).

    Beberapa tulisan mengenai nelayan yang

    menggambarkan tentang kemiskinan/ kondisi

    ekonomi nelayan seperti berikut ini. Tulisan

    Mubyarto (1984) misalnya, menganalisis

     perekonomian masyarakat nelayan miskin di

    Jepara. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan

    nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya

    tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas

    kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak,

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    4/60

     Razali, Strategi Pemberdayaan…

    63

    miskin dan miskin sekali di satu pihak.

    Penelitian ini menunjukkan adanya

    dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya

    terhadap nelayan miskin. Hampir sama

    dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto

    dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan

    nelayan di Kepulauan Riau. Menurut

    Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih

     banyak disebabkan oleh adanya tekanan

    struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang

    menekan nelayan miskin.

    Hampir sama dengan asumsi yang

    dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh

    struktur, Resusun (1985) juga menemukan data

     bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten

    Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok

    nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan,

    yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayankecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh

    nelayan yang punya modal ( punggawa) dan

     pedagang ( pa’bilolo) yaitu  sawi bagang   atau

     Pa’bagang atau pembantu utama punggawa

    dalam menangani kegiatan operasi

     penangkapan ikan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Resusun

    di atas juga menunjukkan adanya struktur

    hubungan sosial yang khas pada masyarakat

    nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak

    seimbangan antara yang mempunyai modal

    usaha dan para pekerjanya. Hubungan ituadalah antara  punggawasawi/pa’bagang yang

     bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun

     sawi  perlu sang  punggawa  sebagai sumber

    lapangan kerja,  punggawa  juga memerlukan

    tenaga sawi. Seorang punggawa akan berusaha

    supaya  sawi  yang dipercayai menetap

    diusahanya. Akibatnya terjadi hubungan yang

    selalu merugikan  sawi.  Karena seringkali

    kerelaan  punggawa untuk meminjamkan uang

    kepada  sawi  berdasarkan motivasi agar  sawi 

    tetap berada di lingkaran setan. Hutang yang

    tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalasdengan jasa yang sangat berlebihan.

    Hal ini terlihat dalam penelitian yang

    dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari,

    Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa

    seorang istri  sawi  mengerjakan apa saja di

    rumah isteri  punggawa  untuk membalas jasa

     punggwa membantu suaminya.

    Sejalan dengan hal di atas di Propinsi

    Sumatera Utara hasil penelitian-penelitian

    mengenai nelayan cenderung juga

    menunjukkan kondisi yang sama yaitu nelayan

    hidup dalam kemiskinan. Misalnya penelitian

    yang dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa

    Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang

    menyebutkan akibat struktur patron dan klien

    antara pemborong dan nelayan, maka nelayan

    Desa Bagan Deli menjadi miskin.

    Harahap (1992,1993,1994,) telah

    melakukan serangkaian penelitian yang

     berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tiga

    desa di Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil

     penelitian tersebut menunjukkan bahwa

     penyebab kemiskinan nelayan adalah faktor

     budaya dan rusaknya sumberdaya alam

    khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir)

    mangrove yang telah diubah menjadi tambak

    udang. Selain faktor-faktor di atas yang

    mnyebabkan nelayan miskin juga adanya

    konflik nelayan tradisional terhadap pemilik

    alat-alat tangkap modren seperti pukat

    harimau. Konflik itu terjadi karena pukatharimau melakukan penangkapan ikan di zona

     penangkapan nelayan tradisional. Salah satu

     penyebab konflik adalah adanya penabrakan

    nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan

    Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian

    nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban

    meninggal 5 orang, hilang 31 orang , sejak

    tahun 1993 sampai Juli 1998.

    Berbicara kondisi sosial budaya

    masyarakat nelayan di Sumatera Utara

    khususnya berasal dari etnis Melayu adalah

     berbicara mengenai kemiskinan nelayanMelayu yang merupakan salah satu pribumi

    (host population) di Sumatera Utara yang

    seharusnya dominan, tetapi ternyata juga

    mengalami pasang surut kehidupan ekonomi,

     politik dan kebudayaan terutama setelah

     penyerahan kedaulatan. Menurut catatan

    sampai sekarang belum juga bangkit dari

    ketenggelamannya dan masih belum ada usaha

    untuk menariknya ke luar dari pertapaannya

    yang cukup lama.

    Sudah barang tentu etnis Melayu

    Sumatera Timur ini pernah mempunyai etoskerja yang tinggi. Namun melihat keadaan dan

    kondisi suku-bangsa ini pada masa ini

    dibanding dengan suku-suku bangsa lain sadar

    atau tidak sadar terus berkompetisi, terlihat

    dalam kenyataan etnis Melayu terus tertinggal.

    Menurut Pelly (1987) kemunduran etos kerja

     pada suku-bangsa Melayu harus dilihat dari

     proses sejarah sekalipun ironis.

    Di satu pihak proses sejarah menun-

     jukkan betapa kemakmuran orang Melayu di

    zaman kolonial telah merosotkan tanggung

     jawab bangsawan Melayu terhadap masa

    depan orang Melayu itu sendiri. Di lain pihak

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    5/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

    64

    kemakmuran itu menaikkan status mereka.

    Pelly (1987) juga menyatakan kemunduran

    yang mematahkan kebanggaan Melayu itu

    adalah karena perubahan ekologi. Perubahan

    ekologi akibat migrasi dari berbagai suku-

     bangsa dan ras ke Sumatera Timur telah

    merombak jumlah dan komposisi penduduk

    dan menyebabkan orang Melayu menjadi

    kelompok minoritas di negerinya sendiri.

    Perubahan ini seumpama air bah yang

    digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial

    yang secara paksa melanda kehidupan sosial

     budaya masyarakat Melayu.

    Setidaknya ada dua gelombang migrasi

    yang terjadi pada penghujung abad ke 19 dan

     permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur.

    Penguasa Kolonial Belanda membuka

     perkebunan yang pada mulanya mendatangkanorang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang

    merupakan gelombang migrasi pertama. Orang

    Cina bekas kuli kebon ini keluar dari

     perkebunan menetap di kota-kota Sumatera

    Timur, seperti Medan, Pematang Siantar, dan

    Tanjung Balai mengembangkan lapangan

     perdagangan bersama dengan kelompok etnis

    lain, seperti Minangkabau, Mandailing dan

    Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan

    migran gelombang kedua, yang tujuannya

    selain berdagang juga banyak untuk menjadi

     pekerja di kantor, sebagai guru atau ulama.Akibat migrasi yang terjadi dalam dua

    gelombang itu Orang Melayu kelihatan

    menjadi minoritas dalam jumlah populasi,

    walaupun kedudukan mereka dalam bidang

     politik dan budaya masih tetap dominan.

     Namun akhirnya perubahan demografis diikuti

     perubahan ekologi yang paling mendasar yaitu

    tanah-tanah Orang Melayu dijadikan

     perkebunan. Dengan demikian perubahan

    terjadi pada sistem ekonomi rakyat walaupun

    kepada Sultan diberikan royalti dan ganti rugi.

    Orang Melayu kehilangan tradisimaritimnya karena ketiadaan komoditi. Tradisi

     pertanian komoditi eksport dan tradisi maritim

    adalah lambang etos kerja Orang Melayu.

    Sebagai penunggu tanah bekas, menanti

     panen tembakau untuk menanam pala dan

     palawija telah menanamkan kebiasaan hidup

    santai, karena ketergantungan kepada bantuan

    Sultan sebagai kebijakan ( policy)  pemerintah

    Kolonial Belanda. Sementara perkembangan

    kota menuntut pekerjaan baru seperti

     pertukangan, perdagangan, jasa, industri dan

    kepegawaian.

    Selain tidak tertarik dan kalah bersaing

    dengan suku-bangsa lain, pendidikan yang

    rendah akhirnya dalam okupasi baru itu

    Orang Melayu tidak kebagian. Muncullah

    tradisi “menepi pada suku-bangsa Melayu itu“.

    Seperti diketahui kebudayaan suatu

    masyarakat yang faktornya sangat ditentukan

    oleh lingkungan fisik dan sosial budaya

    memberikan bentuk tentang apa dan

     bagaimana kehidupan yang memuaskan.

    Kehidupan “di tengah” tidak lagi memberi

    kepuasan kepada mereka akibat perubahan

    lingkungan tadi. Akhirnya hidup di tepi pantai

    lebih memberi kepuasan. Namun laut tidak

    menggugah lagi dan tidak dapat meningkatkan

    kehidupan yang lebih baik. Kehidupan

    diterima dengan pasrah dan mereka tidak dapat

    ke luar dari lingkaran setan yang menjeratmereka dalam kehidupan miskin yang

    mendasar.

    Pendekatan Pembangunan Sektor Kelautan

    Pengalaman krisis ekonomi yang

    melanda Indonesia menampilkan sisi lain,

     bahwa kebijakan pertumbuhan ekonomi

    dengan mengambil langkah pembangunan

    industri melalui subsitusi impor ternyata

    membutuhkan biaya yang mahal dan

    ketergantungan yang besar industri Indonesia

    terhadap investasi, teknologi, bahan baku,

     bahkan ketergantungan politik kepada negara-

    negara industri maju. Pergeseran kebijakan

     politik yang melawan arus atau kepentingan

    negara-negara maju, cenderung ditanggapi

    oleh negara-negara maju dengan

    memanfaatkan ketergantungan itu untuk

    menekan atau memaksakan agenda-agenda

    kepentingannya.

    Oleh karena itu, pemerintah harus

    menggeser strategi pertumbuhan ekonomi dan

     proses industrialisasi yang berbasis padaindustri subsitusi impor (berbahan baku impor)

    ke proses industrialisasi yang lebih

    mengedepankan sektor-sektor yang berbasis

     pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri.

    Sektor kelautan dan perikanan

    menyumbang secara signifikan sekitar 1,87 %

     pada Produk Domestik Bruto sampai kuartal

    III tahun 1998. Terdepresinya rupiah terhadap

    dolar ke titik terendah dan berdampak pada

    merosotnya kontribusi ekonomi sektor-sektor

    lain, justru meningkatkan kontribusi ekspor

    komoditi perikanan pada devisa negara. Haltersebut dicapai karena di sektor perikanan

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    6/60

     Razali, Strategi Pemberdayaan…

    65

     pada faktor produksinya menggunakan mata

    uang rupiah sementara transaksi penjualan ke

     pasar dunia menggunakan nilai dolar.

    Sementara itu tingkat kesejahteraan para

     pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih

    di bawah sektor-sektor lain. Menurut sumber

    terbaru dari BPS, 1998 jumlah masyarakat

    miskin di Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa,

    dari data tersebut sekitar 60 % nya merupakan

    masyarakat pesisir.

    Agar kita dapat memanfaatkan

    sumberdaya perikanan sebagaimana yang kita

    harapkan, maka pertama yang harus kita

    lakukan adalah menyatukan kesamaaan visi

     pembangunan perikanan, yaitu “suatu

     pembangunan perikanan yang dapat

    memanfaatkan sumberdaya ikan beserta

    ekosistemnya secara optimal bagikesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia,

    terutama nelayan dan petani ikan secara

     berkelanjutan”.

    Untuk mewujudkan visi pembangunan

     perikanan tersebut di dalam menghadapi

    segenap peluang dan tantangan milenium ke-3

    serta untuk menjadikan sektor perikanan

    menjadi sektor andalan (leading sector),

    terdapat tiga syarat mutlak yang harus

    terpenuhi.  Pertama,  sektor perikanan harus

    mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi

    secara nasional (makro) melalui peningkatandevisa, peningkatan pendapatan rata-rata para

     pelakunya serta mampu meningkatkan

    sumbangannya terhadap Produk Domestik

    Bruto.  Kedua, sektor perikanan harus mampu

    memberikan keuntungan secara signifikan

    kepada para pelakunya dengan cara

    mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku

     perikanan yang pada saat ini masih sangat

    tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain.

     Ketiga,  pembangunan perikanan yang akan

    dilaksanakan selain dapat menguntungkan

    secara ekonomi juga harus ramah secaraekologis, artinya pembangunan harus memper-

    hatikan kelestarian dan daya dukung

    lingkungan baik terhadap sumberdaya

     perikanan itu sendiri maupun ekosistem

    lainnya.

    Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat

    nelayan beberapa faktor harus diperhatikan,

    misalnya kondisi sosial ekonomi dan budaya

    masyarakat nelayan. Untuk alternatif yang

    diberikan adalah pemberdayaan masyarakat

    nelayan dengan kerangka pengelolaan

    sumberdaya kelautan berbasis komunitas

    (Community-Based Fishing System

     Management ).

    Community-Based Fishing System

    Management

    Pengelolaan laut dan perikanan (pesisir)

    yang telah dilakukan negara belum

    sepenuhnya mampu melindungi laut dan

     perikanan (pesisir) dari eksploitasi manusia,

     baik itu dari pengusaha maupun dari

    masyarakat sendiri. Bersamaan dengan itu,

     partisipasi masyarakat belum secara penuh

    terlibat dalam pengelolaan laut dan perikanan

    (pesisir). Dengan perkataan lain, pengelolaan

    laut dan perikanan (pesisir) dengan perspektif

     produksi, efisiensi, sosial, ekonomi dan

    lingkungan harus menjadi komitmen dantujuan dari pengelolaan laut dan perikanan

    (pesisir). Artinya pengelolaan sumberdaya laut

    dan perikanan (pesisir) yang secara turun

    temurun dan berkelanjutan telah dipraktekkan

    dan dikembangkan oleh masyarakat laut dan

     pesisir harus digunakan untuk kesejahteraan

    mereka.

     Namun konsep sistem laut dan perikanan

    (pesisir) kerakyatan pemerintah di atas,

    mengabaikan sejarah (ahistoris). Karena

    mengabaikan secara hukum keberadaan dan

    keterampilan rakyat/ penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar laut dan

     perikanan (pesisir). Posisi rakyat dalam

     berhadapan dengan pemerintah dan pengusaha

    sangat lemah. Karena pelestarian laut dan

     perikanan (pesisir) (manfaat ekologis) hanya

    dimungkinkan bila rakyat dilibatkan secara

    maksimal sehingga tingkat kesejahteraan

    mereka semakin baik (manfaat ekonomi).

    Banyak manfaat yang diperoleh dengan pola

     pengembangan Community Based Fishing

    System Management , antara lain:

    1. 

    Memelihara fungsi lingkungan denganmemanfaatkan sumberdaya di

    dalamnya secara lestari (sustainabili-

    ty).

    2. 

    Meningkatkan pendapatan (income

     generating ) anggota komunitas yang

    taat pada prinsip pemerataan dan

    keadilan sosial (equity and social

     justice).

    3. 

    Meniingkatkan partisipasi politik

    masyarakat lokal yang dilandasi pada

    adanya keswadayaan ekonomi dan

     politik ( self reliance).

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    7/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

    66

    Selain manfaat di atas, CBFSM juga

    mempunyai manfaat secara ideologis yaitu:

    1. 

    Pembangunan berpusat pada masya-

    rakat lokal, tidak lagi semata berbasis

     pada negara (pemerintah).

    2. 

    Tanggung jawab mengelola

    sumberdaya alam pada masyarakat

    lokal, bukan hanya pada negara/

     pemerintah.

    3. 

    Akses dan pengendalian sumberdaya

    terbuka luas untuk masyarakat lokal,

    tidak eksklusif semata di tangan

    negara (pemerintah).

    Secara sosial dan politik, CBFSM juga

     bermanfaat sebagai berikut:

    1. 

    Meningkatkan keadilan sosial.

    2. 

    Meningkatkan partisipasi masyarakatdalam pengambilan keputusan peman-

    faatan sumberdaya.

    3.  Prioritas pembangunan sesuai dengan

    kebutuhan lokal.

    4. 

    Manfaat sumberdaya secara langsung

    dapat dinikmati penduduk lokal.

    5.  Sarana produksi cenderung berskala

    kecil dan menengah.

    6.  Dari aspek teknis dan ekonomis lebih

    efisien.

    7. 

    Masyarakat lokal langsung dapat lebih

    mudah mengendalikan sumberdayanya secara berkelanjutan.

    Oleh karena itu agar sistem laut dan

     perikanan (pesisir) kerakyatan dapat

    memperoleh manfaat secara ekologis dan

    ekonomis paling tidak harus memiliki ciri

    yaitu:

    1. 

    Aktor utama pengelolaan laut dan

     perikanan (pesisir) adalah masyarakat

    setempat. Artinya masyarakat harus

    diberi hak dan kewajiban secara resmi.

    2. 

    Lembaga pengelolaan dibentuk,dilaksanakan dan dikontrol secara

    langsung oleh masyarakat setempat.

    3. 

    Ada wilayah yang jelas, yang memiliki

    kepastian hukum yang mendukungnya.

    Hukum itu bisa hukum negara atau

    hukum adat setempat. Artinya ada

     pengakuan negara atas hukum adat

    dan hak ulayat komunitas.

    4.  Interaksi antara masyarakat dengan

    laut dan perikanan (pesisir) setempat

     bersifat erat dengan langsung (kelang-

    sungan hidup mereka memang sangat

    ditopang dari pemanfaatan hasil laut

    dan perikanan (pesisir).

    5. 

    Pengetahuan lokal posisinya sangat

     penting dan melandasi bentuk

     pengelolaan laut dan perikanan

    (pesisir) setempat.

    6. 

    Teknologi yang digunakan memang

    sangat dikuasai masyarakat setempat

    dan menjadi tradisi mereka. Artinya

    strategi pengelolaan sesuai dengan

    kebutuhan aktual dan kapasitas lokal.

    7. 

    Dalam melaksanakan hasil-hasil laut

    dan perikanan (pesisir) itu aspek

    kelestariannya sangat diperhatikan

    sekalipun itu mereka memanfaatkan

    untuk mendapatkan uang sebanyak-

     banyaknya.

    8. 

    Sistem ekonomi didasarkan padakesejahteraan bersama

    9.  Keaneka ragaman mendasari berbagai

     bidangnya, seperti dalam hal: jenis dan

    hayati, pola budaya dan pemanfaatan

    sumberdaya, sistem sosial dan lain-

    lain. Hal ini juga untuk mengurangi

    tekanan eksploitasi terhadap satu jenis

    sumberdaya.

    Penutup

    Berkaitan dengan pemberdayaanmasyarakat pesisir dan laut, yang lebih penting

    dari sejumlah prasyarat di atas adalah adanya

     pemahaman secara eksternal terutama internal

    mengenai pranata-pranata tradisional dalam

     pengelolaan sumberdaya alam yang

    dipraktekkan masyarakat setempat. Pranata ini

     penting dicermati khususnya yang berkaitan

    dengan organisasi dan peraturan pemilikan dan

     pemanfaatan sumberdaya yang ada. Karena

    telah sama-sama kita ketahui bahwa

     permasalahan utama pembangunan dalam

    rangka meningkatkan taraf kesejahteraanwarga desa, bukanlah bermuara pada persoalan

    ketersediaan sarana fisik, teknis dan uang.

    Banyak contoh-contoh bagaimana sarana fisik

    dibangun dan bantuan keuangan diberikan

    kepada warga desa tetapi akhirnya sia-sia. Hal

    ini disebabkan oleh keberadaan mereka yang

    tidak memiliki kemampuan dalam manajemen

     bantuan langsug.

    Persoalannya adalah bagaimana menum-

     buhkan organisasi-organisasi desa yang baik,

     produktif dan mampu bersaing, sehingga dapat

     bernegosiasi dan tawar menawar dengan

     pemerintah maupun agen-agen pembangunan

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    8/60

     Razali, Strategi Pemberdayaan…

    67

    lainnya dalam pelaksanaan pembangunan di

    desa mereka sendiri. Bantuan berupa uang atau

    sarana fisik tidak akan memberi arti apapun

     bagi peningkatan ekonomi penduduk tanpa ada

    kemampuan di kalangan penduduk untuk

    mengatur secara sosial dalam mengamankan,

    memelihara, dan mengembangkan bantuan itu.

    Potensi kemampuan berkelompok ini

    tergantung pada besarnya persinggungan nilai-

    nilai dan norma-norma yang dimiliki bersama

    dalam suatu komunitas dan kemampuan

    seseorang untuk mendahulukan kepentingan

    umum di atas kepentingan pribadi. Dengan

    kata lain kemampuan berkelompok hanya

    dapat terjadi jika ada saling percaya di antara

    anggota kelompok atau komunitas

     bersangkutan. Kepercayaan itu sendiri berakar

     pada norma sosial, adat istiadat dan etika sosialyang dimiliki setiap kelompok atau komunitas

    secara bersama-sama. Pada saat suatu

    masyarakat memiliki saling percaya yang kuat

    maka pada saat itu modal sosial  yang dimiliki

    masyarakat tersebut juga tinggi.

    Banyak contoh dikemukakan para ahli

     pembangunan bahwa masyarakat yang

    memiliki modal sosial yang tinggi cenderung

    merupakan masyarakat yang berproduktifitas

    tinggi. Dengan kata lain, dalam konteks

     pembangunan, demokratisasi tidak semata

     berarti suatu pembangunan harus mengutama-kan manusia, yang lebih penting adalah di

    dalam proses itu selalu mendayagunakan adat

    istiadat, nilai-nilai dan etika yang memang

    milik masyarakat tersebut. Inilah yang disebut

     pembangunan berwawasan kebudayaan.

    Daftar Pustaka

    Anonimus, 1997,  Beberapa Pengertian Ten-

    tang Mangrove, Dalam Panduan Pela-

    tihan Pelestarian dan Pengembangan

    Ekosistem Mangrove Secara Terpadu danBerkelanjutan. Pusat Penelitian

    Lingkungan Hidup, Universitas Brawi-

     jaya, Malang.

    Anwar, Jazanul, Sengli J. Damanik, Naza-

    ruddin Hisyam dan Anthony J. Whitten,

    1984,  Ekologi Ekosistem Sumatera,

    Gadjah Mada University Press,

    Yogjakarta.

    Batoro, Jati, 1997 , Petunjuk Pembuatan

     Herbarium,  Dalam Panduan Pelatihan

    Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem

    Mangrove Secara Terpadu dan

    Berkelanjutan, Pusat Penelitian Ling-

    kungan Hidup Universitas Brawijaya,

    Malang.

    Dahuri, Rokhmin, 1997,  Pengembangan

     Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Ber-

     ganda Ekosistem Mangrove di Sumatera,

    Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan

    Pengembangan Ekosistem Mangrove

    Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat

    Penelitian Lingkungan Hidup Universitas

    Brawijaya. Malang.

     ________, 2000,  Reposisi Pembangunan Perikanan Indonesia Dalam Rangka

     Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ,

    Makalah Dalam Seminar Sehari

    Kementerian Eksplorasi Laut: Mampukah

    Menjamin Hak-hak Nelayan Tradisional,

    JALA, SNSU dan FISIP USU, Medan.

     ________, 2000,  Pemberdayaan Wilayah

     Pesisir Yang Berbasis Pada Pemberda-

     yaan Masyarakat,  Makalah disampaikan

     pada Rapat Kerja Center For Regional

    Resource Development and CommunityEnpowerment (CRES-CENT). Bogor 20 -

    23 April 2000, Bogor. 

    Dartius, 1988,  Faktor-faktor Lingkungan

     Hidup dan Sosial Ekonomi Dalam

     Pengelolaan Mangrove Sepanjang Pesisir

    Sumatera Utara (Tahap I ), Laporan

    Penelitian Tidak Dipublikasikan,

    Lembaga Penelitian USU, Medan.

    Harahap, R, Hamdani, 1992,  Nelayan dan

     Kemiskinan (Studi Antropologis Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu,

     Kabupaten Deli Serdang ), Laporan

    Penelitian, Lembaga Penelitian USU.

     ________, 1993,  Kearifan Ekologi Masya-

    rakat Nelayan Desa Jaring Halus, Keca-

    matan Secanggang, Kabupaten Langkat

     Propinsi Sumatera Utara, Laporan

    Penelitian. Lembaga Penelitian USU.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    9/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

    68

     ________, 1994, Orientasi Nilai Budaya

     Nelayan Propinsi Sumatera Utara (Studi

     Perbandingan Terhadap Masyarakat

     Nelayan Desa Jaring Halus, Kecamatan

    Secanggang, Kabupaten Langkat dan

     Masyarakat Nelayan Cina di Desa Su-

    ngai Berombang, Kecamatan Panai Hilir,

     Kabupaten Labuhan Batu), Laporan

    Penelitian, Lembaga Penelitian USU.

     ________, 1994,  Keterkaitan Faktor Kebu-

    dayaan Dalam Pemenuhan Kebutuhan

     Masyarakat Nelayan dan Pelestarian

     Lingkungan Di Daerah Pantai Timur

    Sumatera Utara, Tesis S2, Program

    Pascasarjana IPB, Bogor.

    Lubis, Kamaluddin, 1991,  Hukum SebagaiSarana Rekayasa Konflik Kepentingan

     Dalam Pemanfaatan Laut dan perikanan

    (pesisir) Mangrove di Sumatera Utara,

    Dalam Seminar Nasional Kehidupan

     Nelayan dan Aspek Hukumnya di Wilayah

    Pantai Pesisir Timur, Fakultas Hukum

    USU, Medan.

    Mubyarto, Loekman Soetrisno dan Michael

    R.Dove. 1984.  Nelayan dan Kemiskinan

    Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa

     Pantai. Rajawali. Jakarta.

    Mubyarto dan Loekman Soetrisno, 1988,

    Studi Pengembangan Desa Pantai di

     Provinsi Riau. Pusat Pembanganunan Pe-

    desaan dan Kawasan UGM, Yogjakarta.

     Nybakken, James, W, 1992,  Biologi Laut

    Suatu Pendekatan Ekologis, Gramedia

    Pustaka Utama, Jakarta.

    Pandia Setiaty. 1996.  Pengelolaan Laut dan

     perikanan (pesisir) Bakau di Kabupaten Langkat Sumatera Utara Yang Berdi-

    mensi Sosial Ekonomi, Berwawasan

     Lingkungan Serta Menunjang

     Pembangunan Daerah. PUSLIT SDAL-

    USU. Medan.

    Pariwono, John, I, 1997,  Dinamika Perairan

     Pantai di Daerah Laut dan perikanan

    (pesisir) Mangrove,  Makalah Dalam

    Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem

    Mangrove Secara Terpadu dan Berke-

    lanjutan, Proyek Pengembangan Pusat

    Studi Lingkungan Dirjen Dikti

    Depdikbud, Malang.

    Pelly, Usman, 1987,  Etos Kerja Orang Me-

    layu Dalam Perubahan Sosial , Kertas

    Kerja Simposium LIPI, Jakarta.

    Qoid, Abdul dan Mimit Primyastanto, 1997,

     Analisis Kelayakan Finansial Proyek Laut

    dan perikanan (pesisir) Mangrove, 

    Makalah Dalam Pelatihan danPengembangan Ekosistem Mangrove

    Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Proyek

    Pengembangan Pusat Studi Lingkungan

    Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.

    Rambe, Saruhum, 1997,  Laut dan perikanan

    (pesisir) Desa (Studi Mengenai

     Pengelolaan Laut dan perikanan (pesisir)

    Oleh Masyarakat Lokal di Desa Jaring

     Halus, Kecamatan Secanggang, Langkat ),

    Jurusan Antropologi FISIP USU, Medan.

    Resusun, Demianus, 1985,  Dayung Basah

     Periuk Berisi. Studi Tentang Beberapa

     Aspek Sosial Ekonomi Nelayan Bagang di

     Pulau Sembilan, Dalam Muklis dan

    Kathryn Robinson. Masyarakat Pantai.

    Lembaga Penelitian Universitas

    Hasanuddin, Ujung Pandang.

    Rizal, Jufrina, 1985,  Kehidupan Wanita Bira.

    Dalam Muklis dan Kathryn Robinson.

    Masyarakat Pantai, Lembaga Penelitian

    Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

    Soewito, 1984, Status Ekosistem Laut dan

     Perikanan (pesisir) Mangrove Dalam

     Kaitannya Dengan Kepentingan Peri-

    kanan di Indonesia dan Kemungkinan

     Pengembangannya, Dalam Prosiding

    Seminar II Ekosistem Mangrove, LIPI,

    Jakarta.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    10/60

     

    69

    THE PLANTATION LAND CONFLICTS

    IN NORTH SUMATRA

    Amir Nadapdap

    Abstrak

    Implementasi otonomi daerah pada tahun-tahun terakhir ini secara nyata telah

    menghasilkan persepsi baru perihal masyarakat lokal atau komunitas. Pada masa yang

    cukup panjang, pemerintah secara nyata mendominasi seluruh aktivitas pembangunan

    di Indonesia. Hal ini berarti bahwa masyarakat lokal hanya dijadikan sebagai obyek

     pembangunan, yang berarti mereka tidak diikutsertakan dalam proses pembangunan.

    Akan tetapi, saat ini, implementasi otonomi daerah menuntut partisipasi masyarakat

    lokal dalam semua proses pembangunan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

    Dalam konteks yang lebih luas, otonomi daerah dapat dipandang sebagai suatu

     peluang bagi pemberdayaan masyarakat lokal, dan pemerintah daerah harus

    memandang hal tersebut sebagai suatu keharusan untuk menjalin hubungan kerja samadengan kelompok masyarakat, dan harus menciptakan suatu jaringan kerja sama yang

    saling menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Implementasi

     pemberdayaan masyarakat merupakan suatu paradigma baru yang dapat menciptakan

    masyarakat yang kritis, khususnya dalam melihat masalah pembangunan yang ada di

    daerah mereka. Dalam kasus ini, masyarakat lokal senantiasa mengevaluasi program

     pembangunan, apakah sesuai atau tidak bagi mereka.

    Katakunci: otonomi daerah, program pembangunan, masalah pembangunan

    Introduction

    The East Sumatra region where later

     becomes known as a part of the Province of

    Sumatra Utara after the Declaration of

    Proclamation of The Republic of Indonesia in

    17 August 1945 was comprised of Langkat,

    Deli, Serdang, Asahan, Batu Bara, Kualu,

    Panai, and Bila in the nineteenth century.

    According to Reid (1987), the East Sumatra

    region has many ethnic groups, such as the

    Malay, Karo Batak, and Simelungun who are

    the indigenous people. Pelzer said (1978: 3)

    “…in fact the greater part of the East Sumatran population consisted of Batak. It is quite

     possible that in the past the Karo Batak

    occupied the coast of Langkat, Deli and

    Serdang and the Simelungun Batak that of

    Batu Bara, the way the Toba Batak still hold

    the coast between the Asahan and Barumun

    rivers, but the they were gradually either

    displaced or assimilated by the incoming

    Malay element”. The largest part of them was

    subsistence peasants. They practiced tradition

    cultivation on temporary forest clearings.

    In the late nineteenth century, the native people intensively began making contact with

    large-scale capitalist societies, represented by

     both the Netherland-Indies Government and

    European entrepreneurs. Mainly, they

    cooperated in making land lease contracts

    whereby The Sultans of various kingdoms

    represented the local people. Sultan usually

    approved those contracts without ordinary

     people’s participation. Later, these patterns of

    cooperation often became the triggers of

    agrarian conflicts.

    This paper is trying to explain both the

    roots of conflict and its coping strategies from

    an historical perspective. Then, the strategy

    will compare with current policies of thegovernment. The purpose of this paper is two

    fold: (1) to increase public awareness of the

     plantation dwellers development issues

    involved in plantation management; and (2) to

    make a policy recommendation that will,

    hopefully, promote good relations between the

     plantation companies and plantation dwellers.

    Land Conflict in the Past

    Below is what Pelzer wrote in his book :

    “…. the fall of 1940 when, unexpectedly, Iwas forced to spend seven weeks, instead of

     Amir Nadapdap, adalah Dosen Departemen Antropologi Sosial FISIP USU 

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    11/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 69- 73

    70

    an anticipated one week, in Medan, the capital

    of the great, prosperous plantation region wich

    stretches along the strait of Malacca from the

    Aru Bay in Aceh to Labuan Batu on the

    Barumun Panei River. During the course of

    this enforced stay, I first learned about the

    great tug of war, which was going on between

     planters, the Indonesian sultans and the

     Netherland Indies Government. The object of

    this tug of war was the land occupied by the

     plantation under lease arrangements, but the

    subject of the sultans had alienable rights. All

    three parties were anxious to see a

    disentanglement of the intertwined agrarian

    rights of Westerns planters and Indonesian

     peasants, but they could not agree on the terms

    necessary to protect the future of both the

     planters and the peasantry without affectingthe financial interest of the sultans. (Pelzer,

    1978: V)

    According to Pelzer, the agrarian conflicts

     between the planters, who were usually

     protected and supported by the sultans and the

    ruling government, and the native peoples goes

     back to the old days when land distribution and

    its usage rights were unequal. Clashes such as

    these have occurred from early days when

     plantation-based investors were entering the

    East Sumatra in the late nineteenth century.

    We would later understand that agroindustry-based investments such as tobacco

     plantations have given a range of benefits and

    welfare to the planters and the local ruling

    elites. Meanwhile, on the other side, the

     plantation laborers and native people remain in

    a steady state of misery and wholly inadequate

    circumstances.

    Referring to Pelzer (1978), we can say that

    cooperation was going on between the planters

    and local ruling elites (the sultans) could be

    seen as a political conspiracy. They deceived

    local people and manipulated the customarylaw in attempt to get wider concessions for the

     planters. Consequently, it has arisen various

    confusion and angrily among of the native

     people. For example, in 1871 Sultan of the

    Deli Kingdom has given a concession to the

     planters, there were within:

    1. The territory of the Karo Batak

    confederation, or urung,  Sepuluh Dua

    Kuta;

    2. The territory of the Datuk of Sunggal, or

    the confederation of Serbanyaman;

    3. The territory of the Datuk of Kampong

    Baru, or the confederation of Suka

    Piring; and

    4. The territory of the confederation

    Senembah Deli.

    All four territories (urung ) have been

     belonged to the Karo-Batak, which had

     become their traditional property rights, and

    then, the territories beyond jurisdiction of

    Sultan. As I said, commonly in order to give

    the concessions, Sultan of Deli did not attempt

    to take a participation of the Karo Batak

    Datuks which has caused that he was accused

    violating the customary law which was

     prevailed prior to the incoming of the Europe’s

    entrepreneurs.

    The Sultan, actually, has two reasons sothat he has the courage to manipulate the

    content of customary law. Both are: firstly, in

     political reason, he dares because he got full

    support from the center ruling government.

    Second, in economic reason, he very ambitious

    to line of his pockets, which the money was

    given by the planters as a payment for the

    concessions, and his services.

    Datuks and inhabitants became unsatisfied

    since the planters and Sultan overacted, so that

    they began making a social movement against

    the sultan. They attacked the source of thesultan’s newfound income by burning the

     planters’ tobacco drying sheds, preferably

    when filled with yields. More than that,

    ultimately, they declare war on sultan. As

    wrote in the historical book, the war occurred

    in 1872. It was a big war, later known as the

    Sunggal War, because the Dutch authorities

    was forced to bring in troops from the Riouw

    Islands and from Java who fought from May

    until November 1872 before the rebellious

    Karo-Batak chiefs surrendered (see, Pelzer

    1978: 69).

    The Pattern of Conflict

    Unpleasant relations between the

     plantation companies and dwellers have been

    steadily continuing and emerging in

     periodically since 1940s, 1950s, 1960s until

     present. It is easy to explain the conflicts if we

    wish remember the state of affairs in past time.

    In late nineteenth century, those conflicts often

    had occurred when a number of people had

    still infrequent and empty land (tanah kosong )

    widely available too. It seems normal if the

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    12/60

     Nadapdap, The Plantation Land…

    71

    conflicts recently had become more difficult to

    avoid when a number of people gradually

    grew-up and the size of the land had stay

     permanent.

     Nowadays, conflict between the planters

    and plantation dwellers usually triggered by

    each of them laid claim to the land. The

    Plantation dwellers put a claim for the land

     based upon their customary rights, whereas the

     planters put a claim for the land based upon

    their licenses for land use (HGU), which

    issued by the government. In the other word, in

    two recent years, we saw social protest

    movements, which go back to old years, and,

    therefore, it is just like a historical circle.

    It is interesting to ask: why have those

    conflicts been steadily occurring until now and

    government seems difficult to settle it? To findout the explanation, in my opinion, it is better

    if we see the government’s agrarian policies,

     particularly, as long as The Suharto’s regime

    (the new order) had been controlling Indonesia

    for 32 years.

    As we known, the farmers perceive that

    land like their second soul. In religious terms,

    land is an object which relating to their

    ancestors as well as has a prestige values. Its

    mean is that someone who has no land either

    will difficult to meet of obligations to his/her

    ancestors or will has no pride. In the otherwords, the farmers need for owning, at least, a

     piece of land in order to maintain their

    offspring and to increase their reproductive

    capability, so their community will steadily

    continue. Unfortunately, the new order regime

    did not want to take into account the farmers’

     belief regarding to the land. It is mean; in

    agrarian policy making process seems that

    government has less recognized the existing of

    farmers. As a result, even though Indonesia is

    an agriculture-based country where

    approximately 70% of people as ruraldwellers, in fact, the government did not give a

    high priority to produce people-based land and

    agricultural policies. Rather, the new order

    regime has been implementing liberalized

    land-tenure system policies and supporting

    capital-intensive activities in rural areas. These

     policies had opened some possibilities either

    for someone or a certain corporation to get

    dominating land resources in wide-scale,

    almost unlimited.

    Regrettably, the policies such as the green

    revolution programs had given some negative

    effects, those are: (1) the agricultural sector

    has already become as a capital-intensive

    industry. Even though the new agricultural

    technology more sophisticated and the yields

    kept increase, but it has become a causal factor

    for many labor forces became unemployment;

    and (2) more and more farmers became have

    no land again since their land were taken over

     by the large-scale industrialists or, at least,

    their land-wide became smaller. It happened

    since the government did not protect the

    farmer’s productive land from the capital

    owners who commonly characterized as the

    land-hunter. It is ironic situation, when a

    number of people who her/his living based on

    agriculture-related activities steadily increased,

    at the same time the farmlands were converted

    to non-agriculture needs in high-speed. Many

    wet-rice fields have been converted into a realestate, super market, highway road,

    manufacture industries, and otherwise. These

    matters occurred due to the capital owners got

    support from the government and military

    repressive behaviors. As a result, bargaining

     positions of the farmers became weaker and

    their existence high-risked to the market

    system changes.

    The farmers perceived that the

    government policies, psychologically, had

    caused they felt to be abused, ignored, and

    disregarded. In sociological terms, thesemarginality processes had structural effects,

    which they harder to break away from the

     poverty and powerlessness traps. Then, in

    culturally, these circumstances had already

    maintained the farmers’ rebelliousness to the

    regime. Therefore, today we see that as long as

    agrarian policies are not reformed, logically, of

    course the agrarian conflicts between the

     planters and the local people will steadily

    occur. It is a historical dilemma and was

     became the government’s owe to the farmers.

    International statistics showed that the crimerates and political instability most tend to

    occur in countries, where were implementing

    an unequal land-distribute system.

    Theoretically, the kinds of the farmers’

    social movements include are: protest actions,

    latently social disobedience (i.e. burning the

    crops and production hardware facilities,

    stealing the yields, destroying the plantation

    roads, etc), explicitly harassment, land

    occupied, and physical war (see, Scoot,

    1983:3). In addition, in doing a rebel action,

    there are two patterns of mass mobilizing. First

    is the rebellion without a leader. Thus, it is

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    13/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 69- 73

    72

    autonomous participation of each person to

    attack the common enemy. Second, a mass

    rebellion was provoked by a certain elite

    institution either a local leaders or internal and

    external organizations (i.e. the NGOs and

    farmer associations).

    The grade of rebellion relies on condition

    and political context changes. As long as the

     New Order regime had been reigning known

    that nothing yields of plantations were stolen

    and the plantation lands were occupied

     because the dwellers feared on military

    (TNI/POLRI)) oppression. Adversely,

    nowadays, it is happen in frequently because

     prior to 1998 Indonesia is an authoritarian

    country, and suddenly without sufficiently

    transition processes all of the state institution

    such as executive, legislative and law enforce

    institutions have been being powerless. In

    other words, all of the state institutions have

    failed making the adjustment in the

    transitioning circumstances. Therefore, law

    enforcement has been becoming more difficult

    to endorse since reform’s era 1998 up to now,

    and consequently, the culture of law has

    gradually grown weakness. Law order in

    changing Indonesian was both full uncertainty

    and ambiguity. Second, in three recent years,

    the farmer’s chance to make alliances with the political parties and other vested interest

    groups was widely open. Most of them, right

    now, are affiliating with PDIP (Partai

    Demokrasi Indonesia Perjuangan, Struggling

     Indonesia Democratic Party), which was

    symbolized as the new order regime’s

    opponent in a few years ago, and become the

    ruling government. In the other side, the

     planters and his labors are indistinguishable

    with the former ruling party, Golkar. They had

    long been taken for granted as the coreconstituents of the Golkar. However, the

    intensive contacts between the farmers and

    PDIP politicians have been most colored

    spirits to complain the social function of the

     plantations for dwellers. Similar effects have

    also been introduced NGO activists in their

    efforts into empowering the plantation

    dwellers. Currently, interrelations between the

    farmers and external organizations seems will

     be enhancing the courage and self-confidence

    of the farmers negotiating with the plantersand the government.

    Recommendation

    The implementing people-based land

     policy, such as applying an agrarian reform,

    must become the main priority of government

    in effort to avoid agrarian conflicts in the

    future. The aim is to reorganize the land tenure

    systems and its inner resources, so that it will

    meet of the principles of fairness, social

    equality, and welfare for all people. It is easy

    to say, but it will only happen if there is a good

    will from all people, mainly from the

    government. For example, we may see to the

    Egypt’s experience when they had been

    making agrarian reform from 1950s until

    1960s, which was, redistributed land to the

     poor farmers and somebody who has no land

    in efforts to increase the citizen’s productivity.It seems that the policy will be creating social

     prosperity for the Egypt’s people.

    On the contrary, in Indonesia,

    implementing an agrarian policy same as

    Egypt’s seems still difficult. It needs the

    government’s good will as well as will require

    a set of capabilities, principally, for negotiating

    with all stakeholders, whereas, in the other

    side, in the grass-root levels the government

    will need continuously promote a cooling-

    down situations because disputes between the

    dwellers and the planters have still beenoccurring and extending until present. For this

    reason, it is better for the local government and

    legislative (DPRD) in province as well as in

    district levels more creative and proactive to

    carry out dispute resettlements especially since

    2000 they have new political legalities and a

    set of law to do it as good as possible. Their

    new authorities mainly based on a set of

    regional autonomy laws that were issued after

    the fallen of the new order regime, such as: the

    Regional Governance Law No. 22/1999 and

    the Finances Balancing between Center andLocal Government Law No. 25/1999. Based

    on these authorities must be designed the

     policies that will give most benefits for all

    first-hand stakeholders such as the dwellers,

    the companies, and the local governments. We

    would like possibly studying of the Dutch’s

     policy in coping of the conflicts between the

    dwellers and the planters together with the

    sultans in early 1870s. At that time, the Karo

    Batak’s spokesmen argued that their people

    would welcome the establishment of

     plantations in their territories, provided that:

    (1) enough land remain in their possession to

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    14/60

     Nadapdap, The Plantation Land…

    73

     practice tradition cultivation, (2) their fruit

    trees and other property would be respected,

    and (3) they would not be prevented by the

    Europeans from developing new pepper

    gardens and wet-rice fields” (Pelzer, 1978: 70).

    A solution was given the Dutch resident in

    settled the conflict that is by ruling that

     payments for concessions in Karo territories

    must be divided into three equal parts, one-

    third going to the sultan, one-third to the Karo

    Batak Datuks, and one-third to the village

    chiefs within the concession (see, Pelzer 1978:

    70).

    The essence of that policy is creating a

    win-win solution, that all first-hand

    stakeholders get social economic incentives

    from the existing plantations within their

    region. Its mean, the dwellers have possibilities to access some resources surround

    the plantation in order to improve their

    income. By existing the incentives will

    encourage the dwellers’ participation to protect

    the plantation’s resources from destructive

     behavior by people, and others.

    Conclusion

    All stakeholders may recognize that the

     basic goal of the plantation companies is to

    meet the market demand on the plantation products. Their rights are able to quiet running

    their business and gaining improvement in

    order to give the salary of their labors and tax

     payment to the government, which is as an

    income source of the government. However,

    they also have an obligation that is giving

    contribute in prospering the plantation

    dwellers, so that the plantation development

    may become an example of the sustainable

    management of the environment. The point is

    that the community development in recent

    years has already increased its attention on

    environment issues. In spite of this, the

    difficulties in attaining the goal of sustainable

    development have not diminished.

    References

    Fawzi, Noer, 1998, ‘Isue-Isue Utama

     Pembaruan Agraria Dewasa Ini Menuju

     Membesarnya Peran Masyarakat Sipil’ ,

    dalam  Pembaruan Agraria. Jalan Rakyat

     Indonesia Menuju Masyarakat Adil,

     Makmur dan Merdeka,  Medan: Federasi

    Serikat Petani Indonesia.

    Hawes, Gary J., 1978, ‘Theories of Peasant

     Revolution: A Critique and Contribution

     form the Phillipines’,  Dalam World Politics, Vol. XI/3.

    Pelzer, Karl J., 1978,  Planter and Peasant.

    Colonial Policy and the Agrarian Struggle

    in East Sumatra 1863-1947,  Amsterdam:

    ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff.

    Reid, Anthoni, 1987,  Perjuangan Rakyat:

     Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di

    Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan.

    Scott, James C., 1983, Weapons of the Weak. Everyday Form of Peasant Resistance,

     New Haven: Yale University Press.

    Wiradi, Gunawan, 1998, ‘Reformasi Agraria

    dalam Perspektif Transisi Agraris’, dalam

     Pembaruan Agraria. Jalan Rakyat

     Indonesia Menuju Masyarakat Adil,

     Makmur dan Merdeka,  Medan: Federasi

    Serikat Petani Indonesia.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    15/60

     

    74

    ANALISIS KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PENGEMIS DI

    PEREMPATAN JALAN DI MEDAN

    Hairani Siregar

    Abstract

    The income of the beggar bigger than the income of the low or small workers and the

    workers of informal economy sector, for example, “abang becak”. They can get more

    than 20.000 rupiahs every day for take home. They have orientation for education in

    lowest. They have opinion, that the education and life skill are not so important for

    their life. They want to maintain their job as the beggar, because they think it is a good

     profession, especially in economy crisis. To maintain the profession as the beggar

    determines their life in the good condition any time. They use their physical defect to

    get the people’s pity.

    Keywords: beggar, poverty

    Pendahuluan

    Setiap manusia ingin memenuhi

    kebutuhan hidupnya baik material, spiritual

    maupun sosial. Pemenuhan kebutuhan ini

    memiliki prioritas karena dalam mencapainya

    manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan

    inilah yang memunculkan tingkat kepentingan

    kebutuhan manusia yang harus segera

    dipenuhi.Bila manusia dapat memenuhi semua

    kebutuhan hidupnya maka manusia itu dapat

    dikatakan hidup dalam kondisi sejahtera. Ini

    dapat dilihat dari pengertian kesejahteraan

    sosial dalam UU Nomor 6 tahun 1974, yakni:

    “Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,

    material, maupun spiritual, yang diliputi oleh

    rasa keselamatan, kesusilaan, ketenteraman

    lahir dan batin, yang memungkinan bagi setiap

    warga negara untuk mengadakan usaha

     pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan

    sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri,keluarga, dan masyarakat dengan menjunjung

    tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia

    sesuai dengan Pancasila”. (Sumarnonugroho,

    1989:33)

    Pertumbuhan angkatan kerja di

     perkotaan yang tidak sebanding dengan jumlah

     permintaan tenaga kerja ini menyebabkan

    sebagian penduduk yang termiskin dan

    dimarginal memasuki sektor kerja yang dalam

     pandangan masyarakat adalah nista atau

    merupakan perilaku deviasi. Apalagi mereka

    yang mengalami cacat fisik sehinggamobilitasnya dapat bekerja normal

    sebagaimana umumnya individu lain

    terganggu. Salah satu perilaku yang dianggap

    oleh kelompok yang termarginalkan

    merupakan pekerjaan adalah mengemis.

    Mengemis yang pelakunya disebut pengemis

    merupakan pekerjaan yang meminta belas

    kasihan dari orang lain dan sangat tergantung

     pada orang lain (Galang, 1985:4).

    Kota Medan merupakan salah satu kota

     besar di Indonesia yang kecenderungan jumlah pengemisnya semakin meningkat. Dalam

    harian Waspada terbitan 5 Maret 1999 pada

    artikel “Gepeng Manyomak di Persimpangan

    Jalan” dikemukakan bahwa pada setiap

     persimpangan jalan di kota Medan yang ramai

    lalu lintasnya, dipenuhi oleh 7 sampai 8

     pengemis bersama dengan pemandunya.

    Keadaan ini mengganggu arus lalu lintas dan

    membahayakan diri pengemis tersebut, karena

    sewaktu-waktu dapat tertabrak kendaraan yang

    melintas. Selain berasal dari Medan pengemis

     banyak juga berasal dari daerah atau kota lainseperti Sei Buluh, Binjai, dan Perbaungan.

    Pada dasarnya Pemerintah Daerah

    melalui Dinas Sosial telah melakukan upaya

     pemberdayaan bagi para pengemis, melalui

     program rehabilitasi dalam bentuk pemberian

    keterampilan home industry  yang dapat

    menunjang pemenuhan kebutuhan. Hal ini

     bertujuan untuk merubah jalan hidup pengemis

    agar tidak mengemis lagi sebagai sumber

     pendapatannya. Pusat penampungan ini ada

     pada lokasi penampungan gelandangan dan

     pengemis di Sei Buluh dan di Kebun Lada,Kota Binjai. Namun demikian, jumlah

     Hairani Siregar adalah Dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU 

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    16/60

    Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…

    75

     pengemis terus meningkat terutama sejak

    adanya krisis moneter. Mereka yang berada di

     pusat rehabilitas banyak yang melarikan diri

    dan kembali menjalankan hidup sebagai

     pengemis, sehingga sering terlibat kejar-

    kejaran dengan petugas penertiban pengemis

    dari Departemen Sosial.

    Pekerjaan sebagai pengemis yang tidak

    memerlukan keahlian dan keterampilan ini

    seperti sudah menjadi trend pada mereka yang

    memandang pragmatis untuk mencari uang.

    Hal ini tentu saja berbahaya bila terus berlarut,

    karena di samping akan menimbulkan citra

    negatif pada kota Medan yang diarahkan

    menjadi kota pariwisata dan kota pelajar, juga

    dapat menarik individu lain untuk masuk pada

    kehidupan mengemis tersebut. Hal ini

    dibuktikan dengan bertambahnya jumlah pengemis usia anak-anak. Banyak anak yang

    tinggal di lokasi perkampungan di Medan,

    seperti Kampung Aur dan Kampung Sei Mati

    Kota Medan pada sore dan malam hari

    menjadi pengemis di persimpangan jalan,

    seperti persimpangan jalan Ir. H. Juanda,

     pesimpangan jalan Pattimura, persimpangan

     jalan Sisingamangaraja XII, dan persimpangan

     jalan Polonia. Kondisi ini selanjutnya akan

    menimbulkan generasi pemalas yang menjadi

    sangat tergantung pada orang lain.

    Kecenderungan pengemis di kota Medan jugasemakin banyak yang menggunakan dukungan

    anak bayi atau balita sehingga menimbulkan

     perasaan iba serta simpati bagi orang lain yang

    melihatnya dan segera memberikan uang pada

    mereka. Hal ini menjadikan anak dieksploitasi

    untuk media mengemis yang bertentangan

    dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang

    melarang keras anak-anak untuk dieksploitasi

    demi kepentingan apapun (Unicef, 1994:10).

    Kecenderungan meningkatnya jumlah

     pengemis di persimpangan jalan di Kota

    Medan ini merupakan fenomena sosialtersendiri. Jika dilihat dalam mengemis,

    sepertinya mereka memiliki jam kerja, yakni

    setiap pengemis yang “dinas” dari pagi hingga

    sore ini akan digantikan oleh pengemis lainnya

    yang “dinas” dari sore sampai malam hari.

     Namun pada malam hari yang mendominasi

     justru pengemis anak-anak. Keadaaan inilah

    yang mendorong penulis untuk meneliti

     bagaimana sebenarnya kehidupan sosial

    ekonomi pengemis-pengemis tersebut,

    sehingga mereka mampu bertahan dalam

    kehidupannya sebaga pengemis.

    Soedjono Soekanto mengemukakan

     bahwa status sosial ekonomi merupakan suatu

    kedudukan yang diatur seseorang pada posisi

    tertentu dalam struktur sosial masyarakat, yang

    disertai pula dengan seperangkat hak dan

    kewajiban yang harus dipenuhi oleh pembawa

    status (Soekanto, 1986:115). Untuk melihat

    apakah seseorang memiliki status sosial

    ekonomi yang tinggi, sedang, atau rendah

    didasarkan pada banyak tidaknya bentuk

     penghargaan masyarakat padanya. Semakin

    tinggi tingkat status sosial ekonomi seseorang,

    maka semakin banyak bentuk penghargaan

    masyarakat yang diterimanya dan sebaliknya

    semakin rendah tingkat status sosial ekonomi

    seseorang, maka semakin sedikit pula bentuk

     penghargaan dari masyarakat yang

    diterimanya.Krench mengidentifikasikan sosial

    ekonomi dari pekerjaan, tingkat pendidikan,

    dan jumlah pendapatan (Krenc, 1990: 39).

    Bentuk penghargaan yang diterima dalam

    masyarakat dipengaruhi oleh pekerjaan,

    tingkat pendidikan, serta jumlah pendapatan

    yang diterima seseorang. Warner memberikan

    ciri-ciri keadaan sosial ekonomi individu dan

    masyarakat berupa pekerjaan, pendapatan,

     jenis rumah tinggal, dan daerah tempat tinggal

    (Moeljanto, 1986:16).

    Kedua pendapat di atas menitikberatkantingkat sosial ekonomi yang diukur dari

     pekerjaan, pendidikan, pendapatan, jenis

    rumah tinggal, dan daerah rumah tinggal.

    Pendapat tersebut sejalan dengan yang

    dikemukakan oleh Mahbub UI Hag dari Bank

    Dunia bersama dengan James Grant Overseas

    Development Council, bahwa kehidupan sosial

    ekonomi dititikberatkan pada pendidikan,

     pelayanan kesehatan, perumahan, dan air sehat

    (Susanto, 1984:20).

    Berdasarkan pemaparan pendapat dari

     beberapa ahli di atas, maka ukuran yang dapatdigunakan dalam penelitian ini untuk melihat

    tingkat status sosial pengemis adalah 1.

    Pendidikan, 2. Pekerjaan, serta 3. Pendapatan

    yang dimiliki oleh pengemis.

    Metode Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di perempatan

    Jalan Ir. Haji Juanda, Kelurahan Sukaraja,

    Kecamatan Medan Maimum, Kota Medan.

    Lokasi ini selalu ramai dilintasi kendaraan,

    sehingga strategis bagi pengemis dalammelakukan pekerjaannya dan seringkali

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    17/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80

    76

    mengganggu arus lalu lintas setiap pagi hingga

    sore hari. Pengemis-pengemis tersebut aktif

    melakukan pekerjaannya, dengan membawa

     bekal, seperti makanan, ataupun pakaian ganti

    untuk pulang, terkadang membawa anak yang

    masih kecil bahkan bayi/balita.

    Tipe penelitian ini adalah penelitian

    kualitatif dengan menggunakan analisis kasus.

    Metode analisis yang dipergunakan adalah

    analisis data kualitatif sehingga setiap data dari

    subjek penelitian diharapkan didapat lebih

    terperinci sehingga dapat dipaparkan dengan

    mendalam.

    Subyek penelitian adalah 5 orang

     pengemis yang menetap mengemis di

     perempatan jalan Ir. Haji Juanda. Data yang

    dibutuhkan diperoleh melalui wawancara

    mendalam dengan menggunakan  guideinterview  sehingga wawancara dapat

    dikembangkan lebih mendalam. Analisis data

    dilakukan dengan teknik analisis deskriptif-

    kualitatif dengan mendeskripsikan hasil

     penelitian.

    Hasil Penelitian dan Pembahasan

    Suyoto, 45 tahun

    Telah empat tahun berprofesi sebagai

     pengemis di bundaran Jalan Ir. Juanda,tepatnya di depan Ramayana Plaza. Suyoto

    (dipanggil Oto) mengaku berasal dari desa Sei

    Buluh, Kecamatan Sei Buluh, Kabupaten Deli

    Serdang. Dengan kondisi fisik kaki kiri

     pincang dan dibalut perban, pak Oto memang

    terlihat seperti tidak dapat melakukan usaha

    lain selain mengemis. Pak Oto tidak pernah

    menginjakkan kakinya di sekolah formal. Ia

    hanya pernah ikut pendidikan keterampilan

    membuat alas kaki dari sabut kelapa, yang

    diadakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Deli

    Serdang. Namun dari hasil menjual alas kakitersebut tidak cukup untuk memenuhi

    kebutuhan Pak Oto dan keluarganya.

    Pak Oto memiliki empat orang anak, dua

    orang di antaranya masih sekolah, yakni Surya

    8 tahun kelas satu SD, dan Lia 10 tahun kelas

    tiga SD. Dua orang anak lainnya tidak lagi

     bersekolah, karena ketiadaan biaya.

    Dalam satu hari, Pak Oto bisa

    memperoleh pendapatan mencapai Rp 15.000

    untuk menghidupi keluarganya. Selain pak

    Oto, istri dan anak-anaknya terkadang ikut

    mengemis untuk menambah penghasilan.

    Pendapatan pak Oto ditambah dengan

     pendapatan anak dan istrinya satu hari dapat

    mencapai Rp 20.000, namun pak Oto tidak

     berminat untuk melanjutkan sekolah anak-

    anaknya. Pendapatan pak Oto sebagian

     besarnya dipergunakan untuk biaya makan

    sehari-hari. Pada waktu melakukan

    wawancara, pak Oto sedang makan siang

    dengan nasi dan sepotong ayam goreng

    ditambah tempe dan segelas teh manis dingin.

    Untuk makan satu hari saja bisa mengha-

     biskan Rp 15.000 – 20.000. Keadaan ini

    dibenarkan oleh Pak Udin pemilik warung nasi

    langganan pengemis.

    Sisa dari pendapatan pak Oto

    dipergunakan untuk membeli keperluan rumah

    tangga lainnya. Keadaan rumah pak Oto sangat

    sederhana, dan merupakan rumahnya sendiri,

    memiliki halaman setengah meter. Di sisikirinya terdapat rumah tetangga pak Oto yang

     berprofesi sebagai tukang tambal ban. Dinding

    terbuat dari tepas, bagian atas (atap) setengah

    rumbia dan setengah seng. Jumlah kamar

    hanya satu. Di ruang tamu terdapat dipan,

    seperangkat kursi tamu, sebuat bufet, dan

    sebuah radio transistor dua band, lantainya

    terbuat dari tanah.

    Pak Oto mengaku tidak pernah

    menabung, karena pendapatannya setiap hari

    habis dan hanya tersisa untuk ongkos serta

    untuk sarapan. Namun bila istrinya menabungia tidak pernah mengetahuinya.

    Sebelum menikah, pak Oto tinggal di

    Panti Penderita Cacat dan Kusta yang berada

    di Sei Buluh, Jalan Raya Medan-Tebing

    Tinggi. Setelah menikah, ia pindah ke luar

    karena tidak memungkinkan lagi tinggal di

     panti.

    Setiap hari pak Oto naik bus umum dari

    Sei Buluh menuju terminal Amplas, kemudian

    menyambung ke jurusan Jalan Juanda. Biaya

    transportasinya setiap hari berkisar Rp 3.000.

     pakaian dari rumah menuju tempat dinascukup bagus dan terkesan jauh bahwa mereka

    adalah pengemis. Pak Oto saat ditemui sore

    hari ketika hendak pulang, memakai jaket yang

    membalut kemeja putih, bercelana panjang

    yang bersih dan bersepatu. Sementara pakaian

    “dinasnya” dimasukkan ke dalam tas. Setiap

     pukul tujuh ia sudah berada di tempat dinas

     jika tidak ingin lahannya diambil oleh orang

    lain.

    Pak Oto bertugas sampai pukul lima

    sore, setelah itu mereka pulang. Biasanya

    lahan mereka ada yang menggantikan tetapi

    tidak banyak, kebanyakan anak-anak jalanan.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    18/60

    Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…

    77

     Nasrul, 36 tahun

    Berasal dari Aceh. Karena sakit kusta, ia

    ditempatkan di Panti Penyandang Kusta di Sei

    Buluh. Namun, Nasrul lari dari panti tersebut

    dan mengontrak rumah di Tanjung Morawa.

    “Hidup di panti kusta tidak berkembang”, ujar

     Nasrul yang pernah menjadi gelandangan di

    Kota Medan selama satu minggu ini.

    Uang hasil mengemis ia kumpulkan

    untuk mengontrak rumah sebesar Rp 15.000

     per bulan. Nasrul yang pernah sekolah sampai

    kelas IV SD ini mengaku telah menikah dan

    memiliki dua orang anak yang berusia 4 dan 3

    tahun. Pendapatan yang diperoleh Nasrul dari

    hasil mengemis Rp 15.000, tetapi bila hari

    hujan bisa berkurang, itupun sudah bersih ia

     bawa pulang. Uangnya digunakan untukmembeli kebutuhan rumah tangganya. Ia

    mengaku tidak bisa menabung karena ia boros.

    Istrinya yang ia suruh untuk menabung.

    Terkadang lima ratus atau seribu sehari atau

    tidak sama sekali. Nasrul dan keluarganya

    hanya membeli obat-obatan di kedai-kedai bila

    ada anggota keluarganya yang sakit.

     Nasrul berpendapat bahwa dari kegiatan

    mengemis ia mampu menghidupi keluarganya.

    “Kalau kerjaan lain belum tentu dapat segini,

    kan?” ujarnya. Dilihat dari pakaian dinasnya,

     Nasrul patut dikasihani. Memakai peci, bajuyang robek di punggung serta bagian bawah

    yang dibalut sarung. Nasrul bersimpuh di sisi

     pulau jalan sembari mengacungkan gayung

    yang dipergunakannya sebagai tempat

    meletakkan uang. Bila uang dilemparkan oleh

     pemilik mobil, Nasrul mengutip uang tersebut

    dengan terseok-seok, seolah-olah ia tidak dapat

     berjalan. Namun ketika ditemui saat makan

    siang, ia tampak segar.

    Berbicara tentang kepemilikan barang di

    rumahnya, Nasrul mempunyai rumah

    kontrakan dengan sebuah kamar dan ruangtamu seluas 2 x 3 m. Rumah yang

    ditempatinya beratapkan daun rumbia

     berdinding papan dan berlantai semen. Nasrul

    memiliki sebuah sepeda yang digunakan

    istrinya. Nasrul mengatakan ia mempunyai

    tanah di Aceh seluas 1 Ha. lebih, tetapi enggan

     pulang karena tidak ada biaya dan saudaranya

    tidak mau melihatnya.

    Sumini, 43 tahun

    Lahir di kota Tebing Tinggi. Menikah

    dengan Surip, 45 tahun, yang berprofesi

    sebagai pengemis di bundaran jalan Juanda,

    tepatnya di depan gedung Ramayana Plaza.

    Sumini mengaku menemui suaminya

    mengemis baru enam bulan. Ia pernah sekolah

    hingga kelas dua SD. Sumini pernah ikut

    keterampilan membuat alas kaki dari sabut

    kelapa yang diadakan oleh Dinas Sosial

    Kabupaten Deli Serdang, namun tidak pernah

    ia kembangkan.

    Sumini mempunyai anak 3 orang, dua di

    antaranya sekolah, pendapatan Sumini Rp

    10.000 – 20.000 sehari tergantung pada belas

    kasihan pemilik kendaraan yang melintas.

    Uangnya dipergunakan untuk keperluan rumah

    tangga dan keperluan sekolah anak-anaknya.

    Satu hari ia bisa menyimpan Rp 2.000 untuk

    tabungan dari menyisihkan keperluan sekolah

    anaknya.Keadaan rumah Sumini sangat

    sederhana, dengan memiliki halam selebar 2

    meter sewanya per bulan Rp 15.000 yang telah

    ditempatinya selama 3 tahun. Dinding rumah

    terbuat dari tepas. Jumlah kamar 1 buah,

    mempunyai sebuah dipan dan sehelai tikar.

    Sumini mengungkakan ia pernah memiliki

    televisi, namun ketika anaknya sakit dan

    memerlukan biaya perobatan akhirnya mereka

    menjual televisi tersebut. Bila ada anggota

    keluarganya yang sakit, Sumini hanya

    membelikan obat di kedai. Sumini mengakutidak mempunyai anggaran untuk persiapan

     biaya pengobatan bila ada anggota keluarga

    yang sakit parah. Sumini hanya bisa berharap

    agar masa depan anak-anaknya lebih baik dan

    tidak seperti dirinya yang harus mengemis

    untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia juga

     berharap tidak selalu dikejar-kejar petugas.

     Darto, 40 tahun

    Darto mengemis di depan persim-

     pangan Istana Maimun. Ia memiliki seoranganak yang berusia enam tahun dan ia telah

    mengemis selama tiga tahun. Darto

     berpendidikan SD sampai kelas tiga dan

     berasal dari Percut Sei Tuan. Darto mengalami

    cacat pada kaki kirinya dan terpaksa

    menggunakan tongkat.

    Pendapatan Darto sehari sekitar Rp

    15.000 – 20.000 per hari. Uang itu diper-

    gunakannya untuk membeli kebutuhan rumah

    tangga. Ketika ditanyakan apakah ia

    menabung, Darto menjawab “Darto tidak bisa

    menabung, istriku yang kusuruh menabung”.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    19/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80

    78

    Melihat kepemilikan barang di rumah

    Darto, peneliti mendatangi rumahnya yang

     berada di Tanjung Morawa. Sebuah rumah

    kontrakan berkamar satu dengan ruang tamu

    seluas 2 x 3 m, terdapat sebuah kursi panjang,

     bertapkan rumbia, berdinding papan dan

     berlantaikan semen.

     Aryat, 37 tahun

    Suku melayu, mengaku tinggal di

    Limapuluh Kota. Aryat memiliki empat orang

    anak yang semuanya tidak bersekolah. Setiap

    harinya ia menghabiskan ongkos Rp 5.000.

    fisik Aryat memang sehat tidak memiliki cacat

    tubuh apapun, tetapi agar orang merasa

    kasihan, ia membalut kakinya dengan perban

    dan membubuhkan obat merah.Ketika ditanyakan mengenai simpanan

    keluarga, ia menyatakan tidak memiliki

    tabungan, untuk biaya kesehatan ia tidak tahu

    menahu, karena hal itu urusan istrinya yang

    terkadang menjual kayu di kampung.

    Kepemilikan barang di rumah Aryat, diakuinya

    hanya memiliki sebuah kursi yang sudah rusak

    dan sebuah sepeda mini milik anaknya.

    Berdasarkan informasi dari subjek

     penelitian dan informasi-informasi tambahan

    yang diperoleh penulis, maka dapat dianalisis

    dari kehidupan sosial ekonomi pengemis,antara lain:

    1. Kondisi Sosial Pengemis

    Ditinjau dari kondisi sosial pengemis dapat

    dilihat bahwa kelima pengemis tersebut tidak

    tamat SD dan bahkan ada yang tidak sekolah

    sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa

    tingkat pendidikan mereka sangat rendah.

    Dilihat dari motivasi kerja, akibat dari

    sempitnya interaksi pengemis ditambah

    dengan rendahnya pendidikan membuatmereka memandang bahwa mengemis adalah

    satu-satunya alternatif yang terbaik untuk

    dijadikan mata pencarian. Pendidikan non

    formal seperti pelatihan keterampilan

    khususnya membuat alas kaki yang diperoleh

    sebagian pengemis, membuat tidak efektif

    karena tidak dibarengi dengan pendayagunaan

    motivasi hidup dan juga pendidikan

    keterampilan tersebut belum dapat mengubah

    hidupnya menjadi lebih baik. Mengemis juga

    menjadi pekerjaan yang diakui oleh komunitas

     para pengemis sebagai mata pencarian dan

    mereka tidak merasa takut.

    2. Kondisi Ekonomi Pengemis

    Ditinjau dari kondisi ekonomi pengemis

    di perempatan jalan Ir. Haji Juanda dapat

    dilihat bahwa jumlah pendapatan pengemis

    yang digolongkan pada pendapat kelas

    menengah yaitu sebesar Rp 10.000 – 20.000

     per hari. Sehubungan dengan tingkat

     pengetahuannya yang sangat rendah serta gaya

    hidup yang boros membat mereka terlihat

     berjalan di tempat.

    Hasil penelitian ini memperlihatkan

     bahwa penelitian yang dilakukan oleh Patrick

    Guiness tidak sepenuhnya berlaku pada

     pengemis di Kota Medan. Pendapatan

     pengemis di perempatan jalan Ir. Haji Juanda

    ternyata sama atau bahkan jauh lebih besar

    daripada pendapatan yang diperoleh seorangtukang becak dayung atau buruh.

    Kebiasaan mengemis yang dilakukan

     berulang kali menyebabkan tumbuhnya suatu

    mekanisme pertahanan diri pada orang-orang

    yang terbiasa mengemis. Pada puncaknya

    mereka menyatakan mengemis adalah

     profesinya. Mereka terus bertahan sebagai

     pengemis. Keadaan ini terbukti dengan usaha

    awal yang dilakukan oleh beberapa orang

     pengemis yakni dengan membuat alas kaki

    dari sabut kelapa, namun pada akhirnya

     berhenti hanya karena penghasilannya tidaksebesar pendapatan mereka bila mengemis.

    Suatu stigma yang salah diterapkan para

     pengemis. Dalam hal ini mereka memandan

    sumber-sumber ekonomi dalam paradigma

    sempit. Informasi ataupun teknologi dapat

    mereka akses apabila mereka memiliki materi

    yang cukup banyak. Keadaan ini merupakan

    kesalahan mendasar dalam pembangunan kita

    yang memang menerapkan bahwa mereka

    yang menguasai sumber-sumber

    kemasyarakatan adalah mereka yang memiliki

    materi dalam penguasaan sumber-sumbertersebut. Stigma ini dipergunakan pengemis

    dalam bertahan hidup. Hasil analisis yang

    dilakukan Hardiman, menyatakan bahwa

    munculnya pengemis disebabkan oleh dua

    faktor, yakni tidak dapatnya sebagian orang

    mengakses sumber-sumber kemasyarakatan

    serta faktor kecacatan tubuh, tampaknya

    terbukti pada penelitian ini.

    Kecacatan tubuh yang dimiliki menjadi

    suatu apologi atau alat pembelaan bagi mereka

    untuk menjalankan profesinya sebagai

     pengemis. Bila pihak pemerintah menggelar

    operasi penertiban/razia, satu minggu

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    20/60

    Siregar, Analisis Kehidupan Sosial…

    79

    kemudian memang mereka tidak ada yang

    terlihat di perempatan jalan Ir. Haji Juanda,

    namun pada minggu berikutnya, pengemis-

     pengemis tersebut akan muncul kembali

    menjalankan profesinya seperti biasa.

    Kesimpulan

    Setelah dilakukan analisis data-data yang

    diperoleh dari hasil observasi dan wawancara

    terhadap pengemis di perempatan Jalan Ir. Haji

    Juanda, dapat ditarik kesimpulan, yakni:

    1. Pada umumnya tingkat pendidikan

     pengemis adalah tidak tamat Sekolah

    Dasar, sehingga mempengaruhi pola

     pikirnya tentang masa depan dan motif

    kerja.

    2. Kondisi fisik yang cacat dijadikan apologidan pembenaran oleh pengemis untuk

    melegitimasi pekerjaannya sebagai

     pengemis.

    3. Pendidikan-pendidikan non formal yang

    diperoleh para pengemis ternyata tidak

    efektif dalam upaya merubah

    kehidupannya agar tidak menjadi

     pengemis.

    4. Pada umumnya pekerjaan mengemis

    adalah pekerjaan utama bagi para

     pengemis sementara sebagian kecil,

    keluarganya memiliki pekerjaan tam- bahan.

    5. Besar pendapatan pengemis dapat menjadi

     berkisar antara Rp 300.000 – 600.000 per

     bulan. Ini menunjukkan pendapatan

     pengemis sudah cukup lumayan.

    6. Besarnya pendapatan ini tidak diikuti oleh

     perencanaan dan pola pembagian

     pendapatan yang tepat sehingga pengemis

    tetap tidak dapat merubah kondisi

    hidupnya.

    7. Hidup boros menjadi pola umum hidup

     pengemis, sehingga rumah tetapmengontrak, tidak ada dana, tidak

    mendapatkan kesempatan yang memadai,

    dan tidak punya kepemilikan barang-

     barang yang dapat mengangkat hidup

    mereka.

    8. Pandangan tentang pentingnya pendi-

    dikan masih sangat rendah di kalangan

     para pengemis, sehingga akhirnya mereka

    tidak memperdulikan pendidikan dan masa

    depan anak-anaknya.

    9. Petugas Tramtib (Penjaga Ketenteraman

    dan Ketertiban) dari Dinas Sosial adalah

    masalah utama yang dihadapi para

     pengemis dalam mencari nafkah.

    Daftar Pustaka

    Abdullah, Taufik, 1983,  Agama dan Peru-

    bahan Sosial , Rajawali, Jakarta.

    Arikunto, Suharsimi, 1993,  Prosedur Pene-

    litian. Suatu Pendekatan, Rineka Cipta,

    Yogyakarta.

    Barbier, Ellianor, 1995,  Komposisi Kaum

     Borjuis dan Difrensiasinya ke Dalam,

    LP3ES, Jakarta.

    Bongkok, Hari, 1995,  Perjuangan dan Pe-

    nindasan, YLPS Humana, Yogyakarta.

    Kartono, Kartini, 1983,  Pemimpin dan

     Kepemimpinan, Rajawali, Jakarta.

    Mahasin, Aswab, 1986, Gelandangan: Pan-

    dangan Ilmuwan, LP3ES, Jakarta.

    Moeljanto, 1986,  Kriminologi, Bina Aksara,

    Jakarta.

     Nurdin, Fadhil, 1990,  Pengantar Studi Ke-

     sejahteraan Sosial , Angkasa, Bandung.

    Rusman, Roosmalawati, 1998,  Dampak Krisis

     Moneter dan Bencana El Nino terhadap

     Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak di

     Indonesia dan Pilihan Intervensi, Sabena

    Utama, Jakarta.

    Siagian, Sondang, P, 1990,  Manajemen

    Sumber Daya Manusia, Gramedia,

    Jakarta.

    Silas, Johan, 1993, Study tentang Pengem-bangan Potensial Sosial Ekonomi Pen-

    duduk Daerah Kumuh Surabaya, ITS,

    Surabaya.

    Suparlan, 1983,  Kamus Istilah Kesejahteraan

    Sosial , Pustaka Pengarang, Yogyakarta.

    Suhartin, R.I, 1989, Cara Mendidik Anak

     Dalam Keluarga Masa Kini, Bharata

    Karya Aksara, Jakarta.

  • 8/18/2019 Pemberdayaan Komunitas Vol_ 3 No_ 2 Mei 2004

    21/60

     Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 74 - 80

    80

    Sumarnonugroho, T, 1