mitral stenosis

Upload: hamidapohan

Post on 13-Jul-2015

387 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan penyebab

peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 per 1000 penderita per tahun. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis, serta tidak spesifiknya tanda-tanda pada tahap awal penyakit. Perkembangan diagnosis terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini, serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup akan memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Salah satu dari penyebabnya adalah penyakit jantung rematik.Pada beberapa negara, masih terdapat peningkatan dari insidensi kasus ini. Sekitar 10-35 % dari penderita penyakit jantung adalah penderita demam rematik dan penyakit jantung rematik dan diestimasi bahwa sekitar 15,6 juta anak-anak dan dewasa menderita penyakit ini dan kurang lebih 233.000 pasien meninggal disebabkan oleh penyakit ini.

1.2.

Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memahami mengenai gagal jantung dan

penyakit jantung rematik. Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai pathogenesis, patofisiologi, kriteria diagnosis, dan pemeriksaan yang akan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis gagal jantung dan penyakit jantung rematik sehingga penatalaksanaannya akan lebih tepat dan terarah.

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung 2.1.1. Definisi Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak mampu untuk memompa darah dalam jumlah yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Atau dalam arti lain, gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh karena terdapatnya kelainan structural atau fungsional pada jantung sehingga ejeksi ke seluruh jaringan terganggu. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolic, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.

2.1.2. Etiologi Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari semua jenis penyakit jantung congenital maupun didapat. Di Negara maju, penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan yang meningkatkan preload, afterload, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel, dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas niokardium dapat menurun pada infark iokardium dan kardiomiopati.

2.1.3. Klasifikasi Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA):

1. NYHA kelas I : Tidak terdapat pembatasan pada aktivitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan gejala-gejala seperti mudah lelah, palpitasi, dan dyspnoe.

2

2. NYHA kelas II : Terdapat sedikit pembatasan pada aktivitas fisik sehari-hari. Penderita tidak mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari dapat mengakibatkan terjadinya dyspnoe, angina, mudah lelah dan palpitasi. 3. NYHA kelas III : Terdapat pembatasan pada aktivitas fisik ringan yang jelas. Penderita tidak mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik yang ringan dapat menimbulkan sesak nafas, mudah lelah, angina, dan palpitasi. 4. NYHA kelas IV : Penderita mengalami keluhan sesak nafas, angina, dan palpitasi. Keluhan dialami pasien saat pasien istirahat.

Klasifikasi stadium gangguan structural pada jantung berdasarkan American College of Cardiology (ACC) dan The American Heart Association (AHA) :

1.Tahap A Mempunyai resiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung.

2.Tahap B Adanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak dijumpai gejala.

3.Tahap C Adanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4.Tahap D Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

Klasifikasi gagal Jantung secara umum : a) Gagal jantung Akut Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolic, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan preload atau afterload. Gagal jantung3

akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis. Pada gagal jantung akut ini dapat pula diklasifikasikan lagi baik dari gejala klinis dan foto thorax ( Killip), klinis dan karateristik hemodinamik (Forrester) atau berdasarkan sirkulasi perifer dan auskultasi paru. b) Gagal jantung Kronik Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatigue, baik dalam keadaan istirahat maupun beraktivitas, edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

2.1.4. Patofisiologi Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan dan dibandingkan dengan keadaan normal, stroke volume berkurang dan timbullah gejala penurunan dari cardiac output (CO) yang menyebabkan volume akhir sistolik meningkat. Akibat dari peningkatan volume akhir sistolik, darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang sedang payah, volume ruangan jantung pada diastole meningkat lebih besar dibandingkan pada jantung normal. Ini mengakibatkan tekanan dan volume akhir diastolik lebih tinggi dari normal. Pada gagal jantung kiri juga terjadi kenaikan tekanan distolik diteruskan secara retrograde ke atrium kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi 20 mmHg bisa menyebabkan ekstravasasi cairan ke intertisium paru, dan menyebabkan keluhan kongesti paru. Bila ventrikel kanan gagal, kenaikan tekanan diastolik diteruskan ke atrium kanan selanjutnya timbul bendungan pada vena sistemik dan tanda gagal jantung kanan. Kira-kira 40% dari penderita gagal jantung mempunyai fungsi kontraktilitas ventrikel yang normal. Banyak dari penderita ini menunjukkan kelainan fungsi diastolik, berupa gangguan diastolik dini, peningkatan kekakuan dinding ventrikel atau kedua-duanya. Iskemia miokard akut adalah contoh suatu keadaan yang menghambat sementara hantaran energi dan dapat menghambat relaksasi diastolik. Penderita dengan disfungsi diastolik sering memperlihatkan tanda bendungan akibat peningkatan tekanan diastolik yang diteruskan ke vena pulmonalis dan sistemik. Pada penderita ini dengan fungsi sistolik yang normal, gejala penurunan cardiac output lebih jarang. Namun pada kebanyakan penderita gagal gantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.4

Pengurangan

cardiac

output

menyebabkan

aktivasi

mekanisme

kompensasi

neurohormonal, system rennin angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopressin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivasi jantung dapat terjaga. Stimulasi system RAA menyebabkan peningkatan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan terensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Kenaikan volume intravaskuler lalu meningkatkan beban cardiac output melalui mekanisme Frank Starling. Selain itu, sekresi hormone antidiuretik oleh kelenjar hipofisis posterior meningkat volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi cairan dan dapat meningkatkan cardiac output. Meskipun mekanisme kompensasi neurohormonal pada awalnya bermanfaat, peningkatan volume sirkulasi dan aliran balik vena ke jantung dapat memperburuk bendungan pada vaskuler paru sehingga memperberat keluhan kongesti paru. Peninggian tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dimana jantung yang sudah payah harus berkontraksi sehingga akhirnya stroke valume dan cardiac output menjadi lebih menurun.

2.1.5. Gejala dan Tanda Klinis Pada gagal jantung kiri dapat ditemukan : Gejala klinis : Dyspnoe Orthopnoe Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND) Fatigue

Tanda klinis : Diaforesis Takikardi Takipnoe

5

Ronki paru P2 mengeras S3 gallop

Pada gagal jantung kanan dapat ditemukan : Tekanan vena jugular meningkat Hepatomegali Edema perifer

2.1.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan menggunakan criteria Framingham. Kriteria ini membutuhkan sekurang-kurangnya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor. Kriteria Framingham adalah seperti berikut : Kriteria Mayor : Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND) Ronchi basah pada paru S3 Gallop Kardiomegali Peningkatan tekanan vena jugularis Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon terapi Distensi vena leher Edema paru akut Hepatojugular refluks

Kriteria Minor : Edema ekstremitas Batuk atau sesak nafas pada malam hari Sesak nafas pada saat beraktivitas (DOE) Hepatomegali Asites Efusi Pleura Takikardia ( >120x/menit)6

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung adalah antara lain dengan foto thoraks, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, pemeriksaan darah, angiografi, dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto thoraks dapat ditemukan adanya pembesaran sillouett jantung (cardiothoraxic ratio > 50 %), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal > 20 mmHg, dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut costophrenicus. Bila tekanan > 25 mmHg, didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Pada EKG 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10 % kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle

branch block, dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto thoraks menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dyspnoe pada pasien sangat kecil kemungkinannya. EKG merupakan pemeriksaan non invasive yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekg dapat menunjukkan gambaran objektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan EKG adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan resiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol atau aritmia). EKG dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolic, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui resiko emboli. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyeingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyekit dasar, serta komplikasi. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian ACE-inhibitor, dan diuretic dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung7

kongestif, tes fungsi hati (bilirubin,AST,LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum, fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penanda BNP (B tipe natriuretik peptide) sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan plasma NT pro-BNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklir atau multigated ventrikulografi dapat mngetahu ejection faction , laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Troponin-I atau T harus diambil pada pasien yang diduga gagal jantung ketika klinis menunjukkan sebuah sindrom koroner akut (ACS). Sebuah peningkatan troponin jantung menunjukkan nekrosis miosit dan potensi revaskularisasi harus dipertimbangkan dan sesuai diagnosis. Peningkatan troponin juga terjadi di miokarditis akut. Peningkatan troponin jantung ringan sering terlihat pada gagal jantung parah atau selama episode gagal jantung dekompensasi pada pasien tanpa bukti miokard skemia akibat ACS dan dalam situasi seperti sepsis. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segemental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui takanan sebelah kanan (atrium kanan, vebtrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.

2.1.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan non-farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pngaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan obesitas. Pembatasan asupan garam, konsumsi alcohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitivitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan.

Farmakologis ACE inhibitor8

Indikasi : LVEF 40 %, tidak berpengaruh pada gejala Kontraindikasi : Riwayat angioedema Stenosis bilateral arteri ginjal Konsentrasi kalium serum > 5 mmol/l Serum kreatini > 220 mol Stenosis aorta berat

Blocker Indikasi : LVEF 40 % Gejala ringan sampai berat (NYHA fungsional kelas II-IV), pasien dengan disfungsi LV sistolik tanpa gejala setelah MI juga memiliku inidikasi untuk blocker. Untuk meningkatkan dosis optimal suatu ACE-I atau ARB (dan aldosteron antagonis juga diindikasikan) Pasien garus secara klinis stabil (misalnya tidak ada perubahan terbaru dalam dosis diuretic). Kontraindikasi : Penyakit Asma Second or third degree heart block, sindrom sinus sakit, sinus bradikardia.

Antagonis Aldosteron Indikasi : LVEF 35% Gejala sedang sampai parah (fungsional NYHA kelas III-IV) Dosis optimal -Blocker dan ACE-I atau ARB

Kontraindikasi : Serum kalium > 5.0 mmol/L9

Serum keratin > 0,220 mol/L Bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium

Angiotensin Reseptor Blocker Indikasi : LVEF 40% Sebagai alternative pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (fungsional NYHA kelas II-IV) tidak toleran ACE-I Atau pada pasien dengan gejala persisten (NYHA kelas fungsional II-IV) meskipun perawatan dengan ACE-I dan -Blocker. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan gejala hipotensi dengan kejadian yang mirip dengan ACE-I. Mereka tidak menyebabkan batuk.

Kontraindikasi : Seperti ACE-I, dengan pengecualian angiodema Pasien yang diobati dengan ACE-I dan antagonis aldosteron Sebuah ARB hanya boleh digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan konsentrasi kalium serum normal, serial pemantauan elektrolit serum dan fungsi ginjal adalah wajib, terutama jika suatu ARB digunakan bersama dengan ACE-I.

Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate Indikasi : Alternatif ke ACE-I /ARB ketika kedua yang disebut terakhir tidak ditoleransi. Seperti add-on terapi ke ACE-I jika antagonis ARB atau aldosteron tidak ditoleransi. Bukti yang kuat pada pasien keturunan Afrika-Amerika.

Kontraindikasi : Gejala hipotensi Sindrom Lupus. Gagal ginjal (pengurangan dosis mungkin diperlukan)

10

Digoxin Digoxin biasanya tidak diperlukan pada pasien stabil dengan ritme sinus. Sebuah perawatan harian dosis tunggal 0,25 mg umumnya digunakan pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal. Pada orang tua dan pada mereka dengan kerusakan ginjal, mengurangi dosis 0,125 atau 0,0625 mg harus dilakukan. Konsentrasi digoksin harus diperiksa awal selama terapi pada orang-orang dengan fungsi ginjal normal. Tidak ada bukti bahwa konsentrasi digoksin regular memberikan hasil yang lebih baik. Konsentrasi serum harus berada di antara 0,6 dan 1,2 mg / ml, lebih rendah dari yang direkomendasikan sebelumnya. Obat tertentu dapat meningkatan kadar digoksin.

Diuretik Diuretik digunakan untuk mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal dan menurunkan volume intravascular dan venous return pada jantung. Dengan itu, preload dari ventrikel kiri akan berkurang. Jenis-jenis diuretik yang sering digunakan bagi pasien gagal jantung adalah yang bekerja di lengkung Henle ginjal contohnya furosemide. Diuretik jenis Thiazide contohnya hydrochlorothiazide juga dapat digunakan namun kurang efektif. Efek samping dari diuretik yang digunakan adalah penurunan dari cardiac output yang berkepanjangan hipomagnesemia). dan gangguan elektrolit tubuh (paling sering hipokalemia dan

Terapi sinkronisasi jantung (CRT) CRT dianjurkan untuk mengurangi morbiditas dan kematian di pasien kelas III-IV NYHA yang gejala tetap meskipun terapi medis yang optimal, dan yang memiliki EF berkurang (LVEF 35%) dan perpanjangan QRS (QRS lebar 120 ms).

Transplantasi jantung Transplantasi jantung adalah pengobatan yang diterima untuk gagal jantung stadium akhir. Meskipun percobaan terkontrol belum pernah dilakukan, ada consensus bahwa transplantasi, asalkan criteria seleksi yang tepat diterapkan, secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup, kapasitas latihan, kembali bekerja, dan kualitas hidup dibandingkan dengan pengobatan konvensional. Pasien dengan gejala gagal jantung berat, prognosis yang11

buruk dan tanpa bentuk alternative pengobatan harus dipertimbangkan untuk transplantasi jantung. Transplantasi jantung harus dipertimbangkan dalam pasien dengan gagal jantung tahap akhir, gejala-gejala berat, co morbiditas yang serius, dan tidak ada pemilihan pengobatan alternative.

2.1.8. Prognosis Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung. Prognosis individu pasien dengan gagal jantung seringkali sulit diprediksi.

2.2. Penyakit Jantung Reumatik 2.2.1. Definisi Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik (DR). Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemoliticus tipe A (contoh: Streptococcus pyogenes), yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. 2.2.2 Patogenesis Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus hemolitik grup A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam reumatik merupakan respons auto immune terhadap infeksi Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saatini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibility mayor, antigenjaringan spesifik potensial dan antibody yang berkembang segera setelahinfeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang12

potensialdalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranandalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grupA mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan Mprotein.M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri,strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helicalcoiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriksprotein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantungdan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR. Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectinbinding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk terjadi DR.

13

2.2.3 Manifestasi Klinis DR/ PJR merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gajala itu adalah: 1. Artritis Artritis adalah gejala major yang paling sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, paha, lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan hilang secara perlahan-lahan. Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minngu sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi sendi ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. 2. Karditis Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidensi 40-50%, atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimptomatis dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitral yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Adanya regurgitasi mitral14

ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bising mid-diastolik. Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doopler dapat menentukan fungsi dari jantung. 3. Chorea Chorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Penderita yang lebih tidak nyata dengan terkoordinasi bila chorea dan tidak bangun ini bertujuan dan datang dan emosi keadaan dengan labil. stres.

gerakan-gerakan Manifestasi Penderita ini

penderita dan

dalam

tampak

selalu

gugup

seringkali

menyeringai.

Bicaranya

tertahan-

tahan dan meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar.

4. Eritema Marginatum Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR. Merupakan ruam yang khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena kekhasannya tanda ini dimasukkan dalam manifestasi minor. Keadaan ini paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada penderita berkulit hitam sukar ditemukan.

5. Nodul Subkutan Besarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas, dan tidak nyeri tekan. Nodulus ini biasanya terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutamaruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang-kadang nodulus ini ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis.

15

2.2.4 Diagnosa Untuk menegakkan diagnosa pada tahun 1994 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja, yaitu sebagai berikut : Gejala major Poliartritis Karditis Chorea Nodul Subkutan Eritema marginatum Gejala minor Klinis: Atrlagia Demam Riwayat pernah menderita DR/PJR

Laboratorium : Peninggian reaksi fase akut

(LED meningkat dan atau C reactive protein) Interval PR memanjang

Ditambah : bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorokan yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B. terutama pada anak/dewasa muda aloanmanesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan. Bila terdapat adanya infeksi streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan adanya: 1. Dua gejala mayor 2. Satu gejala mayor dengan dua minor. Pada 20022003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi). Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk: 1. a primary episode of RF 2. recurrent attacks of RF in patients without RHD 3. recurrent attacks of RF in patients with RHD 4. rheumatic chorea 5. insidious onset rheumatic carditis 6. chronic RHD

16

Kriteria Dignosis Kategori Diagnostik Episode demam reumatik Kriteria Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor Ditambah dengan bukti adaya infeksi

streptokokus grup A Demam reumatik yang berulang pada pasien Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor tanpa penyakit jantung reumatik Ditambah dengan bukti adaya infeksi

streptokokus grup A Demam reumatik yang berulang pada pasien 2 Mayor ditambah dengan adanya infeksi dengan penyakit jantung reumatik Reumatik Chorea Reumatik Karditis streptokokus grup A Manifestasi mayor lainnya atau bukti adanya infeksi sterptokokus grup A tidak diperlukan

2.2.5 Penatalaksanaan Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi,penatalaksanaan gagal jantung dan korea. Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan diberikan fase awal serangan. Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulangan DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis.

17

1. Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Reumatik Cara pemberian Jenis Antibiotik Dosis Frekuensi

Pencegahan primer: pengobatan terhadap faringitis streptokokus untuk mencegah serangan primer demam reumatik Intramuskuler Benzatin PNC G 1,2 juta unit (600.000 untuk BB < 27 kg) unit Satu kali

Oral

Penisilin V

250 unit

mg/400.000 4 kali sehari selama 10 hari

Eritromisin

40 mg/kg BB/hari

3-4 kali sehari (jangan lebih

dari 1 gr/hari) selama 10 hari Pencegahan sekunder : pencegahan berulangnya demam reumatik Intramuskuler Benzatin PNC G 1,2 juta unit Setiap minggu Oral Penisilin V Sulfadiazin Eritromisin 250 mg 500 mg 250 mg Sekali sehari 2 kali sehari 3-4

2

kali sehari

2. Petunjuk Tirah Baring dan Ambulansi Hanya Karditis Karditis minimal Karditis sedang Karditis berat18

Tirah baring Ambulansi dalam rumah Ambulansi luar (sekolah) Aktivitas penuh

2 minggu

2-3 minggu

4-6 minggu

2-4 bulan

1-2 minggu

2-3 minggu

4-6 minggu

2-3 bulan

2 minggu

2-4 minggu

1-3 bulan

2-3 bulan

Setelah 4-6 minggu

Setelah 6-10 minggu

Setelah 3-6 bulan

Bervariasi

3. Rekomendasi Penggunaan Anti Inflamasi Hanya Karditis Karditis minimal Prednison Aspirin 0 1-2 minggu 0 2-4 minggu

Karditis sedang 2-4 minggu 6-8 minggu

Karditis berat 2-4 minggu 2-4 bulan

Dosis: Prednison 2 mg/kg BB/hari dibagi 4 dosis Aspirin 100 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis * Dosis prednison ditappering dan aspirin dimulai selama minggu akhir + Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kg BB/hari setelah 2 minggu pengobatan

2.3 Stenosis Mitral 2.3.1 Definisi Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gannguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastole.

19

2.3.2 Epidemiologi Berdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia, penyakit

jantung katup menduduki urutan kedua setelah penyakit jantung koroner dari seluruh penyebab penyakit jantung. Angka pasti kejadian stenosis mitral tidak diketahui, namun pola etiologi penyakit jantung di Poliklinik Rumah Sakit Moehammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94 % dengan penyakit jantung katup. Dari hasil penelitian lain, didapati dua pertiga penderita stenosis mitral adalah wanita dan onset terjadi pada umur 30an hingga 40an.

2.3.3 Etiologi Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi Streptococcus. Hampir 50% dari pasien dengan manifestasi klinis stenosis mitral memiliki riwayat demam rematik 20 tahun sebelum timbulnya gejala. Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid arthritis (RA), Wipples disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.

2.3.4 Patologi Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan katup, kalsifikasi, fusi komisura, serta pemendekan kora atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole). Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan fusi sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur yang bersamaan dengan pemendekan korda20

sehingga menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala kliis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun). 2.3.5 Patofisiologi Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm. Bila area orifisium katup ini berkurang samapi 2 cm, maka diperlukan upaya aktf atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi apabila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardic output yang normal. Gradien transmitral merupakan hall mark stenosis mitral selain luasnya area katup mitral. Derajat berat ringannya stenosis miral, selain berdasarkan gradient transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap.berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral adalah sebagai berikut: 1. Minimal : bila area > 2.5 cm 2. Ringan : bila are 1,4-2,5 cm 3. Sedang : bila area 1-1,4 cm 4. Berat : bila area< 1,0 cm

5. Reaktif : bila area < 1,0 cm Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area kapup mitral menurun sampai seperdua normal (110 msec 80-110 msec 1,5 cm >1 dan 1,5 cm2, trombus di atrial kiri, regurgitasi mitral derajat sedang atau lebih, kalsifikasi berat bikomisura, tanpa ada fusi komisura, bersamaan dengan kelainan katup aorta berat, kombinasi stenosis/regurgitasi berat tricuspid, PJK yang memerlukan bedah pintas koroner

2.

Intervensi bedah a. Tindakan bedah perbaikan (repair) katup mitral.

Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai berikut: Indikasi 1. Pasien dengan NYHA fungsional III-IV, stenosis mitral sedang-berat, dengan resiko operasi yang dapat diterima ketika PMBV tidak tersedia, kontraindikasi PMBV karena thrombus di atrium kiri (setelah sebelumnya diberikan terapi antikoagulan), atau karena morfologi katup tidak memenuhi syarat untuk PMBV. 2. Pasien asimptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat dan morfologi katup memungkinkan untuk dilakukan repair, yang memiliki riwayat emboli berulang meskipun mendapat terapi antikoagulan yang adekuat. 3. Repair katup mitral tidak diindikasikan pada stenosis mitral yang III25

Klas I

II b

ringan

b. Tindakan bedah penggantian (replacement) katup mitral. Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai berikut:

Indikasi a. Pasien simptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat yang juga disertai dengan regurgitasi mitral sedang berat, harus menjalani penggantian (replacement) katup mitral. b. Pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal berat (tekanan sistolik PA >60 - 80 mm Hg) dengan fungsi jantung sesuai NYHA kelas I-II, dan morfologi katup tidak memungkinkan untuk dilakukan repair atau PMBV.

Klas I

II a

2.3.9 Prognosis Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50-60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal, angka meningkat 80%. Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV prognosis jelek dimana angka hidup dalam 10 tahun