lapsus asma
DESCRIPTION
Lapsus AsmaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Global Initiative for Asthma (GINA) 2011 mendefinisikan asma adalah
gangguan inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.
Proses inflamasi pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast,
makrofag serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas. Inflamasi kronis
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
dan atau dini hari. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.2,5
Asma sebagai kelainan saluran pernafasan kronik mempunyai prevalensi yang
makin terus meningkat dalam dua hingga tiga dekade terakhir ini. Sampai saat ini terjadi
peningkatan terhadap angka morbiditas ataupun mortalitas asma di Indonesia dan hal
tersebut menjadi masalah kesehatan yang cukup serius, walaupun pemahaman terhadap
pengobatan asma bertambah baik. Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 2%
hingga 4% atau 3 hingga 5 juta orang dan sebanyak 1% diantaranya memerlukan
perawatan rumah sakit karena serangan asma akut yang berat, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh diagnosa yang terlambat serta penatalaksanaan yang tidak tepat.
Menurut Haahtela T, secara klinis asma sering tidak terdiagnosa secara cepat dan
keterlambatan ini merupakan hal yang sangat bermasalah dalam penanganan
penderita.1,2,5
Teori dasar penyebab asma sangat komplek, melibatkan interaksi antara faktor
genetik, paparan alergen dan faktor lingkungan (populasi udara, rokok, infeksi saluran
pernafasan). 1,2,5
Mortalitas akibat asma 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
1
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus
menerus angka kematiannya 9%.1,2,5
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari asma bronkial ?
2. Apa saja etiologi dari asma bronkial ?
3. Bagaimana patofisilogi terjadinya asma bronkial ?
4. Apa saja klasifikasi dari asma bronkial ?
5. Bagaimana gambaran klinis dari asma bronkial ?
6. Bagaimana mendiagnosis asma bronkial ?
7. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan untuk asma bronkial ?
8. Bagaimana prognosis penyakit tersebut ?
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, gambaran klinis, diagnosis,
komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis asma bronkial.
1.4 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Referat ini dapat dijadikan sebagai sumber bacaan dan pelengkap referensi
mengenai asma bronkial.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dibidang kedokteran.
b. Memenuhi salah satu persyaratan mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jakarta.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny SC
Usia : 42 tahun
Alamat : Karangjati 3/9 Bergas
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
No.RM : 016478
Di Rawat : Mawar Kelas 2
Kelompok : BPJS Non PBI
Masuk : 16 April 2015 pukul 12.15 WIB
2.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak
B. Keluhan Tambahan
Nyeri dada kiri yang menjalar sampai ke bahu kiri, batuk, pilek, nyeri ulu hati,
mual, gatal dan bentol di bagian wajah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari SMRS dan timbul saat pasien
batuk kering sejak ± 3 hari SMRS. Pada 1 hari SMRS, sesak di rasa bertambah
dan disertai bunyi mengi. Sesak dan bunyi mengi timbul terus-menerus, tidak
dipengaruhi aktivitas. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
dibanding posisi tidur. Bila sesak, pasien biasanya minum obat sesak yang rutin
dikonsumsi (aminifilin) dan membaik, namun kali ini sesak masih dirasakan.
Pasien mengeluh nyeri pada daerah ulu hati sejak ± 5 hari SMRS. Nyeri terus
menerus, ulu hati terasa perih dan panas, nyeri berkurang bila makan atau
minum air hangat.
D. Anamnesis Sistem
Sistem Cerebrospinal : pusing (+)
3
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (+), sesak (+), perdarahan (-).
Sistem Gastrointestinal : mual (+), muntah (-), BAB
Sistem Urologi : BAK (+) lancar, darah (-)
Sistem Integumentum : gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan
Sistem Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
Sistem Neuromuskular : kelemahan anggota gerak (-)
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya, pasien di rawat ± 4 hari
dengan diagnosa asma bronkial. Riwayat asma (+) sejak kecil, pertama kali
serangan saat pasien usia 3 tahun, biasanya serangan timbul bila pasien
kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, terakhir serangan yaitu 40 hari
dan 3 bulan yang lalu, pasien terkontrol dengan aminofilin. Pasien memiliki
alergi obat antalgin dan tetrasiklin, udang, serta udara dingin. Riwayat hipertensi
(+), DM (-), riwayat operasi (-).
F. Riwayat Penggunaan Obat
Pasien terkontrol dengan aminofilin. Biasanya keluhan sesak berkurang bila
minum obat tersebut, namun kali ini sesak dirasakan tdk membaik. Pasien tidak
sedang dalam pengobatan penyakit lain
G. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma (+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya. Riwayat hipertensi (+),
DM (-), jantung (-).
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, E4V5M6 (GCS 15)
BB 70 kg, TB 155 cm, BMI 29,14
Tanda Vital Sign
Tekanan darah : 117/77 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Respirasi : 32 x/menit
Suhu : 36,4 °C
Saturasi : 90%
4
Status Generalis
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, hitam, tidak mudah dicabut,
makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular - nunmular
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
Telinga : normotia, membran timpani utuh, sekret (-), serumen (+)
Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher : kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
Thoraks
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas atas kiri ICS II LPS sinistra, batas atas kanan ICS II
LPS dekstra, batas bawah kiri ICS V LMC sinistra, batas bawah
kanan ICS IV LPS dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
o Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan simetris saat statis dan
dinamis, retraksi suprasternal (+), laserasi (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (+) saat
ekspirasi dan inspirasi
Abdomen
Inspeksi : perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas
Superior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill <2 detik, makula eritema,
lentikular – nunmular, gatal
Inferior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill < 2 detik
5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
DARAH RUTINHemoglobin 13,3 12,5 – 15,5 g/dLLeukosit 11,3 4 – 10 RibuEritrosit 4,76 3,8 – 5,4 JutaHematokrit 39,2 35 – 47 %MCV 82,4 82 – 98 Mikro m3MCH 27,9 ≥ 27 pgMCHC 33,9 32 – 36 g/dLRDW 14,3 10 – 16 %Trombosit 524 150 – 400 RibuLimfosit 1,3 1,0 – 4,5 103 / mikroMonosit 0,1 0,2 – 1,0 103 / mikroLimfosit % 11,2 25 – 40 %Monosit % 0,5 2 – 8 %
2. EKG : normal sinus rithme
3. Spirometri :
FEV1 : 38,3%
FVC : 32,8%
FEV1/FVC : 115,4%
Kesan : restriktif
2.5 RESUME
Pasien wanita usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari SMRS
dan timbul saat pasien batuk kering sejak ± 3 hari SMRS. Pada 1 hari SMRS, sesak di
rasa bertambah dan disertai bunyi mengi. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak
sedikit berkurang dibanding posisi tidur. Bila sesak, pasien biasanya minum obat sesak
yang rutin dikonsumsi (aminifilin) dan membaik, namun kali ini sesak masih dirasakan.
Pasien mengeluh nyeri pada daerah ulu hati sejak ± 5 hari SMRS. Nyeri terus menerus,
ulu hati terasa perih dan panas, nyeri berkurang bila makan atau minum air hangat.
Pusing (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), BAB dan BAK (+) lancar, gatal,
bentol, dan merah pada wajah dan tangan. Pasien pernah mengalami sesak ± 40 hari
sebelumnya, pasien di rawat ± 4 hari dengan diagnosa asma bronkial. Riwayat asma (+)
sejak kecil, pertama kali serangan saat pasien usia 3 tahun, biasanya serangan timbul
6
bila pasien kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, terakhir serangan yaitu 40
hari dan 3 bulan yang lalu. Pasien memiliki alergi obat antalgin dan tetrasiklin, udang,
serta udara dingin. Riwayat hipertensi (+), DM (-), riwayat operasi (-). Riwayat asma
(+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya. Riwayat hipertensi (+), DM (-), jantung (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, BMI 29,14 (obese I), makula
eritema pada pipi dan dagu, lentikular – nunmular, retraksi suprasternal (+), wheezing
(+) saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri tekan epigastrium (+), makula eritema pada
ekstremitas atas, lentikular – nunmular, gatal. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan leukositosis, EKG : normal sinus rithme, dan pada spirometri
(FEV1 : 38,3%, FVC : 32,8%, FEV1/FVC : 115,4%, kesan restriktif).
2.6 DIAGNOSA DIFFERENTIAL
1. Asma bronkial derajat serangan
berat
2. ISPA
3. Dispepsia
4. Bronkitis kronis
5. Emfisema Paru
6. Gagal jantung kiri akut
7. Emboli Paru
2.7 DIAGNOSIS KERJA
1. Asma bronkial derajat serangan berat
2. ISPA
3. Dispepsia
2.8 PENATALAKSANAAN
IGD
1. O2 3 LPM
2. Nebulizer ventolin 1 ampul
3. Infus D5% + drip aminofilin 1
ampul, 20 tpm
Bangsal
1. Infus D5% + drip aminofilin 1
ampul, 20 tpm
2. Salbutamol 3x1
3. Metylprednisolon 3x8 mg
4. Ceterizin 1x1
5. OBH syrup 3x1 C
6. Inj ceftriaxon 2x1 ampul → skin
test (+) → inj cefotaxime 2x1 gr
7. Inj ranitidin 2x1 ampul
7
2.9 FOLLOW UP
Tanggal
Subjective Objective Planning
17 April 2015
Sesak (+) disertai bunyi mengi, lebih nyaman bila duduk, batuk (+), pilek (+), nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK lancar, gatal pada kedua tangan, kedua kaki, dan wajah
Kesadaran : CMVital sign : TD 127/83, HR 87 x, RR 27 x, Suhu 36,8K-L : CA -/-, SI -/-Thoraks : SDV +/+, Wh +/+ ekspirasi, Rh -/-, S1>S2 regAbdomen: supel, BU(+), NT (-)Ekstremitas : akral hangat, udema (-/-), CRT <2 detik
1. O2 3 LPM2. Infus D5% + drip
aminofilin 2 ampul, 20 tpm
3. Salbutamol 3x2 mg4. Inj dexa 3x2 mg5. Ceterizin 1x16. OBH syrup 3x1 C7. inj cefotaxime 2x1 gr
18 April 2015
Sesak (+), mengi (-), batuk (+), pilek (+), nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK lancar, gatal pada kedua tangan, kedua kaki, dan wajah
Kesadaran : CMVital sign : TD 124/80, HR 93 x, RR 26 x, Suhu 37,5K-L : CA -/-, SI -/-Thoraks : SDV +/+, Wh +/+ ekspirasi, Rh -/-, S1>S2 regAbdomen: supel, BU(+), NT (-)Ekstremitas : akral hangat, udema (-/-), CRT <2 detik
1. O2 5 LPM2. Infus D5% + drip
aminofilin 2 ampul, 20 tpm
3. Salbutamol 3x2 mg4. Inj dexa 3x2 mg5. Ceterizin 1x16. inj cefotaxime 2x1 gr
19 April 2015
Sesak berkurang, tidur terlentang nyaman, batuk (+), pilek (+), nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK lancar, gatal pada kedua tangan dan kedua kaki (-)
Kesadaran : CMVital sign : TD 127/88, HR 92 x, RR 24 x, Suhu 36,3K-L : CA -/-, SI -/-Thoraks : SDV +/+, Wh +/+ ekspirasi, Rh -/-, S1>S2 regAbdomen: supel, BU(+), NT (-)Ekstremitas : akral hangat, udema (-/-), CRT <2 detik
1. O2 5 LPM2. Infus D5% + drip
aminofilin 2 ampul, 20 tpm
3. Salbutamol 3x2 mg4. Inj dexa 3x2 mg5. Ceterizin 1x16. inj cefotaxime 2x1 gr
20 April 2015
Sesak (-), batuk (+), pilek (-), nyeri ulu hati (-), BAB dan BAK lancar, gatal pada kedua tangan dan kedua kaki (-)
Kesadaran : CMVital sign : TD 124/88, HR 92 x, RR 22 x, Suhu 37,3K-L : CA -/-, SI -/-Thoraks : SDV +/+, Wh +/+ ekspirasi, Rh -/-, S1>S2 regAbdomen: supel, BU(+), NT (-)Ekstremitas : akral hangat, udema (-/-), CRT <2 detik
BLPL
2.10 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat
penyempitan saluran napas yang bersifat reversibel ditandai dengan episode
obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik, merupakan gangguan
inflamasi kronik jalan napas yg melibatkan berbagai sel inflamasi dan
elemennya yang berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus akibat
kontaminasi dengan antigen. 1,2,5
Definisi asma dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2011
mendefinisikan asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi pada asma yang khas
ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit T di
lumen dan mukosa saluran napas. Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Dalam keadaan ini terjadi tiga kondisi, yakni obstruksi saluran napas,
peradangan saluran napas dan peningkatan kepekaan yang berlebihan pada
saluran napas. 1,2,5
3.2 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini
adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala
di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di
dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan
9
terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun
2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari
4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh
penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.3,4,6
3.3 Faktor Resiko
Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu dalam hal ini adalah
predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma, yaitu riwayat
keluarga asma dan jenis kelamin. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu asap rokok dan asap
kendaraan bermotor. 3,4,6
1.Faktor Pejamu yang Berpengaruh Terhadap Asma
a. Riwayat keluarga
Telah diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada etiologi
asma. Dari studi genetik telah menemukan multiple chromosomal region yang
berisi gen-gen yang memberi kontribusi asma. Kromosom 11, 12, 13 memiliki
berbagai gen yang penting dalam berkembangnya asma, antara lain CD28,
IGPB5, CCR4 dan CD22.
b. Riwayat atopi
c. Jenis kelamin
d. Ras : kulit hitam > kulit putih
e. Obesitas
2.Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Asma
a. Asap rokok
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO pada 8,5% populasi dunia
menunjukan 47% laki-laki dan 12% perempuan berumur 15 tahun ke atas
adalah perokok. Menurut Bank Dunia, Konsumsi rokok Indonesia sekitar 6,6%
dari seluruh konsumsi dunia. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
10
(SUSENAS) 2003 menyebutkan bahwa 27% penduduk berusia di atas 10 tahun
menyatakan merokok dalam satu bulan terakhir sejumlah 92,0% dari perokok
menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota
rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
adalah perokok pasif. Asap rokok merupakan oksidan yang menimbulkan
inflamasi. Asap rokok akan mengakibatkan kerusakan epitel dan perubahan
sifat epitel bronkus pada penderita asma sehingga lebih rentan terjadi apoptosis
akibat oksidan. 3,4,5
Penderita asma yang terpajan asap rokok mempercepat perburukan
fungsi paru, berisiko kecacatan, semakin tidak produktif dan menurunkan
kualitas hidup. Akibat pajanan asap rokok tidak saja terjadi pada perokok aktif
tetapi juga pada perokok pasif. Asap rokok juga dapat meningkatan berat asma,
tidak berespons terhadap pengobatan dengan inhalasi atau glukokortikosteroid
sistemik dan mengurangi pertahanan asma terkontrol. 3,4,5
b. Asap kendaraan bermotor
Polusi udara terdiri dari partikel dan berbagai gas yang dapat berasal dari
berbagai sumber. Polusi udara dapat terjadi di dalam dan di luar ruangan
(indoor dan outdoor). Sumber polusi udara dapat berasal dari alam dan
aktivitas manusia. Sumber polutan alam meliputi aktivitas gunung berapi,
kebakaran hutan, badai debu. Sumber polutan yang berasal dari aktivitas
manusia yaitu asap kendaraan bermotor, pembuangan sampah padat, proses
industri dan lain-lain. 3,4,5
Polutan akan mengakibatkan kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel
bronkus pada penderita asma sehingga meningkatkan permeabilitas saluran
napas, meningkatkan pelepasan sitokin dan mediator inflamasi akibat pajanan
asap kendaraan bermotor. Meningkatnya eksaserbasi asma menunjukan
tingginya hubungan asap kendaraan bermotor yang tersensitisasi pada individu.
Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai kontribusi perburukan gejala
asma dengan mencetuskan bronkokonstriksi, peningkatan hiperesponsif saluran
napas dan peningkatan respons terhadap aeroalergen. 3,4,5
3.4 Patofisiologi
11
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan
pengertian dasar timbulnya asma bronkial dan manifestatsi klinisnya adalah
konsep inflamasi. Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi
saluran napas melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bukti-
bukti asma sebagai penyakit inflamasi kronis saluran napas diperoleh dari
pemeriksaan otopsi, kurasan cairan bronkus, biopsi mukosa bronkus,
pemeriksaan bronkoskopi dan sputum.6,7,8
Sebelum mengalami proses inflamasi, pencetus serangan asma dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain, alergen, virus dan polutan yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini
(early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction =
LAR). Setelah reaksi asma awal dan lambat, proses dapat terus berlanjut
menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronis. Pada keadaan ini terjadi inflamasi
di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel–sel inflamasi terutama eosinofil
dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus. 6,7,8
1. Inflamasi Akut
a. Reaksi asma tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan perfomed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrien, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 6,7,8
b. Reaksi asma tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel TCD4+, neutrofil dan makrofag. 6,7,8
2. Inflamasi Kronis
Limfosit yang berperan adalah limfosit T-CD4+. Limfosit T ini berperan sebagai
orkestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13. IL akan menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE.
Eosinofil ditemukan pada saluran napas penderita asma dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin
antara lain IL-3, IL-5, IL-6, TNF α. Makrofag merupakan sel terbanyak
12
didapatkan pada organ pernapasan. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator anatara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. (Mcfadden, 2000).
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, neutrofil, platelet
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas
bronkus. 6,7,8
Mediator sel mast dan pengaruhnya terhadap asma antara lain: 6,7,8
Mediator Pengaruh Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Kontriksi otot polos
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan E2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Chymase Radikal oksigen
Udema mukosa
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mucus
Radikal oksigen Enzim proteolitik Faktor inflamasi dan sitokin
Deskuamasi epitel bronkial
3.5 Diagnosis
3.5.1 Anamnesis
Gejala yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
berdahak. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu dan berespons
terhadap pemberian bronkodilator. Keluhan menjelang pagi atau episode malam
sering dijumpai pada asma dewasa. Tipikal gejala asma nokturnal terjadi antara
jam 4-6 pagi dan biasanya menghilang dengan inhalasi bronkodilator. Kadang
13
asma hanya muncul dengan keluhan batuk kronis. Apabila batuk menetap dan
timbul berulang hendaknya dipertimbangkan sebagai gejala asma. Biasanya
batuk akan timbul akibat paparan zat tertentu, aktivitas, gangguan emosi dan
infeksi virus. Batuk yang khas pada asma adalah yang memberat pada malam
hari. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru serta terdapat riwayat
keluarga asma dan atopi juga sangat membantu diagnosis. 1,2,5
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Hasil temuan fisik pada saat serangan asma adalah akibat dari efek
langsung penyempitan saluran napas difus dan efek tidak langsung akibat dari
peningkatan kerja napas dan peningkatan kebutuhan metabolik. Pasien yang
mengalami serangan asma (sesuai derajat serangan), pada saat inspeksi
ditemukan pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi suprasternal), sianosis. Pada palpasi biasanya tidak ada
kelainan yang nyata kecuali pada serangan asma berat dapat terjadi pulsus
paradoksus. Pada perkusi tidak ada kelainan yang nyata dan pada auskultasi
ditemukan ekspirasi yang memanjang dan wheezing. 1,2,5
Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas.
Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi
paksa. 1,2,5
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Takipnea dan takikardi adalah tanda umum asma akut. Pernapasan antara 25-
28x/menit dan rata-rata detak jantung 100x/menit. 1,2,5
14
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk mendiagnosis asma, menilai
keparahan obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas
faal paru, langkah-langkah pengendalian penyakit dan memberikan informasi
pelengkap tentang berbagai aspek kontrol asma. Pemeriksaan faal paru untuk
menegakkan diagnosis asma antara lain: 1,2,5
a. Spirometri
Pengukuran Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (VEP1) dan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <75%
atau VEP1 <80% nilai prediksi. (PDPI, 2004). Dikatakan obstruksi saluran
napas reversibel bila ditemukan peningkatan VEP1>12% setelah terapi
bronkodilator. 1,2,5
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Menggunakan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). bermanfaat
untuk menilai reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah
inhalasi bronkodilator dan sebagai variabilitas untuk menilai APE harian
selama 1-2 minggu. 1,2,5
APE malam – APE pagi
Variabiliti harian = x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
2. Uji Provokasi Bronkus
Membantu menegakkan diagnosis asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu
ditemukan pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes
ini sangat sensitif sehingga kalau tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas
harus memacu untuk mengurangi pemeriksaan dari awal dan memikirkan
diagnosis penyakit selain asma. Uji provokasi bronkus dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu : uji farmakologi (histamine, adenosine atau metacholine) dan uji
non farmakologi (saline hipertonis dan olahraga). Pada uji farmakologi,
metacholine suatu bahan kolinergik yang bekerja dengan cara membuat
15
kontraksi otot polos saluran napas pada saluran napas yang hiperaktif. Demikian
juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada uji non
farmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan di
saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang serabut
saraf dan proses peradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sebagai
prasyarat keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan VEP1
>70%. Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20, yaitu:
konsentrasi zat inhalasi yang menimbulkan penurunan VEP1 20% dibanding
VEP1 sebelum provokasi. Spesifisitas tes farmakologi berkisar 90% bila PC20 ≤
8 mg/ml digunakan sebagai nilai ambang diagnosis. 1,2,5
3. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto toraks untuk asma tidak begitu penting. Sebagian besar
menunjukkan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat berguna untuk
menyingkirkan penyakit lain atau mencari penyulit yang terjadi seperti
pneumothoraks, pneumonia dan atelektasis. Pada serangan asma yang ringan,
gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan. 1,2,5
3.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang.
Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma semakin
tinggi tingkat pengobatan. Klasifikasi asma adalah sebagai berikut : 1,2,5
3.6.1 Bedasarkan ada/tdknya penyakit imun penyebab
1. Asma ekstrinsik/alergik/atopik
Disebabkan karena reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dipicu karena adanya
pajanan ke antigen1,2,5
2. Asma intrinsik / idiopatik
Pemicunya merupakan nonimun. Sejumlah rangsangan yang kecil atau yang
tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan bronkospasme1,2,5
16
3.6.2 Berdasarkan derajat keparahannya
Berdasarkan derajat keparahan, menurut GINA (Global Initiative for Asthma), asma
dibagi menjadi : 1,2,5
1. Intermitten
2. Persisten ringan
3. Persisten sedang
4. Persisten berat
Derajat Gejala Gejala malam Faal paru
Intermiten Bulanan< 1 x/mingguTanpa gejala di luar seranganSerangan Singkat
≤2 x sebulan APE ≥ 80%FEV1 ≥ 80% nilai prediksiAPE ≥ 80% nilai terbaikVariabilitas APE < 20%
Persisten ringan
MingguanGejala >1x/minggu tapi <1 x/hariSerangan ganggu aktivitas dan tidur
> 2x sebulan APE ≥ 80%FEV1 ≥ 80% nilai prediksiAPE ≥ 80% nilai terbaikVariabilitas PEF/FEV1 20-30%
Persisten sedang
HarianSerangan dapat mengganggu aktivitas dan tidurButuh bronkodilator setiap hari
> 1x seminggu APE 60-80 %FEV1 60-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaikVariabilitas APE >30%
Persisten berat
KontinuSering kambuhAktivitas fisik tbtas
Sering APE ≤60 %FEV1 ≤60% nilai prediksiAPE ≤60 nilai terbaikVariabilitas APE > 30%
3.6.3 Berdasarkan derajat beratnya serangan
Berdasarkan derajat beratnya serangan, asma dibagi menjadi : 1,2,5
1. Asma serangan ringan
2. Asma serangan sedang
3. Asma serangan berat
Keterangan Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dpt berjalan, dpt berbaring
Jalan terbatas, lbh suka duduk
Sukar berjalan, duduk membungkuk
ke depanBicara Bbrp kalimat Kalimat terbatas Bicara brp kataKesadaran Mungkn terganggu Biasanya terganggu Biasanya tergangguFrekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30x/mnt
17
Retraksi otot-otot bantu napas
Umumnya tidak ada Kadang ada Ada
Wheezing Lemah smp sedang Keras KerasFrekuensi nadi < 100 100-200 > 120Pulsus paradoksus Tdk ada (< 10 mmHg) Mungkin ada (10-25
mmHg)Sering ada (> 25
mmHg)APE setelah bronkodilator
> 80% 60-80% < 60%
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg < 45 mmHgSaO2 > 95 % 91-95 % < 90%
3.6.4 Berdasarkan Terkontrol/Tidak
Berdasarkan Terkontrol/Tidak, asma dibagi menjadi : 1,2,5
1. Asma terkontrol penuh
2. Asma terkontrol parsial
3. Asma tidak terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial
Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada (< 2x/mgg) > 2x/mgg 3/lbh dari karakteristik asma parsial tjd dalam seminggu
Keterbatasan aktivitas Tidak BeberapaGejala nokturnal Tidak BeberapaReliever ( pelega ) Tidak (< 2x/mgg ) > 2x/mggPEV atau PEV1 Normal < 80 %Eksaserbasi Tidak 1/lbh dlm
setahun1x dlm bbrp mggu
3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.Tujuh komponen program
penatalaksanaan asma adalah : 1,2,5
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas, menjaga
penderita agar tetap bisa melakukan aktivitas dan mengurangi biaya pengobatan
karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke
unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi sebaiknya diberikan dalam
waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar
pohon bronkus, phantom rongga thoraks dengan saluran napas dan paru, gambar
18
potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Edukasi
sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik,
klub asma, dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu
penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan
kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. 2,3,5
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. 2,3,5
a. Gejala dan tanda asma dinilai dan dipantau setiap kunjungan ke dokter
melalui berbagai pertanyaan dan pemeriksaan fisik. Pertanyaan yang rinci
untuk waktu yang lama (≥ 4 minggu) sulit dijawab dan menimbulkan bias
karena keterbatasan daya ingat (memori) penderita. Oleh karena itu,
pertanyaan untuk jangka waktu lama umumnya bersifat global, dan untuk
waktu yang pendek misalnya ≤ 2 minggu dapat diajukan pertanyaan yang
rinci yang sebaiknya meliput tiga hal, yaitu : 2,3,5
a) Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak)
b) Asma malam, terbangun malam karena gejala asma
c) Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 15
menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
b. Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru dapat dilakukan untuk diagnosis, menilai berat asma,
memonitor keadaan asma dan menilai respons pengobatan sehingga menjadi
parameter obyektif dan pemeriksaan berkala secara teratur mutlak dilakukan.
Pemantauan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Peak Flow Meter penting
untuk menilai berat asma, derajat variasi diurnal, respons pengobatan saat
serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik dan respons pengobatan
jangka panjang. 2,3,5
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan yang dapat sebagai pencetus
serangan. 2,3,5
19
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol berupa medikasi
(obat-obatan). Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. Medikasi asma dapat
diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular, intravena), tetapi pemberian medikasi langsung ke jalan napas
(inhalasi) mempunyai kelebihan, yaitu lebih efektif untuk dapat mencapai
konsentrasi tinggi di jalan napas dan efek sistemik minimal atau dihindarkan.
a. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada pasien asma persisten. Yang termasuk obat pengontrol
adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat,
nedokromil sodium, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi, agonis beta-2 kerja
lama, oral dan antihistamin generasi kedua (antagois-H1). 2,3,5
b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan degan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah agonis beta-2 kerja singkat, antikolinergik, aminofilin dan adrenalin.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penanganannya harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan faal paru untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang cepat dan tepat. Pada serangan asma obat yang digunakan
adalah bronkodilator (beta-2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) serta
kortikosterod sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta-2
agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Pada dewasa
dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada serangan sedang
20
diberikan beta-2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada
serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, beta-2 agonis
kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila beta-2 agonis krja cepat tidak tersedia dapat
digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam
jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan
dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat
menggunakan IDT (inhalasi dosis terukur) dengan alat bantu (spacer). 2,3,5
6. Kontrol secara teratur
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya terjadi
serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan
bergantung kepada keadaan asma. 2,3,5
Pengobatan sesuai berat asma: 2,3,5
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.Berat Asma Medikasi pengontrol
harianAlternatif / Pilihan lain Alternatif
lainAsma Intermiten Tidak perluAsma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) danagonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Ditambah teofilin lepas lambat
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral
21
Berat glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini: teofilin lepas lambat leukotriene modifiers glukokortikosteroid
oral
selang sehari 10 mgditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
3.8 Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : 2,3,5
1. Pencegahan primer
Ditujukan mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orang tua asma),
dengan cara penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan
masa perkembangan bayi/anak, diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan
syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin, pemberian asi eksklusif
selama 6 bulan karena bayi yang mendapat susu sapi atau protein kedelai
mempunyai insiden penyakit mengi lebih banyak. Berbagai studi menunjukkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan
paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapat gangguan
mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang
mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada
sensitisasi alergen.
2. Pencegahan sekunder
Bertujuan mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihistamin H-1 dalam menurunkan
onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Pencegahan sekunder juga
bertujuan mencegah inflamasi yang telah tersensitisasi dengan cara menghindari
pajanan asap rokok, serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah agar tidak terjadi serangan/ bermanifestasi klinis
asma pada penderita yang sudah menderita asma. Sehingga menghindari pajanan
pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan
medikasi/obat.
22
3.9 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum
angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami
serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang. Pada penderita
yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka
kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%. 2,3,5Asma dikatakan terkontrol bila : 1,5,7
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE <20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke IGD
3.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma yaitu : 1,5,7
1. Status asmatikus
2. Gagal napas
3. Perubahan postural tubuh
4. bronkitis
5. Pneumotoraks
6. atelektasis
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien wanita usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari
SMRS dan timbul saat pasien batuk kering sejak ± 3 hari SMRS. Pada 1 hari
SMRS, sesak di rasa bertambah dan disertai bunyi mengi. Pasien merasa pada
posisi duduk, sesak sedikit berkurang dibanding posisi tidur. Bila sesak, pasien
biasanya minum obat sesak yang rutin dikonsumsi (aminifilin) dan membaik,
namun kali ini sesak masih dirasakan. Pasien mengeluh nyeri pada daerah ulu
hati sejak ± 5 hari SMRS. Nyeri terus menerus, ulu hati terasa perih dan panas,
nyeri berkurang bila makan atau minum air hangat. Pusing (+), nyeri ulu hati
(+), mual (+), muntah (-), BAB dan BAK (+) lancar, gatal, bentol, dan merah
pada wajah dan tangan. Sesak yang dirasakan kemungkinan karena serangan
asma yang dapat mengakibatkan bronkokonstriksi serta terjadi reaksi inflamasi
di saluran napas. Keluhan yang memburuk pada cuaca dingin serta kondisi
pasien yang sedang batuk dapat menjadi faktor pencetus terjadinya serangan
asma akut dikarenakan reaksi hipersensitivitas yang berlebihan pada sistem
imun pasien.
Pasien pernah mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya. Riwayat asma (+)
sejak kecil, pertama kali serangan saat pasien usia 3 tahun, biasanya serangan
timbul bila pasien kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, terakhir
serangan yaitu 40 hari dan 3 bulan yang lalu. Pasien memiliki alergi obat
antalgin dan tetrasiklin, udang, serta udara dingin. Riwayat hipertensi (+), DM
(-), riwayat operasi (-). Riwayat asma (+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya.
Riwayat hipertensi (+), DM (-), jantung (-).Asma merupakan penyakit yang
24
episodik dan umumnya terjadi sejak usia muda. Keadaan orang tua yang juga
memiliki riwayat asma maupun alergi lainnya dapat diturunkan ke anaknya.
Tidak adanya keluhan nyeri dada kiri yang menjalar ke punggung dapat
melemahkan keadaan sesak napas yang berasal dari kelainan jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, BMI 29,14 (obese
I), makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular – nunmular, retraksi
suprasternal (+), wheezing (+) saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri tekan
epigastrium (+), makula eritema pada ekstremitas atas, lentikular – nunmular,
gatal. Adanya pernapasan cepat dan dangkal serta retraksi suprasternal
merupakan suatu adaptasi tubuh dalam kondisi serangan asma. Sistem
pernapasan berusaha untuk mendapatkan oksigen sebanyak-banyaknya
dikarenakan adanya sumbatan pada saluran napas sehingga dapat terjadi
hiperinflasi paru. Bunyi wheezing menandakan adanya penyempitan bronkus
sehingga udara sulit keluar (mengi).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan leukositosis, EKG
: normal sinus rithme, dan pada spirometri (FEV1 : 38,3%, FVC : 32,8%,
FEV1/FVC : 115,4%, kesan restriktif). Leukositosis dapat terjadi karena pasien
sedang batuk, sehingga sel-sel imun bertambah banyak untuk melawan agen
penyebab batuk. Pada pasien asma, spirometri seharusnya menunjukkan tanda
obstruktif. Hal-hal yang mungkin menyebabkan spirogram tidak akurat yaitu
terburu-buru, penarikan napas yang salah, batuk, terminasi lebih awal, ekspirasi
yang bervariasi, atau kebocoran.
Pada pasien ini, diagnosis asma berdasarkan adanya batuk dan mengi
yang episodik (timbul berulang), variabilitas (timbul bila terpajan dengan faktor
pencetus), reversibilitas (gejala membaik dengan obat asma), riwayat alergi
lainnya, riwayat asma, serta riwayat asma atau alergi lain pada keluarga pasien
(atopi). Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya wheezing yang menandakan
adanya obstruksi saluran napas dan penggunaan otot bantu napas sebagai
kompensasi agar tubuh dapat menarik oksigen lebih banyak.
Berdasarkan kriteria derajat serangannya, maka pasien ini termasuk
dalam kriteria derajat berat : sesak saat berbicara, posisi nyaman dengan duduk
bertopang lengan, bicara penggal kalimat, iritable, tidak ada tanda sianosis,
25
wheezing sangat nyaring tanpa stetoskop, penggunaan otot bantu napas, retraksi
suprasternal dalam, takipneu, takikardi, saturasi oksigen 90%. Setelah diberikan
nebulisasi sebanyak dua kali, terjadi respon parsial. Oleh karena itu, pasien
termasuk serangat asma derajat sedang.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien wanita usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak dan timbul saat
pasien batuk kering. Pada 1 hari SMRS, sesak di rasa bertambah dan disertai
bunyi mengi. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
dibanding posisi tidur. Pusing (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), BAB
dan BAK (+) lancar, gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan. Pasien
pernah mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya. Riwayat asma (+) sejak kecil,
biasanya serangan timbul bila pasien kecapean, terkena udara dingin, dan batuk
pilek, terakhir serangan yaitu 40 hari dan 3 bulan yang lalu. Pasien memiliki
alergi obat antalgin dan tetrasiklin, udang, serta udara dingin. Riwayat hipertensi
(+), Riwayat asma (+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan takikardi, takipneu, BMI 29,14 (obese I), makula eritema pada
pipi dan dagu, lentikular – nunmular, retraksi suprasternal (+), wheezing (+)
saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri tekan epigastrium (+), makula eritema pada
ekstremitas atas, lentikular – nunmular, gatal. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan leukositosis, EKG : normal sinus rithme, dan pada
spirometri (FEV1 : 38,3%, FVC : 32,8%, FEV1/FVC : 115,4%, kesan restriktif).
26
Pada pasien ini, diagnosis asma berdasarkan adanya batuk dan mengi
yang episodik (timbul berulang), variabilitas (timbul bila terpajan dengan faktor
pencetus), reversibilitas (gejala membaik dengan obat asma), riwayat alergi
lainnya, riwayat asma, serta riwayat asma atau alergi lain pada keluarga pasien
(atopi). Berdasarkan kriteria derajat serangannya, maka pasien ini termasuk
dalam kriteria derajat berat. Setelah diberikan nebulisasi sebanyak dua kali,
terjadi respon parsial. Oleh karena itu, pasien termasuk serangat asma derajat
sedang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI Jilid 1, 404. Departemen Kesehatan RI.
2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta
2. Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Canada
3. Global strategy for asthma management and prevention (update 2011) –
www.ginasthma.org
4. Mcfadden. 2000. Penyakit Asma dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Price A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit edisi VI
volume 2. Jakarta: EGC
7. Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi VI.
Jakarta: EGC
8. Stefan Silbernagl ,Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
27
28