lapsus anastesi

73
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan subtitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tak berfungsi. Degenarasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan didaerah leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan. Struma Nodosa Non Toksik merupakan kelainan tiroid yang paling sering diketemukan. Sebagai LAPORAN KASUS Page 1

Upload: febi-rahmadin

Post on 27-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Anastesi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama ditemukan di daerah

pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah

dengan subtitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan

secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya

multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan

berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena

tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi

kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tak berfungsi. Degenarasi

jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang

sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali

benjolan didaerah leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat

hidup dengan strumanya tanpa gangguan.

Struma Nodosa Non Toksik merupakan kelainan tiroid yang paling

sering diketemukan. Sebagai gambaran, di Boston, pada 8% dari 2585 autopsi

rutin, ditemukan nodul tiroid. Penyebab kelainan ini bermacam-macam. Pada

setiap orang dapat dijumpai massa dimana kebutuhan terhadap tiroksin

bertambah, terutama pada masa pertumbuhan, pubertas, menstruasi,

kehamilan, laktasi, menopouse, infeksi atau stress lain. Pada masa-masa

tersebut ditemukan adanya hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan

ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur

yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut

sehingga terjadi iskemia. Pada struma nodosa yang berlangsung lama, dapat

terjadi berbagai bentuk degenerasi seperti fibrosis, nekrosis, kalsifikasi,

pembentukan kista dan perdarahan ke dalam kista tersebut.

LAPORAN KASUS Page 1

Page 2: Lapsus Anastesi

Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat menampakkan diri

sebagai struma nodosa non toksik ialah kista, adenoma, perdarahan, tiroditis

dan karsinoma. Struma nodosa non toksik khususnya menjadi lebih penting

kaitannya dengan kemungkinan adanya keganasan tersebut. Tindakan dalam

pengelolaan nodul tiroid ini tergantung dari diagnosis dan keadaannya, dapat

bervariasi antara pembedahan yang radikal sampai blokade TSH saja dengan

L-tiroksin atau sama sekali tidak dilakukan apa-apa.

LAPORAN KASUS Page 2

Page 3: Lapsus Anastesi

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Struma

2.1.1 Definisi

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya

dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.

Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai

besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi

sistem vena serta pembentukan vena kolateral.

2.2.1 Etiologi

Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa

tidak diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-

gejala tiroiditis ringan. Oleh karena itu, diduga tiroiditis ini

menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan

peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) dan

pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak meradang.

Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini biasanya

nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang

lain rusak akibat tiroiditis.

Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar

tiroidnya timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk

pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat

dijumpai adalah :

1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium

dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat.

2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi

menjadi iodium.

LAPORAN KASUS Page 3

Page 4: Lapsus Anastesi

3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul

tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak

terbentuk.

4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari

tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk

membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi

iodium.

2.3.1 Klasifikasi

Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi :

1. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan

2. Derajat I :teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya

kalau kepala ditegakkan

3. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal

4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.

Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi :

1. Derajat 0a : tidak terlihat atau teraba tidak besar

dari ukuran normal.

2. Derajat 0b : jelas teraba lebih besar dari normal,

tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.

Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi

hormon tiroksin, maka bisa dibagi menjadi :

1. Hipertiroid

Sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada

penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon

tiroksin berlebihan.

2. Eutiroid

Bila produksi hormon tiroksin normal.

3. Hipotiroid

Bila produksi hormon tiroksin kurang.

LAPORAN KASUS Page 4

Page 5: Lapsus Anastesi

4. Struma nodosa non toksik

Bila tanpa tanda-tanda hipertiroid.

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul

dibedakan menjadi :

1. Nodul dingin (cold nodule)

2. Nodul hangat (warm nodule)

3. Nodul panas (hot nodule)

Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi :

1. Nodul lunak

2. Nodul kistik

3. Nodul keras

4. Nodul sangat keras 3,6

2.4.1 Diagnosis

Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan

pemeriksaan penunjang.

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan

karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai

membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada

saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat

menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar

penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa

keluhan.Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu

pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan

penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.

Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai

jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak

mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti

menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea

LAPORAN KASUS Page 5

Page 6: Lapsus Anastesi

dengan stridor inspiratoar.

Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea

naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena

terfiksasi pada trakea.Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari

belakang kepala penderita sedikit fleksi sehingga muskulus

sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah

dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu

jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah

lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid

sewaktu penderita disuruh menelan.

Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba

trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai

bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya

struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke

arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan

yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis

setelah operasi.

Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya

lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan

di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke

kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior

benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus

sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.

Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan :

1. Lokasi : lobus kanan, lobos kiri, ismus

2. Ukuran : dalam sentimeter, diameter panjang

3. Jumlah nodul : satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)

LAPORAN KASUS Page 6

Page 7: Lapsus Anastesi

4. Konsistensinya : kistik, lunak, kenyal, keras

5. Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi

6. Mobilitas : ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoidea

7. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak.2

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu

dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki

karakteristik:

1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul

dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami

degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.

2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak,

walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada

hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama.

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,

walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika

ditemukan ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome)

merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.

4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang

yang ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada

keganasan tiroid

5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai

ganas terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-

tiba membesar progresif.

6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah

LAPORAN KASUS Page 7

Page 8: Lapsus Anastesi

bening regional atau perubahan suara menjadi serak.

7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus

sternokleido mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry’s

sign). 2

Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum :

1. Sangat mencurigakan

a. Riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare

b. Cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin

c. Nodul padat atau keras

d. Sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar

e. Paralisis pita suara

f. Metastasis jauh

2. Kecurigaan sedang

a. Umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun

b. Pria

c. Riwayat radiasi pada leher dan kepala

d. Nodul > 4cm atau sebagian kistik

e. Keluhan penekanan termasuk disfagia, disfonia, serak, dispneu dan

batuk.

3. Nodul jinak

LAPORAN KASUS Page 8

Page 9: Lapsus Anastesi

a. Riwayat keluarga : nodul jinak

b. Struma difusa atau multinodosa

c. Besarnya tetap

d. FNAB : jinak

e. Kista simpleks

f. Nodul hangat atau panas

g. Mengecil dengan terapi supresi levotiroksin. 3,4

Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa

penyakit tiroid terbagi atas :

a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid

Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering

menggunakan Radioimmuno-Assay (RIA) dan cara Enzyme-Linked

Immuno-Assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.

Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit

tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120

ng/dL, T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal

pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL dan

TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di

mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat

sampai 3 kali normal.

b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.

Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan

pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.

1. Antibodi tiroglobulin

LAPORAN KASUS Page 9

Page 10: Lapsus Anastesi

2. Antibodi mikrosomal

3. Antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)

4. Antibodi permukaan sel (cell surface antibody)

5. Thyroid stimulating hormone antibody (TSA)

Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat

memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma

retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga,

foto rontgen leher, posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi

kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan

tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memelukan

CT-scan leher.

USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk :

1. Dapat menentukan jumlah nodul

2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,

3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid

4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak

menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.

5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat

dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya

pembesaran tiroid.

6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan

dilakukan biopsi terarah.

7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

LAPORAN KASUS Page 10

Page 11: Lapsus Anastesi

Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan

memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan

kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun

bentuk lesinya.Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan

karena adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang

menangkap iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami proses

trapping juga ikut dalam proses organifikasi, sedangkan ion

pertechnetate hanya ikut dalam proses trapping.

Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan

sekaligus membedakan berbagai penyebab hipertiroidisme dan juga

menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan

hipertiroidisme.Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan

klinik dan kadar hormon tiroid.Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama

dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi

yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.

Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine

needle aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat

agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan

hasil FNAB saja. Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid.

1. Jinak (negatif) : Tiroid normal, nodul koloid,

kistatiroiditis subakut, tiroiditis Hashimoto

2. Curiga (indeterminate) :Neoplasma sel

folikuler,neoplasma Hurthle

3. Ganas (positif):Karsinoma tiroid papiler,

karsinoma tiroid meduler,karsinoma tiroid

anaplastik. 5

LAPORAN KASUS Page 11

Page 12: Lapsus Anastesi

Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi

tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang

dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.Lesi tiroid atau sisa

tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis

untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis

kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.6.1 Terapi

Pilihan terapi nodul tiroid :

1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin

2. Pembedahan

3. Iodium radioaktif

4. Suntikan etanol

5. US Guided Laser Therapy

Indikasi operasi pada struma adalah :

1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa

2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan

3. Struma dengan gangguan tekanan

4. Kosmetik.

Kontraindikassi operasi pada struma :

1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang

lain yang belum terkontrol

3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit

digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang

demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang buruk

prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus

dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan

dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang

baik.

LAPORAN KASUS Page 12

Page 13: Lapsus Anastesi

4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya

karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun

telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan

mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.2,3,6

2.2 Anestesi Umum (General Anestesi)

2.2.1 Definisi

Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara

sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali

(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri:

1. hipnotik : hilang kesadaran

2. analgesia : hilang rasa sakit

3. relaksasi otot

Indikasi anastesi umum :

1. Infant dan anak-anak

2. Operasi yang luas

3. Psien dengan kelainan mental

4. Bila pasien menolak anestesi lokal

5. Operasi yang lama

6. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal

2.2.2  Jenis-Jenis Anestesi Umum

Total Intrvenous Anestesi (TIVA)

TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan

obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa

LAPORAN KASUS Page 13

Page 14: Lapsus Anastesi

penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat

mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut

Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik

atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu

1.      Amnesia

2.      Arefleksia otonomik

3.      Analgesik

4.      +/- relaksasi otot

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita

membutuhkan kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat

melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat anestesi

intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali

Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai

agen anestesi intravena yang paling lengkap.

Kelebihan TIVA:

1. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada

operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.

2. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin

yang khusus.

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan

dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara

parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti

diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya

tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai

tambahan pada tindakan analgesia regional.

LAPORAN KASUS Page 14

Page 15: Lapsus Anastesi

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat –

obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis

obat saja seperti Diazepam, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

Indikasi penggunaan :

1. Obat induksi anesthesia umum

2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anestesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP

sedasi)

Cara Pemberian :

1. Sebagai  obat tunggal : Induksi anestesi, operasi singkat seperti

cabut  gigi

2. Suntikan berulang : Sesuai kebutuhan, contoh curetase

3. Diteteskan lewat infus : Menambah kekuatan anestesi

Jenis-jenis obat anestesi yang digunakan di Indonesia :

a.Propofol (diisopropylphenol )

Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai

anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan.

Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977

sebagai obat induksi.

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam

anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia

lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak

soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya

asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat

tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam

LAPORAN KASUS Page 15

Page 16: Lapsus Anastesi

cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan

kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel

dengan D5W.

Mekanisme kerja :

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui,

tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A

(Gamma Amino Butired Acid).

Farmakokinetik :

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98%

terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi

suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan

berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh

lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke

jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata

30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu

ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat

hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.

Farmakodinamik :

- Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana

dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa

disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi  (2mg/kgBB)

pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan

perubahan mood tapi tidak  sehebat thiopental. Dapat menurunkan

tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

- Pada sistem kardiovaskuler

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada

LAPORAN KASUS Page 16

Page 17: Lapsus Anastesi

jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali

disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol

mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan

menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.

Pengaruh pada jantung tergantung dari :

a. Pernafasan spontan

Mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali.

b.Pemberian drip lewat infus

Mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara bolus

c. Umur

Makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

- Pada sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal,

dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas

kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.

- Dosis dan penggunaan

- Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

- Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus

- Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min

IV (titrate to effect).

- Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik

atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi

yang lain.

- Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan

konsentrasi yang minimal 0,2%.

- Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus

berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam

kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah

LAPORAN KASUS Page 17

Page 18: Lapsus Anastesi

kontaminasi dari bakteri.

Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50%

sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah

vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan

menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat

diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada

bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena

yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui

pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol

merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati

pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti

hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat

menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate

atau  methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah

pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat

juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan

pada anak-anak akibat pemberian propofol.

b. Ketamin

Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan

arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan

phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana

awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang

lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi

dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika

selama perang Vietnam.

Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,

merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”.

Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh

LAPORAN KASUS Page 18

Page 19: Lapsus Anastesi

Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi

umum.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena

sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri

kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah ,

pandangan kabur dan mimpi buruk.

Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi,

ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti

anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.

Mekanisme kerja :

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap

reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan

efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat

dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.

Farmakokinetik :

-Absorbsi :

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau

intramuskular

- Distribusi :

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan

didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60

detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan

kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M

maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

LAPORAN KASUS Page 19

Page 20: Lapsus Anastesi

- Metabolisme

Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal

hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.

- Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan

melalui ginjal.

Farmakodinamik :

- Susunan saraf pusat :

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik

pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai

tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan

nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak

disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,

menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi

dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian

Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan

tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan

halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami

agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan

peningkatan tekanan darah intrakranial.

Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan

amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml

(sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika

Cp dibawah 0,5µg/ml.

Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-

aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :

- Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

LAPORAN KASUS Page 20

Page 21: Lapsus Anastesi

- Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

- Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang

berupa:

- Mimpi buruk

- Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari

badan)

- Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

- Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

- Dewasa > anak-anak

- Perempuan > laki-laki

- Mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka

spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat

peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

- Sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat

simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah

dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik

positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

- Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap

sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena

sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan

pada pasien asma.

LAPORAN KASUS Page 21

Page 22: Lapsus Anastesi

Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara

intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat

contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air

sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi

adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M ,

untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus

dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau

kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15

menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi

selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau

analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau

5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.

Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan

sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi

dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi

pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus

pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan

tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya

nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative

kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka

penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien

yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus

dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat,

LAPORAN KASUS Page 22

Page 23: Lapsus Anastesi

misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi

intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada

penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang

menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat

simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes

militus dan PJK.

c. Opioid

Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri

selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah

poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “ berasal dari

bahasa yunani yang berarti getah.

Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.

Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and

remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan

dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam

dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak.

Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.

Mekanisme kerja :

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada

system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor

opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek

sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari

spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas

ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat

menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap

neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron

nosiseptif.

LAPORAN KASUS Page 23

Page 24: Lapsus Anastesi

 Farmakokinetik :

- Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan

meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah

20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan

metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset

cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20

μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).

- Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit).

Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju

melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan

durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan

sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi

bolus.

- Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di

hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang

tidak aktif.

- Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih

10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 –

10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit

aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot

polos esterase.

LAPORAN KASUS Page 24

Page 25: Lapsus Anastesi

Farmakodinamik :

- Sistem kardiovaskuler

System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik

kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh

darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena

terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga

menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena

adanya pelepasan histamin.

- Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan

penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang

menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul

sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan,

selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat

depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa

merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

- Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga

pengosongan lambung juga terhambat.

- Endokrin

Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan

metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga

kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

- Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb

atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh

LAPORAN KASUS Page 25

Page 26: Lapsus Anastesi

dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.

d. Benzodiazepine

Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh

anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan

Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air

dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia

dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak

menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan

bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan

benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan

PH 3,5.

Mekanisme kerja :

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative,

anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di

sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA.

Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam

> midazolam > diazepam.  Reseptor spesifik benzodiazepine akan

berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor

GABA.

Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek

puncak akan muncul setelah 4 – 8 menit setelah diazepam

disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini

adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya

akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan

diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus,

metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

LAPORAN KASUS Page 26

Page 27: Lapsus Anastesi

Clearance in ml/kg/min

Short midazolam 6 - 11

Intermediate lorazepam 0,8 – 1,8

Long diazepam 0, 2 – 0,5

Farmakodinamik

- Sistem saraf pusat

Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik,

relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada,

menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.

- Sistem Kardiovaskuler

Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan

menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi

denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada

dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.

- Sistem Pernafasan

Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume

tidal, depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan

penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.

- Sistem saraf otot

Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di

tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada

pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

LAPORAN KASUS Page 27

Page 28: Lapsus Anastesi

- Dosis

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

- Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb

- Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg

- Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

- Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

- Efek samping

Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika

digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat

menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.

Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia

pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan

flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan

0.5 – 1 mcg/kg/menit berikutnya.

2.3 Endotrakeal Tube (ETT)

2.3.1Karakteristik Pipa Endotrakea

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan

nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah

ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl

Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor

standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan

memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang

memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung

didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan

kedalaman pipa.

LAPORAN KASUS Page 28

Page 29: Lapsus Anastesi

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa

trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung

pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah

yang terbesar yang masih dapat melalui rima glottis tanpa trauma. Pada

anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada

penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh

karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah

pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya

dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut

untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran

udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop

dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak

langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat

(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik.

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk

memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk

anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume

kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat

menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang

terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon

(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan

jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa

hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.

Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn

atau tanpa cuff. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia

pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa

(mm)= 4 + 1/2. umur (tahun).

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya

dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini.

LAPORAN KASUS Page 29

Page 30: Lapsus Anastesi

Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan

kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah

jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi

trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan

dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar

tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin

merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara

jika trakeotomi dilakukan lebih dini.

 2.3.2Teknik Intubasi

Alat-alat yang digunakan pada intubasi yaitu :

1. Laringoskop : yaitu alat untuk melihat laring. Terdiri dari bagian

pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4 ukuran

bilah (ukuran bayi, anak, dewasa normal dan yang besar).

 Jenis-jenis laringoskop :

a. Tipe magil (bilah lurus), sering digunakan oleh ahli THT pada wakt

laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi. Jarang dipakai intubasi

karena trumatis.

b. Tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering dipakai untuk tindakan

intubasi karena kurang traumatis dan lapangan pandangan luas serta

kemungkinan timbul refleks vagal berkurang.

c. Laringoskop serat optik digunakan untuk kasus intubasi yang sulit

dilakukan dengan laringoskop biasa.

2. Pipa khusus (pipa endotrakea)

Ada bermacam-macam jenis yang disesuaikan menurut

kebutuhannya, yaitu :

a. Dengan atau tanpa balon (cuff), berfungsi mencegah aspirasi isi

LAPORAN KASUS Page 30

Page 31: Lapsus Anastesi

faring ke dalam trakea dan memastikan tidak ada kebocoran

selama ventilasi bertekanan positif. Tekanannya antara 20-30mm

H2O diukur dengan manometer.

b. Jenis nasal atau oral

c. Terbuat dari bahan karet, PVC (plastik) atau diperkuat dengan

kawat spiral.

Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu

memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea

adalah :

a. Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).

b. Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah

kepala).

c. Relaksasi otot yang baik.

Prosedur persiapan :

Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal

penting yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan

proses intubasi yangdisebut SALT, yaitu :

a. Suction

Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring

pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari

pita suara. Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus

dihindari.

b. Airway

Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah

jatuhnya lidah ke bagian belakang faring.

LAPORAN KASUS Page 31

Page 32: Lapsus Anastesi

c. Laryngoscope

Merupakan alat yang paling penting untuk membantu

penempatan pipa endotracheal.

d. Tube

Pipa Endotrakea memiliki berbagai macam ukuran.

Umumnya pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

Persiapan Obat

1. Sedatif

a. Midazolam : obat penenang (tranquilizer)

Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek

untuk premedikasi, induksi, dan pemeliharaan anestesi.

DIbandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat

karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya

singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organic otak

atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus

ditentukan secara hati-hati.

Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan.

Dosis premedikasi dewasa 0.07 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan

dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg.

Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0.025-0.05

mg/kgBB.Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah

arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.

2. Analgesik

a. Fentanil

Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan

kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding

petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah

LAPORAN KASUS Page 32

Page 33: Lapsus Anastesi

suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif

hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru

ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan

N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya

dikeluarkan lewat urin.

Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek

analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya

berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk

anestesia pembedahan daan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-150 ul/kgBB digunakan untuk induksi

anestesia dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi

bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah

jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang

sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar

dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma,

ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

3. Induksi

a. Propofol (Recofol, diprivan)

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja

cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa

pusing dan mual-mual. Propofol merupakan cairan emulsi

minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonic

dengan kepekatan 1% (1ml=10mg) dan mudah larut dalam

lemak.

Propofol menghambat transmisi neuron yang

dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi

umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam

waktu 30 detik.

LAPORAN KASUS Page 33

Page 34: Lapsus Anastesi

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500

ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25-100 ug/kgBB/menit

infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk

induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari

dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55

tahun. Cara pemberian bias secara suntikan bolus intravena

atau secara kontinu melalui infuse, namun kecepatan

pemberian harus lebih lambat daripada pemberian pada orang

dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA

III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih

lambat.

4. Muscle relaksan

a. Atracurium (notrixum)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang

relatif baru, sifatnya tidak mempunyai efek kumulasi pada

pemberian berulang, dan tidak menyebabkan perubahan

fungsi kardiovaskular yang bermakna dan pemulihan fungsi

saraf otot dapat terjadi secara spontan, dosis 0,5 mg/kg BB,

durasi 15-30 menit.

5. Maintanance anestesi

a. Isoflurane

Isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang

minimal. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isofluran

cepat.

Sifat fisis: titik didih 58,5, koefisien partisi darah/gas

1.4, MAC 1.15%

Farmakologi:

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung

LAPORAN KASUS Page 34

Page 35: Lapsus Anastesi

minimal, sehingga digemari untuk anestesa teknik hipotensi

dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan

koroner.

b. N2O 1

N2O diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat

sampai 240C (NH4NO3 à 2H2O + N2O)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau

manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat

udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2

minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi

analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi

inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan

dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan

sebagainya.

Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O

akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi

pengenceran O2 100% selama 5-10 menit. Penggunaan

dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2

yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek

analgesic digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk

induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O

sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothoraks,

pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan

timpanoplasti.

Cara intubasi (pada waktu induksi anestesia) :

a. Pastikan bahwa alat-alat yang diperlukan sudah lengkap dan baik.

b. Bila perlu sediakan oksigen dan diperiksa bahwa tabung oksigen

LAPORAN KASUS Page 35

Page 36: Lapsus Anastesi

masih berisi dan dapat dipakai (manometer, flowmeter dan pipa

oksigen).

c. Setelah pasien tidur (biasanya dengan pemberian obat induksi

intravena, tiopental 5 mg/kgBB atau ketamin 1,5 mg/kgBB)

berikan obat pelemas otot suksinilkolin 1 mg/kgBB iv. Akan

nampak fasikulasi pada otot kerangka tubuh yang kadang-

kadang hebat.

d. Bila fasikulasi sudah mulai berkurang, berikan ventilasi buatan

dengan oksigen kurang lebih selama 30 detik.

e. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan

yang lain mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan

mulut pasien akan dengan sendirinya membuka. Bila mulut

tidak juga membuka, maka setelah melakukan ekstensi kepala,

mulut dibuka dengan tangan (jempol, telunjuk dan atau dengan

jari tengah). Salah satu tangan tetap memegang laringoskop.

f. Setelah lampu laringoskop kita nyalakan, masukkan bilah ke

dalam mulut berawal dari sudut mulut sebelah kanan.

g. Bilah dimasukkan sedikit demi sedikit sedemikian rupa,

sehingga menyelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser

lidah ke kiri. Hendaknya jangan meletakkan bilah dipertengahan

lidah, karena akan mengganggu pandangan.

h. Sambil memasukkan bilah kedalam carilah epiglotis. Bila bilah

bengkok, tempatkan ujung bilah di valekula.

i. Dengan sedikit mengangkat laringoskop (arah gerakan sama

dengan sumbu batang laringoskop) maka akan tampak rima

glotis (jangan dicongkel). Bila perlu orang lain menekan trakea

dari luar untuk melihat rima glotis.

j. Bila nampak rima glotis, maka akan nampak pita suara berwarna

putih tidak bergerak karena henti nafas dan sekitarnya berwarna

merah.

k. Bila perlu berikan obat analgetik dengan semprotan (lidokain

LAPORAN KASUS Page 36

Page 37: Lapsus Anastesi

10%) pada laring dan trakea.

l. Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glotis.

m. Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesia atau alat

resusitasi dan pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali

spontan dan adekuat.

Bila sebelum melakukan tindakan intubasi kita sudah sangsi

akan keberhasilan intubasi, maka hendaknya tidak memberi obat-

obatan yang membuat pasien tidur, melainkan cukup diberi sedatif

saja dengan lebih dulu memberi analgetik topical dalam mulut,

faring, laring sebelum intubasi. Dapat juga pasien di buat tidur

dengan cukup dalam tetapi biarkan bernafas spontan (tanpa

pelemas otot).

Bila dengan cara tidak lihat (blind) dan laringoskop serat optik

juga gagal baru dipertimbangkan trakeostomi. Namun saat ini cara

intubasi blind sebaiknya tidak dilakukan lagi.

Pada keadaan-keadaan tertentu dimana kesulitan intubasi tidak

dapat diduga sebelumnya maka pada waktu tindakan intubasi

sedang berlangsung hendaknya selalu diperhatikan nadi dan

perifer/mukosa mulut. Bila timbul bradikardia dan atau sianosis

hendaknya tindakan dihentikan. Berikan kembali bantuan nafas

dan oksigen.

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk :

1. Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta

bunyi udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama

keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam

seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas

hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu

periksa kembali dengan stetoskop.

2. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran

LAPORAN KASUS Page 37

Page 38: Lapsus Anastesi

dapat diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat

paru di inflasi/ditiup).

3. Pasang alat pencegah tergigitnya pipa.

4. Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar

pipa tidak bergerak (malposisi).

Pada umumnya intubasi endotrakeal dibatasi, tidak lebih dari 2

minggu. Tindakan trakeostomi sebaiknya dihindari, kecuali bila

bantuan jalan nafas masih diperlukan untuk jangka waktu tertentu.

Keuntungan intubasi lama ialah bahwa komplikasi trakeostomi

dapat dihindari, walaupun diketahui bahwa intubasi sendiri

memiliki berbagai komplikasi, diantaranya komplikasi selama

intubasi berupa trauma gigi geligi; laserasi bibir, gusi, laring;

merangsang saraf simpatis (hipertensitakikardi); intubasi bronkus;

intubasi esofagus; aspirasi; spasme bronkus. Komplikasi setelah

ekstubasi berupa spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema

glotissubglotis, infeksi laring, infeksi faring dan infeksi trakea.

Kebanyakan pipa endotrakea terlalu panjang dan harus

dipotong. Panjang pipa yang dibutuhkan dapat diperkirakan dengan

meletakkannya disamping muka dan leher pasien dengan bifurkasio

trakea terletak pada pertemuan manubrium-sternum. Diameter pipa

yang tepat sangat penting, terutama dalam pemilihan pipa untuk

anak, tetapi dapat diperkirakan dari besarnya diameter jari

kelingking anak. Untuk meja resusitasi persediaan pipa dengan

diameter 6-10 mencukupi.

Stilet plastik atau logam berujung tumpul yang dapat dibentuk

membuat lengkung pipa dapat diatur. Bila digunakan, ujung stilet

hendaknya tidak keluar dari ujung distal pipa. Pemakaian stilet

lurus yang dibengkokkan 450 pada seperlima bagian distal ,

bersama dengan daun laringoskop bengkok memudahkan intubasi

pada keadan sulit, bahkan jika hanya epiglotis yang dapat dilihat.

LAPORAN KASUS Page 38

Page 39: Lapsus Anastesi

Pasien dengan lambung yang penuh yang memerlukan anestesia

umum atau dalam koma akibat penyakit atau cedera, mungkin

memerlukan intubasi cepat. Persiapkan pengisap untuk regurgitasi.

Pilihan antara posisi terlentang atau setengah duduk kontroversi.

Posisi terlentang (terutama jika kepala direndahkan) dapat

mengatasi aspirasi, sedangkan posisi setengah duduk dapat

mengurangi kemungkinan regurgitasi. Sesudah preoksigenasi (lebih

disukai dengan oksigen 100% tanpa tekanan positif), tutuplah

esofagus pasien dengan tekanan pada krikoid (Sellick) dan

lumpuhkan pasien dengan suksinilkolin. Intubasi secepatnya.

Pasien asfiksia yang kejang dengan cedera kepala merupakan

contoh tantangan. Pasien ini mungkin harus diintubasi dengan

pelumpuh otot, karena batuk dan mengedan pada keadaan memar

otak, dapat menambah sembab otak dan perdarahan. Intubasi cepat

mungkin berbahaya jika ditangani tenaga yang tidak

berpengalaman. Intubasi endotrakea pasien sadar oleh beberapa

orang dianggap diindikasikan sebelum anestesia umum pada risiko

aspirasi dan insufisiensi paru berat.

Indikasi Intubasi Perioperatif

Intubasi trakea merupakan suatu tindakan memasukkan pipa

khusus kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan

nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Dapat merupakan tindakan

pertolongan darurat (penyelamatan hidup) dan sangat sering

dilakukan di unit terapi intesif untuk pasien yang refleks laringnya

terganggu serta gagal nafas akut.

Intubasi endotrakea diindikasikan sebagai pilihan terakhir

penguasaan jalan nafas darurat pada pasien tidak sadar. Intubasi

tersebut dapat dikerjakan dengan mengunakan pipa orotrakeal,

nasotrakeal atau trakeostomi.

LAPORAN KASUS Page 39

Page 40: Lapsus Anastesi

Indikasi utama dilakukannya intubasi pada anestesia umum

bertujuan untuk:

1. Mempermudah pemberian anestesia.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mempertahankan

kelancaran pernafasan.

3. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung (pada keadaan-

keadaan tidak sadar, lambung penuh, tidak ada refleks batuk).

4. Memudahkan pengisapan sekret trakeo bronkial.

5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

6.Mengatasi obstruksi laring akut.

Anestesia umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada

operasi-operasi lama yang memerlukan nafas kendali, operasi

daerah leher-kepala, operasi dengan posisi miring, tengkurap atau

duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan.

Intubasi yang sulit dapat diperkirakan pada pasien dengan leher

pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol,

uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4), gerak sendi temporo-

mandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas, adanya massa

di faring atau laring.

2.3.3Ekstubasi Perioperatif

Setelah opersi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan

yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi

nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan

oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah

terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi

komplikasi.

Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada

central atau perifer.

LAPORAN KASUS Page 40

Page 41: Lapsus Anastesi

Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau

pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam

keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila

ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik

maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda

kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak

dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan.

Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang

lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar

diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan

setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas

tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula

dengan triple airway manufer standar.

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien

LAPORAN KASUS Page 41

Page 42: Lapsus Anastesi

Nama lengkap : Aq. Sahri

Umur : 51 tahun

Status perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Petani

Alamat : Aikmel Lombok Timur

Jenis kelamin : Laki-Laki

Suku : Sasak

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Masuk Ruangan : Sabtu, 02 Februari 2013 pukul 10.55 WITA

B. Anamnesa

1. Keluhan utama : Timbul Benjolan pada leher kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk ke ruang bedah pada tanggal 29 januari 2013. Pasien

mengeluh timbul benjolan pada leher kiri. Benjolan dirasakan timbul

lebih kurang sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan berukuran sekitar 4

cm, sebanyak 1 benjolan, tidak berwarna merah, tidak nyeri, tidak

berjonjot, konsistensi kenyal dan dapat digerakkan dari dasarnya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi dan Diabetes Mellitus (-), riwayat masuk rumah sakit dan

operasi (-), riwayat alergi obat (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada yang menderita seperti pasien dalam keluarga

5. Riwayat Penyakit Sosial

Pasien memiliki kebiasaan merokok dan tinggal di daerah

pegunungan

C. Pemeriksaan Jasmani

LAPORAN KASUS Page 42

Page 43: Lapsus Anastesi

- Pemeriksaan Umum :

Tinggi badan : 160 cm

Berat Badan : 50 kg

Tekanan darah : 160/100 mmHg

Nadi : 70 x/ menit

Suhu : 36,5 C

Pernapasan : 18x / menit

Keadaan gizi : Baik

Kesadaran : Kompos mentis

Sianosis : Tidak ada

Edema umum : Tidak ada

Habitus : Atletikus

Cara berjalan :Normal

- Kepala

Ekspresi wajah : Normal, wajar

Rambut : normal

Simetris wajah : Simetris

- Mata

Exopthalmus : (-)

Kelopak : Tidak ada kelainan

Konjungtiva : anemis (-)

Sklera : ikterik (-)

Lapang penglihatan : Normal

Enopthalmus : Tidak

Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Gerak mata : Normal segala arah

Tekanan bola mata : N/ palpasi

Nistagmus : Tidak

LAPORAN KASUS Page 43

Page 44: Lapsus Anastesi

- Leher

Tekanan JVP : 5-2 cm H20

Kelenjar tiroid : pembesaran kelenjar sinistra

Kelenjar Limfe : Tidak teraba

- Paru-Paru Depan Belakang

Inspeksi : Hemithoraks dekstra = sinistra baik statis maupun

dinamis

Palpasi : Fremitus vokal dan taktil hemithoraks dekstra =

sinistra

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler +++/+++, rhonki ---/---, whezing ---/---

- Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba pulsasi

Perkusi : Batas jantung kanan : Linea Parastrernal

dekstra ICS lV

Batas jantung kiri : Linea Midclavicula sinistra ICS V

Batas atas : Linea Parasternal sinistra ICS lll

Auskultasi :Bunyi jantung I dan II reguler murni, gallop

(-), murmur (-)

- Abdomen

Inspeksi : Simetris, distensi (-)

Palpasi :Distensi (-), nyeri tekan (-), Hati tidak teraba, Limpa tidak

teraba, Ginjal : Ballotement (-))

Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-), Shifting dullness (-)

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

LAPORAN KASUS Page 44

Page 45: Lapsus Anastesi

- Ekstremitas : Edema --/--, deformitas (-), akral hangat (+)

Dignosa : Struma nodul non toxic

Hasil Laboratorium :

Darah Lengkap :

- Hb : 12, 9

- Lekosit : 6.330

- LED : 29

- Eritrosit : 4, 56

- Trombosit : 225.000

- Hematokrit : 37,3

KIMIA :

- SGOT : 33,0

- SGPT : 17,7

- Protein : 6,7

- Albumin : 3,14

- Globulin : 3,59

GINJAL :

- Ureum : 19,2

- Kreatinin : 0,85

IMUNOSEROLOGI :

- HbsAg : (-)

URINALISA :

- Berat Jenis : 1020

- PH : 6,0

- Lekosit : 0-2/ Lpb

- Eritrosit : 0-2/Lpb

- Epitel : 0-2/Lpb

1. RENCANA ANASTESI

a. Persiapan

LAPORAN KASUS Page 45

Page 46: Lapsus Anastesi

- Persetujuan tindakan

- Puasa 8 jam sebelum operasi

- Infuse RL 22 tpm abocate ukuran 18

- Pasang DC no 16 untuk pemantuan produksi urine

- Observasi tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, SpO2

b. Jenis operasi

- Thyroidectomi

c. Jenis anastesi

- General Anastesi

2. PERSIAPAN DI RUANG OPERASI

a. Mempersiapkan pasien

b. Pasang Monitor

c. Pasang manset tensi meter

d. Pasang pulse oksimeter di lengan yang berlawanan dengan tensi meter

e. Penatalaksanaan Anastesi

3. PENATALAKSANAAN ANASTESI

a. Premedikasi

- Midazolam 2 ml

- Pethidin 2 ml

b. Induksi

- Propofol 100 ml

- Fentanyl

c. Relaksan

- Atracurium

d. Intubasi

- Laringoscopy

- Endotraceal Tube

- Mayo

- Plester

LAPORAN KASUS Page 46

Page 47: Lapsus Anastesi

- Spuit 10 cc

e. Obat lainnya :

- Atropin Sulfat 0,25 mg/ml (3 ampul)

- Neostigmin 0,5 mg/ml (3 ampul)

- Catapres 150 mcg/ml

- Furosemid 10 mg/ml

- Tranexamic Acid 50 mg/ ml (2 ampul)

- Ketorolac 3 % + Tramadol 2 ml di drip di RL

4. TERAPI CAIRAN

Perkiraan BB : 50 kg

Perkiraan operasi : 1,5 jam

Perkiraan darah yang hilang : 100 cc

EBV = 70 ml/ kg BB = 3500 ml

Kebutuhan cairan kristaloid

Maintenance : 2 cc/kg BB x jam operasi = 150 cc

Pengganti puasa : 2 cc/kg BB x jam operasi x jam puasa = 1200 ml

Stress operasi : 6 x 50 = 300 ml

Estimasi pendarahan 150 cc / 3500 x 100% = 4 %

Karena pendarahan < 10% maka terapi pengganti cairan yang diberikan

adalah kristaloid dengan rumus 3x kehilangan cairan akibat perdarahan =

4x150 = 600 cc

Urine output : 1 ml /kgBB/jam

1x 50 = 50 ml/ jam

Perhitungan pemberian cairan kristaloid

M + PP+ SO + Perdarahan + Pengganti urine

= 150+1200+300+600+50 = 2300 cc

= ± 5 flash RL

LAPORAN KASUS Page 47

Page 48: Lapsus Anastesi

5. INTRUKSI POST OPERASI

1. Posisi terlentang dengan kepala ekstensi 30 0

2. Makan dan minum sementara dipuasakan hingga ada instruksi lebih lanjut

3. Berikan O2 2 lpm hingga sadar penuh

4. Observasi tanda-tanda vital (Tekanan Darah, Nadi, Respirasi Rate, Suhu)

5. Bila Tekana darah kurang dari 100 mmHg guyur dengan RL 1 flash

6. Bila terdapat secret, disuction dan bebaskan jalan nafas

7. Cek Hemoglobin Post Op, jika Hemoglobin kurang dari 8 transfusi

Daftar Pustaka

1. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6.EGC. Jakarta

2. Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid,

Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006

3. Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1.

Media Aesculapius : Jakarta.

LAPORAN KASUS Page 48

Page 49: Lapsus Anastesi

4. Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006

5. Thyroid goiter. Available on :

http://www.endocrineweb.com/conditions/thyroid/thyroidgoiter

6. StrumaNonToksik.Available on :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter

%20II.pdf

7. Kumar, Ashok. Seminar General Anesthesia. Available at

http://www.scribd.com/doc/16164111/General-anesthesia-pptword.

8. Mallawaarachchi, Roshana. General Anaesthetics. Available at http:   //  

www.scribd.com/doc/38075193/   General   -   Anaesthesia   .

LAPORAN KASUS Page 49