makalah lapsus asma

51
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan sel dan elemen- elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi (3) . Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang (4) . Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya (5) . 23

Upload: khalid-ibnu-hasan

Post on 10-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Asma Bronchiale

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Lapsus Asma

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang

melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan

dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode

wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau

awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan

yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi(3).

Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang

ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas

sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa

pada banyak orang(4).

Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)

Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi

berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul

secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah

aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau

keluarganya(5).

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran

nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,

sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.

Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas

namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara

spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan

hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1

3.2 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan

Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung

oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung

23

Page 2: Makalah Lapsus Asma

karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan

ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar

saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona konduksi dan respiratorius.

Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus

segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris

dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus

alveolus terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi

oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara

tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi

utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia

dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh

sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh

rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus

akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk

kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara

inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah,

sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu

tubuh dan kelembapannya mencapai 100%. Udara mengalir dari hidung kefaring

yang merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan.

Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring.

Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak

didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di

bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh

otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan

pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.

Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara

kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di bagian

sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang hanya

bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing

yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang

dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang terdapat

pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana trakea

24

Page 3: Makalah Lapsus Asma

bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki

banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk

dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan lebih vertikal dari

yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri

lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin serta mempunyai dua cabang.

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung

alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara mulai dari hidung

sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona

konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang mengandung lebih

banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang

merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari

bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang

merupakan struktur akhir dari paru.

Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran

gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi menjadi 3 proses.

Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui

cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan

karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan

antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua adalah difusi yaitu

masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini

terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi tekanan parsialnya ketempat yang

lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan parsial

yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah

lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada karbondioksida di alveoli. Proses ketiga

adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui

transpor aliran darah.

3.3 Etiologi dan Faktor Risiko(1,6)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik

(a) Hiperreaktivitas

(b) Atopi/Alergi bronkus

(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

25

Page 4: Makalah Lapsus Asma

(d) Jenis Kelamin

(e) Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan

(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)

(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker

dll)

(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

(f) Ekspresi emosi berlebih

(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu

(j) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang

berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma

bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced

bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita

asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan

metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak

ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB

adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable

maximum heart rate.(7)

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena

meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas

berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam

alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas

dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel

kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa

26

Page 5: Makalah Lapsus Asma

histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan

terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak

terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,

atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang

berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta

pajanan asap rokok.

Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.

Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,

alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen

seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di

tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,

hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal

refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta

penyakit yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia

yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan

sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam

kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility

complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks

antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada

kromosom 6 daerah 6p21.31(1).

27

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Gejala Asma

Pencetus (trigger)Pemacu (enhancer)Pemicu (inducer)

Faktor Genetik

Faktor Lingkungan

Sensitisasi inflamasi

Page 6: Makalah Lapsus Asma

3.4 Epidemiologi

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS

(2003), prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000

anak (jumlah anak 4,2  juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah

dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita  yang mengalami serangan lebih banyak daripada

lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.

Sedangkan  berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat

asma atau 1,6 per 100  ribu populasi(2).

Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan

angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat

nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak

dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan

asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap

sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat

(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta

kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan

164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998(6).

3.5. Patogenesis

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan

ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas

hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang

dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia

tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.

Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar

kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki

penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik(8).

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T

oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang

melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II

pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan

Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik

28

Page 7: Makalah Lapsus Asma

terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan

yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.

Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah

pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,

sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah

menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan

pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang

efektif(8).

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif

terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien

dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut

berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat

dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,

basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran

respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel

T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami

polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat

terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti

IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini

terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8).

Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi

struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang

berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue

Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan

profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang

penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi

faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi

sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.

29

Page 8: Makalah Lapsus Asma

Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada

dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat

asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit(8).

Gambar 1. Patogenesis Asma

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet

dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik

dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan

perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan

penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting

pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama

pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak

sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8).

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari

obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas

bronkus(1).

30

Page 9: Makalah Lapsus Asma

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag

alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi(1).

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit

dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti

31

GejalaFaktor Risiko

Hiperaktivitas

Bronkus

Obstruksi

Bronkus

Faktor Risiko Faktor Risiko

Inflamasi

Page 10: Makalah Lapsus Asma

leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis

memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya

menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

3.6 Patofisiologi Asma

3.6.1 Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi

seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan

oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan

asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang

ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari

otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.

Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret

yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari

mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(9).

Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh

penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon

trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran

nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk

mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan

hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat

mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya

compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot

diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga

kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja

otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas(9).

32

Page 11: Makalah Lapsus Asma

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

3.6.2 Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun

dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi

sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai

tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot

polos tersebut(9).

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada

pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan

penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik

asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic

Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki

pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan

metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel

lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9).

33

Page 12: Makalah Lapsus Asma

3.6.3 Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9).

Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui

hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas

mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai

pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan

saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang

timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan

timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis(9).

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan

protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk

berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.

Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung

ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas(9).

3.6.4 Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan

pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas

merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan

mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi

penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang

tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9).

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa

peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan

dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja

tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal

34

Page 13: Makalah Lapsus Asma

datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel

inflamasi yang mengalami lisis(9).

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel

Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena

adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.

Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh

mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).

3.7. Diagnosis

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan

batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau

dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma

dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan

bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi

lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal

paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow

meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan

histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau

dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna

untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)

1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator.

3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

3.7.1 Anamnesis

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan

gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan

batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala

35

Page 14: Makalah Lapsus Asma

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala

yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya

tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit

mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis

dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11).

3.7.2 Pemeriksaan fisik

Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.

Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai

adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam

batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing

terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut

nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,

seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11).

Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi

kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding

bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas

mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi

basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak

dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(11).

7.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada

AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru

bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya

penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal(11).

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total

umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan

pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi

positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan(11).

36

Page 15: Makalah Lapsus Asma

♦ Pemeriksaan rutin dan IgE

Pemeriksaan laboratorium rutin (hematologi) tidak selalu menyokong

diagnosis asma. Biasanya terdapat eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi dan

sekret hidung. Juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan IgE total dan kalau fasilitas

memungkinkan dilakukan pula pemeriksaan IgE spesifik dengan

Radioallergosorbent Test (RAST).

♦ Uji kulit alergi

Uji kulit alergi perlu untuk mengetahui adanya alergen yang tidak dapat

diketahui dengan pengamatan biasa. Hasil positif baru berarti apabila terdapat

relevansi dengan gejala klinik. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.

♦ Pemeriksaan radiologi paru

Pada asma ringan tidak terdapat kelainan khas pada gambaran radiologi

paru. Pada asma berat atau persisten kemungkinan terlihat gambaran hiperinflasi

paru (emfisematous), atau terdapatnya komplikasi. Pemeriksaan radiologi paru

dilakukan terutama untuk konfirmasi komplikasi yang terjadi dan menyingkirkan

penyakit paru lainnya.

♦ Uji faal paru

Idealnya setiap anak dengan asma dilakukan uji faal paru. Uji faal paru

merupakan bukti yang paling dapat dipercaya adanya obstruksi saluran napas.

Tetapi biasanya hanya dapat dilakukan pada anak usia diatas 5-6 tahun.

Pemeriksaan yang paling sederhana dan mudah ialah dengan memakai flow meter

dan dapat mengukur flow rate. Sedangkan yang lebih kompleks ialah dengan

menggunakan spirometer yang dapat mengukur tidak saja flow rate tetapi juga

FEV1, FVC, dll, yang lebih merefleksikan pengukuran saluran napas kecil.

♦ Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus dimaksudkan untuk mengetahui adanya

hiperreaktivitas bronkus. Uji provokasi bronkus dapat dilaksanakan dengan:

◦ Uji latihan fisik

Anak berlari di teadmill selama 6-8 menit, kemudian dilakukan

pengukuran PFR atau FEV1 sebelum d.an sesudah pengujian.

37

Page 16: Makalah Lapsus Asma

◦ Inhalasi histamin atau metakolin

Anak menghirup larutan histamin atau metakolin dari larutan yang

paling rendah sampai larutan yang paling tinggi. Dilakukan pengukuran

PFR dan FEV1 sebelum dan sesudah pengujian. Konsentrasi histamin atau

metakolin yang menyebabkan FEV1 turun 20% disebut PC 20. Bila PC 20

< 8 mg/ml dianggap uji provokasi positif.

3.8 Klasifikasi Asma

Klasifikasi asma menurut konsensus internasional diklasifikasi

berdasarkan etiologi, beratnya penyakit asma dan pola waktu terjadinya

serangan asma. Klasifikasi ini berguna untuk diagnosis, pengobatan dan

menentukan prognosis penyakit. 2,5

Klasifikasi Berdasarkan Etiologinya

1. Asma bronkial Intrinsik / non atopi

Keluhan tidak ada hubungan dengan paparan terhadap alergen dan sifat-

sifatnya:

a. Serangan timbul setelah dewasa.

b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma

38

Page 17: Makalah Lapsus Asma

c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan

d. Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik.

e. Rangsangan psikis/kejiwaan mempunyai peran untuk menimbulkan

serangan asma

f. Perubahan cuaca merupakan keadaan yang peka bagi penderita

2. Asma  bronkial ekstrinsik /atopi

Keluhan ada hubungan dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang

spesifik dan sifat-sifatnya :

a. Timbul sejak kanak-kanak.

b. Pada famili ada yang menderita asma

c. Adanya eksim pada waktu bayi

d. Sering menderita rinitis

e. Penyebabnya sering tungau, debu, tepung sari bunga

39

Page 18: Makalah Lapsus Asma

Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan

Tabel 1. Klasifikasi asma anak, PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat

penyakit(10,11)

Parameter klinisKebutuhan obat, dan faal paru

Asma episodic jarang (asma ringan)

Asma episodic sering(asma sedang)

Asma persisten(asma berat)

1.Frekuensi serangan

3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan

2.Lama serangan

<1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun, tidak ada remisi

3.Intensitas serangan

Ringan Sedang Berat

4.diantara serangan

Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam

5.Tidur dan aktivitas

Tidak terganggu <3x/minggu

Sering terganggu>3x/minggu

Sangat terganggu

6.Pemeriksaan fisis diluar serangan

Normal, tidak ditemukan kelainan

Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)

Tidak pernah normal

7.Obat pengendali

Tidak perlu Perlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 ụg

Perlu, steroid inhalasiDosis ≥400 ụg/hari

8.Uji faal paru(di luar serangan0

PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%

9.Variabilitas faal paru(bila ada serangan)

≥20% ≥30% ≥50%

40

Page 19: Makalah Lapsus Asma

Klasifikasi asma bedasarkan berat penyakit

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma (11)

Parameter klinis,Fungsi paru, Laboraturium

Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas

Sesak (breathless) BerjalanBayi :Menangis keras

BerbicaraBayi :Tangis pendek& lemahKesulitan menetek dan makan

IstirahatBayi :Tidak mau minum / makan

Posisi Bisa berbaring

Lebih sukaDuduk

Duduk bertopang lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat

Kata-kata

Kesadaran Mungkin irritable

Biasanyairritable

BiasanyaIrritable

kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang,

sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring,Sepanjang ekspirasi± inspirasi

Sangat nyaring, Terdengar tanpa stateskop

Sulit /Tidak terdengar

Penggunaan ototBantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya Ya Gerakan paradoxTorako- Abdominal

Retraksi Dangkal,Retraksi Interkosta

Sedang, ditambahRetraksi suprasternal

Dalam, ditambahNapas cuping hidung

Dangkal/Hilang

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu BradipnuPedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:Usia frekuensi napas normal<2 bulan < 60 / menit2-12 bulan < 50 /menit1-5 tahun < 40 / menit6-8 tahun < 30 / menit

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi BradikardiPedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :Usia Frekuensi nadi normal

41

Page 20: Makalah Lapsus Asma

2-12 bulan < 160 / menit1-2 tahun < 120 / menit3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada<10 mmHg

Ada10-20 mmHg

Ada>20 mmHg

Tidak ada,Tanda kelelahanOtot respiratorik

PEFR atau FEV1PrabronkodilatorPascabronkodilator

(% Nilai dugaan/>60%>80%

Nilai terbaik)40-60%60-80%

<40%<60%Respon < 2 jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤90%PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHgPaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

3.8 Tatalaksana Asma

Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan

jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan tatalaksana

asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang

anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan

yang ingin dicapai adalah(10) :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,

termasuk bermain dan berolah raga.

2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang

mencolok pada PEF.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga

hari, dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin

timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan (5):

- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

- Mengurangi hipoksemia

- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

42

Page 21: Makalah Lapsus Asma

- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

-

43

Page 22: Makalah Lapsus Asma

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah

perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan

atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan

penurunan pelan – pelan (step down)(10).

Syarat step up (13):

1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah

dilakukan.

2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.

3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.

4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.

ICS baru boleh dinaikkan.

Syarat step down (13):

1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.

2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.

3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis

terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.

4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,

ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA

3.8.1. Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda

(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk

meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah

teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau

diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga

obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah

dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian

obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya

kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan

setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu(10).

44

Page 23: Makalah Lapsus Asma

Obat – obat Pereda (Reliever)(12)

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,

sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP

menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang

menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan

mediator sel mast(12).

Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2

agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α

sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,

takiaritmia, tremor, dan hipertensi(12).

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek

bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama

pada jantung dan CNS(12).

β2 agonis selektif(12)

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum

5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5

mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek

puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak

dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

45

Page 24: Makalah Lapsus Asma

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat: MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada

keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek

samping takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB

setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,

tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini

diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan

anticholinergick(12).

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap

reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM

harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya

adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin

tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan

keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya

terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

46

Page 25: Makalah Lapsus Asma

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).

2. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk

usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya

adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak(12).

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :

Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk

mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.

Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 hari(12).

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini

bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain

di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.(14)

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek

mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1

mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6

jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari

setiap 6 – 8 jam(12).

47

Page 26: Makalah Lapsus Asma

Obat – obat Pengontrol(3,13)

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,

cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal

dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam

pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi

pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-

gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di

rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif

bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,

mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya

down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai

400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,

gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin

hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang

membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai

LTRA adalah sebagai berikut :

LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap

bronkokonstriktor;

Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per

hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;

sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

48

Page 27: Makalah Lapsus Asma

Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan

transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan

terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan

mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali

sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun

dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat

keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat

dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu

pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi

serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya

hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada

dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),

budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan

Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan

meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid

yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi

ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan

49

Page 28: Makalah Lapsus Asma

lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh

karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap

diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

2.7.2 Terapi Suportif(12)

a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula

hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,

sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit

sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama

dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna

menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi

sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena

helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi

laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang

adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta

efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma

berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan

memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada

puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan

yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat(10)

UMUR ALAT INHALASI< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang (spacer)

5-8 tahun NebuliserMDI dengan spacerAlat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)

>8 tahun Nebuliser

50

Page 29: Makalah Lapsus Asma

MDI (metered dose inhaler)Alat Hirupan BubukAutohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut

(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi

efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek

terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,

Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya

bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer

(Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi

dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol

susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Berikut merupakan daftar obat-obat yang umum digunakan berdasarkan UKK

pulmonologi PP IDAI(Pedoman Nasional Anak Asma) 2

Obat-Obat Yang Umum Digunakan

Tabel 1. : Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi

Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik

Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml

-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2

Waktu 10-15 menit 3-5 menit

 

Tabel 2. : Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi

Golongan -agonis

Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes

Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15

mg/kg)

Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule

51

Page 30: Makalah Lapsus Asma

Golongan antikolinergik

Ipratropium

bromide

Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes

6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid

Budesonide

Fluticasone

Pulmicort

Flixotide

Respule

Nebule

 

 

Tabel 3. : Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma

Steroid Oral :

Nama

Generik

Nama Dagang Sediaan Dosis

Prednisolon Medrol, Medixon

Lameson, Urbason

Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

 

Prednison Hostacortin, Pehacort,

Dellacorta

Tablet

5 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

 

Triamsinolon Kenacort Tablet

4 mg

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

Steroid Injeksi :

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis

M. prednisolon

Suksinat

Solu-Medrol

Medixon

Vial 125 mg

Vial 500 mg

IV / IM 1-2 mg/kg

tiap 6 jam

Hidrokortison-Suksinat Solu-Cortef

Silacort

Vial 100 mg

Vial 100 mg

IV / IM 4 mg/kgBB/x

tiap 6 jam

Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,

dilanjutkan 1

52

Page 31: Makalah Lapsus Asma

Kalmetason

Fortecortin

Corsona

Ampul 4 mg

Ampul 4 mg

Ampul 5 mg

mg/kgBB/hari

diberikan tiap 6-8 jam

Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB

tiap 6 jam

TABLE 137-2. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS OF CHILDHOOD ASTHMA.2)

3.9 Prevensi dan Intervensi Dini(13)

- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak

memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi

kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan

tungau.

- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan

- Menghindari makanan berpotensi alergen

53

Page 32: Makalah Lapsus Asma

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan

RI ;2009; 5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.

Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;

2006.

4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.

Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.

6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science

(USA);2003.

7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s

Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group

Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena,

Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs,

Colo : American Academy of Allergy : 2007

8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.

dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar

Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.

h.85-96.

9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno

B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

54

Page 33: Makalah Lapsus Asma

10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :

Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi

pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.

11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,

Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.

12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,

Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.

496-500.

55