makalah asma febriane

23
Asma Persisten Berat dengan Eksaserbasi Akut Berat Febriane Adeleide Everdine 102012238 / B6 Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : [email protected] 2015 Pendahuluan Saat ini di seluruh dunia tengah terjadi epidemi asma, yaitu peningkatan prevalens dan derajat asma terutama pada anak-anak, baik di negara maju maupun negara berkembang. Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. 1 Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under/overdiagnosis maupun under/overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan tata laksana asma yang disepakati bersama. Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute Amerika yang bekerjasama dengan WHO, dan dipublikasikan pada bulan Januari 1

Upload: febriane-a-e-lengkey

Post on 29-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

blok 29

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Asma Febriane

Asma Persisten Berat dengan Eksaserbasi Akut Berat

Febriane Adeleide Everdine

102012238 / B6

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : [email protected]

2015

Pendahuluan

Saat ini di seluruh dunia tengah terjadi epidemi asma, yaitu peningkatan prevalens dan derajat asma terutama pada anak-anak, baik di negara maju maupun negara berkembang. Di lain pihak, walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. Pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang sangat pesat, khususnya untuk asma pada orang dewasa dan anak besar. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya.1

Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan, sehingga untuk menyusun diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under/overdiagnosis maupun under/overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan tata laksana asma yang disepakati bersama. Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute Amerika yang bekerjasama dengan WHO, dan dipublikasikan pada bulan Januari 1995. GINA juga menyebutkan bahwa asma pada anak sulit didiagnosis. Prevalens asma anak di Indonesia untuk kelompok usia sekolah lanjutan sudah ada, namun sayangnya belum ada data mengenai under/overdiagnosis maupun under/overtreatment. 1

Definisi

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan

1

Page 2: Makalah Asma Febriane

atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat- obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.2

Diagnosis

Gambar 1. Alur diagnosis asma

2

Page 3: Makalah Asma Febriane

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.3

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.4

Pemeriksaan Fisik

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang. 4

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding

3

Page 4: Makalah Asma Febriane

PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada der- mographism).

5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengoba- tannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.2

Diagnosis Banding

- Benda asing di saluran napas

- Laringotrakeomalasia

- Pembesaran kelenjar limfe

- Tumor

- Stenosis trakea

- Bronkiolitis

Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas yang dapat diukur secara

4

Page 5: Makalah Asma Febriane

obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.4

Epidemiologi

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 - 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.4

Patofisiologi

Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).

Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya

5

Page 6: Makalah Asma Febriane

pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini dapat menjelaskan patofisiologi asma.5

Gambar 2. Patofisiologi Asma

6

Page 7: Makalah Asma Febriane

Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

- Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,

- Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.6

Gambar 3. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

Klasifikasi klinis

Konsensus International Penanggulangan Asma Anak dalam pernyataan ketiganya tahun 1998 membagi asma berdasarkan keadaan klinis dan keperluan obat menjadi 3 golongan yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.

• Asma episodik jarang (asma ringan) - meliputi 75% populasi asma anak - serangan asma sekali dalam 4-6 minggu - mengi ringan setelah aktivitas berat - di antara serangan, tanpa gejala dan uji fungsi paru normal - terapi profilaksis tidak diperlukan

• Asma episodik sering (asma sedang) - meliputi 20% populasi asma anak - serangan lebih sering, seminggu sekali atau kurang - mengi pada aktivitas sedang, yang dapat dicegah dengan obat - uji fungsi paru mendekati normal - terapi profilaksis biasanya diperlukan

7

Page 8: Makalah Asma Febriane

• Asma persisten (asma berat) - meliputi 5% populasi asma anak - serangan sering, lebih dari 3 kali / minggu - uji fungsi paru abnormal - terapi profilaksis harus diberikan.5

Tabel 1. Pembagian Derajat Asma pada Anak

Penilaian Derajat Serangan Asma

Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yang terbagi atas serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan di sini antara derajat penyakit asma dengan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang (asma ringan) mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian. Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Tabel berikut memperlihatkan cara penilaian beratnya serangan mulai dari derajat ringan hingga berat, dan serangan yang mengancam nyawa. Penilaian ini diambil dari GINA dengan beberapa perubahan.9,12 Butir-butir penilaian dalam tabel ini tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi respons yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi.

Tatalaksana Medikamentosa

8

Page 9: Makalah Asma Febriane

Gambar 4. Penatalaksanaan asma berdasarkan derajat.

Untuk tata laksana asma Konsensus Internasional III, masih menggunakan alur yang sama Secara umum Konsensus Nasional juga masih menggunakan alur seperti terlihat pada bagan 2. Secara umum Konsensus Nasional juga masih menggunakan alur tersebut dengan beberapa perubahan dan penambahan. Dalam alur tersebut terlihat bahwa jika tata laksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajatnya berpindah ke yang lebih berat. Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan.5

Asma episodik jarang (asma ringan)

9

Page 10: Makalah Asma Febriane

Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini tidak mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan peroral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam tata laksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta- agonis oral tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan beta-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin. Konsensus Internasional III dan juga Konsensus Nasional seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-inflamasi untuk asma ringan. Di lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali (controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.1 Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller) untuk istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional. Obat pengendali diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan / gejala. Sedangkan obat yang diberikan saat serangan disebut obat pereda (reliever). Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tata laksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada asma ringan, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, asma sedang yang mendapat kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan, bahkan sampai asmanya asimtomatik. 5

Asma episodik sering ( asma sedang )

Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti- inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.2 Anti- inflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk.2 Nedokromil merupakan obat satu golongan dengan kromoglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan pemakaiannya untuk anak >2 tahun. Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang ada untuk anak >12 tahun. Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan pemberian steroid hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif) sebagai obat pengendali. Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3 dari

10

Page 11: Makalah Asma Febriane

4) GINA merekomendasikan steroid hirupan tanpa memberi tempat untuk kromoglikat.1 Menurut hemat kami, seyogyanya untuk obat pengendali tetap dimulai dengan kromoglikat dahulu. Jika tidak berhasil baru diganti dengan steroid hirupan. Mengenai obat antihistamin baru non-sedatif (misalnya ketotifen), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak balita dan/atau asma tipe rinitis.5

Asma persisten (asma berat)

Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat. Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal.2 Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 200 mg/hari, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang masih dianggap aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisis- adrenal sehingga dapat berdampak terhadap per- tumbuhan. Efek sistemik steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat bantu berupa perenggang (spacer) yang akan meningkatkan deposisi obat di paru dan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik. Setelah dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau klinis perbaikan yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 5

Asma sangat berat

Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma persisten). Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan>3x sehari secara teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari. Tetapi jika dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali, maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat. Dahulu beta-agonis dan teofilin hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga mempunyai efek anti-inflamasi. Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. 5

11

Page 12: Makalah Asma Febriane

Cara pemberian obat

Cara pemberian obat asma harus di-sesuaikan dengan umur anak karena perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (metered dose inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.6 Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi. 5

Prevensi dan intervensi dini

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama semua dokter (anak) dalam menangani anak asma. Dewasa ini belum ada data yang cukup untuk dapat memperkirakan anak mana yang akan berlanjut asmanya atau akan menghilang. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI, penghindaran makanan berpotensi alergen, dengan atau tanpa pengurangan pajanan dengan tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah mengurangi alergi makanan dan khususnya dermatitis atopik pada bayi. Manfaatnya untuk prevalens asma jangka panjang masih dalam penelitian. Tindakan dini pada asma anak berdasarkan pendapat bahwa keterlambatan pemberian obat pengendali akan berakibat penyempitan jalan napas yang ireversibel. Namun dari bukti yang ada risiko tersebut tidak terjadi pada asma episodik ringan. karena itu pemberian steroid hirupan sejak awal untuk asma episodik jarang tidak dianjurkan. 5

Tujuan tatalaksana serangan

Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:

• meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin

• mengurangi hipoksemia

• mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

• rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan

Tata Laksana Serangan

GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,

12

Page 13: Makalah Asma Febriane

disebutkan terapi awal berupa inhalasi beta-agonis kerja pendek hingga 3x dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas berisiko, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan demikian agaknya tatalaksana di rumah ini belum dapat diterapkan di Indonesia.5

Penanganan Serangan Asma di Klinik atau Instalasi Gawat Darurat (IGD)

Seorang anak penderita asma jika mengalami serangan akan dibawa mencari pertolongan ke rumah sakit yang kemungkinan datang ke Klinik Rawat Jalan atau IGD. Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat. Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi beta-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. 5

Serangan ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. 5

Serangan sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).

13

Page 14: Makalah Asma Febriane

Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di IGD pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral. 5

Serangan berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 5

Penanganan di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis + antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari Klinik / IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral. 5

Penanganan di Ruang Rawat Inap

• Pemberian oksigen diteruskan

• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya.

• Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.

• Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

• Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: - bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal(inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. - jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya. - sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. - selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral.

14

Page 15: Makalah Asma Febriane

• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif

Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti napas, langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif (ICU). Secara ringkas kriterianya adalah:

• Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan asma yang cepat. • Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran. • Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di Ruang Rawat Inap. • Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah). 5

Kesimpulan

Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya berkaitan dengan proses tumbuh dan kembang seorang anak, baik pada masa bayi, balita, maupun anak besar. Peran atopi pada asma anak sangat besar dan merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dengan baik untuk diagnosis dan upaya penatalaksanaan. Mekanisme sensitisasi terhadap alergen serta perkembangan perjalanan alamiah penyakit alergi dapat memberi peluang untuk mengubah dan mencegah terjadinya asma melalui kontrol lingkungan dan pengobatan pada seorang anak. Pendidikan pada pasien dan keluarga merupakan unsur penting penatalaksanaan asma pada anak yang bertujuan untuk meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah disabilitas. Upaya pengobatan asma anak tidak dapat dipisahkan dari pemberian kortikosteroid yang merupakan anti-inflamasi terpilih untuk semua jenis dan tingkatan asma. Pemberian kortikosteroid topikal melalui inhalasi memberikan hasil sangat baik untuk mengontrol asma tanpa pengaruh buruk, walaupun pada anak kecil tidak begitu mudah untuk dilakukan sehingga masih memerlukan alat bantu inhalasi.

15

Page 16: Makalah Asma Febriane

Daftar Pustaka

1. Akib A. Asma pada anak. Diunduh dari jurnal Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002.

2. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. FKUI.Diunduh dari jurnal Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

3. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Nasional Asma Anak.Diunduh dari jurnal Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000.

4. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. Diunduh dari www.mki.idonline.org

5. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian IlmuKesehatan Anak

FKUI-RSCM, Jakarta.

6. Riyanto B, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Buku ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Ed. V. Jakarta. 2009.

16