laporan tutorial ske.4 peny.sistemik

27
SKENARIO 4 Seorang anak perempuan 15 tahun datang atas rujukan poli syaraf dengan riwayat epilepsi. Pasien mengeluh gusinya semakin lama semakin membesar sejak 6 bulan lalu. Pada anamnesis didapatkan pasien sering mengalami kejang selama kira-kira 1 menit dan mengkonsumsi phenytoin selama 2 tahun. Pada pemeriksaan intra oral tampak gingiva membesar hampir semua regio, tidak sakit, berwarna coral pink, dan konsistensinya keras. Terdapat sisa akar 46, karies media pada gigi 36, regio anterior atas bawah berdesakan. Dokter gigi merencanakan beberapa perawatan untuk memperbaiki kondisi rongga mulutnya. STEP I (Identifikasi Kata Sulit ) 1. Phenytoin Meupakan suatu obat anti epilepsi yang digunakan untuk mengontrol terjadinya kejang atau mencegah terjadinya kejang. 2. Epilepsi Merupakan sindrome yang ditandai oleh gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan bermanifestasi berupa gangguan atau kehilangan

Upload: cintya-rizky-novianti

Post on 20-Jan-2016

111 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

penyakit sistemik

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

SKENARIO 4

Seorang anak perempuan 15 tahun datang atas rujukan poli syaraf dengan

riwayat epilepsi. Pasien mengeluh gusinya semakin lama semakin membesar sejak

6 bulan lalu. Pada anamnesis didapatkan pasien sering mengalami kejang selama

kira-kira 1 menit dan mengkonsumsi phenytoin selama 2 tahun. Pada pemeriksaan

intra oral tampak gingiva membesar hampir semua regio, tidak sakit, berwarna

coral pink, dan konsistensinya keras. Terdapat sisa akar 46, karies media pada gigi

36, regio anterior atas bawah berdesakan. Dokter gigi merencanakan beberapa

perawatan untuk memperbaiki kondisi rongga mulutnya.

STEP I (Identifikasi Kata Sulit )

1. Phenytoin

Meupakan suatu obat anti epilepsi yang digunakan untuk mengontrol

terjadinya kejang atau mencegah terjadinya kejang.

2. Epilepsi

Merupakan sindrome yang ditandai oleh gangguan fungsi otak yang

bersifat sementara dan bermanifestasi berupa gangguan atau kehilangan

kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom,

serta bersifat episodik.

3. Kejang

Merupakan suatu manifestasi berupa gerakan mendadak yang tidak

terkontrol, gerakan abnormal, dan merupakan gejala epilepsy.

STEP II (Permasalahan )

1. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap penyakit

epilepsi?

Page 2: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

2. Apakah ada hubungan epilepsi dengan kondisi rongga mulut pasien?

3. Bagaimana hubungan fenitoin terhadap epilepsy dan pengaruhnya

terhadap rongga mulut pasien?

4. Hal–hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasien

epilepsi dalam bidang kedokteran gigi?

STEP III ( Analisis Masalah )

1. Usia dan jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap terjadinya epilepsi,

dan kejang merupakan gejala terjadinya epilepsi. Biasanya epilepsi

cenderung mengenai pada usia anak–anak dan usia tua. Laki–laki beresiko

3x lebih besar terjadi epilepsi daripada wanita. Hal ini mungkin

dikarenakan keseimbangan hormon yang kurang bagus pada laki–laki,

dan wanita mempunyai estrogen yang lebih banyak daripada laki–laki

yang mampu melindungi dari terjadinya epilepsi ini, yaitu sebagai kontrol

atau keseimbangan. Ditinjau dari jenis bangkitannya, epilepsi dibagi

menjadi 2, yaitu bangkitan parsial dan bangkitan umum.

2. Epilepsi dapat menyebabkan trauma pada rongga mulut pasien. Misalnya

pada lidah, pasien cenderung menggigit–gigit lidahnya, sehingga dapat

menimbulkan ulser pada penderita epilepsi. Oral hygient yang buruk pada

pasien epilepsi ini juga memperparah keadaan rongga mulut pasien. Pada

pasien complex partial seizure pasien terlihat meringis dan menyebabkan

saliva yang keluar tidak terkendali. Selain itu pada pasien epilesi juga

didapatkan gerakan seperti mengunyah–ngunyah, dan hal juga dapat

menimbulkan trauma.

3. Pengaruh fenitoin adalah dengan menghambat (Na+) yang mengakibatkan

pemasukan ion Na+ kedalam membran sel berkurang. Fenitoin juga

memberi pengaruh untuk menstimulasi proliferasi sel fibroblast,

Page 3: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

mengurangi degradasi kolagen oleh karena enzim kolagenase yang inaktif.

Akibat dari enzim kolagenase yang inaktif ini akan mengakibatkan

pembesaran gingiva atau hiperplasi gingiva serta terbentuk matriks non

kolagen yang menambah besarnya ukuran dari gingiva. Oleh karena itu

penggunaan fenitoin dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan

hiperplasi gingiva pada pasien epilepsi.

4. Hal–hal yang harus diperhatikan dalam penanganan pasien epilepsi dalam

bidang kedokteran gigi adalah sebagai berikut:

Memperhatikan factor pemicu.

Kontrol stress pasien.

Menghindari obat–obatan yang kerjanya berlawanan dengan obat

antiepilepsi.

Dokter gigi konsultasi dengan dokter umum yang menangani

pasien tersebut.

Scalling pada supragingiva dan subgingiva.

Kontrol plak pasien dengan menggunakan dental flosh.

Sebaiknya sisa akar dicabut untuk menghindari atau tidak

menimbulkan infeksi yang lain.

Setelah pencabutan sebaiknya dibuatkan gigi tiruan jembatan untuk

mengganti fungsi mastikasi gigi yang hilang.

Pada tumpatan sebaiknya tidak menggunakan amalgam.

Page 4: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

STEP IV (Mapping)

STEP V ( Learning Objectives )

1. Mampu memahami dan menjelaskan penyakit epilepsi.

2. Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi di rongga mulut pada

pasien epilepsi.

3. Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan di bidang

kedokteran gigi tentang kelainan epilepsi.

Gangguan SSP

Epilepsi Fenitoin

Hiperplasi gingiva Angular cheilitis

Control plak

Karies

Penatalaksanaan

Page 5: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

STEP VII

1. Penyakit epilepsi.

a. Definisi dan faktor penyebab epilepsi.

Epilepsi adalah wujud lepasnya muatan listrik abnormal secara

bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel otak atau dari

seluruh otak (Arifin, 2004). Epilepsi merupakan suatu kumpulan gejala

dan tanda – tanda klinis yang muncul akibat adanya gangguan fungsi

otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik

abnormal atau berlebihan dari neuron – neuron.

Epilepsy ini dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :

1. Idiopatik dan Genetik.

Epilepsy secara umum didapatkan tanpa adanya suatu factor

penyebab yang pasti, namun factor genetic menjadi factor

predisposisinya. Jika epilepsy terjadi pada salah satu dari orang tua,

kemungkinan terjadinya epilepsy pada anak sebesar 4 %. Namun

jika epilepsy terjadi pada kedua orang tua, angka kemungkinan

anak terkena epilepsy sebesar 20 – 30 %. Etiologi epilepsy yang

idiopatik ini biasa banyak mengenai pada orang usia dini.

2. Kriptogenik.

Merupakan suatu penyebab epilepsy yang belum dapat ditemukan,

namun dicurigai ada factor penyebabnya. Misalnya : West

Syndrome, Lennox Gastaut Syndrome dan Epilepsi Mioklonik.

3. Simptomatik.

Merupakan suatu penyebab yang dapat diketahui, misalnya akibat

adanya suatu kelainan pada otak, kelainan kongenital, tumor otak,

gangguan peredaran darah, kelainan akibat proses penuaan, trauma

kepala dan toksik obat dan alcohol. Epilepsy secara simptomatik ini

biasa terkena pada orang yang usia lanjut.

Page 6: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

b. Gejala dari epilepsi.

1. Epilepsi umum

Pernafasan yang terhenti sejenak mengakibatkan atau diikuti

oleh kekakuan tubuh.

Penderita menggigit gigit lidah atau bibirnya sendiri.

Penderita akan merasakan tubuhnya lemas dan biasanya setelah

itu tertidur.

Epilepsi umum terdiri atas :

a. Petit mal

- Hilangnya kesadaran sejenak antara 5-10 detik, dapat juga 30

detik tetapi jarang dijumpai.

- Tonus otot-otot skeletal tidak hilang, sehingga penderita tidak

jatuh.

- Dapat timbul gerak otot setempat pada wajah ( facial

twitching).

- Mata menatap secara hampa ke depan atau berputar ke atas

sambil melepaskan benda yang sedang dipegangnya atau

berhenti berbicara.

b. Grand mal

- Tiba-tiba jatuh sambil menjerit atau berteriak.

- Untuk sejenak, pernafasan berhenti dan seluruh tubuh kaku.

- Adanya gerakan tonik klonik pada wajah dan badan selama

1-2 menit.

- Hilangnya kesadaran.

- Air kemih keluar karena kontraksi tonik involuntar.

- Keluarnya air liur yang berbusa.

- Adanya gejala prodromal seperti cepat marah atau

tersinggung, pusing, dll.

Page 7: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

Setelah seizure penderita tidak sadar dalam beberapa menit

sampai setengah jam, lalu sadar dan tertidur. Lamanya waktu

tidur penderita tergantung pada berat ringannya konvulsi.

Penderita dapat tertidur selama setengah jam sampai 6 Jam.

Pasca grand mal, penderita merasakan sakit kepala dan tidak

ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.

Sebelum serangan grand mal timbul, banyak penderita sudah

memperlihatkan gejala-gejala prodromal yang terdiri dari

iritabilitas (cepatmarah/ tersinggung), pusing, sakit kepala, atau

depresi (bad mood).

2. Epilepsi parsial

Pada saat epilesi ini wajah penderita akan terlihat pucat.

Penderita dengan keadaan seperti bermimpi atau dreamy state.

Epilepsi parsial terdiri atas :

a. Gejala sederhana.

- Terjadi gerakan otot yang klonik tonik.

- Pada motorik, adanya gerakan mengunyah.

- Pada sensorik, merasakan nyeri, panas atau dingin, dan

mencium bau busuk.

- Pada autonom, terjadinya rasa mual ataupun muntah.

b. Gejala kompleks.

- Terjadinya halusinasi.

- Adanya ilusi, yang biasa dinamakan deja vu yaitu perasaan

dimana pernah melihatnya tetapi dalam situasi yang asing.

- Adanya perasaan curiga, dimana perasaan seolah-olah

pikirannya memaksakan sesuatu dan perasaan kesal sehingga

marah-marah.

Page 8: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

- Adanya automatismus, dimana suatu gerakan yang tak sadar

seperti bibir mengecap-ngecap seolah-olah sedang menikmati

makanan yang enak.

c. Patofisiologi epilepsi.

Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan suatu neuron

epileptogenik, yaitu eksitabilitas abnormal dari jaringan saraf sebagai

akibat dari gangguan depolarisasi dan repolarisasi serta sinkronisasi

abnormal dari jaringan saraf. Penjalaran impuls yang menyimpang

dari biasanya akan menyebabkan kekacauan sekelompok neuron

sehingga dapat timbul serangan epilepsi (Nair, 2003).

Eksitabilitas dari neuron dipengaruhi oleh :

1. Membran sel dan lingkungan mikro dari neuron.

Keduanya berperan dalam menjaga beda potensial elektris neuron

melalui permeabilitas selektif dan pompa ion (Nair, 2003). Kadar

Kalium (K) adalah lebih tinggi pada intraneuronal daripada

ekstraneuronal. Sebaliknya kadar Natrium (Na) adalah lebih tinggi

pada ekstraneuronal daripada intraneuronal. Dengan demikian

maka bagian dalam dari sel itu muatannya adalah negatif 5070mV

bila dibandingkan dengan bagian luar. Keadaan demikian hanyalah

dapat dipertahankan selama pompa Na, K dan ATPase bekerja

dengan baik. Pompa Na adalah suatu mekanisme, yang

menggunakan ATP sebagai sumber energi, untuk mengeluarkan ion

Na keluar dari dalam sel setelah proses depolarisasi. Maka dari itu

apabila terjadi suatu keadaan kekurangan ATP akan berakibat

Pompa Na tidak mampu lagi untuk mengeluarkan Na dari dalam sel

setelah proses depolarisasi. Sehingga kadar Na di dalam sel akan

menjadi lebih tinggi dari semula. Dengan demikian maka keadaan

di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi negatif 50 - 70 mV tetapi

menjadi misalnya hanya negatif 20 mV. Keadaan tersebut akan

Page 9: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

mengakibatkan proses depolarisasi semakin mudah, sehingga suatu

rangsangan ringan yang dahulu tidak menimbulkan depolarisasi

kini dapat menimbulkan proses lepas muatan (Ngoerah, 1991).

2. Prosesproses intraseluler.

Dikendalikan secara genetik. Proses-proses itu meliputi

pembentukan struktur sel, metabolisme energi, reseptor-reseptor,

pelepasan transmiter, dan saluran ion. Mekanisme sebenarnya

berhubungan dengan komposisi ionik terutama ion Ca2+. Ion Ca2+

berpengaruh dalam hal:

a) Sebagai mediator perubahan protein membran untuk memacu

pelepasan transmiter dan pembukaan saluran ion.

b) Aktivasi enzim yang mempengaruhi tempat reseptor sehingga

mempengaruhi sensitivitas neuron tersebut.

Perubahan–perubahan dalam eksitabilitas ini dapat dihasilkan

dengan mempengaruhi gen-gen yang bertanggung jawab terhadap

influks ion Ca2+ (Nair, 2003).

3. Ciri struktural neuron

Dua regio utama pada otak yang berhubungan dengan epilepsi

adalah neokorteks dan hipokampus. Pada neokorteks, sinaps

eksitatorik dibentuk terutama pada duri dendrit (dendriric spines)

dan tangkai dendrit (dendritic shaft). Sedangkan sinaps inhibitorik

lebih jelas terdapat pada soma atau pangkal dendrit. Perubahan

morfologi neuron, baik secara spontan maupun sebagai respon

terhadap trauma dapat meningkatkan eksitabilitas dengan

peningkatan jumlah sinaps eksitatorik yang bermakna atau

penurunan jumlah sinaps inhibitorik. Lesi pada badan sel atau

batang neuron akan menyebabkan degenerasi dari ujung terminal

akson, dan sebuah ujung terminal baru akan muncul untuk

berhubungan dengan membran postsinaptik yang kosong, yang

selanjutnya meningkatkan potensial eksitatorik dari neuron. Ion

Kalsium yang muncul terutama pada dendrit menyebabkan

Page 10: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

depolarisasi yang diperpanjang, yang dapat memacu meningkatnya

ion Na di dalam neuron. Sehingga waktu hiperpolarisasi pun

menjadi lebih panjang. Letupan ini dipercaya berperan dalam

periode depolarisasi paroksimal dan hiperpolarisasi dalam

eksperimental fokus epileptik (Nair, 2003).

4. Hubungan interneuron

Transmisi neurokimia di antara neuron dapat mempengaruhi

eksitabilitas neuron. Langkah ini menghasilkan pelepasan

neurotransmiter ke celah sinaps dan membrane postsinaps,

menghasilkan potensial postsinaptik yang eksitatorik dan

inhibitorik. Neurotransmiter eksitatorik yang utama dalam sistem

saraf pusat adalah asam amino glutamat dan aspartat. Sedangkan

neurotransmiter inhibitorik yang utama adalah gama amino butiric

acid (GABA) dan glisin. Neurotransmiter bekerja dengan

mempengaruhi reseptor spesifik yang ada di membran postsinaps

(Nair, 2003).

Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmiter

asetilkolin merupakan hal yang merendahkan potensial membran

postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi

sewaktu-waktu. Apabila sudah cukup asetilkolin tertimbun di

permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron

kortikal dipermudah. Penimbunan asetilkolin setempat harus

mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan

potensial membran sehingga lepas muatan dapat terjadi. Mungkin

karena harus menunggu waktu hingga mencapai konsentrasi

tersebutlah maka fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi

secara berkala. Inilah ciri manifestasi epilepsi yaitu timbulnya

serangan secara berkala tetapi tidak teratur (Mahar dan Priguna,

1997).

Pada epilepsi tipe grand mal mekanisme hilangnya kesadaran dapat

dijelaskan sebagai adanya pelepasan muatan listrik pada nuclei

Page 11: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti

centercephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan

asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemniskal. Input

dari korteks serebri melalui lintasan tersebut menentukan derajat

kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input, maka timbulah

koma. Pada grand mal terjadilah lepas muatan listrik dari inti

intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan

talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot

seluruh tubuh konvulsi umum) sekaligus menghalangi

neuronneuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari

dunia luar sehingga kesadaran hilang (Mahar dan Priguna, 1997).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia

retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat

melakukan blokade sejenak terhadap intiinti Intralaminal talamik

sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejangkejang

pada otot skelet. Gambaran ini dikenal sebagai petit mal (Mahar

dan Priguna, 1997).

2. Manifestasi di rongga mulut pada pasien epilepsi.

Manifestasi oral penderita epilepsi dapat di akibatkan oleh obat

yang di konsumsi. Salah satunya adalah antikonvulsi. Dalam periode

terakhir ini carbamazepine banyak digunakan sebagai obat

antikonvulsan/anti epilepsi berupa kejang sebagian dengan gejala yang

kompleks. Sedangkan dalam kedokteran gigi carbamazepine di gunakan

untuk perawatan neuralgia trigeminal.

Beberapa manifestasi dari obat antikonvulsan pada penderita epilepsi

adalah sebaga berikut :

1. Eritema Multiple

Akibat adanya reaksi hipersensitifitas type II dan III Obat obatan

golongan antikonvulsan yang dikonsumsi oleh penderita epilepsi dapat

Page 12: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

menjadi faktor predisposisi timbulnya eritema multiple. Eritema

multiple merupakan suatu penyakit inflamasi akut pada kulit dan

membrane mukosa yang dapat menimbulkan beberapa varian lesi kulit.,

erupsi kulit mendadak, dan bersifat rekuren. Karakteristik lesi targetnya

pada kulit dan oral ulseratif sangat berfariasi sesuai namanya

“multiformis” merupakan kombinasi bulla dan papula, macula, dan

ulser. Etiologinya belum diketahui secara pasti, tapi penyakit ini dapat

disebabkan reaksi hipersensitifitas dari beberapa faktor predisposisinya

antara lain adalah alergi terhadap obat obatan (antikonvulsan

carbamazepine, fenitoin, fenobarbital, penisilin, barbiturate, AINS

seperti oxicam,sulfonamide) penyakit autoimmune, penyakit sistemik,/

keganasan, stress, emosi.

Terjadinya eritema multiformis berawal dari suatu deposisi dari

kompleks imun dalam mikrovaskular dari kulit dan mukosa. Reaksi

hipersensitifitas type III di tandai dengan oleh pembentukan kompleks

antigen. Selanjutnya IgG dan IgM di dalam darah atau jaringan akan

mengaktifkan komplemen, lalu melepaskan mediator (enzim) sehingga

antigen akan terfiksasi dan membentuk C3a dan C5a yang akan

merangsang sel matosit dan basophil melepas granul. Sehingga

kompleks imun beredar dan mengendap di daerah kulit dan mukosa

dengan menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi complement.

Berdasarkan keterlibatannya di kulit dan mukosa mulut, dapat di

bedakan menjadi 2 antara lain:

a. Eritema multiple minor.

Pada eritema multiple minor sering di jumpai di mukosa rongga

mulut. Lesi dapat sembuh sendiri tanpa di lakukan perawatan dalam

waktu 1-3 minggu. Hanya bersifat akut dan rekuren sedangkan yang

kronik jarang terjadi. Hanya melibatkan 1 pemukaan di kulit atau

mukosa mulut. Bentuk lesi mirip telur mata sapi. Awalnya lesi kecil

dan merah dengan diameter 0,2-2cm kemudian membesar dan

membentuk daerah putih pucat/ jernih di tengahnya setelah itu lesi

Page 13: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

membentuk vesikel atau bula menyatu dan pecah. Umumnya lesi

berbentuk lebar kasar dan dangkal dengan tepi yang eritematosus.

Kulit nekrotik dan mengelupas terdapat pseudomembran menutupi

lesi dan terdapat plak urtikaria yang tidak pecah. Secara intra oral

terlihat macula berwarna merah, ulserasi multiple, dan erosi.

Kelainan ini terbatas pada pipi, mukosa bibir, palatum dan lidah atau

melibatkan seluruh daerah tersebut. Tapi gingivanya jarang terlibat.

Sedangkan pada bibir di temukan adanya krusta berwarna merah

gelap dan coklat yang khas.

b. Eritema multiple mayor.

Pemberian obat antikonvulsi seperti dilatin yang dibarengkan dengan

carbamazepine bisa menyebabkan eritema multiformis mayor.

Keadaan ini diperparah dengan adanya oral hygiene yang buruk.

Pada pemeriksaan ekstra oral rongga mulut, di bibir ditemukan

krusta merah kehitaman, lengket, dan terdapat pembengkakan

kelenjar limfe. Pada pemeriksaan intraoral terdapat ulser pada lidah

dan kandidiasis.

Ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa adanya lesi ini

berhubungan dengan reaksi alergi obat. Pada pemberian obat-obatan

antikonvulsi seperti carbamazepine dapat menyebabkan alergi.

Disebabkan sebagai reaksi hipersensitivas tipe II. Di mana

hipersensitivitas tipe II gejala reaksinya bergantung kepada sel

sasaran, dan sasaran utamanya pada kulit berupa destruksi

keratinosit. Adanya reaksi imun sitotoksik ini mengakibatkan

apoptosis keratinosit yang menyebabkan kerusakan pada jaringan

mukosa.

2. Hiperplasia gingival.

Hiperplasia gingiva merupakan pertumbuhan gingiva yang berlebih, hal

ini bisa dikarenakan adanya keradangan pada daerah tersebut dan

ditandai dengan gusi yang mengalami perbesaran , inflamasi, dan

terkadang terdapat pendarahan. Pada penderita epilepsi, pasien tersebut

Page 14: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

diberikan terapi obat Fenitoin, dimana pada obat tersebut dapat

menyebabkan adanya peningkatan sintesis protein kolagen secara

sinergis oleh fibroblas gingiva. Namun hal ini tidak akan terjadi jika

tidak dipengaruhi oleh adanya inflamasi. Inflamasi karena plak bakteri

akan menyebabkan meningkatnya produksi jaringan konektif secara

alami sehingga menyebabkan membesarnya gingiva.

3. Angular chelitis

Angular cheilitis merupakan inflamasi akut atau kronis pada sudut

mulut yang ditandai dengan adanya fisur-fisur, retak-retak pada sudut

bibir, berwarna kemerahan, ulserasi disertai rasa terbakar, nyeri dan

rasa kering pada sudut mulut. Pada kasus yang parah, retakan tersebut

dapat berdarah ketika membuka mulut dan menimbulkan ulser dangkal

atau krusta.

Penyebab angular cheilitis yang menonjol pada anak-anak adalah

defisiensi nutrisi. Defisiensi nutrisi yang dimaksud biasanya disebabkan

kurangnya asupan vitamin B kompleks (riboflavin), zat besi dan asam

folat. Pada penggunaan obat Fenitoin, jumlah asam folat menjadi

tereduksi oleh obat tersebut, oleh karenanya menjadi berkurang. Hal ini

yang kemudian menjadikan adanya angular chelitis.

Selain karena penggunaan obat antikonvulsi yang dapat

menyebabkan terjadinya berbagai menifestasi di rongga mulut, orang yang

mengalami epilepsi namun mempunyai gejala kejang, maka akan

mengakibatkan beberapa hal yang juga berpengaruh terhadap keadaan

rongga mulut penderita, antara lain sebagai berikut:

1. Pasien epilepsi cenderung mudah terjadi trauma yang akhirnya akan

menyebabkan gigi mudah patah, hal oini dimungkinkan akibat adanya

gerakan membuka dan menutup mulut berlebihan disertai dengan

mengunyah-nguyah dan efek kontraksi otot mastikasi yang berkerja

terlalu berlebih.

Page 15: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

2. Stomatitis dapat terjadi jika salah satunya terdapat trauma, trauma ini

mungkin diakibatkan karena gerakan menggigit mukosa pada saat

pasien dalam kondisi tidaksadarkan diri apabila terjadi kejang.

3. Ulser pada lidah yang diakibatkan karena penderita epilepsi menggigit-

gigit lidahnya.

3. Penatalaksanaan di bidang kedokteran gigi tentang kelainan epilepsi.

Sebelum perawatan , hal-hal yang harus diperhatikan :

- Dokter gigi perlu mengetahui riwayat pasien penderita epilepsi. Mulai

dari obat jenis apa yang digunakan, bagaimana keadaan pasien ketika

kejang, sudah berapa lama pasien menderita kejang.

- Operator sebisa mungkin untuk membuat pasien merasa nyaman karena

jika pasien dalam kondisi stress maka akan memicu terjadinya kejang.

Untuk mengurangi stress selama perawatan bisa diberikan anti depresan

sebelum perawatan.

- Operator harus cepat dalam menangani perawatan rongga mulut pasien

epilepsy

- Upayakan penggunaan general anestesi karena local anestesi dapat

menimbulkan bangkitan.

Pada saat perawatan pasien mengalami kejang. Tindakan yang harus

dilakukan :

- Memepertahankan jalan nafas

- dental chair harus direndahkan dan tangan pasien harus dijaga agar

tidak menjangkau alat- alat kedokteran gigi.

- Jika pasien kejang lebih dari 5 menit harus segera dibawa ke RS.

- Keluarkan protesa dari rongga mulut dan longgarkan pakaian yang

ketat.

- Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen.

Page 16: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

- Setiap usaha untuk memasukkan pelindung atau alat didalam mulut

pasien, harus dilakukan dengan hati-hati karena dikhawatirkan

mengganggu jalanya pernafasan.

Pertimbangan dental pada pasien epilepsi :

- Apabila ingin membuat gigi tiruan , disarankan gigi tiruan cekat. Hal ini

untuk menghindari apabila dipakai gigi tiruan lepasan jika terjadi

kejang bisa saja gigi tiruan lepas dan bahkan tertelan dan dapat

mengganggu jalannya nafas.

- Disarankan pula untuk penggunaan jaket akrilik untuk mahkota

sehingga meminimalkan/menghindari terjadi fraktur.

- Pada pasien epilepsi yang memiliki manifestasi oral hiperplasi gingiva ,

bisa dilakukan tindakan gingivektomi melalui prosedur

elektrokauterisasi atau laser juga bisa dengan instrumen bedah.

- Kontrol efektif plak untuk mengurangi dan mencegah hiperplasi

gingiva setelah dilakukan gingivektomi.

- Jika terdapat gigi yang avulsi akibat kejang, maka pegang mahkotanya

secara hati-hati, simpan dalam susu atau didalam saliva pasien. Tidak

disarankan untuk menyikat gigi yang lepas tersebut.

Page 17: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

DAFTAR PUSTAKA

Sidharta,priguna. 2009. Neuroogi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian

Rakyat.

Arif M., Suprohaita., Wahyu I.W & Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi ke-3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. pp: 1726.

Arifin, M.T. 2004. Epilepsi, Bagaimana Jalan Keluarnya?.

http://www.InovasiOnlineVol_2XVINovember2004Epileps

i,BagaimanaJalanKeluarnya.htm . (6 Agustus 2008).

Harsono. 2001. Epilepsi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Taufik Adrian. 2010. Carbamazepine (Anti Konvulsi) dalam Terapi Epilepsi

sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus).

Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru,

2001:170-71.

Utama W Harry, Kurniawan Dedy.2007. Erupsi Alergi Obat. Jakarta: Wordpress.

Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman

Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi

Foster, TD, Lilian Yuwono (alih bahasa). 2003.Buku Ajar Ortodonsi. EGC :

Jakarta

Page 18: Laporan Tutorial Ske.4 Peny.sistemik

Pedersw.Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC

Mehmet Yaltirik et al. 2011. Management of Epileptic Patients in Dentistry dalam

Surgical Science, 2012, 3, Hal 47-52.

Girbiz, Taskin. 2010. Epilepsy and Oral Health. Departement of Pedodontics,

Faculty of Dentistry, Ataturk Univesity, Erzurum, Turkey.