laporan tutorial ske.4 peny.sistemik
DESCRIPTION
penyakit sistemikTRANSCRIPT
SKENARIO 4
Seorang anak perempuan 15 tahun datang atas rujukan poli syaraf dengan
riwayat epilepsi. Pasien mengeluh gusinya semakin lama semakin membesar sejak
6 bulan lalu. Pada anamnesis didapatkan pasien sering mengalami kejang selama
kira-kira 1 menit dan mengkonsumsi phenytoin selama 2 tahun. Pada pemeriksaan
intra oral tampak gingiva membesar hampir semua regio, tidak sakit, berwarna
coral pink, dan konsistensinya keras. Terdapat sisa akar 46, karies media pada gigi
36, regio anterior atas bawah berdesakan. Dokter gigi merencanakan beberapa
perawatan untuk memperbaiki kondisi rongga mulutnya.
STEP I (Identifikasi Kata Sulit )
1. Phenytoin
Meupakan suatu obat anti epilepsi yang digunakan untuk mengontrol
terjadinya kejang atau mencegah terjadinya kejang.
2. Epilepsi
Merupakan sindrome yang ditandai oleh gangguan fungsi otak yang
bersifat sementara dan bermanifestasi berupa gangguan atau kehilangan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom,
serta bersifat episodik.
3. Kejang
Merupakan suatu manifestasi berupa gerakan mendadak yang tidak
terkontrol, gerakan abnormal, dan merupakan gejala epilepsy.
STEP II (Permasalahan )
1. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap penyakit
epilepsi?
2. Apakah ada hubungan epilepsi dengan kondisi rongga mulut pasien?
3. Bagaimana hubungan fenitoin terhadap epilepsy dan pengaruhnya
terhadap rongga mulut pasien?
4. Hal–hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasien
epilepsi dalam bidang kedokteran gigi?
STEP III ( Analisis Masalah )
1. Usia dan jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap terjadinya epilepsi,
dan kejang merupakan gejala terjadinya epilepsi. Biasanya epilepsi
cenderung mengenai pada usia anak–anak dan usia tua. Laki–laki beresiko
3x lebih besar terjadi epilepsi daripada wanita. Hal ini mungkin
dikarenakan keseimbangan hormon yang kurang bagus pada laki–laki,
dan wanita mempunyai estrogen yang lebih banyak daripada laki–laki
yang mampu melindungi dari terjadinya epilepsi ini, yaitu sebagai kontrol
atau keseimbangan. Ditinjau dari jenis bangkitannya, epilepsi dibagi
menjadi 2, yaitu bangkitan parsial dan bangkitan umum.
2. Epilepsi dapat menyebabkan trauma pada rongga mulut pasien. Misalnya
pada lidah, pasien cenderung menggigit–gigit lidahnya, sehingga dapat
menimbulkan ulser pada penderita epilepsi. Oral hygient yang buruk pada
pasien epilepsi ini juga memperparah keadaan rongga mulut pasien. Pada
pasien complex partial seizure pasien terlihat meringis dan menyebabkan
saliva yang keluar tidak terkendali. Selain itu pada pasien epilesi juga
didapatkan gerakan seperti mengunyah–ngunyah, dan hal juga dapat
menimbulkan trauma.
3. Pengaruh fenitoin adalah dengan menghambat (Na+) yang mengakibatkan
pemasukan ion Na+ kedalam membran sel berkurang. Fenitoin juga
memberi pengaruh untuk menstimulasi proliferasi sel fibroblast,
mengurangi degradasi kolagen oleh karena enzim kolagenase yang inaktif.
Akibat dari enzim kolagenase yang inaktif ini akan mengakibatkan
pembesaran gingiva atau hiperplasi gingiva serta terbentuk matriks non
kolagen yang menambah besarnya ukuran dari gingiva. Oleh karena itu
penggunaan fenitoin dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan
hiperplasi gingiva pada pasien epilepsi.
4. Hal–hal yang harus diperhatikan dalam penanganan pasien epilepsi dalam
bidang kedokteran gigi adalah sebagai berikut:
Memperhatikan factor pemicu.
Kontrol stress pasien.
Menghindari obat–obatan yang kerjanya berlawanan dengan obat
antiepilepsi.
Dokter gigi konsultasi dengan dokter umum yang menangani
pasien tersebut.
Scalling pada supragingiva dan subgingiva.
Kontrol plak pasien dengan menggunakan dental flosh.
Sebaiknya sisa akar dicabut untuk menghindari atau tidak
menimbulkan infeksi yang lain.
Setelah pencabutan sebaiknya dibuatkan gigi tiruan jembatan untuk
mengganti fungsi mastikasi gigi yang hilang.
Pada tumpatan sebaiknya tidak menggunakan amalgam.
STEP IV (Mapping)
STEP V ( Learning Objectives )
1. Mampu memahami dan menjelaskan penyakit epilepsi.
2. Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi di rongga mulut pada
pasien epilepsi.
3. Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan di bidang
kedokteran gigi tentang kelainan epilepsi.
Gangguan SSP
Epilepsi Fenitoin
Hiperplasi gingiva Angular cheilitis
Control plak
Karies
Penatalaksanaan
STEP VII
1. Penyakit epilepsi.
a. Definisi dan faktor penyebab epilepsi.
Epilepsi adalah wujud lepasnya muatan listrik abnormal secara
bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel otak atau dari
seluruh otak (Arifin, 2004). Epilepsi merupakan suatu kumpulan gejala
dan tanda – tanda klinis yang muncul akibat adanya gangguan fungsi
otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik
abnormal atau berlebihan dari neuron – neuron.
Epilepsy ini dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Idiopatik dan Genetik.
Epilepsy secara umum didapatkan tanpa adanya suatu factor
penyebab yang pasti, namun factor genetic menjadi factor
predisposisinya. Jika epilepsy terjadi pada salah satu dari orang tua,
kemungkinan terjadinya epilepsy pada anak sebesar 4 %. Namun
jika epilepsy terjadi pada kedua orang tua, angka kemungkinan
anak terkena epilepsy sebesar 20 – 30 %. Etiologi epilepsy yang
idiopatik ini biasa banyak mengenai pada orang usia dini.
2. Kriptogenik.
Merupakan suatu penyebab epilepsy yang belum dapat ditemukan,
namun dicurigai ada factor penyebabnya. Misalnya : West
Syndrome, Lennox Gastaut Syndrome dan Epilepsi Mioklonik.
3. Simptomatik.
Merupakan suatu penyebab yang dapat diketahui, misalnya akibat
adanya suatu kelainan pada otak, kelainan kongenital, tumor otak,
gangguan peredaran darah, kelainan akibat proses penuaan, trauma
kepala dan toksik obat dan alcohol. Epilepsy secara simptomatik ini
biasa terkena pada orang yang usia lanjut.
b. Gejala dari epilepsi.
1. Epilepsi umum
Pernafasan yang terhenti sejenak mengakibatkan atau diikuti
oleh kekakuan tubuh.
Penderita menggigit gigit lidah atau bibirnya sendiri.
Penderita akan merasakan tubuhnya lemas dan biasanya setelah
itu tertidur.
Epilepsi umum terdiri atas :
a. Petit mal
- Hilangnya kesadaran sejenak antara 5-10 detik, dapat juga 30
detik tetapi jarang dijumpai.
- Tonus otot-otot skeletal tidak hilang, sehingga penderita tidak
jatuh.
- Dapat timbul gerak otot setempat pada wajah ( facial
twitching).
- Mata menatap secara hampa ke depan atau berputar ke atas
sambil melepaskan benda yang sedang dipegangnya atau
berhenti berbicara.
b. Grand mal
- Tiba-tiba jatuh sambil menjerit atau berteriak.
- Untuk sejenak, pernafasan berhenti dan seluruh tubuh kaku.
- Adanya gerakan tonik klonik pada wajah dan badan selama
1-2 menit.
- Hilangnya kesadaran.
- Air kemih keluar karena kontraksi tonik involuntar.
- Keluarnya air liur yang berbusa.
- Adanya gejala prodromal seperti cepat marah atau
tersinggung, pusing, dll.
Setelah seizure penderita tidak sadar dalam beberapa menit
sampai setengah jam, lalu sadar dan tertidur. Lamanya waktu
tidur penderita tergantung pada berat ringannya konvulsi.
Penderita dapat tertidur selama setengah jam sampai 6 Jam.
Pasca grand mal, penderita merasakan sakit kepala dan tidak
ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.
Sebelum serangan grand mal timbul, banyak penderita sudah
memperlihatkan gejala-gejala prodromal yang terdiri dari
iritabilitas (cepatmarah/ tersinggung), pusing, sakit kepala, atau
depresi (bad mood).
2. Epilepsi parsial
Pada saat epilesi ini wajah penderita akan terlihat pucat.
Penderita dengan keadaan seperti bermimpi atau dreamy state.
Epilepsi parsial terdiri atas :
a. Gejala sederhana.
- Terjadi gerakan otot yang klonik tonik.
- Pada motorik, adanya gerakan mengunyah.
- Pada sensorik, merasakan nyeri, panas atau dingin, dan
mencium bau busuk.
- Pada autonom, terjadinya rasa mual ataupun muntah.
b. Gejala kompleks.
- Terjadinya halusinasi.
- Adanya ilusi, yang biasa dinamakan deja vu yaitu perasaan
dimana pernah melihatnya tetapi dalam situasi yang asing.
- Adanya perasaan curiga, dimana perasaan seolah-olah
pikirannya memaksakan sesuatu dan perasaan kesal sehingga
marah-marah.
- Adanya automatismus, dimana suatu gerakan yang tak sadar
seperti bibir mengecap-ngecap seolah-olah sedang menikmati
makanan yang enak.
c. Patofisiologi epilepsi.
Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan suatu neuron
epileptogenik, yaitu eksitabilitas abnormal dari jaringan saraf sebagai
akibat dari gangguan depolarisasi dan repolarisasi serta sinkronisasi
abnormal dari jaringan saraf. Penjalaran impuls yang menyimpang
dari biasanya akan menyebabkan kekacauan sekelompok neuron
sehingga dapat timbul serangan epilepsi (Nair, 2003).
Eksitabilitas dari neuron dipengaruhi oleh :
1. Membran sel dan lingkungan mikro dari neuron.
Keduanya berperan dalam menjaga beda potensial elektris neuron
melalui permeabilitas selektif dan pompa ion (Nair, 2003). Kadar
Kalium (K) adalah lebih tinggi pada intraneuronal daripada
ekstraneuronal. Sebaliknya kadar Natrium (Na) adalah lebih tinggi
pada ekstraneuronal daripada intraneuronal. Dengan demikian
maka bagian dalam dari sel itu muatannya adalah negatif 5070mV
bila dibandingkan dengan bagian luar. Keadaan demikian hanyalah
dapat dipertahankan selama pompa Na, K dan ATPase bekerja
dengan baik. Pompa Na adalah suatu mekanisme, yang
menggunakan ATP sebagai sumber energi, untuk mengeluarkan ion
Na keluar dari dalam sel setelah proses depolarisasi. Maka dari itu
apabila terjadi suatu keadaan kekurangan ATP akan berakibat
Pompa Na tidak mampu lagi untuk mengeluarkan Na dari dalam sel
setelah proses depolarisasi. Sehingga kadar Na di dalam sel akan
menjadi lebih tinggi dari semula. Dengan demikian maka keadaan
di dalam sel itu tidaklah pulih menjadi negatif 50 - 70 mV tetapi
menjadi misalnya hanya negatif 20 mV. Keadaan tersebut akan
mengakibatkan proses depolarisasi semakin mudah, sehingga suatu
rangsangan ringan yang dahulu tidak menimbulkan depolarisasi
kini dapat menimbulkan proses lepas muatan (Ngoerah, 1991).
2. Prosesproses intraseluler.
Dikendalikan secara genetik. Proses-proses itu meliputi
pembentukan struktur sel, metabolisme energi, reseptor-reseptor,
pelepasan transmiter, dan saluran ion. Mekanisme sebenarnya
berhubungan dengan komposisi ionik terutama ion Ca2+. Ion Ca2+
berpengaruh dalam hal:
a) Sebagai mediator perubahan protein membran untuk memacu
pelepasan transmiter dan pembukaan saluran ion.
b) Aktivasi enzim yang mempengaruhi tempat reseptor sehingga
mempengaruhi sensitivitas neuron tersebut.
Perubahan–perubahan dalam eksitabilitas ini dapat dihasilkan
dengan mempengaruhi gen-gen yang bertanggung jawab terhadap
influks ion Ca2+ (Nair, 2003).
3. Ciri struktural neuron
Dua regio utama pada otak yang berhubungan dengan epilepsi
adalah neokorteks dan hipokampus. Pada neokorteks, sinaps
eksitatorik dibentuk terutama pada duri dendrit (dendriric spines)
dan tangkai dendrit (dendritic shaft). Sedangkan sinaps inhibitorik
lebih jelas terdapat pada soma atau pangkal dendrit. Perubahan
morfologi neuron, baik secara spontan maupun sebagai respon
terhadap trauma dapat meningkatkan eksitabilitas dengan
peningkatan jumlah sinaps eksitatorik yang bermakna atau
penurunan jumlah sinaps inhibitorik. Lesi pada badan sel atau
batang neuron akan menyebabkan degenerasi dari ujung terminal
akson, dan sebuah ujung terminal baru akan muncul untuk
berhubungan dengan membran postsinaptik yang kosong, yang
selanjutnya meningkatkan potensial eksitatorik dari neuron. Ion
Kalsium yang muncul terutama pada dendrit menyebabkan
depolarisasi yang diperpanjang, yang dapat memacu meningkatnya
ion Na di dalam neuron. Sehingga waktu hiperpolarisasi pun
menjadi lebih panjang. Letupan ini dipercaya berperan dalam
periode depolarisasi paroksimal dan hiperpolarisasi dalam
eksperimental fokus epileptik (Nair, 2003).
4. Hubungan interneuron
Transmisi neurokimia di antara neuron dapat mempengaruhi
eksitabilitas neuron. Langkah ini menghasilkan pelepasan
neurotransmiter ke celah sinaps dan membrane postsinaps,
menghasilkan potensial postsinaptik yang eksitatorik dan
inhibitorik. Neurotransmiter eksitatorik yang utama dalam sistem
saraf pusat adalah asam amino glutamat dan aspartat. Sedangkan
neurotransmiter inhibitorik yang utama adalah gama amino butiric
acid (GABA) dan glisin. Neurotransmiter bekerja dengan
mempengaruhi reseptor spesifik yang ada di membran postsinaps
(Nair, 2003).
Beberapa penyelidikan mengungkapkan bahwa neurotransmiter
asetilkolin merupakan hal yang merendahkan potensial membran
postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi
sewaktu-waktu. Apabila sudah cukup asetilkolin tertimbun di
permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron
kortikal dipermudah. Penimbunan asetilkolin setempat harus
mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan
potensial membran sehingga lepas muatan dapat terjadi. Mungkin
karena harus menunggu waktu hingga mencapai konsentrasi
tersebutlah maka fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi
secara berkala. Inilah ciri manifestasi epilepsi yaitu timbulnya
serangan secara berkala tetapi tidak teratur (Mahar dan Priguna,
1997).
Pada epilepsi tipe grand mal mekanisme hilangnya kesadaran dapat
dijelaskan sebagai adanya pelepasan muatan listrik pada nuclei
intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti
centercephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan
asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemniskal. Input
dari korteks serebri melalui lintasan tersebut menentukan derajat
kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input, maka timbulah
koma. Pada grand mal terjadilah lepas muatan listrik dari inti
intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan
talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot
seluruh tubuh konvulsi umum) sekaligus menghalangi
neuronneuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari
dunia luar sehingga kesadaran hilang (Mahar dan Priguna, 1997).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia
retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat
melakukan blokade sejenak terhadap intiinti Intralaminal talamik
sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejangkejang
pada otot skelet. Gambaran ini dikenal sebagai petit mal (Mahar
dan Priguna, 1997).
2. Manifestasi di rongga mulut pada pasien epilepsi.
Manifestasi oral penderita epilepsi dapat di akibatkan oleh obat
yang di konsumsi. Salah satunya adalah antikonvulsi. Dalam periode
terakhir ini carbamazepine banyak digunakan sebagai obat
antikonvulsan/anti epilepsi berupa kejang sebagian dengan gejala yang
kompleks. Sedangkan dalam kedokteran gigi carbamazepine di gunakan
untuk perawatan neuralgia trigeminal.
Beberapa manifestasi dari obat antikonvulsan pada penderita epilepsi
adalah sebaga berikut :
1. Eritema Multiple
Akibat adanya reaksi hipersensitifitas type II dan III Obat obatan
golongan antikonvulsan yang dikonsumsi oleh penderita epilepsi dapat
menjadi faktor predisposisi timbulnya eritema multiple. Eritema
multiple merupakan suatu penyakit inflamasi akut pada kulit dan
membrane mukosa yang dapat menimbulkan beberapa varian lesi kulit.,
erupsi kulit mendadak, dan bersifat rekuren. Karakteristik lesi targetnya
pada kulit dan oral ulseratif sangat berfariasi sesuai namanya
“multiformis” merupakan kombinasi bulla dan papula, macula, dan
ulser. Etiologinya belum diketahui secara pasti, tapi penyakit ini dapat
disebabkan reaksi hipersensitifitas dari beberapa faktor predisposisinya
antara lain adalah alergi terhadap obat obatan (antikonvulsan
carbamazepine, fenitoin, fenobarbital, penisilin, barbiturate, AINS
seperti oxicam,sulfonamide) penyakit autoimmune, penyakit sistemik,/
keganasan, stress, emosi.
Terjadinya eritema multiformis berawal dari suatu deposisi dari
kompleks imun dalam mikrovaskular dari kulit dan mukosa. Reaksi
hipersensitifitas type III di tandai dengan oleh pembentukan kompleks
antigen. Selanjutnya IgG dan IgM di dalam darah atau jaringan akan
mengaktifkan komplemen, lalu melepaskan mediator (enzim) sehingga
antigen akan terfiksasi dan membentuk C3a dan C5a yang akan
merangsang sel matosit dan basophil melepas granul. Sehingga
kompleks imun beredar dan mengendap di daerah kulit dan mukosa
dengan menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi complement.
Berdasarkan keterlibatannya di kulit dan mukosa mulut, dapat di
bedakan menjadi 2 antara lain:
a. Eritema multiple minor.
Pada eritema multiple minor sering di jumpai di mukosa rongga
mulut. Lesi dapat sembuh sendiri tanpa di lakukan perawatan dalam
waktu 1-3 minggu. Hanya bersifat akut dan rekuren sedangkan yang
kronik jarang terjadi. Hanya melibatkan 1 pemukaan di kulit atau
mukosa mulut. Bentuk lesi mirip telur mata sapi. Awalnya lesi kecil
dan merah dengan diameter 0,2-2cm kemudian membesar dan
membentuk daerah putih pucat/ jernih di tengahnya setelah itu lesi
membentuk vesikel atau bula menyatu dan pecah. Umumnya lesi
berbentuk lebar kasar dan dangkal dengan tepi yang eritematosus.
Kulit nekrotik dan mengelupas terdapat pseudomembran menutupi
lesi dan terdapat plak urtikaria yang tidak pecah. Secara intra oral
terlihat macula berwarna merah, ulserasi multiple, dan erosi.
Kelainan ini terbatas pada pipi, mukosa bibir, palatum dan lidah atau
melibatkan seluruh daerah tersebut. Tapi gingivanya jarang terlibat.
Sedangkan pada bibir di temukan adanya krusta berwarna merah
gelap dan coklat yang khas.
b. Eritema multiple mayor.
Pemberian obat antikonvulsi seperti dilatin yang dibarengkan dengan
carbamazepine bisa menyebabkan eritema multiformis mayor.
Keadaan ini diperparah dengan adanya oral hygiene yang buruk.
Pada pemeriksaan ekstra oral rongga mulut, di bibir ditemukan
krusta merah kehitaman, lengket, dan terdapat pembengkakan
kelenjar limfe. Pada pemeriksaan intraoral terdapat ulser pada lidah
dan kandidiasis.
Ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa adanya lesi ini
berhubungan dengan reaksi alergi obat. Pada pemberian obat-obatan
antikonvulsi seperti carbamazepine dapat menyebabkan alergi.
Disebabkan sebagai reaksi hipersensitivas tipe II. Di mana
hipersensitivitas tipe II gejala reaksinya bergantung kepada sel
sasaran, dan sasaran utamanya pada kulit berupa destruksi
keratinosit. Adanya reaksi imun sitotoksik ini mengakibatkan
apoptosis keratinosit yang menyebabkan kerusakan pada jaringan
mukosa.
2. Hiperplasia gingival.
Hiperplasia gingiva merupakan pertumbuhan gingiva yang berlebih, hal
ini bisa dikarenakan adanya keradangan pada daerah tersebut dan
ditandai dengan gusi yang mengalami perbesaran , inflamasi, dan
terkadang terdapat pendarahan. Pada penderita epilepsi, pasien tersebut
diberikan terapi obat Fenitoin, dimana pada obat tersebut dapat
menyebabkan adanya peningkatan sintesis protein kolagen secara
sinergis oleh fibroblas gingiva. Namun hal ini tidak akan terjadi jika
tidak dipengaruhi oleh adanya inflamasi. Inflamasi karena plak bakteri
akan menyebabkan meningkatnya produksi jaringan konektif secara
alami sehingga menyebabkan membesarnya gingiva.
3. Angular chelitis
Angular cheilitis merupakan inflamasi akut atau kronis pada sudut
mulut yang ditandai dengan adanya fisur-fisur, retak-retak pada sudut
bibir, berwarna kemerahan, ulserasi disertai rasa terbakar, nyeri dan
rasa kering pada sudut mulut. Pada kasus yang parah, retakan tersebut
dapat berdarah ketika membuka mulut dan menimbulkan ulser dangkal
atau krusta.
Penyebab angular cheilitis yang menonjol pada anak-anak adalah
defisiensi nutrisi. Defisiensi nutrisi yang dimaksud biasanya disebabkan
kurangnya asupan vitamin B kompleks (riboflavin), zat besi dan asam
folat. Pada penggunaan obat Fenitoin, jumlah asam folat menjadi
tereduksi oleh obat tersebut, oleh karenanya menjadi berkurang. Hal ini
yang kemudian menjadikan adanya angular chelitis.
Selain karena penggunaan obat antikonvulsi yang dapat
menyebabkan terjadinya berbagai menifestasi di rongga mulut, orang yang
mengalami epilepsi namun mempunyai gejala kejang, maka akan
mengakibatkan beberapa hal yang juga berpengaruh terhadap keadaan
rongga mulut penderita, antara lain sebagai berikut:
1. Pasien epilepsi cenderung mudah terjadi trauma yang akhirnya akan
menyebabkan gigi mudah patah, hal oini dimungkinkan akibat adanya
gerakan membuka dan menutup mulut berlebihan disertai dengan
mengunyah-nguyah dan efek kontraksi otot mastikasi yang berkerja
terlalu berlebih.
2. Stomatitis dapat terjadi jika salah satunya terdapat trauma, trauma ini
mungkin diakibatkan karena gerakan menggigit mukosa pada saat
pasien dalam kondisi tidaksadarkan diri apabila terjadi kejang.
3. Ulser pada lidah yang diakibatkan karena penderita epilepsi menggigit-
gigit lidahnya.
3. Penatalaksanaan di bidang kedokteran gigi tentang kelainan epilepsi.
Sebelum perawatan , hal-hal yang harus diperhatikan :
- Dokter gigi perlu mengetahui riwayat pasien penderita epilepsi. Mulai
dari obat jenis apa yang digunakan, bagaimana keadaan pasien ketika
kejang, sudah berapa lama pasien menderita kejang.
- Operator sebisa mungkin untuk membuat pasien merasa nyaman karena
jika pasien dalam kondisi stress maka akan memicu terjadinya kejang.
Untuk mengurangi stress selama perawatan bisa diberikan anti depresan
sebelum perawatan.
- Operator harus cepat dalam menangani perawatan rongga mulut pasien
epilepsy
- Upayakan penggunaan general anestesi karena local anestesi dapat
menimbulkan bangkitan.
Pada saat perawatan pasien mengalami kejang. Tindakan yang harus
dilakukan :
- Memepertahankan jalan nafas
- dental chair harus direndahkan dan tangan pasien harus dijaga agar
tidak menjangkau alat- alat kedokteran gigi.
- Jika pasien kejang lebih dari 5 menit harus segera dibawa ke RS.
- Keluarkan protesa dari rongga mulut dan longgarkan pakaian yang
ketat.
- Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen.
- Setiap usaha untuk memasukkan pelindung atau alat didalam mulut
pasien, harus dilakukan dengan hati-hati karena dikhawatirkan
mengganggu jalanya pernafasan.
Pertimbangan dental pada pasien epilepsi :
- Apabila ingin membuat gigi tiruan , disarankan gigi tiruan cekat. Hal ini
untuk menghindari apabila dipakai gigi tiruan lepasan jika terjadi
kejang bisa saja gigi tiruan lepas dan bahkan tertelan dan dapat
mengganggu jalannya nafas.
- Disarankan pula untuk penggunaan jaket akrilik untuk mahkota
sehingga meminimalkan/menghindari terjadi fraktur.
- Pada pasien epilepsi yang memiliki manifestasi oral hiperplasi gingiva ,
bisa dilakukan tindakan gingivektomi melalui prosedur
elektrokauterisasi atau laser juga bisa dengan instrumen bedah.
- Kontrol efektif plak untuk mengurangi dan mencegah hiperplasi
gingiva setelah dilakukan gingivektomi.
- Jika terdapat gigi yang avulsi akibat kejang, maka pegang mahkotanya
secara hati-hati, simpan dalam susu atau didalam saliva pasien. Tidak
disarankan untuk menyikat gigi yang lepas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta,priguna. 2009. Neuroogi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian
Rakyat.
Arif M., Suprohaita., Wahyu I.W & Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi ke-3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. pp: 1726.
Arifin, M.T. 2004. Epilepsi, Bagaimana Jalan Keluarnya?.
http://www.InovasiOnlineVol_2XVINovember2004Epileps
i,BagaimanaJalanKeluarnya.htm . (6 Agustus 2008).
Harsono. 2001. Epilepsi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Taufik Adrian. 2010. Carbamazepine (Anti Konvulsi) dalam Terapi Epilepsi
sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus).
Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru,
2001:170-71.
Utama W Harry, Kurniawan Dedy.2007. Erupsi Alergi Obat. Jakarta: Wordpress.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi
Foster, TD, Lilian Yuwono (alih bahasa). 2003.Buku Ajar Ortodonsi. EGC :
Jakarta
Pedersw.Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC
Mehmet Yaltirik et al. 2011. Management of Epileptic Patients in Dentistry dalam
Surgical Science, 2012, 3, Hal 47-52.
Girbiz, Taskin. 2010. Epilepsy and Oral Health. Departement of Pedodontics,
Faculty of Dentistry, Ataturk Univesity, Erzurum, Turkey.