laporan tutorial ske 1
TRANSCRIPT
T1
LAPORAN TUTORIAL
BLOK GERIATRI
SKENARIO 1
‘Jatuh pada Geriatri’
Kelompok A2 :
Aisah Kusumaning A. (G0011009)
Aulia Muhammad Fikri (G0011045)
Egtheastraqita C. (G0011081)
Fitri Febrianti R. (G0011 095)
Nisa’u Luhtfi Nur A. (G0011151)
Sausan Hana Maharani (G0011193)
Arga Scorpianus R. (G0011035)
Chendy Endriansa (G0011059)
Itqan Ghozali (G0011119)
Septian Sugiarto (G0011195)
Anandhita Ayu T. (G0010017)
Tutor : Balqis,dr,MSc,CM.FM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua merupakan proses fisiologis yang akan dilalui oleh
seseorang ketika bertambah usianya. Pada proses menua banyak terjadi
perubahan pada kondisi fisik, mental maupun sosial seseorang. Perubahan
kondisi fisik dapat merupakan hal yang normal atau fisiologis, maupun
merupakan proses patologis seseorang. Perubahan fisik berpengaruh kepada
kualitas hidup seseorang. Pada lansia banyak terjadi perubahan fisik yang
menyebabkan kesulitan pada kehidupannya sehari-hari.
Skenario 1
Trilogi Eyang Yoso I: Jatuhnya Sang Pejuang
Eyang Yoso, seorang pensiunan ABRI, yang masih bugar di usianya yang
60 tahun, tiba-tiba jatuh pada saat jalan-jalan di pagi hari bersama istrinya.
Esok harinya nyeri lututnya ambuh kembali, bahkan sulit digerakkan dan
minta dibawa ke dokter. Pemeriksaan dokter tekanan darah 190/100 mmHg. Hasil
pemeriksaan laboratorium UGD didapatkan GDS 200 mg/dL, Hb 10,5 gr% tidak
ditemukan proteinuria. EKG dalam batas normal.
Penderita mengeluhkan mata kabur, pendengaran berkurang dan sering
lupa. Jika berjalan merasa tidak stabil dan nggliyng (serasa ingin jatuh).
Sebelumnya beliu=au minum bisoprolol dan HCT secara rutin, kadang-
kadang mengkonsumsi juga antalgin atau meloxicam yang dibeli di took obat
untuk meredam nyeri sendi.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Klarifikasi Istilah
Pada skenario ini kelompok kami melakukan klarifikasi beberapa istilah
seperti:
1. GDS
2. Bisoprolol
3. Meloxicam
4. HCT
5. Antalgin
6. Proteinuri
B. Menetapkan/Mendefinisikan Masalah
Pada skenario ini ada beberapa masalah yang kami tentukan untuk bahan
diskusi, antara lain :
1. Teori proses menua.
2. Fisiologi proses menua. Perubahan yang terjadi pada geriatri.
3. Jatuh pada geriatri.
4. Gangguan keseimbangan.
5. Polifarmasi.
6. Penurunan efek obat pada geriatri.
7. Diagnosis Banding:
a. Diabetes Melitus pada geriatri
b. Osteoartritis
c. Osteoporosis
d. Demensia
C. Analisis Masalah (Menjawab, membahas dan melaporkan hasil diskusi
masalah yang ada)
1. Teori Proses Menua
a. Teori “Genetic Clock”
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program
jam genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu
tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan
berhentinya proses mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian
Haiflick, (1980) dikutif Darmojo dan Martono (1999) dari teori itu
dinyatakan adanya hubungan antara kemampuan membelah sel dalam kultur
dengan umur spesies Mutasisomatik (teori error catastrophe) hal penting
lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-aktor penyebab
terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan
terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi
dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori ini terjadinya
mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.
b. Teori mutasi somatik (Error catasthrope)
Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik
adalah hipotesis “Error Castastrophe” (Darmojo dan Martono, 1999).
Menurut teori tersebut menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai
macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia. Akibat kesalahan tersebut
akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan
sel dan fungsi sel secara perlahan.
c. Teori “Autoimun”
Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca tranlasi yang
dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatik
menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan
mengakibatkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya
Goldstein(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin
bertambahnya prevalensi auto antibodi pada lansia (Brocklehurst,1987
dikutif dari Darmojo dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya
serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis
meningkat sesuai dengan menigkatnya umur (Suhana,1994 dikutif dari
Nuryati, 1994)
d. Teori “Free Radical”
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam
tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal
Hidroksil (OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat
merusak karena sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA,
protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutif dari
Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin
banyak terbentuk radikal bebas, sehingga poses pengrusakan terus terjadi ,
kerusakan organel sel makin banyak akhirnya sel mati.
e. Teori menua akibat metabolisme
Pada tahun 1935 McKay et al memperlihatkan bahwa pengurangan
“intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Hewan yang paling terlambat pertumbuhannya dapat
mencapai umur 2x lipat umur kontrol. Lebih jauh ternyata perpanjangan
umur tersebut berasosiasi dengan tertundanya proses degenerasi. Pentingnya
metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang, dikemukakan oleh
Balin dan Allen (1989) yang meneliti lalat (Drosophilla melanogaster).
Hewan yang berhibernasi selama musim dingin memiliki umur lebih
panjang dibandingkan kontrol, hal itu menunjukkan jumlah kalori yang
dikeluarkan untuk metabolisme selama hidup adalah sama walaupun
umurnya berbeda. Modifikasi cara hidup yang kurang bergerak menjadi
lebih banyak bergerak mungkin juga dapat meningkatkan umur panjang
(Darmojo, 2011).
2. Fisiologi Proses Menua (Setiabudhi, 1999):
a. Perubahan pada Sistem Sensoris
Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling
berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau membentuk
hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan
masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada lansia yang
mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk
bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang
dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran,
pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari
persepsi sensori.
b. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam
proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan
akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna serta
kekeruhan lansa mata, yaitu katarak.
Semakan bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar
kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di
antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya
ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat
proses menua:
Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan
akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih
lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan
kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan
jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf-
huruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang
dekat.
Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil
mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah
penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran dalam
membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan sensitivitas
terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan
dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian
ketinggian), perubahan dalam persepsi warna.
Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata
berpotensi terjadi sindrom mata kering.
c. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis
dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia
disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat
proses menua:
Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal
ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi
dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini
adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan untuk
mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara
dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran
timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi
lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit
menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal
ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada
gangguan konduksi suara.
d. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional
apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan
kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah kehilangan
orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda dan
tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat
umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik
dengan lansia.
e. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat
seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu
keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan
akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas
terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.
f. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh
zat kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman
akibat proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman
kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai
pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek,
influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi
dari hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau.
g. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan
dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak
lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit,
lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar mata
hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat
penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput.
Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan
penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi
menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total,
menimbulkan penurunan turgor kulit.
Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambahan massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar
2,5% per dekade.
i. Stratum Koneum
Stratum korneun merupakan lapisan terluar dari epidermis yang
terdiri dari timbunan korneosit. Berikut ini merupakan perubahan yang
terjadi pada stratum koneum akibat proses menua:
Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama. Implikasi dari
hal ini adalah apabila terjadi luka maka waktu yang diperlukan untuk
sembuh lebih lama.
Pelembab pada stratum korneum berkurang. Implikasi dari hal ini
adalah penampilan kulit lebih kasar dan kering.
ii. Epidermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada epidermis
akibat proses menua:
Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses
perbaikan sel, dan penurunan jumlah kedalaman rete ridge. Implikasi
dari hal ini adalah pengurangan kontak antara epidermis dan dermis
sehingga mudah terjadi pemisahan antarlapisan kulit, menyebabkan
kerusakan dan merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini adalah
perlindungan terhadap sinar ultraviolet berkurang dan terjadinya
pigmentasi yang tidal merata pada kulit.
Penurunan jumlah sel langerhans sehingga menyebabkan
penurunan konpetensi imun. Implikasi dari hal ini adalah respon
terhadap pemeriksaan kulit terhadap alergen berkurang.
Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari hal ini adalah
perubahan kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan
yang abnormal seperti keratosis seboroik dan lesi kulit papilomatosa.
iii.Dermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis akibat
proses menua:
Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan
penipisan dermal dan jumlah sel berkurang. Implikasi dari hal ini
adalah lansia rentan terhadap penurunan termoregulasi, penutupan dan
penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan
penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat topikal.
Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-
enzim. Implikasi dari hal ini adalah perubahan dalam penglihatan
karena adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata, turgor kulit
menghilang.
Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil.
Implikasi dari hal ini adalah kulit tampak lebih pucat dan kurang
mampu malakukan termoregulasi.
iv. Subkutis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada subkutis akibat
proses menua:
Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan. Implikasi dari hal
ini adalah penampilan kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang
rangka.
Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi dari hal
ini adalah gangguan fungsi perlindungan dari kulit.
v. Bagian tambahan pada kulit
Bagian tambaha pada kulit meliputi rambut, kuku, korpus pacini,
korpus meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rambut, kuku,
korpus pacini, korpus meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea
akibat proses menua:
Berkurangnya folikel rambut. Implikasi dari hal ini adalah Rambut
bertambah uban dengan penipisan rambut pada kepala. Pada wanita,
mengalami peningkatan rambut pada wajah. Pada pria, rambut dalam
hidung dan telinga semakin jelas, lebih banyak dan kaku.
Pertumbuhan kuku melambat. Implikasi dari hal ini adalah kuku
menjadi lunak, rapuh, kurang berkilsu, dan cepet mengalami
kerusakan.
Korpus pacini (sensasi tekan) dan korpus meissner (sensasi
sentuhan) menurun. Implikasi dari hal ini adalah beresiko untuk
terbakar, mudah mengalami nekrosis karenan rasa terhadap tekanan
berkurang.
Kelenjar keringat sedikit. Implikasi dari hal ini adalah penurunan
respon dalam keringat, perubahan termoregulasi, kulit kering.
Penurunan kelenjar apokrin. Implikasi dari hal ini adalah bau badan
lansia berkurang.
h. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia,
perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena
penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa
hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-
arsitektur berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun
spontan.
i. Sistem Skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh
mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi
pada sistem skeletal akibat proses menua:
Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan
didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis.
Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk
dengan penampilan barrel-chest.
Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi
sebagai perlindungan terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
ii. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
muskular akibat proses menua:
Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.
Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi,
pergerakan yang kurang aktif.
Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan
sendi, penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan
degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
fleksi.
iii. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat
proses menua:
Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal
ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas.
Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko cedera.
iv. Estrogen
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua,
yaitu penurunan hormon esterogen. Implikasi dari hal ini adalah
kehilangan unsur-unsur tulang yang berdampak pada pengeroposan
tulang.
i. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10 – 20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat
kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20
tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini
kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang
rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million
sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat.
Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat
mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi
penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70
tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi
fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin
(pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan
berasal dari lisosom atau mitokondria.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis
akibat proses menua:
Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah
refleks tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi.
Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari hal ini
adalah vasokonstriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna.
Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari hal ini
adalah bahaya kehilangan panas tubuh.
j. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural
maupun fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering
terjadi ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan
penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi. Jumlah detak jantung saat
istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada perubahan, namun detak
jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada
dewasa muda, kecepatan jantung dibawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit.
Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun menjadi 140-160 x/menit.
i. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara
signifikan terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh
lingkungan merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai
keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot
jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti
penimbunan amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin,
penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan peningkatan jaringan
fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi
dan atrofi pada usia 30-70 tahun.
Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem
kardiovaskular akibat proses menua:
Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas
kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini
adalah ketidakmampuan jantung untuk distensi dan
penurunankekuatan kontraktil.
Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his
kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.
Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.
Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan
medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon
baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin.
Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini
adalah vena menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara
sempurna sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas
bawah dan penumpukan darah.
ii. Perubahan pada Sistem Pulmonal
Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding
dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20%
pada usia 60 tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2
liter/dekade.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
pulmonal akibat proses menua:
Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan
pembesaran alveoli. Implikasi dari hal ini adalah penurunan daerah
permukaan untuk difusi gas.
Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari
hal ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume.
Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari
hal ini adalah dispnea saat aktivitas.
Kalsifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah Emfisema sinilis,
pernapasan abnominal, hilangnya suara paru pada bagian dasar.
Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Implikasi dari hal ini adalah atelektasis.
Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah
akumulasi cairan, sekresi kental dan sulit dikeluarkan.
Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini
adalah hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif.
Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah
tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru pada
gangguan asam basa.
k. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar
gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini
adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan.
Frekuensi hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75%
dari jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan
“apatheic thyrotoxicosis”.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin
akibat proses menua:
Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa
darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.
Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit
menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.
l. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal,
bladder, uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi
terlait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam
mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan
akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.
i. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1
juta nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron
terjadi sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan
kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai
penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja
nefron dan akhirnya mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan
matabolik sistem renal.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal
akibat proses menua:
Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis
pada area fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami
penurunan, panjang dan volume tubulus proksimal berkurang, dan
penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi
menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang
mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada
lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring
protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia.
Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total
lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus,
penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal
ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi.
Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari
saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
risiko osteoporosis.
ii. Perubahan pada Sistem Urinaria
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua,
yaitu penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL),
peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi
kandung kemih yang tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung
kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko
inkotinensia.
m. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan
dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan
morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa,
kelenjar dan otot-otot pencernaan.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
gastrointestinal akibat proses menua:
i. Rongga Mulut
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga mulut
akibat proses menua:
Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusustan dan
fibrosis pada akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur
gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam
mempertahankan pelekatan gigi palsu yang lepas.
Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan
sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk
mendapatkan rasa yang sama kualitasnya.
Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut
tampak lebih merah dan berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena
penyusutan epitelium dan mengandung keratin.
Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang
yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui
mekanisme sebagai berikut: penyediaan enzim pencernaan, pelumasan
dari jaringan lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada
mulut, dan penyiapan makanan untuk dikunyah. Pada lansia produksi
saliva telah mengalami penurunan.
ii. Esofagus, Lambung, dan Usus
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada esofagus,
lambung dan usus akibat proses menua:
Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan
refleks muntah. Implikasi dari hal ini adalahpeningkatan terjadinya
risiko aspirasi.
Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung
sebesar 11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah
perlambatan dalam mencerna makanan dan mempengaruhi
penyerapan vitamin B12, bakteri usus halus akan bertumbuh secara
berlebihan dan menyebabkan kurangnya penyerapan lemak.
Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan
konstipasi sering terjadi.
iii. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas
Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah sampai
35% pada usia lebih dari 80 tahun.5 Berikut ini merupakan perubahan
yang terjadi pada saluran empedu, hati, kandung empedu, dan
pankreas akibat proses menua:
Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah
terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein
dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar
gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL).
Perubahan proporsi lemak empedu tampa diikuti perubahan
metabolisme asam empedu yang signifikan. Implikasi dari hal ini
adalah peningkatan sekresi kolesterol.
n. Perubahan pada Sistem Reproduksi
i. Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
reproduksi pria akibat proses menua:
Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur.
Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia
noduler benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.
ii. Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
reproduksi wanita akibat proses menua:
Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah
atrofi jaringan payudara dan genital.
Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini
adalah penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan
fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis.
3. Etiologi, Faktor Intrinsik dan Faktor Ekstrinsik Jatuha. Etiologi Jatuh
Penyebab jatuh KeteranganKecelakaan Kecelakaan murni (terantuk,
terpeleset, dll)Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan
Sinkop Hilangnya kesadaran mendadakDrop attacks Kelemahan tungkai bawah mendadak
yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran
Dizziness dan/atau vertigo Penyakit vestibularPenyakit sistem saraf pusat
Hipotensi ortostatik Hipovolemia atau cardiac output yang rendahDisfungsi otonomGangguan aliran darah balik venaTirah baring lamaHipotensi akibat obat-obatanHipotensi postprandial
Obat-obatan DiuretikaAntihipertensiAntidepresi golongan trisiklikSedatifAntipsikotikHipoglikemiaAlkohol
Proses penyakit Berbagai penyakit akutKardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus karotidNeurologis: TIA, stroke akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbar atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi sistem saraf pusat (tumor, hematom subdural)
Idiopatik Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi (Sudoyo, 2009).
b. Faktor risiko intrinsik
Sinkop, drop attacks, dan dizziness merupakan penyebab jatuh pada
orang usia lanjut yang sering disebut-sebut. Beberapa penyebab sinkop
pada orang usia lanjut yang perlu dikenali antara lain respon vasovagal,
gangguan kardiovaskular (bradi dan takiaritmia, stenosis aorta),
gangguan neurologis akut (TIA, stroke, atau kejang), emboli paru, dan
gangguan metabolik (Sudoyo, 2009).
Drop attacks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang
menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut
seringkali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh
perubahan posisi kepala (Sudoyo, 2009).
Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan merupakan
keluhan yang sering diutarakan oleh orang usia lanjut yang mengalami
jatuh. Pasien yang mengeluh rasa ringan di kepala harus dievaluasi
secermat mungkin adanya hipotensi postural atau depresi volume
intravaskular. Di sisi lain, vertigo merupakan gejala yang lebih spesifik
walaupun merupakan pemicu jatuh yang lebih jarang. Kondisi ini
dikaitkan dengan kelainan pada telinga bagian dalam seperti labirinitis,
penyakit Meniere, dan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
Iskemia dan infark vertebrobasiler, serta infark serebelum juga dapat
menyebabkan vertigo (Sudoyo, 2009).
Kebanyakan pasien usia lanjut dengan gejala dizziness dan
unsteadiness merasa cemas, depresi, sangat takut jatuh, sehingga evaluasi
gejala menjadi semakin sulit. Beberapa pasien, terutama pada mereka
dengan gejala ke arah vertigo, memerlukan pemeriksaan otologi,
termasuk uji auditori, yang dapat membedakan lebih jelas antara gejala
akibat gangguan telinga dalam atau adanya keterlibatan sistem saraf
pusat (Sudoyo, 2009).
Sekitar 10-20 persen orang usia lanjut mengalami hipotensi ortostatik
yang sebagian besar tidak bergejala. Namun, beberapa kondisi dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya
jatuh. Kondisi-kondisi tersebut antara lain curah jantung rendah akibat
gagal jantung atau hipovolemia, disfungsi otonom (sebagai akibat
diabetes melitus), gangguan aliran balik vena (insufisiensi vena), tirah
baring lama dengan deconditioning otot dan refleks, serta beberapa obat.
Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi perlu dipahami sehingga
tatalaksana hipertensi yang baik amat diperlukan untuk mencegah
timbulnya hipotensi ortostatik tersebut (Sudoyo, 2009).
Beberapa penyakit, terutama penyakit kardiovaskular dan neurologis,
dapat berkaitan dengan jatuh. Sinkop dapat merupakan gejala stenosis
aorta dan merupakan indikasi perlunya evaluasi pasien akan adanya
stenosis aorta yang memerlukan penggantian katup. Beberapa pasien
memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan mengalami sinkop
karena refleks tonus vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, atau
berkemih sehingga terjadi bradikardia atau hipotensi (Sudoyo, 2009).
Stroke akut dapat menyebabkan jatuh atau memberikan gejala jatuh.
TIA sirkulasi anterior dapat menyebabkan kelemahan unilateral dan
memicu jatuh. TIA sirkulasi posterior (vertebrobasiler) mungkin juga
dapat mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan satu atau lebih
gejala lain seperti disartria, ataksia, kelemahan tungkai, dan
berkurangnya lapangan pandang. Insufisiensi vertebrobasiler seringkali
disebut sebagai penyabab drop attacks; kompresi mekanik arteri
vertebralis oleh osteofit spina vertebra servikal manakala kepala diputar
disebutkan pula sebagai penyebab ketidakstabilan dan jatuh (Sudoyo,
2009).
Penyakit lain pada otak dan sistem saraf pusat dapat pula
menyebabkan jatuh. Penyakit Parkinson dan hidrosefalus tekanan normal
menyebabkan gangguan gaya berjalan yang menyebabkan instabilitas
dan jatuh. Gangguan serebelum, tumor intrakranial, dan hematoma
subdural juga menyebabkan ketidakstabilan (unsteadiness) dengan
kecenderungan mudah jatuh (Sudoyo, 2009).
c. Faktor risiko ekstrinsik
Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di
lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh.
Berbagai faktor tersebut antara lain lampu ruangan yang kurang terang,
lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau
tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi/closet
terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan,
tali atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-
benda di lantai yang membuat seseorang terantuk.
Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh pada orang usia
lanjut. Misalnya, obat diuretika yang dikonsumsi menyebabkan
seseorang berulang kali harus ke kamar kecil untuk buang air kecil atau
efek mengantuk dari obat sedatif sehingga seseorang menjadi kurang
waspada saat berjalan (Sudoyo, 2009).
d. Komplikasi yang Mungkin Timbul Setelah Jatuh pada Geriatri
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti
tersebut di bawah ini:
i. Perlukaan (injury)
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena.
Patah tulang (fraktur): pelvis, femur (terutama kollum), humerus,
lengan bawah, kista)
Hematom subdural
ii. Perawatan rumah sakit
Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
Risiko penyakit-penyakit iatrogenik
iii. Disabilitas
Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
iv. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)
v. Kematian (Martono dan Pranaka, 2011)
Lebih dari 50 % jatuh pada orang tua mengakibatkan cedera.
Meskipun sebagian besar luka tidak serius (misalnya, kontusio dan
abrasi), luka jatuh yang terkait sekitar 5% dari rawat inap pada pasien
berusia ≥ 65 tahun. Sekitar 5 % jatuh menyebabkan patah tulang
humerus, pergelangan tangan atau panggul. Sekitar 2% jatuh
menyebabkan patah tulang pinggul (Krucik, 2013).
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia
memunjukkan bahwa risiko patah tulang tidak hanya ditentukan oleh
densitas massa tulang, melainkan juga oleh faktor lain yang berkaitan
dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatnya risiko untuk jatuh.
Densitas massa tulang dan ayunan tubuh (sway), merupakan faktor
prediktor untuk risiko terjadinya patah tulang osteoporotik, akan tetapi
kombiniasi densitas massa tulang rendah dan ayunan tubuh yang
meningkat merupakan risiko patah tulang yang lebih tinggi. Didapatkan
data bahwa ada hubungan yang kuat antara frekuensi kejadian jatuh
dengan risiko terjadinya patah tulang. Didapatkan pula data tipe jatuh
yang meningkatkan risiko patah tulang panggul, yakni jatuh ketika posisi
sedang berputar. Beberapa faktor risiko patah tulang panggul pada pasien
yang mengalami jatuh antara lain falls to the side, densitas tulang
panggul yang rendah, dan gangguan mobilitas (Sudoyo, 2009).
Luka serius lainnya (misalnya, luka dalam dan luka kepala, laserasi)
terjadi pada sekitar 10% jatuh. Beberapa cedera yang berhubungan
dengan jatuh berakibat fatal. Sekitar 5 % dari orang tua dengan patah
tulang pinggul meninggal saat dirawat di rumah sakit, kematian secara
keseluruhan dalam 12 bulan setelah patah tulang pinggul berkisar 18-33
%. Sekitar setengah dari orang tua yang jatuh tidak bisa bangun tanpa
bantuan. Selain itu, pasien yang di atas lantai selama > 2 jam setelah
jatuh meningkatkan risiko dehidrasi, ulkus akibat tekanan,
rhabdomyolysis, hipotermia, dan pneumonia (Rubenstein, 2013).
Ketika orang lansia jatuh, tergantung pada parahnya cedera, orang
tersebut dapat terkena pneumonia sebagai akibat imobilitas atau berada di
tempat tidur. Pneumonia adalah infeksi yang dapat terjadi pada orang
lansia sebagai akibat dari penurunan sistem kekebalan tubuh yang terjadi
secara alami dalam penuaan. Orang lansia lebih rentan terhadap
pneumonia berat dan komplikasi dari pneumonia daripada orang yang
lebih muda. Kematian akibat pneumonia berkisar setinggi 80% pada
orang berusia 60 tahun dan orang yang lebih tua. Jatuh sering
menyebabkan imobilitas yang dapat menyebabkan terisolasi di tempat
tidur. Istirahat di tempat tidur dapat menyebabkan peradangan paru-paru
yang dapat berkembang menjadi pneumonia. Khususnya karena
penurunan resistensi terhadap infeksi karena berkurangnya kekebalan
tubuh secara umum dan infeksi dari pneumonia. Setelah usia 60 tahun,
kemungkinan terjadi peningkatan pneumonia untuk orang lansia yang
lebih tua dan komplikasi dari infeksi ini yang dapat berakhir dengan
kematian (Fitzwater, 2008).
Fungsi dan kualitas hidup dapat memburuk secara drastis setelah
jatuh, setidaknya 50 % dari orang tua yang bisa berjalan sendiri sebelum
dirawat akibat patah tulang pinggul tidak membaik dari tingkat mobilitas
sebelumnya. Setelah jatuh, orang tua mungkin takut jatuh lagi, sehingga
mobilitas kadang-kadang berkurang karena rasa percaya diri (untuk tidak
jatuh lagi) menghilang. Beberapa orang bahkan mungkin menghindari
kegiatan tertentu (misalnya, belanja, membersihkan) karena takut jatuh
lagi. Penurunan aktivitas dapat meningkatkan kekakuan sendi dan
kelemahan sehingga pada tahap lebih lanjut dapat mengurangi mobilitas
(Rubenstein, 2013).
4. Gangguan Keseimbangan
Gbr 1. Sistem vestibular yang berkaitan di dalam telinga.
Gangguan keseimbangan merupakan kondisi yang membuat pasien
merasa tidak seimbang atau pusing, seolah-olah sedang bergerak, berputar,
atau terbang, meskipun pasien sedang berdiri atau berbaring. Gangguan
keseimbangan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi kesehatan,
pengobatan, atau gangguan pada telinga dalam atau otak (NIDCD, 2013).
Persepsi keseimbangan terutama diatur oleh struktur yang menyerupai
jaringan di dalam telinga bagian dalam yang disebut labyrinth, yang terbuat
dari tulang dan jaringan lunak. Pada ujung labyrinth terdapat sistem yang
rumit berupa seperti lilitan dan kantung yang disebut canalis semicircularis
dan organ otolitik yang membantu mempertahankan keseimbangan. Pada
ujung yang lain terdapat organ berbentuk siput yang disebut cochlea yang
memungkinkan untuk mendengar. Istilah medis untuk semua bagian dari
telinga bagian dalam yang terlibat dengan keseimbangan adalah sistem
vestibular (NIDCD, 2013).
Jika keseimbangan terganggu, pasien merasa seolah-olah kamarnya
berputar. Pasien mungkin terhuyung-huyung ketika pasien mencoba untuk
berjalan atau jatuh ketika Anda mencoba untuk berdiri. Beberapa gejala
yang mungkin Anda alami adalah:
a. Pusing atau vertigo (sensasi berputar)
b. Jatuh atau merasa seolah-olah Anda akan jatuh
c. Sensasi ingan, pingsan, atau mengambang
d. Penglihatan kabur
e. Kebingungan atau disorientasi
Gejala lain adalah mual dan muntah, diare, perubahan denyut nadi dan
tekanan darah, dan takut, cemas, panik. Beberapa pasien merasakan lelah,
depresi atau tidak dapat berkonsentrasi. Gejala-gejala tersebut dapat timbul
dan hilang pada waktu yang singkat atau lebih lama beberapa waktu
(NIDCD, 2013).
Gangguan keseimbangan dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri
di telinga, cedera kepala, atau gangguan sirkulasi darah yang mempengaruhi
telinga bagian dalam atau otak. Banyak orang mengalami gangguan
keseimbangan ketika usia mereka bertambah. Gangguan keseimbangan dan
pusing juga bisa terjadi akibat minum obat tertentu.
Selain itu, gangguan dalam sistem visual, rangka, saraf, dan peredaran darah
dapat menjadi sumber dari beberapa postur dan keseimbangan. Gangguan
sistem peredaran darah, seperti tekanan darah rendah, dapat menyebabkan
perasaan pusing ketika kita tiba-tiba berdiri. Gangguan dalam sistem tulang
atau visual, seperti arthritis atau ketidakseimbangan otot mata, juga dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan. Namun, gangguan keseimbangan
banyak dapat mulai secara tiba-tiba dan tanpa sebab yang jelas (NIDCD,
2013).
Menurut Krucik (2013) gangguan berjalan, keseimbangan, dan
koordinasi sering disebabkan oleh kondisi tertentu, antara lain: a. nyeri
sendi seperti artritis, b. multiple sclerosis (MS), c. penyakit Meniere, d.
pendarahan otak, e. tumor otak, f. penyakit Parkinson, g. kompresi sumsum
tulang belakang atau infark, h. Guillain Barre syndrome, i. neuropati perifer,
j. miopati, k. cerebral palsy,l. gout, m. distrofi otot.
Obesitas, penyalahgunaan alkohol kronis, defisiensi vitamin B12, dan
stroke adalah penyebab lainnya. Kondisi ini juga merupakan hasil dari
vertigo, migrain, deformitas, dan obat-obatan tertentu termasuk
antihipertensi. Gangguan berjalan dan keseimbangan dapat diakibatkan dari
rasa nyeri, kelemahan otot, kekakuan otot atau kejang-kejang, kehilangan
keseimbangan, atau sikap tubuh yang buruk. Penyebab lainnya adalah
berbagai gerakan terbatas, mati rasa (defisit sensorik), dan kelelahan.
Kelemahan otot dapat terjadi pada satu kaki atau keduanya, dan membuat
sulit berjalan. Kaki mati rasa membuatnya sulit untuk tahu di mana kaki
bergerak atau apakah pasien menyentuh lantai (Krucik, 2013).
5. Polifarmasi
Polifarmasi adlaah penggunaan obat lebih dari lima atau pengobatan
yang melebihi indikasi klinis. Hal ini dapat terjadi karena pada kasus
geriatri terdapat banyak penyakit yang didapat dalam waktu bersamaan.
Banyaknya obat dapat saling berinteraksi dengan obat yang lain sehingga
dapat mengurangi efek obat serta meningkatkan timbulnya efek samping.
Efek samping yang timbul dari obat membuat pasien mengira adanya
gangguan lain sehingga pasien meminum obat lain untuk untuk
menghilankan efek samping tersebut. Berbagai alasan yang membuat
polifarmasi sukar dihindari adalah:
a. Penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis
b. Obat diresepkan oleh beberapa dokter
c. Kurang koordinai dalam pengelolaan
d. Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
e. Pasien meminta resep
f. Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru
Polifarmasi dapat dicegah atau dikurangi dengan cara berikut:
a. Menyakan riwayat pengobatan lengkap
b. Jangan memberikan obat sebelum waktunya
c. Jangan memberikan obat terlalu lama
d. Kenali obat yang digunakan
e. Mulai dengan dosis rendah
f. Beri dorongan untuk patuh berobat
g. Berhati-hati dalam penggunaan obat baru
(Sudoyo, 2009).
6. Penrurunan Efek Obat pada Geriatri
Pada usia lanjut terjadi penurunan fisiologi tubuh sehingga efek obat
yang didapat tidak sesuai dengan yang diinginkan. Interaksi dengna obat
lain juga dapat mempengaruhi efektifitas dari suatu obat. Beberapa
perubahan pada lansia yaitu pada proses (Tanu, 2009):
a. Absorpsi
Sekresi asam pada lambung berkurang sehingga absorpsi obat yang
bersifat asam akan terganggu karena suasana di lambung sudah tidak
cukup asam. Sekresi getah pada usus juga berkurang sehingga
mempengaruhi penyerapan obat yang bersifat basa.
b. Distribusi
Kadar albumin plasma yang berkurang menyebabkan kadar obat
bebas meningkat. Penurunan berat badan dan cairan tubuh serta
penambahan lemak tubuh dapat mengubah distribusi obat.
c. Metabolisme
Hepar lansia mengalami penurunan massa dan aliran darah yang
menuju hepar sehingga metabolisme obat di hepar terganggu. Sel
hepatosit serta aktifitas enzim berkurang sehingga mengganggu
metabolisme di hepar. Selain itu penggunaan alkohol dan status gizi
juga berpengaruh pada metabolisme obat.
d. Ekskresi
Eksresi melalui ginjal terganggu akibat penurunan filtrasi pada
glomerolus. Hal ini menyebabkan penumpukan obat pada tubuh
sehingga efek samping dari obat meningkat serta dapat menimbulkan
dosis toksik.
7. Diagnosis Banding
a. Diabetes Melitus
Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia
diperkirakan mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia),
dan nilai ini diperkirakan akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia
mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus
maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan
pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO
didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan
naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13
mg%/tahun pada 2 jam setelah makan (Subramaniam, 2005).
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik
dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia
juga mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain
lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari
DM dan adanya sindrom geriatri. Tulisan ini membahas perkembangan tata
laksana DM tipe 2 pada lansia dengan penekanan pada aspek khusus yang
berkaitan dengan bidang geriatri (Rohmah, 2007).
i. Patogenesis
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko
terhadap terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes.
Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah
puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah
140-199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi
gaya hidup mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan
penurunan berat badan dapat memperlambat perkembangan prediabetes
menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka pasien
ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM).1 Gangguan metabolisme
karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin,
hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin
postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar
glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal.
Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah
resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang
cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan
kadar glukosa yang tinggi pula (Rohmah, 2007).
Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4
faktor1 perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi
penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin,
perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat
berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama
insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS)
plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya
sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.
Selain gangguan metabolisme glukosa, pada DM juga terjadi
gangguan metabolisme lipid sehingga dapat terjadi peningkatan berat
badan sampai obesitas, dan bahkan dapat pula terjadi hipertensi. Bila
ketiganya terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut dikatakan
sebagai mengalami sindrom metabolik (Rohmah, 2007).
ii. Manifestasi Klinik
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan
berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring
dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk
glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa
darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu
seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia
penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat
hiperglikemia berat (Burduli, 2009).
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala,
seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan
tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional
(antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan
inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia
seringkali agak terlambat.5,6 Bahkan, DM pada lansia seringkali baru
terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V.
Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum
diagnosis DM ditegakkan (Burduli, 2009).
Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke,
pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/ psikis) dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang
sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu (TGT)
meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria
diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu
mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut (Burduli, 2009).
iii. Diagnosis
Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM,
dan kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh
sebab itu, American Diabetes Association (ADA) menganjurkan
penapisan (skrining) DM sebaiknya dilakukan terhadap orang yang
berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat
lebih pendek pada pasien berisiko tinggi (terutama dengan hipertensi dan
dislipidemia) (Kane, 2009).
Berikut ini adalah kriteria diagnosis DM menurut standar pelayanan
medis ADA 2010.
Sebagaimana tes diagnostik lainnya, hasil tes terhadap DM perlu
diulang untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali diagnosis
DM dibuat berdasarkan keadaan klinis seperti pada pasien dengan gejala
klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia. Tes yang sama dapat juga
diulang untuk kepentingan konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes
pada seorang pasien yang tidak bersesuaian (misalnya antara kadar gula
darah puasa dan HbA1C). Jika nilai dari kedua hasil tes tersebut
melampaui ambang diagnostik DM, maka pasien tersebut dapat
dipastikan menderita DM. Namun, jika terdapat ketidaksesuaian
(diskordansi) pada hasil dari kedua tes tersebut, maka tes yang
melampaui ambang diagnostik untuk DM perlu diulang kembali dan
diagnosis dibuat berdasarkan hasil tes ulangan. Jika seorang pasien
memenuhi kriteria DM berdasarkan pemeriksaan HbA1C (kedua hasil
>6,5%), tetapi tidak memenuhi kriteria berdasarkan kadar gula darah
puasa (<126 mg/dL) atau sebaliknya, maka pasien tersebut dianggap
menderita DM.
iv. Tata Laksana
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia
dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta,
harapan hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol
gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak
mutlak dan perlu disesuaikan secara individual menurut tingkat
disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan pengobatan. Anjuran
terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah sebagaimana
dianjurkan dalam guideline konsensus ADAEASD untuk terapi DM tipe
2.
Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2
tingkatan.
1). Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core
therapies). Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan
paling cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1
ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan &
olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.10
2). Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies). Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih
terbatasnya pengalaman klinis.Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah
tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis
(exenatide).10
Tingkat 1/Langkah 1 (Tier 1/Step 1)
Konsensus ADA-EASD (2008) menganjurkan untuk melakukan
intervensi segera setelah pasien terdiagnosis menderita DM. Intervensi
awal yang dilakukan adalah kombinasi modifikasi gaya hidup dan
pemberian metformin. Modifikasi gaya hidup pada lansia penderita DM
meliputi menjaga pola makan (diet) yang baik, olah raga dan penurunan
berat badan.
Modifikasi gaya hidup
Terapi diet
Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah tersendiri
karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa:11 keterbatasan
finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah
transportasi/ mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama
pada lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet
karena adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan
karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap,
meningkatnya kejadian konstipasi pada lansia. Total kalori dan
komposisi makanan juga harus diperhitungkan
Olah raga
Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga pada
lansia.11
Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta seperti
osteoartritis, parkinson, gangguan penglihatan, dan gangguan
keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di lingkungan yang
memang dekat, dan jenis olah raga yang dilakukan lebih bersifat isotonik
daripada isometrik.
Metformin
Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin dianjurkan sebagai
terapi obat lini pertama untuk semua pasienDM tipe 2 kecuali pada
mereka yang punya kon-traindikasi terhadap metformin misalnya antara
lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5
mg/dL pada pria dan >124 mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita),
gangguan fungsi hati, gagal jantung kongestif, asidosis metabolik,
dehidrasi, hipoksia dan pengguna alkohol. Namun, karena kreatinin
serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada
usia sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada
lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem kardiovaskular
dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian hipoglikemia.
Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia dibatasi oleh
adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan
perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi pada 30% pasien). Untuk
mengurangi kejadian efek samping ini, dapat diberikan dosis awal 500
mg, kemudian ditingkatkan 500 mg/minggu untuk dapat mencapai kadar
gula darah yang diinginkan.
Walaupun terapi awal dengan modifikasi gaya hidup dan metformin
pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara alami pada sebagian besar
pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya gula darah seiring
dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 5-10% per tahun. Sebuah
studi UKPDS menyatakan bahwa 50% pasien yang terkontrol dengan
obat-obatan tunggal memerlukan penambahan obat kedua setelah 3
tahun; dan setelah 9 tahun, 75% pasien memerlukan terapi multipel untuk
mencapai target HbA1C <7%.
Konsensus ADA dan EASD menganjurkan pemeriksaan HbA1C
setiap 3 bulan serta penambahan obat kedua jika target terapi HbA1C
<7% tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan metformin (lihat
algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1C, diperlukan target kadar
gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula postprandial <180 mg/ dL.
Untuk pasien DM yang tidak gula darahnya tidak terkendali dengan
kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin, ada 4 golongan obat-
obatan yang dapat diberikan menurut konsensus ADA-EASD. Obat-
obatan ini terdiri dari 2 golongan yaitu terapi tingkat 1/langkah 2 yang
terdiri dari sulfoniliurea dan insulin serta terapi tingkat 2 yang terdiri dari
tiazolidindion dan agonis Glucagon Like Peptide-1/GLP- 1.15,16 Di
antara semua obat ini, sulfonilurea adalah yang paling cost-effective,
sedangkan insulin dianggap sebagai terapi yang paling efektif dalam
mencapai target gula darah. Namun, sulfonilurea dan insulin
berhubungan dengan risiko hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Tingkat 1/Langkah 2 (Tier 1/Step 2)
Sulfonilurea
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang merupakan
kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan sebagai dalam
kombinasi dengan metformin jika gula darah target belum tercapai.
Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal menyebabkan
penurunan HbA1C sebesar 1-2%.
Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi
insulin sel b pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak ada perbedaan
dalam hal efektivitas dan keamanan penggunaan sulfonylurea
(klorpropramid,glibenklamid, dan glipizid), tetapi sulfoniliurea generasi
kedua dengan masa kerja singkat lebih dipilih untuk lansia dengan DM.
Sedangkan klorpropramid dipilih untuk tidak digunakan pada lansia
karena masa kerja yang panjang, efek antidiuretik, dan berhubungan
dengan hipoglikemia berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi
kedua, glipizid mempunyai risiko hipoglikemia yang paling rendah
sehingga merupakan obat terpilih untuk lansia.
Meskipun demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan
hipoglikemia. Oleh karena itu, pemberiannya harus dimulai dengan dosis
yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai gula darah
target, sembari dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya efek
samping.
Insulin
Berdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan bila
target gula darah tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan
pemberian metformin. Selain itu, insulin juga diberikan pada keadaan
adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan hiperosmolar, ketosis,
dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai pemberian insulin
dibuat berdasarkan pertimbangan akan kemampuan penderita untuk
menyuntikkan sendiri insulin, dan keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia
yang bergantung pada orang lain untuk memberikan insulin, maka
gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis sekali
sehari, walaupun ini tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik
yang dicapai dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali
sehari.
Pada lansia yang hanya menggunakan insulin basal, saatnya
pemberian insulin bukan hal yang penting. Jika kontrol gula darah atau
glukosa postprandial target tidak tercapai dengan pemberian basal
insulin, maka dapat diberikan insulin kerja singkat (short-acting).
Namun, pada pemberian bolus insulin short acting, saatnya makan
merupakan faktor penting, dan sering menimbulkan masalah pada pasien
yang renta yang tidak dapat menyuntikkan insulinnya sendiri.
Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling
mendekati pola sekresi insulin endogen basal pada orang dewasa sehat.
Walaupun demikian, penggunaan insulin berhubungan dengan efek
samping peningkatan berat badan dan hipoglikemia. Dari berbagai studi
dilaporkan bahwa efek samping hipoglikemia lebih jarang terjadi pada
penggunaan analog insulin (detemir dan glargine) dibandingkan NPH.
Sementara itu, didapati efek peningkatan erat badan dengan nilai yang
sama (+ 3 kg dalam 6 bulan) baik pada golongan analog insulin maupun
NPH.
Bila kegagalan sel b pankreas mensekresi insulin sudah demikian
parah, diperlukan pemberian insulin untuk control gula darah, sehingga
insulin memegang peranan penting dalam tata laksana DM. Lansia
merupakan kelompok populasi yang rentan terhadap efek samping
hipoglikemia. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi bagi lansia dan
pengasuhnya tentang pengenalan gejala hipoglikemia dan
penanganannya.
Tingkat 2 (Tier 2)
Obat-obatan pada terapi tingkat 2 belum banyak dibuktikan secara
klinis seperti yang digunakan pada terapi tingkat 1, sehingga
penggunaannya masih terbatas, termasuk pada lansia. Berikut ini sedikit
pembahasan mengenai obatobat yang digunakan pada terapi tingkat 2.
Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat memperbaiki
kontrol gula darah dengan meningkatkan kepekaan jaringan perifer
terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion (pioglitazon dan
rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan penurunan HbA1C
sebesar 0,5- 1,4%. Pada berbagai studi klinis didapatkan bahwa control
gula darah dengan rosiglitazon lebih lama dibandingkan dengan
metformin. Tidak seperti obat DM lainnya, tiazolidindion memperbaiki
berbagai marker fungsi sel b pankreas yang antara lain ditunjukkan
dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek ini
hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion, terjadi
penurunan fungsi sel b pankreas.
Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa efek
samping, antara lain peningkatan berat badan dan edema yang terkait
dengan risiko kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa risiko gagal
jantung meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada penggunaan
tiazolidindion dibandingkan obat hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi
pada median terapi selama 6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun
rendah, dan ini terutama terjadi pada lansia. Baik pioglitazon maupun
rosiglitazon berisiko menimbulkan gagal jantung. Bahkan rosiglitazon
juga berisiko memicu kejadian iskemia miokard (peningkatan risiko
relative 40%) sehingga konsensus ADA/EASD (2008) tidak
menganjurkan rosiglitazon untuk terapi DM tipe 2. Berbeda dengan
rosiglitazon, pioglitazon dapat mengurangi kejadian kardiovaskular
karena pioglitazon dapat memperbaiki profil lipid aterogenik.
Efek samping lain dari tiazolidindion adalah meningkatnya risiko
fraktur >2 kali lipat, terutama pada panggul. Efek samping ini dapat
terjadi setelah penggunaan tiazolidindion 12-18 bulan. Risiko fraktur ini
sama baik dengan dosis tinggi maupun rendah, pada pasien lansia
maupun nonlansia, dan pada pria maupun wanita.
Agonis GLP-1
Sistem gastrointestinal memegang peranan penting dalam homeostasis
glukosa. Hal ini terlihat berupa lebih banyaknya respons insulinotropik
pada pemberian nutrisi per oral dibandingkan pada pemberian glukosa
intravena.
Yang berperanan dalam hal ini adalah hormon inkretin yang terdiri
dari GLP-1 dan Glucose-dependent Insulinotropic Poplypeptide/GIP).
Pada pasien DM tipe 2, sekresi GIP setelah makan hanya sedikit
terganggu, sementara sekresi GLP-1 terganggu secara nyata. Pemberian
GLP-1 parenteral meningkatkan sekresi insulin secara dose-dependent
dan juga menurunkan sekresi glukagon, sehingga menurunkan kadar gula
darah puasa dan postprandial. Hal ini tidak terjadi pada pemberian GIP
parenteral. Sayangnya GLP-1 cepat didegradasi oleh enzim DPP-4.
Untuk mengatasi hal ini, saat ini dikembangkan agonis reseptor GLP-1
yang memperpanjang masa kerja GLP-1 endogen dan melawan efek
enzim DPP-4. Pemberian agonis reseptor GLP-1 akan meningkatkan aksi
kerja GLP-1 (menurunkan kadar gula darah, mengurangi sekresi
glukagon, menurunkan berat badan, menimbulkan rasa cepat kenyang,
memperlambat pengosongan lambung).
Walaupun tidak digunakan sebagai monoterapi dalam tata laksana DM
tipe 2, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa pada penggunaan agonis
reseptor GLP-1 terjadi penurunan HbA1C sebesar 0,5-1,5 %.
Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan konsensus ADA-
EASD tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM, namun masih
terbatasnya penelitian dan pengalaman klinis terhadap obat-obatan
tersebut menyebabkan penggunaannya masih terbatas. Oleh sebab itu,
kelompok obat ini belum dianjurkan untuk digunakan pada lansia.
Obat-obatan lain
Dalam konsensus ADA-EASD, sekelompok obat yang dalam
penelitian terlihat kurang efektif dalam menurunkan kadar gula darah
berikut dimasukkan dalam kelompok obatobatan lain. Kelompok ini juga
belum banyak diteliti dan harganya lebih mahal. Termasuk dalam
kelompok ini penghambat a-glukosidase, glinid, pramlintide, penghambat
DPP-4. (Indra, 2010).
b. Osteoartritis
Osteoarthritis adalah suatu keadaan dimana rusaknya kartilaho di
persendian. Osteoarthritis dapat terjadi pada semua sendi tetapi paling
sering terjadi pada persendian di tangan, leher, tulang belakang, lutut dan
pinggul. Penyakit ini biasanya akan semakin mmburuk seiring waktu dan
tidak ada pengobatan yang spesifik. Tetapi prosedur osteoarthritis dapat
memperlambat jalannya penyakit, mengurangi rasa sakit, dan
meningkatkan fungsi sendi.
Penyakit ini sering terjadi pada umur diats 50 tahun dan wanita lebih
sering dibandingkan pria.
Gejala
i. Nyeri
Sendi terasa nyeri atau sakit ketika digunakan
ii. Kaku
Kekakuan sendi dapat dirasakan ketika baru bangun tidur pagi hari
atau setelah istirahat
iii. Tidak fleksibel
Tidak dapat menggerakan sendi seleluasa biasanya
iv. Krepitasi
Bunyi krepitasui yang dapat didengar ketika menggerekan persendian
v. “Bone Spurs”
Penambahan bagian tulang dapat terlihat pada bagian sendi yang
terkena osteoarthritis
Diagnosa
Tidak ada tes spesifik untuk osteoarthritis ini. Biasanya dokter akan
melihat dari riwayat penyakit, x-rays, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan lab.
Tatalaksana
Medikamentosa
i. Acetaminofen
Obat ini biasanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
ii. NSAIDs
Obat ini diberikan untuk menghilangkan inflamasi pada persendian.
Terapi
i. Terapi fisik
Biasanya dilakukan untuk memperkuat otot disekitar sendi yang
terkena osteoarthiritis sehingga dapat digunakan kembali sendinya.
ii. Occupational therapy
Terapi dimana tetap dapat bekerja tanpa penggunaan berlebih dari
sendi yang terkena osteoarthirits.
c. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara
nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Akibatnya tulang
menjadi rapuh dan mudah patah. Menurut Dr. Robert P. Heaney dalam
Reitz (1993) penyakit osteoporosis paling umum diderita oleh orang yang
telah berumur, dan paling banyak menyerang wanita yang telah
menopause.
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga
penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga
dengan penyakit silent epidemic karena sering tidak memberikan gejala
hingga akhirnya terjadi fraktur (patah) (Dalimartha, 2002).
Etiologi
Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa
puncak tulang yang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya
pengurangan massa tulang setelah menopause. Massa tulang meningkat
secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahun, pada wanita
lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup
tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan
memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik.
Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2
proses yang selalu berada dalam keadaan seimbang dan disebut coupling.
Proses coupling ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding
dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 12 minggu pada
orang muda dan 16-20 minggu pada usia menengah atau lanjut.
Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun (Sudoyo et al.,
2006). Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada
konsep Activation – Resorption – Formation (ARF). Proses ini
dipengaruhi oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang
merangsang preosteoblas supaya membelah membelah menjadi osteoblas
akibat adanya aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang
mempengaruhi proses remodelling adalah faktor hormonal. Proses
remodelling akan ditingkatkan oleh hormon paratiroid, hormon
pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D. Sedang yang menghambat
proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid.
Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang
menyebabkan osteoporosis.
Selain gangguan pada proses remodelling tulang faktor lainnya adalah
pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun terdapat variasi
asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi kalsium
serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum
dikontrol oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid
hormon (PTH), hormon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH)2 vitamin D) dan
penurunan fosfat serum. Faktor lain yang berperan adalah hormon tiroid,
glukokortikoid dan insulin, vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang
(pirofosfat dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/harinya
antara tulang dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase
formasi dan resorpsi tulang yang lambat. Absorpsi kalsium dari
gastrointestinal yang efisien tergantung pada asupan kalsium harian,
status vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi tergantung kadar
protein tubuh, yaitu albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh
tubuh terikat oleh albumin, 40% dalam bentuk kompleks sitrat dan 10%
terikat fosfat.
Faktor Risiko Osteoporosis
i. Usia
Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8
ii. Genetik
Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)
Seks (wanita > pria)
Riwayat keluarga
iii. Lingkungan, dan lainnya
Defisiensi kalsium
Aktivitas fisik kurang
Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)
Merokok, alkohol
Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin,
gangguan penglihatan)
Hormonal dan penyakit kronik
Defisiensi estrogen, androgen
Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme
Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal, gastrektomi)
Sifat fisik tulang
iv. Faktor resiko faktur panggul yaitu,:
1). Penurunan respons protektif
Kelainan neuromuscular
Gangguan penglihatan
Gangguan keseimbangan
2). Peningkatan fragilitas tulang
Densitas massa tulang rendah
Hiperparatiroidisme
3). Gangguan penyediaan energi
Malabsorpsi
Gambaran Klinis
Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini
disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang.
Beberapa fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun
kemudian. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada
vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang
paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan
deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps
vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya
akut dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut.
Nyeri dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya
berbalik ditempat tidur. Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri
untuk sementara, tetapi akan berulang dengan jangka waktu yang
bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat disertai oleh distensi perut dan
ileus
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis
bila didapatkan :
Patah tulang akibat trauma yang ringan.
Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.
Gangguan otot (kaku dan lemah)
Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.
Diagnosis
Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena
tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau
osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca
menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan
adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan
lunak (wallaca tahun1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah
bekerja, memakai baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara
anamnesa mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang
menunjang terjadinya osteoporosis seperti
i. Tinggi badan yang makin menurun.
ii. Obat-obatan yang diminum.
iii. Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi,
klimakterium.
iv. Jumlah kehamilan dan menyusui.
v. Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.
vi. Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan
matahari cukup.
vii. Apakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.
viii. Apakah sering merokok, minum alkohol
d. Demensia
Etiologi
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65
tahun adalah : (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)
campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen
diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit
Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia
alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus
(HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang
melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab
yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme),
defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat),
atau sindrom demensia akibat depresi.
Diagnosis dan Keluhan Utama
Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan
status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman
sekerja. Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40
tahun membuat kita harus mempertimbangan dengan cermat untuk
mendiagnosis dimensia.
i. Perkembangan defisit kognitif yang dimanifestasikan dengan baik
1) Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari
informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari
sebelumnya)
2) Satu atau lebih gangguan kognitif berikut ;
a). Afasia ( gangguan bahasa)
b). Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik
walaupun fungsi motorik utuh)
c). Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
walaupun fungsi sensorik utuh
d). Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu merencanakan,
mengorganisasi, mengurutkan dan abstrak)
3). Defisit dalam kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan
dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi
sebelumnya
4). Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari salah
satu kondisi medis selain penyakit Alzheimer’s atau penyakit
serebrovaskuler (misalnya; Infeksi HIV, Trauma kepala, penyakit
Parkinson, Penyakit Huntington, penyakit Pick, Penyakit Creutzfeldt-jakob,
Hidrosefalus dengan tekanan yang normal, hipotiroidism, tumor otak, atau
defisiensi vitamin B12.
5). Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ada atau tidaknya gejala klinis yang berhubungan
dengan gangguan perilaku;
Tanpa gangguan perilaku ; Jika ganguan kognitif tidak disertai dengan
gangguan perilaku yang bermakna secara klinis
Dengan gangguan perilaku ; Jika gangguan kognitif disertai gangguan
perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya keluyuran, agitasi)
Catatan penulisan ; Berikan juga kode dari kondisi medis pada aksis III
(misalnya; infeksi HIV, Trauma kepala, penyakit Parkinson, Penyakit
Huntington, penyakit Pick, Penyakit Creutzfeldt-jakob )
Perjalanan penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5
atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan
kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori
diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20
tahun.
Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan
yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki
kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian
terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan
hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani
pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien
dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang
diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen
terjadi.Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda
yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh
orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya
merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan
metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan
jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak.
Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan
membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat
menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana
penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku
psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat
“cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi,
inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi. Dengan
terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan
bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit.
Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia
akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah
dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia
dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi
demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan
trauma kepala).
Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan
verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat
progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi
yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah
penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa
pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi.
Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau
antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga
tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini
didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia
vaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan
perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia
vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting
mengingat antagonis reseptor β-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi
kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah
dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan
diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa
mempengaruhi aliran darah otak.
Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian
vaskuler berikutnya pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati.
Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk
memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan
keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik,
Termasuk perilaku yang merugikan.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Gbr 1. Sumber: National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders (NIDCD) (2013). Balance Disorders.
http://www.nidcd.nih.gov/health/balance/pages/balance_disorders.aspx. -
Diakses Maret 2014.
Burduli M. The Adequate Control of Type 2 Diabetes Mellitus in an Elderly Age.
2009. Available from: http://www.gestosis.ge/eng/pdf_09/Mary_Burduli.pdf
Dalimartha, S, 2002. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita Osteoporosis.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Darmojo, Boedhi. 2011. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri Edisi ke-4. Jakarta:
Balai penerbit FKUI
Indra Kurniawan. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Maj Kedokt Indon,
Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010
Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. Essentials of Clinical
Geriatrics.6th ed. New York: McGraw Hill; 2009.p.363-70.
Rochmah W. Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.p.1915-18.
Subramaniam I, Gold JL. Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad Geri.
2005;2:77-81. Available from: http://www.jiag.org/sept/diabetes.pdf
Sudoyo A.W., et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 5th ed. Jakarta:
FK UI, pp 776-78
Tanu Ian. 2009. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: FK UI, pp 886-95