impetigo bulosa

11
PENDAHULUAN Impetigo adalah infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula). Impetigo paling sering menyerang anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul di bagian tubuh manapun, tetapi paling sering ditemukan di wajah, lengan dan tungkai. Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit kulit lainnya. Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran pernapasan atas misalnya flu atau infeksi virus lainnya. Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa. Sumber infeksi yang sering ditemukan pada anak-anak adalah berasal dari hewan peliharaan, kuku yang kotor, dan penularan dari teman sekolahnya. Sedangkan pada orang dewasa, penularan penyakit dapat diperoleh dari tempat cukur, salon kecantikan, kolam renang dan tertular dari anak. Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana.dan terbatas pada daerah epidermis atau superfisialis kulit. Dasar infeksi adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit. Masa inkubasi atau waktu terkena penyakit ini sampai tampak gejalanya memakan waktu 1 sampai 3 hari. Itupun tergantung pada kondisi tubuh pasien Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia dan pada umumnya menyebar melalui kontak langsung. Paling sering menyerang anak-anak usia 2-5 tahun, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan dari impetigo adalah 2.8 % terjadi pada anak- anak usia di bawah 4 tahun dan 1.6 persen pada anak-anak usia

Upload: muhammad-rizky

Post on 12-Aug-2015

103 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Impetigo Bulosa

PENDAHULUAN

Impetigo adalah infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-

lepuhan kecil berisi nanah (pustula). Impetigo paling sering menyerang

anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul

di bagian tubuh manapun, tetapi paling sering ditemukan di wajah,

lengan dan tungkai. Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit

kulit lainnya. Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran

pernapasan atas misalnya flu atau infeksi virus lainnya.

Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan

telah digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan

berkeropeng yang biasa nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua

tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo

non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa.

Sumber infeksi yang sering ditemukan pada anak-anak adalah berasal

dari hewan peliharaan, kuku yang kotor, dan penularan dari teman

sekolahnya. Sedangkan pada orang dewasa, penularan penyakit dapat

diperoleh dari tempat cukur, salon kecantikan, kolam renang dan tertular

dari anak.

Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling

sederhana.dan terbatas pada daerah epidermis atau superfisialis kulit.

Dasar infeksi adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.

Masa inkubasi atau waktu terkena penyakit ini sampai tampak gejalanya

memakan waktu 1 sampai 3 hari. Itupun tergantung pada kondisi tubuh

pasien

Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia dan pada umumnya

menyebar melalui kontak langsung. Paling sering menyerang anak-anak

usia 2-5 tahun, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur

dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Sebuah penelitian di Inggris

menyebutkan bahwa insiden tahunan dari impetigo adalah 2.8 % terjadi

pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1.6 persen pada anak-anak

usia 5 sampai 15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa

meliputi kira-kira 70 persen dari semua kasus impetigo. Kebanyakan

kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-

Page 2: Impetigo Bulosa

negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih

tergolong lemah atau miskin.

Organisme penyebab dari impetigo krustosa adalah Staphylococcus

aureus selain itu, dapat pula ditemukan Streptococcus beta-hemolyticus

grup A (Group A betahemolytic streptococci (GABHS) yang juga

diketahui dengan nama Streptococcus pyogenes). Sebuah penelitian di

Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang disebabkan oleh

kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan 72% dari

kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat isolasi

kuman.

Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman

ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi

penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui

kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda

dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa

nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar

11 hari kemudian.

Pada impetigo krustosa non bullous, infeksi ditemukan pada bagian

minor dari trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam,

pembakaran). Trauma membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri

mudah melekat, menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada

epidermis muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit

terdapat sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri

gram-positif juga ada dalam lesi ini.

Eksotoksin Streptococcus pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada

daerah berbintik merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari

Streptococcal toxic shock syndrome. Kira-kira 30% dari populasi bakteri

ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri dapat menyebar dari

hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo

yang muncul 7-14 hari kemudian.

Gejala

Bintik-bintik merah yang kecil menjadi lepuh yang berisi nanah dan

berkeropeng; biasanya pada muka, tangan atau kepala. Impetigo

berawal sebagai luka terbuka yang menimbulkan gatal, kemudian

Page 3: Impetigo Bulosa

melepuh, mengeluarkan isi lepuhannya lalu mengering dan akhirnya

membentuk keropeng.

Besarnya lepuhan bervariasi, mulai dari seukuran kacang polong

sampai seukuran cincin yang besar. Lepuhan ini berisi carian

kekuningan disertai rasa gatal.

Penyakit ini biasanya asimetris yang ditandai dengan lesi awal

berbentuk makula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang

berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau

pustul dengan cepat dan dikelilingi oleh suatu areola inflamasi, bila

mengering akan mengeras menyerupai batu kerikil yang melekat di

kulit. Jika diangkat maka daerah tempat melekatnya tadi nampak

basah dan berwarna kemerahan.

Tahap ini jarang terlihat karena kulit vesikel sangat tipis dan mudah

rupture. Pada dasar vesikel terdapat eksudasi, jika mengering akan

menjadi krusta warna kuning. Lesi awalnya kecil (ukuran kira-kira 3-

10 mm), tapi kemudian dapat membesar. Bila lesi sembuh tidak akan

meninggalkan bekas. Lesi bias annular, circinata atau bundar

menyerupai Tinea circinata. Lesi satelit dapat terbentuk di sekitar lesi

utama yang disebabkan oleh adanya autoinoculation.

Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah warna kemerahan

seperti madu atau kuning keemasan ’honey-colored’. Pada daerah

tropis umumnya terjadi pada anak-anak yang kurang gizi, erupsinya

bias luas dan bereaksi lambat terhadap terapi. Umumnya terjadi pada

daerah-daerah tubuh yang terbuka seperti wajah, mulut, telapak

tangan atau leher.

Tidak disertai gejala umum. Tempat predileksi di muka, yakni di

sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari

daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat

memecah sehingga jika penderita datang berobat, yang terlihat ialah

krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak

erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di

bagian tengah.

Streptokkus yang menginfeksi anak-anak dan yang lebih tua tidak

berbeda dengan yang terkena/menyebar pada populasi yang lain,

walaupun perlu dipertimbangkan bahwa tingkat infeksi yang lebih

serius bias berbeda dari kedua kelompok umur tersebut. Keluhan

utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa macula eritematosa

berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula.

Page 4: Impetigo Bulosa

Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan secret

seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk

krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta

terdapat daerah erosif yang mengeluarkan secret sehingga krusta

kembali menebal.

Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar daerah

yang terinfeksi.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis

dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan

terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari

impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun

demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes

mikrobiologi pasti akan sangat menolong.

Laboratorium rutin Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis

ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.

Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah

telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS),

yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.

Pemeriksaan imunologis Pada impetigo yang disebabkan oleh

streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti

deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.

Pemeriksaan mikrobiologis Eksudat yang diambil di bagian bawah

krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan

tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S.

aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic dilakukan untuk

mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA) serta membantu

dalam pemberian antibiotic yang sesuai. Pewarnaan gram pada

eksudat memberikan hasil gram positif. Pada blood agar koloni kuman

mengalami hemolisis dan memperlihatkan daerah yang hemolisis di

sekitarnya meskipun dengan blood agar telah cukup untuk isolasi

kuman, manitol salt agar atau medium Baierd-Parker egg Yolk-

tellurite direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organism

lain. Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling

penting dalam mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar, S.

pyogenes membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis

disekelilingnya. Streptococcus dapat dibedakan dari Staphylokokkus

dengan tes katalase. Streptococcus memberikan hasil yang negative.

Page 5: Impetigo Bulosa

Penanganan

Perawatan Umum : memperbaiki higien dengan membiasakan

membersihkan tubuh dengan sabun, memotong kuku dan senantiasa

mengganti pakaian. Perawatan luka dan tidak saling tukar menukar

dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat

cukur)

Sistemik Pengobatan sistemik di indikasikan jika terdapat factor

yang memperberat impetigo seperti eczema. Untuk mencegah infeksi

sampai ke ginjal maka di anjurkan untuk melakukan pemeriksaan

urine. Bakteri pun di uji untuk mengetahui ada tidaknya resistensi

antibiotic. Pada impetigo superficial yang disebabkan streptococcus

kelompok A, penisilin adalah drug of choice. Penisilin oral yang

digunakan adalah potassium Phemmoxymethylpenicilin. Bila resisten

bias digunakan oxacilin dengan dosis 2,5 gr/ hari dan dosis untuk

anak-anak disesuaikan dengan umur. Dapat juga digunakan

eritromisin dosis 1,5 – 2,0 g yang diberikan 4 kali sehari.

Penisilin V oral (250mg per oral) efektif untuk streptokokkus atau

staphylokokkus aureus non-penisilin. Penisilin semi sentetis, methicin,

atau oxacilin (500mg setiap 4-6 jam) diberikan untuk staphylokokkus

yang resisten terhadap penisilin eritromisin (250mg 4 kali sehari)

lebih efektif dan aman, di gunakan pada pasien yang sensitive

terhadap penisilin.

Antibiotik oral Antibiotik oral diberikan bila : Erupsi memberat dan

semakin meluas. Anak lain yang terpapar infeksi atau bila bentuk

nephritogenik telah berlebihan, Terapi oral diberikan bila pengobatan

topical meragukan atau pada kasus yang disertai folliculitis

Topikal Pengobatan topikal dilakukan apabila krusta dan sisa

impetigo telah dibersihkan dengan cara mencucinya menggunakan

sabun antiseptic dan air bersih. Untuk krusta yang lebih luas dan

berpotensi menjadi lesi sebaiknya menggunakan larutan antiseptic

atau pun bubuk kanji. Dapat menggunakan asam salisil 3-6% untuk

menghilankan krusta. Bila krusta hilang maka penyebaranya akan

terhenti. Pustule dan bula didrainase. Bila dasar lesi sudah terlihat,

sebaiknya diberikan preparat antibiotic pada lesi tersebut dengan

hati-hati sebanyak 4 kali sehari. Preparat antibiotik juga dapat

digunakan untuk daerah yang erosive. Misalnya menggunakan krim

neomycin yang mengandung clioquinol 0,5%-1% atau asam salisil 3%-

5%

Page 6: Impetigo Bulosa

Komplikasi

Infeksi dari penyakit ini dapt tersebar keseluruh tubuh utamanya pada

anak-anak.

Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut

menjadi glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari

setelah lesi impetigo pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah

1-5 minggu kemudian.

Prognosis

Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan

pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik

seperti glomerulonefritis dan lain-lain.

Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.

Pencegahan

Mencuci tangan dengan teliti. Infeksi bisa dicegah dengan

memelihara kebersihan dan kesehatan badan. Goresan ringan atau

luka lecet sebaiknya dicuci bersih dengan sabun dan air, bila perlu

olesi dengan zat anti-bakteri.

Hindari kontak dengan cairan yang berasal dari lepuhan di kulit

Hindari pemakaian bersama handuk, pisau cukur atau pakaian dengan

penderita

Selalu mencuci tangan setelah menangani lesi kulit.

Referensi

Cole C, Gazewood J. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam

Physician. Mar 15 2007;75(6):859-64.

Moulin F, Quinet B, Raymond J, Gillet Y, Cohen R. [Managing children

skin and soft tissue infections]. Arch Pediatr. Oct 2008;15 Suppl

2:S62-7.

Hirschmann JV. Impetigo: etiology and therapy. Curr Clin Top Infect

Dis. 2002;22:42-51.

Moran GJ, Amii RN, Abrahamian FM, Talan DA. Methicillin-resistant

Staphylococcus aureus in community-acquired skin infections. Emerg

Infect Dis. Jun 2005;11(6):928-30.

Kuniyuki S, Nakano K, Maekawa N, Suzuki S. Topical antibiotic

treatment of impetigo with tetracycline. J Dermatol. Oct

2005;32(10):788-92.

Treating impetigo in primary care. Drug Ther Bull. Jan 2007;45(1):2-4

Broccardo CJ, Mahaffey S, Schwarz J, et al. Comparative proteomic

profiling of patients with atopic dermatitis based on history of eczema

Page 7: Impetigo Bulosa

herpeticum infection and Staphylococcus aureus colonization. J

Allergy Clin Immunol. Jan 2011;127(1):186-93, 193.e1-11.

Yamasaki O, Tristan A, Yamaguchi T, et al. Distribution of the

exfoliative toxin D gene in clinical Staphylococcus aureus isolates in

France. Clin Microbiol Infect. Jun 2006;12(6):585-8.

Daskalaki M, Rojo P, Marin-Ferrer M, Barrios M, Otero JR, Chaves F.

Panton-Valentine leukocidin-positive Staphylococcus aureus skin and

soft tissue infections among children in an emergency department in

Madrid, Spain. Clin Microbiol Infect. Jan 2010;16(1):74-7.

Geria AN, Schuartz RA. Impetigo Update: New Challenges in the Era

of Methicillin Resistance. Cutis. 2010;85(2):65-70.

Geng W, Yang Y, Wu D, et al. Molecular characteristics of community-

acquired, methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolated from

Chinese children. FEMS Immunol Med Microbiol. Apr 2010;58(3):356-

62.

Liu Y, Kong F, Zhang X, Brown M, Ma L, Yang Y. Antimicrobial

susceptibility of Staphylococcus aureus isolated from children with

impetigo in China from 2003 to 2007 shows community-associated

methicillin-resistant Staphylococcus aureus to be uncommon and

heterogeneous. Br J Dermatol. Dec 2009;161(6):1347-50.

Loffeld A, Davies P, Lewis A, Moss C. Seasonal occurrence of

impetigo: a retrospective 8-year review (1996-2003). Clin Exp

Dermatol. Sep 2005;30(5):512-4.

Koning S, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, et al. Interventions

for impetigo.Cochrane Database Syst Rev. 2004;CD003261.

Razmjou RG, Willemsen SP, Koning S, et al. Determinants of regional

differences in the incidence of impetigo. Environ Res. Jul

2009;109(5):590-3.

Spurling G, Askew D, King D, Mitchell GK. Bacterial skin infections–an

observational study. Aust Fam Physician. Jul 2009;38(7):547-51.

Patrizi A, Raone B, Savoia F, Ricci G, Neri I. Recurrent toxin-mediated

perineal erythema: eleven pediatric cases. Arch Dermatol. Feb

2008;144(2):239-43.

George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of

treatments for impetigo.Br J Gen Pract. Jun 2003;53(491):480-7.

Koning S, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, Morris A, Butler CC,

van der Wouden JC. Interventions for impetigo. Cochrane Database

Syst Rev. 2004;CD003261.

Page 8: Impetigo Bulosa

Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for the

diagnosis and management of skin and soft-tissue infections. Clin

Infect Dis. Nov 15 2005;41(10):1373-406.

Brown J, Shriner DL, Schwartz RA, Janniger CK. Impetigo: an

update. Int J Dermatol. Apr 2003;42(4):251-5.

George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of

treatments for impetigo.Br J Gen Pract. Jun 2003;53(491):480-7.

Mancini AJ. Bacterial skin infections in children: the common and the

not so common.Pediatr Ann. Jan 2000;29(1):26-35.

American Academy of Pediatrics. Group A Streptococcal infections. In:

Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, eds. Red Book: 2009

Report of the Committee on Infectious Diseases. 28th ed. Elk Grove

Village, Ill: American Academy of Pediatrics; 2009:616-28.

Ludlam H, Cookson B. Scrum kidney: epidemic pyoderma caused by a

nephritogenic Streptococcus pyogenes in a rugby team. Lancet. Aug 9

1986;2(8502):331-3.

Belgemen T, Suskan E, Dogu F, Ikinciogullari A. Selective

immunoglobulin M deficiency presenting with recurrent impetigo: a

case report and review of the literature. Int Arch Allergy Immunol.

2009;149(3):283-8.

Sarabi K, Khachemoune A. Tinea capitis: a review. Dermatol Nurs.

Dec 2007;19(6):525-9; quiz 530.

Popovich D, McAlhany A. Accurately diagnosing commonly

misdiagnosed circular rashes. Dermatol Nurs. Aug 2008;20(4):294-

300.

Gorani A, Oriani A, Cambiaghi S. Seborrheic dermatitis-like tinea

faciei. Pediatr Dermatol. May-Jun 2005;22(3):243-4.

Hayakawa K, Hirahara K, Fukuda T, Okazaki M, Shiohara T. Risk

factors for severe impetiginized atopic dermatitis in Japan and

assessment of its microbiological features.Clin Exp Dermatol. Jul

2009;34(5):e63-5.

Rashid R, Hymes S. Folliculitis, follicular mucinosis, and papular

mucinosis as a presentation of chronic myelomonocytic

leukemia. Dermatol Online J. May 15 2009;15(5):16.

Scheinfeld N. A Primer In Topical Antibiotics For The Skin And Eyes. J

Drugs Dermatol. 2008;7(4):409-415.

Page 9: Impetigo Bulosa

Wilkinson RD, Carey WD. Topical mupirocin versus topical neosporin

in the treatment of cutaneous infections. Int J Dermatol. Sep

1988;27(7):514-5.

Bass JW, Chan DS, Creamer KM, et al. Comparison of oral cephalexin,

topical mupirocin and topical bacitracin for treatment of

impetigo. Pediatr Infect Dis J. Jul 1997;16(7):708-10.

Silverberg N, Block S. Uncomplicated skin and skin structure

infections in children: diagnosis and current treatment options in the

United States. Clin Pediatr (Phila). Apr 2008;47(3):211-9.

Koning S, van der Wouden JC, Chosidow O, et al. Efficacy and safety

of retapamulin ointment as treatment of impetigo: randomized double-

blind multicentre placebo-controlled trial. Br J Dermatol. May

2008;158(5):1077-82.

Jacobs MR. Retapamulin: a semisynthetic pleuromutilin compound for

topical treatment of skin infections in adults and children. Future

Microbiol. Dec 2007;2(6):591-600.

Jones RS. Expert advice on erasing the MRSA threat. Pract Dermatol.

2005;34-7.

Woodford N, Afzal-Shah M, Warner M, Livermore DM. In vitro activity

of retapamulin against Staphylococcus aureus isolates resistant to

fusidic acid and mupirocin. J Antimicrob Chemother. Oct

2008;62(4):766-8.

Boyd B, Castañar J. Retapamulin. Drugs Future. 2006;31:107.

Oranje AP, Chosidow O, Sacchidanand S, et al. Topical retapamulin

ointment, 1%, versus sodium fusidate ointment, 2%, for impetigo: a

randomized, observer-blinded, noninferiority study. Dermatology.

2007;215(4):331-40.

Drug and Therapeutics Bulletin. Retapamulin for impetigo and other

infections. Drug Ther Bull. Oct 2008;46(10):76-9.

Denton M, O’Connell B, Bernard P, Jarlier V, Williams Z, Henriksen

AS. The EPISA study: antimicrobial susceptibility of Staphylococcus

aureus causing primary or secondary skin and soft tissue infections in

the community in France, the UK and Ireland. J Antimicrob

Chemother. Mar 2008;61(3):586-8

O’Neill AJ, Larsen AR, Skov R, Henriksen AS, Chopra I.

Characterization of the epidemic European fusidic acid-resistant

impetigo clone of Staphylococcus aureus. J Clin Microbiol. May

2007;45(5):1505-10.

Page 10: Impetigo Bulosa

Bernard P. Management of common bacterial infections of the

skin. Curr Opin Infect Dis. Apr 2008;21(2):122-8.

Yang LP, Keam SJ. Retapamulin: a review of its use in the

management of impetigo and other uncomplicated superficial skin

infections. Drugs. 2008;68(6):855-73.

Deshpande LM, Fix AM, Pfaller MA, Jones RN. Emerging elevated

mupirocin resistance rates among staphylococcal isolates in the

SENTRY Antimicrobial Surveillance Program (2000): correlations of

results from disk diffusion, Etest and reference dilution

methods. Diagn Microbiol Infect Dis. Apr 2002;42(4):283-90.

Laurent F, Tristan A, Croze M, et al. Presence of the epidemic

European fusidic acid-resistant impetigo clone (EEFIC) of

Staphylococcus aureus in France. J Antimicrob Chemother. Feb

2009;63(2):420-1; author reply 421.

Alsterholm M, Flytström I, Bergbrant IM, Faergemann J. Fusidic acid-

resistant Staphylococcus aureus in impetigo contagiosa and

secondarily infected atopic dermatitis. Acta Derm Venereol.

2010;90(1):52-7.

Gelmetti C. Local antibiotics in dermatology. Dermatol Ther. May-Jun

2008;21(3):187-95.

Langner A, Chu A, Goulden V, Ambroziak M. A randomized, single-

blind comparison of topical clindamycin + benzoyl peroxide and

adapalene in the treatment of mild to moderate facial acne

vulgaris. Br J Dermatol. Jan 2008;158(1):122-9.

Capizzi R, Landi F, Milani M, Amerio P. Skin tolerability and efficacy

of combination therapy with hydrogen peroxide stabilized cream and

adapalene gel in comparison with benzoyl peroxide cream and

adapalene gel in common acne. A randomized, investigator-masked,

controlled trial. Br J Dermatol. Aug 2004;151(2):481-4.