makalah pemfigoid bulosa

28
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak ada. Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone. Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal”. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan (kemotaksis). Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis kelamin yang memiliki 1

Upload: dokyungso1991

Post on 27-Oct-2015

712 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh

adanya bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan

erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi

memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat

terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak

ada.

Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding

tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3)

pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada

basement membrane zone. Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal

terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut

"membran basal”. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut

antigen hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan

(kemotaksis).

Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid bulosa

jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis kelamin yang

memiliki kecenderungan menderita pemfigoid bulosa. Insiden pemfigoid bulosa

diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kulit?

2. Apa definisi dari pemfigoid bulosa?

3. Bagaimana etiologi pada pemfigoid bulosa?

4. Apa manifestasi klinis pada pemfigoid bulosa?

5. Bagaimana patofisiologi dari pemfigoid bulosa?

6. Apa pemeriksaan penunjang pada pemfigoid bulosa?

7. Apa diagnosis banding dari pemfigoid bulosa?

8. Bagaimana penatalaksanaan pada pemfigoid bulosa?

1

9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan pemfigoid bulosa?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu membuat dan mengaplikasikan proses pemberian asuhan

keperawatan pada pasien dengan pemfigoid bulosa.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui anatomi dan fisiologi kulit

b. Mengetahui definisi dari pemfigoid bulosa

c. Mengetahui etiologi pada pemfigoid bulosa

d. Mengetahui manifestasi klinis pada pemfigoid bulosa

e. Mengetahui patofisiologi dari pemfigoid bulosa

f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada pemfigoid bulosa

g. Mengetahui diagnosis banding dari pemfigoid bulosa

h. Mengetahui penatalaksanaan dari pemfigoid bulosa

i. Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan pemfigoid bulosa

2

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan pembungkus elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan.

Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurunya, yaitu 15 persen dari

berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75m². Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm)

terdapat di telapak tangan dan kaki dan yang paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.

Gambar struktur anatomi kulit

Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan

subkutan atau subkutis.

a) Epidermis

Epidermis terbagi atas empat lapisan:

1. Stratum korneum

Lapisan zat tanduk , tersusun dari sel-sel mati dan selalu mengelupas.

2. Stratum lusidum

Lapisan zat tanduk, tersusun atas sel-sel yang tidak berinti dan berfungsi

mengganti stratum korneum.

3

3. Stratum granulosum

Tersusun atas sel-sel yang berinti dan mengandung melanocit

4. Stratum germinativum (basal)

Tersusun atas sel-sel yang selalu membentuk sel-sel baru ke arah luar.

Epidermis mengandung juga: Kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut

dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu,

menyebabkan panas dilepaskan dengan cara penguapan. Kelanjar ekrin terdapat disemua

daerah kulit, tetapi tidak terdapat di selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5

juta yang terbanyak ditelapak tangan. Sektretnya cairan jernih kira-kira 99 persen

mengandung klorida,asam laktat,nitrogen dan zat lain.

Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel rambut,

terdapat di ketiak, daerah anogenital, putting susu dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat

diseluruh tubuh, kecuali di tapak tangan, tapak kaki dan pungung kaki. Terdapat banyak di

kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak,

kolestrol dan zat lain.

b) Dermis

Dermis atau korium merupakan lapisan bawah epidermis dan diatas

jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin

rapat (pars papillaris), sedangkan dibagian bawah terjalin lebih lebih longgar

(pars reticularis). Lapisan pars retucularis mengandung pembuluh darah, saraf,

rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus.

c) Jaringan Subkutan ( Subkutis atau Hipodermis )

Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung dibawah dermis.

Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang tyerbanyak

adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan mengandung

saraf, pembuluh darah dan limfe, kandungan rambut dan di lapisan atas jaringan

subkutan terdapat kelenjar keringan. Fungsi dari jaringan subkutan adalah

penyekat panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan energi.

4

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh dengan

lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut :

a. Fungsi proteksi

b. Fungsi absorpsi

c. Fungsi ekskresi

d. Fungsi persepsi

e. Fungsi pengaturan suhu tubuh

f. Fungsi pembentukan pigmen

Jika kulit diberi rangsangan listrik maka elemen-elemen kontraktil akan memendek

atau kulit akan berinteraksi. Rangsangan ini berasal dari pusat kesadaran (otak) dan

disalurkan melalui serabut sarafpengerak menuju serabut-serabut kulit. Seperti diketahui

kulit berkontraksi menurut rangsangan yang datang, bila tidak ada rangsangan unit

pengerak dalam keadaan istirahat (relax) dan otot dalam keadaan lemas (flaccid).

Pengiriman rangsangan dari saraf ke serabut kulit dilakukan melalui sambungan yang

dinamakan junction neuromuscular. Pada akhir ujung saraf ini masih terletak diluar

selaput tipis pembungkus serabut kulit. Dibagian akhir ini ditemukan butiran-butiran

halus yang disebut kuhme atau gelembung-gelembung asetilkolin. Asetilkolin merupakan

hormon yang dikeluarkan oleh bagian saraf akhir dengan tujuan untuk merangsang

serabut kulit. Karena rangsangan ini membuat permeabilitas sel-sel kulit berubah

sehingga ia dapat meneruskan rangsangan tadi keseluruh bagain kulit. Akibatnya kulit

berkontraksi.

Anatomi yang terlibat pada penyakit Pemfigoid Bulosa adalah stratum basale.

Stratum basal terdiri atas sel – sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada

perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan

epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel berbentuk

kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran basalis, terdapat

hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel – sel basal dengan

membran basalis.

5

2.2 Definisi

Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai

oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua

dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa,

tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan

dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian

atipikal, di mana bula biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB

memerlukan tingkat pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan pemberian pengobatan

awal yang tepat. Antigen target pada antibodi pasien yang menunjukkan dua komponen

dari jungsional adhesi kompleks-hemidesmosom ditemukan pada kulit dan mukosa.

Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan

berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen

komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibody

IgG yang terikat pada basement membrane zone. Kondisi ini disebabkan oleh antibodi

dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir.

Lapisan jaringan ini disebut "membran basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat

protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel

peradangan (kemotaksis).

2.3 Etiologi

PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan respon

humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen yaitu antigen PB 180 (PB180,

PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230 atau PBAG1.

Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi

pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita menghasilkan

antibodi untuk melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk

alasan yang tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu jaringan tertentu

dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan menghasilkan antibodi terhadap

membran basal kulit, lapisan tipis dari serat menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan

lapisan berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi yang

menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit. Tidak ada penyebab

6

khusus yang memicu timbulnya PB, namun beberapa faktor dikaitkan dengan terjadinya PB.

Sebagian kecil kasus mungkin dipicu obat seperti furosemide, sulphasalazine, penicillamine

dan captopril. Suatu studi kasus menyatakan obat anti psikotik dan antagonis aldosterone

termasuk dalam faktor pencetus Pemfigoid Bulosa. Belum diketahui apakah obat yang

berefek langsung pada sistem imun, seperti kortikosteroid, juga berpengaruh pada kasus

Pemfigoid Bulosa. Sinar ultraviolet juga dinyatakan sebagai faktor yang memicu PB

ataupun memicu terjadinya eksaserbasi PB. Beberapa faktor fisik termasuk suhu panas,

luka, trauma lokal, dan radioterapi dilaporkan dapat menginduksi PB pada kulit normal.

2.4 Manifestasi Klinis

a. Fase Non Bulosa

Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit nonbulosa, tanda dan

gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya

dengan eksema, papula dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa

minggu atau bulan. Gejala nonspesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda

penyakit.

b. Fase Bulosa

Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit normal

ataupun eritematosa yang tampak bersama - sama dengan urtikaria dan infiltrat papula dan

plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 – 4

cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi

dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek

lentur anggota badan

dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiper- dan

hipopigmentasi. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa

hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh. Pada sekitar

50% pasien, didapatkan eosinofilia daerah perifer. Perjalanan penyakit biasanya ringan dan

keadaan umum penderita baik. Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease)

atau timbul lagi secara

sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa tahun. Rasa gatal kadang

dijumpai, walaupun jarang ada. Kebanyakan bula ruptur dalam waktu 1minggu, tidak seperti

7

pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar dan sembuh dengan cepat. Bula yang pecah

menimbulkan erosi yang luas dengan bentuk tidak teratur, namun tidak bertambah seperti

pada Pemfigus Vulgaris.

c. Lesi kulit

Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula. Bula besar,

tegang, oval atau bulat mungkin timbul dalam kulit normal atau yang eritema dan

mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata,

biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform. Lesi PB yang

menyembuh tidak meninggalkan jaringan parut, tetapi dapat menimbulkan hiperpigmentasi.

d. Tempat Predileksi

Aksila, paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.

Gambar: Pemfigoid Bulosa. Bula tegang diatas kulit yang eritema

Gambar: Pemfigoid bulosa pada perut

8

2.5 Patofisiologi

Gambar: Mekanisme pembentukan bula di Pemfigoid Bulosa (PB)

Gambar diatas menggambarkan beberapa struktur protein membran basal epidermis yang

berfungsi sebagai autoantigen utama dalam penyakit kulit autoimun subepidermal bulosa.

Autoantigens utama pada pasien PB adalah antigen PB 230 (PB230) dan antigen PB 180.

Autoantibodi PB terakumulasi dalam jaringan dan mengikat antigen pada membran basal. Pasien

dengan PB mengalami respon sel T autoreaktif untuk PB180 dan PB230, dan ini mungkin

penting untuk merangsang sel B untuk menghasilkan autoantibodi patogen. Setelah pengikatan

autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula subepidermal terjadi melalui rentetan

peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan

eosinofil), dan pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9

dan neutrofil elastase.

Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler dan

humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal. Antigen PB merupakan protein

yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian

BMZ (basal membrane zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan

sel-sel basal dengan membrane basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom. Terdapat dua

9

jenis antigen Pemfigoid Bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD disebut PBAg1 (Pemfigoid

Bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak

ditemukan dari pada PB180.

Terbentuknya bula akibat komplemen yang beraktivasi melalui jalur klasik dan alternatif,

yang kemudian akan mengeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan

epidermis dengan dermis. Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada

pemfigus bulosa terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina densa.

Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan

hemidesmosom. Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap

antigen Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik

komplemen. Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast.

Produk-produk sel mast menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor

kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan

pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal

pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari

PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemfigus bulosa harus dibedakan dengan dermatosis linear IgA, eritema multiforme, erupsi

obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus melakukan Biopsi

kulit dan titer antibodi serum untuk membedakannya. Biopsi sangat penting untuk

membedakan penyakit - penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak sama.

a. Histopatologi

Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan

dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil.

a. Imunologi

Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di

BMZ (Base Membrane Zone). Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF)

menunjukkan IgG dan biasanya juga C3, deposit dalam lesi dan paralesional kulit dan

substansi intraseluler dari epidermis.

10

2.7 Diagnosa Banding

a. Pemfigus Vulgaris (PV)

Adalah sebuah penyakit autoimun yang serius, dengan bulla, dapat bersifat akut ataupun

kronis pada kulit dan membran mukosa yang sering berakibat fatal kecuali diterapi

dengan agen imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga / golongan

pemfigus, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun akantolitik. Gambaran

lesi kulit pada pemfigus vulgaris didapatkan bula yang kendur di atas kulit normal dan

dapat pula erosi. Membran mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya

dapat dibagian mana saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran

akantolisis suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG dengan pola

interseluler.

Gambar: Lesi utama pemfigus vulgaris bula yang lembek

Gambar: Pemphigus vulgaris. Erosions and flaccid bullae pada kulit normal.

11

b. Pemfigus Foliaseus (PF)

Adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus dengan akantolisis pada lapisan granulosum

epidermis. Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya berupa

vesikel yang kendur. Membran mukosa jarang terlibat. Distribusi lesinya pada bagian

tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Pada

gambaran histopatologi, terlihat gambaran akantolisis pada stratum granulosum. Pada

pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG dengan pola intraseluler.7

c. Pemfigus vegetans (PVeg)

Memberikan gambaran lesi berupa plak granulomatosa, dan adakalanya terdapat vesikel

di pinggiran lesi. Membran mukosa terlibat pada sebagian besar kasus. Distribusi lesi

pada daerah intertriginosa, daerah perioral, leher, kepala dan aksila. Pada pemeriksaan

histopatologi, terlihat gambaran akantolosis suprabasal dan abses-abses intraepidermal

yang berisi eosinofil. Pada pemeriksaan imunopatologi, didapatkan hasil seperti Pemfigus

vulgaris.

d. Epidermolisis Bulosa (EB)

Adalah sebuah penyakit bula subepidermal kronik yang berkaitan dengan autoimunitas

pada kolagen tipe II dalam fibrin pada zona membrane basal. Lesi kulit berupa bula yang

berdinding tegang dan erosi, gambaran noninflamasi ataupun menyerupai pemfigus

bulosa, Dermatitis herpetiformis, atau Dermatosis IgA linear. Membran mukosa terlibat

pada kasus yang parah. Distribusi lesinya sama dengan Pemfigoid Bulosa. Pada

pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal. Pada pemeriksaan

imunopatologi diperoleh IgG linear pada zona membrane basal.

e. Dermatitis herpetiformis (DH)

Adalah erupsi pruritus yang kronis, rekuren, dan intensif yang muncul secara simetris

pada ekstremitas dan pada badan dan terdiri dari vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak

urtika yang tersusun berkelompok, serta berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy

(GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa papul berkelompok, urtikaria, vesikel

serta krusta. Membran mukosa tidak terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut,

glutea, sakral dan skapula. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses

12

di papilla dermis, dan vesikel subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi,

didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla.

Gambar: Dermatitis Herpetiformis dicirikan oleh kelompok vesikel intens pruritic,

papula, dan lesi urtikaria seperti biasanya didistribusikan secara simetris pada

permukaan ekstensor.

f. Dermatosis IgA linear

Adalah penyakit kulit dengan bula subepidermal yang dimediasi sistem imun, dan

merupakan kasus yang cukup jarang ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan adanya

deposit IgA linear yang homogen pada zona membran basal kutaneus. Gambaran lesi

kulitnya berupa vesikel yang anular, berkelompok dan dapat berupa bula. Membran

mukosa terlibat dan biasanya terdapat erosi dan ulkus pada mulut, serta erosi dan pada

konjungtiva. Distribusi lesinya bisa dimana saja. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat

gambaran bula subepidermal dan disertai neutrofil. Pada pemeriksaaan imunopatologi,

didapatkan IgA linear pada zona membran basal.

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi dengan agen

lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline. Obat - obat ini biasanya

dimulai secara bersamaan, mengikuti penurunan secara bertahap dari prednison dan agen

steroid setelah remisi klinis tercapai. Kasus ringan mungkin hanya memerlukan

kortikosteroid topikal. Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat

yang tidak dapat bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mg sehari, jika

telah tampak perbaikan dosis di turunkan perlahan - lahan. Sebagian kasus dapat

disembuhkan dengan kortikosteroid saja. Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi

tidak seperti Pemfigus, dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3

13

tahun. Dosis awal 60-100 mg prednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke

jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga berpotensi

memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu kajian menjelaskan jika

glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita dengan dosis tinggi tanpa dilakukan

tapering selama 4 minggu, kombinasi dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi

sebaliknya penderita harus menanggung efek samping obat tersebut. Pada penderita lanjut

usia dengan gejala yang tidak progresif, obat imunosupresif ini bisa digunakan pada terapi

awal tanpa dikombinasikan dengan prednison. Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan

pada penderita dengan gejala yang berat dan progresif supaya penderita bisa ditangani

dengan cepat. Efek pemakaian glukokortikoid sistemik sangat cepat yaitu hanya beberapa

hari.

Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk mengontrol

dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada Pemfigoid Bulosa. Sulfon mungkin efektif

pada setengah pasien dengan Pemfigoid Bulosa. Tidak banyak pasien yang berespon

terhadap dapson.

a. Umum

- Pengawasan keadaan umum, tanda vital

- Diet TKTP

- Hindari infeksi sekunder (K/P) infus untuk mengantisipasi gangguan cairan dan

elektrolit

b. Sistemik

- Prednison 40-80 mg/hr, bila tampak perbaikan tapering off

- DDS 200-300 mg/hari

- Dapat diberikan gabungan prednison dengan imunosupresan lain

- MTX 20-30 mg/ minggu interval 12 jam diberikan saat prednison dosis 400 mg

- Azatioprin 50-150 mg/hr setelah 3-4 minggu kemudian dilakukan alternate day

- Anabolik bila ada infeksi sekunder

- CTM 3x1 tablet sehari ( bila gatal)

c. Topikal

- Untuk lesi basah : kompres rivanol

- Untuk lesi erosi kering : kortikosteroid topikal

14

- Antibiotik topikal

- Bula besar : aspirasi

2.9 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Pemfigoid Bulosa

2.9.1 PENGKAJIAN FOKUS

1. Biodata

Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda

2. Riwayat kesehatan

Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi

3. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan

( neoplasma ), riwayat penyakit lain

4. Pola kesehatan fungsional

a. Pola Nutrisi dan Metabolik

Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula

mengalami ruptur.

b. Pola persepsi sensori

Nyeri akibat pembentukan bula dan erosi

c. Pola hubungan dengan orang lain

Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula

atau bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar

d. Pola persepsi dan konsep diri

Terjadinya gangguan body image karena adanya bula / bula pecah meninggalkan

erosi yang lebar serta bau yang menusuk

5. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : Baik

b. Tingkat kesadaran : Composmentis

c. Tanda – tanda vital :

15

TD : Dapat meningkat/ menurun

N : Dapat meningkat/ menurun

RR : Dapat meningkat/ menurun

S : Dapat meningkat/ menurun

d. Aksila : Kadang ditemukan bula

e. Tungkai bawah: Kadang ditemukan bula

f. Perut : Kadang ditemukan bula

6. Pemeriksaan penunjang

a. Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit

Ditemukan adanya bula

b. Histopatologi

Terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal

c. Test imunofluorssen

Didapatkan penurunan imunoglobulin

2.9.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan lesi pada kulit, pecahnya bula

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rupture bula dan daerah kulit yang

terbuka

3. Ganguan body image berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik

16

2.9.3 INTERVENSI

17

18

No Diagnosa

Keperawatan

Tujuan dan

Kriteria Hasil

Intervensi Rasional

1. Gangguan rasa

nyaman: nyeri

berhubungan

dengan lesi pada

kulit, pecahnya

bula.

Setelah dilakukan

Asuhan

Keperawatan

selama 2x24 jam

diharapkan pasien

sudah tidak

merasakan nyeri

atau nyeri

berkurang dengan

kriteria hasil:

- Pasien akan

menyatakan

nyeri

berkurang

- Menujukkan

tindakan

santai,

mampu

berpartisipa

si dalam

aktivitas/isti

rahat

dengan

tepat.

a. Bina hubungan dengan

pasien secara baik dan

terbuka

b. Kaji jenis dan tingkat

nyeri. Kaji faktor yang

dapat mengurangi atau

memperberat nyeri

seperti lokasi, durasi,

intensitas, karakteristik,

tanda dan gejala

psikologis

c. Minta pasien untuk

menggunakan sebuah

skala 1-10 untuk

menjelaskan tingkat

nyerinya (dengan nilai

10 menandakan tingkat

nyeri yang palng berat)

d. Kendalikan faktor-

faktor iritan

( kelembaban, suhu,

sabun ringan, batasi

pakaian, cuci linen)

e. Dorong menggunakan

teknik manajemen

stress seperti relaksasi

progresif, latihan napas

a. Tercapainya hubungan saling

percaya antara pasien dengan tim

medis untuk mendukung dalam

proses keperawatan.

b. Membantu meyakinkan bahwa

penanganan dapat memnuhi

kebutuhan pasien dalam mengurangi

nyeri

c. Untuk memfasilitasi pengkajian

yang akurat tentang tingkat nyeri

pasien

d. Rasa nyeri dapat diperburuk oleh

panas, bahan kimia dan fisik

e. Memfokuskan kembali perhatian,

meningkatkan rasa control dan dapat

meningkatkan kemampuan koping

dalam manajemen nyeri yang

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh

adanya bula subepidermal pada kulit. Gejala yang sering adalah dengan rasa gatal ringan

sampai parah. Penanganan dapat berupa medis maupun non medis dimana peran perawat

disini adalah penanganan non medis yaitu memberikan health education dalam mencegah

penularan pemfigoid bulosa.

3.2 Saran

Sebagai ilmu pengetahuan untuk memberikan intervensi pada pasien pemfigoid bulosa.

Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada makalah ini, maka dapat

dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda J. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.Jakarta: EGC

Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta: EGC

20