i. pendahuluan 1.1. latar belakang - nad.litbang.pertanian...

42
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara nasional kebutuhan daging sapi di Indonesia masih kurang sekitar 135 juta ton (35%) dari jumlah kebutuhan 385 juta ton per tahun. Semantara itu di Provinsi Aceh kebutuhan daging sapi sekitar 30.210 ton dan hanya dapat dipenuhi secara internal dari sapi lokal sekitar 87,25% sisanya lebih kurang 4.000 ton didatangkan dari Provinnsi luar Aceh (Badan investasi Aceh, 2009). Padahal populasi sapi di Provinsi Aceh mencapai 671,086 ekor (BPS Aceh, 2010). Apabila 25% saja dari jumlah tersebut bisa sebagai sumber daging dan rata-rata minimal dapat menghasilkan 150 kg per ekor sebenarnya Aceh tidak kekurangan daging bahkan dapat mengekspor daging sapi. Salah satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan daging di Provinsi Aceh adalah kondisi ternak kurang baik, produktivitas HMT yang rendah, SDM peternak dan petugas yang kurang menunjang sehingga mengakibatkan angka service per conception (S/C) >2, conception rate (CR) kurang dari 70% , Calving Interval (CI) di atas 16 bulan, Estrus post partus masih di atas 90 hari. Oleh karena itu Pemerintah Aceh secara positif merespon program Kementerian Pertanian tentang Program Pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong dengan menerapkan program pengembangan kawasan peternakan dan wilayah sumber bibit sapi potong pada tahun 2015. BPTP Aceh sebagai salah satu UPT Badan Litbang Pertanian berkewajiban untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Salah satu program utama Badan Litbang Pertanian untuk sub sektor peternakan adalah perakitan inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas ternak dan tanaman pakan ternak, dan diseminasi dan promosi hasil penelitian serta pengembangan peternakan. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi peternakan untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Teknologi dimaksud diantaranya; Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong, Pengelolaan Kandang Kelompok, Perbaikan Performans Reproduksi Sapi Potong, Model Integrasi Sapi Sawit, Ransum Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian dan Perkebunan Ramah Lingkungan, Teknologi Percepatan Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong, Diseminasi Teknologi Sapi Potong dan Pendampingan PSDSK, Percepatan Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong untuk Peningkatan Bobot Potong.

Upload: ngotram

Post on 14-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara nasional kebutuhan daging sapi di Indonesia masih kurang sekitar

135 juta ton (35%) dari jumlah kebutuhan 385 juta ton per tahun. Semantara itu

di Provinsi Aceh kebutuhan daging sapi sekitar 30.210 ton dan hanya dapat

dipenuhi secara internal dari sapi lokal sekitar 87,25% sisanya lebih kurang 4.000

ton didatangkan dari Provinnsi luar Aceh (Badan investasi Aceh, 2009). Padahal

populasi sapi di Provinsi Aceh mencapai 671,086 ekor (BPS Aceh, 2010). Apabila

25% saja dari jumlah tersebut bisa sebagai sumber daging dan rata-rata minimal

dapat menghasilkan 150 kg per ekor sebenarnya Aceh tidak kekurangan daging

bahkan dapat mengekspor daging sapi. Salah satu penyebab tidak terpenuhinya

kebutuhan daging di Provinsi Aceh adalah kondisi ternak kurang baik,

produktivitas HMT yang rendah, SDM peternak dan petugas yang kurang

menunjang sehingga mengakibatkan angka service per conception (S/C) >2,

conception rate (CR) kurang dari 70% , Calving Interval (CI) di atas 16 bulan,

Estrus post partus masih di atas 90 hari. Oleh karena itu Pemerintah Aceh secara

positif merespon program Kementerian Pertanian tentang Program

Pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong dengan menerapkan

program pengembangan kawasan peternakan dan wilayah sumber bibit sapi

potong pada tahun 2015.

BPTP Aceh sebagai salah satu UPT Badan Litbang Pertanian berkewajiban

untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Salah satu program utama

Badan Litbang Pertanian untuk sub sektor peternakan adalah perakitan inovasi

teknologi untuk peningkatan produktivitas ternak dan tanaman pakan ternak,

dan diseminasi dan promosi hasil penelitian serta pengembangan peternakan.

Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi peternakan

untuk mendukung keberhasilan program tersebut. Teknologi dimaksud

diantaranya; Peningkatan Mutu Genetik Sapi Potong, Pengelolaan Kandang

Kelompok, Perbaikan Performans Reproduksi Sapi Potong, Model Integrasi Sapi

Sawit, Ransum Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian dan Perkebunan Ramah

Lingkungan, Teknologi Percepatan Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong,

Diseminasi Teknologi Sapi Potong dan Pendampingan PSDSK, Percepatan

Penyediaan Bibit dan Bakalan Sapi Potong untuk Peningkatan Bobot Potong.

2

Kegiatan pengembangan kawasan pertanian nasional komoditi

peternakan berbasis sapi potong direncanakan di 4 kabupaten yaitu Aceh Besar,

Aceh Jaya dan Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Berdasarkan hasil kegiatan

pendampingan PSDSK maka kegiatan pengembangan kawasan sapi potong

difokuskan kepada kegiatan diseminasi teknologi pakan (jerami fermentasi,

introduksi rumput unggul dan leguminosa), pemberian mineral, pemuliabiakan

(IB dan INKA) dan pengendalian parasit interna.

1.2. Tujuan

Meningkatkan populasi sapi potong di Provinsi Aceh dengan dukungan

IPTEK guna memenuhi kebutuhan daging sapi potong.

1.3. Keluaran yang Diharapkan

Peningkatan populasi sapi potong mendukung tercapainya swasembada

daging sapi potong di Provinsi Aceh yang di dukung oleh aspek teknis

(teknologi), manajemen, dan arah kebijakan yang sinergi antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah.

1.4. Hasil yang Diharapkan

Melalui kegiatan pendampingan diharapkan akan terjadi:

1. Sinkronisasi kegiatan pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi

potong baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota pada

Dinas/Instansi terkait.

2. Tersebarluasnya komponen paket teknologi melalui pendekatan

pemeliharaan ternak terpadu dalam upaya meningkatkan produktivitas

daging sapi potong.

3. Terjadinya peningkatan produktivitas daging sapi potong di lokasi

kegiatan.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Petani memahami dan menerapkan teknologi penunjang keberhasilan

pembibitan (PKP) terdiri dari teknologi pakan, reproduksi, manajemen

pemeliharaan, dan arah kebijakan yang memihak kepada peternak.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Ternak Sapi Potong

Sapi adalah salah satu jenis ternak terpenting dari jenis-jenis hewan

ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan

kebutuhan manusia lainya. Ternak sapi menghasilkan 50% kebutuhan daging di

dunia, 95% kebutuhan susu, dan kulitnya menghasilkan sekitara 85% kebutuhan

kulit untuk sepatu. Sapi adalah salah satu genus dari famili Bovidae. Ternak atau

hewan-hewan lainya yang termasuk famili ini ialah Bison, banteng (Bibos),

kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan Anoa.

Peranan ternak sapi dalam pembangunan peternakan cukup besar

terutama dalam pengembangan misi peternakan yaitu sebagai berikut

(Surayatiyah, 2006):

1. Sumber pakan hewani asal ternak, berupa daging dan susu

2. Sumber pendapatan masyarakat terutama petani peternak

3. Penghasilan devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan

nasional

4. Menciptakan angkatan kerja

5. Sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk

kandang

6. Pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam ritus adat/kebudayaan.

Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor

produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan

produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur,

yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengelolaan. Manajemen mencakup

pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak.

Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan

pengaturan tenaga kerja (Abidin, 2002).

Menurut Soeharto (1990) dalam Surayatiyah (2009) usaha ternak dapat

digolongkan dalam 4 jenis:

1. Usaha yang bersifat tradisional yaitu petani/peternak kecil yang mempunyai

1-2 ekor ternak ruminansi besar. Usaha ini hanya bersifat sambilan dan

untuk sampingan saja.

4

2. Usaha backyard, yaitu petani/peternak yang tujuan usahanya selain untuk

memenuhi kebutuhannya juga untuk dijual. Golongan pada usaha ini telah

memakai input teknologi, manajemen, dan pakan yang rasional. Dalam

perkembangannya ditunjang dengan sistem PIR

3. Usaha komersil, yaitu petani/peternak yang telah benar-benar menerapkan

prinsip-prinsip ekonomi, profit oriented, dan efisiensi. Usaha ini meliputi

usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan dan lain-lain.

Secara garis besar ada dua bentuk usahatani yang telah dikenal yaitu

usahatani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation,

estate, enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usahatani adalah usaha

keluarga sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian (Suryantini, 2004).

2.2 Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta

tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno

1998). Lawrie (1991) mendefinisikan daging sebagai sesuatu yang berasal dari

hewan termasuk limpa, ginjal, otak serta jaringan lain yang dapat dimakan.

Soeparno (1998) menjelaskan lebih lanjut keadaan fisik daging dapat

dikelompokkan menjadi:

1. Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan,

2. Daging yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin),

3. Daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku),

4. Daging masak,

5. Daging asap, dan

6. Daging olahan.

Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan

yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan

petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme.

Secara fisik, kriteria atau ciri-ciri daging yang baik adalah berwarna merah segar,

berbau aromatis, memiliki konsistensi yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu

banyak mengeluarkan cairan. Daging sebagai sumber protein hewani memiliki

nilai hayati (biological value) yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak,

5

70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya

(Forrest et al. 1992). Komposisi daging menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75%

air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut.

Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9%

lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan yang akan

menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak

(Romans et al. 1994).

Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino

esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin,

glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin,

lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan

dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan

pada suhu 70°C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen,

sedangkan pemanasan pada suhu 160 °C akan menurunkan jumlah lisin hingga

50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam

amino (Lawrie 1991). Kandungan lemak pada daging menentukan kualitas

daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang

nyata pada komposisi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan

ternak tidak memamah biak adalah karena adanya hidrogenasi oleh

mikroorganisme rumen (Soeparno 1998). Lawrie (1991) menyatakan lemak sapi

kaya akan asam stearat, asam palmitat dan asam oleat.

Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi.

Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu protein

sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma

adalah protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan larutan

garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta sejumlah kecil

troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini memiliki sifat larut dalam larutan

garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri

atas protein kolagen, elastin, dan retikulin (Muchtadi & Sugiono 1992).

Pada tahun 2010, total produksi daging nasional mencapai 2,366 juta ton,

dan 0,472 juta ton (19,05%) berasal dari daging sapi dan kerbau. Bila

dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2009), produksi daging mengalami

peningkatan sebanyak 7,311%, dan produksi daging sapi potong juga mengalami

peningkatan sebanyak 6,63%. Produksi daging sapi pada tahun 2010 lebih

6

rendah (7,914 ton) dibandingkan pada tahun 2007 (12,146 ton), namun lebih

tinggi dibandingkan pada tahun 2008 (7,322 ton) dan 2009 (7,614) (Dirjen

Peternakan dan Keswan, 2011).

2.3 Pemberian Pakan (feeding)

Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi

kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama

adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup

dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong bertujuan

untuk kebutuhan pokok hidup dan perawatan tubuh serta keperluan berproduksi

(Sugeng, 2005). Selanjutnya Sugeng (2005), menyatakan bahwa pemberian zat-

zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing.

Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan

untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi untuk

pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda

dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup

bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis. Menurut

Natasasmita dan Mudikdjo (1979), bahan pakan dikelompokkan menjadi dua

yaitu:

1. Menurut asalnya pakan terdiri dari :

- hijauan alami (rumput lapangan),

- hijauan tanaman (rumput gajah),

- hasil limbah pertanian (jerami),

- hasil limbah industri (bungkil),

- hasil pengawetan (silase, selai).

2. Menurut kandungan zat makanan dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan

ternak terdiri dari :

- hijauan kering,

- hijauan segar,

- silase,

- sumber energi,

- sumber protein,

- sumber mineral,

- sumber vitamin,

7

- makanan tambahan.

Pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan

pemeliharaan sapi. Oleh karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami.

Ketersediaan padang penggembalaan pada pemeliharaan ternak sapi diperlukan

sekali sebagai sumber pakan hijauan. Pemberian pakannya dapat dilakukan

dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan pada ternak sapi yang

ada di dalam kandang. Pemberian pakan seperti ini disebut cut and carry. Selain

itu, rumput juga dapat dikonsumsi langsung oleh sapi di areal padang

penggembalaan berdasarkan pada stocking rate (daya tampung) padang

penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT

(Unit Ternak) (Santosa, 2005). Ketersediaan pakan harus mencukupi kebutuhan

ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang

dibuat sendiri atau berasal dari pabrik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

Menurut Santosa (2005) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa

pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya yaitu :

1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di

daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan

kesulitan mencarinya;

2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah

yang mencukupi keperluan;

3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin

mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;

4. Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang

sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan tersebut maka

usahakanlah agar digunakan satu macam saja;

5. Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan

zat-zat makanannya hampir setara;

6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak

menampakkan perbedaaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.

2.4 Reproduksi (breeding)

Sapi dapat dikembangbiakan dengan dua metode yang umum dikenal,

yaitu:

8

1. Metode alamiah yaitu sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina

yang sedang birahi, sperma sapi jantan pemacek untuk perkawinan alamiah

hanya mampu melayani 120 ekor sapi betina/tahun,

2. Metode inseminasi buatan (IB), metode ini lebih populer dikenal dengan

kawin suntik. Perkawinan dilakukan dengan bantuan peralatan khusus dan

manusia (inseminator), seekor sapi jantan pemacek sebagai sumber sperma

dapat dipergunakan untuk mengawini sapi betina sampai 20.000 ekor/tahun

(Hernowo, 2006).

Perkawinan keluarga merupakan perkawinan antara individu yang

mempunyai hubungan keluarga yang dekat, misalnya antara anak dengan bapak.

Tujuan sistem perkawinan yang demikian adalah:

1. Meningkatkan kemurnian, sehingga daya menurunkan sifat bertambah.

2. Memungkinkan timbulnya sifat jelek, sehingga segera dapat dilakukan

penyisihan. Ternak yang sifatnya jelek tidak dikembangbiakkan (Hernowo,

2006).

Menurut Santosa (2005) keterampilan dalam melihat tanda-tanda berahi

ternak sapi betina sangat menentukan keberhasilan perkawinan ternak sapi.

Tandatanda yang lazim nampak pada ternak sapi adalah:

1. Sapi betina tidak tenang (gelisah)

2. Nafsu makan berkurang,

3. Sering melenguh

4. Mendekati pejantan

5. Sering menaiki sapi lain

6. Jika dinaiki akan diam.

Selain itu Santosa (2005) menyatakan tanda khusus dari vulva adalah

keadaannya yang tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening. Bila

sudah terlihat tanda-tanda berahi, secepatnya sapi betina tersebut dikawinkan.

Perkawinan akan berhasil apabila dilakukan terutama pada 15-18 jam setelah

tanda-tanda berahi mulai tampak. Apabila perkawinan dilakukan sebelum

mencapai 6 jam setelah tanda berahi tampak maka perkawinan kurang berhasil.

Namun apabila perkawinan dilakukan setelah 28 jam setelah tanda-tanda berahi

tampak maka perkawinan akan mengalami kegagalan.

9

2.5. Manajemen Pemeliharaan

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan mempercepat

penyebaran ternak besar oleh peternak adalah dengan cara pemeliharaan ternak

tersebut. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi

perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak (Hernowo, 2006).

Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip

pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu: pengawasan lingkungan,

pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan

air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan

ternak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Sistem pemeliharaan sapi potong

dikategorikan dalam tiga cara yaitu:

3.5.1. Pemeliharaan ekstensif

Sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan

sepanjang hari, mulai pagi sampai sore hari. Selanjutnya mereka digiring

kekandang terbuka yakni kandang tanpa atap. Di dalam kandang, sapi itu tidak

diberi pakan tambahan lagi (Sugeng, 2005).

3.5.2. Pemeliharaan Semi Intensif

Pada siang hari sapi-sapi diikat dan ditambatkan di ladang, kebun, atau

pekarangan yang rumputnya subur. Kemudian sore harinya sapi-sapi tadi

dimasukkan ke dalam kandang sederhana yang dibuat dari bahan bambu, kayu,

atap genteng atau rumbia, dan sebagainya, yang lantainya dari tanah

dipadatkan. Pada malam hari mereka diberi pakan tambahan berupa hijauan

rumput atau dedaun-denaunan. Terkadang juga mereka masih diberi pakan

penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam (Sugeng,

2005).

3.5.3. Pemeliharaan Intensif

Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir

sepanjang hari berada di dalam kandang. Peternak memberi pakan sebanyak

dan sebaik mungkin sehingga cepat menjadi gemuk dan kotorannya pun cepat

bisa terkumpul dalam jumlah yang lebih banyak sebagai pupuk. Sapi–sapi

memperoleh perlakuan yang lebih teratur atau rutin dalam hal memberikan

pakan, pembersihan kandang, memandikan sapi, menimbang, mengandalikan

penyakit (Sugeng, 2005). Program peningkatan usaha peternakan sapi potong

10

tradinasional ke arah usaha peternakan yang lebih maju dan menguntungkan

tidak terlepas dari:

1. Penggunaan bibit sapi potong yang baik dan unggul

2. Perbaikan makanan, baik kualitas maupun kwantitas

3. Menerapkan cara pengelolaan dan pemeliharaan yang baik

4. Penjagaan dan perawatan ternak sapi potong, terutama penjagaan kesehatan

5. Menciptakan pemasaran hasil ternak sapi potong yang menguntungkan.

Untuk meningkatkan usaha peternakan tradinasional menuju usaha yang

lebih maju, petani-peternak memporoleh fasilitas adalah:

1. Pemberian fasilitas kredit bunga rendah persyaratan lunak

2. Pemberian fasilitas penyuluhan intensif melalui bentuk kontak peternak dan

kelompok peternak

3. Pemberian sarana produksi peternakan, obat-obatan, dan vaksinasi

4. Pemberian penyuluhan dan pengenalan bibit rumput unggul melalui kebun

pembibitan rumput

5. Pemberian penyuluhan dalam melamarkan hasil produksi melalui koperasi ata

pedagang ternak (Murtidjo, 1990).

2.6. Limbah Kotoran Sapi

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran

yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat

dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah

yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang

mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah

yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urin, air dari

pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas

atau dalam fase gas. Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat

unit pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan

kapasitas produksi limbah yang dihasilkan (Direktorat Jenderal Peternakan,

2000).

Limbah peternakan yang berupa kotoran dan sisa pakan dapat

menurunkan mutu lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Kotoran

ternak yang tercecer akan terbawa oleh aliran air hujan ke daerah-daerah yang

lebih rendah dan selanjutnya akan menyebabkan penyakit (Setiawan, 1996).

11

Penanganan limbah yang biasa dilakukan peternak adalah dengan menampung

di kolam terbuka sehingga fermentasi aerob dan degradasi senyawa organik

berlangsung sangat lambat (Widarto dan Suryana, 1995).

Untuk menangani limbah tersebut dapat dilakukan beberapa cara

penanganan seperti mengubah kotoran sapi padat atau feses menjadi pupuk

kandang, serta pemanfaatan urine sapi yang bisa diubah menjadi pupuk cair.

Kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan untuk energi alternatif seperti biogas. Selain

itu kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan air tawar.

12

III. PROSEDUR

3.1. Ruang Lingkup

Lingkup kegiatan pada tahun 2016 adalah pendampingan pada kabupaten

yang telah ditetapkan sebagai kawasan sapi potong yaitu Kabupaten Aceh Jaya,

Aceh Besar dan Aceh Tamiang. Kegiatan pendampingan juga didampingi oleh

koordinator wilayah yang dibantu oleh penyuluh pendamping di tingkat

kabupaten. Pelaksanaan kegiatan dimulai bulan Januari sampai dengan bulan

Desember 2016.

Pelaksanaan program pengembangan kawasan pertanian nasional

komoditi peternakan berbasis sapi potong didasarkan kepada Keputusan Menteri

Pertanian RI No 43/Kpts/PD.410/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi

Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba, dan Babi, juga didasarkan pada

kenyataan bahwa sampai saat ini Provinsi Aceh masih belum swasembada daging

sapi. Pengembangan kawasan peternakan sapi potong dilaksanakan melalui

optimalisasi sumberdaya lokal, artinya upaya swasembada tersebut akan lebih

banyak menggerakkan secara optimal kemampuan produksi dan produktivitas

ternak lokal. Selain itu juga akan dioptimalkan segala potensi sumberdaya alam,

sumberdaya teknologi dan sumberdaya finansial dalam negeri serta

pemberdayaan peternak. Program ini sepenuhnya diupayakan untuk mengangkat

pendapatan dan kesejahteraan peternak rakyat, untuk itu upaya-upaya

pemberdayaan lebih diarahkan kepada kegiatan-kegiatan untuk peningkatan

daya saing, promosi dan partisipasi masyarakat.

Penerapan teknologi peternakan dan penyampaian materi penyuluhan

pada masing-masing kelompok peternak dan petugas bersifat optional. Materi

diseminasi disampaikan dengan metoda tatap muka dan demontrasi plot.

Pendampingan melibatkan dinas/instansi terkait, petugas lapang, dan kelompok

tani secara partisipatif.

3.2. Pendekatan

Kegiatan diseminasi teknologi mendukung program pengembangan

kawasan peternakan berbasis sapi potong dilakukan secara partisipatif di

kelompok terpilih melibatkan peneliti penyuluh BPTP Aceh, dinas/instansi terkait,

petugas, dan kelompok tani/peternak.

13

3.3. Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan kegiatan Diseminasi Teknologi Mendukung

program pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong antara lain:

(1) Apresiasi dan koordinasi kegiatan dengan Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten, (2) Pengumpulan data sekunder tentang sapi potong, (3) Penyedian

hijauan pakan ternak (rumput unggul, leguminosa pohon dan jerami fermentasi),

(4) Teknologi pemberian mineral, (5) Teknologi pengendalian parasit interna, (6)

Temu teknis dan temu lapang, (7) Melaksanakan bimbingan manajemen

pemeliharaan, (8) Monitoring dan evaluasi kegiatan, (9) Analisa data dan

Pelaporan.

(1). Apresiasi & Koordinasi Kegiatan dengan Pemerintah Provinsi &

Kabupaten

Koordinasi dilaksanakan pada dinas/instansi terkait baik di tingkat Provinsi

maupun Kabupaten dengan tujuan untuk mengetahui arah kebijakan program

pengembangan kawasan peternakan berbasis sapi potong di tingkat Provinsi dan

Kabupaten, masalah dan hambatan yang dihadapi, kebutuhan teknologi serta

metoda dan media diseminasi yang diinginkan peternak.

(2). Pengumpulan Data Sekunder Tentang Sapi Potong

Pengumpulan data sekunder dilaksanakan di setiap lokasi kegiatan yang

terpilih. Pengumpulan data meliputi catatan populasi dan data keluar-masuk

ternak di provinsi Aceh.

(3). Melaksanakan Bimbingan Penerapan Teknologi PKP

Bimbingan penerapan teknologi PKP terhadap sapi potong dilakukan oleh

peneliti BPTP Aceh, bersama-sama dengan petugas dinas setempat yang

dilakukan secara partisipatif. Bimbingan tersebut dilaksanakan untuk memberikan

bekal keterampilan terhadap peternak dalam hal manajemen pemeliharaan induk

bunting, penggunaan pakan, serta teknologi reproduksi. Bimbingan penerapan

teknologi dilakukan baik secara teori maupun praktek di lapangan.

(4). Melaksanakan Pelatihan Petani dan Petugas

Pelatihan petani dan petugas dilaksanakan untuk menyiapkan tenaga-

tenaga terampil dan profisional dalam berbagai aspek usaha ternak sapi potong

14

seperti pakan, reproduksi, kesehatan hewan, pengolahan dan pemanfaatan

kotoran sapi untuk pembuatan pupuk organik. Upaya tersebut berbentuk

kegiatan lapangan untuk aspek teknis, dan manejemen. Tujuan pelatihan petani

dan petugas adalah:

1. Mengembangkan pengetahuan petani sapi potong dalam aspek pakan,

reproduksi, manejemen, dan pengolahan limbah kotoran sapi.

2. Mengembangkan kemampuan menyusun formulasi ransum berbagai jenis

pakan (konsentrat, complete feed, feed additive, sumber serat, dll).

3. Mengembangkan ketrampilan petani dalam aplikasi teknologi usaha ternak

sapi potong, pengolahan limbah ternak dan limbah pertanian untuk produksi

pakan dan pupuk organik.

Kegiatan ini bertujuan untuk membekali petani dan petugas dengan

pengetahuan tentang teknologi tepat guna, mengembangkan keterampilan dan

menumbuhkan kelembagaan sesuai fungsi dan kebutuhan petani. Kegiatan

dilaksanakan melalui metode pertemuan dan diskusi secara partisipatif,

kunjungan lapang dan praktik tentang aplikasi teknologi.

(5). Melaksanakan Bimbingan Manajemen Pemeliharaan

Bimbingan manajemen pemeliharaan sapi potong dilaksanakan secara

bersama-sama antara Peneliti/Penyuluh BPTP dengan Petugas Dinas setempat.

Bimbingan manajemen pemeliharaan antara lain mencakup penyediaan pakan

dan pengelolaan kandang.

(6). Monitoring dan Evaluasi

Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan secara periodik untuk

mengetahui keragaan teknologi, adopsi teknologi, dan dampak aplikasi teknologi

pada setiap lokasi sasaran. Secara umum kegitan Monev direncanakan akan

dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu pada awal kegiatan, pertengahan dan akhir

kegiatan pendampingan. Aspek yang dimonitoring dan dievaluasi meliputi aspek

teknis, sosial ekonomis dan kelembagaan.

(7). Analisis Data dan Pelaporan

Data teknis ditabulasi dan dianalsis secara deskriptif. Pelaporan dibuat

sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan pendampingan.

Pelaporan dilakukan pada tengah dan akhir tahun pelaksanaan kegiatan.

15

3.4. Bahan dan Alat

(1). Bahan

Bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan Diseminasi

Teknologi Mendukung Swasembada Daging Sapi Kerbau terdiri:

- bahan pakan,

- bahan suplemen, mineral,

- Trichoderma,

- bahan kompos,

- dekomposor,

- Plastik hitam

- ATK/ komputer supplies, dll.

(2). Alat

Alat yang dibutuhkan untuk kegiatan ini yaitu:

- Peralatan kandang

- Alat pembuatan garam blok

Alat perbanyakan starter trichoderma

16

Tabel 1. Tenaga yang Terlibat dalam Kegiatan

No. Nama Lengkap/ NIP

Jabatan

dalam Kegiatan

Uraian Tugas

Alokasi

Waktu Jam/Mg

1. Dr. Iskandar Mirza/

19630316 199403 1 001

Penanggung

Jawab

Mengkoordinir Kegiatan

mulai dari perencanaan,

pelaksanaan di lapangan sampai pelaporan

15

2.

Ir. Syarifah Raihanah/ 19610603 199603 2 001

PNK

Membantu dalam pelaksanaan di lapangan dan

penulisan laporan 20

3.

Abdul Azis, SPi, M.P/ 19661231 199302 1 001

Peneliti

Membantu dalam

pelaksanaan di lapangan dan penulisan laporan

20

4. Zuardi Effendi, SP/

PNK

Membantu dalam

pelaksanaan di lapangan dan

penulisan laporan

20

5. P.M Teknisi Membantu dalam

pelaksanaan di lapangan 20

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pokok dan kegiatan operasional pada program PSDSK (Gambar

1) dianggap masih sesuai dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan

kawasan peternakan. Tidak semua kegiatan pokok dan kegiatan operasional

dapat diterapkan pada kelompok binaan karena persoalan dalam budidaya ternak

pada setiap kelompok berbeda-beda. Dengan demikian, teknologi yang

diterapkan di kelompok yang dilakukan pendampingan bersifat opsional sesuai

dengan kebutuhan petani. Secara umum program yang diterapkan meliputi

pemberian mineral, pengendalian parasit interna dan penyediaan hijauan pakan

ternak.

4.1. Gambaran Umum Peternakan Sapi Potong dan Kerbau di Provinsi Aceh

Terdapat beberapa kendala dalam usahatani sapi potong di provinsi Aceh

diantaranya; susah mendapatkan bakalan yang berkualitas terutama untuk sapi

penggemukan; system penjualan ternak dari petani ke pedagang masih dengan

system taksiran dan kredit, pakan hijauan (rumput) tidak tersedia sepanjang

tahun; sistem budidaya yang masih kurang sentuhan teknologi. Posisi Provinsi

Aceh saat ini masih kekurangan daging sapi yang ditandai dengan harga daging

dapat mencapai 130.000/kg.

Salah satu faktor penyebab tingginya harga daging karena belum

cukupnya ketersediaan bakalan untuk digemukkan. Kondisi ini menyebabkan

peternak harus membeli bakalan dari luar Aceh dengan harga/unit cost yang

relatif tinggi. Meskipun posisi provinsi Aceh masih kekurangan daging, namun

posisi tawar peternak umumnya masih tetap rendah, sehingga peternak belum

mendapatkan keuntungan yang maksimal. Harga ternak masih ditetapkan

berdasarkan taksiran dan umumnya tidak dibayar tunai terutama sapi hasil

penggemukan, sedangkan untuk sapi bakalan umumnya dibayar tunai. Sampai

saat ini belum terlihat peluang untuk meningkatkan daya tawar peternak dalam

sistem jual-beli. Meskipun di setiap kabupaten/kota peternak sudah membentuk

kelompok, namun keberadaan kelembagaan peternak tersebut belum mampu

memenuhi kebutuhan finansial peternak. Tambahan lagi lembaga finansial yang

18

Penyediaan bakalan/daging

sapi lokal

Peningkatan produktivitas

dan reproduktivitas

sapi lokal

Pencegahan pemotongan sapi betina produktif (8)

Pengaturan stock daging sapi di dalam

negeri

Penyediaan Bibit sapi lokall

• Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal (1)

• Pengembangan pupuk organik dan biogas (2)

• Integrasi tanaman-ternak (3)

• Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH (4)

• Penyelamatan sapi betina produktif (8)

• Optimalisasi IB & INKA (5)

• Penyediaan dan pengembangan pakan dan air (6)

• Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan keswan (7)

• Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan (9)

• Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC (10)

• Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (Program KUPS) (11)

• Penguatan stock sapi bakalan dan daging sapi (12)

• Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging (13)

Gambar 1. Kegiatan pokok dan kegiatan operasional PSDS

19

berkeinginan untuk memberi pinjaman untuk usaha peternakan sapi potong

masih sangat terbatas.

Gambaran populasi ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) di provinsi

Aceh mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Dinas Kesehatan Hewan dan

Peternakan Provinsi Aceh (2016) melaporkan bahwa antara tahun 2012-2015

pertumbuhan kerbau mengalami penurunan sebesar 27,44 persen, sedangkan

pada periode tahun 2013-2014 dan 2014-2015 pertumbuhannya mengalami

kenaikan masing-masing 16,20% dan 32,03% (Tabel 3).

Tabel 2. Populasi kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2015

Kabupaten/Kota Tahun

2012 2013 2014 2015

Simeulue 34.256 22.412 35.120 35.820

Aceh Singkil 751 745 763 844

Aceh Selatan 6.399 5.142 6.132 6.185

Aceh Tenggara 456 352 448 543

Aceh Timur 11.455 4.082 4.122 10.412

Aceh Tengah 13.244 11.918 12.156 12.728

Aceh Barat 20.082 18.863 20.393 22.893

Aceh Besar 16.139 10.864 11.189 30.133

Pidie 9.720 6.285 6.473 10.836

Bireun 3.406 1.363 1.402 1.946

Aceh Utara 4.510 2.142 2.184 5.426

Aceh Barat Daya 6.375 3.558 3.664 4.200

Gayo Lues 9.402 9.185 9.368 9.032

Aceh Tamiang 457 276 278 582

Nagan Raya 9.207 8.321 8.321 9.100

Aceh Jaya 3.226 2.387 2.479 4.325

Bener Meriah 2.351 2.197 2.600 3.790

Pidie Jaya 2.071 1.463 2.275 2.375

Kota Banda Aceh 99 40 66 36

Kota Sabang 108 42 105 115

Kota Langsa 316 155 165 167

Kota Lhok Seumawe 119 36 255 6

Kota Subulussalam 145 122 123 253

Jumlah 154.294 111.950 130.081 171.747

Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data diolah

Meskipun gambaran tingkat pertumbuhan sapi potong berbeda dengan pertumbuhan kerbau namun polanya cenderung sama, dimana pada periode tahun 2012-2013 mengalami penurunan rata-rata 19,98%, sedangkan pada

20

periode tahun 2013-2014 dan periode tahun 2014-2015 mengalami

peningkatan rata-rata 2,31% dan 40,32% (Tabel 4).

Tabel 3. Populasi sapi potong provinsi Aceh tahun 2012-2015

Kabupaten/Kota Tahun

2012 2013 2014 2015

Simeulue 1.881 1.039 2.038 2.764

Aceh Singkil 3.907 3.709 3.783 4.308

Aceh Selatan 1.982 1.944 1.832 2.293

Aceh Tenggara 5.859 3.682 5.047 4.755

Aceh Timur 70.874 48.444 45.030 69.616

Aceh Tengah 7.044 5.480 5.644 8.089

Aceh Barat 4.195 4.695 4.869 5.968

Aceh Besar 72.874 60.221 62.027 108.084

Pidie 55.513 46.252 47.639 66.869

Bireun 58.366 49.074 50.546 47.980

Aceh Utara 90.388 65.307 67.266 105.214

Aceh Barat Daya 2.010 1.167 2.186 2.169

Gayo Lues 5.524 5.078 5.230 5.954

Aceh Tamiang 54.672 47.984 49.423 68.169

Nagan Raya 9.032 9.398 9.252 11.021

Aceh Jaya 17.355 13.084 13.204 19.276

Bener Meriah 968 903 1.321 3.035

Pidie Jaya 19.625 17.229 18.505 21.393

Kota Banda Aceh 1.915 2.194 1.678 2.196

Kota Sabang 2.336 2.052 2.235 3.076

Kota Langsa 7.094 5.487 5.907 7.328

Kota Lhok Seumawe 9.548 7.858 6.907 8.028

Kota Subulussalam 2.209 1.940 1.988 2.702

Jumlah 505.171 404.221 413.557 580.287

Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data sudah diolah

Data tersebut menunjukkan bahwa populasi kerbau mengalami

penurunan yang lebih tinggi dibandingkan sapi potong. Antara tahun 2013-2014

jumlah populasi sapi potong dan kerbau mengalami peningkatan masing-masing

2,31 dan 16,20 persen (Tabel 4 dan 5). Peningkatan populasi tersebut tidak

sebanding atau lebih rendah dibandingkan dengan angka penurunan populasi

pada tahun sebelumnya (19,98 dan 27,44 persen versus 2,31 dan 16,20) (Tabel

2, 3, 4 dan 5). Kondisi ini mengakibatkan provinsi Aceh masih mengalami devisit

terutama terhadap komoditas sapi yang ditandai dengan pemasukan ternak dan

hasil ternak sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluarannya (Tabel

8).

21

Tabel 4. Jumlah pemotongan sapi potong provinsi Aceh tahun 2012-2015

Kabupaten/Kota Tahun

2012 2013 2014 2015

Simeulue 48 33 45 43

Aceh Singkil 144 144 146 302

Aceh Selatan 263 270 300 345

Aceh Tenggara 719 739 767 1.204

Aceh Timur 2.927 2.891 2.948 5.708

Aceh Tengah 380 412 420 592

Aceh Barat 558 245 285 278

Aceh Besar 8.004 10.084 10.336 14.440

Pidie 1.110 1.164 1.193 1.108

Bireun 9.229 9.885 10.132 5.006

Aceh Utara 3.810 6.387 6.973 8.014

Aceh Barat Daya 171 181 191 212

Gayo Lues 487 74 78 140

Aceh Tamiang 2.813 2.985 3.014 3.160

Nagan Raya 234 862 934 225

Aceh Jaya 923 808 822 651

Bener Meriah 126 64 75 376

Pidie Jaya 6.101 1.538 1.645 886

Kota Banda Aceh 3.315 3.550 3.638 3.654

Kota Sabang 528 676 713 779

Kota Langsa 1.708 1.454 1.525 2.329

Kota Lhok Seumawe 987 258 260 2.168

Kota Subulussalam 384 411 421 205

Jumlah 44.969 45.115 46.861 51.825

Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data diolah

Angka pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh jumlah pemotongan, keluar-

masuk ternak, angka kematian dan berbagai parameter reproduksi lainnya.

Jumlah pemotongan sapi pada tahun 2012-2015 (Tabel 6) menunjukkan trend

yang terus meningkat (periode 2012-2013 meningkat 0,32%, periode 2013-2014

meningkat 3,87%, periode 2014-2015 meningkat 10,59%) , sedangkan

pemotongan kerbau (Tabel 7) tidak menunjukkan trend yang sama seperti

pemotongan sapi (periode 2012-2013 menurun 8,84%, periode 2013-2014

meningkat 6,41%, periode 2014-2015 meningkat 11,10%). Pada Tabel 6 dan 7

menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi lebih tinggi dibandingkan dengan

jumlah pemotongan kerbau. Kondisi ini disamping disebabkan karena populasi

kerbau yang relatif lebih rendah dibandingkan jumlah populasi sapi sehingga

22

kerbau lebih sukar di peroleh di pasaran, juga dikarenakan pada

umumnya masyarakat Aceh lebih suka mengkonsumsi daging sapi.

Tabel 5. Jumlah pemotongan kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2015

Kabupaten/Kota Tahun

2012 2013 2014 2015

Simeulue 1.196 1.253 1.300 1.268

Aceh Singkil 37 40 40 207

Aceh Selatan 1.055 1.162 1.265 1.089

Aceh Tenggara 449 447 490 268

Aceh Timur 73 76 127 278

Aceh Tengah 1.002 1.047 1.032 1.579

Aceh Barat 3.690 1.637 1.934 1.748

Aceh Besar 2.445 3.472 3.541 4.379

Pidie 194 369 370 611

Bireun 116 38 30 90

Aceh Utara 117 224 228 592

Aceh Barat Daya 773 558 672 446

Gayo Lues 345 114 112 92

Aceh Tamiang ND ND ND 8

Nagan Raya 619 944 1.005 712

Aceh Jaya 356 129 144 309

Bener Meriah 570 204 225 734

Pidie Jaya 409 417 425 211

Kota Banda Aceh 573 598 598 495

Kota Sabang 78 98 112 109

Kota Langsa 103 103 115 70

Kota Lhok Seumawe 3 12 12 0

Kota Subulussalam 30 33 30 45

Jumlah 14.233 12.975 13.807 15.340

Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2015, data sudah diolah

Alasan dari sebagian masyarakat lebih menyukai daging sapi karena serat

daging sapi lebih halus dibandingkan daging kerbau. Alasan ini tidak berlaku

disebagian besar masyarakat Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Aceh Selatan dan

Aceh Singkil.

23

Tabel 6. Pemasukan, pengeluaran ternak dan hasil ternak sapi dan kerbau provinsi Aceh tahun 2012-2014

Uraian Pemasukan

Total Pengeluaran

Total 2012 2013 2014 2012 2013 2014

Sapi potong (ekor) 33.476 86.191 87.052 206.719 29.691 30.284 30.586 90.561

Kerbau (ekor) 8.945 13.735 13.872 36.552 13.942 14.055 14.195 42.192

Daging sapi (kg) 253.177 258.240 260.822 772.239 ND 128.596 129.881 -

Daging kerbau (kg) ND ND ND ND ND ND

Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan 2014, data sudah diolah

4.2. Penentuan Lokasi dan Gambaran Umum Lokasi Kegiatan

Kegiatan pendampingan diawali dengan melakukan kordinasi dengan

Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Aceh Besar,

Dinas Pertanian dan Peternakan Aceh Jaya, dan Dinas Pertanian dan Peternakan

Aceh Tamiang. Oleh karena pendampingan yang dilaksanakan oleh BPTP bersifat

mendampingi program yang dilaksanakan oleh dinas, maka penentuan lokasi di

Kabupaten terpilih sesuai dengan arah dan tujuan program pengembangan

kawasan peternakan. Tahapan berikutnya adalah menentukan calon lokasi

pendampingan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke kelompok

ternak sapi potong binaan dinas dan melaksanakan FGD. Konsep pendampingan

pengembangan kawasan yang diterapkan mengacu kepada konsep LL dan SL.

Penerapan konsep ini didasarkan kepada pengalaman lapangan yang

mengindikasikan bahwa peternak akan lebih mudah mengadopsi suatu teknologi

peternakan yang sudah berhasil di tingkat masyarakat, tambahan lagi mengingat

banyak sekali kelompok ternak yang harus dilakukan pendampingan sementara

biaya operasional dan SDM yang tersedia sangat terbatas sehingga pola

pendampingan diarahkan kepada kelompok ternak yang potensial dan

mempunyai peluang untuk berhasil di masing-masing kabupaten.

Hasil pengamatan di semua kelompok binaan menunjukkan bahwa

kendala utama yang dihadapi oleh peternak adalah masalah pakan baik pada

sistem budidaya penghasil bakalan maupun pada sistem budidaya penggemukan.

Dari aspek hijaun pakan ternak, bahwa di semua kelompok binaan telah tersedia

24

hijauan rumpu gajah namun jumlahnya belum mencukupi, sedangkan

pemberian leguminosa dan pemberian mineral belum dilakukan oleh petani. Dari

aspek breeding, pola yang dilaksanakan oleh petani adalah dengan cara kawin

alam. Pola perkawinan yang diterapkan oleh peternak berpotensi terjadinya

inbreeding karena belum memperhatikan rotasi/pergantian pejantan. Oleh

karena itu kegiatan yang dilaksanakan pada program pendampingan mengacu

kepada persoalan saat ini yang dihadapi oleh kelompok ternak yaitu penanaman

rumput potong, rumput gembala, leguminosa pohon dan pemberian mineral.

Terkait dengan pembangunan hijauan pakan ternak, Dinas Kesehatan

Hewan dan Peternakan Provinsi pada tahun 2014 telah melaksanakan program

Optimalisasi Padang Pengembalaan dan Pengembangan Kebun HMT,

Pemeliharaan Kebun HMT dan Padang Gembala seluas 30 ha.

Dalam rangka meningkatkan populasi sapi potong di provinsi Aceh,

Pemerintah Aceh telah mengalokasi anggaran yang bersumber dari dana reguler,

migas dan otsus untuk pengadaan dan penyebaran bibit sapi potong sebanyak

5.073 ekor yang terdiri dari sapi betina sebanyak 3.058 ekor dan sapi jantan

sebanyak 2.015 ekor pada kegiatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi Potong

yang didistribusikan ke semua kabupaten/kota.

4.3. Kegiatan Pendampingan dan Diseminasi

Berdasarkan hasil identifikasi potensi dan masalah dan dilanjutkan

dengan Focus Group Discussion (FGD) maka ditetapkan beberapa kegiatan yang

sangat dibutuhkan oleh kelompok untuk meningkatkan produktivitas sapi

mereka. Kegiatan dimaksud adalah sebagai berikut:

A. Pembuatan Mineral Blok

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mineral blok terdiri dari

ultra mineral, garam dapur dan semen, dengan perbandingan 1:7:2. Semua

bahan tersebut dicampur secara merata. Selanjutnya ditambah air secukupnya

sampai adonan tersebut siap untuk dicetak. Cetakan yang digunakan dapat

berupa timba atau wadah lainnya sesuai dengan keinginan yang berukuran

sedang (hasil cetakan kira-kira mempunyai berat 0-5-1 kg). Adonan yang telah

dicampur secara merata siap untuk dicetak ke dalam wadah yang telah dilapisi

dengan kantong plastic. Melapisi cetakan dengan plastic diperlukan agar adonan

25

yang telah kering mudah dikeluarkan dari cetakan. Adonan yang telah dicetak

selanjutnya dikering-anginkan selama 2 hari, kemudian dikeringkan dibawah

sinar mata hari. Mineral blok yang telah kering siap diberikan kepada ternak

dengan cara menggantungkannya di kandang.

Sampai saat ini petani telah melakukan beberapa kali pembuatan garam

blok. Dampak pembuatan garam blok tidak sebaik dampak dari pembuatan

jerami fermentasi, karena manfaat dari pemberian garam blok tidak terlihat

seperti pada jerami fermentasi. Fungsi jerami fermentasi hampir sama dengan

rumput, sehingga jika ketersediaannya terbatas maka langsung terlihat

pengaruhnya kepada produktivitas ternak, sedangkan garam blok lebih berfungsi

untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien. Defisiensi mikronutrien tidak secara

langsung dapat dilihat pengaruhnya. Hal ini menyebabkan petani belum secara

maksimal menerapkannya. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih maksimal

untuk meyakinkan petani bahwa kebutuhan mikronutrien sama pentingnya

dengan kebutuhan makronutrien pada ternak.

B. Pengembangan Hijauan Pakan Ternak

Jenis hijauan pakan ternak yang dikembangkan terdiri dari rumput gajah

mini dan legum indigofera ditanam di 2 lokasi kawasan yaitu Kabupaten Aceh

Jaya dan Aceh Besar.

Gambaran Umum Kawasan Pendampingan

1. Kabupaten Aceh Jaya

Keberadaan sapi Aceh sebagai salah satu rumpun sapi lokal Indonesia

telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

2907/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni 2011. Dengan ditetapkan sapi Aceh

sebagai salah satu rumpun sapi lokal Indonesia, maka Pemerintah Pusat,

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Aceh Jaya telah melakukan upaya penetapan

Pulo Raya sebagai kawasan pemurnian plasma nutfah sapi Aceh dengan surat

Keputusan Bupati Aceh Jaya Nomor 25 tahun 2011.

Desa Kuala Bakong merupakan salah satu desa yang terletak di

kecamatan Sampoiniet yang merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai

potensi yang cukup baik untuk pengembangan sapi Aceh dan telah ditetapkan

26

sebagai salah satu kecamatan untuk dijadikan sebagai wilayah sumber bibit sapi

Aceh.

Penunjukan Kabupaten Aceh Jaya sebagai wilayah sumber bibit

didasarkan atas beberapa hal:

✓ Kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh yang menjadikan Pulo Raya

sebagai kawasan pemurnian plasma nutfah sapi Aceh (Keputusan

Bupati Aceh Jaya Nomor 25 tahun 2011), yang mana Pulo Raya berada

pada kecamatan Sampoiniet.

✓ Kecamatan Sampoiniet yang diusulkan sebagai salah satu wilayah

sumber bibit relatif lebih luas dari kecamatan lain dan merupakan

daratan yang terdekat dari Pulo Raya sebagai lokasi pemurnian sapi

Aceh.

✓ Kondisi agroklimat yang baik dan berada pada dataran sedang.

Tabel 7. Populasi Sapi Potong di Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2011-2014

No Kecamatan Tahun

2011 2012 2013 2014

1 Teunom 2.982 2.964 2.204 2.777

2 Panga 3.417 3.637 2.599 2.904

3 Krueng Sabee

1.503 1.607 1.465 1.704

4 Setia Bakti 1.550 1.753 1.665 1.887

5 Sampoiniet 2.883 1.971 1.731 1.813

6 Jaya 2.379 1.302 706 927

7 Pasie Raya 0 1.723 763 1.207

8 Darul Hikmah

0 1.131 1.031 1.086

9 Indra Jaya 0 1.267 920 1.065

Jumlah 14.714 17.355 13.084 15.370 Sumber : Database Peternakan Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2014

Profil kelompok binaan program SITT

Kelompok ternak Duglanggang beranggotakan 25 orang, memiliki rata-

rata jumlah keluarga 3 orang, rata-rata umur kepala keluarga 26 tahun dan rata-

rata pendidikan 9 tahun, pengalaman bertani sawit 5 tahun dengan pengalaman

beternak sapi 1 tahun. Pekerjaan anggota kelompok 100% sebagai petani sawit

27

(dan sapi). Memiliki kebun kelapa sawit rata-rata 2 ha/anggota dengan umur

tanaman 5-6 tahun. Kelompok memiliki 20 ekor ternak sapi lokal aceh betina

yang berumur ±10 bulan, dengan sistem pemberian pakan 100% digembalakan

diareal perkebunan sawit milik anggota kelompok. Bantuan dari pemerintah

berupa 2 unit kandang 4 x 6 m serta rumah kompos 4 x 6 m (1 unit) yang

semuanya berasal dari paket bantuan APBN 2015.

Bimbingan Teknis

Hasil dari pertemuan yang dilaksanakan pelaksanaan bimbingan teknis

dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2015. Peserta yang hadir berjumlah 34

orang yang berasal dari beberapa instansi (Tabel 1)

Tabel 8. Pelaksanaan bimbingan teknis

Bimbingan teknis

Pelaksanaan 27 Agustus 2015

Jumlah petani yang hadir 25

Lolit kambing 2

BPTP 2

Disnak Kabupaten 6

Disnak Provinsi 1

Penyuluh 4

Total : 34

Dari hasil bimbingan teknis kelompok ternak mampu melaksanakan beberapa

teknologi yang di introduksi seperti : Pembuatan mineral blok, pembuatan

mikro organisme loka dan

penanaman rumput unggul berupa : Gajah mini, setaria dan Indigofera

dengan total luas lahan 1 ha. Rumput tersebut sudah dapat dipanen dan

diberikan kepada ternak jantan untuk penggemukan. Tata kelola perkawinan

dapat dilakukan dengan mengseleksi pejantan yang ada sehingga tidak terjadi

perkawinan sedara (Inbreeding).

28

Gambar 1. Kebun rumput kelompok seluas 1 ha.

Pengukuran parameter teknis

Parameter teknis yang diperoleh menunjukkan pada awal kegiatan berat badan sapi rata-rata 84 kg umur ±10 bulan, meningkat pada akhir kegiatan menjadi 163 kg umur ±23 bulan, parameter BCS (Body condition score) / skor kondisi tubuh 3-4 sebesar 80% menurun pada akhir kegiatan menjadi 40%, sedangkan BCS 4-5 rendah pada awal kegiatan (20%) meningkat 60% pada akhir kegiatan. Ternak sapi pada awal kegiatan (November 2015) seluruh ternak yang dimiliki belum ada yang kawin, namun pada April 2016 sudah 100% kawin dan pada November 2016 ternak bunting sebanyak 90% dan sudah mulai beranak 10% (2 ekor). Tabel 9. Parameter terukur ternak sapi dari awal sampai akhir kegiatan.

Parameter Hasil pengukuran

Pelaksanaan Nov Januari April Juli Nov

2015 2016 2016 2016 2016

Rataan Umur (bulan) 10 13 16 19 23

BCS skala 1-2 (%) -

BCS skala 2-3 (%) -

BCS skala 3-4 (%) 80 80 90 85 40

BCS skala 4-5 (%) 20 20 10 15 60

Bobot badan (kg) 84 93 109 128 163

Sudah kawin sejak datang (%) - 80 20 - -

Sudah bunting (%) - - 100 100 90

Sudah beranak (%) - - - - 10

BCS = Body Condition Score

29

Dari hasil pengamatan tersebut diatas, pemeliharaan ternak sapi aceh

dalam sistem integrasi dengan cara digembalakan dapat meningkatkan

produktivitasnya. Pada ternak sapi Bali Matondang dan Talib (2015) melaporkan

integrasi sawit-sapi pada sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan

ekstensif mampu meningkatkan produktivitas dan populasi sapi Bali, memberikan

tambahan penghasilan dari hasil penjualan sapi.

Gambar 2. Pengukuran parameter teknis lingkar dada.

Komposisi botanis

Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap

seluruh tanaman yang tumbuh bersamanya (Susetyo,1980), umumnya sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur kelapa sawit, curah hujan

dan letak geografis Liang (2007).

30

Tabel 10 Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 6 tahun di Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya.

No Jenis tanaman Komposisi botani

(%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Paspalum conjugatum Ottochloa nodosa Asistasia intrusa Cyphrus rotundis Axonopus conpresus Clemerotides sperma Boraria latifolia Cyrtucocum oxyphlum Agratum conyzoides Phyllanthus niruri Stracytarphita indica

45,2 35,0 5,7 3,5 2,1 2,0 1,3 1,6 1,3 1,2 1,1

Hasil penelitian ini (Tabel 3) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang

tumbuh di bawah perkebunan kelapa sawit rakyat umur 6 tahun, Kecamatan

Setia Bakti terdapat 11 spesies rumput merupakan hijauan alam didominasi oleh

Paspalum conjugatum (45,2%), Ottochloa nodosa (35,2%), diikuti oleh Asistasia

intrusa (5,7%). Tingginya proporsi P. Conjugatum dan O. nodusa menunjukkan

bahwa spesies ini lebih tahan terhadap naungan dibandingkan kesepuluh spesies

lainnya.

Produksi hijauan

Berdasarkan hasil pengukuran produksi hijauan yang tumbuh di bawah

kelapa sawit pada penelitian ini, setelah dilakukan konversi ke dalam 1 hektar

yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar maka rata-

rata produksi hijauan segar sebesar 4.334 kg/ha. Dengan kandungan bahan

kering (BK) 19,16% produksi BK yang diperoleh menjadi 827,79 kg/ha. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa produksi hijauan yang diperoleh tergolong

rendah dengan yang dilaporkan oleh Taufan et al. (2014) produksi berat

kering tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg/ha

menurun menjadi 1.165,4 kg/ha pada perkebunan umur 6 tahun.

31

Kapasitas tampung

Kapasitas tampung adalah kemampuan suatu padang penggembalaan

atau maksimum stocking rate dalam suatu area padang penggembalaan yang

tidak menyebabkan kerusakan vegetasi atau sumber daya lain yang ada di area

tersebut. Penentuan kapasitas tampung ternak dalam suatu padang

penggembalaan sangat penting, untuk menghindari overgrazing (penggembalaan

berlebihan) atau undergrazing (penggembalaan kurang). Ketepatan stocking rate

dan kapasitas tampung sangat menentukan keberhasilan sistem pengelolaan

penggembalaan. Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas

tampung per hektar tanaman kelapa sawit diperoleh hasil sebesar 0,50 ST/ha,

lebih rendah dibandingkan hasil pengamatan Taufan et al. (2014) pada umur 6

tahun 0,71 ST/ha diperkebunan sawit Kabupaten Kutai Karta Negara. Namun

jauh lebih tinggi dibanding hasil penelitian Farizaldi (2011) sebesar 0,18 ST/ha

pada lahan perkebunan sawit umur 5 tahun di Kabupaten Batang Hari Provinsi

Jambi. Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh jaya Provinsi

Aceh memiliki potensi yang baik sebagai sumber hijauan pakan sapi potong.

2. Profil Kelompok Pendampingan Kawasan Aceh Jaya

Program pendampingan dilaksanakan di Desa Kuala Bakong Kecamatan

Sampoinit Kabupaten Aceh Jaya pada kelompok ternak Sapue Pakat dengan

jumlah anggota 12 orang, Ilah Daya 22 orang dan Makmu Jaya 16 orang dengan

kepemilikan sapi rata rata diatas 5 ekor dengan total jumlah ternak pada

kelompok yang dibina sebanyak 327 ekor. Total anggota dari 3 kelompoktani

ternak ini adalah 50 orang. Kelembagaan kelompok ternak tersebut dibentuk

pada tahun 2014 (Sapeu Pakat), 2015 (Makmue Jaya) dan 2016 (Ilah Daya).

Bentuk kelompok adalah kuasi kelompok, dimana ada pengakuan atas

kepemilikan masing-masing anggota kelompok. Pola budidaya yang dipraktikkan

oleh peternak adalah secara ekstensif, ternak digembalakan di padang

penggembalaan dari pagi sampai dengan sore hari dan pada malam hari

dikandangkan. Sebelum kegiatan pendampingan, kebutuhan nutrisi untuk

aktivitas produksi dan reproduksi hampir seluruhnya tergantung pada rumput

alam yang ada di padang penggembalaan dan hanya sebagian kecil peternak ada

yang memberikan rumput tambahan yang diperoleh dari luar lokasi. Setelah

pendampingan, umumnya peternak telah memberikan rumput tambahan yang

32

diperoleh dari kebun hijauan demplot, dan peternak juga sudah mulai terbiasa

menggunakan leguminosa/indigofera sebagai sumber protein.

Permasalahan di lapangan

Peternak memelihara ternak secara konvensional dengan dilepas

dipadang penggembalaan dari pagi hingga sore dengan rumput alam seadanya

tanpa memperhatikan kebutuhan ternak baik pakan hijauan, minum dan pakan

tambahan bagi ternaknya sehingga performance ternak tidak bagus, sapi

kebanyakan kurus.untuk memenuhi hijauan pakan ternak pada malam hari,

Rumput gajah mini sudah pernah ditanam 3 ha tetapi ada masalah dengan

kepemilikan lahan kelompok yang sudah diminta kembali sehingga harus kembali

ditanam dilahan yang baru. Berhubungan masih dalam keadaan musim kemarau

rumput tersebut belum bisa ditanam kembali.

Menurut hasil kuisioner yang kami wawancarai kepada anggota Sistem

perkawinan tidak diperhatikan dengan baik, ternak kawin secara alami tidak

terkontrol dipadang penggembalaan sehingga terjadi in breeding yang

menyebabkan anak lahir kerdil.

Gambar 3 : Performance Sapi dikelompoktani makmoe jaya, Kabupaten Aceh Jaya

Sistem perkandangan juga tidak tertata dengan Kondisi kandang sudah

tidak layak untuk pemeliharaan sapi,karena kandang sudah hampir roboh dan

rusak sehingga tidak dapat melindungi ternak dari angin dan hujan.

33

Masalah kesehatan yang sering terjadi adalah mencret dan cacingan,

karena ternak di lepas di padang penggembalaan mudah terinfeksi telur cacing

yang berkembang biak ditanah dan rumpu, peternak tidak memberikan obat

cacing secara rutin terhadap ternaknya.

Karena pengetahuan mereka masih terbatas tentang pakan dan pakan

tambahan ternak, Peternak belum memberikan pakan tambahan dan konsengtrat

untuk memacu pertumbuhan berat badan ternak.

Kelembagaan kelompoktani belum berjalan dengan baik, kelompok belum

mempunyai uang kas, bel um mempunyai buku kelengkapan administrasi,

pertemuan rutin bulanan berjalan cukup baik setiap 1 bulan sekali.

Gambar 4 : diskusi dan pengisian kuisioner dikelompoktani Makmue Jaya,

Sapoe Pakat dan Ilah Daya, Kabupaten Aceh Jaya

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan

dilapangan

Melihat permasalahan yang ada dilapangan, maka laangkah-langkah yang

dilakukan dalam pendampingan kawasan peternakan berbasis sapi potong di

kelompoktani Makmue Jaya, Sapoe Pakat dan Ilah Daya adalah:

1. Manajemen Pakan

Kondisi eksisting peternak yang melepaskan ternaknya ke padang

penggembalaan dari pagi hingga sore hari menyebabkan kondisi ternak tidak

34

bagus karena tidak diberi hijauan, rumput alami yang tersedia dipadang

penggembalaan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup tenak.

Untuk itu perlu upaya pendampingan mengenai hijauan pakan ternak, yaitu

dengan memperkenalkan rumput lapang, rumput potong unggul dan

indigofera sebagai leguminosa kepada peternak.

Tahap awal pendampingan dengan membantu pengadaan bibit rumput

gajah mini yang ditanam di lahan seluas 3 ha, serta penanaman indigofera.

2. Manajemen perkandangan

Kondisi perkandangan yang ada saat ini sangat tidak layak untuk

pemeliharaan ternak, kandang sudah rusak dan hamir roboh bahkan tidak

bisa loagi melindungi ternak dar angin dan hujan pada malam hari.

Pendampingan yang dilakukan adalah perbaikan terhadap kandang kandang

tenak dikelompoktani makmue jaya, sapoe pakat dan ilah daya dengan

kandang semi intensif dengan sistem kandang koloni. Sehingga pemberian

pakan dan kontrol kesehatan ternak dapat dilakukan pada saat ternak sudah

dikandangkan di sore hari.

3. Manajemen pemeliharaan

dengan manajemen perkandangan yang sudah diperbaiki maka manajemen

pemeliharaan juga diatur dengan baik. Pada pagi hari hingga sore hari

ternak dilepas ke padang pemnggembalaan dengan makan rumput alam

yang ada di padang penggembalaan secara adlibitum, kemudian pada sore

hari ternak kembali kekandang, diberikan pakan rumput potong (rumput

gajah mini) dan leguminosa indogofera 10% dari berat badan ternak untuk

pemenuhan protein dan TDN sesuai dengan kebutuhan ternak.

4. Manajemen perkawinan

Selama ini sistem perkawinan ternak merupakan sistem perkawinan alami

yang tidak terkontrol dengan tingkat in breeding sangat tinggi, sehingga

anak yang dilahirkan semakin kecil dan kerdil. Untuk itu perlu dilakukan

pendampingan tentang manajemen perkawinan ternak, yaitu dengan

memberikan materi mengenai gejala birahi ternak betina, waktu perkawinan

yang tepat dan ciri-ciri pejantan yang baik. Rotasi pejantan unggul sangat

penting dilakukan untuk menghindari in breeding mendapatkan pedet yang

sehat dan unggul.

35

5. Manjemen kesehatan ternak

Peternak tidak pernah memperhatikan kondisi kesehatan ternak dengan

baik, terutama pemberian obat cacing. Untuk itu pendampingan yang

dilakukan adalah dengan program pemberian obat cacing rutin kepada

ternak.

Populasi Sapi di Kelompoktani Pendampingan Kawasan Peternakan

Aceh Jaya

No Nama

peternak Kelompok

tani

Jumlah ternak

Total Betina Jantan

Induk Anak Dws Anak

1 Asnawi Ilah Daya 4 6 0 1 11

2 Idris A Ilah Daya 1 0 0 1 2

3 Jumatillah Ilah Daya 5 3 2 4 14

4 Ilhami Ilah Daya 3 1 0 1 5

5 m. asari Ilah Daya 2 0 0 0 2

6 Jamalumhamdi Sapoe Pakat 30 8 2 2 42

7 Qaisir Sapoe Pakat 3 3 1 1 8

8 Fahrurrazi Sapoe Pakat 0 3 0 0 3

9 Syafari Sapoe Pakat 5 6 0 4 15

10 Burhanuddin Makmue Jaya 5 4 1 2 12

11 Zamzami Makmue Jaya 4 1 0 2 7

12 Muhrizal Makmue Jaya 1 1 1 0 3

13 Marzumi Makmue Jaya 2 0 1 0 3

14 Zulkifli, A Makmue Jaya 0 0 4 0 4

15 Zainal Abidin Makmue Jaya 1 0 0 0 1

16 Zahuri Makmue Jaya 3 7 3 2 15

17 Usman Makmue Jaya 1 2 0 0 3

18 Adami, ys Makmue Jaya 1 1 0 1 3

2. Kabupaten Aceh Besar Tabel 12. Lokasi pendistribusian Sapi Potong di Kawasan Kabupaten Aceh Besar

Sumber Dana OtsusTahun 2015

Lokasi Nama Kelompok Jumlah Ternak

Bunting Jtn Btn

Kecamatan: Lembah Seulawah

Desa: Gp. Lamtamot Riung Bahagia 2 21 3

Gp. Suka Mulia Blang Bereu Eut 2 21 4

Gp. Suka Damai Puloek Rayeuk 2 21 5

Gp. Paya Keureuleh Semangat Baru 2 21 2

Gp. Lambaro Tunong Hudep Bersama 2 21 5

36

Lokasi Nama Kelompok Jumlah Ternak

Bunting Jtn Btn

Gp. Lamkubu Cot Kandeh 2 21 6

Gp. Saree Aceh Blang Tanoh adang 0 16 3

Kematan : Seulimeum

Desa: Gp. Leungah Beumakmu Batee Meulesong 2 21 8

Gp. Lamteuba Droe Batee Lamseni 2 21 5

Gp. Lambada Makmu Beurata 2 21 5

Gp. Pulo Sapeu Pakat 2 21 7

Gp. Blang Tingkeum Ternak Batee Dua 2 21 7

Kecamatan: Kota Jantho

Desa: Gp. Jalin Ingin Maju 0 23 5

Gp. Jantho Baru Sukadamai 0 23 1

Gp. Teureubeh Berkah Ilahi 0 23 0

Gp. Cucum Ingin Maju 0 23 1

Kecamatan: KUTA COT GLIE

Desa: Gp. Lambeugak Makmu Beusare 2 21 3

Gp. Bak Sukon Alue Meuh 2 21 2

Kecamatan: INDRAPURI

Gp. Reukih Dayah Tani Glee Karong 2 21 5

Gp. Sihom Lhok Ternak Sihom Lhok 2 21 3

Gp. Manggra Makmue Sejahtera 2 21 4

Gp. Lamlubok Kareung Sijuk 2 21 2

Gp. Cot Kareung Bina Insan 0 12 2

Kecamatan: KUTA MALAKA

Desa: Gp. Reuleung Geulumpang

Sapeu Pakat 0 22 0

Gp. Leupung Cut Sepakat Bersama 0 22 0

Gp. Lam Ara Cut Bina Ternak 0 22 0

Gp. Lam Ara Cut Bacut-Bacut Na Sabee 0 22 0

Gp. Lamsiteh Harekat Fonna 0 22 0

Gp. Tumbo Baro Taruna Tani 0 22 0

Kecamatan: LHOONG

Desa: Gp. Cundien Tuan Di Glee Beung 0 21 5

Kecamatan: LHOKNGA

37

Desa: Gp. Mns. Baro Lamlhom

Blang Kulu 0 21 3

Total 34 651 96

C. Manajemen Perawatan Pedet

Pedet yang berumur sampai 4 bulan pertama mudah mengalami

kematian. Penyebab kematian pada umumnya karena kurang pakan, pneumonia

dan komplikasi gangguan pencernaan. Angka kematian dapat ditekan apabila

peternak cermat dalam merawat pedetnya. Pedet yang baru lahir tidak

mempunyai kekebalan tubuh (antibodi), dan hanya akan diperoleh dari kolostrum

induknya. Oleh karena itu kolostrum pertama harus sudah diberikan kepada

pedet dalam waktu 1 jam pertama sesudah lahir. Apabila dalam 1 jam pertama

pedet belum mendapat kolostrum maka peternak harus memaksa pedet minum.

Pedet yang baru lahir perlu dipotong tali pusarnya dengan menggunakan pisau

atau gunting yang steril untuk menghidari terjadinya infeksi pada pusar.

Selanjutnya celupkan tali pusar ke dalam cairan iodium 10%. Lakukan hal itu

setiap hari sampai tali pusar kering. Hal lain yang perlu mendapat perhatian

khusus adalah alas kandang pedet. Usahakan agar alasnya tetap dalam keadaan

kering. Alas kandang dapat berupa jerami kering atau serbuk gergaji. Alas

kandang yang basah/lembab adalah media yang baik untuk berkembangnya

sumber penyakit. Selain itu alas kandang yang basah akan mengganggu

kesehatan kulit pedet.

Kepada petani juga telah diajarkan cara penanganan mastitis yang sering

dialami oleh induk sapi post partum. Saat ini baru satu kali kejadian mastitis

pada induk sapi post partum. Meskipun penyakit ini jarang terjadi namun

memberikan dampak yang sangat jelek pada pertumbuhan anak karena

kebutuhan susu untuk pedet tidak cukup.

D. Pemberian Pakan Tambahan

Pada umur satu minggu pedet harus dilatih untuk mengenal konsentrat.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menempelkan konsentrat ke mulutnya.

Sediakan sedikit konsentrat dalam kotak dan diganti setiap hari agar selalu

tersedia konsentrat yang baru. Konsentrat starter untuk pedet sebaiknya

mengandung 16 - 18% protein dengan kandungan energi tinggi dan juga

38

mengandung suplemen vitamin A dan D, disamping tepung tulang. Hal ini untuk

menghindarkan kekurangan konsumsi kalsium dan pospor. Pedet sudah harus

diperkenalkan dengan hijauan pada minggu pertama setelah lahir. Pada saat

memperkenalkan hijauan sebaiknya diberikan hijauan yang muda dan berkualitas

baik. Sebaiknya setiap hari disediakan rumput segar secukupnya untuk

merangsang perkembangan rumen pedet yang akan mempengaruhi

pertumbuhan pedet selanjutnya.

Praktek penggunaan konsentrat susah untuk diterapkan karena petani

harus membelinya. Oleh karena itu dalam program pendampingan ini pemberian

konsentrat tidak diprioritaskan. Konsentrat merupakan sumber protein bagi

ternak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut telah ditanam

tanaman gamal sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein. Pada saat

ini telah ditanaman gamal sebagai tanaman pagar lebih kurang 300 batang.

Jumlah tanaman gamal yang sudah ditanam ini masih sangat kurang.

Idealnya, untuk tujuan penggemukan, satu ekor sapi dewasa memerlukan 5 kg

leguminosa setiap harinya. Jumlah tersebut dapat dipenuhi dari 200 batang

tanaman legum pohon.

E. Pengendalian Parasit Interna

Manajemen pemeliharaan yang dipraktekkan oleh petani dengan cara

menggembalakan pada lahan sawah dan perkebunan sangat rawat terhadap

serangan parasit cacing nematoda maupun trematoda. Oleh karena itu

diperlukan strategi penanggulangannya. Kepada petani telah diajarkan

manajemen pemberian obat cacing. Pemberian obat cacing harus diberikan

secara rasional. Pemberian obat cacing terlalu sering dapat mengakibatkan

bahaya resistensi cacing terhadap obat cacing, sedangkan pemberian obat cacing

dengan interval yang terlalu jauh dapat mengakibatkan penurunan produktivitas

ternak. Pemberian obat cacing dari golongan yang sama dalam periode waktu

yang lama dapat mengakibatkan penurunan efektivitas dari obat cacing tersebut.

Oleh karena itu diperlukan rotasi penggunaan obat cacing dari satu golongan

tertentu kepada golongan lainnya. Misalnya pada tahun ini digunakan obat

cacing dari golongan benzimidazole, tahun berikutnya sebaiknya digunakan dari

golongan levamisole.

39

Sebelum dan sesudah pemberian obat cacing dilakukan pemeriksaan telur

cacing dengan metoda McMaster. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat

tingkat infestasi cacing dengan melihat jumlah telur cacing nematoda per gram

tinja (ttgt) atau egg per gram (EPG) dan efektivitas dari obat cacing yang

digunakan. Metode yang digunakan adalah Metode McMaster.

Cara kerja:

1. Tinja yang sudah dikoleksi ditimbang sebanyak 2 gram

2. Digerus sampai dengan halus

3. Dimasukkan ke dalam tabung yang mempunyai tanda/ukuran 30 ml

4. Ditambah dengan air sampai dengan tanda 30 ml dan homogenkan sampai

merata

5. Ambil 1 ml dari larutan tersebut, tambahkan dengan 1 ml larutan gula

ssheather (500 gram sukrosa; 320 ml air; 6,5 gram fenol cair) dan

homogenkan

6. Letakkan dengan segera beberapa tetes ke dalam kamar hitung McMaster.

Kamar hitung dapat dibuat dengan menggarisi gelas penutup seluas 10 mm3

dan letakkan gelas penutup tersebut dengan permukaan yang bergaris di

bawah, di atas dua buah gelas objek dengan tinggi 1 mm satu di atas yang

lain. Dengan demikian volume kamar hitung dengan tinggi 1 mm luas 10 x 10

mm sama dengan 100 mm3.

7. Sediaan tersebut dibiarkan beberapa menit agar telur mengapung ke atas

8. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop

Pada kegiatan pendampingan ini, obat cacing yang digunakan adalah

golongan benzimidazole.

40

V. KESIMPULAN

Dari hasil pendampingan yang dilakukan sejak tahun 2011-2015 dapat

disimpulkan bahwa:

1. Teknologi yang diadopsi oleh petani adalah teknologi yang mudah

dilaksanakan dan low external input.

2. Teknologi yang sudah diadopsi dengan baik adalah teknologi

fermentasi jerami dengan menggunakan starter trichoderma sp.

3. Teknologi garam blok belum diadopsi dengan baik oleh petani

41

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan, 2008. Pedoman Teknis Program Percepatan

Pencapaian Swasembada Daging Sapi. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta

Badan Investasi dan Promosi NAD. 2008. Aceh Dalam Menuju Ketahanan Pangan

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006, Statistik Peternakan Tahun 2005. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Dinas Peternakan, 2008. Data Base Peternakan Provinsi Aceh. Banda aceh.

Diwyanto, K., A. Priyanti dan D. Zainuddin 1996. Pengembangan Ternak berwawasan Agribisnis di Pedesaan dengan Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Pemilihan Bibit yang Tepat. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV (1):6 – 15.

Iskandar-Mirza, Yenni-Yusriani dan A. Azis. 2007. Pemanfaatan Jerami Fermentasi sebagai Pakan Sapi pada Lahan Sawah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian, Medan, 6 Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 645-652.

Mersyah, R. 2005. Desain budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan’ Disertasi, Sekolah Pasca sarjana , Institut Pertanian Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2010. Rekomendasi tenologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.

Santi, W.P.2008. Respons Penggemukan sapi PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB terhadap pemberian jerami padi Fermentasi dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi’ Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi protein ransum sapi potong berbasis jerami dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan 30(3) : 207- 217.

42

Talib, C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan sapi potong nasional . Wartozoa 11(1): 10-19.

Wijono, D.B., Maryono, dan P.W. Prihandini. 2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe terhadap laju pertumbuhan sapi potong pada kondisi foundation stock. hlm. 16- 20. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.