i. pendahuluan 1.1. latar belakang - nad.litbang.pertanian...

40
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perkebunan di Aceh masih cukup luas bila akan dikembangkan karena perkebunan memiliki biodiversity yang merupakan potensi sumberdaya genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan.Selain itu Aceh juga memiliki lahan yang potensial untuk perkebunan serta agroekosistem yang sesuai seperti geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan dan keanekaragaman jenis tanah yang sangat mendukung untuk pengembangan perkebunan. Dari sisi tenaga kerja, 2 juta orang angkatan kerja Aceh, sekitar 46,32%- nya bekerja di sektor pertanian dan 24,12% di antaranya menggantungkan hidupnya pada sub sektor perkebunan. Potensi lainnya adalah tersedia teknologi budidaya terapan, baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan serta masih luasnya pasar komoditas perkebunan semakin tinggi mengingat pangsa pasar di dalam negeri masih cukup besar dan permintaan internasional terhadap produk perkebunan terutama karet, kelapa sawit, kakao dan kopi yang semakin meningkat. Namun demikian tidak sedikit permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan perkebunan seperti: a) Terdapatnya kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk peraturan yang kurang selaras dengan kebijakan nasional, sehingga terjadi kompetisi pemanfaatan sumberdaya alam dan membebani pelaku perdagangan dengan berbagai pungutan atau retribusi; b) Pemanfaatan lahan dan peningkatan jumlah penduduk yang pesat serta distribusinya yang tidak merata telah melampaui daya dukung lahan, sehingga lahan menjadi sumberdaya yang langka dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik sosial; c) Budaya kerja baik pekebun maupun petugas sebagai pembina masih berorientasi kepada anggaran pemerintah, sehingga pembinaan dan bimbingan kurang berkesinambungan.

Upload: vocong

Post on 16-Sep-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sub sektor perkebunan di Aceh masih cukup luas bila akan dikembangkan

karena perkebunan memiliki biodiversity yang merupakan potensi sumberdaya

genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan.Selain itu Aceh

juga memiliki lahan yang potensial untuk perkebunan serta agroekosistem yang

sesuai seperti geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan dan

keanekaragaman jenis tanah yang sangat mendukung untuk pengembangan

perkebunan.

Dari sisi tenaga kerja, 2 juta orang angkatan kerja Aceh, sekitar 46,32%-

nya bekerja di sektor pertanian dan 24,12% di antaranya menggantungkan

hidupnya pada sub sektor perkebunan. Potensi lainnya adalah tersedia teknologi

budidaya terapan, baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun

individu praktisi perkebunan serta masih luasnya pasar komoditas perkebunan

semakin tinggi mengingat pangsa pasar di dalam negeri masih cukup besar dan

permintaan internasional terhadap produk perkebunan terutama karet, kelapa

sawit, kakao dan kopi yang semakin meningkat.

Namun demikian tidak sedikit permasalahan yang dihadapi dalam upaya

pengembangan perkebunan seperti: a) Terdapatnya kebijakan pemerintah

daerah dalam bentuk peraturan yang kurang selaras dengan kebijakan nasional,

sehingga terjadi kompetisi pemanfaatan sumberdaya alam dan membebani

pelaku perdagangan dengan berbagai pungutan atau retribusi; b) Pemanfaatan

lahan dan peningkatan jumlah penduduk yang pesat serta distribusinya yang

tidak merata telah melampaui daya dukung lahan, sehingga lahan menjadi

sumberdaya yang langka dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik sosial;

c) Budaya kerja baik pekebun maupun petugas sebagai pembina masih

berorientasi kepada anggaran pemerintah, sehingga pembinaan dan bimbingan

kurang berkesinambungan.

2

Masalah lain adalah, jumlah petugas yang kurang memadai serta ketidak

sesuaian penempatan petugas khususnya yang menangani perkebunan,

kelembagaan/ organisasi pekebun belum menunjukkan kontribusinya sebagai

kelembagaan yang profesional, produktif dan mandiri, produktivitas dan mutu

tanaman perkebunan masih di bawah potensi (72,5%), efisiensi agribisnis

perkebunan belum memenuhi skala ekonomi usaha agribisnis perkebunan

khususnya perkebunan rakyat; Belum terintegrasinya usaha agribisnis

perkebunan dalam suatu kawasan pengembangan; Liberalisasi perdagangan

menimbulkan persaingan dalam produk dan mutu produk perkebunan dan akses

pekebun terhadap sumber permodalan untuk memulai atau mengembangkan

usaha perkebunannya masih sulit.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian

mempunyai kegiatan pendampingan teknologi pada kawasan perkebunan dengan

output akhir terjadi peningkatan produktivitas perkebunan. BPTP Aceh pada

Tahun 2016 melakukan pendampingan teknologi kawasan perkebunan komoditi

kopi di Bener Meriah dan kakao di Pidie Jaya.

Kopi

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya

cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia

lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara (Herdianto, 2007).

Sentra produksi kopi Provinsi Aceh adalah Dataran Tinggi Gayo. Dataran

tinggi Gayo merupakan suatu kawasan yang meliputi tiga kabupaten yaitu

kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Ketiga daerah ini

merupakan penghasil kopi Arabika Gayo(Tabel 1).

Tabel 1. Data luas, produksi dan produktivitas kopi di tiga kabupaten

Kabupaten Luas (Ha) Produksi (ton) Produktivitas

(ton/Ha)

Aceh Tengah 48300 25370 0.53

Bener Meriah 48101 22414 0.47

Gayo Lues 4652 1118 0.24

Total 1010

53 48902 Sumber : (BPS, 2015)

3

Kecamatan Wih Pesam merupakan suatu wilayah di kabupaten Bener

Meriahyang terdiri dari sembilan desa. Daerah ini memiliki luas lahan perkebunan

kopi seluas 3.825,5 ha. Pada umumnya penduduk setempat mempunyai mata

pencaharian sebagai petani kopi. Kopi dari kawasan ini dikenal dipasaran

domestik, nasional dan internasional dengan kopi Gayo yang mempunyai mutu

dan citarasa yang sangat baik, sehingga mendapatkan harga yang premium.

Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di

Provinsi Aceh namun sayangnya potensi ini belum ditangani dengan baik. Rantai

pemasaran dari petani ke konsumen masih panjang, sehingga merugikan petani.

Pertanaman kakao relatif sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini

dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber

pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Kakao dapat mulai berproduksi

pada umur 18 bulan (1,5 tahun) dan dapat menghasilkan biji kakao yang

selanjutnya bisa di olah menjadi bahan setengah jadi (bubuk coklat) maupun

bahan jadi (coklat).

Provinsi Aceh dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian lahan

persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616 ha

(2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83 %),

(BPS, 2012). Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai

potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan cuacanya

mendukung.

Secara topografi Aceh sangat cocok untuk di kembangkan komoditas

kakao, selain itu kakao sudah familiar dengan masyarakat. Pasca berakhirnya

konflik banyak lahan perkebunan yang secara teknis sangat baik untuk di

kembangkan komoditas kakao karena terbengkalainya lahan terutama di

Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara

yang juga merupakan sentrasentra perkebunan kakao.

Perkembangan kakao di Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah yang

dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu

antara lain produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor hilir

mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi.

Meskipun areal dan produksi kakao di Aceh selama lima tahun terakhir

4

mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas menurun 4,25 %

pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan tidak hanya dengan

pemperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti dengan

penyempurnaan dalam bidang pemasaran.

Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang

baku, antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian

hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif

peningkatan produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan

teknologi sambung samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang

(tanpa melakukan pembongkaran).

1.2. Dasar Pertimbangan

Tingkat pengetahuan dan ketrampilan petani tentang teknik budidaya

tanaman perkebunan (Kopi, dan Kakao) masih sangat rendah. Keadaan ini jelas

terlihat dari produktivitas tanaman perkebunan di bawah rata rata produksi

nasional. Sehingga sangat perlu dilakukan percepatan penerapan inovasi

teknologi budidaya tanaman perkebunan secara terpadu.

1.3. Tujuan

Pendampingan bertujuan agar Inovasi Teknologi Budidaya Terpadu

Tanaman Perkebunan (Kopi, dan Kakao) Balitbangtan dapat diterapkan secara

optimal dalam pengembangan kawasan pertanian nasional komoditas

perkebunan

1.4. Perkiraan Keluaran

Keluaran yang diharapkan (1) Diadopsi minimal 30% inovasi teknologi

Budidaya tanaman perkebunan (Kopi, dan Kakao) secara terpadu (2) Terjadi

peningkatan produktivitas tanaman perkebunan 10% dibandingkan sebelum

diadopsi teknologi.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Perkiraan manfaat adalah meningkatnya produktivitas dan pendapatan

usahatani; meningkatnya aktivitas kelompok tani akibat dari pemberdayaan;

meningkatnya jumlah komponen teknologi yang diadopsi oleh petani

5

II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pengendalian Hama Penggerek Buah Kopi di Kabupaten Bener Meriah

Tim pemdampingan kawasan perkebunan pada awal kegiatan melakukan

Survei awal dilokasi kegiatan : Kabupaten Bener Meriah Survei awal (baseline

survey) untuk mengetahui kondisi terkini kebun petani. Permasalahan

permasalahan yang dihadapi setiap hari dalam usahataninya perlu didata, untuk

mengetahui solusi inovasi yang didesiminasi kepada petani. Hasil survei awal

sangat berguna untuk melaksanakan kegiatan pendampingan kawasan

perkebunan.

Hasil survei awal permasalahan utama yang dihadapi petani kopi setiap

hari adalah rendahnya produktivitas akibat serangan hama dan penyakit. Hama

yang sangat meresahkan petani adalah hama penggerek buah kopi (PBKo)

Hypothenemus hampei. Hasil penelitian Firdaus (2013) serangan hama PBKo di

kecamatan Wih Pesam pada ketinggian 800 mdpl mencapai 60%. Pada

Ketinggian dibawah 1000 mdpl hama ini sangat cepat berkembang sehingga

intensitas serangannnya mengakibatkan kerugian sangat besar dialami petani.

Gambar 1. Ukuran sebenarnya (A) Gejala serangan (B) Imago Hama PBKo diperbesar (C) Pupa didalam biji kopi (D)

A B

C D

6

2.2. Mengenal lebih dekat Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) Hypothenemus hampei

Hypothenemus hampei merupakan salah satu penyebab utama

penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara

penghasil kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak

berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur

mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil.

Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Coleoptera

Family : Scolytidae

Genus : Hypothenemus

Spesies : Hypothenemus hampei

Biologi dan Ekologi H. hampei

Hama PBKo H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa

sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa.

Kumbang betina lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina

lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2

mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang

gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada

bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya.

Telur menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari.

Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk

perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga

diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari,

sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari.

Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50

butir. Telur menetas menjadi larva yang menggerek biji kopi. Larva menjadi

kepompong di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari kepompong. Jantan

7

dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah

lain untuk masuk, lalu bertelur lagi. Serangga dewasa atau imago, perbandingan

antara serangga betina dengan serangga jantan rata-rata 10:1. Namun, pada

saat akhir panen kopi populasi serangga mulai turun karena terbatasnya

makanan, populasi serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina

memiliki umur yang lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi

demikian perbandingan serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1.

Serangga jantan H.hampei tidak bisa terbang, oleh karena itu mereka

tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji. Umur serangga jantan hanya 103

hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari dengan rata-rata 156

hari. Serangga betina mengadakan penerbangan pada sore hari, yaitu sekitar

pukul 16.00 sampai dengan 18.00 (Wiryadiputra, 2007).

2.3.2. Gejala Serangan PBKo

Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang

telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah

kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan

makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang,

warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan

pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi

karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap

susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji

berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia,

sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen

senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al., 2006).

Serangga H. hampei masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat

lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah,

serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-

lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006).

Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji

keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur

pada biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi

setelah pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk

penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga

8

perbiji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu

tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).

H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi

yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak

dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan

kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei

(DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang

sampai merah , biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada

buah. Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk

meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga

menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002).

Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah.

Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-

lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan

berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke

dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak

dalam buah (Irulandi et al., 2007).

Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk

endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah

memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang

kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika

buah sudah cukup matang (Baker et al., 1992).

2.3.3. Pola Penyebaran

Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian

menyebar luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan

beberapa pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi

(Vega, 2002). Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee

berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai

penyebaran di Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau

hitam coklat (Susniahti et al., 2005).

Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika

Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini

diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk

9

buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara,

termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega, 2002).

Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun

dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan

daerah asal dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang

tanaman kopi liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi

serupa juga dijumpai di Brazil, di mana serangan berat hama PBKo biasanya

terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga

kelembaban udara cukup tinggi.

Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo

dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena fenologi

pembuahan tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat,

curah hujan, suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis.

Kondisi pertanaman kopi di daerah Sumatera yang tergolong daerah basah dan

sebagian besar memiliki tipe iklim B dan A (menurut tipe iklim Schmidt dan

Ferguson) akan sulit menerapkan sistem sanitasi untuk memutuskan siklus hidup

hama karena pertanaman kopi berbuah sepanjang tahun. Pada daerah dataran

tinggi (lebih dari 1200 m dpl.) serangga H. hampei perkembangannya terhambat,

sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya intensitas serangan H. hampei

juga rendah.

2.3.4 Pengaruh Lingkungan

Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah

kopi. H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk

perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara

27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C,

pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau

mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).

2. KAKAO : Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Perbanyakan Bahan Tanam Unggul Kakao

1.1. Potensi Kakao di Aceh dan Permasahannya

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di

10

Provinsi Aceh namun sayangnya potensi ini belum ditangani dengan baik.

Rantai pemasaran dari petani ke konsumen masih panjang, sehingga

merugikan petani. Pertanaman kakao relatif sesuai untuk perkebunan rakyat,

karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga

dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Kakao

dapat mulai berproduksi pada umur 18 bulan (1,5 tahun) dan dapat

menghasilkan biji kakao yang selanjutnya bisa di olah menjadi bahan

setengah jadi (bubuk coklat) maupun bahan jadi (coklat).

Provinsi Aceh dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian lahan

persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616

ha (2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83

%), (BPS, 2012). Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang

mempunyai potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan

cuacanya mendukung.

Perkembangan kakao di Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah

yang dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor

hulu antara lain produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor

hilir mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak

difermentasi. Meskipun areal dan produksi kakao di Aceh selama lima tahun

terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas

menurun 4,25 % pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan tidak

hanya dengan pemperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti

dengan penyempurnaan dalam bidang pemasaran.

Secara topografi Aceh sangat cocok untuk di kembangkankomoditas

kakao, selain itu kakao sudah familiar dengan masyarakat. Pasca

berakhirnyakonflik banyak lahan perkebunan yang secara teknis sangat baik

untuk di kembangkankomoditas kakao karena terbengkalainya lahan terutama di

Kabupaten Pidie, Pidie Jaya,Bireun, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara

yang juga merupakan sentrasentraperkebunan kakao.

Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang

baku, antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian

hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif peningkatan

produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan teknologi

11

sambung samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang (tanpa

melakukan pembongkaran). Untuk meningkatkan pendapatan pekebun dapat

diterapkan diversifikasi usahatani melalui tumpang sari dengan tanaman tahunan

lain yang kompatibel. Semua petani di Aceh menjual kakao dalam wujud

produksi biji kering dan diekspor melalui pedagang-pedagang eksportir yang ada

di Medan. Produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk produk primer (biji

kering ) dan hanya sebagian kecil dalam bentuk hasil olahan.

Perkembangan luas areal TBM mengalami peningkatan pesat pada tahun

2010 danperkembangan luas areal tanam dan produksi meningkat setiap

tahunnya. Hal inimembuktikan minatnya petani terhadap pengembangan kakao

ini yang didukung olehkondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional

yang menunjukkan prospekyang cerah. Dari segi luas areal memang terus

meningkat namun dari segi produktivitasmasih rendah bahkan cenderung sangat

menurun pada tahun 2011. Hal ini dikarenakansebagian besar petani masih

kurangnya melakukan pemeliharaan, sebagian besartanaman sudah tua, belum

menggunakan bahan tanam unggul, terserang hama(Penggerek Buah Kakao,

PBK), penyakit dan terbengkalainya kebun pada masa konfliksehingga banyak

petani pada saat itu meninggalkan lahan kakaonya begitu saja,sehingga

menyebabkan turunnya produktivitas sebesar 56 kg/ha/tahun atau sebesar 6%

dari produktivitas yang pernah dicapai (844 kg/ha/thn) pada tahun 2005

(Dishutbun, 2010).

Produk biji kakao di Aceh khususnya kakao rakyatumumnya masih

bermutu rendah yang tercerminpada tingginya kandungan biji tidak fermentasi

dankandungan non kakao (kotoran). Disamping iturendahnya mutu kakao di

Aceh karena prosespengeringannya dilakukan secara tradisional dengandijemur

di panas matahari, sedangkan biji kakaoyang baik harus melalui fermentasi

sebelumdijemur. Cara-cara tradisional inilah yang menjadikan biji kakao Aceh

belum menjadi komoditas kelas satu sehingga harganya bias jatuh. Penetapan

mutu biji kakao di Indonesia berdasarkan jumlah biji per 100 gram.Biji yang

bermutu beratnya tidak kurang dari 1 gram (Tumpal, 2007).

Harga kakao di tiap-tiap daerah sentra produksi kakao berbeda-beda.

Hargatersebut sangat ditentukan oleh harga penjualan ekspor. Naik dan

turunnya hargakakao di Aceh sangat di pengaruhi oleh harga dan permintaan

pasar di Medan. Namunperbedaan harga kakao di tingkat petani juga sangat

12

dipengaruhi antara kakao yangdifermentasi dengan harga kakao yang tidak di

fermentasi.

Kakao dari Aceh sebagian besar di ekspor ke luar negeri melalui eksportir-

eksportiryang ada di Medan, hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk

industri di dalamnegeri. Pemasaran kakao di Aceh tidak jauh berbeda dengan

pemasaran komoditasperkebunan lainnya. Dalam pemilihan saluran pemasaran

sangatlah penting bagi petaniuntuk meningkatkan pendapatannya, karena tidak

ketidaksesuaian dalam hal ini akanmempengaruhi tingkat pendapatan yang akan

diterima dari hasil usahatani itu. Olehkarena itu petani harus dapat menentukan

pemilihan saluran pemasaran yang tepatdalam penyaluran hasil usahanya

dengan berpedoman kepada informasi pasar sepertiharga jual, jumlah

permintaan dan tingkat keuntungan. Umumnya saluran pemasarankakao yang

dilalui oleh komoditas kakao di Aceh adalah melalui dua tipe saluranpemasaran

dengan perincian sebagai berikut, Tipe 1 : Petani – Pedagang pengumpul –

pedagang kabupaten – pedagang besar. Tipe 2 : Petani – pedagang kabupaten

– pedagang besar.

Pada umumnya tipe I merupakan tipe saluran pemasaran yang paling

seringdigunakan oleh petani, ini dikarenakan hampir semua waktu petani

dicurahkan kekebun dan kesibukan lainnya, jadi petani tidak sempat menjualnya

ke kabupaten karenajauhnya jarak yang ditempuh ke kabupaten. Sedangkan

petani yang melalui salurantipe II hanya sebagian kecil saja, ini dikarenakan

petani tersebut sambilan pergi kekabupaten karena bekerja di kabupaten dan

keperluan lainnya dan menjual hasilusahataninya tersebut, saluran ini sangat

menguntungkan bagi petani.

Kendala-kendala yang masih ditemui pada petani kakao di Aceh,

diantaranya : a)Penerapan teknologi budidaya secara benar masih kurang. b)

Produktivitas kakao di Aceh masih rendah. c) Kualitas kakao yang dihasilkan

petani masih di bawah standarekspor. d) Penanganan pascapanen kakao masih

minim. e) Pemasaran hasil kakaohanya di pasarkan keluar provinsi (Sumatera

Utara), sehingga terjadi fluktuasi hargadikarenakan pedagang belum mampu

melakukan ekspor akibat keterbatasan dana.

13

1.2. Budidaya kakao dan pascapanen

Pemangkasan pohon pelindung tetap dilakukan agar dapat berfungsi

untuk jangka waktu yang lama. Pemangkasan dilakukan terhadap cabang –

cabang yang tumbuh rendah dan lemah. Pohon dipangkas sehingga cabang

terendah akan berjarak lebih dari 1 m dari tajuk tanaman kakao. Pemangkasan

pada tanaman kakaomerupakan usaha meningkatkan produksi dan

mempertahankan umur ekonomis tanaman. Dengan melakukan pemangkasan,

akan mencegah serangan hama dan penyakit, membentuk tajuk pohon,

memelihara tanaman, dan memacu produksi.

Selain pemangkasan petani juga melaksanakan sanitasi kebun. Tujuan

penyiangan pada tanaman kakao adalah untuk mencegah persaingan dalam

penyerapan air dan unsur hara serta mencegah hama dan penyakit. Penyiangan

harus dilakukan secara rutin, minimal satu bulan sekali yaitu dengan

menggunakan cangkul, koret, atau dicabut dengan tangan.

Pemupukan dilakukan setelah tanaman kakao berumur dua bulan di

lapangan. Pemupukan pada tanaman kakao yang belum menghasilkan

dilaksanakan dengan cara menaburkan pupuk secara merata dengan jarak 15 cm

– 50 cm (untuk umur 2 – 10 bulan) dan 50 cm – 75 cm (untuk umur 14 – 20

bulan) dari batang utama. Untuk tanaman yang telah menghasilkan, pemberian

pupuk dilakukan pada jarak 50 cm – 75 cm dri batang utama. Penaburan pupuk

dilakukan dalam alur sedalam 10 cm.

Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida

dalam dua tahap.Pertama bertujuan untuk mencegah sebelum diketahui ada

hama yang benar–benar menyerang. Kadar dan jenis pestisida disesuaikan.

Penyemprotan tahapan kedua adalah usaha pemberantasan hama, di mana jenis

dan kadar pestisida yang digunakan juga ditingkatkan. Hama yang sering

menyerang tanaman kakao antara lain adalah penggerek buah kakao, ulat

jengkal (Hypsidra talaka Walker.), kutu putih (Planoccos lilaci), penghisap buah

(Helopeltis sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp.). Insektisida yang sering

digunakan untuk pemberantasan belalang, ulat jengkal, dan kutu putih antara

lain adalah Decis, Cupraycide, Lebaycide, Coesar, dan Atabron. Penghisap buah

dapat diberantas dengan Lebaycide, Cupraycide, dan Decis.

Penyakit yang sering ditemukan di lapangan dalam budidaya kakao, yaitu

penyakit jamur upas dan jamur akar. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur

14

Oncobasidium thebromae. Selain itu, juga sering dijumpai penyakit busuk buah

yang disebabkan oleh Phytoptera sp.

Kondisi petani kakao di Pante Bidari setelah dilaksanakan m-P3Mi sudah

banyak mengetahui dan menerapkan budidaya kakao yang tepat. Disamping

budidaya, petani juga mengetahui panen dan pasca panen.

Buah kakao bisa dipanen apabila terjadi perubahan warna kulit pada buah

yang telah matang. Sejak fase pembuahan sampai menjadi buah dan matang,

kakao memerlukan waktu sekitar 5 bulan. Buah kakao matang dicirikan oleh

perubahan warna kulit buah dan biji yang lepas dari kulit bagian dalam. Bila buah

diguncang, biji biasanya berbunyi. Keterlambatan waktu panen akan berakibat

pada berkecambahnya biji di dalam buah. Terdapat tiga perubahan warna kulit

pada buah kakao yang menjadi kriteria kelas kematangan buah di kebun – kebun

yang mengusahakan kakao, yakni :

Kelas kematangan A+, kuning tua pada seluruh permukaan buah

Kelas A, kuning pada seluruh permukaan buah

Kelas B, kuning pada alur buah dan punggung alur buah

Kelas C, kuning pada alur buah

Buah kakao yang telah dipanen biasanya dikumpulkan pada tempat

tertentu dan dikelompokkan menurut kelas kematangan. Pemecahan kulit

dilaksanakan dengan menggunakan kayu bulat yang keras.

Masalah yang paling penting pasca panen adalah fermentasi. Tujuan dari

fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga

perubahan-perubahan di dalam biji kakao akan mudah terjadi, seperti warna

keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji, dan

untuk melepaskan pulp. Biji kakao difermentasikan di dalam kotak kayu

berlubang. Selama fermentasi, biji beserta pulpnya mengalami penurunan berat

sampai 25%.

Perendaman berpengaruh terhadap proses pengeringan dan rendemen.

Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut

sehingga kulitnya lebih tipis dan rendemennya berkurang. Dengan demikian,

proses pengeringan menjadi lebih cepat. Setelah perendaman, dilakukan

pencucian yang bertujuan untuk mengurangi sisa – sisa pulp yang masih

menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji. Apabila biji masih ada

15

sisa pulp, bijiakan mudah menyerap air dari udara sehingga mudah terserang

jamur dan juga akan memperlambat proses pengeringan.

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji dari 60 % sampai

pada kondisi kadar air dalam biji tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji

tidak ditumbuhi cendawan. Pengeringan biji kakao dapat dilaksanakan dengan

sinar matahari atau pengeringan buatan. Dengan sinar matahari dibutuhkan

waktu 2 - 3 hari, tergantung kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi 7 –

8 %. Dengan pengeringan buatan, pengeringan biji kakao berlangsung pada

temperatur 65oC – 68oC.

Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan

berdasarkan mutunya:

a) Mutu A : dalam 100 g biji terdapat 90 – 100 butir biji

b) Mutu B : dalam 100 g biji terdapat 100 – 110 butir biji

c) Mutu C : dalam 100 g biji terdapat 110 – 120 butir biji

Biji kakao yang telah kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap goni

diisi 60 kg biji cokelat kering, kemudian karung tersebut disimpan dalam gudang

yang bersih, kering, dan memiliki lubang pergantian udara. Penyimpanan di

gudang sebaiknya tidak lebih dari 6 bulan, dan setiap 3 bulan harus diperiksa

untuk melihat ada tidaknya jamur atau hama yang menyerang. Sebaiknya, biji

kakao bisa segera dijual dan diangkut dengan menggunakan truk atau

sebagainya.

16

III. PROSEDUR PELAKSANAAN

2.1. Tahapan Kegiatan

Kegiatan pendampingan tanaman perkebunan terdiri dari 3 kegiatan

utama dengan uraian pelaksanaan sebagai berikut:

1. Survei awal (baseline survey) untuk mengetahui tingkat adopsi inovasi dan

kebutuhan inovasi teknologi. Survei ini bertujuan untuk melihat keragaan

penerapan inovasi teknologi dan kebutuhan inovasi teknologi. Survei dilakukan

dengan Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara terstruktur secara

mendalam.

2. Diseminasi inovasi teknologi dengan pola/model SDMC yang diawali dengan

sosialisasi dan advokasi, Pelatihan petani dan penyuluh, pembuatan dan

penyebarluasan media cetak serta pelaksanaan peragaan (demplot) inovasi

teknologi budidaya tanaman perkebunan yang dibutuhkan petani. Pelaksanaan

dari masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:

a. Sosialisasi dan advokasi dilakukan terhadap pemangku kepentingan di

lokasi penelitian, seperti: penyuluh, camat, tuha peut, ketua kelompok tani,

alim ulama dan pemuka masyarakat yang ada lokasi.

b. Pelatihan petani dan penyuluh tentang teknologi budidaya tanaman

perkebunan (kopi, kakao, dan tebu) terpadu terhadap 50 orang petani

kakao dan 10 orang penyuluh lapangan per masing-masing lokasi kegiatan.

Materi pelatihan yang diberikan disesuaikan dengan hasil survei awal.

c. Penerbitan dan penyebaran media cetak dalam bentuk leaflet dan

poster. Judul leaflet dan poster yang diterbitkan dan didistribusikan

disesuaikan dengan inovasi teknologi tanaman perkebunan yang

dibutuhkan.

d. Pemutaran video budidaya tanaman perkebunan.

e. Setiap petani kooperator dilakukan pendampingan tentang teknik

budidaya teknologi secara terpadu.

3. Survei akhir untuk mengetahui peningkatan adopsi inovasi teknologi dan

permasalahan dalam adopsi teknologi. Survei dilakukan dengan wawancara

terstruktur secara mendalam dengan menggunakan kuesioner dengan petani

sampel sebanyak 10 orang petani per lokasi.

17

2.2. Waktu dan Tempat

kegiatan ini dilaksanakan dari Januari s/d Desember tahun 2016 di

Kebupaten Bener Meriah (kopi), Kabupaten Pidie Jaya(kakao).

2.3. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini berupa alat tulis kantor, bahan

untuk budidaya tanaman berupa saprodi, dan pestisida, bahan dan alat pelatihan

petani, serta bahan dan alat pendukung lainnya.

18

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Informasi Kawasan Perkebunan yang di Dampingi

3.1. 1. Gambaran Umum Lokasi Kegiatan Pendampingan Perkebunan Kopi

Kabupaten Bener Meriah yang beribukota di Simpang Tiga Redelong

memiliki luas 1.919,69 km² terdiri dari 10 Kecamatan dan 233 desa. Jumlah

Penduduk Kabupaten Bener Meriah Hasil Data Agregat Kependudukan Per

Kecamatan Tahun 2012 berjumlah 148.616 jiwa yang terdiri atas 75.958 dan

72.658 jiwa. Bener Meriah terletak 4°33’ 50’’ - 4° 54 50 Lintang Utara dan 96° 40

75- 97° 17 50 Bujur Timur dengan tinggi rata-rata di atas permukaan laut 100 -

2.500 m dpl. Batas-batas daerah Kabupaten Bener Meriah adalah sebagai

berikut:

❖ Sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen.

❖ Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Aceh Tengah.

❖ Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Tengah .

❖ Sebelah Timur berbatas dengan dengan Kabupaten Aceh Timur.

Secara umum seluruh kecamatan memiliki kebun kopi rakyat. Lahan kopi

di kabupaten Bener Meriah seluas 80.000 Ha dengan rata-rata produksi tanaman

kopi mencapai 1 hektar kebun mampu memproduksi kopi 1.500 Kg/tahun dan

dikalikan dengan jumlah luas kebun kopi, maka jumlah produksi kopi per-

tahunnya bisa mencapai 229.500,000 Kg/tahun. Pada tabel dibawah dapat di

lihat nama mukim dan desa dirinci perkecamatan sebagai berikut (Tabel 3).

Tabel 1. Rincian nama kecamatan, mukim dan desa Kabupaten Bener Meriah

No Kecamatan Mukim Desa

1 Timang Gajah 3 30

2 Gajah Putih 1 10

3 Pintu Rime Gayo 2 23

4 Bukit 3 40

5 Wih Pesan 3 27

6 Bandar 5 35

7 Bener Kelipah 2 12

8 Syah Utama 2 14

9 Mesidah 2 15

10 Permata 4 27

19

Gambar 2. Peta Kabupaten Bener Meriah

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Menurut Kecamatan di Kabupaten Bener Meriah

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Total Sex Ratio

1 Timang Gajah 9028 8785 17813 102,77

2 Gajah Putih 3916 3814 7730 102,67

3 Pintu Rime Gayo 5419 5124 10543 105,76

4 Bukit 11297 11213 22510 100,75

5 Wih Pesan 10523 10061 20584 104,59

6 Bandar 11147 10967 22114 101,64

7 Bener Kelipah 2017 1957 3974 103,07

8 Syah Utama 660 656 1316 100,61

9 Mesidah 1749 1552 3301 112,69

10 Permata 7724 7467 15191 103,44

3.1.1.Topografi

Letak topografi sebagian besar desa di kabupaten Bener Meriah adalah di

daerah yang berbukit-bukit dan pegunungan. Keadaan topografi Kabupaten

Bener Meriah yang umummnya berupa pegunungan dan perbukitan sangat

potensial untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan tanaman pangan,

20

peternakan dan perikanan. Berdasarkan kelas ketinggian maka Kabupaten Bener

Meriah didominasi Kelas Ketinggian 1000-1.200 m dpl.

3.1.2. Keadaan Iklim dan Cuaca

Kabupaten Bener Meriah merupakan kawasan beriklim tropis dengan curah

hujan berkisar 1.000-2.500(mm) pertahun dengan jumlah hari hujan 143-178.

Hujan umumnya turun pada bulan September sampai Februari. Musim kemarau

terjadi pada bulan Maret sampai Agustus. Temperatur maksimum berkisar pada

260C. Kelembaban relatif maksimum 75,8% dan kelembaban relative minimum

20%.

3.1.2 Pelaksanaan Koordinasi 2.1. Koordinasi Kegiatan Pendampingan BPTP Dengan SKPD,

Petani/Poktan Dan StakeholdersLain

Pelaksanan Kegiatan Koordinasi dimulai dengan kegiatan Sosialisasi

kegiatan pendampingan. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas Kehutanan

dan Perkebunan (DISHUTBUN) Kabupaten Bener Meriah. Pihat yang terlibat

dalam kegiatan ini Kadis, dan Kabid Produksi dan perlindungan tanaman.

Kegiatan ini sekaligus dilaksanakan sinkronisasi dengan kegiatan daerah.

Pada dasarnya kegiatan ini adalah kegiatan lanjutan, tim BPTP tidak

banyak yang harus disosialisasikan kepada Pemerintah Daerah. Mareka sudah

memahami dan mengharapkan BPTP Aceh dapat mendampingi pekebun kopi di

daerah dengan inovasi teknologi yang dapat mengatasi masalah dan dapat

menaikkan produktivitas kopi petani. Untuk lebih lengkap tahap tahapan

kegiatan koordinasi dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 3. Tahapan Kegiatan Koordinasi Tim BPTP Aceh dengan Pemerintah

Daerah Bener Meriah

No Jenis kegiatan Pihak yang terlibat Ket

1. Sosialisasi kegiatan pendampingan

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Bapelluh, Muspika daerah, Pelaku bisnis dan Praktisi

2. Sinkronisasi dengan kegiatan di daerah

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan

21

3. PRA/FGD untuk perakitan teknologi baru

Petani kopi dan Kakao

4. Penetapan CP/CL Kadishutbun, PPL, Ketua kelompok tani

5. Survey Kondisi Existing tanaman kopi dan kakao

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan

6. Survey permasalahan di lapangan tentang tanaman kopi dan kakao serta memprioritaskan masalah

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan

7.

Peningkatan SDM petani dengan pelatihan tentang budidaya kopi dan kakao, serta teknik pengendalian OPT utama pada kopi dan kakao

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan, pekebun, narasumber

8.

Penyebaran dan diseminasi inovasi teknologi melalui pembagian buku juknis, poster, leaflet dan CD Video

Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan, pekebun, narasumber

Pemerintah Daerah Kabupaten Bener Meriah merupakan lokasi

Pendampingan komoditas sangat mendukung kegiatan tersebut. Para

Stakeholders akan mendukung semua kegiatan pendampingan dengan

mensinergikan dengan kegiatan Pemerintah Daerah.

3.1.2. Gambaran Umum Lokasi Kegiatan Pendampingan Perkebunan Kakao di Kabupaten Pidie Jaya

Letak Georafi Kabupaten Pidie Jaya berada pada 4°54'

15,702"N sampai 5° 18' 2,244" N dan 96°1' 13,656"E sampai 96°22'1,007"E.

Secara Topografi Kabupaten Pidie Jaya berada pada ketinggian 0 mdpl s.d 2300

22

mdpl dengan tingkat kemiringan lahan antara 0 sampai 40%. Wilayah Kecamatan

Jangkabuya secara keseluruhan merupakan dataran rendah antara 0 mdpl s.d 20

mdpl, Kecamatan Bandar Dua berada pada 10 mdpl s.d. 2300 mdpl sedangkan

Kecamatan Ulim, Meurah Dua, Meureudu, Trienggadeng, Pante Raja, dan Bandar

Baru berada pada 0 mdpl s.d 2.300 mdpl terbentang dari Pesisir Selat Malaka

hingga Puncak Gunong Peuet Sagoe pada Gugusan Bukit Barisan. Secara

keseluruhan Kabupaten Pidie Jaya rawan terhadap banjir dan erosi. Dari

klasifikasi lereng, Kabupaten Pidie Jaya merupakan daerah dataran tinggi yang

memiliki daerah kelas lereng sampai dengan 40%.

BATAS WILAYAH

UTARA : Selat Malaka

SELATAN : Kecamatan Tangse, Geumpang dan Mane, Kabuapen Pidie

BARAT : Kecamatan Glumpang Tiga, Glumpang Baro, dan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie

TIMUR : Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen

Gambar 3. Potensi Kakao di Kabupaten Pidie Jaya 13.484 Ha

23

3. 2. Survei Awal

Tim pemdampingan kawasan perkebunan pada awal kegiatan melakukan

Survei awal dilokasi kegiatan : Kabupaten Bener Meriah untuk komoditi kopi,

Kakao untuk Kabupaten dan Pidie Jaya. Survei awal (baseline survey) untuk

mengetahui kondisi terkini kebun petani. Permasalahan permasalahan yang

dihadapi setiap hari dalam usahataninya perlu didata, untuk mengetahui solusi

inovasi yang didesiminasi kepada petani. Hasil survei awal sangat berguna untuk

melaksanakan kegiatan pendampingan kawasan perkebunan.

Hasil survei awal permasalahan utama yang dihadapi petani kopi setiap

hariadalah rendahnya produktivitas akibat serangan hama dan penyakit. Hama

yang sangat meresahkan petani adalah hama penggerek buah kopi (PBKo)

Hypothenemus hampei. Hasil penelitian Firdaus (2013) serangan hama PBKo di

kecamatan Wih Pesam pada ketinggian 800 mdpl mencapai 60%. Pada

Ketinggian dibawah 1000 mdpl hama ini sangat cepat berkembang sehingga

intensitas serangannnya mengakibatkan kerugian sangat besar dialami petani.

3.2.1. Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) Hypothenemus hampei menjadi permasalahan utama petani

Hypothenemus hampei merupakan salah satu penyebab utama

penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara

penghasil kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak

berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur

mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil.

Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Coleoptera

Family : Scolytidae

Genus : Hypothenemus

Spesies : Hypothenemus hampei

24

Biologi dan Ekologi H. hampei

Hama PBKo H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa

sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa.

Kumbang betina lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina

lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2

mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang

gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada

bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya.

Telur menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari.

Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk

perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga

diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari,

sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari.

Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50

butir. Telur menetas menjadi larva yang menggerek biji kopi. Larva menjadi

kepompong di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari kepompong. Jantan

dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah

lain untuk masuk, lalu bertelur lagi. Serangga dewasa atau imago, perbandingan

antara serangga betina dengan serangga jantan rata-rata 10:1. Namun, pada

saat akhir panen kopi populasi serangga mulai turun karena terbatasnya

makanan, populasi serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina

memiliki umur yang lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi

demikian perbandingan serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1.

Serangga jantan H.hampei tidak bisa terbang, oleh karena itu mereka

tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji. Umur serangga jantan hanya 103

hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari dengan rata-rata 156

hari. Serangga betina mengadakan penerbangan pada sore hari, yaitu sekitar

pukul 16.00 sampai dengan 18.00 (Wiryadiputra, 2007).

2.3.2. Gejala Serangan PBKo

Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang

telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah

kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan

25

makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang,

warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan

pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi

karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap

susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji

berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia,

sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen

senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al., 2006).

Serangga H. hampei masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat

lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah,

serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-

lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006).

Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji

keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur

pada biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi

setelah pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk

penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga

perbiji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu

tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).

H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi

yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak

dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan

kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei

(DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang

sampai merah , biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada

buah. Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk

meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga

menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002).

Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah.

Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-

lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan

berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke

dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak

dalam buah (Irulandi et al., 2007).

26

Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk

endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah

memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang

kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika

buah sudah cukup matang (Baker et al., 1992).

2.3.3. Pola Penyebaran

Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian

menyebar luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan

beberapa pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi

(Vega, 2002). Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee

berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai

penyebaran di Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau

hitam coklat (Susniahti et al., 2005).

Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika

Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini

diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk

buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara,

termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega, 2002).

Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun

dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan

daerah asal dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang

tanaman kopi liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi

serupa juga dijumpai di Brazil, di mana serangan berat hama PBKo biasanya

terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga

kelembaban udara cukup tinggi.

Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo

dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena fenologi

pembuahan tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat,

curah hujan, suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis.

Kondisi pertanaman kopi di daerah Sumatera yang tergolong daerah basah dan

sebagian besar memiliki tipe iklim B dan A (menurut tipe iklim Schmidt dan

Ferguson) akan sulit menerapkan sistem sanitasi untuk memutuskan siklus hidup

hama karena pertanaman kopi berbuah sepanjang tahun. Pada daerah dataran

27

tinggi (lebih dari 1200 m dpl.) serangga H. hampei perkembangannya terhambat,

sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya intensitas serangan H. hampei

juga rendah.

2.3.4 Pengaruh Lingkungan

Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah

kopi. H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk

perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara

27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C,

pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau

mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).

Selanjutnya Survei awal pada tanaman kakao dilaksanakan kegiatan

koordinasi dan diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Pidie Jaya Bapak Ir. Burhanuddin dimaksudkan untuk

mengkomunikasikan maksud dan tujuan kegiatan Pendampingan Pengembangan

Kawasan Pertanian Kawasan Perkebunan serta dukungan yang diperlukan.

Bapak Burhanuddin sangat mendukung kegiatan pendampingan ini yang

dilaksanakan oleh BPTP Aceh di Kabupaten Pidie Jaya, karena kegiatan ini

merupakan permasalahan utama yang dihadapi petani kakao.

4.5. Permasalahan Utama Kakao adalah Serangan Hama dan

Penyakit

Hasil survei awal Tim BPTP Aceh bersama Kepala Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Pidie Jaya Ir . Burhanuddin serta wawancara langsung

dengan petani permasalahan utamanya adalah Penyakit busuk buah dan

serangan hama penggerek buah kakao (PBK) (Gambar 4). Selanjutnya Pemda

Pidie Jaya sudah dilakukan semua teknik pengendalian OPT tersebut, namun

sampai sekarang belum bisa kita kendalikan. “ Petani tidak boleh menyerah pada

keadaan ini, mari kita lakukan rawat kembali kebun dengan lebih giat semoga

serangan OPT dapat dikendalikan,” demikian harapannya disaat survey

kelapangan bersama tim BPTP Aceh.

28

Gambar 4. Gejala serangan hama PBK dan penyakit busuk buah

Hasil Survei awal ditemukan juga kondisi kebun umumnya kurang terawat

(sudah diterlantarkan) dan tingginya intensitas serangan Organisme Penganggu

Tanaman (OPT). Menurut Ramli Petani teladan di Cubo, Hama dan Penyakit yang

banyak menyerang kebun kakao milik petani adalah adalah PBK, helopeltis, dan

penyakit busuk buah yang disebabkan oleh jamur Phythopthora. Hal senada juga

dikatakan oleh Saiful, petani kakao di Gampong Kayee Jato Kecamatan Bandar

Baru bahwa akibat serangan OPT tersebut, hasil panen mereka menurun sangat

drastis bahkan ada kalanya mereka tidak panen sama sekali.

Harapan Pemda Pidie Jaya melalui Kadishutbun Ir Burhanuddin dan petani,

BPTP Aceh dapat melakukan percepatan adopsi inovasi teknologi pengendalian

OPT secara terpadu dengan melakuan PsPSP (Panen sering Pemangkasan

Sanitasi dan Pemupukan) serta melakukan sambung samping dan sambung

pucuk dengan klon unggul lokal yang tahan terhadap busuk buah dan PBK.

4.6 Pelatihan Petani dan Penyuluh Pertanian untuk Meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam Budidaya Tanaman Kopi di Desa Simpang Antara Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah

Permasalahan utama tanaman kopi di daerah lokasi kegiatan adalah

rendahnya produksi kopi selama ini. Produksi kopi semester I bulan Februari

2015 rendah dibandingkan dengan produksi rata rata nasional. Permasalahan ini

di karenakan belum tau petani tentang teknologi budidaya kopi terpadu dan

teknik pengendalian hama dan penyakit terpadu.

Melihat kondisi ini dilapangan BPTP Aceh dengan teamnya melakukan

percepatan diseminasi teknologi budidaya kopi dengan metode pelatihan petani

dan pembagian media leflet dan poster. Pelatihan petani lebih diutamakan pada

29

teknik budidaya dan pengendalian hama PBKo. Pelatihan petani terdiri dari

penyampaian materi di ruangan dan praktek di lapangan. Materi mencakup

pemangkasan, pemupukan, tanaman penaung dan pengendalian hama PBKo.

Masalah yang tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan

produktivitas dan mutu kopi adalah serangan organisme pengganggu tanaman

(OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani. Sampai saat ini tercatat

lebih dari 900 jenis serangga hama pada tanaman kopi yang tersebar diseluruh

dunia.

Di Indonesia terdapat beberapa jenis hama utama kopi, yaitu: hama

penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei, penggerek cabang hitam

Xylosandrus compactus, penggerek cabang coklat Xylosandrus morigerus, kutu

hijau Coccus viridis, dan penggerek batang merah Zeuzera coffea. Sedangkan

penyakit : Karat daun kopi (Hemileia vastatrix), Bercak daun kopi

(Mycosphaerella coffeicola), Nematoda (Pratylenchus coffeae dan Radopholus

similis Jamur upas (Corticium salmonicolor ), dan Penyakit akar: coklat, hitam,

putih.

Gambar 5. Penjab Kegiatan Firdaus, SP., M.Si Menyampaikan tujuan dan maksud kegiatan Pendampingan kawasan perkebunan (kopi) pada saat kegiatan temu lapang Pengendalian Hama PBKo

Pada kegiatan pelatihan petani dan penyuluh, Tim BPTP Aceh diwakili

oleh penanggung jawab kegiatan Firdaus, SP., M.Si menjelaskan tahapan

30

tahapan kegiatan pelatihan (Gambar 6). Pelatihan diawali dengan pemberian

materi teori teori di dalam ruangan. Bahan pelatihan yang diajarkan mencakup

budidaya tanaman kopi secara terpadu, dan yang sangat penting adalah

pengendalian hama utama kopi Penggerek Buah Kopi (PBKo).

Gambar 7. Petani sedang mengikuti materi Budidaya Tanaman Kopi Terpadu di Ruangan.

Pemateri atau narasumber berasal dari instansi terkait yaitu Dishutbun

Kabupaten Bener Meriah, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, serta Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh. Salah seorang narasumber dari BPTP Aceh

peneliti kopi Sdr Lamhot SP sedang memberikan materi pengendalian hama

penggerek buah kopi secara terpadu (Gambar 7).

Peserta pelatihan berasal dari Kelompok Tani Sejahtera petani kopi

Gampong Simpang Antara Kecamatan Wih Pesam. Selain petani kopi peserta

juga berasal dari penyuluh pertanian lapangan BP3K Kecamatan wih Pesam.

Peserta selain menerima satu set alat tulis menulis, juga alat praktek berupa

gunting pangkas tanaman kopi, gergaji, parang, dan saprodi pupuk.

31

Gambar 7. Petani sedang mengikuti materi Budidaya Tanaman Kopi Terpadu di Ruangan.

Peserta sangat antusias mengikuti materi yang di berikan oleh

narasumber (Gambar 8). Materi yang diberikan selain persentasi dengan

infokus , juga dibagikan brosur dan leaflet tentang budidaya kopi dan

pengendalian hama dan penyakit

Materi yang di terima peserta pelatihan sangat berguna bagi petani, yang

selama ini budidaya kopi seperti teknik pemangkasan belum sesuai dengan

anjuran yang disampaikan oleh narasumber. Dengan adanya pelatihan ini ada

peningkatan pengetahuan yang dirasakan oleh petani, untuk merubah sikap dan

praktek budidaya kopi kearah yang lebih baik, sehingga harapan petani

peningkatan produksi menjadi kenyataan (Gambar 9).

32

Gambar 8. Peserta berfoto bersama usai pelatihan materi dan praktek dilapangan

Teknik Pengendalian Hama PBKo diberikan kepada petani baik materi

maupun praktek langsung di lapangan. yang persentase buah terserang pada

petak perlakuan pemangkasan, sanitasi Beuveria dan pemasangan perangkap

hypotan diduga karena terdapat empat cara pengendalian yang diterapkan yaitu

dengan melakukan sanitasi dengan cara memetik buah-buah yang terserang

hama bubuk di pohon pada awal pengamatan dan memungut buah kopi yang

jatuh di tanah baik terhadap buah terserang maupun buah tidak terserang, dapat

memutuskan daur hidup hama bubuk buahkopi.

Tindakan pemangkasan wiwilan, cabang sakit dan cabang tidak produktif

menghindari kondisi pertanaman yang terlalu gelap karena ada cabang yang

tumpang tindih sehingga menciptakan suasana kebun yang tidak sesuai bagi

hama bubuk buah kopi. Disamping itu, pemangkasan juga akan mengurangi

persaingan makanan sehingga merangsang cabang produktif untuk berproduksi

lebih banyak. Selanjutnya perlakuan Beauveria juga dapat menekan populasi

hama bubuk buah ditambah lagi dengan pemasangan perangkap. Hal ini sesuai

dengan pendapat Wiryadiputra (2007) bahwa pengendalian hama bubuk buah

kopi dengan sanitasi sangat efektif untuk menurunkan intesitas serangan dari 40-

90% menjadi 0,5-3%.

Selanjutnya Kadir et al. (2003) melaporkan bahwa pemangkasan

merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur teknis yang

33

dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama utama pada tanaman kopi.

Tindakan pemangkasan pada tanaman kopi akan menghindari kelembaban

kebun yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan

dapat berlangsung secaraintensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat

penyinaran merata guna merangsang pembungaan dan membuang cabang tua

yang kurang produktif atau terserang hama atau penyakit sehingga hara dapat

didistribusikan ke cabang muda yang lebih produktif.

Aplikasi Beauveria dapat menekan persentase serangan hama bubuk

buah kopi, selanjutnya penggunaan senyawa perangkap hypotan juga dilaporkan

efektif dalam menurunkan persentase serangan hama bubuk buah kopi hingga

80% (Wiryadiputra et al. 2010).

4.7 Pelatihan petani Meningkatkan Pengetahuan Petani di Desa Kayee Jatoe Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pelatihan petani kakao dilaksanakan di Desa Kayee Jatoe Kecamatan

Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pelatihan ini di ikuti oleh 50 petani kakao

dan 5 penyuluh pertanian dari BPP Bandar Baru. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pidie Jaya.

Narasumber pelatihan berasal dari Dishutbun, penyuluh senior dan

praktisi. Bapak Muslahuddin salah seorang praktisi yang telah berhasil

menerapkan sistem nutrisi balancing. Teknologi ini mampu merehabilitasi kebun

kakao petani yang tidak produktif lagi menjadi kebun yang berproduksi.

Bapak Kadishutbun menjelaskan kebijakan pemerintah Pidie Jaya dalam

meningkatkan kesejahteraan petani kakao. Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya

pada Tahun 2016 ada kegiatan intensifikasi dan ektensifikasi kebun kakao rakyat.

Hasil Pelatihan ini petani mendapatkan teori dan Praktek Langsung

teknologi budidaya kakao yang terpadu. Semoga ilmu yang diperoleh di saat

pelatihan dapat di terapkan dikebun kakao masing masing

34

V. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Setelah dilaksanakan kegiatan pendampingan kawasan perkebuan (Kopi,

Kakao,) telah terjadi peningkatan pengetahuan petani dalam memahami teknik

budidaya yang baik. Petani sudah memahami teknik – teknik budidaya kopi

seperti pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama PBKo. Petani sudah

mau merawat kebun sendiri, setelah melihat kebun petani lain yang telah

menerapkan teknologi budidaya yang benar. Terjadi penurunan intensitas

serangan hama PBKo setelah petani melakukan pengendalian hama PBKo secara

terpadu dan serentak.

Hal yang sama, pada petani kakao di Kecamatan Bandar Baru Kabupaten

Pidie Jaya. Kegiatan pendampingan Teknologi Budidaya Kakao dapat

meningkatkan pengetahuan sikap dan ketrampilan petani, sehingga budidaya

kakao petani semakin baik dan pada akhirnya terjadi peningkatan produksi.

4.2. Saran

Pemerintah daerah masing masing lokasi kegiatan pendampingan

kawasan perkebunan dapat melanjutkan kegiatan ini dengan pengembangan

kawasan perkebunan semakin luas. BPTP Aceh telah menyampaikan inovasi

teknologi kepada petani. Semoga petani dapat mengadopsi semua teknologi

untuk meningkatkan produksi.

35

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (2014) Aceh dalam Angka

Aksi Agraris Kanisius, 2010. Budidaya Tanaman Kopi. Kanisius, Yogyakarta.

Baon, J. et.al., 2013. Pengelolaan Kesuburan Tanah Perkebunan Kopi dalam Mewujudkan Usaha Tani yang Ramah Lingkungan. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, 2014. Statistik Perkebunan Propinsi Aceh.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia, Kopi 2001-2003. Jakarta 87p.

Gupta, P.C. & J.C. O’Toole. 1986. Upland Rice A Global Perspective. Manila. IRRI. p360.

Hulupi, R. (2012). Bahan Tanam Kopi yang Sesuai untuk Kondisi Agroklimat di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 15 (1), 64-81.

International Coffee Organization. 2010. Coffee Market Report. Agustus 2004

Iskandar, S. H. (2008). Beberapa Aspek Budidaya Tanaman Perkebunan. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 Hal.

36

FOTO KEGIATAN

Gambar 1. Kondisi tanaman yang terserang penyakit busuk akar

Gambar 2. Keadaan buah kakao terserang hama dan penyakit

37

Gambar 3. Penjab Kegiatan menjelaskan maksud dan tujuan pelatihan

Gambar 4. KaDishutbun Kabupaten Bener Meriah membuka acara

pelatihan petani dan penyuluh

38

Gambar 5. Peserta pelatihan sedang mengikuti materi inovasi teknologi

39

Gambar 7. Peserta sedang melakukan praktek pemupukan dan pemangkasan

Gambar 8. Narasumber bapak Lamhot Edy P, SP menjelaskan teknik pemangkasan pada tanaman kopi

40

Gambar 9. Penanggung jawab kegiatan sedang memberikan arahan pada

saat pelatihan

Gambar 10. Peserta pelatihan sedang mengikuti pelatihan dengan serius