case bari ami cad.docx

34
BAB I STATUS PASIEN I. IDENTITAS Nama : Tn. IS Usia : 58 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Bangsa : Indonesia Status : Menikah Alamat :Jl. Sepakat Jaya kecamatan 7 Ulu Palembang. No. RM : 091015 MRS : 1 Maret 2013 Tanggal pemeriksaan : 9 Maret 2013 II. ANAMNESIS Keluhan Utama Nyeri dada sejak + 3 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak + 3 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri dada yang mulai dirasakan saat istirahat. Nyeri dada sebelah kiri 1

Upload: putri-amelia-rizqi

Post on 29-Nov-2015

65 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

AMI

TRANSCRIPT

Page 1: Case Bari AMI CAD.docx

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama : Tn. IS

Usia : 58 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Status : Menikah

Alamat : Jl. Sepakat Jaya kecamatan 7 Ulu Palembang.

No. RM : 091015

MRS : 1 Maret 2013

Tanggal pemeriksaan : 9 Maret 2013

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri dada sejak + 3 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak + 3 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri dada yang mulai dirasakan saat

istirahat. Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke leher dan punggung kiri. Nyeri dada

terasa seperti ditimpa beban berat. Nyeri dada seperti ini sering hilang timbul

sejak 2 tahun SMRS dan mereda bila beristirahat. Nyeri saat ini dirasa memberat

sejak + 3 jam SMRS. Pasien merasa sesak nafas. Sesak tidak dipengaruhi oleh

aktivitas, cuaca, debu dan emosi. Pasien tidak sesak bila berbaring, pasien nyaman

tidur dengan bantal yang tinggi. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari

karena sesak. Pasien masih bisa berjalan 100 meter. Terdapat keringat dingin.

1

Page 2: Case Bari AMI CAD.docx

Mual (+), muntah (-), demam (-), batuk (-). Dada dirasakan berdebar-debar.

Pasien lalu dibawa ke RS.

Pasien masuk ICU selama + 7 hari. Mendapatkan pengobatan yang disuntikkan di

dekat pusar 5x.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat darah tinggi sejak + 20 tahun yang lalu, teratur minum obat tensipak.

Sejak + 2 tahun yang lalu, pasien tidak lagi minum obat diganti dengan

pengobatan herbal minum buah mengkudu.

Riwayat merokok sejak + 40 tahun yang lalu, 1 bungkus rokok/hari. Berhenti

merokok sejak + 2 minggu yang lalu.

Riwayat asma, alergi dan kencing manis disangkal.

Riwayat serangan jantung sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit dengan keluhan yang sama di dalam keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK ( 9 maret 2013 )

Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 90x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Nafas : 20x/menit, reguler, kedalaman cukup, pernafasan

abdominotorakal

Suhu : 36,5 oC

Tekanan Darah : 130/90 mmHg

Kesan gizi baik : Gizi Baik

Kepala :

deformitas (-). Rambut hitam, tidak mudah dicabut, dan

tersebar merata. Nyeri tekan sinus (-)

2

Page 3: Case Bari AMI CAD.docx

Mata : deformitas (-), ptosis (-), eksoftalmus (-), endoftalmus (-),

xanthelasma (-/-), pupil isokor, refleks pupil langsung (+ /+ ),

refleks pupil tidak langsung (+/+), konjungtiva palpebra

pucat (-/-), sklera ikterik (-/-).

Hidung : deformitas (-), sekret (-), deviasi septum nasal (-), pernafasan

cuping hidung (-)

Mulut : lidah basah, tidak hiperemis, stomatitis (-). T1-T1. caries

dentis (-)

Telinga : deformitas (-), serumen (-/-)

Leher : Trakea di tengah. JVP 5-2 cmH2O, KGB leher tidak teraba

KGB : KGB supraklavikula tidak teraba

KGB intraklavikula tidak teraba

KGB axila tidak teraba

KGB inguinal tidak diperiksa

Kulit : Warna sawo matang, efloresensi dan jaringan parut (-),

pigmentasi dalam batas normal, keringat umum (-), keringat

lokal (-), turgor baik, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), spider

nevi (-), anemis pada telapak tangan dan kaki (-), nodul

subkutan (-), pertumbuhan rambut normal, sianosis (-).

Thoraks

Paru

Inspeksi : Statis, dinamis simetris kanan=kiri, spider nevi (-),

retraksi iga (-), sikatriks (-), massa (-).

Palpasi : Stremfemitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus kordis teraba pada sela iga 5 linea

midklavikula kiri, thrill (-)

3

Page 4: Case Bari AMI CAD.docx

Perkusi : Batas atas jantung ICS II, batas jantung kanan sela

iga 4 linea parasternalis dextra, batas jantung kiri

pada sela iga 5 pada 2 jari lateral linea

midclavicularis sinistra

Auskultasi : HR 92x/menit, bunyi jantung I/II normal, murmur

(-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : simetris, datar, umbilicus tidak menonjol, venektasi

(-), scar (-)

Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak

teraba, massa (-), ballottement (-/-)

Perkusi : Thympani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Alat Genitalia : tidak diperiksa

Anus : tidak diperiksa

Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat, sianosis -/-, clubbing finger -/-,

atrofi otot (-/-), turgor baik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab tanggal 1 Maret 2013

Hematologi

Hb : 14,1 g/dL (N: 14-16)

Ht : 42 % (N: 40-48)

Leukosit : 9600/ul (N:5000-10.000)

Difccount : 0/3/2/72/17/6

Kimia Klinik

Glukosa sewaktu : 159 mg/dl (N:<180 mg/dl)

Trigliserida : 148 mg/dl ( N , 200 mg/dl )

Kolesterol total : 158 mg/dl (N <200 mg/dl)

4

Page 5: Case Bari AMI CAD.docx

HDL : 48 mg/dl

LDL : 80 mg/dl

Ureum : 37 mg/dl (N: 13-43)

Kreatinin : 1,00 mg/dl (N: 0-1,4)

EKG 02 Maret 2013

rate 91x/menit sinus rhythm

Abnormal Axis Lad

Gelombang P morfologi normal, durasi 0,08 detik

QRS (T) Contour Abnormal, consistent dengan infarct anterior

Gelombang T abnormality pada inferior leads

ST-T Elevation Consider Infarct Miocard Acute

Foto Rontgen Torax

CTR 60%

Segmen aorta elongasi

Segmen pulmonal normal

Pinggang jantung datar

Apex lateral downward

Kongesti (-), infiltrat (-)

V. RESUME

Tn. IS, laki-laki , 58 tahun, datang dengan keluhan nyeri dada sejak 3 jam SMRS.

Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke leher dan punggung, terasa seperti ditimpa

beban berat. Nyeri dada seperti ini sering hilang timbul sejak 2 tahun SMRS dan

mereda bila beristirahat. Nyeri saat ini dirasa memberat sejak 3 jam SMRS. Sesak

nafas +. Keringat dingin +. Mual +. Dada berdebar-debar. Pasien mempunyai

hipertensi sejak 20 tahun yang lalu dan teratur minum obat tensipak, sejak 2

tahun yang lalu pasien tidak lagi minum obat diganti dengan pengobatan herbal

minum buah mengkudu. Riwayat merokok sejak 40 tahun yang lalu, 1 bungkus

5

Page 6: Case Bari AMI CAD.docx

rokok/hari. Berenti merokok sejak 2minggu yang lalu. Riwayat darah tinggi,

Diabetes mellitus, penyakit jantung dalam keluarga disangkal. Pada pemeriksaan

fisik jantung pada Palpasi, Ictus kordis teraba pada sela iga 5 linea midklavikula

kiri, thrill (-) Perkusi: Batas atas jantung ICS II, batas jantung kanan sela iga 4

linea parasternalis dextra, batas jantung kiri pada sela iga 5 pada 2 jari lateral linea

midclavicularis sinistra HR 92x/menit, bunyi jantung I/II normal, murmur (-),

gallop (-)

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan; EKG: QRS rate 91x/menit, aksis LAD,

Gelombang P morfologi normal, durasi 0,08 detik QRS (T) Contour Abnormal,

consistent dengan infarct anterior. Gelombang T abnormality pada inferior leads

ST-T Elevation Consider Infarct Miocard Acute

VI. DIAGNOSIS KERJA

STEMI onset 3 jam Killip II TIMI 5/14

Hipertensi terkontrol

VII. DIAGNOSIS BANDING

NSTEMI

Angina Pectoris

VIII. TATALAKSANA

Tirah baring

IVFD Rl gtt XV mikro

O2 nasal kanul 3 L

Pemeriksaan EKG, foto torax, lab Cardiac enzhym

Aspillet 1x80 mg

ISDN 3x5 mg

Bisoprolol 1x2,5 mg

Aprazolam 1x 0,5 mg

Lanzoprazole 2x30 mg

Neurodex tab 1 x 500 mg

Laxadyne syr 2x Ic

Total kalori 1000

6

Page 7: Case Bari AMI CAD.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari

spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak

stabil, IMA tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan IMA dengan elevasi ST (STEMI).

A. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat

biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral

sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat

pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,

hipertensi dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis

mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu

trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang

mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak

koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan

inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari trombus merah

kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons

terhadap terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,

serotonin, epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan

memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang

poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor

glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai

7

Page 8: Case Bari AMI CAD.docx

afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang larut

(integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul

multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,

menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel

yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin

menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri

koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus

yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri

koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik.

B. Diagnosis

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang

khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan

yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang

meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi

revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim.

B.1. Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung.

Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.

Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta

faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta

riwayat sakit jantung koroner pada keluarga,

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah.

8

Page 9: Case Bari AMI CAD.docx

Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian

dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien

IMA. Sifat nyeri dada angina sbb:

Lokasi: sub/retrosternal, prekordial

Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

ditusuk, diperas, dan dipelintir

Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,

gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat

Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah

makan

Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas

dan lemas

B.2. Pemeriksaan fisis

Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat

disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak

keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior

memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi)

dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas

parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,

penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung

kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat

sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.

Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca

STEMI.

B.3. Elektrokardiografi (EKG)

9

Page 10: Case Bari AMI CAD.docx

Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi

karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi

pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak

diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan

kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan

elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus

diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi

menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark

miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-

gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau

ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien

tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

B.4. Laboratorium

Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan

adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn

I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk

pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga

akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,

terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan

biomarker.

Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan

ada nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai

puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi

jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam

bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T

masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

10

Page 11: Case Bari AMI CAD.docx

Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic

dehidrogenase (LDH)

Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang

dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.

Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

C. Penatalaksanaan

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan

nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin

dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat

penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.

C.1. Tatalaksana awal

Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar

tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal

(aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).

Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya

fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama

onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga

elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI a.l:

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan

resusitasi

Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf

medis dokter dan perawat yang terlatih

Melakukan terapi reperfusi

Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang

dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi

cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko

11

Page 12: Case Bari AMI CAD.docx

rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien

dengan STEMI.

C.2. Tatalaksana umum

Oksigen. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi

oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan

oksigen selama 6 jam pertama.

Nitrogliserin (NTG). Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan

aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5

menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan

oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard

dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh

darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena.

NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru.

Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau

pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari

pada pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24

jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

Mengurangi/menghilangkan nyeri dada. Mengurangi/menghilangkan

nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan

analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin

diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15

menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada

pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan,

sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan

tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai

dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl

0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan

bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark

12

Page 13: Case Bari AMI CAD.docx

posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5

mg IV.

Aspirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai

STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase

trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan

absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya

aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,

pemberian penyekat beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang

biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3

dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 kali/menit, tekanan darah

sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari

diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan

metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan

dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,

meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi

kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau

takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-

to-needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30

menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

D. Seleksi strategi reperfusi

Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi,

antara lain:

D.1. Waktu onset gejala

Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas

infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan

trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam

13

Page 14: Case Bari AMI CAD.docx

pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard

dan secara dramatis menurunkan angka kematian.

Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark

menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani

PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu

terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala.

D.2. Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam

menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan

fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti

klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

D.3. Risiko perdarahan

Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien.

Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi

fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia,

manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan

risiko.

D.4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah

PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian

menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end

point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas

PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa

didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan

perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer

14

Page 15: Case Bari AMI CAD.docx

lebih efektif daripada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat

dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.

Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik

(terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada

minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur

dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya

terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.

Fibrinolisis

Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator

(tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini

bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang

selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan

spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 (menunjukkan perfusi

pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal), karena perfusi penuh

pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam

membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan

laju mortalitas jangka pendek dan panjang.

tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK

lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran

koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.

D.5. Obat fibrinolitik

Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang

pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena

terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mencakup

harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakkkranial yang rendah.

Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial

menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang

15

Page 16: Case Bari AMI CAD.docx

mendapat tPA disbanding SK. Namun harganya lebih mahal dari SK dan risiko

perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.

Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan

sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih

mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.

Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki

spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10

B menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan

yang sama dibandingkan dengan tPA.

E. Terapi Farmakologis

E.1. Antitrombotik

Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan

mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder

adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan

antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam

praktik klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai

tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu

trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait

infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U)

dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). APTT selama

terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada

pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian

ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas,

reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS.

E.2. Penyekat beta (Beta-blocker)

Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang

terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka

16

Page 17: Case Bari AMI CAD.docx

panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian

penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen

miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko

kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar

pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan

kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri

sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).

E.3. Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap

mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian

SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas.

Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut

atau infark inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri

menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika

inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada

STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya

melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko

gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang

mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.

Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti

klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan

menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat

abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis

dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada pasien

STEMI menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan

fungsi ventrikel kiri menuru

17

Page 18: Case Bari AMI CAD.docx

F. Komplikasi dan Prognosis

IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia),

disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis

dan lain-lain.

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis

IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai

menggunakan klasifikasi Killip:

Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6

II + S3 dan/atau ronki basah di basal paru 30-40% 17

III Edema paru akut 10-15% 30-40

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

Klasifikasi Killip pada IMA

Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien

infark dengan ST elevasi, yakni:

BAB III

18

Faktor risiko (bobot) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)

Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3)

DM/HT/angina (1)

SBP<100 (3)

HR >100 (2)

Klasifikasi killip II-IV (2)

Berat <67 kg (1)

ST elevasi anterior atau LBBB (1)

Waktu ke reperfusi >4jam (1)

(skor maksimum 14 poin)

0(0,8) / 1(1,6)

2(2,2)

3(4,4)

4(7,3)

5(12,4)

6(16,1)

7(23,4)

8(26,8)

>8(35,9)

Page 19: Case Bari AMI CAD.docx

ANALISA KASUS

Seorang Laki-laki, berusia 58 tahun, datang dengan keluhan nyeri dada sejak 3

jam sebelum masuk rumah sakit. Dekskripsi nyeri tersebut yakni lokasi nyeri dada

di sebelah kiri, menjalar ke leher dan punggung, terasa seperti ditimpa beban

berat. Dapat disimpulkan nyeri dada pada pasien ini termasuk dalam nyeri dada

tipikal. Didapatkan juga gejala otonom pada pasien ini berupa keringat dingin,

mual-mual serta pingsan, yang menyertai nyeri tersebut.

Nyeri dada pasien saat diperiksa dirasakan memberat sejak 3 jam sebelum masuk

rumah sakit dan tidak mereda dengan istirahat. Disimpulkan terdapat perburukan

pada penyakit pasien ini, karena gejala nyeri dada seperti ini sudah dirasakan

sejak dua tahun lalu, hilang timbul, namun dapat hilang dengan istirahat.

Faktor risiko pasien ini, diketahui pasien memiliki hipertensi yang diketahui sejak

dua tahun sebelum masuk rumah sakit, awalnya pasien teratur minum obat,

namun 2 tahun terakhir berenti minum obat dan dilanjutkan dengan pengobatan

herbal minum buah mengkudu untuk obat hipertensinya. Faktor risiko yang lain

pada pasien ini adalah usia yang lanjut. Pasien dengan riwayat merokok sudah

sejak 40 tahun yang lalu, mengkonsumsi 1 bungkus rokok/hari, dan baru berhenti

sejak 2 minggu yang lalu. Sedangkan, faktor predisposisi pada pasien ini adalah

kurangnya kebiasaan aktivitas fisik, lalu juga terdapat stressor psikososial pada

pasien ini yang memicu timbulnya gejala. Tidak ada riwayat keluarga yang

menderita penyakit jantung koroner pada usia muda. Pada pemeriksaan fisik

jantung pada Palpasi, Ictus kordis teraba pada sela iga 5 linea midklavikula kiri,

thrill (-) Perkusi: Batas atas jantung ICS II, batas jantung kanan sela iga 4 linea

parasternalis dextra, batas jantung kiri pada sela iga 5 pada 2 jari lateral linea

midclavicularis sinistra HR 92x/menit, bunyi jantung I/II normal, murmur (-),

gallop (-)

19

Page 20: Case Bari AMI CAD.docx

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan; EKG: QRS rate 91x/menit, aksis LAD,

Gelombang P morfologi normal, durasi 0,08 detik QRS (T) Contour Abnormal,

consistent dengan infarct anterior. Gelombang T abnormality pada inferior leads

ST-T Elevation Consider Infarct Miocard Acute. Kemungkinan ada inarct

miokard di inferior.

Pada pemeriksaan radiografi jantung didapatkan jantung membesar yakni CTR

60% (lebih dari 50%), segmen aorta elongasi, serta pembesaran ventrikel kiri

yang ditandai dengan apex lateral jantung downward. Disarankan pemeriksaan

ekokardiografi untuk menilai fungsi pemompaan ventrikel dan menilai komplikasi

dari IMA.

Jadi, berdasarkan adanya gejala nyeri dada tipikal, tidak menghilang dengan

istirahat, gejala otonom, sesak napas, , dan gambaran EKG yang menunjukkan ST

elevasi daerah inferior. Disimpulkan diagnosis pada pasien ini adalah STEMI

inferior

Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah:

Tirah baring

o Sebagai usaha untuk menurunkan demand kerja jantung sehingga

mismatch supply-demand tidak terjadi

Penilaian dan stabilisasi hemodinamik

Monitoring EKG

Aspillet dan 1x80 mg

o Digunakan sebagai antiplatelet untuk menghindari pembentukan

trombus baru melalui penghambatan pembentukan tromboksan A2.

Plavix (klopidogrel) loading 600 mg dilanjutkan besok 1x75 mg

Oksigen nasal kanul 3 l/menit

ISDN 3x5 mg

o Digunakan untuk mengatasi nyeri dada.

Bisoprolol 1x2.5 mg

o Bermanfaat pada pasien dengan hipertensi dan takikardia.

20

Page 21: Case Bari AMI CAD.docx

Laxadine 1xCI

o Sebagai pencahar untuk menjaga BAB pasien mudah dikeluarkan

sehingga pasien tidak mengedan yang menyebabkan gangguan

hemodinamik dan elektrokardiografik yang berbahaya.

Tatalaksana STEMI pada pasien ini adalah terapi reperfusi, dapat menggunakan

PCI atau fibrinolisis. Namun karena onset gejala lebih dari 3 jam, dipilih PCI.

Rencana edukasi

- Hindari diet tinggi lemak dan kolesterol

- Kontrol dan minum obat teratur

- Kendalikan emosi (jangan sering cemas atau gelisah)

21

Page 22: Case Bari AMI CAD.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Sudoyo Aru W,

dkk (editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV: 1615-25.

2. Thomas A. Pearson, MD, PhD; Steven N. Blair, PED; Stephen R. Daniels,

MD, PhD; Robert H. Eckel, MD; Joan M. Fair, RN, PhD; Stephen P.

Fortmann, MD; Consensus Panel Guide to Comprehensive Risk Reduction

for Adult Patients Without Coronary or Other Atherosclerotic Vascular

Diseases in AHA Guidelines for Primary Prevention of Cardiovascular

Disease and Stroke: 2002 Update.

3. Cannon Christopher P, Braunwald Eugene. ST-Elevation Myocardial

Infarction.In Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et. Al (editor).

Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 ed,Mc GrawHill: 2008. 1527-

32.

22