bab i-iii revisi

58
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Dokter – Pasien Hubungan antara dokter dan pasien secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak kedua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan dan dokter menerima untuk memberikannya. Ciri hubungan dokter – pasien, antara lain: a. Adanya suatu persetujuan, atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan. b. Adanya suatu kepercayaan, karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya antara dokter dan pasien, Karena bersifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus dipenuhi persyaratan: 1

Upload: shirmcute

Post on 19-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kuliah

TRANSCRIPT

37

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Dokter PasienHubungan antara dokter dan pasien secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak kedua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan dan dokter menerima untuk memberikannya.Ciri hubungan dokter pasien, antara lain:a. Adanya suatu persetujuan, atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.b. Adanya suatu kepercayaan, karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya antara dokter dan pasien,Karena bersifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus dipenuhi persyaratan:a. Harus adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berkontrakPersetujuan itu berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan permintaan pemberian pelayanan tersebut yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya adalah antara dokter dan pasien tentang sifat pemberian pelayanan pengobatan yang ditawarkan sang dokter dan yang telah diterima baik oleh pasiennya. Dengan demikian maka persetujuan antara masing-masing pihak haruslah bersifat sukarela.

b. Harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrakObjek atau substansi dari hubungan dokter pasien adalah pemberian pelayanan pengobatan yang dikehendaki pasien dan diberikannya kepadanya oleh sang dokter. Objek dari kontrak harus dapat dipastikan, legal, dan tidak di luar profesinya.c. Harus ada suatu sebab atau pertimbanganSebab atau pertimbangan itu adalah faktor yang menggerakkan dokter untuk memberikan pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian imbalan atau bisa juga sekedar untuk menolong atau dasar kemurah-hatian dokter. Terdapat beberapa bentuk hubungan kontrak dokter pasiena. Kontrak yang nyataDalam bentuk ini sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. b. Kontrak yang tersiratDalam bentuk ini adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak. Timbulnya buka karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan..Menurut Sollis beberapa keputusan pengadilan telah memutuskan beberapa kasus, dimana dianggap tidak terdapat hubungan dokter-pasien dalam hal-hal:a. Suatu pemeriksaan kesehatan sebelum masuk bekerja untuk menentukan apakah calon tersebut cocok atau tidak untuk lowongan tersebut.b. Pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah seseorang memenuhi syarat untuk asuransi tidak menimbulkan suatu hubungan dokter-pasien.c. Apabila seorang dokter ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa apakah tertuduh menderita penyakit jiwa atau tidak dan melaporkan kepada pengadilan, maka tidak terdapat hubungan dokter-pasien,d. Seorang spesialis bedah yang melakukan suatu otopsi terhadap suatu tubuh mayat, tidak terdapat hubungan dokter-pasien.e. Suatu tanggung jawab dalam percakapan antara seseorang dengan seorang dokter tidak menciptakan suatu hubungan dokter-pasien.Penentuan saat berakhirnya hubungan dokter-pasien adalah penting, karena segala hak dan kewajiban yang dibebankan kepada dokter juga akan ikut berakhir. Di bawah ini diberikan beberapa cara berakhirnya hubungan dokter-pasien tersebut, yakni:a. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan dokter menganggap tidak diperlukan lagi pengobatan, sehingga tidak ada manfaatnya lagi pasien untuk meneruskan pengobatannya.b. Dokternya mengundurkan diric. Pengakhiran oleh pasiend. Meninggalnya pasiene. Dokter meninggal atau tidak mampu lagi menjalani profesinyaf. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan di dalam kontrakg. Di dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat-daruratannya.h. Lewatnya jangka-waktu, apabila kontrak medik itu ditentukan untuk jangka-waktu tertentu.i. Persetujuan kedua belah pihak antara dokter dan pasiennya bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri. 2.2 Kewajiban Dokter terhadap PasienSejak mulai adanya hubungan antara dokter dan pasien, hukum menetapkan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:a. Kewajiban dokter untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan profesinya. Apabila seseorang sudah menyandang gelar dokter dan sudah memperoleh izin praktek, maka dari dirinya harus dapat diharapkan bahwa ia setidak-tidaknya mempunyai kemampuan, kepandaian dan keterampilan dari seorang dokter rata-rata yang setingkat. Jika ia seorang spesialis, maka tolok ukurnya juga dari seorang spesialis di bidangnya yang rata-rata. Sumber-sumber keterampilan dan pengetahuan medik diperoleh dari:1) Fakultas Kedokteran sewaktu masih kuliah dan praktik klinik.2) Hasil mengikuti perkembangan bidang profesinya dengan melakukan penelitian dengan membaca kepustakaan , menghadiri seminar, simposium konferensi dan konvensi-konvensi internasional.3) Hasil diskusi dengan para teman sejawat mengadakan observasi dari aktivitas dokter-dokter lain dirumah sakit, klinik, sanatorium dan lain-lain.Ilmu pengetahuan kedokteran sebagaimana juga ilmu bidang lain adalah suatu studi seumur hidup yang tidak berhenti berkembang. Hal ini harus disadari dan diikuti terus oleh para ilmuwan dalam bidang masing-masing termasuk profesi dokter. Ilmu pengetahuan profesi harus dipelihara terus agar tidak lupa dasarnya. Karena seorang dokter yang mandek dan tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dibidangnya sendiri, bisa disamakan dengan seorang dukun yang memakai ramuan. Hal ini pun tercantum di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 18 yang berbunyi, bahwa: setiap setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.[footnoteRef:1] [1: Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia, 2002, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia.]

b. Ia harus mempergunakan ilmu pengetahuan dan keterampilannya dengan hati-hati, wajar dan teliti, sebagaimana juga akan dilakukan oleh dokter lain di dalam situasi dan kondisi yang sama. Di dalam doktrin, hal ini disebut sebagai locality rule, dalam arti tolok-ukur yang dipergunakan termasuk juga keadaan lokasi setempat yang mungkin berlainan. Apabila seorang dokter menerapkan suatu prosedur terhadap seorang pasien yang dokter menerapkan suatu prosedur terhadap seorang pasien yang dokter lain di dalam wilayah tersebut akan melakukan demikian juga, maka dokter itu tidak dapat dikatakan telah berlaku lalai. c. Seorang dokter harus memakai pertimbangan yang terbaik. Dokter pun seorang manusia yang bisa saja membuat kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Asal saja tidak sampai tergolong kesalahan kasar. Seorang dokter mempunyai pilihan yang luas dalam menentukan manajemen pengobatannya yang hendak diterapkan kepada pasiennya. Dalam praktek kedokteran terdapat beberapa hal yang member kepastian dalam batas-batas tertentu. Jika uji-uji tersebut tidak dilakukan dan sampai menimbulkan kerugian, maka hal ini dapat dipakai sebagai dasar penuntutan apabila tidak dilakukan. Seorang dokter dapat dianggap telah berbuat kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa :1) Adalah suatu standar praktek medik untuk melakukan uji-uji diagnostik tertentu di dalam kasus-kasus semacam ini.2) Bahwa dokter itu tidak mempergunakan uji-uji tersebut dan sebagai akibat tidak sampai menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat.3) Bahwa sebagai akibatnya pasien jadi menderita luka atau telah kehilangan kesempatan untuk disembuhkan dari penyakitnya.

2.3 Dasar Profesi MedisProf. Leenen membedakan antara standar profesi medis dan standar profesi. Yang dimaksudkan Leenen dengan standar profesi medis adalah harus bertindak dengan teliti berdasarkan pendirian ilmu pengetahuan medik dan pengalaman seperti seorang dokter yang pandai dari kelompok medik yang sama di dalam keadaan yang sama dengan peralatan yang sesuai dengan tujuan pengobatannya. Misalnya di dalam keadaan gawat-darurat dimana diperlukan kecepatan untuk bertindak demi penyelamatan jiwa atau anggota tubuh (life or limb-saving) maka tata cara prosedur medik yang biasa dalam keadaan demikian dapat dikesampingkan dahulu. Namun, jika sifat kegawat-daruratannya sudah dapat diatasi, maka harus kembali lagi kepada prosedur standar yang berlaku. Dengan memakai rumusan kelompok medik yang sama dimaksudkan untuk mengadakan perbedaan antara keterampilan (Bekwaanheid) dan kewenangan (Bevoegheid). Setiap dokter berwenang untuk melakukan segala tindakan medik dalam hal-hal emergensi, namun dalam keadaan biasa ia wajib merujuk kepada dokter spesialis bidang tertentu. Apabila seorang dokter merasa dirinya kurang mampu, maka ia harus merujuknya kepada teman sejawat lainnya yang lebih mampu. Demikian pula apabila ia tidak mempunyai peralatannya, maka ia harus merujuknya pula. Rumah sakit yang tidak mempunyai peralatan medik tertentu yang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis, harus merujuk pasien tersebut kepada rumah sakit yang mempunyainya.Di negeri Belanda oleh Peradilan Disiplin (Truchtrechter), berulang kali diputuskan bahwa apabila seorang dokter melakukan tindakan medis yang sebenarnya ia tidak mampu mengerjakan, maka hal ini berarti pelanggaran terhadap standar profesi medik. Walaupun pasien sudah memberikan persetujuannya (informed consent), namun hal ini tidak membenarkan untuk ia melakukan tindakan tersebut. Persetujuan dari pasien tidak bisa merubah suatu tindakan yang tidak profesional menjadi profesional. Misalnya memberikan pengobatan yang tidak ada indikasi mediknya atau melakukan pemeriksaan - pemeriksaan lain sekedar untuk menenangkan pasiennya. Seorang dokter dalam menjalankan profesinya memang mempunyai otonomi. Namun, otonomi pun harus ada batas-batasnya. Otonomi profesi tidak berarti bahwa ia boleh bertindak sesukanya atau sebebas-bebasnya. Karena disamping norma norma profesional, masih terdapat juga norma nilai masyarakat dan hak-hak pasien. Selain menolak permintaan pasien untuk melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hati nuraninya. Seorang pasien mempunyai hak otonomi terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian pula seorang dokter pun mempunyai otonomi dalam bidang profesi medisnya. Dalam melaksanakan profesinya, dokter itu harus mengindahkan otonomi pasiennya. Hal ini berarti ia kecuali dalam keadaan gawat-darurat tidak boleh melakukan pemeriksaan dan tindakan medik tanpa persetujuan pasiennya.Menurut pendapat Sitorius harus diusahakan adanya suatu pembenahan dari problem-problem etik dan yuridis yang dianggap sangat diperlukan. Berbagai masalah antara mana menyangkut pengertian tindakan medis yang belum jelas batas-batasnya. Jika batas-batas tindakan medis dapat diadakan oleh hukum, maka profesi kedokteran akan dapat perlindungan hukum. Sitorius menentukan lima unsur untuk tindakan medis, yaitu:a. Orang yang melakukan adalah seorang dokter yang sudah lulusb. Kepada pasien harus diberikan informasi yang adekuat dan menyetujui dilakukannya tindakan medis tersebutc. Harus ada indikasi medis yang merupakan titik tolak dari segala tindakan medis selanjutnyad. Sang dokter harus dapat merumuskan tujuan pemberian pengobatannya di samping harus juga mempertimbangkan alternatif lain selain yang dipilihnya.e. Segala tindakannya harus selalu ditujukan kepada kesejahteraan pasiennya.

2.4 Kelayakan dan KewajaranStandar profesi medik dipakai sebagai tolok-ukur tindakan seorang dokter. Selain standar profesi, faktor penting lain dalam mengadakan penilaian suatu kasus malpraktek medik adalah segi: kelayakan dan kewajaran. Arti kelayakan lebih terkait dengan suatu kelalaian dalam kewajiban melakukan sesuatu, dalam arti tidak dilakukan sesuatu yang harusnya dilakukan (non-tindakan). Misalnya: selayaknya dokter itu memeriksa dahulu luka pasiennya dan membersihkannya sebelum memberi instruksi untuk dijahit.Tersirat suatu perbandingan dengan kelompok atau golongan yang setingkat di dalam arti kewajaran. Benar atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh dokter dilihat dari kewajaran dokter lain yang setingkat dalam arti lokasi, situasi, dan kondisi yang kira-kira hampir sama. Seorang dokter telah berbuat kesalahan, apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, tidak melakukan atau melepaskan, segala sesuatu yang para dokter yang baik secara umum, di dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau melepaskan.Untuk dapat menyimpulkan bahwa seorang dokter telah menyimpang dari praktek normal, harus dipenuhi tiga syarat. Pertama, harus dibuktikan bahwa terdapat suatu cara praktek yang wajar dan normal, kedua harus dibuktikan bahwa tergugat telah tidak melaksanakan cara praktek tersebut, dan ketiga bahwa harus dibuktikan cara dokter itu melaksanakan adalah cara dimana seorang profesi medik lainnya dengan kepandaian wajar tidak akan memakainya ia telah bertindak secara wajar.a. Kelalaian Untuk Mengambil AnamnesisSuatu penegakan diagnosis yang baik memerlukan suatu riwayat penyakit yang lengkap. Riwayat klinis harus ada hubungannya dengan tanda- tanda dan gejala-gejala yang terlihat pada pasien. Kelalaian menanyakan riwayat penyakit dengan baik dapat dituntutakibat kelalaian, karena hal ini menyebabkan peneggakan diagnosis menjadi salah. b. Kelalaian Dalam Melakukan PemeriksaanSesudah melakukan anamnesis, seorang dokter harus memeriksa pasiennya. Jika seorang dokter tidak melakukan pemeriksaan atau kurang teliti melakukannya sehingga tidak terditeksi adanya penyait khusus maka ia dapat dipersalahkan.[footnoteRef:2] [2: Guwandi, J, 2009, Dokter, Pasien, dan Hukum, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.]

2.5 Resiko MedisPengertian resiko medis tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Namun secara tersirat resiko medis ini disebutkan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut :a. Informed consent secara tertulis merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan untuk melindungi dokter dari tuntutan pasien. Hal ini dikarenakan dalam informed consent, pasien telah sepakat untuk mendapatkan perlakuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter. Dari kesepakatan ini pasien tidak akan melakukan tuntutan apapun terhadap dokternya.b. Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent dalam Lampiran SKB IDI No 139/P/BA/88 butir 33 yang berbunyi: Setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh pasien, setelah sebeumnya pasien menerima informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resiko medis yang berkaitan dengannya.Informasi dokter yang adekuat adalah informasi yang meliputi:1) Diagnosis2) Tindakan yang diusulkan atau direncanakan3) Prosedur alternatif jika ada4) Kepentingan dan manfaat dari tindakan medik tersebut5) Prosedur pelaksanaan atau cara kerja dokter dalam tindakan medik tersebut6) Risiko yang terjadi bila tidak dilakukan tindakan tersebut7) Risiko medis dalam tindakan tersebut8) Konfirmasi pemahaman pasien terhadap informasi yang disampaikan sehingga mampu mengambil keputusan9) Kesukarelaan pasien dalam memberikan izin.10) PrognosisInformasi tersebut harus diberikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya dengan bahasa yang mudah dipahami. Dokter juga harus mengkonfirmasi atau meyakinkan bahwa pasien atau keluarganya benar-benar sudah memahami informasi yang disampaikan. Informasi sebaiknya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan tersebut secara langsung.c. Pasal 2 ayat (3) , Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis menyebutkan istilah resiko medis secara eksplisit dan tersirat, antara lain :Pasal 2 ayat (3)Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkan. Pasal 3 ayat (1)Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.Pasal 7 ayat (2)Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.[footnoteRef:3] [3: Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.]

Dari beberapa hal sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hubungan pelayanan medik antara dokter dengan pasien sering terjadi atau ada kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan pasien maupun dokter yang menanganinya sendiri. Hal-hal tersebut adalah resiko yang mempunyai beberapa pengertian pokok sebagai berikut :a. Bahwa di dalam tindakan medik ada kemungkinan resiko yang dapat terjadi, dimana hal ini tidak sesuai dengan harapan pasien, sehingga karena tidak adanya pengertian pasien mengakibatkan diajukannya dokter ke pengadilanb. Dalam tindakan medik ada tindakan yang beresiko tinggic. Bahwa resiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasienUntuk mencegah terjadinya resiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus berpikir cermat, teliti, hati-hati dalam bertindak agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin akan terjadi. Bila dikaitkan dengan pendapat Stolker maka pengertian berpikir secara cermat, hati-hati, merupakan norma yang sama artinya dengan cakap dan berpikir akal sehat (redelijk bekwaam geneester). Atau seperti kata Giesen bahwa seorang profesional harus menunjukkan suatu tingkat keahlian yang fair, masuk akal, kompeten (reasonable and competent degree of skill). Hal ini dimaksudkan agar bila terjadi resiko yang merugikan pasien maka dokter tidak dipersalahkan. Agar tidak terjadi salah pengertian tentang timbulnya resiko yang merugikan pasien, diperlukan adanya informasi yang jelas dan lengkap oleh dokter dengan bahasa yang muda dimengerti oleh pasien dan dengan mengingat dimana komunikasi tersebut dilakukan. Di sinilah pentingnya wawancara kesehatan, sehingga pada akhirnya pasien bersedia memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter dalam usaha menyembuhkan penyakitnya pada transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik secara umum tidak terjadi tanpa adanya kesepakatan antara pasien dengan dokter. Kesepakatan tersebut dapat diuraikan prosesnya sebagai berikut :a. Kesepakatan untuk melakukan transaksi terapeutik. Kesepakatan ini dimulai dari penawaran dokter yang bekerja di tempat prakteknya atau di suatu rumah sakit. Atas penawaran secara terbuka dokter yang memiliki surat ijin praktek tersebut, pasien berhak menyepakati atas dasar kepercayaan agar dokter yang bersangkutan mengupayakan kesembuhan penyakitnya. Pendaftaran pasien merupakan bentuk persetujuannya ditangani dokter tersebut. Pada kondisi ini pasien mempunyai kebebasan memilih dokter yang dia yakini akan mengupayakan kesembuhannya sebagai bentuk implementasi asas kebebasan berkontrak. b. Persetujuan Tindakan MedisPersetujuan ini dikenal dengan dengan istilah informed consent. Yaitu adalah persetujuan dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan yang adekuat dari dokter.Persetujuan Tindakan Medik telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 585 tahun 1989. Persetujuan Tindakan Medik sebenarnya lebih mengarah kepada proses kejelasan kesepakatan perjanjian dan komunikasi dokter pasien, bukan semata-mata pengisian dan penandatanganan formulir. Oleh karena itu seorang dokter harus pandai memberikan informasi mengenai penyakit maupun tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien dengan bahasa yang mudah dipahami.Pada dasarnya Persetujuan Tindakan Medik berasal dari hak asasi pasien dalam hubungan dokter pasien yaitu:1) Hak untuk menentukan nasibnya sendiri2) Hak untuk mendapatkan informasiDari sudut pandang dokter, Persetujuan Tindakan Medik ini berkaitan dengan kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien dan kewajiban untuk melakukan tindakan medik sesuai dengan standar profesi medik.Dari uraian di atas menunjukkan pentingnya resiko medis ini dijelaskan kepada pasien. Pasien diberi informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindakan medis yang akan dilakukan, termasuk resikonya.Resiko medis berdasarkan pengertian resiko secara umum, ajaran hukum, dan beberapa aturan yang menyebutkan mengenai resiko medis secara sederhana dapat diartikan sebagai kewajiban menanggung kerugian oleh pasien atas tindakan di luar kesalahan dokter dalam transaksi terapeutik. Resiko demikian memunyai sifat kekhususan karena resiko yang muncul adalah dalam tindakan medis yang dilakukan pada saat para pihak terlibat transaksi terapeutik.Dari pengertian sederhana tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut :a. Kewajiban menangungKewajiban menangung adalah kewajiban yang timbul di pihak pasien untuk memikul beban.b. KerugianKerugian yang diderita pasien dapat berupa kerugian secara fisik maupun psikis. Akibat lebih lanjut dari kerugian ini dapat berimbas berupa kerugian finasial untuk pemulihan fisik dan psikis tersebut.c. Oleh pasienKerugian ini diderita oleh pasien yang menjalani upaya penyembuhan. Jadi kerugian ini adanya/timbulnya dalam upaya penyembuhan transaksi terapeutik.d. Atas tindakanKerugian yang dialami merupakan akibat adanya tindakan. Tindakan disini maksudnya adalah tindakan medis.e. Di Luar Kesalahan DokterTindakan medis yang mengakibatkan kerugian adalah di luar kesalahan dokter. Jadi dalam hal ini unsur kesalahan dokter tidak ada. Dokter sudah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medis. Unsur-unsur pengertian tersebut perlu diperjelas dengan menentukan kualifikasi resiko medis. Kualifikasi resiko medis belum dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kualifikasi ini tidak dapat serta merta disamakan dengan pengertian resiko berdasarkan KUHP. Hal ini karena ada karakteristik yang berbeda antara perjanjian pada umumnya dengan transaksi terapeutik.[footnoteRef:4] [4: Soewono, 2005, Batas Pertanggungjawaban Dokter dalam Malpraktek Medis, Jakarta.]

2.6 Jenis jenis MalpraktekNgesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.a. Malpraktek Etik Malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan. b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya. c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya. d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:a) Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat). b) Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). c) Ada kerugian d) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. e) Adanya kesalahan (schuld) Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:a) Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien b) Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan. c) Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.2) Malpraktek Pidana Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:a) Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. b) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. c) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

3) Malpraktek Administratif Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.[footnoteRef:5] [5: Guwandi, J, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio Etika, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.]

2.7 Malpraktek MedisAda berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut: a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan how to practice the medical science and technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah maltreatment.c. Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.d. Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah.e. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.f. Menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:1) Dalam arti umum: suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. 2) Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan. g. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.h. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a form of professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner (malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter).i. Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik di atas semua sarjana sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia. Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh beberapa sarjana di atas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter. Selain itu dalam berbagai literatur, permasalahan malpraktek ataupun permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai patokan adalah profesi dokter. Akan tetapi malpraktek medik tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan.Di dalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari : a. Tenaga medis b. Tenaga keperawatan c. Tenaga kefarmasian d. Tenaga kesehatan masyarakate. Tenaga gizi f. Tenaga keterapian fisik g. Tenaga keteknisan medis. Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja melakukan tindakan malpraktek medis. Jadi tidak hanya profesi dokter saja. Misalnya tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan. Mereka juga mungkin melakukan tindakan malpraktek medis karena perawat maupun bidan juga sama seperti dokter yang profesinya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

2.8 Unsur-unsur MalpraktekDikemukakan adanya "Three elements of liability" antara lain:a. Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan ("culpability");b. Adanya kerugian ("damages"); danc. Adanya hubungan kausal ("causal relationship"). Perlu diketahui bahwa unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya. Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:a. Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di kalangan profesi kedokteran;b. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi;c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati-hati; d. Melakukan tindak medis yang bertentangan dengan hukum. Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut:a. Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit;b. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran; danc. Telah mendapat persetujuan pasien.Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka penggugat harus membuktikan 4 (empat) unsur Konsep 4D terdiri dari duty, derilection of duty, damage, dan direct causation.a. Duty artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter. Artinya dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang muncul asli karena kedokterannya dan juga dokter memiliki kewajiban akibat dari adanya hubungan dokter dan pasien yaitu kontrak terapetik,b. Derelection of duty artinya dokter menelantarkan tugas yang dibebankan pada pundaknya. Kewajiban atau tugas tersebut tidak dilaksanakan oleh dokter, padahal dokter harus menyerahkan prestasinya kepada pasien,c. Damage artinya kerusakan yang terjadi pada pasien. Kerusakan pada pasien diartikan sebagai adanya kejadian tidak diinginkan. Kejadian tidak diinginkan tersebut ada menimbulkan kecurigaan adanya malapraktek, dand. Direct causation, artinya hubungan langsung antara Derilection of duty dan Damage yaitu adanya penelantaran kewajiban yang dilakukan oleh dokter secara langsung mengakibatkan adanya kerusakan sebagai berikut:1) Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien;2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim dipergunakan;3) Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya; 4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar.Dalam bidang kedokteran suatu kesalahan kecil dapat menimbulkan akibat berupa kerugian besar. Pada umumnya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah pasti merupakan pelanggaran etik profesi medis. Muncul konsep 4D bertujuan untuk menjembatani adanya kerugian akibat munculnya kejadian tidak diinginkan tersebut apakah benar-benar sebagai kejadian tidak dinginkan yang termasuk malpraktek atau bukan.[footnoteRef:6] [6: Hanafiah, J., 1999, Etika Kdokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta:EGC.]

2.9 Tingkatan MalpraktekBerdasarkan berat ringan tingkat malpraktek yang dilakukan, maka secara garis besar dapat diadakan pengelompokan dari yang ringan sampai yang terberat, yaitu:a. Error of judgment (kesalahan penilaian)b. Slight negligence (kesalahan ringan)c. Gross negligence (kelalaian berat)d. Intentional wrongdoing atau criminal intent (tindakan dengan sengaja yang bernapas kriminal)

2.10 Sistem Pembuktian MalpraktekTerdapat beberapa ajaran tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, yakni: a. Conviction intime. Menurut sistem ini, untuk menetukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata didasarkan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung kelemahan, yaitu bahwa hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya, walaupun kesakahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. b. Conviction- raisonce. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dala menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian convivtion intime peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif. Menurut sistem ini, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa seata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asalkan sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.[footnoteRef:7] [7: Harahap, M. Yahya, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini. ]

Apabila tenaga-tenaga medis didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesalahan dalam ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga medis didakwa telah melakukan malpraktek harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga medis tersebut telah memenuhi unsur tindak pidananya yakni:a. Apakah perbuatan itu merupakan perbuatan tercelab. Apakah perbuatan tesebut dilakukan dengan sikap batin yang salah, ceroboh atau adanya kealpaan. Selanjutnya apabila tenaga medis dituduh melakukan kealpaan sehingga mengakibkan meninggal dunia, menderita luka, maka harus dibuktikan adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan oleh tenaga medis. Dalam kasus atau gugatan adanya malpraktek pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:1) Cara langsunga) Kewajiban yaitu dalam hubungan perjanjian tenaga medis dengan pasien, tenaga medis haruslah bertindak berdasarkan Adanya indikasi medis Bertindak secara hati-hati dan teliti Bekerja sesuai standar profesi Sudah ada informed consent.b) Penyimpangan dari kewajiban. Jika seorang tenaga medis melakukan tugasnya dan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Maka tenaga medis tersebut dapat dipersalahkan.c) Kerugian. Tenaga medis untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab dan kerugian yang diderita, oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini harus dibuktikan dengan jelas. Hasil negatif tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan tenaga medis.2) Cara tidak langsung yaitu cara ini merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien yakni dengang mengajukan fakta-fakta yang diderita oleh pasien. Dan dapat diterapkan apabila memenuhi kriteria:a) Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga medis tidak lalaib) Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga medisFakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien.[footnoteRef:8] [8: Adji, Oenar Seno, 1991, Perbuatan melawan hokum, Jakarta, Remaja Rosdakarya,]

2.11 Peraturan Perundang undangan Mengenai Resiko Medis dan Malpraktek2.11.1 Resiko MedisPerlu kita sadari bahwa tindakan medis dokter kadang-kadang memang menghasilkan akibat yang tidak diinginkan baik oleh dokter maupun pasien, meskipun dokter telah berusaha maksimal. Karena hampir semua tindakan medis hakekatnya adalah penganiayaan yang dibenarkan oleh Undang-undang, sehingga kemungkinan timbulnya resiko cedera atau bahkan kematian sangat sulit untuk dihindari. Oleh karena itu setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal ini diatur dalam UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 45 yaitu :a. Ayat 1 Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.b. Ayat 2 Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.c. Ayat 5 Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Persetujuan dari pasien telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52 yaitu Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan e. Mendapatkan isi rekam medis Informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika sekurang-kurangnya mencakup hal-hal berikut sebagaimana tercantum dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (3) yaitu: a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran (contemplated medical procedure);b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;c. Alternatif tindakan lain, dan risikonya (alternative medical procedures and risk);d. Risiko (risk inherent in such medical procedures) dan komplikasi yang mungkin terjadi;e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (prognosis with and without medical procedures;f. Risiko atau akibat pasti jika tindakan kedokteran yang direncanakan tidak dilakukan;g. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan kedokteran yang dilakukan (purpose of medical procedure);h. Informasi akibat ikutan yang biasanya terjadi sesudah tindakan kedokteran.[footnoteRef:9] [9: UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran]

Terdapat beberapa alasan sebagai dasar peniadaan hukuman yaitu: a. Resiko Pengobatan 1) Resiko yang inheren atau melekat Pada setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, baik yang bersifat diagnostik maupun terapetik akan selalu mengandung resiko yang melekat pada tindakannya itu sendiri (risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindakan medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan Standar Profesi Medik, tetapi ternyata resiko itu tetap terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan. Seorang dokter tidak dapat dipersalahkan terhadap suatu akibat negatif yang mungkin timbul dari suatu tindakan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya. Misalnya: suatu syok anafilaktik pada pemberian anastesi atau obat lain, suatu injeksi yang menimbulkan reaksi yang berlebihan dari tubuh pasien itu sendiri, dan lain-lain. Hal tidak dapat dipersalahkannya dokter disebabkan hubungan antara dokter dengan pasien adalah kontrak teraupetik, suatu perjanjian berusaha (inspannings verbintenis).2) Resiko dari akibat reaksi alergik Resiko alergik adalah reaksi berlebihan dari tubuh seseorang karena alergi yang timbulnya secara tiba-tiba dan yang tidak dapat diprediksi lebih dahulu. Oleh karenanya jika reaksi alergik demikian timbul sehingga pasiennya mengalami syok anafilaktik, maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.3) Resiko komplikasi yang timbul dalam tubuh pasien Dalam hal timbul komplikasi secara tiba-tiba pada tubuh pasien yang tidak bisa diketahui atau diduga sebelumnya, tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya. Seringkali terjadi bahwa prognosis pasien tampak sudah baik, tetapi tiba-tiba keadaan pasien memburuk dan meninggal, tanpa diketahui penyebabnya. Misalnya: sesudah menjalani suatu operasi dan dirawat untuk beberapa hari di ruangan, tiba-tiba timbul pulmonary emboli dan pasien meninggal. Pada suatu operasi Caesar, secara tiba-tiba timbul emboli air ketuban yang berakibat fatal.b. Kecelakaan Medik Dalam hal terjadinya kecelakaan medik, perlu direnungkan ucapan seorang hakim yang mengadili suatu perkara demikian, yaitu Kita memang menyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati pada setiap tindakan yang dilakukan. Namun kita tidak dapat mencap begitu saja sebagai tindak kelalaian terhadap sesuatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan. Dalam Medical Law (hukum kedokteran), seorang dokter atau dokter ahli bedah tidak selalu harus berhasil dalam setiap tindakannya, dan tidak selalu harus bertanggung jawab terhadap setiap kejadian yang mungkin terjadi dalam pemberian terapi, kecuali apabila tidak bertindak hati-hati secara wajar dalam menerapkan ilmu dan kepandaiannya yang setara dengan sesama teman sejawatnya. Apabila terjadi kecelakaan, dokter tidak dapat dipertanggung-jawabkan.c. Kekeliruan Penilaian Klinis Menurut doktrin ini, seorang pengemban profesi medis yang telah mengikuti standar profesi medis yang dipakai secara umum, tidak dapat dipertanggung jawabkan karena kelalaiannya, jika keputusan yang diambilnya ternyata keliru. Seorang dokter adalah seorang manusia yang tidak lepas dari kemungkinan melakukan kesalahan, oleh karenanya dapat dipahami apabila terjadi kekeliruan dalam penilaian klinis.Lord Denning menyatakan tentang kesalahan penilaian klinis, yaitu: Apabila seorang dokter selalu dianggap bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu atau bila tidak berhasil menyembuhkan, maka hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Pada seorang profesional, suatu kesalahan dalam pertimbangan (error of judgement) bukanlah kelalaian. Mungkin pertimbangannya telah keliru, tetapi ia atau dokter lain pun tidak mungkin akan selalu benar. d. Volenti Non Vit Iniura/Assumption of Risk (Resiko Yang Sudah Diketahui) Menurut doktrin ini, dokter tidak dapat dipertanggung jawabkan atas resiko yang timbul dari suatu tindakan, jika dokter telah menjelaskan secara lengkap resiko besar tersebut kepada pasien atau keluarga pasien benar-benar mengetahuinya serta secara sukarela bersedia menanggungnya. Doktrin ini didasarkan pada pandangan bahwa bila seseorang telah mengetahui adanya suatu resiko dan secara sukarela bersedia menanggung resiko tersebut, jika kemudian resiko itu benar-benar terjadi maka ia tidak lagi dapat menuntut Contoh nyata dari doktrin ini adalah: 1) Dalam bidang olah raga yang mempunyai resiko tinggi seperti tinju, sepak bola, bela diri. 2) Dalam dunia medik, dapat terjadi misalnya untuk pencangkokan ginjal dari donor hidup, dengan resiko tinggi terdapat pada penerima maupun pendonor ginjal itu. Jika resiko itu benar-benar terjadi, berdasarkan doktrin ini tentu saja tidak mungkin dilimpahkan tanggung jawabnya kepada dokter yang merawatnya.Doktrin ini juga dapat diterapkan untuk melindungi rumah sakit dan dokternya terhadap pasien atau keluarganya yang secara popular dikatakn hendak pulang paksa. Hendak pulang atas kehendak sendiri, walaupun dokternya belum mengizinkannya. Doktrin ini dapat diterapkan dengan minta tanda tangan suatu surat pernyataan bahwa ia akan menanggung sendiri segala resiko yang mungkin timbul. Bahwa ia sudah diberikan informasi yang lengkap oleh dokternya, sehingga rumah sakit dan dokternya tidak dapat dipersalahkan kelak.e. Contributory Negligence (turut serta pasien dalam Kelalaian) Pada umumnya doktrin ini dipakai untuk menguraikan sikap tindak (perilaku) yang tidak wajar pada pihak pasien, sehingga mengakibatkan cedera pada diri pasien itu sendiri. Istilah contributory negligence ini digunakan dengan tidak memandang apakah pada pihak dokter terdapat kelalaian atau tidak. Sikap tindak yang demikian ini, sengaja ataupun tidak sengaja dapat merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter.Seorang pasien yang dewasa dan bermental sehat tentunya sewajarnya akan mentaati nasihat dokternya agar bisa lekas sembuh. Hal ini dapat diharapkan dari seorang pasien yang normal dan bertindak wajar. Namun kadangkala karena kesalahan pasien itu sendiri, entah disengaja atau mungkin juga tidak, namun ada sikap tindak pasien yang tidak mentaati nasehat dokter, sehingga tambah memperburuk keadaan dirinya. Contohnya: tidak mentaati perintah dokter, pulang paksa, tidak mau minum obat, tidak kembali lagi untuk melanjutkan terapi. Dalam hal ini maka pasien yang mengajukan gugatan terhadap rumah sakit atau dokternya dapat digugurkan gugatannya. Dokter dapat mengajukan bukti balik bahwa terdapatnya contributory negligence pada pihak pasien itu sendiri.[footnoteRef:10] [10: Haris, Abdul., 2013, Alasan Peniadaan Hukuman Bagi Dokter yang Melakukan Malpraktek, Lex Crimen, 2(4): 113-21.]

2.11.2 Malpraktek Medisa. Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam KUHPPasal pasal dalam KUHP yang relevan dengan pertanggungjawaban pidana terkait malpraktek medik adalah pasal 359, 360, dan 361 KUHP.1) Kelalaian yang Menyebabkan Kematian, Cacat atau LukaKelalaian yang menyebabkan kematian diatur dalam pasal 359 KUHP yang berbunyi:Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian bukanlah yang dituju atau dikehendaki. Dalam hal ini harus ada tiga unsur lagi yang merupakan rincian dari kalimat menyebabkan orang lain mati, yaitu:a) Harus ada wujud perbuatan tertentub) Adanya akibat berupa kematianc) Adanya causal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematianTiga unsur tersebut tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP. Bedanya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahannya, yakni pada pasal 359 ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.Kelalaian yang mengakibatkan luka diatur pada pasal 360 KUHP yang berbunyi: (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiahAda dua macam tindak pidana menurut pasal 360. Dari rumusan ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang ada yaitu:a) Adanya kelalaianb) Adanya wujud perbuatanc) Adanya akibat luka beratd) Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatanRumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur:a) Adanya kelalaianb) Adanya wujud perbuatanc) Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit dan luka yang menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan, atau pencarian selama waktu tertentud) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibatMenurut pasal 90 KUHP, luka berat berarti:a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya mautb) Tidak mampu terus menerus untuk menjalani tugas jabatan atau pekerjaan pencaharianc) Kehilangan salah satu panca inderad) Menderita sakit lumpuhe) Terganggu daya pikirnya selama empat minggu lebihf) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuanSebagai alternatif, luka yang mendatangkan penyakit adalah luka yang menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit, tetapi pada halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukurannya lebih mudah, yakni terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter bahwa orang itu perlu istirahat karena adanya gangguan pada fungsi organ tubuhnya karena luka yang dideritanya. Diperlukan istirahat oleh karena luka-luka tersebut.Dokter meskipun sengaja menyebabkan luka sebagaimana diatur dlam pasal 359 KUHP pun (misalnya mencabut gigi dan memberikan suntikan), tidak dapat dipidana karena adanya dasar pemaaf beroepsrecht yaitu hak yang timbul dari pekerjaan. Dasar pemaaf ini tidak hanya berlaku bagi dokter saja akan tetapi juga bagi apoteker dan bidan.b. Pemberatan Pidana dan Pidana TambahanPasal 361 KUHP menyatakan:Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana itu boleh ditambah sepertiganya, dan dapat dijatuhkan pencabutan hak melakukan pekerjaan, yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu, dan hakim dapat memerintahkan pengumuman putusannya.Pasal 361 KUHP ini merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam pasal 359 dan pasal 360 KUHP. Pihak yang dapat dikenai pasal ini misalnya dokter, bidan, dan ahli obat yang masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang telah menimbulkan cacat atau kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya, maka pasal 361 KUHP memberikan ancaman pidana lebih berat. Di samping itu hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan pengumuman keputusannya itu.[footnoteRef:11] [11: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ]

1