bab 1 jadi

43
Referat MENINGOKEL Disusun oleh: Husin Tindar Abdurrahman Dipika Awinda Pembimbing dr. Hj. Rose Mafiana, Sp.An. KNA. KAO DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN

Upload: muhamad-novran-chalik

Post on 12-Dec-2015

261 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

Referat

MENINGOKEL

Disusun oleh:

Husin Tindar Abdurrahman

Dipika Awinda

Pembimbing

dr. Hj. Rose Mafiana, Sp.An. KNA. KAO

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus

Meningokel

Disusun oleh :

Husin Tindar Abdurrahman 04054811416096

Dipika Awinda 04111001075

Dosen Pembimbing :

dr. Hj. Rose Mafiana, SpAn. KNA. KAO

telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Palembang, April 2015

Pembimbing,

dr. Hj. Rose Mafiana, SpAn. KNA. KAO

2

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini sebagai salah satu

syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Hj. Rose Mafiana, SpAn. KNA. KAO

selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan

laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini

disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, April 2015

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iiKATA PENGANTAR........................................................................................ iiiDAFTAR ISI....................................................................................................... ivDAFTAR TABEL.............................................................................................. vDAFTAR GAMBAR.......................................................................................... viBAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................. 2BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3 2.1 Meningokel.......................................................................................... 3 2.1.1 Definisi....................................................................................... 3 2.1.2 Etiologi dan patofisiologi........................................................... 4 2.1.3 Manifestasi klinis....................................................................... 4 2.1.4 Tatalaksana................................................................................ 5 2.1.5 Komplikasi................................................................................. 5 2.1.6 Prognosis.................................................................................... 6 2.2 Sistem saraf.......................................................................................... 7 2.1.1 Anatomi...................................................................................... 7 2.1.2 Embriologi................................................................................. 9 2.1.3 Lapisan Neuroepitel, Mantel dan Marginal...............................12 2.1.4 Lamina Basalis, Alaris, Atap dan Lantai...................................12 2.3 Tatalaksana Anestesi...........................................................................14 2.3.1 Evaluasi Preoperatif...................................................................14 2.3.2 Evaluasi Intraoperatif.................................................................15 2.3.3 Evaluasi Postoperatif.................................................................21BAB III. KESIMPULAN...................................................................................22DAFTAR PUSTAKA

4

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

2.1 Pertimbangan anestesi preoperatif ............................................................. 152.2 Dosis obat anestesi pada pediatri................................................................ 172.3 Pertimbangan anestesi intraoperatif............................................................ 18

5

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN

2.1 Neural tube defect....................................................................................... 32.2 Meningokel dengan kantung meningens.................................................... 42.3 Defek selubung saraf.................................................................................. 52.4 Sistem susunan saraf pusat......................................................................... 72.5 Pertumbuhan medulla spinalis dan kolum vertebra.................................... 82.6 Cauda equine.............................................................................................. 92.7 Proses embriologi pada sistem saraf........................................................... 102.8 Penampang dorsal embrio........................................................................... 112.9 Posisi tengkurap.......................................................................................... 192.10 Posisi bayi saat diintubasi dan saat proses pembedahan.......................... 202.11 Pemberian bantal berbentuk donat untuk mencegah trauma.................... 20

6

BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang

Meningokel merupakan salah satu anomali kongenital korda spinalis yang disebabkan

gangguan penutupan tabung saraf bagian kaudal pada akhir minggu ke 4 gestasi1. Pada bayi

dengan meningokel akan terlihat benjolan berbentuk kista di garis tulang belakang yang

umumnya terdapat di daerah lumbo-sakral2. Kista ini terdiri dari lapisan meningens berupa

durameter dan araknoid sedangkan medulla spinalis masih di tempat yang normal3.

Prevalensi tertinggi meningokel adalah di Asia Tenggara, khususnya di kalangan ras

Melayu. Angka kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran. Frekuensi pasien meningokel

di beberapa klinik bedah saraf di Jawa Timur (Surabaya dan Malang) lebih tinggi (8,7%)

dibanding di Jawa Tengah (Solo, Yogya dan Semarang) (6,1%). Penderita umumnya berasal

dari keluarga tidak mampu dan berpendidikan rendah4. Bagian lumbo-sakral merupakan

bagian yang sering mengalami defek,yaitu sebanyak 50% sampai 70% dari kasus gangguan

selubung saraf5. Kasus kebocoran cairan serebrospinal dari meningokel didapatkan 19,3%

dan biasanya disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit6.

Pada kasus meningokel, biasanya asimptomatik namun pada beberapa kasus

didapatkan gejala yang sama seperti pada gangguan medulla spinalis yaitu hilangnya sensasi

nyeri disertai dengan kekakuan, dan menurunya kekuatan otot pada ekstremitas bawah.

Gejala lainnya berupa perubahan sensasi, inkontinensia urin atau alvi, ganguan seksual,

derfomitas pada anggota eksremitas bawah dan lainnya7. Berdasarkan manifestasi klinis dari

meningokel yaitu adanya kista pada bagian punggung maka diperlukan pembedahan spinal.

Tindakan pembedahan ini bertujuan untuk eksisi kista dan menutup defek pada spinal yang

direkomendasikan dilakukan dalam 72 jam pertama setelah kelahiran untuk meminimalkan

infeksi dan memelihara fungsi dari saraf1. Apabila pada saat pembedahan tidak disertai

dengan penyakit penyerta lainnya dan pada kista tidak ditemukan adanya saraf dari medulla

spinalis maka prognosisnya baik, namun pada kasus meningokel yang disertai dengan

hidrosepalus dibutuhkan ventriculoperitoneal shunt. Namun komplikasi pasca operasi berupa

hipoventilasi, difungsi pada pita suara dan gangguan menelan dapat timbul disebabkan

adanya malformasi Arnold-Chiari8.

7

Anestesi untuk pembedahan spinal pada kasus meningokel harus memperhatikan

beberapa aspek seperti posisi saat pembedahan berlangsung dan monitoring yang ketat

sehubungan dengan beberapa anomali lain yang sering menyertai penyakit ini seperti

ketidakseimbangan elektrolit, hidrosefalus, malformasi Arnold-Chiari II, kelainan pada ginjal

dan sebagainya yang dapat mempengaruhi fungsi pernafasan dan hemodinamik dan

mempersulit ahli anestesi pada saat pembedahan berlangsung6. Berdasarkan posisi saat

pembedahan dan banyaknya kelainan penyerta pada meningokel, tingkat komplikasi intra dan

pasca operasi cukup tinggi9 sehingga ahli anestesi harus selalu memantau pasien dengan

melakukan tatalkasana anestesi yang tepat. Tatalaksana pada anestesi dibagi menjadi

evaluasi pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui menigokel secara umum dan

tatalaksana terhadap prosedur pembedahan dan anestesi.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningokel

2.1.1 Definisi

Meningokel merupakan salah satu anomali kongenital korda spinalis yang disebabkan

gangguan penutupan tabung saraf bagian kaudal pada akhir minggu ke 4 gestasi1. Pada bayi

dengan meningokel akan terlihat benjolan berbentuk kista di garis tulang belakang yang

umumnya terdapat di daerah lumbo-sakral2. Kista ini terdiri dari lapisan meningens berupa

durameter dan araknoid sedangkan medulla spinalis masih di tempat yang normal3. Sebagian

besar cacat medulla spinalis disebabkan oleh kelainan penutupan lipat-lipat saraf pada

minggu ke-3 dan ke-4 perkembangan. Kelainan yang dihasilkannya dikenal sebagai cacat

tabung saraf (NTD = Neural tube defects), yang juga melibatkan meninges, vertebrae, otot-

otot, dan kulit5.

Gambar 2.1 Neural Tube Defect A.Spina bifida B. Meningokel C. Meningomyelocele D dan

E. Rachischisis

Diambil dari Sadler TW. Embriologi kedokteran langman Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 1996.

9

2.1.2 Etiologi dan patofisiologi

Pada proses neurulasi normal, pembentukan neural groove terjadi pada hari ke 20

setelah konsepsi yang kemudian terus berkembang hingga membentuk neural fold dan mulai

menyatu membentuk neural tube. Pada hari ke 23 neural tube telah menyatu kecuali pada

bagian ujung yaitu bagian kranial dan kaudal. Bagian kranial menyatu pada hari ke 26

sedangkan bagian kaudal menyatu pada hari ke 28. Meningokel terjadi akibat kegagalan

menyatunya neural tube yang diperkirakan terjadi pada hari ke 28 setelah konsepsi atau

terjadi penyatuan neural tube namun terjadi peningkatan dari cairan serebrospinal yang

abnormal pada trisemester pertama kehamilan9. Beberapa faktor seperti paparan virus,

radiasi, genetik dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Asupan nutrisi

yang rendah pada saat hamil sangat berpengaruh dengan kejadian meningokel terutama

kurang asam folat5,10, klomifen dan asam valfroat serta terjadinya hipertermia selama

kehamilan. Konsumsi 400 µg asam folat per hari terbukti menurunkan kejadian defek

selubung saraf11. Angka kejadian meningokel adalah 0,4-1 per 1000 kelahiran12. Penyebab

spesifik dari meningokel belum diketahui.

2.1.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari meningokel adalah didapatkan adanya penonjolan kulit seperti

kantong yang bervariasi dalam berbagai ukuran dan dapat dilapisi dengan kulit tipis

tranparant13. Gangguan sensorik dan motorik jarang terjadi, tergantung berat kerusakan pada

medulla spinalis dan akar saraf yang terlibat namun pada beberapa kasus didapatkan adanya

gangguan sensoris dan kelumpuhan pada ekstremitas bawah, inkontinensia urin ataupun alvi

dan disfungsi seksual7.

Gambar 2.2 Meningokel dengan kantung meningens

Diambil dari http://biology-forums.com/index.php?action=gallery;sa=view;id=13805

10

2.1.4 Tatalaksana

Tatalaksana pada pasien meningokel adalah dengan pembedahan yang dilakukan pada

72 jam pertama setelah kelahiran agar mengurangi kejadian infeksi1. Namun apabila

didapatkan kebocoran cairan serebrospinal maka pembedahan dilaksanakan dalam waku

kurang dari 24 jam setelah kelahiran6. Pada meningokel yang ditutupi oleh kulit normal dan

tidak terdapat kebocoran cairan cerebrospinal, kulit tidak terdapat ulkus maka tindakan

pembedahan dapat ditunda selama beberapa bulan14. Pada pasien dengan defek selubung

saraf, sering disertai dengan anomali lainnya seperti hidrosefalus, dan malformasi Arnold-

Chiari tipe II yang dapat menyulitkan saat proses operasi. Pada kista meningokel yang besar

dapat terjadi kehilangan cairan serebrospinal sehingga menyebabkan hipotensi cairan

serebrospinal.

Gambar 2.3 Defek selubung saraf

http://body-disease.com/neural-tube-defects-spina-bifida-meningocele-and-

myelomeningocele/

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat tidak dilakukannya pembedahan atau komplikasi post

operatif. Komplikasi jika tidak dilakukan pembedahan adalah terjadi gangguan sensoris dan

kelumpuhan pada ekstremitas bawah (paraplegia), inkontinensia urin ataupun alvi, disfungsi

seksual, deformitas ekstremitas bawah yang diakibatkan sering terjadi trauma berupa

benturan pada kista meningokel yang kemudian menekan saraf7, namun terkadang dapat

terjadi penutupan spontan pada defek. Infeksi pada cairan serebrospinal juga rentan terjadi

dan sering mengakibatkan moralitas. Pada kasus meningokel yang disertai dengan

hidrosepalus, maka dibutuhkan pemasangan ventricalperitoneal shunt (VP shunt) atau

lumbarperitoneal shunt (LP shunt) .

11

Komplikasi post operatif pada kasus meningokel hampir tidak ada, morbitditas utama

adalah terjadinya infeksi pada lesi pembedahan yang dapat meninfeksi cairan serebrospinal

dan terjadi kebocoran pada cairan serebrospinal. Preparasi pre operatif yang maksimal,

penggunaan antibiotik pre operatif dan penutupan lesi yang benar akan menurunkan risiko

terjadinya komplikasi15.

2.1.6 Prognosis

Moralitas neonatus dengan defek selubung saraf mencapai 14% dalam kurun waktu

5 tahun dan 35% apabila disertai dengan disfungsi batang otak dan malformasi Arnold-

Chiari tipe II8.

12

2.2 Sistem saraf

2.2.1 Anatomi

Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan

medulla spinalis, dan susunan saraf tepi (SST), yang terdiri dari serat-serat saraf yang

membawa informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer)16. Medulla spinalis manusia

memanjang dari foramen magnum hingga setinggi vertebra lumbar pertama atau lumbar

kedua. Rata-rata panjangnya 45 cm pada pria dan 42 cm pada wanita, memiliki bentuk seperti

silinder pada segmen servikal atas dan segmen lumbar, yang merupakan tempat pleksus

nevus brachial dan nervus lumbosakral.

Gambar 2.4 Sistem susunan saraf pusat

http://www.nature.com/scientificamericanmind/journal/v16/n3/box/scientificamericanmind10

05-68_BX1.html

13

Pada tahap awal pertumbuhan fetus, medulla spinalis ini mengisi sepanjang kanalis

vertebra. Saat bayi lahir, korda spinalis ini memanjang ke bawah sampai ke batas bawah dari

vertebra lumbar III. Pada akhir dewasa muda, medulla spinalis mencapai posisi seperti orang

dewasa, dimana ia berhenti setinggi discus invertebra lumbar I dan lumbar II. Tempat dimana

medulla spinalis berakhir berubah seiring pertumbuhan karena kolumna vertebralis

bertumbuh lebih cepat dari pada medulla spinalis. Panjang dari korda spinalis secara

keseluruhan adalah 70 cm. medulla spinalis mengalami pembesaran di dua tempat, yaitu

servikal (segmen CIII-ThII) dan lumbar (segmen LI-SIII). Ini merupakan tempat saraf yang

menginversi ekstremitas atas dan bawah. Ujung bawah medulla spinalis meruncing

membentuk konus medullaris5.

Gambar 2.5 Pertumbuhan medulla spinalis dan kolum vertebra

Diambil dari http://www.netterimages.com/growth-of-the-spinal-cord-and-vertebral-column-

labeled-runge-cardiology-1e-embryology-craig-mascaro-6448.html

Medulla spinalis manusia terbagi atas 31 segmen (8 segmen servikal, 12 segmen

thorakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacrum dan 1 coccygeal) dimana dari masing-masing

segmen kecuali segmen yang pertama, memilki sepasang root dorsal dan root ventral dan

14

sepasang nervus spinalis. Segmen servikal pertama hanya memiliki root ventral. Root ventral

dan dorsal bergabung di foramina intervertebralis unutk membentuk nervus spinalis. Nervus

spinalis meninggalkan kanalis vertebralis melalui foramina intervertebralis. Servikal I muncul

di atas atlas; servikal VIII muncul antara servikal VII dan thorakal I. Nervus spinal lain

keluar di bawah vertebra yang berkesesuaian. Karena perbedaan tingkat pertumbuhan dari

medulla spinalis dan kolumna vertebralis, segmen medulla spinalis tidak sesuai dengan

kolumna vertebranya. Ditingkat servikal, ujung spinal vertebra sesuai dengan tingkat

kordanya, tapi tulang servikal VI sesuai dengan tingkat korda spinalis VII. Pada region

thorakal atas, ujung spinal berada dua segmen di atas korda spinalis yang berkesesuaian, jadi

thorakal IV sesuai dengan korda segmen ke VI. Pada region thorakal bawah dan lumbar atas,

beda antara tulang vertebra dan korda adalah tiga segmen, jadi spinal thorakal X sesuai

dengan lumbar I. Kumpulan akar saraf lumbosakral di filum terminale disebut cauda equina.

Gambar 2.6 Cauda equine

Diambil dari http://www.symptoms101.net/tag/cauda-equina-nerve-roots dan

http://www.dartmouth.edu/~humananatomy/figures/chapter_41/41-4_files/IMAGE001.JPG

2.2.2 Embriologi

Proses pembentukan embrio pada manusia melalui 23 tahap perkembangan setelah

pembuahan setiap tahap rata-rata memakan waktu selama 2-3 hari. Ada dua proses

15

pembentukan sistem saraf pusat. Pertama neuralisasi primer, yakni pembentukan struktur

saraf menjadi pipa, hal yang serupa juga terjadi pada otak dan korda spinalis. Kedua,

neuralisasi sekunder, yakni pembentukan lower dari korda spinalis, yang membentuk bagian

lumbal dan sakral.

Pembentukan sistem saraf pusat dimulai sejak bulan pertama perkembangan janin,

dimulai dari notocord kemudian terbentuk neuroectoderm dan berkembang menjadi bentukan

seperti pita pipih yang dinamakan neural plate, kemudian masuk ke dalam ke bagian

belakang embrio yang dinamakan neural groove. Bagian samping dari neural groove akan

melengkung ke atas ( neural fold ) dan menyatu membentuk suatu tabung yang dinamakan

neural tube, penyatuan / fusi dari neural fold dimulai dari bagian tengah dari embrio dan

bergerak ke arah atas (cranial) dan bawah (caudal)17.

Gambar 2.7 Proses embriologi pada sistem saraf

Diambil dari https://www.youtube.com/watch?v=lGLexQR9xGs

16

Bagian atas dinamakan anterior ( cranial ) neuropore dan bagian bawah dinamakan posterior

( caudal ) neuropore. Lipatan saraf makin meninggi, saling mendekat di garis tengah, dan akhirnya

bersatu, dengan demikian terbentuklah tabung saraf. Penyatuan ini dimulai pada daerah leher dan

berlanjut ke arah sefalik dan kaudal. Tetapi pada ujung cranial dan kaudal mudigah, penyatuan

tersebut agak tertunda, dan neuroporus anterior dan posterior untuk sementara membentuk

hubungan langsung antara rongga tabung saraf dengan rongga amnion5. Anterior neuropore

menutup pada hari 26 atau sebelumnya sedangkan caudal neuropore akan menutup pada akhir

minggu ke 4. Jika bagian dari tabung neural (neural tube) tidak menutup, tulang belakang juga tidak

menutup akan menyebabkan terjadinya spina bifida17.

Gambar 2.8 A. Penampang dorsal dari embrio 18 hari. B. Penampang dorsal embrio 20 hari

C. penampang dorsal dari embrio pada hari ke 22. Terdapat 7 somites. D. Penampang dorsal dari

embrio pada hari ke 23.

Diambil dari Sadler TW. Embriologi kedokteran langman ed 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 1996.

17

C D

Stadium perkembangan pada tahap neurulasi

Hari ke 17-18: pembentukan neural plate

Hari ke 19-20: pemanjangan neural plate

Hari ke 20-21: pembentukan neural fold ; neural groove

Hari ke 21-22: pembentukan fusi neural fold

Hari ke 26-25: penutupan bagian cranial neuropore

Hari ke 27-28: penutupan bagian caudal dari neuropore.

2.2.3 Lapisan Neuroepitel, Lapisan Mantel, Lapisan Marginal

Dinding tabung saraf yang baru saja tertutup terdiri atas sel-sel neuroepitel. Sel-sel ini

meluas ke seluruh tebal dinding dan membentuk lapisan epitel bertingkat semu yang tebal.

Sel-sel tersebut dihubungkan satu sama lain oleh kompleks-kompleks penghubung di dalam

lumen. Pada tingkat alur saraf dan segera setelah penutupan tabung, sel-sel tersebut

membelah dengan cepat, yang menghasilkan semakin banyak sel neuroepitel. Secara

keseluruhan, lapisan ini disebut sebagai lapisan neuroepitel atau neuroepitelium5.

Begitu tabung saraf sudah tertutup, sel-sel neuroepitel mulai membentuk jenis sel lain,

yang ditandai dengan inti yang bulat dan besar dengan nukleoplasma yang pucat dan anak inti

yang berwarna gelap. Sel-sel ini adalah sel-sel saraf primitive atau neuroblas. Mereka

membentuk suatu zona di sekeliling lapisan neuroepitel, yang dikenal sebagai lapisan mantel.

Lapisan mantel kelak membentuk substantia grissea medulla spinalis5.

Lapisan medulla spinalis yang paling luar mengandung serabut-serabut saraf yang

keluar dari neuroblas yang ada di dalam lapisan mantel tersebut dan dikenal sebagai lapisan

marginal. Sebagai akibat dari mielinisasi serabut saraf, lapisan ini tampak berwarna putih

sehingga disebut substantia alba medulla spinalis 5.

2.2.4. Lamina Basalis, Lamina Alaris, Atap, dan Lantai

Akibat dari bertambahnya neuroblas yang terus-menerus pada lapisan mantel, tiap-

tiap sisi tabung saraf memperlihatkan penebalan ventral dan dorsal. Penebalan ventral, lamina

18

basalis, mengandung sel-sel kornu motorik ventral dan membentuk daerah motorik medulla

spinalis; penebalan-penebalan dorsal, lamina alaris, membentuk daerah-daerah sensorik Suatu

alur memanjang, sulcus limitans, menjadi tanda pembatas antara keduanya. Bagian garis

tengah tabung saraf di sebelah dorsal dan ventral, yang masing-masing disebut lempeng atap

dan lantai, tidak mengandung neuroblas dan terutama berperan sebagai jalan serau saraf yang

menyilang dari satu sisi ke sisi lain5.

Selain kornu motorik ventral dan kornu sensorik dorsal, sekelompok neuron

menumpuk di antara dua daerah tersebut, dan menyebabkan terbentuknya kornu intermedia

yang kecil. Kornu ini terutama mengandung neuron-neuron dari bagian simpatik pada

susunan saraf otonom dan hanya ada pada medulla spinalis setinggi dada (T1-T12) dan

lumbal atas (L2-L3)5.

19

2.3 Tatalaksana Anestesi

2.3.1 Evaluasi preoperatif

Ketika melakukan pembedahan spinal pada anak dengan meningokel sangat

diperlukan evaluasi preoperatif secara menyeluruh dikarenakan sering terdapat kelainan

kongenital lainnya yang membutuhkan prosedur tambahan dalam melakukan tindakan

anestesi. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap disertai dengan rincian

dari prosedur medis ataupun pembedahan dan rincian prosedur anestesi apabila terdapat

riwayat operasi sebelumnya dan mengetahui pengobatan serta obat-obatan yang masih

dipakai saat ini. Sistem pernafasan, sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat juga harus

diperhatikan18. Kerusakan dari fungsi sistem-sistem ini dapat menjadi suatu hubungan atau

akibat dari kondisi yang membutuhkan operasi spinal19.

Pada pasien dengan kelaianan vertebra harus diwaspadai adanya kelainan kongenital

lainnya seperti VACTERL Syndrome – vertebral defects, anorectal malformations,

cardiovascular anomalies, tracheosophageal fistula, renal (genitourinary), limb

malformations20. Anamnesis yang berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) juga perlu ditanyakan. Peningkatan TIK pada bayi ditandai dengan

ditemukan iritabilitas, letargi, penurunan kesadaran, kesulitan dalam pemberian makan,

penonjolan dari fontanela dan perbesaran kranial. Pada anak-anak diandai dengan pusing di

pagi hari,muntah tanpa disertai rasa mual, diplopia, dan papilloedema, pada stadium akhir

dapat disertai dengan triad Cushing. Frekuensi muntah yang sering dapat mengakibatkan

dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan meningkatkan resiko terjadinya aspirasi.

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Pemeriksaan laboratorium

lainnya adalah pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit serta pemeriksaan

golongan darah dan uji padanan silang darah.

Kasus meningokel ditatalaksana pada hari pertama kehidupan untuk meminimalkan

kontaminasi bakteri terhadap saraf spinal yang ter-ekspos yang dapat mengakibatkan

terjadinya sepsis yang merupakan penyebab kematian tersering pada bayi yang baru lahir.

Kejadian infeksi menurun 7% apabila defek ditatalaksana dalam 48 jam pertama kelahiran.

Oleh karena itu harus diperhatikan ukuran tubuh dan maturitas bayi karena berhubungan

dengan organ tubuh yang belum sempurna pada bayi serta beberapa permasalahan pada jalan

nafas.

20

Perlu ditanyakan juga tentang riwayat alergi pada pasien karena pada kasus

meningokel sering dicurigai adanya alergi terhadap latex yang banyak digunakan dalam

ruang operasi (handscoon, kateter) maka perlu dipersiapkan obat-obatan anafilaksis.

Tabel 2.1 Pertimbangan anestesi preoperatif

Evaluasi Preoperatif

- Evaluasi secara menyeluruh untuk mencari adanya kelaianan kongenital lainnya.

- Evaluasi sistem saraf dan melakukan dokumentasi apabila ditemukan defisit neurologi

- Evaluasi kelaianan anatomi yang berhubungan dengan jalan nafas.

- Evaluasi sistem pernafasan dan status kardiovaskular

- Curiga terdapat alergi lateks

- Mengetahui usia untuk persiapan anestesi

- Status psikologi

- Pemberian premedikasi

- Melakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, urin rutin, kimia darah, tes

fungsi hati, tes pembekuan darah dan rontgen

Premedikasi

Penggunaan premedikasi dengan sedatif dan narkotik sebaiknya dihindari pada pasien

dengan curiga ada peningkatan tekanan intrakranial dikarenakan dapat menurunkan fungsi

pernafasan yang mengakibatkan terjadi hiperkapnia yang kemudian memicu peningkatan

tekanan intrakranial. Pada neonatus dan bayi berumur dibawah 6 bulan sebaiknya dihindari

pemberian obat sedatif sebelum proses operasi. Pemberian antikolinergik dapat diiberikan

untuk mmengurangi munculnya bradikardi selama proses induksi. Atropine dengan dosis

0.02 mg/kg secara oral atau intamuskular menurunkan kejadian hipotensi pada anak-anak

dibawah 6 bulan21. Untuk mengurangi hipersalivasi pada saat posisi pasien tengkurap, dapat

diberikan atropine dengan dosis 0.05-0.1mg/kg

2.3.2 Evaluasi intraoperatif

Dilakukan anesthesia umum dengan pemberian induksi secara inhalasi atau intravena.

Saat pemberian induksi pasien diposisikan posisi lateral dekubitus atau supinasi dengan

menambahkan penyangga untuk melindungi meningokel dari tekanan. Setelah dilakukan

intubasi, pasien diposisikan tengkurap (prone position). Pada posisi tengkurap, selang nafas

harus terfiksasi secara paten sehingga tidak lepas atau tercabut, posisi leher harus sejajar

21

dengan tubuh ketika pasien dibalik. Agen anestesi dapat diberikan secara intravena dengan

propofol atau thiopental. Pelumpuh otot dipilih jenis non depolarisasi dengan masa kerja

yang sedang seperti vecuronium (0.1mg/kg), atracurium (0.5-0.6mg/kg) atau

suxamethonium. Pada neonatus, onset kerja atracurium hanya sedikit lebih panjang daripada

suxamenthonium19. Secara inhalasi dapat diberikan sevoflurane. Pemasangan akses vena

diperlukan agar pemberian darah dapat dengan mudah dilakukan ketika terjadi perdarahan

yang banyak. Manajemen cairan akan melibatkan penggantian kehilangan ruang ketiga dan

kehilangan darah. Kehilangan ruang ketiga bisa banyak pada penutupan meningomielokel

yang besar. Kehilangan darah tergantung pada kompleksitas dan lamanya tindakan. Untuk

mieodisplasia, biasanya tidak banyak kecuali jika lesi luas, membutuhkan skin graft19.

Berbagai teknik standar bisa digunakan untuk rumatan anestesi−inhalasi atau i.v.

Fokus manajemen intraoperatif yaitu mengurangi iskemia medulla spinalis dan kompresi

medulla spinalis. Hal ini dicapai dengan rumatan SCPP melalui control tekanan darah dan

mengurangi kongesti vena dengan memposisikan pasien dengan baik untuk mencegah

kompresi abdomen. Kita perlu memastikan perfusi medulla spinalis sementara mencegah

kehilangan darah. Remifentanil menjadi popular untuk tujuan ini. Remifentanil merupakan

opioid yang ultra-short-acting, yang memiliki sifat analgesic yang sangat besar, dengan onset

cepat, titrabilitas yang baik, dan offset yang cepat. Obat ini bisa digunakan sebagai rumatan

inhalasi atau i.v. Propofol dan remifentanil bisa digunakan bersama untuk total anestesi i.v.

pada anakanak yang lebih tua19.

Monitoring selama operasi spinal seharusnya secara rutin memasukkan EKG, pulse

oximetry, kapnografi dan monitoring anesthetic agent, temperature, blok neuromuscular, dan

tekanan darah. Monitoring tekanan vena sentral seharusnya dilakukan pada pasien dengan

penyakit jantung dan yang bakal kehilangan banyak darah. Selain monitoring rutin dan akses

vascular, pemasangan arterial line seharusnya dipertimbangkan pada kasus pembedahan yang

lama, terutama reseksi tumor. Pada kasus-kasus seperti ini ada baiknya dipasang urin kateter.

Evaluasi status asam basa, hemoglobin, hematokrit, profil koagulasi mungkin dibutuhkan

pada beberapa pasien. Monitoring emboli udara juga akan perlu dilakukan pada beberapa tipe

pembedahan, terutama pada skoliosis21.

22

Tabel 2.2 Dosis obat anestesi pada pediatri22

Dosis obat pada pediatriPremedikasiAtropine

Midazolam

IVIMPremedikasi (oral)Dosis minimumIVIMPremedikasi (oral)Dosis maksimum (oral)

0,01-0,02 mg/kg0,02 mg/kg0,03-0,05mg/kg0.1 mg0,05 mg/kg0,1-0,15 mg/kg0,5 mg/kg20 mg

InduksiTiopental- neonatus

Propofol

Induksi (IV)

Induksi (IV)

5-6 mg/kg3-4 mg/kg2-3 mg/kg

InhalasiHalotanSevofluranIsofluranDesfluran

0-1 bulan | 1-12 bulan | 2-12 tahun0.9% | 1,1-1,2% | 0,9%3,2% | 3,2 % | 2,5%1,6% | 1,8-1,9% | 1,3-1,6%8- 9% | 9-10% | 7-8%

Pelumpuh ototSuksinilkolin

AtracuriumCis-aracuirumPancuroniumVecuronium

Intubasi (IV)Intubasi (IM)Intubasi (IV)IVIVIV

1-2 mg/kg4 mg/kg0,5 mg/kg0,15 mg/kg0,1 mg/kg0,1 mg/kg

OpioidFentanyl

Remifentanil

Morfin

IVPremedikasi (oral)IV bolusIV InfusIVPremedikasi (IM)

1-5 mcg/kg10-15 mcg/kg0,25-1 mcg/kg0,05-2 mcg/kg/min0,025-0,1 mg/kg0,1 mg/kg

Manajemen cedera medulla spinalis pediatric pada instalasi bedah mengawasi control

jalan napas sementara pasien dengan ventilasi spontan, dan secara optimal monitoring terus

somatosensory evoked potential (SSEP). Monitoring yang akurat selama ekstensi dan

pengaturan posisi sangatlah penting, karena pada fase ini bisa menyebabkan pergerakan

spinal katatrofik dan cedera yang irreversible. Monitoring elektrik spinal seharusnya menjadi

23

bagian dari perawatan perioperatif dari pasien-pasien ini dan seharusnya dilakukan semua

prosedur sampai pasien diposisikan supinasi; trakea diekstubasi dan integritas medulla

spinalis dikonfirmasi.

Penentuan tentang dimana pasien seharusnya dirawat setelah operasi tergantung pada

fungsi jantung dan paru sebelumnya, lamanya tindakan, kejadian intraoperatif, kehilangan

darah yang banyak, hipotermia, kebutuhan analgesic. Beberapa anak membutuhkan ventilasi

postoperative dan perawatan yang intensif23.

Tabel 2.3 Pertimbangan anesesi intraoperatif

Evaluasi Intraoperatif

-Proses induksi dapat dilakukan secara inhalasi ataupun intravena dalam posisi lateral

dekubitus atau supinasi.

-Pasien diposisikan tengkurap ‘prone posisition’ saat pembedahan berlangsung. Pastikan

bahwa seluruh tubuh sudah aman mulai dari kepala samapai ujung kaki.

-Penggunaan armoured tracheal tube.

-Selalu memperhatikan posis mata agar tidak terjadi penekanan yang dapat menyebabkan

terjadi komplikasi pada mata.

-Pemantauan rutin terhadap tekanan darah.

-Penggunaan pelumpuh otot non depolarisasi.

-Pemasangan kanul vena bertujuan untuk memberikan transfusi darah ketika terjadi

perdarahan yang banyak.

-Terapi cairan

-Menjaga suhu agar tidak terjadi hipotermia

-Memantau tekanan perfusi pada saraf tulang belakang.

-Evaluasi secara menyeluruh untuk mencari adanya kelaianan kongenital lainnya.

Posisi

Posisi tengkurap biasa digunakan dalam pembedahan pada bagian belakang dari

kepala, tulang belakang, daerah panggul dan bokong serta ekstremitas bawah bagian

belakang. Pada posisi tengkurap, wajah dan tubuh menghadap kebawah dan diberi penyangga

bagian dada, bahu serta bagian pinggang sehingga bagian abdomen bebas bergerak dan

menurunkan tekanan intraabdominal sehingga tidak terjadi kesulitan bernafas dan

24

mengurangi perdarahan dari plexus epidural dengan mencegah kompresi pada vena cava dan

meningkatkan tekanan vena paraspinal (spina bifida management). Kedua lengan dapat

diposisikan disamping tubuh atau diposisikan disamping kepala dengan menggunakan

penyangga kepala. Pada siku dapat diberikan bantalan untuk menghindari terjadinya

kompresi pada saraf ulnaris. Hindari abduksi lengan melebihi 90 derajat untuk menghindari

tarikan berlebihan dari pleksus brachialis 24.

Gambar 2.9 Posisi tengkurap

Diambil dari Cassorla L, Lee JW. Patient positioning and associated risks. In : ed. Miller's anesthesia,

eighth edition. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015: 1250-3.

Ketika direncakan untuk anestesi umum, maka intubasi dilakukan dalam posisi

telentang ditambah dengan batalan bulat dengan lubang pada bagian tengah untuk mencegah

trauma pada meningokel yang terdapat di bagian belakang tubuh23. Selang endotrakeal harus

harus dipastikan dalam posisi yang tepat dan tidak lepas atau bergeser ketika posisi pasien

dirubah. Saat perubahan posisi diusahakan perputaran kepala seiring dengan perputaran tubuh

pasien sehingga tidak terjadi hiperekstensi pada leher. Pada saat berjalannya operasi, pasien

harus di perhatikan dengan seksama agar tidak terjadi komplikasi yang diakibatkan posisi ini.

Komplikasi dari operasi yang dilakukan dengan posis telungkup antara lain longgarnya

selang endotrakeal, abrasi kornea dan neuropati perioperatif.

25

Gambar 2.10 Posisi bayi saat di intubasi (A) dan saat proses pembedahan (B)

Diambil dari Baykan N. Anesthesiology of the newborn with spina bifida. In : ed. The Spina Bifida:

Management and outcome. Italy : Springer-Verlag Italia; 2008, 157-65

Gambar 2.11 Pemberian bantalan berbentuk donat untuk mencegah trauma.

Diambil dari Baykan N. Anesthesiology of the newborn with spina bifida. In : ed. The Spina Bifida:

Management and outcome. Italy : Springer-Verlag Italia; 2008, 157-65

Ekstubasi

Sebelum dilakukan ekstubasi, pasien harus dipastikan dalam kondisi hangat, saturasi

adekuat, normocarbic dan bebas dari rasa nyeri. Bayi dengan asidosis dan dingin tidak akan

bernafas post operatif. Ektubasi hanya dilakukan apabila pasien dipastikan sudah bangun dan

bernafas dengan baik. Komplikasi yang dapat terjadi setelah pasien di ekstubasi adalah

terjadinya spasme pada saluran pernafasan seperti laringospasme, bronkospasme dan post

extubation croup. Pada pasien neonatus preterm biasanya sering terjadi apnea yang ditandai

dengan timbulnya sianosis dan bradikardi. Neonatus yang anemis (Hb<10 g/dL) dapat

diberikan kaffein (10mg/kg) intravena21.

26

A B

2.3.3 Evaluasi Postoperatif

Analgesik post operatif

Pemberian agen narkotik pada neonatus memiliki banyak efek samping sehingga

penggunaanya harus dibatasi. Opioid seperti kodein fosfat hanya diberikan pada bayi dengan

berat badan lebih dari 5 kg. Analgesik yang sering dipakai adalah asetaminofen dengan dosis

20-40 mg/kg yang diberikan diawal prosedur pembedahan. Anestesi lokal pada kulit juga

membantu memberikan efek analgetik seperti pemberian bupivacaine 0,25% dengan dosis 2

mg/kg21.

Alergi latex

Risiko kasus alergi terhadap latex cukup tinggi pada pasien dengan kelainan selubung

saraf (spina bifida)23. Pasien dengan kelainan selubung saraf biasanya disertai dengan

penyakit penyerta lainnya dan membutuhkan tindakan pembedahan atau operasi lebih dari

satu kali. Oleh karena itu sangat diperlukan anamnesis yang mendalam dengan keluarga

pasien dan catatan riwayat operasi tentang adanya reaksi idiopatik ataupun reaksi alergi yang

timbul saat operasi. Apabila pasien sudah dipastikan alergi latex maka seluruh peralatan

anestesi maupun peralatan pembedahan harus bebas dari latex seperti handscoon, sungkup

wajah, stetoskop, plester dan lainnya10. Seluruh petugas medis harus diberitahukan terlebih

dahulu sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. Reaksi anafilaksis terjadi setelah 20-60

menit setelah pajanan terhadap bahan latex dan bertambah parah dalam 5-10 menit 21. Reaksi

yang terjadi ditandai dengan hipotensi, takikardi, timbul bercak merah pada kulit,

meningkatnya tekanan peak airway dan desaturase arteri. Tatalaksana yang diberikan adalah

resusitasi jantung paru ditambah dengan pemberian obat epinefrin, cairan, steroid, histamine

blockers dan tindakan pembedahan sebaiknya dihentikan.

27

BAB III

KESIMPULAN

1. Meningokel merupakan salah satu anomali kongenital korda spinalis yang disebabkan

gangguan penutupan tabung saraf bagian kaudal pada akhir minggu ke 4 gestasi.

2. Manifestasi klinis dari meningokel adalah didapatkan adanya penonjolan kulit seperti

kantong yang bervariasi dalam berbagai ukuran dan dapat dilapisi dengan kulit tipis

transparant.

3. Gejala klinis seperti gangguan sensorik dan motorik jarang terjadi, tergantung berat

kerusakan pada medulla spinalis dan akar saraf yang terlibat namun gangguan

sensoris dan kelumpuhan pada ekstremitas bawah, inkontinensia urin ataupun alvi dan

disfungsi seksual serta malformasi pada ekstremitas bawah dapat terjadi.

4. Meningokel sebaiknya segera dilakukan pembedahan dalam jangka waktu 72 jam

pertama kehidupan untuk meminimalisasi kontaminasi bakteri karena pajanan

medulla spinalis terhadap lingkungan. Apabila terjadi kebocoran cairan serebrospinal

maka pembedahan dilakukan dalam waktu 24 jam.

5. Manajemen anestesi membutuhkan pendekatan yang cermat terhadap keselamatan,

pengaturan posisi, dan perfusi medulla spinalis, dengan rumatan normotermia dan

normovolemia.

6. Meningokel sering disertai dengan beberapa penyakit penyerta lainnya yang

mengakibatkan pasien sangat rentan mengalami komplikasi postoperatif. Hal ini dapat

dihindari dengan melakukan evaluasi preoperatif secara menyeluruh, persiapan yang

matang, teknik pembedahan yang baik, kontrol hemodinamik yang baik dengan

monitoring kardiovaskular dan monitoring fungsi medulla spinalis serta persiapan

menghadapi komplikasi yang akan terjadi.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Lewis DW. Neurologi: Malformasi kongenital susunan saraf pusat. Dalam :

Mangutnatmadja I, Handryastuti S, ed. Nelson ilmu kesehatan anak esensial ed 6.

Singapore: Elsevier; 2014, 776-7

2. Hines RL, Marschall KE. Pediatric disease. In : Handbook for stoelting’s anesthesia

and co-existing disease 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2009.

3. Feaster WW, Struyk BP. Pediatric neurosurgery : Closure of myelomeningocele. In :

Jaffe RA, Schmiesing C, Goliaru B, ed. Anesthesiologist's manual of surgical

procedures. Philadephia : Lippincott William & Wilkins; 2009, 1157-60.

4. Istiadjid ME. Luas defek meningokel berhubungan dengan kadar transforming growth

factor beta 1 (TGF- beta 1) dan insuline like growth factor1 (IGF-1) dalam tulang.

Jurnal Kedokteran Brawijaya 2004; 10: 129-135.

5. Sadler TW. Sistem saraf pusat. Dalam : Embriologi kedokteran langman ed 7. Jakarta

: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.

6. Singh D, Rath GP, Dash HH, Bithal PK. Anesthetic concerns and perioperative

complication in repair of myelomeningocele. Journal of Neurosurgical

Anesthesiology 2010; 22: 11-5.

7. Dahlgren RM, Baron EM, Alexander VR. Pathophysiology, diagnosis, and treatment

of spinal meningoceles and arachnoid cycts. Journal Jefferson Digital Commons

2010; 22: 11-5

8. Rollins MD. Anesthesia for fetal surgery and other fetal therapies. In : Miller RD, ed.

Miller's anesthesia, eighth edition. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015: 2370-71

9. Parthasarathy S, Umeshkumar A, Jahagirdar SM, Ravishankar M. Anesthetic

management of a newborn with a cervical meningomyelocele. Journal M E J

ANESTH 2012; 5: 735-37

10. Hall SC, Suresh S. Neonatal anesthesia : meningomyelocele. In : ed. Clinical

anesthesia 6th ed. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins; 2009, 2987-9

11. Sutton LN. Fetal surgery for neural tube defects. Jounral Best practice & research

clinical obstetrics and gynaecology 2007; 22 : 175-88

12. Chand M, Agrawal J, Bista P. Journal Anaesthetic challages and management of

myelomeningocele repair. PMJN 2011; 11: 41-6

29

13. McComb JG. Spinal meningoceles. In : Birgitta B. ed. Principles and practice of

pediatric neurosurgery. New York : Thieme Medical Publishers 2008

14. Menkes JH, Sarnat HB, Flores-Sarnat L. Malformation of the nervous system. In ed.

Child neurology 7th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins 2006; 284-299

15. Powers CJ, Gabriel EM, George TM. Lumbosacral meningoceles. In : Goodrich JT

ed. Pediatric neurosurgery. New York : Thieme Medical Publisher 2008; 251-5

16. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem: sistem saraf pusat. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009, 145-7

17. McClain CD, Soriano SG. The central nervous system : pediatric neuroanesthesia. In :

ed. A practical approach to pediatric anesthesia. Philadelphia : Lippincott William &

Wilkins; 2008, 177-81

18. Soundararajan N, Cunliffe M. Anaesthesia for spinal surgery in children. British

Journal of Anaesthesia 2007; 99: 86-94.

19. O'Neill JA, et.al. Pediatric surgery sixth edition. USA: Elsevier Saunders; 2006.

20. Solomon BD. VACTERL/VATER association. Orphanet journal of rare diseases

2011; 6.

21. Baykan N. Anesthesiology of the newborn with spina bifida. In : ed. The Spina

Bifida: Management and outcome. Italy : Springer-Verlag Italia; 2008, 157-65

22. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Pediatric anesthesia. In : Morgan &

Mikhail's ed. Clinical anesthesiology fifth edition, USA, Mc Graw Hill 2013; 881-

882.

23. George SP, Mathew L. Hydrocephalus and meningomyelocele. In : Understanding

pediatric anaesthesia. New Delhi : BI Publication Pvt Ltd; 2008, 206-7

24. Cassorla L, Lee JW. Patient positioning and associated risks. In : Morgan & Mikhail's

ed. Miller's anesthesia, eighth edition. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015: 1250-

3.

30