analisis & li khairinnisa sken a blok 13.docx
TRANSCRIPT
I. ANALISIS MASALAH
1. Status lokalisasi coli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas
tegas, dan colli sinistra dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm
a) Bagaimana cara pemeriksaan?
Pemeriksaan Fisik Leher, meliputi :
1. Inspeksi :
melakukan inspeksi dari sisi depan, samping dan belakang leher.
Asimetris karena pembengkakan. Pembengkakan dapat disebabkan
aneurisma arteri karotis, pembengkakan terdapat pada satu sisi dan dapat
diraba pulsasi arteri pada daerah tersebut.
mencari apakah ada benjolan pada leher.
Tumor misalnya pada limfoma ( unilateral/ bilateral), tumor kista brakialis,
pembesaran kelenjar tiroid.
mencari apakah ada tanda peradangan pada leher.
Kelenjar limfe : pembesaran kelenjar limfe dapat dijumpai pada tuberculosis
kelenjar, leukemia, limfoma maligna.Lihat juga besanya konsistensi,serta
nyeri tekan pada palpasi
Dengan cara melakukan ekstensi dan deviasi kesamping,secara sederhana
pada leher, regangan m. sternokleidomastoideus akan memperlihatkan batas
antara trigonum anterior dan posterior, sehingga pembesaran kelenjar tiroid
atau kelenjar getah bening atau struktur pembuluh darah dapat segera dilihat
dengan nyata.
mencari apakah ada jejas.
memeriksa apakah ada distensi vena jugularis eksternus.
memeriksa apakah ada deviasi trakea.
memeriksa apakah ada keadaan asimetris, sikap paksa, kelumpuhan.
2. Palpasi
Palpasi pada leher dilakukan terutama untuk mengetahui keadaan dan lokasi
kelenjar limfe, kelenjar tiroid dan trakea. Kelenjar limfe sulit dipalpasi pada
orang yang sehat atau orang gemuk. Sebaliknya pada orang yang kurus akan
lebih mudah ditemukan. Pembesaran kelenjar limfe dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit misalnya peradangan akut/kronis dikepala, orofaring, kulit
kepala atau daerah leher. Juga terjadi pada beberapa kasus infeksi seperti
tuberkulose, atau spilis. Pembesaran limfe disebut limfedenopati.
Palpasi kelenjar tiroid dilakukan untuk mengetahui adanya pembesaran tiroid
(gondok) yang biasanya disebabkan oleh kekurangan gram zodium. Bentuk
kelenjar tiroid dapat diketahui jika kepala pasien ditengadahkan sambil pasien
disuruh menelan ludah (air), sementara perawat melakukan palpasi kelenjar
tersebut.
Kedudukan trakea perlu dikaji karena dapat sebagai petunjuk terhadap adanya
gangguan misalnya trakea yang bergeser ke salah satu sisi dapat merupakan
petunjuk adanya proses desak ruang atau fibrosis pada paru-paru maupun
mediastinum. Trakea akan tertarik pada keadaan terjadi proses fibrosis dan akan
terdorong pada keadaan terjadi pendesakan ruang.
Cara kerja palpasi kelenjar limfe, kelenjar tiroid dan trakea adalah :
1. Duduklah di hadapan pasien
2. Anjurkan pasien untuk menengadah ke samping menjauhi perawat pemeriksa
sehingga jaringan lunak dan otot-otot akan relaks
3. Lakukan palpasi secara sistematis dan determinasikan menurut lokasi, batas-
batas ukuran, bentuk dan nyeri tekan pada setiap kelompok kelenjar limfe
yang terdiri dari :
a. Preaurikular – di depan telinga
b. Posterior aurikuler – superficial terhadap prosesus mastoidius
c. Osipital – di dasar posterior tulang kepala
d. Tonsilar – disudut mandibular
e. Submaksilaris – ditengah-tengah antara sudut dan ujung mandibula
f. Submental – palpasi garis tengah beberapa cm di belakang ujung
mandibula
g. Servikal superficial – superficial terhadap sternomastoidius
h. Servikal posterior – sepanjang tepi anterior trapesius
i. Servikal dalam – dalam sternomastoid dan sering tidak dapat dipalpasi
j. Supraklavikula – dalam suatu sudut yang terbentuk oleh klavikula dan
sternomastoidius.
4. Lakukan palpasi kelenjar tiroid dengan cara :
a. Letakkan tangan anda pada leher pasien
b. Palpasi pada fossa suprasternal dengan jari penunjuk dan jari tengah
c. Suruh pasien menelan atau minum untuk memudahkan palpasi
d. Palpasi dapat pula dilakukan dengan perawat berdiri di belakang pasien,
tangan diletakkan mengelilingi leher dan palpasi dilakukan dengan jari
kedua dan ketiga
e. Bila teraba kelenjar tiroid maka determinasikan menurut bentuk, ukuran,
konsistensi dan permukaannya.
5. Lakukan palpasi trakea dengan cara berdiri di samping kanan pasien.
Letakkan jari tengah pada bagian bawah trakea dan raba trakea ke atas, ke
bawah dan kesamping sehingga kedudukan trakea dapat diketahui.
6. Mobilisasi leher
Pengkajian mobilisasi leher dilakukan paling akhir pada pemeriksaan leher.
Pengkajian ini dilakukan baik secara aktif maupun pasif. Untuk mendapatkan
data yang akurat maka leher dan dada bagian atas harus bebas dari pakaian
dan perawat berdiri/duduk dibelakang pasien.
a. Lakukan pengkajian mobilitas leher secara aktif. Suruh pasien
menggerakkan leher dengan urut-urutan sebagai berikut:
Antefleksi, normalnya 45o
Dorsifleksi, normalnya 60 o
Rotasi ke kanan, normalnya 7 0o
Rotasi ke kiri, normalnya 70o
Lateral fleksi ke kiri, normalnya 40o
Lateral fleksi ke kanan, normalnya 40o
b. Determinasikan sejauh mana pasien mampu menggerakkan lehernya.
Normalnya gerakan dapat dilakukan secara terkoordinasi, tanpa
gangguan
c. Bila diperlukan lakukan pengkajian mobilitas secara pasif dengan cara
kepala pasien dipegang dengan dua tangan kemudian digerakkan dengan
urut-urutan yang sama seperti pada pengkajian mobilitas leher secara
aktif.
Langkah- langkah dalam pemeriksaan kelenjar getah bening leher:
1. Memperkenalkan diri dan inform consent terlebih dahulu kepada pasien
2. Cuci tangan dengan sabun dan bilas dengan air mengalir
3. Tanyakan kepada pasien bagian mana yang dianggap sakit oleh pasien dan
informasikan bahwa apabila pada pemeriksaan nanti ada rasa sakit yang
dirasakan pasien, maka pasien harus memberi tahu.
4. Posisikan pasien. Idealnya, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan berdiri
di belakang pasien. Dan pasien diperiksa dalam posisi duduk.
5. Inspeksi
Kelenjar getah bening leher terletak di sepanjang bagian anterior dan
posterior dari leher tepat di bagian bawah dagu. Jika kelenjar getah bening
cukup besar, dapat terlihat adanya pembengkakan di bawah kulit dan lebih
mudah lagi jika pembesarannya asimetris (akan lebih mudah untuk melihat
adanya pembesaran kelenjar getah bening jika hanya satu bagian saja yang
membesar).
6. Hal-hal yang harus diperhatikan pada inspeksi:
7. Pembesaran kelenjar getah bening
8. Skar bekas operasi (cancer exision)
9. Massa yang jelas
10. Palpasi
Palpasi kelenjar getah bening harus menggunakan empat ujung-ujung jari
karena ujung jari adalah bagian yang paling sensitif. Palpasi dilakukan
dengan membandingkan antara bagian kiri dan kanan secara simultan, dari
atas ke bawah dan dengan sedikit tekanan.
Palpasi kelenjar limfe submental dan submandibular yaitu pemeriksa berada
dibelakang penderita kemudian palpasi dilakukan dengan kepala penderita
condong ke depan sehingga ujung-ujung jari-jari meraba di bawah tepi mandibula.
Kepala dapat dimiringkan dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga palpasi dapat
dilakukan pada kelenjar yang superficial maupun yang profunda. Juga dapat
dilakukan dengan palpasi bimanual.
Gambar : Palpasi kelenjar limfe submental dan submandibular
Palpasi kelenjar jugularis dapat dimulai di superficial dengan melakukan penekanan ringan dengan menggerakkan jari-jari sepanjang musculus sternokleidomastoideus. Pada palpasi yang lebih dalam, ibu jari ditekan di bawah musculus Sternokleidomastoideus pada kedua sisi sehingga dapat di palpasi kelenjar yang terdapat di sub atau retro dari muskulus ini. Bila pemeriksaan ini negatif atau meragukan, maka pemeriksa harus berdiri di belakang penderita kemudian ibu jari digunakan untuk menggeser musculus Sternokleidomastoideus ke depan sementara jari yang lain meraba pada tepi anterior muskular tersebut. Perabaan secara bilateral dan simultan selalu dianjurkan untuk menilai perabaan antara kedua sisi. Palpasi kelenjar leher ini agak sulit pada orang gemuk, leher pendek dan leher yang berotot. Terutama bila kelenjarnya masih kecil.
Sumber gambar: Buku Diagnosis Fisik Adams Edisi 17
Gambar : Palpasi kelenjar limfe rantai kelenjar jugularis
Palpasi kelenjar limfa asesorius dilakukan dengan menekan ibu jari pada tepi
posterior m. Trapezium ke depan dan jari-jari ditempatkan pada permukaan
anterior muskulus ini.
Gambar : Palpasi kelenjar limfe asesorius
Sumber gambar: Buku Diagnosis Fisik Adams Edisi 17
Palpasi kelenjar limfa supraklavikular dapat dilakukan dengan duduk di
depan atau berdiri dibelakang penderita dimana jari-jari digunakan untuk
palpasi fosa supraklavikular. 15
Gambar : Palpasi kelenjar limfe supraklavikula
Sumber gambar: Buku Diagnosis Fisik Adams Edisi 17
b) Bagaimana interpretasi?
Ditemukan nodul nodul atau benjolan pada leher dengan ukuran diameter nodul
lebih dari 0,5 cm dikatakan abnormal. Maka dapat diduga adanya pembesaran
kelenjar getah bening regio coli. Dan, pembesaran kelenjar getah bening berjalan
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan merupakan gejala infeksi oleh
mikobakterium.
c) Dimana regio/lokasi pada kasus ini?
Pada kasus ini
ditemukan nodul-
nodul yang
mungkin menjadi
suatu bentuk
pembesaran dari
kelenjar getah
bening.
Penyebaran KGB
leher dibagi 5
( Sloan kattering
memorial cancer
classification )
Sumber gambar: Sloan kattering memorial cancer classification
Keterangan gambar:
I. Kelenjar yang terletak di segitiga submentale dan submandibulae
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar getah bening jugularis
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikalis posterior.
III. Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkatio karotis dan persilangan
Musculus omohioid dengan musculus sternokleidomastoideus dan batas
posterior musculus sternokleidomastoideus.
IV. Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
V. Kelenjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal.
Sumber gambar: Atlas Anatomi A.D.A.M
Sumber gambar:
2. Hasil pemeriksaan histopatologi : tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan
ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran,
dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang
mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid,
1-2 sel datia langhans dapat dijumpa. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
a) Bagaimana cara pengecatan/Ziehl Neilsen untuk mendeteksi Mycobacterium TB
dan interpretasinya?
Pewarnaan Ziehl Neelsen adalah Pewarnaan diferensial yang membedakan
bakteri tahan asam dengan bakteri yang bukan tahan asam.
Prinsip pewarnaan :
Bakteri tahan asam (BTA) seperti mycobacterium tuberkulosis tahan terhadap
pencucian dengan alkohol asam, walau telah dicuci dengan alkohol asam bakteri
tahan asam tidak melepaskan zat warna yang telah diikatnya.Bakteri tahan asam
akan berwarna merah, dan bakteri tidak tahan asam berwarna biru.
Alat dan bahan :
1. Mikroskop
2. Objek gelas
3. Carbol Fuchsin 0,3 %
4. Alkohol Asam 3 % ( Alkohol + HCl konsentrasi 3 %)
5. Methylen Blue 0,3 %
6. Ose
7. Lampu Bunsen/Lampu spiritus
8. Oil Immersi
Cara membuat sediaan :
1. Bersihkan objek gelas, beri label
2. Sterilkan ose, dinginkan
3. Ambil 1 ose sputum yang kental (hijau kuning) letakkan diatas objek gelas,
ratakan.
4. Sediaan biarkan kering pada suhu kamar.
5. Setelah kering fiksasi denga melewatkkan diatas nyala api sebanyak 3 x, sediaan
siap untuk diwarnai.
Cara Pewarnaan :
1. Sediaan dituangi Carbol Fuchsin sampai penuh
2. Panaskan selama 3-5 menit sampai keluar uap pertama jangan sampai mendidih.
3. Biarkan dingin selama 5 menit
4. Cuci dengan air
5. Dekolorisasi denga alkohol asam 10-30 detik.
6. Cuci dengan air
7. Tuangi dengan methylen blue selama 20-30 detik
8. Cuci dengan air
Interpretasi Hasil:
Pembacaan Denga Skala IUATLD
1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lp, disebut negatif
2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lp, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lp, disebut + atau (1+)
4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lp, minimal 50lp, disebut ++ atau (2+)
5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lp, minimal 20lp, disebut +++ atau (3+)
b) Bagaimana patofisiologi radang kronik spesifik?
Radang Kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai proses tubuh lokal (ditempat pengaruh
jejas bereaksi) berupa perubahan kimiawi dan morfologi jaringan berpembuluh
darah dengan tujuan membatasi kerusakan jejas yang terjadi dan netralisasi dari
pengharuh penyebab jejas tersebut yang berdurasi panjang (berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun) .Pada radang kronis juga terjadi proses secara simultan dari
inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang
akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi
neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel
mononuklear (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan
perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)
(Mitchell & Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan
radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat
reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada
proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan
proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan
dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang
menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu
(seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama
dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila
suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi
karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas,
maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan
kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi
Pada radang kronis pada umumnya tanda-tanda cardinal yang terdapat pada
radang akut tidak lagi tampak. Kemerahan dan peningkatan suhu biasanya hilang
terlebih dahulu kemudian disusul dengan hilangnya rasa sakit. Akhirnya semua
tanda cardinal radang hilang sama sekali, mungkin bisa terdapat indurasi
(meningkatnya konsistensi jaringan) akibat adanya respon fibroblastic.
II. LEARNING ISSUE
A. Radang Kronik
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang
(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari
inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut,
radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam
jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti
makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi
proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).
1. Makrofag
Berasal dari sel darah putih monosit yang mempunyai fungsi sebagai sel fagosit
namun lebih selektif, sehingga makrofag disebut juga dengan the second line of
defense. Di samping sebagai pengganti leukosit neutrofil di dalam fagositosis,
makrofag mempunyai banyak fungsi yang lain karena kemampuannya menghasilkan
berbagai macam produk biologi yang dapat meningkatkan respon radang. Makrofag
juga menghasilkan faktor- faktor yang mengatur proliferasi dan fungsi sel- sel yang
lain, termasuk di sini adalah: interferon, growth faktor untuk fibroblast, sel endothel,
dan sel- sel myeloid primitif (angiogenesis) yang mempunyai peranan penting di
dalam proses perbaikan (repair) jaringan.
2. Limfosit, dan sel plasma
Limfosit yang berperan di dalam proses imunitas juga sering didapatkan di dalam
proses radang kronis. Setiap stimuli yang menimbulkan radang kronis dapat bersifat
antigenic pula sehingga mampu merangsang timbulnya respon imun. Karena ini
tidaklah mengherankan apabila pada proses radang yang kronis hampir selalu
didapatkan limfosit maupun sel plasma.
3. Terjadinya proliferasi fibroblast dan pembuluh kapiler muda dalam jumlah banyak.
Sel- sel fibroblast adalah jaringan ikat muda yang mampu membentuk serabut
kolagen, suatu bahan (protein) dasar dari semua jaringan ikat yang ada.
Pembentukan pembuluh kapiler muda terjadi dalam jumlah banyak, karena dipicu
oleh faktor makrofag, sehingga suplai darah ke daerah radang menjadi lebih tinggi.
Respon fibroblastic dan proliferasi kapiler muda tersebut secara bersama- sama
disebut dengan jaringan granulasi. Infiltrasi sel- sel macrocytic dan lymphocytic dan
jaringan granulasi serta proliferasi sel- sel untuk membentuk jaringan pengganti
merupakan tanda khas dari proses radang kronis. Radang kronis dapat bertahan
dalam jangka waktu yang cukup panjang (beberapa hari sampai beberapa bulan
bahkan kadang- kadang sampai bertahun-tahun). Apabila faktor jejas tetap ada
(persisten) maka respon radang kronis ini akan tetap bertahan dalam waktu lama
tanpa ada proses resolusi jaringan, contoh: dental granuloma pada apical gigi yang
non vital.
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul
radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi
radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen
penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan
normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering
penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang
menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya,
yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel,
Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih
lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon
efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya.
Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi
(Robbins & Kumar, 1995).
Manifestasi Klinis Radang Kronis
Pada radang kronis pada umumnya tanda-tanda cardinal yang terdapat pada radang
akut tidak lagi tampak. Kemerahan dan peningkatan suhu biasanya hilang terlebih
dahulu kemudian disusul dengan hilangnya rasa sakit. Akhirnya semua tanda cardinal
radang hilang sama sekali, mungkin bisa terdapat indurasi (meningkatnya konsistensi
jaringan) akibat adanya respon fibroblastic.
Manifestasi sistemik dari radang akut atau kronis bisa berupa: demam (febris),
malaise, sakit kepala, dan hilangnya nafsu makan. Demam yang disebabkan karena
meningkatnya suhu tubuh penderita diduga sebagai akibat penyebaran
mikroorganisme di dalam aliran darah (bacteremia). Penyebab yang lain yaitu
endotoksin dari bakteri yang mati dan stimulasi hipotalamus oleh prostaglandin yang
sintesanya dimungkinkan oleh adanya bahan pyrogen endogenik, seperti Interleukin- I
yang dihasilkan oleh leukosit.
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting
antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung
merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan
cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan
dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat
mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip
dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang
akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada
hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam
tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme
biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol
yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis
(Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
B. Radang Kronik Spesifik/Radang granulomatous
Definisi: pola radang kronis spesifik yg ditandai oleh aggregasi makrofag yg
teraktivasi (granuloma)
Tipe radang granulomatous
1. Granuloma benda asing respon terhadap benda asing yg relatif inert
(benang, serpihan)
2. Granuloma sel imun sebagai respon dari sel T yg bertanggung jawab atas
aktivasi makrofag persisten contoh : TBC (granuloma tuberkel disertai
nekrosis kaseosa
Sumber gambar: Kuliah Integrasi “Radang Akut dan Kronis” dr.Henny Sulastri,
SpPA(K) tahun 2014
Bentuk radang kronis terdiri dari:
1. Makrophage termodifikasi dimana sitoplasma banyak berwarna merah muda
spt sel epitel (epiteloid). Transformasi ini dipengaruhi o/ γ interferon.
2. Sel raksasa : berasal dari makrofag.
3. Limfosit, plasma sel, netrofil
4. Jar. nekrosis.
Daftar Pustaka
Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987).
Sulastri, Henny.2014. Kuliah Integrasi: Radang Akut dan Kronis. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Price & Wilson. 2002. Patofisiologi (ed. 6). Jakarta: EGC
Markum. 2011. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: FK UI
Burnside & McGlynn. 1995. Diagnosis Fisik Adams (ed.17). Jakarta:EGC