sken 3 dan 4.docx

39
Sken 3 HEMOPOIESIS DAN HEMOGLOBIN Proses pembentukkan sel darah yaitu hemopoiesis. Proses pembentukkan darah pertama kali terjadi pada fase prenatal yaitu di yolk sac (kantung kuning telur) pada janin usia 0-2 bulan, kemudian fase selanjutnya pada hepar dan lien pada janin usia 2-7 bulan, dan pada fase lanjut di sumsum tulang mulai janin usia 5-9 bulan. Pada post natal, pembentukan utama terjadi di sumsum tulang. Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum tulang termasuk bagian distal tulang panjang, hal ini berbeda dengan dewasa dimana hematopoisis terbatas pada vertebra, costae, sternum, pelvis, scapula, dan jarang berlokasi pada humerus dan femur. Pada keadaan patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau adanya kebutuhan yang meningkat), pembentukan dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus, hepar. Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut hemopoisis ekstra meduler. Proses pembentukkan darah dimulai dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel progenitor myeloid campuran yang kemudian berdiferensiasi lagi. Darah terdiri dari berbagai komponen yang penting, antara lain sel darah merah (eritosit), sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit) serta plasma. Fungsi leukosit adalah untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Fungsi dari trombosit adalah untuk mekanisme pembekuan darah sedangkan eritrosit

Upload: udunk-adhink

Post on 06-Feb-2016

283 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sken 3 dan 4.docx

Sken 3

HEMOPOIESIS DAN HEMOGLOBIN

Proses pembentukkan sel darah yaitu hemopoiesis. Proses pembentukkan darah pertama

kali terjadi pada fase prenatal yaitu di yolk sac (kantung kuning telur) pada janin usia 0-2 bulan,

kemudian fase selanjutnya pada hepar dan lien pada janin usia 2-7 bulan, dan pada fase lanjut di

sumsum tulang mulai janin usia 5-9 bulan. Pada post natal, pembentukan utama terjadi di

sumsum tulang. Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum tulang

termasuk bagian distal tulang panjang, hal ini berbeda dengan dewasa dimana hematopoisis

terbatas pada vertebra, costae, sternum, pelvis, scapula, dan jarang berlokasi pada humerus dan

femur. Pada keadaan patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau adanya kebutuhan

yang meningkat), pembentukan dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus, hepar.

Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut hemopoisis ekstra meduler.

Proses pembentukkan darah dimulai dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi

menjadi sel induk limfoid dan sel progenitor myeloid campuran yang kemudian berdiferensiasi

lagi.

Darah terdiri dari berbagai komponen yang penting, antara lain sel darah merah (eritosit),

sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit) serta plasma. Fungsi leukosit adalah untuk

melindungi tubuh terhadap infeksi. Fungsi dari trombosit adalah untuk mekanisme pembekuan

darah sedangkan eritrosit membawa satu protein yaitu hemoglobin yang berfungsi dalam

mengikat O2 di paru, membawanya ke peredaran darah dan melepaskannya ke sel dan jaringan

tubuh.

Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin dalam ikatan

dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung. Satu molekul hemoglobin

mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit tersusun atas satu molekul globin dan satu

molekul heme.

Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α dan sepasang

rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut akan menentukan jenis

Page 2: Sken 3 dan 4.docx

hemoglobin. Hb A1(2α2β) merupakan lebih dari 96 % Hb total, Hb F (2α2γ) kurang dari 2% dan

Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%.

Rantai polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non α tersusun atas

146 asam amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen α2 di kromosom 16, sedangkan

gen yang mensintesis rantai β, rantai γ dan rantai δ terletak di kromosom 11.

Pada orang normal sintesis rantai α sama dengan rantai non alpha.

Sejak masa embrio, janin, anak hingga dewasa, sel darah merah memiliki 6 hemoglobin,

antara lain :

Hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower2, Hb Portland)

Hemoglobin fetal (Hb-F)

Hemoglobin dewasa (Hb-A1, Hb-A2)

Hemoglobin embrional :

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack membentuk

rantai globin epsilon (ε) dan zeta (Z) yang membentuk Hb primitif yaitu Hb Gower1 (Z2ε2).

Selanjutnya mulailah sintesis rantai α menggantikan rantai Z dan rantai γ menggantikan rantai ε

sehingga membentuk Hb Gower2, Hb Portland. Pada masa gestasi 4-8 minggu yang ditemukan

adalah Hb Gower 1 dan Hb Gower 2 dan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

Hemoglobin Fetal

Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb fetal yang

merupakan awal sintesis rantai Hb β. Setelah masa gestasi 8 minggu, muncul Hb-F yang paling

dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% Hb terdiri dari Hb-F dan kemudian

menurun menjelang kelahiran, setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada tapi

hanya ditemukan sedikit.

Hemoglobin Dewasa

Page 3: Sken 3 dan 4.docx

Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan sintesis rantai

γ menjadi rantai β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa gestasi 6 bulan ditemukan

HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak usia 6-12 bulan Hb sudah memperlihatkan

gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan HbA2 dan sedikit HbF

Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki kemampuan

untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul heme secara langsung

berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiilki struktur kuartener empat rantai

polipeptida, masing-masing dengan satu tempat pegikatan oksigen. Sehingga satu molekul

hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.

Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari orang tua

kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan

produksi satu atau lebih rantai globin yang menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai

globin.

II.A. SEJARAH

Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama Riettedan

Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik hipokrom yang tak terjelaskan

pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan adanya anemia ringan pada kedua orangtua dari

anak-anak yang mengidap anemia tersebut. Pada saat yang bersamaan, seorang dokter spesialis

anak, Thomas Cooley juga mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang

berasal dari italia dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel darah merah yang masif pada

sapuan apus darah tepi yang semula diduga anemia eritroblastik. Namun tak lama, Cooley

menyadari bahwa eritoblastik tidak spesifik pada temuan ini dan temuan ini sangat mirip dengan

kelainan darah yang ditemukan oleh Riettedan. Sehingga kelainan darah ini dinyatakan sebagai

bentuk homozigot dari anemia hipokrom mikrositik yang kemudian diberi labelisasi sebagai

thalassemia mayor sedangkan bentuk ringannya dinamakan thalassemia minor. Kata thalassemia

berasal dari bahasa yunani yaitu thalassa yang berarti “laut” dan emia yang berarti “berhubungan

dengan darah”.

Page 4: Sken 3 dan 4.docx

II.B. EPIDEMIOLOGI

WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu bayi

thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-

10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya

di Indonesia. Salah satu RS di Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien

thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM

yang terdiri dari 52,5 % pasien thalassemia β homozigot, 46,2 % pasien thalassemia HbE, serta

thalassemia α 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya. Fakta ini mendukung

thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak dan menyerang hampir semua

golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

II.C. PATOFISIOLOGI

Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang ditandai dengan

kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih, sehingga terjadi ketidak

seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan

penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit

beta-thalassemia

Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan karena kerusakan

gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus gen globin. Kerusakan pada

salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan

kerusakan pada kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).

Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis sama sekali.

Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha, khususnya kekurangan sintesis

rantai β akan menyebabkan kurangnya pembentukan Hb.

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan oleh sebuah gen cacat

yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang

tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.

Page 5: Sken 3 dan 4.docx

II.C.I. Thalasemia beta

Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis dari unit

globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot, sintesis β globin kurang lebih separuh dari

nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot, sintesis β globin dapat mencapai nol.

Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total menurun dengan

sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan thalasemia β homozigot mengalami

anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga

hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak

efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.

Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan dan tidak

mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini

mengakibatkan kelebihan adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan

retikulosit. Rantai α bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi

protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi

dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah matur yang

diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi kecil, terdistorsi,

dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin yang menurun dan

memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom yaitu hipokromik,

mikrosisitk dan poikilositik.

Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar, dan

sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini. Sel darah merah yang

mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang lebih panjang.

Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity dari setiap

eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa

secara prematur.

Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-sumsum tulang

dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak. Namun mekanisme kompensasi

Page 6: Sken 3 dan 4.docx

ini tidak efektif karena adanya kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu

ekspansi sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah baru.

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal dari tulang,

menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang kritis pada pertumbuhan

dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang

membutuhkannya dan menempatkan suatu stress yang sangat besar pada jantung. Secara klinis

terlihat sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output,

kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda

tanpa adanya terapi transfusi.

Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang sudah

termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.

II.C.II. Thalasemia alpha

Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang kurang atau

hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut sehingga mampu membentuk

hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu bertahan dan memproduksi molekul Hb

yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih

ringannya manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan

thalasemia beta.

Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang terkena. Pada thalasemia α

homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi. Pasiennya hanya memiliki Hb Bart’s yang

tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya tinggi tapi hampir semuanya adalah Hb

Bart’s sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan sebagian besar pasien lahir mati dengan

tanda hipoksia intrauterin.

Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan ketidakseimbangan jumlah

rantainya tetapi pasiennya dapat mampu bertahan dengan HbH dimana kelainan ini ditandai

dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.

Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.

Page 7: Sken 3 dan 4.docx

Delesi 1 gen α : Tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut mewarisi gen (Carier/Trait) Delesi 2 gen α : Hanya berpengaruh sedikit pada kelinan fungsi darah Delesi 3 gen α : Anemia berat, disebut juga Hemoglobin H (Hbh) disease Delesi 4 gen α : Berakibat fatal pada bayi karena alpha globin tidak dihasilkan sama sekali

Gambar disamping menunjukkan bahwa kedua orang tua yang pada gen nya terdapat masing-masing 2 gen yang sudah termutasi. Maka anaknya :25% normal, 25% carrier, 25% 2 gen delesi, 25% menderita hemoglobin H disease.

Page 8: Sken 3 dan 4.docx

II.D. KLASIFIKASI THALASEMIA DAN PRESENTASI KLINISNYA

Thalassemia α / minor

Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis

Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H

Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° )

Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia α+ )

Thalassemia β

Homozigot – thalassemia mayor

Heterzigot- trait thalassemia

Thalassemia intermediate

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik

II.D.I. Thalasemia α

II.D.I.1. Thalasemia homozigot (α0)

Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya dalam waktu

pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan edema permagna dan

hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar

Hb Bart’s 80% dan sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia gravidarum,

perdarahan post partum dan masalah karena hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi

memperlihatkan adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan

dengan transfusi tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa mencapai normal.

Page 9: Sken 3 dan 4.docx

II.D.I.2. HbH disease

Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan splenomegali

sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan elektroforesis atau pada

sediaan retikulosit. Pada kehidupan janin ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan

bantuan brilian cresil blue yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan

inklusi. Setelah splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di eritrosit. Pada beberapa

kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus umumnya penderita

bisa tumbuh normal tanpa transfusi.

II.D.I.3. Karier thalasemia α

Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α). Biasanya asimptomatis,

didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang

bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisa DNA.

Pada masa neonatus, Hb Bart’s 5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang

bisa didapatkan inklusi pada eritrosit karier thalasemia α.

II.D.I.4. Karier thalasemia α silent

Bentuk heterozigot karier thalasemia α+ (–α/αα). Memiliki gambaran darah yang

abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb Bart’s 1-3%

tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini.

II.D.II. Thalasemia β

Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot memperlihatkan

gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang, kesulitan makan, kelemahan umum.

Bayi tampak pucat dan terdapat splenomegali. Bila menerima transfusi berulang,

pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas.

Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak bisa mencapai

pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila terapi chelasi tidak adekuat, secara

bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada dekade pertama.

Adolscent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.

Page 10: Sken 3 dan 4.docx

Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :

Facies cooley

Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan tulang

tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang tersebut dan umumnya

terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun

Pucat yang berlangsung lama

Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan dengan anemia

berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah

berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-

sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan

destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

Perut membuncit

Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran hati dan limpa.

Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan

akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan biliribin indirek, sehingga menimbulkan kuning pada penderita thalassemia

dan kadang ditemui trombositopenia.

Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi

Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout sekunder sering

timbul

Page 11: Sken 3 dan 4.docx

Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia maupun kegagalan hati akibat

penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis ekstramedular.

Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan besi yaitu

Keterlambatan menarke (pada anak perempuan) dan gangguan perkembangan sifat seks

sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin. Selain pada

kelenjar endokrin, hemosiderosis pada pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus.

Siderosis miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung.

Temuan Laboratorium

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang tidak ditransfusi adalah

ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilositosit

yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti

ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrosit, yang merupakan

presipitasi dari kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara

cepat menjadi kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum

tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas

pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat

tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipiridol menyebabkan urin berwarna coklat gelap,

terutama pasca splenektomi.

II.D.II. Karier thalasemia β

Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan dan jarang didapatkan

splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb dengan penurunan MCV dan MCH yang

bermakna.

II.D.III. Intermedia thalasemia

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Anemia hipokrom mikrositik (

Hb 7-10 gr/dl ), hepatomegali dan splenomegali, deformitas menurun, kelebihan beban besi

( iron over load ).

Page 12: Sken 3 dan 4.docx

II.E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah:

1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita thalasemia adalah

Darah rutin

Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,

ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi

penurunan dari jumlah trombosit.

Hitung retikulosit

Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

Gambaran darah tepi

Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada

gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops

sel dan target sel.

Serum Iron & Total Iron Binding Capacity

Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia

terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,

sedangkan TIBC akan meningkat.

Page 13: Sken 3 dan 4.docx

LFT

Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut

sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu

empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan

adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi

kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.

Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga pada orang

tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar

Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada

thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya

tidak melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif sekali. Ratio

rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal biasanya nilai

perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan roentgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak mendapat

tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat

diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi

ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik

pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end”

yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

II.F. DIAGNOSIS BANDING

Page 14: Sken 3 dan 4.docx

Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini

disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran eritrosit mikrositik

hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena pada anemia defisiensi Fe

didapatkan :

Pucat tanpa organomegali

Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang

Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi

II.G. PENGOBATAN

Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :

terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis

pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi

penatalaksanaan splenomegali

Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan kesehatan yang terus

menerus seumur hidupnya.

A. Tranfusi darah

Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan memperpanjang umur atau

masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi anemia, memberi kesempatan pada anak

untuk proses tumbuh kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada

usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui

pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk

mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam

waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta thalassemia intermedia,

transfuse darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta

thalssemia mayor (Cooley’s Anemia) harus dilakukan secara teratur

Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut dengan jarak 2

mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis seperti Facies Cooley, gangguan

tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan

Page 15: Sken 3 dan 4.docx

selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan

dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.

B. Kelasi Besi

Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena penyakitnya

tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi tersebut adalah penumpukan besi

diberbagai organ.

Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/L atau

saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20 kali transfusi. Pemberian

dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35

mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis

desferoxamine tidak boleh melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas

desferoxamin direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.

Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia belum

dilakukan.

C. Suplemen Asam Folat

Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah yang

sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi

khelasi besi.. Asam Folat 2x1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

D. Splenektomi

Indikasi :

limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan peningkatan

tekanan intra-abdominal dan bahaya terjadinya ruptur

meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1 tahun terakhir

D. Transplantasi sumsum tulang

Page 16: Sken 3 dan 4.docx

Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun 1982.

Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk talasemia. Jarang

dilakukan karena mahal dan sulit.

Sken 4

Leukemia

I. DEFINISILeukemia adalahsuatu penyakit keganasansel darah putih yang berasal dari

sumsum tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama kehamilan dan pasca natal seperti kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan paparan lainnya, ditandai oleh adanya akumulasi proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam sumsum tulang dan darah, dapat menimbulkan komplikasi berupa sepsis, gangguan pembekuan darah atau akibat kemoterapi, memiliki prognosis yang sulit ditentukan.2,3

II. KLASIFIKASISecara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital. Leukemia

akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama sakitnya selama pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut dan kronis dibedakan

Page 17: Sken 3 dan 4.docx

berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi mengarah pada leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka diklasifikasikan leukemia kronik, sedangkan kongenital bila leukemia terdiagnosa selama 4 minggu pertama setelah kelahiran.1,7

Pada anak – anak leukemia akut lebih sering terjadi dibandingkan kronik dimana hanya sekitar 2%. Oleh karena itu, FAB mengklasifikasikan leukemia akut berdasarkan morfologinya sebagai berikut1,3 :

1. Leukemia Limfoblastik AkutL1: sel – sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak

tampak dengan kromatin homogenL2: Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih

kasar, satu atau lebih anak intiL3: Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti

banyak, kromatin berbercak.

2. Leukemia Myeloid AkutM0 : Diferensiasi minimal dari myeloidM1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan

Auer rodsM2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan

Auer rodsM3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer

rodsM4 : MyelomonoblastikM5 : MonoblastikM6 : Eritroleukemik atau eritroblastikM7 : Megakaryoblastik

Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen pada limfoid, dihasilkan klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B, transisional pre-B, sel pre-B dan sel pre-B muda. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan leukemia sesuai tahap maturasi normal.1,3

Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak – anak, meskipun begitu leukemia kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya pada orang dewasa berusia 60 – 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana berkisar 1 – 2% dari leukemia pada anak – anak.

Klasifikasi Leukemia Myeloid Kronik5 :

1. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia positif

Page 18: Sken 3 dan 4.docx

2. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia negative3. Leukemia mieloid kronik juvenilis4. Leukemia neutrofilik kronis5. Leukemia eosinofilik6. Leukemia mielomonositik kronik

III. ETIOLOGIPada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti, namun

terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan dengan leukemia pada anak termasuk genetik, lingkungan dan keadaan imunodefisiensi.Anak – anak dengan cacat genetik seperti sindrom Down dan keadaan ketidakstabilan kromosom lebih beresiko menderita leukemia.Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak menunjukkan peningkatan insidensi LLA meskipun kasusnya sangat sedikit.Pada beberapa negara berkembang terdapat hubungan antara anak yang terkena leukemia dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi dari sel progenitor limfoid. Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu hamil ditentukan dari pola hidupnya selama hamil seperti mengkonsumsi alkohol, obat terlarang maupun paparan kimiawi lainnya.1,2,3,6

IV. EPIDEMIOLOGIInsidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 – 6 tahun, terutama

sekitar usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada anak perempuan. Umumnya leukemia pada anak – anak dengan keadaan kromosom yang abnormal. Pada anak kembar, bila salah satu anak menderita leukemia maka resiko dari kembarannya jauh lebih besar daripada anak pada umumnya yaitu lebih dari 70% bila anak yang pertama terdiagnosa kurang dari 1 tahun dan merupakan kembar monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai pada anak yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak, prevalensi menurun ketika berusia lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%, maka dapat disimpulkan pada anak lebih sering terjadi leukemia akut yaitu 97% dari seluruh leukemia pada anak dimana leukemia kronik hanya 3%.1,3,5,6

V. PATOGENESIS

Page 19: Sken 3 dan 4.docx

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia adalah asal mula gugus selnya (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi, kegagalan diferensiasi petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal. Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai jumlah sel yang dapat terdeteksi. Meskipun etiologinya belum diketahui, namun pada penelitian ditemukan bahwa penyebab (agent) nya dapat melakukan modifikasi nukelus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat kelainan genetic tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler sehingga terbentuklah gugus (clone) yang abnormal.3

Transformasi sel pada LMA dapat terjadi pada berbagai jalur perkembangan sel induk sehingga ekspresinya berupa perkembangan gugus sel tertentu dengan akibat dapat terjadi berbagai jenis sel leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk pluripotent yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau pada sel induk yang dijuruskan untuk granulositopoisis atau monositopoisis.3

Abnormalitas kromosom yang berkaitan dengan jumlah kromosom, translokasi atau delesi, yang menunjukkan prognosis dari pasien, dapat dijumpai pada hampir semua penderita LLA.Dari semua kasus LLA, 85% berasal dari progenitor sel B, 15% berasal dari progenitor sel T, sedangkan sekitar 1% berasal dari sel B.1

VI. MANIFESTASI KLINIS1. Leukemia Limfoblastik Akut

Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan singkat bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi ketika melakukan pemeriksaan rutin.Kebanyakan pasien mendapati keluhan seperti demam selama 3 – 4 minggu sebelum terdiagnosa, bersifat intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena kegagalan sumsum tulang seperti :a. Anemia : pucat, letargi, dyspneab. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnyac. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan menoragia.

Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia).1,2,5

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak pucat dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama pada ekstremitas bawah.Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat jarang terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina, kelumpuhan saraf

Page 20: Sken 3 dan 4.docx

kranial, paraplegia dan paraparese.Tanda lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ lain berupa pembesaran kelenjar saliva, pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal insufisiensi yang ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa pembesaran thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel T.4,6,7

2. Leukemia Mieloid Akut Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL yaitu karena penumpukan sumsum tulang akan sel – sel ganas yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan mempunyai gejala – gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum tulang ALL juga. Terdapat beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul pada LLA yaitu nodul subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan pada LMA dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC) dengan perdarahan yang serius, dapat juga ditemukan tumor local atau kloroma.1,4,5

3. Leukemia Mieloid Kronik Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat juga terjadi pada anak – anak dan neonatus.Etiologi dan faktor predisposisi tidak diketahui, pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada pemeriksaan rutin anak sehat.Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti demam, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun, nyeri abdomen atau nyeri tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase kronis, fase akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun – tahun, hiperproliferasi elemen myeloid matur, yang nantinya akan masuk ke fase akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata dimana secara morfologis ditemukan mieloblas namun dapat juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas, jumlah darah meningkat tajam dan tidak terkontrol dengan obat lagi, biasanya pasien akan meninggal pada usia 3 – 4 tahun setelah onset.1,4,5

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG4,5

Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan sudah sejauh mana progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya, diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :

1. Pemeriksaan hematologis Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung meningkat meskipun bisa normal atau menurun.Jumlah leukosit adalah hasil

Page 21: Sken 3 dan 4.docx

yang paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif hingga lebih dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC dan leukostasis.Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 – 50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat sampai diatas 100.000/mm3.Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai adanya kelainan struktur atau komponennya.Hasil pemeriksaan SADT menunjukkan ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi.Khusus pada LMK didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai, namun ketika masuk fase krisis blas secara morfologis ditemukan mieloblas meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas.

3. Pemeriksaan sumsum tulang Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas, hasil pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan hiperseluler dengan maturasi mieloid yang normal.

4. Pungsi lumbal Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular.Hasilnya dapat menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel leukemia.

5. Radiologis Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.

6. Fungsi hati dan ginjal Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai pengobatan.

7. Pemeriksaan biokimia darah Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang,

Page 22: Sken 3 dan 4.docx

hiperkalsemia.Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal ginjal akut.

8. Analisis sitogenetik darah Pada kira – kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia myeloid kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom ini berkaitan dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia akut bertujuan untuk menentukan klasifikasi leukemia.

VIII. DIAGNOSISAnamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai

untuk menegakkan diagnosis leukemia.Untuk diagnosis pasti harus dilakukan aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan sebelumnya.Anemia dan trombositopenia sering tampak pada sebagian besar pasien.Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal.Bila hasil analisis darah perifer mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan dengan tepat untuk menetapkan diagnosis.Pemeriksaan LCS dapat menentukan derajat LLA.Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi.1,3

Diagnosis LMA dapat diawali sebagaiprolonged preleukemia, yaitu kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas, biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan menjadi leukemia akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri.3

IX. DIAGNOSIS BANDINGGejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi leukemia sangat tidak

spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit lain yang dapat dipikirkan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang dan menegakkan diagnosis leukemia.

Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah pada idiopatik trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar tanpa ada tanda – tanda anemia.Demam dan pembengkakan sendi dapat menyerupai penyakit rheumatologi seperti juvenile rheumatoid arthritis dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler, atau osteomyelitis.1,2

Page 23: Sken 3 dan 4.docx

Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki gambaran pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan sumsum tulang, namun pada anemia aplastic hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak ditemukan, dan tidak ada lesi osteolitik seperti pada leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang akan menegakkan diagnosis.2

Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia sulit ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia atau anemia hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit atipikal dan titer virus yang meningkat.Demam dengan onset akut dan limfadenopati pada mononucleosis sangat perlu dicurigai, begitu pula dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi peningkatan leukosit hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit leukemik.1,2

Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum tulang dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma. Sel – sel pada keganasan – keganasan ini biasanya berkelompok dan tumor primer dapat ditemukan.1,2

Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA, LMK dan myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi diagnosis banding pada bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left shift.2

Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi berlebihan hingga mencapai diatas 50.000/mm3.Jika leukosit bukan merupakan sel blas yang maligna, sindrom ini disebut reaksi leukemoid, sering terdapat peningkatan myeloid imatur atau prekursor limfoid di dalam darah perifer.Pada pemeriksaan sumsum tulang secara khas menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat, vaskulitis, obat – obatan dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum tulang.4

X. PENATALAKSANAANTerapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase3, diantaranya ialah :1. Fase remisi induksi2. Fase intensif3. Terapi susunan saraf pusat4. Rumatan

Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak lagi tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin setiap minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya 98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien dengan resiko tinggi juga diberikan daunomycin setiap minggu.1,2

Page 24: Sken 3 dan 4.docx

Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas < 5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12 g/dl tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS normal.Tujuan pada fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul resisten hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi remisi dan intensif dilakukan sampai 4 minggu.1,2

Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan kemoterapi injeksi metotreksat intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi sistemik. Injeksi intratekal metotreksat sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2). Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu pengobatan dengan radiasi otak dan medula spinalis.1,3

Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun.2

Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling efektif, terutama pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons dengan pengobatan konvensional.Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan transplantasi pada remisi pertama tetapi masih diperdebatkan. Meskipun sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-host atau bahkan graft-versus-leukemia.1,3

Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 – 200 mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari. Pada LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat. Pada LMA tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang dikombinasikan dengan antracycline dilaporkan sangat responsive sehingga tidak diperlukan transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama.1,3

Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat menurunkan leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib. Mengingat bahaya dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu – satunya pengobatan yang dapat meradikasi sel leukemia.1,2

Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti hidrasi, alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat kemoterapi yang dapat membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering menyebabkan mielosupresi sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit juga diperlukan. Antibiotik dapat diberikan bila terdapat infeksi, namun profilaksis harus diberikan untuk mencegah

Page 25: Sken 3 dan 4.docx

infeksi sekunder khususnya pneumonia hingga beberapa bulan setelah pengobatan selesai.1

XI. KOMPLIKASIPada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang lisis

dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa. Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat menyebabkan leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan intelektual pada beberapa anak.1

Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi lebih dari 100.000/mm3.Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA dan pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik.Tindakan antisipasi dimulai saat jumlah leukosit 50.000/mm3 denganpeningkatan dosis kemoterapi yang perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada LLA.Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency oncology) karena komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain3 :

1. Sindroma leukostasisPenggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena ukuran mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku.Leukostasis di otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari pusing hingga peningkatan tekanan intracranial.Leukostasis di paru menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas.Pemberian leukoferesis dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti dengan hidroksiurea (50-100 mg/kgBB).Oksigen adekuat dan koreksi jumlah trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan.3

2. Sindroma lisis tumorAkibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak bisa diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan metabolic.Sindroma lisis tumor lebih sering terjadi pada LLA.Gagal ginjal dapat terjadi bila asam urat

Page 26: Sken 3 dan 4.docx

serum lebih dari 20 mg/dl, perlu pemberian allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan hidrasi yang cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin > 7,5 karena bila berlebihan justru menciptakan suasana basa yang memudahkan pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi hipokalsemia. Sementara hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel tumor, dapat diberikan insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat. Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg dicampur 50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau oliguria dari hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga perlu pemeriksaan EKG.3