cath - sken 4 - dss

48
Penanganan Kegawatdaruratan pada Pasien Demam Berdarah yang disertai Syok Cathelin Stella 10-2010-219 A-2 Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 e-mail : [email protected] _________________________________________________________________ ______ PENDAHULUAN Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air. Lingkungan genangan air ini merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk, diantaranya nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam 1

Upload: cathelinstella

Post on 25-Jan-2016

246 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

blok 29

TRANSCRIPT

Page 1: Cath - Sken 4 - DSS

Penanganan Kegawatdaruratan pada Pasien

Demam Berdarah yang disertai Syok

Cathelin Stella

10-2010-219

A-2

Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

e-mail : [email protected]

_______________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan

dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air. Lingkungan genangan

air ini merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk, diantaranya nyamuk Aedes

aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah

utama kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di juga diseluruh negara di Asia

Tenggara. Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering mematikan,

disebabkan oleh virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas kapiler, dan hemostasis tubuh, dan

pada kasus berat menebabkan sindrom syok kehilangan protein.

Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga

Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis1. Sejak tahun 1956 sampai 1980 di seluruh dunia

kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per tahun sedang yang

meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus . Penyakit ini disebabkan oleh virus

1

Page 2: Cath - Sken 4 - DSS

dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe

virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, dan DEN-3. Oleh karena ditularkan melalui gigitan

artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang utama adalah nyamuk

Aedes aegypti.1

DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan demam akut,

trombositopenia, netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular meningkat yang ditandai

dengan kebocoran plasma ke jaringan interstitiel mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi pleura,

hipoalbuminemia dan hiponatremia yang akan menyebabkan syok hipovolemik

Syok hipovolemik sendiri bukanlah suatu diagnosis, namun merupakan sindrom klinis

yang kompleksyang mencangkup sekelompok keadaan dengan manifestasi klinis yang

homodinamik yang bervariasi, tetapi petunjukyang umun terjadinya syok hipovolemik adalah

tidak memadainya perfusi jaringan.2

Setiap keadaan yangmengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik

karena suplainy yang kurang atau kebutuhannnya yang meningkat, menimbulkan tanda-tand

syok. Diagnosa adanya syok harus di dasarkan pada data-data klinis maupun laboratorium yang

jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok mempengaruhi kerja

organ vital dan penanganannnya membutuhkan pemahaman tentang potofisiologi syok. Dimana

syok bersifat progresifdan terus memburuk jika tidak ditangani dengan segera.

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah:

1. Memperdalam ilmu mengenai jenis syok dan penatalaksanaan dalam keadaan darurat.

2. Memperdalam ilmu mengenai infeksi Dengue Syok Syndrom (DSS)

3. Meningkatkan ilmu mengenai diagnosis, penanganan, serta dan pencegahan penularan

terhadap infeksi Dengue Syok Sindrom (DSS).

ISI

Pertolongan pertama kecelakaan

Alur penanganan bagi pasien trauma (Syok) adalah primary survey,

resusitasi, secondary survey, evaluasi diagnostik, dan penanganan definitif.

2

Page 3: Cath - Sken 4 - DSS

Primary survey

Terdiri atas A (airway management dengan cervical protection), B

(breating), dan C (circulation). Pertama-tama, memastikan aliran udara

adekuat untuk pasien. Di saat yang sama, pada semua pasien blunt-trauma

harus dilakukan imobilisasi servikal sampai semua cedera terbukti tidak

ada. Imobilisasi dapat dicapai dengan menggunakan collar yang keras atau

dengan meletakkan kantung pasir di kedua sisi kepala dan di fiksasi pada

alas kepala pasien.

Airway. Secara umum, pasien yang masih sadar dan memiliki suara

normal tidak membutuhkan perhatian khusus pada saluran pernapasannya.

Akan tetapi prinsip tersebut tidak dapat diterapkan pada pasien-pasien

dengan trauma penetrans di leher disertai hematoma, diduga inhalasi atau

menelan bahan kimia berbahaya, trauma kompleks maksilofasial, memiliki

udara subkutan yang ekstensif di leher, ataupun dengan pendarahan pada

jalan napas. Pada awalnya pasien-pasien tersebut menunjukkan kondisi

jalan napas yang memuaskan, namun pada perjalanannya dapat terjadi

obstruksi atau terbentuk edema yang menutup jalan napas. Oleh sebab itu,

intubasi elektif diperlukan jika ditemukan pasien dengan kasus-kasus

diatas.1

Pasien dengan kesadaran yang menurun atau suara yang abnormal

membutuhkan evaluasi jalan napas yang lebih jauh. Inspeksi laring dapat

menunjukkan darah, muntahan, lidah, benda asing, ataupun

pembengkakan jaringan lunak yang dapat menutup jalan napas. Kesadaran

yang menurun merupakan indikasi dilakukannya intubasi.2

Pilihan akses perbaikan jalan napas dapat secara nasotrakeal,

orotrakeal, atau dengan operasi. Intubasi nasotrakeal hanya dapat

digunakan pada pasien yang masih dapat bernapas spontan dan

dikontraindikasikan bagi pasien yang tampak mengalami apnea.

Intubasi orotrakeal dapat diterapkan pada pasien dengan kemungkinan

cedera servikal. Kelebihan dari intubasi ini adalah visualisasi langsung dari

pita suara, dapat menggunakan endotrakeal tube yang lebih besar

3

Page 4: Cath - Sken 4 - DSS

diameternya, dan dapat diaplikasian pada pasien dengan apnea.

Kekurangan dari intubasi cara ini adalah pasien yang masih sadar

membutuhkan anastesi lokal ataupun umum.3

Pasien yang tidak dapat ditangani dengan intubasi akibat kegagalan

intubasi ataupun karena cedera wajah yang ekstensif membutuhkan jalan

napas buatan melalui operasi. Krikotiroidotomy dan percutaneous

transtracheal ventilation merupakan tindakan yang lebih disukai dari

trakeostomi karena sederhana dan lebih mudah dilakukan. Kelemahan dari

krikotiroidotomy adalah lubang krikotiroid yang sempit tidak dapat

dimasuki tube dengan diameter yang lebih besar dari 6mm.

Krikotiroidotomi secara relatif dikontraindikasikan bagi anak dibawah 12

tahun karena risiko kerusakan kartilago krikoid dan stenosis subglotik.

Percutaneous transtracheal ventilation merupakan teknik intubasi

dengan memasukkan kateter intravena menembus membran krikotiroid

menuju trakea yang kemudian disambungkan dengan sumber oksigen

yang dapat menyalurkan 50 psi atau lebih. Oksigen yang adekuat dapat

dipertahankan selama 30 menit. Akan tetapi, karena ekspirasi terjadi

secara pasif, ventilasi menjadi terbatas dan retensi karbon dioksida

mungkin terjadi.

Breathing. Setelah jalan napas yang stabil tercapai, oksigenasi dan

ventilasi yang adekuat harus dipertahankan. Semua pasien cedera harus

mendapat terapi oksigen suplemental dan dimonitor dengan pulse

oximetry. Kondisi-kondisi yang dapat membahayakan jiwa karena ventilasi

yang tidak adekuat adalah tension pneumotorax, pneumotoraks terbuka,

atau pulmonary contusion. Diagnosis dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan fisik dan foto toraks.3

Circulation. Pemeriksaan pertama untuk memperkirakan kondisi sirkulasi

adalah denyut nadi perifer pasien. Secara umum, denyut karotis dapat

dipalpasi jika tekanan sistol pada 60 mmHg, denyut femoralis dapat

dipalpasi jika tekanan sistol pada 70 mmHg, dan denyut radialis dapat

diraba pada 80mmHg. Denyut nadi dan tekanan darah harus diperiksa

4

Page 5: Cath - Sken 4 - DSS

setiap 15 menit. Jika ditemukan kondisi hipotensi, perlu dicurigai adanya

pendarahan.

Sebelum mengembalikan volume sirkulasi, kontrol eksternal dari

pendarahan perlu dimantapkan. Kompresi manual dan splint dapat

mengendalikan pendarahan, dengan efektivitas setara turniquet, namun

dengan kerusakan jaringan yang lebih sedikit. Jika hendak menggunakan

jari untuk menghentikan pendarahan, perlu diingat penggunaan sarung

tangan dan tenaga medis yang melakukan tindakan harus tetap menjaga

posisi jarinya sampai pasien masuk ke ruang operasi. Jika pendarahan

terjadi akibat laserasi kulit kepala yang melewati aponeurosis galea,

pengendalian pendarahan dapat dicapai dengan klip Riney atau dengan

melakukan penjahitan kontinyu dengan nilon tebal.

Resusitasi cairan. Resusitasi cairan yang pertama kali diberikan adalah 1

L bolus intravena salin normal, Ringer laktat, atau cairan isotonik kristaloid

lainnya pada dewasa. Untuk anak-anak, resusitasi mula-mula adalah 20

ml/kgBB Ringer laktat. Pemberian kristaloid dengan jumlah tersebut diulang

satu kali pada dewasa dan dua kali pada anak-anak sebelum pemberian sel

darah merah. Tujuan dari resusitasi cairan adalah untuk mengembalikan

perfusi jaringan. Tanda-tanda klasik dan gejala terjadinya syok adalah

takikardia, hipotensi, takipneu, perubahan status mental, diaphoresis, dan

pallor. Untuk dapat menentukan kondisi perfusi organ pasien, tidak hanya

dapat mengandalkan kemunculan satu dari tanda dan gejala diatas. Semua

harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Pasien yang menunjukkan respon

positif terhadap infus cairan dan tanda-tanda perfusi perifer yang baik

diyakini memiliki perfusi yang adekuat secara keseluruhan. Jumlah urin

pasien juga dapat digunakan sebagai indikator perfusi organ. Jumlah urin

yang adekuat pada pasien dewasa adalah 0,5 ml/KgBB/jam, pada anak-

anak adalah 1 ml/KgBB/jam, dan pada bayi usia dibawah 1 tahun adalah 2

ml/KgBB/jam.

Berdasarkan respon awal pasien terhadap resusitasi cairan, pasien

cedera dengan hipovolemi dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu

5

Page 6: Cath - Sken 4 - DSS

responders, transient responders, dan nonresponders. Individu yang stabil

atau menunjukkan respon positif terhadap resusitasi cairan pada umumnya

merupakan responders yang jarang mengalami pendarahan dan dapat

dievaluasi dengan cara umum (secondary survey).

Kategori yang lain yaitu nonresponders dengan hipotensi yang

persisten. Kelompok ini membutuhkan diagnosis dan penanganan sedini

mungkin untuk mencegah kematian. Perlu diingat bahwa pasien dengan

tekanan sistol < 70 mmHg memiliki risiko kematian mendadak. Biasanya

penyebab tidak adanya respon terhadap resusitasi bersifat kardiogenik

atau karena pendarahan yang tidak terkontrol. Pasien dengan hipotensi

persisten perlu diberi kristaloid dan transfusi darah sedini mungkin. Jika

pasien mengalami pendarahan, tindakan ED torakotomi perlu

dipertimbangkan. Tujuan dari ED torakotomi adalah untuk mengendalikan

pendarahan torakal; jika pasien mengalami pendarahan abdomen,

pemasangan clamp pada aorta descendens dapat memperbaiki prognosis

pasien.

Sementara itu, pasien yang merupakan kelompok transient

responders pada umumnya merupakan pasien yang tidak diresusitasi

dengan benar atau sedang mengalami proses pendarahan. Pada pasien

dengan trauma penetrasi, pendarahan yang tampak dan membutuhkan

operasi biasanya sudah merupakan bukti yang cukup penyebab kegagalan

resusitasi. Sedangkan pada pasien blunt trauma dengan cedera organ

multipel membutuhkan perencanaan yang hati-hati dalam penanganannya.

Pada kelompok inilah kasus kematian yang dapat dicegah paling banyak

muncul.

Status neurologis. Setelah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan

vetebrae sudah difiksasi serta tidak ada masalah, status mental menurut

Glasgow Coma Scale dihitung skor nya dan fungsi motorik umum dicatat.

Secondary survey. Setelah kondisi-kondisi yang membahayakan jiwa

pasien telah dieliminasi melalui pemeriksaan awal, pasien tersebut

kemudian diperiksa secara menyeluruh, dari kepala hingga ujung kaki

6

Page 7: Cath - Sken 4 - DSS

untuk mengidentifikasi cedera yang tersembunyi. Pakaian pasien yang

cedera berat harus dibuka seluruhnya. Perhatian khusus perlu diberikan

pada area punggung, aksila, dan perineum, dikarenakan cedera pada area

ini sering terlewat. Semua pasien harus menjalani rectal examination untuk

mengevaluasi tonus sfingter ani dan melihat jika ada pendarahan,

perforasi, atau high-riding prostate (kondisi dimana prostat dan bagian

prostat yang melekat pada uretra terlepas dari membran uretra dan

terdorong ke atas). Pemasangan kateter Folley perlu dilakukan untuk

menurunkan tekanan dari vesika urinaria untuk menilai spesimen dan

jumlah keluaran urin.

Pasien stabil yang dicurigai mengalami cedera uretra perlu menjalani

uretrografi sebelum pemasangan kateter. Tanda-tanda cedera uretra

adalah darah pada meatus, hematoma perineal atau skrotal, atau high-

riding prostate. Akan tetapi, pada pasien dengan hipovolemik syok,

pemasangan kateter Foley perlu dilakukan segera. Jika tidak berhasil,

suprapubic percutaneous cystostomi dapat dilakukan sebagai pengganti.

Pemasangan nasogastric tube juga perlu dilakukan untuk mencegah

aspirasi gaster dan membantu dalam inspeksi darah dari isi perut untuk

mendiagnosis cedera gastrointestinal yang tersembunyi.

Selektif radiografi perlu dilakukan pada evaluasi kegawat daruratan. Untuk

pasien dengan blunt trauma, foto toraks dan pelvis dari anterior dan

posterior harus dibuat sedini mungkin. Untuk pasien dengan luka tembak di

batang tubuh, foto toraks dan abdomen secara posteroanterior dan lateral

dibutuhkan.

Anamnesis

Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu sebagai

berikut : Nama, Jenis kelamin, Tempat / tanggal lahir, Status perkawinan Pekerjaan, Alamat,

Pendidikan, dan Agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, keluhan

penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga dan

sosial.2

7

Page 8: Cath - Sken 4 - DSS

Pertanyaan anamnesis yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah : 3

– Sudah demam berapa lama ?

– Apakah panasnya naik turun?

– Apa ada rasa nyeri di belakang kepala?

– Disekitar rumah apa ada yang terkena demam berdarah juga?

– Apa ada nyeri perut?

– Apa tenggorokan terasa sakit?

– Apakah ada muntah? Jika ada, frekuensi muntahnya berapa?

– Sudah diberi obat apa? 

Pemeriksaan Fisik

Penderita yang datang dengan gejala / tanda DBD, maka setelah anamnesis dapat dilakukan

pemeriksaan sebagai berikut:

1. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda perdarahan. Observasi kulit

meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut, dan paha.4

2. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda – tanda vital (kesadaran, tekanan darah, nadi, dan

suhu).4

3. Penekanan pada ulu hati (epigastrium). Adanya rasa sakit / nyeri pada ulu hati dapat

disebabkan karena adanya perdarahan di lambung.4

4. Perabaan hati

Hati yang lunak merupakan tanda pasien DBD yang menuju fase kritis.

5. Uji Tourniquet (Rumple Leede)4

Munculnya bintik-bitik merah lebih dari 10 pada luas 2,5x2,5 cm pada lengan bawah bagian

palmar.

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan laboratorium5

a. Pemeriksaan trombosit

- Semi kuantitatif (tidak langsung)

- Langsung (Rees – Ecker)

- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

8

Page 9: Cath - Sken 4 - DSS

b. Pemeriksaan hematokrit

Pemeriksaan hematokrit antara lain dengan mikro – hematokrit centrifuge. Nilai normal

hematokrit:

Anak – anak : 33 – 38 vol%

Dewasa laki – laki : 40 – 48 vol%

Dewasa perempuan : 37 – 43 vol%

Untuk puskesmas misalnya yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat

dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3x kadar Hb.

c. Pemeriksaan kadar hemoglobin6

Pemeriksaan kadar hemoglobin antara lain dengan cara:

- Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan Kalorimeter foto elektrik (Klett –

Summerson).

- Pemeriksaan kadar hemoglobin metode Sahli

- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi

Contoh nilai normal hemoglobin (Hb):

Anak – anak : 11,5 – 12,5 gr / 100 ml darah

Pria dewasa : 13 – 16 gr / 100 ml darah

Wanita dewasa : 12 – 14 gr / 100 ml darah

d. Pemeriksaan serologis

Saat ini uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue,

yaitu uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan ELISA (IgM / IgG).7

1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

Uji serologi memakai serum ganda,

- serum diambil pada masa akut

- komvalesen Imun Hemaglutinasi (IH), yaitu pengikatan komplemen (PK)

Tes inhibisi-hemaglutinasi (IH) adalah pemeriksaan yang sederhana,

sensitif, dan dapat ulang serta mempunyai keuntungan karena dapat menggunakan

reagen yang disiapkan secara lokal. Kerugiannya adalah bahwa sampel sera harus

melalui pra-penanganan dahulu dengan aseton atau kaolin, untuk menghilangkan

inhibitor non-spesifik hemaglutinasi, dan kemudian diserap dengan sel-sel gender

atau sel darah merah manusia golongan O, untuk menghilangkan aglutinin non-

9

Page 10: Cath - Sken 4 - DSS

spesifik. Tes IH juga biasanya gagal untuk membedakan antara infeksi dengan

flavivirus yang sangat berkaitan, misalnya antara virus dengue dan ensefalitis

Jepang, atau virus dengue dan West Nile.

uji netralisasi (NT)

uji dengue blot pada IH, PK dan NT dengan mencari kenaikan antibody

sebanyak minimal 2 kali

Uji serologi memakai serum tunggal

- uji dengue blot yang mengukur antibody anti dengue tanpa memandang kelas

antibodinya

- uji IgG dan IgM anti dengue yang mengukur hanya antibody anti dengue dari

kelas IgG dan IgM. Pada uji ini yang dicari ada tidaknya atau titer tertentu

antibody dengue.

Konfirmasi serologi yang pasti (pada uji HI) tergantung pada kenaikan titer yang jelas

(4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut dan fase

konvalesen.

Pada kasus DBD:

- Titer antibodi HI test pada spesimen akut akan meningkat 4 kali atau lebih pada fase

rekonvalesensi.

- Reaksi HI test dikatakan positif primer bila spesimen akut < 1 / 20 dan akan

meningkat sampai 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi, akan tetapi titer

rekonvalesensi < 1 / 2560.

- Reaksi HI test dikatakan positif sekunder bila titer antibodi dalam fase akut < 1 / 20

dan meningkat dalam fase rekonvalesensi sampai 1 / 2560 atau lebih, atau dalam fase

akut titer antibodi HI test 1 / 20 atau lebih dan meningkat 4 kali atau lebih pada fase

rekonvalesensi.

2. MAC- ELISA5,6

Dapat digunakan sebagai uji kuantitatif untuk antigen maupun antibody. Antigen

direkatkan pada microplate plastic dan antibody dari serum penderita. Kemudian, ditambahkan

anti human immunoglobulin yang dilabel enzim horseradish peroxidase ke subtract, lalu timbul

perubahan warna. Intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer.

10

Page 11: Cath - Sken 4 - DSS

Anti-dengue Ig-M yang dapat dideteksi oleh MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-

linked immunosorbent assay) tampak pada sebagian pasien dengan infeksi primer saat mereka

masih demam; pada sebagian lain IgM ini tampak dalam 2 – 3 hari penurunan suhu tubuh. Pada

serangkaian pasien dengue (infeksi dipastikan dengan isolasi virus atau serologi serum

berpasangan), 80% menunjukkan kadar antibodi IgM yang dapat terdeteksi pada sakit hari

kelima, dan 99% pada hari kesepuluh.4 Sekali terdeteksi, kadar IgM meningkat dengan cepat dan

tampak memuncak sekitar 2 minggusetelah dideteksi selama 2 – 3 bulan. Keuntungan dari MAC-

ELISA adalah bahwa pemeriksaan ini dapat digunakan tanpa modifikasi untuk mendeteksi IgM

anti-flavivirus pada cairan serebrospinal. Karena IgM biasanya tidak melewati sawar darah-otak,

pendeteksian IgM pada cairan serebrospinal adalah temuan diagnostik bermakna.

Diagnosis Kerja

Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan melalui

munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot

(myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang

dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia menyebar hingga

menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi

sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.5

Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam

yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah menunjukkan

demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi . Sejumlah kecil

kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.

Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam

makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam

ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari,

disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-

ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik

perdarahan di farings dan konjungtiva.6

Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk

kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi kejang

11

Page 12: Cath - Sken 4 - DSS

demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya Demam Berdarah Dengue tidak selalu

ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit. Mendiagnosis secara dini dapat

mengurangi resiko kematian daripada menunggu akut. Masa inkubasi dalam tubuh manusia

sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri

kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.

Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis

ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:7

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:

- Uji bending positif

- Petekie, ekimosis, purpura.

- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari tempat

lain

- Hematemesis atau melena

Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan niali

hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa, perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada

DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Selain itu perbedaan yang paling utama adalah pada

demam dengue tidak ditemukan manifestasi perdarahan pada pasien. Pada kulit pasien dengan

demam dengue hanya tampak ruam kemerahan saja sementara pada pasien demam berdarah

dengue akan tampak bintik bintik perdarahan. Selain perdarahan pada kulit, penderita demam

berdarah dengue juga dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus dan lain lain

Pada kasus ini yang terjadi adalah dengue syok syndrome yang merupakan demam dengue

yang didertai syok, gejala-gejala syok yaitu nadi cepat dan kecil, ujung-ujung tangan dan kaki

dingin, tekanan darah turun atau hilangnya kesadaran dari si sakit. Pada kondisi ini biasanya si

sakit tidak panas sebagaimana gejala sebelumnya. DSS ini sering terjadi pada hari ke-4 hingga

ke-7 periode sakit. Bentuk penyakit inilah yang paling sering menyebabkan kematian.1-3

12

Page 13: Cath - Sken 4 - DSS

Diagnosis Banding

1. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala

berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah

mempunyai ciri-ciri merah terang, patekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah

badan-pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain

itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-

muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Demam berdarah umumnya lamanya

sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa

demam.

2. Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, neri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan

epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu

kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang

berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.

Etiologi dan penularannya

Etiologi dari syok hipovolemik adalah pendarahan masif akibat luka

tusuk atau pendarahan traktus gastrointestinal. Sedangkan etiologi dari

Dengue Syok Syndrom adalah oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus,

keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam

ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya

dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan

13

Page 14: Cath - Sken 4 - DSS

di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi silang anatara

serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West

Nile virus.

Sedangkan David bylon (1779) melaporkan bahwa epidemiologi dengue di Batavia

disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu virus, manusia, dan nyamuk.Vektor utama penyakit

DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah

pedesaan).

Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat

menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Menurut

laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya.

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air

liurnya, dan jika nyamuk menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air

liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang

tersebut akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam

tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.

Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak smeuanya akan sakit demam

berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau

bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus

dengue selama satu minggu sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah

yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.

Penyebaran penyakit DBD di JAwa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April dan Mei.

Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD antara lain:

Imunitas pejamu

Kepadatan populasi nyamuk

Transmisi virus dengue

Virulensi virus

Keadaan geografis setempat

Faktor penyebaran kasus DBD antara lain:

14

Page 15: Cath - Sken 4 - DSS

Pertumbuhan penduduk

Urbanisasi yang tidak terkontrol

Transportasi

Epidemiologi

Syok hipovolemik merupakan kondisi yang terjadi jika pendarahan

berlangsung tidak terkendali. Orang lanjut usia yang mengkonsumsi

antikoagulan merupakan kelompok yang sering mengalami syok

hipovolemik. Begitu juga pada kelompok trauma penetrans dengan

pendarahan akut dan pendarahan traktus gastrointestinum.

Pada kasus demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan

subtropics, khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II

menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik. Terutama

yang berbahaya dan kasus yang sering mengakibatkan kematian adalah jika terdapat keadaan

syok yang tidak ditangani dengan segera.

Patofisiologi

Syok Hipovolemik

Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk

meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak

melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan

energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi, tapi kedua sel organ

itu tidak mampu menyimpang cadangan energi. Keduanya sangat bergantung akan

ketersediaan oksigen dan nutrisi, tetapi sangat rentan terganggu bila terjadi iskemia yang berat

untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika Mean Arterial

Pressure jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di

semua organ akan terganggu.2,3

Otot polos pembuluh arteriol memiliki reseptor adrenergik α dan β. Reseptor α1

memediasi vasokontriksi, sementara reseptor β2 memediasi vasodilatasi. Serat simpatis eferen

15

Page 16: Cath - Sken 4 - DSS

melepaskan norepinefrin, yang bekerja pada reseptor α1 sebagai salah satu respon kompensasi

paling fundamental pada penurunan tekanan perfusi. Substansi konstriktor lain yang juga

meningkat jumlahnya pada mayoritas bentuk syok termasuk angiotensi II, vasopressin,

endothelin 1, dan tromboksan A2. Baik norepinefrin dan epinefrin dilepaskan oleh medulla

adrenal, dan konsentrasi katekolamin tersebut pada aliran darah meningkat. Vasodilator yang

bersirkulasi pada syok termasuk prostasiklin (prostaglandin I2, nitrat oksida (NO), dan yang

juga penting adalah produk metabolisme local, seperti adenosin. Keseimbangan antara

berbagai jenis vasokontriktor dan vasodilator mempengaruhi perubahan mikrosirkulasi yang

menentukan perfusi setempat.

Respon selular

Transport nutrien intersisial terganggu pada syok, mengakibatkan penurunan

penyimpanan intraselular fosfat tinggi-energi. Disfungsi mitokondria dan uncoupling

(pelepasan) fosforilasi oksidatif adalah penyebab yang paling mungkin dari penurunan jumlah

ATP. Sebagai konsekuensinya, terdapat akumulasi ion hidrogen, laktat, dan produk

metabolisme anaerob lain. Seiring dengan syok yang berlanjut, metabolis vasodilator tersebut

meningkatkan tonus vasomotor, menyebabkan hipotensi dan hipoperfusi yang lebih parah.

Potensial transmembran selular menurun, dan terdapat asosiasi peningkatan pada sodium dan

air intraselular, menyebabkan pembengkakan sel, dimana menganggu perfusi mikrovaskular.

Juga terdapat peningkatan apoptosis sel yang acak tetapi selektif, yang berkontribusi pada

kerusakan organ dan imun.6

Neuroendokrin 1

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan

kemoreseptor, yang berkontribusi pada respon otonom untuk mengembalikan volume darah,

mempertahankan perfusi sentral, dan mobilisasi substrat metabolik. Hipotensi tidak

menghambat pusat vasomotor, mengakibatkan peningkatan pengeluaran adrenergik dan

menurunkan aktivitas vagal. Pelepasan norepinefrin dari neuron adrenergik menimbulkan

vasokonstriksi perifer dan splanknik, kontributor utama dalam mempertahankan perfusi organ

sentral, sementara penurunan aktivitas vagal meningkatkan denyut jantung dan cardiac output.

Efek dari sirkulasi epinefrin yang dikeluarkan oleh medula adrenal pada syok mayoritas

metabolik, menyebabkan peningkatan glukogenolisis, dan glukoneogrenesis, dan menurunkan

16

Page 17: Cath - Sken 4 - DSS

pelepasan insulis pankreas. Epinefrin juga menghambat produksi dan pelepasan mediator

inflamasi lewat stimulasi reseptor beta adrenergik sel imun innate.

Kardiovaskular

Tiga variable seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan

kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,

penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi

jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel yang pada akhirnya

menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun

memiliki keterbatsan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.

Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan

absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini

memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki

nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.3 

Demam Berdarah Dengue

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis

berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.7

Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a) respons

humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis

yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat

replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent

enchancement (ADE); b) limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan

dalam respon imum seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan

memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5,

IL-6 dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi

antibodi. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi

sitokin oleh makrofag; d) selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya C3a dan C5a.

17

Page 18: Cath - Sken 4 - DSS

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang

menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang

berbededa. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan

konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;

menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis

kompleks virus antibodi non netralisasi shingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya

infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga

diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit

sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating

factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi

kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi

yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum

tulang dan 2) destruksi dan pemendekan massa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang

pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.

Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk

megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai

mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui

peningkatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses

koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme

gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan

petanda degranulasi trombosit. 8

Koagulapati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan

disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada

demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue

terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik *tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan

melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).7,8

18

Page 19: Cath - Sken 4 - DSS

Penatalaksanaan

Syok hipovolemik

Mengontrol pendarahan yang sedang berlangsung merupakan

komponen yang esensial dari resusitasi cairan pada pasien syok. Pada

pasien trauma, pemberian cairan kristaloid dini diharapkan mengembalikan

kemampuan perfusi tubuh dan fungsi fisiologis tubuh. Resusitasi cairan

yang pertama kali diberikan adalah 1 L bolus intravena salin normal, Ringer

laktat, atau cairan isotonik kristaloid lainnya pada dewasa.9 Untuk anak-

anak, resusitasi mula-mula adalah 20 ml/kgBB Ringer laktat. Akan tetapi,

pada pasien yang tidak merespon resusitasi cairan perlu dicurigai adanya

pendarahan internal yang tidak tampak pada pemeriksaan fisik serta

membutuhkan tindakan operatif segera untuk eksplorasi dan

menghentikan pendarahannya. Tiga poin utama dalam penatalaksanaan

syok hipovolemik adalah menjaga jalan napas, mengontrol volum darah

yang hilang, dan resusitasi cairan secara intravena. Jika tidak ada

perbaikan pada perfusi jaringan setelah pemberian 1-2 kristaloid, maka

pemberian packed red cells dengan salin normal merupakan pilihan.2,9

Demam Berdarah Dengue

Perbedaam patofiologik utama antara DD/ DBD/ DSS dan penyakit lain, ialah adanya

peningkatan permeabilotas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan

hemostasis. Gambaran klinis DBD/ DSS sangat khas, yaitu demam tinggi mendadak, diastesis

hemoragik, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada

bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)

yang merupakan fase awal terjaidnya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis

disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak

pada pengenalan awal terjadinya kegagalan sirkulasi, yang dapat diketahui dari peningkatan

kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari

sakit ke tiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000 /ul atau < 1-2 trombosit/LPB

(rata-rata hitung pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi

penurunan suhu. Peningkatan hematokrit ≥ 20% mencerminkan perembesan plasma dan

19

Page 20: Cath - Sken 4 - DSS

merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume

plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau ringer laktat, yang kemudian dapat

disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat

diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang

terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000 /ul. Secara umum pasien DBD derajat

I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit tipe D, C dan ruang rawat sehari di rumah

sakit B dan A.

Fase demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat

simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan

oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang

berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang

diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahawa antipiretik tidak mengurangi lama demam pada

DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39°C dengan

dosis 10-15 mg/kgBB/kali. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat

demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh

manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kg berat badan

dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumutan

80-100 ml/kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetapi harus

diberikan di samping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan

antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang

mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari

ke 3-5 fase demam. Pemerikasaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan

laboratorium yang terbaik untuk monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat

kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya

terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematrokrit harus

diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana

pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai

alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.

Penggantian volume plasma

20

Page 21: Cath - Sken 4 - DSS

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan

suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya adalah penggantian

volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan

bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama,

sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48

jam berikutnya harus disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume

urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran

plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumutan ditambah 5-8%.

Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum,

demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya

dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat

pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan

kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila

terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi

0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa ditambah ¼

natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih, maka

komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi

cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,

yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%).

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat

badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang

terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak

umur yang sama.

Misalnya untuk anak berat badan 40kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + ( 50 x 20)

= 2500ml. Jumlah cairan rumutan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan

perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu

turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan

plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapatkan perhatian

bahwa penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma

berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula pada

21

Page 22: Cath - Sken 4 - DSS

saat fase konvalesens terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru

dan distres pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan.

Pasien harus dirawat dengan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu

gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi

menyempit (20 mmHg atau kurang ) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar

hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan

intravena.

Jenis cairan

Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer laktat (RL)

atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5%

dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali.

Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama,

yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat

mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.

Penggantian volume plasma segera

Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan

dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum dapat

teratasi dan/ atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan

diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kg berat badan/jam, dengan jumlah

maksimal 30 ml/kg berat badan. Setelah terjadi perbaikan,segera cairan ditukar kembali dengan

kristaloid dengan tetesan 20 ml/kg berat badan. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi

kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah

terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit

tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kg berat badan/jam), tetapi

apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kg berat badan. Setelah keadaan klinis

22

Page 23: Cath - Sken 4 - DSS

membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar

hematokrit.

Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda bital telah membaik dan kadar

hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg berat badan/jam, dan

kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.

Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS berat, untuk mengetahui kebutuhan

cairan.

Cairan itravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah

urin 12 ml/kg berat badan/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi

membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.

Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai

dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan

menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan

hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi

disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital

baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/ DSS, maka

pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.

Apabila asisodis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular

coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila

penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan

natrium bikarbonat, maka perdarahan akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak

diperlukan.

Sedatif

23

Page 24: Cath - Sken 4 - DSS

Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan pasien.

Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat hepatotoksik. Kloral hidrat diberikan per

oral atau per rektal dengan dosis 12,5 - 50 mg/kg berat badan (tidak melebihi 1 gram). Keadaan

gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah

pemberian cairan secara adekuat.

Pemberian oksigen

Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.

Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada

anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross-macthing harus dilakukan pada setiap pasien

syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah

diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui

perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan

hematokrit (misalnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan

yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan

untuk menaikan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi trombosit

berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif. DIC biasanya terjadi

pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian.

Pemerikasaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin dan

fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi

terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan

prognosis.

Kelainan ginjal

Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah

benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam,

sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1

mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,

24

Page 25: Cath - Sken 4 - DSS

dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum

dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu

dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk

menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah nadi,

tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering,

sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan

klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai

jeniscairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu

makan membaik, tanpa perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok

teratasi, jumlah trombosit > 50.000 /ul dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai distres

pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Ruang rawat khusus untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya

dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang

perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar

hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan

merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh

orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan

secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. 10

Manifestasi klinis

Syok Hipovolemik

25

Page 26: Cath - Sken 4 - DSS

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik baik akibat perdarahan

ataupun bukan perdarahan adalah sama, meskipun ada sedikit perbedaan dalam kecepatan

timbulnya syok. Respons fisiologis yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak

dan jantung sambil terus berusaha memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif.

Hal tersebut menyebabkan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena

yang kolaps, pelepasan hormon stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh

darah dengan menggunakan cairan intersisisal, intraselular dan menurunkan produksi urin.

Tanda klinis yang cukup dapat diandalkan dalam menilai syok hipovolemik adalah

perfusi kulit. Pada syok ringan atau kelas 1 (<20% volume darah yang hilang), mekanisme

kompensasi mungkin masih dapat mempertahankan kecukupan perfusi dan tidak terdapat tanda

– tanda pada kulit dan fisiologi yang terlihat. Pada syok sedang atau kelas 2 (20-40%

kehilangan darah), kulit pada ekstrimitas menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat

vasokonstriksi dan lepasnya epinefrin.tekanan sistol seringkali dapat dipertahankan pada

keadaan sekitar normal, tetapi output urin biasanya berkurang. Pada syok berat atau kelas 3

(>40% darah yang hilang), perubahan ini-khususnya diaphoresis-menjadi lebih terlihat, dan

output urin menjadi sangat menurun. Hipotensi terjadi. Ditambah lagi, perubahan fungsi

cerebral tampak jelas, yaitu agitasi, disorientasi, dan hilangnya ingatan. Pada syok kelas 4,

hipotensi disertai dengan anuria dan kehilangan kesadaran. Pada situasi ini, resussitasi cepat

dengan kristaloid dan transfuse darah diperlukan untuk mencegah kematian.

Syok hipovolemik di diagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan

hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan

tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi

penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan

hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian

cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya

perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini

semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia. Harus dibedakan syok akibat

hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya sama-

sama memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi tanda

syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki, dan gallop S3 yang membedakannya

dari syok hipovolemik.

26

Page 27: Cath - Sken 4 - DSS

Demam Berdarah Dengue

Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:8

Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.

Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leed (+) mulai dari petekie (+) dampai

perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah-hitam.

Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 µL), hematokrit

meningkat (normal: pria <45, wanita <40).

Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).

Gambaran Klinis secara menyeluruh (klinik dan laboratories) :

1. Masa inkubasi biasanya berkisar antara 4 – 7 hari

2. Demam  tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2 – 7 hari. Panas dapat turun

pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak

turun.

3. Tanda-tanda perdarahan3

Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji

Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi

perdarahan sebagai berikut: Petekie, Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva,

Epistaksis, Pendarahan gusi, Hematemesis, Melena dan Hematuri. Petekie sering

sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk.

Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji

Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai

presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari

pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita DBD. Namun uji Tourniquet

positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya),

infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan

positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5×2,5 cm) di

lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti)

4. Pembesaran hati (hepatomegali)11

Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit

Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit

27

Page 28: Cath - Sken 4 - DSS

Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.

5. Renjatan (syok)

Manifestasi syok secara umum : 12

Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki

Penderita menjadi gelisah

Sianosis di sekitar mulut

Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba

Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.

Manifestasi syok pada anak terdiri atas:

a) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung

sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien

yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.

b) Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun

menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

c) Perubahan nadi, baik frekuensi maupun aplitudonya. Nadi menjadi cepat dan

lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

d) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.

e) Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

f) Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri

renalis.

6. Trombositopeni12

Jumlah trombosit 100.000/•l biasanya ditemukan diantara hari ke 3 – 7 sakit

Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bag. Hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit)

Peningkatnya nilai hematokrit (Ht) menggambarakan hemokonsentrasi selalu

dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma,

sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala.

Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit.

Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit > 20% (misalnya 35% menjadi

28

Page 29: Cath - Sken 4 - DSS

42%: 35/100 x 42 = 7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler

dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit

dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit

>20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai

setelah pemberian cairan.5,6

7. Gejala klinik lain

Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia,

lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang

Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran

sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis

Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan

gastrointestinal dan renjatan

Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik terjadi akibat penatalaksanaan yang

tidak dipantau dengan benar. Edema paru dan serebri dapat terjadi

mengakibatkan gangguan pernapasan dan perubahan status kesadaran.7,8

Sedangkan pada tatalaksana syok harus dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien

dapat masuk dalam syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak

dapat diraba. Lama syok singkat; pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau

menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis

metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.dan

komplikasi dari dengue syok yang paling sering menyebabkan kematian

adalah edema paru dan ensefalopati dengue yang terjadi oleh karena syok

yang berkepanjangan Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, (begitu pula kasus syok berat)

masa penyembuhan cepat sekali terjadi bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh

dalam waktu 2-3 hari dan selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.10

Prognosis

29

Page 30: Cath - Sken 4 - DSS

Prognosis dari syok hipovolemik bergantung dari resposivitas pasien

terhadap resusitasi. Jika merespon resusitasi, prognosisnya baik. Jika tidak,

prognosisnya buruk.Sedangkan prognosis dari dengue syok bonam jika penanganan

syok dilakukan dengan tepat dan segera. Berdasarkan kasus yang pernah ada, kematian terjadi

pada 40-50% penderita syok, tetapi dengan pengobatan yang adekuat, dapat diturunkan hingga

kurang dari 2%. Kebehasilan bergantung dari penatalaksanaan intensif dan dini.4,10

PENUTUP

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan

diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya

dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan

di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi silang anatara

serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West

Nile virus.

Fokus utama pada masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah pencegahan.

Pembenahan kebersihan sekitar lingkungan sekitar kita akan sangat membantu pencegahan

terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue. Dengan lingkungan bersih, maka

akan tercipta hidup sehat tanpa adanya penyakit baik DBD ataupun penyakit lainnya.11

Demam berdarah dengue harus dideteksi secara dini melalui pemeriksaan fisik bahkan

pemeriksaan penunjang lain. Tujuan diagnosis dini tersebut adalah untuk mencegah agar tidak

terjadi keadaan kegawatdaruratan atau syok bahkan komplikasi lainnya. Dimana demam

berdarah dengue ini dapat menjadi dengue shock syndrome, yang merupakan demam berdarah

dengue yang disertai dengan gejala-gejala syok yaitu nadi cepat dan kecil, ujung-ujung tangan

dan kaki dingin, tekanan darah turun atau hilangnya kesadaran dari si sakit. Pada kondisi ini

biasanya si sakit tidak panas sebagaimana gejala sebelumnya. DSS ini sering terjadi pada hari

ke-4 hingga ke-7 periode sakit. Bentuk penyakit inilah yang paling sering menyebabkan

kematian.1-3

30

Page 31: Cath - Sken 4 - DSS

DAFTAR PUSTAKA

1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah

Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI; 2001.

2. Bresler MJ. Syok. Dalam : Manual kedokteran Darurat. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006. H.

2-9.

3. Bronicardi FC, et al. Schwartz’s principle of surgery. Edisi 8. USA:

McGraw-Hill; 2005. Hal. 85-165.

4. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan

Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.

5. Bastiansyah, Eko. Panduan lengkap: membaca hasil test kesehatan. Jakarta: Penebar Plus;

2008.h.45-7.

6. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah

dengue:panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.h.41-5.

7. Nelson. Dengue Syok Sindrom. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. EDISI 12 Bagian 2.

Jakarta : EGC; 2005. H. 296-8.

8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.

9. Bronicardi FC, et al. Schwartz’s principle of surgery. Edisi 8. USA:

McGraw-Hill; 2005. Hal. 85-165.

10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Hipoksia. Dalam : Prinsip-

prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.

H. 207

11. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.

Jakarta: Erlangga,2008. h.59-63.

12. Soedarmo S.S.P, Garna H, Hadinegoro S.R.S, Satari H.I. Buku ajar infeksi dan pediatri

tropis. Jakarta: EGC,2008. h.157-9

31

Page 32: Cath - Sken 4 - DSS

32