74257408 sepsis siap print
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

Pendahuluan
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan
perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta
kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari
pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal
dari negara berkembang. World Health Organization melaporkan case fatality rate yang
tinggi pada kasus sepsis neonatorum , yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor
risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. Angka
kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik. 1,2
Angka kejadian sepsis neonatorum adalah 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan
data dari The National Institute of Child Health and Human Development Neonatal Research
Network, insiden tertinggi sepsis neonatorum ditemukan pada bayi dengan berat badan lahir
sangat rendah. Insiden sepsis awitan dini adalah 15-19 per 1000 kelahiran hidup dan sepsis
nosokomial awitan lambat sebanyak 21% kasus.3 Angka kejadian sepsis di negara
berkembang masih cukup tinggi (1,8-18/1000) dengan angka kematian sebesar 12-68%,
sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar 1-5 pasien per 1000 kelahiran
hidup dengan angka kematian 10,3%. 1,2 Penelitian terkini di Malaysia melaporkan angka
sepsis neonatorum 5-10% dengan tingkat kematian 23-52%. Di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) dalam periode Januari-September 2005, angka kejadian sepsis
neonatorum sebesar 13,68% dari seluruh kehidupan dengan tingkat kematian sebesar
14,18%. 4
Menegakkan diagnosis sepsis pada neonatus tidak mudah karena gejala dan tanda
yang tidak spesifik, dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh non infeksi.
Pembuktian infeksi dengan biakan darah sering tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Keterlambatan pengobatan akan memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan
kematian. Sebaliknya penanganan yang berlebihan akan meningkatkan penggunaan antibiotik
dan lamanya rawat inap di rumah sakit. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengenal dan
menatalaksana sepsis neonatorum.1,4
Definisi
1

Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat, invasive yang di tandai
dengan di temukannya bakteri dalam cairan tubuh, seperti darah, sumsum tulang dan air
kemih.
Sepsis neonatal merupakan syndrome klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi satu bulan
pertama kehidupan. Bakteri,virus,jamur dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru
lahir
Fetus dan neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Ada tiga jalur utama terjadinya infeksi
perinatal
1. Infeksi transplasental
2. Infeksi asendens dengan disertai rusaknya barier plasenta ( misalnya infeksi bakteri
setelah 12- 18 jam selaput amnion pecah) dan
Infeksi yang didapat saat bayi melewati jalan lahir yang telah terinfeksi atau terpapar
Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat menyebabkan infeksi
berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda
antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri
ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi penyebab
utama dari sepsis neonatorum.
Mikroorganisme tersering yang menyebabkan timbulnya sepsis awitan dini adalah group B
Streptococcus (GBS), Eschericia Coli, Coagulase-negative Staphylococcus,Haemophilus
influenzae, and Listeria monocytogenes.3 sedangkan di negara berkembang termasuk
Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif. Mikroorganisme
penyebab sepsis awitan lambat diantaranya, coagulase-negative staphylococci,
Staphylococcus aureus, E coli, Klebsiella,Pseudomonas, Enterobacter, Candida, GBS,
Serratia, Acinetobacter, dan bakteri-bakteri anaerob.7,8 Di negara maju, coagulase-negative
staphylococci dan Candida albicans merupakan penyebab utama sepsis awitan lambat,
sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang gram negatif
(E.Coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).1 Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-
turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli
2

2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti
Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).2
Tabel 3. Jenis mikroorganisme penyebab sepsis neonatorum5
KLASIFIKASI
Sepsis neonatorum dibagi menjadi dua bagian yang dibedakan menurut waktu atau usia
timbulnya gejala, yaitu:1,2,3
a. Sepsis awitan dini. Timbulnya gejala sepsis segera dalam periode postnatal (kurang
dari 72 jam). Sepsis awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran
hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50% Gejala melibatkan multi sistem
dengan gangguan pernafasan paling dominan. Pada umumnya bayi dengan sepsis
awitan dini berkontak dengan mikroorganisme selama proses persalinan melalui
traktus genitalia ibu. Kolonisasi mikroorganisme patogen dapat terjadi sejak periode
perinatal. Beberapa mikroorganisme patogen seperti treponema, virus, listeria dan
bahkan Candida dapat menyebar ke plasenta secara hematogen. Penyebaran
mikroorganisme lain dapat terjadi pada saat proses persalinan. Bakteri patogen dan
flora normal vagina dapat mencapai cairan amnion dan janin bila selaput ketuban
pecah. Korioamnionitis menyebabkan kolonisasi mikroorganisme pada janin dan
terjadinya infeksi. Timbulnya gejala gangguan pernafasan pada bayi disebabkan
karena bayi mengalami aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Kolonisasi
mikroorganisme dapat terjadi di tempat lain seperti kulit, nasofaring, orofaring,
3

konjungtiva dan tali pusat. Trauma pada permukaan mukosa dapat menyebabkan
terjadi nya infeksi. Sepsis awitan dini ditandai oleh adanya gejala sepsis yang muncul
tiba-tiba dan berat sehingga dapat berkembang dengan cepat menjadi syok septik dan
kematian.
b. Sepsis awitan lambat. Timbulnya gejala sepsis lebih dari 72 jam. Sepsis awitan
lambat pada umumnya lebih ringan, namun suatu saat dapat menjadi berat. Sepsis
biasanya tidak berhubungan dengan komplikasi persalinan. Fokus infeksi yang
menyebabkan bakteriemia dapat diidentifikasi. Meningitis merupakan gejala klinis
paling sering menyertai sepsis. Bakteri yang bertanggung jawab sebagai penyebab
sepsis awitan lambat dan meningitis. Alasan yang menyebabkan gejala klinis sepsis
awitan lambat berkembang lebih lambat, keterlibatan infeksi susunan saraf pusat dan
gejala infeksi sistemik serta kardiorespirasi yang lebih ringan sampai saat ini masih
belum jelas. Transmisi secara horisontal memegang peranan yang besar,kontak yang
erat dengan ibu yang menyusui,dan penularan transmisi secara nosokomial.Yang
paling utama penyebab faktor resiko didapatkannya nosokomial sepsis adalah
penggunaan lama kateter plastik intravaskuler, penggunaan prosedur invasif,
pemakaian antibiotik, perawatan yang lama di rumah sakit,kontaminasi dari peralatan
laboratorium pendukung, cairan intravena atau enteral,dan peralatan yang
terkontaminasi. Bagaimanapun,situasi yang meningkatkan paparan neonatus terhadap
mikroorganisme menghasilkan peningkatan yang tinggi terhadap infeksi nosokomial
dalam perawatan.
Tinjauan Immunologis Neonatus
Jika dibandingkan dengan orang dewasa, fungsi sistem imun neonatus memiliki kekurangan
pada beberapa aspek antara lain: tipe-tipe antibodi spesifik, fungsi bakterisidal dan fagositik,
opsonosasi, komplemen yang bersirkulasi, serta kemampuan untuk meningkatkan produksi
neutrofil sebagai rerspon terhadap infeksi. Kadar serta fungsi monosit pada neonatus sama
dengan orang dewasa; namun demikian, aktivitas kemotaksis makrofag terganggu dan
berlanjut dengan penurunan fungsinya sampai masa kanak-kanak awal. Jumlah makrofag di
paru-paru, limpa, serta hepar menurun. Aktivitas kemotaksis, bakterisidal, serta pemaparan
antigen tidak sempurna baik. Jumlah sitokin yang diproduksi oleh makrofag juga berkurang,
yang mana dapat berhubungan dengan penurunan jumlah produksi sel-T.
4

Sel-T ditemukan dalam sirkulasi janin pada awal kehamilan dan jumlahnya meningkat saat
kelahiran sampai usia sekitar 6 bulan. Namun, sel ini banyak yang immatur dan tidak
bertahan lama. Neonatus kekurangan fenotip sel-T dengan sel memori pada permukaannya.
Namun demikian, jumlah sel-T ini bertambah dengan makin maturnya neonatus serta dengan
stimulus paparan antigen. Sel-T neonatus yang masih naïf ini belum dapat langsung
berproliferasi bila diaktivasi seperti pada sel-T orang dewasa. Selain itu, sel-T neonatus ini
belum secara efektif memproduksi sitokin saat terjadi stimulasi dan diferensiasi oleh sel-B,
serta stimulasi sum-sum tulang oleh granulosit/monosit. Keterlambatan pembentukan fungsi
memori terhadap antigen spesifik mengikuti terjadinya infeksi primer. Fungsi sitotoksik sel-T
neonatus kurang lebih 50-100% sama efektifnya dengan sel-T orang dewasa.
Kekebalan pasif terhadap beberapa jenis organisme didapatkan melalui IgG yang ditransfer
melalui plasenta selama trimester III kehamilan. Kadar IgG antibodi dalam darah bayi cukup
bulan setara dengan kadar antibodi tersebut dalam tubuh ibunya. Maka dari itu, bayi-bayi
yang lahir prematur khususnya yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu, tentu
tidak memiliki antibodi ini secara mencukupi. Bila sistem imun ibu tersupresi
(immunosuppressed mother), maka tentu akan sangat mungkin bahwa jumlah IgG yang
ditransmisikan kepada janinnya juga rendah. Janin dapat mensintesis IgM pada usia
kehamilan 10 minggu; namun levelnya sangat rendah saat lahir, kecuali jika janin terpapar
agen infeksius selama kehamilan. Hal tersebut akan menstimulasi peningkatan produksi IgM.
IgG dan IgE juga dapat disintesis oleh janin dalam kandungan namun jumlahnya dalam darah
pada saat lahir hanya sedikit. Neonatus mendapatkan IgA melalui ASI dan mulai
mensekresikan IgA pada usia 2-5 minggu. Respon terhadap antigen polisakarida berkurang
dan tetap demikian sampai 2 tahun pertama kehidupan.
Pada neonatus, kemampuan kemotaksis dan kapasitas neutrofil neonatal serta leukosit PMN
untuk mengeliminasi antigen mengalami penurunan. Berkurangnya adhesi sel-sel ini pada
pembuluh darah mengurangi kemampuannya untuk berdiapedesis meniggalkan pembuluh
darah menuju ke jaringan. Selain itu juga, PMN pada neonatal kurang dapat bergerak melalui
matriks ekstraselular jaringan untuk mencapai lokus inflamasi dan infeksi. Kemampuan PMN
untuk memfagositosis dan membunuh bakteri terganggu saat bayi itu sakit. Yang terakhir,
cadangan neutrofil dengan mudah terdeplesi karena sum-sum tulang kurang responsif,
khususnya pada bayi prematur.
5

Natural killer (NK) cells ditemukan dalam jumlah yang lebih besar pada darah tepi neonatus
dibandingkan orang dewasa; namun kemampuannya berkurang dalam hal mengekspresikan
antigen pada membran sel. Respon yang berkurang ini ditemukan pada infeksi herpes virus
pada neonatus.
Janin mulai dapat memproduksi protein komplemen pada usia kehamilan 6 minggu.
Komposisi komponen komplemen ini sangat bervariasi pada tiap neonatus. Aktivitas
komplemen pada neonatus dalam membunuh organisme, khususnya bakteri Gram-negatif,
masih kurang efisien. Hal ini terutama terjadi pada bayi-bayi prematur. Aktifitas sistem
komplemen mulai matang pada usia 6-10 bulan. Fibronectin, suatu protein serum yang
diinduksi dengan penempelan neutrofil serta memiliki aktivitas opsonisasi, ditemukan dalam
kadar yang rendah pada neonatus. Karena itulah, efisiensi serum neonatus rendah dalam
mengopsonisasi agen infektif.
PATOGENESIS
Dalam dekade terakhir telah diajukan konsep baru patogenesis infeksi yang dikenal
dengan “systemic inflammatory response syndrome”(SIRS). Istilah ini dipakai pada pasien
yang memperlihatkan gejala klinis infeksi dengan respon sistemik seperti takikardia,
takipneu, hipertermia atau hipotermia (Tabel 1). Pada stadium lebih lanjut, dalam cascade
inflamasi ini terjadi perubahan fungsi berbagai organ tubuh yang disebut Multi Organ
Dysfunction Syndrome (MODS). Konsep ini menggambarkan patofisiologi baru dalam
cascade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut sebelumnya. 1,2
6

Tabel 1. Kriteria SIRS4
Usia Neonatus Suhu Laju nadi /menit Laju
nafas /menit
Jumlah
leukosit x
103/mm3
0-7 hari >38,5 atau <36
C
>180 atau <100 > 50 >34
7-30 hari >38,5 atau <36
C
>180 atau <100 > 40 >19,5 atau < 5
Catatan: definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel
(salah satu diantaranya adalah kelainan suhu dan leukosit)
Pada International Consensus Conference on Pediatric sepsis di San Antonio Texas USA
(2002) telah dicapai suatu kesepakatan mengenai definisi SIRS, MODS, Sepsis, Sepsis Berat,
dan syok Sepsis (Tabel 2). Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatus
ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)
atau terbukti infeksi (proven). Berbagai respon sistemik dapat ditemukan pada SIRS, antara
lain perubahan sistem hematologi, sistem imun tubuh, dan lain-lain.2,5
Tabel 2. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok sepsis5
Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila
ditemukan kuman penyebab atau Tersangka
infeksi (suspected infection) bila terdapat
sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain)
Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau
tersangka
Sepsis Berat Sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskuler atau disertai gangguan nafas
akut atau adanya gangguan dua organ lain
7

(seperti gangguan neurologi, hematologi,
urogenital dan hepatologi
Syok Sepsis Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah
sistolik < 65 mmHg pada bayi < 7 hari dan
<75 mmHg pada bayi 7-30 hari)
Salah satu perubahan yang timbul pada SIRS ialah terjadinya perubahan fisiologis
sistem imun baik humoral maupun seluler. Perubahan tersebut terjadi dalam upaya
mengimbangi atau melakukan reaksi eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai
komplemen dan antibodi. Salah satu proses yang terjadi adalah terbentuknya sitokin. Sitokin
berfungsi sebagai regulator reaksi tubuh terhadap infeksi, inflamasi atau trauma. Sebagian
sitokin (Pro inflammatory cytokine seperti IL-1, IL-2 dan TNF-α) dapat memperburuk
keadaan penyakit, tetapi sebagian lainnya (anti inflammatory cytokine seperti IL-4 dan IL-10)
berfungsi menekan infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital tubuh. Dalam
berbagai penelitian dikemukakan bahwa produksi sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL-
1) dan TNF akan menimbulkan demam, proses inflamasi, dan destruksi jaringan. Bila
pembentukan terlalu berlebihan dapat menimbulkan syok septik (Gambar 1), disfungsi organ
dan kematian.1,2,6
8

Gambar 1. Patofisiologi syok septik7
Pada infeksi neonatus juga terdapat proses pembentukan sitokin. Kadar sitokin
proinflamasi (IL-2, IL-6, IFN-g, TNF-a) dan anti inflamasi (IL-4,IL-10) meningkat pada
neonatus dan peningkatan tersebut lebih tinggi pada bayi dengan infeksi sistemik dibanding
bayi tanpa infeksi. Keseimbangan homeostasis akan terganggu apabila terdapat dominasi
salah satu kelompok sitokin. Dominasi sitokin proinflamasi akan menimbulkan renjatan dan
disfungsi organ, sebaliknya sitokin antiinflamasi yang berlebihan akan terjadi supresi
terhadap sistem imun.1,6
Patofisiologi 9

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung
oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan beberapa faktor anti
infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat
timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membahaginya dalam 3 golongan, yaitu:
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk
ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab infeksi adalah virus yang
dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain: malaria, sipilis, dan
toksoplasma.
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan Sumber : Baltimore
R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723
INFEKSI INTRANATAL
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan.
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik
mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya
kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan,
kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port
10

de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman ( misalnya:
herpes genetalia, candida albicans, gonorrhea)
c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran, terjadi
akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat
penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau
dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka umbilikus
Bila paparan kuman pada kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi
respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh
yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien.
Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh
karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula
gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
11

Gambar : Mekanisme terjadi nya gangguan klinis
Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu. Meskipun
memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu respon sepsis
berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak
bergantung pada organisme penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai
dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri.
Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein
spesifik. dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-
LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan
mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi
12

sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag. Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis
melalui dua mekanisme, yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai
superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.
Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi
dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin
dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme
yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade
sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2.2). Mediator
inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini
akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik
melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui
sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4
di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan
sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi menjadi sel
T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi
seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β), IL-2, IL-6
dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -
13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan
balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun
untuk melawan kuman penyebab.
13

Gambar : Patofisiologi Cascade sepsis
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat membahayakan
dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti
inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan
mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin
proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak
langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet Activating
Factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag
terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ.
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk
melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga
berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor
pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi
pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
Faktor Risiko Sepsis
14

Faktor risiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24
jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis,
kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.15
2. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran
kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli,
dan komplikasi obstetrik lainnya.15
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
4. Kehamilan multipel.
5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.15
Faktor risiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah.
2. Dirawat di Rumah Sakit.
3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan
trauma pada proses persalinan.
4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,
pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau
asplenia.
6. Asfiksia neonatorum.
7. Cacat bawaan.
8. Tanpa rawat gabung.
9. Tidak diberi ASI.
10. Pemberian nutrisi parenteral.
11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.
15

13. Buruknya kebersihan di NICU.15
Faktor risiko lain:
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi dengan
status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada
tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di
NICU.27,42,46,48 Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih
menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya
perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor
risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian
khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya sepsis awitan dini adalah:4
a. Bayi lahir prematur atau berat badan lahir rendah (<2500 gram)b. Ibu mengalami demam dalam 2 minggu sebelum melahirkanc. Ketuban hijau,kental dan baud. Ketuban pecah lebih dari 18 jame. Lebih dari tiga kali pemeriksaan dalam vagina selama persalinanf. Partus lama dan persalinan dengan tindakang. Asfiksia perinatal (nilai Apgar <4 pada satu menit pertama)h. Bayi yang memerlukan tindakan resusitasi saat lahir.
Beberapa faktor-faktor risiko sepsis awitan lambat seperti berat badan lahir rendah,
prematuritas, prosedur invasif, terapi cairan parenteral, penggunaan ventilasi. Faktor-faktor
risiko lain yang meningkatkan kejadian sepsis awitan lambat seperti higiene yang kurang,
perawatan tali pusat kurang memadai, pemberian susu botol dan susu formula.Ada juga yang
membaginya menjadi faktor mayor-minor.2,4
Faktor mayor :
a. Ruptur membran ibu > 18 jam.
b. Ibu dengan demam intrapartum > 38°C,
c. Korioamnionitis.
d. Fetal takikardi > 160 kali /menit.
16

Faktor minor:
a. Ibu dengan demam intrapartum > 37,5°C.
b. Kehamilan kembar.
c. Bayi prematur
d. Ibu dengan leukositosis (hitung sel darah putih >15.000).
e. Ruptur membran > 12 jam.
f. Takipnea
g. Kolonisasi SGB pada ibu.
h. APGAR score yang rendah (<3)
i. Berat badan lahir rendah (<2500 gram)
j. Lochia berbau busuk.
Manifestasi Klinis
a. Sepsis awitan dini3,5,7,9,10
Tanda-tanda klinis muncul semenjak 6 jam kehidupan, mayoritas muncul pada 72 jam
pertama umur kehidupan. Tanda awal biasanya sering tidak spesifik dan tidak
diketahui.
Gejala diantaranya:
Hilangnya aktifitas spontan.
Poor sucking.
Apnea.
Bradikardi.
Suhu tubuh yang tidak stabil.
Distres pernafasan. Kebanyakan neonatus dengan early onset infeksi
menunjukkan gejala distres pernafasan yang sulit dibedakan dengan bentuk
HMD, pneumonia, atau penyebab lain dari kesulitan bernafas,dengan
penampilan seperti sianosis, dispneu, takipneu, apnea, retraksi epigastrium,
dan intercostal.
17

Gangguan kardiovaskuler. Bradikardi, pallor, penurunan perfusi, hipotensi.
Gangguan metabolik.Hipotermia,hipertermia,asidosis metabolik (ph <7,25)
Gangguan neurologik. Lethargi,hipotonia,penurunan aktifitas,seizures,jittery.
b. Sepsis awitan lambat
Gejala dan tanda-tanda klinis muncul >7 hari kehidupan.Transmisi secara horisontal
dapat dari yang lain (dari neonatus yang terinfeksi atau dari perawat kesehatan) atau
secara vertikal (dari ibu yang terlalu sering berdekatan).Tanda-tanda yang sering
biasanya demam,lethargi. Irritable, poor feeding, dan takipnea. Distres pernafasan
yang tidak begitu jelas.
Pemeriksaan Penunjang Sepsis
Dalam menentukan diagnosis sepsis, riwayat perinatal, pemeriksaan fisik, serta perjalanan
penyakit harus dievaluasi dengan cermat. Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis leukosit
umumnya bermanfaat walaupun tidak spesifik untuk sepsis. Adanya leukopenia (<> 0,2,
mengindikasikan prediksi yang mengarah kepada sepsis. Bila hal-hal tersebut tidak
ditemukan, maka kemungkinan sepsis adalah minim. Akurasi prediksi ini penting untuk
dibuktikan dengan reevaluasi dalam 8-24 jam. Trombositopenia, granul toksik, vakuolisasi,
dan badan Döhle merupakan perubahan lain yang dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan sepsis. Leukositosis dan neutrophilia bukan indikator yang baik untuk
kemungkinan sepsis.
Tes aglutinasi latex terhadap adanya antigen GBS umumnya dilakukan pada urin. Namun
demikian, positif palsu terjadi pada lebih dari 10% kasus. Pengukuran mikrosedimentation
rate, C-reactive protein, fibronectin, dan haptoglobin memiliki akurasi dan spesifisitas yang
rendah.
Pemeriksaan yang lebih lengkap mencakup radiografi thorax dan biakan darah. Pada bayi
dengan resiko tinggi, kurang dari 72 jam, dan asimtomatik, biakan urin dan spinal tap juga
perlu dilakukan. Bayi-bayi pada keadaan di atas biasanya tidak mungkin menderita
meningitits tanpa adanya hasil positif pada biakan darah. Meskipun demikian, walaupun
biakan darah sudah memberi hasil positif, LCS juga harus tetap diperiksa. Bila LCS positif
atau bila ada tanda yang jelas akan adanya meningitis walaupun dengan hasil biakan negatif,
18

pemberian terapi antibiotik harus diperpanjang. Setelah 72 jam pertama post partum atau
ketika ada kecurigaan kuat terhadap sepsis, aspirasi suprapubik dan LCS sebaiknya
dilakukan. Beberapa bayi dalam keadaan kritis, terutama bayi BBLR, dapat diberikan
antibiotik sebelum spinal tap dilakukan. Bila antibiotik sudah mulai diberikan, biakan harus
diinkubasikan selam 72 jam untuk menyediakan cukup waktu bagi organisme untuk
berkembang biak sebelum biakan dinyatakan negatif dan terapi antibiotik intravena
dihentikan. Hanya sekitar 82-90% biakan darah sensitif pada neonatus. Karena itu, dengan
adanya kecurigaan klinik yang cukup kuat terhadap sepsis serta jumlah leukosit yang
abnormal, bayi harus diterapi lengkap dengan antibiotikwalaupun dengan hasil biakan yang
negatif .
Pemeriksaan cairan serebrospinal umumnya sukar diinterpretasikan pada neonatus. LCS
normal dapat mengandung sampai 32 leukosit per mikroliter, dengan 60% sel PMN. Kadar
glukosa LCS bervariasi pada neonatus, namun secara umum 40% lebih tinggi dari kadar
glukosa dalam plasma. Protein dapat mencapai 180mg/dL atau lebih tinggi pada bayi
prematur. Organisme sebaiknya dilihat dengan pewarnaan Gram.
Diagnosis
Gejala klinis sepsis neonatorum sangat bervariasi sehingga diagnosis sepsis sulit
ditegakkan.11 Oleh karena itu, kriteria diagnostik sepsis pada neonatus tidak hanya
berdasarkan gejala klinis tetapi juga pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium
maupun pemeriksaan khusus lainnya. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan
perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum
dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel
perfusi jaringan dan variabel inflamasi.
Tabel 4. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus2,12
Variabel klinis
Suhu tubuh yang tidak stabil
Laju nadi >180 kali/menit atau <100 kali/menit
19

Laju nafas >60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa (plasma glukosa >10 mmol/l)
Intoleransi minum
Variabel hemodinamik
Tekanan darah <2SD menurut usia bayi
Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)
Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia <1 bulan)
Variabel perfusi jaringan
Pengisian kembali kapiler/ capillary refill > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/l
Variabel Inflamasi
Leukosistosis (> 34000 x 106/L)
Leukopenia (<5000 x 106/L)
Neutrofil muda > 10%
Netrofil muda/ total neutrofil (I/T ratio) > 0,2
Trombositopenia < 100 000 x 106/L
C Reactive Protein > 10 mg/dl atau >2SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau >2SD dari normal
IL-6 atau IL-8 > 70 pg/ml
16 S rRNA gene PCR: Positif
Penetapan interleukin sebagai salah satu kriteria diagnosis sepsis mempunyai arti
penting karena hal itu sesuai dengan respons sistemik yang terlihat pada pasien SIRS/FIRS.
Pembentukan sitokin ini bertambah penting artinya karena sitokin tidak hanya berperan
dalam regulasi proses inflamasi tetapi sekaligus dapat dipergunakan sebagai penunjang
diagnosis sepsis neonatorum. Kuster dkk (1998) melaporkan sitokin yang beredar di dalam
sirkulasi pasien sepsis dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis muncul. Pelaporan
20

ini sangat bermanfaat dalam manajemen pasien karena dengan demikian rencana pengobatan
sepsis dapat dilakukan dengan lebih dini sehingga pengobatan akan lebih efisien dan efektif
serta komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan.
Akhir-akhir ini pemeriksaan biomolekuler/ Polymerase Chain Reaction (PCR) juga
digunakan dalam menentukan diagnosis dini sepsis neonatorum. Dibandingkan dengan
biakan darah, pemeriksaan biomolekuler mampu lebih cepat memberikan informasi jenis
kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.2,7
Tata laksana
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan
mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan
optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak
diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotika secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab tersering yang ditemukan di klinik
tersebut. Selain pola kuman hendaknya diperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah
didapatkan hasil kultur darah, maka jenis antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab dan
pola resistensinya.1,2
Dalam kepustakaan dikemukakan bahwa kuman streptococcus Grup B dan kuman
gram positif lainnya masih sensitif terhadap penicillin (dosis 100.000-200.000 U/kgbb/hari)
atau ampisilin (dosis 100-200 mg/kgbb/hari). sedangkan kuman Listeria masih sensitif
dengan kombinasi antibiotik ampisilin dan aminoglikosid, serta golongan Pseudomonas
umumnya sensitif terhadap sefalosporin. Lamanya pengobatan sangat tergantung pada kuman
penyebab. Pada penderita yang disebabkan oleh kuman streptococcus dan listeria, pemberian
antibiotika dianjurkan selama 10-14 hari. sedangkan penderita yang disebabkan oleh kuman
gram negatif pengobatan kadang-kadang diteruskan sampai 2-3 minggu. Divisi perinatologi
RSCM menggunakan antibiotik golongan Ceftasidim sebagai antibiotik pilihan pertama
dengan dosis yang dianjurkan 50-100 mg/kgbb/hari (bergantung berat-ringannya gejala
sepsis) dan diberikan 2 kali sehari. Beberapa kuman gram negatif saat ini hanya sesnsitif
terhadap imipenem atau meropenem dengan dosis 25 mg/kgbb/dosis dengan pemberian 2 kali
sehari.1,2 Gambar 2 memperlihatkan protokol pemberian antibiotik pada sepsis.
21

Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan
sepsis neonatorum, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive therapy) banyak
dilaporkan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan atau terapi
inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya
fungsi pertahanan tubuh neonatus, juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi
dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatorum..
Gambar :Protokol tatalaksana sepsis8
Beberapa terapi inkonvesional yang sering diberikan antara lain:1,5,6,9,10
22

Pemberian imunoglobulin secara intravena (IVIG). Bertujuan untuk dapat
meningkatkan antibodi tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah
putih. Namun pemberian IVIG belum terbukti memberikan efek yang menguntungkan
terhadap penderita tersangka sepsis dan sepsis neonatorum.13
Pemberian Fresh frozen plasma (FFP). Pemberian FFp diharapkan dapat mengatasi
gangguan koagulasi yang diderita pasien. FFP juga mengandung antibodi, komplemen
dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun FFP
mengandung antibodi protektif tertentu namun pemberian FFP dengan tujuan
meningkatkan kadar proteksi pada bayi tidak akan banyak berfaedah.
Pemberian Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating Factor (G-CSF). G-CSF
secara langsung akan memperbanyak netrofil dalam sirkulasi akibat pelepasan netrofil
dari sum-sum tulang yang meningkat.
Transfusi tukar. Tindakan ini bertujuan untuk mengeluarkan/ mengurangi toksin atau
produk bakteri dan mediator penyebab sepsis, memperbaiki perfusi perifer dan
pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah, serta memperbaiki
sistem imun dengan adanya tambahan netrofil dan berbagai antibodi yang mungkin
terkandung dalam darah donor. Pelaksanaan tindakan ini sulit dan berpotensi
menimbulkan reaksi transfusi.
Tatalaksana imunologik. Adanya hipotesis yang menyatakan bahwa pengurangan
sirkulasi TNF-a dan IL-1 (sitokin proinflamasi) dalam sirkulasi akan menghambat
perkembangan cascade sepsis. Hipotesis ini dibuktikan dengan menyuntikkan reseptor
antagonis IL-1(IL-1ra) pada binatang percobaan dapat merintangi aktifitas IL-1
sehingga terhindar dari kematian akibat bakteriemia dan endotoksemia.
Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis, neonatus dengan meningitis dapat
menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular, hipoglikemia,
asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial dan
pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Selain itu ada komplikasi yang berhubungan dengan
penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal, komplikasi
akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan
sampai dengan retardasi mental dan komplikasi kematian.23

Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10-40 %. Angka tersebut berbeda-beda
tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen etiologik, derajat prematuritas bayi,
adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit
perawatan. Angka kematian pada bayi BBLR adalah 2 kali lebih besar. Dengan diagnosis dini
dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor
resiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis
terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4
kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada
sepsis awitan dini adalah 15 – 40% (pada infeksi SGB pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada
sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %).
Pencegahan Sepsis Awitan Dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.
Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap
6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset)
sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko
infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan
gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan
infeksi SGB sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis
atau ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin
intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu
yang pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.14 15
PENCEGAHAN SEPSIS
Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut2
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi
nosokomial antara lain :
Pemantauan yang berkelanjutan
24

Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan
jumlah pasien
Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai
Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan
Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral
Pemakaian kateter vena sentral yang minimal
Pemakaian antibiotik yang rasional
Program pendidikan
Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.14
Antibiotik Profilaksis
Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak dilakukan lagi.
Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor ibudan bayi. Antibiotik hanya
boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram tanpa memandang ke dua faktor
tersebut. Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian antibiotik
profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya penurunan insidens
terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative staphylococcal (CoNS) pada neonatus
yang mendapat profilaksis vankomisin. Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara
infus kontinyu. Namun, tidak ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat
menurunkan angka mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari
hasil analisis yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang
signifikan akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti
cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap
vankomisin.120 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat infeksi
intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan sampai tiga hari
pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum bayi lahir. Setelah itu,
antibiotik baru dapat diberikan.14
Indikasi pulang pada sepsis neonatorum
Pengobatan antibiotika telah selesai
Tidak ada tanda-tanda infeksi baik secara klinis maupun laboratoris
Keadaan umum baik
25

Dapat minum secara adekuat15
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny Noviyanti
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 29-07-2013
Jam : 13.25 WIB
Anak ke- : 3
Alamat : dusun tanjung neraca kec.payed kab aceh tamiang
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ibu : Ny. Noviyanti Nama Ayah : Robi Sunardi
Usia : 27 tahun Usia : 31 tahun
Pekerjaan : wiraswasta Pekerjaan : PNS
Telah lahir seorang bayi laki-laki di RSUD UMI secara sectio secaria. Bayi dilahirkan
dalam kondisi tidak segera menangis, pernafasan spontan (+) serta gerakan lemah oleh karena
itu os dirujuk ke ruang perawatan anak RSUD LANGSA.
ANAMNESA
Alloanamnesa dengan ibu pasien dilakukan pada hari kamis tanggal 2 agustus 2013 pukul
14.00 wib
A. Keluhan utama
Bayi tampak lemas dan kesulitan bernapas
B. Keluhan tambahan
Suhu badan abnormal ( kadang hipertemi kadang hipotermi ) tonus otot kurang aktif,
menangis seperti merintih, bayi sianosis, pucat, lemah.
C. Riwayat penyakit sekarang
Ibu pasien merakan ketuban pecah pukul 06.00 tanggal 29 juli. Ibu langsung dibawa
kerumah bidan dan oleh bidan dilakukan induksi, namun induksi gagal dan pada
26

pukul 13.00 dilakukan operasi caesar atas. Bayi lahir atas kesadaran baik keadaan
lemas dan sulit bernapas dan tidak langsung menangis hanya merintih, bayi kadang
panas, kadang dingin pucat, pergerakan kurang, tidak bisa minum/ menyusui.
D. Riwayat penyakit dahulu
Disangkal pasien
E. Riwayat kehamilan dan persalinan
Ibu pasien hamil pada usia 26 tahun ini merupakan kehamilan yang ketiga .riwayat
perawatan antenatal selama kehamilan baik dan tidak bermasalah saat kontrol setiap bulan
pada bidan dan oleh dr sps di usg pasien tidak ditemukan adanya kelainan. Sebelum kelahiran
sc ibu os mengaku terlebih dahulu ibu sempat mengalami kelahiran di rumah bidan akibat
pecah ketuban sekitar pukul 06.00 pagi dan bayi sulit lahir smpai jam 12 sehingga ibu dibawa
ke rumah sakit UMI Langsa untuk di lakukan kelahiran secara secio secaria oleh dr. Spesialis
obgyn. Kemudian bayi lahir pukul 13.25 dan setelah lahir bayi menangis tidak kuat sehingga
badan bayi membiru. Kemudian bayi di bawa keruang perawatan anak 1 jam setelah bayi
lahir bayi terlihat lemas tidak mau menyusui, menangis dan suhu badan bayi tersebut menjadi
tinggi.
3. Riwayat kehamilan ibu
Gravid : 3
Partus : 3
Abortus: 0
Kehamilan ganda : 0
Umur kehamilan : 38 minggu
Cairan ketuban : hijau lumpur dan berbau
STATUS PRESENT
KU : Lemah
HR : 130 x/i
RR : 90 x/i
PB : 50 cm
27

PEMERIKSAN FISIK
Kepala : normocephali
Fontanela : (+)
Ubun-ubun : (+)
Lingkar Kepala : 35 cm
Lingkar dada : 36cm
Lingkar lengan :10cm
Leher : DBN
Mata : DBN
Telinga : DBN
Hidung : DBN
Mulut : DBN
Thoraks I : Simetris
P: DBN
P: Sulit Dinilai
A: Vesikuler (+), suara nafas tambahan (-),
Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Adomen I : Simetris
P: DBN
P: Sulit Dinilai
A: peristaltik (+)
Ektremitas Atas : lemah
Bawah : lemah
28
(-) (-)
(-)(-)
edema pucat sianosis
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Anus : (+)
Kelainan kongenital : (-)
Pemeriksaan neurologis
1. Reflek moro : ada kurang aktif
2. Reflek sucking : tidak ada
3. Reflek glabela : DBN
4. Reflek menggenggam : tidak ada
APGAR SCORE
1’ 5’
Warna Kulit 1 1
Frekuensi Jantung 2 2
Refleks 1 1
Tonus Otot 1 1
Usaha bernafas 1 2
6 7
MATURITAS NEUROMUSKULAR
Sikap tubuh : 3 Tanda selempang : 3
Pergelangan tangan : 3 Tumit ke kuping : 3
Recoil lengan : 4 Sudut poplitea : 4 +
20
MATURITAS FISIK
Kulit : 1
Lanugo : 2
Permukaan plantar : 3
Payudara : 3
Mata / telinga : 2
Genitalia : 1 +
12
29

Total score : 32
Minggu : 36 – 38
Diagnosa : NCB SMK + Asfiksia berat + Sepsis
Terapi
Rawat inkubator
Oksigen 1/L
Ivfd 0,5 % NaCl 0,225 (375cc) + D40 % (Ncc) +Kcl 10cc ( 6 gtt/i Mikro )
Injeksi cefotaxime 100 mg / 12 jam
Injeksi gentamicin 20 mg / 12 jam
Diet ASI 10 cc / 3 jam / NGT
Folow Up Harian Pasien
2 agustus 2013 Os tidak mau minum, demam dan tidak menangis, kemudian
diberikan terapi sepeti diawal
3 agustus 2013 Os msh tidak mau minum, tetapi sudah mulai menangis dengan
merintih, suhu badan normal, terapi tetap dilanjutkan
4agustus 2013 Keluhan os msh tetap sama tidak mau minum dan jarang
terbangun disertai dengan sklerema maka terapi selain
farmakoterapi seperti biasa diberikan fototerapi
5 agustus 2013 Os msh sama demam masih ada disertai dengan sklerema terapi
dilanjutkan
6-8 agustus 2013 Os mulai membaik sklerema mulai menghilang deman sudah
mulai stabil reflek menghisap sudah ada tetapi lemah terapi
dilanjutkan
30

9 agustus 2013 Os pulang atas indikasi sendiri
DISKUSI
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis neonatorum
terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan
(profilaksis) sepsis neonatorum. Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum
mengalami kendala karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat
menyerupai keadaan lain. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini berperan sangat
penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas.
Pada kasus yang telah dipaparkan terlihat ada beberapa gejala klinis yang menunjukkan
penegakan ke diagnosis seperti :
1. Dari faktor resiko kejadian sepsis yaitu 50% dari faktor si ibu akibat pecah nya
ketuban dalam waktu yang lama sekitar 6 jam yang bisa berakibat pencetus infeksi
2. Dari gejala klinis setelah bayi lahir nampak bayi menangis lemah merintih, suhu
badan kadang hipotermi dan kadang hipertermi, tidak mau menyusui, dan disertai
sklerema.
3. Dari pemeriksaan darah rutin tidak didapatkan karena ibu os tidak bersedia untuk
diperika, tetapi pada umumnya hasil yg khas terletak pada:
Leukosit <5000 atau > 22000
Maka dari tatalaksana yang diberikan pasien mendapatkan terapi :
1. Rawat inkubator
Inkubator bayi dirancang untuk melindungi serta memberikan temperature yang
sesuai untuk bayi baru lahir yang rentan terhadap dunia luar.
2. Oksigen 1/L
Untuk memenuhi kebutuhan O2 pada os dengan klinis os tampak susah bernapas
sehingga anoksia bisa terminimalisir.
3. Ivfd 0,5 % NaCl 0,225 (375cc) + D40 % (Ncc) +Kcl 10cc ( 6 gtt/i Mikro )
31

4. Injeksi cefotaxime 100 mg / 12 jam
Cefotaxime merupakan antibiotik golongan sefalosporin. Sefalosporin merupakan
antibiotika bakterisid yang mekanisme kerjanya mirip dengan golongan penisilin.
Antibiotik-antibiotik -lactam ini menghambat pembentukan dinding sel bakteri pada
tahap III dan tahap akhir dengan berikatan pada satu atau lebih protein-protein
pengikat penisilin (PBPs) yang terdapat di membran sitoplasma di bawah dinding
sel bakteri yang rentan. Cefotaxime memiliki afinitas yang besar terhadap PBPs
Enterobacteriaceae.
5. Injeksi gentamicin 20 mg / 12 jam
Gentamicin adalah jenis obat yang termasuk kelompok aminoglycosides.
Gentamicin ini merupakan antibiotik, yang bekerja dengan cara memperlambat
pertumbuhan atau membunuh bakteria sensitif dalam tubuh.
6. Diet ASI 10 cc / 3 jam / NGT
Diberikan diet asi dikarenakan os belum ada ransangan menghisap dan tidak mau
minum sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi os tetap harus diberi asi 10 cc / 3
jam.
32

DAFTAR PUSTAKA
1. Aminullah A, Gatot D, Kosim S, Rohsiswatmo R, Indarso F, Dharma R, Wibowo N,dkk.
Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum. Health Technology Assessment Indonesia.
Departemen keshatan Republik Indonesia, Jakarta;2007:h.3-43
2. Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Hegar B, Trihono P, Irfan
EB. Update in Neonatal Infections. Pendidikan Kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVIII. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RS.Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta:2005.h:1-13.
3. Gomella LT. Sepsis. Dalam: Neonatology. Management, Procedures, On-Call Problems,
Diseases, and Drugs. McGraw Hill Lange,New York;2009.h.665-71.
4. Rohsiswatmo R. Kontroversi Diagnosis Sepsis Neonatorum. Dalam: Hegar B, Trihono P,
Irfan EB. Update in Neonatal Infections. Pendidikan Kedokteran berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVIII. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia RS.Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta:2005.h:32-42
5. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, the members of the international consensus
conference on pediatric sepsis. International Pediatric Sepsis Consensus Conference:
Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Med; 2005.
Vol.6,No.1.h:2-8.
6. Sankar MJ, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Sepsis in The newborn. Diunduh dari:
www.newborhocc.org . Tanggal 24 Oktober 2011.
7. Cipla. Neonatal Sepsis Protocol For Indian Neonatal intensive Care Unit (NICU)-The
Algorithmic Way. Dalam: Infection update. New Delhi;2008.h.1-20.
8. Aleteyeb SMH, Khosravi AD,Dehdashtian, Kompani F, Mortazavi SM, Aramesh MR.
Identification of bacterial agents and antimicrobial susceptibility of neonatal sepsis: A 54-
month study in a tertiary hospital. African Journal of Microbiology research
Vol.5(5),Maret;2011. h 528-531.200
9. Waseem R, Izhar TS, Khan M, Qureshi AW. Neonatal Sepsis. Professional Med J.
Desember 2005;12 (4),h.451-6.
10. Anderson-Berry AL. Neonatal Sepsis.Diunduh dari: www.emedicine.com .tanggal 24
Oktober 2011.33

11. Chiesa C, Panero A, Osborn JF, Simonetti AF, Pacifico L. Diagnosis of Neonatal Sepsis:
A Clinical and laboratory challenge.Clinical chemistry Volume 2;2004.h.279-87.
12. Zahedpasha Y. AhmadpourKachor M, Hajiahmadis M. Procalcitonin as A Marker of
neonatal sepsis.Iran J Pediatr;Jun 2009.vol 19 No,.2.h.117-22.
13. The INIS Collaborative Group. Treatment of Neonatal Sepsis with Intravenous
Immune Globulin. N Engl J Med 2011;365:1201-11.
34