61250855 responsi ibd
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang
melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih
belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu
colitis ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit
membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis.1
Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Colitis Ulserativa
sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta
terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada
Colitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan
melibatkan kolon kearah proksimal. Sedangkan penyakit Crohn pertama kali
dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis
regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis
transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.2
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan
yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa
proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau
diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi
oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses
inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah diare kronik
yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut.1,2
Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia
muda (usia 25-30 tahun). Angka prevalensi colitis ulseratif/penyakit crohn di
Copenhagen adalah 161,2/44,4, Italia 121/40, Jepang 18,1/5,8, dan di Singapura
6,0/3,6. Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif
telah dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa insidens Penyakit Crohn adalah 0,2-5,9 per 100.000
anak/tahun, dan insidens Colitis Ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun.2
Insidens IBD lebih tinggi di negara maju dibanding negara berkembang. Di
Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000
populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Colitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19
tahun. Secara umum, prevalensi IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-
laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban,
2
dan terutama bangsa Yahudi. Akan tetapi pada Penyakit Crohn laki-laki
mempunyai insidens 20% lebih tinggi daripada perempuan. IBD cenderung
terjadi pada kelompok sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai
kontrasepsi oral dan diet rendah serat.1,2
Di Indonesia belum ada studi epidemiologi mengenai IBD. Data yang ada
adalah berdasarkan laporan Rumah Sakit (hospital based). Dari data di unit
endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta (RS Ciptomangunkusumo, RS
Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) didapatkan bahwa kasus IBD
terdapat pada 12,2% dari kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari
kasus dengan hematochezia, dan 25,9% dari kasus dengan diare kronik,
berdarah, dan nyeri perut. Sedangkan pada kasus dengan nyeri perut didapatkan
sebesar 2,8%.1
Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan terapi bagi klinisi
terkait dengan pengetahuan yang belum komplit tentang penyebab dan
mekanisme terjadinya IBD. Sejauh ini, masih sulit untuk menjawab beberapa
pertanyaan fundamental seperti apa penyebab terjadinya IBD, bagaimana
mekanisme IBD menyebabkan kerusakan jaringan serta bagaimana mengontrol
inflamasi intestinal yang terjadi.6 Pada responsi ini akan dibahas mengenai IBD
dan penatalaksanaanya serta kesesuaian teori dengan data yang didapatkan
dari pasien dengan IBD. Dengan demikian diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai Inflammatory Bowel Disease dan penatalaksanaannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang
melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih
belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD dibagi menjadi colitis
ulseratif (ulcerative colitis) dan penyakit crohn (crohn’s disease). Hal ini untuk
secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah
diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa
keadaan, penyakit crohn dan colitis ulseratif mempunyai gambaran klinis yang
tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa
kepustakaan, selain kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate
colitis atau non-spesific colitis ke dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas
masuk ke diagnosis colitis ulseratif atau penyakit crohn.1,3
2.2 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang
memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis
penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan peranan
penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya
keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus,
terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan
riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan.
Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan
tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen eksogen,
kemudahan masuk antigen (termasuk permeabilitas epitel usus), dan
kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD.1
Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh
adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang terjadi
pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, dan
lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.1
Teori etiologi dari inflammatory bowel disease antara lain 8 :
- Infeksi spesifik yang persisten
4
- Dysbiosis (rasio yang abnormal agen microbial yang komensal
detrimental dan beneficial)
- Gangguan fungsi barrier mukosa
- Gangguan cearense microbial
- Gangguan regulasi immunologi
2.3 Pathogenesis Inflammatory Bowel Disease
Hipotesis yang paling berkembang terkait pathogenesis IBD adalah terkait
respon imun sel T yang terlalu agresif terhadap bakteri enterik yang komensal
pada host yang memiliki kerentanan secara genetic, dan factor lingkungan
mencetuskan onset dan reaktivasi dari penyakit ini. Teori yang kompleks ini
melibatkan 4 komponen yang harus saling bersinggungan sehingga penyakit ini
dapat bermanifestasi.8
Interaksi berbagai factor yang berkontribusi dalam inflamasi intestinal yang
kronik pada host yang rentan secara genetik.8
2.3.1 Genetik
Faktor genetic memiliki peran penting dalam pathogenesis IBD. Sekitar 5-
10% pasien IBD memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.7 Mekipun
demikian, pola mendelian inheritance tidak didapatkan.9 Penelitian menunjukan
bahwa setidaknya terdapat 7 loci yang menyebabkan kerentanan terhadap
penyakit crohn atau colitis ulseratif, atau keduanya.7 Keterlibatan gen dalam hal
5
ini adalah terkait dengan regulasi berbagai fungsi biologis yang penting,
termasuk immunoregulatioan, interegitas barrier mukosa dan microbial clearance
dan/atau homeostasis.8
Keterlibatan Genetik dalam Inflammatory Bowel Disease 7
Loci Designation Chromosome Location
Disease Association
Candidate Genes Phenotype Correlation
IBD1 16q12 CD CARD15/NOD2 Ealier disease onset, small intestinal localization and strictures
IBD2 12q13 Intermediate colitis and terminal ileal CD
VDR, NRAMP2, STAT6 and MMP-18
Not reported
IBD3 6p13 CD and UC Major histocompatability complex and TNF
Not reported
IBD4 14q11 CD TCR α/δ, leukotriene B4 receptor, and major histocompatibility complex type 1, antigen presentation- associated proteosome cluster
Not reported
IBD5 5q Intermediate colitis and colonis and ileal-colonic CD
Cytokine cluster (IL-3,IL-4,IL-5 and IL-13;IRF-1;and csf-2)
Perianal disease and early onset
IBD6 19q CD ICAM-1 and DDXL Not reportedIBD7 1p CD and UC Mucin 3, EGFR,
and HGFNot reported
CARD= caspase activating and recruitment domain; CD= Crohn’s disease; CSF-2= Colony stimulating factor isoform 2; DDXL= DEAD/DEAH box helicase; EGFR= Epidermla growth factor receptor; HGF= Hepatocyte growth factor; IBD=Inflammatory bowel disease; ICAM-1= Intercellular adhesion molecule-1; IL= Interleukine; IRF-1= Interferon regulatory factor isoform -1; MMP= Matrix metalloprotease; NRAMP-2= Natural resistant-associated macrophage protein-2; STAT= signal transducer and activator of transcription; TCR= T cell receptor; TNF= tumor necrosis factor; UC= ulcerative colitis; VDR= Vitamin D receptor
Beberapa area yang berhubungan dengan IBD diantaranya adalah
kromosom 16 (IBD1), 12 (IBD2), 6 (IBD3 - the HLA region), dan 14. Lokus IBD1
pada kromososm 16 hanya berkontribusi dalam kerentanan terhadap penyakit
Crohn saja.9 Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan penyakit
crohn dan kehilangan fungsi mutasi pada gen 15 (juga disebut NOD2 atau CARD
15 - capsase activating recruitment domain). Protein NOD2 adalah reseptor
6
intraseluler untuk komponen dinding sel bakteri dan memiliki peranan penting
dalam mengaktivasi sel-sel innate immunity system. Reseptor NOD intraseluler
dan transmembrane Toll-like receptors (TLRs) merupakan molekul yang penting
dalam recognition of pathogen-associated molecular patterns, aktivasi innate
immune system serta pemeliharaan homeostasis mukosa. Muramyl dipeptide,
komponen dari dinding sel bakteri, berikatan dengan CARD15/NOD2 yang
kemundian mengaktifkan NF-kB. NOD diekspresikan oleh makrofag dan juga sel
Paneth pada basal intestinal crypts. Epithelial-oriented “loss of function” pathway
yang berhubunga dengan ketidakmampuan pembersihan mikroorganisme
intraluminal yang efektif akibat penurunan sekresi peptide (defensin) oleh sel
paneth. Sebagai alternative, “loss of function” juga mempengaruhi kemampuan
NOD2 dalam melemahkan signal TLR-2 pada makrofag, sehingga berakibat
pada akivasi NF-kB dan produksi sitokin proinflamasi. Alternative hipotesis
lainnya adalah “gain-of-function” fenotip, dimana secara langsung NOD2
memediasi peningatan signal NF-kB dengan hasil akhir yang sama berupa
peningkatan sekresi sitokin pro inflamasi. Yang terpenting, tidak ada mutasi NOD
yang secara spontan menghasilkan colitis pada tikus. 7
Pengaruh mutasi NOD pada crohn’s disease
Regio lainnya yang dipelajari secara intensif adalah IBD3 pada kromosom
6. Area ini meliputi HLA complex dan berhubungan dengan Crohn’s disease and
ulcerative colitis. Regio ini memiliki berbagai gen yang terlibat dalam respon
7
inflamasi host. Area lainnya yang secara khusus berhubungan dengan Crohn’s
disease adalah kromososm 5q (IBD5) yang memiliki cluster gen sitokin.9
2.3.2 Pengaruh Lingkungan
Merokok adalah salah satu factor lingkungan yang telah terbukti
berpengaruh terhadap manifestasi dari IBD. Asap rokok member
pengaruh yang berbeda terhadap penyakit Crohn’s dibandingkan
dengan colitis ulseratif. Pada colitis ulseratif, resiko perokok lebih
rendah dari pada orang yang tidak pernah merokok. Resiko menurun
dengan peningkatan jumlah rokok. Meskipun demikian, pada
penghentian rokok, resiko menjadi meningkat lebih tinggi
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Efek yang berkebalikan
pada penyakit Crohn, merokok justru meningkatkan resiko dua kali
lipat. Tidak ada efek dose-dependent dan penghentian kebiasaan
merokok sedikit menurunkan resiko tetapi tetap lebih tinggi bila
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. 9
Hubungan yang lain ditunjukkan dengan appendectomy. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa terdapat angka rata-rata apendectomi
yang kecil pada pasien dengan colitis ulseratif. Penelitian di Swedia
menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik antara colitis
ulseratif dengan appendectomy yang dilakukan karena kondisi
inflamasi. Penjelasan yang mungkin dapat diterima adalah kenyataan
bahwa appendiks merupakan limfoid yang besar, dan pengambilannya
mungkin merubah keseimbangan sel T regulator dan efektor. 9
Factor Epidemiologic Association Pathophysiologic AssiociationSmoking Active smoking decrease risk for UC
Former smoking increase risk for UCActive smoking is associated with
milder clinical courseof UCActive smoking increase risk for CDActive smoking is associated with more severe clinical course of CD
Altered mucisal cytokine profileDecreased intestinal IgA
secretionAltered bacterial activity
Altered eicosanoid pathwayAltered generation of free oxygen
radicalsAppendectomy Appendectomy decrease risk of UC Alteration of the balance between
effestor and regulatory factorsPerinatal events
Breastfeeding decrease risk of CDEarly infection increases risk for IBD
Unknown
Socioeconomic factors
Higher economic of status increases rsik for IBD
IBD is more prevalent in Weastern countries than in developing
countriesIBD is more prevalent in northen
Hygiene theory; Higher socioeconomic status is
associated with less frequent helminthic infection during
childhood. This resuls in a lackof aTh2/anti-inflammatory or
8
regions compared with southern regions
regulatory cytokines or both and leaves proinflammatory effector
mechanism unopposed.CD= Crohn’s disease; IBD= inflammatory bowel disease; Th= T-helper; UC= ulcerative colitis
2.3.3 Posibilitas Infeksi
Diduga bahwa salah satu yang memberi kontribusi terhadap
terjadinya IBD adalah adanya sumber infeksi. Banyak bakteri yang
berbeda diduga terlibat dalam pathogenesis IBD. Proses inflamasi yang
dilihat sebagai bentuk penyakit dalam hal ini merupakan hasil dari
disfungsional respon yang memang diperlukan terkait adanya sumber
infeksi. Pada penyakit crohn, Mycobacterium paratuberculosis,
Pseudomonas species, dan Listeria species diduga sebagai penyebab
meskipun sejauh ini bukti yang ada belum cukup banyak. Pada colitis
ulseratif, Bacillus species, adhesive E. coli, dan Fusobacterium varium
diduga terlibat. 9
2.3.4 Faktor Immunologi
Pada IBD terjadi perubahan inflamsi yang kronik pada
traktus gastriintestinalis. Ha lini dimediasi oleh factor imunologi yang
berbeda untuk penyakit crohn dan colitis ulseratif, meskipun keduanya
menimbulkan dampak pada aktivasi sel T. 9 Menurut pemikiran
konvensional, inflamasi pada usus terjadi akibat respon inflamasi yang
diperantarai oleh sel-sel acquired immune system. Namun, innate immunity juga
dikatakan berperan penting dalam terjadinya IBD. 7
9
Presentasi antigen intraluminal pada limfosit mukosal oleh atigen presenting cell (APC). Pada usus normal (kiri) inflamasi dapat dicegah dengan kontrol terhadap sel T
efektor pada mukosa melalui dua mekanisme. Pertama , regulasi subpopulasi sel T pada sistem imun mukosa menekan aktivitas sel T efektor dalam memproduksi interleukin 10 dan TGFβ. Kedua, kontrol juga terjadi akibat eliminasi Teff melalui apoptosis. Pada IBD,
kedua mekanisme ini terganggu (kanan). 7
Epitel usus yang merupakan bagian dari innate immune system berperan
penting dalam mempertahankan homeostasis mucosal. Oleh karena itu
gangguan sel epithelial dapat menyebabkan terjadinya IBD. Sel-sel epithelial
membentuk barier antara tubuh dan microenviroment intraluminal. Gangguan
pada barier ini dapat menyebabkan inflamasi usus. 7
Sel-sel epithelial dapat berperan sebagai antigen presenting cells karena
memiliki kemampuan mengikat antigen, memproses dan mempresentasikanya
pada sel-sel imun. Oleh karena itu sel epithelial dapat merangsang kemokin yang
akhirnya menimbulkan proses inflamasi di mukosa usus. Banyak kemokin yang
berperan dalam pathogenesis utama terjadinya IBD, seperti tumor necrosis
factor, interleukin 1, dan interleukin 6. Mediator inflamasi utama pada penyakit
crohn adalah sitokin Th1, interleukin 12, interferon γ dan tumor necrosis factor.
Sedangkan pada colitis ulseratif mediator utamanya adalah sitokin Th2 dan
interleukin 5. 7
10
Inflamasi pada penyakit crohn ditriger oleh sel Th1, yang
menginduksi cell-mediated immune response. Sitokin IL-12 meningkat
pada mukosa penyakit crohn. Hal ini menimbulkan peningkatan respon
Th1 dan juga peningkatan IFN-g. selanjutnya, IFN-g menyebabkan up-
regulasi dari makrofag sehigga terjadi siklus inflamasi yang tidak
terkontrol.hilangnya regulasi terhadap aktivasi sel Th1 dan makrofag
yang berlebihan juga menyababkan aktivasi matrix metalloproteinase,
melalui jalur IFN-g dan TNF-a, yang berakibat pada kerusakan jaringan.
Penjelasan laian mengenai inflamasi yang tidak terugulasi ini adalah
sel T pada penyakit Crohn bersifat reisten terhadap apoptosis yang
normal sehingga menyebabkan perkembangan lebih lanjut dari siklus
inflamasi. Pada colitis ulseratif, inf;amasi diregulasi oleh sel Th2, yang
memediasi sel B dan respon antibody, meskipun demikian hal ini
belum terbukti. Telah ditunjukkan bahwa terdapat peningkatan IL-5,
yang merupakan sitokin Th2, namun IL-4, sitokin Th2 yang lain, tidak
meningkat. Kontribusi Th2 mungkin membantu respon antibody,
karena pada colitis ulseratif terjadi peningkatan sel plasma IgG yang
diediasi oleh sel T.9
2.4 Manifestasi Klinis
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan
sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai
gangguan nutrisi. Gambaran klinis colitis ulseratif relatif lebih seragam
dibandingkan dengan penyakit crohn. Hal ini disebabkan karena distribusi usus
yang terlibat pada colitis ulseratif adalah kolon, sedangkan pada penyakit crohn
lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat
melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal.1,3
Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini
dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan.
Dengan sifat perjalan klinis IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan
suatu kriteria klinis sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan
pedoman keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase remisi.
11
Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare,
ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada
pemeriksaan endoskopi, dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat
dipaki untuk maksud tersebut.1
Derajat klinis colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan
berdasarkan frekuensi diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju endap
darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai
dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah
berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat
difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.1
Pada penyakit crohn selain gejala umum di atas, adanya fistula
merupakan hal yang khas (termasuk di perianal). Nyeri perut relatif lebih
mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga dapat
menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya bacterial
overgrowth.1
Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit colitis ulseratif lebih
mudah dengan menilai gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian
usus yang terlibat. Tetapi pada penyakit crohn hal tersebut lebih sulit, terlebih bila
ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan
endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Crohn’s Disease Activity
Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data laboratorium,
manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan
berat badan, terabanya massa intra-abdomen, dan rasa sehat pasien.1
Tabel Gambaran Klinis IBDColitis Ulseratif Penyakit Crohn
Gejala dan tanda :
o Diare kronik
o Hematochezia
o Nyeri perut
o Adanya massa intraabdomen
o Terjadinya fistula
o Timbul striktur/stenosis usus
o Keterlibatan usus halus
++
++
+
0
+/-
+
+/-
95%
++
+
++
++
++
++
++
50%
12
o Keterlibatan rectum
o Menifestasi ekstraintestinal
o Komplikasi megatoksik kolon
+
+
+
+/-
Gambaran Patologi :
o Lesi bersifat segmental
o Bersifat transmural
o Didapatkan granuloma
o Terjadi proses fibrosis
o Terjadi fistula
0
+/-
0
+
+/-
++
++
50%
++
++
Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak
Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu:
Ringan-sedang
Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa
abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10%
Sedang-berat
Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap,
penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten
(tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan.
Berat-fulminan
Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau penderita
dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra
abdominal.
13
Pada Colitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang
berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.
Prodromal (<5%)
Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan
LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi.
Ringan (50-60%)
Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik
Sedang (30%)
Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness
Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan
Berat (10%)
Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi,
takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan
hipoalbuminemia
2.5 Gambaran Laboratorium
Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk IBD, Sebagian
besar hanya merupakan parameter proses inflamasi secara umum atau dampak
sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal yang mempengaruhi
digesti/absopsi. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang
spesifik sebagai dasar diagnosis IBD maupun untuk membedakan colitis ulseratif
dengan penyakit crohn. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai
derajat aktivitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien. Parameter
yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum
untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai
aktivitas inflamasi serta kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C
reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit.1
2.6 Diagnosis
Secara praktis diagnosis IBD didasarkan pada anamnesis yang akurat
mengenai adanya perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-
14
remisi diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta ada riwayat keluarga.
Gambaran kliniknya sesuai penjelasan di atas. Data laboratorium menyingkirkan
penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya infeksi
gastrointestinal. Temuan endoskopik yang karakteristik dan didukung konfismasi
histopatologis. Temuan radiologic yang khas, dan pemantauan pejalanan klinik
pasien yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.1
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis
maupun penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD
adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil yang meragukan.1
Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke
proksimal. Sedangkan penyakit crohn bersifat transmural, segmental dan dapat
terjadi di saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.1
Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan
bahwa lokasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12%
kolon sebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-colitis). Sedangkan
penyakit crohn, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon
56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis,
penyakit crohn, dan keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada
temuan lesi per-kolonoskopik yang terbatas pada ileo-saekal disebabkan oleh
17,6% penyakit crohn, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4% colitis infektif.1,4
Tabel Gambaran Lesi Inflamasi IBD Secara Endokopik
Colitis
ulseratif
Penyakit
Crohn
Lesi inflamasi (edema,hiperemi,erosi,
dll)
Bersifat kontinyu, adanya skip area
(adanya mukosa normal di antara lesi)
Keterlibatan rectum
Lesi mudah berdarah
Cobblestone appearance/ pseudopolip
+++
0
+++
+++
+
+
+++
+
+
+++
15
Sifat ulkus :
Terdapat pada mukosa yang inflamasi
Keterlibatan ileum (ada lesi di ileum)
Lesi ulkus berukuran diskrit
Bentuk ulkus :
- Diameter > 1cm
- Dalam
- Bentuk linier (longitudinal)
- Aphtoid
+++
0
+
+
+
+
0
+
++++
+++
+++
+++
+++
++++
Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak
2.7.2 Radiologi
Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostik
pada IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda
dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus
dan polip, ataupun perubahan distensibilitas lumen kolon berupa penebalan
dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi
dengan aktivitas penyakit. Pemeriksaan radiologi merupakan kontraindikasi pada
colitis ulseratif berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos
abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu
tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk
menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu
pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga
barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus.
Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam
mendeteksi adanya abses ataupun fistula.1
2.7.3 Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic dari
pada specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi
penyakit yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan
teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah
adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel monoukleus dan polimorfonuklear
di lamina propia. Sedangkan pada penyakit crohn adanya granuloma tuberkuloid
16
(terdapat 20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik disamping adanya
infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia serta ulserasi yang dalam.1
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah
komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memperbaiki status
nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal
tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah
pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti
ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan
positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan
tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin
mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai
peranan dalam proses inflamasi pada Colitis Ulserativa.2
2.7.1 Terapi Medikamentosa
Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi,
mencegah dan mengurangi relaps adalah:
1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis
tinggi digunakan untuk induksi remisi.
· Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat
ditingkatkan sampai 75 mg/kg
· Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal
3,2g/hari)
· Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis
2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam
mempertahankan remisi.
· Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi
· Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi.
· Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal
· 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal
4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi
· infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab,
dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara
17
intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat
moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3
kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu.
Data penggunaan infliximab pada Colitis Ulserativa tidak sebaik pada
Penyakit Crohn.5
5. Antibiotika
· Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole
diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn
Terapi medikamentosa pada Colitis Ulserativa tergantung dari derajat
berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk
mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah
komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah
karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi
terbagi menjadi 2 tipe yaitu:5
· Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan
dapat dicapai dengan terapi topikal
· Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis
dan memerlukan terapi sistemik
Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif,
penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan
nutrisi. Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat
mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu,
medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi
frekuensi serangan eksaserbasi.5
2.7.2 Terapi Bedah
Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat
penyakit. Tujuan terapi bedah pada Colitis Ulserativa dan Penyakit Crohn
berbeda. Karena kelainan Colitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total
kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana
kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat
ini belum ada terapi bedah definitif.5
Indikasi bedah pada Penyakit Crohn adalah:
· Obstruksi traktus gastrointestinal
· Fistula
18
· Abses
· Perdarahan yang tidak terkontrol
· Megakolon toksik
· Perforasi
· Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa
· Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang
terbatas (localized disease)
Indikasi bedah untuk Colitis Ulserativa adalah:
· Megakolon toksik
· Perdarahan yang masif/tidak terkontrol
· Perforasi
· Prolonged corticostreoid dependent
· Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif
· Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi
· Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan
· Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa
· Striktur.5
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. Hanik Nur Hamidah
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 28 Agustus 1976
Alamat : Ling Tumpuk RT 1/5 Tangkil Wlingi Blitar
Pekerjaan : -
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status kawin : Kawin
No MR : 1111895
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Diare
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluh diare sejak 4 bulan yang lalu. Frekuensi diare sehari
sebanyak 10x dengan volume sedikit tidak dihitung pasien tapi sering.
Konsistensi diare cair tanpa darah atau lender dan warna seperti kotoran biasa.
Setelah itu pasien menyatakan buang air besar berkurang sejak 3 hari yang lalu
yaitu 3x setiap hari. Tidak ditemukan darah dalam kotoran dan kotoran
konsistensi agak lembek.
Pasien dikatakan demam tinggi 5 hari yang lalu. Demam disertai dengan
menggigil. Pasien mempunyai riwayat sering nyeri perut bagian ulu hati sejak 2
bulan yang lalu, namun nyeri tersebut hilang timbul. Mual dan muntah kadang-
kadang terjadi.
Sejak 4 bulan yang lalu berat badan pasien menurun. Sejak 2 bulan ini nafsu
makan pasien menurun. Badan pasien juga lemah hingga sulit berjalan. Pasien
juga mengeluh buang air kecil yang berkurang.
Pasien mempunyai riwayat masuk rumah sakit di Rumah Sakit Marsudi
Waluyo selama 11 hari sebelum dirujuk ke RSSA. Selama sakit pasien
mengkonsumsi obat 3 macam yang pasien sendiri tidak pasti nama obatnya.
20
Pasien pernah dikatakan mengidap TB paru pada bulan Maret dari
pemeriksaan foto dada. Namun terapi obat anti tuberkulosa tidak diberikan.
Riwayat batuk-batuk lama tidak dikeluhkan. Riwayat sakit seperti ini juga tidak
didapatkan. Riwayat keluarga yang mengidap penyakit serupa tidak didapatkan.
Review of systemLelah + Demam +Penuruanan berat badan +Pneumonia +Nafsu makan menurun +Mual/ muntah +Diare +BAB meningkat +Abdomen nyeri +
3.3 Pemeriksaan Fisik
GA look moderately ill GCS 456
BP 120/100 mmHg
PR 88x/mnt
RR 28x/mnt
Tax 34,6
Head/neck : anemic +, icteric -, edema palpebra +
JVP R+ 0cmH2O on 30o
Tho : C/ ictus invisible, palpable at MCL ICS V S
LHM ICS V MCL S/ at ictus
RHM SL D
S1S2 single murmur
P/ simetris SF D=S
S S V V Rh - - Wh - -
S S V V - - - -
D D - - - -
Abdomen : flat, soefl, meteorismus +, BU + , shifting dullness +
Liver span 10 cm, troube space dullness
Ekstremity : anemic -, akral hangat, eritema palmaris –
Edema - -
+ +
21
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
DL: 3100/8,4/25,0/48.000
GDA 82
Ur/Cr 10,6/0,22
SGOT/SGPT 45/41
Na 129
K 3,1
Cl 109
Albumin 1,33
Bil T/ D/ I 0, 2,62/ 1,57/ 1,05
3.4.2 Colonoscopy dan Pemeriksaan Patologi Anatomi
Laporan Colonoscopy 19 Mei 2011
Colonoscopy masuk sejauh ileus terminalis
22
Lokalisasi Mucosa Haustrae Ulcus Polyp
Masa
Tumor Pendarahan
Anus
Rectum 5 cm tampak ulcer
Sigmoid Sigmoid normal, sebagian colpn desc normal sebaian lagi
terdapat ulcer dan polipoidColon Desc
Colon TrnsSeluruh Permukaan dipenuhi ulcerasi dan jaringan polipaid -->
biopsi (+)Colon Asc
Caecum
Ileus
Terminalis ulcerasi (+) polipaid (+) --> Biopsi (+)
Kesimpulan: Suspek Crohn’s disease
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi (24 Mei 2011)
Lokalisasi : 1. Ileum Terminalis 2. Colon
Makroskopik
- Dari ileum terminal : jaringan sangat kecil
- Dari colon jaringan sangat kecil
Mikroskopik
23
- Jaringan mukosa ileum dengan stroma beradang menahun
- Jaringan mukosa colon dengan stroma beradang menahun
Kesimpulan
- |+||. Jaringan ileum dan colon dengan keradangan menahun
- Tidak didapatkan keganasan dalam sediaan ini.
Laporan Colonoscopy (9 Juni 2011)
Keluhan : Evaluasi Colitis
Diagnosa Klinik: Chron Disease
Pengobatan : Sulfazalazine, Methylprednisolon
Colonoscope masuk sejauh caecum
24
Lokalisasi Mucosa Haustrae Ulcus Polyp
Masa
Tumor Pendarahan
Anus
Rectum 5 cm tampak ulcerasi membaik
Sigmoid 50 cm __________ tampak ulcerasi besar dengan dasar jernih
bersih Biopsi PAColon Desc
Colon Trns
Ulcerasi (+) dengan dasar jernih / bersih; polipoid (+)Colon Asc
Caecum
Kesimpulan : susp chron disease membaik dibandingkan dengan sebelumnya
Hasil PA : Tunggu hasil PA
3.4.3 USG
USG Abdomen (27 Mei 2011)
Hepar :ukuran normal, sudut tajam, permukaan rata, intensitas
ectoparenchym homogeny normal, system portal vaskuler dan
bilier tidak melebar, nodul/kista/abscess (-)
Gall Bladder :contracted dengan dinding menebal ireguler, ukuran 4mm
batu/sludge (-)
Pancreas :ukuran normal, echoparenchym homogeny, tidak tampak
kalsifikasi
Lien :ukuran normal, tepi kanan, permukaan rata, echoparenchym
homogen, nodul (-), kista (-)
Ren D/S :ukuran normal, echocortex tdk meningkat, pelvic calyceal syst
tidak melebar, batas cortex medulla tegas
VU :ukuran normal, dinding regular, massa/batu (-)
Uterus :ukuran normal, posisi anteflexi
Adnexa :normal, tidak tampak massa solid maupun kistis
Kesimpulan
- Ascites
- Penebalan dinding gall bladder difus
25
3.4.4 Pemeriksaan Foto Thoraks
Foto toraks posisi PA (25/5/2011)
Cor : Bentuk, ukuran, posisi normal
Pulmo : Infiltrat hampir di semua lapangan paru
Trakea : Di tengah
Sinus D: Tampak diselubungi cairan di perifer dan superior cavum torkas D
S: Tajam
Hemidiapragma D/S dome shape
Soft tissue & skeletal normal
Kesimpulan: Pneumonia
Penebalan pleural D kemungkinan sikatriks
Konfirmasi terkait diagnosis tuberculosis dari anamnesa terhadap pasien
dilakukan dengan pemeriksaan BTA sputum dan TB ICT dimana hasilnya adalah
negative. Sedangkan untuk konfirmasi adanya pneumonia dilakukan kultur gram
sputum sensitivity test dengan hasil bakteri gram + staphylococcus.
3.5 Problem dan Diagnosis
26
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
Pasien didiagnosis crohn’s disease yang menyebabkan manifestasi klinis berupa
diare kronik. Diare yang bersifat kronis ini menyebabkan terjadinya hipokalemia
pada pasien akibat GI loss. Selain itu, sebagai komplikasi yang sering dari IBD,
pasien ini juga mengalami anemia hipokrom mikrositeir akibat kombinasi dari
defisiensi zat besi dan proses penyakit yang kronis, serta tidak menutup
kemungkinan adanya defisiensi vitamin B12 atau asam folat akibat intake yang
menurun dan absorbsi yang menurun dari ileum yag mengalami inflamasi. Pada
pasien ini juga didapatkan edema anasarka akibat kondisi hipoalbuminemia yang
disebabkan oleh intake yang menurun sehingga pada pemeriksaan fisik awal
juga didapatkan kesan adanya efusi pleura yang minimal pada pleura kiri dan
kanan. Permasalahan lain yang didapatkan pada pasien adalah adanya
pneumonia yang telah dikonfirmasi dengan foto thorax dan kultur sputum.
3.6 Terapi
Selama MRS di RSSA mulai 12 Mei hingga 13 Juni 2011,
penatalaksanaan yang telah dilakukan pada pasien berupa :
- IVFD NS/D5 % 16 tpm
- Diet bubur halus 1900 kcal/hari
- Inj. Gentamicin 2x 80 mg
- Inj. ciprofloxacin 2x200 mg IV
- Inj. ranitidine 2x50 mg IV
- Sulfazalazin 2x500 mg
- methylprednisolone 3x16 mg
- loparamide 2 mg k/p
- Transfusi albumin 10%
- Metoclopramid 3x10mg
- Folic acid 1x3
- Vit B kompleks dan vit B12 3x1
- Tranfusi PRC hingga Hb>= 10 gr/dl
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan
manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran
keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang
ada sebagai gangguan nutrisi.1,3 Pada pasien yang dilaporkan, dari
anamnesa didapatkan bahwa pasien diare sejak 4 bulan. Diare yang
bersifat kronik ini terjadi dengan frekuensi hingga 10x per hari.
Konsistensi diare cair tanpa darah atau lender dan warna seperti kotoran
biasa. Pasien mengalami demam tinggi dan menggigil selama 5 hari
sebelum MRS. Badan pasien juga lemah serta terjadi penurunan berat
badan dalam 4 bulan. Hal ini terjadi akibat malabsorbsi nutrient karena
diare kronik. Selain itu nampak terjadinya hipoalbumin dan hipokalemi
akibat diare kronik dan intake yang kurang setelah penurunan nafsu
makan. Nampak terdapat kesesuaian antara teori dengan gejala klinis
yang muncul pada pasien. Dari data di unit endoskopi pada beberapa
rumah sakit di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo, RS Tebet, RS Siloam
Gleaneagles, RS Jakarta) didapatkan data bahwa kasus IBD terdapat
pada 12,2% dari kasus diare kronik dan 25,9% dari kasus dengan diare
kronik, berdarah, nyeri perut.1 Pada pasien ini terjadi diare kronik yang
tidak berdarah dan disertai dengan nyeri perut.
Secara garis besar IBD terdapat 3 jenis, yaitu colitis ulseratif (KU)
dan penyakit Crohn dan bila sulit dibedakan termasuk dalam kategori
Intermediate colitis. Gambaran klinis penyakit crohn relative lebih
beragam. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada
colitis ulseratif adalah kolon, sedangkan pada penyakit crohn lebih
bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat
melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal.1,3 Pada pasien, dari
hasil kolonoskopi diketahui bahwa ulcer didapatkan pada rectum,
sigmoid, colon descendent, colon transverses, colon ascenden, caecum
dan ileus terminalis. Dari biopsy didapatkan jaringan polipoid disamping
nampak adanya ulserasi. Oleh karena itu dari hasil kolonoskopi
28
disimpulkan pasien menderita penyakit crohn. Pemeriksaan endoskopi ini
memiliki peran penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus IBD
dengan akurasi 89%. Sedangkan pemeriksaan laboratorium sampai saat
ini tidak banyak membantu karena tidak ada parameter yang spesifik
untuk IBD maupun untuk membedakan colitis ulseratif dengan penyakit
cronh
Sifat perjalanan klinis IBD adalah kronik-eksaserbasi-remisi
dimana terdapat fase aktif dan remisi.1 Pada pasien ini dari anamnesa
pasien menyangkal adanya riwayat keluhan yang sama sebelumnya.
Keluhan dirasa baru 4 bulan ini, namun dari anamnesa juga pasien
menyatakan bahawa 3 hari sebelum masuk rumah sakit BAB berkurang
menjadi 3 kali per hari. Selama follow up harian, kondisi pasien
menunjukkan manifestasi klinis diare yang sempat berkurang bahkan
menghilang kemudian muncul kembali. Serta pasien juga mengalami
nyeri perut yang juga hilang timbul. Ini membuktikan adanya proses
eksaserbasi dan proses remisi dari IBD.
Gambaran klinis IBD yang bervariasi memerlukan data-data yang
meluas untuk membedakan dengan penyakit lain yang sering ditemukan
di Indonesia. Sebagai contohnya colitis infeksi yang disebabkan oleh TB.1
Pasien ini sempat didiagnosa dengan colitis TB. Namun setelah dilakukan
pemeriksaan BTA dan TB ICT, hasil yang diperoleh adalah negative.
Jelas menunjukkan colitis TB dapat disingkirkan dari diagnosa banding.
Dari hasil laboratorium yang lain, tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosa IBD. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
spesifik untuk IBD. Adanya abnormalitas parameter laboratorium dalam
hal kadar hemoglobin, lekosit, LED, trombosit, C-reactive protein, kadar
besi serum dapat terjadi pada kasus IBD, tetapi dapat juga terjadi pada
kasus infeksi. Sebagian besar parameter laboratorium ini hanya
menggambarkan proses inflamasi secara umum atau dampak sistemik
akibat proses inflamasi. Penurunan kadar Hb, Ht dan besi serum dapat
menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna.1
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis IBD yang belum jelas,
maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade
proses inflamasi. Manajemen farmakologi meliputi penggunaan
aminosalicylates, corticosteroids, immunosuppressants, dan biological
29
agents.11 Dengan dugaan adanya agen proinflamasi dalam bentuk bakteri
intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan
proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka
diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian
antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja
usus dan perubahan pola diet.1
Tujuan dari terapi IBD, dalam kasus ini adalah crohn’s disease,
adalah untuk menginduksi dan mempertahankan remisi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup. Pilihan terapi tergantung pada keparahan
penyakit. Keparahan crohn’s disease dilihat dari manifestasi klinis yang
muncul dapat digolongkan menjadi mild-moderate, moderate-severe dan
severe-fulminant disease.11
Mild-moderate : Ambulatory patient, pasien masih dapat mentoleransi diet per
oral tanpa dehidrasi, toksisitas, abdominal tenderness, masa atau obstruksi.
Moderate-severe : pasien yang tidak termasuk dalam kriteria mild-moderate
dengan gejala seperti demam, penurunan berat badan, nyeri perut dan
tenderness, mual dan muntah yang itermiten atau anemia.
Severe-fulminant : pasien dengan gejala yang ersisten dengan steroid atau
pasien dengan demam tinggi, muntah yang persisten obstruksi intestinal,
cachexia atau abses
Remisi : pasien yang asimtomatik baik secara spontan maupun setelah
intervensi medic atau bedah. Pasien yang membutuhkan steroid agar tetap
asimtomatik tidak termasuk remisi.11
Pada kasus ini nampak bahwa dari gejala klinis pasien cenderung
mengalami moderate-severe crohn disease. Terapi lini pertama untuk IBD
dengan keparahan moderate-severe adalah penggunaan 5-acetil salicylic
acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid.11 Sampai saat ini obat golongan
glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk Crohn’s disease dan colitis
ulcerative derajat sedang dan berat. Pilihan utama adalah prednisone,
metilprednisolon atau steroid enema. Obat yang sudah lama dan mapan
dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat sulfasalazin yang
merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo.1
Setelah diagnosa Crohn’s disease ditegakkan pada pasien ini, pasien
diterapi dengan sulfasalazin peroral 2 kali 500cc dan methylprednisolone
peroral 3 kali 16 mg perhari.
30
Sejak lama 5-aminosalicylates (5-ASA) oral digunakan untuk
mengobati IBD termasuk Crohn disease ringan hingga moderate. 5-ASA
bekerja melalui menurunkan inflamasi dengan mencegah pembentukan
arachidonic acid pada pathway cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase.
Obat-obatan ini juga memiliki aktivitas immunomodulator dengan
emnurunkan fungsi limfosit dan monosit dan mencegah antibody dari sel
plasma. Preparat 5-ASA dapat menginduksi remisi tapi memiliki
keterbatasan dalam efektivitas mempertahankan.11 Pada kasus ini,
preparat ASA yang dipilih adalah sulfazalazin. Sulfasalazin diketehui
memiliki efek samping yang cukup banyak jika dibandingkan dengan
preparat 5-ASA lainnya seperti mesalamin.13 Sulfasalazine memiliki efek
samping yang terjadi pada 10-45% berupa sakit kepala, nyeri
epigastrium, muntah, cyanosis, skin rash, fever, hepatitis, autoimmune
haemolysis, aplastic anemia, leucopenia, agranulocytosis, folate
deficiency, pancreatitis, systemic lupus erythematosus, Stevens-Johnson
syndrome dan toxic epidermal necrolysis, pulmonary dysfunction serta
infertilitas pada laki-laki.13 Oleh karena itu, penting untuk mengobservasi
apakah terjadi keluhan yang terkait dengan efek samping pengobatan
mengunakan preparat ini pada pasien. Bahkan dikatakan bahwa
meskipun sulfasalazin 4 g perhari efektif untuk Crohn’s disease yang aktif,
obat ini tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena
tingginya insiden dari efek sampingnya (grade A). Pada pasien dengan
penyakit yang moderate hingga severe seperti pada kasus ini, terapi awal
yang dianjurkan adalah mesalazine dosis tinggi (4 g/hari) dengan
kombinasi kortikosteroid seperti prednisolone 40 mg perhari (grade A). 13
Penggunaan steroid oral pada pasien ini sesuai karena steroid
oral digunakan untuk menginduksi remisi pada psien dengan penyakit
yang moderate hingga severe, atau crohn disease ileocolonik yang mild
hingga moderate yang gagal dengan pengobatan 5-ASA. Budesonide 9
mg sesuai untuk pasien dengan penyakit ileocaecal dengan aktivitas
moderat seperti pada pasien ini. sebuah placebo-controlled trial
menunjukkan rata-rat remisi yang tinggi secara signifikan untuk
budesonide a mg (51%) dan 15 mg (43%) dibandingkan dengan plaseb
(20%). Budesonide dikatakan memiliki efek samping yang lebih rendah
meskipun tidak seefektif prednisone yang memiliki efek samping serius.
31
Sehingga penggunaan prednisone lebih ditujukan pada penyakit yang
severe. Effikasi prednisone dan methylprednisolon telah terbukti dan
keduanya ekuivalen. Dosis 40-60 mg/hari secara oral atau 1 mg/kg per ari
efektif dalam menginduksi remisi. Steroid tidak dipergunakan untuk
mempertahankan remisi karena efek sampingnya. Kurang lebih setengah
pasien yang meneriam steroid menjadi dependent terhadap steroid atau
refraktor.11 Apabila terjadi progresi kearah penyakit yang severe, baru
dibutuhkan steroid intravena (hydrocortisone 400 mg/hari atau
methylprednisolone 60 mg/hari).13
Terapi dengan metronidazole cukup banyak manfaatnya untuk
mengobati Crohn’s disease dan menurunkan derajat aktivitas penyakit
pada fase aktif. Sedangkan pada colitis ulcerative jarang diterapi dengan
antibiotik.1 Metronidazole 10-20 mg/kg/hari meskipun efektif tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk Crohn disease
melihat potensi efeksampingnya (grade A). Penggunaannya ditujukan
untuk pasien tertentu dengan penyakit yang sudah resisten terhadap
terapi atau untuk pasien yang memiliki kontraindikasi terapi steroid.13
Pada pasien ini tidak diberikan metronidazole namun antibiotic yang
diberikan adalah ciprofloksasin. Antibiotik dapat menyembuhkan fistulas
dan abses pada pasien dengan Crohn’s disease. Peneliti juga percaya
bahwa antibiotic dapat membantu mengurangi bakeri intestinal yang
berbahaya dan mensupresi system imun intestine yang menjadi trigger
munculnya gejala.5
Sebuah penelitian yang mempelajari efikasi penambahan
ciprofloxacin dalam terapi Crohn disease yang aktif moderat menunjukkan
bahwa skor CDAI pada kelompok yang menggunakan ciprofloxacin
(n=25) adalah 112 sedangkan pada kelompok placebo (n=12) adalah
205, dimana dikatakan trjadi remisi bila CDAI kurang dari 150 (p <0,001).
Peneitian ini menunukkan bahwa ciprofloxacin efektif ketika ditambahkan
dalam terapi crohn disease yang moderate.14 Obat ini saat ini lebih
banyak digunakan dari pada metronidazoledan terbukti memperbaiki
gejala IBD. Efek samping yang mungkin muncul dari penggunaanya
adalah mual, muntah, dan pusing.5
Berbagai defisiensi nutrisi ditemukan pada pasien dengan IBD.
Berat badan rendah dilaporkan pada 65-75% asien dengan IBD.
32
Kehilangan berat badan dapat terjadai pada pasien yang secar tiba-tiba
mengalami eksaserbasi Crohn disease. Hal ini juga Nampak pada pasien
ini. Pada pasien degan penyakit yag berkepanjangan, gangguan imunitas
seluler dan peningkatan keretanan terhadap infeksi serta sulitnya
penyembuhan luka dapat terjadi. Selain itu, defisiensi trace element dan
vitamin juga terjadi pada pasien IBD.15 Pada pasien ini telah diatur diet
TKTP 2100 kkal per hari yang rendah serat dari awal pasien
diopnamekan. Untuk terapi hipoalbumin dan pasien diberi terapi transfusi
albumin 20%. Pasien juga sempat diberi asam folat, vitamin B kompleks
dan vitamin B12 untuk terapi anemia. Hal ini beralasan karena sebagian
pasien dengan Crohn’s disease mengalami gangguan absorbsi terkait
proses inflamasi pada usus halus sehingga terjadi defisiensi vitamin B12
dan asam folat.10
Prevalensi defisiensi nutrisi pada IBD14
Crohn’s disease (%) Ulcerative colitis (%)
Weight loss 65-75 18-62
Hypoalbumin 25-80 25-50
Anaemia 60-80 66
Iron 39 81
Vitamin B12 48 5
Folic acid 54 36
Calcium 13 NA
Magnesium 14-33 NA
Potassium 6-20 NA
Vitamin A 11 NA
Vitamin C 12 NA
Vitamin D 75 35
Vitamin K 10-25 NA
Zinc 10-50 NA
Pada pasien ini, didapatkan bahwa pada awal masuk pasien
menderita anemia dengan Hb 8,4 g/dl. Anemia merupakan komplikasi
33
sistemik yag paling sering pada IBD. Pada follow up, didapatkan hasil
laboratorium di mana kadar Hb yang seringkali kurang dari 10gr/dl, Ht
yang cenderung dibawah 25% dan kadar besi serum dibawah 38%. Ini
jelas menunjukkan adanya perdarahan yang lewat saluran cerna.
Anemia terkait IBD merupakan contoh yang unik dari kombinasi defisiensi
zat besi kronis dan anemia akibat penyakit kronis. Selain itu, beberapa
obat yang umumnya digunakan pada pengobatan IBD, seperti
salazopyrine, azathioprine, atau mercaptopurine dapat memiliki efek
myelosupresif. Akibat dari anemia pada kualitas hidup pasien IBD adalah
substansial. Suplementasi zat besi sebaiknya dimulai segera setelah
anemia terdeteksi (hemoglobin <13 g/dL pada laki-laki dan <12 g/dL
pada perempuan). Tujuan terapi anemia adalah untuk menormalkan tidak
hanya kadar Hb tapi juga kadar ferritin serum. Karena absorbsi dan
efficacy zat besi peroral tidak lebih besar dengan pemberian dosis tinggi
justru meningkatkan efek samping, maka preparasi zat besi oral diberikan
dalam dosis rendah. IV iron sucrose lebih efektif dibandingkan suplemen
zat besi per oral. Indikasi penggunaan IV iron bila terjadi severe anemia
(Hb<10 g/dL), membutuhkan perbaikan yang cepat pada mild anemia,
intoleransi terhadap oral iron, atau gagal dengan oral iron. Terapi agen
erythropoietin perlu dipertimbangkan apabila pasien tidak responsive
terhadap IV iron, dan pasien yang sudah mendapatkan manajemen yang
agresif tetapi inflamasi tidak tersupresi. Penggunaan agen eryhropietik
harus selalu dikombinasi dengan suplementasi IV iron.10 Untuk terapi
anemia hipokrom normositer, pasien ini langsung diterapi dengan
transfusi PRC 1 labu per hari dengan target sampai dengan Hb
meningkat menjadi 10 gr/dl. Tidak pernah dicobakan untuk diberikan
suplementasi Fe sebelumnya.
Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau
tingkat respon terhadap pengobatan konservatif. Pada pasien ini, saat
direncanakan keluar rumah sakit kondisi pasien dikatakan membaik
dengan kadar Hb dan Ht yang meningkat, tidak didapatkan keluhan diare
dan nyeri perut. Dari pemeriksaan tanda-tanda vital juga semuanya di
batas normal. Pada dasarnya penyakit IBD ini bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat
spontan dan dalam jangka waktu yang lama.1 Untuk menilai aktivitas
34
Crohn’s disease dengan keberhasilan terapi dan terjadinya remisi dapat
digunakan Crohn’s disease activity index (CDAI). Apabila poin kurang dari
150 dikatakan terjadi remisi, 150-219 terjadi mildly active disease, 220-
450 terjadi moderately active disease dan dikatakan severe apabila point
lebih dari 450.12
Table 1. Crohn’s Disease Activity Index (CDAI)
Variable Description MultiplierNumber liquid stools
Sum of 7 days 0= none1= mild2= moderate3= severe
X2
Abdominal pain Sum of 7 days ratings X5General well being
Sum of 7 days ratings X7
Extraintestinal complications
Number of listed complications
Arthritis/arthalgia, iritis/uveitis, erythema nodusum, pyoderma gangrenosum, apthous stomatitis, anal fissure/fistula/abscess, fever > 37.8
X20
Antidiarrhoeal drugs
Use in the previous 7 days
0= no1= yes
X30
Abdominal mass
0= no2= questionable5= definite
X10
Hematocrit Expect-observed Hct Males: 47-observedFemales: 42-observed
X6
Body weight Ideal/observed ratio (1-(ideal/observed))x100 X1 (NOT<-10)
BAB V
KESIMPULAN
1. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien berupa diare kronik dan nyeri
perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum, di samping itu
tentunya disertai gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai
dampak keadaan patologis yang ada sebagai gangguan nutrisi.
2. Pada pasien, dari hasil kolonoskopi diketahui bahwa ulcer didapatkan
pada rectum, sigmoid, colon descendent, colon transverses, colon
ascenden, caecum dan ileus terminalis. Dari biopsy didapatkan jaringan
polipoid disamping nampak adanya ulserasi. Oleh karena itu dari hasil
kolonoskopi disimpulkan pasien menderita penyakit crohn.
35
3. Sifat perjalanan klinis IBD adalah kronik-eksaserbasi-remisi dimana
terdapat fase aktif dan remisi didapatkan pada hasil follow up harian
pasien.
4. Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan
untuk Crohn’s disease dengan pilihan utama adalah prednisone,
metilprednisolon atau steroid enema. Diisamping itu obat yang sudah
lama dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat
sulfasalazin. Pasien diterapi dengan sulfasalazin peroral 2 kali 500cc dan
methylprednisolone peroral 3 kali 16 mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. William A Rowe. 2011. Inflammatory Bowel Disease. (Online)
Htttp://www.emedicine.com. Diakses tanggal 9 Juni 2011
3. Stenson, W. F. 1995. Inflammatory bowel disease. Textbook of gastroenterology.
Philadelphia: JB Lippincott Company
4. Daldiyono, DharmikaDjojodiningrat. 2003. IBD: Hospital Based Data and
Endoscopic Assessment of Disease Activity in Jakarta, Indonesia. J
Gastroenterologi Hep.
36
5. V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of
Inflammatory Bowel Disease. (Online). http//www.aafp.org/. Diakses tanggal 9
Juni 2011.
6. Stefanelli T, Malesci A, Repici A, Vetrano S & Danese S. New Insights
into Inflammatory Bowel Disease Pathophysiology: Paving the Way for
Novel Therapeutic Targets. Current Drug Targets. Bentham Science
Publishers Ltd.
2008;9: 413-418 413.
7. Bamias G, Nyce MR, De La Rue SR, & Cominelli F. New Concepts in the
Pathophysiology of Inflammatory Bowel Disease. Ann Intern Med. 2005;143:895-
904.
8. Sartor RB. Mechanisms of Disease: pathogenesis of Crohn’s disease and
ulcerative colitis. Sartor Nature Clinical Practice Gastroenterology &
Hepatology 39. 2006. Vol 3. No 7.
9. Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of Inflammatory Bowel Disease:
An Overview. 2007;7:575–585.
10. Gisbert JP & Gomoll´on F. Common Misconceptions in the Diagnosis and
Management of Anemia in Inflammatory Bowel Disease. American
Journal of Gastroenterology. 2008.1572-0241.2008.01846.
11. Jennifer H. Floyd. Current Treatment of Crohn’s Disease with an
Emphasis on the Biological Agents. California Journal of Health-System
Pharmacy. 2008.
12. Sostegni R, Daperno M, Scaglione N, Lavagna A, Rocca A & Pera A.
Review article: Crohn’s disease: monitoring disease activity. Aliment
Pharmacol Therapy. 2003; 17 (Suppl. 2): 11–17.
13. M J Carter, A J Lobo, S P L Travis. Guidelines for the management of
inflammatory bowel disease in adults on behalf of the IBD. Section of the
British Society of Gastroenterology Gut. 2004;53(Suppl V):v1–v16.
37
14. Arnold GL, Beaves MR, Pryjdun VO & Mook WJ. Preliminary study of
ciprofloxacin in active Crohn's disease. Inflamm Bowel Dis. 2002
Jan;8(1):10-5.