61250855 responsi ibd

50
1 BAB I PENDAHULUAN Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu colitis ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis. 1 Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Colitis Ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada Colitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal. Sedangkan penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. 2 Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut. 1,2

Upload: jefry-hanensi

Post on 23-Jul-2015

275 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 61250855 Responsi IBD

1

BAB I

PENDAHULUAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih

belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD terdiri dari tiga jenis, yaitu

colitis ulseratif (ulcerative colitis), penyakit crohn (crohn’s disease), dan bila sulit

membedakan kedua hal ini dimasukan dalam kategori indeterminate colitis.1

Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Colitis Ulserativa

sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta

terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada

Colitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan

melibatkan kolon kearah proksimal. Sedangkan penyakit Crohn pertama kali

dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis

regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis

transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.2

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelasan

yang memadai mengenai pola distribusinya. Secara umum diperkirakan bahwa

proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau

diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang rentan dan dipengaruhi

oleh faktor genetik, defek imun, lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses

inflamasi pada dinding usus. Manifestasi tersering dari IBD adalah diare kronik

yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut.1,2

Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia

muda (usia 25-30 tahun). Angka prevalensi colitis ulseratif/penyakit crohn di

Copenhagen adalah 161,2/44,4, Italia 121/40, Jepang 18,1/5,8, dan di Singapura

6,0/3,6. Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif

telah dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut

menunjukkan bahwa insidens Penyakit Crohn adalah 0,2-5,9 per 100.000

anak/tahun, dan insidens Colitis Ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun.2

Insidens IBD lebih tinggi di negara maju dibanding negara berkembang. Di

Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000

populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Colitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19

tahun. Secara umum, prevalensi IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-

laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban,

Page 2: 61250855 Responsi IBD

2

dan terutama bangsa Yahudi. Akan tetapi pada Penyakit Crohn laki-laki

mempunyai insidens 20% lebih tinggi daripada perempuan. IBD cenderung

terjadi pada kelompok sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai

kontrasepsi oral dan diet rendah serat.1,2

Di Indonesia belum ada studi epidemiologi mengenai IBD. Data yang ada

adalah berdasarkan laporan Rumah Sakit (hospital based). Dari data di unit

endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta (RS Ciptomangunkusumo, RS

Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) didapatkan bahwa kasus IBD

terdapat pada 12,2% dari kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari

kasus dengan hematochezia, dan 25,9% dari kasus dengan diare kronik,

berdarah, dan nyeri perut. Sedangkan pada kasus dengan nyeri perut didapatkan

sebesar 2,8%.1

Tingginya angka kejadian IBD menciptakan tantangan terapi bagi klinisi

terkait dengan pengetahuan yang belum komplit tentang penyebab dan

mekanisme terjadinya IBD. Sejauh ini, masih sulit untuk menjawab beberapa

pertanyaan fundamental seperti apa penyebab terjadinya IBD, bagaimana

mekanisme IBD menyebabkan kerusakan jaringan serta bagaimana mengontrol

inflamasi intestinal yang terjadi.6 Pada responsi ini akan dibahas mengenai IBD

dan penatalaksanaanya serta kesesuaian teori dengan data yang didapatkan

dari pasien dengan IBD. Dengan demikian diharapkan dapat menambah

pengetahuan mengenai Inflammatory Bowel Disease dan penatalaksanaannya.

Page 3: 61250855 Responsi IBD

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inflammatory Bowel Disease

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang

melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini masih

belum diketahui dengan jelas. Secara garis besar IBD dibagi menjadi colitis

ulseratif (ulcerative colitis) dan penyakit crohn (crohn’s disease). Hal ini untuk

secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lain yang telah

diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi. Pada beberapa

keadaan, penyakit crohn dan colitis ulseratif mempunyai gambaran klinis yang

tumpang tindih sehingga tidak jarang sulit dibedakan. Dalam beberapa

kepustakaan, selain kedua penyakit tersebut juga dimasukkan intermedinate

colitis atau non-spesific colitis ke dalam kelompok IBD, bila gejalanya tidak jelas

masuk ke diagnosis colitis ulseratif atau penyakit crohn.1,3

2.2 Etiologi

Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD maupun penjelasan yang

memadai untuk menerangkan fenomena populasi ataupun data geografis

penyakit ini. Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan peranan

penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya

keterikatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus,

terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies, peran nitrit oxide dan

riwayat infeksi (terutama Mycobacterium paratuberculosis) banyak dikemukakan.

Yang tetap menjadi masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan

tersebut. Defek imunologisnya kompleks, antara interaksi antigen eksogen,

kemudahan masuk antigen (termasuk permeabilitas epitel usus), dan

kemungkinan disregulasi mekanisme imun pasien IBD.1

Secara umum diperkirakan bahwa proses pathogenesis IBD diawali oleh

adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumenal kolon, yang terjadi

pada individu yang rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, dan

lingkungan, sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.1

Teori etiologi dari inflammatory bowel disease antara lain 8 :

- Infeksi spesifik yang persisten

Page 4: 61250855 Responsi IBD

4

- Dysbiosis (rasio yang abnormal agen microbial yang komensal

detrimental dan beneficial)

- Gangguan fungsi barrier mukosa

- Gangguan cearense microbial

- Gangguan regulasi immunologi

2.3 Pathogenesis Inflammatory Bowel Disease

Hipotesis yang paling berkembang terkait pathogenesis IBD adalah terkait

respon imun sel T yang terlalu agresif terhadap bakteri enterik yang komensal

pada host yang memiliki kerentanan secara genetic, dan factor lingkungan

mencetuskan onset dan reaktivasi dari penyakit ini. Teori yang kompleks ini

melibatkan 4 komponen yang harus saling bersinggungan sehingga penyakit ini

dapat bermanifestasi.8

Interaksi berbagai factor yang berkontribusi dalam inflamasi intestinal yang

kronik pada host yang rentan secara genetik.8

2.3.1 Genetik

Faktor genetic memiliki peran penting dalam pathogenesis IBD. Sekitar 5-

10% pasien IBD memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.7 Mekipun

demikian, pola mendelian inheritance tidak didapatkan.9 Penelitian menunjukan

bahwa setidaknya terdapat 7 loci yang menyebabkan kerentanan terhadap

penyakit crohn atau colitis ulseratif, atau keduanya.7 Keterlibatan gen dalam hal

Page 5: 61250855 Responsi IBD

5

ini adalah terkait dengan regulasi berbagai fungsi biologis yang penting,

termasuk immunoregulatioan, interegitas barrier mukosa dan microbial clearance

dan/atau homeostasis.8

Keterlibatan Genetik dalam Inflammatory Bowel Disease 7

Loci Designation Chromosome Location

Disease Association

Candidate Genes Phenotype Correlation

IBD1 16q12 CD CARD15/NOD2 Ealier disease onset, small intestinal localization and strictures

IBD2 12q13 Intermediate colitis and terminal ileal CD

VDR, NRAMP2, STAT6 and MMP-18

Not reported

IBD3 6p13 CD and UC Major histocompatability complex and TNF

Not reported

IBD4 14q11 CD TCR α/δ, leukotriene B4 receptor, and major histocompatibility complex type 1, antigen presentation- associated proteosome cluster

Not reported

IBD5 5q Intermediate colitis and colonis and ileal-colonic CD

Cytokine cluster (IL-3,IL-4,IL-5 and IL-13;IRF-1;and csf-2)

Perianal disease and early onset

IBD6 19q CD ICAM-1 and DDXL Not reportedIBD7 1p CD and UC Mucin 3, EGFR,

and HGFNot reported

CARD= caspase activating and recruitment domain; CD= Crohn’s disease; CSF-2= Colony stimulating factor isoform 2; DDXL= DEAD/DEAH box helicase; EGFR= Epidermla growth factor receptor; HGF= Hepatocyte growth factor; IBD=Inflammatory bowel disease; ICAM-1= Intercellular adhesion molecule-1; IL= Interleukine; IRF-1= Interferon regulatory factor isoform -1; MMP= Matrix metalloprotease; NRAMP-2= Natural resistant-associated macrophage protein-2; STAT= signal transducer and activator of transcription; TCR= T cell receptor; TNF= tumor necrosis factor; UC= ulcerative colitis; VDR= Vitamin D receptor

Beberapa area yang berhubungan dengan IBD diantaranya adalah

kromosom 16 (IBD1), 12 (IBD2), 6 (IBD3 - the HLA region), dan 14. Lokus IBD1

pada kromososm 16 hanya berkontribusi dalam kerentanan terhadap penyakit

Crohn saja.9 Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan penyakit

crohn dan kehilangan fungsi mutasi pada gen 15 (juga disebut NOD2 atau CARD

15 - capsase activating recruitment domain). Protein NOD2 adalah reseptor

Page 6: 61250855 Responsi IBD

6

intraseluler untuk komponen dinding sel bakteri dan memiliki peranan penting

dalam mengaktivasi sel-sel innate immunity system. Reseptor NOD intraseluler

dan transmembrane Toll-like receptors (TLRs) merupakan molekul yang penting

dalam recognition of pathogen-associated molecular patterns, aktivasi innate

immune system serta pemeliharaan homeostasis mukosa. Muramyl dipeptide,

komponen dari dinding sel bakteri, berikatan dengan CARD15/NOD2 yang

kemundian mengaktifkan NF-kB. NOD diekspresikan oleh makrofag dan juga sel

Paneth pada basal intestinal crypts. Epithelial-oriented “loss of function” pathway

yang berhubunga dengan ketidakmampuan pembersihan mikroorganisme

intraluminal yang efektif akibat penurunan sekresi peptide (defensin) oleh sel

paneth. Sebagai alternative, “loss of function” juga mempengaruhi kemampuan

NOD2 dalam melemahkan signal TLR-2 pada makrofag, sehingga berakibat

pada akivasi NF-kB dan produksi sitokin proinflamasi. Alternative hipotesis

lainnya adalah “gain-of-function” fenotip, dimana secara langsung NOD2

memediasi peningatan signal NF-kB dengan hasil akhir yang sama berupa

peningkatan sekresi sitokin pro inflamasi. Yang terpenting, tidak ada mutasi NOD

yang secara spontan menghasilkan colitis pada tikus. 7

Pengaruh mutasi NOD pada crohn’s disease

Regio lainnya yang dipelajari secara intensif adalah IBD3 pada kromosom

6. Area ini meliputi HLA complex dan berhubungan dengan Crohn’s disease and

ulcerative colitis. Regio ini memiliki berbagai gen yang terlibat dalam respon

Page 7: 61250855 Responsi IBD

7

inflamasi host. Area lainnya yang secara khusus berhubungan dengan Crohn’s

disease adalah kromososm 5q (IBD5) yang memiliki cluster gen sitokin.9

2.3.2 Pengaruh Lingkungan

Merokok adalah salah satu factor lingkungan yang telah terbukti

berpengaruh terhadap manifestasi dari IBD. Asap rokok member

pengaruh yang berbeda terhadap penyakit Crohn’s dibandingkan

dengan colitis ulseratif. Pada colitis ulseratif, resiko perokok lebih

rendah dari pada orang yang tidak pernah merokok. Resiko menurun

dengan peningkatan jumlah rokok. Meskipun demikian, pada

penghentian rokok, resiko menjadi meningkat lebih tinggi

dibandingkan dengan yang bukan perokok. Efek yang berkebalikan

pada penyakit Crohn, merokok justru meningkatkan resiko dua kali

lipat. Tidak ada efek dose-dependent dan penghentian kebiasaan

merokok sedikit menurunkan resiko tetapi tetap lebih tinggi bila

dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. 9

Hubungan yang lain ditunjukkan dengan appendectomy. Sebuah

penelitian menunjukkan bahwa terdapat angka rata-rata apendectomi

yang kecil pada pasien dengan colitis ulseratif. Penelitian di Swedia

menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik antara colitis

ulseratif dengan appendectomy yang dilakukan karena kondisi

inflamasi. Penjelasan yang mungkin dapat diterima adalah kenyataan

bahwa appendiks merupakan limfoid yang besar, dan pengambilannya

mungkin merubah keseimbangan sel T regulator dan efektor. 9

Factor Epidemiologic Association Pathophysiologic AssiociationSmoking Active smoking decrease risk for UC

Former smoking increase risk for UCActive smoking is associated with

milder clinical courseof UCActive smoking increase risk for CDActive smoking is associated with more severe clinical course of CD

Altered mucisal cytokine profileDecreased intestinal IgA

secretionAltered bacterial activity

Altered eicosanoid pathwayAltered generation of free oxygen

radicalsAppendectomy Appendectomy decrease risk of UC Alteration of the balance between

effestor and regulatory factorsPerinatal events

Breastfeeding decrease risk of CDEarly infection increases risk for IBD

Unknown

Socioeconomic factors

Higher economic of status increases rsik for IBD

IBD is more prevalent in Weastern countries than in developing

countriesIBD is more prevalent in northen

Hygiene theory; Higher socioeconomic status is

associated with less frequent helminthic infection during

childhood. This resuls in a lackof aTh2/anti-inflammatory or

Page 8: 61250855 Responsi IBD

8

regions compared with southern regions

regulatory cytokines or both and leaves proinflammatory effector

mechanism unopposed.CD= Crohn’s disease; IBD= inflammatory bowel disease; Th= T-helper; UC= ulcerative colitis

2.3.3 Posibilitas Infeksi

Diduga bahwa salah satu yang memberi kontribusi terhadap

terjadinya IBD adalah adanya sumber infeksi. Banyak bakteri yang

berbeda diduga terlibat dalam pathogenesis IBD. Proses inflamasi yang

dilihat sebagai bentuk penyakit dalam hal ini merupakan hasil dari

disfungsional respon yang memang diperlukan terkait adanya sumber

infeksi. Pada penyakit crohn, Mycobacterium paratuberculosis,

Pseudomonas species, dan Listeria species diduga sebagai penyebab

meskipun sejauh ini bukti yang ada belum cukup banyak. Pada colitis

ulseratif, Bacillus species, adhesive E. coli, dan Fusobacterium varium

diduga terlibat. 9

2.3.4 Faktor Immunologi

Pada IBD terjadi perubahan inflamsi yang kronik pada

traktus gastriintestinalis. Ha lini dimediasi oleh factor imunologi yang

berbeda untuk penyakit crohn dan colitis ulseratif, meskipun keduanya

menimbulkan dampak pada aktivasi sel T. 9 Menurut pemikiran

konvensional, inflamasi pada usus terjadi akibat respon inflamasi yang

diperantarai oleh sel-sel acquired immune system. Namun, innate immunity juga

dikatakan berperan penting dalam terjadinya IBD. 7

Page 9: 61250855 Responsi IBD

9

Presentasi antigen intraluminal pada limfosit mukosal oleh atigen presenting cell (APC). Pada usus normal (kiri) inflamasi dapat dicegah dengan kontrol terhadap sel T

efektor pada mukosa melalui dua mekanisme. Pertama , regulasi subpopulasi sel T pada sistem imun mukosa menekan aktivitas sel T efektor dalam memproduksi interleukin 10 dan TGFβ. Kedua, kontrol juga terjadi akibat eliminasi Teff melalui apoptosis. Pada IBD,

kedua mekanisme ini terganggu (kanan). 7

Epitel usus yang merupakan bagian dari innate immune system berperan

penting dalam mempertahankan homeostasis mucosal. Oleh karena itu

gangguan sel epithelial dapat menyebabkan terjadinya IBD. Sel-sel epithelial

membentuk barier antara tubuh dan microenviroment intraluminal. Gangguan

pada barier ini dapat menyebabkan inflamasi usus. 7

Sel-sel epithelial dapat berperan sebagai antigen presenting cells karena

memiliki kemampuan mengikat antigen, memproses dan mempresentasikanya

pada sel-sel imun. Oleh karena itu sel epithelial dapat merangsang kemokin yang

akhirnya menimbulkan proses inflamasi di mukosa usus. Banyak kemokin yang

berperan dalam pathogenesis utama terjadinya IBD, seperti tumor necrosis

factor, interleukin 1, dan interleukin 6. Mediator inflamasi utama pada penyakit

crohn adalah sitokin Th1, interleukin 12, interferon γ dan tumor necrosis factor.

Sedangkan pada colitis ulseratif mediator utamanya adalah sitokin Th2 dan

interleukin 5. 7

Page 10: 61250855 Responsi IBD

10

Inflamasi pada penyakit crohn ditriger oleh sel Th1, yang

menginduksi cell-mediated immune response. Sitokin IL-12 meningkat

pada mukosa penyakit crohn. Hal ini menimbulkan peningkatan respon

Th1 dan juga peningkatan IFN-g. selanjutnya, IFN-g menyebabkan up-

regulasi dari makrofag sehigga terjadi siklus inflamasi yang tidak

terkontrol.hilangnya regulasi terhadap aktivasi sel Th1 dan makrofag

yang berlebihan juga menyababkan aktivasi matrix metalloproteinase,

melalui jalur IFN-g dan TNF-a, yang berakibat pada kerusakan jaringan.

Penjelasan laian mengenai inflamasi yang tidak terugulasi ini adalah

sel T pada penyakit Crohn bersifat reisten terhadap apoptosis yang

normal sehingga menyebabkan perkembangan lebih lanjut dari siklus

inflamasi. Pada colitis ulseratif, inf;amasi diregulasi oleh sel Th2, yang

memediasi sel B dan respon antibody, meskipun demikian hal ini

belum terbukti. Telah ditunjukkan bahwa terdapat peningkatan IL-5,

yang merupakan sitokin Th2, namun IL-4, sitokin Th2 yang lain, tidak

meningkat. Kontribusi Th2 mungkin membantu respon antibody,

karena pada colitis ulseratif terjadi peningkatan sel plasma IgG yang

diediasi oleh sel T.9

2.4 Manifestasi Klinis

Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan

manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi

ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema

nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran keadaan

sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada sebagai

gangguan nutrisi. Gambaran klinis colitis ulseratif relatif lebih seragam

dibandingkan dengan penyakit crohn. Hal ini disebabkan karena distribusi usus

yang terlibat pada colitis ulseratif adalah kolon, sedangkan pada penyakit crohn

lebih bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat

melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal.1,3

Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini

dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan.

Dengan sifat perjalan klinis IBD yang kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan

suatu kriteria klinis sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan

pedoman keberhasilan pengobatan umum maupun menetapkan fase remisi.

Page 11: 61250855 Responsi IBD

11

Secara umum Disease Activity Index (DAI) yang didasari dari frekuensi diare,

ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada

pemeriksaan endoskopi, dan penilaian klinis secara umum oleh dokter, dapat

dipaki untuk maksud tersebut.1

Derajat klinis colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang, dan ringan

berdasarkan frekuensi diare, adanya demam, derajat anemia, dan laju endap

darah (klasifikasi Trulove). Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai

dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah

berat secara gradual dalam beberapa minggu. Berat ringannya serangan

pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat

difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.1

Pada penyakit crohn selain gejala umum di atas, adanya fistula

merupakan hal yang khas (termasuk di perianal). Nyeri perut relatif lebih

mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga dapat

menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya bacterial

overgrowth.1

Secara endoskopik, penilaian aktivitas penyakit colitis ulseratif lebih

mudah dengan menilai gradasi berat-ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian

usus yang terlibat. Tetapi pada penyakit crohn hal tersebut lebih sulit, terlebih bila

ada keterlibatan usus halus (tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan

endoskopi), sehingga dipakai criteria yang lebih spesifik (Crohn’s Disease Activity

Index) yang didasari pada penilaian adanya demam, data laboratorium,

manifestasi ekstra-intestinal, frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan

berat badan, terabanya massa intra-abdomen, dan rasa sehat pasien.1

Tabel Gambaran Klinis IBDColitis Ulseratif Penyakit Crohn

Gejala dan tanda :

o Diare kronik

o Hematochezia

o Nyeri perut

o Adanya massa intraabdomen

o Terjadinya fistula

o Timbul striktur/stenosis usus

o Keterlibatan usus halus

++

++

+

0

+/-

+

+/-

95%

++

+

++

++

++

++

++

50%

Page 12: 61250855 Responsi IBD

12

o Keterlibatan rectum

o Menifestasi ekstraintestinal

o Komplikasi megatoksik kolon

+

+

+

+/-

Gambaran Patologi :

o Lesi bersifat segmental

o Bersifat transmural

o Didapatkan granuloma

o Terjadi proses fibrosis

o Terjadi fistula

0

+/-

0

+

+/-

++

++

50%

++

++

Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak

Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu:

Ringan-sedang

Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa

abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10%

Sedang-berat

Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap,

penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten

(tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan.

Berat-fulminan

Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau penderita

dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra

abdominal.

Page 13: 61250855 Responsi IBD

13

Pada Colitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang

berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.

Prodromal (<5%)

Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan

LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi.

Ringan (50-60%)

Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik

Sedang (30%)

Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness

Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan

Berat (10%)

Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi,

takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan

hipoalbuminemia

2.5 Gambaran Laboratorium

Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk IBD, Sebagian

besar hanya merupakan parameter proses inflamasi secara umum atau dampak

sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal yang mempengaruhi

digesti/absopsi. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang

spesifik sebagai dasar diagnosis IBD maupun untuk membedakan colitis ulseratif

dengan penyakit crohn. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai

derajat aktivitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien. Parameter

yang banyak dipakai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar besi serum

untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah untuk menilai

aktivitas inflamasi serta kadar albumin serum untuk status nutrisi, serta C

reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter aktivitas penyakit.1

2.6 Diagnosis

Secara praktis diagnosis IBD didasarkan pada anamnesis yang akurat

mengenai adanya perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-

Page 14: 61250855 Responsi IBD

14

remisi diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta ada riwayat keluarga.

Gambaran kliniknya sesuai penjelasan di atas. Data laboratorium menyingkirkan

penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya infeksi

gastrointestinal. Temuan endoskopik yang karakteristik dan didukung konfismasi

histopatologis. Temuan radiologic yang khas, dan pemantauan pejalanan klinik

pasien yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.1

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis

maupun penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi pada IBD

adalah 89% dengan 4% kesalahan dan 7% hasil yang meragukan.1

Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan

mukosa kolon secara difus dan kontinyu, dimulai dari rectum dan menyebar ke

proksimal. Sedangkan penyakit crohn bersifat transmural, segmental dan dapat

terjadi di saluran cerna bagian atas, usus halus, ataupun kolon.1

Dari data kolonoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan

bahwa lokasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12%

kolon sebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-colitis). Sedangkan

penyakit crohn, 11% terbatas pada ileum terminal, ileo-kolon 33%, dan kolon

56%. Ileo-saekal merupakan predileksi beberapa penyakit yaitu TBC, amebiasis,

penyakit crohn, dan keganasan. Data di Jakarta memperlihatkan bahwa pada

temuan lesi per-kolonoskopik yang terbatas pada ileo-saekal disebabkan oleh

17,6% penyakit crohn, 23,5% TBC, 17,6% amebiasis, dan 35,4% colitis infektif.1,4

Tabel Gambaran Lesi Inflamasi IBD Secara Endokopik

Colitis

ulseratif

Penyakit

Crohn

Lesi inflamasi (edema,hiperemi,erosi,

dll)

Bersifat kontinyu, adanya skip area

(adanya mukosa normal di antara lesi)

Keterlibatan rectum

Lesi mudah berdarah

Cobblestone appearance/ pseudopolip

+++

0

+++

+++

+

+

+++

+

+

+++

Page 15: 61250855 Responsi IBD

15

Sifat ulkus :

Terdapat pada mukosa yang inflamasi

Keterlibatan ileum (ada lesi di ileum)

Lesi ulkus berukuran diskrit

Bentuk ulkus :

- Diameter > 1cm

- Dalam

- Bentuk linier (longitudinal)

- Aphtoid

+++

0

+

+

+

+

0

+

++++

+++

+++

+++

+++

++++

Ket : (++) Sering, (+) Kadang-Kandang, (+/-) Jarang, (0) Tidak

2.7.2 Radiologi

Teknik pemeriksan radiologi kontras merupakan pemeriksaan diagnostik

pada IBD yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda

dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang irregular, gambaran ulkus

dan polip, ataupun perubahan distensibilitas lumen kolon berupa penebalan

dinding usus dan hilangnya haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi

dengan aktivitas penyakit. Pemeriksaan radiologi merupakan kontraindikasi pada

colitis ulseratif berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos

abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu

tampak lumen usus yang melebar tanpa material feses di dalamnya. Untuk

menilai keterlibatan usus halus dapat dipakai metode enterocolytis yaitu

pemasangan kanul nasogastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga

barium dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi pylorus.

Peran CT scan dan ultrasonografi lebih banyak ditujukan pada PC dalam

mendeteksi adanya abses ataupun fistula.1

2.7.3 Histopatologi

Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostic dari

pada specimen yang diambil secara biopsy per-endoskopik. Terlebih lagi bagi

penyakit yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak dapat dijangkau dengan

teknik biopsy per-endoskopik. Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah

adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel monoukleus dan polimorfonuklear

di lamina propia. Sedangkan pada penyakit crohn adanya granuloma tuberkuloid

Page 16: 61250855 Responsi IBD

16

(terdapat 20-40% kasus) merupakan hal yang karakteritik disamping adanya

infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina propia serta ulserasi yang dalam.1

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah

komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memperbaiki status

nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal

tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah

pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti

ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan

positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan

tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin

mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai

peranan dalam proses inflamasi pada Colitis Ulserativa.2

2.7.1 Terapi Medikamentosa

Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi,

mencegah dan mengurangi relaps adalah:

1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis

tinggi digunakan untuk induksi remisi.

· Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat

ditingkatkan sampai 75 mg/kg

· Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal

3,2g/hari)

· Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis

2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam

mempertahankan remisi.

· Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi

· Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis

3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi.

· Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal

· 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal

4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi

· infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab,

dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara

Page 17: 61250855 Responsi IBD

17

intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat

moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3

kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu.

Data penggunaan infliximab pada Colitis Ulserativa tidak sebaik pada

Penyakit Crohn.5

5. Antibiotika

· Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole

diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn

Terapi medikamentosa pada Colitis Ulserativa tergantung dari derajat

berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk

mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah

komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah

karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi

terbagi menjadi 2 tipe yaitu:5

· Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan

dapat dicapai dengan terapi topikal

· Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis

dan memerlukan terapi sistemik

Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif,

penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan

nutrisi. Sampai saat ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat

mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn. Oleh karena itu,

medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi

frekuensi serangan eksaserbasi.5

2.7.2 Terapi Bedah

Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat

penyakit. Tujuan terapi bedah pada Colitis Ulserativa dan Penyakit Crohn

berbeda. Karena kelainan Colitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total

kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana

kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat

ini belum ada terapi bedah definitif.5

Indikasi bedah pada Penyakit Crohn adalah:

· Obstruksi traktus gastrointestinal

· Fistula

Page 18: 61250855 Responsi IBD

18

· Abses

· Perdarahan yang tidak terkontrol

· Megakolon toksik

· Perforasi

· Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa

· Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang

terbatas (localized disease)

Indikasi bedah untuk Colitis Ulserativa adalah:

· Megakolon toksik

· Perdarahan yang masif/tidak terkontrol

· Perforasi

· Prolonged corticostreoid dependent

· Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif

· Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi

· Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan

· Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa

· Striktur.5

Page 19: 61250855 Responsi IBD

19

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. Hanik Nur Hamidah

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 28 Agustus 1976

Alamat : Ling Tumpuk RT 1/5 Tangkil Wlingi Blitar

Pekerjaan : -

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Status kawin : Kawin

No MR : 1111895

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Diare

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengeluh diare sejak 4 bulan yang lalu. Frekuensi diare sehari

sebanyak 10x dengan volume sedikit tidak dihitung pasien tapi sering.

Konsistensi diare cair tanpa darah atau lender dan warna seperti kotoran biasa.

Setelah itu pasien menyatakan buang air besar berkurang sejak 3 hari yang lalu

yaitu 3x setiap hari. Tidak ditemukan darah dalam kotoran dan kotoran

konsistensi agak lembek.

Pasien dikatakan demam tinggi 5 hari yang lalu. Demam disertai dengan

menggigil. Pasien mempunyai riwayat sering nyeri perut bagian ulu hati sejak 2

bulan yang lalu, namun nyeri tersebut hilang timbul. Mual dan muntah kadang-

kadang terjadi.

Sejak 4 bulan yang lalu berat badan pasien menurun. Sejak 2 bulan ini nafsu

makan pasien menurun. Badan pasien juga lemah hingga sulit berjalan. Pasien

juga mengeluh buang air kecil yang berkurang.

Pasien mempunyai riwayat masuk rumah sakit di Rumah Sakit Marsudi

Waluyo selama 11 hari sebelum dirujuk ke RSSA. Selama sakit pasien

mengkonsumsi obat 3 macam yang pasien sendiri tidak pasti nama obatnya.

Page 20: 61250855 Responsi IBD

20

Pasien pernah dikatakan mengidap TB paru pada bulan Maret dari

pemeriksaan foto dada. Namun terapi obat anti tuberkulosa tidak diberikan.

Riwayat batuk-batuk lama tidak dikeluhkan. Riwayat sakit seperti ini juga tidak

didapatkan. Riwayat keluarga yang mengidap penyakit serupa tidak didapatkan.

Review of systemLelah + Demam +Penuruanan berat badan +Pneumonia +Nafsu makan menurun +Mual/ muntah +Diare +BAB meningkat +Abdomen nyeri +

3.3 Pemeriksaan Fisik

GA look moderately ill GCS 456

BP 120/100 mmHg

PR 88x/mnt

RR 28x/mnt

Tax 34,6

Head/neck : anemic +, icteric -, edema palpebra +

JVP R+ 0cmH2O on 30o

Tho : C/ ictus invisible, palpable at MCL ICS V S

LHM ICS V MCL S/ at ictus

RHM SL D

S1S2 single murmur

P/ simetris SF D=S

S S V V Rh - - Wh - -

S S V V - - - -

D D - - - -

Abdomen : flat, soefl, meteorismus +, BU + , shifting dullness +

Liver span 10 cm, troube space dullness

Ekstremity : anemic -, akral hangat, eritema palmaris –

Edema - -

+ +

Page 21: 61250855 Responsi IBD

21

3.4 Pemeriksaan Penunjang

3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

DL: 3100/8,4/25,0/48.000

GDA 82

Ur/Cr 10,6/0,22

SGOT/SGPT 45/41

Na 129

K 3,1

Cl 109

Albumin 1,33

Bil T/ D/ I 0, 2,62/ 1,57/ 1,05

3.4.2 Colonoscopy dan Pemeriksaan Patologi Anatomi

Laporan Colonoscopy 19 Mei 2011

Colonoscopy masuk sejauh ileus terminalis

Page 22: 61250855 Responsi IBD

22

Lokalisasi Mucosa Haustrae Ulcus Polyp

Masa

Tumor Pendarahan

Anus            

Rectum 5 cm tampak ulcer

Sigmoid Sigmoid normal, sebagian colpn desc normal sebaian lagi

terdapat ulcer dan polipoidColon Desc

Colon TrnsSeluruh Permukaan dipenuhi ulcerasi dan jaringan polipaid -->

biopsi (+)Colon Asc

Caecum

Ileus

Terminalis ulcerasi (+) polipaid (+) --> Biopsi (+)

Kesimpulan: Suspek Crohn’s disease

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi (24 Mei 2011)

Lokalisasi : 1. Ileum Terminalis 2. Colon

Makroskopik

- Dari ileum terminal : jaringan sangat kecil

- Dari colon jaringan sangat kecil

Mikroskopik

Page 23: 61250855 Responsi IBD

23

- Jaringan mukosa ileum dengan stroma beradang menahun

- Jaringan mukosa colon dengan stroma beradang menahun

Kesimpulan

- |+||. Jaringan ileum dan colon dengan keradangan menahun

- Tidak didapatkan keganasan dalam sediaan ini.

Laporan Colonoscopy (9 Juni 2011)

Keluhan : Evaluasi Colitis

Diagnosa Klinik: Chron Disease

Pengobatan : Sulfazalazine, Methylprednisolon

Colonoscope masuk sejauh caecum

Page 24: 61250855 Responsi IBD

24

Lokalisasi Mucosa Haustrae Ulcus Polyp

Masa

Tumor Pendarahan

Anus            

Rectum 5 cm tampak ulcerasi membaik

Sigmoid 50 cm __________ tampak ulcerasi besar dengan dasar jernih

bersih Biopsi PAColon Desc

Colon Trns

Ulcerasi (+) dengan dasar jernih / bersih; polipoid (+)Colon Asc

Caecum

Kesimpulan : susp chron disease membaik dibandingkan dengan sebelumnya

Hasil PA : Tunggu hasil PA

3.4.3 USG

USG Abdomen (27 Mei 2011)

Hepar :ukuran normal, sudut tajam, permukaan rata, intensitas

ectoparenchym homogeny normal, system portal vaskuler dan

bilier tidak melebar, nodul/kista/abscess (-)

Gall Bladder :contracted dengan dinding menebal ireguler, ukuran 4mm

batu/sludge (-)

Pancreas :ukuran normal, echoparenchym homogeny, tidak tampak

kalsifikasi

Lien :ukuran normal, tepi kanan, permukaan rata, echoparenchym

homogen, nodul (-), kista (-)

Ren D/S :ukuran normal, echocortex tdk meningkat, pelvic calyceal syst

tidak melebar, batas cortex medulla tegas

VU :ukuran normal, dinding regular, massa/batu (-)

Uterus :ukuran normal, posisi anteflexi

Adnexa :normal, tidak tampak massa solid maupun kistis

Kesimpulan

- Ascites

- Penebalan dinding gall bladder difus

Page 25: 61250855 Responsi IBD

25

3.4.4 Pemeriksaan Foto Thoraks

Foto toraks posisi PA (25/5/2011)

Cor : Bentuk, ukuran, posisi normal

Pulmo : Infiltrat hampir di semua lapangan paru

Trakea : Di tengah

Sinus D: Tampak diselubungi cairan di perifer dan superior cavum torkas D

S: Tajam

Hemidiapragma D/S dome shape

Soft tissue & skeletal normal

Kesimpulan: Pneumonia

Penebalan pleural D kemungkinan sikatriks

Konfirmasi terkait diagnosis tuberculosis dari anamnesa terhadap pasien

dilakukan dengan pemeriksaan BTA sputum dan TB ICT dimana hasilnya adalah

negative. Sedangkan untuk konfirmasi adanya pneumonia dilakukan kultur gram

sputum sensitivity test dengan hasil bakteri gram + staphylococcus.

3.5 Problem dan Diagnosis

Page 26: 61250855 Responsi IBD

26

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

Pasien didiagnosis crohn’s disease yang menyebabkan manifestasi klinis berupa

diare kronik. Diare yang bersifat kronis ini menyebabkan terjadinya hipokalemia

pada pasien akibat GI loss. Selain itu, sebagai komplikasi yang sering dari IBD,

pasien ini juga mengalami anemia hipokrom mikrositeir akibat kombinasi dari

defisiensi zat besi dan proses penyakit yang kronis, serta tidak menutup

kemungkinan adanya defisiensi vitamin B12 atau asam folat akibat intake yang

menurun dan absorbsi yang menurun dari ileum yag mengalami inflamasi. Pada

pasien ini juga didapatkan edema anasarka akibat kondisi hipoalbuminemia yang

disebabkan oleh intake yang menurun sehingga pada pemeriksaan fisik awal

juga didapatkan kesan adanya efusi pleura yang minimal pada pleura kiri dan

kanan. Permasalahan lain yang didapatkan pada pasien adalah adanya

pneumonia yang telah dikonfirmasi dengan foto thorax dan kultur sputum.

3.6 Terapi

Selama MRS di RSSA mulai 12 Mei hingga 13 Juni 2011,

penatalaksanaan yang telah dilakukan pada pasien berupa :

- IVFD NS/D5 % 16 tpm

- Diet bubur halus 1900 kcal/hari

- Inj. Gentamicin 2x 80 mg

- Inj. ciprofloxacin 2x200 mg IV

- Inj. ranitidine 2x50 mg IV

- Sulfazalazin 2x500 mg

- methylprednisolone 3x16 mg

- loparamide 2 mg k/p

- Transfusi albumin 10%

- Metoclopramid 3x10mg

- Folic acid 1x3

- Vit B kompleks dan vit B12 3x1

- Tranfusi PRC hingga Hb>= 10 gr/dl

Page 27: 61250855 Responsi IBD

27

BAB IV

PEMBAHASAN

Diare kronik disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan

manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi

ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema

nodusum dan kolangitis. Di samping itu tentunya disertai gambaran

keadaan sistemik yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang

ada sebagai gangguan nutrisi.1,3 Pada pasien yang dilaporkan, dari

anamnesa didapatkan bahwa pasien diare sejak 4 bulan. Diare yang

bersifat kronik ini terjadi dengan frekuensi hingga 10x per hari.

Konsistensi diare cair tanpa darah atau lender dan warna seperti kotoran

biasa. Pasien mengalami demam tinggi dan menggigil selama 5 hari

sebelum MRS. Badan pasien juga lemah serta terjadi penurunan berat

badan dalam 4 bulan. Hal ini terjadi akibat malabsorbsi nutrient karena

diare kronik. Selain itu nampak terjadinya hipoalbumin dan hipokalemi

akibat diare kronik dan intake yang kurang setelah penurunan nafsu

makan. Nampak terdapat kesesuaian antara teori dengan gejala klinis

yang muncul pada pasien. Dari data di unit endoskopi pada beberapa

rumah sakit di Jakarta (RS Cipto Mangunkusumo, RS Tebet, RS Siloam

Gleaneagles, RS Jakarta) didapatkan data bahwa kasus IBD terdapat

pada 12,2% dari kasus diare kronik dan 25,9% dari kasus dengan diare

kronik, berdarah, nyeri perut.1 Pada pasien ini terjadi diare kronik yang

tidak berdarah dan disertai dengan nyeri perut.

Secara garis besar IBD terdapat 3 jenis, yaitu colitis ulseratif (KU)

dan penyakit Crohn dan bila sulit dibedakan termasuk dalam kategori

Intermediate colitis. Gambaran klinis penyakit crohn relative lebih

beragam. Hal ini disebabkan karena distribusi usus yang terlibat pada

colitis ulseratif adalah kolon, sedangkan pada penyakit crohn lebih

bervariasi yaitu dapat hanya usus halus, ileosaekal, kolon ataupun dapat

melibatkan semua bagian traktus gastrointestinal.1,3 Pada pasien, dari

hasil kolonoskopi diketahui bahwa ulcer didapatkan pada rectum,

sigmoid, colon descendent, colon transverses, colon ascenden, caecum

dan ileus terminalis. Dari biopsy didapatkan jaringan polipoid disamping

nampak adanya ulserasi. Oleh karena itu dari hasil kolonoskopi

Page 28: 61250855 Responsi IBD

28

disimpulkan pasien menderita penyakit crohn. Pemeriksaan endoskopi ini

memiliki peran penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan kasus IBD

dengan akurasi 89%. Sedangkan pemeriksaan laboratorium sampai saat

ini tidak banyak membantu karena tidak ada parameter yang spesifik

untuk IBD maupun untuk membedakan colitis ulseratif dengan penyakit

cronh

Sifat perjalanan klinis IBD adalah kronik-eksaserbasi-remisi

dimana terdapat fase aktif dan remisi.1 Pada pasien ini dari anamnesa

pasien menyangkal adanya riwayat keluhan yang sama sebelumnya.

Keluhan dirasa baru 4 bulan ini, namun dari anamnesa juga pasien

menyatakan bahawa 3 hari sebelum masuk rumah sakit BAB berkurang

menjadi 3 kali per hari. Selama follow up harian, kondisi pasien

menunjukkan manifestasi klinis diare yang sempat berkurang bahkan

menghilang kemudian muncul kembali. Serta pasien juga mengalami

nyeri perut yang juga hilang timbul. Ini membuktikan adanya proses

eksaserbasi dan proses remisi dari IBD.

Gambaran klinis IBD yang bervariasi memerlukan data-data yang

meluas untuk membedakan dengan penyakit lain yang sering ditemukan

di Indonesia. Sebagai contohnya colitis infeksi yang disebabkan oleh TB.1

Pasien ini sempat didiagnosa dengan colitis TB. Namun setelah dilakukan

pemeriksaan BTA dan TB ICT, hasil yang diperoleh adalah negative.

Jelas menunjukkan colitis TB dapat disingkirkan dari diagnosa banding.

Dari hasil laboratorium yang lain, tidak banyak membantu dalam

menegakkan diagnosa IBD. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang

spesifik untuk IBD. Adanya abnormalitas parameter laboratorium dalam

hal kadar hemoglobin, lekosit, LED, trombosit, C-reactive protein, kadar

besi serum dapat terjadi pada kasus IBD, tetapi dapat juga terjadi pada

kasus infeksi. Sebagian besar parameter laboratorium ini hanya

menggambarkan proses inflamasi secara umum atau dampak sistemik

akibat proses inflamasi. Penurunan kadar Hb, Ht dan besi serum dapat

menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna.1

Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis IBD yang belum jelas,

maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade

proses inflamasi. Manajemen farmakologi meliputi penggunaan

aminosalicylates, corticosteroids, immunosuppressants, dan biological

Page 29: 61250855 Responsi IBD

29

agents.11 Dengan dugaan adanya agen proinflamasi dalam bentuk bakteri

intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan

proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka

diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian

antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja

usus dan perubahan pola diet.1

Tujuan dari terapi IBD, dalam kasus ini adalah crohn’s disease,

adalah untuk menginduksi dan mempertahankan remisi sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup. Pilihan terapi tergantung pada keparahan

penyakit. Keparahan crohn’s disease dilihat dari manifestasi klinis yang

muncul dapat digolongkan menjadi mild-moderate, moderate-severe dan

severe-fulminant disease.11

Mild-moderate : Ambulatory patient, pasien masih dapat mentoleransi diet per

oral tanpa dehidrasi, toksisitas, abdominal tenderness, masa atau obstruksi.

Moderate-severe : pasien yang tidak termasuk dalam kriteria mild-moderate

dengan gejala seperti demam, penurunan berat badan, nyeri perut dan

tenderness, mual dan muntah yang itermiten atau anemia.

Severe-fulminant : pasien dengan gejala yang ersisten dengan steroid atau

pasien dengan demam tinggi, muntah yang persisten obstruksi intestinal,

cachexia atau abses

Remisi : pasien yang asimtomatik baik secara spontan maupun setelah

intervensi medic atau bedah. Pasien yang membutuhkan steroid agar tetap

asimtomatik tidak termasuk remisi.11

Pada kasus ini nampak bahwa dari gejala klinis pasien cenderung

mengalami moderate-severe crohn disease. Terapi lini pertama untuk IBD

dengan keparahan moderate-severe adalah penggunaan 5-acetil salicylic

acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid.11 Sampai saat ini obat golongan

glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk Crohn’s disease dan colitis

ulcerative derajat sedang dan berat. Pilihan utama adalah prednisone,

metilprednisolon atau steroid enema. Obat yang sudah lama dan mapan

dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat sulfasalazin yang

merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo.1

Setelah diagnosa Crohn’s disease ditegakkan pada pasien ini, pasien

diterapi dengan sulfasalazin peroral 2 kali 500cc dan methylprednisolone

peroral 3 kali 16 mg perhari.

Page 30: 61250855 Responsi IBD

30

Sejak lama 5-aminosalicylates (5-ASA) oral digunakan untuk

mengobati IBD termasuk Crohn disease ringan hingga moderate. 5-ASA

bekerja melalui menurunkan inflamasi dengan mencegah pembentukan

arachidonic acid pada pathway cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase.

Obat-obatan ini juga memiliki aktivitas immunomodulator dengan

emnurunkan fungsi limfosit dan monosit dan mencegah antibody dari sel

plasma. Preparat 5-ASA dapat menginduksi remisi tapi memiliki

keterbatasan dalam efektivitas mempertahankan.11 Pada kasus ini,

preparat ASA yang dipilih adalah sulfazalazin. Sulfasalazin diketehui

memiliki efek samping yang cukup banyak jika dibandingkan dengan

preparat 5-ASA lainnya seperti mesalamin.13 Sulfasalazine memiliki efek

samping yang terjadi pada 10-45% berupa sakit kepala, nyeri

epigastrium, muntah, cyanosis, skin rash, fever, hepatitis, autoimmune

haemolysis, aplastic anemia, leucopenia, agranulocytosis, folate

deficiency, pancreatitis, systemic lupus erythematosus, Stevens-Johnson

syndrome dan toxic epidermal necrolysis, pulmonary dysfunction serta

infertilitas pada laki-laki.13 Oleh karena itu, penting untuk mengobservasi

apakah terjadi keluhan yang terkait dengan efek samping pengobatan

mengunakan preparat ini pada pasien. Bahkan dikatakan bahwa

meskipun sulfasalazin 4 g perhari efektif untuk Crohn’s disease yang aktif,

obat ini tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena

tingginya insiden dari efek sampingnya (grade A). Pada pasien dengan

penyakit yang moderate hingga severe seperti pada kasus ini, terapi awal

yang dianjurkan adalah mesalazine dosis tinggi (4 g/hari) dengan

kombinasi kortikosteroid seperti prednisolone 40 mg perhari (grade A). 13

Penggunaan steroid oral pada pasien ini sesuai karena steroid

oral digunakan untuk menginduksi remisi pada psien dengan penyakit

yang moderate hingga severe, atau crohn disease ileocolonik yang mild

hingga moderate yang gagal dengan pengobatan 5-ASA. Budesonide 9

mg sesuai untuk pasien dengan penyakit ileocaecal dengan aktivitas

moderat seperti pada pasien ini. sebuah placebo-controlled trial

menunjukkan rata-rat remisi yang tinggi secara signifikan untuk

budesonide a mg (51%) dan 15 mg (43%) dibandingkan dengan plaseb

(20%). Budesonide dikatakan memiliki efek samping yang lebih rendah

meskipun tidak seefektif prednisone yang memiliki efek samping serius.

Page 31: 61250855 Responsi IBD

31

Sehingga penggunaan prednisone lebih ditujukan pada penyakit yang

severe. Effikasi prednisone dan methylprednisolon telah terbukti dan

keduanya ekuivalen. Dosis 40-60 mg/hari secara oral atau 1 mg/kg per ari

efektif dalam menginduksi remisi. Steroid tidak dipergunakan untuk

mempertahankan remisi karena efek sampingnya. Kurang lebih setengah

pasien yang meneriam steroid menjadi dependent terhadap steroid atau

refraktor.11 Apabila terjadi progresi kearah penyakit yang severe, baru

dibutuhkan steroid intravena (hydrocortisone 400 mg/hari atau

methylprednisolone 60 mg/hari).13

Terapi dengan metronidazole cukup banyak manfaatnya untuk

mengobati Crohn’s disease dan menurunkan derajat aktivitas penyakit

pada fase aktif. Sedangkan pada colitis ulcerative jarang diterapi dengan

antibiotik.1 Metronidazole 10-20 mg/kg/hari meskipun efektif tidak

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk Crohn disease

melihat potensi efeksampingnya (grade A). Penggunaannya ditujukan

untuk pasien tertentu dengan penyakit yang sudah resisten terhadap

terapi atau untuk pasien yang memiliki kontraindikasi terapi steroid.13

Pada pasien ini tidak diberikan metronidazole namun antibiotic yang

diberikan adalah ciprofloksasin. Antibiotik dapat menyembuhkan fistulas

dan abses pada pasien dengan Crohn’s disease. Peneliti juga percaya

bahwa antibiotic dapat membantu mengurangi bakeri intestinal yang

berbahaya dan mensupresi system imun intestine yang menjadi trigger

munculnya gejala.5

Sebuah penelitian yang mempelajari efikasi penambahan

ciprofloxacin dalam terapi Crohn disease yang aktif moderat menunjukkan

bahwa skor CDAI pada kelompok yang menggunakan ciprofloxacin

(n=25) adalah 112 sedangkan pada kelompok placebo (n=12) adalah

205, dimana dikatakan trjadi remisi bila CDAI kurang dari 150 (p <0,001).

Peneitian ini menunukkan bahwa ciprofloxacin efektif ketika ditambahkan

dalam terapi crohn disease yang moderate.14 Obat ini saat ini lebih

banyak digunakan dari pada metronidazoledan terbukti memperbaiki

gejala IBD. Efek samping yang mungkin muncul dari penggunaanya

adalah mual, muntah, dan pusing.5

Berbagai defisiensi nutrisi ditemukan pada pasien dengan IBD.

Berat badan rendah dilaporkan pada 65-75% asien dengan IBD.

Page 32: 61250855 Responsi IBD

32

Kehilangan berat badan dapat terjadai pada pasien yang secar tiba-tiba

mengalami eksaserbasi Crohn disease. Hal ini juga Nampak pada pasien

ini. Pada pasien degan penyakit yag berkepanjangan, gangguan imunitas

seluler dan peningkatan keretanan terhadap infeksi serta sulitnya

penyembuhan luka dapat terjadi. Selain itu, defisiensi trace element dan

vitamin juga terjadi pada pasien IBD.15 Pada pasien ini telah diatur diet

TKTP 2100 kkal per hari yang rendah serat dari awal pasien

diopnamekan. Untuk terapi hipoalbumin dan pasien diberi terapi transfusi

albumin 20%. Pasien juga sempat diberi asam folat, vitamin B kompleks

dan vitamin B12 untuk terapi anemia. Hal ini beralasan karena sebagian

pasien dengan Crohn’s disease mengalami gangguan absorbsi terkait

proses inflamasi pada usus halus sehingga terjadi defisiensi vitamin B12

dan asam folat.10

Prevalensi defisiensi nutrisi pada IBD14

Crohn’s disease (%) Ulcerative colitis (%)

Weight loss 65-75 18-62

Hypoalbumin 25-80 25-50

Anaemia 60-80 66

Iron 39 81

Vitamin B12 48 5

Folic acid 54 36

Calcium 13 NA

Magnesium 14-33 NA

Potassium 6-20 NA

Vitamin A 11 NA

Vitamin C 12 NA

Vitamin D 75 35

Vitamin K 10-25 NA

Zinc 10-50 NA

Pada pasien ini, didapatkan bahwa pada awal masuk pasien

menderita anemia dengan Hb 8,4 g/dl. Anemia merupakan komplikasi

Page 33: 61250855 Responsi IBD

33

sistemik yag paling sering pada IBD. Pada follow up, didapatkan hasil

laboratorium di mana kadar Hb yang seringkali kurang dari 10gr/dl, Ht

yang cenderung dibawah 25% dan kadar besi serum dibawah 38%. Ini

jelas menunjukkan adanya perdarahan yang lewat saluran cerna.

Anemia terkait IBD merupakan contoh yang unik dari kombinasi defisiensi

zat besi kronis dan anemia akibat penyakit kronis. Selain itu, beberapa

obat yang umumnya digunakan pada pengobatan IBD, seperti

salazopyrine, azathioprine, atau mercaptopurine dapat memiliki efek

myelosupresif. Akibat dari anemia pada kualitas hidup pasien IBD adalah

substansial. Suplementasi zat besi sebaiknya dimulai segera setelah

anemia terdeteksi (hemoglobin <13 g/dL pada laki-laki dan <12 g/dL

pada perempuan). Tujuan terapi anemia adalah untuk menormalkan tidak

hanya kadar Hb tapi juga kadar ferritin serum. Karena absorbsi dan

efficacy zat besi peroral tidak lebih besar dengan pemberian dosis tinggi

justru meningkatkan efek samping, maka preparasi zat besi oral diberikan

dalam dosis rendah. IV iron sucrose lebih efektif dibandingkan suplemen

zat besi per oral. Indikasi penggunaan IV iron bila terjadi severe anemia

(Hb<10 g/dL), membutuhkan perbaikan yang cepat pada mild anemia,

intoleransi terhadap oral iron, atau gagal dengan oral iron. Terapi agen

erythropoietin perlu dipertimbangkan apabila pasien tidak responsive

terhadap IV iron, dan pasien yang sudah mendapatkan manajemen yang

agresif tetapi inflamasi tidak tersupresi. Penggunaan agen eryhropietik

harus selalu dikombinasi dengan suplementasi IV iron.10 Untuk terapi

anemia hipokrom normositer, pasien ini langsung diterapi dengan

transfusi PRC 1 labu per hari dengan target sampai dengan Hb

meningkat menjadi 10 gr/dl. Tidak pernah dicobakan untuk diberikan

suplementasi Fe sebelumnya.

Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau

tingkat respon terhadap pengobatan konservatif. Pada pasien ini, saat

direncanakan keluar rumah sakit kondisi pasien dikatakan membaik

dengan kadar Hb dan Ht yang meningkat, tidak didapatkan keluhan diare

dan nyeri perut. Dari pemeriksaan tanda-tanda vital juga semuanya di

batas normal. Pada dasarnya penyakit IBD ini bersifat remisi dan

eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat

spontan dan dalam jangka waktu yang lama.1 Untuk menilai aktivitas

Page 34: 61250855 Responsi IBD

34

Crohn’s disease dengan keberhasilan terapi dan terjadinya remisi dapat

digunakan Crohn’s disease activity index (CDAI). Apabila poin kurang dari

150 dikatakan terjadi remisi, 150-219 terjadi mildly active disease, 220-

450 terjadi moderately active disease dan dikatakan severe apabila point

lebih dari 450.12

Table 1. Crohn’s Disease Activity Index (CDAI)

Variable Description MultiplierNumber liquid stools

Sum of 7 days 0= none1= mild2= moderate3= severe

X2

Abdominal pain Sum of 7 days ratings X5General well being

Sum of 7 days ratings X7

Extraintestinal complications

Number of listed complications

Arthritis/arthalgia, iritis/uveitis, erythema nodusum, pyoderma gangrenosum, apthous stomatitis, anal fissure/fistula/abscess, fever > 37.8

X20

Antidiarrhoeal drugs

Use in the previous 7 days

0= no1= yes

X30

Abdominal mass

0= no2= questionable5= definite

X10

Hematocrit Expect-observed Hct Males: 47-observedFemales: 42-observed

X6

Body weight Ideal/observed ratio (1-(ideal/observed))x100 X1 (NOT<-10)

BAB V

KESIMPULAN

1. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien berupa diare kronik dan nyeri

perut merupakan manifestasi klinis IBD yang paling umum, di samping itu

tentunya disertai gambaran keadaan sistemik yang timbul sebagai

dampak keadaan patologis yang ada sebagai gangguan nutrisi.

2. Pada pasien, dari hasil kolonoskopi diketahui bahwa ulcer didapatkan

pada rectum, sigmoid, colon descendent, colon transverses, colon

ascenden, caecum dan ileus terminalis. Dari biopsy didapatkan jaringan

polipoid disamping nampak adanya ulserasi. Oleh karena itu dari hasil

kolonoskopi disimpulkan pasien menderita penyakit crohn.

Page 35: 61250855 Responsi IBD

35

3. Sifat perjalanan klinis IBD adalah kronik-eksaserbasi-remisi dimana

terdapat fase aktif dan remisi didapatkan pada hasil follow up harian

pasien.

4. Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan

untuk Crohn’s disease dengan pilihan utama adalah prednisone,

metilprednisolon atau steroid enema. Diisamping itu obat yang sudah

lama dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat

sulfasalazin. Pasien diterapi dengan sulfasalazin peroral 2 kali 500cc dan

methylprednisolone peroral 3 kali 16 mg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. edisi IV.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

2. William A Rowe. 2011. Inflammatory Bowel Disease. (Online)

Htttp://www.emedicine.com. Diakses tanggal 9 Juni 2011

3. Stenson, W. F. 1995. Inflammatory bowel disease. Textbook of gastroenterology.

Philadelphia: JB Lippincott Company

4. Daldiyono, DharmikaDjojodiningrat. 2003. IBD: Hospital Based Data and

Endoscopic Assessment of Disease Activity in Jakarta, Indonesia. J

Gastroenterologi Hep.

Page 36: 61250855 Responsi IBD

36

5. V.Alin Botoman, Gregory F. Bonner, Daniella A. Bootman. Management of

Inflammatory Bowel Disease. (Online). http//www.aafp.org/. Diakses tanggal 9

Juni 2011.

6. Stefanelli T, Malesci A, Repici A, Vetrano S & Danese S. New Insights

into Inflammatory Bowel Disease Pathophysiology: Paving the Way for

Novel Therapeutic Targets. Current Drug Targets. Bentham Science

Publishers Ltd.

2008;9: 413-418 413.

7. Bamias G, Nyce MR, De La Rue SR, & Cominelli F. New Concepts in the

Pathophysiology of Inflammatory Bowel Disease. Ann Intern Med. 2005;143:895-

904.

8. Sartor RB. Mechanisms of Disease: pathogenesis of Crohn’s disease and

ulcerative colitis. Sartor Nature Clinical Practice Gastroenterology &

Hepatology 39. 2006. Vol 3. No 7.

9. Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of Inflammatory Bowel Disease:

An Overview. 2007;7:575–585.

10. Gisbert JP & Gomoll´on F. Common Misconceptions in the Diagnosis and

Management of Anemia in Inflammatory Bowel Disease. American

Journal of Gastroenterology. 2008.1572-0241.2008.01846.

11. Jennifer H. Floyd. Current Treatment of Crohn’s Disease with an

Emphasis on the Biological Agents. California Journal of Health-System

Pharmacy. 2008.

12. Sostegni R, Daperno M, Scaglione N, Lavagna A, Rocca A & Pera A.

Review article: Crohn’s disease: monitoring disease activity. Aliment

Pharmacol Therapy. 2003; 17 (Suppl. 2): 11–17.

13. M J Carter, A J Lobo, S P L Travis. Guidelines for the management of

inflammatory bowel disease in adults on behalf of the IBD. Section of the

British Society of Gastroenterology Gut. 2004;53(Suppl V):v1–v16.

Page 37: 61250855 Responsi IBD

37

14. Arnold GL, Beaves MR, Pryjdun VO & Mook WJ. Preliminary study of

ciprofloxacin in active Crohn's disease. Inflamm Bowel Dis. 2002

Jan;8(1):10-5.